Upload
truongkhanh
View
261
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
PR O BLE MATI KA PE R N I KAH AN MEL A N GKAH I KAKA K
D A LA M A D AT BET AW I
(Telaah Etnografi Hukum Islam di Kelurahan Pondok Karya Tangerang Selatan)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
Hendrawan
NIM: 1111044100049
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (SAS)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2015 M
iii
ABSTRAK
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam adat
perkawinan pada masyarakat Pondok Karya Tangerang Selatan terdapat adat yang
apabila seseorang ingin menikah akan tetapi terdapat kakaknya yang belum
menikah, maka orang itu harus menunggu kakaknya menikah terlebih dahulu atau
dapat menikah mendahului kakaknya dengan syarat orang yang ingin melangkahi
kakaknya harus memberikan sesuatu berupa uang atau barang kepada kakaknya.
Menurut tokoh adat bahwa pelangkah itu diharuskan, untuk menjaga
hubungan baik kepada kakaknya. Namun jika pelangkah itu memberatkan atau
menghalangi adiknya untuk menikah, tokoh adat mengungkapkan bahwa hal itu
tidak dibenarkan karena pelangkah tidak bisa diminta dengan nominal tertentu
atau barang tertentu, hanya kesadaran adiknya saja. Sejalan dengan pendapat
tokoh adat, tokoh ulama mengungkapkan bahwa pelangkah boleh saja
diberlakukan atas dasar kaidah العاده عدوه akan tetapi hal itu tidak menjadi
sebuah keharusan.
Sumber data primer diperoleh dari wawancara dan sumber data sekunder
diperoleh dari buku-buku, majalah, jurnal-jurnal, dll. Jenis penelitian yang
digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan (Field Research).
Pendekatan penelitian yang dilakukan penulis menggunakan deskriptif kualitatif.
Pengumpulan data yang dilakukan penulis untuk mendapatkan dan memahami
gambaran serta realita yang ada, penulis menggunakan teknik pengumpulan data
dengan wawancara, observasi dan dokumen. Dari data yang telah terkumpul
kemudian penulis analisis dengan menggunakan metode deskriptif.
Berdasarkan data hasil penelitian, dapat penulis simpulkan bahwa adat
pernikahan melangkahi kakak dapat dilestarikan karena adat pernikahan
melangkahi kakak ini selain sebagai simbol identitas bangsa, dapat juga sebagai
bentuk penghormatan kepada kakak yang akan dilangkahi dan sebagai penjaga
hubungan baik keluarga. Meskipun harus tetap dilestarikan, akan tetapi harus ada
penyaringan dan penyesuaian dengan fikih agar tidak ada pertentangan antara adat
dengan fikih.
Beberapa masalah adat pelangkah yang harus disaring dan disesuaikan
dengan fikih diantaranya yaitu mengenai penghalangan nikah dari kakaknya
kepada adiknya yang ingin menikah. Menghalangi adiknya untuk menikah itu
tidak dibenarkan dalam adat dan di dalam fikih itu dapat diharamkan karena dapat
menimbulkan banyak kemudharatan. Selain itu hal yang memberatkan dan
menyusahkan seseorang untuk menikah harus dihapuskan juga, Kakak yang akan
dilangkahi harus dapat menerima apapun pemberian adik sebagai permohonan
izin untuk menikah. Tidak boleh memaksakan kemampuan adik dan tidak boleh
memberatkan permintaan kepada adik.
vii
بسم اهلل الرحمن الرحيم KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, segala puji bagi Allah tuhan semesta alam yang telah
memberikan penulis banyak sekali rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Solawat beriring salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan baginda Nabi Besar Muhammad SAW, Nabi
terakhir serta manusia yang paling mulia.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah
banyak membantu penulis baik dari segi moril maupun materil. Oleh karena itu,
penulis ingin mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Asep Saepudin Jahar, S.Ag., MA., Ph.D., Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., Ketua Program Studi Hukum Keluarga
yang selalu memberikan pelayanan terbaik serta motivasi-motivasi kepada
penulis.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga yang
selalu memberikan pelayanan terbaik.
4. Bapak H. M. Riza Afwi, Lc., MA., Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
meluangkan waktu, tenaga serta fikirannya untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
5. Perpustakaan Umum, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Serta Lembaga Kebudayaan Betawi yang telah membantu
dalam menyediakan bahan-bahan referensi skripsi ini.
vii
6. Dr. H. Supriyadi Ahmad, MA., Dosen Pembimbing Akademik yang telah
meluangkan waktu, tenaga serta fikirannya untuk membimbing serta
memotivasi penulis.
7. Bapak H. Muslih dan Bapak Drs. KH. Hasanuddin, MM, yang telah
meluangkan waktu dan fikirannya untuk menjadi narasumber skripsi ini.
8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di Lingkungan Program Studi Hukum
Keluarga yang dengan sabar telah memberikan ilmu-ilmu kepada penulis.
9. Secara Khusus penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada
Ayahanda Nasan dan Ibunda Sariyah yang telah memberikan dukungan moril
serta materil, yang senantiasa dengan tulus memberikan motivasi dan
bimbingan serta mendoakan penulis.
10. Kakak tercinta Santi dan Anih yang telah memberikan dukungan moril
maupun materil. kepada keluarga besar penulis yang senantaiasa motivasi.
11. Sahabat-sahabat Peradilan Agama 2011, khususnya untuk sahabatku Andi
Asyraf, Rudi Niyarto, Nadia Nur Syahidah, Mujahidah, Lilis Sumiyati, Savira
Maharani, Epi Yulianti, Triana Apriyanita, Kamelia Sari, M. Irpan, M. Hira
Hidayat, Taufiq rahman dan Samsul Bahri. Yang telah memberikan semangat
untuk penulis.
12. Kanda-kanda dan yunda-yunda Program Studi Hukum Keluarga Bang Fajrul,
Kak Novita, Kak Nita, Bang Jejen, Kak Wiwin, Kak Aulia, Kak Eka, Kak
Dita dan Kak Lulu. Yang telah memberikan penulis pengalaman yang tak
terlupakan.
vii
13. Adinda-adinda Program Studi Hukum Keluarga khususnya Ricky, Habibi,
Dira, Eka, Tiqoh, Reza, Lia Ipeh, Aisyah, Zulfa, Jamil, Amalkan, Anisa
Mutiara, Eno, Mella, Fahra, The Barbies, Nina, Mutia dan Harum yang telah
memberikan pengalaman serta semangat kepada penulis.
14. Sahabat-sahabatku Filah Apriliani, Herman Bachtiar, Edi Laras Kasman,
Teman-Teman Bina Karya serta Teman-Teman Ikrab. Yang telah
memberikan dukungan dan semangat.
15. Tak terlupakan pula terimakasih kepada semua yang telah berjasa membantu
dalam pembuatan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
namun tidak mengurangi rasa terimakasih penulis yang sebesar-besarnya.
Semoga segala kebaikan dan sumbangsinya dicatat sebagai amal ibadah
dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Jakarta, 06 Sya’ban 1436 H.
24 Mei 2015 M.
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN BIMBINGAN ...................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. ii
ABSTRAK ........................................................................................................ iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................. iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 6
D. Review Studi Terdahulu ...................................................... 8
E. Metode dan Tehnik Penelitian ............................................. 10
F. Sistematika Penulisan .......................................................... 13
BAB II PERNIKAHAN MENURUT FIKIH DAN HUKUM
POSITIF
A. Pengertian Pernikahan ......................................................... 14
B. Syarat dan Rukun Pernikahan ............................................. 18
C. Dasar Hukum Pernikahan .................................................... 25
D. Larangan Pernikahan ........................................................... 30
E. Tujuan dan Hikmah Pernikahan .......................................... 34
BAB III PROFIL KELURAHAN PONDOK KARYA
TANGERANG SELATAN
ix
A. Kondisi Geografis, Ekonomi dan Sosial .............................. 39
B. Tata Cara Pernikahan Adat Betawi ...................................... 45
BAB IV PERNIKAHAN MELANGKAHI KAKAK MENURUT
ADAT BETAWI
A. Pengertian Pernikahan Melangkahi Kakak .......................... 56
B. Melangkahi dalam Adat, Fikih dan Hukum Positif ............. 57
C. Melangkahi Menurut Ulama dan Tokoh Adat Betawi ......... 63
D. Analisis Penulis .................................................................... 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 70
B. Saran-Saran .......................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 74
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................. 78
1. Profil Kelurahan Pondok Karya Kecamatan Pondok Aren Tangerang
Selatan.
2. Wawancara dengan Ulama Tentang Pandangan Islam Mengenai Pelangkah
3. Wawancara dengan Tokoh Adat Betawi Tentang Pelangkah Menurut Adat.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Sejak
lahir di dunia, manusia telah bergaul dengan manusia lain di dalam wadah
yang bernama masyarakat.1 Pergaulan dengan manusia lain itu dinamakan
sebagai proses sosial. Proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik
antara berbagai segi kehidupan bersama.2
Masyarakat terbentuk mulai dari individu-individu membentuk
suku-suku, kemudian suku-suku membentuk menjadi berbangsa-bangsa.
Hal demikian sudah dijelaskan oleh Allah SWT di dalam firmannya surat
Al-Hujurat ayat 3. Dari ayat itu terlihat jelas bahwa Allah menciptakan
manusia beraneka ragam dan dipersatukan menjadi satu kesatuan dengan
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk membentuk kehidupan
bersama. Di dalam kehidupan bersama, ia harus berbicara dan berbuat
untuk mengembangkan kehidupan bersama selanjutnya.3
Harus ada norma yang harus dipatuhi dalam kehidupan bersama,
norma-norma melekat kuat sebagai fakta di dalam realitas.4 norma-norma
1 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal.
1.
2 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, hal. 65
3 Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 9.
4 Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Penerjemah: Nurulita Yusron, (Bandung:
Nusa Media, 2009), cet. 2, hal. 214.
2
tersebut dibuat menjadi hukum di dalam kehidupan bersama ditengah
masyarakat, hukum adat yang merupakan kongkritisasi dari pada
kesadaran hukum. Karena hukum akan efektif apabila mempunyai basis
sosial yang relatif kuat. Artinya hukum adat tersebut dipatuhi oleh warga
masyarakat secara sukarela. Namun tidak selalu hukum adat merupakan
hukum yang sebanding atau adil.5
Indonesia adalah satu negara kepulauan di Asia Tenggara yang
wilayahnya sangat luas, dari Sabang sampai Merauke, dengan
penduduknya yang terdiri atas berbagai suku bangsa (etnis) dengan
bahasa, adat-istiadat dan budaya yang berbeda.6 Adat dapat dijumpai
dalam setiap bentuk kehidupan sosial.7
Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai
yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui,
dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat
tersebut.8 Sikap-sikap yang mendasar dan umum yang membentuk nilai-
nilai yang disepakati diantara anggota-anggota masyarakat.9
5 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),
hal. 338-340.
6 Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan & Kehidupan Orang Betawi, (Jakarta:
Masup, 2012), hal. v
7 Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis, Penerjemah: Dariyatno dan Derta Sri
Widowatie, (Bandung: Nusa Media, 2008), cet. 2, hal. 65.
8 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. 2, hal. 78.
9 Peter Worsley, Pengantar Sosiologi: Sebuah Pembanding, Jilid 2, Penerjemah: Hartono
Hadikusumo, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992), hal. 248.
3
Nilai-nilai memainkan peranan yang sangat penting di dalam
kehidupan sosial.10 Hukum selalu mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat, termasuk nilai-nilai adat.11 Apabila terjadi
pelanggaran terhadap hukum adat, maka yang mengadili adalah
pengadilan adat yang bersangkutan.12
Mengenai adat, Islam sudah mengaturnya karena di dalam
kehidupan tiap gerak berawal dari agama, berujung pada kebudayaan.13
Adat sudah diatur oleh agama di dalam kaidah fiqhiyyah yang
menjelaskan bahwa adat kebiasaan dapat dijadikan pertimbangan hukum.
Dalam kaidah itu Islam hanya memberikan patokan dasar yang masih
umum dan global. Perinciannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan
manusia.14
Adat yang banyak berkembang di masyarakat dan diatur dalam
hukum adat setiap daerah yaitu hukum adat mengenai perkawinan atau
pernikahan. Tata tertib adat perkawinan antara masyarakat adat yang satu
berbeda dengan masyarakat adat yang lain. Dikarenakan perbedaan tata
10
Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Penerjemah: Daniel Dhakidae, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), cet. 8, hal. 12.
11 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), cet. 1, hal. 1.
12 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990),
cet. 4, hal. 14-15.
13 Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), hal. 127.
14 Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2012), cet. 2, hal. 15.
4
tertib adat, maka seringkali dalam menyelesaikan perkawinan antar adat
menjadi berlarut-larut, bahkan kadang-kadang tidak tercapai kesepakatan
antar kedua pihak dan menimbulkan ketegangan.15
Islam juga telah membahas mengenai tata cara pernikahan secara
rinci. Berpasang-pasangan merupakan pola hidup yang ditetapkan oleh
Allah SWT.16 Pernikahan di dalam Islam merupakan suatu cara yang
dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk
berkembang biak dan melestarikan hidupnya.17 Tidak hanya itu,
pernikahan juga memiliki unsur-unsur ibadah. Pernikahan dapat menjaga
kehormatan diri sendiri dan pasangan agar tidak terjerumus ke dalam hal-
hal yang diharamkan.18 Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan
sebagian dari ibadah dan berarti pula telah menyempurnakan sebagian dari
agama.19
Adat pernikahan yang masih ada hingga saat ini diperlihatkan oleh
adat pernikahan masyarakat Betawi. Sebagai suatu kelompok etnik,
masyarakat etnik, Masyarakat Betawi pun memiliki pelbagai atribut
15
As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Kairo: Dar Al-Fath Li al-„Ilami Al-Arabiy, 2000),
hal. 5.
16 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, hal. 12.
17 M. A. Tihami, dkk, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), hal. 6.
18 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr, 2004),
hal. 6516.
19 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1974), hal. 5.
5
budaya sendiri sebagai manifestasi keberadaannya, termasuk adat istiadat
dalam perkawinan.20
Tercantum di dalam tata cara pernikahan Adat Betawi apabila
seseorang ingin menikah, akan tetapi terdapat kakaknya yang belum
menikah, maka orang tersebut tidak boleh menikah sebelum kakaknya
menikah atau orang tersebut harus memberikan sesuatu, permintaan dari
kakaknya agar kakaknya dapat memberi izin untuk menikah. Di dalam
adat betawi hal ini dinamakan Pelangkah atau pelangke.21
Pernikahan melangkahi kakak di dalam adat betawi merupakan
penghalangan pernikahan bagi seseorang yang ingin menikah, akan tetapi
di dalam fikih pernikahan melangkahi kakak tidak dinyatakan sebagai
penghalangan nikah.
Melihat dari permasalahan di atas, penulis menganggap perlu
adanya penelitian lebih lanjut bagaimanakah fikih menyikapi
permasalahan hukum adat seperti itu. Dari uraian yang sudah dipaparkan
maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini ke dalam
sebuah skripsi yang berjudul “PROBLEMATIKA PERNIKAHAN
MELANGKAHI KAKAK DALAM ADAT BETAWI (Telaah
Etnografi Hukum Islam di Kelurahan Pondok Karya Tangerang
Selatan)”.
20
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, (Jakarta: Lembaga
Kebudayaan Betawi, 1994), hal. 1.
21 Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, (Jakarta: Wedatama Widya
Sastra, 2008), cet. 1, hal. 47.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Supaya pembahasannya tidak melebar, penulis membatasi
hanya membahas sekitar pernikahan melangkahi kakak menurut
hukum adat dari adat betawi itu sendiri, pembahasan tentang uang
pelangkah yang ada dalam adat apabila ingin menikah melangkahi
kakaknya dan pandangan islam mengenai adat tersebut yang terjadi di
Kelurahan Pondok Karya Tangerang Selatan.
2. Perumusan Masalah
Sesuai dengan apa yang sudah penulis uraikan di atas, maka
penulis merumuskan permasalahan tersebut dalam bentuk pertanyaan
dibawah ini:
a. Bagaimana tata cara pernikahan melangkahi kakak dalam adat
betawi di Kelurahan Pondok Karya, Tangerang Selatan, Banten?
b. Bagaimana pandangan tokoh adat dan ulama Kelurahan Pondok
Karya Tangerang Selatan Banten, terhadap pernikahan melangkahi
kakak?
c. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap pernikahan
melangkahi kakak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan suatu penelitian adalah mengungkapkan secara jelas apa
yang ingin dicapai dalam penelitian yang akan dilakukan. Dari definisi
tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:
7
1. Mengetahui tradisi pernikahan Adat Betawi di Kelurahan Pondok
Karya, Tangerang Selatan, Banten.
2. Mengetahui pandangan masyarakat mengenai menghalang-halangi
pernikahan dalam konteks melangkahi kakak.
3. Mengetahui pandangan Hukum Islam mengenai tradisi pernikahan
melangkahi kakak.
