55

Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Prosiding SNFUA Part 1

Citation preview

Page 1: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55
Page 2: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55
Page 3: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

PROSIDING

Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas

(SNFUA)

Padang, 08 Oktober 2015

Editor : Ardian Putra

Mohamad Ali Shafii

Jurusan Fisika Universitas Andalas

Page 4: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 2015 © Ardian Putra ISBN 978-979-25-1955-6 Cetakan Pertama, Oktober 2015 Editor : Ardian Putra, Mohamad Ali Shafii Perancang Sampul : Elistia Liza Namigo Tim Reviewer: Dr. Harmadi Dr. Techn. Marzuki Dr. Mohamad Ali Shafii Dr.rer.nat. Muldarisnur Afdal, M.Si Astuti, M.Si Dian Milvita, M.Si Sri Handani, M.Si Diterbitkan Oleh: Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus Unand Limau Manis, Padang Telp. (0751) 71671, Fax (0751) 73118 HP. 082387463421 Email: [email protected] http://fisika.fmipa.unand.ac.id/

Hak cipta dilindungi undang-undang / All Right Reserved

Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Page 5: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

i

Kata Pengantar Prosiding ini merupakan kumpulan makalah lengkap yang diseminarkan pada acara Seminar

Nasional Fisika (SNFUA) 2015 di Convention Hall, Kampus Universitas Andalas, Limau Manis, Padang pada tanggal 08 Oktober 2015. Isi prosiding ini terdiri dari 48 makalah yang meliputi aspek keilmuan fisika, menyangkut fisika material, fisika bumi, fisikainstrumentasi dan elektronika, fisika nuklir dan radiasi serta fisika teoritik dan komputasi.

Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu terbitnya prosiding ini, semoga berguna bagi perkembangan ilmu fisika.

Padang, 08 Oktober 2015

Editor

Page 6: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

ii

Kata Sambutan Puji Syukur kita ucapkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas 2015 (SNFUA-2015) dapat diterbitkan tepat pada hari pelaksanaan Seminar. SNFUA-2015 dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 8 Oktober 2015 di Convention Hall Universitas Andalas, Padang. Sebagai pelaksana acara yaitu Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas. Dengan tema yang diangkat pada seminar kali ini adalah “Aktualisasi Ilmu Fisika untuk Kejayaan Bangsa”.

Seminar ini diselenggarakan sekali 2 tahun sebagai media diskusi dan pertemuan yang lebih intensif antar praktisi bidang fisika sebagai ajang pertukaran informasi agar dapat menjalin kerjasama untuk percepatan pengembangan dan kemajuan bangsa. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) khususnya FISIKA perlu terus disinergikan diantara semua stake holder baik itu peneliti, industri maupun institusi yang terkait agar potensi yang ada dapat dikembangkan dan diimplementasikan yang akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan serta penelitian di Indonesia.

Prosiding ini memuat karya tulis dari berbagai hasil penelitian bidang ilmu Fisika. Ada 5 bidang ilmu fisika yang terhimpun pada prosiding ini, yaitu: Fisika Material, Fisika Bumi, Fisika Instrumentasi-Elektronika, Fisika Nuklir dan Fisika Teori-Komputasi. Makalah tersebut berasal dari berbagai Universitas di Indonesia.

Semoga penerbitan prosiding ini dapat menjadi cikal bakal ide penelitian yang lebih besar di masa mendatang. Akhir kata kepada semua pihak yang telah membantu, kami ucapkan terimakasih.

Padang, 08 Oktober 2015

Panitia

Page 7: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

iii

Daftar Isi Kata Pengantar ............................................................................................................................ i

Kata Sambutan ........................................................................................................................... ii

Daftar Isi ................................................................................................................................... iii

Peran Ilmu Fisika Dalam Inovasi Fiber Optic Sensor Untuk Instrumentasi Kebencanaan Bambang Widiyatmoko, Andi Setiono, Dwi Hanto................................................................. 1

Nanofotonik: Mengontrol Interaksi Antara Cahaya – Bahan Pada Skala Nano Muldarisnur ............................................................................................................................. 9

Penentuan Senyawa – Senyawa Kimia dari Berbagai Macam Cangkang Telur Menggunakan Fourier Transformation Infra Red (FTIR) Elda Rayhana, Musfirah Cahya Fajrah, Ramdani Nuzul .....................................................22

Sifat Elektrokimia Superkapasitor Menggunakan Metode Charge Discharge Untuk Elektroda Karbon Dari Kayu Karet E. Taer, Zulkifli, R. Syech, R. Taslim .....................................................................................28

Karakterisasi I-V Sensor Gas Liquefied Petroleum Gas (LPG) Dari Bahan Semikonduktor CuO Didoping TiO2 Elvaswer, Essy Puspa Zelvia ...................................................................................................32

Karakteristik Mekanik Beton Polimer Yang Difabrikasikan Menggunakan Batu Apung Dan Limbah Padat Benang Karet Dengan Pengikat Alami (Natural Binder) Poliuretan Fauzi, Tamrin, Anwar Dharma Sembiring, Riduan Sani ......................................................39

Sintesis Nanopartikel Silika Dari Pasir Pantai Purus Padang Sumatera Barat Dengan Metode Kopresipitasi Rahma Hayati .........................................................................................................................46

Pengaruh Penambahan Gula Jagung Terhadap Sifat Mekanik Dan Biodegradabilitas Plastik Campuran Polypropylene Bekas Dan Pati Sagu Sri Mulyadi Dt.Basa, Maria Elvi Hutagalung ........................................................................52

Analisis Model Matematika Sistem Getaran Mekanik Satu Derajat Kebebasan Untuk Menentukan Kestabilan Pergerakan Suspensi Rusmanto Dwi Saputra, Novizal, Amir ..................................................................................59

Sintesis Dye dari Rimpang Kunyit, Akar Beet dan Daun Pandan serta Campuranya untuk aplikasi Dye Sensitized Solar Cells(DSSC) Dahyunir Dahlan, Tjiauw Siaw Leng .....................................................................................67

Efek Waktu Wet Milling dan Suhu Annealing Terhadap Sifat Fisis, Mikrostruktur dan Magnet Dari Flakes NdFeB Wahyu Solafide Sipahutar, Awan Maghfirah, Prijo Sardjono ..............................................72

Efek Temperatur Sintering pada Ukuran Kristal dan Konstanta Dielektrik Material Ferroelektrik Barium Titanat Y.Iriani, A.Supriyanto, A.Jamaluddin, M.Istiqomah ............................................................80

Page 8: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

iv

Penentuan Nilai Suseptibilitas Magnetik Pasir Besi Pantai Pariaman Sumatra Barat Dengan Menggunakan Magnetic Probe Pasco 2126 Erwin, Usman Malik dan Amril Fahmi ................................................................................. 86

Pengaruh Substitusi Agregat KAsar dengan Serat Ampas Tebu Terhadap Kuat Tekan dan Kuat Lentur Beton K-350 Menggunakan Semen Portland Komposit Ayu Sucia Rahmi, Sri Handani, Sri Mulyadi ......................................................................... 91

Pengaruh Suhu Pengaktivan CO2 Terhadap Luas Permukaan Elektroda Karbon Dan Sifat Kapasitan Sel Superkapasitor Dari Kayu Karet E. Taer, W. S. Mustika, Zulkifli, I.D.M. Syam, Rika Taslim ................................................ 96

Ukuran Kristal Zat Besi (Fe) Semangka Tanpa Biji (Quality) Melalui Perhitungan Scherer dari X-Ray Difraction Musfirah Cahya Fajrah ........................................................................................................ 101

Studi Awal Pemanfaatan Arang Tempurung Kelapa Produksi Petani Sebagai Adsorben Ion Besi Pada Air Sumur Warga Dikota Dumai Rika Taslim, Ade Putra Pratama, Erman Taer .................................................................. 106

Model Kecepatan Lokal Gelombang P Satu Dimensi Wilayah Toba Dimas Salomo J. Sianipar, Furqon Dawam Raharjo .......................................................... 110

Estimasi Temperatur Reservoir Panas Bumi Berdasarkan Resistivitas Listrik Teras Silika di Sekitar Mata Air Panas Kecamatan Alam Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan Eko Budi Nugroho, Ardian Putra ........................................................................................ 117

Estimasi Nilai Percepatan Tanah Maksimum Di Sumatera Barat Dan Bengkulu Berdasarkan Skenario Gempa Bumi Di Wilayah Pagai Dengan Menggunakan Rumusan Si Dan Midorikawa 1999 Denisa Syafriana, Dwi Pujiastuti, Andiyansyah Z.Sabarani ............................................... 122

Anomali Temperatur Dan Awan Gempa Yang Mengiringi Gempa Nepal 2015 Marzuki ................................................................................................................................. 132

Prediksi Kedalaman Akuifer Bebas Rata-Rata Studi Kasus Kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru Juandi M., Rofeah, Defrianto ............................................................................................... 138

Karakteristik Osilasi Curah Hujan di Sumatera Barat Berdasarkan Transformasi Wavelet Poltak Sandro Rumahorbo, Marzuki ................................................................................... 143

Studi Variasi Spasial Seismotektonik Untuk Mengetahui Kondisi Stress Lokal Tektonik dan Tingkat Aktivitas Kegempaan Disumatera Barat Dan Sekitarnya Furqon Dawam Raharjo, Rahmat Triyono ......................................................................... 150

Perbandingan Variasi Diurnal Distribusi Ukuran Butiran Hujan di Padang dan Di Kototabang Rio Chandra, Marzuki, Mutya Vonnisa, Hiroyuki Hashiguchi........................................... 158

Analisis Parameter Fisis Kolektor Biomassa Sebagai Pengering Kerupuk Singkong Juandi M., Eka Afriyani, Salomo ......................................................................................... 164

Pemetaan Tingkat Bahaya Gempabumi Berdasarkan Karakteristik Dinamika Tanah Respon Data Mikrotremor Kota Padang, Sumatera Barat Saaduddin, Sismanto, Marjiyono ......................................................................................... 170

Page 9: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

v

Pengamatan Mikrofisika Hujan Menggunakan Dual Frekuensi Radar Dan Joss-Disdrometer MutyaVonnisa ....................................................................................................................... 179

Statistik Worst Month Curah Hujan Kototabang Marzuki ................................................................................................................................. 184

Pembuatan LVDT Weigh Cell untuk Pengukuran Berat Sebagai Kontrol Sistem Pengisian Erwinsyah Satria ................................................................................................................... 189

Rancang Bangun Sistem Kendali Robot Tangan Menggunakan Bluetooth Berbasis Mikrokontroler ATmega8535 Afridanil, Wildian ................................................................................................................. 198

Karakterisasi Elektroda Biochip-G IMOLA-IVD Menggunakan Larutan Phospate Buffer Saline Sebagai Sensor pO2 Pada Deteksi Pencemaran Air Lazuardi Umar, Valendry Harvenda, Joachim Wiest ......................................................... 206

Pengembangan Alat Uji Otomatis Karakteristik Dioda dan PTC Berbasis Mikrokontroler ATmega8A Yanuar Hamzah, Rahmondia N. Setiadi, Lazuardi Umar .................................................. 210

Rancang Bangun Magnetic Stirrer Berbasis Mikrokontroler AT89S52 Dengan Lama Pengadukan Ditentukan Melalui Keypad Wildian, Meqorry Yusfi, Hariza Faisal ................................................................................ 218

Rancang Bangun Alat Ukur Laju Pernapasan Manusia Berbasis Mikrokontroler ATmega8535 Wendi Era Sonata, Wildian .................................................................................................. 225

Sensor Planar Induktif Berbasis Bahan PCB FR-4 Untuk Pengukuran Jarak Kecil Usman Malik, Rahmondia N. Setiadi, Lazuardi Umar ........................................................ 232

Rancang Bangun Sistem Peningkat Kadar O2 dalam Ruang Dengan Memanfaatkan Proses Elektrolisis Meqorry Yusfi, Amirsyah, Derisma ..................................................................................... 241

Pemodelan Kurva I(V) Normal Light dan Dark Current Modul PV Untuk Menentukan Unjuk Kerja Solar Sel Lazuardi Umar, Yanuar, Rahmondia N. Setiadi ................................................................. 248

Penentuan Efektivitas Penahan Radiasi dan Evaluasi Desain Ruang Instalasi Radioterapi RSUP Dr. M Djamil Padang Berdasarkan Safety Reports Series (Srs) Iaea No. 47 Dian Milvita, Imam Taufiq, Nunung Nuraeni, Helfi Yuliati, Suryawati Arifin .................. 253

Analisis Neutronik Lead-Bismuth Cooled Fast Reactor (LFR) Berdasarkan Variasi Daya Keluaran Cici Rahmadya Guskha, Mohammad Ali Shafii, Feriska Handayani Irka, Zaki Su’ud .... 258

Analisis Neutronik Gas Cooled Fast Reactor (GCFR) Menggunakan Uranium Alam Dengan Variasi Shuffling Region Arah Radial Feriska Handayani Irka, Zaki Su’ud ................................................................................... 264

Page 10: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

vi

Analisis Biodistribusi Tc99m Perteknetat Pada Kelenjar Tiroid dan Kelenjar Ludah Pasien Struma Uni Nodosa dan Struma Multi Nodosa Fandi Aulia Ilham, Dian Milvita, Fadil Nasir, Chavied Varuna ......................................... 273

Perhitungan Matriks Collision Probability Dalam Sel Bahan Bakar Nuklir Berbentuk Silinder Mohammad Ali Shafii ........................................................................................................... 279

Penentuan Uptake Tiroid Dari Tc99m Perteknetat (In Vivo) Dan Uji Hormon Tiroid (In Vitro) Pada Pasien Hipertiroid Silvia Eka Putri, Dian Milvita, Fadhil Nazir, Chavied Varuna ........................................... 284

Perhitungan Nilai Kisi Kristal Hexagonal Berdasarkan Pola Difraksi Sinar-X Meggunakan Sub Routine Bisection Erwin, Defrianto, Adhy Pryayitno, Fikri Aldi ..................................................................... 288

Analisis Dan Visualisasi Gerak Triple Pendulum Nonlinier Menggunakan Mathematica 10 Russell, Tua Raja Simbolon, Mester Sitepu ......................................................................... 294

Model Distribusi Panas Saluran Gas Buangan Kendaraan Untuk Optimalisasi Elemen Peltier Sebagai Generator Termal Walfred Tambunan, Defrianto, Yanuar Hamzah, Lazuardi Umar .................................... 299

Ketergantungan Karakteristik I-V Molekul DNA PolyG-PolyC pada Frekuensi Getar Gerak Memutar Pasangan Basa Efta Yudiarsah ...................................................................................................................... 305

Page 11: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

1

PERAN ILMU FISIKA DALAM INOVASI FIBER OPTIC SENSOR UNTUK INSTRUMENTASI KEBENCANAAN

Bambang Widiyatmoko, Andi Setiono, Dwi Hanto Grup Terahertz Photonics, Pusat Penelitian Fisika

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Kawasan PUSPIPTEK Serpong Gd. 442, Tangerang Selatan, Banten

e-Mail: [email protected]

ABSTRAK Perkembangan teknologi telah mampu memberi kenyamanan bagi kehidupan manusia dimana Ilmu fisika merupakan salah satu ilmu penting dalam pengembangan teknologi maju. Dalam makalah ini dipaparkan bagaimana prinsip prinsip dan pemahaman fisika sederhana digunakan untuk pengembangan sensor fiber optik dalam pengembangan instrumentasi kebencanaan. Beberapa sensor optik yang dikembangan adalah extenso meter optik dan sensor berat kendaraan untuk sistem Weight in Motion (WIM). Sensor extenso dan sensor berat kendaraan dikembangkan dengan prinsip adanya macro dan micro bending loss pada fiber optik.. Micro dan makro bending loss secara fisis terjadi apabila cahaya laser dalam pejalarannya didalam fber optik mendapat gangguan dari deformasi microoptis akibat tekanan ke permukaan yang tidak rata yang menyebabkan terjadi rugi rugi transmisi. Gangguan dari luar dapat berupa tekanan, lengkungan maupun tarikan. Extensometer optik menggunkan rugi rugi transmini akibat perubahan lengungan dari fiber optik dapat mendeteksi pergerakan tanah sampai orde 15 cm dengan ketelitian 0,2 mm. Sensor berat kendaraan dikembangkan dengan membuat jajaran kawat dengan jarak tertentu dan menumpangkan fiber diatasnya sehingga akan menyebabkan loss transmisi bila tertekan kendaraan. Dari hasil pengujian awal, sensor yang dibuat mampu mendeteksi berat beban berjalan sampai dengan 2500 N, ekivalen dengan berat 250 kg. Kata kunci : Fiber optics, micro bending loss, laser diode, wieight in motion, kebencanaan.

I. PENDAHULUAN Di abad sekarang penguasaan teknologi dijadikan kriteria utama kemajuan suatu negara.

Banyak bukti yang memperlihatkan bahwa beberapa negara menjadi negara maju dengan teknologi dan inovasinya. Inovasi teknologi canggih dapat tercipta dari penguasaan ilmu ilmu dasar. Namun demikian, kebanyakan masyarakat melihat ilmu dasar sulit untuk dicerna dan sulit membayangkan apalikasi langsung. Hal ini bisa dimaklumi karena pada prinsipnya Ilmu dasar khususnya Fisika berperan tidak langsung atau sebagai pendukung untuk kemajuan teknologi. Beberapa negara maju sangat mendorong penguasaan ilmu dasar fisika karena tidak ada teknologi atau inovasi teknologi yang dihasilkan tanpa berhubungan dengan prinsip prinsip ilmu dasar. Perlu disadari bahwa tanpa penguatan inovasi nasional maka bangsa ini akan selalu menjadi bangsa “pengguna teknologi” dan bukan bangsa “penghasil teknologi. Inovasi akan muncul dan berkembang bila didasarkan pemikiran ilmiah, dimana fakta ilmiah menjadi hal utama dalam pengambilan keputusan

Dalam tulisan ini direview hasil hasil penelitian yang dilakukan dengan prinsip prinsip fisika sederhana untuk menghasilkan sensor sensor optik untuk deteksi pergerakan tanah maupun berat kendaraan yang dilakukan di group THz-Photonics LIPI

II. FIBER OPTICS Phenomena penjalaran cahaya telah di teliti sejak beberapa abat yang lalu. Kenyataan bahwa

cahaya dapat dibelokkan pertama diamati dengan percobaan sederhana menggunakan pancaran air dari tabung yang menunjukkan bahwa cahaya mengikuti pola aliran air. Perkembangan berikutnya dengan ditemukannya hukum fisika sederhana namun mempunyai dampak luar yaitu hukum Snellius .

Hukum Snellius [1] (disadur dari Wekipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Snellius) adalah rumus matematika yang memberikan hubungan antara sudut datang dan sudut bias pada cahaya atau gelombang lainnya yang melalui batas antara dua medium isotropik berbeda, seperti udara dan gelas. Hukum ini menyebutkan bahwa “nisbah sinus sudut datang dan sudut bias adalah konstan, yang tergantung pada medium (indek bias medium). Perumusan lain yang ekivalen adalah nisbah sudut datang dan sudut bias sama dengan nisbah kecepatan cahaya pada kedua medium, yang sama dengan kebalikan nisbah indeks bias.

