24
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak ribuan tahun yang lalu, obat dan pengobatan tradisional sudah ada di Indonesia, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat – obatan modern yang dikenal oleh masyarakat (Wijayakusuma, 2008), dimana tumbuh-tumbuhan memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat, baik sebagai sumber pangan, maupun obat-obatan. Selain untuk perawatan medis, pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional masih digunakan masyarakat, terutama di daerah pedesaan yang masih kaya akan tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat (Wayan, 2004). Tanaman obat telah terbukti efektif dapat menyembuhkan penyakit, efek samping yang ditimbulkan juga minim (Wijayakusuma, 2008). Tanaman obat dapat berkhasiat pada tubuh melalui sistem endokrin, kardiovaskuler, maupun pada sistem imun. Tanaman obat yang bekerja pada sistem imun tidak langsung bekerja sebagai efektor dalam menghadapi penyebab penyakit, tetapi melalui pengaturan sistem imun, sehingga digolongkan sebagai imunostimulator. Apabila tubuh mengalami infeksi dan mendapat pengobatan imunostimulator, maka imunostimulator tidak langsung memfagosit mikroorganisme, memacu sistem imun melalui mekanisme efektor sistem imun (Hasana,dkk, 2006).

Proposal Penelitian Angga

Embed Size (px)

DESCRIPTION

yte

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak ribuan tahun yang lalu, obat dan pengobatan tradisional sudah ada di Indonesia, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat obatan modern yang dikenal oleh masyarakat (Wijayakusuma, 2008), dimana tumbuh-tumbuhan memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat, baik sebagai sumber pangan, maupun obat-obatan.Selain untuk perawatan medis, pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional masih digunakan masyarakat, terutama di daerah pedesaan yang masih kaya akan tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat (Wayan, 2004). Tanaman obat telah terbukti efektif dapat menyembuhkan penyakit, efek samping yang ditimbulkan juga minim (Wijayakusuma, 2008). Tanaman obat dapat berkhasiat pada tubuh melalui sistem endokrin, kardiovaskuler, maupun pada sistem imun. Tanaman obat yang bekerja pada sistem imun tidak langsung bekerja sebagai efektor dalam menghadapi penyebab penyakit, tetapi melalui pengaturan sistem imun, sehingga digolongkan sebagai imunostimulator. Apabila tubuh mengalami infeksi dan mendapat pengobatan imunostimulator, maka imunostimulator tidak langsung memfagosit mikroorganisme, memacu sistem imun melalui mekanisme efektor sistem imun (Hasana,dkk, 2006). Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamatori, fase proliferasi, fase penyudahan (Wim de jong, 2004). Luka tidak dapat dibiarkan sembuh sendiri karena jika luka tidak dirawat dapat menyebabkan komplikasi penyembuhan luka yaitu dapat tejadi infeksi, perdarahan, dehiscence dan eviscerasi. Tujuan merawat luka yaitu untuk mencegah trauma (injury) pada kulit, membran mukosa atau jaringan lain yang disebabkan oleh adanya trauma, fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit (Prasetyo, 2009). Percepatan kesembuhan luka yang saat ini banyak dilakukan yaitu dengan cara mempertemukan kedua sisi luka, pemberian obat-obatan seperti salep antibiotik, dibalut dengan teknik tertentu seperti menggunakan hidrogel (Thomas, 1997; Fossum, 1997) atau dengan teknik vakum (tenaga negatif) di atas luka dalam beberapa menit (Thomas, 2001). Namun, cara penyembuhan itu masih dinilai kurang sederhana oleh sebagian masyarakat sehingga diperlukan alternatif lain untuk menyembuhkan luka selain menggunakan obat khusus maupun antiseptik. Salah satu alternative lain yang dapat digunakan yaitu menggunakan daun bunga tapak dara (C. roseus L. G. Don). Dimana daun bunga tapak darah (C. roseus L. G. Don) dapat dingunakan sebagai obat untuk penyembuh luka. Hal ini terjadi karena kandungan zat aktif yang terdapat dalam daun tersebut. Adanya zat aktif inilah yang mendorong dilakukannya penelitian ini yaitu bagaimana peran zak aktif tersebut dalam membantu proses penyembuhan luka.1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini, yaitu :Bagaimana ekstrak daun bunga tapak dara (C. roseus L. G. Don) dapat mempercepat proses penyembuhan luka? dan Berapa lama proses penyembuhan luka bila diberi ekstrak daun bunga tapak dara (C. roseus L. G. Don) ?1.3. Hipotesis H0 : Pengaruh pemberian ekstrak daun bunga tapak dara dapat mempercepat proses penyembuhan luka.H1 : Pengaruh pemberian ekstrak daun bunga tapak dara tidak dapat mempercepat proses penyembuhan luka. 1.4. Tujuan Penelutian1.4.1. Tujuan Umum Penelitian : Untuk mengetahui bagaimana daun bunga tapak dara (C. roseus L. G. Don) dapat mempercepat penyembuhan luka1.4.2. Tujuan Khusus Penelitian :a. Mengetahui seberapa cepat proses penyembuhan luka bila diberikan ekstrak daun bunga tapak dara (C. roseus L. G. Don)b. Memahami cara membuat ekstrak daun bunga tapak dara (C. roseus L. G. Don)c. Melihat perbandingan kecepatan proses pentembuhan luka antara Fovidoiodin dan Ekstrak daun bunga tapak dara (C. roseus L. G. Don)d. 1.5. Manfaat PenelitianManfaat penelitian ini adalah memberikan pengetahuan mengenai pemanfaatan ekstrak daun bunga tapak dara (Catharantus roseus L. G. Don) untuk mempercepat proses penyembuhan luka, dan memberikan alternatife obat dalam menyembuhkan luka.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Tapak Dara (Catharanthus roseus L. G. Don)2.1.1. Deskripsi Tanaman Tapak Dara (Catharanthus roseus L. G. Don)Tanaman tapak dara ini banyak ditanami bahkan tumbuh liar didaerah pedesaan, akan tetapi didaerah perkotaan hanyaditanam oleh beberapa orang saja. Tanaman ini memiliki Taxonomi sebagai berikut :Kingdom: PlantaeDivisio: SpermatophytaSub divisio: AngiospermaeClass: DicotyledonaeFamily: ApocynaceaeGenus: CatharanthusSpesies: Catharanthus roseus L. G. Don