Sejalan dengan tujuan penelitian maka penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat:
1. Secara teoritis
a. Menambah khazanah ilmu agama Islam mengenai pernikahan.
b. Menambah pengetahuan tentang hukum adat Betawi khususnya
mengenai pernikahan.
c. Memberi bahan masukan dan/atau dapat dijadikan sebagai bahan
kajian lebih lanjut untuk mengembangkan adat khususnya
pernikahan.
2. Secara praktis
a. Menginformasikan masalah-masalah yang timbul dalam
masyarakat mengenai hukum Islam.
b. Memberikan solusi sehubungan dengan permasalah pernikahan
adat.
D. Review Studi Terdahulu
Tinjauan pustaka adalah kajian literatur yang relevan dengan
pokok bahasan penelitian yang akan dilakukan, atau bahkan memberikan
8
inspirasi dan mendasari dilakukannya penelitian.22
Penulis menemukan
karya, yaitu:
1. Dalam Skripsi Karangan Muhammad Syarif yang berjudul: “Larangan
Melangkahi Kakak Dalam Perkawinan Adat Mandailing (Desa
Sirambas Kecamatan Panyabungan Barat Mandailing Natal)” skripsi
ini menjelaskan proses dan tata cara pernikahan Desa Sirambas
Kecamatan Panyabungan Barat Mandailing Natal dan menjelaskan
mengenai adat pernikahan melangkahi kakak yang ada di daerah itu.
2. Dalam Skripsi Karangan Nur Faizah yang berjudul: “Pernikahan
Melangkahi Kakak Menurut Adat Sunda (Studi di Desa Cijurey
Sukabumi Jawa Barat)” Skripsi ini menjelaskan proses dan tata cara
pernikahan adat sunda di Desa Cijurey Sukabumi Jawa Barat dan
menjelaskan mengenai adat pernkahan melangkahi kakak yang ada di
daerah itu.
3. Dalam Skripsi Karangan Ahmad Fauji yang berjudul: “Respon
Masyarakat Kelurahan Pasirputih Kecamatan Sawangan Kota Depok
Terhadap Nikah Dengan Melangkahi Kakak Kandung” Skripsi ini
menjelaskan tanggapan masyarakat Kelurahan Pasirputih Kecamatan
Sawangan Kota Depok mengenai pernikahan dengan melangkahi
kakak kandung.
Pembahasan mengenai pernikahan melangkahi kakak memang
sudah dibahas oleh beberapa skripsi di atas. Pada pembahasan yang akan
22
Huzaemah T. Yanggo, (ed.), Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, (Jakarta:
IIQ Press, 2011), cet. ke-2, hal. 13
9
dibahas oleh penulis memang sudah di bahas oleh skripsi nomer 1 dan 2,
akan tetapi penulis akan memaparkan adat istiadat dari suku yang
berbeda. Antara adat istiadat di satu daerah pasti berbeda dengan daerah
yang lain. Adat Sunda dan Mandailing pasti akan memiliki perbedaan
dengan adat Betawi, sehingga nilai-nilai yang terkandung akan berbeda
dan menciptakan sebuah hukum yang berbeda pula. Disebabkan karena
tempat, keadaan dan situasi yang dialami oleh satu daerah dengan daerah
yang lain berbeda.
Perbedaan antara pernikahan melangkahi kakak yang ada di Adat
Betawi dengan Adat Mandailing dan Adat Sunda dari segi tehnik dapat
dilihat dari yang dilangkahi, kalau di dalam Adat Mandailing dan Adat
Sunda berlaku hanya melangkahi kakak perempuan saja, akan tetapi di
dalam Adat Betawi berlaku baik melangkahi kakak perempuan maupun
kakak laki-laki. Kemudian perbedaan hukumnya antara pembahasan yang
penulis bahas dengan pembahasan yang dibahas oleh skripsi nomor 1 dan
2 yaitu penulis membahas melihat dari sisi penghalangan pernikahan
sedangkan pembahasan yang dibahas dalam skripsi nomor 1 dan 2,
melihat dari sisi pelarangan pernikahan.
Sedangkan perbedaan dengan skripsi nomer 3 yaitu sudah jelas
terlihat bahwa skripsi Karangan Ahmad Fauji itu hanya membahas
mengenai tanggapan masyarakat di Kelurahan Pasirputih Kecamatan
Sawangan Kota Depok mengenai pernikahan dengan melangkahi kakak
10
kandung. Sedangkan yang sekarang akan penulis kaji yaitu pengetahuan
hukum islam mengenai pernikahan melangkahi kakak.
Dilihat dari perbedaan tersebut, maka penulis menganggap
pembahasan ini masih relevan untuk dikaji kembali karena pembahasan
ini masih dalam lingkup kebudayaan yang ada di indonesia. Yang bukan
hanya harus kita lestarikan tetapi juga kita harus mempelajari lebih dalam
apakah bertentangan dengan agama hukum islam atau tidak.
E. Metode dan Tehnik Penelitian
1. Kriteria dan Sumber Data
a. Data Primer
Data primer diperoleh dari wawancara dengan tokoh
masyarakat dan penduduk Kelurahan Pondok Karya Tangerang
Selatan Banten, Al-Qur‟an, Hadits, serta Undang-undang No. 1
tahun 1974 Tentang Perkawinan. Serta buku-buku dan data lainnya
yang memuat keterangan dan penjelasan seputar tema dan pokok
penjelasan.
b. Data Sekunder
Di dalam penelitian perlu adanya data sekunder untuk
menguatkan. Bahan sekunder berupa buku-buku, makalah seminar,
jurnal-jurnal, laporan penelitian, artikel, majalah, dan koran.
2. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini
merupakan jenis penelitian lapangan (Field Research), yaitu
11
pengumpulan data langsung di lapangan untuk mendapatkan informasi
mengenai objek penelitian yang akurat dan sesuai keinginan penulis.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang dilakukan penulis dalam penelitian
ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang merupakan metode
dengan mengamati secara langsung atau menggunakan data-data
berupa gambaran sebenarnya tentang Budaya Pernikahan Adat Betawi
ditinjau dari Perspektif Fiqih.
4. Teknik Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data yang dilakukan penulis untuk
mendapatkan dan memahami gambaran serta realita yang ada, penulis
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara yaitu proses tanya jawab secara langsung antara
peneliti dengan informan. Wawancara ini bertujuan untuk memeriksa
kebenaran informasi yang diperoleh sebelumnya.
b. Observasi
Observasi yaitu melakukan pengamatan terhadap objek yang
diteliti. Tujuan observasi ini adalah untuk informasi mengenai objek
penelitian seperti apa yang terjadi pada kenyataannya.
c. Dokumen
12
Dokumen yaitu sejumlah bahan bukti berupa fakta dan data
yang tersimpan dalam bentuk dokumen. Dapat berbentuk dokumen
pemerintahan atau swasta, dalam bentuk website, dll.
5. Analisis Data
Penulis menggunakan metode deskriptif (deskriptive research)
dalam proses analisa data. Penelitian deskriptif adalah hasil penelitian
yang diharapkan dapat memperoleh gambaran yang jelas dan
sistematis.23
Adapun teknik penulisan, penulis merujuk kepada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang
diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.24
F. Sistematika Penulisan
Bab Pertama Tentang Pendahuluan dengan memuat Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode dan Tehnik
Penelitian dan yang terakhir adalah Sistematika Penulisan.
Bab Kedua Tentang Pernikahan Menurut Fiqih dan Hukum Positif.
Pada bab ini penulis membahas secara umum tentang Pengertian
23
Joko Medikanto, Penetapan Wali Adlal (Studi Kasus Pengadilan Agama Kendal),
Tesis, (Semarang, 2006), hal. 56.
24 Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman
Penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan
Hukum, 2012).
13
Pernikahan, Syarat dan Rukun Pernikahan, Dasar Hukum Pernikahan,
Larangan Pernikahan, Tujuan dan Hikmah Pernikahan.
Bab Ketiga Tentang Profil Kelurahan Pondok Karya Tangerang
Selatan. Membahas tentang Kondisi Geografis, Ekonomi dan Sosial, serta
Tata Cara Pernikahan Adat Betawi.
Bab Keempat Tentang Pernikahan Melangkahi Kakak Menurut
Adat Betawi Membahas tentang Pengertian Pernikahan Melangkahi
Kakak, Melangkahi dalam Adat, Fiqih dan Hukum Positif, Melangkahi
Menurut Ulama dan Tokoh Adat Betawi, serta Analisa Penulis.
Bab Kelima Tentang Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran-
saran.
14
BAB II
PERNIKAHAN MENURUT FIQIH DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Pernikahan
Nikah secara bahasa berasal dari kata al-wath‟u (الىطء) yang artinya
hubungan badan.25
Pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut
dengan dua kata, yaitu nakaha ( حاوك ) dan Zawãj (زواج). Kata na-ka-ha
banyak terdapat dalam Al-Qur‟an dengan arti kawin.26
Menurut syara‟
nikah artinya akad yang telah terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta
syarat-syarat untuk berkumpul.27
Seperti dalam surat An-nisa‟ ayat 3:
هوإن ذم سطىا فيال يرامفاوكحىا ماطابلكمم أال خف رم
دلىا ذع أال خف رم فىاحدج الىساءمث ىوثالزورتاعفئن
Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim,
maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi,
dua, tiga atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan
berlaku adil, cukup satu orang.
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur‟an
dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzãb ayat 37:28
25
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta : Pustaka Al-kautsar, 2006), hal. 3
26 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2011), Cet. 3, hal. 35
27 Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2004), cet. 3, hal. 224.
28 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 35
15
ىاكهالكي ج زو ى هاوطرا الضزي دم اليكىنعلفلم
... عيائهم واجأد مىيهحرجفيأز ال مؤ
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan (menceraikan)
istrinya; kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) mantan istri-
istri anak angkat mereka...
Dalam masalah perkawinan, para ahli fiqh mengartikan “nikah”
menurut arti kiasan, mereka berbeda pendapat tentang arti kiasan yang
mereka pakai. Imam Abu Hanifah memakai arti “setubuh” sedang Imam
Asy Syafi`i memakai arti “mengadakan perjanjian perikatan”.29
Arti terminologis dalam kitab-kitab terdapat beberapa rumusan
yang saling melengkapi. Perbedaan perumusan tersebut disebabkan oleh
berbeda dalam titik pandangan. Di kalangan ulama Syafi`iyah rumusan
yang biasa dipakai adalah:30
و التزويجء بلفظ اإلنكاح أباحة الوطعقد يتضمن إل
Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan
hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau
za-wa-ja.
Ulama golongan Syafi`iyyah ini memberikan definisi sebagaimana
disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan
dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh
29
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 11.
30 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 37.
16
bergaul sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya
tidak boleh bergaul.31
Para ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa nikah adalah sebuah
akad yang memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang secara
sengaja. Artinya, kehalalan seorang laki-laki bersenang-senang dengan
seorang perempuan yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat,
dengan kesengajaan.32
Ulama kontemporer memperluas jangkauan definisi yang
disebutkan ulama terdahulu. Diantaranya sebagaimana yang disebutkan
Dr. Ahmad Ghandur dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah fi al-Tasyri’
al-Islamiy:33
عمديفيدحلالعشرجتيهالرجلوالمرأجتمايحمكمايرماضايالطثع
االوساويمديالحياجويجعللكلمىهماحمىقلثلصاحثوواجثاخ
علي
Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki
dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam
kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal
balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
Al-Maibari mengemukakan definisi akad nikah, sebagai berikut:
akad yang mengandung kebolehan persetubuhan dengan kata nikah atau
31
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 11
32 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani,
hal. 39.
33 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, hal. 39.
17
tazwij. Kemudian definisi akad nikah yang dikemukakan oleh muhammad
abu zahra, sebagai berikut: akad yang mengakibatkan hukum halal
pergaulan antara laki-laki dengan perempuan dan pertolongan serta
pembatasan milik, hak dan kewajiban mereka.34
Selain itu, pernikahan juga sudah diatur di dalam hukum positif di
Indonesia. Konsep perkawinan yang paling ringkas tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan
merupakan :35
“ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah-
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.”
Ikatan diartikan sebagai penyatuan dari dua pasang, yaitu pria dan
wanita. Penyatuan itu, meliputi penyatuan lahir dan batin. Subjek dari
ikatan itu, yaitu pria dan wanita. Tujuan adanya ikatan (perkawinan), yaitu
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suatu keluarga dikatakan
bahagia apabila terpenuhinya dua macam kebutuhan, yaitu kebutuhan
jasmani dan rohani.36
34
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995),
Cet. 1. Hal. 11
35 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata: Comparative
Civil Law, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2014), cet. 1, hal. 145-146.
36 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata: Comparative
Civil Law, hal. 146
18
Di samping definisi yang diberikan oleh UU No. 1 Tahun 1974
tersebut di atas, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan definisi
lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi UU tersebut, namun bersifat
menambah penjelasan, dengan rumusan sebagai berikut :37
“pernikahan menurut Islam yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Perkawinan merupakan perbuatan ibadah dalam kategori ibadah
umum, dengan demikian dalam melaksanakan perkawinan harus diketahui
dan dilaksanakan aturan-aturan perkawinan dalam Hukum Islam.38
Menurut penulis pernikahan adalah akad yang menimbulkan ikatan lahir
batin antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk sebuah keluarga.
B. Syarat dan Rukun Pernikahan
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah). Sedangkan syarat-syarat perkawinan
merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.39
Perkawinan mempunyai
akibat hukum. Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya
dengan sahnya perbuatan hukum itu.40
37
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 40
38 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2010), hal. 275
39 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 45-49.
40 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 5.
19
Pembahasan mengenai rukun merupakan masalah yang serius
dikalangan fuqoha.41
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqoha,
perbedaan dikalangan ulama yang perbedaan ini tidak bersifat substansial.
Perbedaan diantara pendapat tersebut disebabkan oleh karena berbeda
dalam melihat fokus perkawinan itu.42
Abdurrahman al-Jazîrî menyebutkan yang termasuk rukun adalah
al-ijab dan al-qabul karena tidak ada nikah tanpa ada keduanya. Sayyid
Sabiq juga menyimpulkan rukun nikah terdiri dari ijab dan qabul,
sedangkan yang lain termasuk ke dalam syarat.43
Menurut ulama Hanafiyah, nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang
terkadang berhubungan dengan shigat, berhubungan dengan dua calon
mempelai dan berhubungan dengan kesaksian. Menurut Syafi`iyyah
melihat syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut sighat dan wali
calon suami-isteri. Berkenaan dengan rukunnya, bagi mereka ada lima
syarat yaitu calon suami-istri, wali, dua orang saksi dan sighat.44
Ulama Malikiah berpandangan rukun nikah ada lima yaitu wali,
mahar, calon suami-isteri, dan sighat.45
Semua ulama sependapat dalam
hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan adalah:46
41
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007), hal. 4.
42 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, hal. 59
43 Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, hal. 4.
44 Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, hal. 4-5.
45 Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, hal. 5.
20
a. Calon suami dalam keadaan muslim, merdeka, berakal, benar laki-
laki, adil, tidak beristri empat, tidak memiliki hubungan mahram
dengan calon istri, dan tidak sedang berihram.47
b. Calon istri beragama Islam atau ahli kitab, terang bahwa ia wanita
bukan khunsa (banci), wanita itu tentu orangnya, halal bagi calon
suami, wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih
dalam „iddah, tidak dipaksa/ikhtiyar dan tidak dalam keadaan ihram
haji atau umrah.48
c. Shighat (Ijab dan Qobul) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan.49
Lafadz ijab qobul bukan kata-kata kiasan, lafadz ijab qobul tidak
dikaitkan dengan syarat tertentu yang dilarang agama, lafadz ijab
qobul harus terjadi pada suatu majelis dan harus segera di ucapkan
setelah ijab.50
d. Wali dalam pernikahan, harus memiliki 6 syarat berikut: islam, baligh,
sehat akalnya, merdeka, laki-laki dan adil.51
e. Dua orang saksi dalam kondisi muslim, baligh, berakal, merdeka,
laki-laki, adil, pendengaran dan penglihatannya sempurna, memahami
46
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, Hal. 59
47 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Hal. 47
48 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 54-55.
49 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), hal. 382-383.
50 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Hal. 47
51 Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, hal. 233.
21
bahasa yang diucapkan dalam ijab dan qobul dan tidak sedang
ihram.52
Hukum positif juga telah mengatur mengenai rukun dan syarat
pernikahan. Syarat-syarat sahnya perkawinan telah ditentukan di dalam
Kitab Undang-Undang Perdata. Ada dua syarat sahnya perkawinan,
yaitu:53
a. Syarat materiil, dan
b. Syarat formil
Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok
dalam melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu:54
a. Syarat materiil mutlak, dan
b. Syarat materiil relatif
Syarat materiil mutlak, yaitu syarat yang berkaitan dengan pribadi
seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada
umumnya.55
Syarat itu disajikan berikut ini:56
a. Asas Monogami Mutlak (Pasal 27 BW)
b. Persetujuan kedua belah pihak (Pasal 28 BW)
52
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Hal. 47
53 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata: Comparative
Civil Law, hal. 147.