Perumusan matematis hukum Snellius adalah

Page 12: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

2

(1)

atau

(2) Atau dalam bentuk lain dituliskan

(3) Lambang θ1,θ2 merujuk pada sudut datang dan sudut bias, v1 dan v2 pada kecepatan cahaya

sinar datang dan sinar bias. Lambang n1 merujuk pada indeks bias medium yang dilalui sinar datang, sedangkan n2 adalah indeks bias medium yang dilalui sinar bias..

Namun pemikiran INOVATIF mengenai rumus tersebut memberi kesimpulan bahwa apabila beda antara indek bias satu (n1) dan indek bias dua (n2) tidak terlalu besar, maka akan ada sudut datang maksimum dimana cahaya yang datang tidak lagi di biaskan melainkan dipantulkan dengan sempurna. Sudut ini disebut sudut kritis, seperti tergambar pada gambar 1. Prinsip inilah yang dipakai dalam pembuatan serat optik [2]. Di sunting dari (http://en.wikipedia.org/wiki/Optical_fiber# Total_internal_reflection)

(a)

(b) Gambar 1. Gambaran Total reflection (a) dan gambaran Percobaan (b)

Adanya sudut kritis inilah yang menjadi inspirasi dalam pembuatan Fiber Optik setengah abat yang lalu dan telah merubah arah teknologi komunikasi. Serat optik (optical fibre/fiber optic) merupakan pemandu gelombang (cahaya) yang bekerja berdasarkan efek pantulan sempurna. Efek ini terjadi karena adanya perbedaan indek bias material inti serat (core) dan pembungkusnya (cladding). Serat optik terdiri dari inti (core) dan pembungkus (cladding) seperti ditunjukkan dalam Gambar 2a dan model perambatan cahaya ditunjukkan dalam Gambar 2b. Cahaya merambat di dalam serat optik karena dipantulkan dengan sempurna pada batas antar core dan cladding. Dalam perambatannya, cahaya dapat mengalami pengurangan daya (loss) akibat adanya penyerapan oleh material serat, hamburan dan adanya lengkungan (bending); sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.

(a)

(b) Gambar 2. Skematin fiber optics (a) dan perambatan cahaya dalam fiber (b).

Page 13: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

3

Saat ini Fiber optic adalah media komunikasi data yang berkonstribusi besar dalam perkembangan internet maupun komunikasi lain. Banyak diantara kita tidak menyadari bahwa dibalik kemudahan kita berkomunikasi dengan handphone, sesungguhnya komunikasi fiber optiklah yang memegang peranan penting khususnya komunikasi jarak jauh.

III. PEMAKAIN FIBER OPTIK SEBAGAI SENSOR PERGESERAN Saat ini fiber optik telah menjadi teknologi kunci dalam komunikasi setelah era komunikasi

microwave. Disisi lain fiber optik juga dapat dipakai sebagai sensor fisis karena beberapa prinsip dasar penjalaran cahaya didalam serat. Contoh yang saat ini dikembangkan adalah sensor pergeseran tanah atau extensometer dan sensor berat beban kendaraan. Serat optik (optical fibre/fiber optic) merupakan pandu gelombang (cahaya) yang bekerja didasarkan adanya efek pantulan sempurna oleh karena adanya perbedaan indek bias material. Dalam perambatannya cahaya mengalami pengurangan daya (loss ) akibat adanya penyerapan oleh material fiber hamburan dan adanya lengkungan (bending); sebagaimana ditunjukkan pada gambar 3.. Rugi rugi ( loss) semacam ini dalam komunikasi serat optik sangat merugikan. Namun dari sisi lain fenomena ini dapat dimanfaatkan sebagai sensor pergeseran dan dapat digunakan sebagai extensometer maupun sensor lain.

Bila P(0) adalah daya optis sebelum serat dilengkungkan maka besarnya daya yang keluar dari serat optik yang dilengkungkan sepanjang L adalah [7]:

LePLP )0()( (4) dengan menyatakan koefisien rugi untuk serat optik ragam tunggal jenis step index yang nilainya dapat didekati oleh persamaan berikut [8]

Gambar 3 Beberapa penyebab adanya loss dalam fiber [6].

2

3

21

2/32

2

3

4exp

)(2 V

WR

WKWV

U

RC

C

(5)

dengan: : jari-jari inti serat

RC: jari-jari lengkungan serat : parameter beda indeks bias inti dan selubung serat

K1(W): fungsi Bessel orde pertama untuk nilai W; yang mana W, U, dan V merupakan parameter-parameter serat optik ragam tunggal.

Persamaan (4) dapat disederhanakan penulisannya menjadi:

CRCeC 21

(6)

dengan C1 dan C2 merupakan konstanta yang terkait dengan parameter-parameter serat optik dan nilainya merupakan fungsi panjang-gelombang (besarnya rugi akibat lengkungan untuk cahaya pada panjang-gelombang 1500 nm lebih besar daripada yang pada panjang-gelombang 1300 nm berdasarkan persamaan-persamaan di atas).

Umumnya besarnya nilai rugi dinyatakan dalam satuan desibel (dB), maka dalam hal ini:

Rugi = - 10 log P(L)/P(0) = - 10 log e- L = 4.34 L [dB] (7)

Page 14: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

4

Sebagai illustrasi, hasil perhitungan MS Excel menggunakan persamaan-persamaan 9 untuk menghitung besarnya rugi lengkungan serat optik ragam tunggal dengan parameter-parameter: = 0,003, nco = 1, 47, = 3.63 m, V = 2, U = 1.528, dan K1(W) = 0.378 yang dililitkan (a) 100 kali lilitan dengan RC = 10 cm akan menghasilkan rugi rugi 2,32E-20 dan (b) 1 kali lilitan dengan RC = 1 cm akan menghasilkan rugi rugi 9,55E+00, untuk cahaya dengan panjang-gelombang = 1300 nm. [disadur dari laporan sinas 2013]

Dari contoh perhitungan terlihat bahwa bila serat optik tersebut digulung 100 kali dengan jari-jari lilitan 10 cm maka ruginya dapat diabaikan (orde pangkat minus dua puluh desibel). Namun, bila dililitkan sekali saja dengan jari-jari 1 cm maka rugi akibat lengkungannya adalah hampir 10 dB atau 1/10 bagiannya hilang.

Dari hal tersebut diatas maka muncul sebuah inovasi baru yaitu extensometer berbasis serat optik seperti ditunjukan dalam blok diagram gambar 4.

Gambar 4. Blok diagram sistem ekstensometer optis.

System ini telah dibuat dan diujicobakan dilapangan, dimana menunjukan hasil yang cukup baik. Ini berarti dengan prinsip sederhana dapat dipakai sebagai landasan untuk menciptakan inovasi teknologi seperti digambarkan dalam photo di gambar 5.

(a) Konstruksi extensometer fiber optik

(b) Gambar 5. Pemasangan Sensor pergeseran berbasis serat optic di lapangan.[ laporan kompetitif

LIPI]

Page 15: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

5

IV. SENSOR BERAT KENDARAAN UNTUK SISTEM WIM Beberapa kejadian kecelakaan darat maupun laut disebabkan oleh kelebihan baban

kendaraan. Kondisi ini dapat mengakibatkan jalan rusak, jembatan roboh sampai tengelamnya kapal. Untuk itu informasi beban kendaraan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk mengantisipasi kejadian tersebut. Salah satu teknologi untuk mendukung keamanan dan keselamatan transportasi adalah teknologi monitoring atau pengontrolan berat moda transportasi. Untuk itulah dikembangkan Penelitian tentang sensor berat kendaraan tanpa berhenti berbasis serat optik dengan memanfaatkan fenomena optical fiber microbending. Prinsip utama dari sensor ini adalah apabila suatu serat optik berada dalam kondisi terjepit atau tertindih suatu beban maka di dalam serat optik tersebut akan terjadi perubahan penjalaran cahaya yang mengakibatkan terjadi loss atau rugi-rugi transmisi cahaya. Rugi-rugi ini bersesuaian dengan berat beban yang menimpanya sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi berat suatu muatan. Beberapa kelebihan sensor berbasis serat optik adalah akurasi tinggi, memiliki noise rendah dan tidak terganggu interferensi elektromagnetik, sehingga sangat cocok untuk pemantauan jarak jauh. Dengan mengadopsi teknologi Weight in Motion (WIM) maka pengukuran berat kendaraan dapat dilakukan secara berjalan atau tanpa harus menghentikan kendaraan yang akan diukur.

Microbending loss terjadi apabila serat optik tertekan pada suatu permukaan yang tidak rata sehingga terjadi deformasi mikroskopis pada serat yang memungkinkan sebagian cahaya di dalam serat akan lolos ke luar serat, sebagaimana terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Rugi akibat microbending pada serat optik.

Nilai koefisien rugi akibat microbending pada serat optik ragam tunggal dapat didekati dengan persamaan berikut [6]:

ppAk 420

22 (8)

dengan A: konstanta terkait parameter-parameter serat, k = 2dan p: spektrum dari lengkungan-lengkungan acak yang berdasarkan percobaan nilai p ~ 4 . Adapun adalah parameter serat yang lazim disebut sebagai spotsize (ukuran noktah).

Pada penggunaan serat optik sebagai sensor berdasarkan prinsip microbending, umumnya digunakan serat optik ragam jamak yang diletakkan di antara struktur bergerigi dengan perioda seperti Gambar 7. Berdasarkan teori penggandengan ragam (coupled mode theory), ragam-ragam cahaya yang merambat didalam serat akan tergandengkan bila ada perubahan bentuk serat dengan perioda yang memenuhi persamaan berikut [7]:

2

(9)

Gambar 7. Struktur sensor serat optik berdasarkan prinsip microbending [2].

Untuk serat optik ragam jamak dengan profil indeks bias parabolis, jarak antar ragam cahaya adalah tetap dan dapat dinyatakan oleh persamaan berikut [3]:

2/12

(10)

Page 16: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

6

Sebagai illustrasi, untuk serat optik ragam jamak dengan m dan = 0.02, maka = 2 mm-1 sehingga perioda gerigi = 3.14 mm merupakan nilai optimum agar terjadi penggandengan ragam cahaya untuk lolos keluar dari serat .

Pada aplikasi serat optik untuk sistem komunikasi, rugi-rugi akibat lengkungan ini harus dihindari atau diminimalisir. Namun dalam sistem sensor berbasis serat optik, rugi-rugi ini justru dimanfaatkan, yakni dengan mengukur besarnya rugi yang terjadi akibat besaran fisis yang dialami oleh serat. Dengan mengukur perubahan rugi-rugi intensitas, maka nilai besaran fisis tersebut dapat ditentukan.

Gambar 8 menunjukkan deskripsi secara visual mengenai kontruksi sensor berat menggunakan serat optik [8]. Dalam aplikasi ini, diperlukan bending modulator untuk memperoleh ”keadaan mikrobending” pada serat optik. Material elastis berfungsi untuk melindungi serat optik sekaligus menjadi faktor penentu jangkauan pengukuran berat. Sedangkan pelat berfungsi untuk menjaga stabilitas kerataan bending modulator. Ketika terdapat suatu beban di atas sensor, maka berat beban tersebut akan memicu bending modulator untuk menekan serat optik.

Gambar 8. Konstruksi sensor berat muatan serat optik

Sensor berat berbasis serat optik merupakan bagian dari skema pengukuran berat seperti terlihat di dalam blok diagram pada Gambar 9. Blok diagram ini menggambarkan alur rambatan cahaya di dalam serat optik, konversi cahaya menjadi sinyal listrik, dan pengolahan sinyal listrik oleh komputer. Cahaya laser dioda dengan panjang gelombang 1600 nm dilewatkan ke dalam sensor serat optik kemudian dimasukkan ke dalam fotodetektor. Di dalam fotodetektor terjadi proses konversi cahaya menjadi sinyal listrik. Sinyal listrik ini kemudian dikuatkan dengan amplifier sebelum masuk ke data akuisisi. Sinyal analog keluaran dari sistem penguat (amplifier) diubah menjadi sinyal digital oleh data akuisisi (A/D converter). Selanjutnya sinyal digital dikirim ke komputer untuk diolah menjadi data yang merepresentasikan perubahan tekanan/berat yang dialami serat optik.

Gambar 9. Blok diagram sistem pengukuran berat muatan menggunakan sensor serat optik

Ujicoba sensor dilakukan dengan menaruh sensor di jalan (gambar 10) dan digunakan sepedamotor dan mobil minibus sebagai beban. Tahap berikutnya adalah melintaskan kendaraan di atas sensor. Kendaraan berupa motor Honda Mega-Pro dan mobil Toyota Avanza seperti terlihat pada Gambar 11. Untuk pengujian dengan mobil, sensor dilintasi oleh roda depan dan belakang pada salah satu sisi mobil.

Gambar 10. Pembuatan lubang sensor.

Pelat Modulator bending Serat optik

Material elastis

Laser Dioda Sensor FO

Fotodetektor Amplifier

Data Akuisisi Komputer

Page 17: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

7

Gambar 11. Pengujian sensor menggunakan kendaraan motor dan mobil.

Data yang dibaca berupa perubahan tegangan keluaran terhadap perubahan berat kendaraan. Parameter yang diperhatikan dalam pengujian ini adalah kapasitas maksimal berat kendaraan yang dapat dideteksi. Hasil pembacaan berat motor dan mobil masing-masing ditunjukkan pada Gambar 12a dan 12b. Dari hasil tersebut terlihat bahwa sistem sensor mampu membedakan respon yang berbeda untuk dua jenis kendaraan yang berbeda. Respon ini berkaitan dengan rugi-rugi daya akibat proses mikrobending oleh sepeda motor lebih kecil dan mobil. Besar kecilnya rugi-rugi daya ini ditentukan oleh diameter lengkungan serat optik yang dipengaruhi gaya tekan bending modulator.

Jangkauan pengukuran suatu sensor serat optik berdasarkan prinsip sangat mengandalkan elastisitas dari serat optik yang digunakan. Batas elastisitas (karakteristik propertis) serat optik menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi batas maksimum pengkuran sensor. Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan, batas maksimum pengukuran sensor yang dibuat adalah 250 kg (~2500 N), ekivalen dengan gaya tekan 1 roda mobil Avanza.

(a)

(b)

Gambar 12. Hasil pembacaan sensor terhadap beban motor (a) dan beban mobil (b).

Page 18: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

8

Selain karakteristik propertis dari serat optik, faktor lain yang mempengaruhi jangkauan pengukuran sensor adalah elastisitas material peredam pada sistem sensor serat optik. Material elastis berperan seperti pegas dimana didalamnya terjadi gaya aksi reaksi yang berfungsi sebagai reducer tekanan beban kepada sensor sekaligus dapat dimanfaatkan untuk perlindungan serat optik. Dengan mengatur koefisien elastisitas material ini maka dapat diatur kapasitas atau jangkauan pengukuran sensor.

V. KESIMPULAN Ilmu fisika sebagai ilmu dasar telah banyak berkonstribusidalam penciptaan teknologi.

Rumus rumus sederhana juga telah memberi inspirasi terciptanya inovasi teknologi. Dengan konsep fisika sederhana telah dibuat sensor optik yaitu sesnsor kergeseran tanah dan sensor beban kendaraan. Kedua sensor telah diujicoba dan menunjukan hasil sesuai dengan perhitungan teori. Untuk sensor WIM, pengujian sensor telah dilakukan dan memberikan hasil yang relatif baik sampai range beban ~250 kg. Perbaikan dan penyempurnaan sistem deteksi ini harus terus dilakukan sehingga pengujian sistem di jalan raya dapat direalisasikan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Wekipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Snellius) 2. E. Mutafungwa, “Lecture I:Introduction of Fiber Optics Communications,” University of

Technology, 1999. 3. G. C. Constantin, G. Perrone, S. Abrate, N. N. Puscas, “Fabrication and characterization of low-

cost polarimetric fiber-optic pressure sensor”, Journal of Optoelectronics and Advanced Materials, Vol. 8, No. 4, August 2006, p. 1635 – 1638, Technical Note.

4. Ramesh B. Malla, Amlan Sen and Norman, “A Special Fiber Optic Sensor for Measuring Wheel Loads of Vehicles on Highways”, Sensors 2008, 8, 2551-2568, www.mdpi.org/sensors.

5. Abacus Optical Mechanical Fiber Optic Sensors,home.earthlink.net/~abacus1/abacus/ 6. Robert K. Abercrombie, “Next Generation Weigh-in-Motion (WIM): Enhancing Weighing and

Measuring of Military Vehicles/Cargo”, 3rd Annual Meeting Lightweight Materials for Defence, Institute for Defence and Government Advancement, Arlington VA, 1 March 2005.

7. Setiono, A., Hanto, D., dan Widiyatmoko, B., (2013), Investigasi Sensor Serat Optik untuk Aplikasi Sistem Pengukuran Berat Beban Berjalan (Weight in Motion System), TELAAH Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Volume 31 (1), 81-86.

8. G. C. Constantin, G. Perrone, S. Abrate, N. N. Puscas, “Fabrication and characterization of low-cost polarimetric fiber-optic pressure sensor”, Journal of Optoelectronics and Advanced Materials, Vol. 8, No. 4, August 2006, p. 1635 – 1638, Technical Note.

9. Abacus Optical Mechanical Fiber Optic Sensors, home.earthlink.net/~abacus1/abacu 10. Bambang Widiyatmoko, Prabowo Puranto and Zainal Akbar, “Development of the Fabry Perot

Tunable Filter Based Optical Component Analyzer and Optical Spectrum Analyzer”, Proceeding Asian Physics Symposium (APS 2007), ITB Bandung.

11. Setiono, Andi., Hanto, Dwi., Widiyatmoko, Bambang., Budi Waluyo, Budi., “Kajian Penerapan Konsep Impuls untuk Menghitung Berat Kendaraan Berjalan Menggunakan Sensor Serat Optik”, Prosiding Seminar Nasional Fisika, Semarang 8 Juni 2013. ISBN:978-602-8047-80-7

12. Hanto, Dwi., Al Kindi, Cindy, Setiono, Andi., Widiyatmoko, B., Analisa Pengaruh Mikrobending untuk Aplikasi pada Sensor Beban Berbasis Serat Optik, 2013, Prosiding Seminar Nasional Fisika, Semarang 8 Juni 2013. ISBN:978-602-8047-80-7.

13. Hanto, Dwi., Hervina Sari, Dessy, Setiono, Andi., Widiyatmoko, B., Rencana Alat Timbang Berbasis Serat Optik Mikrobending Menggunakan Mikrokontroler Atmega32”, 2013, Prosiding Seminar Nasional Fisika, Semarang 8 Juni 2013. ISBN:978-602-8047-80-7.

14. Bin, Ma and Xinguo, Zou., Study of Vehicle Weight-In-motion System Based on Fiber-optic Microbend Sensor, 2010. International Conference on Intelligent Computation Technology and Automation.

15. Taek Kwon and Bibhu Aryal, Development of a PC-Based Eight-Channel WIM System, 2007, Final Report from Minnesota Department of Transportation Research Services Section.

