21
Portofolio Nama Peserta: dr. Winny Anggreni Korayan Nama Wahana: RS Prof.Dr. V.L. Ratumbuysang Manado Topik: Skizofrenia Tanggal (kasus): Nama Penderita: Tanggal Presentasi: 6 Maret 2015 Nama Pendamping: dr. Janny I. Adam Tempat Presentasi: RS Prof.Dr. V.L. Ratumbuysang Manado Obyektif Presentasi: Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil Deskripsi: Tujuan: 1

Portofolio Skizofrenia Paranoid Poli

Embed Size (px)

DESCRIPTION

portofolio dokter internsip rsj ratumbuysang

Citation preview

Portofolio

Nama Peserta: dr. Winny Anggreni Korayan

Nama Wahana: RS Prof.Dr. V.L. Ratumbuysang Manado

Topik: Skizofrenia

Tanggal (kasus):

Nama Penderita:

Tanggal Presentasi: 6 Maret 2015

Nama Pendamping: dr. Janny I. Adam

Tempat Presentasi: RS Prof.Dr. V.L. Ratumbuysang Manado

Obyektif Presentasi:

KeilmuanKeterampilanPenyegaranTinjauan Pustaka

DiagnostikManajemenMasalahIstimewa

Neonatus

Bayi

Anak

Remaja

Dewasa

Lansia

Bumil

Deskripsi:

Tujuan:

Bahan bahasan:

Tinjauan Pustaka

Riset

Kasus

Audit

Cara membahas:

Diskusi

Presentasi dan diskusi

Email

Pos

Data penderita:

Nomor Registrasi:

Nama RS:

Telp:

Terdaftar sejak:

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis:

Gambaran Klinis:

2. Riwayat Pengobatan:

3. Riwayat kesehatan/Penyakit:

4. Riwayat keluarga:

5. Riwayat pekerjaan:

6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (RUMAH, LINGKUNGAN, PEKERJAAN):

7. Lain-lain :

Daftar Pustaka:

1. Maramis, WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press; 2004.

2. Kaplan, Harold I, Sadock, Benjamin J, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri, Ed 7. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997.

3. Maslim R. 2002. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya; 2002.

4. APA. DSM IV-TR. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision. Washington DC: American Psychiatric Association; 2000.

5. Fausiah F, Widury, Julianti. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: Universitas Indonesia press; 2008.

6. Davidson C, Gerald, Neale, John M. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada; 2006.

7. Nevid, Jeffrey. Psikologi Abnormal, Ed 5. Jakarta: Erlangga; 2003.

8. Hawari D. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001.

9. Corey, Gerald. Konseling & Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama; 2007.

Hasil Pembelajaran:

1. Mengetahui definisi dan subtipe skizofrenia.

2. Mengetahui etiopatogenesis skizofrenia.

3. Mengetahui penegakkan diagnosis skizofrenia.

4. Mengetahui penatalaksanaan skizofrenia.

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

DEFINISI :

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yang berarti jiwa yang retak (skizos artinya retak dan freenas artinya jiwa). Jiwa manusia terdiri dari 3 unsur yaitu perasaan, kemauan dan perilaku. Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan perilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial.

Pedoman dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III menjelaskan bahwa skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.

Pada umumnya skizofrenia ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walapun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.

Menurut Departeman Kesehatan Indonesia, skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikologi dengan gangguan dasar pada kepribadian dan distorsi khas proses pikir yang ditandai dengan proses pikir penderita yang lepas dari realita sehingga terjadi perubahan kepribadian seseorang yang reversibel dan menuju kehancuran serta tidak berguna sama sekali.

EPIDEMIOLOGI :

Tujuh puluh lima persen penderita skizofrenia berusia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stressor, namun bisa terlihat disegala usia. Risiko penyakitnya sama pada wanita dan pria, tetapi pria cenderung memiliki awitan yang lebih awal dibandingkan wanita, dan penyakitnya sering lebih berat pada pria. Penderita skizofrenia banyak ditemukan dikalangan golongan ekonomi rendah, sehingga hal ini diperkirakan merupakan faktor predisposisi penyebab timbulnya skizofrenia. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri. Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat.

ETIOLOGI :

Sampai saat ini etiologi skizofrenia masih belum jelas dan masih dalam penelitian para ahli. Kemungkinan besar skizofrenia adalah suatu gangguan yang heterogen. Yang menonjol pada gangguan skizofrenia adalah adanya stressor psikososial yang mendahuluinya. Seseorang yang mempunyai kepekaan spesifik bila mendapat tekanan tertentu dari lingkungan akan timbul gejala skizofrenia.

