23
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis B adalah salah satu penyakit menular berbahaya yang dapat menyebabkan Keja dia n Luar Bia sa (KLB) dan ter mas uk mas ala h kes ehat an masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit Hepatitis B juga merupakan infeksi virus yang paling banyak tersebar dan dapat menimbulkan infeksi yang  berkepanjangan seperti sirosis hati, kanker hati hingga kematian. Penyakit Hepatitis B disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) yang  bersifat akut atau kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibanding dengan penyakit hati yang lain karena penyakit Hepatitis B ini tidak menunjukkan gejala yang jelas, yaitu hanya berupa sedikit warna kuning pada mata dan kulit disert ai lesu. Sehing ga penderi ta sering tidak sadar bahwa sudah terinfeksi virus Hepatitis B dan tanpa sadar pula menularkan kepada orang lain (Misnadiarly , 2007). Peny ebar an peny aki t Hepati tis B sangat menger ika n. Menu rut World  Health Organization (WHO) Tahun 1990 diperkirakan satu biliun individu yang hidup telah terinfeks i Hepati tis B, sehin gga lebih dari 200 juta orang di selur uh dunia terinfeksi, dan 1-2 juta kematian setiap tahun dikaitkan dengan VHB. Pada Tahun 2008 jumlah orang terinfeksi VHB sebanyak 2 miliar, dan 350 juta orang  berlanjut menjadi pasien dengan infeksi Hepatitis B kronik (Shulman, 1994). Ber das arkan dat a WHO T ahun 2008, peny aki t Hepa tit is B men jadi  pembunuh nomor 10 di dunia dan endemis di China serta bagian lain di Asia termasuk Indone sia. Indonesia menjadi negara dengan penderi ta Hepati tis B ketiga terbanyak di dunia setelah China dan India dengan jumlah penderita 13  juta orang, sementara di Jakarta diperkirakan satu dari 20 penduduk menderita  penyakit Hepatitis B. Sebagian besar penduduk kawasan ini terinfeksi VHB sejak us ia kanak- kanak . Sejuml ah negar a di Asia , 8- 10 persen popul asi orang menderita Hepatitis B kronik (Sulaiman, 2010).

BAB I Dafpus

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dafus

Citation preview

  • 1BAB IPENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Hepatitis B adalah salah satu penyakit menular berbahaya yang dapat

    menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan termasuk masalah kesehatan

    masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit Hepatitis B juga merupakan

    infeksi virus yang paling banyak tersebar dan dapat menimbulkan infeksi yang

    berkepanjangan seperti sirosis hati, kanker hati hingga kematian.

    Penyakit Hepatitis B disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) yang

    bersifat akut atau kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya

    dibanding dengan penyakit hati yang lain karena penyakit Hepatitis B ini tidak

    menunjukkan gejala yang jelas, yaitu hanya berupa sedikit warna kuning pada

    mata dan kulit disertai lesu. Sehingga penderita sering tidak sadar bahwa sudah

    terinfeksi virus Hepatitis B dan tanpa sadar pula menularkan kepada orang lain

    (Misnadiarly, 2007).

    Penyebaran penyakit Hepatitis B sangat mengerikan. Menurut World

    Health Organization (WHO) Tahun 1990 diperkirakan satu biliun individu yang

    hidup telah terinfeksi Hepatitis B, sehingga lebih dari 200 juta orang di seluruh

    dunia terinfeksi, dan 1-2 juta kematian setiap tahun dikaitkan dengan VHB. Pada

    Tahun 2008 jumlah orang terinfeksi VHB sebanyak 2 miliar, dan 350 juta orang

    berlanjut menjadi pasien dengan infeksi Hepatitis B kronik (Shulman, 1994).

    Berdasarkan data WHO Tahun 2008, penyakit Hepatitis B menjadi

    pembunuh nomor 10 di dunia dan endemis di China serta bagian lain di Asia

    termasuk Indonesia. Indonesia menjadi negara dengan penderita Hepatitis B

    ketiga terbanyak di dunia setelah China dan India dengan jumlah penderita 13

    juta orang, sementara di Jakarta diperkirakan satu dari 20 penduduk menderita

    penyakit Hepatitis B. Sebagian besar penduduk kawasan ini terinfeksi VHB sejak

    usia kanak-kanak. Sejumlah negara di Asia, 8-10 persen populasi orang

    menderita Hepatitis B kronik (Sulaiman, 2010).

  • 2Ningsih (2010) mengatakan bahwa mayoritas pengidap Hepatitis B

    terdapat di negara berkembang. Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan

    Dasar (Riskesdas) Tahun 2007, prevalensi penduduk yang pernah terinfeksi virus

    Hepatitis B adalah sebesar 34% dan cenderung meningkat karena jumlah

    pengidapnya terus bertambah terlebih lagi terdapat carrier atau pembawa

    penyakit dan dapat menjadi penyakit pembunuh diam-diam (silent killer) bagi

    semua orang tanpa kecuali. Di pedesaan penyakit Hepatitis menduduki urutan

    pertama sebagai penyebab kematian pada golongan semua umur dari kelompok

    penyakit menular, sedangkan di daerah perkotaan menduduki urutan ketiga.

    Pengobatan untuk Hepatitis B terdiri dari pengobatan telan (oral) dan

    secara injeksi. Pengobatan oral yang terkenal adalah pemberian obat Lamivudine,

    obat Adefovir dipivoxil (Hepsera), dan obat Baraclude (Entecavir). Sedangkan

    pengobatan dengan injeksi atau suntikan dilakukan dengan pemberian suntikan

    Microsphere yang mengandung partikel radioaktif pemancar sinar yang akan

    menghancurkan sel kanker hati tanpa merusak jaringan sehat di sekitarnya.

