24
Header, halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal PROBLEMATIKA YURIDIS BIAYA PENGGUNAAN DAN BIAYA PERAWATAN PENGOPERASIAN DALAM PENGOPERASIONALAN PRASARANA PERKERETAAPIAN MILIK NEGARA Fuad Azhari Program Studi S1 Ilmu Hukum, Jurusan PMP-KN, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya [email protected] Abstrak Biaya penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara merupakan biaya yang harus dibayarkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian dalam hal ini KAI kepada penyelenggara prasarana perkeretaapian dalam hal ini Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. Dalam kegiatan perawatan pihak penyelenggara prasarana perkeretaapian memberikan penugasan kepada BUMN yang mendapatkan penugasan melakukan perawatan berdasarkan Perpres Nomor 53 Tahun 2012 Tentang Kewajiban Pelayanan Publik Dan Subsidi Angkutan Perintis Bidang Perkeretaapian, Biaya Penggunaan Prasarana Perkeretaapian Milik Negara, Serta Perawatan Dan Pengoperasian Prasarana Perkeretaapian Milik Negara yakni KAI melalui kontrak. Dalam pelaksanaannya hal tersebut tidak dilakukan oleh KAI maupun Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan memahami apakah perbuataan KAI tidak membayar biaya penggunaan dan perbuatan Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan yang tidak menganggarkan biaya perawatan dan pengoperasian telah sesuai dengan Perpres Nomor 53 Tahun 2012 dan solusi atas permasalahan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif untuk meneliti adanya kekosongan norma dan konflik norma. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang, pendekatan konsep dan pendekatan sejarah. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dengan melakukan studi pustaka terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.. Teknik pengolahan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengklasifikasikan secara sistematis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah terkumpul, sesuai dengan masalah yang diteliti.Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh KAI dengan tidak melakukan pembayaran biaya penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara sudah sesuai dengan Perpres Nomor 53 Tahun 2012. Perbuatan yang dilakukan Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan yang tidak memberikan dana BPP sebagai biaya atas perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian dibenarkan. Hal tersebut dikarenakan adanya blokir anggaran BPP yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Sebagai solusi hukum atas permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan perubahan Peraturan Pemerintah tentang PNBP Kementerian Perhubungan agar biaya penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara dikategorikan sebagai PNBP maka dengan demikian jika KAI telah membayarnya Kementerian Perhubungan dapat 1

PROBLEMATIKA YURIDIS BIAYA PENGGUNAAN DAN BIAYA PERAWATAN PENGOPERASIAN DALAM PENGOPERASIONALAN PRASARANA PERKERETAAPIAN MILIK NEGARA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : FUAD AZHARI

Citation preview

PROBLEMATIKA YURIDIS BIAYA PENGGUNAAN DAN BIAYA PERAWATAN PENGOPERASIAN DALAM PENGOPERASIONALAN PRASARANA PERKERETAAPIAN MILIK NEGARA

Fuad Azhari

Program Studi S1 Ilmu Hukum, Jurusan PMP-KN, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri [email protected]

Abstrak

Biaya penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara merupakan biaya yang harus dibayarkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian dalam hal ini KAI kepada penyelenggara prasarana perkeretaapian dalam hal ini Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. Dalam kegiatan perawatan pihak penyelenggara prasarana perkeretaapian memberikan penugasan kepada BUMN yang mendapatkan penugasan melakukan perawatan berdasarkan Perpres Nomor 53 Tahun 2012 Tentang Kewajiban Pelayanan Publik Dan Subsidi Angkutan Perintis Bidang Perkeretaapian, Biaya Penggunaan Prasarana Perkeretaapian Milik Negara, Serta Perawatan Dan Pengoperasian Prasarana Perkeretaapian Milik Negara yakni KAI melalui kontrak. Dalam pelaksanaannya hal tersebut tidak dilakukan oleh KAI maupun Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan memahami apakah perbuataan KAI tidak membayar biaya penggunaan dan perbuatan Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan yang tidak menganggarkan biaya perawatan dan pengoperasian telah sesuai dengan Perpres Nomor 53 Tahun 2012 dan solusi atas permasalahan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif untuk meneliti adanya kekosongan norma dan konflik norma. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang, pendekatan konsep dan pendekatan sejarah. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dengan melakukan studi pustaka terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.. Teknik pengolahanbahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengklasifikasikan secara sistematis bahan hukum primer danbahan hukum sekunder yang telah terkumpul, sesuai dengan masalah yang diteliti.Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh KAI dengan tidak melakukan pembayaran biaya penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara sudah sesuai dengan Perpres Nomor 53 Tahun 2012. Perbuatan yang dilakukan Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan yang tidak memberikan dana BPP sebagai biaya atas perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian dibenarkan. Hal tersebut dikarenakan adanya blokir anggaran BPP yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Sebagai solusi hukum atas permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan perubahan Peraturan Pemerintah tentang PNBP Kementerian Perhubungan agar biaya penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara dikategorikan sebagai PNBP maka dengan demikian jika KAI telah membayarnya Kementerian Perhubungan dapat melakukan perubahan DIPA untuk selanjutnya dibuatkan kontrak biaya perawatan prasarana perkeretaapian milik negara. KAI yang merasa keberatan terhadap perhitungan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung atas Permenhub Nomor 62 Tahun 2013 sedangkan permasalahan barang milik negara dapat dilakukan dengan penyertaan modal negara kepada KAI. Pemerintah dapat membentuk Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian umum yang bukan merupakan bagian dari KAI. Kata Kunci: Problematika Yuridis, Biaya Penggunaan, Biaya PerawatanAbstractTrack Access Charge is an obligatory payment by organization of general rolling stock which is PT Kereta Api Indonesia (Persero) to the Organization of Railways Infrastructure which is Directorat General of Train Transportation the Ministry of Transportation Indonesia. The responsibility of Infrastructure maintenance and operation is in the hand of PT Kereta Api Indonesia (Persero) through a contract. It is according to Presidential Decree Number 53 Year 2012 concerning public service obligation, Track Access Charge, and Infrastructure Maintenance and Operation. Yet, in the real implementation, this contract was never been made. It is due to the fact PT Kereta Api Indonesia (Persero) has always paid for every single infrastructure maintenance and operation. Moreover, The Directorat General of Train Transportation the Ministry of transportation has neither budgeted nor did the contract for the infrastructure maintenance and operation of the railways.This research was a normative legal research. There were three approaches used in this research statue, conceptual, and historical approach. In collecting data, technique used to collect legal materials was by employing a literature study on law materials consisting primary, secondary, and tertiary. It is aimed to resolved the objectives of this research, which were to clarify the act of PT Kereta Api Indonesia (Persero) for not paying the obligatory payment, and to investigate whether the act of The Director General of Railways the Ministry of Transportation has conformed with the Presidential Decree Number 53 Year 2012 concerning public service obligation, Track Access Charge, and Infrastructure Maintenance and Operation, also to find out the solution of this problem. Data analysis procedures on the law materials were done by systematically classifying the primer and the secondary legal materials which had been collected according to the statement of the problems. The results obtained showed that the act done by PT Kereta Api Indonesia (Persero) by not paying the obligatory payment of the infrastructure maintenance and operation of the railways has conformed with the Presidential Decree Number 53 Year 2012. The act of Director General of Railways and the Ministry of Transportation which did not budget IMO fund for infrastructure maintenance and operation of the railways also can be justified. Since there was a blocked budget of IMO fund done by the Ministry of Financial. There was a legal solution to this problem by amend the Government Decree about Non-tax revenues of the Ministry of Transportation, thus the cost of the infrastructure maintenance and operation of the railways can be categorized as non-tax revenues. Consequently, when PT Kereta Api Indonesia (Persero) has paid the cost, the ministry of transportation can regulate a budgeted list for at later time it can be regulated as a contract for payment the infrastructure maintenance and operation of the railways. In case PT Kereta Api Indonesia (Persero) has any objection on the payment of the infrastructure maintenance and operation of the railways, it can proceed a judicial review to the Supreme Court on regulation of ministry transportation number 63 2013. Meanwhile, problem about state property, it can be proceed by making equity capital which can be done by the Government. The government can constitute a new Organization of railways infrastructure which is not part of PT Kereta Api Indonesia (Persero).Key Words: Juridical Problematic, Track Access Charge, Infrastructure Maintenance and Operation.