Page 19: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

9

NANOFOTONIK: MENGONTROL INTERAKSI ANTARA CAHAYA – BAHAN PADA SKALA NANO

Muldarisnur

1Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Limau Manis Padang 25163, Sumatera Barat, Indonesia

e-mail: [email protected]

ABSTRACT Light is one of the first thing man perceives in his life. Therefore, it is not surprising that detecting, controlling, and guiding light become one of the biggest achievements of sciences. Many daily equipment and devices (e.g. telescopes, microscopes, spectrometers, sensors, and optical fibers) have been developed based on the ability to control and guide light by employing reflection, refraction, diffraction, scattering, and absorption. Nowadays, there is a strong interest on how to control and manipulate light at the nanoscale level. The interest is driven not only by the scientific curiosity but also by the need of superior (i.e. small, less energy consumption, and fast) optical devices. There are three sub-fields of research in nanophotonics namely photonic crystals, plasmonics, and metamaterials that concern about the engineering of light ‒ matter interactions at the nanoscale. In this seminar, I will try to describe some key concepts while putting more weight on my own works in the field of nanophotonics. Keywords: Nanophotonics, photonic crystals, opals, plasmonics, metamaterials, surface plasmons, metasurfaces

I. PENDAHULUAN Nanofotonik dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mengkaji cara mengontrol

cahaya dan interaksi antara cahaya dan bahan pada skala ukuran sama atau lebih kecil dari panjang gelombang cahaya.[1] Pada skala nano, interaksi antara cahaya dan bahan tidak hanya bergantung pada sifat fisika dan kimia bahan tapi juga pada distribusi spasial bahan. Interaksi cahaya dan bahan yang dimaksud mencakup: pemusatan, propagasi, pemanduan, lokalisasi, emisi, hamburan, dan absorpsi cahaya oleh bahan.

Ada tiga area riset nanofotonik yang berkembang pesat selama 20 tahun terakhir, yaitu: kristal fotonik, plasmonik, dan metamaterial. Riset tentang kristal fotonik berkaitan dengan cara mengontrol propagasi, pemanduan, lokalisasi, dan emisi cahaya dengan menggunakan bahan dielektrik yang indeks biasnya (konstanta dielektrik) berubah secara periodik dengan periodisitas dalam orde yang sama dengan panjang gelombang. Riset bidang plasmonik mengkaji propagasi, lokalisasi, hamburan, dan absorpsi cahaya pada skala nano (sub-wavelength) berdasarkan interaksi cahaya dengan elektron bebas di pita konduksi logam. Riset bidang metamaterial mengkaji sifat optik untuk struktur yang terbuat dari susunan meta-atom berukuran jauh lebih kecil dibanding panjang gelombang cahaya. Dengan mendesain geometri dan ukuran meta-atom secara tepat, bahan dengan permitivitas dan permeabilitas yang diinginkan dapat diperoleh.

Nanofotonik telah berkembang pesat selama dua dekade terakhir sebagaimana terlihat pada ribuan paper dipublikasikan setiap tahun. Struktur yang difabrikasi atau disintesis, sifat optik yang diteliti, dan aplikasi yang diajukan sangat beragam sehingga tidak mungkin dapat dicakup dalam satu tulisan atau presentasi. Untuk itu dalam seminar ini akan difokuskan pada riset yang dilakukan penulis dalam ketiga area riset nanofotonik. Detail tentang bagian eksperimen dan interpretasi data dapat ditemukan pada paper yang dirujuk.

II. KRISTAL FOTONIK BERBASIS OPAL (OPAL-BASED PHOTONIC CRYSTALS) Kebutuhan akan sistem komunikasi yang memiliki bandwidth besar dan kecepatan transmisi

tinggi merupakan pendorong utama pengembangan teknologi berbasis serat optik khususnya teknik multiplexing.[2] Teknik ini memungkinkan pengiriman banyak sinyal (data) secara bersamaan melalui satu serat optik. Serat optik menawarkan bandwidth jauh lebih besar dibanding dengan menggunakan kabel koaksial. Disamping itu, interaksi foton sebagai pembawa informasi dengan bahan tidak sekuat elektron sehingga memungkinkan transmisi sinyal dengan kehilangan daya (loss) yang rendah dan pada saat yang sama lebih aman.

Pada awal perkembangannya, sistem komunikasi optik bergantung pada komponen listrik untuk melakukan beberapa fungsi seperti penguatan dan pengarahan (routing) sinyal. Untuk

Page 20: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

10

melakukan fungsi tersebut, sinyal optik terlebih dahulu diubah menjadi sinyal listrik untuk diproses dan kemudian diubah kembali menjadi sinyal optik. Komponen elektronik ini lambat dan tidak mampu bekerja pada frekuensi tinggi sehingga menimbulkan apa yang dikenal dengan “electronic bottleneck”. Hal inilah yang kemudian mendorong pengembangan devais untuk melakukan pengolahan sinyal secara optik sepenuhnya.

Pengolahan sinyal secara optik membutuhkan fungsi devais optik yang terintegrasi sebagaimana pada devais elektronik. Pemanduan gelombang pada serat optik menggunakan prinsip pemantulan internal total sehingga tidak memungkinkan miniaturisasi devais terlalu jauh karena akan meningkatkan losses. Kristal fotonik dipercaya merupakan kandidat ideal yang memungkinkan terealisasinya pengolahan sinyal secara optik sepenuhnya dan pada saat yang sama ukuran devais dapat dibuat lebih kecil.

Kristal fotonik adalah struktur periodik (dalam satu, dua, dan tiga dimensi) yang terbuat dari bahan dengan konstanta dielektrik berbeda dan dengan periodisitas (lattice constant) sebanding dengan panjang gelombang cahaya. Untuk struktur periodik tertentu akan terbentuk rentang energi (atau frekuensi atau panjang gelombang) dimana rapat keadaan foton (density-of-states) sama dengan nol. Rentang ini dikenal sebagai bandgap optik yang muncul karena terjadinya proses interferensi gelombang pada setiap bidang batas antara dua medium yang memiliki konstanta dielektrik berbeda. Keberadaan bandgap mengakibatkan: 1) cahaya dengan frekuensi dalam rentang bandgap tidak dapat merambat di dalam kristal fotonik, dan 2) molekul atau atom tereksitasi yang diletakkan di dalam kristal fotonik tidak dapat melakukan transisi radiatif jika frekuensi cahaya yang akan diemisi berada dalam bandgap. Posisi bandgap tergantung pada periodisitas, simetri struktur kristal, dan kontras konstanta dielektrik. Keberadaan bandgap menunjukkan analogi antara kristal fotonik dengan bahan semikonduktor walaupun secara fundamental keduanya berbeda.

Kemampuan kristal fotonik untuk mengontrol perambatan, lokalisasi, dan emisi foton merupakan „bumbu utama“ untuk realisasi devais fungsional seperti ultra-low-threshold laser, pandu gelombang, pembagi gelombang, serat kristal fotonik, light emitting diode, optical add-drop multiplexer, sensor, dan masih banyak lagi.

Secara umum ada dua pendekatan dalam fabrikasi kristal fotonik, 1) top-down dengan menggunakan teknik litografi, dan 2) bottom-up dengan memanfaatkan kecenderungan alami partikel koloid untuk melakukan self-assembly membentuk opal dalam rangka mencapai keadaan dengan energi minimum. Keberagaman metode fabrikasi menghasilkan banyak tipe kristal baik dari segi dimensi periodisitas maupun simetri struktur kristal. Pendekatan top-down banyak digunakan untuk memfabrikasi kristal fotonik 1D dan 2D, sedangkan self-assembly merupakan pilihan utama untuk fabrikasi kristal fotonik 3D. Self-assembly mudah dilakukan, murah, dapat digunakan untuk partikel koloid dengan berbagai material dan ukuran, dapat digunakan untuk menghasilkan banyak sampel sekaligus.

Terdapat puluhan metode deposisi opal yang diajukan dengan keunggulan dan kelemahan masing-masing.[3] Dalam penelitian ini digunakan capillary deposition method yang dikembangkan sendiri (lihat Gambar 1). CDM memiliki kelebihan dibanding metode deposisi lain diantaranya: 1) ketebalan lapisan tipis opal dapat dikontrol sesuai keinginan tanpa bergantung pada suspensi koloid dan parameter deposisi, 2) permukaan opal rata pada semua bagian lapisan tipis opal, 3) dapat digunakan untuk semua ukuran partikel, 3) lapisan opal yang dihasilkan stabil dan dapat diproses lebih lanjut, 4) proses kristalisasi dan penguapan pelarut terjadi tidak bersamaan, dan 5) growth front dan drying front seragam. Dua kelebihan terakhir memungkinkan untuk mempelajari proses pembentukan opal.

Gambar 1 (a) Skema deposisi opal menggunakan capillary deposition method, dan (b) susunan partikel koloid di dalam sel kapiler.[4]

Page 21: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

11

Sel kapilar planar dibuat dengan men-sandwich dua substrat berbahan kaca yang dipisahkan oleh pemisah (spacer) dari bahan polimer. Spacer berfungsi menentukan ketebalan lapisan opal. Tabung kapiler dipasang pada substrat bagian bawah dan berfungsi mengalirkan suspensi koloid ke dalam sel kapiler planar. Pemisahan kedua substrat dalam orde puluhan mikrometer menghasilkan gaya kapiler ketika partikel koloid mengisi sel kapiler dan menyebarkannya di dalam sel. Terjadinya penguapan pada bagian terbuka dari sel kapiler mengakibatkan partikel koloid ditarik ke arah meniskus dimana self-assembly terjadi.

2.1 Struktur Opal Dalam penelitian ini, struktur dan cacat pada opal dikarakterisasi dengan menggunakan

mikroskop optik, mikroskop stereo, mikroskop elektron (SEM), dan Small-angle Neutron Scattering (SANS). Hasil karakterisasi ditampilkan pada Gambar 2. Hasil investigasi menunjukkan bahwa opal yang dideposisi memiliki keteraturan sebagaimana kristal dengan struktur face-centered cubic (fcc) dimana bidang (111) sejajar dengan substrat. Disamping itu, ditemukan pula bahwa 1 10 sejajar

dengan arah penumbuhan opal. Opal yang dideposisi tidak berupa kristal tunggal melainkan terbentuk dari dua tipe domain kristal berukuran ~700 µm yang memanjang sejajar arah penumbuhan opal. Ukuran domain jauh lebih besar dibandingkan dengan jarak antar crack (~100 µm). Crack terbentuk saat yang terbentuk saat pelarut yang mengisi ruang diantara partikel koloid menguap sebagai akibat perbedaan sifat elastisitas lapisan tipis opal dan substrat. Jarak antar crack berbanding lurus dengan ketebalan opal dimana crack tidak terbentuk ketika ketebalan opal kurang dari 10 µm.

Gambar 2 (a dan b) Domain sejajar pada lapisan tipis opal dilihat dengan mikroskop stereo, (c) sampel opal dilihat dengan mata, (d) crack pada opal dilihat dengan mikroskop, (e dan f) SEM

image. Inset: pola difraksi neutron.[3],[5],[6]

2.2 Mekanisme Pembentukan Opal Riset yang tentang opal pada umumnya masih terfokus pada peningkatan kualitas lapisan

tipis yang diperoleh. Akibatnya beberapa aspek penting lain seperti: mekanisme kristalisasi partikel

120 µm

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Page 22: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

12

koloid, perubahan internal opal saat pelarut menguap, pembentukan cacat dan distribusinya dalam lapisan tipis opal masih jarang diteliti. Metode CDM sangat ideal untuk mempelajari proses pembentukan opal karena kristalisasi partikel koloid dan penguapan pelarut yang terjadi secara terpisah, hal ini dapat mengurangi kemungkinan mis-interpretasi data.

Proses penumbuhan opal diteliti secara eksperimental dengan menggunakan time-resolved UV-Vis/NIR spectroscopy. Hasil pengukuran ditampilkan sebagai wet opal formation map (Gambar 3a) dan opal drying map (gambar 3b) yang menggambarkan extinction (-log T) vs panjang gelombang (λ) vs waktu (t).

Gambar 3 Wet opal formation map dan (b) opal drying map.[7],[8]

Ditemukan bahwa parameter-parameter spektra seperti: Intensitas puncak Bragg (Bragg’s peak), panjang gelombang Bragg, dan lebar puncak Bragg (full width at a half of maximum, FWHM) berubah secara kontinu tapi tidak monoton. Perubahan parameter spektra tersebut memungkinkan penulis untuk mendiferensiasi proses kristalisasi dan perubahan internal saat terjadi penguapan pelarut ke dalam beberapa tahap yang melibat perubahan internal spesifik. Perubahan internal tersebut mencakup proses kristalisasi, kompaksi, sintering, pemulihan cacat, dll.

2.3 Sifat Optik Kristal fotonik tidak hanya tentang bandgap optik, sifat optik pada frekuensi di atas bandgap

tidak kalah menarik. Fenomena optik seperti cahaya lambat (slow-light) memungkinkan penguatan interaksi antara cahaya dan bahan untuk aplikasi yang memerlukan gain, absorpsi, dan optik nonlinear. Disamping itu, kristal fotonik merupakan medium yang sangat anisotropik bagi cahaya dengan frekuensi di atas bandgap. Anisotropi ini menyebabkan terjadinya anomalous refraction dan anomalous reflection yang dapat dimanfaatkan untuk membuat devais optik dengan kerapatan tinggi.

Jika dilihat dari sudut pandang potensi aplikasi kristal fotonik pada frekuensi tinggi, kurangnya riset tentang sifat optik opal pada rentang frekuensi ini cukup mengejutkan. Kemungkinan alasanya adalah rendahnya kualitas opal. Penelitian seperti ini hanya dapat dilakukan pada opal dengan kualitas tinggi. Cacat pada opal baik berupa cacat titik, dislokasi, batas domain akan menghamburkan cahaya dan menyebabkan pelebaran puncak (broadening) dan meningkatnya background sehingga resolusi puncak dan signal-to-noise ratio turun drastis pada frekuensi tinggi.

Berdasarkan karakterisasi struktural yang dilakukan, opal yang deposisi dengan metode CDM berkualitas tinggi sehingga dapat digunakan untuk mempelajari sifat optik opal pada frekuensi di atas bandgap. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan angle-resolved spectroscopy (ARS) dan polarization-resolved ARS. Pengukuran dilakukan dengan dua arah orientasi sampel yang berkaitan dengan arah tertentu sepanjang sudut irreducible Brillouin zone. Hasil pengukuran ditunjukkan pada Gambar 4.

Page 23: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

13

Gambar 4 ARS map yang menggambarkan extinction vs sudut datang eksternal cahaya ( ext ) vs

frekuensi ternormalisasi ( /a ) untuk dua orientasi sampel (vertikal dan horizontal) ketika diiluminasi dengan cahaya tak terpolarisasi, polarisasi-p, dan polarisasi-s.[6]

Sepanjang pengetahuan penulis, ini merupakan penelitian mendetail pertama pada sifat optik opal dalam rentang frekuensi dan rentang sudut datang cahaya sedemikian lebar. Analisis data mengindikasikan bahwa sifat optik kristal pada frekuensi tinggi tidak memiliki korelasi dengan struktur pita (band structure) optik. Banyak puncak diffraksi yang overlap pada saat cahaya datang tegak lurus sampel bergeser dengan laju berbeda ketika sampel diputar. Puncak-puncak pada spektra dihasilkan oleh difraksi dari bidang-bidang kristal fcc dan dapat dijelaskan dengan menggunakan teori difraksi kinematik sedangkan perubahan intensitasnya terhadap arah sinar datang memerlukan penjelasan menggunakan teori difraksi dinamik. Disamping itu, ditemukan pula bahwa polarisasi cahaya datang menentukan kopling cahaya dengan opal. Cahaya dengan polarisasi berbeda akan terkopel dengan modus tertentu pada struktur pita opal.

III. PLASMONIK Untuk memenuhi kebutuhan transfer data yang terus melonjak tajam, maka transfer rate dan

bandwidth dari sistem komunikasi mesti ditingkatkan. Hal ini dapat dicapai jika devais optik dapat diminiaturisasi sehingga banyak devais dapat dipasang sekaligus. Miniaturisasi devais elektronik berbasis semikonduktor hamper mencapai limitnya karena resistansi kapasitif meningkat ketika ukuran devais makin kecil yang berakibat pada turunnya laju transfer data. Penggantian elektron dengan foton sebagai pembawa informasi dapat mengatasi masalah laju transfer data karena foton merambat jauh lebih cepat dibanding elektron. Sayangnya mekanisme pemanduan cahaya berdasarkan prinsip pemantulan, pembiasan, dan difraksi tidak memperbolehkan miniaturisasi devais optik lebih kecil dari panjang gelombang cahaya dalam devais.

Ukuran dan kecepatan operasi devais fotonik, elektronik, dan plasmonik ditunjukkan pada Gambar 5. Terlihat bahwa devais elektronik walaupun bisa diminiaturisasi hingga beberapa nanometer memiliki keterbatasan dalam hal kecepatang operasi. Sebaliknya, devais fotonik memiliki kecepatan operasi tinggi tapi tidak bisa berukuran dibawah satu mikrometer.

Osilasi elektron pada bidang batas antara logam dan dielektrik dapat menjembatani elektronik dan fotonik. Devais berbasis plasmonik memiliki kapasitas pengiriman dan pengolahan informasi sebagaimana devais fotonik dan pada saat yang sama bisa diminiaturisasi mendekati ukuran devais elektronik.[10] Miniaturisasi dimungkinkan karena osilasi elektron terbatas pada permukaan logam dengan dimensi lateral jauh lebih kecil dibandingkan dengan panjang gelombang cahaya (dalam rentang nanometer untuk frekuensi optik). Devais optik berbasis plasmonik dipercaya akan menjadi tulang punggung teknologi masa mendatang.

Page 24: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

14

Gambar 5 Laju operasi dan ukuran devais bergantung pada sifat material: semikonduktor (elektronik), dielektrik (fotonik), dan logam (plasmonik). Garis putus-putus menunjukkan

limitasi fisis devais untuk teknologi yang berkaitan.[9]

Kunci dari plasmonik adalah terbentuknya resonansi plasmon permukaan (surface plasmon resonance, SPR) yang merupakan osilasi koheren dari elektron bebas pita konduksi logam yang terjadi pada bidang batas logam – dielektrik ketika dieksitasi dengan radiasi elektromagnetik dengan frekuensi yang sesuai. Ada dua tipe SPR, yaitu: 1) plasmon permukaan yang merambat (surface plasmon polariton, SPP), dan 2) plasmon permukaan terlokalisasi (localized SPR atau LSPR). SPP terbentuk pada bidang batas antara dielektrik dan lapisan logam sedangkan LPSR terbentuk pada permukaan nanopartikel logam. Nanopartikel logam dapat dipandang sebagai nanoantenna yang menyerap, melokalisasi, dan memancarkan kembali radiasi EM yang datang padanya. Berbeda dengan resonansi SPP yang hanya bergantung konstanta dielektrik logam dan medium, frekuensi resonansi LSPR juga bergantung pada geometri (bentuk dan ukuran) dan orientasi nanopartikel terhadap radiasi elektromagnetik.[11]

Ada tiga pendorong utama masifnya penelitian bidang plasmonik akhir-akhir ini:[12] 1) kemajuan teknik fabrikasi, baik litografi maupun secara kimiawi, yang memungkinkan realisasi nanostruktur dengan berbagai geometri (bentuk, ukuran, dan jarak pisah antara nanostruktur) yang dapat dikontrol dengan akurasi dan presisi tinggi. Selain kontrol atas geometri nanostruktur, kemampuan memfungsionalisasi permukaan logam juga berkembang pesat sehingga memungkinkan untuk selective binding and deteksi target spesifik untuk digunakan sebagai sensor kimia dan biologi. 2) Perkembangan metode karakterisasi dengan resolusi dan kecepatan tinggi sehingga memungkinkan untuk mempelajari sifat optik logam untuk nanopartikel tunggal (bukan hanya pengukuran ensembel). 3) kemajuan teknik modeling dan simulasi respon optik nanostruktur dengan berbagai geometri sehingga memudahkan pemahaman atas sifat optik nanostruktur logam baik yang terisolasi maupun yang tergandeng dengan nanostruktur lain.