    Injeksi Alfa Interferon (dengan nama cabang INTRON A, INFERGEN,

    ROFERON) diberikan secara subcutan dengan skala pemberian 3 kali dalam

    seminggu selama 12-16 minggu atau lebih. Efek samping pemberian obat ini

    adalah depresi, terutama pada penderita yang memilki riwayat depresi

    sebelumnya. Efek lainnya adalah terasa sakit pada otot-otot, cepat letih dan

    sedikit menimbulkan demam yang hal ini dapat dihilangkan dengan pemberian

    paracetamol.

    Namun sayang, pengobatan-pengobatan tersebut belum mampu dijangkau

    oleh semua lapisan masyarakat terutama masyarakat miskin di Indonesia. Untuk

    itulah diperlukan eksplorasi pemanfaatan bahan alam dan ramuan tradisional

    untuk pengobatan mandiri sehingga semua lapisan masyarakat bisa mendapatkan

    pengobatan yang murah dan aman. Hal ini juga didukung oleh kondisi alam

    Indonesia yang merupakan mega-senter keragaman hayati dunia, dan menduduki

    urutan terkaya kedua di dunia setelah Brazilia. Jika biota laut ikut

    diperhitungkan, maka Indonesia menduduki urutan terkaya pertama di dunia. Di

  • 3Indonesia diperkirakan hidup sekitar 40.000 spesies tumbuhan, dimana 30.000

    spesies hidup di kepulauan Indonesia. Di antara 30.000 spesies yang hidup di

    kepulauan Indonesia, diketahui sekurang-kurangnya 9.600 spesies tumbuh

    berkhasiat sebagai obat dan kurang lebih 300 spesies telah digunakan sebagai

    bahan obat tradisional oleh industri obat tradisional.

    Plasma nutfah Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan

    penyakit Hepatitis B adalah sambiloto, kunyit, dan temulawak. Ketiga tanaman

    tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang memiliki kandungan kimia yang

    berpotensi sebagai obat Hepatitis B. Terkait dengan latar belakang diatas, maka

    pada karya tulis ini akan diteliti mengenai pemanfaatan sambiloto, kunyit, dan

    temulawak sebagai obat Hepatitis B.

    1.2 Rumusan Masalah

    Adapun permasalahan yang dikaji dalam karya tulis ini adalah sebagai

    berikut:

    1. Bagaimana potensi sambiloto, kunyit, dan temulawak sebagai obat Hepatitis

    B?

    2. Bagaimana cara mengolah sambiloto, kunyit, dan temulawak sebagai obat

    Hepatitis B?

    1.3 Tujuan Penulisan

    Tujuan yang dicapai melalui penulisan karya ilmiah ini antara lain sebagai

    berikut:

    1. Untuk mengetahui potensi sambiloto, kunyit, dan temulawak sebagai obat

    Hepatitis B.

    2. Untuk mengetahui cara mengolah sambiloto, kunyit, dan temulawak sebagai

    obat Hepatitis B.

  • 41.4 Manfaat Penulisan

    Hasil penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat

    kepada berbagai pihak antara lain sebagai berikut :

    Bagi masyarakat,

    1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat mengenai manfaat

    daun sambiloto (Androgramaphis paniculata) sebagai obat Hepatitis B

    sehingga dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan obat penyakit

    Hepatitis B yang dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat.

    2. Memperkaya khasanah medis Indonesia dalam pengobatan tradisional untuk

    menyembuhkan penyakit Hepatitis B.

    3. Memperkenalkan potensi daun sambiloto (Androgramaphis paniculata)

    sebagai obat Hepatitis B.

    Bagi pemerintah,

    1. Mendukung pembangunan di bidang kesehatan menuju peningkatan daya

    saing bangsa melalui pemanfaatan keanekaragaman hayati lokal Indonesia

    pada pengobatan penyakit.

    Bagi penulis,

    1. Menambah wawasan penulis mengenai pemanfaatan daun sambiloto

    (Androgramaphis paniculata) sebagai obat Hepatitis B.

    1.5 Sistematika Penulisan

    Adapun penulisan karya tulis ilmiah ini dibagi dalam lima bab. Berikut

    adalah penjelasan dari masing-masing bab:

    BAB 1 PENDAHULUAN

    Bab ini membahas mengenai masalah yang melatar belakangi penelitian

    dengan merumuskan masalah yang timbul, dan juga menentukan tujuan

    penelitian dengan merumuskan masalah yang timbul, dan juga menentukan

    tujuan penelitian serta batasan penelitian agar studi yang dilakukan lebih terarah

    serta disusun sistematika penulisan.

  • 5BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    Dalam bab ini berkaitan dengan pemaparan teori-teori yang berhubungan

    dengan hal yang dibahas yang dilakukan melalui studi literatur. Landasan teori

    tersebut akan digunakan sebagai kerangka dan bersumber dari buku-buku

    pustaka sebagai dasar pemikiran dari penulisan karya tulis ilmiah ini.

    BAB III METODE PENULISAN

    Dalam bab ini menggambarkan tahapan-tahapan yang ditempuh penulis

    dalam memecahkan masalah.

    BAB IV PEMBAHASAN

    Dalam bab ini diuraikan tentang hasil kajian yang dilakukan melalui studi

    literatur yang menyangkut tentang potensi sambiloto, kunyit, dan temulawak

    serta cara pengolahannya.

