TUGAS PRETEST
Sesak Nafas
Disusun oleh:
Faisal D Brawidya 1102009104
Jailani 1102006135
Pembimbing:
Dr. Hami Zulkifli Abbas, Sp.Pd, M.Hkes, FINASim
Dr. Sibli, Sp.Pd
Kepaniteraan Klinik Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
BRSUD Arjawinangun
Januari 2014
1
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam
semoga selalu dicurahkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW, keluarganya,
para sahabat dan pengikutnya.
Pretest ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kepaniteraan Ilmu Penyakit
Dalam di RSUD Arjawinangun yang sedang penulis jalani.
Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada :
1. Dr. Hami Zulkifli Abbas, Sp.Pd, M.Hkes, FINASim dan Dr. Sibli, Sp.Pd
sebagai dokter pembimbing yang telah memberikan waktu dan kesempatan
serta masukkan demi penyelesaian makalah ini.
2. Ayahanda dan Ibunda beserta seluruh keluarga tercinta
3. Teman-teman sejawat dokter muda di RSUD Arjawinangun
Semoga makalah ini dapat memberi tambahan pengetahuan bagi pembaca dan
berguna bagi semua pihak yang terkait.
Wassalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Arjawinangun, Januari 2014
Penulis
2
BAB I
Pendahuluan
Secara umum yang dimaksud dengan dyspneu adalah kesulitan bernapas. Kesulitan
bernapas ini terlihat dengan adanya kontraksi otot- otot pernapasan. Perubahan ini biasanya
terjadi lambat, akan tetapi dapat pula terjadi dengan cepat. Kesulitan bernapas disebabkan
karena suplai oksigen kedalam jaringan tubuh tidak sebanding dengan oksigen yang
dibutuhkan oleh tubuh.
Dyspnea atau yang biasa disebut sesak napas merupakan manifestasi penting untuk
penyakit kardiopulmoner, selain itu dapat pula ditemukan pada penyakit neurologic,
metabolic, dan psikologik. Secara normal, manusia dapat menderita dyspnea akibat aktivitas
fisik yang berat, namun napas akan kembali normal setelah istirahat selama beberapa menit.
Dalam banyak keadaan, dyspnea merupakan salah satu gejala dari kelainan-kelainan dalam
tubuh. Misalnya dyspnea pada penderita asma, COPD (Chronic Obstructive Pulmonary
Disease), pneumonia. Selain karena penyakit paru, dyspnea dapat juga terjadi akibat kelainan
di jantung, misal pada heart failure, congestive heart disease. Gabungan antara penyakit paru
dan jantung juga dapat menimbulkan dyspnea yang berat. Terdapat juga berbagai penyebab
lain yang memungkinkan terjadinya dyspnea seperti gangguan psikogenik, anemia, dll.
Pretest kali ini akan lebih membahas tentang dyspnea. Mengenai penyebab yang dapat
menimbulkan dyspnea dan mekanisme terjadinya dyspnea serta cara mendiagnosisnya.1,2
3
BAB II
Tinjauan pustaka
II.1 Definisi
Dyspnea didefinisikan sebagai pernapasan yang abnormal atau kurang nyaman
dibandingkan dengan keadaan normal seseorang sesuai dengan tingkat kebugarannya.
Dyspnea merupakan gejala yang umum ditemui dan dapat disebabkan oleh berbagai kondisi
dan etiologi. Organ yang paling sering berkontribusi dalam dyspnea adalah jantung dan paru.1
II.2 Patofisiologi
Dyspnea berkaitan dengan ventilasi. Ventilasi dipengaruhi oleh kebutuhan metabolic
dari konsumsi oksigen dan eliminasi karbondioksida. Frekuensi ventilasi bergantung pada
rangsangan pada kemoreseptor yang ada di badan karotid dan aorta. Selain itu, frekuensi ini
juga dipengaruhi oleh sinyal dari reseptor neural yang ada di parenkim paru, saluran udara
besar dan kecil, otot pernapasan, dan dinding toraks. 1,2,3
Pada dyspnea, terjadi peningkatan usaha otot dalam proses inspirasi dan ekspirasi.