Ada dua sifat optik nanostruktur logam yang menjadi pendorong riset di bidang ini, yaitu: 1) lokalisasi cahaya pada bidang batas logam - dielektrik, dan 2) penguatan medan lokal membentuk hot-spot dengan intensitas cahaya persatuan volume dapat mencapai beberapa order-of-magnitude lebih tinggi dibanding intensitas cahaya yang datang. Lokalisasi medan hanya pada jarak beberapa nanometer dari bidang batas logam-dielektrik memungkinkan manipulasi aliran cahaya dan interaksinya dengan bahan pada skala nano.

Aplikasi plasmonik dapat dikelompokkan berdasarkan sifat optik yang digunakan. Aplikasi berdasarkan lokalisasi cahaya berupa pemanduan gelombang pada skala nano sebagai komponen utama devais optik ultra kompak, penguatan absorpsi cahaya pada sel fotovoltaik, dan Ultrasensitive sensing dengan memanfaatkan sensitivitas resonansi plasmon terhadap perubahan sifat fisis dan kimiawi permukaan logam. Sedangkan aplikasi yang memanfaat terbentuknya penguatan medan lokal (hot-spot) antara lain penggunaan efek pemanasan lokal untuk menghancurkan sel kanker, penguatan sinyal pada spektroskopi Raman dan fluoresens, penguatan efek optik nonlinear.

3.1 Sintesis Nanopartikel Perak Dibandingkan dengan logam mulia lain, SPR dari nanopartikel perak menunjukkan puncak

extinction (= hamburan + absorpsi) dengan intensitas paling tinggi dan dengan FWHM paling kecil.

Page 25: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

15

Hal ini dikarenakan perak memiliki absorpsi, yang sebanding dengan bagian imajiner konstanta dielektrik, paling kecil pada frekuensi resonansi. Tampang lintang extinction dari nanopartikel perak sebagai fungsi indek bias medium dan diameter nanopartikel ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Spektrum extinction dari nanopartikel perak sebagai fungsi: (a) diameter, dan (b) indek bias medium (D = 30 nm). Tampang lintang extinction meningkat dengan makin besarnya ukuran

nanopartikel dan indeks bias medium. Dua puncak resonansi teramati ketika diameter nanopartikel D > 50 nm.

Nanopartikel perak disintesis dengan menggunakan metode yang dijelaskan di dalam Referesi.[13] Dengan metode ini nanopartikel perak akan terbentuk ketika prekursor perak yang dilarutkan dalam larutan sodium polyacrylates (NaPA) diiluminasi dengan sinar UV. Ukuran nanopartikel ditemukan bergantung pada kosentrasi perkursor perak, konsentrasi NaPA, durasi iluminasi dengan sinar UV, dan lamanya aging prekursor perak. Ukuran dan morpologi nanopartikel perak dikarakterisasi dengan menggunakan spektrometer UV-Vis, SANS, time-resolved static light scattering (TR-SLS), scanning electron microscope (SEM), dan transmission electron microscope (TEM).

Gambar 7 Mekanisme sintesis nanopartikel perak, (b) pengaruh kosentrasi prekursor perak, pengaruh durasi iluminasi dengan sinar UV untuk kosentrasi prekursor perak: (c) 50% dan (d)

80% terhadap frekuensi resonansi plasmonik (sebanding dengan ukuran partikel)

(a)

(b) (c)

(d)

+ Ag+ + h

NaPA chains embedded Ag particles

Page 26: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

16

3.2 Kontrol koheren terhadap eksitasi LSPR Osilasi elektron pada permukaan logam memungkinkan lokalisasi cahaya dan kontrol

interaksi cahaya dan bahan pada skala nanometer. Lebih lanjut, sifat optik nanostruktur logam dapat dikontrol secara fleksibel melalui variasi geometri nanostruktur logam. Agar dapat digunakan sebagai devais fungsional diperlukan cara agar eksitasi plasmonik dapat dikontrol secara eksternal.

Kontrol atas eksitasi LSPR secara optik telah dilakukan menggunakan medan listrik eksternal pada sistem tiga nanorod (Lihat Gambar 9a). Eksitasi dilakukan dengan memanfaatkan kopling medan dekat (near-field) antara osilasi elektron pada nanorod bagian bawah dan nanorod bagian atas yang diorientasikan tegak lurus satu sama lain. Kopling mengakibatkan modus LSPR dari nanorod saling tumpang tindih dan mengakibatkan terjadinya hibridisasi tingkat energi. Kopling medan dekat dapat terjadi karena jarak antar nanorod hanya 30 nm. Eksitasi plasmonik pada kedua nanorod tidak terjadi bersamaan karena orientasi nanorod mesti dieksitasi dengan medan dengan polarisasi berbeda. Nanorod bawah tereksitasi ketika diradiasi dengan medan yang terpolarisasi vertikal (V-pol.) sedangkan nanorod atas akan tereksitasi dengan medan yang terpolarisasi H (H-pol.) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 8(c).

Gambar 8 Gambaran skematik struktur tergandeng dua lapis yang terdiri dari tiga nanorod dengan panjang L1 = 380 nm dan L2 = 410 nm. Kedua nanorod dipisahkan 30 nm. (b) Skema

model dua tingkat untuk mengontrol eksitasi modus LSPR |LSPP1> pada nanorod sebelah atas melalui saluran #1 and #2. (c) SEM image dari struktur yang difabrikasi (tampak atas). Cahaya

terpolarisasi horizontal (H-pol.) didefinisikan searah nanorod bagian atas sedangkan cahaya terpolarisasi verikal (V-pol.) berosilasi sepanjang nanorod bagian bawah. (d) Spektra transmisi

diukur dengan polarisasi berbeda.[14]

Sel unit yang terdiri dari tiga nanorod merupakan bagian dari array sel unit dalam area 100 x 100 µm² yang difabrikasi menggunakan litografi berkas elektron (electron beam lithography) dua lapis. Nanorod bawah dan atas masing-masing memiliki dimensi 380 nm x 80 nm x 25 nm dan 410 nm x 70 nm x 25 nm. Sebelum evaporasi 25 nm emas, substrat dilapisi dengan Chromium dengan ketebalan 3 nm. Setelah fabrikasi lapisan pertama, nanorod bawah ditutupi dengan bahan dielektrik (Futurrex IC1-200) menggunakan metode spincoating. Untuk mendapatkan permukaan yang rata dan jarak pisah nanorod tertentu, lapisan bahan dielektrik dietsa dengan menggunakan plasma (reactive ion etching).

Kontrol eksitasi LSPR secara optik sulit dilakukan karena lifetime yang pendek tidak memungkinkan eksitasi dengan medan pemompa dan medan pengontrol sekaligus. Alasannya adalah kedua medan mesti memiliki polarisasi yang sama dan memiliki time-delay pendek untuk mencegah

Page 27: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

17

interferensi langsung antara kedua pulsa pendorong. Untuk mengatasi masalah waktu koherensi yang pendek, medan eksitasi dan kontrol dipisahkan dengan menggunakan dua saluran berbeda untuk mengeksitasi modus LSPR yang sama. Saluran pertama (#1) adalah eksitasi langsung dengan medan radiasi optik. LSPR dengan momen dipol kuat dapat terkopel dengan kuat pada medan jauh (far-field) jika polarisasi dan frekuensi medan optik bersesuaian dengan resonansi dipol nanostruktur. Saluran kedua (#2) adalah eksitasi dengan menggunakan kopling medan dekat dengan modus LSPR yang sudah tereksitasi. Untuk mencapai kopling kuat yang mengakibatkan pertukaran energi cukup besar, modus mesti tumpang tindih secara spasial. Kopling kuat diperoleh tidak hanya membutuhkan jarak pisah dekat antara modus, tapi juga memerlukan kesesuaian antara frekuensi resonansi modus. Kuat eksitasi LSPR pada nanorod diukur dengan menggunakan spektroskopi nonlinear.

Penelitian yang dilakukan tidak hanya menunjukan bahwa kontrol koheren eksitasi LSPR dapat dilakukan dengan menggunakan medan eksternal, tapi juga menunjukkan kemungkinan untuk mengontrol sifat optik nonlinear pada skala nano.

IV. METAMATERIAL Metamaterial merupakan struktur buatan yang terdiri dari array meta-atom, biasanya dari

logam yang berukuran jauh lebih kecil dari panjang gelombang (</10), yang memiliki sifat optik baru yang tidak ditemukan pada bahan alam. Sifat optik dari metamaterial lebih disebabkan oleh susunan meta-atom dibandingkan bahan meta-atom itu sendiri. Meta-atom biasanya berupa nanostruktur logam dan dapat dianggap sebagai “atom” yang menyusun metamaterial sebagaimana atom pada bahan. Karena ukuran meta-atom jauh lebih kecil daripada panjang gelombang, metamaterial dapat dipandang sebagai medium efektif dan secara kuantitatif dapat digambarkan dengan parameter konstitutif bulk ( ) dan ( ) .

Pada awalnya, metamaterial dikembangkan untuk mendapatkan bahan dengan indeks bias negatif. Bahan dengan indeks bias negatif menyebabkan vektor poynting cahaya tidak searah dengan perambatan cahaya yang menyebabkan terjadinya pembiasan, efek Doppler, dan radiasi Cerenkov terbalik. Metamaterial dengan indeks bias negatif pada rentang gelombang mikro direalisasikan dengan meta-atom berupa kombinasi nanowire logam yang menghasilkan permitivitas negatif dan split ring resonator (SRR) yang memiliki permeabilitas negatif. Walaupun dibuat dari bahan nonmagnetik, SRR aktif secara magnetik dan menunjukan respon kuat terhadap medan magnet. Rentang panjang gelombang dimana permeabilitas bernilai negatif dapat dikintrol dengan memvariasikan parameter geometrik SRR.

Dengan desain meta-atom yang tepat bahan dengan permitivitas dan permeabilitas yang diinginkan (baik positif, negatif, atau nol) dapat diperoleh. Kemampuan mengontrol nilai permitivitas dan permeabilitas berarti kemampuan merekayasa sifat optik dan magnetik bahan sehingga digunakan dalam aplikasi seperti: invisibility cloack, superlens, hyperlens, perfect absorber, artificial magnetism, enhanced chirality, dan enhanced optical activity.

Dalam kesempatan ini akan didiskusikan tiga topik riset yaitu: metamateral dengan sifat optik dapat diubah secara eksternal, permukaan meta (metasurface), dan transmisi asimetrik.

4.1 Kontrol Frekuensi Resonansi SRR Frekuensi resonansi metamaterial yang dibentuk dari susunan dua dimensi meta-atom berupa

split ring resonator dengan frekuensi resonansi dalam rentang near-infrared yang difabrikasi dan kemudian diletakkan di dalam kristal cair. Frekuensi reonansi SRR bergeser ketika medium sekitar berubah dari udara menjadi kristal cair. Besarnya pergeseran frekuensi resonansi tergantung pada orientasi molekul kristal cair dan berbeda untuk modus resonansi berbeda. Hal ini mengindikasikan kebergantungan frekuensi resonansi SRR pada komponen medan evanesen yang berinteraksi dengan kristal cair.

Penggunaan kristal cair untuk mengontrol frekuensi resonansi metamaterial memiliki beberapa keuntungan, diantaranya: 1) anisotropi konstanta dielektrik besar, 2) permitivitas efektif sangat sensitif terhadap suhu, medan listrik, dan medan magnet eksternal. Perubahan suhu mempengaruhi derajat orde orientasional atau anisotropi optik, sedangkan medan eksternal dapat memutar sumbu optik. Keduanya mengakibatkan perubahan nilai permitivitas dan indeks bias efektif.

Dalam penelitian ini dipelajari pengaruh molekul kristal cair terhadap frekuensi resonansi SRR akibat interaksi medan evanesen lokal dari modus plasmonik yang tereksitasi. Kontrol terhadap frekuensi resonansi dilakukan dengan memanfaatkan sifat termooptik dan elektrooptik dari kristal cair. Untuk tujuan ini, sel kristal cair dibuat dari dua substrat transparan berlapis ITO yang dipisahkan

Page 28: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

18

sejauh 4 m. SRR dari emas dengan dimensi 200 x 200 nm2 difabrikasi dengan menggunakan litografi berkas elektron. Struktur dari sel kristal cair ditampilkan pada Gambar 9. Pergeseran frekuensi resonansi ketika sel diberikan tegangan listrik atau perbedaan suhu diukur dengan menggunakan spektrometer Fourier transform infrared (FTIR) yang dihubungkan dengan polarizing IR microscope.

Gambar 9 (a) Geometri sel kristal cair + SRR dengan SRR diletakkan pada substrat sebelah bawah. Spektrum transmisi (― : substrat + SRR emas di udara, … : substrat + SRR emas +

alignment layer, --- : substrat + SRR emas + alignment layer+ kristal cair), (b) E horizontal (x-pol.), dan (c) E vertikal (y-pol.). Inset memperlihatkan besar dan distribusi medan listrik Ez

modus terkait.[15],[16]

4.2 Metasurface Metamaterial planar dengan meta-atom tersusun teratur dalam dua dimensi dikenal sebagai

metafilm atau metasurface. Sebagaimana metamaterial, sifat optik makroskopik metasurface tergantung pada struktur meta-atom, bukan pada distribusi periodiknya.

Metasurface dengan gradien fase sepanjang permukaannya dapat memodifikasi perambatan cahaya. Arah perambatan cahaya dijelaskan dengan menggunakan prinsip Fermat. Menurut prinsip Fermat, cahaya yang merambat dari satu titik ke titik lain senantiasa mencari lintasan yang meminimalisasi waktu tempuh. Ketika melewati bidang batas dua medium dengan indeks bias berbeda, cahaya akan dibiaskan dengan sudut menurut hukum Snell. Ketika bidang batas tidak homogen, melainkan memiliki gradien fase, cahaya merambat mengikuti prinsip umum Fermat (lihat Gambar 10a). Yang lebih mengejutkan sinar datang, sinar pantul, dan sinar bias, tidak lagi berada pada bidang yang sama ketika metasurface memiliki gradien fase dalam dua arah ortogonal (lihat Gambar 10b).

(b

(c

(a)

Page 29: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

19

Gambar 10 Skema untuk menurunkan persamaan umum pembiasan Snell. Bidang batas antara

kedua medium mengakibatkan pergeseran fase pada lintasan cahaya sebagai fungsi posisi sepanjang bidang batas. (b) untuk kasus gradien fase dalam dua arah ortogonal, gradien fase tidak berada pada bidang datang dan kekekalan vektor gelombang harus dipenuhi dalam arah x dan y.

gradien fase yang tidak berada pada bidang datang akan mengakibatkan pembiasan dan pemantulan yang juga tidak pada bidang datang.[17] (c) Struktur metasurface yang diteliti.

Untuk kondisi fase stasioner berlaku:

0 0sin sini i t tk n dx d k n dx (1)

Sehingga didapatkan Hukum Snell umum untuk pembiasan dan pemantulan sebagai berikut:

0sin sin2t t i i

dn n

dx

(2)

0sin sin2r i

i

d

n dx

(3)

Indeks bias bukan merupakan kuantitas yang terlalu membantu untuk menjelaskan sifat optik metasurface, yang lebih berperan adalah gradien fase. Metasurface dapat digunakan sebagai lensa dan cermin ultra tipis (~25 nm) dan bebas aberasi untuk keperluan nanoimaging dan untuk mengontrol muka gelombang (kontrol fase).

Struktur metasurface yang diteliti terdiri dari nanorod dengan orientasi berubah secara gradual. Setiap rotasi nanorod emas berkaitan dengan perubahan fase. Metasurface difabrikasi dengan menggunakan litografi berkas elektron yang dilanjutkan dengan evaporasi emas dengan ketebalan 30 nm. Struktur yang diteliti telah dioptimasi dengan menggunakan lapisan tipis emas dan magnesium

(c)

(a) (b)

Page 30: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

20

fluoride (MgF2) yang berfungsi sebagai cermin agar makin banyak cahaya yang mengeksitasi modus SPR nanorod emas.

Hasil pengukuran spektroskopi menunjukkan efisiensi pemantulan anomalous sekitar 70%, mendekati hasil simulasi (80%) yang dilakukan dengan menggunakan software CST microwave.

4.3 Transmisi Cahaya Asimetrik Prinsip resiprositas menyatakan bahwa perambatan dan atenuasi cahaya tidak berubah ketika

sumber cahaya dan pengamat dipertukarkan. Seandainya dapat dibuat satu medium yang hanya merambatkan cahaya dalam satu arah saja (cahaya yang merambat dalam arah berlawanan akan diatenuasi) maka dapat dibuat dioda optik. Jika dioda optik dapat direalisasikan, devais optik terintegrasi hingga komputer optik sudah di depan mata. Perambatan cahaya tak resiprok dapat dicapai dengan menggunakan medium magneto-optik yang menghilangkan simetri pembalikan waktu (time-reversal symmetry) dengan memperkenalkan elemen tensor dielektrik off-diagonal. Sayangnya cara ini memerlukan medan magnet kuat dan ukuran devais yang bersifat bulky.

Metamaterial dengan meta-atom dari nanostruktur logam chiral dapat digunakan untuk merealisasikan transmisi cahaya asimetrik, propagasi bergantung pada arah datang cahaya pada bahan. Medium chiral dapat dibuat dari susunan meta-atom yang tidak overlap dengan bayangan cerminnya. Medium seperti ini akan memberikan respon berbeda terhadap cahaya dengan polarisasi lingkaran ke kiri (left circularly polarized) dan polarisasi lingkaran ke kanan (right circularly polarized) akibat terjadinya kopling antara medan listrik dan medan magnet ketika melewati medium.

Gambar 11 Struktur yang digunakan untuk merealisasikan transmisi cahaya asimetrik.

Struktur yang diajukan berupa dua nanorod yang diletakkan saling tegak lurus membentuk huruf L (lihat Gambar 11). Salah satu nanorod memiliki absorpsi lebih tinggi dengan adanya lapisan kromium tebal (~15 nm) sebelum evaporasi emas sedangkan nanorod kedua hanya memiliki lapisan kromium ~1 nm sebagai perekat emas dan substrat. Kedua nanorod dipisahkan oleh gap sempit yang divariasikan besarnya antara 10 – 40 nm. Sampel dikarakterisasi secara spektroskopi dengan menggunakan cahaya dengan polarisasi lingkaran.