    BAB V PENUTUP

    Dalam bab ini ditujukan untuk kesimpulan-kesimpulan yang didapatkan

    berdasarkan hasil analisis untuk menjawab permasalahan. Selain itu, diberikan

    juga saran dari penulis mengenai permasalahan dan pemecahannya.

  • 6BAB IITINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Hepatitis

    Hepatitis virus adalah istilah yang dipakai untuk infeksi virus (Shulman,

    1994), dimana terjadi suatu proses inflamasi pada hati dan terjadi peradangan

    difus pada jaringan hati yang memberikan gejala klinis yang khas yaitu badan

    lemah, kencing berwarna seperti air teh pekat, mata dan seluruh badan menjadi

    kuning (Sujono, 1995).

    2.1.1 Definisi Hepatitis B

    Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan

    oleh Virus Hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis

    dan dapat pula menyebabkan radang hati, sirosis hati, kanker hati, dan

    kematian (Ling & Lam, 2007).

    2.1.2 Epidemiologi Hepatitis B

    Menurut National Institutes of Health (2006) etiologi Hepatitis B

    adalah virus dan disebut dengan Hepatitis B Virus. Misnadiarly (2007)

    menguraikan VHB terbungkus serta mengandung genoma DNA

    melingkar. Virus ini merusak fungsi lever dan sambil merusak terus

    berkembang biak dalam sel-sel hati (hepatocytes).

    2.1.3 Kelompok Resiko Tinggi Tertular Hepatitis B

    Misnadiarly (2007) dalam bukunya menyebutkan kelompok resiko

    tinggi mudah tertularnya virus Hepatitis B, meliputi: 1) Anak kecil

    ditempat perawatan anak yang tinggal di lingkungan epidermis. 2)

    Seseorang yang tinggal serumah atau berhubungan seksual dengan

    penderita resiko tertular penyakit Hepatitis B. 3) Pekerja kesehatan. 4)

    Pasien cuci darah. 5) Pengguna narkoba dengan jarum suntik. 6) Mereka

    yang menggunakan peralatan kesehatan bersama seperti pasien dokter

    gigi, dan lain-lain. 7) Orang yang ikut akunpuntur atau tato yang

    menggunakan jarum tidak steril. 8) Mereka yang tinggal atau sering

  • 7bepergian ke daerah endemis Hepatitis B. 9) Mereka yang berganti

    pasangan, oleh karena ketidaktahuan kondisi kesehatan pasangan. 10)

    Kaum homoseksual.

    2.1.4 Gejala Hepatitis B

    Gejala Hepatitis B sangat mirip dengan flu, dimana 1 sampai 2

    minggu kemudian barulah timbul kuning pada seluruh badan penderita.

    Saat ini biasanya penderita sudah pergi berobat karena merasa ada

    kelainan pada tubuhnya yang berwarna kuning. Warna kuning ini diikuti

    oleh perubahan fungsi hati (biasanya meningkat) pada pemeriksaan

    laboratorium. Satu sampai lima hari sebelum badan kuning, keluhan

    kencing seperti teh pekat dan warna buang air besar yang pucat seperti

    diliputi lemak juga dirasakan oleh penderita.

    Pada saat badan kuning, biasanya diikuti pula dengan pembesaran

    hati dan diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di bagian perut kanan atas.

    Setelah gejala tersebut akan timbul fase resolusi yang biasanya berada

    dalam rentang waktu 2-12 minggu. Pada fase ini, badan kuning dan

    ukuran hati berangsur kembali normal. Demikian juga dengan kenaikan

    fungsi hati dari hasil pemeriksaan laboratorium akan berangsur-angsur

    mencapai normal kembali (Zain, 2006).

    2.1.5 Pencegahan Hepatitis B

    Menurut Ranuh (2005), secara garis besar upaya pencegahannya

    terdiri dari pencegahan umum dan pencegahan secara khusus. Secara

    umum, selain uji tapis donor darah, sterilisasi instrument kesehatan, alat

    dialisis individual, membuang jarum disposible ke tempat khusus, dan

    pemakaian sarung tangan oleh tenaga medis. Mencakup juga penyuluhan

    perihal seks yang aman, penggunaan jarum suntik disposible, mencegah

    kontak mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir), menutup luka. Pencegahan

    secara khusus meliputi imunisasi VHB secara pasif dan aktif. Imunisasi

    pasif adalah dengan memberikan Hepatitis B immune globulins (HBIg)

    dalam waktu singkat segera memberikan proteksi meskipun hanya jangka

  • 8pendek (3-6 bulan). Imunisasi aktif adalah dengan melaksanakan program

    imunisasi universal bagi bayi baru lahir yakni dengan memberikan vaksin

    VHB rekombinan yang tersedia.

    2.2 Sambiloto (Androgramaphis paniculata)

    Sambiloto yang juga dikenal sebagai King of Bitters bukanlah

    tumbuhan asli Indonesia, tetapi diduga berasal dari India. Menurut data spesimen

    yang ada di Herbarium Bogoriense di Bogor, sambiloto sudah ada di Indonesia

    sejak 1893. Dalam Traditional Chinese Medicine (TCM), sambiloto diketahui

    penting sebagai tanaman cold property dan digunakan sebagai penurun panas

    serta membersihkan racun-racun di dalam tubuh (Lukas, 1998).