Karena dypsnea bersifat subjektif, maka dypsnea tidak selalu berkorelasi dengan derajat
perubahan secara fisiologis. Beberapa pasien dapat mengeluhkan ketidakmampuan bernapas
yang berat dengan perubahan fisiologis yang minor, sementara pasien lainnya dapat
menyangkal terjadinya ketidakmampuan bernapas walaupun telah diketahui terdapat
deteriorasi kardiopulmonal.
Tidak terdapat teori yang dipakai secara universal dalam menjelaskan mekanisme
dypsnea pada seluruh situasi klinik. Campbell dan Howell (1963) telah memformulasikan
teori length-tension inappropriateness yang menyatakan defek dasar dari dypsnea adalah
ketidakcocokan antara tekanan yang dihasilkan otot pernafasan dengan volume tidal
(perubahan panjang). Kapanpun perbedaan tersebut muncul, muscle spindle dari otot
interkostal mentransmisikan sinyal yang membawa kondisi bernapas menjadi sesuatu yang
disadari. Reseptor jukstakapiler yang terlokasi di interstitium alveolar dan disuplai oleh serat
saraf vagal tidak termielinisasi akan distimulasi oleh terhambatnya aktivitas paru. Segala
kondisi tersebut akan mengaktivasi refleks Hering-Breuer dimana usaha inspirasi akan
dihentikan sebelum inspirasi maksimal dicapai dan menyebabkan pernapasan yang cepat dan
4
dangkal. Reseptor jukstakapiler juga bertanggung jawab terhadap munculnya dyspnea pada
situasi dimana terdapat hambatan pada aktivitas paru, seperti pada edema pulmonal.
Pada pasien dengan edema pulmonal, cairan yang terakumulasi akan mengaktifkan serat saraf
di interstitium alveolar dan secara langsung menyebabkan dyspnea. Substansi yang terhirup
yang dapat mengiritasi akan mengaktifkan reseptor di epitel saluran pernafasan dan
memproduksi nafas yang cepat, dangkal, batuk, dan bronkospasm. Dalam merespon
kegelisahan, sistem saraf pusat juga dapat meningkatkan frekuensi pernapasan. Pada pasien
dengan hiperventilasi, koreksi penurunan PCO2 sendiri tidak mengurangi sensasi dari nafas
yang tidak tuntas. Ini merefleksikan interaksi antara pengaruh kimia dan saraf pada
pernafasan.2,3
Teori lain mengaitkan dyspnea dengan ketidakseimbangan asam basa, mekanisme
sistem saraf pusat, berkurangnya kapasitas bernafas, meningkatnya usaha untuk bernafas,
peningkatan tekanan transpulmonal, kelemahan otot respiratorik, meningkatnya kebutuhan
oksigen untuk bernafas, ketidaksinergisan otot interkostal dan diafragma, serta aliran respirasi
yang abnormal.
Dyspnea pada saat aktivitas fisik dapat disebabkan oleh output ventrikel kiri yang
gagal untuk meningkat selama berolahraga dan mengakibatkan meningkatnya tekanan vena
pulmonal. Pada asma kardiak, bronkospasme diasosiasikan dengan terhambatnya aktivitas
paru dan kemungkinan disebabkan karena cairan edema pada dinding bronkus.
Dyspnea pada akhirnya akan dapat diinduksi oleh empat hal utama, yaitu:
Meningkatnya kebutuhan ventilasi
Menurunnya kapasitas ventilasi
Meningkatnya resistensi saluran nafas
Menurunnya compliance paru.
II.3 Etiologi
Diagnosis dari dyspnea memiliki keberagaman yang sangat luas dan dapat
dikategorikan menjadi empat, yaitu kardiak, pulmonal, gabungan kardiak atau pulmonal, dan
nonkardiak atau nonpulmonal.