Header, halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

15

Pendahuluan Kegiatan ekonomi tidak lepas dari kegiatan pengangkutan. Pengangkutan sangat penting dalam kegiatan pendistribusian barang dan jasa. Tanpa adanya pengangkutan suatu barang dan jasa tidak akan mungkin sampai kepada konsumen dan tanpa adanya pengangkutan produsen yang menghasilkan barang dan jasa tidak mungkin bisa menjual hasil produksinya. Adanya pengangkutan juga mampu mendorong mobilitas masyarakat dalam melakukan kegiatannya sehari-hari. Tanpa adanya pengangkutan seseorang tidak mampu melakukan perpindahan sehingga tidak dapat berkaktifitas sehari-hari.Negara berperan besar dalam pelaksanaan kegiatan pengangkutan. Dalam kegiatan pengangkutan dalam perkeretaapian Pemerintah membangun jalur ganda (Double Track), melakukan reaktivasi terhadap jalur yang sudah mati, melakukan pembaharuan sistem persinyalan dan komunikasi, melakukan pengadaan fasilitas kereta, gerbong dan lokomotif beserta fasilitas perawatannya, melakukan pembangunan jalur kereta api pada daerah yang belum memiliki sarana jalur kereta api. 1

Salah satu moda pengangkutan adalah kereta api. Di Indonesia pengaturan khusus tentang KA terdapat dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian yang selanjutnya disebut UUKA . Definisi KA berdasarkan Undang-Undang tersebut adalah sarana perkereta apian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel yang terkait perjalanan KA. Bila dilihat dari definisi tersebut maka kereta api menjadi satu-satunya alat transportasi yang memiliki jalan tersendiri. Kegiatan operasional kereta api di Indonesia saat ini masih dimonopoli oleh PT. Kereta Api Indonesia (Persero) yang selanjutnya disebut KAI dan PT. KAI Commuter Jabodetabek yang merupakan anak perusahaan dari KAI.KAI adalah perusahaan BUMN yang usahanya bergerak dalam pelayanan jasa transportasi perkeretaapian. Dalam operasionalnya KAI menyelenggarakan pengangkutan kereta api baik angkutan penumpang maupun angkutan barang. Dalam pengangkutan kelas penumpang KAI membagi kelas pelayanan angkutan menjadi 4 bagian yakni Eksekutif, Bisnis, Ekonomi bersubsidi dan Ekonomi komersial. Selain bergerak dalam bidang jasa pengangkutan barang dan penumpang KAI juga menjalankan pengusahaan terhadap aset potensial, dan kegiatan penunjang perkeretaapian. Komposisi saham KAI untuk saat ini 100% milik Negara. KAI juga ditetapkan sebagai perusahaan yang memiliki kewajiban pelayanan publik yang ditetapkan dalam Pasal 66 Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Selain itu juga KAI juga mendapatkan dana kewajiban pelayanan publik, dan biaya perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian yang digunakan untuk pelayanan angkutan kereta api. Perkeretaapian menurut fungsinya berdasarkan Pasal 5 UUKA dibedakan menjadi perkereta apian umum dan perkereta apian khusus. Perkeretaapian umum dibedakan menjadi perkeretaapian perkotaan dan perkeretaapian antar kota. Sedangkan perkeretaapian khusus adalah perekeretapian yang hanya digunakan untuk kepentingan dinas badan hukum penyelenggara perkeretaapian. Dalam kegiatan operasional kereta api selalu tak lepas dengan sarana dan prasarana dalam pengoperasian kereta api. Prasarana yang diperlukan dalam kegiatan operasional kereta api antara lain terdiri dari jalur kereta api, stasiun kereta api, fasilitas kereta api. Ketiga prasarana tersebut merupakan bagian yang sangat penting dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kegiatan operasional kereta api. Sedangkan keberadaan prasarana perkeretaapian milik Negara sepenuhnya menjadi tanggung jawab Negara sebagai penyelenggara prasarana perkeretaapain umum dan pengguna prasarana perkeretaapian milik negara wajib membayar biaya penggunaan prasarana perkeretaapian milik Negara. Keberadaan sarana dan prasarana Perkeretaapian harus diimbangi pula dengan adanya perawatan terhadap infrastruktur perkeretaapian. Dengan adanya perawatan terhadap prasarana perkeretaapian maka risiko atas terjadinya kecelakaan menjadi kecil. Kegiatan perawatan rutin dilakukan oleh KAI sebagai operator perkeretaapian dan Dirjen Perkeretaapian. Kegiatan perwatan yang dilakukan mulai dari perawatan terhadap sarana berupa lokomotif, gerbong, kereta serta perawatan prasarana perkeretaapian mulai dari perawatan jalan rel, sinyal, telekomunikasi dan listrik kereta api. Perawatan prasarana perkeretaapian umum dilakukan penyelenggara prasarana perkeretaapian. Penyelenggara prasarana perkeretaapian dilakukan oleh Negara melalui Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.Maka Negara memiliki kewajiban untuk melakukan perawatan terhadap prasarana perkeretaapian milik negara.Sebagai upaya mendukung perawatan prasarana perkeretaapian maka Pemerintah menetapkan Biaya perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian milik Negara yang selanjutnya disebut BPP yaitu dana yang diberikan kepada negara atas penyelenggaraan perawatan sarana dan prasarana perkeretaapian milik negara. Besaran dana BPP yang ditetapkan dalam tahun anggaran dibuat oleh Kementerian Perhubungan serta disahkan oleh Dirjen Perbendahaaran atas nama Menteri Keuangan sebagai dasar pelaksanaan penggunaan anggaran BPP selama satu tahun anggaran.Penggunanaan Prasarana Perkeretaapian milik negara kepada KAI telah diatur dalam Peraturan Presiden nomor 53 Tahun 2012 tentang Kewajiban Pelayanan Publik Dan Subsidi Angkutan Perintis Bidang Perkeretaapian, Biaya Penggunaan Prasarana Perkeretaapian Milik Negara, Serta Perawatan dan Pengoperasian Prasarana Perkeretaapian Milik Negara yang selanjutnya disebut Perpres 53 Tahun 2012. Pada Pasal 28 Perpres 53 Tahun 2012 KAI ditunjuk sebagai pelaksana penyelenggaraan perawatan prasarana perkeretaapian umum milik negara.Penunjukkan KAI tersebut berlaku sampai adanya BUMN baru yang terbentuk khusus melayani penyelenggara prasarana perkeretaapian umum.Dalam penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara yang dilakukan oleh BUMN yang mendapatkan penugasan oleh Pemerintah maka ditetapkan biaya penggunaaan prasarana perkeretaapian yang selanjutnya disebut BPPMN. BPPMN ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 63 Tahun 2013 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Penggunaan Prasarana Perkeretaapian.Dalam kenyataannya dua dana yakni BPP dan BPPMN dalam prakteknya tidak pernah ada pelaksanaannya baik yang dilakukan oleh Kemenhub maupun KAI. Dana BPP dan BPPMN tidak mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah. Pemerintah justru lebih memprioritaskan dana Public Service Obligation yang selanjutnya disebut PSO daripada dana BPP dan BPPMN padahal komponen dana PSO, BPP dan BPPMN harus seimbang. Bila dana PSO dari tahun ke tahun mengalami peningkatan maka berbanding terbalik dengan dana BPP dan BPPMN.Permasalahan dalam pelaksanaan dana BPP adalah tidak dianggarkannya dana BPP oleh Kemenhub erat kaitannya dengan dana BPPMN. KAI beranggapan berdasarkan PP nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis, Tarif PNPB Kementerian Perhubungan tidak mengatur biaya penggunaan sarana perkeretaapian milik negara sebagai bagian dari PNBP. Akibatnya KAI menolak membayarkan BPPMN dan BPP juga tak dianggarkan.Bagi KAI kerugian tidak dianggarkannya dana BPP berdampak pada beban keuangan KAI. Beban keuangan tersebut muncul dengan ditanggungnya BPP yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah. Dalam laporan tahunan KAI pada tahun 2013 beban dana BPP pada keuangan perseroan sebesar Rp. 1.732 Miliar, dana tersebut cukup besar jika dibandingkan dengan nilai Laba perusahaan pada Tahun 2013 sebesar Rp. 560 Miliar sedangkan pendapatan yang diraih oleh KAI sebesar Rp. 8,60 Triliun[footnoteRef:1]. Jika dana BPP tersebut dapat dianggarkan maka seharusnya KAI dapat membukukan keuntungan lebih besar. [1: Laporan Tahunan 2013 PT Kereta Api Indonesia (Persero)]