    Dalam sistematika (taksonomi), tumbuhan sambiloto dapat

    diklasifikasikan sebagai berikut:

    Kingdom : Plantae

    Divisi : Spermatophyta

    Class : Dicotyledoneae

    Ordo : Solanales

    Famili : Acanthaceae

    Genus : Androgramaphis

    Spesies : Androgramaphis paniculata (Burm.f.) Ness

    Gambar 2.1 Tumbuhan Sambiloto (Androgramaphis paniculata)

  • 9Sambiloto berbau khas dan rasanya sangat pahit. Batang tidak berambut,

    tebal 2-6 mm, jelas persegi empat, batang bagian atas sering kali dengan sudut

    agak berusuk. Permukaan atas berwarna hijau tua atau hijau kecoklatan,

    permukaan bawah berwarna hijau pucat. Tangkai daun pendek. Kelopak bunga

    terdiri dari 5 helai daun kelopak, panjang 2 cm dan lebar 4 cm. Permukaan luar

    kulit buah berwarna hijau tua sampai hijau kecoklatan, permukaan dalam

    berwarna putih atau putih kelabu. Biji agak keras 1,5 3 mm, lebar lebih kurang

    2 mm, permukaan luar berwarna coklat muda bertonjol-tonjol (Zein, 2009).

    Secara farmakologi, sambiloto mempunyai khasiat sebagai analgesik,

    antibakteri, memperbaiki imunitas, antipiretik, antidiare, antiinflamasi,

    antimalaria, dan antiviral (WHO, 2002). Daun tumbuhan sambiloto bermanfaat

    untuk menurunkan demam tinggi dan malaria. Selain itu, daun tumbuhan

    sambiloto berkhasiat untuk mengatasi:

    1. Hepatitis, infeksi saluran empedu

    2. Disentri basiler, tifoid, diare, influenza, radang amandel (tonsillitis)

    3. Abses paru, radang paru (pneumonia), radang saluran napas

    4. (Bronkitis), radang ginjal akut (pielonefritis akut), radang telinga

    5. Kencing nanah (gonore), kencing manis (diabetes mellitus)

    6. Tumor trofoblas (trofoblas ganas), serta tumor paru

    7. Kanker: penyakit trofoblas seperti kehamilan anggur (mola hidatidosa)

    8. Batuk rejan (pertusis), sesak napas (asma)

    9. Darah tinggi (hipertensi) (Yuniarti, 2008).

    Penggunaan sambiloto dalam dosis tinggi dapat menyebabkan perut tidak

    enak, muntah-muntah, dan kehilangan selera makan (Depkes RI, 1979: 20-25).

    Obat ini tidak dianjurkan pemberiannya pada wanita hamil, diduga pengaruhnya

    kemungkinan dapat menyebabkan abortus (Thamlikitkul, dkk., 1991: 74).

    Daun Androgramaphis paniculata Nees (Sambiloto) mengandung :

    saponin, flaconoida, dan tanin. Kandungan kimia daun dan cabang sambiloto:

    diterpene lakton yang terdiri dari: deoxy androgramapholide,

    androgramapholide (zat pahit), neoandrogramapholide, 14-deoxy-11,

  • 10

    12didehydroandrogramapholide, dan homoandrogramapholide. Flavonoid dari

    akar mengandung : polymethoxyflavone, androgramaphin, panicolin, mono-o-

    methylwithin, apigenin-7, 4-dimethyl ether, alkane, ketone, aldehyde, kalium,

    kalsium, natrium, asam kersik, dan dammar (Dep. Kes RI, 1989).

    2.3 Kunyit (Curcuma longa Linn.)

    Menurut Syamsuhidayat dan Hutapea (1991), kedudukan tanaman kunyit

    dalam tata nama (sistematika) tumbuhan adalah sebagai berikut:

    Divisi : Spermatophyta

    Subdivisi : Angiospermae

    Kelas : Monocotyledonae

    Bangsa : Zingiberales

    Suku : Zingiberaceae

    Marga : Curcuma

    Spesies : Curcuma longa Linn.

    Gambar 2.2 Kunyit (Curcuma longa Linn)

    Kunyit (Curcuma longa Linn) merupakan salah satu tanaman obat

    potensial, selain sebagai bahan baku obat juga dipakai sebagai bumbu dapur dan

    zat pewarna alami. Rimpangnya sangat bermanfaat sebagai antikoagulan,

    menurunkan tekanan darah, obat cacing, obat asma, penambah darah, mengobati

    sakit perut, penyakit hati, gatal-gatal, gigitan serangga, diare, dan rematik.

  • 11

    Kandungan zat-zat kimia yang terdapat dalam rimpang kunyit adalah: 1)

    Zat warna kurkuminoid yang merupakan suatu senyawa diarilheptanoid 3-4%. 2)

    Minyak atsiri 2-5%. 3) Arabinosa, fruktosa, glukosa, pati, tannin dan dammar. 4)

    Mineral yaitu magnesium besi, mangan, kalsium, natrium, kalium, timbal, seng,

    kobalt, aluminium dan bismuth (Sudarsono dkk., 1996).

    Bagian yang sering dimanfaatkan sebagai obat adalah rimpang; untuk,

    antikoagulan, antiedemik, menurunkan tekanan darah, obat malaria, obat cacing,

    obat sakit perut, memperbanyak ASI, stimulan, mengobati keseleo, memar dan

    rematik. Kurkuminoid pada kunyit berkhasiat sebagai antihepatotoksik

    (Kiso dkk., 1983) enthelmintik, antiedemik, analgesic. Selain itu kurkumin juga

    dapat berfungsi sebagai antiinflamasi dan antioksidan (Masuda dkk., 1993).

    Menurut Supriadi, kurkumin juga berkhasiat mematikan kuman dan

    menghilangkan rasa kembung karena dinding empedu dirangsang lebih giat

    untuk mengeluarkan cairan pemecah lemak. Minyak atsiri pada kunyit dapat

    bermanfaat untuk mengurangi gerakan usus yang kuat sehingga mampu

    mengobati diare. Selain itu, juga bisa digunakan untuk meredakan batuk dan

    antikejang.