1.Kardiak
5
Gagal jantung
Penyakit arteri koroner
Kardiomiopati
Disfungsi katup
Hiipertrofi ventrikel kiri
Hipertrofi katup asimetrik
Perikarditis
Aritmia
2. Pulmonal
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
Asma
Penyakit paru restriktif
Penyakit paru herediter
Pneumotoraks
3. Gabungan kardiak atau pulmonal
PPOK dengan hipertensi pulmonal atau cor pulmonale
Dekondiri
Emboli paru kronik
Trauma
4. Nonkardiak atau nonpulmonal
Kondisi metabolik, misal asidosis
Nyeri
Penyakit neurmuskular
Penyakit otorinolaringeal
Fungsional: Gelisah, panic, hiperventilasi 1,2
II.4 Riwayat
Mengetahui riwayat dyspnea sangat penting untuk pencarian petunjuk dalam
mendiagnosis. Jika dyspnea terjadi saat berolahraga atau beraktivitas fisik, dapat dipikirkan
kemungkinan penyakit kardiak, pulmonal, atau dekondisi. Dypsnea saat beristirahat merujuk
pada penyakit kardiopulmonal yang berat atau penyakit nonkardiopulmonal. Ortopnea,
dypsnea nocturnal paroksismal, dan edema merujuk pada gagal jantung dan PPOK.
Pasien yang diberi penghambat reseptor beta adrenergik juga dapat mengalami
dyspnea akibat eksaserbasi bronkospasme dan membatas aktivitas fisik. Pemberian beberapa
6
obat tertentu juga dapat menyebabkan fibrosis paru. Dyspnea yang dialami perokok dapat
dipikirkan kemungkinan emfisema, bronkitis kronik, dan asma. Jika terdapat alergi, mengi,
dan riwayat asma pada keluarga, kemungkinan terbesarnya adalah asma. Pada penyakit arteri
koroner, dyspnea sepadan dengan munculnya angina.
Pada pasien dengan tekanan darah tinggi, dapat dipikirkan kemungkinan hipertrofi
ventrikel kiri dan gagal jantung. Pasien yang mengalami kegelisahan identik dengan
hiperventilasi dan serangan panic. Kepala yang ringan, perasaan geli di jari, dan perioral
merujuk pada hiperventilasi. Trauma yang dialami pasien biasanya berkaitan dengan
pneumotoraks dan nyeri dinding toraks. Pajanan terhadap debu, asbes, dan bahan kimia yang
mudah menguap berkaitan dengan penyakit paru interstitial.
Dalam mendiagnosis dypsnea perlu ditanyakan durasi dari dypnea, faktor lingkungan
yang dapat mencetuskan, kemunculan di pagi atau malam hari, adanya nyeri dada, jumlah
bantal yang dipakai saat tidur, seberapa nyenyak pasien tidur, batuk yang menyertai, dan
toleransi aktivitas. 1
II.5 Klasifikasi
a. Dyspnea akut
Dyspnea akut dengan awal yang tiba-tiba merupakan penyebab umum kunjungan ke ruang
gawat darurat. Penyebab dyspnea akut diantaranya penyakit pernapasan (paru-paru dan
pernapasan), penyakit jantung atau trauma dada.
b. Dyspnea kronis
Dyspnea kronis (menahun) dapat disebabkan oleh asma, Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK), emfisema, inflamasi paru-paru, tumor, kelainan pita suara.
II.6 Derajat dyspneu
Tingkatan Derajatnya Kriteria
0 Normal Tidak ada kesulitan bernafas kecuali dengan aktivitas yang
berat.
1 Ringan Terdapat kesulitan bernafas, nafas pendek-pendek ketika
terburu-buru atau ketika berjalan menuju puncak landai.
2 Sedang Berjalan lebih lambat daripada kebanyakan orang berusia
7
sama karena sulit bernafas atau harus berhenti berjalan
untuk bernafas.
3 Berat Berhenti berjalan setelah 90 meter (100 yard) yang untuk
bernafas atau setelah berjalan beberapa menit
4 Sangat berat Terlalu sulit untuk bernafasbila meninggalkan rumah atau
sulit bernafas ketika memakai baju atau membuka baju.
II.7 Gambaran klinis dispnea:
1. Dyspnea d’ effort (exertional dyspnea)
Sesak nafas pada waktu melakukan kerja fisik tetapi menghilang setelah istirahat selama
beberapa waktu.
2. Paroxysmal nocturnal dyspnea
Sesak nafas timbul sewaktu tidur malam hari sehingga pasien terbangun dan harus duduk
selama beberapa waktu sampai sesaknya hilang.
