Author
cloude-hollowen
View
150
Download
50
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Teknik Sipil
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008 1
BAB I PERENCANAAN ATAP
1.1. Rencana Gording
Rencana atap pada bangunan merupakan bagian yang sangat penting,
mengingat fungsi dan estetika bangunan yang bersangkutan. Dalam perencanaan
atap perlu dipertimbangkan lebih dulu perencanaan gording dari atap tersebut.
6
A
B2
B
B1
DC
B3
1
L1L1
L1
2
3
L1L1
4
5
b b
bb
GN
a a a a a a a a
GN
S
GN G G GGGGG
IA
IA IA
IA
GN : GUNUNG-GUNUNG
KETERANGAN :
N
KG
SIA
: GORDING C__________
: IKATAN ANGIN Ø____
: KUDA-KUDA RANGKA BAJA
: SAG-ROD Ø_____: NOK 2C__________
K
K
K
K
S
S S
Gambar 1.1 Denah rencana atap
Untuk merencanakan gording perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a) Jarak gording mendatar untuk atap genteng atau sirap antara 1800mm sampai
maksimum 2500mm, sedang untuk atap seng atau asbes antara 1000 sampai
1300mm.
Perencanaan Atap 2
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
b) Bentang gording ditentukan oleh jarak antar kuda-kuda, sebaiknya jarak kuda-
kuda sama dengan jarak kolom struktur. Tetapi kalau tidak memungkinkan
jarak kuda-kuda diambil antara 2500mm sampai 4000mm untuk atap genteng
atau sirap. Untuk atap seng atau asbes jarak kuda-kuda bisa diambil sampai
6000mm.
c) Jumlah sag-rod atau batang tarik penahan beban arah sumbu lemah gording
ditentukan oleh bentang gording (jarak kuda-kuda). Jarak sag-rod ini bisa
diambil maksimum 2000mm.
d) Batang ikatan angin dipasang dengan bentuk silang diantara kuda-kuda. Ikatan
angin ini tidak perlu dipasang pada setiap kuda-kuda, tetapi dapat dipasang
selang-seling.
e) Setelah semua hal tersebut dipertimbangkan, dibuatlah gambar denah rencana
atap seperti pada contoh gambar 1.1.
Setelah denah rencana atap dibuat, kemudian direncanakan gording seperti
dijelaskan gambar 1.2 berikut.
L1
L1
3 3L1
3L1
Beban gording arah sb-3
Beban gording arah sb-2
q sinααP sin
αq cosαP cos
2
α3
Gambar 1.2. Rencana Gording
Beban gording : - berat sendiri = diperkirakan = ……. kN/m’
- berat atap = αcos
ax berat atap = ……. kN/m’
- berat plafon = a x berat plafon = ……. kN/m’
Dead Load (D) rencana gording q = …….. kN/m’
Beban pekerja P diambil sebesar 1,0 kN sebagai beban Live (L)
Rencana momen gording :
( ) ( )
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛+=⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛=
+==
3 sin
41
3 sin
81
cos41 cos
81
1,2
21
,2
1,32
1,3
LPM
LqM
LPMLqM
LD
LD
αα
αα
*,2
,2,2,2
,2,2
*,3
,3,3,3
,3,3
besaryang pilih 6,12,1
4,1
besaryang pilih 6,12,1
4,1
ULDU
DU
ULDU
DU
MMMM
MM
MMMM
MM
⎭⎬⎫
+=
=⎭⎬⎫
+=
=
Kemudian pilih dimensi gording C, dan dari tabel profil diperoleh property
penampang antara lain : I3 = Ix (mm4) ; I2 = Iy (mm4) ; W3 = Wx (mm3) dan W2 = Wy
(mm3)
Perencanaan Atap 3
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
Cek tegangan pada profil C :
yUU
b FW
MW
Mf ≤+=
2
*,2
3
*,3
φφ, jika tidak dipenuhi pilih profil yang lain
dengan nilai φ = 0,9 untuk lentur dan geser (tabel 6.4-2 SNI 03-1729-2002)
Cek defleksi gording :
( ) ( ) 31
41
3
31
41
2 3 sin
481
3 sin
3845 dan
cos481 cos
3845
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛+⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛=+=
LEI
PLEI
qEI
LPEI
Lq ααδαα
δ
122
23 240
1 L≤+= δδδ , sesuai batas lendutan maksimum (tabel 6.4-1 SNI 03-1729-
2002)
Hitungan sag-rod : Jumlah gording di bawah nok pada gambar 1.1 sejumlah n=4 baris, sehingga
gaya sag-rod terbesar ialah : αα sin2
dan sin3 ,
1, PnFq
LnF LtDt =⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛=
Kombinasi beban : *t
,,,
,, besaryang pilih 6,12,1
4,1F
FFFFF
LtDtUt
DtUt
⎭⎬⎫
+=
=(kN)
Luas batang sag-rod yang diperlukan : 23*
mm10.
y
tsr F
FAφ
= → pilih diameter sag-rod
yang dibutuhkan.