54 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata: Comparative
Civil Law, hal. 147.
55 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata: Comparative
Civil Law, hal. 147.
56 Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, hal 7.
22
c. Mencapai batas umur tertentu, untuk laki-laki berumur 18 tahun
sedangkan wanita berumur 15 tahun (pasal 29 BW)
d. Lewat masa tunggu bagi wanita yang ingin menikah lagi, yaitu 300
hari (Pasal 34 BW)
e. Memperoleh izin kawin (Pasal 35 BW)
Syarat materiil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan
bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu ada tiga
macam, yaitu:57
a. Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam hubungan
kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan.
b. Laranga kawin karena zinah; dan
c. Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya
perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun.
Syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan tata cara atau
prosedur didalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dua tahapan,
yaitu: 58
a. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan
dilangsungkan; dan
b. Syarta-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan
dilangsungkannya perkawinan.
57
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata : Comparative
Civil Law, hal. 148.
58 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata : Comparative
Civil Law, hal. 148.
23
Syarat sahnya perkawinan juga diatur dalam pasal 6 sampai dengan
pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di
dalam ketentuan itu ditentukan dua syarat untuk dapat melangsungkan
perkawinan, yaitu: 59
a. Syarat intern, dan
b. Syarat ekstern.
Syarat intern, yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan
melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat intern itu meliputi: 60
a. Persetujuan dua belah pihak;
b. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun;
c. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pengecualiannya
dispensasi dari pengadilan atau camat atau bupati;
d. Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin;
e. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu
(iddah).
Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-
formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi: 61
a. Harus mengajukan laporan ke P3NTR (Pegawai Pencatatan Nikah
dan Talak);
59
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata : Comparative
Civil Law, hal. 149.
60 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata : Comparative
Civil Law, hal. 149.
61 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata : Comparative
Civil Law, hal. 149.
24
b. Pengumuman, yang ditandatangani oleh pegawai pencatat.
Undang-undang perkawinan menjelaskan pada pasal 2, diperinci
dalam pasal 6 sampai pasal 12. Undang-undang Perkawinan dalam pasal 2
ayat (1) dikatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya, maka bagi umat Islam
ketentuan mengenai terlaksananya akad nikah dengan baik tetap
mempunyai kedudukan yang menentukan untuk sah atau tidak sahnya
suatu perkawinan.62
Penjelasan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang
Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku
bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.63
. UU Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun
perkawinan. KHI secara jelas membicarakan rukun perkawinan
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14, yang keseluruhan rukun
tersebut mengikuti fiqh Syafi`iy dengan tidak memasukkan mahar dalam
rukun.64
62
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam, (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 63.
63 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978),
hal. 16.
64 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 61.
25
Melihat pentingnya rukun pernikahan karena tanpa adanya rukun
akan mengakibatkan tidak sahnya suatu pernikahan. Untuk menjaga
sakralnya sebuah pernikahan maka penulis setuju dengan apa yang
diungkapkan oleh kelompok Syafi`iyyah bahwa rukun terdiri atas calon
suami-istri, wali, dua orang saksi dan sighat.
C. Dasar Hukum Pernikahan
Negara seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang
Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi
pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.65
Presiden RI telah mensahkan suatu Undang-undang Nasional yaitu
Undang-undang No.1 Tahun 1974 dengan peraturan pelaksanaannya PP.
No. 9 Tahun 1975. Maka segenap warganegara Indonesia yang ingin
melangsungkan suatu perkawinan berlakulah Undang-undang tersebut.66
Melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang
membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang
sebelumnya tidak boleh, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari
perkawinan itu adalah boleh atau mubah.67
Asal hukum melakukan
perkawinan, menurut pendapat sebagian sarjana hukum Islam adalah
65
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), hal. 162.
66 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, hal.
15.
67 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, hal. 43.
26
Ibahah atau kebolehan atau halal.68
Pendapat ini sejalan dengan pendapat
dari Imam Syafi`i. Imam Syafi`i memandang bahwa menikah hukumnya
mubah. Alasan yang dipegang oleh golongan ini ialah bahwa dalam ayat 3
surat an-Niŝa‟, Allah menyerahkan kepada kita untuk memperoleh wanita
dengan jalan menikah atau dengan jalan tasarrî. Hal ini menunjukkan
bahwa kedua jalan itu sama derajatnya. Menurut Ijma`, tasarrî hukumnya
mubah. Jadi, menikah juga hukumnya mubah.69
Menurut perspektif fikih, nikah disyariatkan dalam Islam
berdasarkan Al-Qur‟an, as-Sunnah dan Ijma`. Ayat yang menunjukkan
nikah disyariatkan adalah firman Allah dalam Surah an-Nûr (24): 32,
berikut:70
الحين منأ عبادكمأ وإمائكمأ إن يامى منكمأ والص وأنكحوا الأ
له من فضأ نهم للا يكونوا فقراء يغأ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu
dan orang-orang yang layak (untuk kawin) di antara hamba-
hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan
kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya.
Tentang hukum melakukan perkawinan, Ibnu Rusyd menjelaskan:
segolongan fuqoha, yakni jumhur berpendapat bahwa nikah itu hukumnya
sunnat. Golongan Zahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para
68
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam, hal. 49.
69 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003), hal. 134.
70 Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta:
Elsas, 2008), hal. 4-5.
27
ulama Malikiyah mutaakhkhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk
sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk
segolongan yang lain.71
Hukum nikah sangat erat hubungannya dengan mukallaf
(pelakunya).72
Dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta
tujuan melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat
dikenakan hukum wajib, sunat, haram, makruh ataupun mubah.73
1. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Wajib
Orang yang diwajibkan kawin, ialah orang yang sanggup untuk
kawin, sedang ia khawatir terhadap dirinya akan melakukan perbuatan
yang dilarang Allah melakukannya. Melakukan perkawinan merupakan
satu-satunya jalan baginya untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang
dilarang Allah, berdasarkan hadits Nabi SAW:74
د ر عنأ عوأ ن مسأ دللا ابأ ه ض عبأ ل ي للا عنأ قال: قال لنا رسوأ
ه وسل ع ى للا ل للا ص كم ليأ تطاع منأ باب من اسأ شر الش م, "يا معأ
ج. ومنأ لمأ صن للأفرأ ه أغض للأبصر وأحأ جأ فان يتزو باءة فلأ الأ
ه له وجاء". م فان وأ ه بالص تطعأ فعليأ يسأ
71
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 16.
72 Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, hal. 224.
73 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 18.
74 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 23-24.
28
“Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, telah berkata kepada kami
Rasululah SAW: “Hai sekalian pemuda , barang siapa diantara
kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah ia kawin. Maka
sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang
dilarang oleh agama) dan memelihara faraj. Dan barang siapa
yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu
adalah perisai baginya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
2. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Sunnah
Orang yang telah memiliki kemauan dan kemampuan untuk
melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan
akan berbuat zina, maka melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah
sunat. Alasannya anjuran Al-Quran seperti dalam surat an-Nur ayat 32 dan
hadits Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari abdullah bin
Mas`ud tersebut berbentuk perintah, tetapi berdasarkan qarinah-qarinah
yang ada, perintah Nabi tidak memfaedahkan hukum wajib, tetapi hukum
sunnat saja.75
3. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Haram.
Perkawinan hukumnya haram, apabila orang yang melakukannya
tidak mempunyai keinginan dan kemampuan, serta tanggung jawab untuk
menjalankan kewajiban-kewajiban dalam berkeluarga.76
Disamping itu
haram hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa
mudharat kepada istrinya karena ketidakmampuan dalam memberi nafkah
lahir batin.77
Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 195:
75
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 19-20.
76 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, hal. 7
77 Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hal. 6.
29
لكة هأ ديكمأ إلى الت ...وال تلأقواأ بأيأ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam
kebinasaan...”
4. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Makruh.
Orang-orang yang makruh hukumnya kawin, ialah orang yang
tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin. Pada hakekatnya orang yang
tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin (dibolehkan melakukan
perkawinan, tetapi ia dikhawatirkan tidak dapat mencapai tujuan
perkawinannya, karena itu dianjurkan sebaiknya ia tidak melakukan
perkawinan. Firman Allah SWT :78
من نيهمأ للا فف الذين ال يجدون نكاحا حتى يغأ تعأ ولأيسأ
له ...فضأ
“hendaklah menahan diri orang-orang yang tidak memperoleh
(alat-alat) untuk nikah, hingga Allah mencukupkan dengan
sebahagian karunianya... (QS. An Nûr : 33)
5. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Mubah.
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya,
tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan
apabila apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan isteri.
Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan
bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina
keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang
78
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 24
30
antara pendorong dan penghambatnya untuk kawin itu sama, sehingga
menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan kawin.79
Melihat dari penjelasan diatas, menurut penulis seseorang dapat
dihukumi wajib, sunah, haram, makruh maupun mubah dapat dilihat dari
kondisi orang tersebut.
D. Larangan Pernikahan
Hukum perkawinan telah diatur sedemikian rupa oleh syariah
sehingga ia dapat membentuk suatu umat yang ideal. Untuk mencapai
tujuan itu, Al-Quran dan Sunah telah menjelaskan macam-macam
larangan dalam perkawinan.80
Secara garis besar, larangan kawin antara
seorang laki-laki dan seorang wanita menurut syara‟ dibagi dua, yaitu
halangan abadi dan halangan sementara. Halangan abadi yang telah
disepakati yaitu:81
1. Nasab (Keturunan)
2. Pembesanan (Pertalian Kerabat Semenda)
3. Sesusuan.
Sedangkan yang diperselisihkan ada dua yaitu:82
1. Zina
2. Li‟an
79
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 21-22.
80 Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, Penerjemah: Basri Iba Asghari dan
Wadi Masturi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), hal. 17.
81 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 103.
82 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 103.
31
Halangan-halangan sementara ada sembilan, yaitu:83
1. Halangan bilangan
2. Halangan mengumpulkan
3. Halangan kehambaan
4. Halangan kafir
5. Halangan Ihram
6. Halangan sakit
7. Halangan iddah
8. Halangan perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan.
9. Halangan peristrian.
Orang-orang yang terlarang untuk dinikahi karena ada hubungan
dengan nasab ada 7 macam, yaitu: (1) Ibu (dan urutan keatasnya), (2)
Anak (dan urutan kebawahnya), (3) Saudara Perempuan, (4) Bibi (Saudara
Perempuan Ayah), (5) Bibi (saudara perempuan ibu), (6) Keponakan dari
saudara perempuan dan (7) Keponakan dari saudara laki-laki. Hal ini
sesuai dengan firman Allah surat an-Nisa ayat 23:84
اذكم وعم وأخىاذكم وتىاذكم هاذكم أم علي كم مد حر
د... وتىاخاألخوتىاخاألخ .وخاالذكم
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-
anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
83
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 103.
84 Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, hal. 238-239.
32
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan...”
Tafsirnya: menurut ibnu katsir, ayat tersebut merupakan ayat yang
mengharamkan wanita yang disebut mahram karena pertalian nasab,
susuan dan persemendaan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim dari Ibnu Abbas, dia berkata: diharamkan kepadamu tujuh golongan
lagi karena persemendaan.85
Wanita yang haram dinikahi karena faktor persusuan yaitu Ibu
yang menyusui dan Saudara perempuan sepersusuan.86
Dan yang terlarang
untuk dinikahi karena hubungan mushaharan (besanan) ada 4
macam,yaitu: (1) ibu dari istri dan neneknya, (2) anak dari istri, (3) istri
ayah (mertua) dan (4) istri anak (menantu).87
Di Indonesia juga memiliki peraturan yang menentukan
perkawinan mana yang diperbolehkan dan perkawinan mana yang dilarang
menurut hukum.88
Dalam Kompilasi Hukum Islam, larangan kawin seperti
telah diuraikan di atas, dijelaskan pula secara rinci dalam BAB IV pasal 39
sampai pasal 44.89
Dalam Undang-undang Perkawinan menentukan
beberapa larangan untuk melangsungkan perkawinan yang dimuat dalam
85
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Ayat-Ayat Perkawinan dan Perceraian dalam Kajian
Ibnu Katsir, (Jakarta: Gaung Persada Press, hal. 38-39.
86 Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hal. 32.
87 Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, hal. 239-240.
88 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur
Bandung, 1991), hal. 34.
89 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 114-117.
33
pasal 8, 9 dan 10.90
Ketentuan dalam pasal 8 itu telah sangat mendekati
ketentuan-ketentuan larangan perkawinan dalam Islam.91
Pasal 8 UU No. 1/1974 menyatakan melarang perkawinan antara
dua orang yang mempunyai hubungan darah baik keatas, kebawah maupun
garis menyamping, mempunyai hubungan semenda, hubungan susuan,
hubungan saudara dengan isteri dan hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Pasal 9 melarang seorang
yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain untuk kawin lagi,
kecuali ada izin pengadilan. Dan pasal 10 melarang perkawinan kembali
antara suami-isteri yang telah bercerai untuk kedua kalinya.92
Larangan pernikahan selain orang yang akan menikah sebagai
objek pelarangan nikah, Islam juga mencantumkan beberapa jenis
pernikahan sebagai objek pelarangan untuk menikah, diantaranya yaitu:
nikah mut‟ah (kawin kontrak), nikah syighar (nikah yang didasarkan
kepada janji atau kesepakatan penukaran), nikah muhallil (nikah dengan
tujuan menghalalkan perempuan yang dinikahinya agar dinikahi oleh
mantan suaminya yang mentalak tiga) dan pernikahan silang (nikah beda
agama).93
90
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, hal. 27.
91 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam, hal. 54.
92 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama: Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan
No. 1/1974, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986), hal. 25.
93 Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hal. 34-37.
34
Berdasarkan yang dijelaskan di atas, penulis hanya akan melihat
terfokuskan kepada halangan semestara saja sedangkan halangan abadi
bukan fokus pembahasan penulis karena penghalangan abadi merupakan
pelarangan pernikahan bukanlah penghalangan pernikahan.
E. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang
perlu mendapat pemenuhan. Mengenai naluri manusia seperti tersebut
pada ayat 14 surat Al-Imran:94
الشهىاخمهالىساءوال ثىيهوال مىاطيرز يهللىاسحة
...ال ممىطرج
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-
anak, harta yang banyak...”
Melihat uraian diatas dan memperhatikan uraian Imam Al-Ghazali
dalam Ihyanya tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan
perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima yaitu:95
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
94
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 22-23.
95 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 24.
35
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal.
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Tujuan Perkawinan menurut Undang-undang perkawinan sudah
tercantum dengan jelas di dalam isi pada Pasal 1 Undang-undang
Perkawinan, tujuan perkawinan adalah: “Membentuk keluarga/rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.96
Selain memiliki tujuan, pernikahan pernikahan dalam islam juga
mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat besar. Secara detil, beberapa
hikmah dari pernikahan tersebut diantaranya:97
1. Pernikahan sejalan dengan fitrah manusia untuk berkembang biak, dan
keinginan untuk melampiaskan syahwat secara manusiawi dan syar‟i.
2. Upaya menghindarkan diri dari perbuatan maksiat.
3. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tentram.
4. Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib, teratur, dan
mengembangkan sikap kemandirian serta tanggung jawab.
5. Pernikahan dan adanya keturunan akan mendatangkan rezeki yang
halal serta barokah.
96
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, hal. 14.
97 Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hal. 42-44.
36
6. Nikah mempunyai kontribusi di dalam membentuk pribadi untuk
berperilaku disiplin.
7. Memperkokoh tali persaudaraan antar masyarakat.
8. Dapat menghasilkan keturunan yang baik, jelas nasabnya dan semakin
merekatkan hubungan antar sesama.
Menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi, hikmah-hikmah perkawinan itu
banyak antara lain:98
1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan.
2. Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika keadaan
rumah tangganya teratur. Kehidupannya tidak akan tenang kecuali
dengan adanya ketertiban rumah tangga.
3. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi
memakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat
dengan berbagai macam pekerjaan.
4. Adanya istri akan bisa menghilangkan kesedihan dan ketakutan.
5. Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap
apa yang tidak dihalalkan untuknya.
6. Perkawinan akan memlihara keturunan serta menjaganya.
7. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik sedikit.
8. Jika sudah menikah terdapat anak dan isteri yang mendoakan.
Menurut Sayyid Sabiq menyebutkan pula hikmah-hikmah yang
lain, sebagai berikut:99
98
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 22-23.
37
1. Kawin merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai
untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks. Dengan kawin, badan
jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram
perasaan tenang menikmati barang yang halal.
2. Kawin jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta
memelihara nasab.
3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam
suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan
ramah, cinta dan sayang yang menyempurnakan kemanusiaan
seseorang.
