25
TUGAS PRETEST Sesak Nafas Disusun oleh: Faisal D Brawidya 1102009104 Jailani 1102006135 Pembimbing: Dr. Hami Zulkifli Abbas, Sp.Pd, M.Hkes, FINASim Dr. Sibli, Sp.Pd Kepaniteraan Klinik Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Bagian Ilmu Penyakit Dalam BRSUD Arjawinangun Januari 2014 1

Pretest Dyspnea

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tes

Citation preview

Page 1: Pretest Dyspnea

TUGAS PRETEST

Sesak Nafas

Disusun oleh:

Faisal D Brawidya 1102009104

Jailani 1102006135

Pembimbing:

Dr. Hami Zulkifli Abbas, Sp.Pd, M.Hkes, FINASim

Dr. Sibli, Sp.Pd

Kepaniteraan Klinik Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas YARSI

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

BRSUD Arjawinangun

Januari 2014

1

Page 2: Pretest Dyspnea

KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam

semoga selalu dicurahkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW, keluarganya,

para sahabat dan pengikutnya.

Pretest ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kepaniteraan Ilmu Penyakit

Dalam di RSUD Arjawinangun yang sedang penulis jalani.

Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada :

1. Dr. Hami Zulkifli Abbas, Sp.Pd, M.Hkes, FINASim dan Dr. Sibli, Sp.Pd

sebagai dokter pembimbing yang telah memberikan waktu dan kesempatan

serta masukkan demi penyelesaian makalah ini.

2. Ayahanda dan Ibunda beserta seluruh keluarga tercinta

3. Teman-teman sejawat dokter muda di RSUD Arjawinangun

Semoga makalah ini dapat memberi tambahan pengetahuan bagi pembaca dan

berguna bagi semua pihak yang terkait.

Wassalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Arjawinangun, Januari 2014

Penulis

2

Page 3: Pretest Dyspnea

BAB I

Pendahuluan

Secara umum yang dimaksud dengan dyspneu adalah kesulitan bernapas. Kesulitan

bernapas ini terlihat dengan adanya kontraksi otot- otot pernapasan. Perubahan ini biasanya

terjadi lambat, akan tetapi dapat pula terjadi dengan cepat. Kesulitan bernapas disebabkan

karena suplai oksigen kedalam jaringan tubuh tidak sebanding dengan oksigen yang

dibutuhkan oleh tubuh.

Dyspnea atau yang biasa disebut sesak napas merupakan manifestasi penting untuk

penyakit kardiopulmoner, selain itu dapat pula ditemukan pada penyakit neurologic,

metabolic, dan psikologik. Secara normal, manusia dapat menderita dyspnea akibat aktivitas

fisik yang berat, namun napas akan kembali normal setelah istirahat selama beberapa menit.

Dalam banyak keadaan, dyspnea merupakan salah satu gejala dari kelainan-kelainan dalam

tubuh. Misalnya dyspnea pada penderita asma, COPD (Chronic Obstructive Pulmonary

Disease), pneumonia. Selain karena penyakit paru, dyspnea dapat juga terjadi akibat kelainan

di jantung, misal pada heart failure, congestive heart disease. Gabungan antara penyakit paru

dan jantung juga dapat menimbulkan dyspnea yang berat. Terdapat juga berbagai penyebab

lain yang memungkinkan terjadinya dyspnea seperti gangguan psikogenik, anemia, dll.

Pretest kali ini akan lebih membahas tentang dyspnea. Mengenai penyebab yang dapat

menimbulkan dyspnea dan mekanisme terjadinya dyspnea serta cara mendiagnosisnya.1,2

3

Page 4: Pretest Dyspnea

BAB II

Tinjauan pustaka

II.1 Definisi

Dyspnea didefinisikan sebagai pernapasan yang abnormal atau kurang nyaman

dibandingkan dengan keadaan normal seseorang sesuai dengan tingkat kebugarannya.

Dyspnea merupakan gejala yang umum ditemui dan dapat disebabkan oleh berbagai kondisi

dan etiologi. Organ yang paling sering berkontribusi dalam dyspnea adalah jantung dan paru.1

II.2 Patofisiologi

Dyspnea berkaitan dengan ventilasi. Ventilasi dipengaruhi oleh kebutuhan metabolic

dari konsumsi oksigen dan eliminasi karbondioksida. Frekuensi ventilasi bergantung pada

rangsangan pada kemoreseptor yang ada di badan karotid dan aorta. Selain itu, frekuensi ini

juga dipengaruhi oleh sinyal dari reseptor neural yang ada di parenkim paru, saluran udara

besar dan kecil, otot pernapasan, dan dinding toraks. 1,2,3

Pada dyspnea, terjadi peningkatan usaha otot dalam proses inspirasi dan ekspirasi.

