Upload
heny
View
123
Download
15
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam era globalisasi ini semakin banyak penyakit dalam masyarakat
yang timbul karena perubahan tingkat sosial ekonomi dan gaya hidup,
terutama terjadi di kalangan masyarakat kota yang mengalami pertumbuhan
ekonomi yang lebih cepat dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di
pedesaan. Adanya pertumbuhan ekonomi yang semakin baik juga mengubah
pola hidup masyarakat menjadi lebih konsumtif dalam mengkonsumsi
makanan sehari-hari. Tanpa disadari makanan yang dikonsumsi sehari-hari
adalah makanan yang kurang sehat karena keterbatasan waktu yang digunakan
untuk bekerja sehingga makanan yang dikonsumsi adalah makanan instan.
Pola hidup ini menyebabkan timbulnya berbagai penyakit seperti diabetes
mellitus dan kelainan nutrisi.
Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik yang mempunyai
karakteristik adanya ketidakseimbangan tubuh dalam memetabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak. Gambaran utamanya adalah peningkatan
kadar glukosa dalam darah (hiperglikemi) yang disebabkan oleh kelainan
sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia yang menetap
dapat mempengaruhi hampir seluruh jaringan di tubuh dan berhubungan
dengan komplikasi berbagai sistem organ termasuk mata, saraf, ginjal, dan
pembuluh darah (Soegondo S, 2004).
Diabetes mellitus merupakan suatu keadaan peningkatan kadar gula
darah secara menahun disertai dengan berbagai kelainan metabolik akibat
gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi menahun pada
berbagai organ target (Depkes RI, 2007). Laporan data epidemiologi Mc Carty
dan Zimmer menunjukkan bahwa jumlah penderita DM di dunia dari 110,4
juta pada tahun 1994 melonjak 1,5 kali lipat (175,4 juta) pada tahun 2000, dan
melonjak dua kali lipat (239,3 juta) pada tahun 2010 (Tjokroprawiro, 2006).
International Diabetes Federation (IDF) menyatakan bahwa pada tahun 2005
1
di dunia terdapat 200 juta (5,1%) orang dengan diabetes dan diduga 20 tahun
kemudian yaitu tahun 2025 akan meningkat menjadi 333 juta (6,3%) orang.
Dalam Diabetes Atlas tahun 2003 yang diterbitkan oleh IDF, prevalensi
diabetes di Indonesia pada tahun 2000 adalah 1,9% (2,5 juta orang) dan
diprediksikan bahwa di tahun 2025 akan terjadi pengidap diabetes sebanyak
2,8% (5,2 juta orang). Perkiraan jumlah ini akan menjadi kenyataan apabila
tidak ada upaya dari kita semua untuk mencegah atau paling tidak
mengeliminasi faktor-faktor penyebab ledakan jumlah penderita diabetes
tersebut (Depkes RI, 2007).
Untuk masalah kelainan nutrisi dapat berupa over nutrition yang biasa
disebut dengan penyakit obesitas, maupun under nutrition atau penyakit gizi
buruk. Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh yang biasanya disimpan
dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh, dan terkadang
terjadi perluasan ke dalam jaringan organnya. Terjadinya obesitas lebih
ditentukan oleh terlalu banyaknya makan, terlalu sedikit latihan atau aktivitas
fisik, maupun keduanya (Misnadierly, 2007).
Obesitas juga merupakan keadaan yang menunjukkan adanya
ketidakseimbangan antara tinggi dan berat badan akibat adanya kelebihan
jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan yang
melampaui ukuran ideal (Sumanto, 2009).
Obesitas merupakan keadaan patologis sebagai akibat dari konsumsi
makanan yang jauh melebihi batas kebutuhannya (psychobiological cues for
eating) sehingga terdapat penimbunan lemak yang berlebihan dari jumlah
yang diperlukan untuk fungsi tubuh (Tumbuh Kembang Remaja dan
Permasalahannya, 2004). Data tentang obesitas di Indonesia belum nisa
menggambarkan prevalensi obesitas di seluruh penduduk, akan tetapi data
obesitas pada orang dewasa yang tinggal di ibukota provinsi seluruh Indonesia
cukup untuk menjadi perhatian. Survey nasional yang dilakukan pada tahun
2008 di ibukota seluruh provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa 8,1%
penduduk laki-laki dewasa (≥18 tahun) mengalami overweight (BMI 25-27)
dan 6,8% mengalami obesitas.sedangakn untuk penduduk wanita dewasa
2
10,5% mengalami overweight dan 13,5% mengalami obesitas. Pada kelompok
umur 40-49 tahun overweight maupun obesitas mencapai puncaknya yaitu
masing-masing 24,4% dan 23% pada laki-laki, dan 43% pada perempuan
(Depkes, 2009; dalam Oetomo, 2011).
Sedangkan untuk gizi buruk atau under nutrition merupakan status
kondisi seseorang dimana terjadi kekurangan nutrisi atau nutrisinya dibawah
rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian yaitu, gizi buruk karena
kekurangan protein (kwashiorkor), gizi buruk karena kekurangan karbohidrat
atau kalori (marasmus), dan kekurangan keduanya (marasmik-kwashiorkor)
(Nency, 2005).
Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur
menurut suatu standar organisasi kesehatan dunia, dia bergizi baik. Kalau
sedikit dibawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila
jauh dibawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi istilah gizi buruk adalah
salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut (Pardede, J, 2006).
Kondisi gizi anak-anak Indonesia rata-rata lebih buruk disbanding gizi
anak-anak dunia dan bahkan juga dari anak-anak Afrika (Anonim, 2006).
Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya
kualitas nutrisi. Sebuah riset juga menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak
meninggal tiap tahun karena kekurangan gizi serta buruknya kualitas makanan
(Anonim, 2008). Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 54%
kematian anak disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk. Sementara masalah
gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari 80 persen kematian anak (WHO,
2011).
Status gizi buruk pada balita dapat menimbulkan pengaruh yang sangat
menghambat pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berpikir yang
pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja. Balita hidup penderita
gizi buruk dapat mengalami penurunan kecerdasan (IQ) hingga 10 persen.
Keadaan ini memberikan petunjuk bahwa pada hakikatnya gizi yang buruk
atau kurang akan berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia.
Selain itu, penyakit rawan yang dapat diderita balita gizi buruk adalah diabetes
3
(kencing manis) dan penyakit jantung koroner. Dampak paling buruk yang
diterima adalah kematian pada umur yang sangat dini (Samsul, 2011).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi dari diabetes mellitus dan kelainan nutrisi yang meliputi;
obesitas, marasmus, kwashiorkor, dan marasmik-kwashiorkor?
2. Apakah etiologi yang menyebabkan timbulnya penyakit diabetes mellitus
dan kelainan nutrisi?
3. Bagaimanakah proses pathogenesis dari timbulnya penyakit diabetes
mellitus dan kelainan nutrisi?
4. Bagaimanakah gejala klinis yang timbul dari adanya penyakit diabetes
mellitus dan kelainan nutrisi?
5. Bagaimanakah cara pemeriksaan dalam mendiagnosis adanya penyakit
diabetes mellitus dan kelainan nutrisi?
6. Apakah manifestasi oral dari penyakit diabetes mellitus dan kelainan
nutrisi?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit diabetes mellitus dan kelainan
nutrisi?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mampu memahami, menyebutkan dan menjelaskan definisi dari penyakit
diabetes mellitus dan kelainan nutrisi yang meliputi; obesitas, marasmus,
kwashiorkor, dan marasmik-kwashiorkor.
2. Mampu memahami, menyebutkan dan menjelaskan etiologi dari diabetes
mellitus dan kelainan nutrisi.
3. Mampu memahami, menyebutkan dan menjelaskan pathogenesis dari
diabetes mellitus dan kelainan nutrisi.
4. Mampu memahami, menyebutkan dan menjelaskan gejala klinis yang
timbul dari penyakit diabetes mellitus dan kelainan nutrisi.
4
5. Mampu memahami, menyebutkan dan menjelaskan cara pemeriksaan
untuk mendiagnosis adanya penyakit diabetes mellitus dan kelainan
nutrisi.
6. Mampu memahami, menyebutkan dan menjelaskan adanya manifestasi
oral dari penyakit diabetes mellitus dan kelainan nutrisi.
7. Mampu memahami, menyebutkan dan menjelaskan cara penatalaksanaan
dari penyakit diabetes mellitus dan kelainan nutrisi.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DIABETES MELLITUS
Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik yang mempunyai
karakteristik adanya ketidakseimbangan tubuh dalam memetabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak. Gambaran utamanya adalah peningkatan
kadar glukosa dalam darah (hiperglikemi) yang disebabkan oleh kelainan
sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia yang menetap
dapat mempengaruhi hampir seluruh jaringan di tubuh dan berhubungan
dengan komplikasi berbagai sistem organ termasuk mata, saraf, ginjal, dan
pembuluh darah (Soegondo S, 2004). Diabetes mellitus adalah kumpulan
gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya
peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relative (Arjatmo, 2002).
Klasifikasi utama diabetes mellitus adalah DM tipe 1 dan DM tipe 2.
Diabetes mellitus tipe 1 biasanya terjadi pada anak-anak (<40 tahun) dan
meliputi 5% dari seluruh kasus, sedangakn untuk DM tipe 2 biasanya terjadi
pada usia paruh baya (>40 tahun) dengan puncak onset pada usia 60 tahun dan
meliputi 95% dari seluruh kasus. Hampir 50% kasus DM tipe 2 tidak
terdiagnosis dikarenakan gejalanya sering tidak disadari dan fase preklinisnya
berlangsung selama 5-10 tahun.
Umumnya timbulnya penyakit diabetes adalah karena adanya gangguan
pada proses sekresi insulin maupun karena kerja insulin yang terhambat.
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan
oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan
pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah
sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara
fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormone
glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas.
6
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon
insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim
peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin,
yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles)
dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase,
proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya
sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.
Mekanisme diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme
secara normal, karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses
utilisasi glukosa yang ada dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat,
merupakan komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta
dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino
dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan
terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis
dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang
cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas.
Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah
adanya rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses
glukosa melewati membrane sel. Untuk dapat melewati membran sel beta
dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah
senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam
proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai “kendaraan” pengangkut
glukosa masuk dari luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2
(GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses
masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses
ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami
proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian membebaskan
molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap
selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran
sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel
yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti
7
kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang
memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan kadar
ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui
mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.
Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel
tidak hanya disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa
intrasel, tapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-
obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut, misalnya obat anti diabetes
sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak pada reseptor yang sama
dengan glukosa, yang disebut sulphonylurea receptor (SUR) pada membran
sel beta (Tjokroprawiro, 1999).
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan
tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk
biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan
terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan
atau minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi
glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun
setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang
berlangsung secara sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu
dalam batas-batas normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang
fisiologis.
Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi
insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul
cepat dan berakhir juga cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai
puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk
mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera
setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi
regulasi glukosa yang normal karena pasa gilirannya berkontribusi besar
dalam pengendalian kadar glukosa darah postprandial. Dengan demikian,
kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk mempertahankan
berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis. AIR yang
8
berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia
akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial (postprandial
spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia
kompensatif.
Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2
(sustained phase, latent phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat
secara perlahan dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Setelah
berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah selanjutnya diambil alih
oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung relatif lebih lama,
seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa
besar kadar glukosa darah di akhir fase 1, disamping faktor resistensi insulin.
Jadi, terjadi semacam mekanisme penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap
kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi
mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase 2.
Peningkatan produksi insulin tersebut pada hakikatnya dimaksudkan
memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah (postprandial) tetap
dalam batas batas normal. Dalam prospektif perjalanan penyakit, fase 2
sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1. Pada gambar dibawah ini
diperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan normal, Toleransi
Glukosa Terganggu (Impaired Glucose Tolerance = IGT), dan Diabetes
Mellitus Tipe 2.
Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi
insulin yang juga normal di jaringan ( tanpa resistensi insulin ), sekresi fase 2
juga akan berlangsung normal. Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan
(ekstra) sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2 diatas normal untuk dapat
mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah keadaan fisiologis yang
memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang dapat
memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan
berbagai dampak negatifnya.
9
Insu
lin
Sec
reti
on
Intravenous glucose stimulation
First-Phase
SecondPhase
IGTNormalType 2DM
Basal
Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme
dalam tubuh terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial
perannya dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh,
terutama pada otot, lemak, dan hepar.
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan
dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada
membran sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan
semacam sinyal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa
didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya
belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam
meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga
pada mendorong penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan
translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke
intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolism. Untuk mendapatkan proses
metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika
sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal.
10
0 5 10 15 20 25 30 ( minute )
Gb.2 Dinamika sekresi Insulin setelah beban glukosa intravena pada keadaan normal dan keadaan disfungsi sel beta ( Ward, 84)
Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap
insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya
diabetes tipe 2 (Girard, 1995).
Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan
metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana
GLUT-2 berfungsi sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati
membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut berperan
dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar glukosa darah
puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen
yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar.
Kedua proses ini berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol
oleh hormon insulin. Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin,
maka efek inhibisi hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa
endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat
resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses
glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi
glukosa dari hepar.
11
1. binding ke reseptor, 2. translokasi GLUT 4 ke membran sel, 3. transportasi
glukosa meningkat, 4.disosiasi insulin dari reseptor, 5. GLUT 4 kembali
menjauhi membran, 6. kembali kesuasana semula.
