50
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam Volume 8, Nomor 1, Februari 2015; p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579; 46-95 PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI GAGASAN ABDURRAHMAN WAHID DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak: Dalam sejarah perkembangan agama Islam, diketahui bahwa hijrahnya Nabi ke Madinah dengan tujuan menjamin keamanan masyarakat agamanya serta demi kondisi-kondisi yang dibutuhkan bagi penyiaran agama Islam. Di Madinah, Nabi mengeluarkan sebuah Piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas, dengan menekankan kerjasama seerat mungkin antara muslim dengan non muslim untuk bekerjasama demi keamanan mereka bersama. Kecenderungan sekelompok kecil umat Islam yang sering bersikap keras terhadap penganut agama lain menurut Abdurrahman Wahid merupakan proses pendangkalan agama. Proses pendidikan dan dakwah Islam yang cenderung bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain merupakan faktor lain yang memperburuk hubungan antar umat beragama di Indonesia. Hal ini dilakukan baik oleh mubalillgh maupun guru-guru di sekolah. Padahal tidak ada ayat atau hadis nabi yang memerintahkan kaum Muslim bersikap keras demikian, apalagi terhadap agama-agama samawi. Kata kunci: pluralisme, pendidikan Islam, Abdurrahman Wahid Pendahuluan Menurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk atau plural society, 1 dari segi etnis, misalnya ada suku melayu dan ada suku Melanesia yang selanjutnya membentuk seratus suku besar dan 1.072 suku- suku derivative besar dan kecil. Dari segi bahasa, terdapat ratusan bahasa yang digunakan di seluruh wilayah Nusantara. Dari segi pulau yang dihuni, terdapat sekitar 13.000 lingkungan kehidupan kepulauan. Dari segi sejarah politik lokal, terdapat puluhan bahkan ratusan sistem kerajaan kesukuan lama yang berpengaruh terhadap sistem stratifikasi sosial dan adat istiadat 1 Setelah Indonesia merdeka, kemajemukan masyarakat Indonesia disebabkan oleh keadaan intern tanah air dan bangsa Indonesia sendiri. Golongan Eropa yang sebelum itu mempunyai kedudukan sangat penting di dalam masyarakat Indonesia kemudian terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia. Lihat Dr. Ichtijanto, “Masyarakat Majemuk dan Kerukunan Hidup Beragama”, dalam Prof. Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural , (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, 47.

PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam Volume 8, Nomor 1, Februari 2015; p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579; 46-95

PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI GAGASAN ABDURRAHMAN WAHID

DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak: Dalam sejarah perkembangan agama Islam, diketahui bahwa hijrahnya Nabi ke Madinah dengan tujuan menjamin keamanan masyarakat agamanya serta demi kondisi-kondisi yang dibutuhkan bagi penyiaran agama Islam. Di Madinah, Nabi mengeluarkan sebuah Piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas, dengan menekankan kerjasama seerat mungkin antara muslim dengan non muslim untuk bekerjasama demi keamanan mereka bersama. Kecenderungan sekelompok kecil umat Islam yang sering bersikap keras terhadap penganut agama lain menurut Abdurrahman Wahid merupakan proses pendangkalan agama. Proses pendidikan dan dakwah Islam yang cenderung bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain merupakan faktor lain yang memperburuk hubungan antar umat beragama di Indonesia. Hal ini dilakukan baik oleh mubalillgh maupun guru-guru di sekolah. Padahal tidak ada ayat atau hadis nabi yang memerintahkan kaum Muslim bersikap keras demikian, apalagi terhadap agama-agama samawi. Kata kunci: pluralisme, pendidikan Islam, Abdurrahman Wahid

Pendahuluan

Menurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk

atau plural society,1 dari segi etnis, misalnya ada suku melayu dan ada suku

Melanesia yang selanjutnya membentuk seratus suku besar dan 1.072 suku-

suku derivative besar dan kecil. Dari segi bahasa, terdapat ratusan bahasa yang

digunakan di seluruh wilayah Nusantara. Dari segi pulau yang dihuni,

terdapat sekitar 13.000 lingkungan kehidupan kepulauan. Dari segi sejarah

politik lokal, terdapat puluhan bahkan ratusan sistem kerajaan kesukuan lama

yang berpengaruh terhadap sistem stratifikasi sosial dan adat istiadat

1 Setelah Indonesia merdeka, kemajemukan masyarakat Indonesia disebabkan oleh keadaan intern tanah air dan bangsa Indonesia sendiri. Golongan Eropa yang sebelum itu mempunyai kedudukan sangat penting di dalam masyarakat Indonesia kemudian terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia. Lihat Dr. Ichtijanto, “Masyarakat Majemuk dan Kerukunan Hidup Beragama”, dalam Prof. Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, 47.

Page 2: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

47 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

setempat sekarang. Dari segi mata pencaharian, terdapat keragaman antara

kehidupan pedesaan dan perkotaan. Dari segi agama, terdapat sejumlah

agama besar dunia dan sejumlah sistem kepercayaan lokal yang tersebar

diseluruh wilayah Nusantara.2

Sering kali perbenturan dalam pluralisme yang mendapat sorotan tajam

adalah mengenai pluralisme agama. Karena secara historis, di negara ini

agama-agama besar berkembang dengan suburnya. Dan secara sosiologis,

hubungan masing-masing agama erat dengan berbagai dinamika, terkadang

akomodatif dan terkadang konfrontatif. Pola hubungan akomodatif terjadi

karena masing-masing umat dapat mengaktualisasikan ajaran agamanya

dengan benar sekaligus para pemeluk agama menaati dan mengakomodir

nilai-nilai budaya lokal. Sedangkan mencuatnya hubungan konfrontatif

disebabkan oleh sifat dan watak umat beragama, termasuk pemahaman

agama yang sempit serta adanya pengaruh provokasi dari luar. Yang

selanjutnya menyebabkan kerusuhan yang bernuansa agama.

Menurut Yenni Wahid,3 kekerasan berbau SARA terjadi karena ada

pihak-pihak yang ingin memecah belah bangsa Indonesia yang majemuk.

Mereka membenturkan hal-hal yang berbeda, juga ada keinginan untuk

memimpin ruang-ruang tertentu namun rela mengacaukan hubungan yang

telah harmonis. Serta ada pula penyebab lain, terutama faktor ekonomi yang

bisa menyebabkan seseorang menjadi frustasi lalu mudah ditawari untuk

menjadi mujahid dengan mengikuti kelompok yang menjanjikan surga dan

kemuliaan.4

Agama dewasa ini ditantang dan diuji oleh perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesatnya,5 agama-agama besar

2 Atho Mudzhar, Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan ke Depan (Tinjauan dari Aspek Keagamaan) dalam Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, cet. I (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), 1-2 3 Yenni Wahid bernama asli Zannuba Arrifah Chafsoh, putri ke-2 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah Direktur The Wahid Institut 2004-sekarang. 4 Zannuba Arrifah Chafsoh, “Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah”, Suara Merdeka (Semarang: 20 Februari 2011), 2. 5 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berasal dari munculnya revolusi industri yang berlangsung di beberapa masyarakat Barat terutama pada abad ke- 19 dan awal abad ke- 20. Revolusi industri bukanlah peristiwa tunggal, melainkan terdiri dari beberapa perkembangan yang saling terkait dan berpuncak pada transformasi dunia

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

Page 3: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 48 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

dunia, Yahudi, Kristen, dan Islam disadari ataupun tidak telah memasuki

periode krisis yang ikut dan berlangsung secara kontinyu. Krisis tersebut

karena agama-agama sudah tidak mampu memberikan solusi-solusi alternatif

bagi manusia modern dalam ragam masalah kehidupan mereka.

Pendidikan Pluralisme

Istilah konsep dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai ide umum,

pengertian, pemikiran, rancangan, serta rencana dasar.6 Pluralisme berasal dari kata

plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti terdapat keanekaragaman dalam

masyarakat. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, pluralisme diartikan sebagai

keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam

suatu masyarakat atau negara serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu

badan, kelembagaan, dan sebagainya. 7 Pluralisme yang dalam bahasa arabnya

diterjemahkan al-ta’addudiyyah,8 secara lughawi berasal dari kata plural (Inggris) yang

berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain

di luar kelompok kita yang harus diakui. Pluralisme adalah sebuah “ism” atau aliran

tentang pluralitas.9

Pluralisme yang berarti jamak atau lebih dari satu, dalam kamus bahasa

Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (a) sebutan untuk

orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (b)

memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun

nonkegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mengakui

adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga,

pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman

kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap

menjunjung tinggi aspekaspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara

Barat dari sistem pertanian menuju sistem industri besar-besaran. Dengan munculnya pabrik-pabrik sebagai buah dari kemajuan teknologi. Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, cetakan II (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), 7. 6 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), 362. 7 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), 13. 8 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, cetakan III (Jakarta: Gema Insani, 2007), 11. 9 Ma’arif, Pendidikan Pluralisme , 11

Page 4: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

49 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

kelompokkelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa

disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau

keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan

karakteristik masing-masing.10

Nurcholis Madjid menyatakan bahwa pluralisme tidak dapat dipahami hanya

dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari

berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan

pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif”

(negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.

Menurut Alwi Shihab, pengertian konsep pluralisme dapat disimpulkan

sebagai berikut: pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang

adanya kemajemukan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme,

kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam, ras, bangsa hidup

berdampingan di suatu lokasi. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan

dengan relativisme. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni

menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian

komponen ajaran dari beberapa agama tersebut.11

Sementara definisi tentang pendidikan pluralisme menurut Frans Magnez

Suseno adalah suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada

cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi

budaya dan agama sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah

keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan

akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.12

Pendidikan Pluralisme sering dikenal orang dengan sebutan “Pendidikan

Multikultural”. Ainurrofiq Dawam menjelaskan definisi pendidikan multikultural

sebagai proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas

10 Thoha, Tren Pluralisme Agama, 12. 11 Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1999), 41-42. 12 Ma’arif, Pendidikan Pluralisme, 92.