4. Menyadari tanggung jawab yang akan menimbulkan sikap rajin dan
sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan
seseorang.
5. Adanya pembagian tugas.
6. Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga,
dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam direstui,
ditopang dan ditunjang.
99
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 69-72.
38
BAB III
PROFIL KELURAHAN PONDOK KARYA TANGERANG SELATAN
A. Kondisi Geografis, Ekonomi dan Sosial
Pada masa sekarang masyarakat betawi hidup dalam susunan
kependudukan menurut kelurahan atau desa.100
Wilayah Kelurahan
Pondok Karya di Kecamatan Pondok Aren Tangerang Selatan merupakan
salah satu desa yang strategis yaitu dekat dengan Jakarta, sangat
berpotensi baik dari segi ekonomi maupun sosial.101
Potensi desa dapat
diukur dengan melihat dari jalan utama desa, mata pencaharian
masyarakat, jarak dari desa ke ibukota, sarana pendidikan, fasilitas
kesehatan, sarana komunikasi dan pasar.102
Kelurahan Pondok Karya berpenduduk yang mencapai 20.180
orang dengan uraian 5.119 Kepala Keluarga, 10.297 laki-laki dan 9.883
perempuan.103
Luas desa yang mencapai 278.960 Ha yang berbatasan dengan
Cipadu di sebelah Utara, Pondok Betung di sebelah Timur, Pondok Ranji
di sebelah Selatan serta Jurang Mangu di sebelah Barat. Keseluruhan luas
desa terdiri atas dataran kering dan pemukiman.104
100
Zulyani Hidayat, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal.
56.
101 Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
102 Masri Singarimbun, Penduduk dan Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hal. 154.
103 Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
104 Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
39
Letak yang strategis inilah akses jalan menuju wilayah Kelurahan
Pondok Karya sangatlah mudah dengan jalan yang sudah beraspal
sepanjang 5.65 Km dan jalan berbeton sepanjang 11.9 Km serta
banyaknya kendaraan umum yang mengakses ke wilayah Kelurahan
Pondok Karya.105
Dilihat dari segi sosial, masyarakat di wilayah Kelurahan Pondok
Karya merupakan desa yang sangat potensial, dapat kita lihat dari data
penduduk berdasarkan pendidikannya. Menurut data yang kami peroleh
bahwa di wilayah Kelurahan Pondok Karya tidak ada lagi warga
masyarakat yang tidak bersekolah.106
Mayarakat yang belum tamat sekolah dasar sebanyak 928 orang,
warga yang sudah tamat sekolah dasar sebanyak 2049 orang, yang sudah
tamat SLTP sebanyak 2448 orang, sudah tamat SLTA sebanyak 6772
orang, D3 sebanyak 777 orang, S1 sebanyak 2141 orang, S2 sebanyak 201
orang dan S3 sebanyak 6 orang. Jadi jumlah keseluruhan sebanyak 15322
orang.107
Terlihat Dari data di atas bahwa Kelurahan Pondok Karya ini dari
segi sosial sangatlah potensial dengan sudah tidak adanya penduduk yang
tidak bisa bersekolah. Bahkan dapat dilihat dari tingkatan belajar SLTA
105
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
106 Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
107 Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
40
hingga S1 lebih banyak dibanding SLTP hingga Tidak Sekolah.108
Hal ini
disebabkan kesadaran dari penduduk Kelurahan Pondok Karya dan
dorongan dari pemerintah yang mewajibkan belajar 9 tahun. Wajib belajar
sampai suatu standar tertentu bisa dibenarkan dengan alasan bahwa kita
semua akan dihadapkan pada resiko yang lebih kecil dan akan mendapat
keuntungan yang lebih besar dari kepercayaan dasar tertentu yang sama
dengan kita. Demokrasi mungkin sekali tidak jalan apabila sebagian rakyat
buta huruf.109
Masih dari segi sosial, Dari data yang diperoleh juga kita dapat
melihat kemajuan dari segi sosial melalui sarana pendidikan yang ada di
Kelurahan Pondok Karya. Di dalam pendidikan formal yang ada di
Kelurahan Pondok Karya terdapat 9 kelompok bermain/TK, 11 Sekolah
Dasar, 6 SLTP dan 3 SLTA.110
Selain itu, masih terdapat juga pendidikan nonformal yang terdapat
di wilayah Kelurahan Pondok Karya. Diantaranya terdapat 1 tempat kursus
mengemudi, 1 tempat kursus menjahit, 1 tempat kursus komputer dan 1
tempat kursus Bahasa Inggris, serta terdapat juga 1 Club sepak bola, 1
Club bola volly, 11 club badminton, 1 club tenis, 3 club futsal dan terdapat
2 sanggar.111
108
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
109 Vic George dan Paul Wilding, Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat, (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1992), hal. 61.
110 Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
111 Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014..
41
Dari data diatas juga dapat terlihat bahwa sarana untuk memajukan
sosial di Kelurahan Pondok Karya sangatlah memadai baik dari sarana
pokok maupun sarana pendukung untuk memajukan sosial di Kelurahan
Pondok Karya.112
Selain dari segi sosial, pada segi ekonomi di Kelurahan Pondok
Karya juga sangat potensial dan memadai. Kita dapat mengukur seberapa
potensial Wilayah Kelurahan Pondok Karya dengan melihat ciri-ciri yang
hidup di bawah garis kemiskinan yaitu:113
1. Tidak memiliki faktor produksi sendiri
2. Tidak memliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan
kekuatan sendiri
3. Tingkat pendidikan yang rendah
4. Kebanyakan sebagai pekerja bebas
5. Banyak yang hidup di kota berusia muda dan tidak memiliki
keterampilan.
Melihat dari ciri-ciri tersebut, jelaslah bahwa Desa Kelurahan
Pondok Karya bukanlah Desa yang berada di bawah garis kemiskinan.
Mengenai pendidikan, sudah penulis paparkan di bagian atas dan terlihat
bahwa di bidang pendidikan Desa Kelurahan Pondok Karya ini memiliki
tingkat pendidikan yang tinggi. Selanjutnya untuk memperlihatkan bahwa
112
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
113 Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung:
PT Refika Aditama, 2001), hal. 229.
42
Desa Pondok Karya sangatlah potensial di bidang ekonomi, akan penulis
paparkan di bawah ini.
Melihat dari data yang penulis peroleh dari arsip Kantor Kelurahan
Pondok Karya berdasarkan pekerjaannya, bahwa warga yang belum/ tidak
bekerja terdapat 3032 orang, sebagai Ibu Rumah Tangga sebanyak 4151
orang, yang sudah pensiun sebanyak 339 orang, yang berprofesi sebagai
PNS sebanyak 482 orang, sebagai TNI sebanyak 26 orang, sebagai POLRI
sebanyak 34 orang, sebagai pedagang sebanyak 52 orang, sebagai
karyawan/BUMN/BUMD/Swasta sebanyak 7299 orang, sebagai Buruh
sebanyak 9 orang, sebagai guru sebanyak 221 orang, sebagai dosen
sebanyak 26 orang, sebagai dokter sebanyak 56 orang, sebagai perawat
sebanyak 19 orang dan sebagai bidan sebanyak 5 orang.114
Dari data mengenai pekerjaan penduduk Kelurahan Pondok Karya
diatas dapat terlihat bahwa segi ekonomi di Kelurahan Pondok Karya
sudah cukup dapat dikatakan sebagai Desa yang maju di bidang
perekonomian.
Kemajuan ekonomi di Kelurahan Pondok Karya juga dapat terlihat
dengan adanya lapangan pekerjaan yang ada di Kelurahan Pondok Karya.
Lapangan pekerjaan yang terdapat di Wilayah Kelurahan Pondok Karya
diantaranya terdapat 20 warung makan/restoran, 2 hotel, 1 gedung
bioskop, 1 pom bensin, 2 bengkel mobil, 20 bengkel motor, 11 toko
bangunan/material, 2 toko besi, 3 toko kaca, 1 percetakan, 10 rumah jahit,
114
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
43
5 konveksi, 5 warnet, 6 bank, 8 mall/supermarket, 2 sanggar dan 2 panti
pijat.115
Dari data diatas dapat terlihat bahwa perekonomian di Kelurahan
Pondok Karya sudah maju dengan banyak lapangan pekerjaan yang berada
di Kelurahan Pondok Karya untuk mensejahterakan penduduk Kelurahan
Pondok Karya.
Selain pemikiran dari segi sosial dan ekonomi yang sudah maju,
penduduk Kelurahan Pondok Karya juga memiliki sikap toleransi yang
sangat baik yaitu terbukti dengan tidak adanya gesekan antar umat
beragama. Semua hanya bersikap toleransi dan saling menghargai.
Mengingat bahwa kerukunan antar umat beragama merupakan faktor
penting dalam kehidupan di masyarakat.116
Mengingat urgensinya kerukunan antar umat beragama, maka
MPR dalam sidangnya pada tahun1978 melalui ketetapan No.
IVMPR/1978 tentang GBHN bab IV di bidang agama, angka 1 huruf b:
kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
makin dikembangkan, sehingga terbina rukun diantara sesama umat
beragama, diantara sesama penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dalam usaha memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dan
meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat.117
115
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
116 Syamsir Salam dan Amir Fadhilah, Sosiologi Pedesaan, (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah, 2008), hal. 107.
117 Syamsir Salam dan Amir Fadhilah, Sosiologi Pedesaan, hal. 107.
44
Diantara umat yang ada di Kelurahan Pondok Karya, yaitu: warga yang
beragama Islam terdapat 17749 orang, beragama Kristen terdapat 1097
orang, beragama Katolik sebanyak 1049 orang, beragama Hindu sebanyak
131 orang dan beragama Budha sebanyak 154 orang.118
Meskipun di Kelurahan Pondok Karya mayoritas umat islam tetapi
penduduk Kelurahan Pondok Karya tetap memiliki sikap saling
menghargai dan menghormati. Berikut ini adalah data tempat ibadah yang
berada di Kelurahan Pondok Karya, diantaranya: Masjid sebanyak 10
buah, Musolah sebanyak 22 buah, Gereja sebanyak 2 buah, Majlis Ta‟lim
sebanyak 22 buah, TPA sebanyak 22 buah dan Pondok Pesantren
sebanyak 1 buah.119
B. Tata Cara Pernikahan Adat Betawi
Upacara adat perkawinan pada orang Betawi sebenarnya dilakukan
melalui beberapa tingkatan upacara yang berhubungan atau berkaitan satu
sama lainnya.120
Untuk sampai pada acara akad nikah, banyak tahap acara
yang harus dilalui.121
Tahap-tahap itu adalah sebagai berikut:
1. Ngedelengin (melihat-lihat)
Ngedelengin yaitu mencari informasi dari sumber langsung, atau
terdekat untuk mengetahui apakah gadis yang menjadi “liat-liatan” itu
118
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
119 Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
120 Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Folklor Betawi, (Jakarta: Dinas
Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, 2000), hal. 72.
121 Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, hal. 143.
45
sudah ada yang empunya atau belum.122
Dalam ngedelengin ada dua
kemungkinan yang terjadi. Pertama, tindakan aktif pihak orang tua
(ayah/ibu) mencari dan memilih seorang gadis untuk dijadikan calon
menantu. Dalam kemungkinan yang pertama ini dapat saja terjadi si orang
tua tidak dapat secara aktif ngedelengin.123
Biasanya dilakukan dengan
meminta bantuan seorang wanita yang biasa dan yang pandai melakukan
tugas ini. hasil kerja si wanita ahli ini nanti dilaporkan kepada orang tua si
perjaka, lalu dibicarakan dalam keluarga si perjaka.124
Kedua, proses ngedelengin yang dilakukan sendiri oleh sang
jejaka. Dalam hal ini, sang jejaka berupaya mencari dan menemukan gadis
pilihannya. Jika jejaka sudah merasa mantap dengan gadis pilihannya,
maka ia segera mengutarakan langsung tentang keinginannya tersebut
kepada kedua orang tuanya untuk segera mengikat sang gadis.125
2. Main atau Silaturahim
Andaikata sudah ada gadis yang dianggap cocok maka tahap
berikutnya adalah keluarga si perjaka mengadakan kunjungan ke rumah
keluarga si gadis untuk main, silaturahim dan berkenalan dengan si gadis
dan keluarganya. Hasil kunjungan ini dibicarakan dalam keluarga si
perjaka. Andaikata keluarga menyetujui gadis itu untuk menjadi isteri si
122
Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya,
(Jakarta: PT Gunara Kata, 2004), hal. 156.
123 Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 3.
124 Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, hal. 144.
125 Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 35-36.
46
perjaka maka masuk tahap lamaran. Kalau keluarga sepakat untuk tidak
setuju maka acara lamaran tentu tidak ada.126
3. Melamar (Ngelamar)
Ngelamar adalah pernyataan dan permintaan resmi dari pihak
keluarga laki-laki (calon tuan mantu) kepada pihak keluarga wanita (calon
none mantu).127
Adapun yang dikirim sebagai utusan biasanya keluarga
yang dekat sebanyak dua atau tiga orang, dan jarang sekali orang tuanya
sendiri.128
Bawaan pokok pada waktu ngelamar, antara lain:129
a. Sirih lamaran/sirih embun, yaitu nampan yang dihiasi kertas minyak
dan diisi daun sirih lipat bulat dan sirih tampi/ sirih yang telah diisi
rempah-rempah untuk nyirih (kapur, gambir, pinang).
b. Pisang Raja jumlahnya dua sisir.
c. Roti tawar.
d. Sirop (umumnya berwarna merah dan berjumlah tiga botol).
e. Hadiah Pelengkap. Hadiah berupa bahan baju kebaya, kain batik tige
negeri, kain panjang, perlengkapan kosmetik, selop dan sebagainya.
f. Para utusan yang terdiri atas Mak comblang dan dua pasang wakil
orang tua calon tuan mantu.
126
Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, hal. 144.
127 Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 41.
128 Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Folklor Betawi, hal. 73.
129 Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 41.
47
Utusan keluarga sang jejaka akan diterima oleh pihak keluarga dan
orang tua si gadis. Maka terjadilah dialog antara kedua belah pihak, dialog
berisi tentang maksud dan tujuan kedatangan pihak keluarga sang jejaka.
Serta berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan apa saja yang menjadi
permintaan keluarga si gadis.130
Sebagai pemeluk agama islam, yang pertama diputuskan adalah
soal mahar (mas kawin). Berikutnya dibicarakan pula persyaratan-
persyaratan adat lainnya, seperti kekudang, pecingkrem, pesalin
(seperangkap busana lengkap), uang belanje dan pelangke. Pelangke
terjadi apabila si gadis mempunyai kakak laki-laki atau perempuan yang
belum menikah.131
4. Tunangan (Bawa Tande Putus)
Tahap ini ditandai dengan adanya suatu acara mengantar kue-kue
dan buah-buahan dari pihak laki-laki ke rumah pihak si gadis, yang
kemudia dibalas dengan makanan berupa nasi dan lauk-pauknya dan
seterusnya dibagikan kepada semua anggota keluarga masing-masing.132
Pada saat itu akan diputuskan hari dan tanggal pernikahan, sekaligus
dibawa pecingkrem berupa cincin belah rotan sebagai pengikat.133
130
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 6.
131 Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 6.
132 Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Folklor Betawi, hal. 74.
133 Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 7.
48
Setelah acara bawa tanda putus, kedua belah pihak menunggu dan
mempersiapkan keperluan pelaksanaan acara akad nikah. Masa ini
dimanfaatkan juga untuk memelihara none calon menantu yang disebut
dengan piare calon none penganten dan orang yang memelihara disebut
tukang piare penganten atau dukun penganten.134
5. Piare Calon None Penganten
Piare calon none penganten artinya merawat calon pengantin sejak
10 hari sebelum akad nikah dilaksanakan. Perawatan dilakukan agar nanti
pada waktu akad nikah dan duduk ditaman (pelaminan) wajah si pengantin
tampak segar dan bercahaya.135
Perawatan ini disediakan seorang yang piawai dala bidangnya,
yang oleh masyarakat Betawi dikenal dengan nama “tukang piare”.
Tukang piare bertanggung jawab sepenuhnya untuk mengatur dan
menentukan jangka waktu perawatan, obat-obat tradisional yang harus
digunakan, dan apa saja yang harus menjadi makanan tetap serta makanan
yang dilarang bagi calon pengantin putri.136
Selama dipiare ini calon none mantu diharuskan memakai baju
terbalik (kain sarung dan kebaya longgar ukuran ¾ lengan) sebagai
lambang tolak bala, bahkan dilarang mengganti baju. Kalau calon none
menantu gemuk, makan dan minumnya diatur (diet), tidak boleh makan
134
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 48.
135 Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, hal. 146.
136 Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 9.