Hitungan sag-rod :
Untuk batang ikatan angin biasanya tidak ada hitungan yang terperinci,
biasanya langsung ditentukan dengan mempertimbangkan bentang dan jarak kuda-
kuda. Untuk kasus ini batang ikatan angin ditentukan φ16mm.
1.2. Rencana Beban Kuda-kuda
Untuk merencanakan beban kuda-kuda dapat dilakukan setelah dimensi
gording, sag-rod dan lainnya ditentukan. Dengan melihat denah rencana atap dapat
dibuat bagan kuda-kuda seperti ditunjukkan Gambar 1.3. Lebar tritisan diambil
sebesar b, yang besarnya bervariasi antara 750mm sampai dengan 1250mm.
Beban-beban P1, P2 dan P3 dihitung sesuai dengan jarak gording (lebar atap
yang didukung) dan panjang gording (jarak antara kuda-kuda), yang dijelaskan
seperti berikut. Berat atap dan plafon diambil dari peraturan pembebanan yang
berlaku, untuk berat sendiri kuda-kuda diperkirakan 0,50 kN/m’.
Perencanaan Atap 4
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
aaaaaaaa
α
P1
2P
P2
P2
P3
2P
2P
P2
1P
bb
Gambar 1.3. Bagan rencana kuda-kuda
Beban P1 : - berat sendiri kuda-kuda = 2a
x berat kuda-kuda = ……. kN
- berat gording = L1 x berat gording per-m’ = ……. kN
- berat atap = αcos
2⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ + ba
x L1 x berat atap = ……. kN
- berat plafon = ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ + ba2
x L1 x berat palfon = ……. kN
Beban P1 = ……. kN Beban P2 : - berat sendiri kuda-kuda = a x berat kuda-kuda = ……. kN - berat gording = L1 x berat gording per-m’ = ……. kN
- berat atap = αcos
a x L1 x berat atap = ……. kN
- berat plafon = a x L1 x berat palfon = ……. kN Beban P2 = ……. kN Beban P3 : - berat sendiri kuda-kuda = a x berat kuda-kuda = ……. kN - berat gording = 2 x L1 x berat gording per-m’ = ……. kN
- berat atap = αcos
a x L1 x berat atap = ……. kN
- berat plafon = a x L1 x berat palfon = ……. kN Beban P3 = ……. kN
Beban P1, P2 dan P3 tersebut adalah beban mati (D), beban hidup (L) diambil
sesuai ketentuan dalam Peraturan Pembeban, dalam hal ini diambil sebesar 1,0 kN
pada setiap joint.
Untuk beban angin ditentukan koefisien angin tiup (Cti) dan angin isap (Cis)
sesuai dalam Peraturan Pembebanan, dan dijelaskan pada gambar 1.4. Beban angin
dikerjakan pada tiap joint atas kuda-kuda seperti dijelaskan berikut.
Perencanaan Atap 5
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
b b
1W
α
a a a a a a a a
isC
aaaaaaaa
α
Cti
bb
(a) Koefisien beban angin
(b) Beban angin dari kiri pada joint
W2
W2
W2
W3 4WW5
5W
5W
W6
6W
W5
W5
5WW4 3W
2W
2W
2W
(c) Beban angin dari kanan pada joint
aaaaaaaa
α
W1
bb
Gambar 1.4. Bagan rencana kuda-kuda
Beban angin dari kiri, besarnya W1, W2, W3, W4, W5 dan W6 dihitung sesuai
dengan besar tiupan angin (Qw), koefisien beban angin (Cti atau Cis), jarak gording
(lebar atap yang didukung) dan panjang gording (jarak antara kuda-kuda), yang
dijelaskan seperti berikut.
Beban W1 =αcos
2⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ + ba
x Cti x L1 x Qw = ……. kN
Beban W2 = αcos
a x Cti x L1 x Qw = ……. kN
Beban W3 =αcos2
1 a x Cti x L1 x Qw = ……. kN
Beban W4 = αcos2
1 a x Cis x L1 x Qw = ……. kN
Perencanaan Atap 6
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
Beban W5 = αcos
a x Cis x L1 x Qw = ……. kN
Beban W6 = αcos
2⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ + ba
x Cis x L1 x Qw = ……. kN
Untuk beban angin dari kanan, beban-beban W1, W2, W3, W4, W5 dan W6
arahnya dibalik seperti dijelaskan pada gambar 1.4( c).