Etiologi skizofrenia diuraikan menjadi dua kelompok teori, yaitu :

1. Teori Somatogenetik

a. Faktor Genetik

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gen yang diwarisi seseorang, sangat kuat mempengaruhi risiko seseorang mengalami skizofrenia. Studi pada keluarga telah menunjukkan bahwa semakin dekat relasi seseorang dengan penderita skizofrenia, makin besar risikonya untuk mengalami penyakit tersebut.

b. Biochemistry (ketidakseimbangan kimiawi otak)

Beberapa bukti menunjukkan bahwa skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu dengan yang lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamin yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamin. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin, dan norepinephrine tampaknya juga turut berperan.

Teori Jalur Dopamin yang berpengaruh dalam Skizofrenia :

a) Mesokortikal Dopamin Pathways :

Hipoaktivitas di daerah ini menyebabkan gejala negatif dan gangguan kognitif.

Gejala negatif dan kognitif disebabkan terjadi penurunan dopamin di jalur mesokortikal terutama pada daerah dorsolateral prefrontal korteks.

Defisit behavioral yang dinyatakan dalam suatu gejala negatif berupa penurunan aktivitas motorik. Aktivitas yang berlebihan dari sistem glutamat yang bersifat eksitotoksik pada sistem saraf (burn out) yang kemudian berlanjut menjadi suatu proses degenerasi di mesokortikal jalur dopamin. Ini akan memperberat gejala negatif dan meningkatkan defisit yang telah terjadi pada penderita skizofrenia.

Penurunan dopamin di mesokortikal dopamine pathway dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamin yang berlebihan pada jalur ini atau melalui blokade antipsikotik terhadap reseptor D2.

Peningkatan dopamin pada mesokortikal dopamine pathway dapat memperbaiki gejala negatif atau mungkin juga gejala kognitif. Keadaan ini akan menjadi suatu dilema karena peningkatan dopamin di jalur mesolimbik akan meningkatkan gejala positif, sementara penurunan dopamin di jalur mesokortikal akan meningkatkan gejala negatif dan kognitif.

Hal tersebut dapat diatasi dengan pemberian obat antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua) pada penderita skizofrenia. Antipsikotik jalur kedua menyebabkan dopamin di jalur mesolimbik menurun tetapi dopamin yang berada di jalur mesokorteks meningkat.

b) Mesolimbik Dopamin Pathways :

Hiperaktivitas di daerah ini menyebabkan gejala positif dari skizofrenia.

Jalur ini berperan penting pada emosional, perilaku khususnya halusinasi pendengaran, waham dan gangguan pikiran. Psikostimulan seperti amfetamin dan kokain dapat menyebabkan peningkatan dari dopamin melalui pelepasan dopamin pada jalur ini sehingga hal ini menyebabkan terjadinya gejala positif dan menimbulkan psikosis paranoid jika pemberian zat ini dilakukan secara berulang.

Antipsikotik bekerja melalui blokade reseptor dopamin khususnya reseptor D2 sehingga gejala positif dapat menurun atau menghilang.

Hipotesis hiperaktif mesolimbik dopamine pathways menyebabkan gejala positif psikotik meningkat. Keadaan ini dapat merupakan bagian dari skizofrenia, atau psikosis yang disebabkan oleh zat, mania, depresi atau demensia.

Hiperaktivitas mesolimbik dopamin pathways mempunyai peranan dalam gejala agresivitas dan hostilitas pada penderita skizofrenia terutama bila terjadi penyimpangan kontrol serotonergik dari dopamin.

Nukleus akumbens adalah bagian dari sistem limbik yang mempunyai peranan untuk mempengaruhi perilaku, seperti pleasurable sensation (sensasi yang menyenangkan), powerful euphoria pada individu yang memiliki waham, halusinasi serta pengguna zat.

Mesolimbik dopamin pathways selain dapat menyebabkan gejala positif, juga mempunyai peranan dalam pleasure, reward dan reinforcing behavior. Pada kasus penyalahgunaan zat dapat menimbulkan ketergantungan karena terjadi aksi di jalur ini.

Jalur Dopamin yang dipengaruhi Neuroleptik :

Nigrostriatal Dopamin Pathways :

Jalur yang bertanggungjawab dalam gerakan motorik. Diblokir oleh neuroleptik, menyebabkan efek samping ekstrapiramidal.

Penurunan dopamin pada nigrostriatal dopamine pathways dapat menyebabkan gangguan pergerakan seperti yang ditemukan pada penyakit Parkinson, yaitu rigiditas, akinesia, atau bradikinesia (pergerakan berkurang atau pergerakan melambat) dan tremor.

Penurunan dopamin di daerah basal ganglia dapat menyebabkan akatisia (a tipe of restlessness) dan distonia (twisting movement/pergerakan kaku) khususnya pada bagian wajah dan leher.