Gambar. 3. Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport glukosa di
jaringan perifer ( Girard, 1995 )
Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan
gangguan pada metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang
ditimbulkannya. Pada dasarnya ini bermula dari hambatan dalam utilisasi
glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah. Secara
klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes melitus. Pada
diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering
ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama
yakni tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang
sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh
faktor lingkungan ( environment ). Sedangkan pada diabetes tipe 1 (DMT1),
gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi insulin secara absolut.
Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada
dinamika sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang
tidak sesuai kebutuhan (inadekuat). Defisiensi insulin ini secara langsung
menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis glukosa darah. Yang
pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) yakni
peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban glukosa
(makan atau minum).
Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan
faktor etiologi yang bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan
penyakit ini bersifat progressif dan cenderung melibatkan pula gangguan
metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar glukosa darah oleh
karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya secara klinis
sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan
kadar glukosa yang normal dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat
12
merangsang sel beta untuk peningkatan sekresi insulin (insulin secretagogue)
atau bila diperlukan secara substitusi insulin, disamping obat-obatan yang
berkhasiat menurunkan resistensi insulin (insulin sensitizer).
Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase
2 sekresi insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan
terhadap kadar glukosa darah. Secara klinis, barulah pada tahap
dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi Glukosa
Terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini
mekanisme kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami
defisiensi yang mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa
darah postprandial. Pada toleransi glukosa terganggu (TGT) didapatkan kadar
glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban larutan 75 g glukosa
dengan Test Toleransi Glukosa Oral ( TTGO ), berkisar diantara 140-200
mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa
antara 100 – 126 mg/dl, yang disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa
Terganggu ( GDPT ).
Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap
diabetes, atau hiperglikemia akut postprandial yang terjadi ber-ulangkali setiap
hari sejak tahap TGT, memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara
jangka panjang menimbulkan komplikasi kronis dari diabetes.Tingginya kadar
glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity)
bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan baik secara langsung melalui
stres oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas.
Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau
konversi fase TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor
resistensi insulin mulai dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun
berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa pada tahap
awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun
hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama
mikrovaskular, meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan
gangguan makrovaskular telah muncul semenjak prediabetes. Semakin
13
tingginya tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar
glukosa darah puasa maupun postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar
semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan
inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyebabkan
semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari hepar (Ferrannini, 1998).
Jadi, perjalanan penyakit DMT2, pada awalnya ditentukan oleh kinerja
fase 1 yang kemudian memberi dampak negatif terhadap kinerja fase 2, dan
berakibat langsung terhadap peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia).
Hiperglikemia terjadi tidak hanya disebabkan oleh gangguan sekresi insulin
(defisiensi insulin), tapi pada saat bersamaan juga oleh rendahnya respons
jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan atau pengaruh
lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan mempercepat progresivitas
perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut pada
gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai
jaringan tubuh. Rangkaian kelainan yang dilatarbelakangi oleh resistensi
insulin, selain daripada intoleransi terhadap glukosa beserta berbagai
akibatnya, sering menimbulkan kumpulan gejala yang dinamakan sindroma
metabolik.
B. KELAINAN NUTRISI
Nutrisi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan
fungsinya, yaitu energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur
proses-proses kehidupan (Soenarjo, 2000). Menurut Rock CL (2004), nutrisi
adalah proses dimana tubuh manusia menggunakan makanan untuk
membentuk energi, mempertahankan kesehatan, pertumbuhan dan untuk
berlangsungnya fungsi normal setiap organ baik antara asupan nutrisi dengan
kebutuhan nutrisi.
Bentuk pemberian kalori yaitu :
a. Karbohidrat: karbohidrat merupakan sumber energy yang penting. Setiap
gram karbohidrat menghasilkan kurang lebih 4 kalori. Asupan
14
karbohidrat di dalam diit sebaiknya berkisar 50%-60% dari kebutuhan
kalori (Setiati, 2000).
b. Lemak: komponen lemak dapat diberikan dalam bentuk nutrisi enteral
maupun parenteral sebagai emulsi lemak. Pemberian lemak dapat
mencapai 20% -40% dari total kebutuhan. Satu gram lemak
menghasilkan 9 kalori. Lemak memiliki fungsi antara lain sebagai
sumber energi, membantu absorbsi vitamin yang larut dalam lemak,
menyediakan asam lemak esensial, membantu dan melindungi organ-
organ internal, membantu regulasi suhu tubuh dan melumasi jaringan-
jaringan tubuh (Setiati, 2000).
c. Protein (Asam Amino): kebutuhan protein adalah 0,8gr/kgbb/hari atau
kurang lebih 10% dari total kebutuhan kalori. Namun selama sakit kritis
kebutuhan protein meningkat menjadi 1,2-1,5gr/kgbb/hari. Pada
beberapa penyakit tertentu, asupan protein harus dikontrol, misalnya
kegagalan hati akut dan pasien uremia, asupan protein dibatasi sebesar
0,5gr/kgbb/hari (Wiryana, 2007). (Setiati, 2000) juga berpendapat,
kebutuhan protein untuk BBLR 2,0-2,5g/kgbb/hari, bayi
2,5-3,0g/kgbb/hari, anak 1,5-2,5g/kgbb/hari.
Penilaian terhadap status gizi seseorang biasa dilihat dari perhitungan
dengan menggunakan indeks massa tubuh. Indeks Massa Tubuh (IMT) atau
biasa disebut juga Body Mass Index (BMI) merupakan cara termudah untuk
menentukan komposisi nutrisi dalam tubuh. Indeks massa tubuh (IMT) adalah
nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan (BB) dan tinggi badan
(TB) seseorang. IMT dipercayai dapat menjadi indikator atau mengambarkan
kadar adipositas dalam tubuh seseorang. IMT tidak mengukur lemak tubuh
secara langsung, tetapi penelitian menunjukkan bahwa IMT berkorelasi
dengan pengukuran secara langsung lemak tubuh seperti underwater weighing
dan dual energy x-ray absorbtiometry (Grummer-Strawn LM et al., 2002).
IMT merupakan altenatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh karena
murah serta metode skrining kategori berat badan yang mudah dilakukan.
Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut:
15
Menurut rumus metrik:
Berat badan (Kg)
IMT = -------------------------------------------------------
[Tinggi badan (m)]2
Atau menurut rumus Inggeris:
IMT = Berat badan (lb) / [Tinggi badan (in)] 2 x 703
Untuk orang dewasa yang berusia 20 tahun keatas, IMT diinterpretasi
menggunakan kategori status berat badan standard yang sama untuk semua
umur bagi pria dan wanita. Untuk anak-anak dan remaja, intrepretasi IMT
adalah spesifik mengikut usia dan jenis kelamin (CDC, 2009).
Secara umum, IMT 25 ke atas membawa arti pada obes. Standar baru
untuk IMT telah dipublikasikan pada tahun 1998 mengklasifikasikan BMI di
bawah 18,5 sebagai sangat kurus atau underweight, IMT melebihi 23 sebagai
berat badan lebih atau overweight, dan IMT melebihi 25 sebagai obesitas.
IMT yang ideal bagi orang dewasa adalah diantara 18,5 sehingga 22,9.
Obesitas dikategorikan pada tiga tingkat: tingkat I (25-29,9), tingkat II (30-
40), dan tingkat III (>40) (CDC, 2002).
Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi
berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara
berkembang. Pada akhirnya diambil kesimpulan, batas ambang IMT untuk
Indonesia adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1: Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT)
IMT KATEGORI
< 18,5 Berat badan kurang
18,5 – 22,9 Berat badan normal
≥ 23,0 Kelebihan berat badan
16
23,0 – 24,9 Beresiko menjadi obes
25,0 – 29.9 Obes I
≥ 30,0 Obes II
Sumber: Centre for Obesity Research and Education 2007
Dari sumber data IMT dapat diketahui bagaimana status gizi seseorang,
dengan begitu akan diketahui apakah seseorang tersebut mempunyai status
gizi yang ideal, gizi kurang, maupun gizi berlebih.
BAB III
17
PEMBAHASAN
1. DEFINISI
a. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis metabolisme abnormal yang
memerlukan pengobatan seumur hidup dengan diet, latihan, dan obat-obatan
(Carpenito, 1999:143). Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronik
yang kompleks yang melibatkan (1) kelainan metabolisme karbohidrat,
protein dan lemak dan (2) berkembangnya komplikasi makrovaskuler,
mikrovaskuler dan neurologis (Long, 1996: 4). Diabetes melitus adalah
gangguan kronis yang ditandai dengan metabolisme karbohidrat dan lemak
yang diakibatkan oleh kekurangan insulin atau secara relatif kekurangan
insulin (Tucker et all, 1992: 401). Dibetes melitus adalah gangguan
metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan
manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price dan Wilson, 1992:
1111). Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik yang mempunyai
karakteristik adanya ketidakseimbangan tubuh dalam memetabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak. Gambaran utamanya adalah peningkatan
kadar glukosa dalam darah (hiperglikemi) yang disebabkan oleh kelainan
sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia yang menetap
dapat mempengaruhi hampir seluruh jaringan di tubuh dan berhubungan
dengan komplikasi berbagai sistem organ termasuk mata, saraf, ginjal, dan
pembuluh darah (Soegondo S, 2004). Diabetes mellitus merupakan suatu
keadaan peningkatan kadar gula darah secara menahun disertai dengan
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan
berbagai komplikasi menahun pada berbagai organ target (Depkes RI, 2007).
Menurut Savitri Ramaiah (2008:1), diabetes mellitus adalah suatu kondisi
yang mengakibatkan meningkatnya kadar gula di dalam darah. Selain itu,
beliau juga menyatakan bahwa diabetes mellitus adalah suatu kelainan reaksi
kimia dalam hal pemanfaatan yang tepat atas karbohidrat, lemak, dan protein
dari makanan karena tidak cukupnya pengeluaran atau kurangnya insulin.
18
Dengan kata lain, diabetes terjadi ketika tubuh tidak dapat memanfaatkan
beberapa makanan karena kekurangan produksi insulin. Endang Lanywati
(2011:7) menyatakan, bahwa penyakit diabetes mellitus, kencing manis atau
penyakit gula, diketahui sebagai suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya
gangguan menahun terutama pada sistem metabolisme karbohidrat, lemak,
dan juga protein dalam tubuh. Gangguan metabolisme tersebut disebabkan
kurangnya insulin, yang diperlukan dalam proses pengubahan gula menjadi
tenaga serta sintesis lemak.
b. Obesitas
Obesitas adalah penumpukan lemak yang berlebihan di dalam badan
atau kegemukan yang berlebihan (KBBI, 1996). Papalia dan Olds (1995)
mengatakan bahwa obesitas atau kegemukan terjadi jika individu
mengkonsumsi kalori yang berlebihan dari yang mereka butuhkan. Sarafino
(1998) juga mengatakan bahwa obesitas adalah sebagai suatu simpanan yang
berlebih dalam bentuk lemak yang berdampak buruk bagi kesehatan.
Pengertian obesitas dalam psikologis menurut Wurtman & Wurtman (1996)
adalah simpanan energi yang berlebihan dalam bentuk lemak, yang
berdampak buruk bagi kesehatan dan perpanjang usia. Dari penjelasan-
penjelasan dapat disimpulkan bahwa obesitas merupakan keadaan yang tidak
dikehendaki, yaitu dengan terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan
dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh yang normal.
Obesitas merupakan kelainan dari sistem pengaturan berat badan yang
ditandai oleh akumulasi lemak tubuh yang berlebihan. Dalam masyarakat
primitif, dimana kehidupan sehari-hari membutuhkan aktivitas fisik yang
tinggi dan makanan hanya tersedia sesekali, kecenderungan genetik akan
berperan dalam penyimpan kalori sebagai lemak karena makanan yang
dikonsumsi tidak melebihi kebutuhan (Richard Harvey et al., 2005).
Obesitas didefinisikan sebagai keadaan di mana adanya peningkatan
yang sangat berlebihan pada massa jaringan adiposa (lemak). Obesitas bisa
disalahartikan sebagai peningkatan berat badan yang sangat berlebihan bagi
19
kebanyakan masyarakat. Namun, konsep ini tidak begitu relevan karena
konsep obesitas tidak bisa diambil akibat peningkatan berat badan semata-
mata melainkan adanya peningkatan massa jaringan adiposa (Gabriel Uwaifo,
2009). Obesitas dan kegemukan merupakan faktor resiko utama untuk
sejumlah penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, dan kanker.
Obesitas dianggap merupakan masalah hanya di negara berpenghasilan tinggi,
tetapi sekarang jumlah pederita obesitas dan kegemukan semakin meningkat
di negara berpenghasilan rendah dan menengah khususnya di perkotaan
(WHO, 2010).
c. Marasmus
Marasmus berasal dari kata Yunani yang berarti wasting merusak.
Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat
kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun
pertama kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot. Marasmus
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan kalori protein.
Marasmus berasal dari kata marasmos (bahasa jerman) yang berarti sekarat.
Mal nutrisi jenis ini biasanya biasanya berupa kelambatan pertumbuhan,
hilangnya lemak di bawah kulit, mengecilnya otot, menurunnya selera makan
dan keterbelakangan mental. Marasmus adalah salah satu bentuk Malnutrisi
paling sering ditemui pada balita penyebabnya antara lain karen amasukan
makanan yang sangat kurang, infeksi, pembawaan lahir, prematuritas,
penyakit pada masa neonatus serta kesehatan lingkungan memiliki satu atau
lebih tanda defisiensi protein dan kalori.
Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat
kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun
pertama kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot (Dorland,
1998:649). Marasmus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan
kalori protein (Suriadi, 2001:196). Marasmus adalah malnutrisi berat pada
bayi sering ada di daerah dengan makanan tidak cukup atau higiene kurang.
20
Sinonim marasmus diterapkan pada pola penyakit klinis yang menekankan
satu ayau lebih tanda defisiensi protein dan kalori (Nelson, 1999: 212).
d. Kwashiorkor
Kwashiorkor atau busung lapar merupakan suatu istilah untuk
menyebutkan gangguan gizi akibat kekurangan protein. Kwashiorkor berasal
dari bahasa salah satu suku di Afrika yang berarti "kekurangan kasih sayang
ibu". Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Cicely D. Williams pada
rangkaian saintifik internasional melalui artikelnya Lancet 1935. Beliau pada
tahun 1933 melukiskan suatu sindrom tersebut berhubungan dengan defisiensi
dari nutrien apa. Akhirnya baru diketahui defisiensi protein menjadi
penyebabnya. Kwashiorkor adalah satu bentuk malnutrisi yang disebabkan
oleh defisiensi protein yang berat bisa dengan konsumsi energi dan kalori
tubuh yang tidak mencukupi kebutuhan. Kwashiorkor atau busung lapar
adalah salah satu bentuk sindroma dari gangguan yang dikenali sebagai
Malnutrisi Energi Protein (MEP) Dengan beberapa karakteristik berupa edema
dan kegagalan pertumbuhan, depigmentasi, hyperkeratosis. Kwashiorkor
adalah salah satu dari tiga bentuk kekurangan gizi (malnutrisi) ketika tidak ada
cukup protein dalam diet (Kamus Kesehatan). Kwashiorkor ialah gangguan
yang disebabkan oleh kekurangan protein (Ratna Indrawati, 1994).
Kwashiorkor ialah defisiensi protein yang disertai defisiensi nutrien lainnya
yang biasa dijumpai pada bayi masa disapih dan anak prasekolah (balita)
(Ngastiyah, 1995).
e. Marasmik-Kwashiorkor
Marasmik-kwashiorkor (marasmic-kwashiorkor) adalah manifestasi
malnutrisi protein serius dimana baik kondisi marasmus maupun kwashiorkor
hadir. Marasmik-kwashiorkor menunjukkan bahwa dalam praktiknya sulit
untuk memisahkan fitur dari kondisi marasmus dengan fitur dari kwashiorkor
karena keduanya saling terkait. Marasmik – kwashiorkor merupakan kelainan
21
gizi yang menunjukkan gejala klinis campuran antara marasmus dan
kwashiorkor (Markum, 1996). Marasmik – kwashiorkor merupakan malnutrisi
pada pasien yang telah mengalami kehilangan berat badan lebih dari 10%,
penurunan cadangan lemak dan protein serta kemunduran fungsi fisiologi
(Graham L. Hill, 2000). Marasmik – kwashiorkor merupaan satu kondisi
terjadinya defisiensi, baik kalori, maupun protein. Ciri-cirinya adalah dengan
penyusutan jaringan yang hebat, hilangnya lemak subkutan dan dehidrasi.
2. ETIOLOGI
a. Diabetes Mellitus
Diabetes Tipe 1 dipercaya sebagai penyakit autoimun, di mana sistem
imun tubuh sendiri secara spesifik menyerang dan merusak sel-sel penghasil
insulin yang terdapat pada pankreas. Belum diketahui hal apa yang memicu
terjadinya kejadian autoimun ini, namun bukti-bukti yang ada menunjukkan
bahwa faktor genetik dan faktor lingkungan seperti infeksi virus tertentu
berperan dalam prosesnya. Walaupun diabetes tipe 1 berhubungan dengan
faktor genetik, namun faktor genetik lebih banyak berperan pada kejadian
diabetes tipe 2.
Diabetes tipe 2 diduga disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan
lingkungan. Banyak pasien diabetes tipe 2 memiliki anggota keluarga yang
juga menderita diabetes tipe 2 atau masalah kesehatan lain yang berhubungan
dengan diabetes, misalnya kolesterol darah yang tinggi, tekanan darah tinggi
(hipertensi) atau obesitas. Keturunan ras Hispanik, Afrika dan Asia memiliki
kecenderungan lebih tinggi untuk menderita diabetes tipe 2. Sedangkan faktor
lingkungan yang mempengaruhi risiko menderita diabetes tipe 2 adalah
makanan dan aktivitas fisik kita sehari-hari.
Diabetes gestasional disebabkan oleh perubahan hormonal yang terjadi
selama kehamilan. Peningkatan kadar beberapa hormon yang dihasilkan
plasenta membuat sel-sel tubuh menjadi kurang responsif terhadap insulin
(resistensi insulin). Karena plasenta terus berkembang selama kehamilan,
produksi hormonnya juga semakin banyak dan memperberat resistensi insulin
22
yang telah terjadi. Biasanya, pankreas pada ibu hamil dapat menghasilkan
insulin yang lebih banyak (sampai 3x jumlah normal) untuk mengatasi
resistensi insulin yang terjadi. Namun, jika jumlah insulin yang dihasilkan
tetap tidak cukup, kadar glukosa darah akan meningkat dan menyebabkan
diabetes gestasional. Kebanyakan wanita yang menderita diabetes gestasional
akan memiliki kadar gula darah normal setelah melahirkan bayinya. Namun,
mereka memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita diabetes gestasional
pada saat kehamilan berikutnya dan untuk menderita diabetes tipe 2 di
kemudian hari.
Selain itu ada beberapa hal yang menjadi factor penyebab timbulnya
diabetes mellitus. Factor-faktor ini bukanlah merupakan factor utama namun
akan memperparah timbulnya penyakit diabetes mellitus. Menurut (Mirza,
2008) faktor tersebut diantaranya adalah;
1) Banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung gula, masyarakat
semakin sulit menghindari makanan yang mengandung gula, hal tersebut
sangat mudah di jumpai seperti es krim, sirup, minuman dalam kemasan,
permen, aneka jajanan kue dan lain-lain. Semua makanan dan minuman
tersebut kadang tanpa kita sadari mengandung banyak gula. Yang patut
diwaspadai adalah gula yang terkandung dalam makanan dan minuman
tersebut tidak pernah kita ketahui berapa takarannya. Berbeda jika kita
minum teh atau kopi buatan sendiri, yang sudah diketahui berapa sendok
teh takarannya. Kita boleh minum teh manis dan kopi selama dalam batas
yang wajar.
2) Kurang tidur, dapat menyebabkan berkurangnya sistem kekebalan tubuh
sehingga tubuh mudah terserang penyakit. Selain itu kebiasaan begadang
sambil minum kopi dan merokok mempunyai resiko terkena penyakit
diabetes. Oleh karena itu hindarilah kebiasaan begadang, istirahatlah
secara cukup, yaitu 8 jam dalam sehari agar tubuh dapat fit kembali.
3) Makan terlalu banyak karbohidrat dari nasi atau roti, tubuh mempunyai
kemampuan yang terbatas dalam mengolah makanan yang masuk ke
dalam tubuh. Jika makan terlalu banyak karbohidrat, maka tubuh akan
23
menyimpannya dalam bentuk gula dalam darah (glikogen). Jika hal ini
berlangsung setiap hari, maka dapat dibayangkan besarnya penumpukan
glikogen yang disimpan dalam tubuh. Inilah pemicu awal terjadinya gejala
diabetes.
4) Merokok, merupakan salah satu kebiasaan yang tidak baik selain minum
minuman beralkohol. Merokok dapat menjadi pemicu terjadinya diabetes.
Selain merusak paru-paru, merokok juga dapat merusak hati dan pankreas
dimana hormon insulin diproduksi sehingga dapat mengganggu produksi
insulin di dalam kelenjar pankreas.
5) Kurangnya aktivitas fisik, gaaya hidup naik mobil ketika berangkat kerja,
naik lift ketika berada dikantor, duduk terlalu lama di depan komputer
serta kurangnya aktivitas fisik lainnya membuat sistem sekresi tubuh
berjalan lambat. Akibatnya terjadilah penumpukan lemak di dalam tubuh
yang lambat laun berat badan menjadi berlebih.
Sebagai pencegahan, dapat memperbanyak aktivitas fisik selama bekerja.
Misalnya jalan kaki ketika berangkat ke kantor, naik tangga, melakukan
senam ringan sehabis duduk terlalu lama dan lain-lain.
6) Faktor keturunan, diabetes juga dapat disebabkan karena faktor keturunan
atau genetika. Biasanya jika ada anggota keluarga yang menderita
diabetes, maka kemungkinan besar anaknya juga menderita penyakit yang
sama. Para ahli diabetes telah sepakat menentukan persentase
kemungkinan terjadinya diabetes karena keturunan. Jika kedua orang
tuanya (bapak dan ibu) menderita diabetes, maka kemungkinan anaknya
menderita penyakit diabetes yaitu 83%. Jika salah satu orang tuanya
(bapak atau ibu) adalah penderita diabetes, maka kemungkinan anaknya
menderita penyakit diabetes yaitu 53%. Sedangkan jika kedua orang
tuanya normal/tidak menderita diabetes, maka kemungkinan anaknya
menderita penyakit diabetes yaitu 15%.
b. Obesitas
24
Penambahan berat badan terjadi disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara jumlah kalori yang dikonsumsi dengan kebutuhan tubuh. Jika makanan
yang dimakan memberikan kalori lebih dari kebutuhan tubuh, maka kalori
tersebut akan ditukar atau disimpan sebagai lemak. Pada awalnya, hanya
ukuran sel-sel lemak yang akan meningkat. Tetapi apabila ukuran sel-sel
tersebut tidak bisa lagi mengalami peningkatan, maka sel-sel akan menjadi
bertambah banyak. Apabila tubuh mengalami pengurangan berat badan, yang
kan berkurang hanyalah ukuran sel-sel lemak, bukan jumlahnya yang
berkurang mengakibatkan lemak akan mudah terbentuk semula. Terdapat
banyak penyebab obesitas. Ketidakseimbangan asupan kalori dan konsumsi
bervariasi bagi tiap individu. Turut memainkan peranan dan berkontribusi
adalah usia, jenis kelamin, genetik, psikososial, dan faktor lingkungan (Gayle
Galletta, 2005).
1) Faktor Genetik, obesitas cenderung berlaku dalam keluarga. Ini
disebabkan oleh faktor genetik, pola makan keluarga, dan kebiasaan gaya
hidup. Walaupun begitu, mempunyai anggota keluarga yang obesitas tidak
menjamin sesorang itu juga akan mengalami obesitas (Gayle Galletta,
2005).
2) Faktor Emosional, sebagian masyarakat mengkonsumsi makanan dalam
jumlah yang banyak karena depresi, putus asa, marah, bosan, dan banyak
alasan lain yang tidak ada hubungannya dengan rasa lapar. Ini tidak berarti
bahwa penderita obesitas mengalami lebih banyak masalah emosional
daripada orang normal yang lain. Tetapi hanya berarti bahwa perasaan
seseorang mempengaruhi kebiasaan makan dan membuat seseorang makan
terlalu banyak. Dalam kasus yang jarang, obesitas dapat digunakan sebagai
mekanisme pertahanan akibat tekanan sosial yang dihadapi terutama pada
dewasa putri. Dalam kasus seperti ini ditambah dengan masalah emosional
yang lain, intervensi psikologis mungkin menberikan manfaat (Gayle
Galletta, 2005).
3) Faktor Lingkungan, adalah yang paling memainkan peranan adalah gaya
hidup seseorang. Kebiasaan makan dan aktivitas seseorang dipengaruhi
25
oleh masyarakat sekitarnya. Makan terlalu banyak dan aktivitas yang pasif
(tidak aktif) merupakan faktor resiko utama terjadinya obesitas (Gayle
Galletta, 2005).
4) Faktor Jenis Kelamin, cecara rata-rata, lelaki mempunyai massa otot yang
lebih banyak dari wanita. Lelaki menggunakan kalori lebih banyak dari
wanita bahkan saat istirahat karena otot membakar kalori lebih banyak
berbanding tipe-tipe jaringan yang lain. Dengan demikian, perempuan
lebih mudah bertambah berat badan berbanding lelaki dengan asupan
kalori yang sama (Gayle Galletta, 2005).
5) Faktor Usia, semakin bertambah usia seseorang, mereka cenderung
kehilangan massa otot dan mudah terjadi akumulasi lemak tubuh. Kadar
metabolism juga akan menurun menyebabkan kebutuhan kalori yang
diperlukan lebih rendah (Gayle Galletta, 2005).
6) Kehamilan, pada wanita berat badannya cenderung bertambah 4 – 6
kilogram setelah kehamilan dibandingkan dengan berat sebelum
kehamilan. Hal ini bisa terjadi setiap dari kehamilan dan kenaikan berat
badan ini mungkin akan menyebabkan obesitas pada wanita (Gayle
Galletta, 2005).
c. Marasmus
Menurut Laren et al (2000), marasmus ialah suatu bentuk kurang kalori-
protein yang berat. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara
kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan, ada
beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga
berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-sebab
marasmus ialah masukan makanan yang kurang. Marasmus terjadi akibat
masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan
yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak; misalnya
pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer.
Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi
enteral misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephritis
26
dan sifilis kongenital. Kelainan struktur bawaan, misalnya penyakit jantung
bawaan. Marasmus juga dapat disebabkan oleh Prematuritas dan penyakit
pada masa neonates. Dimana pada keadaan-keadaan tersebut pemberian ASI
kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat. Tetapi pemberian ASI yang
terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup juga akan
menyebabkan terjadinya marasmus. Gangguan metabolik misalnya renal
asidosis, idiopathic hypercalcemia, galacosemia, lactose intolerance serta
penyapihan yang terlalu dini disertai dengan pemberian makanan yang kurang
akan menimbulkan marasmus.
Menurut Nelson (2007), penyebab utama marasmus adalah kurang kalori
protein yang dapat terjadi karena: diet yang tidak cukup, kebiasaan makan
yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena
kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil
akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain
faktor lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa
sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara garis
besar sebab-sebab marasmus adalah sebagai berikut:
1) Masukan makanan yang kurang: marasmus terjadi akibat masukan kalori
yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang
dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya
pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer.
2) Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi
enteral misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia,
pielonephiritis dan sifilis kongenital.
3) Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit
Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis
pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pancreas.
4) Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut
pemberian ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat.
5) Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan
yang cukup.
27
6) Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance.
7) Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan
bila penyebab maramus yang lain disingkirkan.
8) Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan
tambahan yang kurang akan menimbulkan marasmus.
9) Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya
marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan
penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan
susu yang terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu, dan bila
disertai infeksi berulang terutama gastroenteritis akan menyebabkan anak
jatuh dalam marasmus (Sunita Almatsier, 2009).
d. Kwashiorkor
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein
yang berlansung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut diatas
menurut (IDAI, 2004) antara lain:
1) Pola makan, protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan
anak untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan
mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung
protein/ asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui umumnya
mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang
tidak memperoleh ASI protein adri sumber-sumber lain (susu, telur, keju,
tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu
mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadap terjadi
kwashiorkhor, terutama pada masa peralihan ASI ke makanan pengganti
ASI.
2) Faktor social, di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi,
keadaan sosial dan politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk
menggunakan makanan tertentu dan sudah berlansung turun-turun dapat
menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
28
3) Faktor ekonomi, kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang
tidak dapat memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi
anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi
kebutuhan proteinnya.
4) Faktor infeksi dan penyakit lain, bahwa adanya interaksi sinergis antara
malnutrisi energy protein (MEP) dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat
memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat
ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.
e. Marasmik-Kwashiorkor
Menurut Suryanah (1996), gizi buruk merupakan penyakit lingkungan,
oleh karena itu faktor-faktor yang bersama-sama menjadi penyebab timbulnya
penyakit tersebut antara lain:
1) Peranan diit, menurut konsep klasik gizi yang mengandung cukup energi
tapi kurang protein menyebabkan anak menjadi kwashiorkor sedangkan
diit kurang energi walaupun zat-zat esensialnya seimbang akan
menyebabkan marasmus tetapi dalam penelitian Gopalan dan Narasanya
(1971) terlihat bahwa diit yang kurang pada anak yang lain timbul
marasmus. Mereka menyimpulkan peranan diit merupakan faktor yang
penting.
2) Peranan faktor social, pantangan untuk menggunakan bahan makanan
tertentu dapat mempengaruhi, penyakit gizi buruk. Faktor-faktor sosial
lain yang mempengaruhi terjadinya KEP adalah:
a) Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang sudah mempunyai
anak banyak dengan suaminya sehingga merupakan pencari nafkah
tunggal.
b) Para pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan anak,
sehingga dengan pendapatan kecil tidak dapat memberi cukup makan
pada anggota keluarga yang cukup besar itu.
29
c) Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu tertentu misalnya
bekerja pada musim panen, sehingga perhatian ke anak kurang,
terutama soal makan.
3) Peranan kepadatan penduduk, MC Laren (1982) memperkirakan bahwa
marasmus terdapat dalam jumlah yang banyak, jika suatu daerah padat
penduduknya dengan keadaan higiene buruk, sedang kwashiorkor terdapat
jumlah yang banyak di desa-desa dengan penduduk yang mempunyai
kebiasaan makanan tambahan berupa tepung terutama pada anak-anak
yang tidak mau atau tidak mendapat cukup ASI.
4) Infeksi, infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi, pada
daya tahan tubuh terhadap infeksi.
5) Peranan kemiskinan, pentingnya kemiskinan dalam laporan Oda Advisory
Commite on Protein tahun 1974. Mereka menganggap kemiskinan
merupakan dasar penyakit gizi buruk, dengan kemiskinan dan mempunyai
penghasilan yang rendah, ketidak mampuan menambahkan makanan
sendiri, ditambah dengan timbulnya gizi buruk lebih dipercepat (Pudjiadi,
2000).
3. PATOGENESIS
a. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus tipe I merupakan penyakit autoimun yang ditentukan
secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses
bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin.
Bukti untuk determinan genetik diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan
dengan tipe-tipe HLA spesifik (DW3 dan DW4). DW3 dan DW4 → memberi
kode terhadap protein yang berperan penting dalam interaksi monosit-limfosit
→ protein ini akan mengatur respon sel T → jika sel T mengalami gangguan
maka sel T akan berperan dalam perusakan sel-sel langerhans.
Selain itu juga terdapat peningkatan antibodi terhadap sel – sel pulau
langerhans yang ditujukan terhadap komponen antigenik tertentu dari sel beta
30
→ terjadi gangguan sekresi insulin → defisiensi insulin → kadar glukosa
darah tinggi → DM tipe1.
Diabetes mellitus tipe II dimana sekresi insulin fase 1 (sekresi insulin
segera setelah sel beta mendapat rangsangan dari glukosa, muncul cepat dan
berakhir dengan cepat dengan puncak yang relatif tinggi, dan berfungsi untuk
mengantisipasi kadar glukosa yang meningkat tajam sesaat setelah makan)
yang inadekuat dan kurang sensitivnya reseptor jaringan tubuh terhadap
insulin → defisiensi sekresi insulin fase 1 → terjadi HAP (hiperglikemia akut
pascaprandial) atau peningkatan kadar glukosa darah setelah makan atau
minum → karena terjadi HAP maka sekresi insulin fase 2 (sekresi insulin
yang kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam waktu yang
relatif lama, puncaknya akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa
darah di akhir fase 1) mengalami overkompensasi dengan cara menyekresi
insulin yang berlebih → lambat laun sel beta mengalami kelelahan karena
kerjanya terlalu berat → terjadi defisiensi insulin absolut → sekresi insulin
tidak bisa mengimbangi kadar glukosa darah yang tinggi → DM tipe 2.
Semakin tinggi resistensi insulin (kurang sensitivnya jaringan tubuh
terhadap insulin) → semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap
produksi glukosa endogen yang berlebihan → kadar glukosa darah semakin
tinggi → meningkatkan keparahan DM.
31
Gambaran proses pathogenesis diabetes mellitus beserta gejala yang ditimbulkan.
32
gagal ginjal
gagal sirkulasi perifer neuropati ↓ BB
KEMATIAN
Aliran darah ke otak ↓
atrofi dan lipolisissel menciut
volume darah ↓
polidipsidehidrasi
Anterosklerosis
Penyakit kardiovaskuler
(neuropati = nyeri tidak terasa)
Disuntik osmotik
poliuria
polifaghi
(-) glukosa intra sel
Penumpukan kolesterol, lemak, dan
glukosa
Glukosuria
(-) sensitive terhadap reseptor insulin
Typoglikemi
↓ penyerapan glukosa oleh sel
Diabetes Mellitus Tipe II
↑ sekresi glukosa oleh hati
Defisiensi Insulin
Diabetes Mellitus Tipe I
b. Obesitas
Secara umum, obesitas dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan kalori,
yang diakibatkan asupan energi yang jauh melebihi kebutuhan tubuh. Pada
bayi (infant), penumpukan lemak terjadi akibat pemberian makanan
pendamping ASI yang terlalu dini, terutama apabila makanan ini memiliki
kandungan karbohidrat, lemak, dan protein yang tinggi.
Pada masa anak-anak dan dewasa, asupan energi bergantung pada diet
seseorang.Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa pengontrolan nafsu
makan dan tingkat kekenyangan seseorang diatur oleh mekanisme neural dan
humoral (neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik, nutrisi, lingkungan,
dan sinyal psikologis. Mekanismeini dirangsang oleh respons metabolik yang
berpusat pada hipotalamus. Mekanisme neurohumoral ini dapat dibagi
menhadi 3 komponen sesuai gambar 1.
a. Sistem perifer/sistem aferen menyalurkan sinyal dari berbagai tempat,
dimana komponen utamanya adalah leptin dan adiponektin (dariadiposit),
ghrelin (dari lambung), Peptida YY/PYY (dari ileum dan colon), insulin
(pancreas).
b. Nukleus arkuatus dalam hipotalamus memproses dan mengintegrasikan
sinyal periferal dan menghasilkan sinyal eferen kepada 2 jenis neuron orde
pertama, yaitu (a) POMC (pro-opiomelanocortin) dan CART (cocaine and
amphetamine-regulated transcripts) neuron, (b) neuropeptida Y (NPY), dan
AgRP (Agouli-related peptide). Neuron orde pertama ini akan berkomunikasi
dengan neuron orde kedua
c. Sistem eferen yang menerima sinyal yang diberikan neuron orde pertama dari
hipotalamus untuk mengontrol asupan makanan dan penggunaan energi.
Hipotalamus juga berkomunikasi dengan otak depan dan tengah untuk
mengontrol sistem saraf otonom.
Neuron POMC dan CART meningkatkan penggunaan energi dan
penurunan berat badan dengan menghasilkan MSH (-Melanocyte Stimulating
Hormone), dan mengaktifkan reseptor melanokortin nomor 3 dan 4 (MC3/4R)
sebagai neuron orde ke 2 sebagai efek anoreksigenik. Sedangkan neuron
33
NYP dan AgRP merangsang lapar (food intake) dan peningkatan berat badan
dengan mengaktifkan reseptor Y1/5 pada neuron orde ke2nya sebagai efek
oreksigenik.
Gambar 1. (Pengaturan keseimbangan energi. Jaringan lemak menghasilkan sinyal
aferen yang mengaktifkan hipotalamus untuk mengatur nafsu makan dan
kekentyangan. Sinyal ini mengnurunkan intake makanan dan menghambat siklus
anabolik, dan mengaktifkan pemakaian energi dan mengaktifkan siklus katabolik.)
34
Gambar 2. (Jalur neurohumoral di hipotalamus yang mengatur kesetimbangan
energi. Terlihat POMC dan CART sebagai neuron anoreksigenik, dan serta NPY
dan AgRP sebagai neuron oreksigenik di hipotalamus bagian nukleud arkuatus.)
c. Marasmus
Sebenarnya malnutrisi marasmus merupakan suatu sindrom yang terjadi
akibat banyak factor. Factor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga factor
penting yaitu: tubuh sendiri (host), agent (kuman penyebab), environment
(lingkungan). Memang factor diet (makanan) memegang peranan penting
tetapi factor lain ikut menentukan.
Pada keadaan ini yang mencolok adalah pertumbuhan yang kurang atau
terhenti disertai atrofi otot dan menghilangnya lemak dibawah kulit. Pada
mulanya keadaan tersebut adalah proses fisiologis untuk kelangsungan hidup
jaringan tubuh memerlukan energi yang tidak dapat dipenuhi oleh makanan
yang masuk, sehingga harus didapat dari tubuh sendiri.
Tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi
kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan
kaborhidrat, protein dan lemak merupakan hal sangat penting untuk
mempertahankan kehidupan; karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh
jaringan tubuh sebagai bahan bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk
menyimpan karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah dapat
terjadi kekurangan. Akibatnya katabolisme protein setelah beberapa jam
dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi karbohidrat di
hepar dan di ginjal. Selama keton bodies. Otot dapat mempergunakan asam
lemak, gliserol dan keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan
makanan ini berjalan menahun. Tubuh akan mempertahankan diri jangan
sampai mencegah protein lagi setelah kira-kira kehilangan separuh dari tubuh
(Muchsan Lubis, 2002).
d. Kwashiorkor
35
MEP adalah manifestasi dari kurangnya asupan protein dan energi,
dalam makanan sehari-hari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi
(AKG), dan biasanya juga diserta adanya kekurangan dari beberapa nutrisi
lainnya.
Disebut malnutrisi primer bila kejadian MEP akibat kekurangan asupan
nutrisi, yang pada umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi, pendidikan
serta rendahnya pengetahuan di bidang gizi. Malnutrisi sekunder bila kondisi
masalah nutrisi seperti di atas disebabkan karena adanya penyakit utama,
seperti kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun kelainan pencernaan dan
metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan nutrisi meningkat, penyerapan
nutrisi yang turun dan/meningkatnya kehilangan nutrisi.
Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai
cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup,
dimulai dengan pembakaran cadangan karbonhidrat kemudian cadangan
lemak serta protein dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stress
katabolik (infeksi) maka kebutuhan protein akan meningkat, sehingga dapat
menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat
status gizi masih di atas -3 SD (-2SD- -3SD), maka terjadilah kwashiorkor
(malnutrisi akut / ”decompensated malnutrition”). Pada kondisi ini penting
peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres katabolik ini terjadi pada
saat status gizi di bawah -3 SD, maka akan terjadilah marasmik-kwashiorkor.
Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai di bawah -3 SD
maka akan terjadilah marasmik (malnutrisi kronik/compensated malnutrition).
Dengan demikian pada MEP dapat terjadi: gangguan pertumbuhan,
atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin,
penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesis enzim.
Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang
sangat berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori
dalam dietnya. Kelainan yang mencolok adalah gangguan metabolik dan
perubahan sel yang disebabkan edema dan perlemakan hati. Karena
kekurangan protein dalam diet akan terjadi kekurangan berbagai asam amino
36
dalam serum yang jumlahnya yang sudah kurang tersebut akan disalurkan ke
jaringan otot, makin kurangnya asam amino dalam serum ini akan
menyebabkan kurangnya produksi albumin oleh hepar yang kemudian
berakibat timbulnya odema. Perlemakan hati terjadi karena gangguan
pembentukan beta liprotein, sehingga transport lemak dari hati terganggu
dengan akibat terjadinya penimbunan lemak dalam hati.
Gambar 1. Mekanisme edema pada kwashiorkor
e. Marasmik-Kwashiorkor
Pada kwashiorkor yang klasik, gangguan metabolisme dan perubahan
sel menyebabkan edema dan perlemakan hati. Kelainan tersebut merupakan
gejala yang mencolok.
Defisiensi protein dalam diit menyebabkan kekurangan berbagai asam
amino esensiil untuk tujuan sintesis. Sedangkan hidrat arang yaang cukup
dalam diit menyebabkan produksi insulin me ningkat, sehingga asam amino
serum yang sudah berkurang akan disalurkan ke otot. Berkurangnya asam
amino akan menyebabkan produksi albumin di hati berkurang. Albumin serum
rendah menyebabkan edema.
37
Di hati terjadi perubahan jaringan berupa perlemakan yang disebabkan
penimbunan lemak akibat pengangkut lemak (beta lipoprotein) dari hati ke
depot lemak berkurang. Penyakit yang sering menyertai kwashiorkor adalah
defisiensi vitamin A, noma, tuberkulosis paru, bronkopneumonia, askariasis
dll
4. GEJALA KLINIS
a. Diabetes Mellitus
Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan
kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah
makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal
untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan
diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul
rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien
mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa
lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat
kehilangan kalori. Selain itu pasien juga mengeluh lelah dan mengantuk (Price
and Wilson, 2005).
Pada diabetes tipe I, pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul
ketoasidosis, serta dapat meninggal jika tidak mendapatkan pengobatan
dengan segera. Sedangkan pada diabetes tipe II mungkin sama sekali tidak
memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan
pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa.
Biasanya pasien tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak
defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif (Price and Wilson, 2005).
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa
gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala
tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering
buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah
lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi
gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul
38
gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan
menurun tanpa sebab yang jelas.
Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue),
iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit). Pada DM Tipe 2 gejala yang
dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa
diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika
penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe
2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya
penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia,
obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.
b. Obesitas
Obesitas dapat terjadi pada setiap umur dan gambaran klinis obesitas
dapat bervariasi dari yang ringan sampai dengan yang berat sekali.
Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding
dada bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan dan sesak
nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan
pernafasan bisa terjadi pada saat tidur dan menyebabkan terhentinya
pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari
penderita sering merasa ngantuk. Obesitas bisa menyebabkan berbagai
masalah ortopedik, termasuk nyeri punggung bawah dan memperburuk
osteoartritis (terutama di daerah pinggul, lutut dan pergelangan kaki). Juga
kadang sering ditemukan kelainan kulit. Seseorang yang menderita obesitas
memiliki permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan dengan
berat badannya, sehingga panas tubuh tidak dapat dibuang secara efisien dan
mengeluarkan keringat yang lebih banyak. Sering ditemukan edema
(pembengkakan akibat penimbunan sejumlah cairan) di daerah tungkai dan
pergelangan kaki. Menurut Soedibyo (1986), gejala klinis pada individu yang
mengalami obesitas adalah sebagai berikut:
39
Perumbuhan berjalan dengan cepat/pesat disertai adanya
ketidakseimbangan antara peningkatan berat badan yang berlebihan
dibandingkan dengan tinggi badannya.
Jaringan lemak bawah kulit menebal sehingga tebal lipatan kulit lebih
daripada yang normal dan kulit nampak lebih kencang.
Kepala nampak relatif lebih kecil dibandingkan dengan tubuhnya atau
dibandingkan dengan dadanya (pada bayi).
Bentuk pipi lebih tembem, hidung, dan mulut tampak relatif lebih kecil,
mungkin disertai dengan bentuk dagunya yang berganda (dagu ganda).
Pada dada terjadi pembesaran payudara yang dapat meresahkan bila terjadi
pada anak laki-laki.
Perut membesar menyerupai bandul lonceng, dan kadang disertai garis-
garis putih atau ungu (striae).
Kelamin luar pada anak wanita tidak jelas ada kelainan, akan tetapi pada
anak laki-laki tampak relatif kecil.
Pubertas pada anak laki-laki terjadi lebih awal dan akibatnya pertumbuhan
kerangka lebih cepat berakhir sehingga tingginya pada masa dewasa relatif
lebih pendek.
Lingkar lengan atas dan paha lebih besar daripada normal, tangan relatif
lebih kecil dan jari-jari bentuknya meruncing.
Dapat terjadi gangguan psikologis berupa: gangguan emosi, sukar bergaul,
senang menyendiri dan sebagainya.
Pada kegemukan yang berat mungkin terjadi gangguan paru-paru dan
jantung yang disebut sindroma Pickwickian dengan gejala sesak napas,
sianosis, pembesaran jantung, dan kadang-kadang penurunan kesadaran.
c. Marasmus
Penderita biasanya mempunyai gejala klinis sangat kurus, tampak tulang
terbungkus kulit, wajah seperti orang tua, cengeng dan rewel, kulit keriput,
jaringan lemak subkutan minimal/tidak ada, perut cekung, iga gambang,
sering disertai penyakit infeksi dan diare.
40
Pada mulanya ada kegagalan menaikkan berat badan, disertai dengan
kehilangan berat badan sampai berakibat kurus, dengan kehilangan turgor
pada kulit sehingga menjadi berkerut dan longgar karena lemak subkutan
hilang dari bantalan pipi, muka bayi dapat tetap tampak relatif normal selama
beberaba waktu sebelum menjadi menyusut dan berkeriput. Abdomen dapat
kembung dan datar. Terjadi atropi otot dengan akibat hipotoni. Suhu biasanya
normal, nadi mungkin melambat, mula-mula bayi mungkin rewe, tetapi
kemudian lesu dan nafsu makan hilang. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat
muncul apa yang disebut diare tipe kelaparan, dengan buang air besar sering,
tinja berisi mukus dan sedikit (Nelson, 1999).
Marasmus sering dijumpai pada usia 0 - 2 tahun. Keadaan yang terlihat
mencolok adalah hilangnya lemak subkutan, terutama pada wajah. Akibatnya
ialah wajah si anak lonjong,berkeriput dan tampak lebih tua (old man face).
Otot-otot lemah dan atropi, bersamaan dengan hilangnya lemak subkutan
maka anggota gerak terlihat seperti kulit dengan tulang. Tulang rusuk tampak
lebih jelas. Dinding perut hipotonus dan kulitnya longgar. Berat badan turun
menjadi kurang dari 60% berat badan menurut usianya. Suhu tubuh bisa
rendah karena lapisan penahan panas hilang. Cengeng dan rewel serta lebih
sering disertai diare kronik atau konstipasi / susah buang air, serta penyakit
kronik dan Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan berkurang.
Selain itu ciri penderita marasmus adalah sebagai berikut:
1) Badan kurus kering tampak seperti orangtua
2) Lethargi
3) Irritable
4) Kulit keriput (turgor kulit jelek)
5) Ubun-ubun cekung pada bayi
6) Jaringan subkutan hilang
7) Malaise
8) Kelaparan
41
d. Kwashiorkor
Umumnya penderita mengalami edema, yang dapat terjadi di seluruh
tubuh, wajah sembab dan membulat, mata sayu, rambut tipis, kemerahan
seperti rambut jagung, mudah dicabut dan rontok, cengeng, rewel dan apatis,
pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak merah ke coklatan di kulit
dan mudah terkelupas (crazy pavement dermatosis), sering disertai penyakit
infeksi terutama akut, diare dan anemia.
Tanda atau gejala yang dapat dilihat pada anak dengan malnutrisi energi
protein kwashiorkor, antara lain:
1) Wujud Umum, secara umumnya penderita kwashiorkor tampak pucat,
kurus, atrofi pada ekstremitas, adanya edema pedis dan pretibial serta
asites. Muka penderita ada tanda moon face dari akibat terjadinya edema.
Penampilan anak kwashiorkor seperti anak gemuk (sugar baby).
42
2) Retardasi Pertumbuhan, gejala penting ialah pertumbuhan yang
terganggu. Selain berat badan, tinggi badan juga kurang dibandingkan
dengan anak sehat.
3) Perubahan Mental, biasanya penderita cengeng, hilang nafsu makan dan
rewel. Pada stadium lanjut bisa menjadi apatis. Kesadarannya juga bisa
menurun, dan anak menjadi pasif. Perubahan mental bisa menjadi tanda
anak mengalami dehidrasi. Gizi buruk dapat mempengaruhi
perkembangan mental anak. Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan hal
tersebut: karakteristik perilaku anak yang gizinya kurang menyebabkan
penurunan interaksi dengan lingkungannya dan keadaan ini selanjutnya
akan menimbulkan outcome perkembangan yang buruk, hipotesis lain
mengatakan bahwa keadaan gizi buruk mengakibatkan perubahan
struktural dan fungsional pada otak.
4) Edema, pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik ringan
maupun berat. Edemanya bersifat pitting. Edema terjadi bisa disebabkan
hipoalbuminemia, gangguan dinding kapiler, dan hormonal akibat dari
gangguan eliminasi ADH.
Gambar 1. Edema pada kwashiokor
43
5) Kelainan Rambut, perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai
bangunnya (texture), maupun warnanya. Sangat khas untuk penderita
kwashiorkor ialah rambut kepala yang mudah tercabut tanpa rasa sakit.
Pada penderita kwashiorkor lanjut, rambut akan tampak kusam, halus,
kering, jarang dan berubah warna menjadi putih. Sering bulu mata menjadi
panjang. Rambut yang mudah dicabut di daerah temporal (Signo de la
bandera) terjadi karena kurangnya protein menyebabkan degenerasi pada
rambut dan kutikula rambut yang rusak. Rambut terdiri dari keratin
(senyawa protein) sehingga kurangnya protein akan menyebabkan
kelainan pada rambut. Warna rambut yang merah (seperti jagung) dapat
diakibatkan karena kekurangan vitamin A, C, E.
Gambar 2. Kelainan rambut pada kwashiorkor
6) Kelainan Kulit, kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan
garis-garis kulit yang lebih mendalam dan lebar. Sering ditemukan
hiperpigmentasi dan persisikan kulit karena habisnya cadangan energi
maupun protein. Pada sebagian besar penderita dtemukan perubahan kulit
yang khas untuk penyakit kwashiorkor, yaitu crazy pavement dermatosis
yang merupakan bercak-bercak putih atau merah muda dengan tepi hitam
ditemukan pada bagian tubuh yang sering mendapat tekanan. Terutama
bila tekanan itu terus-menerus dan disertai kelembapan oleh keringat atau
44
ekskreta, seperti pada bokong, fosa poplitea, lutut, buku kaki, paha, lipat
paha, dan sebagainya. Perubahan kulit demikian dimulai dengan bercak-
bercak kecil merah yang dalam waktu singkat bertambah dan berpadu
untuk menjadi hitam. Pada suatu saat mengelupas dan memperlihatkan
bagian-bagian yang tidak mengandung pigmen, dibatasi oleh tepi yang
masih hitam oleh hiperpigmentasi. Kurangnya nicotinamide dan
tryptophan menyebabkan gampang terjadi radang pada kulit.
Gambar 3. Crazy pavement dermatosis
7) Kelainan Gigi dan Tulang, pada tulang penderita kwashiorkor didapatkan
dekalsifikasi, osteoporosis, dan hambatan pertumbuhan. Sering juga
ditemukan caries pada gigi penderita.
8) Kelainan Hati, pada biopsi hati ditemukan perlemakan, bisa juga
ditemukan biopsi hati yang hampir semua sela hati mengandung vakuol
lemak besar. Sering juga ditemukan tanda fibrosis, nekrosis, dan infiltrasi
sel mononukleus. Perlemakan hati terjadi akibat defisiensi faktor
lipotropik.
9) Kelainan Darah dan Sumsum Tulang, anemia ringan selalu ditemukan
pada penderita kwashiorkor. Bila disertai penyakit lain, terutama infestasi
parasit (ankilostomiasis, amoebiasis) maka dapat dijumpai anemia berat.
45
Anemia juga terjadi disebabkan kurangnya nutrien yang penting untuk
pembentukan darah seperti Ferum, vitamin B kompleks (B12, folat, B6).
Kelainan dari pembentukan darah dari hipoplasia atau aplasia sumsum
tulang disebabkan defisiensi protein dan infeksi menahun. Defisiensi
protein juga menyebabkan gangguan pembentukan sistem kekebalan
tubuh. Akibatnya terjadi defek umunitas seluler, dan gangguan sistem
komplimen.