49
makanan yang digoreng, makanan yang dianjurkan adalah makanan yang
dibakar/dipanggang dan diharuskan minum jamu godok dan jamu air
secang. Seluruh tubuhnya diurut dan dilulur sekali sehari. Dilarang mandi
dan ngaca/bercermin. Diharuskan banyak berzikir, membaca selawat, dan
membaca surah Yusuf.137
6. Dimandiin/Mandi Kembang
Pengantin putri dimandikan sehari sebelum akad nikah.138
Sebelum
upacara mandi, calon pengantin meminta izin orang tuanya dengan
menemuinya dan mencium tangannya, dengan mengenakan kemben serta
kebaya tipis, rambut disanggul biasa dan mengenakan kerudung tipis.
Adapun yang memandikan hanya tukang piare pengantin (kecuali ada
permintaan lain dari pihak keluarga, misalnya disertakan juga beberapa
orang tua), sedangkan yang lain hanya menyaksikan saja.139
Adapun perlengkapanya adalah: 1) kembang 7 rupa (setaman); 2)
paso tanah; 3) gayung batok; 4) pedupaan dengan setanggi/gahru yang
diletakkan dibawah bangku tempat pengantin duduk. Untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga pengantin, pakaian bekas
mandi diberikan kepada tukang piare pengantin sebagai hadiah.140
137
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 48-49.
138 Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 10.
139 Ensiklopedia Jakarta, Culture dan Heritage (Budaya dan Warisan Sejarah), (Jakarta:
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, 2005), hal. 483.
140 Ensiklopedia Jakarta, Culture dan Heritage (Budaya dan Warisan Sejarah), hal. 483.
50
Setelah upacara mandi, pengantin menjalani upacara tangas atau
kum (semacam mandi uap) untuk membersihkan dari bekas-bekas dari
pori-pori dan membuat kulit pengantin menjadi wangi serta tidak
mengeluarkan keringat pada waktu di rias. Peralatannya adalah: 1)
kembang 7 rupa (setaman) serta ramuan lainnya seperti: daun jeruk purut,
daun pandan, akar wangi, daun mangkok, dll; 2) paso tanah; 3) kursi rotan
bolong-bolong; 4) tikar atau kain penutup.141
Kemudian dilakukan acare ngerik dan malem pacar. Alat-alat yang
digunakan antara lain: 1) kain putih ukuran 2 meter, 2) kembang setaman,
3) air putih dalam cawan dicampur dengan satu atau dua kuntum mawar
dan bunga melati, 4) pedupaan dan setanggi/gaharu, 5) alat cukur, 6) dua
keping uang logam, 7) tempat sirih lengkap dengan isinya, dan 8) pacar
secukupnya.142
Acara ngerik yaitu acara memersihkan/mencukur bulu-bulu kalong
calon pengantin wanita yang tumbuh di sekitar kening, pelipis, tengkuk,
dan leher. Acara malam pacar adalah acara memakaikan pacar pada kuku
tangan dan kuku kaki calon pengantin wanita. Ini dilakukan oleh tukang
piara dan keluarga serta teman-teman wanita calon pengantin.143
141
Ensiklopedia Jakarta, Culture dan Heritage (Budaya dan Warisan Sejarah), hal. 483.
142 Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 50.
143 Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 50.
51
7. Malem Mangkat/Malem Bumbu/Malem Ngeracik
Kegiatan di rumah calon tuan mantu (calon pengantin pria) disebut
malem nyerondeng, malem bungkus-bungkus, malem goreng ikan, dan
lain-lain. Pada malam itu, pihak calon pengantin pria mempersiapkan
semua kebutuhan serah-serahan.mereka membuat pesalin, menghias
nampan kue (kuenya antara lain dodol, wajik, geplak dan uli), menghias
peti sie, membuat dan menghias miniatur masjid, dan sebagainya. Buah-
buahan pun dihias sedemikian rupa sehingga enak dilihat. Itu sebabnya
pada malam itu disebut malam bungkus-bungkus, yaitu membungkus
seluruh serah-serahan yang ada dan esok hari akan dibawa ke rumah calon
none mantu.144
8. Ngerudat/Duduk Nikahnya
Acara ngerudat adalah upacara akad nikah atau ijab kabul.
Pengantin pria akan datang dengan rombongan pengiring yang besar
terdiri dari: 1) calon pengantin pria diiringi dan diapit oleh para alim
ulama dan tokoh masyarakat di lingkungan keluarganya, 2) para penabuh
rebana, 3) dibelakang mereka terdapat rombongan pembawa barang.145
Perlu disinggung kembali ketika kunjungan penyerahan tande
putus, selain membicarakan mahar atau mas kawin, ditentukan juga
beberapa jenis bawaan yang harus diikutsertakan mengiringi mahar pada
pelaksanaan akad nikah. Bawaan pengiring itu antara lain: 1) sirih nanas
144
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 51-52.
145 Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 19.
52
lamaran dan sirih nanas hiasan, 2) mahar atau mas kawin, 3) miniatur
masjid yang berisi uang sejumlah yang telah dibicarakan sebelumnya, 4)
sepasang roti buaya, 5) kekudang/sesuatu yang sangat disukai none calon
menantu sejak kecil hingga dewasa, 6) kue penganten, biasanya kue
kembang, 7) pesalin atau hadiah pelengkap, berupa pakaian wanita, kain,
selop, alat kecantikan dan sebagainya, 8) beberapa nampan kue-kue khas
betawi (dodol, wajik, geplak, tape, uli, dan lain-lain, 9) beberapa nampan
buah-buahan khas Betawi, 10) sie, dan 11) jung atau perahu cina berisi
buah-buahan.146
Acara akad nikah dimulai dari rumah calon mempelai pria yang
dimulai dengan maulud nabi, pembacaan doa untuk keselamatan
semuanya, serta mengarak pengantin pria menuju rumah pengantin wanita.
Sebagai tanda rombongan pengarak pengantin akan berangkat, dibakarlah
sederet petasan. Nanti setelah sampai kira-kira 100 meter dari rumah
mempelai wanita, akan dibakar pula sederet petasan untuk menandai
kedatangan.147
Tiba di depan rumah mempelai wanita, rombongan dihalangi oleh
wakil dari keluarga mempelai wanita yang menanyakan ini rombongan
apa dan mau kemana. Pertanyaan dan dialog dilakukan dalam bentuk
pantun. Pertanyaan ini memulai acara yang disebut buka palang pintu.148
146
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 53-54.
147 Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, hal. 147-
148.
148 Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, hal. 148.
53
Tradisi palang pintu pada acara pernikahan betawi dimulai dari beradu
pantun hingga adu ketangkasan bersilat.149
Setelah acara buka palang pintu selesai, maka mempelai pria dan
rombongan dipersilahkan masuk untuk melangsungkan acara akad
nikah.150
Setelah akad nikah selesai pengantin pria diterimadan dituntun
oleh tukang rias yang akan mempertemukannya dengan pengantin putri di
pelaminan.151
9. Pulang Tiga Hari
Tepat tiga hari setelah pengantin pria menginap di rumah istrinya,
mereka berdua akan diboyong ke rumah pengantin pria. Peristiwa itu
disebut orang “Pulang Tiga Hari”.152
Keberangkatan pengantin wanita menuju rumah pengantin pria
diantar oleh beberapa orang wakil keluarga orang tuanya. Sebelum
meninggalkan rumah, pengantin wanita diberi nasihat atau wejangan
bagaimana seharusnya ia berperilaku di rumah mertuanya. Di rumah
pengantin pria, dikamarnya sudah diletakkan seperangkat kotak sirih
komplit dengan isinya dan selembar kain putih.153
149
Lily Turangan, Willyanto dan Reza Fadhilla, Seni Budaya dan Warisan Indonesia:
Manusia dan Lingkungan Budaya, (Jakarta: PT Aku Bisa, 2014), hal. 39
150 Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, hal. 147-
148.
151 Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 28.
152 Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 31.
153 Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 72.
54
Adat Betawi mengharuskan jika pada malam itu telah terjadi
“kumpul” antara keduanya, pada pagi hari suaminya akan mengeluarkan
kotak sirih dan meletakkan di sisi luar pintu kamar. Jika alat penumbuk
sirih diletakkan miring atau tergeletak, itu mengisyaratkan bahwa istri
benar-benar gadis suci ketika memasuki mahligai pernikahan. Sebaliknya,
jika tempat sirih dikeluarkan dalam keadaan sama seperti dimasukkan,
berarti istri bukan gadis lagi tatkala memasuki pernikahan.154
154
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 72-73.
55
BAB IV
PERNIKAHAN MELANGKAHI KAKAK MENURUT ADAT BETAWI
A. Pengertian Pernikahan Melangkahi Kakak
Pernikahan melangkahi kakak memiliki beberapa suku kata yang
masing-masingnya memiliki arti. Untuk mengartikan pernikahan
melangkahi kakak, penulis menguraikan satu persatu dari suku kata
tersebut. Pertama, arti kata pernikahan. Pernikahan memiliki asal kata
nikah yaitu perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri
dengan resmi. Pada kata pernikahan, asal kata nikah ditambahi imbuhan
Per – an sehingga menjadi kata pernikahan yang artinya hal (perbuatan)
nikah.155
Kedua, arti kata melangkahi. Melangkahi memiliki asal kata
langkah yaitu gerakan kaki (ke depan, ke belakang, ke kiri, ke kanan).
Pada kata melangkahi, asal kata langkah ditambahi dengan imbuhan me – i
sehingga menjadi kata melangkahi yang artiya melewati, melalui,
menyalahi, melanggar, mendahului (kawin, memperoleh sesuatu, dsb),
melewatkan, tidak mengikutsertakan.156
Ketiga, arti kata kakak. Kakak artinya saudara tua (menurut
silsilah), penggilan kepada orang yang dianggap lebih tua, panggilan
155
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 614.
156 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, hal. 494-495.
56
kepada suami.157
Dari suku kata tersebut dapat penulis definisikan bahwa
pernikahan melangkahi kakak yaitu perbuatan nikah yang mendahului
saudara tua menurut silsilah. Maksudnya adalah pernikahan yang
dilakukan seorang dengan mendahului kakak kandungnya.
B. Melangkahi dalam Adat, Fiqh dan Hukum Positif
1. Melangkahi dalam adat
Pelangkah di dalam Adat merupakan sesuatu yang harus ada
apabila di dalam pernikahan tersebut terdapat kakak dari calon pengantin
yang belum menikah. Di dalam Adat Betawi hal ini dinamakan Pelangke,
pelangke terjadi apabila si gadis mempunyai kakak laki-laki atau
perempuan yang belum menikah.158
Adat Betawi mengajarkan di dalam sebuah pernikahan adat bahwa
apabila seseorang ingin menikah akan tetapi terdapat kakaknya yang
belum menikah terdapat dua pilihan, yaitu menunggu hingga kakaknya
menikah terlebih dahulu atau dapat tetap menikah dengan melangkahi
kakaknya dengan syarat seseorang yang ingin melangkahi kakaknya itu
harus memenuhi permintaan kakaknya, dapat berupa uang atau barang.
Oleh karena itu, pelangke atau pelangkah berlaku hanya kalau ada abang
atau empok yang dilangkahi.159
157
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, hal. 378.
158 Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 6.
159 Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 47.
57
Pelangke atau pelangkah untuk mendapatkan kesepakatan antara
yang melangkahi dengan yang dilangkahi, hal ini dibicarakan pada acara
bawa tande putus.160
Pembicaraan mengenai pelangkah ini berkenaan
dengan berapa jumlah atau barang apa yang harus dipersembahkan kepada
kakak yang dilangkahi. Hal ini berlaku selain bertujuan sebagai cara untuk
menjaga kebudayaan tetap ada, tetapi juga untuk menghormati dan
menjaga perasaan kakak yang dilangkahi. Intinya adalah pada
kekerabatan, kekeluargaan dan kebersamaan.161
Manfaat dari adanya pelangkah ini yaitu melestarikan adat istiadat,
membuat hubungan kakak beradik, hubungan kedua mempelai dan
hubungan kedua keluarga menjadi baik dan tidak ada sakit hati maupun
permasalahan. intinya mengarahkan manusia untuk manunggal (berpadu)
dengan alam, kerabat dan sesama manusia lain.162
2. Melangkahi dalam Fiqh
Islam merupakan agama yang fleksibel dan dinamis, cocok untuk
semua kalangan, untuk semua waktu dan kondisi. Islam juga sebenarnya
mengatur tentang kehidupan bermasyarakat. Mengenai bermasyarakat,
dalam Fiqh tidak detail membahas mengenai cara bermasyarakat. Namun
itulah fungsi manusia diberikan akal supaya dapat berfikir penyelesaian
bermasyarakat dengan cara yang islami. Hukum Islam juga ditetapkan
160
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 47.
161 Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), (Surabaya: Laksbang
Justitia, 2014), hal. 73.
162 Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), hal. 73.
58
untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara
bermasyarakat.163
Seperti halnya mengenai pernikahan melangkahi kakak ini, di
dalam Fiqh tidak membahas mengenai pernikahan melangkahi kakak.
Maka manusialah yang dituntut untuk berfikir cara penyelesaiannya
seperti apakah yang Islami dan tidak bertentangan dengan apa yang sudah
diyakini di tengah-tengah masyarakat. Karena sesuatu yang sudah diyakini
oleh masyarakat mempunyai basis sosial yang relatif kuat, keyakinan
tersebut dipatuhi oleh warga masyarakat secara sukarela.164
Fiqh memang tidak menjelaskan mengenai pernikahan melangkahi
kakak, Pernikahan melangkahi kakak hanya dijelaskan di dalam salah satu
adat di Indonesia. Karena di dalam Fiqh tidak dijelaskan sebagai
penghalangan pernikahan, maka Islam menganjurkan orang menyegerakan
berkeluarga.165
Sebagaimana nikah disyariatkan dalam firman Allah
sebagai berikut:
الحين منأ عبادكمأ وإمائكمأ إن يامى منكمأ والص وأنكحوا الأ
له من فضأ نهم للا يكونوا فقراء يغأ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu
dan orang-orang yang layak (untuk kawin) di antara hamba-
hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu
163
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 13.
164 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, hal. 340.
165 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 15.
59
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan
kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya (QS. An-Nur: 32).
Melihat dari ayat diatas, dapat penulis argumentasikan bahwa
pernikahan tidak boleh dihalang-halangi kecuali dengan alasan-alasan
yang mendasar kepada Fiqh. Meskipun demikian, pada dasarnya adat yang
sudah memenuhi syarat dapat diterima secara prinsip.166
Bahkan di dalam
kaidah fiqih menyebutkan bahwa:
مح العادجمحك
“Adat itu dapat menjadi dasar hukum”
Ulama sepakat dalam menerima adat. Adat yang dalam perbuatan
itu terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudharat atau unsur
manfaatnya lebih besar dari unsur mudharatnya serta adat yang pada
prinsipnya secara substansial mengandung unsur maslahat, namun dalam
pelaksanaannya tidak dianggap baik oleh Islam. Adat dalam bentuk itu
dikelompokkan kepada adat atau urf yang shahih.167
Melihat dari segi penilaian baik dan buruknya, adat atau urf terbagi
menjadi 2 macam, yaitu urf sahih dan urf fasid. Urf sahih ialah sesuatu
yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil
syara‟, juga tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan
166
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 74.
167 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 395.
60
yang wajib.168
Sedangkan urf fasid yaitu apa yang saling dikenal orang,
tapi berlainan dari syariat, atau menghalalkan yang haram, atau
membatalkan yang wajib.169
Ulama yang mengamalkan adat sebagai dalil hukum menetapkan 4
syarat dalam pengamalannya:170
a. Adat itu bernilai maslahat.
b. Adat itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang
berada dalam lingkungan tertentu.
c. Adat itu telah berlaku sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
d. Adat itu tidak bertentangan dengan nash.171
3. Melangkahi dalam Hukum Positif
Pernikahan melangkahi kakak di dalam hukum positif juga tidak
ada pengaturan mengenai hal itu. Karena pernikahan melangkahi kakak ini
masih termasuk di dalam hukum adat, maka dasar hukum berlakunya
dapat penulis sandarkan kepada hukum adat. Dasar hukum ini diperlukan
sebab negara kita menganut paham hukum Positivisme.172
168
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh,
Penerjemah: Noer Iskandar al-Barsany, Moh. Tolchah Mansoer, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), hal. 131.
169 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fikih, Penerjemah: Halimuddin, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2005), hal. 105.
170 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, hal. 74.
