15
TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. 1 B. Epidemiologi Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki- laki. Hal ini disebabkan lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. 1 C. Faktor Risiko Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan

ppok-dafpus

Embed Size (px)

DESCRIPTION

free

Citation preview

Page 1: ppok-dafpus

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya.1

B. Epidemiologi

Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita.1

C. Faktor Risiko

Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.2

Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor genetik.2

Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok.3

Page 2: ppok-dafpus

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK.2

D. Patogenesis

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas

vital paksa (VEP1/KVP).3

Gambar 1.

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari

Page 3: ppok-dafpus

saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.1

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps.1

E. Diagnosis

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.

1. Anamnesisa. Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya

riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.3

b. Gejala klinisGejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Kadang- kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas.1

Tabel 2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)

2. Pemeriksaan FisikTemuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada

Page 4: ppok-dafpus

seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing(seperti orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugu laris dan edema tungkai.

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan

• Inspeksi

- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)

- Penggunaan otot bantu napas

- Hipertropi otot bantu napas

- Pelebaran sela iga

- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema tungkai

- Penampilan pink puffer atau blue bloater

• Palpasi

Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

• Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

• Auskultasi

- suara napas vesikuler normal, atau melemah

- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa

- ekspirasi memanjang

- bunyi jantung terdengar jauh

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Faal ParuSpirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP - Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 % - VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya

Page 5: ppok-dafpus

PPOK dan memantau perjalanan penyakit. - Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%

Uji bronkodilator - Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. - Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml - Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.

b. Radiologi (Foto Toraks)Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar.1

c. Laboratorium Darah rutin Analisa gas darah Mikrobiologi sputum 1

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi (derajat) PPOK, yaitu:

Tabel 2.2. Klasifikasi PPOK

Page 6: ppok-dafpus

F. Diagnosis Banding

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik.

Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik

G. PPOK Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah kejadian akut dalam perjalanan alami penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal sesak napas, batuk, dan/atau sputum yang diluar batas normal dalam variasi hari ke hari.1

Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus), atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru, pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat- obatan (obat antidepresan, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (diabetes melitus, gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkungan memburuk atau polusi udara, aspirasi berulang, serta pada stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi).2

Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien sering menjalani rawat inap akibat eksaserbasi. Menurut penelitian Kessler dkk. (1999) terdapat faktor prediktif eksaserbasi yang menyebabkan pasien dirawat inap. Faktor risiko yang signifikan adalah Indeks Massa Tubuh yang rendah (IMT<20 kg/m2) dan pada pasien dengan jarak tempuh berjalan enam menit yang terbatas (kurang dari 367 meter). Faktor risiko lainnya adalah adanya gangguan pertukaran gas dan perburukan hemodinamik paru, yaitu PaO2≤65

mmHg, PaCO2>44 mmHg, dan tekanan arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat

Page 7: ppok-dafpus

> 18 mmHg.

Gejala eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum meningkat, dan adanya perubahan konsistensi atau warna sputum. Menurut Anthonisen dkk. (1987), eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe I (eksaserbasi berat) apabila memiliki 3 gejala utama, tipe II (eksaserbasi sedang) apabila hanya memiliki 2 gejala utama, dan tipe III (eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1 gejala utama ditambah adanya infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline (Vestbo, 2006).

H. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut

Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian. Risiko kematian dari eksaserbasi sangat berhubungan dengan terjadinya asidosis respiratorik, adanya komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi.1 Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU.2

1. BronkodilatorBronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK adalah short-

acting inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini belum tercapai, direkomendasikan menambahkan antikolinergik, walaupun bukti ilmiah efektivitas kombinasi ini masih kontroversial.1

2. KortikosteroidKortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan terapi pada

penanganan eksaserbasi PPOK. Dosis pasti yang direkomendasikan tidak diketahui, tetapi dosis tinggi berhubungan dengan risiko efek samping yang bermakna. Dosis prednisolon oral sebesar 30-40 mg/hari selama 7-10 hari adalah efektif dan aman.1

Menurut PDPI (2003), kortikosteroid tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena.

3. AntibiotikBerdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada:a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan

volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan sesakb. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan

purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut c. Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.Pemilihan antibiotik

disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Antibiotik ya yang mutakhir. Antibiotik yang dapat diberikan di Rumah Sakit yaitu lini I: Ampisilin, Kotrimoksasol, Eritromisin, dan lini II: Ampisilin kombinasi Kloramfeniko l, Eritromisin, kombinasi Kloramfenikol

Page 8: ppok-dafpus

dengan Kotrimaksasol ditambah dengan Eritromisin sebagai Makrolid.3

4. Terapi OksigenPada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,

bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau SaO2>90%) mudah tercapai

pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi retensi CO2 dapat terjadi secara

perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang sedikit sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia (PDPI, 2003).

5. Ventilasi MekanikTujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat

adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala.1

I. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg,

serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan.4

Page 9: ppok-dafpus

PEMBAHASAN

Diagnosis kerja pada pasien ini adalah PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) Eksaserbasi Akut, PPOK sendiri memiliki karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua. Pada pasien didapatkan keluhan sesak yang semakin memberat saat aktivitas dan pasien merupakan seorang perokok aktif sejak usia muda.

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi. Gejala eksaserbasi : sesak bertambah, produksi sputum meningkat, perubahan warna sputum. Eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga tipe, dari anamnesa didapatkan pasien masuk dalam kategori II (eksaserbasi sedang) karena datang dengan sesak nafas yang dikeluhkan pasien sejak 1 bulan yang lalu dan dirasakan hilang timbul, sesak nafas dirasakan semakin memberat dalam 4 hari. Pasien mengaku juga mengeluhkan batuk berdahak sejak 3 bulan ini, semakin sering dirasakan dalam 4 hari ini.

Faktor risiko utama dari pasien adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru.

Pada pasien seharusnya disingkirkan terlebih dahalu adanya infeksi pada paru lainnya. Untuk itu ada baiknya pasien harus dilakukan pemeriksaan BTA untuk mengetahui apakah pasien mengidap infeksi Tuberkulosis paru. Selanjutnya pasien juga harus dilakukan pemeriksaan spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP) untuk mengetahui derajat

keparahan PPOK pada pasien. Foto thorax juga harus dilakukan, unutk memastikan gambaran PPOK dan untuk melihat apakah gagal jantung juga terlibat. Terakhir, pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin, analisa gas darah juga dilakukan untuk melihat apakah asidosis respiratorik terjadi pada pasien.

Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian. Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Pada pasien, di rujuk untuk mendapatkan perawatan dan penatalaksanaan yang adekuat. Untuk terapi medikamentosa pada pasien sebaiknya diberikan:

- O2 4 liter/menit nasal kanul- Posisi ½ duduk- Diet halus, tinggi protein

Page 10: ppok-dafpus

- IVFD Glukosa D5% + Aminophilin drip 20 tetes/menit- Nebulizer salbutamol/ 8 jam- Injeksi Ceftriaxone 1 gr/12 jam- Injeksi Metilprednisolon 62,5 mg/12 jam

Untuk terapi medikamentosa lainnya dapat diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang (Foto thorax, dan atau EKG) untuk melihat apakah gagal jantung juga terlibat. Untuk terapi non medikamentosa dapat dilakukan fisioterapi pernafasan pada pasien

Page 11: ppok-dafpus

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) PPOK. Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2003

2. Aru W, Bambang S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2006

3. Amim M. PPOM : Polusi Udara, Rokok dan Alfa-1 Antitripsin. Cetakan Pertama, Airlangga University Press. Surabaya 1996

4. Robert R, Antonio, A, et all. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of COPD. Medical Communication Resources. www.goldcopd.com 2009