Karena dypsnea bersifat subjektif, maka dypsnea tidak selalu berkorelasi dengan derajat

perubahan secara fisiologis. Beberapa pasien dapat mengeluhkan ketidakmampuan bernapas

yang berat dengan perubahan fisiologis yang minor, sementara pasien lainnya dapat

menyangkal terjadinya ketidakmampuan bernapas walaupun telah diketahui terdapat

deteriorasi kardiopulmonal.

Tidak terdapat teori yang dipakai secara universal dalam menjelaskan mekanisme

dypsnea pada seluruh situasi klinik. Campbell dan Howell (1963) telah memformulasikan

teori length-tension inappropriateness yang menyatakan defek dasar dari dypsnea adalah

ketidakcocokan antara tekanan yang dihasilkan otot pernafasan dengan volume tidal

(perubahan panjang). Kapanpun perbedaan tersebut muncul, muscle spindle dari otot

interkostal mentransmisikan sinyal yang membawa kondisi bernapas menjadi sesuatu yang

disadari. Reseptor jukstakapiler yang terlokasi di interstitium alveolar dan disuplai oleh serat

saraf vagal tidak termielinisasi akan distimulasi oleh terhambatnya aktivitas paru. Segala

kondisi tersebut akan mengaktivasi refleks Hering-Breuer dimana usaha inspirasi akan

dihentikan sebelum inspirasi maksimal dicapai dan menyebabkan pernapasan yang cepat dan

4

Page 5: Pretest Dyspnea

dangkal. Reseptor jukstakapiler juga bertanggung jawab terhadap munculnya dyspnea pada

situasi dimana terdapat hambatan pada aktivitas paru, seperti pada edema pulmonal.

Pada pasien dengan edema pulmonal, cairan yang terakumulasi akan mengaktifkan serat saraf

di interstitium alveolar dan secara langsung menyebabkan dyspnea. Substansi yang terhirup

yang dapat mengiritasi akan mengaktifkan reseptor di epitel saluran pernafasan dan

memproduksi nafas yang cepat, dangkal, batuk, dan bronkospasm. Dalam merespon

kegelisahan, sistem saraf pusat juga dapat meningkatkan frekuensi pernapasan. Pada pasien

dengan hiperventilasi, koreksi penurunan PCO2 sendiri tidak mengurangi sensasi dari nafas

yang tidak tuntas. Ini merefleksikan interaksi antara pengaruh kimia dan saraf pada

pernafasan.2,3

Teori lain mengaitkan dyspnea dengan ketidakseimbangan asam basa, mekanisme

sistem saraf pusat, berkurangnya kapasitas bernafas, meningkatnya usaha untuk bernafas,

peningkatan tekanan transpulmonal, kelemahan otot respiratorik, meningkatnya kebutuhan

oksigen untuk bernafas, ketidaksinergisan otot interkostal dan diafragma, serta aliran respirasi

yang abnormal.

Dyspnea pada saat aktivitas fisik dapat disebabkan oleh output ventrikel kiri yang

gagal untuk meningkat selama berolahraga dan mengakibatkan meningkatnya tekanan vena

pulmonal. Pada asma kardiak, bronkospasme diasosiasikan dengan terhambatnya aktivitas

paru dan kemungkinan disebabkan karena cairan edema pada dinding bronkus.

Dyspnea pada akhirnya akan dapat diinduksi oleh empat hal utama, yaitu:

Meningkatnya kebutuhan ventilasi

Menurunnya kapasitas ventilasi

Meningkatnya resistensi saluran nafas

Menurunnya compliance paru.

II.3 Etiologi

Diagnosis dari dyspnea memiliki keberagaman yang sangat luas dan dapat

dikategorikan menjadi empat, yaitu kardiak, pulmonal, gabungan kardiak atau pulmonal, dan

nonkardiak atau nonpulmonal.