    2.4 Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

    Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu jenis

    tanaman obat dari family Zingiberaceae yang potensial untuk dikembangkan, dan

    merupakan salah satu dari sembilan jenis tanaman unggulan dari Ditjen POM

    yang memiliki banyak manfaat sebagai bahan obat. Pemanfaatan tanaman ini

    cukup banyak, antara lain dipergunakan oleh masyarakat dalam pemeliharaan

    dan peningkatan derajat kesehatan atau pengobatan penyakit maupun oleh

    produsen obat tradisional dan kosmetika (Nurjanah dkk., 1994; Hernani, 2001).

    Selain penggunaannya sebagai bahan baku industri seperti minuman dan

    pewarna alami, manfaat lain adalah dapat meningkatkan sistem imunitas tubuh,

    berkhasiat anti bakteri, anti diabetik, anti hepatotoksik, anti inflamasi, anti

    oksidan, anti tumor, diuretika, depresan, dan hipolipodemik (Purnomowati &

  • 12

    Yoganingrum, 1997; Raharjo & Rostiana, 2003). Bagian yang berkhasiat dari

    temulawak adalah rimpangnya yang mengandung berbagai komponen kimia di

    antaranya zat kuning kurkumin, protein, pati, dan minyak atsiri. Minyak atsirinya

    mengandung senyawa phelandren, kamfer, borneol, sineal, dan xanthorhizol.

    Kandungan xanthorizol dan kurkumin ini yang menyebabkan temulawak sangat

    berkhasiat (Taryono dkk., 1987).

    Menurut Van Steenis (1947), kedudukan tanaman rimpang temulawak

    dalam tata nama (sistematika) tumbuhan adalah sebagai berikut:

    Divisio : Spermatophyta

    Sub Divisio : Angiospermae

    Classis : Monocotyledonae

    Ordo : Zingiberales

    Famili : Zingiberaceae

    Genus : Curcuma

    Species : Curcuma xanthorriza Roxb

    Gambar 2.3 Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

  • 13

    BAB IIIMETODE PENULISAN

    3.1 Sumber dan Jenis Data

    Data-data yang digunakan dalam karya tulis ini bersumber dari berbagai

    referensi atau literatur yang relevan dengan topik permasalahan yang dibahas.

    Validitas dan relevansi terhadap referensi yang digunakan dapat

    dipertanggungjawabkan. Jenis data yang diperoleh berupa data sekunder, baik

    bersifat kualitatif ataupun kuantitatif.

    3.2 Pengumpulan Data

    Dalam penulisan karya tulis ini digunakan metode studi pustaka,

    berdasarkan studi terhadap berbagai literatur konvensional dan e-library yang

    telah teruji validitasnya, berhubungan satu sama lain, relevan dengan kajian

    tulisan serta mendukung uraian/analisis pembahasan.

    3.3 Analisis Data

    Setelah data yang diperlukan terkumpul, dilakukan pengolahan data dengan

    menyusun dari yang terkumpul secara sistematis. Teknik analisis data yang

    dipilih adalah analisis deskriptif argumentatif, dengan tulisan bersifat deskriptif,

    menggambarkan potensi temulawak (Curcuma xanthorrhiza), kunyit (Curcuma

    longa L.), dan sambiloto (Andrographis paniculata) sebagai obat Hepatitis B.

    3.4 Penarikan Simpulan

    Setelah melalui proses analisis data, dilanjutkan pada proses sintesis

    melalui proses menarik dan menghubungkan rumusan masalah, tujuan penulisan

    serta pembahasan yang dilakukan secara sistematis. Berikutnya ditarik suatu

    simpulan yang bersifat umum dan beberapa rekomendasi untuk ditindaklanjuti.

  • 14

    BAB IVPEMBAHASAN

    4.1 Potensi Sambiloto, Kunyit, dan Temulawak sebagai Obat Hepatitis B

    Hepatitis B merupakan penyakit yang banyak ditemukan didunia dan

    dianggap sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus diselesaikan. Hal

    ini karena selain prevalensinya tinggi, virus Hepatitis B dapat menimbulkan

    problema pasca akut bahkan dapat terjadi cirroshis Hepatitis dan karsinoma

    hepatoseluler primer. Sepuluh persen dari infeksi virus Hepatitis B akan menjadi

    kronik dan 20 % penderita Hepatitis kronik ini dalam waktu 25 tahun sejak

    tertular akan mengalami cirroshis hepatis dan karsinoma hepatoselluler

    (hepatoma). Kemungkinan akan menjadi kronik lebih tinggi bila infeksi terjadi

    pada usia balita dimana respon imun belum berkembang secara sempurna

    (Siregar, tt).

    Hepatitis B dapat menyebabkan kerusakan sel-sel hati yang serius. Jika

    seseorang dalam kondisi yang sehat dan tidak mempunyai komplikasi, sel-sel

    hati akan memperbaiki dirinya sendiri. Kasus-kasus yang berat dan kasus-kasus

    dengan komplikasi dapat menyebabkan kerusahakan hati yang permanen. Pada

    akhirnya, hal ini dapat menyebabkan gagal hati, sirosis, kanker hati dan kematian

    pada kurang lebih 1% dari kasus-kasus tersebut (Anonim, 2007).

    Tumbuhan obat atau herbal yang dapat digunakan untuk mencegah dan

    membantu pengobatan Hepatitis B diantaranya mempunyai efek sebagai

    hepatoprotektor, yaitu melindungi hati dari pengaruh zat toksik yang dapat

    merusak sel hati, juga bersifat anti radang, cholagogum, dan khloretik, yaitu

    meningkatkan produksi empedu oleh hati. Beberapa jenis tumbuhan obat yang

    dapat digunakan untuk pengobatan Hepatitis, antara lain yaitu temulawak

    (Curcuma xanthorrhiza), kunyit (Curcuma longa L.), sambiloto (Andrographis

    paniculata).