Gambar Bunga Tapak Dara (Catharanthus roseus L. G. Don)Tanaman ini berbentuk perdu tegak dengan tinggi maksimal berkisar 0.8 m, mengandung getah. Berdaun tunggal dan bertepi rata, bertangkai pendek dengan bentuk daun memanjang sampai bulat telur. Bunga dalam anak paying, berkelamin 2 (dua) dan bercangkap. Mahkota berdaun lekat dengan letak berputar. Kepala sari beruang dua, bakal buah beruang satu. Mahkota berbentuk terompet dengan panjang berkisar 3 cm. Biji tanpa rambut Gombak. (Dalimartha, 2002)

2.1.2. Morfologi Tanaman Tapak Dara (Catharanthus roseus L. G. Don)Tapak dara merupakan tanaman herba/semak yang tegak, hidup lama, tinggi 0,2-0,8 m dan mengandung getah. Batangnya mengandung getah berwarna putih susu, berbentuk bulat dengan diameter berukuran kecil, berkayu, beruas, bercabang, dan berambut sangat lebat. Daun bersusun berhadapan, bertangkai pendek, memanjang bulat telur dengan pangkal serupa baji dan ujung tumpul panjang 2 6 cm, lebar 1 3 cm, dan tangkai daunnya sangat pendek. Bunganya muncul dari ketiak daun. Kelopak bunga kecil, berbentuk paku. Mahkota bunga berbentuk terompet, dan ujungnya melebar. Tepi bunga datar, terdiri dari taju bunga berbentuk bulat telur, dan ujungnya runcing menutup ke kiri. berbunga sepanjang tahun, berbentuk tubular, panjang 1,5-4 cm, lebar 5 cm memiliki 5 mahkota kecil. Bunga berwarna violet, merah rosa, putih (var. albus), putih dengan bintik merah (var. ocellatus), ungu, kuning pucat. Buahnya berbentuk silindris, ujung lancip, berbulu, panjang sekitar dengan panjang folikel 1-4 cm hijau dan berbiji banyak tanpa rambut gombak. Bijinya mempunyai panjang 1-2mm berbentuk persegi panjang, hitam, kotiledon datar, endosperm kecil. Panjang akar dapat mencapai 70 cm (Hariana, 2006)