V. PENUTUP Nanofotonik merupakan salah satu bidang riset paling “hot” sekarang ini. Bidang ini menarik

dengan ditemukannya banyak fenomena optik yang pada awalnya dianggap tidak mungkin tapi sekarang ini dapat direalisasikan secara eksperimental. Tidak hanya dari sudut pandang saintifik, penemuan di bidang ini merupakan breakthrough dan diramalkan akan menjadi tulang punggung teknologi masa mendatang. Riset bidang nanofotonik memiliki aplikasi yang luas mulai dari sistem komunikasi, devais optik terintegrasi, display, sensing, lasing dan LED, fotovoltaik, kesehatan, hingga biologi. Walaupun banyak kemajuan dicapai dalam dua dekade terakhir, akan tetapi tetap masih banyak yang harus diteliti dan dikembangkan lebih lanjut. The science of today is the technology of tomorrow [Edward Teller, American physicist].

Page 31: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

21

UCAPAN TERIMA KASIH Hasil yang dipresentasikan merupakan hasil penelitian selama melakukan studi doktoral di

grup riset Nanostructures and Optical Materials (Max-Planck-Institut für Kohlenforschung, Germany) dan posdoktoral di grup Ultra-fast Nanophotonics (Paderborn University, Germany). Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan finansial dari International Max Planck Research School SurMat, Nanoergie Technik Zentrum (NETZ), German Research Society (DFG), dan the European Union and the Ministry of Innovation, Science, and Research of NRW.

DAFTAR PUSTAKA [1] The National Academy of Sciences, Nanophotonics accessibility and applicability, The National

Academies Press, Washington DC, 2008. [2] Muldarisnur, A. Soehianie, A. Iskandar and M. O. Tjia, Analysis of asymmetric Bragg–coupler

based optical add-drop multiplexer operating on certain phase-matching conditions, J. Appl. Phys. 103, (2008), 123110.

[3] F. Marlow, M. Muldarisnur, P. Sharifi, R. Brinkmann and C. Mendive, Opals: Status and Prospects (Invited Review), Angew. Chem. Int. Ed. 48, (2009), 6212.

[4] M. Muldarisnur and F. Marlow, Opal Films Made by the Capillary Deposition Method: Crystal Orientation and Defects, J. Phys. Chem. C 115, (2011), 414.

[5] F. Marlow, M. Muldarisnur, P. Sharifi and H. Zabel, Interpretation of small-angle diffraction experiments on opal-like photonic crystals, Phys. Rev. B 84, (2011), 073401.

[6] M. Muldarisnur, I. Popa and F. Marlow, Angle-resolved transmission spectroscopy of opal films, Phys. Rev. B 86, (2012), 024105.

[7] M. Muldarisnur and F. Marlow, Observation of nano-dewetting in colloidal crystal drying, Angew. Chem. Int. Ed. 53, (2014), 8761.

[8] Muldarisnur, Opal based photonic crystals: structure, formation, and optical properties, Dissertation, Ruhr University Bochum (2012).

[9] M. L. Brongersma and V. M. Shalaev, The Case for Plasmonics, Science 328, (2010), 440. [10] C.-P. Huang and Y.-Y. Zhu, in Metamaterials, Plasmonics, and THz Frequency Photonic

Components (Eds.: Y. Lu, W. Zhang, M. Qiu), Hindawi Publishing Corporation, 2007. [11] N. C. Lindquist, P. Nagpal, K. M. McPeak, D. J. Norris and S.-H. Oh, Engineering metallic

nanostructures for plasmonics and nanophotonics,, Rep. Prog. Phys. 75, (2012), 036501. [12] M. Pelton, Javier Aizpurua and Garnett Bryant, Metal-nanoparticle plasmonics, Laser & Photon.

Rev. 2, (2008), 136 [13] K. Huber, T. Witte, J. Hollmann and S. Keuker-Baumann, Controlled formation of Ag

Nanoparticles by means of long-chain sodium polyacrylates in dilute suspension, J. Am. Chem. soc. 129, (2007), 1089.

[14] F. Zeuner, M. Muldarisnur, A. Hildebrandt, J. Förstner and T. Zentgraf, Coupling Mediated Coherent Control of Localized Surface Plasmon Polaritons, Nano Letters 15, (2015), 4189.

[15] B. Atorf, H. Mühlenbernd, M. Muldarisnur, T. Zentgraf and H. Kitzerow, Electro-optic tuning of split ring resonators embedded in a liquid crystal, Optics Letters 39, (2014), 1129.

[16] B. Atorf, H. Mühlenbernd, M. Muldarisnur, T. Zentgraf and H. Kitzerow, Effect of alignment on a liquid crystal / split ring resonator metasurface, ChemPhysChem 15, (2014), 1470.

[17] N. Yu and F. Capasso, Flat optics with designer metasurfaces, Nature Material 13, (2014), 139.

Page 32: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

22

PENENTUAN SENYAWA – SENYAWA KIMIA DARI BERBAGAI MACAM CANGKANG TELUR MENGGUNAKAN FOURIER

TRANSFORMATION INFRA RED (FTIR)

Elda Rayhana, Musfirah Cahya Fajrah, Ramdani Nuzul Program Studi Fisika, FMIPA-ISTN

Jl. M. Kahfi II, Bhumi Srengseng Indah Jagakarsa Jakarta Selatan

Email : [email protected]

ABSTRAK Telah dilakukan penelitian terhadap serbuk berbagai macam cangkang telur yaitu : telurayam ras, telur ayam kampung, telur bebek, dan telur puyuh dengan ayakan 50 meshdengan pemanasan suhu 100oC. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik jenis cangkang telur menggunakan FTIR yang menjelaskan adanya pembentukan ikatan senyawa Ca-CO3 pada bilangan gelombang (cm-1) yang terbentuk. Hasil FTIR menunjukkanbahwa ikatan gugus O-H yang terbentuk pada daerah serapan 3866 cm-1, gugus C-H terbentuk pada daerah 2511 cm-1, gugus C=O terbentuk pada daerah 1795 dan 1647 cm-1, sedangkan gugus C-O terbentuk pada daerah 1191 cm-1, dan gugus Ca-C-O terbentuk pada daerah 1405 cm-1, 873 cm-1, 712 cm-1.Dari hasil FTIR yang didapat bahwa pita serapan kalsium karbonat (CaCO3) pada sampel cangkang telur ayam ras, telur ayam kampung, telur bebek, dan telur puyuh lebih banyak terbentuk pada gugus Ca-C-O pada bilangan gelombang 1405 cm-1, 873 cm-1, 712 cm-1. Analisis Hasil karakterisasi Fourier Transformation Infra Red (FTIR) terhadap sampel cangkang telur menunjukkan terbentuknya ikatan gugus O-H, C-H, C=O, C-O, dan Ca-C-O yang mungkin akan membentuk senyawa CaCO3 dan Ca(OH)2. Kata Kunci : Variasi jenis cangkang telur, FTIR, pita serapan, kalsium karbonat.

I. PENDAHULUAN Telur merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat

karena kandungan nutrisinya yang tinggi dengan kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap dan seimbang juga harga yang terjangkau (Davis,2002). Selain dikonsumsi sebagai bahan pangan, telur juga dimanfaatkan dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang biologi (sebagai kultur media dan inseminasi buatan); bidang industri (industri kosmetik, industri roti dan penyamakan kulit); bidang peternakan (sebagai pakan); dan lain-lain. Konsumsi yang tinggi terhadap telur akan meningkatkan hasil pada cangkang telur, dan apabila cangkang telur ini tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin, maka akan menyebabkan penumpukan limbah dari telur.

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, adalah memproduksi biodiesel dari minyak sawit menggunakan katalis padat CaO yang terkandung di dalam kulit telur ayam. Dari literatur diketahui bahwa kandungan CaCO3 di dalam kulit telur sekitar 94 % berat (Stadelman,2000), dan sisanya adalah magnesium karbonat, kalsium fosfat dan bahan organik. Sebagaigambaran, produksi telur ayam ras di Indonesia pada 2009 sebesar 1.071.398 ton. Jika rata-rata berat telurnya 60 gram maka kulit telur yang dihasilkan dalam setahun adalah 107.139 ton. Berat itu setara dengan 100.710,66 ton kalsium karbonat, 4.285,56 ton magnesium karbonat dan 1.339,25 ton kalsium fosfat.

Pada penelitian yang dilakukan oleh (Yusuf,2009)mengenai karakterisasi hidroxyapatit dari cangkang keong sawah. Cangkang keong sawah dihasilkan dari proses perebusan, pembersihan, dan pengeringan, dikalsinasi pada suhu 800oC selama 4 jam untuk dijadikan serbuk. Serbuk tersebut diidentifikasi fase kalsium dan kadar kalsium yang terkandung dengan X-Ray diffraction dan atomic absorbption spektroskopi. Hasil pada suhu pengeringan 110oC, hanya sedikit terbentuk hidroksiapatit dan masih banyak zat pengotor. Hasil sintesis dianalisis dengan X-ray diffractometerdan Fourier transform infra red, hasil analisis menunjukkan bahwa hydroxyapatit terbentuk pada sampel.

Tulisan ini menjelaskan penentuan senyawa – senyawa kimia cangkang telur ayam ras, telur ayam kampung, telur bebek, dan telur puyuh pada daerah bilangan gelombang dengan menggunakan Fourier Transformation Infra Red (FTIR) terhadap kondisi suhu pemanasan 100oC dengan penahanan waktu selama 4 jam.

Diharapkan dengan penelitian ini dapat memberikan informasi dari studi awal sintesa CaCO3 sebagai bahan untuk membuat material Hydroxyapatit pada pengganti tulang dan gigi manusia.

Page 33: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

23

II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisika Dasar Institut Sains dan Teknologi Nasional

dan Laboratorium Metalurgi dan Material Universitas Indonesia, Depok. Bahan dasar yang digunakan adalah 4 varian dari kulit telur yaitu Cangkang telur ayam ras,

telur ayam kampung, telur bebek, dan telur puyuh, yang akan menjadi dasar dari penentuan senyawa-senyawa yang terdapat dalam cangkang telur tersebut. Bahan penunjang lain adalah Aquades dan Alkohol 70% yang digunakn sebagai bahan pensterilan agar semua bahan dan alat yang digunakan dalam keadaan bersih, untuk menghindari adanya inpuritas.

Alat-alat penunjang lainnya Tanur, Mortar Penumbuk manual, Gegep Besi, Oven Desikator, Cawan Aluminium, Cawan Petri,Plastik sampel.

Sebelum dilakukan uji FTIR dilakukan tahapan persiapan terhadap sampel seperti uraian berikut :

a. Membersihkan cangkang telur yang diperoleh dengan alkohol 70 % sampai bersih. b. Cangkang telur di jemur di udara terbuka di bawah sinar ultraviolet selama 7-8 jam. c. Cangang telur di keringkan dalam oven dengan suhu 100oC selama 2 jam. d. Dilanjutkan dengan menumbuk cangkang telur, pada tahap ini penumbukan dilakukan secara

manual. e. Dilanjutkan dengan menghaluskan serbuk cangkang telur dengan menggunakan mortar hingga

serbuk yang diperoleh berukuran kecil. f. Serbuk cangkang telur diayak dengan menggunakan ayakan 50 mesh. g. Cangkang telur dipanaskan dengan oven pada suhu 100oC selama 4 jam. Dilanjutkan dengan

pendinginan sampel dalam desikator selama 15 menit. h. Penentuan senyawa-senyawa menggunakan Fourier Transformation Infra Red

III. HASIL DAN DISKUSI Setelah dilakukan karakterisasi dengan menggunakan Fourier Transformation Infra Red

(FTIR), diperoleh hasil sebagai berikut :

3.1 Cangkang Telur Ayam Ras

Gambar 1 Grafik Pola FTIR Cangkang Telur Ayam Ras

4000 4503500 3000 2500 2000 1500 1000

500

100

76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98

cm-1

%T

Page 34: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

24

Tabel 1 Hasil Analisa pita serapan Sampel cangkang telur ayam ras

No

Bilangan Gelombang (cm-1)

Intensitas (% T)

Ikatan Senyawa

1 712 89,87 Ca-C-O 2 873 79,98 Ca-C-O 3 1191 95,14 C-O 4 1405 76,64 Ca-C-O 5 1647 98,76 C=O 6 1795 98,82 C=O 7 2513 98,89 C-H 8 3866 99,32 O-H

3.2 Cangkang Telur Ayam Kampung

Gambar 2 Grafik Pola FTIR Cangkang Telur Ayam Kampung

Tabel 2 Hasil analisa pita serapan sampel cangkang telur ayam kampung

No Bilangan Gelombang (cm-1)

Intensitas (%T)

Ikatan Senyawa

1 712 92,03 Ca-C-O

2 873 84,26 Ca-C-O

3 1190 96,60 C-O

4 1405 81,77 Ca-C-O

5 1647 98,87 C=O

6 1794 98,90 C=O

7 2510 99,16 C-H

8 3866 99,42 O-H

4000 4503500 3000 2500 2000 1500 1000 500

100

81 82

84

86

88

90

92

94

96

98

100

cm-1

%T

Page 35: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

25

3.3 Cangkang Telur Bebek

Gambar 3 Grafik Pola FTIR Cangkang Telur Bebek

Tabel 3 Hasil analisa pita serapan sampel cangkang telur bebek

No

Bilangan Gelombang (cm-1)

Intensitas (%T)

Ikatan Senyawa

1 712 89,98 Ca-C-O

2 873 80,54 Ca-C-O

3 1191 95,01 C-O

4 1405 77,22 Ca-C-O

5 1647 98,73 C=O

6 1794 98,71 C=O

7 2511 98,92 C-H

8 3867 99,42 O-H

4000 4503500 3000 2500 2000 1500 1000 500

100

77 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98

cm-1

%T

Page 36: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

26

3.4 Cangkang Telur Puyuh

Gambar 4 Grafik Pola FTIR Cangkang Telur Puyuh

Tabel 4 Hasil analisa pita serapan sampel cangkang telur puyuh

Untuk sampel dengan cangkang telur ayam ras nampak bahwa pita absorbsi yang tajam dari

gugus O-H (hidroksil) berada pada daerah sekitar 3866 cm-1, untuk sampel dengan cangkang telur ayam kampung berada pada daerah 3866 cm-1, untuk sampel dengan cangkang telur bebek berada pada daerah 3867 cm-1, dan untuk sampel dengan cangkang telur puyuh gugus O-H berada pada daerah 3835 cm-1 dan 3750 cm-1.

Daerah pada bilangan gelombang sekitar 2513 cm-1 pada sampel cangkang telur ayam ras merupakan karakteristik puncak gugus C-H. Pada sampel cangkang telur ayam kampung terdapat puncak gugus C-H pada daerah 2510 cm-1, pada sampel cangkang telur bebek terbentuk puncak gugus C-H pada daerah 2511 cm-1, dan pada sampel cangkang telur puyuh terbentuk gugus C-H pada daerah 2511 cm-1.

Daerah serapan yang sangat tajam pada pembentukan gugus C=O merupakan daerah karakteristik gugus C=O yang berhubungan dengan terjadinya vibrasi asimetri stretching.

Daerah pada bilangan gelombang sekitar 1191 cm-1 pada sampel cangkang telur ayam ras merupakan karakteristik puncak gugus C-O. Pada sampel cangkang telur ayam kampung terdapat puncak gugus C-O pada daerah 1190 cm-1, pada sampel cangkang telur bebek terbentuk puncak gugus C-O pada daerah 1191 cm-1, dan pada sampel cangkang telur puyuh terbentuk gugus C-O pada daerah 1191 cm-1.

No

Bilangan Gelombang (cm-1)

Intensitas (%T)

Ikatan Senyawa

1 712 95,78 Ca-C-O

2 874 91,24 Ca-C-O

3 1191 98,20 C-O

4 1421 89,09 Ca-C-O

5 1794 99,25 C=O

6 2511 99,48 C-H

7 3750 98,02 O-H

8 3835 99,52 O-H

4000 4503500 3000 2500 2000 1500 1000 500

100

8989

90

91

92

93

94

95

96

97

98

99

100

cm-1

%T

Page 37: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

27

Pembentukan ikatan gugus Ca-C-O stretching dari karbonat juga terjadi pada sampel yaitu pada sampel cangkang telur ayam ras berada pada daerah sekitar 1405, 873, dan 712 cm-1 dengan dimana bilangan gelombang 1405 cm-1 merupakan daerah In-Plane Bending, bilangan gelombang 873 cm-1 merupakan daerah Out-Plane Bending, dan bilangan gelombang 712 cm-1 merupakan daerah asimetri stretching. Pada cangkang telur ayam kampung terbentuk gugus Ca-C-O pada daerah sekitar 1405, 873, dan 712 cm-1 dengan dimana bilangan gelombang 1405 cm-1 merupakan daerah In-Plane Bending, bilangan gelombang 873 cm-1 merupakan daerah Out-Plane Bending, dan bilangan gelombang 712 cm-1 merupakan daerah asimetri stretching. Pada cangkang telur bebek terbentuk gugus Ca-C-O pada daerah sekitar 1405, 873, dan 712 cm-1 dengan dimana bilangan gelombang 1405 cm-1 merupakan daerah In-Plane Bending, bilangan gelombang 873 cm-1 merupakan daerah Out-Plane Bending, dan bilangan gelombang 712 cm-1 merupakan daerah asimetri stretching. Sedangkan pada telur puyuh terbentuk gugus Ca-C-O pada daerah sekitar 1421, 874, dan 712 cm-1 dengan dimana bilangan gelombang 1421 cm-1 merupakan daerah In-Plane Bending, bilangan gelombang 874 cm-1 merupakan daerah Out-Plane Bending, dan bilangan gelombang 712 cm-1 merupakan daerah asimetri stretching. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh(Shan,2007) bahwa spektra inframerah ditunjukkan dari gugus Ca-C-O stretching dari karbonat yang muncul pada daerah 1418, 873, 707 cm-1. Dari hasil tersebut juga dapat diketahui bahwa kalsium karbonat (CaCO3) pada sampel cangkang telur ayam ras, telur ayam kampung, telur bebek, dan telur puyuh lebih banyak terbentuk pada gugus Ca-C-O pada bilangan gelombang 1405 cm-1, 873 cm-1, 712 cm-1.

IV. KESIMPULAN Jenis cangkang telur ayam ras, telur ayam kampung, telur bebek, dan telur puyuh adanya

indikasi sinar inframerah yang menunjukkan pembentukan ikatan senyawa CaCO3 pada bilangan gelombang dengan menggunakan metode Fourier Transformation Infra Red (FTIR).Hasil karakterisasi Fourier Transformation Infra Red (FTIR) terhadap material sampel cangkang telur terbentuknya ikatan gugus O-H, C-H, C=O, C-O, dan Ca-C-O yang merupakan ikatan gugus pembentukan senyawa CaCO3 dan Ca(OH)2.Fourier Transformation Infra Red (FTIR) yang didapat bahwa ikatan gugus O-H yang terbentuk pada daerah serapan 3866 cm-1, gugus C-H terbentuk pada daerah 2511 cm-1, gugus C=O terbentuk pada daerah 1795 dan 1647 cm-1, sedangkan gugus C-O terbentuk pada daerah 1191 cm-1, dan gugus Ca-C-O terbentuk pada daerah 1405 cm-1, 873 cm-1,712 cm-1. Hasil tersebut juga dapat diketahui bahwa kalsium karbonat (CaCO3) pada sampel cangkang telur ayam ras, telur ayam kampung, telur bebek, dan telur puyuh lebih banyak terbentuk pada gugus Ca-C-O pada bilangan gelombang 1405 cm-1, 873 cm-1, 712 cm-1.

