of 97 /97
PROTEIN ALERGEN BELALANG SAWAH (Oxya chinensis) DAN HASIL OLAHANNYA SKRIPSI ANNISA THAHARAH PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M / 1440 H

PROTEIN ALERGEN BELALANG SAWAH (Oxya chinensis)

  • Author
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Text of PROTEIN ALERGEN BELALANG SAWAH (Oxya chinensis)

DAN HASIL OLAHANNYA
JAKARTA
DAN HASIL OLAHANNYA
Program Studi Kimia
Oleh:
JAKARTA
WIJAYA.
Alergi adalah suatu reaksi yang dialami oleh tubuh ketika terpapar salah satu jenis
alergen yang berikatan dengan IgE spesifiknya. Alergen pangan diantaranya
adalah protein hewani dan nabati. Belalang sawah (Oxya chinensis) diduga
memiliki protein alergen. Penelitian ini dilakukakan untuk identifikasi profil
protein alergen pada belalang. Sampel belalang sawah (Oxya chinensis) pada
penelitian ini dilakukan beberapa proses pengolahan, yaitu, goreng, rebus, dan
rendang. Protein diekstraksi menggunakan phosphate buffer saline. Kadar protein
diuji dengan metode Bradford. Protein belalang dikarakterisasi berdasarkan berat
molekul menggunakan metode elektroforesis pada tegangan 90 V selama 120
menit. Alergenisitas protein belalang diuji dengan metode immunoblotting
menggunakan darah dari responden yang memiliki riwayat alergi. Hasil penelitian
didapatkan kadar protein dari belalang mentah, rendang, rebus, dan goreng yaitu
7222,25; 1123,08; 893,97; 703,43; ppm. Profil protein yang dihasilkan pada
belalang sawah berkisar antara 9 sampai dengan >250 KDa. Hasil immunoblotting
menujukkan bahwa belalang sawah mengandung protein alergen. Protein alergen
terdeteksi pada bobot molekul 24, 66, 70, 86, 150, dan >250 KDa. Proses
pengolahan pada belalang sawah dapat meningkatkan alergenisitasnya. Belalang
mentah menghasilkan jenis protein alergen paling sedikit yang dapat berikatan
dengan IgE spesifik pada serum darah manusia.
Kata kunci: Alergen, belalang, elektroforesis, immunoblotting, protein.
ABSTRACT
(Oxya chinensis) and The Processed Products. Supervised by SRI YADIAL
CHALID and HENDRA WIJAYA.
Allergy is a reaction by the body when exposed one type of allergen which
binding to the human specific IgE. The specification of food allergens are animal
and vegetable protein. Grasshopper (Oxya chinensis) is suspected of having
allergen protein. This research was conducted to identify protein profiles of
allergen in grasshopper. Grasshopper (Oxya chinensis) sample in this research
performed some processing i.e fried, boiled, and rendang. The protein extract was
obtained by using phosphate buffered saline centrifuged at 2500 rpm, 4 °C for 25
minutes. The concentration of protein was tested by Bradford method. The protein
extract was characterized by molecular weight using electrophoresis method at a
voltage of 90 V for 120 min. Allergen protein extract of grasshopper was tested by
allergenicity with immunoblotting using blood from respondents who have
allergy. The result on this research obtained concentration of protein raw,
rendang, fried, and boiled are 7222,25; 1123,08; 893,97; 703,43; ppm. The range
protein profile of grasshopper between 9 until >250 KDa. The result of
immunoblotting showed grasshopper contain an allergen protein. Protein allergen
identified in weight molecule 24, 66, 70, 86, 150, dan >250 KDa. Processing of
grasshoppers can increase the level of allergenicity. Raw grasshoppers produces a
little type of allergen protein, which can be binding with specific IgE on human
blood serum.
viii
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW. Skripsi
ini berjudul Protein Alergen Belalang Sawah (Oxya chinensis) dan Hasil
Olahannya.
dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terimakasih kepada :
1. Dr. Sri Yadial Chalid, M.Si. selaku pembimbing I yang selalu memberikan
bimbingan, nasihat dan arahan kepada penulis.
2. Dr. Hendra Wijaya, M.Si selaku pembimbing II yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penelitian ini.
3. Drs. Dede Sukandar, M.Si selaku ketua prodi kimia Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Agus Salim, M.Si. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Sandra Hermanto, M.Si selaku pembimbing akademik, atas bimbingan
dan masukannya selama perkulihan.
6. Ayahanda (alm) Refri, Ibunda tersayang Radianti, kakak Aldhi Aulia Rachim,
adik Nabila Iffatulnisah dan Puti Intan Karina yang selalu memberikan
ix
dukungan kepada penulis baik secara material maupun moril, dan juga selalu
memberikan semangat dan keceriaan kepada penulis.
7. Widyaningsih rekan seperjuangan dalam riset di laboratorium yang selalu
membantu dan memberikan semangat.
8. Teman-teman kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2014 yang
selalu memberikan semangat, doa, dan keceriaan bagi penulis.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Jakarta, Oktober 2018
2.1 Protein ..................................................................................................... 5
2.3 Belalang Sawah (Oxya chinensis) ........................................................... 15
2.4 Karakterisasi Protein dengan SDS-PAGE .............................................. 17
2.5 Protein Alergen dengan Immunoblotting ................................................ 20
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 24
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 24
3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................ 24
3.3 Diagram Alir Penelitian .......................................................................... 26
3.4 Prosedur Penelitian.................................................................................. 27
4.1 Identifikasi Bahan Baku ......................................................................... 35
4.2 Ekstrak Protein Terlarut .......................................................................... 41
4.3 Profil Protein dengan Elektroforesis ....................................................... 43
4.4 Protein Alergen dengan Immunoblotting ................................................ 48
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 59
Gambar 2. Ikatan antara alergen dan IgE .................................................... 9
Gambar 3. Bentuk struktur Immunoglobulin (IgE) .................................... 12
Gambar 4. Mekanisme reaksi tipe I ............................................................ 14
Gambar 5. Belalang sawah (Oxya chinensis) .............................................. 16
Gambar 6. Reaksi pembentukan poliakrilamida ......................................... 18
Gambar 7. Tahapan immunoblotting ........................................................... 21
Gambar 8. Diagram alir penelitian .............................................................. 26
Gambar 9. Belalang sawah (Oxya chinensis) .............................................. 35
Gambar 10. Reaksi mailard ......................................................................... 40
Gambar 11. Hasil SDS-PAGE ekstrak protein ............................................ 43
Gambar 12. Hasil immunoblotting belalang mentah ................................... 50
Gambar 13. Hasil immunoblotting belalang rebus ...................................... 51
Gambar 14. Hasil immunoblotting belalang goreng ................................... 53
Gambar 15. Hasil immunoblotting belalang rendang .................................. 55
xiii
Tabel 1. Nilai nutrisi protein dan lemak berbagai macam ternak................. 16
Tabel 2. Komposisi kimia bahan baku belalang sawah ................................ 36
Tabel 3. Kadar protein ekstrak belalang ....................................................... 41
Tabel 4. Berat molekul protein belalang dengan SDS-PAGE ...................... 44
Tabel 5. Riwayat alergi responden berdasarkan hasil kuesioner .................. 49
Tabel 6. Berat molekul protein alergen pada belalang rebus ....................... 52
Tabel 7. Berat molekul protein alergen pada belalang goreng ..................... 54
Tabel 8. Berat molekul protein alergen pada belalang rendang ................... 55
Tabel 9. Bobot molekul rotein alergen belalang sawah (Oxya chinensis)
dan olahannya................................................................................. 56
xiv
Lampiran 2. Pembuatan pereaksi bradford.................................................. 66
Lampiran 5. Lembar kusioner responden .................................................... 70
Lampiran 6. Hasil identifikasi belalang sawah ........................................... 75
Lampiran 7. Kurva standar BSA ................................................................. 76
Lampiran 8. Nilai mobilitas relatif (Rf), logaritma berat molekul (Log BM
dan berat molekul protein standar ......................................... 77
Lampiran 9 Contoh perhitungan berat molekul .......................................... 78
Lampiran 10. Hasil perhitungan berat molekul belalang mentah .............. 80
Lampiran 11. Hasil perhitungan berat molekul belalang rebus .................. 81
Lampiran 12. Hasil perhitungan berat molekul belalang goreng ................ 82
Lampiran 13. Hasil perhitungan berat molekul belalang rendang ............. 83
1
Alergi adalah reaksi hipersensitifitas yang dihasilkan oleh sistem imun dari
dalam diri manusia yang disebabkan oleh subtansi asing atau alergen (Campbell et
al., 2000). Penyakit alergi merupakan salah satu penyakit yang berbahaya pada
saat-saat tertentu dan bisa menimbulkan kematian (Pawankar et al., 2011).
Lembaga penelitian swasta di Inggris menyatakan bahwa sebanyak 152.504.237
orang penduduk dunia mengalami alergi terhadap beberapa sumber alergen
pangan. Asia tercatat menjadi wilayah dengan penderita alergi pangan terbanyak
dibandingkan dengan benua lainnya (Elucidare, 2011). Kasus alergi pangan di
Indonesia menunjukkan jumlah yang belum pasti, namun selalu meningkat tiap
tahunnya (Candra & Rengganis, 2011 ). Alergi dapat menyebabkan gejala ringan
seperti gatal-gatal, pembengkakan, ruam pada tubuh, dan dapat menyebabkan
reaksi yang cukup berat seperti anafilaksis.
Alergen yang biasa ditemukan adalah glikoprotein yang larut dalam air
dengan berat molekul antara 10-70 KDa (Cianferoni & Jonathan, 2009). Sumber
alergen utama adalah protein yang terdapat dalam kacang tanah, kacang pohon
(tree nuts), susu sapi, ikan, kerang, telur, kedelai dan gandum (Gupta et al., 2013).
Protein yang terdapat pada serangga juga dapat disebut sebagai protein alergen.
Beberapa alergen serangga adalah tungau, ulat bulu, jangkrik dan belalang.
Belalang sawah termasuk serangga yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
makanan dan telah banyak diolah menjadi belalang goreng, rendang, kerupuk dan
nugget. Bagi masyarakat Gunung kidul, Yogyakarta dan Sijunjung, Sumatera
2
Barat makanan dari belalang sudah tidak asing lagi. Belalang memiliki kandungan
protein yang cukup tinggi dan dapat disetarakan dengan protein utama lainnya.
Kandungan protein yang tinggi dan banyaknya masyarakat mengkonsumsi
belalang menjadi ketertarikan utama untuk dilakukan penelitian tentang protein
alergen pada belalang.
Berbagai macam makanan dapat ditemukan saat ini dari berbagai binatang
yang ada di sekitar, dan belalang merupakan salah satu sumber makanan tersebut.
Belalang adalah binatang yang halal untuk dikonsumsi, seperti dijelaskan pada
hadist berikut ini:

Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai yaitu
belalang dan ikan. Adapun dua darah yaitu ati dan limpa (HR. Ahmad 2:97 dan
Ibnu Majah no. 3314).
Hadist di atas membuktikan bahwa belalang diperbolehkan untuk
dikonsumsi bagi umat Islam. Menurut Durst et al., (2010) cukup tingginya protein
yang terkandung di dalam belalang yaitu mencapai angka 24% dapat dijadikan
sumber protein utama mengingat harganya yang masih relatif murah. Di sisi lain
adanya beberapa kasus yang menyatakan bahwa terdapat alergi yang disebabkan
oleh belalang.