    Potensi sambiloto, kunyit, dan temulawak dalam mengobati penyakit

    Hepatitis B dapat dilihat dari kandungan kimia dan efek farmakologis dari

  • 15

    tanaman tersebut. Sambiloto dapat dimanfaatkan sebagai obat Hepatitis B karena

    sambiloto mengandung kandungan kimia neoandrografolid, andrografolid,

    deoksiandrografolid, dan 14-deoksi-11, 12-didehidroandrografolid yang

    memiliki efek farmakologis sebagai antiradang dan antiperik

    (http://drlizahidup.blogspot.com). Selain itu kandungan kimia andrografolida

    (zat pahit) pada tanaman sambiloto juga berkhasiat sebagai hepatoprotektor yang

    sangat potensial untuk menghambat sitoksisitas hepar dan anti-inflamasi. Neo-

    andrografolida dan deoksi-andrografolida juga berkhasiat sebagai anti-

    inflamasi.

    Sedangkan kandungan kimia kunyit (Curcuma longa L.) adalah minyak

    atsiri (turmeron, felandren, zingiberen, borneol, dan lain-lain), kurkumin,

    desmetoksikurkumin, tanin, dan lain-lain. Senyawa kurkumin pada kunyit

    mempunyai efek sebagai antiradang, antibakteri, dan sebagai hepatoprotektor

    (melindungi sel hati dari kerusakan). Khasiat kunyit sebagai obat Hepatitis B

    dapat dilihat dari kandungan kurkumin yang terkandung dalam rimpang kunyit

    yang bermanfaat sebagai anti inflamasi (antiradang). Dari semua senyawa yang

    terkandung dalam kunyit, tetra hidro curcumin (THC) ternyata mempunyai

    aktivatas anti inflamasi tertinggi.

    Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) juga dapat dimanfaatkan

    sebagai obat Hepatitis B karena temulawak mengandung kandungan kimia

    kurkumin, minyak atsiri, borneol, felandren, turmerol, sineol, glikosida,

    xantorizol, kalium oksalat, dan lain-lain (Wijayakusuma, 2005). yang memiliki

    efek farmakologis sebagai anti inflamasi (anti radang), cholagogum (merangsang

    pengeluaran produksi cairan empedu), dan hepatoprotektor (mencegah

    peradangan hati) (Katno, dkk., tt). Kandungan curcumin dalam temulawak

    berkhasiat sebagai antioksidan, anti-inflamasi, dan antitumor. Ekstrak temulawak

    dapat mencegah penyakit hati termasuk Hepatitis B

    (http://polobye.blogspot.com/2011/02/obat-herbal-untukpenyakitkanker.html).

    Dari pemaparan tersebut tersirat jelas bahwa temulawak (Curcuma

    xanthorrhiza), kunyit (Curcuma longa L.), dan sambiloto (Andrographis

  • 16

    paniculata) berpotensi sebagai obat Hepatitis B karena memilki kandungan kimia

    yang memiliki efek farmakologis sebagai hepatoprotektor, anti radang, dan

    cholagogum.

    4.2 Cara Mengolah Sambiloto, Kunyit, dan Temulawak sebagai Obat

    Hepatitis B

    Sambiloto, kunyit, dan temulawak memiliki berbagai kandungan kimia

    yang sangat berkhasiat sebagai obat Hepatitis B. Berdasarkan literatur,

    pengolahan sambiloto sebagai obat Hepatitis B disajikan dalam bentuk rebusan

    daun kering. Pengolahan sambiloto (Androgramaphis paniculata) sebagai obat

    Hepatitis B dalam bentuk rebusan dilakukan dengan merebus 5 gram daun

    sambiloto kering bersama air 2 gelas sampai tersisa 1 gelas dan untuk satu hari

    (diminum 3 x 1/3 gelas). Jika menggunakan daun segar, dosisnya adalah sekitar

    30 lembar daun dengan cara yang sama seperti merebus daun kering. Dianjurkan

    agar yang mengkonsumsi obat ini, juga disertai dengan mengkonsumsi makanan

    yang sehat dan bergizi untuk kelancaran proses pengobatan.

    Namun rebusan air daun sambiloto ini memiliki kelemahan yaitu rasanya

    yang pahit menyebabkan seseorang enggan untuk meminum rebusan air daun

    sambiloto tersebut. Oleh karena itu, penulis berinisiatif untuk mengolah

    sambiloto ke dalam kapsul dengan menambahkan kunyit dan temulawak. Kapsul

    yang dipergunakan adalah kapsul gelatin keras karena kapsul ini memiliki

    beberapa keunggulan dibandingkan dengan kapsul lainnya yaitu kapsul gelatin

    tidak berbau, tidak berasa, dan mudah digunakan karena saat terbasahinya oleh

    air liur akan segera diikuti daya bengkak dan daya larut airnya. Pengisian ke

    dalam kapsul disarankan untuk obat yang memiliki rasa yang tidak enak atau bau

    yang tidak enak (Fauzi, 2007).

    Menurut narasumber penulis, yang bernama I Wayan Sriaka, umur 75

    tahun. Beliau sudah mengkonsumsi kapsul sambiloto dengan beberapa tambahan

    obat-obatan herbal lainnya. Selama 1 bulan sudah terbukti khasiat dari kapsul

    sambiloto tersebut, kesehatan I Wayan Sriaka sekarang sudah jauh lebih baik

  • 17

    dibandingkan sebelumnya. Dalam karya tulis ini, kapsul sambiloto dibuat dalam

    sediaan kapsul gelatin keras. Proses pengolahan ini dilakukan berdasarkan

    keputusan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI No.