Dari bentuk kuda-kuda dan beban-beban yang telah ditentukan, kemudian
dibuat model dalam 2 dimensi menggunakan soft-ware SAP2000 atau yang lain,
untuk diketahui defleksi dan gaya-gaya dalamnya. Setelah defleksi di-cek terhadap
syarat dalam SNI 03-1729-2002 bab 6.4.3, kemudian dibuat tabel gaya batang
seperti yang dijelaskan pada tabel 1.1.
Tabel 1.1. Rencana gaya-gaya batang pada kuda-kuda
No Batang
Panjang (mm)
Beban DL (kN
Beban LL (kN)
Beban Angin
Kiri Wki (kN)
Beban Angin
Kanan Wka (kN)
1,4DL 1,2DL + 1,6 LL
1,2DL + 1,3 Wki + 0,5 LL
1,2DL + 1,3 Wka + 0,5 LL
Gaya rencana
(kN)
[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11)
1
2
3
4
5
6
7
dst
Tabel 1.1 tersebut merupakan kombinasi pembebanan untuk kuda-kuda
sesuai SNI 03-1729-2002 bab 6.2.2. Gaya-gaya rencana pada kolom 11, diperoleh
dari kombinasi yang diberikan pada kolom 7, 8, 9 dan 10, dipilih yang terbesar.
1.3. Rencana Elemen Kuda-kuda
Pada perencanaan elemen kuda-kuda ada dua hal yang perlu diperhatikan.
Pertama adalah perencanaan elemen tarik (tanda positif), dan perencanaan elemen
tekan (tanda negatif).
Perencanaan Atap 7
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
Untuk perencanaan elemen tarik dapat digunakan persamaan (10.1.1-1) pada
SNI 03-1729-2002 sebagai berikut.
yg
ut f
AN
f ≤= φ
, dengan nilai φ = 0,9 (1-1)
dan syarat kelangsingan:
r
Lk=λ <300 untuk elemen sekunder (1-2a)
rLk=λ <240 untuk elemen primer (1-2b)
dengan : ft = tegangan tarik (MPa) Nu = gaya aksial tarik rencana (N) Ag = luas penampang bruto profil (mm2) λ = angka kelangsingan Lk = panjang elemen (mm) r = jari-jari girasi minimum (mm)
Untuk perencanaan elemen tekan dapat digunakan persamaan (9.3-6) pada
SNI 03-1729-2002 sebagai berikut.
yg
uc f
AN
f ≤=
φω
, dengan nilai φ = 0,85 (1-3)
dan syarat kelangsingan:
r
Lk=λ <200 untuk elemen struktur tekan (1-4)
nilai ω dihitung dengan persamaan (7.6-5) SNI 03-1729-2002 seperti berikut: untuk λc < 0,25 maka ω = 1
untuk 0,25 < λc < 1,2 maka ω = cλ67,06,1
43,1−
untuk λc > 1,2 maka ω = 1,25(λc )2
dengan nilai Ef
rL yk
c πλ 1
=
Keterangan : fc = tegangan tarik (MPa) Nu = gaya aksial tekan rencana (N) Ag = luas penampang bruto profil (mm2) λ = angka kelangsingan Lk = panjang elemen (mm) r = jari-jari girasi minimum (mm) 1.4. Rencana Sambungan Elemen Kuda-kuda
Untuk perencanaan sambungan elemen kuda-kuda ada dua macam
sambungan yang digunakan, ialah sambungan baut dan sambungan las. Dua
macam sambungan ini dipilih karena dalam praktik banyak dijumpai. Sebenarnya
disamping dua macam sambungan tersebut masih ada macam sambungan yang
Perencanaan Atap 8
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
lain, seperti misalnya sambungan paku keling, tetapi sambungan ini untuk saat ini
sudah jarang dijumpai.
Untuk merencanakan sambungan harus diikuti ketentuan dalam SNI 03-
1729-2002 bab 13, khususnya bab 13.1.3, 13.1.4, 13.2 sampai 13.5. Pada bab
13.1.4 butir b).(iii) sambungan sendi pada balok sederhana harus diperhitungkan
gaya geser minimum sebesar 40 kN.
Pada sambungan baut perlu diperhitungkan terhadap kegagalan geser dan
kegagalan tumpu. Dari kedua hal tersebut diambil nilai yang menentukan, ialah
nilai yang kecil.