Lierl et al (1994) menyatakan bahwa serangga dapat memicu terjadinya
reaksi alergi pada manusia. Lopata et al (2005) menyatakan bahwa spesies
serangga Locusta migratoria mengandung protein alergen pada rentang berat
molekul 30-70 KDa. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Chen et al (2012)
3
alergen pada kisaran berat molekul 19-130 KDa.
Penelitian mengenai proses pengolahan mempengaruhi sifat alergenisitas
pada bahan pangan telah dilakukan pada beberapa penelitian sebelumnya.
Menurut Phiriyangkul (2015) proses pengolahan dapat meningkatkan sifat
alergenisitas protein alergen, alergen yang digunakan adalah serangga spesies
Patanga succinta. Penelitian Knulst & Bruijnzeel (2017) pada serangga spesies
Tenebrio molitor menyatakan bahwa proses pengolahan dapat meningkatkan sifat
antigeniknya.
karena adanya dugaan bahwa serangga dengan jenis belalang sawah (Oxya
chinensis) memiliki protein alergen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
profil protein alergen pada belalang sawah (Oxya chinensis) dan pengaruh proses
pengolahannya terhadap tingkat alerginisitas protein belalang. Belalang diolah
dengan cara merebus, menggoreng dan merendang. Hal ini dilakukan dikarenakan
pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses pengolahan dapat
mempengaruhi alergenisitas pangan.
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah identifikasi jenis spesies
dan uji proksimat pada bahan baku. Ekstraksi protein menggunakan phosphate
buffer saline. Analisa kadar protein dilakukan dengan metode Bradford.
Karakterisasi profil protein dengan SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate-
Polyacrylamide Gel Electrophoresis) dan uji alergenisitas dengan immunoblotting
4
sawah (Oxya chinensis)?
1.3 Hipotesis Penelitian
2. Proses pengolahan dapat mempengaruhi sifat alergenisitas pada belalang
sawah (Oxya chinensis).
1.4 Tujuan Penelitian
1. Menentukan profil protein alergen belalang sawah (Oxya chinensis) dengan
SDS-PAGE.
terhadap sifat alergenisitasnya.
1.5 Manfaat Penelitian
yang terkandung pada belalang dan bagi penderita alergi dapat menghindari
pengolahan yang meningkatkan alergenisitas.
makromolekul yang terdiri dari asam amino yang dihubungkan oleh ikatan
peptida, gabungan dari dua asam amino disebut dipeptida, 4-10 asam amino
disebut oligopeptida, dan lebih dari 10 asam amino disebut polipeptida (Gandy et
al., 2014). Tiap jenis protein mempunyai perbedaan jumlah dan distribusi asam
amino penyusunnya. Berdasarkan susunan atomnya, protein mengandung 50-55%
atom karbon (C), 20-23% atom oksigen (O), 12-19% atom nitrogen (N), 6-7%
atom hidrogen (H), dan 0,2-0,3% atom sulfur (S) (Estiasih, 2016).
Protein dibuat dari satu atau lebih rantai polipeptida yang terdiri dari banyak
asam amino yang dihubungkan oleh rantai peptida. Berat molekul protein
bervariasi mulai dari 5000 hingga satu juta atau lebih. Semua protein tanpa
memperlihatkan fungsi atau jenis dari sumbernya dibuat dari dua puluh asam
amino, yang disusun dari rangkaian yang bervariasi (Lehninger, 1976). Dalam
setiap sel hidup, protein merupakan bagian yag sangat penting. Pada sebagian
besar jaringan tubuh, protein merupakan komponen terbesar setelah air (Winarno,
2002).
6
1. Struktur primer
Struktur primer protein menggambarkan sekuen linier residu asam amino
dalam suatu protein. Sekuen asam amino selalu dituliskan dari gugus terminal
amino ke gugus terminal karboksil.
2. Struktur sekunder
amida dan oksigen karbonil dari rangka peptida. Struktur sekunder utama
meliputi α-heliks dan β-strands (termasuk β-sheets).
3. Struktur tersier
sempurna dan kompak. Beberapa polipeptida folded terdiri dari beberapa
protein globular yang berbeda yang dihubungkan oleh residu asam amino.
Struktur tersier distabilkan oleh interaksi antara gugus R yang terletak tidak
bersebelahan pada rantai polipeptida. Pembentukan struktur tersier membuat
struktur primer dan sekunder menjadi saling berdekatan.
4. Struktur kuartener
Struktur kuartener melibatkan asosiasi dua atau lebih rantai polipeptida yang
membentuk multisubunit atau protein oligomerik. Rantai polipeptida
penyusun protein oligomerik dapat sama atau beda.
7
Gambar 1. Empat bentuk struktur protein (Berg et al., 2002)
Sumber protein di dalam makanan dapat dibedakan atas dua sumber yaitu,
protein hewani dan nabati. Struktur fisik dan kimia protein hewani sama dengan
yang dijumpai pada tubuh manusia. Protein yang berasal dari hewan mengandung
semua asam amino dalam jumlah yang cukup untuk membentuk dan memperbaiki
jaringan tubuh manusia (Budiyanto, 2004).
2.2 Alergi dan Alergen
Alergen merupakan protein asing pemicu timbulnya reaksi alergi, dapat
terlarut cepat, dan sebagian besar berukuran kecil (≤60 KDa) sehingga dapat
menembus membran sel manusia (Denburg, 1998). Alergen yang utama pada
makanan adalah protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul yang
berkisar dari 3 sampai 160 kDa (umumnya 20 sampai 40 KDa), larut air, tahan
panas, dan tahan enzim proteolitik (Adelman et al., 2002). Alergen pangan
biasanya hanya sebagian kecil dari keseluruhan protein yang terdapat dalam
makanan. Kemampuan suatu alergen untuk menginduksi sintesis IgE
8
alergenisitas (Mills et al., 2004).
Penderita alergi seringkali memiliki sensitivitas terhadap lebih dari satu
macam alergen (Gunawan, 2010). Alergen mengacu pada antigen nonparasit yang
mampu menstimulasi respon hipersensitifitas tipe I pada individu atopik. Atopik
adalah individu yang cenderung mudah mengalami reaksi hipersensitifitas tipe I
jika terpapar oleh antigen atau alergen. Respon abnormal IgE pada idividu atopik
sebagian disebabkan oleh faktor genetik (Kindt et al., 2007).
Alergen yang mampu bereaksi dengan 50% IgE serum individu penderita
alergi disebut dengan alergen mayor. Alergen minor hanya dapat bereaksi dengan
10% IgE serum atau bahkan tidak begitu kuat untuk menyebabkan alergi. Alergen
mayor antara lain β-laktalbumin, kasein, α-laktalbumin susu dan antigen I, antigen
II pada udang. Laktoferin, laktoperoksidase, alkalifosfatase dan katalase susu
merupakan jenis protein yang tergolong sebagai alergen minor (Bush & Hefle,
1996).
Alergen yang dikonsumsi oleh penderita alergi, pertama masuk ke dalam
tubuh melalui intestinal. Protein alergen memiliki kemampuan yang tahan
terhadap kondisi asam dalam lambung, dan tahan terhadap enzim protease dalam
saluran pencernaan. Alergen yang dikonsumsi oleh penderita alergi, akan masuk
ke dinding mukosa usus halus, sehingga akan terjadi gejala alergi (Garn & Renz,
2007). Alergen yang berikatan dengan IgE spesifik mempunyai ikatan yang mirip
seperti “lock and key” (Gambar 2). Ikatan tersebut kemudian akan melepaskan
mediator–mediator sehingga menyebabkan gejala alergi (Soedarto, 2012).
9
Gambar 2. Ikatan antara alergen dan IgE (Abbas & Litchtman, 2009)
Bagian spesifik dari alergen yang mengikat antibodi IgE pada reaksi alergi
disebut epitop. Epitop merupakan bagian dari molekul yang secara spesifik
dikenali oleh paratop atau binding sites dari molekul antibodi (Yuliati, 2005).
Epitop dapat menentukan alergenisitas suatu protein. Ikatan antara IgE dengan
alergen umumnya terjadi bila protein alergen mengandung lebih dari 1 epitop
(Nowak-wegrzyn, 2003). Jumlah epitop dalam satu alergen berbeda dengan
jumlah epitop alergen lain. Semakin banyak jumlah epitop suatu protein alergen
yang berikatan dengan IgE, maka semakin parah gejala alergi yang ditimbulkan
(Shreffler et al., 2004).
alergen (Campbell et al., 2000). Hipersensitifitas merupakan reaksi imun yang
patologik karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh (Baratawidjaja &
Rengganis, 2006). Antibodi adalah immunoglobulin (Ig) yang merupakan
golongan yang dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari poliferasi sel B akibat
adanya kontak dengan antigen. Antibodi termasuk kelompok protein yang
10
menurut perbedaan struktur dan aktivitas biologis, antibodi dibedakan menjadi 5
subkelas:
menerangi mikroorganisme dan toksiknya. IgG merupakan komponen utama
immunoglobulin serum, kadarnya dalam serum merupakan 75% dari semua
immunoglobulin. IgG dapat menenmbus plasenta masuk ke janin dan berperan
pada imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan. IgG dan komponen bekerja saling
membantu sebagai opsonin pada pemusnahan antigen.
2. Immunoglobulin A
IgA kadarnya terbanyak ditemukan dalam cairan sekresi saluran nafas, cerna
dan kemih, air mata, keringat, ludah, dan air susu ibu yang lebih berupa IgA
sekretori (sIgA) yang merupakan bagian terbanyak. IgA dapat bekerja sebagai
opsonin, yaitu dapat meningkatkan efek bakteriolitik komplemen dan
menetralisasi toksin serta dapt mengaglutinasikan kuman, mengganggu
motilitasnya sehingga memudahkan fagositosis.
IgM dibentuk dahulu pada respon imun primer terhadap kabanyakan antigen
dibanding dengan IgG. IgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme pathogen,
memudahkan fagositosis dan merupakan aglutinator poten antigen.
4. Immunoglobulin D
IgD ditemukan dalam serum dengan kadar yang sangat rendah. IgD
merupakan komponen permukaan utama sel B dan pertanda dari diferensiasi sel B
11
yang lebih matang. IgD merupakan 1% dari total immunoglobulin dan banyak
ditemukan pada membran sel B bersama IgM yang dapat berfungsi sebagai
reseptor antigen pada aktivitas sel B.
5. Immunoglobulin E
IgE mudah diikat sel mast, basofil, eosinophil yang memiliki reseptor untuk
fraksi Fc dari IgE. IgE dibentuk setempat oleh sel plasma dalam selaput lendir,
saluran nafas, dan cerna.
Immunoglobulin E atau IgE adalah faktor yang berperan dalam mekanisme
alergi. Bentuk struktur IgE ditampilkan pada Gambar 3. Antibodi IgE diproduksi
oleh limfosit B dalam jumlah sedikit yaitu sekitar 0,001-0,002% dari total
immunoglobulin dalam serum. Peranan IgE yaitu sebagai perantara respon alergi.
Reaksi alergi terjadi ketika seseorang yang telah menghasilkan antibodi IgE
sebagai respon terhadap antigen atau alergen yang sama. Alergen memicu aktivasi
sel mastosit pengikat IgE di jaringan yang terpapar, yang menyebabkan
serangkaian respon yang merupakan karakteristik alergi (Janeway et al., 2001).
IgE terdiri dari dua rantai berat yang identic (heavy chain) dan dua rantai
ringan yang identik (light chain), serta memiliki area yang konstan. IgE tersusun
dari lebih kurang 110 asam amino dalam susunan beta dengan tiga atau empat
rantai beta yang membentuk seperti huruf C. IgE tersusun dari beberapa jenis
protein seperti FcεRI yang merupakan reseptor dengan afinitas tinggi terhadap
IgE, CD23 (sebagai FcεRII) yang merupakan reseptor dengan afinitas rendah
terhadap IgE, galactin-3 yang merupakan protein pengikat IgE dan FcεRI.