Kerugian lain dari tidak dianggarkannya dana BPP yakni terganggunya pelayanan angkutan perkeretaapian. Hal tersebut dapat dilihat dengan sering terjadinya keterlambatan perjalanan kereta api disebabkan oleh gangguan pada prasarana perkeretaapian. Gangguan tersebut berupa adanya gangguan pada sistem persinyalan, gangguan pada pantograf KRL, gangguan yang disebabkan oleh rel kereta api dan bantalan yang lapuk. Selain itu juga keselamatan dalam perjalanan kereta api juga terancam oleh keberadaan prasarana tersebut.Permasalahan bagi dana BPPMN yakni BPPMN tidak pernah dibayarkan oleh KAI. KAI beralasan dengan tidak adanya dana BPP maka KAI tidak akan melakukan pembayaran BPPMN atas penggunaan prasarana perkeretaapian. BPPMN sejatinya dibebankan kepada penumpang dan/atau pengguna jasa angkutan perkeretaapian. BPPMN akan diikut sertakan dalam formulasi perhitungan tarif angkutan orang maupun barang dengan kereta api. Namun pelaksanaannya rumusan BPPMN justru dialihkan sebagai beban operasi KA khususnya dalam biaya operasional prasarana.Baik pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan melalui Dirjen Perkeretaapian dan KAI harus menyelesaikan permasalahan dana BPP dan BPPMN. Dana BPP penting dalam pelayanan jasa angkutan perkeretaapian dengan melalui pemeliharaan prasarana perkeretaapian serta untuk mengembalikan dana yang digunakan KAI sebagai biaya perawatan prasarana METODE PENELITIANJenis Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta doktrin (ajaran)[footnoteRef:2]. Pendekatan yang akan digunakan adalah Pendekatan Konsep atau Conceptual Approach, Pendekatan Undang-Undang atau Statue Approach, dan Pendekatan Sejarah atau Historical Approach. Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer terdiri dari bahan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku tentang hukum pengangkutan, perkeretaapian, keuangan negara, dan website. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hulum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia. [2: Mukti Fajar, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, hlm.34]

Pengolahan data dilakukan dengan melakukan pengolahan bahan hukum dengan terlebih dahulu melakukan pengumpulan terhadap bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder. Setelah semua bahan hukum berhasil dikumpulkan maka bahan hukum selanjutnya diolah secara sistematis dan dianalisis untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahn yang akan dikaji. Teknik pengolahan bahan hukum dilakukan dengan cara mengklasifikasikan secara sistematis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah terkumpul sesuai dengan permasalahan tentang problematika yuridis biaya perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian milik negara dan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara. Teknik analisa bahan hukum menggunakan menggunakan sifat analisa preskriptif yaitu dengan memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yangeknik seharusnya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum hasil dari penelitian[footnoteRef:3]. [3: Mukti Fajar,Op.Cit, hlm 183]

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. HASIL PENELITIANProblematika PSO, BPP dan BPPMN merupakan permasalahan serius dalam pengoperasian KA di Indonesia. Keberadaan PSO, BPP dan BPPMN sangat mempengaruhi kinerja angkutan KA. PSO sangat penting bagi pelayanan pengoperasian angkutan KA kelas ekonomi penugasan dengan adanya PSO masyarakat kelas menengah ke bawah dapat mampu membeli tiket KA melalui adanya mekanisme PSO. Keberadaan BPP juga penting bagi pengoperasian prasarana perkeretaapian sebab dana BPP merupakan dana yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian milik negara. Dana BPPMN merupakan dana yang dikeluarkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian dalam hal ini KAI atas penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara. Ketiga dana tersebut pengaturan teknisnya diatur berdasarkan SKB 3 Menteri (Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas) pada tahun 1999 dan juga SKB 3 Dirjen (Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub, Dirjen Anggaran Kemenkeu dan Direktorat Prasarana Bappenas). Keberadaan ketiga dana tersebut merupakan campur tangan negara dalam upaya penyediaan transportasi publik perkeretaapian yang murah, nyaman dan mampu mengurangi beban jalan raya bagi masyarakat. Keberadaan BPPMN dan BPP merupakan konsekuensi yuridis atas perubahan bentuk KAI dari yang semula berbentuk perusahaan umum menjadi PT (Persero) pada tahun 1998. Dasar perubahan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1998 dan berdasarkan akta pendirian nomor 2 tanggaol 1 Jini 1999 Notaris Imas Fatimah . Perubahan bentuk tersebut membawa implikasi yakni terdapat PMP yang diberikan negara berupa sarana perkeretaapian yang terdiri dari lokomotif, gerbong dan kereta yang digunakan dalam kegiatan operasional KA. Sementara itu prasarana perkeretaapian yang merupakan BMN dan tidak disertakaan dalam PMP tersebut tetap menjadi milik negara sehingga KAI wajib melakukan pembayaran BPPMN sedangkan Kementerian Perhubungan menganggarkan BPP sebagai biaya perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian milik negara tersebut. Atas hal tersebut maka diterbitkanlah SKB 3 Menteri pada tahun 1999 sebagai pedoman pelaksanaan PSO, BPPMN dan BPP.Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Perpres 53 Tahun 2012 tentang Kewajiban pelayanan publik dan subsidi angkutan perintis bidang perkeretaapian, biaya penggunaan prasarana, perkeretaapian milik negara serta perawatan dan pengoperasian milik negara. Perpres tersebut sebagai aturan pelaksana atas pengaturan PSO, BPP dan BPPMN yang terdapat dalam PP nomor 56 Tahun 2009 dan PP nomor 72 Tahun 2009. Dalam Perpres tersebut timbul kewajiban bagi KAI selaku pihak yang menggunakan prasarana perkeretaapian untuk melakukan pembayaran BPPMN atas penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara serta kewajiban BPP atas biaya perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian milik negara yang menjadi kewajiban Dirjen Perkeretaapian.Implementasi pelaksanaan Perpres 53 Tahun 2012 tidak berjalan mulus. Dana PSO pada tahun 2012 dianggarkan dalam APBN-P 2012. Hal demikian juga terjadi pada tahun 2013 dimana PSO kembali dianggarkan dan terus mengalami peningkatan begitu pula pada tahun 2014. Hal yang berbanding terbalik terjadi pada BPP dan BPPMN. BPPMN yang menjadi kewajiban dari KAI tidak pernah dibayarkan oleh KAI dengan alasan tidak adanya aturan mengenai PNBP sedangkan BPP yang merupakan kewajiban dari Dirjen Perkeretaapian Kemenhub juga tidak pernah dianggarkan. KAI memiliki alasan tersendiri atas tidak dibayarnya BPPMN atas penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara. Alasan tersebut antara lain keadaan internal KAI, adanya peraturan yang tumpang tindih serta sistem net off yang diterapkan dalam pengenaan BPP dan BPPMN yang membuat pelaksanaan BPP dan BPPMN tidak pernah ada.Pengenaan sistem net off atas BPPMN dan BPP dianggap merugikan KAI. Hal tersebut dikarenakan beban prasarana akan dikenakan kepada KAI dan pihak KAI hanya dapat melakukan perawatan sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki oleh KAI. Dampak dari adanya sistem tersebut membuat sering terjadinya gangguan pada prasarana perkeretaapian yang membuat terganggunya pelayanan angkutan perkeretaapian. BPP yang menjadi kewajiban pemerintah melalui Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan tidak pernah ada implementasinya. BPP semenjak tahun 2011- 2013 dihitung dengan sistem net off atau perhitungannya dianggap impas antara BPP yang menjadi tanggung jawab Dirjen Perkeretaapian Kemenhub dengan BPPMN yang menjadi tanggung jawab KAI padahal perhitungan tersebut harus mengacu pada perhitungan yang diatur dalam Permenhub Nomor 67 Tahun 2012. Dengan tak adanya dana BPP praktis perawatan menjadi beban KAI dan hal tersebut menjadi beban pada keuangan KAI selain itu juga perawatan yang dilakukan oleh KAI tidak dilakukan secara optimal sebab KAI hanya melakukan perawatan sesuai dengan kemampuan keuangan perusahaan KAI. Maka atas terjadinya hal tarik ulur BPP dan BPPMN diharapkan adanya penyelesaian secara normatif atas perselisihan BPP dan BPPMN. Sebab pelaksanaan BPP dan BPPMN antara peraturan yang bersifat umum dengan peraturan pelaksanannya banyak terjadi tumpang tindih serta ada kekosongan hukum. Selain itu juga perhitungan BPP dan BPPMN juga harus memenuhi asas keadilan yang terdapat dalam UUKA sehungga tidak memberatkan salah satu pihak.