Page 5: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 50 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran

(agama).13

Muhammad Ali menyebut pendidikan multikultural sebagai pendidikan yang

berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus

berwawasan multikultural, seperti itu, dengan sebutan “Pendidikan Pluralis

Multikultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari

upaya komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme

agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep

pendidikan ini adalah toleransi.14

Memperhatikan beberapa definisi tentang pendidikan pluralisme tersebut di atas,

secara sederhana pendidikan pluralisme dapatlah di definisikan sebagai pendidikan

untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan

demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara

keseluruhan. Pendidikan di sini, dituntut untuk dapat merespon terhadap

perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak

bagi setiap kelompok.

Melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan yang berbasis pluralisme akan

berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada

peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para

peserta didiknya akan pentingnya saling menghargai, menghormati dan bekerja sama

dengan agama-agama lain.15

Dasar Pendidikan Pluralisme

a. Dasar Historis

Ada banyak bukti historis bahwa Nabi Muhammad SAW. Sangat

proeksistensi terhadap pemeluk agama lain dan memberikan kebebasan kepada

mereka untuk melakukan ritual di masjid milik umat Islam. Dikisahkan oleh Ibnu

Hisyam dalam al Sirah al-Nabawiyyah, bahwa Nabi pernah menerima kunjungan para

tokoh Kristen Najran berjumlah 60 orang. Menurut Muhammad ibnu Ja’far ibnu al-

13 Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003), 100. 14 Ma’arif, Pendidikan Pluralisme. 15 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme (Semarang: Nedd’s Press, 2008), 100.

Page 6: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

51 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah, mereka langsung menuju masjid.

Saat itu Nabi sedang melaksanakan shalat ashar bersama para sahabatnya. Mereka

datang dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang juga lazim digunakan oleh

Nabi Muhammad SAW. Dan para sahabatnya. Ketika waktu Kebaktian tiba, mereka

pun tak harus mencari gereja. Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan

sembahyang di masjid.16

Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh kalangan Kristen. Ketika umat Islam

dikejar-kejar oleh Kafir-Quraisy Mekkah, yang memberikan perlindungan adalah

Najasy, raja Abesinia yang Kristen. Ia berpendirian bahwa pengikut Muhammad

haruslah dilindungi hak-haknya, termasuk hak memeluk agama. Begitu pula ketika

Nabi hijrah ke Madinah, Beliau mengadakan pertemuan secara besar-besaran

bersama sahabat Anshar dan beberapa keluarga (Naqib) dari Mekkah. Dalam

pertemuan itu, 23 artikel dari Piagam Madinah telah ditetapkan. Juga tercantum

dalam piagam itu, untuk membentuk masyarakat dan hubungan-hubungan legal bagi

kelompok Muslim yang baru. Selanjutnya Beliau berkonsultasi dengan perwakilan

dari non-Muslim. Akhirnya seluruh dari mereka menyepakati dasar-dasar

pembentukan sebuah “citystate” yang baru. Inilah yang kemudian diabadikan dengan

sebutan “Piagam Madinah”.17 Seperti yang telah dikatakan oleh Muhammad Husain

Haekal bahwa:

Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan masyarakat Yahudi, Muhammad

membuat perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas agama mereka dan harta

benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik. Sehingga setiap warga Madinah

tanpa membedakan agama maupun suku, mereka berkewajiban mempertahankan

kota itu. Mereka harus bekerja sama antar sesama.18

Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah peradaban Islam yang

menyepakati soal-soal hubungan atau interaksi sosial antara kelompok-kelompok

yang memiliki perbedaan agama dan budaya, yakni antara kelompok Yahudi, Nasrani

16 Moh. Shofan, Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah (Yogyakarta: LSAF, 2008), 54-55 17 Ma’arif, The Beauty of Islam , 67. 18 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, cetakan 30 (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2008), 202.

Page 7: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 52 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

dan Muslim. Di sini, Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai pencetus dan

mediator dalam gerakan ishlah ini. Hal hal penting yang dapat dijadikan sebagai dasar

interaksi sosial di tengah komunitas yang plural antara lain:19

1. Seluruh suku yang ada di Madinah disebut dalam pasal pasal piagam dengan

maksud menghormati identitas kolektivitas keagamaan dan etnik yang ada dalam

masyarakat tersebut.

2. Tiap-tiap kelompok etnik dan keagamaan dijamin otonomi hukum dan

budayanya secara total.

3. Secara garis besar Piagam Madinah memuat kesepakatan antara Muhammad,

kaum Musyrik, dan Yahudi. Dari 47 pasal yang termuat dalam piagam itu meliputi

masalah monoteisme, persatuan-kesatuan, persamaan hak, keadilan, kebebasan

beragama, bela negara, pelestarian adat, perdamaian dan proteksi.

4. Masing-masing berkewajiban menjaga keamanan dan stabilitas Madinah.

5. Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam memiliki kepedulian tinggi terhadap

kesetaraan antaretnis dan ras. Dari sudut tinjauan modern, ia diterima sebagai

sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang majemuk.

6. Piagam Madinah menjadi bukti bagi kerja sama kaum Muslimin dengan

kelompok beragama lain, sekaligus menunjukkan bahwa Muhammad telah

melembagakan asas toleransi beragama yang dinyatakan dalam al-Qur’an (Q.S al-

Baqarah: 156, al-Maidah: 48, dan al-Kafirun: 6).

7. Piagam Madinah menjadi piagam pertama yang mengakui kebebasan hati nurani

yang ditemui dalam sejarah umat manusia.

b. Dasar Normatif

Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa pluralitas adalah salah satu

kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau sunnah Allah,

dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan di hari akhir nanti, mengapa

manusia berbeda satu dari yang lain. Hal tersebut tercantum dalam QS. al-Hujurat:

13.

19 Mukhsin Abdurrahman, Pendidikan Pluralisme-Multikultural http://mukhsinblog.blogspot.com/ 2015/ 05 pendidikan-pluralisme-multikultural.html

Page 8: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

53 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.20

Asbabun nuzul ayat tersebut menegaskan kesatuan asal usul manusia dengan

menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak wajar seseorang

berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan saja antar satu bangsa,

suku atau warna kulit dengan selainnya, tetapi juga antara jenis kelamin mereka.

Islam juga memerintahkan umatnya untuk berinteraksi terutama dengan

agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi

dan debat intelektual dan teologis secara bersama-sama dengan cara yang sebaik-

baiknya. Hal tersebut terdapat pada QS. al-Ankabut: 46

Artinya: Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[1154], dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri"

Menurut Moh. Shofan, setidaknya ada empat tema pokok yang menjadi

kategori utama al-Qur’an tentang pluralisme agama:21

a) Tidak ada paksaan dalam beragama, yang terdapat pada QS. al-Baqarah: 256

20 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani, 2005), 518. 21 Shofan, Menegakkan Pluralisme , 74-75

Page 9: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 54 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.22

Tidak boleh ada paksaan dan tindakan kekerasan untuk masuk ke dalam

agama. Iman itu tunduk dan khudhu’ (patuh). Untuk mencapai hal itu tidak bisa

dilakukan dengan paksaan dan tekanan, tetapi harus dengan alasan dan penjelasan

yang menguatkan. Iman adalah urusan hati. Tidak seorang pun bisa menguasai hati

manusia.

Ayat ini cukup untuk membuktikan tentang kekeliruan musuh-musuh agama

Islam yang mengatakan: “agama Islam ditegakkan dengan pedang, dan orang yang

tidak mau memeluk agama Islam dipancung lehernya”. Sejarah telah membuktikan

kebohongan dari pernyataan itu. Peperangan yang terjadi pada masa Nabi bertujuan

membela diri, supaya kaum Musyrik berhenti mengganggu dan memfitnah para

Muslim. Inilah sebabnya, para Muslim tidak lagi memerangi para Musyrik ketika

mereka telah memeluk Islam atau tetap pada agama semula dengan membayar jizyah

(pajak) sebagai jaminan keamanan.23

Allah Maha Kuasa, sehingga dengan kekuasaan-Nya, Dia bisa jadi ada yang

menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi alasan bagi Allah untuk memaksa

makhluk mematuhi agama Nya. Namun yang terjadi tidak demikian, yang dimaksud

dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini

berarti jika seseorang telah memilih satu akidah, maka dia terikat dengan tuntunan-

tuntunannya, dia berkewajiban melaksanakan perintahperintahnya. Dia terancam

sanksi jika melanggar ketetapannya.

Di sini Anda pun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang Anda miliki.

Anda juga tahu bahwa telah jelas yang ini membawa manfaat dan itu mengakibatkan

mudharat, jika demikian tidak perlu ada paksaan karena yang dipaksa adalah yang

enggan tunduk akibat ketidaktahuan. Di sini telah jelas jalan itu sehingga tidak perlu

22 Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an Terjemah (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani, 2002), 43. 23 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur, jilid II (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), 450-451.

Page 10: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

55 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

ada paksaan. Anda memaksa anak untuk minum obat yang pahit, karena Anda tahu

bahwa obat itu adalah mutlak untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya.24

b) Pengakuan akan eksistensi agama-agama lain. Pengakuan al-Qur’an terhadap

pemeluk agama-agama lain, antara lain tercantum dalam QS. al-Baqarah: 62

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.25

Pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok: al-ladzina

Amanu (menunjuk pada umat Islam), al-ladzina Hadu (ummat Yahudi), al-Nashara

(umat Kristen), dan al-Shabi’in. Al-Thabari berpendapat bahwa jaminan Allah atas

keselamatan tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman, percaya pada hari kemudian, dan

perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk beriman kepada Allah dan Muhammad

saw. Atau dengan kata lain, yang dimaksud dalam ayat ini ialah mereka yang telah

memeluk Islam.26

c) Kesatuan Kenabian, yang bertumpu pada QS. Asy Syura: 13

Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan

24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1, 551-552. 25 Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an, 11. 26 Shihab, Tafsir al-Mishbāh, 79.