1.Kardiak

5

Page 6: Pretest Dyspnea

Gagal jantung

Penyakit arteri koroner

Kardiomiopati

Disfungsi katup

Hiipertrofi ventrikel kiri

Hipertrofi katup asimetrik

Perikarditis

Aritmia

2. Pulmonal

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

Asma

Penyakit paru restriktif

Penyakit paru herediter

Pneumotoraks

3. Gabungan kardiak atau pulmonal

PPOK dengan hipertensi pulmonal atau cor pulmonale

Dekondiri

Emboli paru kronik

Trauma

4. Nonkardiak atau nonpulmonal

Kondisi metabolik, misal asidosis

Nyeri

Penyakit neurmuskular

Penyakit otorinolaringeal

Fungsional: Gelisah, panic, hiperventilasi 1,2

II.4 Riwayat

Mengetahui riwayat dyspnea sangat penting untuk pencarian petunjuk dalam

mendiagnosis. Jika dyspnea terjadi saat berolahraga atau beraktivitas fisik, dapat dipikirkan

kemungkinan penyakit kardiak, pulmonal, atau dekondisi. Dypsnea saat beristirahat merujuk

pada penyakit kardiopulmonal yang berat atau penyakit nonkardiopulmonal. Ortopnea,

dypsnea nocturnal paroksismal, dan edema merujuk pada gagal jantung dan PPOK.

Pasien yang diberi penghambat reseptor beta adrenergik juga dapat mengalami

dyspnea akibat eksaserbasi bronkospasme dan membatas aktivitas fisik. Pemberian beberapa

6

Page 7: Pretest Dyspnea

obat tertentu juga dapat menyebabkan fibrosis paru. Dyspnea yang dialami perokok dapat

dipikirkan kemungkinan emfisema, bronkitis kronik, dan asma. Jika terdapat alergi, mengi,

dan riwayat asma pada keluarga, kemungkinan terbesarnya adalah asma. Pada penyakit arteri

koroner, dyspnea sepadan dengan munculnya angina.

Pada pasien dengan tekanan darah tinggi, dapat dipikirkan kemungkinan hipertrofi

ventrikel kiri dan gagal jantung. Pasien yang mengalami kegelisahan identik dengan

hiperventilasi dan serangan panic. Kepala yang ringan, perasaan geli di jari, dan perioral

merujuk pada hiperventilasi. Trauma yang dialami pasien biasanya berkaitan dengan

pneumotoraks dan nyeri dinding toraks. Pajanan terhadap debu, asbes, dan bahan kimia yang

mudah menguap berkaitan dengan penyakit paru interstitial.

Dalam mendiagnosis dypsnea perlu ditanyakan durasi dari dypnea, faktor lingkungan

yang dapat mencetuskan, kemunculan di pagi atau malam hari, adanya nyeri dada, jumlah

bantal yang dipakai saat tidur, seberapa nyenyak pasien tidur, batuk yang menyertai, dan

toleransi aktivitas. 1

II.5 Klasifikasi

a. Dyspnea akut

Dyspnea akut dengan awal yang tiba-tiba merupakan penyebab umum kunjungan ke ruang

gawat darurat. Penyebab dyspnea akut diantaranya penyakit pernapasan (paru-paru dan

pernapasan), penyakit jantung atau trauma dada.

b. Dyspnea kronis

Dyspnea kronis (menahun) dapat disebabkan oleh asma, Penyakit Paru Obstruktif

Kronis (PPOK), emfisema, inflamasi paru-paru, tumor, kelainan pita suara.

II.6 Derajat dyspneu

Tingkatan Derajatnya Kriteria

0 Normal Tidak ada kesulitan bernafas kecuali dengan aktivitas yang

berat.

1 Ringan Terdapat kesulitan bernafas, nafas pendek-pendek ketika

terburu-buru atau ketika berjalan menuju puncak landai.

2 Sedang Berjalan lebih lambat daripada kebanyakan orang berusia

7

Page 8: Pretest Dyspnea

sama karena sulit bernafas atau harus berhenti berjalan

untuk bernafas.

3 Berat Berhenti berjalan setelah 90 meter (100 yard) yang untuk

bernafas atau setelah berjalan beberapa menit

4 Sangat berat Terlalu sulit untuk bernafasbila meninggalkan rumah atau

sulit bernafas ketika memakai baju atau membuka baju.

II.7 Gambaran klinis dispnea:

1. Dyspnea d’ effort (exertional dyspnea)

Sesak nafas pada waktu melakukan kerja fisik tetapi menghilang setelah istirahat selama

beberapa waktu.