3. Ortopnea
Sesak nafas yang timbul ketika berbaring. Pada sikap berbaring, aliran balik vena lebih lancar
sehingga pengisian atrium dan ventrikel kanan jadi lebih banyak. Akibatnya bendungan paru
lebih mudah terjadi
4. Asma kardial
Terjadi karena edema paru akut. Sesak nafas timbul tiba-tiba karena edema paru mendadak
akibat gagal jantung kiri akut. Gagal jantung kiri menimbulkan bendungan paru dan akhirnya
terjadi edema paru akut. Cairan masuk ke dalam ruang alveoli sehingga timbul gejala dispnea
yang agak berat.
5. Pernafasan Cheyne-Stoke
Pernafasan ini ditandai dengan hiperpnea periodik diselang fase apnea. Keadaan ini
disebabkan) karena curah jantung yang menurun.
6. Palpitasi
Adanya rasa debaran jantung di dada yang tidak seperti biasanya, dapat terjadi karena denyut
jantung yang lebih keras dari biasa, atau lebih cepat dari biasa, atau irama denyut jantung
yang tidak teratur (aritmia) 5
II.8 Gejala
1. Batuk dan Produksi Sputum
8
Batuk adalah pengeluaran udara secara paksa yang tiba-tiba dan biasanya tidak
disadari dengan suara yang mudah dikenali. Walaupun batuk merupakan gejala umum dari
penyakit respirasi, gejala ini menunjukkan fungsi pertahanan dari traktus respiratorius untuk
melawan substansi yang berbahaya dan mempertahankan patensi jalan nafas dengan
mengeluarkan sekresi berlebihan dari salurannya. Produksi sputum atau expectoration
merupakan tindakan batuk dan mengeluarkan bahan yang diproduksi di saluan pernafasan.
Efek dinamis batuk merupakan hasil kecepatan aliran udara, dengan beberapa bagian dari
saluran nafas, yang cukup kuat untuk mengikis dan mengeluarkan sekresi yang terakumulasi
di permukaan mukosa. Walaupun batuk dapat bersifat disadari, biasanya batuk menjadi suatu
refleks fisiologis. Oleh karena itu, refleks ini dimediasi melalui lengkung refleks.
Reseptor batuk merupakan ujung saraf yang dapat beradaptasi dengan cepat, yang
dikenal dengan reseptor iritan. Ujung serat sarag ini banyak ditemui di mukosa laring, karina,
trakea, bronkus yang besar, yang dengan cepat distimulasi oleh iritan kimia dan mekanik.
Daerah-daerah tersebut merupakan bagian dari saluran nafas yang menjadikan batuk sebagai
pembersih sekresi paling efektif. Reseptor batuk juga terdapat di daerah lainnya, seperti
faring, saluran nafas perifer, dan daerah intra ataupun ekstratorakal seperti pleura, kanal
telinga, membran tifani, bahkan lambung. Serat saraf vagus merupakan serat saraf yang
paling utama, walaupun saraf glosofaringeal dan trigeminal juga dapat terkait. Pusat batuk di
medulla merupakan pusat yang mengontrol batuk walaupun posisi anatomisnya belum
diketahui secara pasti. Pusat ini dipengaruhi oleh higher voluntary nerve centers, yang dapat
menginisiasi dan memodifikasi batuk. Serat eferen yang terlibat adalah vagal, phrenikus, dan
serat saraf spinal motorik dari otot ekspiratorius.
Kejadian mekanik yang terkait dengan batuk merupakan rangkaian cepat dari:
1. Inspirasi inisial yang cukup dalam
2. Penutupan ketat dari glottis, dengan dibantu oleh struktur supraglottis
3. Kontraksi otot ekspiratorik yang cepat dan kuat, dan
4. Pembukaan tiba-tiba dari glottis bersamaan dengan kontraksi dari otot ekspiratorik.
Tekanan intrapulmonal yang sangat tinggi dibentuk selama dua fase terakhir yang
akan menyebabkan aliran udara yang sangat cepat dari paru ketika glottis terbuka. Sebagai
tambahan, perbedaan tekanan antara sisi luar dan dalam dari saluan nafas intratorakal selama
fase 4 akan menyebabkan kompresi dinamik dan penyempitan. Kombinasi dari penyempitan
9
aliran udara dan saluran nafas menghasilkan pengeluaran secara paksa dari aliran udara
dengan kecepatan linear yang kadang mendekati kecepatan suara. Hembusan udara yang
diproduksi dapat mengeluarkan sekresi dengan tekanan tinggi. Luasnya kompresi ditentukan
oleh volume paru. Dengan volume paru yang besar, hanya trakea dan bronkus besar yang
terkompresi, sedangkan pada volume paru yang lebih kecil, saluran nafas yang lebih distal
akan ikut menyempit. Inspirasi yang dalam dapat membantu memperbesar volume paru.