Page 11: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 56 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).27

Penyebutan Nabi-Nabi sebagaimana terbaca di atas, sejalan dengan masa

kehadiran mereka di pentas bumi ini terkecuali Nabi Muhammad saw. Itu untuk

mengisyaratkan kedudukan terhormat yang diperoleh Nabi Muhammad saw. Di

kalangan para Nabi. Ini serupa dengan firman-Nya dalam QS. al-Ahzab:7

d) Kesatuan Pesan Ketuhanan yang berpijak pada QS. an-Nisa’: 131

Artinya: Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.28 Apa saja yang ada di langit dan bumi adalah kepunyaan Allah. Dialah yang

menciptakan dan Dialah yang mengurus. Dalam mengurus makhluk-makhuk-Nya,

Allah menciptakan hukum secara mutlak, dan semuanya tunduk di bawah hukum itu.

Orang yang benar-benar memahami hukum-hukum Allah yang berlaku

umum terhadap bumi, langit dan semua isinya serta memahami pula hukum yang

mengatur kehidupan makhluk-Nya, akan mengetahui betapa besar limpahan rahmat

dan karunia-Nya kepada semua makhluk-Nya. Oleh sebab itulah kepada setiap

hamba diperintahkan agar bertakwa kepada-Nya, seperti telah diperintahkan kepada

umat-umat terdahulu, yang telah diberi al-Kitab seperti orang-orang Yahudi dan

Nashrani. Serta kepada orang-orang yang melaksanakan ketakwaan dengan tunduk

dan patuh kepada- Nya dan dengan menegakkan syari’at-Nya. Dengan tunduk dan

27 Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an, 485. 28 Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an, 100.

Page 12: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

57 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

patuh kepada-Nya dan dengan menegakkan syari’at-Nya manusia akan berjiwa bersih

dan dapat mewujudkan kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.29

Pendidikan Islam

Dalam proses pendidikan sangatlah perlu komponen-komponen pendidikan.

Komponen itu sendiri berarti bagian dari suatu sistem yang memiliki peran dalam

keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai sebuah tujuan.

Pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term:

tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris. Masing-masing memiliki keunikan

makna tersendiri, namun memiliki makna yang sama. Akan tetapi term yang populer

digunakan dalam praktek Pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah.30

Istilah kunci yang seakar dengan kata tarbiyah adalah al-rabb, rabbayani, nurabbi,

yurbi, dan rabbani. Istilah tarbiyah yang diambil dari madhi-nya (rabbayani) memiliki arti

memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan,

mengembangkan, memelihara, membesarkan, dan menjinakkan. Pemahaman tersebut

diambil dari tiga ayat dalam al-Qur’an :

a. QS. al-Isra’: 24 “kamâ rabbayânî shaghîrâ” (sebagaimana mereka berdua telah

mendidik aku waktu kecil).

b. QS. al-Syu’ara: 18 “alâ nurabbika fînâ walîdâ” (bukankah Kami telah

mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu masih kanak-kanak).

c. QS. al-Baqarah: 276 “yamhu Allah al-riba wa yurbi shadaqah”.(Allah memusnahkan

riba dan menyuburkan sedekah).

Secara terminologi Pengertian Pendidikan Islam ini sebetulnya sudah cukup

banyak dikemukakan oleh para ahli. Meskipun demikian, perlu dicermati dalam

rangka melihat relevansi rumusan baik dalam hubungan makna, tujuan, fungsi,

maupun proses kependidikan Islam yang dikembangkan dalam rangka menjawab

permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan umat manusia sekarang

ini.

29 Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), 29. 30 Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy dalam kitabnya Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, seperti dikutip oleh Abdul Mujib, Pendidikan Islam dalam khazanah keislaman populer dengan Istilah Tarbiyah, Lihat. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, cetakan I (Jakarta: Kencana, 2006), 10.

Page 13: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 58 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa Pendidikan Islam adalah bimbingan

jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya

kepribadian utama menurut ukuran Islam.31

Memang dalam pendidikan Islam terdapat sebuah karakteristik yang khusus,

rekomendasi Konferensi Internasional Pendidikan Islam di Universitas King Abdul

Aziz Jeddah tahun 1997 mendefinisikan pendidikan Islam sebagai keseluruhan

pengertian yang terkandung dalam istilah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Berdasarkan

pemaknaan ini, Abdurrahman al-Nahlawy menyimpulkan bahwa pendidikan Islam

terdiri dari empat unsur, yaitu: pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak

menjelang baligh; kedua, mengembangkan seluruh potensi; ketiga, mengarahkan

seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan; dan keempat, dilaksanakan secara

bertahap.

Dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam akan dipertanyakan dan menjadi

sorotan tajam tatkala anak didiknya terbawa arus modernitas; menjadi robot-robot

yang tidak mempunyai daya kreativitas kecuali hanya terseret arus. Domain ini yang

sejatinya mampu membawa perubahan tak lebih hanya teranggap sebagai sesuatu

yang konservatif dan sia-sia. Ini tak lebih karena pengajaran agama selama ini bersifat

normatif, dogmatis, dan hanya memikirkan kebenaran yang masih di angan-angan

(akhirat). Sedangkan pemahaman tentang Tuhan beserta ritual pengabdiannya (baca:

teologi) cenderung eksklusif dan ada klaim-klaim apologis seperti klaim kebenaran

(truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim). Hal ini menyebabkan fragmentasi

dan permusuhan antar agama hingga menyebabkan konflik berkepanjangan dan

berdarah-darah. Nilai keagamaan menjadi luntur dan hanya memunculkan

simbolsimbol agama saja.

Dalam lingkup yang lebih luas, gerakan ini merupakan bentuk perlawanan

terhadap westernisasi. Walaupun dalam bentuk kaku, formalistik, dan ritualistik

semacam berjenggot, berpakaian putih dan berjilbab, angkatan muda yang masih

tergolong puritan dan steril dari idiologi sekuler meyakini Islam sebagai satu-satunya

31 Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: al-Ma’arif, 1989), 23.

Page 14: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

59 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

juru selamat. Karenanya identitas Islam harus dikembalikan dari pengaruh luar

(westernisasi).32

Pendidikan Islam sebagai penyedia segala fasilitas yang dapat

memungkinkan tugas-tugasnya tersebut tercapai dan berjalan lancar dengan melihat

realitas keanekaragaman ras dan agama di Indonesia, maka pendidikan Islam harus

memperhatikan beberapa hal berikut:

Pertama, Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga

pendidikan umum yang bercirikan Islam. Artinya, di samping menonjolkan

pendidikannya dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan, namun karakter

keagamaan juga menjadi bagian integral dan harus dikuasai serta menjadi bagian dari

kehidupan siswa sehari-hari.

Kedua; Pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai pendidikan

yang berbasis pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang diberikan kepada siswa

tidak menciptakan suatu pemahaman yang tunggal, termasuk di dalamnya juga

pemahaman tentang realitas keberagamaan.

Ketiga; Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga

pendidikan yang menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem

pendidikan yang memberikan keleluasaan pada siswa untuk mengekspresikan

pendapatnya secara bertanggung jawab.33

Pemikiran Abdurrahman Wahid Mengenai Konsep Pendidikan Pluralisme

Mengamati pemikiran Gus Dur memang menarik sekaligus menyulitkan.

Menarik karena ide-idenya sangat sederhana, tetapi mampu memberikan wawasan

tersendiri dalam menganalisis persoalan, baik di Indonesia maupun di dunia.

Menyulitkan karena pemikirannya terkadang keluar dari kultur yang membesarkannya

(NU dan Pesantren).34

1. Dasar Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid

Tulisan Gus Dur berjudul ’Pengembangan Fiqih Secara Kontekstual’, dipaparkan

bahwa Ideologi pluralisme yang dibawa Beliau dan penghormatannya terhadap

32 Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2001), 14-15. 33 Ma’arif, The Beauty of Islam, 120. 34 Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis (Yogyakarta: LKiS, 2010), 55.

Page 15: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 60 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

pluralitas sepenuhnya berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran

Islam dan juga tradisi keilmuan NU sendiri.

Pertama, prinsip pluralisme secara tegas diakui di dalam kitab suci. Al-Qur’an

secara tegas mendeklarasikan bahwa pluralitas masyarakat dari segi agama, etnis,

warna kulit, bangsa, dan sebagainya, merupakan keharusan sejarah yang menjadi

kehendak Allah (sunnatullah). Karena itu, upaya penyeragaman dan berbagai

bentuk hegemonisasi yang lain, termasuk dalam hal pemahaman dan

implementasi ajaran agama, merupakan sesuatu yang bertentangan dengan

semangat dasar al-Qur’an.

Pluralitas agama dan masyarakat menjadi alat uji parameter kualitas

keberagamaan umat, apakah dengan pluralitas itu setiap kelompok atau umat

beragama bisa hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama lain

dengan semangat saling belajar dan saling menghormati. Atau sebaliknya,

pluralitas itu justru menjadi alasan untuk membangun klaim-klaim kebenaran

yang bersifat sektarian.35

Kedua, nalar keragaman NU sepenuhnya dibangun di atas spirit pluralisme.

NU mengikuti tradisi pemikiran madzhab yang menjadi pilar tegaknya peradaban

fiqih. Ajaran Islam digali secara langsung dari sumbernya, tetapi melalui

pemikiran, NU terhindar dari pendekatan tekstual dan interpretasi tunggal

terhadap al-Qur’an dan al-Hadis. Fiqih dirumuskan sebagai hukum atau

kumpulan hukum yang ditarik dari dalildalil syar’i, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis

(al-ahkam al-mustanbathah min adillatiha al-syar’iyyah). Definisi ini menurut Gus Dur,

secara jelas menampakkan adanya proses untuk memahami situasi yang di situ

ayat al- Qur’an dan al-Hadis memperoleh pengolahan untuk disimpulkan

berdasarkan kebutuhan manusia. Di sini nyata terlihat bahwa pluralisme yang

dikembangkan Gus Dur adalah revitalisasi dari ajaran Islam dan tradisi berpikir

pesantren yang telah berkembang selama-berabad-abad.

Toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur tidak sekedar

menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari agama

35 M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2010), 63-64.

Page 16: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

61 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

yang berbeda, tetapi juga disertai kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran yang

baik dari agama lain, dalam sebuah tulisannya yang berjudul Intelektual di Tengah

Eksklusivisme, Gus Dur pernah mengatakan:

Saya membaca, menguasai, menerapkan al-Qur’an, al-Hadis, dan kitab-kitab Kuning tidak dikhususkan bagi orang Islam. Saya bersedia memakai yang mana pun asal benar dan cocok dan sesuai hati nurani. Saya tidak mempedulikan apakah kutipan dari Injil, Bhagawad Gita, kalau bernas kita terima. Dalam masalah bangsa, ayat al-Qur’an kita pakai secara fungsional, bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi aplikasi adalah soal penafsiran. Berbicara masalah penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis, melainkan sudah menjadi masalah pemikiran.36

2. Pandangan Pluralisme Abdurrahman Wahid

Dalam QS. Ali Imran: 85 yang artinya: ”Barang siapa mengambil selain Islam

sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah, dan dia di akhirat

kelak akan menjadi orang yang merugi,” Gus Dur memberikan penjelasan bahwa ayat

tersebut jelas menunjuk kepada masalah keyakinan Islam yang berbeda dengan

keyakinan lainnya, dengan tidak menolak kerjasama antara Islam dengan berbagai

agama lainnya.37

Dalam pidato perayaan Natal pada tanggal 27 Desember 1999 di Balai Sidang

Senayan Jakarta, misalnya, Abdurrahman Wahid menyampaikan :

Saya adalah seorang yang menyakini kebenaran agama saya, tapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat beragama. Sejak kecil itu saya rasakan. Walaupun saya tinggal di lingkungan pasantren, hidup dikalangan keluarga kiai, tak pernah sedikitpun saya merasa berbeda dengan yang lain.38 Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama antara Islam

dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan

umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu tentunya akan dapat

diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antaragama. Dengan

kata lain prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku dalam hal ini, seperti adagium

36 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, cet. II (Yogyakarta: LKiS, 2010), 204. 37 Menurut Gus Dur, Hal inilah yang membedakan amal sholeh yang merujuk pada amal baik seorang Muslim dengan amal khoir atau amal baik non muslim. Kalau amal saleh itu akan sampai kepada Allah dan akan diterima oleh Nya, sedangkan amal khair tidak demikian, dan hanya akan menjadi fatamorgana. 38 Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada (ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta: LAKPESDAM), 144.

Page 17: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 62 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

ushul fiqh/teori legal hukum Islam: ”sesuatu yang membuat sebuah kewajiban

agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula (Ma la yatimmu

al wajibu illa bihi fahuwa wajibun)”. Kerjasama tidak akan terlaksana tanpa dialog,

oleh karena itu dialog antaragama juga menjadi kewajiban.39

Tentang pluralitas, seperti terdapat dalam QS. al-Hujurat: 13, menurut Gus

Dur, ayat tersebut menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada antara laki-

laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan

demikian, perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang

dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan.

Tentu saja adanya berbagai keyakinan itu tidak perlu dipersamakan secara

total, karena masing-masing memiliki kepercayaan atau aqidah yang dianggap

benar. Demikian pula kedudukan penafsiran-penafsiran aqidah itu. Umat

Katholik sendiri memegang prinsip itu. Seperti dalam Konsili Vatikan II yang

dipimpin Paus Yohannes XXIII dari tahun 1962- 1965, menyebutkan bahwa para

Uskup yang menjadi peserta menghormati setiap upaya mencapai kebenaran,

walaupun tetap yakin bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama

mereka. jadi keyakinan masingmasing tidak perlu diperbandingkan atau

dipertentangkan.

Di sinilah nantinya tebentuk persamaan antaragama, bukannya dalam ajaran

atau aqidah yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian materi. Karena

ukuran capaian materi menggunakan bukti-bukti kuantitatif seperti tingkat

penghasilan rata-rata masyarakat.

3. Cara Menyikapi pluralisme

Menurut Gus Dur, pluralisme di tanah air disimbolisasi dengan banyak hal,

utamanya agama, suku, dan bahasa. Tetapi ada hal yang banyak dilupakan oleh

banyak kalangan, yaitu pluralisme makanan. Ekspresi dan manifestasi pluralisme

dalam makanan semakin memperkukuh entitas kebhinekaan yang mewujud

dalam bangsa ini.

39 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2002), 133-134.

Page 18: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

63 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Ketika berkunjung ke tempat manapun, yang paling menarik dan menjadi

salah satu kekuatan adalah aneka macam menu makanan dengan variannya.

Bahkan, belakangan soal pluralisme makanan tersebut dijadikan sebagai salah satu

acara di stasiun televisi, yang dikenal dengan wisata kuliner.40

Gus Dur memandang bahwa siapapun yang memahami realitas keragaman

masakan yang hampir dimiliki oleh setiap daerah di seluruh

pelosok negeri ini, maka pemahamannya terhadap pluralisme justru akan semakin

kokoh. Keragaman masakan yang kita miliki sebenarnya merupakan unsur

kekuatan, bukan unsur ancaman. Ia semakin menjadikan kita sehat secara jasadi

dan sehat secara ruhani. Makanan yang begitu banyak aneka ragamnya telah

menjadi fakta bahwa pluralisme atau kebhinekaan merupakan rahmat Tuhan yang

harus didayagunakan untuk kemajuan bangsa. Belajar dari pluralisme makanan,

maka kita sebenarnya dapat merayakan manfaat dari pluralisme.

Pluralisme bukanlah ide yang menyatakan semua agama sama. Kita semua

mengakui dan menyadari bahwa setiap agama mempunyai ajaran yang berbeda-

beda. Tetapi perbedaan tersebut bukanlah alasan untuk menebarkan konflik dan

perpecahan. Perbedaan justru dapat dijadikan sebagai katalisator untuk

memahami anugerah Tuhan yang begitu nyata untuk senantiasa merajut

keharmonisan dan toleransi. Oleh sebab itu, perbedaan dan keragaman

merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Apalagi dalam perbedaan dan

keragaman tersebut tersimpan keistimewaan, yang mana antara kelompok yang

satu dengan kelompok lain bisa saling mengisi dan menyempurnakan.

Restoran merupakan ruang publik yang sebenarnya dapat memperkokoh

pluralisme, karena di situlah perbedaan dirayakan dalam konteks menentukan

eksistensi setiap kelompok dengan basis saling menghargai dan menghormati.

Sebab itu kebiasaan Gus Dur dalam menyantap aneka ragam menu masakan di

negeri ini merupakan salah satu apresiasi terhadap pluralisme dan bagaimana

menyikapinya dengan positif dan konstruktif.

40 Maman Imanulhaq Faqih, Fatwa dan Canda Gus Dur (Jakarta: Kompas, 2010), 148.

Page 19: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 64 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Menurut Gus Dur, Setidaknya ada tiga hal mendasar yang bisa dilakukan

sebagai ikhtiar mengurangi berbagai bentuk ancaman terhadap kemajemukan

bangsa, Pertama, penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku tindak kekerasan

dan pemaksaan kehendak yang mengatasnamakan agama. Kedua, ormas-ormas

keagamaan harus didorong untuk mengedepankan dialog dan kerjasama dalam

berbagai bidang sosial dan kebudayaan sehingga toleransi dapat ditumbuhkan

secara menyeluruh. Ketiga, nilai-nilai toleransi perlu ditanamkan dan diajarkan

sejak dini dan berkelanjutan kepada anak-anak mulai dari Sekolah Dasar sampai

Perguruan Tinggi.41

4. Pluralisme dalam Konteks Keindonesiaan

Wajah budaya Indonesia yang bhineka menuntut sikap toleran yang tinggi

dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleransi tersebut harus dapat diwujudkan

oleh semua anggota dan lapisan masyarakat sehingga terbentuklah suatu

masyarakat yang kompak tapi beragam sehingga kaya akan ide-ide baru.42

Serta hubungan antaragama di Indonesia selama kurun waktu 30 tahun

terakhir ini telah berkembang dalam berbagai dimensinya, yang secara kualitatif

telah merubah, dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh perkembangan

pemikiran keagamaan di kalangan umat beragama itu sendiri. Hal ini minimal

dapat ditelusuri pada pemikiran keagamaan kaum muslimin, dalam sosoknya yang

tampak balau pada saat ini. Sebagaimana telah diketahui sejarah bangsa kita, Islam

datang di kawasan ini dalam bentuk dan corak yang heterogen. Dalam garis

besarnya, Islam datang dalam bentuk utusan-utusan politik, para pedagang dan

para sufi.43

Heterogenitas asal usul Islam di Indonesia menunjukkan variasi sangat tinggi

dalam pengalaman menjalani hubungan antaragama yang dibawa oleh kaum

Muslimin ke negeri ini. Dalam pola sinkretik kehidupan beragama orang Islam di

keraton Mataram hingga puritanisme Islam yang kemudian meletus dalam perang

41 A. Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur (Yogyakarta, LKiS, 2010), 19-20. 42 HAR. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, cet. III (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 180. 43 Abdurrahman Wahid, “Hubungan antar-Agama, Dimensi Internal dan Eksternalnya di Indonesia” dalam Adurrahman Wahid, dkk., Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), 3.

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

Page 20: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

65 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Paderi di Sumatera Barat pada paruh pertama abad yang lalu, terbentang

spektrum luas dengan manifestasi hubungan antar beragama yang sangat

beragam. Muslimin masyarakat Jawa menerima ”kekeramatan” bertemunya hari

penting Arab Jum’at dan Hari Jawa Kliwon atau Legi, dengan melakukan ibadah

ekstra pada hari tersebut.

Begitu juga mereka menyebut hari Ahad dengan hari Minggu,44 serta mereka

menjadikan hari tersebut sebagai hari tutup kantor dan tutup sekolah dengan

mengganti kesibukan seperti majlis ta’lim serta pengajian umum. Perubahan

”Hari Kristen” menjadi ”Hari Islam”, tanpa merubah penyebutan nama harinya

itu menunjukkan keindahan mozaik kerukunan hidup antara umat beragama yang

menyejukkan hati dan menentramkan jiwa. Namun, tantangan modernisasi yang

datang dari Barat ternyata menumbuhkan sikap-sikap baru di kalangan kaum

muslimin, yang memerlukan pengamatan teliti.