10) Kelainan Pankreas dan Kelenjar Lain, di pankreas dan kebanyakan
kelenjar lain seperti parotis, lakrimal, saliva dan usus halus terjadi
perlemakan. Pada pankreas terjadi atrofi sel asinus sehingga menurunkan
produksi enzim pankreas terutama lipase.
11) Kelainan Jantung, bisa terjadi miodegenerasi jantung dan gangguan fungsi
jantung disebabkan hipokalemi dan hipomagnesemia.
12) Kelainan Gastrointestinal, gejala gastrointestinal merupakan gejala yang
penting. Anoreksia kadang-kadang demikian hebatnya, sehingga segala
pemberian makanan ditolak dan makanan hanya dapat diberikan dengan
sonde lambung. Diare terdapat pada sebagian besar penderita. Hal ini
terjadi karena 3 masalah utama yaitu berupa infeksi atau infestasi usus,
intoleransi laktosa, dan malabsorbsi lemak. Intoleransi laktosa disebabkan
defisiensi laktase. Malabsorbsi lemak terjadi akibat defisiensi garam
empedu, konjugasi hati, defisiensi lipase pankreas, dan atrofi villi mukosa
usus halus. Pada anak dengan gizi buruk dapat terjadi defisiensi enzim
disakaridase.
13) Atrofi Otot, massa otot berkurang karena kurangnya protein. Protein juga
dibakar untuk dijadikan kalori demi penyelamatan hidup.
14) Kelainan Ginjal, malnutrisi energi protein dapat mengakibatkan terjadi
atrofi glomerulus sehingga GFR menurun.
46
e. Marasmik-Kwashiorkor
Gejala Klinis Kurang Energi Protein (KEP) dari Marasmus-kwashiorkor
pada dasarnya adalah campuran dari gejala marasmus dan kwashiorkor, ciri
khas yang dapat terlihat secara klinis yakni:
1) Beberapa gejala klinik marasmus, terlihat sangat buruk dalam hal Berat
Badan (BB/U) berada dibawah < -3 SD dan bila di konfirmasi dengan
BB/TB dikategorikan sangat kurus: BB/TB < – 3 SD).
2) Kwashiorkor secara klinis terlihat disertai edema yang tidak mencolok
pada kedua punggung kaki.
47
5. PEMERIKSAAN
a. Diabetes Mellitus
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa
darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian diikuti dengan Tes
Toleransi Glukosa Oral standar. Untuk kelompok resiko tinggi DM, seperti
usia dewasa tua, tekanan darah tinggi, obesitas, dan adanya riwayat keluarga,
dan menghasilkan hasil pemeriksaan negatif, perlu pemeriksaan penyaring
setiap tahun. Bagi beberapa pasien yang berusia tua tanpa faktor resiko,
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Tabel interpretasi kadar glukosa darah (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma vena <110 110 – 199 >200
48
Darah kapiler <90 90 – 199 >200
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena <110 110 – 125 >126
Darah kapiler <90 90 – 109 >110
Tes Toleransi Glukosa Oral/TTGO
Tes ini telah digunakan untuk mendiagnosis diabetes awal secara pasti,
namun tidak dibutuhkan untuk penapisan dan tidak sebaiknya dilakukan pada
pasien dengan manifestasi klinis diabetes dan hiperglikemia.
Cara pemeriksaannya adalah :
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien makan seperti biasa
2. Kegiatan jasmani cukup
3. Pasien puasa selama 10 – 12 jam
4. Periksa kadar glukosa darah puasa
5. Berikan glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum
dalam waktu 5 menit
6. Periksa kadar glukosa darah saat ½, 1, dan 2 jam setelah diberi glukosa
7. Saat pemeriksaan, pasien harus istirahat, dan tidak boleh merokok
Pada keadaan sehat, kadar glukosa darah puasa individu yang dirawat
jalan dengan toleransi glukosa normal adalah 70 – 110 mg/dl. Setelah
pemberian glukosa, kadar glukosa akan meningkat, namun akan kembali ke
keadaan semula dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa serum yang < 200 mg/dl
setelah ½. 1, dan 1 ½ jam setelah pemberian glukosa, dan <140 mg/dl setelah
2 jam setelah pemberian glukosa, ditetapkan sebagai nilai TTGO normal.
Tes Benedict
49
Pada tes ini, digunakan reagen Benedict, dan urin sebagai spesimen.
Cara kerja :
1. Masukkan 1 – 2 ml urin spesimen ke dalam tabung reaksi
2. Masukkan 1 ml reagen Benedict ke dalam urin tersebut, lalu dikocok
3. Panaskan selama kurang lebih 2-3 menit
4. Perhatikan jika adanya perubahan warna
Tes ini lebih bermakna ke arah kinerja dan kondisi ginjal, karena pada
keadaan DM, kadar glukosa darah amat tinggi, sehingga dapat merusak
kapiler dan glomerulus ginjal, sehingga pada akhirnya, ginjal mengalami
”kebocoran” dan dapat berakibat terjadinya Renal Failure, atau Gagal Ginjal.
Jika keadaan ini dibiarkan tanpa adanya penanganan yang benar untuk
mengurangi kandungan glukosa darah yang tinggi, maka akan terjadi berbagai
komplikasi sistemik yang pada akhirnya menyebabkan kematian karena Gagal
Ginjal Kronik.
Hasil dari Benedic Test
50
Interpretasi (mulai dari tabung paling kanan) :
0 = Berwarna Biru. Negatif. Tidak ada Glukosa Bukan DM
+1 = Berwarna Hijau. Ada sedikit Glukosa Belum pasti DM, atau DM stadium
dini/awal
+2 = Berwarna Orange. Ada Glukosa Jika pemeriksaan kadar glukosa darah
mendukung/sinergis, maka termasuk DM
+3 = Berwarna Orange tua. Ada Glukosa Positif DM
+4 = Berwarna Merah pekat. Banyak Glukosa DM kronik
Rothera test
Pada tes ini, digunakan urin sebagai spesimen, sebagai reagen dipakai,
Rothera agents, dan amonium hidroxida pekat. Test ini untuk berguna untuk
mendeteksi adanya aceton dan asam asetat dalam urin, yang mengindikasikan
adanya kemungkinan dari ketoasidosis akibat DM kronik yang tidak ditangani.
Zat – zat tersebut terbentuk dari hasil pemecahan lipid secara masif oleh
tubuh karena glukosa tidak dapat digunakan sebagai sumber energi dalam
keadaan DM, sehingga tubuh melakukan mekanisme glukoneogenesis untuk
menghasilkan energi. Zat awal dari aceton dan asam asetat tersebut adalah
Trigliseric Acid/TGA, yang merupakan hasil pemecahan dari lemak.
Cara kerja :
1. Masukkan 5 ml urin ke dalam tabung reaksi
2. Masukkan 1 gram reagens Rothera dan kocok hingga larut
3. Pegang tabung dalam keadaan miring, lalu 1 - 2 mlmasukkan amonium
hidroxida secara perlahan – lahan melalui dinding tabung
4. Taruh tabung dalam keadaan tegak
5. Baca hasil dalam setelah 3 menit
6. Adanya warna ungu kemerahan pada perbatasan kedua lapisan cairan
menandakan adanya zat – zat keton
51
Pemeriksaan Radiografi
Untuk pemeriksaan radiografi, pada penyakit DM didapatkan
manifestasi oral yaitu gigi goyang yang dikarenakan jumlah kolagen yang
berkurang dan mengakibatkan resorpsi tulang alveolar.
(The Book of Oral Radiologi)
b. Obesitas
1) Pemeriksaan Fisik, pengukuran antropometri dapat dilakukan untuk
mengetahui status gizi. Dengan penghitungan BMI (Body Mass Indez)
dapat diketahui golongan dari kondisi tubuh sesorang. Rumus yang
dapat digunakan:
BMI = BB
(TB)2
BB = Berat Badan (dalam kg) TB = Tinggi badan (dalam m)
(Guyton, A.C., John E. Hall, 1997)
NO BMI Klasifikasi
52
1 < 18,5 Underweight
2 18,5 – 24,9 Normal
3 25 – 29,9 Overmeight
4 20 – 34,9 Obese gr I
5 35 – 39,9 Obese gr II
6 > 39,9 Extremely obese
(Budiyanti, 2007)
2) Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium)
LDL : ≥ 160 mg/dL (Normal : < 200 mg/dL)
HDL : ≤ 35 mg/dL (Normal : 35 – 65 mg/dL)
Asam Urat (Normal : ♂: 3 – 7 mg/dL ; ♀: 2,4 – 6 mg/dL)
Trigliserida (Normal : < 150 mg/dL)
Gula Darah puasa (Normal : 110 – 120 mg/dL)
USG : untuk mengetahui penampakan hepar.
Cara pengukuran melalui Diagnosa lemak tubuh melalui 2 tahapan, yaitu:
a. Cara Mengukur Lemak Tubuh. Tidak mudah untuk mengukur lemak tubuh
seseorang. Cara-cara berikut memerlukan peralatan khusus dan dilakukan
oleh tenaga terlatih:
Underwater weight, pengukuran berat badan dilakukan di dalam air
dan kemudian lemak tubuh dihitung berdasarkan jumlah air yang
tersisa.
BOD POD merupakan ruang berbentuk telur yang telah
dikomputerisasi. Setelah seseorang memasuki BOD POD, jumlah
udara yang tersisa digunakan untuk mengukur lemak tubuh.
53
DEXA (dual energy X-ray absorptiometry), menyerupai skening
tulang. Sinar X digunakan untuk menentukan jumlah dan lokasi dari
lemak tubuh.
Bioelectric impedance analysis (analisa tahanan bioelektrik), penderita
berdiri diatas skala khusus dan sejumlah arus listrik yang tidak
berbahaya dialirkan ke seluruh tubuh lalu dianalisa.
Dua cara berikut lebih sederhana dan tidak rumit:
Jangka kulit, ketebalan lipatan kulit di beberapa bagian tubuh diukur
dengan jangka (suatu alat terbuat dari logam yang menyerupai
forseps).
Penyebaran Lemak. Cara lain untuk mengetahui distribusi lemak tubuh
adalah dengan cara melihat bentuk tubuh.
a. Pemeriksaan diagnostic, meliputi:
1) DEXA (dual energy X-ray absorptiometry), menyerupai skening tulang.
Sinar X digunakan untuk menentukan jumlah dan lokasi dari lemak tubuh.
2) BOD POD merupakan ruang berbentuk telur yang telah dikomputerisasi.
Setelah seseorang memasuki BOD POD, jumlah udara yang tersisa
digunakan untuk mengukur lemak tubuh.
3) Jangka kulit, ketebalan lipatan kulit di beberapa bagian tubuh diukur
dengan jangka (suatu alat terbuat dari logam yang menyerupai forseps).
b. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
Test Darah, selama pemeriksaan fisik, dokter akan mengeluarkan tes darah
untuk memeriksa kondisi banyak termasuk diabetes, kolesterol tinggi,
masalah jantung, dan gangguan hati. Dengan tes darah, dokter mungkin
dapat menangkap dan merawat kondisi tertentu sebelum mereka menjadi
masalah.
c. Marasmus, Kwashiorkor, dan Marasmik-Kwashiorkor
Untuk menegakkan diagnosis kelainan nutrisi under nutrition ini bisa
kita lihat melalui pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium. Dari
54
pemeriksaan fisis yang pertama adalah inspeksi, dapat kita lihat fisik penderita
secara umum seperti yang telah dijelaskan diatas antara lain edema dan kurus,
pucat, moon face, kelainan kulit misalnya hiperpigmentasi, crazy pavement
dermatosis. Pada palpasi ditemukan hepatomegali.
Sementara untuk pemeriksaan laboratorium ada beberapa hal yang
penting diperhatikan berupa :
tes darah (Hb, glukosa, protein serum, albumin)
kadar enzim pencernaan
biopsi hati
pemeriksaan tinja & urin
Perubahan yang paling khas adalah penurunan konsentrasi albumin
dalam serum. Ketonuria lazim ditemukan pada tingkat awal karena
kekurangan makanan, tetapi sering kemudian hilang pada keadaan penyakit
lebih lanjut.
Kadar glukosa darah yang rendah, pengeluaran hidrosiprolin melalui
urin,kadar asam amino dalam plasma dapat menurun,jika dibandingkan
dengan asam-asam amino yang tidak essensial dan dapat pula ditemukan
aminoasiduria meningkat.
Kerap kali juga ditemukan kekurangan kalium dan magnesium.Terdapat
juga penurunan aktifitas enzim-enzim dari pancreas dan xantin oksidase,tetapi
kadarnya akan kembali menjadi normal segera setelah pongobatan dimulai.
Pemeriksaan Laboratorium
Hampir semua kasus kwashiorkor memperlihatkan penurunan kadar
albumin, kolestrol dan glukosa dalam serum. Kemudian pada umumnya kadar
imunoglobulin serum normal, bahkan dapat meningkat. Meskipun kadar IgA
sekretori merendah. Gangguan imunitas seluler khususnya jumlah populasi sel
T merupakan kelainan imunologik yang paling sering dijumpai pada
malnutrisi berat.
55
6. MANIFESTASI ORAL
a. Diabetes Mellitus
Pada penderita diabetes mellitus dapat dilihat adanya manifestasi dalam
rongga mulut penderita, misalnya ginggivits dan periodontitis, disfungsi
kelenjar saliva dan xerostomia, infeksi kandidiasis, sindroma mulut terbakar
serta terjadinya infeksi oral akut.
