Upload
voanh
View
235
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PRESENTASI MATA KULIAH HUKUM PIDANA
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
FAKULTAS HUKUM
Jalan Lengkong Besar No. 68, No. Telepon (022) 4262194, Bandung,
Jawa Barat 40261
TAHUN 2015/2016
TENTANG
RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA
MENURUT WAKTU DAN RUANG/TEMPAT
FAJRI NUL HIDAYAT
NPM. 151000132
Disusun oleh kelompok 8:
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam tindak pidana dapat melihat seberapa jauh seseorang telah merugikan
masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada orang tersebut karena
telah melanggar hukum. Penerapan hukum pidana berkaitan dengan ruang lingkup
hukum pidana itu sendiri. Ruang lingkup hukum pidana terdiri atas menurut waktu
dan menurut ruang/tempat.
Berlakunya ruang lingkup hukum pidana menurut waktu, mempunyai arti penting
bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan tentang
berlakunya hukum pidana menurut waktu tercantum dalam Pasal 1 K.U.H.Pidana.
Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum pidana menurut ruang/tempat
mempunyai arti penting bagi penentuan tentang sampai dimana berlakunya hukum
pidana sesuatu negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Berlakunya
hukum pidana menurut ruang/tempat ini dapat dibedakan menjadi empat asas
yaitu: asas teritorial, asas kebangsaan, asas perlindungan, dan asas
universal. Ketentuan tentang asas berlakunya hukum pidana tercantum dalam Pasal
2 sampai dengan Pasal 9 K.U.H.Pidana.
Disusun oleh kelompok 8:
AGIL HUTAMA MAULANA
NPM. 151000130
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Waktu
Dalam membicarakan masalah berlakunya undang-undang pidana menurut waktu
hendaknya tidak dicampur adukan dengan masalah terjadinya tindak pidana
menurut waktu atau tempus delicti. Tentang tempus delicti ini akan dibicarakan
dalam tindak pidana, sedangkan masalah berlakunya undang-undang pidana
menurut waktu ini masih berhubungan dengan Pasal 1 ayat (1) K.U.H.Pidana.
Adapun bunyi Pasal 1 ayat (1) K.U.H.Pidana, yaitu:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”
Adapun maksud dari pasal di atas adalah telah disebutkan terlebih dahulu bahwa
ketentuan pidana dan perumusan tindak pidana dalam undang-undang harus sudah
ada terlebih dahulu sebelum terjadinya tindak pidana. Dengan perkataan lain
undang-undang pidana tidak boleh berlaku surut (retroaktif).
Kemudian aturan pada Pasal 1 ayat (2) K.U.H.Pidana merupakan aturan transitoir,
yang mengatur bila suatu saat terjadi perubahan dalam K.U.H.Pidana dan ketentuan
perundang-undangan pidana yang lain. Ini berarti bawa dengan ketentuan pasal
tersebut dimungkinkan berlaku surutnya aturan pidana. Yang bila mana suatu ketika
ada perkara pidana yang meringankan terdakwa dengan undang-undang baru, maka
undang-undang barulah yang berlaku.
Berikut adalah bunyi Pasal 1ayat (2) K.U.H.Pidana:
“Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perudang-
undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.”
Dalam hal ini Indonesia mengambil jalah tengah, dasarnya tetap Lex Temporis
Delicti sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1)
K.U.H.Pidana. Selanjutnya kalau ada peraturan baru, maka peraturan barulah yang
diterapkan dan berdasar pada asas Lex Spesialis Derogat Lex Generali yang sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) K.U.H.Pidana.
B. Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Ruang/Tempat
Ruang lingkup berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan pidana
Indonesia menurut ruang/tempat antara lain dapat dijumpai dalam Pasal 2 sampai
dengan Pasal 9 K.U.H.Pidana. Dari pasal-pasal tersebut dapat ditemukan pula asas-
asas berlakunya ketentuan perturan perundang-undangan pidana menurut
ruang/tempat.
Adapun asas-asas yang terkadung dalam Pasal 2 s.d. Pasal 9 K.U.H.Pidana, yaitu:
1. Asas teritorial/territorialiteits/lands-beginsel.
2. Asas kebangsaaan/nationaliteits-beginsel/personaliteits-beginsel/
actieve persoonlijkheidsstelsel/actieve nationaliteits-beginsel/
subjektionsprinzip.
3. Asas perlindungan/beschermings-beginsel/passief nationaliteits-beginsel/
realprinzip/schutprinzip/prinsip der beteiligen rechtsordnung.