Pluralitas masyarakat Indonesia sendiri sekurang-kurangnya bisa dilihat

sebagai fakta dalam dua sisi. Sisi pertama: pluralitas suku, agama, dan budaya

serta berbagai turunannya. Sisi kedua: pluralitas di internal suku, agama, dan

budaya itu sendiri. Dalam Islam misalnya, terdapat berbagai aliran yang secara

formal sering kali berseberangan. Demikian juga di dalam agama, budaya dan

suku yang lain.

Toleransi yang diajarkan Gus Dur merupakan ajaran semua agama dan

budaya, apalagi dalam masyarakat majemuk dan multikultur seperti Indonesia.

Namun, toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur berbeda dari tokoh-

tokoh agama lain. Gus Dur mengajarkan toleransi plus, yaitu kalau kebanyakan

orang membudayakan toleransi sebatas pada hidup berdampingan secara damai,

yaitu hidup bersama dalam suasana saling menghormati dan menghargai. Tidak

demikian dengan Gus Dur. Dalam menyikapi pluralitas tersebut, Gus Dur

menegaskan bahwa tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada

pola hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence), karena hal demikian

masih sangat rentan terhadap munculnya kesalah-pahaman antar kelompok

44 Minggu berasal dari kata domingo yang berarti hari Tuhan bagi orang-orang Katolik Portugal, dan kemudian diikuti orang-orang Eropa lain untuk pergi ke gereja.

Page 21: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 66 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu

penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal

dan berdialog secara tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain bisa

saling memberi dan menerima.45

Selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang

mempermasalahkan pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan bangsa

Indonesia. Menurut Gus Dur, kelompok yang menolak pluralisme itu akibat

ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya Bangsa Indonesia. Salah satu cara

mengatasinya, kata Gus Dur, Bangsa Indonesia harus membangun batasan

bersama. Batasan itu adalah penghargaan terhadap pluralisme tidak akan diutak-

atik. Batasan ini juga berlaku saat membahas Undang-Undang Dasar Negara.46

Konsep toleransi yang dikembangkan Gus Dur meniscayakan adanya

kebenaran yang datang dari agama atau peradaban lain. Namun, jika kerendahan

hati seperti itu bisa dikembangkan secara terus menerus, maka toleransi di tengah

masyarakat, akan semakin menemukan polanya yang dengan sendirinya

kerukunan antaragama akan menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika

masyarakat dan suasana saling belajar, melengkapi dan mengisi akan menciptakan

kultur keberagamaan yang matang dan dewasa. Jika sudah demikian, maka

dengan sendirinya perbedaan agama dan keyakinan akan menjadi sumber

kekuatan yang sangat dahsyat bagi perubahan dalam persaudaraan.

5. Aktualisasi Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memimpin upacara pemakaman

Gus Dur di lingkungan Ponpes. Tebu Ireng Jombang, 31 Desember 2009, secara

terbuka mengakui Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme. Jauh sebelumnya, tepatnya

pada 24 Agustus 2005 sejumlah tokoh Lintas Agama, Jaringan Doa Nasional

Tionghoa Indonesia dan warga Ahmadiyah menganugerahi Gus Dur sebagai

Bapak Pluralisme Indonesia. Penganugerahan ini disampaikan di gedung PBNU,

jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat.

45 Tulisan ini diambil dari makalah Gus Dur berjudul “Pluralisme Agama dan Masa Depan Indonesia”, disampaikan pada seminar di UKSW, tahun 1992. lihat Dhakiri, 41 Warisan, 120. 46 Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur, Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis, http://wahidinstitute.org

Page 22: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

67 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Kepedulian Gus Dur terhadap kasus-kasus internasional yang beberapa

diantaranya kontroversial termasuk hubungannya dengan Israel, maupun kasus

kekerasan etnik dan keagamaan serta kasus yang berkaitan dengan HAM dan

demokrasi di Indonesia, misalnya: persoalan Ahmadiyah, kasus Monitor, ICMI,

Ulil Abshar Abdalla, Inul, peristiwa Banyuwangi dan pembunuhan di Jawa Timur

tahun 1998, Sambas di Kalimantan Barat, peristiwa Ambon di Maluku, GAM di

Aceh, masalah Timor Timur, persoaalan Etnis China, tidak hanya dibuktikan

pada level pemikiran belaka, namun Gus Dur selalu tampil sebagai pembela pada

level praktis.

a. Jama’ah Ahmadiyah

Ketika banyak kelompok menghujat dan berusaha menyingkirkan

kelompok lain yang dianggap sesat dengan cara-cara kekerasan dan penistaan

seperti yang sering dialami jamaah Ahmadiyah, Gus Dur selalu tampil sebagai

pembelanya. Bukan berarti Gus Dur setuju dengan keyakinan Ahmadiyah itu,

tetapi Ia sangat menghormati keyakinan seseorang.

b. Kasus Monitor

Kasus Monitor pada bulan Oktober 1990, di mana tabloid tersebut

dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara sebuah surveinya yang

menyinggung perasaan umat Islam. Menurut Gus Dur, kasus monitor

menunjukkan bahwa kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi isu-isu

agama untuk mengedepankan kepentingan mereka. Sehingga beliau

mendirikan Forum Demokrasi untuk memperjuangkan demokrasi di

Indonesia

c. Munculnya ICMI

Berdirinya ICMI pada Desember 1990. Menurut Gus Dur, ICMI

merupkan alat eksploitasi politik terhadap agama yang mengutamakan

kepentingan kelompok eksklusif yang sempit di atas kepentingan nasional.

ICMI akan mengaliansikan non-Muslim dan memperburuk pembelahan dan

salah paham yang sudah kuat dalam masyarakat Indonesia selama ini antara

Page 23: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 68 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

kelompok keagamaan, kesukuan dan budaya yang berbeda. Peristiwa ini pula

yang melatarbelakangi Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi.

d. Pembelaan terhadap Ulil Abshar Abdalla, Inul Daratista, dan kelompok yang

dituduh Komunis.

Ia tanpa ragu membela Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual muda

NU yang juga tokoh muda “Islam Liberal” yang mengemukakan Liberalisme

Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah

implikasi yang sangat jauh, misalnya anggapan bahwa Ulil akan

mempertahankan kemerdekaan berpikir seorang santri demikian bebasnya,

sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan kebenaran Islam.

Itulah sebabnya mengapa demikian besar reaksi orang terhadap pemikirannya

ini. Seperti diketahui bahwa sejumlah ulama’ serta aktifis Islam tertentu

menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu Ia

layak dihukum mati. Menurut Gus Dur, kemerdekaan berpikir adalah sebuah

keniscayaan dalam Islam.

Demikian juga dalam kasus Inul Daratista, perempuan lugu dan

sederhana ini dicerca keras oleh sebagian Tokoh Agama, Majelis Ulama’, dan

Seniman karena goyang ngebornya dianggap melanggar batas-batas kesusilaan

umum. Mereka menggunakan justifikasi fatwa-fatwa keagamaan untuk

melarang Inul tampil di depan publik. Di tengah kontroversi itu, Gus Dur

tampil melindungi dari gempuran kecaman dan panasnya opini publik yang

menekan Inul. Pembelaan Gus Dur didasarkan pada melindungi Hak Asasi

wong cilik dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian

yang agak represif.

Dalam pembelaannya terhadap mereka yang diperlakukan tidak

manusiawi karena dituduh sebagai anggota kelompok Komunis. Karena itu,

ketika Ia menjadi Presiden, Gus Dur mengusulkan pencabutan TAP No.

XXV/MPRS/1966 soal pelarangan penyebaran ajaran Komunisme,

Marxisme dan Leninisme. Namun usul tersebut akhirnya ditolak. Dalam rapat

yang berlangsung hari Senin 29 Mei 2000, seluruh fraksi MPR yang ada di

panitia Ad Hoc II badan pekerja (PAH II BP) MPR menolak usul Gus Dur

Page 24: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

69 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

tersebut. Para anggota MPR tampaknya masih sulit membedakan antara

Komunisme sebagai ideologi (pengetahuan) dan Komunisme sebagai gerakan

partai (G 30 S PKI).146

e. Peristiwa Banyuwangi dan Pembunuhan di Jawa Timur Tahun 1998

Pembunuhan yang konon dilakukan oleh para Ninja berpakaian serba hitam

itu telah memakan korban 200 orang lebih, terbukti bahwa orang yang terlibat

dalam pembunuhan ini mempunyai pendidikan militer dan terorganisir

dengan baik. serta menginginkan kerusuhan sosial di masyarakat. Perlu dicatat

bahwa sebagian korban peristiwa itu adalah anggota NU yang memiliki

kedudukan sebagai Ulama’ di daerah mereka. Respon Gus Dur terhadap

pembunuhan tersebut adalah dengan mengunjungi Banyuwangi dan

mendorong para tokoh agama lokal untuk menahan diri dari godaan untuk

merespons kekerasan ini dengan kekerasan.

f. Sambas di Kalimantan Barat

Daerah ini mempunyai sejarah konflik yang panjang, khususnya

antara transmigran Madura dengan penduduk lokal Dayak dan masyarakat

Melayu. secara kebetulan penduduk asal Madura mempunyai hubungan

dengan NU. mempelajari akar konflik itu, sering dikatakan bahwa elemen-

elemen kekerasan etnik dan agama berakar pada kenyataan bahwa dalam

konflik itu masyarakat Dayak yang Kristen bekerja sama dengan masyarakat

Melayu yang Muslim dan karenanya kerusuhan itu berkaitan dengan faktor

sosio-ekonomi. Meski selama hari-hari sibuk pra-kampanye, Gus Dur

menyempatkan diri untuk mengunjungi langsung daerah sengketa tersebut

untuk bertemu dengan para pemimpin lokal dan meminta respons mereka

dengan sabar dan dewasa terhadap persoalan yang sangat kompleks ini. serta

kunjungan meredamkan konflik tersebut terus berlanjut pada kesempatan

berikutnya. saat itu beliau ditemani oleh Alwi Shihab untuk bertemu dengan

kelompok yang terdiri atas ratusan pemimpin lokal, mengadakan makan siang

bersama dan membincangkan isu kekerasan dan peranan agama dan etnisitas.