Pada kegagalan geser kuat geser rencana baut dihitung sesuai persamaan
(13.2-2) dari SNI 03-1729-2002 sebagai berikut:
bbufd AfrV 1φ= dalam (N) (1-5)
dengan : φf = faktor reduksi kekuatan untuk fraktur sebesar 0,75 r1 = 0,5 untuk baut tanpa ulir pada bidang geser r1 = 0,4 untuk baut dengan ulir pada bidang geser fub = tegangan tarik putus baut (MPa) Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir (mm2)
Pada kegagalan tumpu kuat tumpu rencana baut tergantung pada yang
terlemah dari baut atau komponen pelat yang disambung. Apabila jarak lubang tepi
terdekat dengan sisi pelat dalam arah kerja gaya lebih besar dari 1,5 kali diameter
lubang, jarak antar lubang lebih besar dari 3 kali diameter lubang, dan ada lebih
dari satu baut dalam arah kerja gaya, maka kuat rencana tumpu dihitung sesuai
persamaan (13.2-7) dari SNI 03-1729-2002 sebagai berikut:
upbfd ftdR 4,2 φ= dalam (N) (1-6)
dengan : φf = faktor reduksi kekuatan untuk fraktur sebesar 0,75 db = diameter baut (mm) tp = tebal pelat terkecil yang disambung (mm) fu = tegangan tarik putus yang terendah antara baut atau pelat (MPa) Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir (mm2)
Catatan: untuk tebal tp ditentukan dengan memilih antara 2 kali tebal siku dan 1 kali tebal pelat simpul, kemudian dipilih yang terkecil.
Perencanaan Atap 9
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
siku
pelat sambung/ pelat simpul
2 bidang geser baut
Gambar 1.5. Penampang geser baut
Untuk menghitung jumlah baut dipilih nilai yang terkecil antara kuat geser
baut dan kuat tumpu pelat. Dari persamaan (1-5), karena pada kasus ini ada dua
bidang geser, maka kuat geser baut menjadi 2Vd, dan kuat tumpu pelat pada
persamaan (1-6) tetap Rd , maka nilai 2Vd dan Rd dipilih yang terkecil, hal ini
dijelaskan pada gambar 1.5, kemudian jumlah baut dihitung dengan :
dd
ub RV
Nn
atau 2= (1-7)
dengan : nb = jumlah baut, minimal 2 buah baut Nu = gaya elemen yang disambung (N) 2Vd = dua kali kuat geser baut (N) Rd = kuat tumpu pelat (N)
Jarak baut ditentukan sesuai bab 13.4 SNI 03-1729-2002, yang dijelaskan
bahwa jarak antar pusat lubang pengencang tidak boleh kurang dari 3 kali diameter
nominal pengencang. Jarak dari tepi pelat sampai pusat pengencang harus dipenuhi
seperti pada tabel 13.4-1 sesuai SNI 03-1729-2002, sedang jarak maksimum
ditentukan seperti pada bab 13.4.3 dan 13.4.4 pada SNI 03-1729-2002.
Jenis sambungan las dibedakan dalam las sudut, las tumpul, las pengisi atau
las tersusun. Las tumpul ialah jenis sambungan las dimana terdapat penyatuan
antara las dan bahan induk sepanjang kedalaman penuh sambungan. Las sudut
ialah jenis sambungan las dimana las mengisi sisi-sisi diantara dua bahan yang
disambung. Las pengisi ialah jenis las sudut disekeliling lubang bulat atau selot.
Untuk jelasnya dapat dilihat gambar 1.6.
Perencanaan Atap 10
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
ltwt
tw
(a) Las tumpul (b) Las sudut
Gambar 1.6. Macam sambungan las
Macam elektroda las (kawat las) dijelaskan pada Persyaratan Umum Bahan
Bangunan di Indonesia (PUBI-1982). Kawat las yang banyak digunakan dalam
praktik adalah E420-xx dan E490-xx dalam satuan SI. Dalam satuan psi E420-xx
setara dengan E60-xx, dan E490-xx setara dengan E70-xx.
Beberapa penjelasan yang penting diberikan apda tabel 1.2 dan 1.3 berikut.
Tabel 1.2 Klasifikasi Elektrofa Las
Klasifikasi Jenis lapisan Posisi pengelasan *) Jenis arus **)
E420-10 Natrium, Selulosa tinggi F, H, V, OH DC+
E420-11 Kalium, Selulosa tinggi F, H, V, OH AC atau DC+
E420-12 Natrium, Titania tinggi F, H, V, OH AC atau DC−
E420-13 Kalium, Titania tinggi F, H, V, OH AC atau DC+
E420-20 Oksida besi tinggi F, H-las sudut
AC atau DC+ AC atau DC−
E420-27 Oksida besi Serbuk besi
F, H-las sudut
AC atau DC+ AC atau DC−
E490-14 Serbuk, Titania F, H, V, OH AC atau DC+
E490-15 Natrium Hydrogen rendah F, H, V, OH DC+
E490-16 Kalium Hydrogen rendah F, H, V, OH AC atau DC+
E490-18 Serbuk besi, Hydrogen rendah F, H, V, OH AC atau DC+
E490-24 Serbuk besi, Titania F, H las sudut AC atau DC+
E490-28 Serbuk besi, Hydrogen rendah F, H las sudut AC atau DC+ Diambil dari tabel 80-1 dan tabel 80-2 PUBI-1982 *) F=posisi bawah tangan, V=poisi vertikal, H=posisi horisontal, OH=posisi di atas kepala **) DC+=arus searah elektroda di positif, DC−=arus searah elektroda di negatif, DC+=arus searah elektroda di positif
atau negatif, AC=arus bolak-balik
Perencanaan Atap 11
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
Tabel 1.3 Kuat tarik dan batas ulur Elektrofa Las
Klasifikasi Kuat tarik minimum (MPa)
Batas Ulur min. (MPa)
Regangan min. (%) pada L0=5d0
E420-10 436 351 22
E420-11 436 351 22
E420-12 471 387 22
E420-13 471 387 22
E420-20 436 351 22
E420-27 436 351 22
E490-14 506 422 22
E490-15 506 422 22
E490-16 506 422 22
E490-18 506 422 22
E490-24 506 422 22
E490-28 506 422 22 Diambil dari tabel 80-4 PUBI-1982
Pada sambungan profil siku terlebih dahulu ditentukan gaya yang didukung
las seperti yang dijelaskan pada gambar 1.7 sebagai berikut.