DAFTAR PUSTAKA Arka dan Hartawan. 1977. Mutu telur ayam kampung di pasar kota Denpasar. Dalam Prosiding

Seminar Pertama Ilmu dan Industri Perunggasan. Cisarua, Bogor. Davis, Craig, and Reg Reeves, 2002, High Value Opportunitues of From The Chicken Egg, Rural

Industries Reseach And Development Coroporation, 30, 31. Lluch, A. V., Costa, E., Gallego, M., Pradas, M., & Sanchez, M. S. (2010).Structure and Biological of

Polymer/Silica Nanocomposite Prepared by Sol-Gel Technique.Composite Science and Technology, 1, 1-23.

Macomber, Roger. S., 1998, A Complete Introduction to Modern NMR Spectroscopy, John Willey & Sons, United State of America.

P. S. M. Yusuf, K. Dahlan, A. B. Witarto (2009). Application of Hydroxyapatite in Protein Purification.Makara Sains, Vol. 13(2), p. 51-56.

Stadelman, W.J. and Cotterill O.J. 1977.Egg Science and Technology.The Avi Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut. Stadelman, W.J., (2000), “Eggs and Egg Products”, In Francis, F.J (Ed), Encyclopedia of Food

Science and Technology, second ed, John Wiley and Sons, New York, pp. 593-599. Sherman Hsu, C. P., Handbook of Instrumental Techniques for Analytical Chemistry. Stuart, B., 2004, Infrared Spectroscopy: Fundamentals and Applications, John Willey & Sons, Ltd. Sitorus, M. dan Nainggolan, B. 2004.Buku Ajar Spektroskopi. Jurusan Kimia Fakultas MIPA.

Universitas Negeri Medan.

Page 38: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

28

SIFAT ELEKTROKIMIA SUPERKAPASITOR MENGGUNAKAN METODE CHARGE DISCHARGE UNTUK ELEKTRODA KARBON

DARI KAYU KARET

E. Taer1*), Zulkifli1*), R. Syech1, R. Taslim2 1Jurusan Fisika, Universitas Riau, Simpang baru, Pekanbaru, 28293

2Jurusan Teknik Industri, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru, 28293 *) Email: [email protected], [email protected]

ABSTRAK Karakterisasi sifat elektrokimia superkapasitor dengan metode charge discharge (CDC) telah berhasil dilakukan. Superkapasitor dibangun menggunakan elektroda karbon dari kayu karet yang telah dimodifikasi membentuk pelet. Selanjutnya elektroda karbon diaktivasi menggunakan KOH dengan perbedaan molaritas yaitu 1M, 3M, 5M. Superkapasitor terdiri dari satu pasang teflon, pengumpul arus, elektroda karbon dan dipisahkan oleh separator. Pengukuran CDC dilakukan menggunakan alat solatron interface 1286 pada rapat arus konstan sebesar 0,01 mA/s dan tegangan antara 0 – 1 V. Sifat elektrokimia yang ditentukan dengan metode CDC antara lain kapasitansi spesifik, rapat energi dan daya. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kapasitansi spesifik yang dihasilkan pada 1M, 3M, 5M adalah 27,39 F/g, 66,68 F/g dan 45,21 F/g. Rapat energi yang dihasilkan untuk setiap variasi adalah 0,192 Wh/kg, 1,587 Wh/kg dan 0,997 Wh/kg. Rapat daya sebesar 86,68 W/kg, 102,137 W/kg dan 116,608 W/kg. Luas permukaan pori elektroda yang dihasilkan semua variasi KOH 1M, 3M, 5M adalah 31,72 m2/gram, 29,02 m2/gram, dan 95,95 m2/gram. Pengujian mikroskop pemindai elektron juga dilakukan untuk meninjau morfologi elektroda karbon. Kata kunci : superkapasitor, charge discharge, elektroda karbon

ABSTRACT Characterization of the nature of the electrochemical supercapacitor with charge-discharge method (CDC) has been successfully performed. Supercapacitor were fabricated by using an carbon electrodes from rubber. Furthermore, carbon electrode has been activated using KOH with different molarity namely 1M, 3M, 5M. Supercapacitor consists of one pair of teflon, current collector, carbon electrodes separated by a separator. CDC measurements were performed using a Solartron Interface 1286 measurement at a constant current density of 0.01 mA/s and a voltage window between 0-1 V. Electrochemical properties such as the specific capacitance, energy density and power density were determined using the CDC method.The measurement results show that the specific capacitance for 1M, 3M, 5M KOH activating agent electrode were 27.39 F/g, 66.68 F/g and 45.21 F/g, respectively. The energy density produced for each variation was 0.192 Wh/kg, 1,587 Wh/kg and 0.997 Wh/kg and the power density of 86.68 W/kg, 102.137 W/kg and 116.608 W/kg. Pore surface area of the electrode resulting from all variation of KOH 1M, 3M, 5M is 31.72 m2/g, 29.02 m2/g, 95.95 m2/gram. The scanning electron microscopy measurements was also conducted to study the morphology of carbon electrodes. Keyword : supercapacitor, charge discharge, carbon electrode

I. PENDAHULUAN Superkapasitor adalah devais penyimpan energi listrik yang memiliki keunggulan

dibandingkan baterai, fuel cell, kapasitor karena dapat menyimpan energi yang besar dan daya yang tinggi (Arepalli et al, 2005). Superkapasitor memiliki beberapa keunggulan diantaranya waktu hidup yang lebih lama, modelnya sederhana, serta aman dalam penggunaannya (Kotz et al, 2000). Mekanisme penyimpanan energi pada superkapasitor menggunakan lapisan ganda yang terdapat pada pori elektroda (Wei et al 2012). Pengembangan superkapasitor menggunakan elektroda karbon aktif berbasis biomassa dapat dibuat pada kayu karet, kayu cemara, bambu, kulit kopi (Taer et al, 2011).

Sifat elektrokimia sangat berperan dalam menentukan kinerja superkapasitor. Pengukuran sifat elektrokimia menggunakan metode charge discharge (CDC) pada superkapasitor meliputi kapasitansi spesifik, energi dan daya. Metode CDC menampilkan hubungan antara beda potensial (V) dan waktu (s). Grafik yang dihasilkan pada pengukuran metode CDC berbentuk segitiga untuk elektroda berbasis karbon (Dongale et al, 2015). Pengukuran dengan metode CDC ini dilakukan dengan alat solatron interface 1286 pada tegangan antara 0 - 1 V dengan densitas arus konstan sebesar 0,01 mA/s. Penelitian ini telah berhasil membuat elektroda karbon monolit dari kayu karet sebagai

Page 39: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

29

elektroda superkapasitor. Sifat elektrokimia elektroda karbon monolit dari kayu karet telah di analisa menggunakan metode CDC. Pengujian tambahan untuk melihat morfologi permukaan sampel dan luas permukaan pori elektroda menggunakan mikroskop pemindai elektron dan instrument BET (Bruneur Emmet Teller).

II. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Sampel kayu karet

dipotong melintang dengan tujuan mempertahankan pori alami kayu yang akan dipakai sebagai saluran elektrolit. Kayu karet dikeringkan menggunakan oven pada suhu 100°C sampai ketebalan dan diameternya konstan. Kayu karet kemudian di cetak membentuk pelet dengan ketebalan 4 - 7 mm dan diameter 18 – 20 mm. Karbonisasi dan aktivasi dilakukan pada sampel dengan menggunakan gas N2

pada suhu 600°C dan gas CO2 pada suhu 800°C. Sampel kemudian dipoles menggunakan amplas sampai ketebalannya 1 mm dan diameter 12 mm. Pengaktivan KOH dan HNO3 diberikan pada elektroda karbon yang bertujuan untuk memperbesar diameter pori dan meningkatkan luas permukaan elektroda. Pengaktivan KOH menggunakan variasi konsentrasi 1M, 3M, 5M dan pengaktifan dengan HNO3 dilakukan pada konsentrasi 25%. Setelah elektroda karbon diaktivasi dilakukan pencucian dengan menggunakan air aquades. Pencucian dilakukan secara berulang – ulang sampai pH air cucian menjadi netral (pH = 7). Elektrolit yang digunakan ketika pengukuran sifat elektrokimia sel superkapasitor adalah H2SO4 1M. Perakitan sel superkapasitor dibuat dalam bentuk dua elektroda dengan susunan yaitu teflon, pengumpul arus (current collector), separator (pemisah) dari membran kulit telur itik dan elektroda karbon. Elektroda dibuat dengan tiga variasi dengan kode KOH 1M, KOH 3M dan KOH 5M. Penentuan nilai kapasitansi spesifik pada elektroda karbon sel superkapasitor dengan metode CDC dihitung menggunakan persamaan (1) (Taer dkk, 2012).

Persamaan (1) menjelaskan hubungan antara variasi tegangan dan waktu pada arus konstan. Pengukuran sampel dengan metode CDC dilakukan pada rapat arus konstan sebesar 0,01 mA/cm2, dengan variasi tegangan antara 0,01 V – 1 V. Pengukuran CDC dilakukan menggunakan alat solartron interface 1286.

Untuk meninjau struktur morfologi permukaan elektroda karbon, maka telah dilakukan pengujian mikroskop pemindai elektron. Pengujian mikroskop pemindai elektron menggunakan perbesaran 100 KX terhadap permukaan sampel. Pengujian serapan gas N2 dan luas permukaan pori sampel juga telah dilakukan menggunakan instrument BET.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Waktu (s)

0 50 100 150 200 250

Pot

ensi

al (

V)

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0 1M3M5M

Gambar 1. Kurva charge discharge berdasarkan variasi konsentrasi KOH dengan rapat arus 0,01 mA/cm2.

Pengujian sifat elektrokimia sel superkapasitor menggunakan metode CDC telah berhasil dilakukan. Hasil karakterisasi dengan metode CDC dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 adalah hasil karakterisasi dengan metode CDC yang menunjukkan hubungan antara tegangan terhadap waktu pada arus konstan yaitu 0,01 mA/s. Secara umum bentuk grafik yang dihasilkan pada pengukuran

Page 40: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

30

metode CDC ini menyerupai bentuk segitiga. Bentuk segitiga ini sama dengan hasil yang telah diperoleh pada penelitian sebelumnya yang menggunakan elektroda karbon dari ampas tebu (Taer, 2014). Rapat arus yang kecil menghasilkan waktu charge dan discharge yang lebih panjang. Sampel elektroda karbon dengan konsentrasi KOH 3M memiliki waktu charge discharge terbesar dari semua variasi yang mengindikasikan nilai kapasitansi spesifik tertinggi. Nilai kapasitansi spesifik dapat dihitung menggunakan persamaan (1). Nilai kapasitansi spesifik yang diperoleh pada masing-masing sampel dengan KOH 1M, KOH 3M dan KOH 5M yaitu 27,39 F/gram, 66,68 F/gram dan 45,21 F/gram. Metode CDC juga menjelaskan hubungan nilai rapat daya terhadap rapat energi yang ditampilkan pada Gambar 2.

Rapat Energi (Wh/kg)

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 1,6

Rap

at D

aya

(W/k

g)

50

100

150

200

250

300

1M3M5M

Gambar 2. Kurva rapat energi dan rapat daya dengan rapat arus 0,01 mA/s

Tekanan Relatif (P/P0)

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0

Vol

ume

STP

(cm

3 /gra

m)

0

10

20

30

40

50

1M5M

Gambar 3. Hubungan volume serapan terhadap perubahan tekanan gas N2 untuk karbon aktif

monolit dari kayu karet

Gambar 2 secara umum menjelaskan terjadi pengurangan daya diikuti peningkatan energi. Energi yang dihasilkan besar maka daya yang dihasilkan kecil sebaliknya jika energi yang dihasilkan kecil maka daya yang dihasilkan besar. Berdasarkan hasil grafik terlihat bahwa sampel dengan aktivator KOH 3M menunjukkan hubungan rapat energi dan rapat daya yang terbaik dibandingkan sampel dengan aktivator KOH variasi lainnya. Rapat energi terbesar dari sampel dengan variasi KOH 1M, 3M dan 5M yaitu 0,192 Wh/kg, 1,587 Wh/kg dan 0,997 Wh/kg. Sedangkan rapat daya terkecil dari sampel dengan variasi aktivator KOH 1M, 3M dan 5M yaitu 86,68 W/kg, 102,137 W/kg dan 116,608 W/kg.

Gambar 3 menampilkan hubungan volume serapan gas N2 terhadap perubahan tekanan gas P/Po untuk elektroda pada KOH 1M dan KOH 5M. Serapan gas adsorpsi isotermal gas N2 terlihat pada tekanan diatas 0,1 yang menunjukkan pola serapan gas tipe I, dimana pola serapan tipe I menunjukkan bahwa pada tekanan rendah mengalami peningkatan penyerapan dan pada tekanan yang lebih tinggi tampak tidak menunjukkan penyerapan yang berarti. Hasil karakterisasi menggunakan instrument BET menunjukkan luas permukaan pori dengan variasi KOH 1M dan KOH 5M yaitu sebesar 31,72 m2/gram dan 95,95 m2/gram.

Gambar 4 memperlihatkan hasil mikroskop pemindai elektron dari permukaan elektroda karbon dengan variasi konsentrasi 1 M KOH dan 5 M KOH. Gambar 4A adalah elektroda dengan konsentrasi 1 M KOH dan Gambar 4B elektroda dengan konsentrasi 5 M KOH dengan perbesaran 100 KX. Secara umum gambar yang dihasilkan memperlihatkan pori yang berbentuk seperti rongga

Page 41: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

31

persegi panjang dan didalam rongga tersebut juga terdapat pori-pori yang ukurannya lebih kecil. Gambar 4A terlihat elektroda yang dihasilkan memiliki banyak rongga dengan susunan dinding rongga yang rapi. Hasil mikroskop pemindai elektron menunjukkan bahwa pori yang dihasilkan adalah pori makro seragam pada semua variasi aktivator KOH. Hasil yang sama telah di publikasikan sebelumnya oleh (Liu, 2012) yang menggunakan kayu poplar sebagai elektroda superkapasitor.

Gambar 4. SEM mikrograf elektroda karbon berdasarkan variasi KOH dengan perbesaran 100 KX (A) 1M KOH (B) 5M KOH

IV. KESIMPULAN Pembuatan elektroda karbon superkapasitor dari kayu karet telah berhasil dilakukan. Analisa

sifat elektrokimia superkapasitor telah dilakukan dengan menggunakan metode CDC. Hasil karakterisasi menggunakan metode CDC di dapatkan bahwa nilai kapasitansi terbesar ada pada variasi KOH 3M sebesar 66,68 F/gram. Rapat energi terbesar didapatkan pada KOH 3M yaitu sebesar 0,192 Wh/kg sedangkan rapat daya terkecil didapatkan pada KOH 1M yaitu sebesar 86,68 W/kg. Karakterisasi serapan gas N2 menggunakan BET didapatkan luas permukaan terbesar ada pada variasi KOH 5M yaitu sebesar 95,95 m2/gram. Foto SEM menunjukkan permukaan elektroda karbon kayu karet terdiri dari pori makro yang seragam dengan luas permukaan pori yang berbeda – beda.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementrian Riset dan Teknologi atas bantuan

pendanaan melalui project penelitian Insinas Ristek tahun 2015 dengan judul “SUPERKAPASITOR UNGGUL BERBASIS MESOKARBON DARI LIMBAH KAYU KARET”.

DAFTAR PUSTAKA Arepalli, S., Fireman, H., Huffman, C., Moloney, P., Nikolaev, P., Yowell, L., Higgins, C. D., Kim,

K., Kohl, P. A., Turano, S. P. and Ready W. J. 2005. Carbon nanotube based electrochemical double layer capacitor technologies for spacefligh applications. Journal of The Minerals, Metals and Materials Society, 57:26-31.

Dongale, T.D., P.R. Jadhav, G.J. Navathe, J.H. Kim, M.M. Karanjkar, P.S. Patil, Material Science in Semiconductor Processing. 36, 43-48 (2015).

Kotz, R., Carlen M. 2000. Principles and Applications of Electrochemical Capacitors. Electrochimica Acta 45 (15-16):2483-2498.

Liu, M. C., Kong B., Zhang, P., Luo Y. C., Kang, L. 2012. Porous wood carbon monolith for high-performance supercapacitors. Electrochemica Acta 60, 443-448.

Taer, E., Deraman, M., Talib, I. A., Awitdrus, A., Hashmi, S. A., Umar, A. A. 2011. Preparation of a Highly Porous Binderless Activated Carbon Monolith from Rubber Wood Sawdust by a Multi-Step Activation Process for Application in Supercapacitors. International Journal of Electrochemical Science. 6:3301-3315.

Taer, E., Iwantono, Manik, S. T., Taslim, R., Dahlan, D., Deraman, M. 2014. Preparation of Activated Carbon Monolith Electrodes from Sugarcane Bagasse by Physical and Physical-chemical Activation Process for Supercapacitor Application. Advanced Material Research 896, 179-182.

Wei, L., Yushin, G. 2012. Nanostructured activated carbons from natural precursors for elecrical double layer capacitors. Nano Energy (2012) 1, 552-565.

Page 42: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

32

KARAKTERISASI I-V SENSOR GAS LIQUEFIED PETROLEUM GAS (LPG) DARI BAHAN SEMIKONDUKTOR CuO DIDOPING TiO2

Elvaswer, Essy Puspa Zelvia

Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus Unand, Limau Manis, Padang, 25163

e-mail: [email protected]

ABSTRAK Telah dilakukan karakterisasi sensor Liquefied Petroleum Gas (LPG) berupa pelet heterokontak dengan lapisan pertama pelet adalah 100% mol CuO dan lapisan kedua pelet adalah CuO yang dicampur 10% mol, 20% mol, 30% mol, 40% mol dan 50% mol TiO2. Tahap pembuatan sensor LPG terdiri atas pencampuran bahan, kalsinasi pada temperatur 500oC selama 4 jam, penggerusan, kompaksi, dan sintering pada temperatur 700oC selama 4 jam. Sensor LPG diuji pada temperatur ruang (27oC) dengan melihat karakteristik arus dan tegangan (I-V), nilai sensitivitas, nilai konduktivitas dan karakterisasi XRD. Karakteristik I-V menunjukkan perubahan terbesar terjadi pada sampel CuO/CuO(20% mol TiO2). Nilai sensitivitas tertinggi dimiliki sampel CuO/CuO(20% mol TiO2) sebesar 11,94 pada tegangan 10 volt, dan merupakan sampel yang paling bagus digunakan sebagai sensor gas LPG. Nilai konduktivitas tertinggi dimiliki sampel CuO/CuO(10% mol TiO2) dengan nilai konduktivitas di udara sebesar 6,605573x10-5 Ω-1m-1 dan nilai konduktivitas di LPG 25,80712x10-5 Ω-1m-1. Kata kunci : heterokontak, sensor LPG, CuO/CuO(TiO2), karakterisasi I-V, sensitivitas, konduktivitas.