Gangguan pergerakan dapat juga diakibat oleh blokade reseptor D2 oleh obat yang bekerja pada reseptor tersebut, seperti halnya pada obat-obat antipsikotik generasi pertama contohnya haloperidol.

Hiperaktivitas atau peningkatan dopamin pada nigrostriatal dopamine pathways mendasari terjadinya gangguan pergerakan hiperkinetik seperti chorea, dyskinesia dan tics.

Terjadinya blokade yang lama pada reseptor D2 di nigrostriatal dopamine pathways menyebabkan timbulnya gangguan pergerakan seperti tardive dyskinesia.

c. Neuroanatomy (kelainan struktuk otak)

Berbagai teknik imaging, seperti Magnetik Resonance Imaging (MRI) telah membantu para ilmuan untuk menemukan abnormalitas struktur spesifik pada otak penderita skizofrenia. Misalnya, penderita skizofrenia yang kronis cenderung memiliki ventrikel otak yang lebih besar. Mereka juga memiliki volume jaringan otak yang lebih sedikit dari pada orang normal. Penderita skizofrenia menunjukkan aktivitas yang sangat rendah pada lobus frontalis otak. Terdapat kemungkinan abnormalitas di bagian-bagian lain otak seperti di lobus temporalis, basal ganglia, thalamus, hippocampus, dan superior temporal gyrus.

2. Teori Psikogenik

Teori yang menganggap skizofrenia disebabkan oleh suatu konflik, stres psikologik dan hubungan antar manusia yang mengecewakan.

PEDOMAN DIAGNOSTIK :

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ketiga (PPDGJ III) membagi gejala skizofrenia dalam kelompok-kelompok penting, dan yang sering terdapat secara bersama-sama untuk diagnosis. Kelompok gejala tersebut, antara lain :

Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :

a. thought echo, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau

thought insertion or withdrawal, yaitu isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan

thought broadcasting, yaitu isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;

b. delusion of control, yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau

delusion of influence, yaitu waham tentang dirinya dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar; atau

delusion of passivity, yaitu waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap seuatu kekuatan dari luar;

(tentang dirinya, yaitu secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);

delusional perception, yaitu pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;

c. Halusinasi auditorik :

Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku penderita, atau

Mendiskusikan perihal penderita di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau

Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).

Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :

e. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-menerus.

f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;

g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;

h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

i. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).

j. Harus ada perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

SUBTIPE SKIZOFRENIA :

Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revised (DSM-IV-TR) membagi skizofrenia atas subtipe secara klinik, berdasarkan kumpulan gejala yang paling menonjol.

1. Tipe katatonik : yang menonjol gejala katatonik.

2. Tipe disorganized : adanya kekacauan dalam bicara dan perilaku, dan afek yang tidak sesuai atau datar.

3. Tipe paranoid : gejala yang menonjol merupakan adanya preokupasi dengan waham atau halusinasi yang sering.

4. Tipe tak terinci (undifferentiated) : adanya gambarangejala fase aktif, tetapi tidak sesuai dengan kriteria untuk skizofrenia katatonik, disorganized, atau paranoid. Atau semua kriteria untuk skizofrenia katatonik, disorganized,dan paranoid terpenuhi.

5. Tipe residual : merupakan kelanjutan dari skizofrenia, akan tetapi gejala fase aktif tidak lagi dijumpai.

PENANGANAN SKIZOFRENIA :

A. PSIKOFARMAKOLOGI

1. Obat Antipsikosis

Penanganan penderita gangguan jiwa adalah dengan memberikan terapi obat-obatan yang akan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter sehingga gejala-gejala klinis dapat dihilangkan. Terapi obat diberikan dalam jangka waktu relatif lama, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Skizofrenia adalah suatu gangguan yang berlangsung lama dan fase psikotiknya memiliki :

Fase akut

Fase stabilisasi

Fase stabil

Penanggulangan memakai antipsikotik diindikasikan terhadap semua fase tersebut.

Antipsikotik dibedakan atas :

a. Antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi pertama), contohnya :

Chlorpromazine

Flupenthixol

Fluphenazine

Haloperidol

Trifluoperazine

Zuclopenthixol

b. Antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua), contohnya :

Amisulpride

Aripiprazole

Clozapine

Olanzapine

Paliperidone

Quetiapine

Risperidone

Ziprasidone

Pemakaian antipsikotik dalam menanggulangi skizofrenia telah mengalami pergeseran. Bila mulanya menggunakan antipsikotik tipikal, kini pilihan beralih ke antipsikotik atipikal, yang dinyatakan lebih superior dalam menanggulangi gejala negatif dan kemunduran kognitif.