Baik Alwi maupun Gus Dur berbicara dengan baik, sabar dan penuh

Page 25: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 70 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

keyakinan serta agaknya punya pengaruh besar terhadap para pendengarnya.

sulit untuk menentukan sampai mana kunjungan singkat tersebut bersifat

instrumental dalam pencapaian perubahan yang cepat, tetapi yang jelas Gus

Dur konsisten dengan posisinya, memberikan prioritas untuk mendorong

pemimpin agama lokal dan pemimpin masyarakat untuk menghindari

kekerasan.

g. Peristiwa Ambon di Maluku

Di Ambon, tak lama setelah pecah kekerasan dan kondisinya saat itu

benar-benar tegang sehingga tidak mungkin mengadakan pertemuan dengan

kubu pemimpin Muslim maupun Kristen seperti yang direncanakan. meski

demikian, Gus Dur tetap bertemu dengan para pemimpin masyarakat lokal

dan membujuk mereka agar bersabar dan toleran dan menahan kekerasan.

sulit sekali untuk mengukur arti kunjungan Gus Dur tersebut yang teramat

penting, Gus Dur merasa perlu untuk mengunjungi dan mempertaruhkan

reputasi persoalannya untuk mencari jalan pemecahan.

h. GAM di Aceh

Kunjungan Gus Dur ke Aceh pada bulan Mei 1999 adalah atas

undangan mahasiswa Aceh untuk berbicara masalah-masalah yang dihadapi

Aceh, khususnya berkaitan dengan kekerasan yang sedang dan terus

berlangsung di Aceh di tangan militer/TNI dan semakin kuatnya Gerakan

Aceh Merdeka (GAM). di sana Ia juga mengunjungi para pemimpin

komunitas agama walaupun banyak diantaranya bukan anggota PKB, karna

saat itu adalah saat menjelang kampanye. Meski sibuk menyiapkan kampanye,

Gus Dur tetap menyempatkan untuk meredamkan konflik Aceh padahal Ia

juga tahu bahwa Aceh bukanlah basis PKB. ini menunjukkan kunjungan

tersebut memang murni dorongan hati nurani beliau.

i. Masalah Timor Timur

Dalam seluruh aktivitas untuk menyelesaikan kekerasan

ini,pelanggaran HAM dan konflik yang sedang berlangsung, satu persoalan

penting muncul di hadapan Gus Dur dan dituntut untuk segera disikapi

untuk merespons pasukan internasional penjaga perdamaian di Timor Timur.

Page 26: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

71 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

pada bulan September 1999, Gus Dur membuat serangkaian komentar keras,

khususnya diarahkan pada pemerintahan Australia dan juga lembaga-lembaga

lain yang dianggap mencampuri urusan internal Indonesia.

j. Persoalan Etnis China.

Gus Dur sengaja melakukan hubungan dengan Beijing dan orang-

orang China, baik di daratan China maupun seluruh Asia Tenggara. di

samping untuk membantu orang-orang China di Indonesia sebagai WNI, juga

menjadi pemikiran penting sebagai pendewasaan masyarakat Indonesia.

karena itu dia nyatakan tujuan akhirnya adalah dihapuskannya diskriminasi

atas orang-orang China Indonesia. bahkan dalam situasi yang tidak

menguntungkan pun, berkaitan dengan resiko politik, dia telah menunjukkan

dukungannya bagi orang-orang China, Kristen, dan masyarakat minoritas

lainnya.

Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang di

Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai

kawasan pecinan di Semarang Jawa Tengah, mentahbiskan Gus Dur sebagai

Bapak Tionghoa. Gus Dur bukan hanya banyak melahirkan pemikiran dan

kebijakan yang menghormati masyarakat Tionghoa, tetapi juga mensejajarkan

mereka dengan semua kelompok yang ada di bumi Nusantara dari berbagai

agama, suku dan adat-istiadat yang berbeda.

Pada level praktis dan kebijakan, pembelaan Gus Dur terhadap

kelompok dan etnis Tionghoa dibuktikan secara nyata. Saat Ia menjadi

Presiden, hari raya Imlek bisa diperingati dan dirayakan dengan bebas. Warga

Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyi-sembunyi jika merayakannya.

Kebebasan ini tak lepas dari keputusan politik Gus Dur yang pada 17 Januari

2000 mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 tahun 2000, isinya

mencabut Inpres nomor 14/1967 yang dibuat Soeharto tentang agama,

kepercayaan, dan adat-istiadat China. Dengan Inpres No 14/1967 rezim

Orde Baru yang represif telah membuat Imlek terlarang dirayakan di depan

Page 27: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 72 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

publik; Barongsai, Liang Liong harus sembunyi; huruf-huruf atau lagu

Mandarin tidak boleh diputar di radio.47

k. Konflik Filipina

Seiring dengan berjalannya waktu, Gus Dur telah tumbuh

berkembang reputasinya bukan hanya sebagai pemimpin agama yang

memiliki komitmen terhadap nilai toleransi, tetapi juga seorang pemikir yang

independen dan bijaksana, pada kunjungan ke Jakarta pada September 1993,

Presiden Filipina, Fidel Ramos mencuri kesempatan untuk berkonsultasi

dengan Gus Dur berkaitan dengan masalah perselisihan Muslim Moro di

bagian selatan Pulau Mindanao agar dapat diselesaikan tanpa konflik senjata,

Gus Dur sepakat dengan menambahkan bahwa: “semakin lama masyarakat

Islam dibiasakan dengan konflik bersenjata, semakin lama pula mereka

diharuskan berjuang mengatasi kemundurannya”, Ramos kemudian

mengundang Gus Dur untuk mengunjungi Filipina dan membantu berunding

dengan Front Pembebasan Moro. permintaan yang diresponnya pada tahun

berikutnya. lebih menarik lagi itu dua pekan sebelum kunjungan Ramos ke

Jakarta, Gus Dur dianugerahi salah satu hadiah paling bergengsi di Filipina

dan Asia Tenggara, yaitu Magsaysay Award (sebagai keterlibatan Gus Dur

yang luas dalam upaya untuk mengembangkan toleransi beragama).

l. Hubungan Diplomatik dengan Israel

Dalam hal ini dukungan Gus Dur untuk membuka hubungan

diplomatik dengan Israel. sangatlah penting untuk menimbang konteks

historis posisi kebijakan Gus Dur, khususnya dalam pertemuanpertemuan

sebelumnya dengan Israel. Gus Dur sendiri telah memberikan berbagai

macam alasan bahwa hubungan tersebut berkaitan dengan pembangunan

ekonomi dan perwujudan kemauan baik pada Israel itu sendiri. Jika Indonesia

dapat membuka hubungan dengan Israel, maka Indonesia akan memiliki

posisi yang sangat kuat untuk memperkuat argumentasi bagi perbaikan sosial

dan politik di Timur Tengah, khususnya Israel dengan Palestina. Dalam

47 Dhakiri, 41 Warisan, 71.

Pluralisme Perspektif Pendidikan

Page 28: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

73 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

konteks ini, Gus Dur mengatakan bahwa sebagai Muslim terbesar di dunia,

sangatlah tepat jika Indonesia memainkan peranan penting bagi perdamaian

Israel dan Palestina. sudah pasti normalisasi hubungan diplomatik dengan

Israel sangat terikat dengan suksesnya perdamaian itu. Inilah yang mendasari

Gus Dur ketika pertama kali mengunjungi Israel pada bulan oktober 1994

untuk menjadi saksi kemajuan proses perdamaian antara Israel dengan

negara-negara “Arab”. Gus Dur berempat, ditemani oleh tokoh utama dialog

antaragama.

Analisis Tentang Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid

1. Terbentuknya Watak Pluralisme Abdurrahman Wahid

Dari lacakan epitemologis, Gus Dur bukanlah seorang yang eksistensialis,

melainkan seorang yang beragama dan percaya pada konsep wahyu, tetapi Ia

gabungkan dengan pemikiran modern. Bahwa kalau memang ada Tuhan Allah

Sang Pencipta, ada wahyu dan ada kitab suci, tetapi juga ada pengetahuan obyektif.

Jadi ada yang mutlak tetapi kemutlakan itu dibatasi oleh yang tidak mutlak. Jadi

secara otomatis ada implikasi pluralisme. Ini adalah sumber pluralisme intelektual,

tetapi ada juga sumber-sumber pluralisme yang lain. Orang bisa pluralis karena

punya sikap humanitarian, kecintaan kepada manusia membuat kita saling

menghormati.

Telah disadari bahwa betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur

dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup

dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran

yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi

jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis,

fundamentalis, sampai modernis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur

mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi,

sampai dengan budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga

persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks

sampai yang liberal dan radikal semua dialami.

Page 29: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 74 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren.

Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal,

dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah

mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang

konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang

kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir

Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek perilaku yang

humanis, pengaruh para Kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai

andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari

Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo

telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-

sentuhan kemanusiaan.

Menurut Greg Barton, Sebagai seorang remaja, Gus Dur mulai mencoba

memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, serta pada saat yang sama ia

bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan What is To be Done karya Lenin,

sehingga Ia tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal,

seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book-Mao.

Saat di Mesir, Gus Dur juga dengan penuh minat mengikuti bagaimana Mesir

sebagai negara memperlakukan pemikir Islam Sayyid Qutb. Pada saat itu ia telah

membaca karya-karya penulis Islam dan akhirnya mendapati bahwa pemikiran

Islam bersifat ekstrim dan sangat naif. Misalnya karya-karya Hasan al-Banna

(pendiri Ikhwanul Muslimin), Ali Syari’ati, Sayyid Qutb, dan penulis-penulis lain.