2 sisi las
pelat sambung/ pelat simpul
siku
eL
Nu,1
u,2N
garis netral profilNu
h - ce
ech
Gambar 1.7. Sambungan las pada profil siku
Besarnya gaya rencana untuk sambungan las ditentukan sebagai berikut :
( )h
chNN eu
u−
=1, (1-8a)
( )hcN
N euu =2, (1-8a)
dengan : Nu = gaya elemen rencana (N) h = tinggi profil siku (mm) ce = jarak garis netral (mm), ada pada tabel profil Nu,1 = gaya rencana 1 (N) Nu,2 = gaya rencana 2 (N) → Nu,1 dan Nu,2 dipilih yang besar
Perencanaan Atap 12
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
Pada sambungan kuda-kuda dengan menggunakan profil siku ganda ini jenis
las yang sesuai adalah las sudut. Ukuran tebal las (tl) minimum pada las sudut
diberikan pada tabel 13.5-1, sedangkan ukuran tebal las maksimum diberikan pada
bab 13.5.3.3 sesuai SNI 03-1729-2002. Panjang efektif las sudut diatur pada bab
13.5.3.5, dan jarak las sudut diatur pada bab 13.5.3.7 dan 13.5.3.8 sesuai SNI 03-
1729-2002.
SIKU 2L100
A SIKU 2L50
SIKU 2L60
PLAT TUMPU 10mmPLAT SIMPUL 8mm
ANGKUR 2Ø16mm
PLAT TUMPU 10mm
POTONGAN A
300300
250
DETAIL DUDUKAN KUDA-KUDASKALA 1 : 20
200
SKALA 1 : 20
ANGKUR 2Ø16mm
LAS
SIKU 2L100SIKU 2L50
(a) Detail dudukan kuda-kuda
SIKU 2L50
SIKU 2L50
DETAIL SAMBUNGAN BAUTSKALA 1 : 10
80 80
SIKU 2L50
8080
2 4 - 80 BAUT Ø12mm
SIKU 2L50
SIKU 2L50
SIKU 2L50
254025
402525
2540
25
252540
SKALA 1 : 10DETAIL SAMBUNGAN LAS
(b) Detail sambungan kuda-kuda
Gambar 1.8. Contoh detail sambungan kuda-kuda siku
Kuat rencana las sudut dapat diambil sesuai persamaan (13.5-3a) dan (13.5-
3b) SNI 03-1729-2002 sebagai berikut.
)6,0( 75,0 uwlfu ftR φ= → (untuk las) (1-9a)
atau )6,0( 75,0 ulfu ftR φ= → (untuk bahan dasar) (1-9b)
dengan : Ru = kekuatan las (N/mm’)
Perencanaan Atap 13
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
φf = faktor reduksi kekuatan saat fraktur sebesar 0,75 fuw = tegangan tarik putus logam las (MPa) tl = tebal las seperti gambar 1.6 fu = tegangan tarik putus logam bahan dasar (MPa)
Kekuatan sambungan las (Ru) dipilih yang terkecil antara persamaan (1-9a)
dan persamaan (1-9b), kemudian panjang efektif las Le ditentukan dengan :
u
ue R
NL
21,= (1-10a)
Secara teori panjang las pada gaya Nu,2 adalah lebih kecil dibanding dengan
panjang las pada gaya Nu,1 , tetapi dalam praktik panjang las ini dibuat sama sebsar
Le. Hal ini adalah untuk memudahkan dalam pengawasan dan untuk menghindari
kesalahan dari tukang bajanya, misalnya terbalik.
Contoh gambar kuda-kuda baja dan detail sambungan diberikan pada
gambar 1.8 dan gambar 1.9.