    04510/A/SK/XII/1989 tentang Petunjuk Operasional Penerapan Cara Pembuatan

    Obat yang baik. Proses pembuatan kapsul sambiloto adalah sebagai berikut:

    1. Persiapan alat dan bahan:

    Alat yang digunakan dalam pembuatan kapsul sambiloto adalah 10 buah

    kapsul gelatin keras, 1 pasang sarung tangan plastik, 1 buah sendok, dan 1

    buah blender. Sedangkan bahan yang digunakan dalam pembuatan kapsul

    sambiloto adalah 10 gram sambiloto, 10 gram kunyit, dan 10 gram

    temulawak.

    2. Tahap pengeringan dan penyerbukan bahan:

    Seluruh bahan-bahan dicuci hingga bersih dengan air mengalir. Kemudian

    kunyit dan temulawak dipotong-potong terlebih dahulu, selanjutnya seluruh

    bahan dikeringkan dengan sinar matahari kurang lebih selama 1-2 hari.

    Setelah kering seluruh bahan-bahan dicampur kemudian dimasukkan ke dalam

    blender, tunggu hingga beberapa menit sampai bahan-bahan hancur dan

    berbentuk menjadi tepung (serbuk). Bahan yang sudah menjadi serbuk

    kemudian disaring.

    Gambar 4.1 Alat dan Bahan Gambar 4.2 Proses Penyerbukan

  • 18

    Gambar 4.3 Proses Penyaringan Gambar 4.4 Hasil Saring Serbuk Sambiloto

    3. Tahap pengisian dan penutupan kapsul

    Setelah bahan-bahan tersebut disaring, massanya menjadi 5 gram.

    Kemudian di masukkan ke dalam kapsul, masing-masing kapsul dapat

    dimasukkan sebanyak 0,1 gram. Sehingga jumlah kapsul yang dapat dibuat

    adalah sebanyak 50 buah. Dalam pembuatan obat ini digunakan kapsul gelatin

    keras. Dalam tahap pengisian kapsul, hasil pengeringan berupa serbuk

    dimasukan ke dalam kapsul secara manual (melalui media sendok) kemudian

    kapsul ditutup rapat. Untuk menghindari kebocoran, saat penutupan kapsul

    oleskan sedikit campuran air dan alkohol pada tepi luar bagian badan kapsul,

    kemudian ditutup sambil diputar.

    Gambar 4.5 Pengisian Kapsul Gambar 4.6 Perekatan Kapsul

  • 19

    Gambar 4.7 Penutupan KapsulKapsul sambiloto, temulawak, dan kunyit ini dapat dikonsumsi 1 kali

    sehari sebanyak 1 kapsul untuk pencegahan, atau dikonsumsi sebanyak 2 kali

    sehari masing-masing 1 kapsul bagi penderita Hepatitis B. Keunggulan

    pengobatan ini dengan media kapsul yaitu; 1) Cara pembuatannya yang murah

    dan mudah. 2) Dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan ditentukan dengan jumlah

    kapsulnya. 3) Dapat disimpan dengan jangka waktu yang relatif lama. 4) Praktis

    karena hanya diminum saja tanpa proses pengolahan yang banyak seperti

    diseduh, dihangatkan, dan lain-lain. 5) Melalui kapsul sambiloto, maka rasa pahit

    alami dari sambiloto tersebut akan lebih berkurang bila dibandingkan dengan

    cara merebusnya dan diminum secara langsung.

    Sayangnya, di Indonesia sendiri sambiloto baru dikenal secara terbatas di

    kalangan orang yang biasa mengkonsumsi jamu. Melihat khasiatnya, tentu lebih

    baik jika pengobatan kembali ke alam dengan mengkonsumsi tanaman obat

    herbal, dibandingkan dengan mengkonsumsi antibiotik yang memiliki efek

    samping kurang baik dan harganya yang relatif mahal. Jika negara-negara maju

    seperti Skandinavia, Jepang, dan Cina sudah menggunakan pengobatan ini,

    tentunya Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayatinya, juga seharusnya

    memanfaatkan obat-obatan herbal seperti temulawak, kunyit, dan sambiloto

    dengan mengkonsumsinya sebagai obat Hepatitis B maupun untuk penyakit

    lainnya.

  • 20

    BAB VPENUTUP

    5.1 Kesimpulan

    Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

    1. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza), kunyit (Curcuma longa L.), dan

    sambiloto (Andrographis paniculata) berpotensi sebagai obat Hepatitis B

    karena memilki kandungan kimia yang memiliki efek farmakologis sebagai

    hepatoprotektor, anti radang, dan cholagogum.

    2. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza), kunyit (Curcuma longa L.), dan

    sambiloto (Andrographis paniculata) dapat digunakan sebagai obat Hepatitis

    B yaitu dengan mengolahnya menjadi dalam bentuk rebusan daun kering

    ataupun dengan cara mengolahnya menjadi kapsul.

    5.2 Saran

    Melalui karya tulis ini dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut:

    1. Perlu dilakukan penelitian terhadap zat aktif dari Androgramaphis paniculata

    yang mempunyai efek anti Hepatitis B, serta untuk dapat mengungkapkan

    mekanisme kerjanya.

    2. Perlu dilakukan uji klinik lanjutan secara multi senter menggunakan

    kombinasi kapsul ekstrak sambiloto dengan obat anti hepatitis lainnya agar

    waktu penyembuhan penyakit Hepatitis B lebih cepat.