Pengikatan antara IgE dan FcεRI pada sel mastosit dan sel basofil akan
menginduksi sinyal sel dan merangsang degranulasi sel mastosit, sehingga
12
berperan dalam mengaktivasi eosinofil dan mempertahankan keberadaannya
seperti pada asma atopi (Boteman & Jithoo, 2007).
Gambar 3 . Bentuk struktur Immunoglobulin E (IgE) (Kindt et al., 2007)
Reaksi alergi terbagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I (reaksi cepat) yang terjadi
segera setelah terpapar alergen. Tipe ini diperantarai oleh IgE yang terikat pada
permukaan sel mast atau basofil. Hal ini menyebabkan dilepaskannya mediator
kimia seperti, bradikinin, histamin, prostagladin. Reaksi tipe II diperantai IgG,
reaksi yang menyebabkan kerusakan pada sel tubuh karena antigen menyerang
secara lansung pada permukaan sel. Reaksi tipe II adalah reaksi yang terjadi
karena deposit yang berasal dari kompleks antigen antibodi berada di jaringan.
Reaksi tipe IV disebabkan oleh antigen ekstrinsik atau instrinsik. Reaksi ini
melibatkan sel-sel imunokompeten (Kindt et al., 2007).
Mekanisme Alergi
Reaksi alergi makanan bisanya terjadi pada mekanisme reaksi tipe I atau
bisa juga disebut dengan hipersensitifitas segera. Hipersensitifitas segera adalah
13
reaksi jaringan yang terjadi secara cepat (bisanya dalam beberapa menit) setelah
interakasi antara antigen dan antibodi IgE pada permukaan sel mast pada individu
yang tersensitasi. Reaksi dimulai dengan masuknya antigen, yang disebut alergen
kerena memicu alergi. Banyak alergen yang berasal dari lingkungan yang tidak
berbahaya untuk sebagian besar individu yang terpapar. Beberapa individu
tampaknya menurunkan gen yang menyebabkan mereka rentan terhadap alergi
(Kumar et al., 2013).
dikarenakan terjadi paparan berulang terhadap antigen (alergen). Ikatan silang
antara IgE dan alergen akan memicu sel mastosit untuk melepaskan mediator –
mediator seperti histamin dan mediator lainnya, sehingga mempengaruhi
permeabilitas vaskular dan menyebabkan gejala alergi (Kumar et al., 2012).
Individu yang cenderung alergi, paparan terhadap beberapa antigen akan
menyebabkan aktivitas sel Th2 (allergen-specific T helper 2) dan produksi IgE.
Individu normal tidak mempunyai respon yang kuat terhadap sebagian besar
antigen asing. Ketika individu terpapar antigen seperti protein tertentu, makanan,
racun, obat, dll. maka respon sel T yang dominan adalah pembentukan Th2.
Hipersensitivitas tersebut terjadi akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespon
terhadap antigen protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe
cepat (reaksi alergi) sering disebut sebagai alergen (Munasir & Dadi, 2010).
Reaksi hipersensitivitas tipe I terjadi akibat adanya antigen berupa alergen.
Paparan pertama alergen pada sel B dengan bantuan allergen-specific T helper 2
(Th2) akan mendiferensiasi sel B menjadi sel plasma. Sel plasma selanjutnya
memproduksi IgE. IgE merupakan golongan immunoglobulin (antibodi) yang
14
berperan pada reaksi alergi. IgE yang telah diproduksi kemudian menempel pada
sel mastosit. Paparan ulang dengan alergen yang sama akan membentuk reaksi
silang yang menyebabkan lepasnya mediator – mediator pada sel mastosit
sehingga akan menimbulkan gejala alergi. Secara garis besar, mekanisme alergi
tertera pada Gambar 4. berikut.
Gambar 4. Mekanisme reaksi tipe I (Kumar et al., 2013)
Tahap paparan pertama alergen hingga pembentukan reaksi silang IgE
dengan FcRI (reseptor Fc IgE) pada permukaan sel mastosit disebut fase
sensitisasi. IgE yang telah terpapar alergen secara berulang kali dan berikatan
silang akan melepaskan mediator - mediator. Tahap tersebut disebut fase aktivasi.
15
Sel mastosit memiliki peran penting pada reaksi alergi, karena pada sel mastosit
akan melepas mediator – mediator yang akan bereaksi dengan target organ dan
menyebabkan timbulnya gejala alergi. Mediator – mediator tersebut meliputi
histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil
chemoctatic factor (NCF). Tahapan pelepasan mediator tersebut disebut fase
efektor. Pelepasan mediator ini akan menyebabkan gejala reaksi alergi beberapa
menit setelah paparan (fase cepat) dan 6-24 jam setelah paparan berulang dengan
alergen (fase lambat) (Munasir & Dadi, 2010).
Gejala awal alergi makanan berupa rasa gatal pada mulut, kesulitan menelan
dan bernapas. Saat mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya eksim.
Alergen menyebabkan asma bila mencapai paru - paru. Gejala alergi yang paling
membahayakan tubuh adalah anafilaktik syok yang ditandai dengan tekanan darah
yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat
menyebabkan kematian (Prawitasari & Spa, 2007).
2.3 Belalang Sawah (Oxya chinensis)
Belalang sawah (Oxya chinensis) termasuk ke dalam Ordo Orthoptera,
Subordo Caelifera, Famili Acrididae, Subfamili Oxynae, Genus Oxya, spesies
Oxya chinensis. Belalang sawah (Oxya chinensis) yang digunakan ditampilkan
pada Gambar 5. Belalang ini umum ditemukan di sawah dan kadang menjadi
hama pada tanaman padi. Oxya chinensis merupakan salah satu hama pertanian
yang paling serius dan banyak ditemukan pada tanaman padi, tebu, jagung,
graminae, padang rumput dan tanaman lainnya.
16
pendengar pada belalang disebut dengan tympanum dan terletak pada abdomen
dekat sayap. Tympanum berbentuk menyerupai disk bulat besar yang terdiri dari
beberapa prosesor dan saraf yang digunakan untuk memantau getaran di udara,
secara fungsional mirip dengan gendang telinga manusia. Belalang bernafas
dengan trakea. Belalang punya 5 mata (2 compound eye, dan 3 ocelli). Belalang
termasuk dalam kelompok hewan berkerangka luar (exoskeleton). Hewan lain
dengan exoskeleton adalah kepiting dan lobster. Lama hidup Oxya chinensis rata-
rata 73,1 hari dengan kisaran 55 hingga 106 hari (CPC, 2000).
Tabel 1. Nilai nutrisi protein dan lemak berbagai macam ternak
Hewan Protein (%) Lemak (%)
Sapi 15,8 24,3
Domba 14,6 30,5
Babi 13,0 33,3
Unggas 20,5 4,3
Belalang 24,4 1,5
17
Kandungan protein belalang senilai 24,4 % lebih tinggi dibandingkan
protein yang terkandung pada sapi, domba, babi dan unggas. Kadar lemak pada
belalang menghasilkan nilai paling rendah yaitu 1,5 %. Protein belalang dapat
dijadikan sumber protein utama di kalangan masyarakat mengingat kadar protein
yang tinggi, kadar lemak rendah dan harganya yang relatif masih murah.
Protein yang terkandung pada belalang sawah dinyatakan memiliki
kandungan protein yang tinggi. Protein tinggi pada umumnya dapat berpotensi
sabagai protein alergen. Belalang sawah dapat diduga memiliki protein alergen
dikarenakan pada beberapa penelitian terdahulu telah terdeteksi beberapa protein
alergen pada belalang. Lopata et al., (2005) menyatakan bahwa Locusta
migratoria mengandung protein alergen pada rentang berat molekul 30-70 KDa.
2.4 Profil Protein dengan SDS-PAGE
Elektroforesis merupakan suatu cara untuk memisahkan fraksi-fraksi
campuran berdasarkan atas pergerakan partikel-partikel koloid yang bermuatan, di
bawah pengaruh medan listrik. Elektroforesis pada umumnya digunakan untuk
menentukan berat molekul (BM), mendeteksi kemurnian dan kerusakan protein
atau asam nukleat, dan lainnya (Bintang, 2010). Sodium Dodecy Sulphate –
Polyacrylamide Gel Electrphoresis merupakan salah satu metode untuk
menganalisis protein dengan memisahkan pita-pita protein berdasarkan berat
molekulnya (Berg et al., 2002).
Analisis dengan SDS-PAGE ini, menggunakan gel poliakrilamid yang
terdiri dari stacking gel dan separating gel. Gel poliakrilamid merupakan medium
yang tepat untuk memisahkan protein berdasarkan ukuran berat molekul karena
18
molekul. Stacking gel terdapat well yang berfungsi sebagai tempat meletakkan
sampel sedangkan separating gel merupakan tempat protein akan bergerak kearah
anoda (Rachmania, et al., 2017).
Reaksi pembentukan gel poliakrilamid dapat dilihat pada Gambar 6. Gel
poliakrilamid terbentuk dari hasil polimerisasi monomer akrilamida (CH2=CH-
CO-NH2)-CH2 menjadi poliakrilamid dan memiliki iktan silang N’ N’ methylene
bisacrylamide (CH2-CH-CO-NH2)-CH2. Medium penyangga atau buffer dinuat
dari reaksi polimerisasi akrilamida dan bis-akrilamida yang dikatalis oleh
ammonium persulfat (APS) dan tetrametilendiamin (TEMED) (Alberts, et al.,
2002).
Gambar 6. Reaksi pembentukan poliakrilamid
Metode SDS-PAGE dikondisikan agar memberikan pemisahan yang
sempurna untuk protein dengan kisaran berat molekul dari 10 KDa hinggan 200
KDa karena umumnya protein alergen berada pada kisaran BM tersebut. Faktor
penting yang berkaitan dengan elektroforesis dalam memisahkan protein dengan
berat molekul tertentu adalah konsentrasi akrilamida. Konsentrasi akrilamida
untuk memisahkan protein dengan berat molekul antara 10-200 KDa adalah 5-
20% (Bollag & Edelstein, 1991).
larutan sampel buffer dan dipanaskan. Larutan sampel buffer mengandung SDS
dan merkaptoetanol. SDS berfungsi untuk mendenaturasi protein dalam bentuk
protein kompleks (kuartener, tersier, dan sekunder) menjadi bentuk yang lebih
sederhana (primer atau linear) (Bintang, 2010). Merkaptoetanol berfungsi untuk
memutus ikatan disulfida yang ada pada protein. Sebelum elektroforesis,
dilakukan pemanasan pada sampel yang bertujuan untuk membantu proses
denaturasi protein dan akan menghasilkan molekul linier yang akan bermigrasi
berdasarkan berat molekulnya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi proses
migrasi protein adalah konsentrasi akrilamid, voltase, waktu konsentrasi protein
dan pemanasan bahan baku (Wijaya & Rohman, 2001).
Protein marker adalah suatu standar yamg digunakan untuk mendeteksi
profil protein apa saja yang terdapat di dalam suatu protein. Protein marker
digunakan untuk mengidentifikasi berat molekul dari campuran polipeptida.
Marker protein yang digunakan memiliki rentang berat molekul 10 kDa - 250
kDa. Dari hasil elektroforesis terdapat sejumlah pita protein yang memiliki
ketebalan berbeda-beda. Protein yang memiliki ketebalan dan intensitas warna
yang lebih besar dibandingkan protein lain dan selalu ada di setiap varietas
disebut protein mayor (Wijaya & Rohman, 2001).