2.1.3. Kandungan Kimia Tanaman Tapak Dara (Catharanthus roseus L. G. Don)Dalam daun tapak dara (Catharanthus roseus L. G. Don) terkandung senyawa fitokimia yakni alkaloid vinka (vinkristin, vinblastin, dan vinorelbin), flavonoid dan isoflavonoid. Senyawa yang paling dominan yakni alkaloid vinka yaitu vinkristin, vinblastin dan vinorelbin. Vinblastine digunakan untuk penderita Hodgkins disease dan vincristine digunakan untuk anak-anak penderita leukemia. Dengan digunakannya vincristine, anak-anak penderita leukimia yang selamat meningkat dari 20% menjadi 80%. Vincristine, selain dipakai dalam pengobatan leukemia, juga kanker payudara, dan tumor ganas lainnya. Vinorelbine yang seringkali digunakan sebagai bahan pengobatan untuk mencegah pembelahan kelenjar. Zat itu merupakan bahan organik yang mengandung nitrogen. Sedangkan senyawa lainnya seperti flavonoid memiliki sifat antioksidan, antidiabetik, antikanker, antiseptik, dan anti-inflamasi. Kandungan kimia lainnya yang terdapat di daun tapak dara (Catharanthus roseus L. G. Don) adalah alkoloid turunan, seperti vendicine dan vinorelbine (Winarsih, 2007)

2.2. Luka2.2.1. Definisi LukaLuka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang.Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul: Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, Respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. 2.2.2. Mekanisme Terjadinya Lukaa. Luka insisi (Incised wounds):Terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi)b. Luka memar (Contusion Wound):Terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.c. Luka lecet (Abraded Wound):Terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.d. Luka tusuk (Punctured Wound):Terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.e. Luka gores (Lacerated Wound):Terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.f. Luka tembus (Penetrating Wound):Yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar (Walton. R, 1990)

2.2.3. Klasifikasi Luka2.2.3.1. Klasifikasi luka Menurut tingkat Kontaminasi terhadap luka :a. Clean Wounds (Luka bersih):Yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.b. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi):Merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.c. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi):Termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi):Luka kotor adalah luka lama,dimana mengandung jaringan mati dan terdapat tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama (Rosdahi & Kowalski, 2008)

2.2.3.2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, dibagi menjadi :a. Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema)Yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.b. Stadium II : Luka Partial Thickness :Yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.c. Stadium III : Luka Full Thickness :Yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.d. Stadium IV : Luka Full ThicknessYaitu luka yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas (Black & Hawks, 2005)

2.2.3.3. Menurut waktu penyembuhan, luka dibagi menjadi :a. Luka akut :Yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.b. Luka kronis Yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.

2.2.4. Proses Penyembuhan LukaTubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan proses peradangan, yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama: bengkak (swelling), kemerahan (redness), panas (heat), Nyeri (pain) dan kerusakan fungsi (impaired function). Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase :i. Fase InflamasiFase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi sebagai hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan substansi vasokonstriksi yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi (Wim de jong, 2004) Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat stimulasi saraf sensoris (Local sensory nerve endding), local reflex action dan adanya substansi vasodilator (histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin). Histamin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi edema jaringan dan keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis. Secara klinis fase inflamasi ini ditandai dengan : eritema, hangat pada kulit, edema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 (Wim de jong, 2004)ii. Fase ProliferatifProses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses reonstruksi jaringan.Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblast sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun (rekontruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam didalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi. Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth faktor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet (Wim de jong, 2004)iii. Fase MaturasiFase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah ; menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringa mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan.Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka (Wim de jong, 2004) Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal. Meskipun proses penyembuhanluka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi biologis masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi, diserta penyakit sistemik diabetes mielitus (Wim de jong, 2004)

2.2.5. Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka1. UsiaSemakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan yang terjadi akibat menurunnya imun atau daya tahan tubuh seseorang.2. InfeksiInfeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka.3. HipovolemiaKurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.4. HematomaHematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.5. Benda asingBenda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (Pus).