Perencanaan Atap 14
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
50x5
0x5
50x5
0x5
50x5
0x5
60x6
0x6
SKA
LA 1
: 50
+8.5
00
60x6
0x6
50x50x5
C15
0x65
x20x
3
50x50x5
RE
NC
AN
A K
UD
A-K
UD
A B
AJA
KU
DA
-KU
DA
KE
TER
AN
GA
N :
PLA
T K
OP
EL
TEB
AL
5mm
JA
RA
K M
AK
S. 5
00m
m
50x50x5
50x50x5
50x50x5
60x6
0x6
1569
1569
1569
1569
1569
1569
2717
50x5
0x5
50x5
0x5
50x5
0x5
60x6
0x6
60x6
0x6
60x6
0x6
100
mm
4 m
m
80 m
m4
mm
PA
NJA
NG
LA
STE
BA
L LA
S
KB
60x6
0x6
50x5
0x5
8mm
PR
OFI
LP
LAT
SIM
PU
LS
AM
BU
NG
AN
LA
S S
UD
UT
2
4 - 1
002
4
- 80
50x50x5
50x50x5
50x50x5
50x50x
5
Gam
bar
1.9
Con
toh
ren
can
a ku
da-k
uda
baj
a si
ku
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008 15
BAB II PERENCANAAN TANGGA DAN PELAT
2.1. Denah Ruang Tangga
Untuk merencanakan tangga terlebih dahulu ditentukan denah ruang tangga
seperti yang dijelaskan seperti pada gambar 2.1.
NAIKL1
2
3
B2
L12Ltg
1
B C
(a) Denah ruang tangga (b) Detail anak tangga
Optrede
Antrede
balok tangga
h tg
Gambar 2.1 Perencanaan tangga
Untuk merencanakan ruang tangga perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a) Menentukan lebar bordes yang besarnya minimum adalah selebar tangga, jadi dalam
hal ini lebar bordes ialah setengah lebar dari L1.
b) Menentukan tinggi optrede (O) yang besarnya antara 150mm sampai 200mm,
sehingga jumlah anak tangga antar lantai adalah tinggi lantai dibagi dengan O
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛=
Oh
n lttg . Sedapat mungkin besarnya O merupakan bilangan bulat dalam ukuran
milimeter.
c) Besarnya antrede (A) ditentukan 280mm atau 300mm, sehingga lebar tangga Ltg
adalah AOhlt ⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛−1
21
d) Sudut kemiringan tangga adalah ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛= −
AO1tanα
Perencanaan Tangga Dan Pelat 16
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
2.2. Rencana Beban Tangga
Untuk merencanakan beban tangga dapat dilakukan setelah dimensi ruang
tangga dan sudut kemiringan tangga diperoleh, kemudian tebal pelat tangga (htg)
diperkirakan. Beban yang bekerja pada tangga dijelaskan seperti pada gambar 2.2 dan
ditentukan sebagai berikut.
qtg
bdq
Ltg 2L1
B1 C Gambar 2.2. Potongan 1 tangga dan beban tangga
Beban qtg : - berat sendiri tangga = αcos
tgh x berat volume beton = ……. kN/m2
- berat anak tanga = O21 x berat volume beton = ……. kN/m2
- berat ubin & spesi = 0,05 x berat volume ubin = ……. kN/m2 - berat railling (diperkirakan) = 1,00 kN/m2 Beban qtg = ……. kN/m2 Beban qbd : - berat sendiri tangga = htg x berat volume beton = ……. kN/m2
- berat ubin & spesi = 0,05 x berat volume ubin = ……. kN/m2 - berat railling (diperkirakan) = 1,00 kN/m2 Beban qbd = ……. kN/m2
Setelah beban tangga ditentukan, kemudian untuk menghitung gaya-gaya
rencana dapat digunakan bantuan soft-ware SAP200, atau dihitung secara manual dan
kemudian digambarkan SFD, BMD seperti ditunjukkan pada gambar 2.3.
Gambar 2.3. Gambar SFD dan BMD tangga dari SAP2000
(a) SFD (b) BMD
Perencanaan Tangga Dan Pelat 17
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
2.3. Rencana Penulangan Tangga
Untuk merencanakan penulangan tangga dilakukan setelah gaya-gaya rencana
tangga, antar lain : momen dan geser dihitung. Dari gaya-gaya rencana tersebut
kemudian dihitung luas tulangan tangga, dan di-cek tebal tangga (htg) terhadap gaya
geser rencana.
urLLDLu
DLu MMMM
MM→
⎭⎬⎫
+==
besaryang kombinasi dipilih 6,12,1
4,1
urLLDLu
DLu VVVV
VV besaryang kombinasi dipilih
6,12,14,1
→⎭⎬⎫
+==
Dari Mur diperoleh luas tulangan tangga Atg dalam mm2, dan Vur digunakan untuk cek
ketebalan tangga (htg) dengan Vc > Vur . Jika Vc < Vur maka tebal tangga perlu diperbesar.