B. Pembahasan 1. Permasalahan Tidak Dibayarkannya BPPMN Oleh KAI Atas Penggunaan Prasarana Perkeretaapian Milik NegaraBPPMN adalah biaya yang harus dibayarkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian untuk penggunaan prasarana perkeretaapian yang dioperasikan oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian milik Negara. Di Indonesia saat ini penyelenggara sarana perkeretaapian hanya ada dimonopoli oleh KAI dan anak usahanya yakni PT. KAI Commuter Jabodetabek dan PT. Railink. KAI menyelenggarakan sarana angkutan penumpang dan barang yang diangkut dengan menggunakan kereta dan gerbong. Sementara itu penyelenggara prasarana perkereraapian adalah Negara yakni Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. Penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara yang dilakukan oleh KAI berdasarkan Pasal 90 huruf E UUKA penyelenggara prasarana dalam hal ini Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan berhak menerima BPPMN dari penyelenggara sarana perkeretaapian dalam hal ini KAI. Berdasarkan Pasal 403 PP no 56 Tahun 2009 tentang penyelenggaraan perkeretaapian menyatakan jika penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara harus mendapat persetujuan menteri dan melakuakan pembayaran biaya penggunaan. Izin operasi prasarana perkeretaapian tersebut telah didapatkan oleh KAI melalui Keputusan Menteri Perhubungan KP 218 Tahun 2010 Tentang Izin operasi sarana perkeretaapian umum, maka dapat dikatakan jika KAI merupakan penyelenggara sarana perkeretaapian umum pada saat ini. Dalam hal biaya penggunaan juga ditekankan dalam Pasal 12 ayat 1 Perpres Nomor 53 Tahun 2012 yang menyatakan jika penyelenggara sarana perkeretaapian wajib membayar atas penggunaan prasarana perkeretaapian kepada Badan Usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian. Berdasarkan Pasal 12 ayat 2 Perpres 53 Tahun 2012 juga menyatakan jika Menteri Perhubungan menetapkan tarif besaran biaya penggunaan prasarana. Atas penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara yang digunakan oleh KAI, Menteri Perhubungan mengeluarkan Permenhub Nomor 62 Tahun 2013 sebagai aturan teknis penetaapan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara. Dalam prakteknya KAI tidak pernah melakukan pembayaran BPPMN. Hal tersebut sudah dilakukan oleh KAI sejak tahun 1999. Terdapat beberapa argumentasi hukum yang dilakukan oleh KAI atas tidak dibayarkannya dana BPPMN. Argumentasi tersebut antara lain kondisi keuangan internal dari KAI, terdapat perbedaan frekuensi antara koridor satu dengan koridor yang lain, belum jelasnya pemisahan BMN dalam perhitungan aset KAI, tidak adanya dana pemeliharaan dan perawatan prasarana, aturan perhitungan pengenaan tarif yang belum jelas, dasar pengenaan dana BPPMN dalam PNBP tidak ada, keberadaan tanah yang menjadi tempat berdirinya prasarana perkeretaapian merupakan tanah KAI.Argumentasi mengenai kondisi keuangan internal perusahaan dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf namun juga tidak dapat dijadikan pembenaran. Pada awal tahun 2000 yang merupakan era KAI sebagai BUMN yang berbentuk PT kondisi keuangan KAI memang berada dalam keadaan yang tidak baik. Hal tersebut dikarenakan kondisi pendapatan dan pengeluaran yang harus ditanggung KAI hampir seimbang sehingga KAI mendapatkan laba yang kecil bahkan pada beberapa periode KAI mengalami kerugian. Jika pada awal tahun 2000 KAI beralasan kondisi keuangan perusahaan yang buruk sebagai alasan untuk tidak membayarkan dana BPPMN maka setelah tahun 2009 alasan tersebut menjadi tidak pas untuk menggambarkan kondisi keuangan dari KAI. Alasan yang dikemukan lainnya adalah perbedaan frekuensi antar koridor juga dianggap alasan yang tepat. Dalam rumusan perhitungan BPPMN berdasarkan Permenhub 62 Tahun 2013.Berdasarkan perbedaan frekuensi antar koridor dapat dibenarkan. Hal tersebut disebabkan terdapat koridor Daop/ Divre yang memiliki perbedaan trafic jumlah perjalanan KA. Perhitungan tarif BPPMN yang diatur di dalam Permenhub cukup memberatkan bagi trayek perjalanan yang tidak menggunakan kesuluruhan panjang lintasan per Daop/Divre. Maka untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu adanya revisi Permenhub Nomor 62 Tahun 2013 yang membuat terjadinya istilah pakai tidak pakai KAI harus membayar, hal tersebut justru memberatkan KAI sebagai pengguna prasarana perkeretaapian milik Negara. Tentu harus ada perubahan mengenai rumusan perhitungan tarif BPPMN agar tidak merugikan KAI. Permasalahan barang milik negara yang selanjutnya disebut BMN dalam prasarana perkeretaapian juga tidak memiliki kejelasan.. Bila terjadi hal demikian maka terdapat dua opsi bagi KAI. Jika BMN tersebut tidak dimasukkan ke dalam aset KAI maka seharusnya KAI melakukan pembayaran BPPMN kepada penyelenggara prasarana perkeretaapian. Sedangkan jika BMN yang berupa prasarana perkeretaapian tersebut dimasukkan ke dalam aset KAI melalui mekanisme PMP maka KAI tidak diwajibkan melakukan pembayaran BPPMN dalam penggunaan prasarana perkeretaapian tersebut. Permasalahan selanjutnya yakni tidak adanya dana perawatan dan pengoperasian terhadap prasarana Dalam rumusan perhitungan dana BPPMN juga merumuskan biaya perawatan (IM) dan biaya operasional (IO) kedua komponen dana tersebut merupakan kewajiban pemerintah, namun dalam prakteknya hal tersebut tidak dilakukan oleh pemerintah. Atas tidak adanya biaya perawatan tersebut maka yang terjadi adalah perhitungan BPPMN menjadi sistem net off yakni nilai BPPMN= BPP. Pengenaan sistem net off tersebut jelas akan merugikan KAI sebab perhitungan sistem net off mewajibkan KAI menanggung biaya perawatan dan pengoperasian sedangkan Dirjen Perkeretaapian dibebaskan dari adanya BPP sehingga akan ada titik impas BPPMN dan BPP. Tentu hal tersebut tidak diperkenankan sebab berdasarkan prinsip akuntabilitas rumusan perhitungan BPPMN telah ditentukan berdasarkan Permenhub Nomor 62 Tahun 2013 yang menggunakan prinsip pricing theory yakni pengenaan biaya berdasarkan harga yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan.Pelaksanaan sistem penarifan dengan sistem net off merupakan implikasi dari pelaksaanaan BPP. Dengan adanya BPPMN maka seharusnya juga terdapat BPP begitupula sebaliknya yakni dengan ketiadaan BPP maka dana BPPMN juga tak ada. Hal tersebut membuat timbul adanya kontrak kosong antara KAI dengan Dirjen Perkeretaapian. Tidak adanya landasan hukum pengenaan BPPMN sebagai bagian PNBP yang membuat BPPMN tak bisa diimplementasikan membuat KAI dan Dirjen Perkeretaapian membuat kesepakatan agar nilai BPPMN dan BPP dibuat dengan sistem net off. Permasalahan yang selanjutnya yakni digolongkannya BPPMN sebagai PNBP. Landasan pengenaan BPPMN sebagai bagian dari PNBP berdasarkan Pasal 15 Perpres Nomor 53 Tahun 2012 menyatakan jikan BPPMN yang dibayarkan oleh KAI yang disetorkan oleh KAI ke kas negara termasuk dalam PNBP. Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 2 Permenhub Nomor 62 Tahun 2013 tentang Pedoman perhitungan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara menyatakan jika BPPMN yang dibayarkan oleh KAI sebagai PNBP. Bila BPPMN digolongkan sebagai PNBP maka BPPMN harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang PNBP. Penggolongan BPPMN sebagai PNBP harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang terkait dengan PNBP. BPPMN harus mengikuti ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP yang selanjutnya disebut UU PNBP. Maka berdasarkan pengelompokkan PNBP tersebut BPPMN tergolong dalam PNBP yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal tersebut dikarenakan BPPMN merupakan PNBP yang diatur dalam undang-undang tersendiri yakni Perpres 53 Tahun 2012 dan Permenhub Nomor 62 Tahun 2013 tentang Pedoman perhitungan perhitungan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian milik negara yang jelas menyatakan jika BPPMN digolongkan sebagai PNBP.Dengan digolongkannya BPPMN sebagai PNBP yang diatur dalam undang-undang tersendiri maka disitulah timbul permasalahan hukum. Permasalahan tersebut muncul sebab dalam Pasal 2 ayat 2 UU PNBP menyatakan jika dalam hal PNBP yang diatur dalam undang-undang tersendiri maka dibutuhkan peraturan pemerintah yang mengatur PNBP tersebut. Peraturan pemerintah tersebut sebagai peraturan pelaksana atas peraturan yang terdapat diatasnya. Selain itu juga peraturan pemerintah tersebut juga menjadi pedoman teknis untuk melaksanakan PNBP.Pada PP nomor 6 Tahun 2009 tidak mengatur keberadaan PNBP yang terdapat pada angkutan kereta api. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat 1 PP nomor 6 Tahun 2009 yang mengatur jika jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Perhubungan meliputi penerimaan dari jasa transportasi darat, jasa transportasi laut, jasa transportasi udara dan jasa pendidikan dan penelitian. Sedangakn penjabaran pada jenis dan tarif yang mengatur jenis PNBP yang terdapat pada Departemen Perhubungan dijelaskan dalam lampiran PP nomor 6 Tahun 2009 sedangkan pada lampiran PP nomor 6 tahun 2009 menyatakan tidak mengatur BPPMN sebagai bagian dari PNBP Departemen Perhubungan. Tidak adanya aturan yang mengatur adanya PNBP inilah membuat terjadinya kekosongan hukum atas pengaturan BPPMN sebagai bagian PNBP Kementerian Perhubungan. Akibat adanya kekosongan hukum terkait dengan pengaturan BPPMN sebagai bagian BPPMN maka KAI dapat dibebaskan untuk tidak melakukan pembayaran BPPMN. Hal tersebut dikarenakan tidak ada dasar bagi KAI untuk memasukkan BPPMN sebagai PNBP. Dengan tidak adanya aturan dalam BPPMN maka KAI bebas tidak membayar atas penggunaan prasarana perkeretaapian selama ini. Tidak adanya landasan hukum PNBP yang memasukkan BPPMN sebagai bagian dari PNBP Kementerian Perhubungan juga membuat pendapatan negara dari sektor PNBP hilang sebab pada tahun 2013 berdasarkan laporan hasil pemeriksaan BPK RI atas laporan keuangan pemerintah pusat pada tahun 2013 menyatakan jika PNBP berupa BPPMN telah hilang sebesar 1,7 Triliun Rupiah dan 1,5 Triliun Rupiah akaibat sitem net off yang diberlakukan atas BPP dan BPPMN.Dalam hal kewenangan penyelenggara prasarana perkeretaapian juga terjadi konflik. Konflik tersebut muncul dengan adanya Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 219 Tahun 2010 Tentang Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KP 218 Tahun 2010 Tentang Izin Operasi Prasarana Perkeretaapian Umum. Berdasarkan pasal 28 Perpres Nomor 53 Tahun 2012 yang menyatakan jika KAI tetap sebaagi penyelenggara prasarana perkeretaapian umum hingga terbentuknya badan usaha prasarana perkeretaapian umum.2. Permasalahan Tidak Dianggarkannya Biaya Perawatan Dan Pengoperasian Prasana Perkeretaapian Milik Negara Oleh Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.Perawatan prasarana merupakan kegiatan yang sangat vital dalam pengoperasionalan perkeretaapian. Hal tersebut dikarenakan perawatan prasarana merupakan kunci penting untuk menghindari terjadinya kecelakaan yang disebabkan oleh adanya kecelakaan. Dengan adanya perawatan terhadap prasarana secara berkala maka kemungkinan kejadian kecelakaan dapat diminimalisir. Berdasarkan Pasal 16 Perpres Nomor 53 Tahun 2012 perawatan prasarana perkeretaapian milik negara dilakukan oleh badan penyelenggara prasarana perkeretaapian, baik secara sendiri-sendiri maupun melalui kerja sama. Dalam Pasal 18 dijelaskan dalam rangka penyelenggaraan perawatan prasarana perkeretaapian milik negara, Pemerintah melalui Menteri Perhubungan menyediakan biaya perawatan prasarana perkeretaapian milik negara yang dialokasikan melalui APBN dan/atau APBN-P sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Penetapan penyelenggara perawatan prasarana perkeretaapian milik Negara ditentukan melalui pelelangan umum juga dapat dilakukan melalui penugasan kepada BUMN. Berdasarkan Pasal 27 Perpres Nomor 53 Tahun 2012 menyatakan jika KAI ditugaskan sebagai badan usaha yang menyelenggarakan kegiatan perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian milik Negara. Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 28 Perpres Nomor 53 Tahun 2012 yang menyatakan jika KAI sebagai BUMN penyelenggara prasarana perkeretaapian milik negara dan tetap melaksanakan perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapin milik negara hingga terbentuknya Badan Usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum. Hingga saat ini tidak ada badan usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum maka dapat KAI hingga saat ini masih ditugaskan untuk melakukan perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian milik Negara.Kondisi prasarana KA dalam hal kualitas cukup buruk. Hal tersebut dikarenakan kurangnya perawatan prasarana yang dilakukan oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian. Akibat dari kurangnya perawatan yang dilakukan terhadap prasarana perkeretaapian telah membuat pelayanan angkutan KA terganggu. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah perlu hadir dengan menyediakan BPP sebagai dana yang diperlukan untuk melakukan perawatan prasarana perkeretaapian. Dana BPP penting dalam operasional perkeretaapian sebab BPP merupakan kewajiban yang dilakukan oleh Pemerintah selaku pemilik dari prasarana perkeretaapian. Dengan adanya dana BPP yang diberikan oleh Pemerintah maka keadaan prasarana perkeretaapian. Pelaksanaan BPP terbagi menjadi 2 periode yakni periode sebelum UUKA dan periode setelah UUKA. Periode sebelum UUKA dimulai dengan dimulainya pengalihan bentuk BUMN dari Perum ke Persero. Sedangkan periode setelah UUKA dimulai dengan disahkannya UUKA.Awal permulaan kebijakan BPP dimulai dengan pengalihan bentuk BUMN penyelenggara perkeretaapian dari Perusahaan Umum Kereta Api atau yang disebut Perumka menjadi PT Kereta Api atau yang disebut PT.KA. Pengalihan bentuk BUMN tersebut membawa konsekuensi yuridis bagi KAI berkaitan dengan tanggung jawab BMN yang digunakan oleh KAI khususnya BMN yang berupa prasarana perkeretaapian yang masih digunakan oleh KAI.Untuk mengatasi hal tersebut pada tahun tanggal 4 Maret 1999 dibuatlah surat keputusan bersama atau SKB 3 Menteri yakni Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Bappenas dengan masing-masing nomor Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 19 Tahun 1999, Keputusan Menteri Keuangan No 83/KMK.03/1999, Keputusan Menneg PPN/ Kepala Bappenas No. Kep.024/K/03/1999. Selain itu juga diatur dalam SKB 3 yang disepakati oleh Dirjen yakni Dirjen Perhubungan Darat dengan nomor SK.95/HK.101./DKJD/99, Dirjen Anggaran dengan nomor KEP-37/A/1999 dan Deputi Kepala Bappenas Bidang Prasarana dengan nomor 3998/D.VI/06/1999). Berdasarkan SKB tersebut menetapkan BPP merupakan subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992. Hal tersrbut dikarenakan prasarana pokok KA tidak lagi merupakan aset perusahaan melainkan aset milik pemerintah. Oleh karena itu pemerintah berkewajiban membiayai perawatannya sedangkan pengoperasian prasarana pokok tersebut sesuai dengan undang-undang dilaksanakan oleh KAI. Periode setelah UUKA dimulai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian yang disebut UUKA. UUKA tersebut memiliki pengaturan pelaksana yakni PP nomor 56 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian dan PP Nomor 72 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Perkeretaapian. Dalam kedua PP tersebut juga mengatur secara umum PSO,BPP dan BPPMN. Sebagai peraturan pelaksana, Pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 53 Tahun 2012 yang mengatur secara khusus pelaksanaan PSO, BPP dan BPPMN. Dalam Perpres tersebut juga terdapat penambahan dana subsidi angkutan perintis yang juga merupakan kewajiban dari Pemerintah. Pengaturan teknis mengenai BPP juga diatur dalam Permenhub Nomor 62 Tahun 2012.Berdasarkan Pasal 19 ayat 3 Perpres Nomor 53 Tahun 2012 menyakan jika BPP harus dibuat berdasarkan kontrak BPP. Semenjak tahun 1999 hingga saat ini tidak pernah ada kontrak BPP. Ketiadaan kontrak tersebut disebabkan adanya kesepakatan yang dibuat antara KAI dan Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan menyatakan jika BPP dan BPPMN dikenakan sistem net off yang artinya KAI tidak perlu melakukan pembayaran BPPMN sebagai kewajibannya sedangkan Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan juga tidak melakukan penganggaran BPP sebagai kewajibannya. Berdasarkan laporan keuangan KAI pelaksanaan BPP tidak pernah direalisasikan. hal tersebut dilihat dengan penerapan sistem net off yang diterapkan dalam pengenaan BPP dan BPPMN artinya selama ini BPP dilakukan dengan dibiayai oleh anggaran dari internal KAI dan KAI juga dibebaskan untuk tidak membayarkan BPPMN yang merupakan kewajibannya. Hal yang demikian tersebut tidak dapat dibenarkan sebab Perpres Nomor 53 Tahun 2012 menyatakan jika pihak Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan selaku penyelenggara prasarana perkeretaapian wajib memberikan BPP sebagai dana perawatan dan pengoperasian prasarana..Berdasarkan DIPA Kementerian Perhubungan semenjak tahun 2013 Kementerian Perhubungan telah menganggarkan dana BPP yang merupakan amanat berdasarkan Perpres Nomor 53 Tahun 2012. Anggaran tersebut mendapatkan tanda bintang dari Kemmeterian Keuangan dan dana tersebut diblokir oleh Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan sehingga dana tersebut tidak dapat dicairkan. Pada tanggal 15 Desember 2013 pada saat itu DIPA anggaran Kementerian Perhubungan telah habis masa penggunaannya maka dana BPP yang telah dianggarkan dalam DIPA Kementerian Keuangan tersebut tidak dapat dicairkan dan kembali ke kas negara.Pada Tahun 2014 Kementerian Perhubungan juga telah menganggarkan dana BPP yang dibiayai oleh APBN Tahun anggaran 2014. Penyebab dari tidak dapat dicairkannya dana BPP tersebut antara lain tidak adanya implementasi BPPMN. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Keuangan menyatakan jika BPP akan dapat dicairkan apabila BPPMN dapat diimplementasikan sedangkan pada tahun 2012 hingga tahun 2014 BPPMN belum dapat diimplementasikan. Alasan tidak dapat diimplementasikannya BPPMN disebabkan tidak adanya landasan hukum terkait dengan pemungutan BPPMN sebagai bagian dari PNBP Kementerian Perhubungan. Hal ini disebabkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 belum mengatur keberadaan BPPMN sebagai PNBP. Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan akan melakukan pembukaan blokir terhadap dana BPP yang telah masuk dalam DIPA apabila permasalahan implementasi BPPMN telah dilaksanakan. Oleh karena itu sangat dibutuhkan adanya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 agar dana BPP dapat dicairkan selain itu juga BPPMN juga dapat diimplementasikan. Peneliti juga menemukan adanya tanggung jawab yang dilakukan oleh Kemeterian Perhubungan atas perbaikan prasarana perkeretaapian yang mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh adanya kecelakaan. Hal ini ditemukan dalam perbaikan prasarana yang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh adanya longsor di Kabupaten Tasikmalaya yang mengakibatkan anjloknya KA Malabar pada April Tahun 2014. Oleh karena kecelakaan merupakan overmacht dan tidak dapat diduga sebelumnya maka pihak Kementerian Perhubungan terlebih dahulu meminta kepada KAI agar memperbaikinya dengan menggunakan anggaran yang berasal dari keuangan internal KAI. Setelah perbaikan dilakukan oleh KAI hingga selesai maka selanjutnya dilakukan audit oleh Badan Pengawas Keuangan Pembangunan yang selanjutnya disebut BPKP. Tim audit dari BPKP akan mengaudit besaran nilai perbaikan yang telah dilakukan oleh KAI. Setelah audit dilakukan, maka BPKP selanjutnya melaporkan hasil audit tersebut kepada Kemeterian Perhubungan. Lalu Kementerian Perhubungan akan menindak lanjuti hasil audit tersebut dengan menganggarkan dana perbaikan prasarana tersebut pada tahun anggaran 2015. Pada tahun anggaran 2015 dana perbaikan prasarana di Lokasi kecelakaan KA Malabar telah diganti oleh Kementerian Perhubungan melalui APBN Tahun Anggaran 2015. 3. Permasalahan Penyelesaian HukumKetiadaan dana BPP dan BPPMN memberikan efek terhadap pelayanan angkutan KA. Efek tersebut dapat dilihat dengan berkurangnya kehandalan prasarana perkeretaapian. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu ada solusi hukum berkaitan dengan BPP dan BPPMN. Solusi tersebut diharapkan mampu mengakhiri konflik BPP dan BPPMN antara Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Republik Indonesia dan KAI. Pemerintah dapst melakukan revisi PP Nomor 6 Tahun 2009. Adanya revisi PP Nomor 6 Tahun 2009 dapat menjadi dasar pelaksanaan BPPMN dan BPP. Hal tersebut dikarenakan dengan sudah dimasukkannya BPPMN sebagai PNBP maka Kementerian Perhubungan juga dapat melakukan kontrak BPP. Hal tersebut dikarenakan dana yang dibayarkan oleh KAI melalui BPPMN nantinya akan digunakan oleh Kementerian Perhubungan untuk membiayai perawatan prasarana perkeretaapian dengan dana BPP. Sifat berlakunya revisi PP tersebut juga seharusnya berlaku surut artinya jika peraturan tersebut disahkan pada pertengahan tahun maka diharapkan kebutuhan awal tahun pada tahun pengesahan tersebut dapat dibayarkan oleh KAI dan Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. Tarif pengenaan BPPMN juga perlu dilakukan revisi. Hal tersebut dikarenakan pada saat ini bagi KAI pengenaan tarif BPPMN dirasa memberatkan sebab pengenaan tarifnya membuat KAI memakai atau tidak memakai prasarana perkeretaapian KAI wajib membayar. Bagi lintas yang memiliki trafik perjalanan tinggi KAI mampu menutupinya sedangkan pada lintas yang memiliki trafik perjalanan rendah hal tersebut justru memberatkan KAI sebab pada lintas yang trafik perjalanannya rendah merupakan lintas yang dianggap tidak menguntungkan. Maka untuk mengatasi hal tersebut nantinya perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai PNBP agar membebaskan tarif BPPMN terhadap jalur KA yang masih dilayani oleh angkutan perintis. Sementara itu bila KAI merasa keberatan dengan tarif BPPMN maka KAI dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung atas Permenhub Nomor 62 Tahun 2013. Berdasarkan Pasal 31 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 menyatakan jika MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Hal tersebut dirasa cukup sebab KAI beralasan jika penetapan perhitungan BPPMN berat sebab tidak memenuhi asas keadilan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 UUKA. Legal standing dalam judicial review berdasarkan Pasal 31 A ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung adalah pihak yang menganggap dirinya merasa dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yaitu perorangan warga negara Indonesia, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan Badan Hukum Publik. Apabila KAI mengajukan judicial review terhadap Permenhub Nomor 62 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Penggunaan Praarana Perkeretaapian Milik Negara legal standing tersebut sudah memenuhi sebab KAI adalah badan hukum yang dirugikan atas diberlakunya peraturan tersebut. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materil menyatakan jika permohonan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang bertentengan dibawahnya dapat dilakukan dengan mengajukan keberatan dengan cara langsung melalui Mahkamah Agung atau melalui Pengadilan Negeri pada tempat kedudukan pemohon. Permasalahan berkaitan dengan BMN yang menjadi alasan pembayaran BPPMN dapat diselesaikan dengan adanya penyertaan modal pemerintah. Barang milik negara yang digunakan dalam kegiatan operasional perkeretaapian harus jelas dilakukan pemisahan. Berdasarkan Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN menyatakan jika Pemerintah dapat melakukan penyertaan modal pemerintah melalui dana yang berasal dari APBN, kapitalisasi cadangan, dan sumber lainnya. Jika hal yang dilakukan yakni menyerahkan BMN kepada KAI maka penyerahan BMN tersebut dapat digolongkan sebagai PMP melalui sumber lainnya. Proses pelepasan BMN berdasarkan Pasal 54 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.Penyerahan BMN kepada KAI tersebut dilakukan membuat BMN tersebut menjadi PMP bagi KAI maka dapat digunakan mekanisme perubahan akta perubahan modal. Prosesnya dapat dilakukan dengan mekanisme Rapat umum pemegang saham luar biasa yang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN sebagai Wakil Pemerintah yang merupakan pemilik saham KAI. Setelah dilakukan maka selanjutnya yakni menyerahkan laporan RUPS kepada Dewan Komisaris untuk menyetujui pelaksanaan RUPS berkaitan dengan PMP tersebut. Dewan Komisaris akan diberi waktu selama 1 tahun untuk menyetujui penyertaan modal tersebut.Permasalahan BPP yang merupakan kewajiban dari Pemerintah dapat diatasi dengan pemenuhan kewajiban KAI sebagai penyelenggara sarana perkeretaapian yang menggunakan prasarana perkeretaapian. Jika KAI telah melakukan kewajibannya berupa pembayaran BPPMN maka dengan sendirinya Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan akan segera melakukan penganggaran dana BPP sebagai dana perawatan prasarana perkeretaapian.. Bila usulan dari DIPA Kementerian Perhubungan tersebut telah disetujui oleh Kementerian Keuangan maka Kementerian Perhubungan dapat melakukan penandatanganan kontrak pelaksanaan BPP selama satu tahun anggaran.Berdasarkan Pasal 214 ayat 2 UUKA menyatakan jika paling lambat 3 tahun setelah UUKA disahkan maka harus ada penyesuaian antara badan usaha penyelenggara prasarana dengan badan usaha penyelenggara sarana. Realitanya hingga saat ini badan usaha penyelenggara sarana dan badan usaha penyelenggara prasarana masih tetap menjadi satu yakni KAI . Hal tersebutlah yang dapat menimbulkan konflik di masa yang akan datang terlebih saat ini segera dicanangkan multi operator bagi perkeretaapian. Maka untuk mengatasi adanya konflik kewenangan tersebut perlu dibentuk Badan Usaha khusus yang menangani masalah parasarana perkeretaapian milik negara. Badan tersebut dapat berupa BUMN maupun Badan layanan umum. Sebagai badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian dapat pula dipegang oleh Badan layanan umum. Badan layanan umum yang selanjutnya disebut BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktifitas. BLU prasarana masih dianggap relevan untuk menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum sebab fungsi BLU prasarana perkeretaapian umum yakni memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa jasa prasarana perkeretaapian, prasarana perkeretaapian pada saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat mengingat keunggulan dari transportasi KA yang jauh lebih unggul jika dibandingkan dengan moda transportasi lain. Adanya BLU prasarana juga sebagai mendukung adanya program multi operator sarana perkeretaapian..Alternatif lain yakni membentuk badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian berbentuk BUMN. Bentuk BUMN yang sesuai pada saat ini untuk menjadi BUMN Penyelenggara Prasarana adalah BUMN yang berbentuk persero. Alasan memilih BUMN berbentuk persero sebab BUMN penyelenggara prasarana selain menyediakan barang dan/atau jasa penyelenggara prasarana juga diperkenankan untuk mencari keuntungan, hal tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan persero berdasarkan pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Artinya nanti jika BUMN penyelenggara prasarana yang berbentuk persero telah terbentuk maka badan usaha tersebut tidak hanya menyediakan prasarana perkeretaapian saja namun juga diperkenankan mencari keuntungan dalam melakukan pengusahaan prasarana.. Nantinya BUMN penyelenggara prasarana akan memungut uang sewa atas digunakannya lahan di sekitar jalur KA tersebut. Sedangkan dalam prasarana berupa sintelis dapat diusahakan dengan menyewakan menara kepada operator telekomunikasi sedangkan fasilitas kabel juga dapat dijadikan saluran bagi operator telekomunikasi lainnya. Dengan diusahakannya prasarana perkeretaapian maka pendapatan negara dapat diperoleh melalui 3 sektor yakni PNBP atas penggunaan prasarana perkeretaapian yang digunakan untuk kegiatan operasional perkeretaapian berupa BPPMN. Selain itu pendapatan juga diperoleh dari kegiatan usaha non perkeretaapian yang dilakukan di prasarana perkeretaapian serta PNBP yang berasal dari laba yang diperoleh oleh BUMN penyelenggara prasarana tersebut. Maka dapat disimpulkan jika lebih baik dibentuk BUMN penyelenggara prasarana perkeretaapian yang berbentuk persero.PENUTUPSIMPULANPerbuatan yang dilakukan oleh KAI dengan tidak melakukan pembayaran BPPMN merupakan tindakan yang diperbolehkan. Berdasarkan Perpres Nomor 53 Tahun 2012 dan Permenhub Nomor 62 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Penggunaan Prasarana Perkeretaapian Milik Negara menyatakan jika BPPMN merupakan PNBP, namun peraturan mengenai PNBP dalam Peraturan Nomor 6 Tahun 2009 Tentang PNBP Kemneterian Perhubungan belum mencakup PNBP dari jasa transportasi perkeretaapian.Ketiadaan dana BPP yang tidak dapat dicairkan oleh Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan saat ini juga dapat dibenarkan. Kementerian Perhubungan telah menganggarkan dana BPP dalam DIPA tahun 2012-2014 namun Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan memblokir dana tersebut sebab BPP dan BPPMN harus ada sementara BPPMN pada saat ini belum dapat direalisasikan. Terdapat beberapa solusi hukum untuk menyelesaikan permasalahn BPP dan BPPMN antara lain KAI yang keberatan terhadap adanya tarif BPPMN dapat mengajukan uji materil terhadap Permenhub Nomor 62 Tahun 2013. Terhadap barang-barang milik negara yang berupa prasarana perkeretaapian KAI dapat dilakukan PMP. Kekosongan hukum atas penggolongan BPPMN sebagai bagian dari PNBP Kementerian Perhubungan dapat diatasi dengan pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah mengenai PNBP Kementerian Perhubungan. Sementara itu untuk masalah BPP pemerintah dapat menganggarkannya jika aturan mengenai BPPMN sebagai bagian dari PNBP telah ada, dan untuk selanjutnya wewenang KAI hanya menjadi penyelenggara sarana dengan mencabut Keputusan Menteri Perhubungan KP 219 Tahun 2010 dan selanjutnya membentuk badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum yang baru baik berupa BLU maupun BUMN.SARANBerdasarkan hasil penelitian maka saran bagi pihak yang terkait adalah:1. Bagi KAI:KAI dapat mengajukan keberatan terhadap Permenhub Nomor 62 Tahun 2013 dengan mengajukan judicial review, judicial review tersebut dilakukan atas keberatan KAI terhadap pedoman perhitungan penetaan tarif BPPMN yang ditetapkan di dalam Permenhub Nomor 62 Tahun 2013. KAI dapat meminta pengajuan barang-barang milik negara yang berupa prasarana perkeretaapian milik negara untuk dimasukkan ke dalam aset perusahaan melalui mekanisme penyertaan modal pemerintah2. Bagi Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan:Pemerintah harus membebaskan BPPMN atas penggunaan prasarana perkeretaapian di jalur yang belum mendatangkan keuntungan serta masih dilayani oleh angkutan perintis. Pemerintah diharapkan menerbitkan aturan PNBP yang terbaru baik UU PNBP yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan pada saat ini maupun juga Peraturan Pemerintah. Diterbitkannya peraturan mengenai PNBP Kementerian Perhubungan maka blokir dana BPP dalam DIPA Kementerian Perhubungan dapat dibuka maka selanjutnya Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan dapat melakukan kontrak pelaksanaan BPP kepada KAI. Kewenangan KAI dalam hal prasarana perkeretaapian agar dibatasi. Perlu dibentuk badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian. Badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian dapat berbentuk BLU atau BUMN, bila berbentuk BUMN maka bentuk yang cocok berbentuk persero.