Gus Dur juga belajar kepada salah seorang temannya bernama Ramin ketika

ia tinggal di Baghdad, tepatnya karena mereka berdua samasama bekerja di ar-

Rahmadani (perusahaan impor tekstil dari Eropa dan Amerika). Ramin berasal

dari komunitas kecil Yahudi Irak, juga merupakan pemikir liberal dan terbuka.

Mereka bertemu secara rutin untuk membicarakan agama, filsafat, dan politik.

Dari Ramin-lah Gus Dur pertama kali mengetahui Yudaisme dan pengalaman

orang-orang Yahudi. Ramin berbicara panjang lebar mengenai cobaan berat yang

dialami orang-orang Yahudi yang tinggal di Rusia. Ia juga bercerita mengenai

keluarganya sendiri yang tinggal di Irak. Dari Ramin jugalah Gus Dur mulai belajar

Page 30: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

75 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

menghormati Yudaisme dan memahami pandangan agama Yahudi serta

keprihatinan politik dan sosial orang-orang Yahudi yang hidup dalam diaspora

sebagai kaum minoritas yang selalu disiksa.

Akan tetapi bagi Gus Dur, topik yang sangat menarik perhatiannya bukanlah

politik atau filasafat yang dipelajari sebagai sesuatu yang abstrak, namun

bagaimana agar mempunyai sifat manusiawi. Pada waktu itu, dan kemudian

sepanjang hidupnya, ia sangat suka memahami kepelikan sifat manusia.

Sebagaimana yang ia pelajari dalam Wayang Kulit, yang berisi kisah-kisah

mengenai bagaimana menghargai ambivalensi, maka dalam sastra-sastra besar

Eropa ia juga belajar menghargai kepelikan dan bermacam lapis kelabu yang

membentuk sifat manusia. Cintanya akan kemanusian ini, yang dibinanya lewat

sastra klasik, dilengkapi oleh kegemarannya menonton film. Demikianlah rasa

cinta Gus Dur yang besar akan sastra dan ilmu pada umumnya.

Pluralisme merupakan salah satu komponen dari liberalisme, di samping

komponen yang lain yaitu kebebasan, toleransi, serta persamaan. Terbentuknya

liberalisme Gus Dur tidaklah sulit untuk diidentifikasi, dan juga tidak mengejutkan

bahwa daya tarik Islamisme radikalnya tidak berumur panjang. Menurut Greg

Barton, Pengaruh yang pertama adalah keluarganya sendiri. Di dalam lingkungan

keluarga ini ia dididik untuk bersikap terbuka dan selalu mempertanyakan sesuatu

secara intelektual. Yang kedua, ia dibesarkan di dalam dunia sufistik Islam

tradisional Indonesia, dan yang ketiga adalah ia dipengaruhi oleh orientasi budaya

masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan egalitarianisme.

Akhirnya ia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelajarinya karena

keduanya memberikan kesempatan kepada dirinya untuk mencoba mensintesiskan

pemikiran Barat modern dengan Islam.

Greg Barton juga menyatakan bahwa, terdapat lima elemen kunci yang dapat

disimpulkan dari pemikiran Abdurrahman Wahid:48

Pertama, pemikirannya progresif dan bervisi jauh ke depan. baginya, dari pada

terlena oleh kemenangan masa lalu, Gus Dur melihat masa depan dengan harapan

48 Greg Barton, “Abdurrahman Wahid dan Toleransi Keberagamaan” dalam M. Syafi’i Ma’arif, dkk. Gila Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000), 124-125.

Page 31: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 76 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

yang pasti, bahwa bagi Islam dan masyarakat Muslim, sesuatu yang terbaik pasti

akan datang.

Kedua, pemikiran Gus Dur sebagian besar merupakan respons terhadap

modernitas; respons dengan penuh percaya diri dan cerdas. Sembari tetap kritis

terhadap kegagalan – kegagalan masyarakat Barat modern, Gus Dur secara umum

bersikap positif terhadap nilai-nilai inti pemikiran liberal pasca pencerahan,

walaupun dia juga berpendapat hal ini perlu diikatkan pada dasar-dasar teistik.

Ketiga, dia menegaskan bahwa posisi sekularisme yang teistik yang ditegaskan

dalam Pancasila merupakan dasar yang paling mungkin dan terbaik bagi

terbentuknya negara Indonesia modern dengan alasan posisi non-sektarian

Pancasila sangat penting bagi kesejahteraan dan kejayaan bangsa. Gus Dur

menegaskan bahwa ruang yang paling cocok untuk Islam adalah ruang sipil (civil

sphere), bukan ruang politik praktis,

Keempat, Gus Dur mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan terbuka

yang toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga harmoni dalam

masyarakat.

Kelima, pemikiran Gus Dur mempresentasikan sintesis cerdas pemikiran Islam

tradisional, elemen modernisme Islam, dan kesarjanaan Barat modern, yang

berusaha menghadapi tantangan modernitas baik dengan kejujuran intelektual

yang kuat maupun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran utama

Islam.

Dari kelima kunci pemikiran Gus Dur tersebut, terlihat bahwa fokus utama

pemikiran beliau bertumpu pada terciptanya kehidupan yang damai sesuai dengan

cita-cita Islam yang memberi rahmat kepada seluruh alam dengan menghormati

HAM secara penuh, memberi ruang gerak demokrasi, serta mengembangkan sikap

pluralisme, yang kesemuanya itu merupakan ajaran Islam yang terkandung pada

prinsip universal Islam pada maqashid al-syari’ah.

2. Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid

Salah satu aspek yang paling dapat dipahami dari Abdurrahman Wahid adalah

bahwa Ia sang penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas,

Page 32: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

77 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

khususnya China Indonesia, juga penganut Kristen dan kelompok-kelompok lain

yang tidak diuntungkan. Gus Dur dipahami sebagai Muslim non-chauvinis,

sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia

itu beragam. Yang secara luas tidak atau tepatnya kurang diapresiasi adalah bahwa

Gus Dur itu orang yang bangga sebagai seorang Muslim. Dia sangat mencintai

kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri. Lebih dari

itu, Gus Dur adalah tokoh spiritual, figur mistik yang dalam pandangannya dunia

spiritual nyata seperti dunia materi yang dapat dirasakan dengan indera manusia.

Dengan memahami berbagai pemikiran Gus Dur yang telah dipaparkan pada

bab-bab sebelumnya, maka ide-ide mengenai Konsep pendidikan pluralisme menurut

beliau yaitu:

a. Pendidikan pluralisme Abdurrahman Wahid didasarkan pada penghormatan yang

mendalam terhadap tradisi keilmuan NU, yang prinsip pluralismenya terdapat

dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan mengakui perbedaan sebagai keniscayaan

bahwa Allah memang menciptakan perbedaan itu agar saling mengenal dan

menghindari perpecahan. Konsep pluralisme yang didasarkan pada QS. al-

Hujurat ayat 13, menurut Gus Dur ayat tersebut jelas menunjuk kepada

perbedaan yang senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar

berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan

sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan

keterpisahan.

Beliau tidak mempersamakan keyakinan secara total, karena masing-

masing percaya bahwa akidahnya sendiri adalah benar. Namun hendaknya kita

tetap meyakini kebenaran agama kita sendiri. Kendati demikian kita harus tetap

menciptakan suasana yang harmonis. Sehingga dipahami bahwa Pluralisme

bukanlah ide yang menyatakan semua agama sama. Kita semua mengakui dan

menyadari bahwa setiap agama mempunyai ajaran yang berbeda-beda.

b. Tugas Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu membentuk

masyarakat yang mengakui perbedaan sebagai ketentuan dari Tuhan, serta

menjalin kerjasama meskipun berbeda agama. Abdurrahman Wahid

Page 33: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 78 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

mengembangkan pluralisme dengan bertindak dan berpikir. Dalam bertindak

yaitu hendaknya kita bersikap inklusif, tidak membatasi pergaulan dengan orang

lain, meski berbeda keyakinan.

Dalam berpikir, bersedia menerima dan mengambil gagasan atau pemikiran

dari kalangan lain. Apa yang muncul paling jelas dalam pemikiran Gus Dur adalah

keyakinan bahwa pandangan religius yang membentuk dan melahirkan nilai-nilai

yang berasal dari Eropa Kristen dan Yahudi sejajar dalam visi pokoknya dengan

pesan Islam. Dengan kata lain, Gus Dur seperti intelektual progresif lainnya di

Indonesia, tidak mempermasalahkan hubungan antara Islam dan Barat.

Walaupun tidak menolak adanya perbedaan penting antara keduanya, Gus Dur

berargumentasi dengan efektif bahwa arah dan perhatian utama tradisi Judeo,

Kristen dan Islam sangat dekat bila dicari sistem nilainya yang paling utama.

c. Fungsi Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu sebagai wadah

untuk Mengembangkan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan

terhadap umat beragama lain, bukan sekedar saling menghormati serta tenggang

rasa, tetapi yang diperlukan adalah rasa saling memiliki .

Sebenarnya istilah toleransi jauh terlalu lemah untuk mendeskripsikan

sikap Gus Dur. Gus Dur tanpa sedikitpun memperlemah keyakinan Islaminya,

sepenuhnya menerima keberadaan umat beragama lain. toleransi, keterbukaan,

ketenangan berhadapan dengan agama-agama lain, itu agak unik pada Gus Dur.

seakan-akan Ia begitu mantap dalam keislamannya sehingga dengan gampang

dapat berbesar hati pada agama-agama lain. Gus Dur sering dianggap terlalu

dekat dengan kaum minoritas dan kritis pada agamanya sendiri. Tetapi argumen

itu lebih merupakan tanda kekerdilan mereka yang mengajukannya. Dengan

demikian, Gus Dur adalah seorang humanis49 yakin dalam arti yang sebenar-

benarnya; Ia akan selalu membela yang lemah, tertindas, minoritas, dan Ia tidak

akan tunduk terhadap prasangka-prasangka.

49 Seperti ketika menjelang wafatnya, Gus Dur berpesan agar batu nisan di makamnya kelak ditulis “di sini telah dikubur seorang humanis”.