171 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), hal. 144
172 Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), hal. 111
61
Dasar hukum berlakunya hukum adat dalam UUD 1945 adalah
Pasal II Aturan Peralihan. Menurut pasal ini dikatakan bahwa “segala
badan negara dan peraturan yang ada masih terus berlangsung selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.”173
Pasal diatas dapat menjadi dasar hukum dan kekuatan berlakunya
adat pernikahan melangkahi kakak. Secara sosiologis, kekuatan
berlakunya hukum adat karena hukum itu benar-benar secara nyata ditaati
oleh anggota masyarakat. Walaupun secara tertulis tidak dinyatakan
dengan tegas dalam sebuah peraturan perundang-undangan.174
Kekuatan berlakunya hukum adat secara yuridis dapat kita lihat
bahwa hukum itu memiliki kemampuan untuk dipaksakan kepada anggota
masyarakat. Kemudian kekuatan berlakunya hukum adat secara filosofis
dapat kita lihat dari alasan hukum adat itu dibuat dan tujuan dari
berlakunya hukum adat tersebut.175
Melihat dari penjelasan diatas dapat penulis argumentasikan bahwa
di dalam hukum positif, adat mengenai pernikahan melangkahi kakak ini
dapat diberlakukan selama belum ada perundang-undangan yang
mengatur. Selain untuk menjaga adat sebagai identitas bangsa, berlakunya
173
Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), hal. 111-112
174 Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), hal. 50
175 Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), hal. 50-51
62
adat pernikahan melangkahi kakak ini juga untuk memperkuat persatuan
dan kesatuan di dalam kekerabatan, kekeluargaan dan kebersamaan.176
C. Melangkahi menurut Ulama dan Tokoh Adat
1. Melangkahi menurut Ulama
Adat pelangkah merupakan kebiasaan atau adat yang awalnya
hanya sebuah perasaan yang menjadi pertimbangan dalam interaksi sosial
untuk menjalin hubungan baik di dalam keluarga. Dengan adanya interaksi
sosial, maka kebiasaan tersebut lambat laun menjadi adat yang telah
menjelmakan perasaan masyarakat itu sendiri.177
Adat pelangkah di dalam Islam tidak dijelaskan di dalam Al-Quran
maupun Hadits. Ketua MUI Kecamatan Pondok Aren Hasanuddin
menjelaskan bahwa “Boleh saja diberlakukan, tidak ada larangannya. Jadi
boleh saja menikah dengan melangkahi kakaknya”.178
Karena beliau
berpandangan bahwa adat pelangkah ini hanya bersifat tasliyah atau
menghibur saja agar tidak menjadi beban dihati atau dibatin dengan dia
mendapatkan hadiah, akan tetapi hal ini bukanlah sebuah keharusan.
Beliau menambahkan bahwa “Hal itu hanya permberian seseorang,
pemberian seseorang itu hanya keikhlasan saja, pemberian suka rela tidak
176
Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), hal. 74.
177 A. Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat: Dahulu, Kini dan Akan Datang, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2014), hal. 4.
178 Hasil wawancara dengan Drs. KH. Hasanuddin, MM di Pondok Karya Pada hari
Minggu, 3 Mei 2015.
63
ada paksaan dan tidak ada keharusan.179
Seseorang yang sudah memenuhi
syarat untuk menikah dan sudah ingin berkeluarga, Islam menganjurkan
orang menyegerakan berkeluarga.180
Meskipun hal itu harus mendahului
kakaknya yang belum menikah.
“Sesuai dengan Syariat bahwa nikah itu siapa yang mendapat
jodoh duluan, dia yang akan nikah dan itu tidak melanggar syariat. Tidak
karena adiknya nikah duluan lalu dikatakan melanggar syariat”, kata Ketua
MUI Kecamatan Pondok Aren Hasanuddin saat ditemui di rumahnya di
Kelurahan Pondok Karya, Tangerang Selatan.
Beliau juga menuturkan bahwa pernikahan melangkahi kakak
hanyalah melanggar adat. Meskipun berpotensi menimbulkan sesuatu yang
bertentangan dengan syariat, seperti penghalangan pernikahan. Beliau
menanggapi hal itu bahwa “kalau adat sudah bertentangan dengan syariat
maka adat harus melebur diri untuk ikut syariat”.181
Beliau juga menambahkan bahwa “memang ada kaidah “Al-a’dah
Adawah” yang artinya meninggalkan kebiasaan maka akan menimbulkan
kesalahpahaman. Tetapi itu adalah adat yang dianggap tidak bertentangan
179
Hasil wawancara dengan Drs. KH. Hasanuddin, MM di Pondok Karya Pada hari
Minggu, 3 Mei 2015.
180 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 15.
181 Hasil wawancara dengan Drs. KH. Hasanuddin, MM di Pondok Karya Pada hari
Minggu, 3 Mei 2015.
64
dengan syariat, kalau yang bertentangan dengan syariat, jelas sekuat
apapun adat tersebut harus ditinggalkan”.182
Melihat dari penjelasan Ketua MUI di atas, pada intinya bahwa
adat pelangkah di dalam Hukum Islam boleh diberlakukan. Akan tetapi,
sesuatu yang bertentangan dengan Hukum Islam di dalam adat tersebut
harus ditinggalkan, seperti halnya penghalangan pernikahan. Kemudian
mengenai pemberian pelangkah menurut Ketua MUI juga hal itu
dibolehkan namun pemberian seseorang itu hanya keikhlasan saja,
pemberian suka rela tidak ada paksaan dan tidak ada keharusan.
2. Melangkahi Menurut Tokoh Adat
“Pelangkah itu apabila ingin menikah di kampung atau desa orang
lain maka diwajibkan oleh adat memberikan uang pelangkah ke kampung
tempat menikah karena melangkah kampung, dengan tujuan untuk
meminta izin menikah. Itu yang dimaksud pelangkah kampung. Kemudian
ada yang disebut pelangkah kakak, pelangkah kakak itu yang seharusnya
nikah terlebih dahulu ialah kakaknya, akan tetapi adiknya mendahului
kakaknya menikah. Karena hal itu dari pihak adik memberikan uang
pelangkah kepada kakaknya. Budaya seperti itu memang dari dahulu
sudah ada, makanya sampai sekarang mayoritas tetap ada dan kuat”. Kata
Muslih.
Pembahasan pada penelitian ini terfokus hanya kepada pelangkah
kakak. Menurut Muslih pelangkah di dalam adat diharuskan ada, untuk
182
Hasil wawancara dengan Drs. KH. Hasanuddin, MM di Pondok Karya Pada hari
Minggu, 3 Mei 2015.
65
menjaga hubungan baik kepada kakaknya, jangan sampai ada sakit hati
dari kakaknya dan kakaknya dapat mengikhlaskan serta dapat memberikan
doa restu kepada adiknya.183
Meskipun pelangkah diharuskan ada dengan tujuan-tujuan tersebut,
tetapi tetap saja masih ada orang yang menyalahi tujuan dari adanya
pelangkah itu. Masih ada orang yang menghalangi pernikahan adiknya
atau meminta sesuatu yang memberatkan adiknya untuk menikah dengan
alasan adat pelangkah. Di dalam adat hal ini tidak dibenarkan. Tokoh adat
Pondok Karya Muslih menjelaskan bahwa “hal itu salah, aturan dalam
adat juga menyalahkan. Dan dalam adat tidak bisa meminta dengan
nominal tertentu atau meminta barang tertentu itu salah. Hanya kesadaran
adiknya saja”.184
Beliau juga menjelaskan bahwa “kewajiban yang harus dipenuhi
adik yaitu memberikan sesuatu kepada kakaknya, itu hanya sekedarnya
saja tidak bisa dipaksakan. Hal ini untuk menghargai kakaknya. kakak pun
tidak meminta hanya suka rela dari adik”.185
D. Analisis Penulis
Melihat dari penjelasan di atas, penulis dapat mengalisis beberapa
hal mengenai adat pernikahan melangkahi kakak bahwa adat pernikahan
melangkahi kakak memang tidak dijelaskan di dalam fiqh maupun hukum
183
Hasil wawancara dengan H. Muslih di Pondok Karya Pada hari Rabu, 6 Mei 2015.
184 Hasil wawancara dengan H. Muslih di Pondok Karya Pada hari Rabu, 6 Mei 2015.
185 Hasil wawancara dengan H. Muslih di Pondok Karya Pada hari Rabu, 6 Mei 2015.
66
positif. Jadi sudah sangat jelas bahwa pernikahan tersebut tidak akan
mempengaruhi sah atau tidak sahnya pernikahan karena tidak tercantum di
dalam syarat pernikahan. Bahkan di dalam adat sendiri, prosesi pelangkah
itu tidak sampai menjadi tolak ukur bahwa pernikahan itu sah atau tidak.
Seseorang yang ingin menikah dan sudah memenuhi syarat untuk
menikah, Islam sangat menganjurkan untuk disegerakan pernikahan
tersebut. Oleh karena itu, perintah menyegerakan tersebut yang membuat
pernikahan tidak dapat dihalangi oleh siapapun tanpa ada alasan yang
diatur dalam hukum syar‟i maupun hukum positif, bahkan meskipun
seseorang itu menikah dengan mendahulu kakaknya yang belum menikah,
maka kakaknya tidak dapat mengahalangi orang itu untuk menikah.
Seorang kakak yang dilangkahi oleh adiknya menikah, tidak dapat
mempengaruhi pernikahan tersebut apalagi menghalangi adiknya untuk
menikah. Kalau pun hal itu terjadi dengan alasan adat, bahkan adat tidak
membenarkan hal itu karena adat mengatur adat pelangkah tersebut hanya
untuk meminta izin kepada kakak dalam bentuk uang atau barang untuk
menyenangkan hati kakak yang akan didahului. Di dalam agama juga
melarang seseorang menghalangi pernikahan tanpa alasan syar‟i. Bahkan
dapat dihukumi haram karena hal itu dapat menyebabkan banyak
kemudharatan.
Bentuk permintaan izin yang berupa uang atau barang tersebut
sebenarnya hanya pemberian suka rela dari adik kepada kakaknya, namun
ada beberapa bentuk permintaan izin tersebut yang menjadi permintaan
67
kakaknya. Meskipun permintaan dari kakaknya yang akan dilangkahi,
akan tetapi menurut penulis permintaan tersebut harus melihat kemampuan
adik. Jika permintaan itu memberatkan bahkan menjadi syarat yang
diharuskan ada maka hal itu tidak dibenarkan. Apalagi bila permintaan itu
sampai membuat pernikahan adik terhalang, hal itu sangat tidak
dibenarkan baik agama maupun adat.
Meskipun adat pernikahan melangkahi kakak itu tidak
mempengaruhi dan tidak menjadi tolak ukur sah atau tidaknya suatu
pernikahan. Namun menurut penulis, adat pernikahan melangkahi kakak
masih harus terus dilestarikan. Bukan untuk menghalangi pernikahan akan
tetapi adat tersebut hanya untuk menjadi sebuah bentuk penghormatan dan
permintaan izin kepada kakak yang akan didahului adiknya menikah.
Melihat dari penjelasan tokoh adat serta praktik yang terjadi
mengenai adat pelangkah, dapat dikatakan bahwa tidak semua di dalam
adat pelangkah tersebut bertentangan dengan hukum syara‟. Harus ada
pemisahan antara yang bertentangan dengan hukum syara‟ dengan yang
tidak bertentangan dengan hukum syara‟. Bahkan bagian yang
mengandung kemaslahatan dari adat pelangkah tersebut menurut penulis
harus tetap dipertahankan.
Sesuatu yang bertentangan dengan hukum syara‟ di dalam adat
pelangkah tersebut diantaranya yaitu mengenai penghalangan
pernikahannya. Menurut penulis hal itu harus dirubah menjadi kerelaan
dan keridhoan kakak kepada adiknya.
68
Selanjutnya sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum syara‟
bahkan menjadi sebuah kemaslahatan dengan adanya adat pelangkah yaitu
permintaan izin dari adik kepada kakaknya untuk mendahului menikah.
Hal tersebut yang menurut penulis perlu dilestarikan untuk menjaga
hubungan baik antara adik dan kakak bahkan antar keluarga, karena
sebuah pernikahan itu bukanlah hanya menyatukan dua orang saja, akan
tetapi pernikahan itu menyatukan dua keluarga.
Adapun manfaat dari adanya adat pelangkah yaitu menjaga
perasaan kakak yang akan dilangkahi dan menyenangkan hati kakak yang
akan dilangkahi. Hal ini yang menurut penulis harus dibudayakan dan
dilestarikan agar tidak ada perselisihan bahkan keretakan di dalam
keluarga. Namun perlu penyaringan juga, jangan sampai ada yang
bertentangan dengan hukum syara‟.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melihat dari yang sudah dijelaskan di atas, penulis dapat
menyimpulkan beberapa hal mengenai adat pernikahan melangkahi kakak
yang terdapat di dalam Adat Betawi Kelurahan Pondok Karya Tangerang
Selatan yaitu tatacara pernikahan melangkahi kakak dalam adat betawi
bermula pada pembicaraan mengenai pelangkah, hal itu diadakan pada
saat lamaran terjadi dan pemberiannya bersamaan dengan akad
pernikahan, bahkan ada yang saat akad disebutkan pemberian apa yang
diberikan sebagai pelangkah.
Menurut tokoh adat bahwa pelangkah itu diharuskan, untuk
menjaga hubungan baik kepada kakaknya. Namun jika pelangkah itu
memberatkan atau menghalangi adiknya untuk menikah, tokoh adat
mengungkapkan bahwa hal itu tidak dibenarkan karena pelangkah tidak
bisa diminta dengan nominal tertentu atau barang tertentu, hanya
kesadaran adiknya saja. Sejalan dengan pendapat tokoh adat, tokoh ulama
mengungkapkan bahwa pelangkah boleh saja diberlakukan atas dasar
kaidah “Al-A`dah Adawah” akan tetapi hal itu tidak menjadi sebuah
keharusan.
Adat pelangkah di dalam fiqh memang tidak dijelaskan dan tidak
dirinci, hal itu hanya terdapat di dalam adat. Oleh karena itu, diberlakukan
70
atau tidak diberlakukannya adat ini tidak akan mempengaruhi pernikahan
tersebut sah atau tidak.
Meskipun tidak mempengaruhi sah atau tidaknya pernikahan, adat
mengenai pelangkah ini harus tetap dilestarikan sebagai simbol identitas
bangsa namun perlu ada penyaringan dan penyesuaian dengan fiqh agar
tidak bertentangan. Penyesuaian tersebut diantaranya mengenai
penghalangan nikah dari kakaknya kepada adiknya yang ingin menikah.
Penghalangan tersebut harus ditinggalkan dan diganti dengan
kerelaan dan keikhlasan, karena keegoisan seorang kakak untuk
menghalangi adiknya untuk menikah itu tidak dibenarkan dan di dalam
fiqh itu dapat diharamkan karena dapat menimbulkan banyak
kemudharatan.
Tidak hanya penghalangannya saja yang harus dihapuskan akan
tetapi hal yang memberatkan dan menyusahkan seseorang untuk menikah
harus dihapuskan juga, seperti halnya meminta dibelikan sesuatu yang di
luar kesanggupan dan kemampuan adik yang ingin memberi pelangkah.
Karena hal ini hanya keikhlasan saja, pemberian suka rela tidak ada
paksaan dan tidak ada keharusan.
Kakak yang akan dilangkahi harus dapat mengikhlaskan dan
menerima apapun pemberian adik sebagai permohonan izin untuk
menikah. Tidak boleh memaksakan kemampuan adik dan tidak boleh
memberatkan permintaan kepada adik.
71
Seorang adik yang ingin melangkahi juga harus tetap melihat
keadaan psikologis maupun mental kakak yang akan dilangkahinya,
berikanlah sesuatu yang akan menyenangkan hati kakak agar tidak merasa
sakit hati dan rendah diri. Hal ini hanya untuk penghormatan kepada kakak
dan menjaga hubungan baik dengan keluarga.
Dari penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa adat pernikahan
melangkahi kakak yang terdapat di Kelurahan Pondok Karya dapat
dilestarikan dengan catatan bahwa sesuatu yang bertentangan dengan fiqh
harus diubah agar tidak terjadi pertentangan antara hukum adat dengan
fiqh.
B. Saran-Saran
Melihat penjelasan dari penelitian yang penulis lakukan di atas,
penulis ingin menyampaikan saran-saran kepada kita semua agar menjadi
masyarakat dan umat yang lebih baik. Karena mengenai pernikahan ini
adalah sesuatu yang serius dan tidak hanya melibatkan dua orang saja,
akan tetapi melibatkan dua keluarga yang akan dipersatukan. Oleh karena
itu, penulis akan memberikan beberapa saran sesuai dengan apa yang telah
penulis teliti, diantaranya:
1. Hendaklah orang yang akan menikah, konsultasikan terlebih dahulu
kepada ahli hukum keluarga atau ustadz-ustadz yang mengerti
mengenai pernikahan agar mendapat pencerahan mengenai hal yang
harus dilakukan dan hal yang harus ditinggalkan ketika akan menikah.
72
2. Seseorang yang sudah ingin menikah dan memenuhi persyaratan untuk
menikah, janganlah dibebani dengan sesuatu yang memberatkan
pernikahannya dan jangan dihalangi baik itu oleh kakaknya atau yang
lainnya. Karena hal itu hanya akan menimbulkan kemudharatan yang
lebih besar.
3. Seorang adik yang akan menikah akan tetapi memiliki kakak yang
belum menikah, hendaklah meminta izin terlebih dahulu kepada
kakaknya agar tidak terjadi kesalahpahaman ataupun keretakan dalam
keluarga. Karena saling menghormati dan menghargai di dalam
keluarga itu sangat penting.