2. Paroxysmal nocturnal dyspnea

Sesak nafas timbul sewaktu tidur malam hari sehingga pasien terbangun dan harus duduk

selama beberapa waktu sampai sesaknya hilang.

3. Ortopnea

Sesak nafas yang timbul ketika berbaring. Pada sikap berbaring, aliran balik vena lebih lancar

sehingga pengisian atrium dan ventrikel kanan jadi lebih banyak. Akibatnya bendungan paru

lebih mudah terjadi

4. Asma kardial

Terjadi karena edema paru akut. Sesak nafas timbul tiba-tiba karena edema paru mendadak

akibat gagal jantung kiri akut. Gagal jantung kiri menimbulkan bendungan paru dan akhirnya

terjadi edema paru akut. Cairan masuk ke dalam ruang alveoli sehingga timbul gejala dispnea

yang agak berat.

5. Pernafasan Cheyne-Stoke

Pernafasan ini ditandai dengan hiperpnea periodik diselang fase apnea. Keadaan ini

disebabkan) karena curah jantung yang menurun.

6. Palpitasi

Adanya rasa debaran jantung di dada yang tidak seperti biasanya, dapat terjadi karena denyut

jantung yang lebih keras dari biasa, atau lebih cepat dari biasa, atau irama denyut jantung

yang tidak teratur (aritmia) 5

II.8 Gejala

1. Batuk dan Produksi Sputum

8

Page 9: Pretest Dyspnea

Batuk adalah pengeluaran udara secara paksa yang tiba-tiba dan biasanya tidak

disadari dengan suara yang mudah dikenali. Walaupun batuk merupakan gejala umum dari

penyakit respirasi, gejala ini menunjukkan fungsi pertahanan dari traktus respiratorius untuk

melawan substansi yang berbahaya dan mempertahankan patensi jalan nafas dengan

mengeluarkan sekresi berlebihan dari salurannya. Produksi sputum atau expectoration

merupakan tindakan batuk dan mengeluarkan bahan yang diproduksi di saluan pernafasan.

Efek dinamis batuk merupakan hasil kecepatan aliran udara, dengan beberapa bagian dari

saluran nafas, yang cukup kuat untuk mengikis dan mengeluarkan sekresi yang terakumulasi

di permukaan mukosa. Walaupun batuk dapat bersifat disadari, biasanya batuk menjadi suatu

refleks fisiologis. Oleh karena itu, refleks ini dimediasi melalui lengkung refleks.

Reseptor batuk merupakan ujung saraf yang dapat beradaptasi dengan cepat, yang

dikenal dengan reseptor iritan. Ujung serat sarag ini banyak ditemui di mukosa laring, karina,

trakea, bronkus yang besar, yang dengan cepat distimulasi oleh iritan kimia dan mekanik.

Daerah-daerah tersebut merupakan bagian dari saluran nafas yang menjadikan batuk sebagai

pembersih sekresi paling efektif. Reseptor batuk juga terdapat di daerah lainnya, seperti

faring, saluran nafas perifer, dan daerah intra ataupun ekstratorakal seperti pleura, kanal

telinga, membran tifani, bahkan lambung. Serat saraf vagus merupakan serat saraf yang

paling utama, walaupun saraf glosofaringeal dan trigeminal juga dapat terkait. Pusat batuk di

medulla merupakan pusat yang mengontrol batuk walaupun posisi anatomisnya belum

diketahui secara pasti. Pusat ini dipengaruhi oleh higher voluntary nerve centers, yang dapat

menginisiasi dan memodifikasi batuk. Serat eferen yang terlibat adalah vagal, phrenikus, dan

serat saraf spinal motorik dari otot ekspiratorius.

Kejadian mekanik yang terkait dengan batuk merupakan rangkaian cepat dari:

1. Inspirasi inisial yang cukup dalam

2. Penutupan ketat dari glottis, dengan dibantu oleh struktur supraglottis

3. Kontraksi otot ekspiratorik yang cepat dan kuat, dan

4. Pembukaan tiba-tiba dari glottis bersamaan dengan kontraksi dari otot ekspiratorik.

Tekanan intrapulmonal yang sangat tinggi dibentuk selama dua fase terakhir yang

akan menyebabkan aliran udara yang sangat cepat dari paru ketika glottis terbuka. Sebagai

tambahan, perbedaan tekanan antara sisi luar dan dalam dari saluan nafas intratorakal selama

fase 4 akan menyebabkan kompresi dinamik dan penyempitan. Kombinasi dari penyempitan