Contoh gambar penulangan tangga diberikan seperti gambar 2.4. berikut.
DETAIL PENULANGAN TANGGA (POT. 1-1)SKALA 1 : 20
3400
G
TEBAL PLAT TANGGA 130mm
P8150
P8-200
D13-300
P8-200
D13-150
650
150±0.000
D13-150150
150
1000
P8-200
D13-150
150
70
200 150
P8-200
D13-150
P8-200
D13-150
-1.800
300300
150
150
150
300 300
P6-200D13-300
300 300 300
BALOK BORDES
+1.050D13-150
P8-200D13-300
P8-200
1300
LANTAI KERJA
Gambar 2.4. Contoh gambar penulanagan tangga
Pondasi tangga direncanakan dengan mempertimbangkan daya dukung ijin
tanah. Untuk merencanakan dimensi pondasi tangga dapat dilakukan langkah berikut.
Beban tangga pada pondasi adalah:
Perencanaan Tangga Dan Pelat 18
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
- beban mati (DL) tangga pada dukungan B1 = ………. kN/m’ - beban hidup (LL) tangga pada dukungan B1 = ………. kN/m’ - beban dinding/sloof tangga = btg x d x γbeton = ………. kN/m’ +
Beban Qtg = ……….... kN/m’
hpondasi
tgQ
B
e B22
B( e)
d
muka tanah
btg
B
Qtg
max min
(a) Beban tangga (b) Tegangan pada tanah
Gambar 2.5. Beban pondasi tangga dan tegangan tanah
Tegangan tanah ijin dikurangi dengan berat tanah dan berat sendiri pondasi akan
diperoleh tegangan tanah neto seperti berikut:
( )( ) ( )betonpondasiahpondasiahneto hhd γγσσ −−−= tantan (2-1)
Lebar pondasi tangga (=B) diperkirakan, dan panjang tegak lurus bidang gambar
dianggap 1 satuan panjang (1 meter), kemudian di-cek tegangan pada tanah yang terjadi:
netotgtg
BeQ
BQ
σσ ≤+= 2max
)(6 (2-2a)
dan 0)(
6 2min ≥−=B
eQB
Q tgtgσ (2-2b)
Untuk merencanakan penulangan pelat pondasi tangga, dihitung tegangan
terfaktor sebagai berikut:
- beban mati (DL) tangga pada dukungan B1 x 1,2 = ………. kN/m’ - beban hidup (LL) tangga pada dukungan B1 x 1,6 = ………. kN/m’ - beban dinding/sloof tangga = btg x d x γbeton x 1,2 = ………. kN/m’ +
Beban Qutg = ……….... kN/m’
Selanjutnya dihitung tegangan max dan min seperti pada persamaan (2-2a) dan
(2-2b), dengan menggantikan Qtg dengan Qutg. Momen dan geser rencana pada pelat
pondasi dihitung sebagai berikut:
( ) 2minmax
21
2221
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −+
+= tg
uuu beBM
σσ dan
( )⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −+
+= tg
uuu beBV
21
22minmax σσ
Selanjutnya dapat direncanakan tulangan pelat pondasi dari Mu, dan cek ketebalan pelat
pondasi dari gaya geser pelat pondasi Vu.
Perencanaan Tangga Dan Pelat 19
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
2.4. Rencana Pelat Lantai
Untuk merencanakan pelat lantai terlebih dahulu ditentukan denah rencana pelat
lantai, lengkap dengan balok-balok anak. Sebagai contoh diberikan pada gambar 2.6.
Dari denah rencana pelat tersebut kemudian direncanakan pembebanan pelat seperti
ditunjukkan pada tabel 2.1.
L1L1
6
4
5
L1L1
1
2
3
L1
DC
B2
B
B1
A
B3
A B C
CA
CBA
CBA
CBA
Gambar 2.6. Denah rencana pelat lantai
Yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pelat ini adalah menentukan tebal
pelat yang akan direncanakan. Bab 11.5 pada SNI 03-2847-2002 menjelaskan tentang
lendutan dan tebal minimum balok dan pelat, sedang pada bab 15 dijelaskan tentang
perencanan pelat dua arah.
Untuk menggambar penulangan pelat, sebaiknya tidak terlalu banyak variasi
macam penulangan pelat. Hal ini untuk memudahkan dalam praktik, disamping juga
untuk memudahkan pengawasan di lapangan. Secara teori memang bisa saja macam
penulangan pelat terdiri dari banyak variasi, dengan maksud untuk menghemat baja
tulangan yang digunakan. Namun hal tersebut dalam praktiknya justru akan
mempersulit pemasangan dan juga menyulitkan dalam pengawasannya.