ABSTRACT The Liquefied Petroleum Gas (LPG’s) sensor in the form of hetero-contact pellet has been characterized. The first layer of the sensor is pure CuO and the second is CuO mixed with TiO2 at various moles (10, 20, 30, 40 and 50%). The steps of manufacturing processes are the mixing of materials, calcination at 500 oC for 4 hours, blending, compaction, and sintering at 700 oC for 4 hours. The sensor was tested at room temperature through current (I)-voltage (V) characteristics, sensitivity, conductivity and XRD observations. The most significant change of I-V characteristics was observed for the sample of CuO/CuO (20% mole of TiO2). The largest sensitivity of this sample is 11.94 at 10 Volt, and we concluded that this sample is the best to be used as the LPG’s sensor. The sample of CuO/CuO (10% mole of TiO2) has the highest conductivity, i.e. 6.605573 x10-5 Ω-1m-1 and 25.80712 x10-5 Ω-1m-1 in air and the LPG respectively. Keywords : LPG sensor, hetero-contact, CuO/CuO(TiO2), I-V characteristic, sensitivity, conductivity

I. PENDAHULUAN Liquefied Petroleum Gas (LPG) telah banyak digunakan mulai dari rumah tangga seperti

pada kompor, penghangat ruangan hingga bahan bakar untuk menggerakkan mesin dalam industri. Banyaknya penggunaan gas LPG, muncul masalah yang selalu menjadi kendala dalam penggunaan gas ini, yaitu kebocoran dan ledakan gas. Jika gas LPG mengalami kebocoran akan tercium baunya sehingga kebocoran normal mudah dideteksi oleh pengguna secara subjektif. Akan tetapi, bila gas yang bocor meresap ke dalam saluran air, instalasi listrik, atau ke bawah karpet, maka akan sulit dideteksi oleh indra penciuman manusia. Terlebih lagi, keberadaan AC dan pemanas ruangan juga bisa menyamarkan bau gas yang seharusnya terdeteksi oleh hidung secara normal (Reyanda, dkk., 2013).

Resiko dibalik penggunaan gas LPG ini tentunya dapat diminimalisir dengan penggunaan alat yang mampu melakukan deteksi dini terhadap kebocoran gas. Alat ini bisa berupa perangkat keras, atau semacam sensor yang bisa bekerja efisien dengan sensitivitas yang tinggi terhadap kebocoran gas, salah satunya adalah sensor gas semikonduktor. Sensor dengan bahan semikonduktor memiliki kelebihan dalam mendeteksi gas, salah satunya dapat dilihat dari perubahan konduktivitas pada bahan material semikonduktor. Kelebihan lain dari sensor semikonduktor yaitu biaya bahan dan pembuatan yang murah dibandingkan dengan sensor gas elektrokimia dan optik (Hendri, 2012).

Bahan titanium dioxide (TiO2) merupakan bahan semikonduktor metal oksida (metal oxide) dan memiliki beberapa kelebihan seperti harganya yang murah, mudah digunakan serta tidak mengandung racun. Kelebihan-kelebihan tersebut menjadikan TiO2 digunakan sebagai bahan dalam

Page 43: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

33

pembuatan sel surya, sensor kimia, evolusi gas hidrogen, dan untuk aplikasi pemurnian lingkungan misalnya air (Pookmanee dan Phanichphant, 2009).

Penelitian sensor gas LPG sebelumnya pernah dilakukan oleh Yadav dkk. (2010) dengan menggunakan bahan tunggal yaitu TiO2. Sensor LPG berupa pelet TiO2, diuji untuk mendeteksi LPG pada temperatur ruang. Kemudian, Hendri (2012) meneliti bahan TiO2 yang didoping dengan CuO sebagai sensor gas CO2. Penelitian ini mendapatkan sensor dengan nilai sensitivitas yang lebih tinggi pada bahan yang didoping dibandingkan bahan murni TiO2. Selanjutnya, Deswardani (2013) juga telah melakukan penelitian karakterisasi sensor gas LPG dengan menggunakan bahan TiO2 didoping oleh ZnO. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa sensitivitas dan konduktivitas bahan yang didoping lebih tinggi dari bahan tanpa doping,.

II. METODOLOGI 2.1 Persiapan Pembuatan Pelet CuO didoping TiO2

Dalam penelitian ini diuji karakterisasi I-V dari semikonduktor heterokontak gas LPG. Sampel dibuat dengan lima macam persentase doping TiO2 yaitu sebanyak 10%, 20%, 30%, 40%,dan 50% mol terhadap bahan dasar CuO. Berikut reaksi kimia yang terjadi pada pelet :

)2()1(2)1( xxx OTiCuTiOxxCuO

dengan x adalah jumlah doping yang ditambahkan dalam mol. Bahan sampel digerus agar homogen selama 2 jam, kemudian dikalsinasi pada suhu 5000C

selama 4 jam, kemudian bahan dikompaksi, setelah dikompaksi bahan disintering pada suhu 7000C selama 4 jam.

2.2 Pengukuran Nilai I-V sensor LPG

Gambar 1 Skema rangkaian alat pengujian sensor LPG (Sumber: Basthoh, 2013)

Pengukuran nilai I-V dilakukan dengan salah satu bagian elektroda sampel dihubungkan dengan kutub positif sedangkan yang lainnya dihubungkan dengan kutup negatif (bias maju) dan untuk bias mundur polaritasnya dibalik. Antara sampel dan tegangan dihubungkan ke amperemeter, sehingga arus (I) dan tegangan (V) sampel dapat diukur. Pengukuran karakteristik I-V setiap sampel dilakukan dengan menyusun alat seperti Gambar 1, serta merangkai sampel dengan catu daya, multimeter, dan elektroda seperti pada Gambar 3.2 (a) dan (b). Temperatur yang digunakan adalah temperatur ruang, baik pada lingkungan udara maupun LPG. Pengukuran lebih dulu dilakukan pada lingkungan udara, kedua ujung pipa tidak dihubungkan dengan selang dan kran dibiarkan terbuka. Setelah semua persiapan dilakukan, sampel dirangkai bias maju dan kemudian dilanjutkan dengan bias balik. Tegangan divariasikan dari -30 Volt sampai dengan 30 Volt dengan interval 5 volt.

Pengukuran karakteristik I-V akan menentukan nilai sensitivitas sensor dan nilai konduktivitas sensor. Nilai sensitivitas dan konduktivitas dapat diketahui dengan melakukan perhitungan. Sensitivitas menunjukkan seberapa sensitif sensor dalam mendeteksi suatu zat. Nilai sensitivitas dapat ditentukan dengan Persamaan 1.

Udara

LPG

ISI

(1)

Page 44: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

34

Konduktivitas menunjukkan kemampuan suatu bahan untuk mengalirkan arus listrik. Nilai konduktivitas dapat ditentukan dari Persamaan 2.

L

RA (2)

III. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Karakteristik I-V sampel pada Lingkungan Udara dan LPG

Karakteristik I-V pada lingkungan udara dan LPG dapat diamati dengan mengukur arus dan tegangan pada msing-masing lingkungan. Pengukuran arus dan tegangan dilakukan pada temperatur ruang (30o C). Karakteristik I-V untuk sampel pertama CuO/CuO (50% mol TiO2) ditunjukkan pada Gambar 1, dan untuk sampel CuO/CuO (40% mol TiO2), CuO/CuO (30% mol TiO2), CuO/ CuO (20% mol TiO2), CuO/CuO (10% mol TiO2), berturut-turut ditunjukkan pada Gambar 2, Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5.

Gambar 2 Grafik I-V sampel CuO/CuO (50% mol TiO2)

Perbedaan arus pada lingkungan udara dan LPG menunjukkan bahwa arus pada lingkungan udara lebih besar dibandingkan arus pada lingkungan LPG. Dibandingkan bias mundur, arus pada bias balik nilainya lebih besar baik pada lingkungan udara maupun LPG. Hal ini dikarenakan sampel merupakan sampel heterokontak yang prinsip kerjanya sama dengan dioda p-n. Apabila sampel dibiaskan dalam arah maju, terjadi pengecilan daerah deplesi karena lubang-lubang sebagai pembawa muatan mayoritas pada tipe-p akan berpindah melalui sambungan ke tipe-n, sebaliknya elektron sebagai pembawa muatan mayoritas pada tipe-n akan berpindah melalui sambungan menuju tipe-p. Apabila sampel dibiaskan pada bias balik terjadi pelebaran daerah deplesi, karena baik elektron maupun lubang sebagai pembawa muatan mayoritas tertarik menjauhi sambungan. Sehingga arus pada bias maju lebih tinggi daripada arus pada bias balik.

Pada grafik keempat sampel di atas menunjukkan arus pada lingkungan udara lebih tinggi dibandingkan arus pada lingkungan LPG. Ini disebabkan oleh adanya reaksi reduksi LPG dengan oksigen teradsorbsi pada sampel yang menyebabkan elektron sulit melewati celah energi sehingga arus yang mengalir pada sampel akan berkurang.

Lapisan pertama sampel adalah CuO yang merupakan semikonduktor tipe-p. Sedangkan lapisan kedua sampel adalah komposit CuO(TiO2). Pada keempat sampel yang berfungsi sebagai material pengotor adalah CuO yang memiliki dua elektron valensi, sehingga ketika material pengotor ini diberikan kepada TiO2 yang memiliki empat elektron valensi maka akan terbentuk senyawa dengan kelebihan dua lubang, sehingga lapisan kedua pada sampel merupakan semikonduktor tipe-p.

Page 45: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

35

Gambar 3 Grafik I-V sampel CuO/CuO (40% mol TiO2)

Gambar 4 Grafik I-V sampel CuO/ CuO(30% mol TiO2)

Gambar 5 Grafik I-V sampel CuO/CuO (20% mol TiO2)

Menurut Nopriyanti (2012), untuk semikonduktor tipe-p nilai resistansi arus menurun ketika bereaksi dengan gas pereduksi seperti LPG. Sehingga ketika sampel berada pada lingkungan LPG, gas LPG akan bereaksi reduksi dengan oksigen teradsorbsi pada sampel dan menghasilkan arus yang lebih rendah dibandingan arus pada lingkungan udara.

Berbeda dari empat sampel sebelumnya grafik sampel CuO/Cu0 (10% mol TiO2) menunjukkan arus pada lingkungan LPG lebih tinggi dibandingkan arus pada lingkungan udara. Ini disebabkan karena penambahan doping TiO2 terhadap CuO pada lapisan kedua sampel paling kecil diantara sampel lainnya yaitu 10% mol TiO2, sehingga kemungkinan adanya cacat kristal kecil. Cacat kristal pada material zat padat memiliki pengaruh terhadap sifat fisisnya, salah satunya pada sifat listrik seperti perubahan arus listrik yang signifikan, perubahan tegangan, hambatan ataupun kapasitansi (Solikha, 2011). Inilah kenapa pada sampel CuO/CuO (10% mol TiO2) nilai arus pada lingkungan LPG lebih tinggi daripada nilai arus pada lingkungan udara.

Page 46: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

36

Gambar 6 Grafik I-V sampel CuO/CuO (10% mol TiO2)

Variabel lain yang mempengaruhi nilai arus pada LPG, lebih tinggi daripada lingkungan udara pada sampel CuO/CuO (10% mol TiO2) adalah permukaan sensor akan menyerap molekul-molekul oksigen yang berada di udara. Molekul-molekul oksigen yang teradsorbsi ini akan mengikat elektron bebas pada permukaan bahan sensor semikonduktor. Pengikatan elektron bebas menyebabkan terbentuknya lapisan deplesi (daerah kosong muatan bebas) pada daerah antara gas dan butir kristal. Pembentukan lapisan deplesi disertai pula dengan pembentukan potensial penghalang (potensial barrier) didaerah batas butir. Pembentukan lapisan deplesi dan potensial penghalang akan menentukan sifat kelistrikan sensor semikonduktor (Sayono, dkk., 2008). Ketika diberikan gas LPG lapisan deplesi akan mengecil, sehingga elektron akan mudah berpindah ke pita konduksi sehingga menyebabkan potensial penghalang menurun, dengan begitu arus pada LPG akan meningkat.

3.2 Karakteristik Sensitivitas Sensitivitas sensor LPG dari bahan semikonduktor heterokontak CuO/ TiO2(CuO) dapat

diketahui berdasarkan karakteristik I-V yang telah diperoleh. Perubahan sensitivitas kelima sampel dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Grafik perubahan sensitivitas terhadap tegangan

Berdasarkan grafik dapat diketahui bahwa sampel yang memiliki sensitivitas terbesar adalah sampel CuO/CuO (20% mol TiO2), sedangkan sensitivitas yang paling kecil adalah sampel CuO/CuO (40% mol TiO2). Hal ini karena keempat sampel ini didominasi dengan semikonduktor tipe-p. Bahan dengan kelebihan lubang akan bereaksi reduksi terhadap LPG sehingga terjadi penurunan arus. Begitupun dengan sampel CuO/CuO (10% mol TiO2) karena adanya cacat kristal ketika sampel bereaksi dengan gas LPG terjadi kenaikan arus yang signifikan. Perubahan nilai arus inilah yang mempengaruhi nilai sensitivitas sensor LPG.

3.3 Nilai Konduktivitas Sampel di Lingkungan Udara dan LPG Perubahan konduktivitas pada lingkungan udara yang ditunjukkan pada Gambar 8, sampel

CuO/CuO (10% mol TiO2) memiliki konduktivitas yang tertinggi dibandingkan sampel-sampel lainnya. Setelah diberikan pengaruh LPG yang dapat dilihat pada Gambar 9 bahwa sampel CuO/CuO(50% mol TiO2), sampel CuO/CuO(40% mol TiO2), sampel CuO/CuO(30% mol TiO2) dan

Page 47: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

37

sampel CuO/CuO(20% mol TiO2) pada lingkungan LPG lebih rendah dibandingan lingkungan udara. Karena ketika berekasi dengan gas LPG hambatan akan meningkat sehingga arus pada lingkungan LPG mengalami penurunan. Sebaliknya pada CuO/CuO(30% mol TiO2) nilai konduktivitas pada lingkungan LPG jauh lebih tinggi dibandingakn konduktivitas pada lingkungan udara. Karena ketika berekasi dengan gas LPG hambatan menurun sehingga arus pada lingkungan LPG mengalami kenaikan.

Gambar 8 Grafik perubahan konduktivitas di lingkungan udara

Gambar 9 Grafik perubahan konduktivitas di lingkungan LPG

IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sensor sudah mampu membedakan

kondisi lingkungan udara dengan lingkungan LPG. Nilai sensitivitas tertinggi terdapat pada sampel CuO/CuO(20% mol TiO2) yaitu 11,94, sehingga sampel ini merupakan sampel yang paling baik digunakan sebagai sensor gas LPG. Konduktivitas pada lingkungan LPG lebih tinggi dibandingkan pada lingkungan udara. Konduktivitas tertinggi dimiliki oleh sampel CuO/CuO(10% mol TiO2) dengan sensitivitas pada udara yaitu 6,605573x10-5 Ω-1m-1 dan nilai konduktivitas di LPG 25,80712x10-5 Ω-1m-1.

UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih atas dukungan dana Penelitian Unggulan Dosen Melibatkan Mahasiswa S2/S3

BOPTN Universitas Andalas 2014.

DAFTAR PUSTAKA Basthoh, E., 2013, Karakterisasi ZnO Didoping TiO2 untuk Detektor LPG, Tesis, Program Studi S-2

Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang Deswardani, F., 2013, Karakterisasi Semikonduktor TiO2(ZnO) Sebagai Sensor Liquefied Petroleum

Gas (LPG), Skripsi, Program Studi S-1 Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang.

Hendri, 2012, Karakterisasi TiO2 (CuO) dengan Metoda Keadaan Padat (Solid State Reaction) sebagai Sensor Gas CO2, Skripsi, Program Strudi S-1 Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang.

Page 48: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

38

Nopriyanti, R., 2012, Sintesis Lapisan Tipis SnO2 dalam Aplikasinya sebagai Sensor Gas CO dan Pengujian Sensitivitas, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Pookmanee, P. dan Phanichpant, S., 2009, Titanium Dioxide Powder Prepared by a Sol-Gel Method, Jur. Kimia Universitas Chiang Mai, hal 167.

Reyanda, D., Maulana, O.P. dan Ramdan, R.A., 2013, Alat Pendetekdi Gas LPG Dengan Sensor TGS 2610 Berbasis Mikrokontroler ATmega8535, Jur. Elektro Universitas Negri Jakarta, hal 2.

Sayono., Sujitno, Tjipto. Dan Susita, Lely., 2008, Efek Doping Indium Terhadap Sensitivitas Sensor Gas ZnO, P3TM – BATAN, hal 141.

Solikha,W., 2011, Pembuatan Sensor Gas Etanol Keramik Fe2O3 yang didoping 10% mol CuO dengan Menggunakan Metode Screen Printing, Skripsi, Program Studi S-1 Fisika, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Page 49: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

39

KARAKTERISTIK MEKANIK BETON POLIMER YANG DIFABRIKASIKAN MENGGUNAKAN BATU APUNG DAN LIMBAH PADAT BENANG KARET DENGAN PENGIKAT ALAMI (NATURAL

BINDER) POLIURETAN

Fauzi, Tamrin, Anwar Dharma Sembiring, Riduan Sani

Progam Ilmu Fisika Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara Email : Fauziman 55 @ gmail.com

ABSTRAK Beton polimer yang dibuat dari campuran agregat kasar dan halus dengan bahan perekat poliuretan telah diteliti. Pada penelitian ini beton polimer dibuat dengan bahan batu apung, pasir dari Pancur Batu, limbah padat benang karet berasal dari PTP III Tanjung Morawa Medan dan poliuretan sebagai pengikat. variasi komposisi yang dibuat yaitu pasir, batu apung (1 : 1) atau (50 gF : 50 gF), limbah padat benang karet 0%, 2%, 4%, 6%, 8% dan 10% dari berat total pasir dan batu apung, variasi komposisi poluretan 10%, 15% dan 20% dari berat total pasir dan batu apung. Parameter yang diamati adalah densitas, penyerapan air, kuat tekan, kuat impak, analisa mikro struktur menggunakan Scanning Electron Microscop (SEM), Difraksi Sinar-X (XRD). Kondisi optimum diperoleh karakteristik beton polimer sebagai berikut: densitas (1,67g/cm3), penyerapan air (13,25%), menggunakan standar ASTM-95, kuat tekan (8,59 MPa), kuat impak (5,2 kJ), menggunakan alat Universal Testing Machine tipe Sc-2DE. Hasil foto SEM terhadap mikrostruktur beton polimer menunjukkan bahwa pori-pori di dalam beton polimer tidak terdistribusi secara merata dan ukuran pori-pori berkisar antara 150-265 μm. Analisa XRD terlihat masing-masing komposisi pembentuknya masih ada kuarsa,batu apung dengan struktur kristal heksagonal, sedangkan limbah padat benang karet memiliki struktur amorf. Kata Kunci : Beton Polimer,Poliuretan, Batu Apung, Limbah Padat Benangkaret, SEM dan XRD

ABSTRACT Polymer concrete was made from a mixture of coarse and fine aggregate with a polyurethane adhesive. In this study, polymer concrete was made using pumice stone, sand from Pancur Batu, solid waste rubber thread -from PTP III Tanjung Morawa Medan and polyurethane as a binder. Variation of composition was made of sand- , pumice (1 : 1 ) or ( 50 g : 50 g ) , solid waste rubber thread were 0 % , 2% , 4 % , 6 % , 8 % and 10 % of the total weight of sand and pumice,variations of polyurethane composition were 10% , 15% and 20% of the total weight of sand and pumice. Measured parameters were density, water absorption, compressive strength, impact strength, microstructure analysis using Scanning Electron microscope (SEM) and XRD analysis. Based on observations was found that the optimum conditions of fabricated polymer concrete characteristics as follows: density (1.67g/cm3), water absorption(13.25%), with ASTM - 95 standard, compressive strength (8,59 MPa), impact strength (5.2 kJ), as resulted from a Universal Testing Machine type Sc - 2DE measurement. The SEM morphology of the microstructure of the polymer concrete showed that the pores in the polymer concrete are not uniformly distributed and the pore size range from 150-265 μm. XRD analysis and look of composition each constituent is maintained with the obsevation of quartz, pumice, whose hexagonal crystal structure, whereas the solid waste rubbert thread has amorphous structure. Keywords: polymer concrete, Polyurethane Pumice Stone, Solid WasteRubber, SEM and XRD

I. PENDAHULUAN Material yang sering digunakan dalam pembuatan perumahanan adalah batu bata karena

material ini merupakan salah satu material sebagai pembuat dinding bangunan yang terbuat dari tanah liat yang pengerasannya melalui proses pembakaran. Peningkatan akan bahan material ini semakin hari semakin meningkat. Material yang sejenis juga telah digunakan seperti batako, hal ini merupakan alternatif pengganti batu bata untuk bangunan.Batako merupakan beton ringan yang pengerasannya tidak dibakar dengan bahan pembentuknya berupa campuran semen, agregat halus (pasir), dan air (Simbolon, 2009).