DAFTAR PUSTAKAAsyhadie, Zaeni. 2012, Hukum Perusahaan Dan Kepailitan, Jakarta: Erlangga.Bakti Nusantara, Telaga. 1997, Sejarah Perkeretaapian Jilid I. Bandung: Angkasa. Bakti Nusantara, Telaga. 1997, Sejarah Perkeretaapian Jilid II. Bandung: Angkasa.Djafar Saidi, Muhammad. 2008. Hukum Keuangan Negara Indonesia. Jakarta: Raja GrafindoFajar, Mukti. 2011, Dualisme Penelitian Hukum Empiris & Normatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Hidayat, Taufik. 2011,Perkeretaapian Indonesia Di Persimpangan Jalan. Depok: MKA Press. M. Djuraid, Hadi. 2013. Jonan Dan Evolusi Kereta Api Indonesia. Jakarta: BUMN Track.Mahmud, Peter. 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.Miru, Ahmadi. 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Rajawali Press.Muhammad, Abdulkadir. 2008. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: Citra Aditya Bakti.Mulhadi. 2010, Hukum Perusahaan, Bogor: Ghalia Indonesia.Nurhayati, Yati. 2014, Sejarah Kereta Api Indonesia, Klaten: Rizki Mandiri.Purwosutjipto, HMN. 2003, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan, Jakarta : Djambatan.Siregar, Muchtarudin. 1978, Beberapa Masalah Ekonomi Dan Management Pengangkutan, Jakarta: Djambatan.Soekardono, 1981. Hukum Dagang Indonesia Jilid II. Jakarta: Rajawali Press.Sujadi, Akhmad. 2011, Buku Pergulatan Transformasi Kebangkitan Ular Besi PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Depok: MKA Press.Sutedi, Adrian. 2011. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Sinar Grafika.Hartini, Rahayu. 2011. Harmonisasi Konsep Keuangan Negara Terhadap Kepailitan BUMN Persero Demi Menjamin Kepastian Hukum. Malang: Citra Mentari.Hapsoro, Suryo Tri Utomo. Jalan Rel. Yogyakarta : Beta Offset.Manan, Bagir. 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni Subarkah. 1981. Jalan Kereta Api. Bandung: Idhea DarmaSubiyanto, M. 1982. Dinamika Kendaraan Rel Bagian II, Bandung : CV Komala