Terdapat perbedaan efek samping yang nyata antara antipsikotik atipikal dan antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal :

Menimbulkan lebih sedikit efek samping neurologis

Lebih besar kemungkinan dalam menimbulkan efek samping metabolik, misalnya pertambahan berat badan, diabetes mellitus, atau sindroma metabolik.

Penanggulangan memakai antipsikotik diusahakan sesegera mungkin, bila memungkinkan secara klinik, karena eksaserbasi psikotik akut melibatkan distres emosional, perilaku individu membahayakan diri sendiri, orang lain, dan merusak sekitar. Penderita terlebih dahulu menjalani pemeriksaan kondisi fisik dan pemeriksaan laboratorium, sebelum memperoleh antipsikotik.

Penanggulangan Skizofrenia Berdasarkan Fase :

a. Fase Akut

Lama:4-8 minggu

Gejala psikotik akut:halusinasi, waham, pembicaraan, dan perilaku yang kacau.

Target penanggulangan:mengurangi gejala psikotik dan melindungi individu dari perilaku psikotik yang berbahaya.

b. Fase Stabilisasi

Lama:2-6 bulan

Gejala:mulai berkurang, akan tetapi individu masih vulnerabel untuk mendapat serangan ulang, bila dosis dikurangi atau adanya stressorpsikososial, serta memperhatikan adanya perbaikan dari fungsi-fungsi individu.

Target penanggulangan:mengurangi gejala yang masih ada dan merencanakan pengobatan jangka panjang.

c. Fase Stabil

Lama:tidak terbatas

Gejala:gejala positif sudah minimal atau tidak dijumpai lagi, dan gejala negatif masih dominan.

Target penanggulangan:mencegah muncul kembali psikosis, mengurangi gejala negatif dan memfasilitasi individu untuk rehabilitasi sosial.

2. Terapi Elektrokonvulsif

Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi elektroshock. Dimasa lalu ECT digunakan diberbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk skizofrenia. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan penderita. Penderita seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik. Saat ini, ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Penderita diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke otak melalui kedua pelipis atau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah terjadinya kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Empat sampai enam kali pengobatan semacam ini biasanya dilakukan dalam jangka waktu 2 minggu. Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan schizophrenia, namun lebih efektif untuk penyembuhan penderita depresi tertentu.

3. Pembedahan

Pada tahun 1935, Moniz memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu preoses pembedahan pada lobus frontalis penderita skizofrenia. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950-an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.

B. PSIKOTERAPITerapi kejiwaan harus diberikan apabila penderita telah diberikan terapi psikofarmaka dan telah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. Psikoterapi ini bermacam-macam bentuknya, antara lain :

Psikoterapi Suportif, dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar penderita tidak merasa putus asa.

Psikoterapi Re-eduktif, dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang guna memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu.

Psikoterapi Rekonstruktif, dimaksudkan untuk memperbaiki kembali kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh seperti semula sebelum sakit.

Psikologi Kognitif, dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika.

Psikoterapi Perilaku, dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang terganggu menjadi perilaku yang mampu menyesuaikan diri.

Psikoterapi Keluarga, dimaksudkan untuk memulihkan penderita dan keluarganya.

Psikososial, dimaksudkan agar mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban keluarga.

Psikoreligius, berupa kegiatan ritual keagamaan seperti berdoa, mamanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan, kajian kitab suci.

Rehabilitasi, penting dilakukan sebagi persiapan penempatan kembali ke keluarga dan masyarakat. Program ini biasanya dilakukan di lembaga rehabilitasi misalnya di suatu rumah sakit jiwa. Dalam program rehabilitasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain; dengan terapi kelompok yang bertujuan membebaskan penderita dari stress dan dapat membantu agar dapat mengerti jelas sebab dari kesukaran dan membantu terbentuknya mekanisme pembelaan yang lebih baik dan dapat diterima oleh keluarga dan masyarakat, menjalankan ibadah keagamaan bersama, kegiatan kesenian, terapi fisik berupa olahraga, keterampilan, berbagai macam kursus, bercocok tanam, serta rekreasi. Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung antara 3-6 bulan. Secara berkala dilakukan evaluasi paling sedikit dua kali yaitu evaluasi sebelum penderita mengikuti program rehabilitasi dan evaluasi pada saat penderita akan dikembalikan ke keluarga dan ke masyarakat. Selain itu peran keluarga juga penting, keluarga adalah orang-orang yang sangat dekat dengan penderita dan dianggap paling banyak tahu kondisi penderita serta dianggap paling banyak memberi pengaruh pada penderita. Sehingga keluarga sangat penting artinya dalam perawatan dan penyembuhan penderita.

15