Rekayasa material beton telah berkembang dewasa ini, salah satu dengan cara merekayasa material beton melalui penggunaan agregat ringan seperti batu apung. Untuk mempercepat waktu pengerasan beton dan sekaligus untuk menutup rongga – rongga pada beton lebih rapat agar tahan

Page 50: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

40

terhadap kelembaban tinggi maka perlu menambahkan material polimer(resin epoxy) pada pembuatan beton (Balaga dan Beandoin, 1985).

Alternatif pengganti perekat (binder) konversional semen dan bahan polimer juga telah di kembangkan saat ini.Dilihat kinerja perilaku bahan, binder memiliki sifat sifat yang berbeda dengan binder konvensional semen yang selama ini dipakai. Beberapa jenis binder polimer yang telah diteliti yakni resin epoksi dan poluretan memiliki waktu pengerasan yang relatif cepat di bandingkan semen konvensional. Disamping itu, keduanya mampu memberikan sifat mekanik yang baik (Efendi, 2002).

Pacheco–Torgal, dkk. (2012), mempublikasikan kinerja beton mengandung karet bandan limbah polietilen treptalat (PET), material tersebut mampu meningkatkan sifat mekanik dan daya elastis dari beton polimer yang dihasilkan. Menurut Son, dkk., (2011) efisien beton yang terisi limbah ban karet untuk meningkatkan deformabilitas dan kapasitas penyerapan energi dari tiang beton RFC (Rubber Filled Concrete) dengan mempertimbangkan kuat tekan beton yang berbeda, ukuran partikel limbah karet dan kadar karet. Penggunaan limbah karet ban untuk mengisi beton dapat meningkatkan bahan beton hingga 90%. Beton dengan bahan ini dapat meredam energi getaran, sehingga sesuai untuk aplikasi seismik (Son, dkk., 2011).

Salah satu perekat (binder) dalam pembuatan beton polimer telah dikembangkan dengan menggunakan poliuretan (PU). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa mikro partikel poliuretan memiliki efek luar biasa pada kinerja penyerapan bahan komposit karena mikro struktur dan bentuk mikropartikel polimer jenis ini (Jimenez, dkk., 2009).

Poliuretan telah terbukti sangat baik sebagai binder dalam pembuatan material akuistik. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian dalam pembuatan beton ringan ini akan menggunakan poliuretan alam sebagai perekat (binder), di samping itu bahan poliol dalam pembuatan poliuretanjuga digunakan poliol alam. Disisi lain pembuatan beton ini menggunakan agregat batu apung dan limbah padat benang karet. Berdasarkan penelitian awal dari limbah karet ini menunjukkan bahwa limbah ini tidak mungkin dapat digunakan kembali sebagai bahan utama dalam industri berbasis karet. Hal ini membuat peneliti melakukan rekayasa pemanfaatan kembali limbah karet yang terbuang dalam pembuatan beton polimer. Berdasarkan hal tersebut maka perlu diketahui pengaruh komposisi batu apung, pasir dan limbah padat benang karet terhadap karekteristik beton polimer dengan menggunakan perekat (binder) poliuretan. Besaran fisis dan mekanik yang diamati antara lain : densitas, penyerapan air, kuat tekan, kuat impak, analisa mikrostruktur menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dan Difraksi Sinar - X (XRD).

II. METODOLOGI Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan beton polimer pasir,batu apung, limbah padat

benang karet,poliuretan alami dan thinner. Bahan baku tersebut ditimbang sesuai dengan komposisi : (A1,A2,A3,A4,A5,A6), (B1,B2,B3,B4,B5,B6), dan (C1,C2,C3,C4,C5,C6),penambahan thinner berfungsi sebagai pengencer poliuretan alami seperti tabel 1.

Page 51: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

41

Tabel 1. Bahan baku

Kode Sampel

Pasir (gF) Batu

Apung (gF)

Limbah Benang Karet (gF)

Polyurethan Alam (gF)

Thinner (gF)

A1 50 50 0 10 5 A2 49 49 2 10 5 A3 48 48 4 10 5 A4 47 47 6 10 5 A5 46 46 8 10 5 A6 45 45 10 10 5 B1 50 50 0 15 7,5 B2 49 49 2 15 7,5 B3 48 48 4 15 7,5 B4 47 47 6 15 7,5 B5 46 46 8 15 7,5 B6 45 45 10 15 7,5 C1 50 50 0 20 10 C2 49 49 2 20 10 C3 48 48 4 20 10 C4 47 47 6 20 10 C5 46 46 8 20 10 C6 45 45 10 20 10

Setelah bahan baku ditimbang, kemudian dicampur dan diaduk dalam suatu wadah hingga

merata, selanjutnya adonan (slurry) tersebut dituangkan kedalam cetakan yang terbuat dari baja (mould steel). Ada dua model sampel uji, bentuk silinder (diameter 2,5 cm dan tinggi 10 cm), balok (10 x 2 x 1 cm). Proses pengeringan dipress pada hot compressor dengan dengan suhu 170 0 C selama 30 menit. Pengujian meliputi densitas, penyerapan air, kuat tekan, kuat impak, analisa mikrostruktur SEM, dan difraksi sinar-x

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Pengujian Densitas

Hasil pengukuran beton polimer berbasis pasir,batu apung dan limbah padat benang karet.

Gambar 1. Grafik hubungan antara densitas dengan pasir, batu apung dan limbah padat benang

karet

Dari gambar 1, terlihat densitas beton polimer adalah berkisar antara 1,48 – 1,75 gF/cm3. Dari grafik terlihat bahwa dengan penambahan limbah padat benang karet 2 gF pada komposisi (49: 49: 2) mengalami penurunan dengan densitas 1,48 gF/cm3. Hal ini dimungkinkan limbah batu apung dan limbah padat benag karet tidak terjadi reaksi atau tidak homogenitas. Nilai densitas tertinggi 1,69 gF/cm3 diperoleh pada komposisi (48: 48: 4.). Hal ini menunjukkan bahwa limbah padat benang karet sebagai pengisi sangat mempengaruhi dalam butir antar atom dimana pori-pori antar atom semakin

Page 52: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

42

membesar. Komposisi yang terbaik pada komposisi (48: 48: 4) pada 10%, 15 % dan 20 % poliuretan dari berat totalnya. Hal ini disebabkan batu apung cenderung menyerap lebih banyak poliuretan dibanding limbah padat benang karet, secara umum untuk beton konvensional (semen Portland) nilai densitasnya sekitar 2,307 gF/cm3 sedangkan semen pumis memiliki densitas 1,81 gF/cm3( Yassar, 2008).

Satyarno (2005) membedakan batako ringan berdasarkan berat pumis (densitasnya) 240 – 800 kg/m3 digunakan sebagai dinding pemisah atau dinding isolasi, sedangkan untuk berat jenis 1400 kg/m3 digunakan sebagai dinding pemikul beban dan berat jenis 1400 – 1800 kg/m3 dapat digunakan sebagai batako normal struktur (Satyarno, 2005). Pada referensi lain batako berpori diklasifikasikan sebagai batako ringan yang memiliki densitas < 1 gF/cm3 (Siperix, 2000).

3.2 Pengujian Penyerapan Air Nilai penyerapan air mencerminkan kemampuan benda uji untuk menyerap air setelah

direndam selama 24 jam. Gambar 2 memperlihatkan nilai penyerapan air yang diperoleh berkisar antara 5,41 % - 13,5 %.

Gambar .2. Grafik hubungan antara penyerapan air dengan pasir,batu apung dan limbah padat

benang karet

Dari grafik terlihat bahwa penambahan limbah padat benang karet 4gF pada komposisi (48:48:4) nilai penyerapan air cenderung meningkat sebesar 13,35% karena pori-pori antar atom semakin membesar. Bila penambahan limbah padat benang karet 10 gram pada komposisi (45:45:10) dan poliuretan 20 % dari berat total beton polimer nilai penyerapan menurun sebesar 5,41%, karena pori-pori semakin kecil. Jumlah resin poliuretan sangat mempengaruhi nilai penyerapan air pada beton polimer. Hal ini dikarenakan dengan adanya poliuretan alam sebagai binder sehingga pori pori dari beton polimer semakin kecil (Sperling dan Utracki, 1994). Jika penyerapan air pada beton polimer semakin kecil, maka beton polimer tersebut makin kedap (resistant) dan bertambah baik kualitasnya.

Semakin tinggi komposisi limbah padat benang karet yang digunakan maka nilai penyerapan air pada sampel semakin rendah, ini diakibatkan oleh tertutupnya pori-pori pada sampel. Dimana limbah padat benang karet juga berfungsi sebagai perekat/penyatu antara struktur batu apung dengan pasir sehingga rongga-rongga yang terdapat pada sampel dapat diminimalisasi.

Akibat sedikitnya rongga yang terdapat pada sampel maka penyerapan air semakin sedikit. Sedangkan peneliti lain yang telah melakukan pembuatan beton semen pumis dengan campuran semen, pasir dan batu apung dengan kondisi pengerasan udara terbuka menghasilkan penyerapan air sekiar 7,84 % (Simbolon, 2009). Untuk beton konvensional umumnya mempunyai nilai penyerapan air sebesar 5,5 % (Balaga dan Beandoin, 1985).

3.3 Pengujian Kuat Tekan Hubungan kuat tekan terhadap komposisi beton polimer diperlihatakan pada gambar 3. Kuat

tekan beton polimer diperoleh berkisar antara 0,88 – 11,75 MPa. Dari gambar 3, terlihat bahwa penambahan limbah padat benang karet sangat mempengaruh penurunan kuat tekan karena adanya pori-pori yang ter distribusidalam pasir dan batu apung. Nilai kuat tekan akan naik apabila jumlah poliuretan ditambahkan karena ikatan-ikatan terhadap pasir, batu apung dan limbah padat benang karet menjadi lebih kuat dan meningkatkan kuat tekan pada beton polimer. Kondisi optimum yang

Page 53: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

43

dicapai pada komposisi ( 49 : 49 : 2 ) nilai kuat tekan sebesar 8,59 MPa. Pada penelitian sebelumnya untuk beton normal dengan penambahan 5 % berat bahan polimer jenis polyethelen menghasilkan kuat tekan 23,3 MPa (Cong, 2012). Sedangkan peneliti lain yang telah melakukan pembuatan beton polimer yang diaplikasikan berdasarkan kuat tekan adalah 0,35 – 7 MPa digunakan sebagai dinding pemisah atau dinding isolasi, 7 – 17 MPa digunakan sebagai dinding pemikul beban dan kuat tekan > 17 MPa digunakan sebagai beton normal struktur. Ternyata dari klasifikasi tersebut dapat dinyatakan dengan variasi 10 %, 15 % dan 20% poliuretan termasuk dinding isolasi dan dinding pemikul.

Gambar 3. Grafik hubungan kuat tekan dengan pasir, batu apung dan limbah padat benang karet

3.4 Pengujian Impak Hubungan kuat impak terhadap komposisi beton polimer diperlihatkan pada gambar 5. Kuat

impak yang diperoleh berkisar antara 0,70 – 5,2 KJ/m2. Dari gambar 5, terlihat bahwa dengan penambahan limbah padat benang karet sangat mempengaruhi kemampuan benda menerima tekanan dimana komposisi maksimum ( 45: 45: 10 ) sebesar 5,2 KJ/m2 dan komposisi minimum ( 49: 49: 2 ) sebesar 0,70 KJ/m2. Dengan kata lain semakin banyak limbah padat benang karet dan poliuretan semakin besar kuat impak karena poliuretan memiliki kemampuan untuk pengikat yang baik sehingga memiliki ketangguhan. Hal ini telah terbukti data beberapa penelitian tentang pengikat alami (natural binder) menggunakan karet alam menyimpulkan bahwa pengikat alam mampu meningkatkan sifat mekanik akibat terjadinya interaksi fisika atau kimia antara dua komponen atau lebih (Sebayang, dkk., 2008).

.

Gambar 4. Hubungan antara kuat impak terhadap pasir, batu apung dan limbah padat benang karet.

3.5 Analisa Mikrostruktur Dengan SEM Analisa mikrostrukur dari beton polimer ditampilkan pada gambar 5a. Pada komposisi

(48:48:4) dengan poluretan 10% terlihat banyak rongga-rongga atau warna gelap. Bentuk rongga tidak beraturan (tidak terdistribusi merata) dan gumpalan agregat pasir, batu apung dan limbah padat benang karet diselimuti poluretan dengan warna putih (terang). Pada gambar 5b, pada komposisi (48:48:4) terlihat dengan bertambah poliuretan 15% akan mengisi rongga-rongga yang terdapat

Page 54: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

44

diantara butir dan menutupi pori-pori pada beton polimer dan ikatan antar struktur semakin kuat. Sedangkan pada gambar 5c, pada komposisi (48:48:4) dengan poliuretan 20% terlihat pori-porinya lebih sedikit. Bertambahnya poliuretan dapat menutupi pori-pori dengan ukuran pori-pori berkisar 150 – 265 µm dan menutupi cacat mikro pada beton polimer dimana terbentuk celah antar bahan karena banyaknya mikro filler yang cenderung menimbulkan pori-pori dan sulitnya poluretan untuk mengisi pori-pori.

a) b) c)

Gambar 5. Photo SEM beton polimer dengan poliuretan a) 10% b) 15% c) 20% pada komposisi (48:48:4).

3.6 Analisa Dengan Difraksi Sinar- X Analisa struktur komposit beton polimer (pasir, batu apung, limbah padat benang karet) yang

diidentifikasi komponen melalui analisa sinar-X.

Gambar 6. Pola difraksi sinar-X dari beton polymer 20%(48:48:4)

Pola difraksi sinar-X memperlihatkan puncak-puncak tertinggi yang teridentifikasi. Pola difraksi beton polimer dengan poliuretan 20% dan dari daftar data puncak (intensitas). Terlihat beton polimer terdiri dari puncak-puncak milik pasir (kuarsa) yaitu pada d=4,22Ả, 3,32Ả, 2,40Ả, 2,29Ả, 1,82Ả dan 1,64Ả. Selain kuarsa terdapat puncak(intensitas) batu apung terdiri dari d=4,8Ả, 4,28Ả, 4,02Ả, 3,73Ả, 3,63Ả, 3,23Ả, 3,17Ả, 3,10Ả dan 1,82Ả. Hal ini sesuai dengan PDF (5-0,490) .

Dari difraktogram sinar-X dapat disimpulkan bahwa beton polimer merupakan komposit karena masing-masing bahan pembentuknya masih terdapat kuarsa, batu apung berbentuk kristal heksagonal, sedangkan limbah padat benang karet memilki struktur amorf yang memberikan kontribusi pada backgroundnya.

IV. KESIMPULAN Sifat mekanik kuat tekan 11,75 MPa berkurang dengan bertambahnya poliuretan alam

sebagai matrik pengikat alam dan kuat impak makin meningkat 5,2 KJ/m. Peran poliuretan alam 20%

Page 55: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 1 55

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

45

sebagai binder pada komposisi pasir 48gr, batu apung 48gr,limbah padat benang karet 4gF (48:48:4) menunjukkan sifat morfologi dengan memiliki pori pori kerapatan yang lebih kecil atau rapat.

DAFTAR PUSTAKA Balaga A, dan J.J. Beandoin, 1985. Polymer Modified Concrete, Canadian Building Digest 241. Bilmayer, 1984, Text Book of Polymer, Third edition, New York, John Willey and Sons PP:242. Efendi, H., 2002. Karekteristik bahan refraktasi, Penelitian, Fakultas Teknik, Universitas Hasanudin,

Makasar. Emilia, Y., 2008, Pengaruh Penambahan Polimer Jenis Polyethilene Terhadap Tekanan Beton,

Politeknik Sriwijaya Palembang. Gomez J., et al (2009), Interpreting Polymer Networks Based on Ctor Oil Polyurethane Celluse

Derivatives and Polycrycid, Latin American Applied Research 39,pp. 131- 136. Pacheco-Turgal, F. et al, 2012. Properties and Durability of Concrete Containing Polymeric Waste,

Tryre Rubber and Polyethylene Composition from Polyurethane.pp 999-1003. Pelong, C., 2012: Physical and Zology binders anti aging agents. Jurnal Fuel 97. Rommel, E.1999, Pengaruh Penambahan Resin Polymer tehadap Perbaikan Karekteristik Beton

dengan Agregat Batu, http:// digilib gunadarma,ac.id Satyarno, I, 2005. Light weight Styrofoam Concrete for Highter and More Ductile Wall, Universitas

Gajah Mada. Sebayang. P, dkk 2008. Sintesa dan Perekayasaan Beton Polimer untuk Enkapsulasi Limbah

Padat tanpa menggunakan semen. Semiar Nasional Fundenmental. Teknik Kimia, ITS Surabaya.

Simbolon.T, 2009. Pembuatan dan karekteristik batako ringan yang terbuat dari Styron-semen,USU Medan.

Siperix, O, 2000. Autocleaved concrete. Blok, RT Envirionmental Declaration.1 (2) 3.23 House. Sperling, LH, Utracki L.A 1994. Advances in Polymer Chemistry 231. Wasington DC. Son, K. S. et,al, 2011. Strength Deformability of Waste Tyre Rubber Filled Reinforrced Concrete

Columns. Yassar E.2008. Strength and Thermal Conductivity in Light weigh Building Materials, Bull Eng.

Geo0l, Environ; 67: 513 – 519.