Karakteristik bunyi batuk dihasilkan dari getaran pita suara, lipatan mukosa di atas
dan bawah glottis, dan akumulasi sekresi. Variasi bunyi batuk disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti sifat sekresi dan kuantitasnya, perbedaan anatomi dan perubahan patologis dari
laring dan saluran udara lainnya, dan kekuatan batuk itu sendiri. Getaran saat batuk juga
membantu untuk mengeluarkan sekresi dari dinding saluran pernafasan.
Jumlah sekresi trakeobronkial yang umum diproduksi dalam jumlah sedikit dengan
efektif ditangani oleh mekanisme pembersihan mukosilia. Sekresi ini mengandung air,
substansi seperti elektrolit dan glukosa, glikoprotein mucus, protein asal dan transudat, serta
lipid (surfaktan). Kelenjar mukosa dan sel goblet merupakan sumber utama dari mucus
trakeobronkial. Dengan membentuk lapisan tipis, mukus saluran udara menutupi epitel
bersilia. Getaran ritmis dari silia mendorong mukus ke faring yang kemudian akan ditelan
tanpa disadari. Keseimbangan pembentukan dan pembersihan mukus menjaga lapisan
protektif yang tipis dari mukus untuk menangkap dan membuang berbagai iritan pada udara
inspirasi diiringi dengan pencegahan akumulasi yang berlebihan dari sekresinya.
Sputum dapat mengandung material endogen dan eksogen lain, seperti cairan
transudat dan eksudat, sel lokal maupun termigrasi, mikroorganisme, jaringan nekrotik,
muntah yang teraspirasi, dan partikel asing lainnya. Penampakan sputum merupakan hasil
dari konten yang terkandung di sputum. Sputum mukosa berwarna jernih dan kental,
mengandung hanya sedikit elemen mikroskopik. Sputum purulen berwarna off-white, kuning
atau hijau, dan opak. Ini mengindikasikan adanya jumlah yang besar dari leukosit, terutama
granulosit neutrofil. Pada asma, sputum mungkin tampak purulen dari sel eosinofilik yang
terlibat. Warna yang merah umumnya disebabkan karena tercampur dengan darah. Partikel
karbon akan membuat sputum berwarna abu-abu (pada perokok) atau hitam (pada pekerja
tambang).4
10
2. Dada Berat
Dada berat umumnya disamakan dengan nyeri pada dada. Biasanya, dada berat
diasosiasikan dengan serangan jantung. Akan tetapi, terdapat berbagai alasan lain untuk dada
berat. Dada berat diartikan sebagai perasaan yang berat di bagian dada. Rata-rata orang juga
mendeskripsikannya seperti ada seseorang yang memegang jantungnya, jantung terasa
diperas dan dada nyeri. Asma merupakan penyebab yang umum dari dada berat. Oleh karena
itu, penderita asma sering mengeluhkan dada berat pada serangan asma.
Penderita Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) juga mengeluhkan dada berat
yang sering disebut heart burn. Beberapa alasan lainnya yang dapat diasosiasikan dengan
nyeri dada adalah diabetes, merokok, penggunaan obat berlebih, tekanan darah tinggi,
kolesterol tinggi, dan lain-lain. Pneumonia, batuk, ulkus gaster, dan emboli pulmonal juga
dapat menyebabkan nyeri pada dada.