9

Page 10: Pretest Dyspnea

aliran udara dan saluran nafas menghasilkan pengeluaran secara paksa dari aliran udara

dengan kecepatan linear yang kadang mendekati kecepatan suara. Hembusan udara yang

diproduksi dapat mengeluarkan sekresi dengan tekanan tinggi. Luasnya kompresi ditentukan

oleh volume paru. Dengan volume paru yang besar, hanya trakea dan bronkus besar yang

terkompresi, sedangkan pada volume paru yang lebih kecil, saluran nafas yang lebih distal

akan ikut menyempit. Inspirasi yang dalam dapat membantu memperbesar volume paru.

Karakteristik bunyi batuk dihasilkan dari getaran pita suara, lipatan mukosa di atas

dan bawah glottis, dan akumulasi sekresi. Variasi bunyi batuk disebabkan oleh beberapa

faktor, seperti sifat sekresi dan kuantitasnya, perbedaan anatomi dan perubahan patologis dari

laring dan saluran udara lainnya, dan kekuatan batuk itu sendiri. Getaran saat batuk juga

membantu untuk mengeluarkan sekresi dari dinding saluran pernafasan.

Jumlah sekresi trakeobronkial yang umum diproduksi dalam jumlah sedikit dengan

efektif ditangani oleh mekanisme pembersihan mukosilia. Sekresi ini mengandung air,

substansi seperti elektrolit dan glukosa, glikoprotein mucus, protein asal dan transudat, serta

lipid (surfaktan). Kelenjar mukosa dan sel goblet merupakan sumber utama dari mucus

trakeobronkial. Dengan membentuk lapisan tipis, mukus saluran udara menutupi epitel

bersilia. Getaran ritmis dari silia mendorong mukus ke faring yang kemudian akan ditelan

tanpa disadari. Keseimbangan pembentukan dan pembersihan mukus menjaga lapisan

protektif yang tipis dari mukus untuk menangkap dan membuang berbagai iritan pada udara

inspirasi diiringi dengan pencegahan akumulasi yang berlebihan dari sekresinya.

Sputum dapat mengandung material endogen dan eksogen lain, seperti cairan

transudat dan eksudat, sel lokal maupun termigrasi, mikroorganisme, jaringan nekrotik,

muntah yang teraspirasi, dan partikel asing lainnya. Penampakan sputum merupakan hasil

dari konten yang terkandung di sputum. Sputum mukosa berwarna jernih dan kental,

mengandung hanya sedikit elemen mikroskopik. Sputum purulen berwarna off-white, kuning

atau hijau, dan opak. Ini mengindikasikan adanya jumlah yang besar dari leukosit, terutama

granulosit neutrofil. Pada asma, sputum mungkin tampak purulen dari sel eosinofilik yang

terlibat. Warna yang merah umumnya disebabkan karena tercampur dengan darah. Partikel

karbon akan membuat sputum berwarna abu-abu (pada perokok) atau hitam (pada pekerja

tambang).4

10

Page 11: Pretest Dyspnea

2. Dada Berat

Dada berat umumnya disamakan dengan nyeri pada dada. Biasanya, dada berat

diasosiasikan dengan serangan jantung. Akan tetapi, terdapat berbagai alasan lain untuk dada

berat. Dada berat diartikan sebagai perasaan yang berat di bagian dada. Rata-rata orang juga

mendeskripsikannya seperti ada seseorang yang memegang jantungnya, jantung terasa

diperas dan dada nyeri. Asma merupakan penyebab yang umum dari dada berat. Oleh karena

itu, penderita asma sering mengeluhkan dada berat pada serangan asma.

Penderita Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) juga mengeluhkan dada berat

yang sering disebut heart burn. Beberapa alasan lainnya yang dapat diasosiasikan dengan

nyeri dada adalah diabetes, merokok, penggunaan obat berlebih, tekanan darah tinggi,

kolesterol tinggi, dan lain-lain. Pneumonia, batuk, ulkus gaster, dan emboli pulmonal juga

dapat menyebabkan nyeri pada dada.