4. Asas persamaan/universaliteits-beginsel/wetsrafflege/weltrechtspflege.
MUHAMMAD JUNYEDI SETYAWAN
NPM. 151000163
Disusun oleh kelompok 8:
BAB III
KASUS PERTANYAAN TEORI
A. Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Waktu
Kasus yang terjadi dalam ruang lingkup hukum pidana menurut waktu, yaitu
berhubungan dengan perubahan perundang-undangan dan peraturan yang
meringankan.
1. Apa yang dimaksud dengan dengan perubahan perundang-undangan?
Jawab:Menurut ajaran formal bahwa yang dimaksud dengan perubahan perundang-
undangan ialah undang-undang hukum pidana sendiri. Sehingga perubahan dalam
perundang-undangan itu adalah perubahan yang terjadi dalam undang-undang
hukum pidana saja.
Kemudian menurut ajaran materiil bahwa, bukan hanya perubahan undang-undang
hukum pidana sendiri yang dapat dianggap sebagai perubahan perundang-undangan
melainkan perundang-undangan dalam arti undang-undang yang lain pun yang dapat
dianggap sebagai perubahan.
Selanjutnya bahwa ajaran materiil terbagi dua lagi, yaitu:
a. Ajaran meteriil terbatas yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan
perubahan perundang-undangan adalah bukan perubahan setiap perundang-
undangan, tetapi perubahan karena adanya keyakinan hukum yang berubah
bukan karena keadaan yang berubah.
b. Ajaran materiil tidak terbatas menganggap bahwa arti perubahan perundang-
undangan adalah perubahan dalam semua undang-undang dalam arti materiil.
2. Apa yang dimaksud dengan peraturan yang meringankan?
Jawab:
Pengertian ketentuan yang meringankan/menguntungkan itu haruslah diartikan
seluas-luasnya, tidak hanya mengenai pidananya saja, melainkan segala sesuatu dari
peraturan itu yang mempunyai pengaruh terhadap penelaian suatu tindak pidana.
Penentuannya harus dilakukan secara In Concreto, yaitu dalam keadaan konkret,
tidak secara In Abstracto.
Contoh Kasus I:
Pada tahun 1904 ada seorang wanita yang sengaja menjadi penghubung
perbuatan cabul seorang wanita berumur 22 tahun. Ia wanita penghubung
tersebut dituntut menurut pasal 295 ke-2 K.U.H.Pidana. Dalam pasal tersebut
“orang belum yang belum cukup umur” menurut K.U.H.Perdata waktu itu usia 23
tahun, tetapi pada tahun 1905 ada perubahan dalam K.U.H.Perdata, batas cukup
umur bukan lagi 23 tahun tetapi 21 tahun.
Disini dianggap bukan merupakan perubahan perundang-undangan, karena
tidak ada perubahan keyakinan hukum. Jadi, walaupun peraturan darurat tadi
telah dihapus, orang yang melanggar pada waktu peraturan itu masih berlaku
dan baru diadili setelah peraturannya dihapus/dicabut, tetap dapat dijatuhi
pidana menurut peraturan yang dicabut tadi.
Analisis Kasus I:
Contoh Kasus II:
Mengenai contoh dari Jonker, misalnya terhadap sesuatu delik yang ancaman
pidana diperberat, tetapi delik itu dijadikan delik aduan. Mana yang lebih
menguntungkan?
Prof. Soedarto berpendapat bahwa, ini bergantung dari keadaan konkret, apakah
ada pengaduan atau tidak. Kalau tidak ada pengaduan maka aturan baru yang
berlaku, artinya terdakwa tidak dituntut. Sebaliknya kalau ada pengaduan maka
aturan lama yang diterapkan mengenai ancaman pidananya, karena lebih ringan.
Analisis Kasus II:
Tentang hal ini pula dapat diserahkan kepada Hakim, yang akan memutuskan
perkara dalam situasi konkret manakah yang lebih menguntungkan terdakwa.
MUHAMMAD NUR JAMALUDDIN
NPM. 151000126
Disusun oleh kelompok 8:
BAB III
KASUS PERTANYAAN TEORI
B. Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Ruang/Tempat
1. Asas Teritorial
A seorang WNI, melakukan pencurian di Jakarta. Atas perbuatan A tersebut, ia
akan menghadapi suatu penuntutan atau penghukuman menurut perundang-
undangan pidana yang berlaku di Indonesia.
Contoh Kasus:
Dalam kasus ini, perundang-undangan menurut tempat terjadinya tindak pidana,
telah diberlakukan kepada pelaku. Hal ini dalam bahasa Latin dikenal dengan
sebutan Lex Loci Delicti.