Salah satu cara mengamati pita-pita protein yang terbentuk adalah mewarnai
hasil elektoforesis menggunakan Commasie brilliant blue. Pewarna ini termasuk
kedalam zat warna anionik, sebagian strukturnya berupa gugus non polar.
Pewarna ini biasanya digunakan dalam larutan metanol dan asam asetat.
Commasie brilliant blue dapat berikatan dengan protein. Kelabihan pewarna yang
20
terkumpul di dalam gel dapat dihilangkan dengan aquades atau dengan campuran
metanol dan asam asetat. Protein akan terdeteksi sebagai pita berwarna biru
dengan latar belakang jernih (Lebendiker, 2002).
Pita-pita protein terpisahkan berdasarkan berat molekulnya. Tebal tipisnya
pita yang terbentuk dari pita protein menunjukkan kandungan atau banyaknya
protein yang mempunyai berat molekul yang sama yang berada pada posisi pita
yang sama. Hal ini sejalan dengan prinsip pergerakan molekul bermuatan, yakni
molekul bermuatan dapat bergerak bebas di bawah pengaruh medan listrik,
molekul dengan muatan dan ukuran yang sama akan terakumulasi pada zona atau
pita yang sama atau berdekatan (Sudarmadji, 1989).
2.5 Protein Alergen dengan Immunoblotting
Immunoblotting adalah suatu modifikasi dari prinsip immunoelektroforesis.
Metode yang popular dari immunoblotting salah satunya adalah western blotting.
Western blotting dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan protein alergen
dalam suatu sampel. Immunoblotting juga digunakan untuk identifikasi dan
pencirian antigen dari campuran antigen yang tidak diketahui serta uji alergi.
Metode ini menggunakan elektroforesis gel untuk memisahkan protein
berdasarkan berat molekulnya. Protein tersebut kemudian ditransfer dari gel hasil
elektroforesis ke dalam suatu membran nitroselulosa, yang akan diuji
menggunakan antibodi yang spesifik terhadap protein tersebut (Carson et al.,
2012).
dilakukan melalui 3 tahap, yaitu elektroforesis, elektrotransfer, dan deteksi. Tahap
21
elektroforesis. Elektroforesis merupakan pemisahan protein berdasarkan ukuran
molekul dalam suatu tegangan listrik. Elektroforesis, biasanya sampel yang
mengandung protein biasanya dicampur dengan SDS. SDS merupakan suatu
detergen yang memiliki muatan negative. Muatan negatif SDS tersebut
mengganggu kestabilan protein, sehingga protein mengalami denaturasi. Protein-
protein yang ada dalam sampel membentuk suatu rantai polipeptida lurus.
Semakin besar berat molekul suatu protein, maka rantai polipeptida tersebut
semakin panjang.
Sampel dengan protein rantai polipeptida lurus tersebut dimasukkan dalam
suatu membran poliakrilamid yang dialiri arus listrik. Protein yang bermuatan
negatif bergerak dari kutub negatif menuju kutub positif. Laju pergerakan protein
dalam membran poliakrilamid tersebut berbeda-beda tergantung pada daya
hambat antara protein dan membran. Protein yang berukuran lebih besar akan
memiliki daya hambat lebih besar sehingga pergerakannya menjadi lebih lambat
dibandingkan pergerakan protein yang berukuran lebih kecil.
Setelah dialiri arus listrik selama beberapa waktu, masing-masing protein
akan terpisah berdasarkan ukuran molekulnya. Protein yang lebih kecil atau yang
memiliki berat molekul rendah akan bergerak lebih jauh dibanding protein yang
lebih besar. Dalam gel poliakrilamid tersebut akan terbentuk pita-pita yang
merupakan protein-protein yang telah terpisah berdasarkan berat molekul.
Tahap kedua adalah pemindahan protein dari gel poliakrilamid menuju gel
transfer. Tahap pemindahan tersebut menggunakan arus listrik sebagai pendorong
transfer protein. Proses pemindahan tersebut disebut juga elektrotransfer.
Elektrotransfer menggunakan media gel transfer untuk pemindahan pita. Gel
transfer yang umum digunakan ada dua, yaitu nitroselulosa dan nilon.
Nitroselulosa lebih umum digunakan karena relative tidak mahal, bloking mudah
dan cepat dilakukan (Bollag & Edelstein, 1991).
Transfer protein dari gel poliakrilamid menuju gel transfer merupakan tahap
yang sangat penting. Bebera faktor yang harus diperhatikan dalam proses transfer
protein tersebut, adalah :
1. Arus listrik yang digunkan harus diperhatikan karena arus yang terlalu
tinggi dapat menghasilkan panas selama transfer yang dapat emnimbulkan
masalah.
2. Kekuatan ion buffer transfer yan rendah dapat digunakan pada tegangan
listrik yang tinggi tanpa perlu khawatir menghasilkan panas yang tinggi.
3. Arus listrik yang dapat digunakan salah satunya adalah 200 mA selam 120
menit.
23
4. Transfer protein dengan ukuran besar, penggunaan gel dengan konsentrasi
poliakrilamid yang rendah.
terletak pada penggunaan antibodi primer dan antibodi sekunder. Metode deteksi
terdiri dari dua, yaitu lansung dan tidak lansung. Metode lansung menggunakan
antibodi primer yang telah terkonjugasi dengan molekul marker. Metode tidak
lansung menggunakan antibodi primer dan antibodi sekunder . Antibodi primer
berfungsi mengikat protein target, sedangakan antibodi sekunder berfungsi
mengikat antibodi primer dan terkonjugasi dengan molekul penanda. Molekul
penanda yang digunakan diantaranya adalah enzim alkalin fosfatase (AP) dan
enzim horedish peroksidase (HRP) (Bollag & Edelstein, 1991)..
Pita protein alergen yang tercetak dalam membran nitroselulosa dapat
diidentifikasi dengan menginkubasi membran dalam serum darah pasien yang
positif alergi, sehingga protein tersebut akan berikatan secara spesifik dengan IgE.
Interaksi tersebut dapat terlihat setelah membran direaksikan dengan substrat yang
dapat berpendar, sedangkan berat molekulnya diketahui dari migrasinya pada gel
SDS-PAGE (Carson et al., 2012).
24
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Balai Besar Industri Agro,
Cikaret, Bogor, Jawa Barat. Penelitian dilakukan selama 9 bulan, mulai dari bulan
November 2017 hingga Agustus 2018.
3.2 Alat dan Bahan
Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, sentrifuse,
panci, penggorengan, kompor, SDS-PAGE Bio-Rad Mini-Protean II,
immunoblotting Mini Trans-Blot® Electrophoretic Transfer, spektrofotometer
UV-VIS, water bath, freeze drier, inkubator, evaporator, nitrocellulose
membranes for blotting pore size 0.45 μm, size 15 cm x 15 cm (Sigma N8267),
vacuum blood tube (EDTA.K3), timbangan analitik, pH meter, vortex, stirrer,
termometer, labu takar, gelas ukur, gelas piala, tabung Eppendorf, mikropipet 5
μL hingga 1000 μL, kertas saring Whatman No.1 dan kertas saring biasa.
Bahan utama yang digunakan adalah belalang sawah yang diperoleh dari
Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Serum darah manusia dari 15 subyek
penderita alergi dan satu subyek normal yang tidak memiliki riwayat alergi
sebagai control negatif. Kuesioner responden terdapat di Lampiran 5.
Bahan kimia yang digunakan antara lain, phosphate buffer saline pH 7.5,
buffer tris pH 8,8 dan pH 6,8, NaOH, HCl, Na3PO4, (NH4)2S2O8, CH3OH, K2SO4,
C2H5OH 95%, H3PO4, CH3COOH, akuades, tween-20, TEMED (N,N,N',N'-
25
(bovine serum albumin), C3H5NO (akrilamida), C2H5NO2 (glisin), TBS (tris bufer
saline, akuabides, coomasie brilliant blue G-250, antibodi anti IgE manusia
berlabel enzim HRP (Horseradish Peroksidase), substrat DAB (3,3-
Diaminobenzidine), substrat TMB (3,3′,5,5′Tetramethylbenzidine), N,N-metilen-
bisakrilamid, marker protein Precision Plus Protein™ Dual Color Standards
(Berat molekul: 250, 150, 100, 75, 50, 35, 25, 20, 15, 10 KDa).
26
20 gram
20 gram
27
chinensis), sebelum dilakukan ekstraksi protein dilakukan beberapa proses
pengolahan yang berbeda, yaitu digoreng, direbus dan direndang.
3.4.1.1 Belalang Rebus
didalam air mendidih suhu 100 0 C selama 5 menit.
3.4.1.2 Belalang Goreng
100 gram belalang sawah ditimbang dalam cawan, kemudian digoreng
selama 5 menit didalam minyak mendidih suhu 150-300 0 C (Winarno, 2002).
3.4.1.3 Belalang Rendang
100 gram belalang rendang olahan ditimbang dalam cawan, dipastikan
bumbu rendang tidak terlalu banyak dalam sampel. Hal ini dilakukan dengan cara
memisahkan bumbu yang terlalu banyak dan menggumpal pada tubuh belalang.
Bumbu rendang merupakan rempah-rernpah yang terdiri dari bawang merah,
bawang putih, lengkuas, jahe, kemiri, cabe merah, ketumbar, kunyit, daun kunyit,
daun jeruk, serai dan asam kandis.
3.4.2 Karakterisasi Bahan Baku
3.4.2.1 Identifikasi Bahan Baku
Cibinong.
28
Uji proksimat dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Uji proksimat yang dilakukan yaitu mengukur kadar air,
abu, protein, lemak, dan karbohidrat.
Kadar Air (AOAC, 1992)
Bahan baku ditimbang sebanyak 2 gram, kemudian dihaluskan. Bahan
baku diletakkan di dalam cawan, kemudian dioven selama 3 jam pada suhu 105
0 C. Bahan baku yang telah dioven didinginkan dalam desikator, kemudian
ditimbang dan dihitung kadar airnya.
Kadar air = ( ) ( )
x 100%
Bahan baku ditimbang sebanyak 2-3 gram di cawan porselen, kemudian
dibakar pada pembakar hingga asap habis. Bahan baku kemudian ditanur pada
suhu 600 0 C selama 4-5 jam, setelah selesai kemudian dimasukkan ke dalam
desikator. Bahan baku ditimbang dan dihitung kadar abunya.
Kadar abu =
x 100%
Tahapan analisis total nitrogen terdiri dari tiga tahap yakni destruksi, destilasi dan
titrasi. Tahap destruksi dilakukan dengan cara memasukkan sebanyak 0.5 gram
sampel ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 2 gram campuran katalis (SeO2
29
+ K2SO4 + CuSO4), selanjutnya didestruksi selama 2.5 jam dengan kenaikan suhu
secara bertahap sampai cairan menjadi berwarna hijau tosca dan didinginkan.
Sampel hasil destruksi diencerkan dengan akuades sampai 100 mL. Tahap
destilasi dilakukan dengan memasukkan 25 mL sampel hasil destruksi
ditambahkan 25 mL larutan NaOH 30% dan 3 tetes indikator phenol phthalein.
Letakkan kondensor dibawah erlenmeyer 250 mL yang berisi 25 mL larutan asam
borat dan 3 tetes indikator conway. Destilasi dilakukan hingga 20 menit setelah
tetesan pertama hingga destilat menjadi hijau tosca.