6. IskemiaIskemi merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.7. DiabetesHambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.8. PengobatanSteroid: akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cederaAntikoagulan: mengakibatkan perdarahanAntibiotik: efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular (Perkasa, 2009)

BAB IIIMETODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan PenelitianPenelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan rancangan Nonequivalent Control Group Design. Terdapat tiga kelompok penelitian yaitu kelompok ekperimental, kelompok kontrol positif,dan kelompok kontrol negatif. Dimana kelompok eksperimental diberikan perlakuan berupa pemberian ekstrak daun bunga tapak dara, kelompok kontrol positif diberikan perlakukan berupa pemberian povido iodine, sedangkan kelompok kontrol negatif tidak diberikan perlakuan.3.2. Waktu dan Tempat PenelitianPenelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, pada Bulan Maret 2013 sampai Juni 2013

3.3. Sampel dan Besar SampelSampel dari penelitian ini adalah tikus putih yang dipilih secara acak yang terdiri dari tikus jantan dan betina dengan berat badan berkisar 200-250 g. Besar sampel ditentukan dengan rumus menurut Fraenkle and Wallen.

(np - 1) (p - 1) pDi mana : p = jumlah kelompok hewan coba n = jumlah hewan coba tiap kelompok

(np - 1) (p - 1) p

(n.4 - 1) (4 - 1) 4(4n - 1) 3 16 4n 20 n 5Berdasarkan perhitungan tersebut sampel minimal yang diperlukan adalah 5 (lima) ekor tikus putih untuk setiap kelompok perlakuan. Sehingga jumlah minimal seluruh sampel yang digunakan adalah 20 ekor tikus putih. Pada penelitian ini, tiap kelompok perlakuan dilebihkan 2 ekor tikus putih, sehingga jumlah tikus putih yang digunakan 28 ekor tikus putih.3.4. Kriteria Sampel3.4.1. Kriteria Inklusi Tikus jantan dengan berat badan 150 200 g, usia 3 bulan3.4.2. Kriteria Ekslusi Terdapat penyakit penyerta pada sampel Terdapat luka pada sampel Tikus mati sebelum dilakukan percobaan3.5. Alat dan Bahan3.5.1. AlatPenelitian ini menggunakan peralatan berupa surgical blade, gunting, pinset, alat pencukur, erlenmeyer, rotary evaporator, gelas ukur, lumping dan mortar, corong kaca, labu ukur 100 mL, beker glass, pipet volume 1 mL, dan spuit 1 mL.