Gejala nyeri pada dada juga mengindikasikan perikarditis. Nafas yang pendek dengan

gejala nyeri dada yang tajam mengindikasikan adanya inflamasi pada paru, kondisi yang

dinamakan pleurisy. Ini juga diartikan sebagai kerusakan alveolus pada jaringan paru atau

pneumotoraks. Pneumonia juga menyebabkan dada berat disertai demam. Iritasi pleura yang

disebabkan oleh emboli pulmonal merupakan penyebab lain dari nyeri dada. 5

3. Mengi

Mengi merupakan bunyi siul dengan pitch yang tinggi saat bernapas. Bunyi ini

muncul ketika udara mengalir melewati saluran yang sempit. Mengi adalah tanda seseorang

mengalami kesulitan bernapas. Bunyi mengi jelas terdengar saat ekspirasi, namun bisa juga

terdengar saat inspirasi. Mengi umumnya muncul ketika saluran nafas menyempit atau

adanya hambatan pada saluran udara yang besar atau pada seseorang yang mengalami

gangguan pita suara. 5

Penyebab mengi Antara lain

Asma

Bronkiektasis

Bronkiolitis

Bronchitis

Emfisema

GERD

Gagal jantung

Reaksi alergi

Medikasi (aspirin)

Pneumonia

11

Page 12: Pretest Dyspnea

Merokok Infeksiviral

II.9 Dasar diagnosis

•         Anamnesis : cepatnya perkembangan sesak, pola dan waktu terjadinya, posisi saat

dyspnoe, gejala lain, Riwayat sosial & pekerjaan, Riwayat penyakit dahulu

•         Pemeriksan fisik :

Vital Sign : tekanan darah, temperatur, frekuensi nadi dan frekuensi  napas menentukan

tingkat keparahan penyakit

Tanda pernafasan paksa, ggn jantung, ggn paru, penyakit lain

II.10 Pemeriksaan diagnostik

Metode yang paling berguna untuk mengevaluasi dispnea adalah elektrokardiogram

dan radiografi dada. Modalitas awal yang murah, aman dan mudah dilakukan. Mereka dapat

membantu mengkonfirmasi atau mengecualikan banyak diagnosa umum.

Elektrokardiogram dapat menunjukkan kelainan denyut jantung dan irama, atau bukti

iskemia, cedera atau infark. Tegangan kelainan menyarankan kiri atau kanan hipertrofi

ventrikel jika tegangan yang berlebihan, atau efusi atau penyakit paru obstruktif dengan

peningkatan diameter dada perikardial jika tegangan berkurang.

Sebuah rontgen dada dapat mengidentifikasi kelainan rangka, seperti skoliosis,

osteoporosis atau patah tulang, atau kelainan parenkim, seperti hiperinflasi, lesi massa,

infiltrat, atelektasis, efusi pleura atau pneumotoraks. Sebuah siluet jantung meningkat dapat

disebabkan oleh peningkatan ukuran perikardial atau peningkatan ukuran ruang.

Hemoglobin atau hitung darah lengkap dapat mengukur keparahan dicurigai anemia.

Kelainan tiroid jarang hadir dengan dyspnea dan dapat dinilai dengan pengukuran serum

thyroid-stimulating hormone level.3,4

Spirometri

Spirometri tergantung pada usaha pasien, jika pasien tidak mampu untuk memberikan

upaya maksimal, tes memiliki nilai yang terbatas. Untuk melakukan tes, pasien

mengembuskan napas penuh, kemudian mengambil inhalasi maksimum dan meniup sekeras

dan secepat mungkin, terus menghembuskan nafas selama mungkin untuk memastikan bahwa

volume maksimal diukur. Tes dapat diulang sampai hasil yang konsisten. Spirometri sangat

aman dan memiliki hampir tidak ada risiko serius complications.4, 5 kesalahan yang paling

umum dalam teknik adalah kegagalan untuk buang napas secepat mungkin dan kegagalan

untuk melanjutkan pernafasan selama mungkin.

12

Page 13: Pretest Dyspnea

Spirometri dapat membantu membedakan penyakit paru obstruktif akibat penyakit

paru restriktif. PPOK (bronkitis kronis atau emfisema) dan asma adalah penyebab paling

umum dari pola spirometri obstruktif. Pola restriktif dapat disebabkan oleh faktor-faktor luar

paru, seperti obesitas, kelainan rangka, seperti kifosis atau scoliosis, dengan mengompresi

efusi pleura, dan dengan gangguan neuromuskuler, seperti multiple sclerosis atau distrofi

otot.