Gejala nyeri pada dada juga mengindikasikan perikarditis. Nafas yang pendek dengan
gejala nyeri dada yang tajam mengindikasikan adanya inflamasi pada paru, kondisi yang
dinamakan pleurisy. Ini juga diartikan sebagai kerusakan alveolus pada jaringan paru atau
pneumotoraks. Pneumonia juga menyebabkan dada berat disertai demam. Iritasi pleura yang
disebabkan oleh emboli pulmonal merupakan penyebab lain dari nyeri dada. 5
3. Mengi
Mengi merupakan bunyi siul dengan pitch yang tinggi saat bernapas. Bunyi ini
muncul ketika udara mengalir melewati saluran yang sempit. Mengi adalah tanda seseorang
mengalami kesulitan bernapas. Bunyi mengi jelas terdengar saat ekspirasi, namun bisa juga
terdengar saat inspirasi. Mengi umumnya muncul ketika saluran nafas menyempit atau
adanya hambatan pada saluran udara yang besar atau pada seseorang yang mengalami
gangguan pita suara. 5
Penyebab mengi Antara lain
Asma
Bronkiektasis
Bronkiolitis
Bronchitis
Emfisema
GERD
Gagal jantung
Reaksi alergi
Medikasi (aspirin)
Pneumonia
11
Merokok Infeksiviral
II.9 Dasar diagnosis
• Anamnesis : cepatnya perkembangan sesak, pola dan waktu terjadinya, posisi saat
dyspnoe, gejala lain, Riwayat sosial & pekerjaan, Riwayat penyakit dahulu
• Pemeriksan fisik :
Vital Sign : tekanan darah, temperatur, frekuensi nadi dan frekuensi napas menentukan
tingkat keparahan penyakit
Tanda pernafasan paksa, ggn jantung, ggn paru, penyakit lain
II.10 Pemeriksaan diagnostik
Metode yang paling berguna untuk mengevaluasi dispnea adalah elektrokardiogram
dan radiografi dada. Modalitas awal yang murah, aman dan mudah dilakukan. Mereka dapat
membantu mengkonfirmasi atau mengecualikan banyak diagnosa umum.
Elektrokardiogram dapat menunjukkan kelainan denyut jantung dan irama, atau bukti
iskemia, cedera atau infark. Tegangan kelainan menyarankan kiri atau kanan hipertrofi
ventrikel jika tegangan yang berlebihan, atau efusi atau penyakit paru obstruktif dengan
peningkatan diameter dada perikardial jika tegangan berkurang.
Sebuah rontgen dada dapat mengidentifikasi kelainan rangka, seperti skoliosis,
osteoporosis atau patah tulang, atau kelainan parenkim, seperti hiperinflasi, lesi massa,
infiltrat, atelektasis, efusi pleura atau pneumotoraks. Sebuah siluet jantung meningkat dapat
disebabkan oleh peningkatan ukuran perikardial atau peningkatan ukuran ruang.
Hemoglobin atau hitung darah lengkap dapat mengukur keparahan dicurigai anemia.
Kelainan tiroid jarang hadir dengan dyspnea dan dapat dinilai dengan pengukuran serum
thyroid-stimulating hormone level.3,4
Spirometri
Spirometri tergantung pada usaha pasien, jika pasien tidak mampu untuk memberikan
upaya maksimal, tes memiliki nilai yang terbatas. Untuk melakukan tes, pasien
mengembuskan napas penuh, kemudian mengambil inhalasi maksimum dan meniup sekeras
dan secepat mungkin, terus menghembuskan nafas selama mungkin untuk memastikan bahwa
volume maksimal diukur. Tes dapat diulang sampai hasil yang konsisten. Spirometri sangat
aman dan memiliki hampir tidak ada risiko serius complications.4, 5 kesalahan yang paling
umum dalam teknik adalah kegagalan untuk buang napas secepat mungkin dan kegagalan
untuk melanjutkan pernafasan selama mungkin.
12
Spirometri dapat membantu membedakan penyakit paru obstruktif akibat penyakit
paru restriktif. PPOK (bronkitis kronis atau emfisema) dan asma adalah penyebab paling
umum dari pola spirometri obstruktif. Pola restriktif dapat disebabkan oleh faktor-faktor luar
paru, seperti obesitas, kelainan rangka, seperti kifosis atau scoliosis, dengan mengompresi
efusi pleura, dan dengan gangguan neuromuskuler, seperti multiple sclerosis atau distrofi
otot.