Tahap titrasi dilakukan dengan cara larutan hasil destilasi dititrasi dengan
larutan HCl 0.05 N yang sebelumnya telah di standarisasi dengan menggunakan
larutan boraks 0.05 N. Titrasi dilakukan sampai terjadi perubahan warna dari hijau
toska sampai warna merah seulas. Selanjutnya diukur volume HCl yang terpakai
untuk titrasi sampel protein. Sebelumnya, dilakukan standarisasi terhadap N HCl
menggunakan Na-boraks.
[HCl] N =
Kadar Lemak (AOAC, 1992)
Labu lemak dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator dan
ditimbang sebagai a gram. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dalam kertas
saring kemudian diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet. Alat kondensor dipasang
di atasnya dan labu bulat di bawahnya. Dituangkan pelarut heksana kedalam labu
30
dan dilakukan refluks selama minimal 5 jam. Selesai ekstraksi pelarut dikeluarkan
dari labu lemak. Labu lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven 105 0 C,
kemudian didinginkan dan ditimbang sebagai b gram.
Kadar lemak (%) =
x 100%
Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by difference
dilakukan dengan cara mengurangkan 100 % dengan nilai total dari kadar air,
kadar abu, kadar protein, kadar lemak dalam satuan %b/b. Kadar karbohidrat
ditentukan dengan rumus berikut:
Karbohidrat (%) = 100% - (Kadar air+kadar abu+kadar protein+kadar lemak)
3.4.3 Ekstraksi Bahan Baku (Hashimoto et al., 1979)
Belalang mentah, rebus, goreng dan rendang masing-masing ditimbang
sebanyak 20 gram dan dimasukkan ke dalam blender, kemudian ditambahkan 200
mL buffer posfat pH 7,5 (Lampiran 1). Larutan dihomegenisasi sebanyak 3 kali
masing-masing selama 1 menit. Campuran yang terbentuk disentrifugasi dengan
kecepatan 4200 rpm selama 25 menit pada suhu 4 0 C. Hasil sentrifugasi terdiri
dari lapisan atas berupa supernatan lapisan bawah berupa endapan. Supernatan
diambil dan dimasukkan dalam centrifuge tube 50 ml, cairan ini merupakan
ekstrak protein. Ekstrak yang dihasilkan yaitu, ekstrak protein belalang mentah,
rebus, goreng, dan rendang. Ekstrak protein disimpan di dalam lemari pendingin
suhu -20 0 C.
3.4.4 Analisis Kadar Protein Terlarut (Bradford et al., 1976)
Sebanyak 100 µL ekstrak protein dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung
reaksi gelap, kemudian ditambahkan 5 ml pereaksi Bradford (Lampiran 2).
Larutan divorteks dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-VIS
pada λ = 595 nm setelah 5 menit. Larutan standar BSA dan sampel diukur secara
bersamaan. Pembuatan larutan standar terdapat pada Lampiran 2.
3.4.5 Analisis Profil Protein dengan SDS – PAGE (Laemmli, 2011)
Masing-masing ekstrak protein belalang mentah, belalang rebus, belalang
goreng, dan belalang rendang dianalisis profil proteinnya dengan elektroforesis
menggunakan gel akrilamida. Gel terdiri atas dua bagian, yaitu stcking gel dan
separating gel. Konsentrasi akrilamida yang digunakan pada stacking gel adalah
5% dan separating gel 12%. Tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Separating gel
Sebanyak 4,8 mL larutan A (Lampiran 3) dipipet ke dalam gelas piala,
kemudian ditambakan 3 mL larutan B (Lampiran 3) dan 4,02 mL akuades.
Campuran kemudian diaduk perlahan dengan menggoyangkan gelas piala.
Selanjutnya, sebanyak 60 µL APS 10% (Lampiran 3) dan 4 µL TEMED
ditambahkan ke dalam campuran dan diaduk kembali dengan perlahan. Campuran
dimasukkan ke dalam lempengan kaca (mini slab) tanpa menimbulkan gelembung
udara dengan menggunakan mikro pipet sampai sekitar 1 cm dari atas lempengan.
Bagian yang tidak diisi gel diberi akuades untuk meratakan gel yang terbentuk.
Gel kemudian dibiarkan mengalami polimerisasi selama 60-120 menit.
32
Air dibuang dari atas separating gel dan dikeringkan dengan menggunakan
tissue. Akuades, larutan A (Lampiran 3) dan larutan C (Lampiran 3) masing-
masing sebanyak 2,3 mL; 0.67 ml dan 1.0 ml dicampurkan ke dalam gelas piala
dan diaduk perlahan dengan cara menggoyangkan gelas piala. APS 10%
(Lampiran 3) sebanyak 30 µl dan 5 µl TEMED ditambahkan ke dalam campuran
dan diaduk kembali dengan perlahan. Campuran dimasukkan ke dalam mini slab,
kemudian sisir dimasukkan dengan cepat tanpa menimbulkan gelembung udara.
Stacking gel dibiarkan mengalami polimerisasi selama 30-60 menit. Sisir diangkat
dari atas gel dengan perlahan setelah gel berpolimerisasi dan slab ditempatkan ke
dalam wadah elektroforesis. Bufer elektroforesis (Lampiran 3) dimasukkan ke
dalam wadah elektroforesis di bagian dalam dan luar agar gel terendam.
Preparasi dan injeksi sampel
Sebanyak 40 µl ekstrak protein sampel dimasukkan ke dalam microtube dan
ditambahkan 40 µl bufer sampel (Lampiran 3). Larutan dipanaskan selama 5
menit dalam air mendidih 100°C. Sampel kemudian siap diinjeksikan ke dalam
sumur menggunakan mikropipet sebanyak 10 µl. Salah satu sumur diinjeksikan
protein marker sebanyak 5 µl, protein marker digunakan sebagai standar.
Running SDS-PAGE
Katup elektroda dipasang dengan arus mengalir ke anoda. Sumber listrik
dinyalakan dan dijaga konstan pada 90 V. Running dilakukan selama 120 menit
sampai migrasi tersisa sekitar 0.5 cm dari dasar. Aliran listrik dimatikan dan katup
elektroda dilepaskan, lalu plat gel dipindahkan dari elektroda.
33
Staining gel
Gel diangkat dari slab dan dipindahkan ke dalam wadah tertutup yang telah berisi
pewarna coomasie briliant blue (Lampiran 3) sebanyak 20 ml, kemudian
didiamkan selama 10 menit.
Gel diangkat dan dicuci menggunakan akuades sebanyak 3 kali masing-
masing selama 5 menit. Larutan destaining solution (Lampiran 3) ditambahkan
dan digoyangkan sekali hingga latar belakang pita protein menjadi terang. Larutan
penghilang warna dibuang dan gel siap dianalisis.
Penentuan berat molekul protein
Berat molekul protein sampel dapat dihitung dari persamaan regresi antara
mobilitas relatif protein marker (penanda protein) dengan logaritma dari berat
molekul marker yang diketahui. Mobilitas relatif protein dihitung dengan
membandingkan jarak migrasi protein diukur dari garis awal separating gel
sampai ujung pita protein yang dibandingkan dengan jarak migrasi pewarna.
Mobilitas relatif tersebut dirumuskan sebagai persamaan berikut :
Rf =
3.4.6 Preparasi Serum Penderita Alergi (Zakaria et al., 1998)
Serum darah diambil dari 15 penderita alergi dan 1 orang normal atau tidak
alergi yang diketahui melalui kuisioner dan persetujuan responden (Lampiran 5).
Kualifikasi responden yang dipilih adalah yang mempunyai riwayat alergi
serangga dan bahan pangan lainnya, setiap orang diambil darahnya sebanyak 10
mL. Darah ditempatkan dalam tabung mengandung EDTA. Darah penderita alergi
34
dibawa ke laboratorium untuk dipisahkan serumnya dengan cara sentrifugasi.
Darah tersebut diinkubasi selama 1 jam, lalu disentrifugasi pada kecepatan 2500
rpm selama 20 menit. Supernatan yang diperoleh sebanyak ± 5 mL dan
merupakan serum yang mengandung IgE. Serum disimpan pada suhu -20 °C.
3.4.7 Immunoblotting (Bollag & Edelstein, 1991)
Gel hasil elektroforesis yang tidak diwarnai ditransfer ke membran
nitroselulosa (0.45 μm). Gel dan membran nitroselulosa disusun dalam alat
transblotting, lalu diisi dengan bufer transfer (Lampiran 4). Blotting ini dilakukan
pada 90 V selama 90 menit. Tahap selanjutnya membran dilepas dari rangkaian
alat dan direndam atau difiksasi dengan metanol 50% selama 2 menit, lalu diblok
dengan susu skim 5% dalam PBST (Lampiran 4) selama 1 jam pada suhu kamar.
Membran dicuci dengan PBST 3 (Lampiran 4) kali, masing-masing selama
5 menit. Setelah dicuci, membran ditambah serum penderita alergi serangga
dengan pengenceran 1:10 dalam PBST (Lampiran 4), selanjutnya diinkubasi
selama 2 jam pada suhu kamar. Pencucian dilakukan lagi dengan PBST
(Lampiran 4) sebanyak 3 kali, masing-masing selama 5 menit, lalu diberi antibodi
HRP conjugated monoclonal mouse anti-human IgE (pengenceran 1:3000 dalam
PBST) dan diinkubasi selama 1 jam sambil digoyang. Membran dicuci kembali
dengan PBST (Lampiran 4) sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit, dan
ditambah substrat DAB (Lampiran 4). Hasil deteksi positif kompleks protein
alergen dengan serum ditandai dengan terbentuknya pita berwarna coklat pada
membran nitroselulosa.
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah belalang sawah
yang berasal dari Sijunjung, Sumatera Barat. Identifikasi dilakukan di Bidang
Zoology Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong dan didapatkan data bahwa
spesies belalang sawah yang digunakan merupakan Oxya chinensis. Tujuan
identifikasi adalah untuk mengetahui jenis spesies belalang yang digunakan.
Gambar 9 menunjukkan belalang sawah yang digunakan sebagai bahan baku di
penelitian ini. Hasil identifikasi spesies terdapat pada Lampiran 6.
Gambar 9. Belalang sawah (Oxya chinensis) (Dokumentasi pribadi, 2017).
Belalang sawah yang digunakan memiliki tubuh berwarna hijau dan
terdapat corak hitam pada bagian punggung atas tubuh. Tubuh belalang terdiri
36
dari 3 bagian utama, yaitu kepala, dada dan perut. Belalang memiliki 2 mata, 6
enam kaki bersendi, 2 sayap, dan 2 antena. Kaki belakang yang panjang
digunakan untuk melompat sedangkan kaki depan yang pendek digunakan untuk
berjalan. Belalang tidak memiliki telinga, akan tetapi dapat mendengar.
4.1.2 Kandungan Proksimat
Uji proksimat dilakukan di Laboratorium Pangan Pusat Laboratorium
Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Uji proksimat terdiri dari uji
kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Bagian tubuh belalang sawah
(Oxya chinensis) yang digunakan pada penelitian ini adalah keseluruhannya tanpa
terkecuali. Hal ini dikarenakan semua anggota tubuh belalang sawah dapat
dikonsumsi.