Tekanan oximetry

Oksimetri pulsa menggunakan sumber cahaya inframerah untuk menentukan saturasi

oksigen hemoglobin . Namun, persentase saturasi oksigen tidak selalu sesuai dengan tekanan

parsial oksigen arteri ( PaO2 ) . Kurva desaturasi hemoglobin bisa digeser ke kiri atau ke

kanan tergantung pada pH , suhu ( misalnya , oksimeter digunakan pada ekstremitas dingin )

atau karbon monoksida arteri atau tingkat karbon dioksida . Dengan demikian , persentase

saturasi oksigen batas normal sebenarnya mencerminkan PaO2 rendah yang tidak normal

dalam beberapa Pulse oksimetri cases. adalah, bagaimanapun , berharga sebagai cepat ,

tersedia secara luas dan noninvasif sarana penilaian dan akurat dalam situasi yang paling

klinis.3

Gas Darah Arteri

Pengukuran gas darah arteri dapat memberikan informasi tentang pH berubah ,

hiperkapnia , hipokapnia atau hipoksemia . Pengukuran ini lebih sering digunakan untuk

evaluasi dyspnea akut tetapi juga dapat digunakan dalam evaluasi pasien yang secara

bertahap menjadi dyspneic atau yang kronis dyspneic . Pengukuran gas darah bisa normal ,

namun, pada pasien dengan penyakit paru yang signifikan secara klinis. Kelainan parameter

gas darah kadang-kadang dapat dilihat hanya selama latihan, dengan cepat kembali ke normal

selama istirahat. Normal pengukuran gas darah arteri tidak mengecualikan penyakit jantung

atau paru sebagai penyebab dyspnea.2

Pengujian Fungsi lengkap paru

Pengukuran semua jenis volume paru-paru , seperti kapasitas paru total dan volume

residu , dapat menunjukkan kombinasi penyakit obstruktif dan restriktif. Kapasitas difusi

paru-paru untuk karbon monoksida ( DLCO ) sering dimasukkan dalam lengkap pengujian

13

Page 14: Pretest Dyspnea

fungsi paru . DLCO digunakan untuk mengukur pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida

di seluruh permukaan alveolar . Kapasitas difusi berkurang dapat terjadi dalam berbagai

alveolar atau interstisial kelainan , seperti edema , peradangan, infeksi , infiltrasi dan

keganasan . Difusi oksigen berkurang nyata dapat berkontribusi terhadap dyspnea , namun

biasanya terjadi dengan beberapa spirometric abnormality.2, 4

Latihan Pengujian Treadmill

Treadmill pengujian latihan dapat menargetkan iskemia sebagai penyebab dyspnea.

Tes ini dapat dilakukan ketika gejala atipikal untuk angina exertional atau ketika silent

ischemia diduga sebagai penyebab dispnea saat aktivitas.

Respon fisiologis normal untuk latihan pengujian adalah peningkatan tekanan darah

dan denyut jantung . Untuk mencapai upaya maksimal, denyut jantung harus mencapai

setidaknya 85 persen dari denyut jantung target usia pasien . Penyakit jantung yang

mendasarinya dapat ditandai dengan perubahan segmen ST, oleh aritmia atau patut perubahan

tekanan darah selama latihan . Ada keterbatasan sensitivitas dan spesifisitas tes treadmill,

bagaimanapun, dan interpretasi hasil dapat bervariasi. Hasil negatif pada tes treadmill pada

pasien yang memiliki dyspnea tetapi tidak ada nyeri dada atau faktor risiko jantung

menunjukkan dyspnea yang disebabkan oleh sesuatu yang lain dari penyakit arteri koroner .

Bila hasil yang samar-samar atau sulit untuk menafsirkan , uji diagnostik lebih lanjut atau

konsultasi harus dipertimbangkan.4,5

Echocardiography

Echocardiography dapat mendeteksi kelainan katup dan mungkin membantu diagnosa

pada pasien dengan murmur dipertanyakan dalam konteks dyspnea . Ukuran Chamber ,

hipertrofi dan fraksi ejeksi ventrikel kiri juga dapat dinilai . Sebuah akuisisi jantung

multigated (Muga) scan atau ventrikulografi radionucleotide juga dapat digunakan untuk

mengukur fraksi ejeksi.