4. Hendaklah kepada ahli-ahli hukum keluarga maupun ustadz-ustadz
yang mengerti mengenai pernikahan, untuk memberikan
pembelajaran-pembelajaran kepada masyarakat mengenai pernikahan
agar masyarakat tidak hanya mengacu kepada sesuatu hal yang sudah
ada saja seperti halnya adat istiadat, akan tetapi agar masyarakat dapat
berfikir lebih luas dan melihat dari berbagai sudut pandang, baik itu
sudut pandang adat, sudut pandang agama, maupun sudut pandang
hukum positif.
DAFTAR PUSTAKA
Asmin. Status Perkawinan Antar Agama: Ditinjau dari Undang-Undang
Perkawinan No. 1/1974. Jakarta: PT Dian Rakyat. 1986.
Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah: Abdul Hayyie al-
Kattani. Jakarta: Gema Insani. 2011.
Chaer, Abdul. Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi.
Jakarta: Masup. 2012.
Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana. 2007.
Cetakan ke-2.
Duverger, Maurice. Sosiologi Politik. Penerjemah: Daniel Dhakidae. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. 2000. Cetakan Ke-8.
Ensiklopedia Jakarta. Culture and Heritage (Budaya dan Warisan Sejarah).
Jakarta: Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dinas Kebudayaan
dan Permuseuman. 2005.
Gazalba, Sidi. Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi. Jakarta:
Bulan Bintang. 1976.
George, Vic dan Wilding, Paul. Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti. 1992.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana. 2010.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
1990. Cetakan Ke-IV.
---------------------------. Hukum Ketatanegaraan Adat. Bandung: Alumni. 1998.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos. 1996.
Hidayat, Zulyani. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. 1996.
Hosen, Ibrahim. Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan. Jakarta: Pustaka
Firdaus. 2003.
Idris, Abdul Fatah dan Ahmadi, Abu. Fikih Islam Lengkap. Jakarta: PT Rineka
Cipta. 2004.
Kelsen, Hans. Dasar-Dasar Hukum Normatif. Penerjemah: Nurulita Yusron.
Bandung: Nusa Media. 2009. Cetakan Ke-2.
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh.
Penerjemah: Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.
---------------------------------. Ilmu Usul Fikih. Penerjemah: Halimuddin. Jakarta:
PT Rineka Cipta. 2005.
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Di Dunia Islam Kontemporer. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011. Cetakan ke-1.
Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995.
Lembaga Kebudayaan Betawi. Upacara Perkawinan Adat Betawi. Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi. 1994.
Medikanto, Joko. Penetapan Wali Adlal (Studi Kasus Pengadilan Agama Kendal).
Tesis. Semarang. 2006.
Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang. 1974.
Muhaimin, Abdul Wahab Abd. Ayat-Ayat Perkawinan dan Perceraian dalam
Kajian Ibnu Katsir. Jakarta: Gaung Persada Press. 2010.
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Folklor Betawi. Jakarta: Dinas
Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta. 2000.
Pide, A. Suriyaman Masturi. Hukum Adat: Dahulu, Kini dan Akan Datang.
Jakarta: Prenada Media Group.2014.
Prakoso, Djoko dan Murtika, I Ketut. Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia.
Jakarta: Bina Aksara. 1987.
Prodjodikoro, R. Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Sumur
Bandung. 1991.
Pusat Peningkatan dan Jmainan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum.
Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu
(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum. 2012.
Rahman, Abdur. Perkawinan dalam Syariat Islam. Penerjemah: Basri Iba Asghari
dan Wadi Masturi. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1992.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1994.
Rato, Dominikus. Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar). Surabaya:
Laksbang Justitia. 2014.
Rusdiana, Kama dan Aripin, Jaenal. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: UIN
Jakarta Press. 2007.
S, Salim H dan Nurbani, Erlies Septiana. Perbandingan Hukum Perdata:
Comparative Civil Law. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2014.
Sabiq, Sayyid. Fiqh As-Sunnah. Kairo: Dar Al-Fath Lil I’lami Al-Arabiy. 2000
Saidi, Ridwan. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan dan Istiadatnya.
Jakarta: PT Gunara Kata. 2004.
Salam, Syamsir dan Fadhilah, Amir. Sosiologi Pedesaan. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. 2008.
Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
1978.
Saputra, Yahya Andi. Upacara Daur Hidup Adat Betawi. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra. 2008.
Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga.
Jakarta: Elsas. 2008.
Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia. Jakarta: Kencana. 2010.
Singarimbun, Masri. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
1996.
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2003.
-------------------------. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
2013.
Soelaeman, Munandar. Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial.
Bandung: PT Refika Aditama. 2001.
Sopyan, Yayan. Islam-Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional. Jakarta: Wahana Semesta Intermedia. 2012. Cetakan
Ke-2.
Sudarsono. Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1991.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2009.
---------------------. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana. 2011.
--------------------. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2012.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam.
Jakarta: Universitas Indonesia Press. 1986.
Tihami, M. A. dkk. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta:
Rajawali Pers. 2009.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1988.
Turangan, Lily, Willyanto dan Fadhilla, Reza. Seni Budaya dan Warisan
Indonesia: Manusia dan Lingkungan Budaya. Jakarta: PT Aku Bisa. 2014.
Unger, Roberto M. Teori Hukum Kritis. Penerjemah: Dariyatno dan Derta Sri
Widowatie. Bandung: Nusa Media. 2008. Cetakan Ke-2.
Worsley, Peter. Pengantar Sosiologi: Sebuah Pembanding, Jilid 2. Penerjemah:
Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1992.
Yanggo, Huzaemah T. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertas., Jakarta:
IIQ Press. 2011. Cetakan Ke-2.
PROFIL KELURAHAN PONDOK KARYA
KECAMATAN PONDOK AREN KOTA TANGERANG SELATAN
KONDISI GEOGRAFIS
Luas Wilayah (Ha) : 278.960 Ha
Batas Wilayah :
Utara Cipadu
Timur Pondok Betung
Selatan Pondok Ranji Ciputat Timur
Barat Jurangmangu Timur
Luas Wilayah Menurut Pengguna Lahan
Sawah : - Ha
Darat / Kering : 278.960 Ha
Perkebunan : - Ha
Hutan : - Ha
Pemukiman : 278.960 Ha
Orbitasi Kelurahan (Km)
Ke Ibukota Kec : 4 Km
Ke Ibukota KAB/KOTA : 6 Km
Ke Ibukota Provinsi : 70 Km
Ke Ibukota Negara : 30 Km
PEMERINTAHAN
Jumlah RT / RW :
RT 69
RW 10
Jumlah Aparat Pemerintah Kelurahan :
Jumlah Aparat 17 Orang
Pegawai Tetap / PNS 2 Orang
Pegawai Tidak Tetap / Non
PNS
15 Orang
Jumlah Sarana Kerja Kantor :
Telepon 1
Radio Komunikasi 1
Meja 25
Kursi 83
Mesin Tik 4
Komputer / Laptop 6
Lemari Kayu / Besi 2
Filling Kabinet 5
Meja Tamu
Kursi Tamu 4
Wifi 1
Kendaraan Roda 3 1
Kendaraan Roda 2
Jumlah Kepala Keluarga dan Jumlah Penduduk
Jumlah KK : 5119 KK
Jumlah Laki-laki : 10297 Jiwa
Jumlah Perempuan : 9883 Jiwa
Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia ( Tahun )
0 – 4 Th 1836 Orang
5 – 9 Th 1607 Orang
10 – 14 Th 2032 Orang
15 – 19 Th 2121 Orang
20 – 24 Th 1873 Orang
25 – 29 Th 2174 Orang
30 – 34 Th 2155 Orang
35 – 39 Th 2181 Orang
40 – 44 Th 1201 Orang
45 – 49 Th 1002 Orang
50 – 54 Th 799 Orang
55 – 59 Th 674 Orang
60 Th Keatas 525 Orang
Jumlah 20180 Orang
Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
ISLAM 17749 Orang
KRISTEN 1097 Orang
KHATOLIK 1049 Orang
HINDU 131 Orang
BUDHA 154 Orang
KONGHUCU -
JUMLAH 20180 Orang
Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan
Tidak Sekolah
Belum Tamat SD /
Sederajat
928
Tamat SD / Sederajat 2049
Tamat SLTP / Sederajat 2448
Tamat SLTA / Sederajat 6772
Diploma III / Sederajat 777
Diploma IV / Akademik 2141
Starat II 201
Strata III 6
Jumlah
Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencarian / Pekerjaan :
Belum / Tidak Kerja 3032
Ibu Rumah Tangga 4151
Pensiunan 339
PNS 482
TNI 26
POLRI 34
Pedagang 52
Petani 0
Karyawan / BUMN / BUMD /
SWASTA
7299
Buruh 9
Guru 221
Dosen 26
Dokter 56
Perawat 19
Bidan 5
Lainnya 0
Jumlah 15751
SOSIAL Jumlah Sarana Pendidikan
Kelompok Bermain/TK 9
SD / Sederajat 11
SLTP / Sederajat 6
SLTA / Sederajat 3
Perguruan Tinggi -
Tempat Ibadah dan Sarana Pendidikan Agama
MASJID 10
MUSHOLLA 22
GEREJA 2
PURA -
KELENTENG -
VIHARA -
MAJLIS TA’LIM 22
TPA 22
PON – PES 1
Pendidikan Non Formal
Kursus Montir
Kursus Mengemudi 1
Kursus Elektronik
Kursus Memasak
Kursus menjahit 1
Kursus Komputer 1
Kursus Kecantikan
Kursus Bahasa Inggris 1
SARANA DAN PRASARANA
1. Jalan
Panjang jalan yang ada di wilayah Kelurahan Pondok Karya Sepanjang
17.6 Km, dengan klasifikasi
a. Berdasarkan status :
Jalan Negara : - Km
Jalan Provinsi : - Km
Jalan KAB / KOTA : - Km
b. Berdasarkan Kondisi Fisik :
Jalan Beton : 11.9 Km
Jalan Aspal : 5.65 Km
Jalan Tanah/Diperkeras : - Km
2. Jembatan
Jumlah Jembatan dengan Klasifikasi
Jembatan Besi : - Buah
Jembatan Kayu : - Buah
Jembatan Beton : 1 Buah
Jembantan Gantung : - Buah
3. Sarana Olah Raga
Sepak Bola : 1 Club
Bola Volly : 1 Club
Bulu Tangkis : 11 Club
Tennis : 1 Club
Tenis Meja : - Club
Basket : - Club
Atletik : - Club
Golf : - Club
Bela Diri : - Club
Futsal : 3 Club
4. Sarana Angkutan Umum / Transportasi
Bis/Metro mini : Ada ( ± 15 Unit )
Angkutan Umum : Ada / Perorangan
Taksi : Ada / Perorangan
Motor/Ojek : Ada / Perorangan
Sepeda : Tidak Ada
Stasiun : Tidak Ada
Terminal : Tidak Ada
PEREKONOMIAN
NIAGA INDUSTRI, PARIWISATA DAN PERKOPERRASIAN
1. NIAGA INDUSTRI
Warung Makan / Restoran : 20
Hotel : 2
Pasar : -
Terminal : -
Gedung Bioskop : 1
Pom Bensin : 1
Bengkel Mobil : 2
Bengkel Motor : 20
Toko Bangunan / Material : 11
Toko Besi : 2
Toko Kaca : 3
Percetakan : 1
Penjahit : 10
Konveksi : 5
Toko Alat Mobil / Motor :
Warnet : 5
2. PEREKONOMIAN
Perbankan : 6 Buah
BPR : Buah
Mall / Supermarket : 8 Buah
Seni Budaya / Sanggar : 2 Buah
Panti Pijat : 2 Buah
1. Data dan jumlah peserta Diklat, Prajab dan Diklat Struktur lainnya :
2. Data dan jumlah Peserta Diklat Kedinasan :
3. Data dan Jumlah kasus lingkungan yang ada :
4. Jumlah kasus lingkungan yang ada :
5. Data dan jumlah perusahaan wajib AMDAL :
6. Data dan jumlah perusahaan wajib AMDAL yang yelah diawasi :
7. Data dan jumlah sumur / lubang resapan air :
8. Data dan jumlah RHL :
9. Data dan jumlah pelayanan perijinan yang terpenuhi :
10. Data dan jumlah korban bencana alam :
11. Data dan jumlah korban bencana alam yang dievakuasi :
12. Data dan jumlah Lembaga Ekonomi Mikro Perdesaan :
13. Data dan jumlah kegiatan Usaha Ekonomi Masyarakat Keluarga :
14. Data dan jumlah Posyandu : 29
15. Data dan Jumlah Posyandu yang aktif : 29
16. Data dan jumlah PKK : 1
17. Data dan jumlah PKK yang aktif : 1
18. Data dan jumlah Binaan Kelompok Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (
LPM ) : 1
19. Data dan jumlah kader Pembinaan Masyarakat (KPM) : 5 Orang
20. Data dan jumlah Binaan kader Pembinaan masyarakat (KPM) :
21. Data dan jumlah Perempuan Dilembaga Perintahan : 4 Orang
22. Data dan jumlah Perempuan yang ada dilokasi P2WKSS :
23. Data dan jumlah Perempuan yang mendapat pembinaan di;lokasi P2WKSS :
24. Data dan jumlah pengaduan yang masuk keunit pelayanan terpadu :
25. Data dan jumlah pengaduan yang ditindaklanjuti oleh unit pelayanan terpadu :
26. Data dan jumlah perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak yang
disidangkan :
27. Jumlah perkara yang diputuskan pengadilan dengan dasar perundang-
undangan yang berkaitan dengan kekerasan perempuan dan anak :
28. Data dan jumlah Suluruh korban KTP/A yang terdata dating kepuskesmas
mampu tatalaksana KTP/A atau PPT/PKT dirumah sakit :
29. Data dan jumlah korban kekerasan yang memperoleh layanan kesehatan oleh
tenaga kesehatan terlatih di puskesmas mampu tatalaksana KTP/A atau
PPT/PKT dirumah sakit :
30. Data dan jumlah pasangan usia subur (PUS) : ± 2602
31. Data dan jumlah pasangan usia subur (PSU) yang istrinya dibawah 20 tahun :
32. Data dan jumlah unmet need / targer KB baru :
33. Data dan jumlah PUS anggota Bina Keluarga Balita (BKB) :
34. Data dan jumlah PUS anggota Bina Keluarga Remaja (BKR) :
35. Data dan jumlah PUS anggota BKR yang ber-KB :
36. Data dan jumlah anggota Bina Keluarga Lansia :
37. Data dan jumlah anggota Bina Keluarga Lansia Aktif :
38. Data dan jumlah peserta KB aktif :
39. Data dan jumlha PUS yang ingin ber-KB tapi tidak terpenuhi :
40. Data dan jumlah PLKB/PKB, PPKBD :
41. Data dan jumlah kebutuhan alat dan obat kotrasepsi :
42. Data dan jumlah alat dan obat kontrasepsi yang terpenuhi :
43. Data panjang dan jumlah jembatan : 1 Buah panjang 10 M2
44. Data kondisi jembatan : Baik
45. Data dan panjang dan jumlah ruas jalan :
46. Data kondisi jalan : baik
47. Data panjang dan jumlah sungai :
48. Data konsisi sungai :
49. Data panjang kondisi drainase : 17.6 km
50. Data konsdisi drainase : kurang baik
51. Data jumlah titik banjir : 2
52. Data jumlah titik banjir tertangani : 2
53. Data jumlah kebutuhan PJU :
54. Data jumlah kebutuhan PJU terpasang :
55. Data kondisi PJU :
56. Data jumlah RTH :
57. Data jumlah RTH tertata :
58. Data jumlah timbunan sampah :
59. Data jumlah timbunan sampah yang tertangani :
60. Data dan jumlah komunitas yang terlibat dalam pengelolaan persampahan
(PSBM) :
61. Data dan jumlah masyarakat miskin penerima jamkesda :
62. Data dan jumlah ibu yang melaksanakan kunjungan antenat 4 kali : 674
63. Data dan jumlah ibu bersalin : 597
64. Data dan jumlah komplikasi kebidanan yang mendapatkan penanganan : 115
65. Data dan jumlah ibu bersalin yang ditolong nakes : 597
66. Data pelayanan ibu nifas ( KF lengkap ) : 597
67. Data dan jumlah neonates : 597
68. Dan jumlah neonates dengan komplikasi yang ditangani : 108