Tekanan oximetry
Oksimetri pulsa menggunakan sumber cahaya inframerah untuk menentukan saturasi
oksigen hemoglobin . Namun, persentase saturasi oksigen tidak selalu sesuai dengan tekanan
parsial oksigen arteri ( PaO2 ) . Kurva desaturasi hemoglobin bisa digeser ke kiri atau ke
kanan tergantung pada pH , suhu ( misalnya , oksimeter digunakan pada ekstremitas dingin )
atau karbon monoksida arteri atau tingkat karbon dioksida . Dengan demikian , persentase
saturasi oksigen batas normal sebenarnya mencerminkan PaO2 rendah yang tidak normal
dalam beberapa Pulse oksimetri cases. adalah, bagaimanapun , berharga sebagai cepat ,
tersedia secara luas dan noninvasif sarana penilaian dan akurat dalam situasi yang paling
klinis.3
Gas Darah Arteri
Pengukuran gas darah arteri dapat memberikan informasi tentang pH berubah ,
hiperkapnia , hipokapnia atau hipoksemia . Pengukuran ini lebih sering digunakan untuk
evaluasi dyspnea akut tetapi juga dapat digunakan dalam evaluasi pasien yang secara
bertahap menjadi dyspneic atau yang kronis dyspneic . Pengukuran gas darah bisa normal ,
namun, pada pasien dengan penyakit paru yang signifikan secara klinis. Kelainan parameter
gas darah kadang-kadang dapat dilihat hanya selama latihan, dengan cepat kembali ke normal
selama istirahat. Normal pengukuran gas darah arteri tidak mengecualikan penyakit jantung
atau paru sebagai penyebab dyspnea.2
Pengujian Fungsi lengkap paru
Pengukuran semua jenis volume paru-paru , seperti kapasitas paru total dan volume
residu , dapat menunjukkan kombinasi penyakit obstruktif dan restriktif. Kapasitas difusi
paru-paru untuk karbon monoksida ( DLCO ) sering dimasukkan dalam lengkap pengujian
13
fungsi paru . DLCO digunakan untuk mengukur pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida
di seluruh permukaan alveolar . Kapasitas difusi berkurang dapat terjadi dalam berbagai
alveolar atau interstisial kelainan , seperti edema , peradangan, infeksi , infiltrasi dan
keganasan . Difusi oksigen berkurang nyata dapat berkontribusi terhadap dyspnea , namun
biasanya terjadi dengan beberapa spirometric abnormality.2, 4
Latihan Pengujian Treadmill
Treadmill pengujian latihan dapat menargetkan iskemia sebagai penyebab dyspnea.
Tes ini dapat dilakukan ketika gejala atipikal untuk angina exertional atau ketika silent
ischemia diduga sebagai penyebab dispnea saat aktivitas.
Respon fisiologis normal untuk latihan pengujian adalah peningkatan tekanan darah
dan denyut jantung . Untuk mencapai upaya maksimal, denyut jantung harus mencapai
setidaknya 85 persen dari denyut jantung target usia pasien . Penyakit jantung yang
mendasarinya dapat ditandai dengan perubahan segmen ST, oleh aritmia atau patut perubahan
tekanan darah selama latihan . Ada keterbatasan sensitivitas dan spesifisitas tes treadmill,
bagaimanapun, dan interpretasi hasil dapat bervariasi. Hasil negatif pada tes treadmill pada
pasien yang memiliki dyspnea tetapi tidak ada nyeri dada atau faktor risiko jantung
menunjukkan dyspnea yang disebabkan oleh sesuatu yang lain dari penyakit arteri koroner .
Bila hasil yang samar-samar atau sulit untuk menafsirkan , uji diagnostik lebih lanjut atau
konsultasi harus dipertimbangkan.4,5
Echocardiography
Echocardiography dapat mendeteksi kelainan katup dan mungkin membantu diagnosa
pada pasien dengan murmur dipertanyakan dalam konteks dyspnea . Ukuran Chamber ,
hipertrofi dan fraksi ejeksi ventrikel kiri juga dapat dinilai . Sebuah akuisisi jantung
multigated (Muga) scan atau ventrikulografi radionucleotide juga dapat digunakan untuk
mengukur fraksi ejeksi.