1. Gingivitis dan periodontitis
Gingivitis merupakan inflamasi pada gusi yang mudah untuk
disembuhkan, dimana pada jaringan ginggiva terlihat kemerah-merahan disertai
pembengkakan dan bila disikat dengan sikat gigi akan berdarah. Gingivitis akan
menimbulkan terbentuknya periodontal pocket disertai adanya resorpsi tulang,
sehingga gigi goyang dan akhirnya tanggal.
Gb. Periodontitis pada penderita Diabetes Mellitus
Gb. Gingivitis pada penderita Diabetes Mellitus tipe II
56
2. Xerostomia dan disfungsi kelenjar saliva
Hiperglikemia mengakibatkan meningginya jumlah urin sehingga cairan
dalam tubuh berkurang dan sekresi saliva juga berkurang. Dengan
berkurangnya saliva, dapat mengakibatkan terjadinya xerostomia. Dalam
rongga mulut yang sehat, saliva mengandung enzim-enzim antimikroba,
misalnya : Lactoferin, perioxidase, lysozyme dan histidine yang berinteraksi
dengan mukosa oral dan dapat mencegah pertumbuhan kandida yang
berlebihan. Pada keadaan dimana terjadinya perubahan pada rongga mulut
yang disebabkan berkurangnya aliran saliva, sehingga enzim-enzim
antimikroba dalam saliva tidak berfungsi dengan baik, maka rongga mulut
menjadi rentan terhadap keadaan mukosa yang buruk dan menimbulkan lesi-
lesi yang menimbulkan rasa sakit. Pasien diabetes mellitus yang mengalami
disfungsi kelenjar saliva juga dapat mengalami kesulitan dalam mengunyah
dan menelan sehingga mengakibatkan nafsu makan berkurang dan terjadinya
malnutrisi.
3. Infeksi kandidiasis
Kandidiasis oral merupakan infeksi bakteri oportunistik yang terjadi
dalam keadaan hiperglikemia karena keadaan tersebut dapat menyebabkan
terjadinya disfungsi aliran saliva karena adanya kehilangan cairan dari tubuh
dalam jumlah yang banyak, sehingga aliran saliva juga berkurang. Selain itu,
juga menyebabkan komplikasi berupa microangiopathy yang paling sering
57
muncul pada penderita diabetes mellitus terkontrol atau tidak terkontrol. Oleh
itu, Kandidiasis dapat ditemukan pada penderita diabetes mellitus bila
didukung berbagai faktor yang ada pada penderita diabetes mellitus, seperti
terjadinya defisiensi imun, berkurangnya aliran saliva, keadaan malnutrisi dan
pemakaian gigi tiruan dengan oral hygiene yang buruk.
Gb. Kandidiasis pada penderita Diabetes Mellitus
4. Sindroma mulut terbakar
Pasien dengan sindroma mulut terbakar biasanya muncul tanpa tanda-
tanda klinis, walaupun rasa sakit dan terbakar sangat kuat. Pada pasien dengan
diabetes mellitus tidak terkontrol, faktor yang menyebabkan terjadinya
sindroma mulut terbakar yaitu berupa disfungsi kelenjar saliva, kandidiasis
dan kelainan pada saraf.6,16 Adanya kelainan pada saraf akan mendukung
terjadinya gejala-gejala paraesthesias dan tingling, rasa sakit / terbakar yang
disebabkan adanya perubahan patologis pada saraf-saraf dalam rongga mulut.
5. Infeksi oral akut
Pada penderita diabetes mellitus dapat menyebabkan banyak komplikasi
lain yang masih belum dijumpai, hal ini memungkinkan terjadinya mekanisme
patogen yang berhubungan dengan infeksi-infeksi periodontal yang berperan
penting dalam perkembangan.
b. Obesitas
58
Mekanisme berperannya obesitas sebagai faktor resiko bagi periodontitis
adalah melalui TNF-α (tumor necrosis factor – alpha). TNF-α adalah salah
satu sitokin yang berperan dalam terjadinya penyakit periodontal melalui
aktivitasnya, yang antara lain memicu proliferasi, diferensiasi, dan aktivitas
osteoklas yang berakibat terjadinya resorpsi tulang, dan mengiduksi produksi
proteinase di dalam sel-sel mesenkim yang ikut bertanggung jawab dalam
destruksi jaringan ikat. Sitokin ini telah diteliti pada binatang dan manusia
yang gemuk kadarnya meningkat. Pada penderita periodontitis terjadi
peningkatan level TNF- α, yang akan menurun setelah dilakukan perawatan
periodontal.
Terdapat hubungan antara obesitas dengan TNF- α, dimana peningkatan
level TNF- α akan menjurus ke keadaan hiperinflamatori yang selanjutnya
meningkatkan resiko bagi penyakit periodontal. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa level TNF- α dalam plasma berkaitan secara bermakna dengan BMI
dan glukosa darah. Peningkatan level TNF- α tersebut tampaknya ada kaitan
dengan lokasi obesitasnya. Level TNF- α yang meningkat lebih dijumpai pada
individu dengan obesitas abdominal disbanding dengan obesitas perifer.
c. Marasmus, Kwashiorkor, dan Marasmik-Kwashiorkor
Marasmus dan kwarsiokhor merupakan penyakit malnutrisi akibat
kekurangan gizi (protein). Keduannya tergolong dalam penyakit under nutrisi.
Manifestasi oral yang sering terjadi pada rongga mulut dapat berupa:
1) Stomatitis, Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan radang yang
terjadi pada mukosa mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan. Ulser
ini dapat berupa ulser tunggal maupun lebih dari satu dan dapat terjadi
berulang-ulang pada mukosa mulut tanpa adanya tanda-tanda suatu
penyakit. SAR dapat menyerang selaput lendir pipi bagian dalam, bibir
bagian dalam, lidah, serta palatum dalam rongga mulut. Penyakit ini relatif
ringan karena tidak bersifat membahayakan jiwa dan tidak menular,
namun SAR sangat menganggu.
59
gb. stomatitis
2) Angular cheilitis, resistensi terhadap infeksi mengalami penurunan
sehingga mudah terjadi infeksi pada jaringan periodontal. Salah satunya
berupa angular cheilitis. Angular Cheilitis merupakan suatu keadaan reaksi
inflamasi pada sudut mulut atau komisura labial yang biasanya dimulai
dari mucocutaneous junction dan dapat berlanjut ke kulit.
Dikarakteristikkan sebagai bentuk berfisur, kulit merekah, sensasi rasa
terbakar, dan mengering pada sudut mulut. Angular Cheilitis merupakan
penyakit klinis yang multifaktorial yang dapat disebabkan oleh empat
faktor utama yaitu agen infeksi, faktor mekanikal, defisiensi imun, dan
defisiensi nutrisi yang dapat terjadi secara sendiri atau berupa kombinasi
beberapa faktor. Umumnya pada orang dewasa disebabkan oleh agen
infeksi atau faktor mekanikal, sedangkan pada anak-anak yang lebih
menonjol disebabkan defisiensi nutrisi dan defisiensi imun. Keadaan
tersebut menyebabkan terjadinya sistem imun yang lemah dan
mikroorganisme yang biasa menjadi flora normal seperti Candida albicans
dapat berproliferasi dan menyebabkan infeksi. Infeksi inilah yang dapat
menyebabkan angular cheilitis.
gb. Agular cheilitis
60
3) Glositis Defisiensi, kekurangan zat besi, asam foliat, vitamin B12 (jarang
vitamin B yang lain) dapat menimbulkan nyeri lidah yang tampak normal,
atau tampak merah, serta tidak berpapil. Lidah tampak normal, terlihat lesi
garis atau bercak merah (terutama pada kekurangan vitamin B12), tidak
memiliki papilla, dengan eritema (pada kekurangan zat besi, asam foliat,
atau vitamin B), atau pucat (kekurangan zat besi). Depapilasi lingual
dimulai pada ujung dan tepi dorsum, tetapi nantinya akan mengenai
seluruh bagian dorsum. Ada berbagai pola dari keadaan ini. Selain itu,
juga terlihat ulserasi mulut dan stomatitis angularis.
gb. glossitis
4) Leukoplakia, paling sering menyerang membran mukus pada mulut yang
terjadi karena iritasi. Lesi biasanya akan berkembang pada bagian lidah,
tetapi terkadang berkembang pula pada bagian dalam lidah. Akibat
kekurangan protein, tubuh menjadi kekurangan energy untuk bisa
mensintesis vitamin salah satunya vitamin A. Dampaknya defisiensi
vitamin A diperkirakan dapat mengakibatkan metaplasia dan keratinisasi
dari susunan epitel, terutama epitel kelenjar dan epitel mukosa
respiratorius. Beberapa ahli menyatakan bahwa leukoplakia di uvula
merupakan manifestasi dari asupan vitamin A yang tidak cukup. Apabila
kelainan tersebut parah, gambarannya mirip dengan leukoplakia. Selain
itu, pada percobaan dengan menggunakan binatang tikus, dapat diketahui
bahwa kekurangan vitamin B kompleks akan menimbulkan perubahan
hiperkeratotik.
61
gb. Leukoplakia
5) Gangguan pertumbuhan gigi, protein sangat berperan terutama pada masa
pertumbuhan jaringan termasuk perkembangan gigi sejak awal
pertumbuhannya. Selain itu protein berperan dalam pembentukan antibodi
yang melindungi seluruh jaringan termasuk mukosa mulut dan darerah
sekitarnya terutama dari infeksi. Akibat dari defisiensi protein,
pertumbuhan tulang terganggu sehingga erupsi baik pada gigi permanen
dan sulung menjadi terhambat.
7. PENATALAKSANAAN
a. Diabetes Mellitus
Menurut (Sibbuea, 1997) tujuan penatalaksanan diet pada penderita
diabetes adalah:
1) Memberikan semua unsur makanan esensial (mis. Vitamin dan
mineral)
2) Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
3) Memenuhi kebutuhan energy
4) Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-
cara yang aman dan praktis
5) Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat
6) Mencegah komplikasi akut dan kronik
7) Meningkatkan kualitas hidup
62
Prinsip dasar diit diabetes (Perencanaan Makan Penderita Diabetes
Dengan Sistem Unit, 1997): Prinsip dasar diit diabetes adalah pemberian
kalori sesuai dengan kebutuhan. Cara sederhana untuk mengetahui kebutuhan
dasar adalah sebagai berikut:
Untuk wanita: (Berat Badan Ideal x 25 kalori) ditambah 20 % untuk
aktifitas.
Untuk pria : (Berat Badan Ideal x 30 kalori) ditambah 20 % untuk
aktifitas.
Prinsip kedua adalah menghindari konsumsi gula dan makanan ynag
mengandung gula didalamnya. Sebaiknya juga menghindari konsumsi hidrat
arang hasil dari pabrik yang berupa tepung dengan segala produknya. Hidrat
arang olahan ini akan lebih cepat diubah menjadi gula di dalam darah.
Prinsip ketiga adalah mengurangi konsumsi lemak dalam makanan
sehari-hari. Tubuh penderita diabetes akan lebih mengalami kelebihan lemak
darah, kelebihan lemak ini berasal dari gula darah yang tidak terpakai sebagai
energi.
Prinsip keempat adalah memperbanyak konsumsi serat dalam makanan.
Yang terbaik adalah serat yang larut air seperti pectin (ada dalam buah apel),
segala jenis kacang-kacangan dan biji-bijian (asal tidak digoreng!). serat larut
air ini terbukti dapat menurunkan kadar gula darah. Semua jenis serat akan
memperbaiki pencernaan, mempercepat masa transit usus, serta
memperlambat penyerapan gula dan lemak.
Perencanaan makan bagi penderita diabetes sesuai standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi: Karbohidrat 60-70%, protein
10-15%, lemak 20-25%.makanan dengan komposisi KH sampai 70-75%
masih memberikan hasil yang baik. Jumlah kandungan kolesterol disarankan <
300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh
(MUFA, Mono Unsaturated Fatty Acid) dan membatasi PUFA (Poly
Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat 25
gr/hari, diutamakan serat larut. Pemanis buatan yang tidak bergizi, yang aman
dan dapat diterima untuk digunakan pasien diabetes termasuk yang sedang
63
hamil adalah: sakarin, aspartame, acesulfame, potassium dan sucralose
(PERKENI, 2002). Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status
gizi, umur, ada tidaknya stress akut dan kegiatan jasmani.
b. Obesitas
Menurut (Guntur, 2001) penatalaksaan obesitas yang tepat adalah
melalui empat cara, yaitu:
1) Diet, dianjurkan diet dengan rendah kalori tetapi cukup gizi, ialah 15 – 20
kalori/kg.bb.,dengan komposisi 20% protein, 65% karbohidrat dan 15%
lemak, komposisi tersebut mirip dengan komposisi diet B1 dari Askandar.
2) Olah Raga, di samping mempercepat metabolisme, juga dapat membuat
kondisi tubuh lebih segar dan dapat menambah estetika. Olah raga
dimaksudkan agar jumlah kalori yang dikeluarkan tubuh lebih banyak
daripada jumlah kalori yang masuk. Dengan olah raga yang baik akan
terjadi peningkatan metabolisme.