3.5.2. BahanBahan yang digunakan adalah Tikus putih jantan, daun bunga tapak dara (Catharantus roseus L. G. Don), etanol 95%, alkohol 70% pellet ( pakan standar tikus), povido iodine 10% (betadin), ketamine 0,3 mg/ekor, dan rompun 1,5 mg/ekor.3.6. Prosedur Kerja3.6.1. Pembuatan Ekstrak Daun Bunga Tapak Dara (Catharantus roseus L. G. don)a. Penyediaan SampelSampel yang digunakan adalah daun bunga tapak dara (Catharantus roseus L. G. Don) yang didapatkan di daerah Kota Bengkulu. Sampel dibersihkan dari pengotor dan dihaluskan dengan menggunakan blender sampai diperoleh serbuk daun bunga tapak dara (Catharantus roseus L. G. Don) kemudian di keringkan di udara terbuka, setelah kering sampel ditimbang sebanyak 1 kg.b. Pembuatan EkstrakSerbuk daun bunga tapak dara (Catharantus roseus L. G. Don) dimaserasi dengan cara sebanyak 1 kg serbuk daun bunga tapak dara (Catharantus roseus L. G. Don) yang telah dihaluskan dimasukkan dalam erlenmeyer dan ditambahkan etanol hingga semua serbuk daun sirsak terendam. Lalu, dibiarkan selama 24 jam kemudian disaring, perlakuan ini dilakukan selama 3 hari berturut-turut. Selanjutnya filtrat yang diperoleh dipisahkan dari pelarutnya, pelarut diuapkan dengan bantuan rotary evaporator agar diperoleh ekstrak yang kental.3.6.2. Uji Fitokimiaa. Uji Alkanoid (Uji Draggendorff)Sebanyak 0,5 gram sampel digerus dengan mortar kemudian ditambahkan dengan 10 ml kloroform dan beberapa tetes amoniak. Akan terbentuk dua fase. Fase kloroform kemudian dipisahkan dan diasamkan dengan H2SO4 sebanyak 10 tetes. Bagian asamnya dipisahkan dan diuji dengan 3 pereaksi, yaitu pereaksi Dragendrof, Mayer dan Wagner. Adanya alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan warna merah dengan penambahan pereaksi Dragendrof, dengan endapan putih denga pereaksi Mayer, dan endapan coklat dengan pereaksi Wagner (Robinson, 1995)b. Uji Saponin (Uji Forth)Sebanyak 0,5 gram sampel ditambahkan air lebih kurang 2 ml. Setelah dipanaskan selama 5 menit, lau didinginkan. Filtrate kemudian dikocok selama lebih kurang 5 menit. Busa yang terbentuk tidak kurang dari 1 cm dan stabil setelah 15 menit menunjukkan bahwa terdapatnya senyawa saponin (Harborne, 1996)c. Uji Steroid dan TriterpenoidSebanyak 0,5 gram sampel ditambahkan 25 ml etanol kemudian dipanaskan dan disaring. Filtratnya diuapkan dan ditambahkan eter. Lapisan eter direaksikan dengan pereaksi Liebermann-Buchard (3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat). Terbentuknya warna hijau atau biru menunjukkan adanya steroid dan terbentuknya warna merah atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid (Harborne, 1996)d. Uji FlavonoidSebanyak 0,5 gram sampel dilarutkan dalam methanol kemudian dipanaskan. Filtrat kemudian ditambahkan dengan H2SO4 pekat. Terbentuknya warna merah menunjukkan adanya flavonoid (Harborne, 1996)e. Uji TaninSebanyak 0,5 gram sampel ditambahkan iar lebih kurang 2 ml kemudian dididihkan dan disaring filtratnya. Filtratnya ditambah dengan FeCL3 1 % (b/v) terbentuknya warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya senyawa tannin (Harborne, 1996)3.6.3. Pembuatan Luka pada Mencit dan Perlakua LukaPerlakuan luka dilakukan sesuai metode morton. Caranya kulit punggung mencit dirontokkan bulunya kemudian dianestesi dan dibuat luka berbentuk lingkaran diameter 2 cm (area melingkar = 300 mm2) dan kedalaman 0,2 cm dengan cara mengangkat kulit mencit dengan pinset dan digunting dengan gunting bedah.Kemudian pada masing-masing kelompok hewan uji yang telah dibuat luka langsung diberikan perlakuan yaitu dioleskan krim sebanyak 100 mg/KgBB/hari sesuai dengan kelompoknya dengan frekuensi 3 x sehari kemudian ditutup dengan kasa dan plaster.Parameter yang diamati adalah hiperemis (warna), pembentukan jaringan granulasi, pembentukan krusta, kontraksi dan epitelisasi setiap harinya pada masing-masing kelompok. Hewan dinyatakan sembuh ditandai tumbuhnya kulit baru dan tumbuh bulu disekitar luka. Pembanding yang digunakan pada pengujian efek ini adalah povidon iodine 10%.3.7. Variabel PenelitianVariabel Bebas : ekstrak daun bunga tapak dara (Catharantus roseus L. G. Don)Variabel Terikat : proses penyembuhan luka3.8. Analisis DataData yang telah diperoleh dari hasil pengamatan parameter penyembuhan luka dianalisis secara statistic dengan parametric test yaitu ANAVA satu arah (One way ANOVA). Analisa dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh perlakuan antara ke-3 perlakuan, jika terdapat perbedaan maka analisis data dilanjutkan dengan Uji beda rerata pengaruh perlakuan Beda Nyata Terkecil (BNT) sesuai koefisiensi keragaman (KK). Kesimpulan yang diambil berdasarkan nilai signifikansi p