    3. Diharapkan pemanfaatan tanaman herbal lain lebih dioptimalkan untuk

    menanggulangi berbagai penyakit khususnya penyakit Hepatitis B sehingga

    kesehatan masyarakat lebih terjaga.

    4. Disarankan kepada penderita Hepatitis B yang ingin menerapkan pengobatan

    herbal ini, agar terlebih dahulu mengkonsultasikannya kepada ahli yang

    bersangkutan.

  • 21

    DAFTAR PUSTAKA

    Anonim. 2007. Hepatitis B. http://www.golongandarah.net/artikel_ [ 27 Agustus 2011].

    Departemen Kesehatan RI. 1989. Materia Medika Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

    Depkes RI. 1979. Androgramaphis paniculata Nees. Materia medica indonesiana jilid III. 1979: 20-25.

    Depkes RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Depkes RI.

    Fauzi, Rahmi. 2007. Gelatin. http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/gelatin [27 Agustus 2011].

    Hernani. 2001. Temulawak (Curcuma Xanthorhiza Roxb.) Tumbuhan Obat Indonesia. Penggunaan dan Khasiatnya. Pustaka Popular Obor, Jakarta. P.130-132.

    Katno & Pramono S. TT. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Yogyakarta: Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu, Fakultas Farmasi, UGM.

    Kloppenburg, J. 1988. Petunjuk lengkap mengenai tanam-tanaman di Indonesia dan khasiatnya sebagai obat-obatan tradisional (terjemahan). CDRS Bethesda dan Andi Offset, Yogyakarta. 1988: 149.

    Ling, B & Lam, W. 2007. Hepatitis B: A Catalyst For Anti-Discrimination Reforms?. http://hrichina.org/public/PDFs/CRF. 2.2007/CRF-2007-2_Hepatitis.pdf [20 Agustus 2011].

    Lukas, R. 1998. Rahasia Herbalis Cina, Ramuan Tanaman Obat Cina. Jakarta: Pustaka Delapratasa.

    Misnadiarly. 2007. Mengenal, Menanggulangi, Mencegah, & Mengobati Penyakit Hati (Liver). Jakarta: Pustaka Obor Populer.

    National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. 2006. What I Need to Know About Hepatitis B. http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/hepb_ez-27k [20 Agustus 2011].

    Nurjanah, N., S. Yuliani & A. B. Sembiring. 1994. Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza). Review Hasil- Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. X (2) : 43-57.

  • 22

    Purnomowati, S & A. Yoganingrum. 1997. Temulawak (Curcuma Xanthorhiza Roxb.). Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, Lipi, Jakarta. 44p.

    Raharjo, M & O. Rostiana. 2003. Standar Prosedur Operasional Budidaya Temulawak. Sirkular No. 8. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balittro, Bogor, P.33-38.

    Ranuh, I.G.N. 2005. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi kedua, Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia.

    Shulman, Phair, Sommers. 1994. Dasar biologis dan klinis penyakit infeksi. Ahli bahasa Wahab S. Edisi keempat. Penerbit gajah mada university press, 1994: 344-60.

    Siregar, Fazidah A. TT. Hepatitis B Ditinjau dari Kesehatan Masyarakat dan Upaya Pencegahan. Sumatera Utara: Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.

    Sujono, Hadi. 1995. Gastoenterologi. Bandung: Alumni Bandung, 1995: 400-599.

    Syukur, C. 2003. Tanaman Obat Antikanker. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. 3-15.

    Tang, W. & Eisenbrand, G. 1992. Chinese Drugs of Plant Origin: Chemistry, Pharmacology, and Use in Traditional and Modern Medicine. Springer-Verlag. Berlin. 1992: 97.

    Taryono., E. M. Rahmat, S & A. Sardina. 1987. Plasma Nutfah Tanaman Temu-Temuan. Edisi Khusus Ballittro. 3 (1) ;47-56.

    Thamlikitkul, V., Dechatiwongse, T., & Terapong, S. 1991. Efficacy of Androgramaphis paniculata for pharyngotonsilitis in adults (abstract). Thai: J.med.Assoc. 74:437-42.

    Van Steenis, C.G.G.J, den Hoed, D., Bloembergen, S., & Eyma, P.J. 1947. Flora untuk Sekolah di Indonesia. Alih Bahasa: Moeso S., Soenarto, Hardjosuwarno, Soerjosodo A., Wibisono, Margono P., Soemantri W. 1947. Jakarta: Pradnya Paramita.

    WHO. 2002. Herba androgramaphidis. Dalam : WHO monogramaphs on selected medicinal plants 2002; 2: 12-22.

    Wijayakusuma, M.H. 2005. Mencegah & Mengatasi Gangguan Kesehatan dengan Bahan-Bahan Alami. http://cybermed.cbn.net.id [27 Agustus 2011].

    World Health Organization. World Cancer Report 2008. WHO Press, 2008.

  • 23

    Yuniarti, T. 2008. Ensiklopedia Tanaman Obat Tradisional. Yogyakarta Media Pressindo. Hal 381.

    Zain, L.H. 2006. Hepatitis B dan Permasalahannya. Medan: Universitas Sumatera Utara.

    Zein, Umar. 2009. Perbandingan Efikasi Antimalaria Ekstrak Herba Sambiloto (Androgramaphis Paniculata Nees) Tunggal dan Kombinasi Masing-Masing dengan Artesunat dan Klorokuin pada Pasien Malaria Falsiparum tanpa Komplikasi. Disertasi. Sumut: Universitas Sumatra Utara.