Bahan Baku
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Mentah 67,70±0,77 1,46±0,14 23,18±0,01 6,02±0,28 1,64±0,16
Rebus 71,93±0,08 0,78±0,17 19,8±0,07 7,3 ±0,04 0,66±0,13
Goreng 19,5±0,18 1,69±0,08 17±0,14 41,31±0,21 20,5±0,33
Rendang 7,62±0,13 4,97±0,64 17,4±0,03 55,44±0,06 14,57±0,60
Hasil uji proksimat belalang sawah ditampilkan pada Tabel 2. Penelitian
sebelumnya uji komposisi kimia pada bahan baku sejenis telah pernah dilakukan
oleh Kim et al., (2017). Penelitan tersebut menyatakan bahwa pada spesies Oxya
chinensis sinuosa mengandung kadar protein 74,2; lemak 3,03; abu 4,4; dan
karbohidrat 18,2%. Hasil kadar lemak dan kadar abu pada belalang mentah
memiliki nilai 6,02 dan 1,46%, hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Kim
et al., 2017. Perbedaan yang signifikan terdapat pada kadar protein dan kadar
37
karbohidrat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya jenis belalang
yang tidak spesifik sama dan lingkungan hidup yang berbeda.
Kadar Air
Belalang mentah memiliki kadar air yang cukup tinggi yaitu 67,70%. Hal ini
menunjukkan bahwa belalang yang masih mentah tanpa dilakukan proses
pengolahan memiliki kandungan air yang cukup tinggi. Kadar air tertinggi
terdapat pada sampel belalang rebus. Hal ini diduga karena perlakuan perebusan
menyerap air yang lebih banyak selama pengolahan dilakukan.
Kadar air pada belalang goreng 19,5% dan belalang rendang 7,62%
mengalami penurunan yang sangat signifikan. Penurunan kadar air yang terjadi
dapat diperkirakan karena adanya proses pengolahan yang dialami oleh belalang.
Proses pengolahan goreng yang melibatkan minyak dan panas diperkirakan dapat
menghilangkan kandungan air yang terdapat di dalam belalang. Suhu panas yang
terjadi pada penggorengan dapat menguapkan air. Belalang rendang juga
mengalami penurunan kadar air dikarenakan belalang dimasak dengan waktu yang
cukup lama berkisar antara 4-6 jam pada suhu panas yang stabil. Hal ini diduga
dapat mengakibatkan menguapnya kadar air yang terkandung di dalam belalang
tersebut.
Fitriani (2008) menyatakan bahwa semakin lama waktu pemasakan pada
bahan pangan maka kadar air akan menurun. Hal ini menyebabkan penguapan air
lebih banyak sehingga kadar air dalam bahan semakin kecil. Menurut Winarno
(2002), semakin tinggi suhu yang digunakan semakin banyak pula molekul-
molekul air yang keluar dari permukaan dan menjadi gas. Penggunaan panas pada
proses pemasakan bahan pangan sangat berpengaruh pada nilai gizi pangan.
38
yang dapat menurunkan kandungan lemak dan merusak vitamin dan mineral
(Winarno, 1980).
produk makanan terhadap serang mikroba. Air yang terdapat dalam bahan
makanan akan dipergunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Kadar
air yang tinggi dalam bahan makanan akan menyebabkan produk makanan mudah
rusak (Winarno, 2002).
Kadar Abu
Semakin tinggi kadar abu maka semakin tinggi pula kadar mineral dalam
bahan pangan tersebut. Unsur mineral merupakan zat anorganik atau yang dikenal
sebagai kadar abu (Winarno, 2002). Kadar abu pada belalang rebus mengalami
penurunan hal diduga karena kandungan air masih banyak didalam belalang.
Menurut Sundari et al., (2015) masing-masing organisme memiliki kemampuan
yang berbeda-beda dalam meregulasikan dan mengabsorpsi logam. Kadar abu
pada belalang goreng megalami peningkatan, hal ini diduga karena proses
pemanasan dapat menghilangkan kandungan air. Tinggi rendahnya nilai kadar abu
pada bahan pangan yang digoreng tergantung dari lama waktu dan suhu
penggorengan. Kenaikan kadar abu pada bahan pangan yang digoreng disebabkan
oleh suhu tinggi sehingga kandungan air banyak hilang (Sumiati, 2008).
Kadar abu tertinggi dihasilkan dari belalang rendang. Hal ini diduga
karena masih banyak mineral-mineral yang terserap dari bumbu rendang pada
belalang. Proses pengolahan rendang melibatkan proses pengolahan pengeringan.
Proses pengeringan mengakibatkan terjadinya penguraian komponen ikatan
39
molekul air (H2O) dan juga memberikan peningkatan terhadap kandungan gula,
lemak, mineral sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar abu
(Hadipernata et al., 2006).
Belalang mentah memiliki kadar protein yang paling tinggi yaitu 23,18%.
Hal ini diperkirakan karena belalang mentah belum mendapat perlakuan proses
pengolahan. Penurunan kadar protein pada belalang rebus diperkirakan karena
adanya pemanasan yang dapat merusak komposisi protein yang terkandung di
dalam belalang. Kadar protein pada belalang rebus 19,8%, kadar proteinnya
mengalami penurunan dibandingkan belalang mentah. Hal ini diduga karena
penggunaan suhu tinggi pada saat proses pengolahan dapat merusak kandungan
gizi pada bahan pangan. Perebusan dapat menurunkan kadar protein karena
pengolahan dengan menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan denaturasi
protein sehingga terjadi koagulasi dan menurunkan solubilits atau daya
kemampuan larutnya (Sundari et al., 2015).
Kadar protein yang didapatkan pada belalang goreng 17% adalah yang
paling rendah. Hal ini diduga karena suhu yang digunakan pada penggorengan
cukup tinggi dan protein akan rusak dengan panas yang sangat tinggi. Menurut
Sundari et al., (2015) penggorengan dapat menurunkan kadar protein karena pada
proses penggorengan sebagian minyak goreng akan menempati rongga-rongga
bahan pangan menggantikan posisi air yang menguap sehingga konsentrasi
protein per satuan berat bahan menjadi lebih kecil.
Protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu 60–90 0 C selama
satu jam. Pemanasan protein dapat menyebabkan berbagai reaksi, diantaranya
40
denaturasi dan kehilangan aktivitas enzim. Proses pemanasan menyebabkan
protein yang tersusun dari beberapa asam amino yang mempunyai gugus reaktif
akan berikatan dengan komponen lain seperti gula pereduksi yang menyebabkan
reaksi Mailard (Palupi et al., 2007). Reaksi mailard ditampilkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Reaksi mailard (Blackweel, 2012)
Rendahnya kadar protein pada belalang goreng dapat diduga dikarenakan
terjadinya reaksi Mailard. Menurut (Vaclavik & Christian, 2007) reaksi Mailard
ini sering terjadi selama pemanasan. Reaksi Mailard meningkat tajam pada saat
suhu yang digunakan cukup tinggi (Winarno, 2002). Reaksi Mailard yaitu reaksi
antara gugus amino dari suatu asam amino bebas residu rantai peptida atau protein
dengan gugus karbonil dari suatu karbohidrat apabila keduanya dipanaskan
(Lakshmi, 2014). Reaksi Mailard dapat merusak lisin dan sistein, menurunkan
ketersediaan semua asam-asam amino termasuk isoleusin yang paling stabil. Pada
akhir reaksi terbentuk pigmen coklat melanoidin yang memiliki bobot molekul
besar. (Palupi et al., 2007).
41
pengolahan kecuali pada belalang rebus. Kadar lemak pada belalang rendang
55,44% dan belalang goreng 41,31%, relatif lebih tinggi dibandingkan belalang
mentah. Hal ini diduga oleh adanya minyak yang terserap oleh belalang sawah
tersebut yang mengakibatkan kadar lemak pada belalang sawah menjadi
bertambah. Tingginya kadar lemak pada belalang rendang diduga karena lemak
yang berasal dari bumbu rendang juga terdeteksi dalam uji kadar lemak.
Proses pengolahan pada bahan pangan menyebabkan terjadinya kerusakan
lemak. Kerusakannya sangat bervariasi tergantung pada suhu yang digunakan dan
lamanya waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka
semakin spesifik kerusakan lemak (Sundari et al., 2015).
4.2 Ekstrak Protein Terlarut
phosphate buffer saline, diukur kadar protein dengan metode Bradford. Hasil
perhitungan kadar protein pada belalang sawah dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kadar protein esktrak protein terlarut belalang sawah
Bahan baku Konsentrasi akhir (ppm)
Belalang mentah 7222,25±0,00
Belalang rebus 893,97±0,02
Belalang goreng 703,43±0,05
Belalang rendang 1123,08±0,00
Kadar protein tertinggi diperoleh pada belalang rendang, sedangkan kadar
protein terendah dihasilkan pada proses pengolahan goreng. Pemanasan pada
bahan makanan akan menurunkan kadar protein. Menurut Sundari et al., (2015)
42
reaksi yang terjadi saat pemanasan protein tersebut dapat merusak kondisi protein,
sehingga kadar protein menurun. Pernyataan ini bertolakbelakang dengan hasil
yang diperoleh pada belalang rendang.
Hal ini diduga bahwa adanya faktor pengaruh protein yang dihasilkan dari
bumbu rendang yang mengakibatkan tingginya kadar protein yang dihasilkan.
Pada belalang rendang adanya bumbu yang terdiri dari berbagai macam rempah-
rempah yaitu bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe, kemiri, cabe merah,
keturnbar, kunyit, daun kunyit, daun jeruk, serai dan asam kandis.
4.3 Profil Protein dengan Elektroforesis
Hasil profil protein ekstrak protein belalang ditampilkan pada Gambar 11.
Konsentrasi akrilamida yang digunakan yaitu, stacking gel 5% dan separating gel
12%. Pita protein yang didapat dari hasil SDS-PAGE menghasilkan beberapa pita
yang tipis, diduga karena konsentrasi protein pada rentang tersebut sangat rendah.
Tebal tipisnya pita protein yang terbentuk pada SDS-PAGE menunjukkan
banyaknya protein yang mempunyai berat molekul yang sama, yang berada pada
posisi pita yang sama. Hal ini sesuai dengan prinsip pergerakan molekul
bermuatan yaitu molekul bermuatan dapat bergerak bebas di bawah pengaruh
medan listrik. Molekul dengan muatan dan ukuran yang sama akan terakumulasi
pada zona atau pita yang sama atau berdekatan (Sudarmadji, 1989)
43
h
Gambar 11. Hasil SDS-PAGE Ekstrak Protein: (A) belalang mentah, (B)
belalang rebus, (C) belalang goreng, (D) belalang rendang dan M
adalah protein marker
Ekstrak protein belalang mentah memiliki banyak pita protein dibandingkan
sampel yang lain. Hal ini diduga karena sampel yang digunakan tidak dilakukan
proses pengolahan. Protein yang terkandung di dalam belalang mentah belum
mengalami kerusakan, sehingga protein dapat larut sempurna pada saat ekstraksi.
Penelitian Kamath et al., (2013) mendapatkan hasil yang sama dengan penelitian
ini. Profil protein ekstrak moluska yang dilakukan proses pengolahan
menghasilkan pita protein yang lebih sedikit dibandingkan yang mentah.
250 KDa
150 KDa
100 KDa
75 KDa
50 KDa
37 KDa
25 KDa
20 KDa
15 KDa
10 KDa
Marker Belalang
0,097 250 0,048 >250 0,048 >250 0,048 >250 0,048 >250
0,145 150 0,194 116 0,145 150 0,145 150 0,145 150
0,210 100 0,210 111 0,290 86 0,306 81 0,323 77
0,282 75 0,226 105 0,371 66 0,323 77 0,516 42
0,379 50 0,242 100 0,387 63 0,339 73 0,565 36
0,484 37 0,258 95 0,532 39 0,516 42 0,661 26
0,645 25 0,274 90 0,548 38 0,677 25 0,677 25
0,726 20 0,290 86 0,677 25 0,984 9 0,694 24
0,903 15 0,355 70 0,694 24 1,000 9 0,694 24
1,000 10 0,403 60 0,855 14 0,726 21
0,435 54 0,919 11 0,790 17
0,452 51 0,935 11 0,855 14
0,516 42 0,984 9 0,871 13
0,548 38 1,000 9 0,919 11
0,565 36 0,935 11
0,581 34 0,984 9
0,597 32 1,000 9
Hasil perhitungan berat molekul belalang mentah, rebus, goreng dan
rendang ditampilkan pada Tabel 4. Berat molekul yang dihasilkan diperoleh dari
perhitungan dengan perbandingan pada marker. Contoh perghitungan yang
dilakukan untuk mendapat berat molekul pada bahan baku terdapa pada Lampiran
9.