3) Obat-obatan, obat-obatan yang banyak digunakan untuk obesitas terdiri
dari obat penahan nafsu makan di antaranya adalah golongan amfetamin,
obat yang meningkatkan/mempercepat metabolisme tubuh misalnya
preparat tiroid, obat pemacu keluarnya cairan tubuh misalnya diuretika;
pencahar. Namun obat-obat tersebut bila digunakan dalam jangka panjang
akan menyebabkan efek samping sangat merugikan tubuh. Oleh karena itu
penggunaannya sebaiknya disertai kontrol ketat.
4) Pembedahan, operasi jejuno-ileal by-pass dilakukan memotong sebagian
usus halus yang menyerap makanan, tetapi resikonya cukup besar
sehingga hal tersebut harus dilakukan dengan indikasi yang cukup kuat,
yaitu apabila obesitas tak dapat diobati dengan tindakan konservatif.
Operasi pengambilan jaringan lemak (adipektomi), lebih cenderung
bersifat estetika namun sekarang ini tidak sesuai lagi.
c. Marasmus
64
Tujuan pengobatan pada penderita marasmus adalah pemberian diet
tinggi kalori dan tinggi protein serta mencegah kekambuhan. Penderita
marasmus tanpa komplikasi dapat berobat jalan asal diberi penyuluhan
mengenai pemberian makanan yang baik, sedangkan penderita yang
mengalami komplikasi serta dehidrasi, syok, asidosis dan lain-lain perlu
mendapat perawatan di rumah sakit. Penatalaksanaan penderita yang dirawat
di RS dibagi dalam beberapa tahap.
Tahap awal yaitu 24-48 jam per-tama merupakan masa kritis, yaitu
tindakan untuk menyelamat-kan jiwa, antara lain mengkoreksi keadaan
dehidrasi atau asidosis dengan pemberian cairan intravena. Cairan yang
diberikan ialah larutan Darrow-Glucosa atau Ringer Lactat Dextrose 5%.
Cairan diberikan sebanyak 200 ml/kg BB/hari. Mula-mula diberikan 60 ml/kg
BB pada 4-8 jam pertama. Kemudian 140 ml sisanya diberikan dalam 16-20
jam berikutnya.
Tahap kedua yaitu penyesuaian. Sebagian besar penderita tidak
memerlukan koreksi cairan dan elektrolit, sehingga dapat langsung dimulai
dengan penyesuaian terhadap pemberian makanan. Pada hari-hari pertama
jumlah kalori yang diberikan sebanyak 30-60 kalori/kg BB/hari atau rata-rata
50 kalori/kg BB/hari, dengan protein 1-1,5 g/kg BB/hari. Jumlah ini dinaikkan
secara berangsur-angsur tiap 1-2 hari sehingga mencapai 150-175 kalori/kg
BB/hari dengan protein 3-5 g/kg BB/hari. Waktu yang diperlukan untuk
mencapai diet tinggi kalori tinggi protein ini lebih kurang 7-10 hari. Cairan
diberikan sebanyak 150 ml/kg BB/hari.
Pemberian vitamin dan mineral yaitu vitamin A diberikan sebanyak
200.000. i.u peroral atau 100.000 i.u im pada hari pertama kemudian pada hari
ke dua diberikan 200.000 i.u. oral. Vitamin A diberikan tanpa melihat
ada/tidaknya gejala defisiensi Vitamin A untuk mencegah terjadinya
xeroftalmia karena pada kasus ini kadar vitamin A serum sangat rendah.
Mineral yang perlu ditambahkan ialah K, sebanyak 1-2 Meq/kg BB/hari/IV
atau dalam bentuk preparat oral 75-100 mg/kg BB/hari dan Mg, berupa
MgS04 50% 0,25 ml/kg BB/hari atau magnesium oral 30 mg/kg BB/hari.
65
Dapat diberikan 1 ml vitamin B (IC) dan 1 ml vit. C (IM), selanjutnya
diberikan preparat oral atau dengan diet.
Jenis makanan yang memenuhi syarat untuk penderita malnutrisi berat
ialah susu. Dalam pemilihan jenis makanan perlu diperhatikan berat badan
penderita. Dianjurkan untuk memakai pedoman BB kurang dari 7 kg diberikan
makanan untuk bayi dengan makanan utama ialah susu formula atau susu
yang dimodifikasi, secara bertahap ditambahkan makanan lumat dan makanan
lunak. Penderita dengan BB di atas 7 kg diberikan makanan untuk anak di atas
1 tahun, dalam bentuk makanan cair kemudian makanan lunak dan makanan
padat. Antibiotik perlu diberikan, karena penderita marasmus sering disertai
infeksi. Pilihan obat yang dipakai ialah procain penicillin atau gabungan
penicilin dan streptomycin (Aziz, 2008).
d. Kwashiorkor
Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase
stabilisasi, fase transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil
memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini
digunakan baik pada penderita kwashiorkor.
1. Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan
hingga ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap
penyesuaian ini dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau
lebih lama, bergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan
mencerna makanan. Jika berat badan pasien kurang dari 7 kg, makanan yang
diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama adalah formula yang
dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2% tepung.
Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada,
berikan ASI.
Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti
makanan untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan
66
makanan cair, kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan
keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk
meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari
tiap 2-3 jam.
e. Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan
lewat pipa (per-sonde)
2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik,
secara berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga
konsumsi mencapai 150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram
protein/kg berat badan sehari.
3. Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan
memperoleh makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang
tua hendaknya diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang
mengatur makanan, memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan
kemampuan daya belinya. Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan
adalah :
a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda
hipoglikemia.
b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.
c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat
hipomagnesimia.
d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral
atau 100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin
67
A diberikan dengan dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis
maksimal 400.000 SI.
e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat besi
(Fe) dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya
menyertai KKP berat (Behrman, 2000).
e. Marasmik-Kwashiorkor
1) Marasmus Kwashiokor Ringan, tidak memerlukan perawatan di RS,
mengubah menu makan :2-3 gr protein dan 100-150 kkal/kgBB.
2) Marasmus Kwashiokor Berat, perlu perawatan untuk mencegah
komplikasi, Berdasarkan tanda bahaya dan tanda penting, dibagi:
Kondisi I : Renjatan (syok), letargis, muntah, diare atau dehidrasi.
a) Pasang O2 1-2L/menit,
b) Pasang infuse RLdan D10 % dengan perbandingan 1: 1 (RLG 5 %)
c) Glukosa 10 % intravena (IV) bolus dengan dosis 5 ml/kgBB
bersamaan dengan ReSoMal 5 ml/kgBB melalui NGT.
Kondisi II: letargi, muntah, diare atau dehidrasi, bolus glukosa 10%
intravena, 5 ml/kgBB, lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir
10% melalui NGT sebanyak 50 ml. Berikan ReSoMal dalam 2 jam
pertama secara oral/NGT setiap 30 menit, dengan dosis : 5 ml/kgBB setiap
pemberian. Catat frekuensi nadi, nafas dan pemberian ReSoMal.
Kondisi III: ditemukan muntah dan atau diare atau dehidrasi, berikan 50
ml glukosa atau larutan gula pasir 10 % (oral/NGT). Berikan ReSoMal
dalam 2 jam pertama secara oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5 ml/kgBB
setiap pemberian. Catat frekuensi nadi, nafas dan pemberian ReSoMal
Kondisi IV : ditemukan letargi, bolus glukosa 10% intravena, 5 ml/kgBB,
lanjutkan dengan glukosa atau larutas gula pasir 10 % melalui NGT
sebanyak 50 ml. Berikan F 75 dalam 2 jam pertama setiap 30 menit, ¼
dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat badan(NGT). Catat frekuensi
nadi dan nafas.
68
Kondisi V: tidak ditemukan renjatan (syok), letargi, muntah dan atau diare
atau dehidrasi, berikan glukosa atau larutan gula pasir 10 % melalui NGT
sebanyak 50 ml. Catat nadi, frekuensi nafas dan kesadaran.
Prinsip dasar pengobatan rutin Marasmus Kwashiokor (10 langkah utama):
1) Penanganan hipoglikemi
2) Penanganan hipotermi
3) Penanganan dehidrasi
4) Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
5) Pengobatan infeksi
6) Pemberian makanan
7) Fasilitasi tumbuh kejar
8) Koreksi defisiensi nutrisi mikro
9) Melakukan stimulasi sensorik dan perbaikan mental
10) Perencanaan tindak lanjut setelah sembuh
69
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Penyakit diabetes mellitus dan kelainan nutrisi merupakan penyakit yang
umum dijumpai di masyarakat. Diabetes mellitus biasanya dijumpai pada
orang yang tinggal di perkotaan, dimana tidak diperhatikanya asupan kalori
yang masuk. Diabetes bisa diakibatkan oleh karena kerusakan pancreas dalam
memproduksi insulin ataupun karena gangguan insulin dalam mensistesis
glukosa, selain itu juga disebabkan factor pendukung lain seperti genetic,
penyakit sindrom, neoplasma, dll.
Sedangkan kelainan nutrisi over nutrition disebabkan karena adanya
asupan makanan yang tak terkendali ke dalam tubuh melewati batas yang
dibutuhkan sehingga akhirnya kelebihan makanan tersebut disimpan dalam
bentuk lemak. Obesitas atau over nutrition biasanya bisa dikarenakan oleh
karena keturunan, ataupun pola diet yang salah dengan kurangnya aktivitas
tubuh.
Under nutrition yang bisa dibagi menjadi marasmus, kwashiorkor, dan
marasmik-kwashiorkor diakibatkan karena kekurangan asupan karbohidrat,
protein, ataupun keduanya. Hal ini biasa terjadi di daerah terpencil dimana
masyarakat kurang memahami asupan nutrisi pada anak maupun terjadi di
daerah yang mengalami kesusahan dalam mendapatkan bahan pangan.
Umumnya penderita mengalamu perut yang buncit dan tulang yang sangat
kelihatan seperti tengkorak hidup.
Penatalaksanaan dari semua penyakit ini umumnya mengobati gejala dan
mengeliminasi factor pencetus sehingga diharapkan nantinya Indonesia bisa
menjalankan pembangunan nasional sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan.
70
DAFTAR PUSTAKA
Donna L Wong dkk. 2001. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC
Behrman dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC.
Sibbuea, W. (1997), Perencanaan Makan Penderita Diabetes Dengan sistem
Unit, Jakarta: Infomedika
Girard J, 1995. NIDDM and glucose transport in cells. In ( Assan, R, ed )
NIDDM and glucose transport in cells. Molecular Endocrinology and
Development CNRS Meudon, France: 6 – 16.
Ferrannini E, 1998. Insulin resistance versus insulin deficiency in non insulin
dependent diabetes mellitus: Problems and prospects. Endocrine Reviews 19: 477-
90.
Tjokroprawiro A, 1999. Diabetes mellitus and syndrome 32 (A step forward to
era of globalisation–2003). JSPS-DNC symposium, Surabaya: 1-6.
Ward WD, 1984. Pathophysiology of insulin secretion in non insulin
dependent diabetes mellitus. Diabetes Care 7 : 491 – 502
Laren A et al. 2000. Malnutrition. Classification Pathogenesis, Prevalence and
Prevention. In-Mc Laren.
Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran Pathologic
Basis of Disease. 8th ed. Philadelphia: Saunders, An imprint of Elsevier Inc.
2010; 438-442
Hermawan, A. Guntur . 2001. Komplikasi Obesitas dan Usaha
Penanggulangannya. Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. (vol 2). Edisi 15. Jakarta : EGC
White,Stuart C.1982.Oral Radiologi Principles and Interpretation Fifth
Edition.Missouri:Westline Industrial
Al Homsi MF, Lukic ML. 2000. An Update on the pathogenesis of Diabetes
Mellitus. Faculty of Medicine and Health Sciences, UAE University, Al Ain,
United Arab Emirates.
71
Madson, J.D. dan Eley, B.M.1993.Buku Ajar Periodonti. Alih bahasa:
drg.Anastasia S. Ed.2. Jakarta : Hipokrates.
Daliemunthe, Saidina Hamzah. 2006. Obesitas Sebagai Faktor Resiko
Penyakit Periodontal. Dentika Dental Jurnal, Volume 11 no.2. Hal 184-7.
Fidianingsih, Ika. 2007. Sel Lemak Dan Peranannya Dalam Penyakit. Jurnal
UII, Volume 386. Hal 129-137.
Birnbaum W. 2009. Diagnosis Kelainan dalam Mulut: Petunjuk bagi Klinisi.
Jakarta: EGC.
Carranza F.A., Newman M.G., Takei H.H. 2002. Caranza’s Clinical
Periodontology,9th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Langlais, Robert P. 1998. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang
Lazim. Jakarta: Hipokrates.
Alimul, aziz. 2008. Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan.
Salemba Medika : Jakarta.
Thomas RC, et al. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes.
McGill University Medical School, Montreal, Canada; 2010; 47(2): 51–71
Golden M.H.N., 2001. Severe Malnutrition. Dalam: (Golden MHN ed).
Childhood Malnutrition: Its consequences and mangement. What is the etiology
of kwashiorkor? Surakarta: Joint symposium between Departement of Nutrition &
Departement of Paediatrics Faculty of Medicine, Sebelas Maret University and the
Centre for Human Nutrition, University of Sheffielob UK, 1278-1296.
Pudjiadi, Hegar, Handryastuti dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta:
IDAI.
Rani A, et al.1998. Malnutrition In Children Under Five Years Old at the
Departement of Child Health. Jakarta: Majalah Kedokteran Nusantara.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Diabetes Mellitus. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Jakarta.
Price, SA dan LM Wilson. 1995. Patofisiologi: Konsep, Klinis, Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. EGC. Jakarta.
72