Peraturan Perundang-UndanganUndang-Undang Dasar 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2034)Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Inddonesia Tahun 1992 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3479).Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tmbahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687).Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor Nomor 47 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286).Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Repiblik Indoonesia Trahun 2003 Nomor 70 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297).Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4772).Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5303).Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN Tahun Anggaran 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 228, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5361).Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 5426).Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang APBN Tahun Anggaran 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5462).Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 Tentang APBN Tahun Anggaran 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5593).Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Jenis Dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3694) Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Jenis Dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3760)Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1998 Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Dari Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api Menjadi Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 31)Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak Departemen Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4973).Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5048).Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api (Lembaran Negar a Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5086).Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5461).Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Barang Milik Negara/ Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5533).Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2011 Tentang Penugasan Kepada PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Untuk Menyelenggarakan Prasarana Dan Sarana Kereta Api Bandar Udara Soekarno-Hatta Dan Jalur Lingkar Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi.Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2012 Tentang Kewajiban Pelayanan Publik dan Subsidi Angkutan PerintisBidang Perkeretaapian, Biaya Penggunaan Prasarana Perkeretaapian Milik Negara, Serta Perawatan dan Pengoperasian Prasarana Perkeretaapian Milik Negara.Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil.Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2011 Tentang Jenis. Kegiatan dan Klasifikasi Stasiun.Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Angkutan Kereta Api Kelas Ekonomi.Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 64 Tahun 2012 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Perawatan Dan Pengoperasian Prasarana Perkeretaapian Milik NegaraPeraturan Menteri Perhubungan Nomor 62 Tahun 2013 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Penggunaan Prasarana Perkeretaapian Milik Negara.Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 69 Tahun 2014 Tentang Pedoman Perhitungan Penetapan Tarif Angkutan Orang Dengan Kereta Api.Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 17 Tahun 2015 Tentang Tarif Angkutan Orang Dengan Kereta Api Pelayanan Kelas Ekonomi Untuk Melaksanakan Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation).Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 48 Tahun 2015 Tentang Standar Pelayanan Minimum Angkutan Orang Dengan Kereta Api.Keputusan Bersama Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 19 Tahun 1999, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83/ KMK.03/1999 dan Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/ Kepala Bappenas Nomor KEP.024/K/03/1999 Tentang Pembiayaan Atas Pelayanan Umum Angkutan Kereta Api Penumpang Kelas Ekonomi, Pembiayaan Atas Perawatan Dan Pengoperasian Prasarana Kereta Api, Serta Biaya Atas Penggunaan Prasarana Kereta Api.Surat Keputusan Bersama Keputusan Dirjen Perhubungan Darat Nomor SK.95/HK.101./DKJD/99 Surat Keputusan Dirjen Anggaran Nomor KEP-37/A/1999 Surat Keputusan Deputi Kepala Bappenas Bidang Prasarana dengan nomor 3998/D.VI/06/1999 Tentang Penetapan Pedoman Pelaksanaan Public Service Obligation, Track Acces Charge, dan Infrastructure Maintenance and Operation Angkutan Perkeretaapian.Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 218 Tahun 2010 Tentang Izin Operasi Sarana Perkeretaapian Umum PT. Kereta Api Indonesia (Persero).Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 219 Tahun 2010 Tentang Pelaksana Penyelenggaraan Prasarana Perkeretaapian Umum Yang Ada Saat Ini Oleh PT. Kereta Api Indonesia (Persero)Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 220 Tahun 2010 Tentang Izin Usaha Penyelenggaraan Prasarana Perkeretaapian Umum PT. Kereta Api Indonesia (Persero)Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 221 Tahun 2010 Tentang Izin Operasi Prasarana Perkeretaapian Umum PT. Kereta Api Indonesia (Persero)Website Tim Unit Pelestarian, Perawatan, Desain dan Arsitektur PT. Kereta Api Indonesia (Persero),Sinyal (Online). (http://heritage.kereta-api.co.id/?page_id=134)(diakses 12 Desember2014