Pengujian Latihan Cardiopulmonary

Pengujian latihan cardiopulmonary mengkuantifikasi fungsi jantung , pertukaran gas

paru , ventilasi dan kebugaran fisik. Pengujian latihan cardiopulmonary dapat digunakan pada

kasus tertentu bila diagnosis masih belum jelas setelah pemeriksaan inital . Hal ini dapat

14

Page 15: Pretest Dyspnea

sangat berguna dalam kasus-kasus dimana obesitas, kecemasan, deconditioning, latihan -

induced asma atau masalah lain menghalangi pengujian latihan treadmill standar.

Tes ini biasanya dilakukan pada treadmill atau sepeda ergometer dan mengharuskan

pasien bernapas ke mulut selama latihan. Pasien melakukan latihan semakin sulit untuk titik

kelelahan. Selama latihan, oksigenasi diukur dengan menggunakan salah satu oksimeter pulsa

atau saluran arteri, dan interpretasi tes lengkap membutuhkan analisis konsumsi oksigen,

produksi karbon dioksida, ambang anaerobik, denyut jantung dan irama, tekanan darah,

ventilasi menit, pemantauan terus menerus dari pertukaran gas, keparahan dirasakan tenaga,

dyspnea, nyeri dada dan ketidaknyamanan kaki. Pengujian latihan kardio - paru dapat

membantu menentukan apakah kelainan terletak pada paru, otot jantung atau skeletal

systems.2,4

II.11 Diagnosis banding

Causa paru : Asthma, Pneumonitis, Pneumotoraks, Efusi pleura, Trauma dada

Kausa non paru : Gangguan psikogenik, Penurunan tekanan oksigen inspirasi, Syok, demam,

Anemia akut, Asidosis metabolik

II.12 Penanganan Dispnea

Penanganan Umum Dispnea

- Memposisikan pasien pada posisi setengah duduk atau berbaring dengan bantalyang tinggi

- Diberikan oksigen sebanyak 2-4 liter per menit tergantung derajat sesaknya

- Pengobatan selanjutnya diberikan sesuai dengan penyakit yang diderita

Terapi Farmako

- Olahraga teratur

- Menghindari allergen

- Terapi emosi

Farmako

- Quick relief medicine

 Pengobatan yang digunakan untuk merelaksasi otot-otot saluran pernapasan,memudahkan

pasien bernapas dan digunakan saat serangan datang. Contoh :bronkodilator-

15

Page 16: Pretest Dyspnea

- Long relief medicine

 Pengobatan yang digunakan untuk menobati inflamasi pada sesak nafas,mengurangi odem

dan mukus berlebih, memberikan kontrol untuk jangka waktuyang lama. Contoh :

Kortikosteroid bentuk inhalasi-

 

Terapi inhalasiPemberian obat secara langsung ke dalam saluan napas melalui hirupan. Ada

tigamacam alat terapi inhalasi :

a. Nebulizer

b. MDI (Metered Dose Inhaler)

c. DPI (Dry Power Inhaler)Yang paling sering digunakan adalah turbuhaler.Keuntungan

terapi inhalasi dibandingkan dengan obat oral atau suntikan, yaitulangsung ke organ

sasaran, waktu kerja lebih singkat, dosis obat lebih kecil, danefek samping juga kecil.

Biasanya digunakan dalam bentuk aerosol, yaitu suspensipartikel dalam gas.

d. Pemakaian Spacer (alat perenggang) untuk mengurangi deposisi (penumpukan obat dalam

mulut) 2,3

II.13 Prognosis

KASUS : Quo ad vitam, quo ad functionam, quo ad sanationam : dubia ad malam

Daftar Pustaka

1. Darmanto Djojodibroto. Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit buku

kedokteran EGC. 2007. Hal 57-58.

2. Donal AM. Mechanisme and measurement of dyspnea in chronic obstructive

pulmonary disease. Proc Am Thorac Soc. 2006. 234-238

3. Ingram RH, Braunwauld JE. Dyspnea and pulmonary edema. In :Kasper,

Braunwauld, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. Harrison’s Principles of Internal Medicine.

16th edition. Mc Graw Hill. 2005. h. 201-5

4. Kasper D, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson L. Harrison’s

Principles of Internal Medicine. 16th Edition. In Drazen M Jeffrey, Weinberger E Steven.

Approach To The Patient With Disease Of The Respiratory System. New York: McGraw-

Hill Professional. 2004. h.1495-1497

16

Page 17: Pretest Dyspnea

5. Manning HL, Schwartzstein. Patophysiology of Dyspnea. N Engl J Med. Vol 333:

1995. h. 1547-53

17