69. Data dan jumlah seluruh bayi lahir hidup : 597
70. Data dan jumlah kunjungan bayi memperoleh pelayanan kesehatan sesuai
standar : 597
71. Data dan jumlah pelayanan anak balita : 2406
72. Data dan jumlah anak usia 6-24 bulan yang diberkan MP-ASI :
73. Data dan jumlah seleuruh balita gizi buruk yang ditemukan : 2
74. Data dan jumlah gizi buruk mendapat perawatan disarana pelayanan kesehatan
: 2
75. Data dan jumlah PUS anggota BKB yang ber-KB :
76. Jumlah kader kesehatan aktif : 154
77. Data dan jumlah desa/kelurahan siaga aktif :
78. Data dan jumlah balita dilayani di posyadu : 3392
79. Data dan jumlah desa/kelurahan UCI :
80. Data dan jumlah penanganan penyakit menular & PTM diseluruh layanan
kesehatan :
81. Data dan jumlah penderita DBD yang ditemukan : 14
82. Data dan jumlah penderita DBD yang ditangani sesuai SOP : 14
83. Data dan jumlah ODHA :
84. Data dan jumlah ODHA yang memdapat pengobatan ARV sesuai protokol
yang ditetapkan :
85. Data dan jumlah penderita baru TBC (BTA+) yang ditemukan :
86. Data dan jumlah desa/kelurahan mengalami KLB :
87. Data dan jumlah rumah sehat :
88. Data dan jumalah UKM :
89. Data dan jumlah UKM yang mendapatkan bantuan :
90. Data dan jumlah UKM aktif :
91. Data dan jumlah koperasi :
92. Data dan jumlah koperasi aktif :
93. Data dan jumlah SD/MI Negeri : 2
94. Data dan jumlah SD/MI Swasta : 9
95. Data dan jumlah SMP/Mts Swasta : 6
96. Data dan jumlah SMA/MA Negeri : tidak ada
97. Data dan jumlah SMA/MA Swasta : 3
98. Data dan jumlah SMK Negeri : tidak ada
99. Data dan jumlah SMK Swasta :
100. Data dan jumlah siswa SMK Swasta :
101. Data dan jumlah ruang kelas SD/MI Negeri dan kondisinya :
102. Data dan jumlah ruang kelas SD/MI Swasta dan kondisinya :
103. Data dan jumlah ruang kelas SMP/MTs Negeri dan kondisinya :
104. Data dan jumlah ruang kelas SMP/MTs Swasta dan kondisinya :
105. Data dan jumlah ruang kelas SMA/MA Negeri dan kondisinya :
106. Data dan jumlah ruang kelas SMA/MA Swasta dan kondisinya :
107. Data jumlah ruang kelas SMK Negeri dan kondisinya :
108. Data jumlah ruang kelas SMK Swasta dan kondisinya :
109. Data dan jumlah anak putus sekolah usia SD/Sederajat :
110. Data dan jumlah anak putus sekolah usia SMP/Sederajat :
111. Data dan jumlah anak putus sekolah usia SMA/Sederajat :
112. Data jumlah guru SD/SMP/SMA, SMK :
113. Data jumlah guru SD/SMP/SMA, SMK memiliki sertifikat sesuai dengan
kompetensi :
114. Data dan jumlah siswa miski SD/MI :
115. Data dan jumlah siswa miski SMP/Mts :
116. Data dan jumlah siswa miski SMA/MA :
117. Data luas areal pertanian : tidak ada
118. Data dan jumlah produksi hasil pertanian : tidak ada
119. Data dan jumlah kelompok tani : tidak ada
120. Data dan jumlah petani terbina : tidak ada
121. Data dan jumlah peternak : tidak ada
122. Data dan jumlah kelompok peternak yang telah mengikuti penyulihan :
tidak ada
123. Data dan jumlah produksi budidaya perikanan : tidak ada
124. Data dan jumlah kelompok POKDAKAN, UPR dan kelompok pengolah :
tidak ada
125. Data dan jumlah kelompok binaan pokdakan yang mendapatkan bantuan
PEMDA : tidak ada
126. Data kondisi kantor kecamatan dan kelurahan : kurang baik
127. Data dan jumlah rumah tangga pengguna air bersih : 5119 KK
128. Data dan jumlah rumah layak dihuni :
129. Data dan jumlah rumah tinggal berakses sanitasi :
130. Data dan jumlah lembaga kesejahteraan sosial :
131. Data dan jumlah lembaga kesejahteraan sosial yang diberdayakan :
132. Data dan jumlah Panti Asuhan :
133. Data dan jumlah Panti Jompo :
134. Data dan jumlah PMKS :
135. Data dan jumlah penduduk usia kerja (15-64 th) : 12584
136. Data dan jumlah penduduk angkatan kerja : 8383
137. Data dan jumlah pencari kerja yang mendaftar :
138. Data dan jumlah pencari kerja yang telah ditempatkan dalam 1 tahun :
139. Data dan jumlah transmigrasi swakarsa : tidak ada
140. Data dan jumlah penduduk berusia > 17 thn yang memiliki KTP :
141. Data dan jumlah keseluruhan pasangan nikah :
142. Data dan jumlah pasangan berakta nikah :
143. Data dan jumlah keseluruhan bayi yang lahir :
144. Data dan jumlah bayi lahir yang memiliki akte kelahiran :
145. Data dan jumlah kondisi prasarana dan fasilitas LLAJ :
146. Data dan jumlah uji kir angkutan umum :
147. Data dan jumlah titik rawan macet : tidak ada
148. Data dan jumlah terminal bis : tidak ada
149. Data dan jumlah tower bersama : tidak ada
150. Data dan jumlah kelompok pengrajin : tidak ada
151. Data dan jumlah kelompok pengrajin binaan PEMDA : tidak ada
152. Data dan jumlah produk industri kecil dan menengah yang mendapatkan
fasilitas untuk mendaftarkan HAKI : tidak ada
153. Data dan jumlah kelompok pedagang/usaha informal :
154. Data dan jumlah kelompok pedagang/usaha informal yang mendapatkan
binaan PEMDA:
155. Data dan jumlah organisasi kepemudaan :
156. Data dan jumlah kegiatan kepemudaan :
157. Data dan jumlah lapangan olahraga dikelurahan :
158. Data dan jumlah aset kota Tangsel : 2 terdiri dari Kantor Kelurahan Luas
450 M2dan SDN Pondok Karya Luas 1500 M
2
159. Data dan jumlah gedung serbaguna :
160. Data dan jumlah cagar budaya yang direvitakisasi : tidak ada
161. Data dan jumlah kunjungan wisatawan : tidak ada
162. Data dan jumlah objek wisata : tidak ada
163. Data dan jumlah kejadian kebakaran : tidak ada
164. Data dan jumlah perpustakaan (Sekolah, Kelurahan) :
165. Data dan jumlah koleksi buku (perpustakaan sekolah, kelurahan : tidak ada
166. Data dan jumlah pos jaga limnas kelurahan/desa :
167. Data dan jumlah sarana dan prasarana RSUD : tidak ada
168. Data dan jumlah pos jaga pasar :
169. Data dan jumlah lembaga keagamaan dan tempat ibadah :
170. Data dan jumlah penyedian jasa beserta IUJK nya : tidak ada
LAPORAN HASIL WAWANCARA
DENGAN KETUA MUI KECAMATAN PONDOK AREN
MENJABATAN DARI TAHUN 2009 - Sekarang
DRS. KH. HASANUDDIN, MM.
1. Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai Adik yang melangkahi
kakaknya dalam pernikahan?
Jawaban: Sesuai dengan Syariat bahwa nikah itu siapa yang mendapat
jodoh duluan, dia yang akan nikah dan itu tidak melanggar syariat. Tidak
karena adiknya nikah duluan lalu dikatakan melanggar syariat, akan tetapi
melanggar adat. Adat itupun tidak semua memangku adat tersebut, ada
orang yang menganggap itu biasa saja artinya tidak mempermasalahkan
bahwa nikah harus kakak duluan karena takut diolok-olok oleh masyarakat
atau adat, mereka berjalan biasa saja dan menganggap biasa-biasa saja.
Seseorang kalau berbicara adatnya, memang ada sebagian orang yang
mengharuskan memberikan sesuatu, seperti halnya uang pelangkah atau
tanda jasa dapat berupa barang atau uang. Tetapi hal itu tidak ditentukan
nominal atau harganya, hal itu hanya bersifat adat semata yang bertujuan
untuk menghibur kakaknya, untuk membuat senang kakaknya yang sudah
mengikhlaskan adiknya menikah dengan adanya hadiah yang diberikan.
2. Menurut Bapak, Seberapa kuatkah masyarakat di Kelurahan ini memegang
adat istiadat?
Jawaban: Untuk melihat secara dalam memang perlu penelitian, Cuma
memang hanya sekelompok orang yang memegang adat itu. Memang
dilakukan dari generasi ke generasi dan itu merupakan sesuatu yang tidak
baku, jadi kalau ditanya seberapa kuat, memang tidaklah kuat karena tidak
baku.
3. Bagaimana jika adat pernikahan melangkahi kakak ini sebagai penghalang
pernikahan?
Jawaban: Memang ada juga, akan tetapi hal itu tidak menjadi sebuah
keharusan. Tidak ada adat yang mengkhususkan, hal itu hanya bersifat
parsial dan kelompok, hanya ada beberapa orang yang berfikir seperti itu.
Kalau secara umum tidak ada.
4. Bagaimana pandangan Hukum Islam tentang adat?
Jawaban: Memang ada kaidah “Al-a‟dah Adawah” yang artinya
meninggalkan kebiasaan maka akan menimbulkan kesalahpahaman.
Tetapi itu adalah adat yang dianggap tidak bertentangan dengan syariat,
kalau yang bertentangan dengan syariat, jelas sekuat apapun adat tersebut
harus ditinggalkan. Sebab adat itu bukanlah agama, adat hanya kebiasaan
sekelompok orang atau sekelompok daerah sedangkan agama sifatnya
universal untuk rahmatan lil „alamin. Sehingga kalau dilihat seberapa kuat
adat mempengaruhi agama, tidak boleh jika adat mendominasi agama.
Bahkan jika adat yang bertentangan dengan syariat, harus melebur dan
harus ikut syariat.
5. Bagaimana pandangan Islam tentang memberikan pelangkah?
Jawaban: hal itupun Islam tidak ada aturan mengenai orang yang menikah
akan melangkahi terikat dengan pelangkah, kalaupun ada hanya bersifat
tasliyah (menghibur) saja. Menghibur kepada si kakak yang dilangkahi
sehingga dia tidak menjadi beban dihati atau dibatin dengan dia
mendapatkan hadiah, bukan berarti hal itu adalah keharusan bila
melangkahi harus memberikan sesuatu.
6. Apakah di dalam Islam, adat mengenai pernikahan melangkahi kakak
dapat diberlakukan?
Jawaban: Boleh saja diberlakukan, tidak ada larangannya. Jadi boleh saja
menikah dengan melangkahi kakaknya.
7. Bagaimanakah jika adat pernikahan melangkahi kakak ini sebagai
penghalangan pernikahan?
Jawaban: hal ini kan hanya adat, jadi kalau adat sudah bertentangan
dengan syariat maka adat harus melebur diri untuk ikut syariat.
8. Bagaimana pandangan bapak sebagai masyarakat betawi juga, apakah adat
ini dihapuskan saja atau tetap dipertahankan?
Jawaban: Kalau dihapuskan sih tidak, akan tetapi jangan dimaknai hal itu
sebagai sebuah keharusan. Artinya jika ingin berjalan, berjalan saja
menurut biasanya. Tapi jangan dimaknai bahwa ini adalah suatu keharusan
secara adat maupun syariat. Hal itu hanya permberian seseorang,
pemberian seseorang itu hanya keikhlasan saja, pemberian suka rela tidak
ada paksaan dan tidak ada keharusan.
Tangerang Selatan, 3 Mei 2015.
Peneliti, Tokoh Agama,
Hendrawan. Drs. KH. Hasanuddin, MM.
LAPORAN HASIL WAWANCARA
DENGAN TOKOH ADAT PONDOK KARYA (GURU BESAR BEKSI)
BAPAK H. MUSLIH
1. Menurut Bapak apakah masyarakat Pondok Karya masih memegang kuat
adat istiadat, seberapa kuatkah?
Jawaban: Menurut saya untuk hal-hal yang positif masih kuat. Ritual-ritual
adat yang positif masih dipegang kuat oleh masyarakat.
2. Bagaimana tata cara Perkawinan di Pondok Karya?
Jawaban: Tata cara perkawinan di sini mengikuti tata cara adat pernikahan
Betawi, bila tidak melakukan menurut adat pernikahan betawi
dianggapnya kurang afdhal.
3. Apakah yang Bapak ketahui mengenai pelangkah?
Jawaban: Pelangkah itu apabila ingin menikah di kampung atau desa orang
lain maka diwajibkan oleh adat memberikan uang pelangkah ke kampung
tempat menikah karena melangkah kampung dengan tujuan untuk
meminta izin menikah. Itu yang dimaksud pelangkah kampung. Kemudian
ada yang disebut pelangkah kakak, pelangkah kakak itu yang seharusnya
nikah terlebih dahulu ialah kakaknya, akan tetapi adiknya mendahului
kakaknya menikah. Karena hal itu dari pihak adik memberikan uang
pelangkah kepada kakaknya. Budaya seperti itu memang dari dahulu
sudah ada, makanya sampai sekarang mayoritas tetap ada dan kuat.
4. Apakah Bapak tahu sejarah adanya budaya pelangkah?
Jawaban: jadi pelangkah itu adalah adat orang tua terdahulu seperti itu.
Memang jodoh tidak melihat adik atau kakak, yang seharusnya kakak
lebih dahulu menikah, akan tetapi dalam hal ini adik lah yang menikah
terlebih dahulu. Itulah yang memancing kesadaran dari adiknya untuk
memberikan sesuatu kepada kakaknya. Hal itu memang sudah ada sejak
dahulu hingga sekarang. Karena memang seharusnya kakak yang lebih
dahulu menikah sebelum adiknya.
5. Apa saja kewajiban yang harus dipenuhi bila terjadi pernikahan
melangkahi kakak?
Jawaban: kewajiban yang harus dipenuhi adik yaitu memberikan sesuatu
kepada kakaknya, itu hanya sekedarnya saja tidak bisa dipaksakan. Hal ini
untuk menghargai kakaknya.
6. Siapakah yang harus memberikan pelangkah?
Jawaban: Adiknya, tidak bisa diwakilkan kepada siapapun harus adiknya
diberikan kepada kakaknya.
7. Siapakah yang diberikan pelangkah?
Jawaban: kepada kakak yang dilangkahi saja, hanya kakak kandung bukan
kakak sepupu atau yang lainnya.
8. Apakah yang diberikan dalam prosesi pelangkah?
Jawaban: biasanya terserah yang ingin memberikan dapat berupa uang
atau barang, kakak pun tidak meminta hanya suka rela dari adik.
9. Kapankah pelangkah itu diberikan?
Jawaban: pelangkah itu diberikan saat ingin menikah, bahkan disebutkan
di dalam ijab qabul.
10. Apakah pelangkah itu menurut adat diharuskan?
Jawaban: menurut adat hal itu diharuskan, untuk menjaga hubungan baik
kepada kakaknya, jangan sampai ada sakit hati dari kakaknya dan
kakaknya dapat mengikhlaskan serta dapat memberikan doa restu kepada
adiknya.
11. Apakah ada sanksi apabila pelangkah itu dilanggar?
Jawaban: kalau itu tidak ada sanksinya, makanya hal ini hanya untuk
meminta doa restu aja, takutnya ada sakit hati bila tidak memberikan
pelangkah. Jadi tidak ada sanksi apa-apa. Hal ini hanya menjaga agar tidak
ada masalah antara adik dengan kakak.
12. Dimanakah pelangkah itu diberikan?
Jawaban: diberikan pada saat menikah, jadi dimanapun seseorang itu
menikah maka disitulah pelangkah diberikan kepada kakaknya.
13. Apakah pelangkah tersebut diminta?
Jawaban: tidak. Hal ini hanya untuk meminta doa restu, tidak harus
diminta, hanya inisiatif dari adiknya. Kakak pun tidak meminta, jadi tidak
diberikan juga tidak apa-apa.
14. Apakah pelangkah boleh dihutang atau dicicil?
Jawaban: tidak, hal itu tidak bisa dihutang ataupun dicicil. Pelangkah saja
hanya se relanya sang adik, tidak diharuskan berapa harganya dan
nilainya.
15. Bagaimana jika sang kakak meminta pelangkah yang memberatkan
adiknya atau menghalangi adiknya menikah?
Jawaban: hal itu salah, aturan dalam adat juga menyalahkan baik itu yang
meminta pihak orang tua tetap itu disalahkan. Tidak bisa meminta dengan
nominal tertentu atau meminta barang tertentu itu salah. Hanya kesadaran
adiknya saja.
16. Apakah tujuan dari adanya pelangkah?
Jawaban: tujuan pelangkah itu untuk toleransi antara adik dengan kakak
agar rukun dan agar diberikan doa restu dari kakaknya.
17. Apakah manfaat dari adanya pelangkah?
Jawaban: manfaatnya itu untuk saling memberikan. Untuk kerukunan di
dalam keluarga serta untuk melestarikan budaya.
Tangerang Selatan, 6 Mei 2015.
Peneliti, Tokoh Adat,
Hendrawan. H. Muslih