Pengujian Latihan Cardiopulmonary
Pengujian latihan cardiopulmonary mengkuantifikasi fungsi jantung , pertukaran gas
paru , ventilasi dan kebugaran fisik. Pengujian latihan cardiopulmonary dapat digunakan pada
kasus tertentu bila diagnosis masih belum jelas setelah pemeriksaan inital . Hal ini dapat
14
sangat berguna dalam kasus-kasus dimana obesitas, kecemasan, deconditioning, latihan -
induced asma atau masalah lain menghalangi pengujian latihan treadmill standar.
Tes ini biasanya dilakukan pada treadmill atau sepeda ergometer dan mengharuskan
pasien bernapas ke mulut selama latihan. Pasien melakukan latihan semakin sulit untuk titik
kelelahan. Selama latihan, oksigenasi diukur dengan menggunakan salah satu oksimeter pulsa
atau saluran arteri, dan interpretasi tes lengkap membutuhkan analisis konsumsi oksigen,
produksi karbon dioksida, ambang anaerobik, denyut jantung dan irama, tekanan darah,
ventilasi menit, pemantauan terus menerus dari pertukaran gas, keparahan dirasakan tenaga,
dyspnea, nyeri dada dan ketidaknyamanan kaki. Pengujian latihan kardio - paru dapat
membantu menentukan apakah kelainan terletak pada paru, otot jantung atau skeletal
systems.2,4
II.11 Diagnosis banding
Causa paru : Asthma, Pneumonitis, Pneumotoraks, Efusi pleura, Trauma dada
Kausa non paru : Gangguan psikogenik, Penurunan tekanan oksigen inspirasi, Syok, demam,
Anemia akut, Asidosis metabolik
II.12 Penanganan Dispnea
Penanganan Umum Dispnea
- Memposisikan pasien pada posisi setengah duduk atau berbaring dengan bantalyang tinggi
- Diberikan oksigen sebanyak 2-4 liter per menit tergantung derajat sesaknya
- Pengobatan selanjutnya diberikan sesuai dengan penyakit yang diderita
Terapi Farmako
- Olahraga teratur
- Menghindari allergen
- Terapi emosi
Farmako
- Quick relief medicine
Pengobatan yang digunakan untuk merelaksasi otot-otot saluran pernapasan,memudahkan
pasien bernapas dan digunakan saat serangan datang. Contoh :bronkodilator-
15
- Long relief medicine
Pengobatan yang digunakan untuk menobati inflamasi pada sesak nafas,mengurangi odem
dan mukus berlebih, memberikan kontrol untuk jangka waktuyang lama. Contoh :
Kortikosteroid bentuk inhalasi-
Terapi inhalasiPemberian obat secara langsung ke dalam saluan napas melalui hirupan. Ada
tigamacam alat terapi inhalasi :
a. Nebulizer
b. MDI (Metered Dose Inhaler)
c. DPI (Dry Power Inhaler)Yang paling sering digunakan adalah turbuhaler.Keuntungan
terapi inhalasi dibandingkan dengan obat oral atau suntikan, yaitulangsung ke organ
sasaran, waktu kerja lebih singkat, dosis obat lebih kecil, danefek samping juga kecil.
Biasanya digunakan dalam bentuk aerosol, yaitu suspensipartikel dalam gas.
d. Pemakaian Spacer (alat perenggang) untuk mengurangi deposisi (penumpukan obat dalam
mulut) 2,3
II.13 Prognosis
KASUS : Quo ad vitam, quo ad functionam, quo ad sanationam : dubia ad malam
Daftar Pustaka
1. Darmanto Djojodibroto. Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit buku
kedokteran EGC. 2007. Hal 57-58.
2. Donal AM. Mechanisme and measurement of dyspnea in chronic obstructive
pulmonary disease. Proc Am Thorac Soc. 2006. 234-238
3. Ingram RH, Braunwauld JE. Dyspnea and pulmonary edema. In :Kasper,
Braunwauld, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
16th edition. Mc Graw Hill. 2005. h. 201-5
4. Kasper D, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson L. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 16th Edition. In Drazen M Jeffrey, Weinberger E Steven.
Approach To The Patient With Disease Of The Respiratory System. New York: McGraw-
Hill Professional. 2004. h.1495-1497
16
5. Manning HL, Schwartzstein. Patophysiology of Dyspnea. N Engl J Med. Vol 333:
1995. h. 1547-53
17
Recommended