Pada gambar 2.7 dan 2.8 diberikan contoh gambar penulangan pelat, dengan dua
alternatif untuk dipilih. Pada gambar tersebut dianggap variasi tulangan tipe A, B dan C
pada gambar 2.6 disamakan. Walaupun sebenarnya tulangan pelat tipe A dan C jarak
Perencanaan Tangga Dan Pelat 20
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
tulangannya lebih besar secara teori daripada pelat tipe B, tetapi dalam praktik dibuat
sama, untuk memudahkan dalam pelaksanaan.
Tabel 2.1 Contoh pembebanan pada masing-masing fungsi pelat
Fungsi Macam Tebal B. Vol B. Mati, D B.Mati Plat B.Hidup, L Wu=1,2D+1,6L
Plat Pembebanan mm kN/m3 kN/m2 kN/m2 kN/m2 kN/m2
1. Beban sendiri 100 24 2,400
Atap 2. Beban pasir - - -
3. Beban ubin + spesi - - -
4. Beban plafon - - 0,180
5. Lain-lain -> finishing (wp) 20 21 0,420
Total 3,00 0,600 1,000 5,200
1. Beban sendiri 120 24 2,880
Lantai 2. Beban pasir 50 18 0,900
3. Beban ubin + spesi 50 21 1,050
4. Beban plafon - - 0,180
5. Lain-lain
Total 5,010 2,130 2,50 10,012
Tabel 2.2 Contoh analisis penulangan pelat
Ly Koef. Mu Vu φ Vc A Dipasang Tipe Plat
Kondisi Tumpuan Lx
Arah 0,001x kN.m kN kN mm2 T. Pokok mm2 T.Bagi
Atap
A
1,7
Mlx Mtx
59 1) 59
0,940 0,940
4,550
44,7 2)
200 3)
φ 8-200
250
φ 6-200
Wu= 5,200kN/m2
Ly = 3000 Lx = 1750 ht = 120mm
Mly Mty
36 36
0,573 0,573
200 φ 8-200 250 φ 6-200
Lantai
B
2,0
Mlx Mtx
62 62
5,587 5.587
15,018
55,9
298
φ 8-150
333
φ 6-200
Wu= 10,012 kN/m2
Ly = 6000 Lx = 3000 ht = 120mm
Mly Mty
35 35
3,154 3,154
240 φ 8-150 333 φ 6-200
Lantai
C
1,5
Mlx Mtx
56 56
2,243 2,243
10,012
55,9
240
φ 8-150
333
φ 6-200
Wu= 10,012 kN/m2
Ly =3000 Lx = 2000 ht = 120mm
Mly Mty
37 37
1,482 1,482
240 φ 8-150 333 φ 6-200
1) Koefisien momen diambil dari Peraturan Beton Indonesia (PBI) tahun 1971 untuk pelat dengan tumpuan monolit di ke-empat sisi
2) Kuat geser beton Vc berdasarkan pada fc’ = 20 MPa 3) Luas tulangan berdasarkan pada mutu baja fy = 240 MPa
Perencanaan Tangga Dan Pelat 21
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
P6-200
P6-200
P6-2
00
P6-
200
P6-2
00
P6-2
00
P6-200
P6-200
P6-200
P8-
150
P8-150
P8-1
50
P8-1
50
P8-1
50
P8-1
50
5
640
0040
00
300060003000DCBA
4
P8-150 P8-150
P8-1
50P8-150
P8-
150
P8-
150
P8-
150
P6-2
00
P6-
200
P8-150
h = 120 mm
Gambar 2.7. Contoh gambar penulangan pelat lantai alternatif 1
4
P8-
300
P8-
300
P8-
150
P8-
150
P8-
150
P8-300
P8-300P8-300
P8-300
P8-300
P8-300
P8-300P8-300
P8-
300
P8-
300
P8-
300
P8-
300
P8-
300
P8-
300
P6-200
P6-200
P6-200
P6-
200
P6-
200
P6-
200
P6-
200
P6-200
P6-200
A B C D3000 6000 3000
4000
4000
6
5
h = 120 mm
P8-
150
P8-
300
P8-
300
Gambar 2.8. Contoh gambar penulangan pelat lantai alternatif 2
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008 22
LAMPIRAN - LAMPIRAN 1. Profil Kanal C Tipis
Perencanaan Atap 23
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
2. Profil Siku Sama-kaki
Perencanaan Atap 24
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
3. Gambar Balok Anak
Perencanaan Atap 25
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
4. Gambar Portal
Perencanaan Atap 26
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
5. Gambar Denah Pondasi & Sloof
Perencanaan Atap 27
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
6. Gambar Detail Pondasi