45
Belalang mentah yang telah diekstraksi kemudian dianalisa profil
proteinnnya menggunakan SDS-PAGE. Pita protein yang dihasilkan pada
belalang mentah yaitu sebanyak 31 pita (Gambar 11). Berat molekul protein
belalang mentah yang ditampilkan pada Tabel 4 menunjukkan beberapa nilai yang
berdekatan. Hal ini disebabkan oleh adanya pita-pita yang berdekatan dan
menumpuk pada gel elektroforesis. Protein yang memiliki ketebalan dan intensitas
warna yang lebih besar dibandingkan protein lain dan selalu ada di setiap varietas
disebut protein mayor (Wijaya & Rohman, 2001). Protein mayor pada belalang
(Oxya chinensis) mentah diduga terdapat pada protein dengan berat molekul 60,
70, 11, 14, 15 KDa.
Menurut penelitian Roy & Ghosh (2016) serangga Oxya hyla hyla memiliki
protein pada berat molekul 111, 36, 38, 31, 28, 26, 25, 15, dan 14 KDa. Menurut
Yi & Gillott (1999) serangga Melanoplus sanguinipes memiliki protein pada berat
molekul 24, 25, 26, 28, 29, 31, 42 KDa. Menurut Sieminska et al., (2015)
serangga Melanoplus sanguinipes memiliki protein pada berat molekul 15, 24, 25,
34, 36, 38, 42, 54, dan 70 KDa. Hal ini membuktikan bahwa serangga dengan
spesies yang berbeda akan tetapi dengan family sama, dapat memiliki beberapa
jenis protein dengan berat molekul yang sama.
4.3.2 Profil Protein Belalang Rebus
Proses pengolahan pada belalang sawah yang pertama dengan menggunakan
media air dan pemanasan, yaitu direbus. Jumlah pita protein yang dihasilkan pada
belalang rebus mengalami penurunan dibandingkan dengan pita protein pada
belalang mentah. Pita protein yang dihasilkan pada belalang rebus yaitu sebanyak
46
14 pita (Gambar 11). Setengah bagian dari pita protein pada belalang mentah tidak
terdeteksi pada belalang rebus. Hal ini menunjukkan bahwa adanya protein yang
rusak pada saat sampel dilakukan proses pengolahan dalam hal ini yaitu
perebusan.
Menurut Sundari et al., (2015), proses perebusan dapat menurunkan kadar
protein dalam bahan pangan, dikarenakan pengolahan menggunakan suhu tinggi
akan menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi koagulasi dan menurunkan
solubilitas atau daya kemampuan larutnya. Pemanasan protein dapat
menyebabkan terjadinya banyak reaksi. Reaksi tersebut diantaranya, denaturasi,
hidrasi, perubahan warna dan derivitasi residu asam amino.
Denaturasi yang terjadi pada protein belalang rebus dapat menyebabkan
kelarutan protein berkurang. Hal ini menyebakan tidak semua protein yang
terdapat di dalam belalang rebus larut pada saat ekstraksi protein. Ekstrak protein
yang dihasilkan mengandung sedikit jenis protein, sehingga menyebabkan pita
protein yang terdeteksi pada SDS-PAGE juga lebih sedikit.
Protein pada belalang rebus memiliki beberapa berat molekul protein yang
sama dengan beberapa jenis serangga lainnya. Menurut Roy & Ghosh (2016)
serangga Oxya hyla hyla memiliki protein pada berat molekul 66, 38, 25, dan 14
KDa. Menurut Yi & Gillott (1999) serangga Melanoplus sanguinipes memiliki
protein pada berat molekul 66, 25, dan 24 KDa. Menurut Sieminska et al., (2015)
serangga Melanoplus sanguinipes memiliki protein pada berat molekul 24, 25, 38,
dan 39 KDa. Hal ini membuktikan bahwa serangga dengan proses pengolahan
dapat memiliki protein pada berat molekul yang sama dengan serangga lain tanpa
proses pengolahan.
Proses pengolahan pada belalang sawah yang pertama dengan menggunakan
media minyak dan pemanasan, yaitu digoreng. Pita protein pada belalang goreng
adalah sampel yang menghasilkan pita paling sedikit. Pita protein yang dihasilkan
pada belalang goreng adalah 9 pita (Gambar 11). Menurut Yi & Gillott (1999),
serangga Melanoplus sanguinipes memiliki protein pada berat molekul 25 dan 42
KDa. Menurut Sieminska et al., (2015), serangga Melanoplus sanguinipes
memiliki protein pada berat molekul 25 dan 42 KDa. Jenis protein pada belalang
goreng yang berat molekulnya sama dengan serangga lainnya terdeteksis hanya
pada beberapa saja. Hal ini diduga karena protein pada belalang goreng telah
mengalami kerusakan disebabkan oleh proses pengolahan.
Kerusakan protein yang terjadi pada pengolahan penggorengan dua kali
lipat dibandingankan perebusan. Proses penggorengan bahan pangan menurunkan
kadar protein lebih tinggi dibanding perebusan karena suhu yang digunakan
sangat tinggi dan protein akan rusak dengan panas yang sangat tinggi. Proses
penggorengan menyebabkan sebagian minyak goreng akan menempati rongga –
rongga bahan pangan menggantikan posisi air yang menguap sehingga konsentrasi
protein persatuan berat bahan menjadi lebih kecil (Sundari et al., 2015).
4.3.4 Profil Protein Belalang Rendang
Proses pengolahan pada belalang sawah yang pertama dengan
menggunakan media bumbu dari rempah-rempah dan pemanasan yang cukup
lama, yaitu direndang. Pita profil protein yang dihasilkan pada sampel belalang
rendang terdeteksi lebih banyak dibandingkan belalang goreng. Pita protein yang
dihasilkan pada belalang goreng adalah 17 pita (Gambar 11). Hal ini diduga
48
dikarenakan adanya campuran protein yang dihasilkan dari bumbu rendang yang
dapat meningkatan nilai protein dari belalang rendang. Adanya bumbu rendang
yang terserap ke dalam belalang mengakibat protein yang terdeteksi pada
elektroforesis kemungkinan tidak begitu murni.
Menurut Roy & Ghosh (2016), serangga Oxya hyla hyla memiliki protein
pada berat molekul 36, 26, 25, dan 14 KDa. Menurut Yi & Gillott (1999),
serangga Melanoplus sanguinipes memiliki protein pada berat molekul 21, 24, 25,
26, dan 42 KDa. Menurut Sieminska et al., (2015), serangga Melanoplus
sanguinipes memiliki protein pada berat molekul 24, 25, 36, dan 42 KDa. Jenis
protein pada belalang goreng yang berat molekulnya sama dengan serangga
lainnya terdeteksi hanya pada beberapa saja. Hal ini diduga karena protein pada
belalang goreng telah mengalami kerusakan disebabkan oleh proses pengolahan.
4.4 Profil Protein Alergen dengan Immunoblotting
Pengumpulan responden yang diambil darahnya dilakukan dengan mengisi
kuesioner seperti pada Lampiran 5. Hasil pengisian kuesioner responden yang
mempunyai riwayat alergi ditampilkan pada Tabel 5. Darah yang diambil
kemudian dipisahkan dan diambil serum darahnya yaitu plasma darah yang
berwarna putih. Serum darah tersebut disimpan dalam freezer -20 0 C. Uji
alergenisitas dilakukan dengan cara ekstrak protein belalang sawah diuji
kemampuannya berikatan dengan IgE spesisifik yang terkandung dalam serum
darah responden. Belalang sawah dengan berbagai macam proses pengolahan
diuji alergenisitas dengan metode immunoblotting.
49
Kode
Jenis
Kelamin
1 p/34th Belalang, daging kambing, udang Gatal-gatal di dalam mulut
2 p/40th Belalang, udang, hujan Sakit perut, diare
3 p/23th Belalang, daging sapi, daging kambing Gatal-gatal, sakit perut
4 p/31th Belalang, daging sapi Gatal-gatal
5 p/41th Belalang, daging sapi Gatal-gatal di kerongkongan
6 l/23th Belalang, lebah, udang, kepiting hitam Gatal-gatal, pusing, muntah,
diare
8 l/27th Belalang, udang Gatal-gatal
9 l/35th Belalang, kacang, ikan, telur, mie instan Gatal-gatal, asma, mual, diare
10 l/29th Belalang, udang telur Gatal-gatal asma, mual
11 p/22th Tonkol, udang sawah, dingin, udara Gatal-gatal
12 l/22th Debu Batuk-batuk
13 l/22th Debu Bersin-bersin
14 p/22th Debu Jerawat
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah protein belalang sawah
merupakan golongan yang memiliki protein alergen. Protein alergen dapat
menyebabkan reaksi alergi pada manusia apabila manusia tersebut mengkonsumsi
bahan pangan yang mengandung protein tersebut. Uji alergenisitias ini
menggunakan metode immunoblotting dengan cara menggunakan serum darah
responden yang alergi terhadap beberapa bahan pangan sehari hari.
4.4.1 Protein Alergen Belalang Mentah
Ekstrak protein belalang mentah di immunoblotting dengan 15 serum
darah responden yang alergi dengan beberapa bahan pangan.
50
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Gambar 12. Hasil immunoblotting ekstrak protein belalang mentah dengan
serum subjek alergi dan M adalah protein marker.
Hasil immunoblotting serum darah positif alergi protein belalang mentah
dapat dilihat pada Gambar 12. Belalang mentah memiliki jenis protein alergen
paling sedikit dan berikatan dengan igE spesifik responden paling sedikit
dibandingkan dengan sampel lain. Serum darah yang diuji sebanyak 15 orang.
Responden yang terdeteksi positif alergi protein belalang mentah hanya satu
orang, yaitu pada responden (1). Responden (1) memiliki antibodi IgE yang
mengikat protein alergen dengan berat molekul 70 KDa. Protein alergen yang
diperoleh pada belalang sawah (Oxya chinensis) mentah sama dengan protein
alergen pada beberapa serangga di penelitian sebelumnya.
Penelitan Lopata et al., (2005) menyatakan bahwa jenis serangga Locusta
migratoria mendeteksi adanya protein alergen pada berat molekul 70 KDa. Chen
et al., (2012) menyatakan bahwa serangga Locusta migratoria terdeteksi adanya
profil protein alergen pada berat molekul 70 KDa. Pener (2016) juga menyatakan
adanya protein alergen dengan berat molekul 70 KDa pada serangga jenis Acheta
domesticus. Hal ini mebuktikan bahwa adanya protein alergen dengan berat
molekul yang sama pada serangga berbeda spesies dengan family yang sama.
51
Protein alergen dengan berat molekul 70 KDa pada serangga Locusta
migratoria menurut Allergome nama alergen tersebut adalah Loc m 7. Protein
alergen dengan berat molekul kisaran 70 KDa ini merupakan protein tropomiosin
pada insekta. Protein tropomiosin merupakan alergen mayor (Rounge & Barre,
2017). Hal ini menyebabkan adanya dugaan bahwa protein alergen pada belalang
sawah dengan berat molekul 70 KDa termasuk protein tropomiosin.