Analisis Kasus:
BAB III
KASUS PERTANYAAN TEORI
B. Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Ruang/Tempat
2. Asas Kebangsaan/Personalitas/Nasional Aktif
A seorang WNI yang telah menikah di Indonesia dan baginya berlaku ketentuan
Pasal 27 B.W yang berbunyi: “Pasa suatu saat yang sama seorang laki-laki itu
hanya dapat terikat dalam suatu perkawinan dengan seorang wanita, dan seorang
wanita itu pada saat yang sama hanya dapat terikat dalam suatu perkawinan
dengan seorang laki-laki.” Karena pekerjaannya, A dikirim ke Saudi Arabia untuk
waktu 3 tahun. Setelah 1 tahun berada di sana, A menikah kembali dengan B
seorang warga negara Saudi Arabia. Setelah menikah, B kemudian mengubah
kewarganegaraan menjadi WNI.
Contoh Kasus:
Menurut Pasal 5 ayat (1) angka 1 K.U.H.Pidana, perbuatan A dapat dituntut dan
dihukum menurut undang-undang pidana yang berlaku di Indonesia. Oleh
karena perbuatan A semacam itu secara tegas telah dilarang dalam Pasal 279 ayat
(1) angka 1 K.U.H.Pidana walaupun perbuatannya itu, A lakukan di luar negara
Indonesia, dan negara Saudi Arabia itu sendiri. Perbuatan itu bukanlah
merupakan perbuatan yang dapat dihukum menurut undang-undang pidana
yang berlaku di Saudi Arabia. Namun, A tetap dapat diberlakukan undang-
undang pidana yang berlaku di Indonesia.
Analisis Kasus:
BAB III
KASUS PERTANYAAN TEORI
B. Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Ruang/Tempat
3. Asas Perlindungan/Nasional Pasif
A seorang mahasiswa WNI yang sedang menuntut ilmu di Jepang telah dibunuh
oleh B seorang WN.Jepang. Untuk menghindarkan diri dari kemungkinan dituntut
menurut undang-undang Jepang, B melarikan diri dari Jepang ke Indonesia dan
menyamar sebagai turis. Kemudian B diketahui aparat kepolisian Indonesia
sebagai pelaku pembunuhan terhadap A.
Contoh Kasus:
Terhadap B tidak dapat dituntut atau dihukum menurut undang-undang pidana
Indonesia, karena pertama pembunuhan bukanlah salah satu kejahatan yang
disebutkan dalam Pasal 4 K.U.H.Pidana. Kedua, karena ketentuan pidana menurut
undang-undang Indonesia tidak dapat diberlakukan terhadap diri B. Kemudian B
hanya dapat dituntut dan dihukum menurut undang-undang Jepang, apabila ia
kembali lagi ke negaranya. Itu pun jika perbuatan B diketahui oleh Kepolisian
Jepang. Selama B berada di Indonesia, jika pemerintah Jepang tidak meminta
kepada pemerintah Indonesia untuk menyerahkan B guna dituntut dan di hukum
di Jepang, maka B bebas pergi ke mana saja di Indonesia tanpa dapat dihukum
apa-apa di Indonesia.
Analisis Kasus:
BAB III
KASUS PERTANYAAN TEORI
B. Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Ruang/Tempat
4. Asas Universal
Seorang diplomat Luar Negeri yang membeli foto-foto udara negara Indonesia.
Perbuatan diplomat tersebut bersangkutan dengan kepentingan tentara.
Berdasarkan K.U.H.Pidana perbuatan diplomat tersebut melanggar Pasal 118
K.U.H.Pidana.
Contoh Kasus:
Terhadap diplomat tersebut, negara Indonesia berhak berbuat dengan cara lazim
dipergunakan dalam hukum antar bangsa yaitu dengan mengajukan pengaduan
kepada pemerintah diplomat tersebut melalui jalan diplomatik dengan tujuan
agar diplomat tersebut segera meninggalkan negara Indonesia atau menuntut
pidana di negaranya sendri atau menuntut ganti rugi kepada negara yang telah
mengirimkan diplomat tersebut ke Indonesia.
Analisis Kasus:
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berlakunya undang-undang pidana menurut waktu masih berhubungan dengan
Pasal 1 ayat (1) K.U.H. Pidana.
2. Kemudian aturan pada Pasal 1 ayat (2) K.U.H.Pidana merupakan aturan
transitoir, yang mengatur bila suatu saat terjadi perubahan dalam K.U.H.Pidana
dan ketentuan perundang-undangan pidana yang lain.
3. Berlakunya hukum pidana menurut ruang/tempat dapat dibedakan menjadi
empat asas yaitu: asas teritorial, asas kebangsaan, asas perlindungan, dan asas
universal. Ketentuan tentang asas berlakunya hukum pidana tercantum dalam
Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 K.U.H.Pidana.
B. Saran
Hendaknya dapat mempelajari lebih lanjut tentang materi ini dari beberapa referensi
lainnya agar senantiasa lebih paham tentang materi ini.