Serum darah responden yang mengalami alergi belalang diketahui
sebanyak 10 orang, akan tetapi pada saat diuji hanya satu orang yang
menghasilkan positif alergi. Hal ini diduga bahwa protein yang murni dari dari
belalang sawah tanpa adanya proses pengolahan menghasilkan lebih sedikit
protein alergen. Kandungan protein yang terdapat pada belalang mentah belum
mengalami kerusakan struktur protein yang diduga dapat menjadi penyebab suatu
protein menjadi protein alergen.
Ekstrak protein belalang rebus di immunoblotting dengan 15 serum darah
responden yang alergi dengan beberapa bahan pangan.
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Gambar 13. Hasil immunoblotting ekstrak protein belalang rebus dengan
serum subjek alergi dan M adalah protein marker
52
Serum darah yang diuji sebanyak 15 orang. Responden yang terdeteksi
positif alergi protein belalang rebus yaitu 9 orang (Gambar 13). Berat molekul
protein alergen yang diperoleh pada belalang rebus ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Berat molekul protein alergen pada belalang rebus
Kode Subjek
Ke-1 Ke-2 Ke-3 Ke-4
2 150
3 150
7 >250
11 >250
12 150
13 150
14 150
15 >250
Responden (1) memiliki IgE yang mampu berikatan dengan protein alergen
pada berat molekul >250, 150, 86 dan 66 KDa. Responden (2), (3), (12), (13), dan
(14) masing-masing memiliki IgE yang mampu berikatan dengan protein alergen
pada berat molekul 150 KDa. Responden (7), (11) dan (15) mempunyai IgE yang
mampu berikatan dengan protein alergen pada berat molekul >250 KDa.
Alergen yang utama pada makanan adalah protein, glikoprotein atau
polipeptida dengan berat molekul yang berkisar dari 3 sampai 160 kDa (Adelman
et al., 2002). Protein alergen yang diperoleh pada sampel ini adalah yang memiliki
bobot melukul diatas 100 KDa, yaitu 150 dan 250 KDa. Penelitian terdahulu juga
menyatakan terdapat beberapa serangga yang terdeteksi memiliki protein alergen
dengan berat molekul yang tinngi.
Menurut Chen et al., (2012) pada serangga jenis Locusta migratoria
menghasilkan protein alergen pada 130 KDa. Penelitian Jarolim et al., (2015)
pada serangga Locusta migratoria mendeteksi adanya protein alergen dengan
53
berat molekul 80, 125, >250 KDa. Penelitian Jarolim et al., (2015) pada serangga
Anacridium aegyptium mendeteksi adanya protein alergen dengan berat molekul
90 dan 152 KDa. Penelitian Phiriyangkul (2015), pada serangga Patanga succinta
mendeteksi adanya protein alergen dengan berat molekul 65 KDa.
Protein alergen yang terdapat pada belalang sawah rebus memiliki beberapa
jenis protein alergen yang sama dengan serangga spesies lainnya. Hal ini diduga
bahwa epitop yang tebentuk pada saat denaturasi pada belalang rebus memiliki
kesamaan bentuk dengan epitop pada protein jenis serangga lain tanpa
didenaturasi. Adanya proses pengolahan mengakibatkan jenis epitop baru yang
terbentuk menyerupai epitop yang telah ada pada jenis serangga lainnya, sehingga
sifat antigeniknya meningkat.
Ekstrak protein belalang goreng di immunoblotting dengan 15 serum darah
responden alergi beberapa bahan pangan.
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Gambar 14. Hasil immunoblotting ekstrak protein belalang goreng dengan serum
j subjek alergi dan M adalah protein marker
54
Sebanyak 15 serum darah responden yang diuji didapatkan hasil 6 orang
yang positif alergi (Gambar 14). Berat molekul protein alergen yang diperoleh
pada protein belalang goreng ditampilkan pada tabel 8.
Tabel 7. Berat molekul protein alergen belalang goreng
Kode Subjek Berat Molekul Pita Protein Alergen (KDa)
Ke-1
Responden (2), (11), (12), (13), (14) masing-masing memiliki IgE yang
berikatan dengan protein alergen pada berat molekul 150 KDa. Responden (15)
memiliki IgE yang dapat berikatan dengan protein alergen pada berat molekul
>250 KDa. Penelitian Jarolim et al., (2015) pada serangga Locusta migratoria
mendeteksi adanya protein alergen dengan berat molekul 80, 125, >250 KDa.
Penelitian Jarolim et al., (2015) pada serangga Anacridium aegyptium mendeteksi
adanya protein alergen dengan berat molekul 90 dan 152 KDa.
Penelitian Phiriyangkul (2015), didapatkan hasil bahwa protein pada
serangga yang digoreng menghasilkan protein alergen yang lebih banyak
dibandingkan yang mentah. Pada Patanga succincta mentah menghasilkan 3 jenis
protein alergen, sedangkan Patanga succincta goreng menghasilkan 4 jenis
protein alergen. Sesuai dengan hasil penelitian ini, protein alergen pada belalang
mentah lebih sedikit dibandingkan belalang goreng. Hal ini membuktikan bahwa
dengan adanya proses pengolahan, terdapat epitop linear yang tidak dapat dirusak
oleh denaturasi dan adanya epitop baru yang terbentuk akibat denaturasi.
55
Ekstrak protein belalang rendang di blotting dengan 15 serum darah
responden alergi beberapa bahan pangan.
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Gambar 15. Hasil immunoblotting ekstrak protein belalang rendang dengan
serum subjek alergi dan M adalah protein marker
Serum darah yang diuji sebanyak 15 orang. Responden yang terdeteksi
positif alergi protein belalang rendang yaitu 7 orang (Gambar 15). Berat molekul
protein alergen yang didapatkan ditampilkan pada Tabel 9.
Tabel 8. Berat molekul protein alergen pada belalang rendang
Kode Subjek Berat Molekul Pita Protein Alergen (KDa)
Ke-1
Responden (2), (11), (12), (13), (14) masing-masing memiliki IgE yang
berikatan dengan protein alergen pada berat molekul 150 KDa. Responden (15)
memiliki IgE yang dapat berikatan dengan protein alergen pada berat molekul
>250 KDa. Responden (3) memiliki IgE yang dapat berikatan dengan protein
alergen pada berat molekul 24 KDa.
56
mendeteksi adanya protein alergen dengan berat molekul 25 KDa. Penelitian
Jarolim et al., (2015) pada serangga Anacridium aegyptium mendeteksi adanya
protein alergen dengan berat molekul 152 KDa. Hal ini membuktikan bahwa
protein alergen yang terdapat pada belalang sawah rendang masih memiliki
beberapa jenis protein alergen yang sama dengan serangga tanpa proses
pengolahan lainnya.
belalang sawah belum terdapat di dalam database Allergome, sehingga belum
dapat diketahui karakter dan nama protein alergen belalang sawah.
Tabel 9. Berat molekul protein alergen belalang sawah (Oxya chinensis) dan h
j olahannya
Belalang
Berat molekul protein alergen pada belalang sawah mentah, rebus, goreng
dan rendang ditampilkan pada Tabel 10. Protein alergen yang dihasilkan pada
belalang sawah olahan menghasilkan protein alergen yang lebih banyak. Dapat
disimpulkan bahwa hasil proses pengolahan pada belalang sawah dapat
meningkatkan sifat alergenisitas. Beberapa penelitian terdahulu terkait tingkat
alergenisitas dengan proses pengolahan mendapatkan hasil yang sama.
Penelitian Phiriyangkul (2015), pada serangga spesies Patanga succinta
menyatakan bahwa proses pengolahan dapat meningkatkan sifat alergenisitas.
Menurut Kamath et al., (2013), pada ekstrak crustacean dan moluska, proses
pengolahan dapat meningkatan deteksi antibodi pada tropomiosin. Penelitian
Knulst & Bruijnzeel (2017), pada serangga spesies Tenebrio molitor menyatakan
bahwa proses pengolahan meningkatkan sifat antigeniknya. Menurut Kamath et
al., (2014) proses pengolahan pada kerang dapat meningkatkan efek pengikatan
antibodi IgE dan reaktivitas tropomiosin dan alergen tahan panas lainnya.
Berdasarkan penelitian ini, maka protein belalang sawah (Oxya chinensis)
dapat diklasifikasikan sebagai salah satu sumber protein alergen. Metode
pengolahan makanan dapat meningkatkan, mengurangi atau menghilangkan
potensi alergi makanan (Wal, 2003). Alergen yang berasal dari hewan umumya
memiliki sifat termostabilitas yang tinggi, sehingga sifat alerginisitas pada protein
yang dipanaskan akan meningkat (Boye & Godefroy, 2010).
Protein alergen pada belalang yang mengalami proses pengolahan terlihat
lebih banyak berikatan dengan IgE spesifik responden. Hal ini dapat disebabkan
oleh adanya denaturasi protein pada saat proses pengolahan yang dapat
mempengaruhi epitope pada alergen. Epitop pada alergen terdiri dari dua bentuk
58
yaitu linear dan konformasi. Denaturasi protein yang memiliki epitop dapat
merubah konformasinya sehingga dapat menghilangkan sifat antigeniknya atau
justru membentuk epitop baru. Epitop yang berbentuk linear tidak dapat dirusak
oleh denaturasi, akan tetapi denaturasi membuat struktur sekunder suatu protein
keluar sehingga antigeniknya semakin bertambah (Kindt et al., 2007).
Pada saat dilakukan proses pengolahan maka terjadi denaturasi pada
protein. Denaturasi menyebabkan protein alergen pada belalang sawah olahan
lebih banyak terdeteksi dibandingkan belalang sawah mentah. Denaturasi protein
yang terjadi menyebabkan protein pada belalang sawah menjadi semakin
antigenik.
59
1. Belalang sawah (Oxya chinensis) dan olahannya mengandung protein alergen
pada berat molekul 24, 66, 70, 86, 150, dan >250 KDa.
2. Proses pengolahan dari belalang sawah (Oxya chinensis) akan berpengaruh
pada sifat alergenisitasnya, yaitu terjadi peningkatan. Hal ini dilihat dari
banyaknya IgE spesifik responden yang dapat berikatan dengan protein
alergen pada belalang sawah olahan dibandingkan belalang mentah.
5.2 Saran
Saran dari penelitian ini adalah agar dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mendapatkan nama spesifik dari protein alergen pada belalang sawah (Oxya
chinensis) yang telah teridentifikasi. Metode lanjutan yang dilakukan yaitu
metode ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay). Protein alergen yang
ditemukan dilaporkan pada pihak allergome. Nama alergen akan dimunculkan
pada database allergome. Dalam lingkungan medis ekstrak protein alergen dapat
digunakan untuk membuat skin prick test dan immunostick untuk uji klinik alergi.
60
Abbas, A.K.,&Litchtman, A.H. (2009). Basic Immunology Functions and
Disorders of the Immune System. Philadelphia: WB Saunders Elsevier.
Adelman, D., Casale, T., & Corren, J. (2002). Manual of Allergy & Immunology
(5th ed.). California: Lippincot Williams & Wilkins.
Alberts, B., Johnson, & Lewis, J. (2002). Molecular Biology of the Cell (4th ed.).
New York: Gartand Science.
Baratawidjaja, K.G., & Rengganis, I. (2006). Imunologi Dasar (9th ed.). Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Bateman, E.D., Jithoo, A. (2007). Ast