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

Page 34: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

79 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

d. Tujuan Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid berorientasi pada

terciptanya kerjasama antar pemeluk agama yang berbeda serta menghindari

perpecahan, agar terwujud kehidupan yang harmonis dan sejahtera.

e. Mengenai penerapan Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu

dengan menanamkan pendidikan nilai-nilai toleransi sejak dini dan berkelanjutan

terhadap anak didik dari mulai kecil sampai perguruan tinggi. Upaya ini sangat

efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik.

Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa

bergaul dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama pada peserta didik yang

berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk menggali dan menemukan nilai-nilai

keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus dapat mengenal tradisi

agama orang lain.

Gus Dur sangat yakin bahwa Islam adalah keyakinan yang menebar kasih

sayang, yang secara mendasar toleran dan menghargai perbedaan. Bagi Gus Dur,

Islam adalah keyakinan yang egaliter, keyakinan yang secara fundamental tidak

mendukung perlakuan yang tidak adil karena alasan ras, suku, kelas, gender, atau

pengelompokanpengelompokan lainnya dalam masyarakat.

Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa dalam pandangan Tuhan,

semua manusia adalah setara. Bagian dari keyakinan mendasar Gus Dur adalah

bahwa nilai-nilai yang mendasari demokrasi dan liberalisme adalah nilai-nilai

universal. Kemudian Ia berargumentasi bahwa prinsip-prinsip itu dapat

diterapkan di Timur sebagaimana di Barat. Kendati demikian, Ia menolak

argumentasi yang terlalu menyederhanakan, yaitu bahwa hal ini karena Islam

adalah sumber asli pemikiran, nilai-nilai, dan ide-ide. Bahkan Gus Dur

menganggap pandangan ini apologetik saja. Gus Dur lebih lanjut menegaskan

bahwa prinsip-prinsip mendasar yang berasal dari pencerahan duduk setara

dengan pesan utama Islam.

Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid Ditinjau dari Pendidikan Islam

Maqashid al-Syari’ah sebagai Prinsip Pendidikan Pluralisme

Page 35: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 80 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Menurut Gus Dur, Prinsip pluralisme harus dilihat dalam konteks manifestasi

universalisme dan kosmopolitanisme peradaban Islam, ajaran moralitas Islam yang

secara teoritik bertumpu pada adanya lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam

kepada warga masyarakat (maqashid al-syari’ah), meliputi; keselamatan fisik warga

masyarakat (hifdzu alnafs), keselamatan keyakinan agama masing-masing (hifdzu al-din),

keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu al-nasl), keselamatan harta benda dan

milik pribadi (hifdzu al-mal), dan keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk).

Kesemuanya itu merupakan konsep yang dijadikan Gus Dur sebagai prinsip

Universal Islam.50

Watak kosmopolitanisme dari peradaban Islam itu sesungguhnya telah tampak

sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai dengan cara-cara Nabi

Muhammad saw. mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya

ensiklopedia Muslim awal pada abad ketiga Hijriyah, memantulkan proses saling

menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Islam pada waktu itu. Yaitu

mulai dari sisa-sisa peradaban Yunani Kuno yang berupa hellenisme hingga peradaban

Anak Benua India.

Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur

dominan, seperti hilangnya batasan etnik, kuatnya pluralitas budaya, heterogenitas

politik, dan bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan,

yaitu kehidupan beragama yang eklektik51 selama berabad-abad.

Kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal,

manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan

kebebasan berpikir semua warga masyarakat termasuk mereka yang non-Muslim.

Kosmopolitanisme seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di

dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mancari wawasan terjauh dari

keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian

sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan,

situasi cair yang memaksa universalime ajaran Islam untuk terus-menerus

50 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 4-5 51 Sikap berfilsafat yang bersifat memilih atau seleksi dari berbagai sumber untuk membangun pemikiran filsafat sendiri

Page 36: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

81 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata. Namun demikian, proses tersebut

bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka.

Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid Dalam

Persepektif Pendidikan Islam

Pendidikan Islam merupakan bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-

hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran

Islam.52 Pendidikan Islam juga mempunyai pengertian sebagai suatu proses edukatif

yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian. 53 Dari penjelasan

tersebut, diketahui bahwa pendidikan pluralisme Abdurrahman Wahid yang

mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik sejak dini

yang berkelanjutan dengan mengembangkan rasa saling pengertian dan saling

memiliki terhadap umat agama lain itu sesuai dengan konsep pendidikan Islam yang

selalu berorientasi pada terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur.

Dasar yang menjadi acuan Pendidikan Islam merupakan sumber nilai

kebenaran dan kekuatan yang dapat mengantarkan peserta didik ke arah pencapaian

pendidikan. Oleh karena itu dasar yang terpenting dari Pendidikan Islam adalah al-

Qur’an dan Sunnah Rasul SAW.54 kedua dasar itulah yang dijadikan Abdurrahman

Wahid sebagai landasan pemikiran dan tindakannya.

Menurut beliau, dalam mencapai taraf hidup yang sejahtera, Islam mengajarkan

umatnya agar senantiasa bekerjasama dalam hal muamalat tak hanya dengan umat

Muslim saja. Seperti yang telah dijelaskan dalam ajaran agama bahwa umat Islam

hendaknya saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan taqwa (wa ta’āwanū ’ala al-

birri wa al-taqwā, QS.al- Maidah:2), juga anjuran untuk berlomba dalam kebaikan

(fastabiqu alkhairāt, QS. al-Baqarah: 148). Dalam mengakui perbedaan antara laki-laki

dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa di bumi ini, menurut Gus Dur hal itu

sebagai keniscayaan bahwa Allah memang menciptakan perbedaan itu agar saling

mengenal dan menghindari perpecahan. Dalam al-Qur’an juga dijelaskan bahwa kita

52 Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: al-Ma’arif, 1989), 23. 53 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), 4. 54 Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, cetakan V (Jakarta: Ciputat Press, 2005), 34.

Page 37: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 82 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

semua diperintahkan untuk berpegang teguh pada tali Allah, dan dilarang untuk

bercerai berai (QS. Ali Imran: 103).

Pada ayat yang lain misalnya, dalam menjelaskan QS. al-Baqarah: 120 yang

artinya: “Dan orang-orang Yahudi dan Kristen tidak akan rela kepadamu, hingga

engkau mengikuti kebenaran/aqidah mereka. Gus Dur memandang bahwa selama

Nabi Muhammad SAW masih berkeyakinan; Tuhan adalah Allah, dan Beliau sendiri

adalah utusan Allah swt. selama itu pula orang-orang Yahudi dan Kristen tidak dapat

menerima (berarti tidak rela) kepada keyakinan/aqidah tersebut. Sama halnya dengan

sikap kaum Muslimin sendiri. Selama orang Kristen yakin bahwa Yesus adalah anak

Tuhan dan orang Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan, maka

selama itu pula kaum Muslimin tidak akan rela kepada kedua agama tersebut. Dalam

arti tidak menerima ajaran mereka.

Gus Dur menjelaskan bahwa jika kita bersikap demikian, hal itu sebenarnya

wajar-wajar saja, karena menyangkut penerimaan keyakinan. Tetapi hal itu tidak

menghalangi para pemeluk ketiga agama itu untuk bekerjasama dalam hal muamalat,

yaitu memperbaiki nasib bersama dalam mencapai kesejahteraan materi. Mereka

dapat bekerjasama untuk mengatur kesejahteraan materi tersebut dengan

menggunakan ajaran masing-masing.55

Amal perbuatan kaum Muslimin yang ikhlas kepada agama mereka memiliki

sebuah nilai lebih. hal itu dinyatakan sendiri oleh QS. Ali Imran: 85: “Dan orang yang

menjadikan selain Islam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di

akhirat. dan ia adalah orang yang merugi”. dari Kitab suci ini dapat diartikan bahwa

Allah tidak akan menerima amal perbuatan seorang non-Muslim, tetapi di dalam

kehidupan sehari-hari kita tidak boleh memandang rendah kerja siapapun.

Sebenarnya pengertian kata diterima di akhirat berkaitan dengan keyakinan

agama dan dengan keyakinan demikian memiliki kualitas tersendiri. sedangkan pada

tataran duniawi perbuatan itu tidak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan

secara teknis membawa manfaat bagi manusia lain. jadi manfaat dari setiap perbuatan

dilepaskan oleh Islam dari keyakinan agama dan sesuatu yang secara teknis memiliki

55 Wahid, Islamku, 135.

Page 38: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

83 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

kegunaan bagi manusia diakui oleh Islam. Namun dimensi penerimaan dari sudut

keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. pengislaman perbuatan kita justru tidak

tergantung dari nilai-perbuatan teknis semata, karena antara dunia dan akhirat

memiliki dua dimensi yang berbeda satu dari yang lain.

Dengan demikian, dasar pendidikan Islam itulah yang juga menjadi dasar

pemikiran pendidikan pluralisme Abdurrahman wahid, sehingga sangatlah relevan.

Pemikiran mengenai sikap saling memahami dan menghargai memang diajarkan

dalam setiap agama. Islam dengan jelas menempatkan toleransi sebagai ajaran penting

yang diwakili idiom alirham (QS. An Nisa’: 1) dan al-ta’aruf (QS. Al Hujurat: 13) yang

berarti silaturrahmi dan saling mengenal. Demikian pula lafadz amalunā‘amalukum

dapat ditafsirkan sebagai asas penghargaan terhadap wilayah keunikan setiap agama.

Sejarah berbicara bahwa Rasulullah telah menanamkan sikap tasamuh pada masyarakat

Makkah dan Madinah untuk hidup berdampingan dengan kaum Yahudi dan

Nasrani.56

Ditinjau dari segi tugas pendidikan Islam yaitu membimbing dan mengarahkan

pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya

sampai mencapai titik kemampuan optimal, 57 maka langkah beliau dalam

merumuskan pendidikan pluralisme yaitu bahwa untuk menanamkan nilai-nilai

toleransi pada peserta didik harus dilakukan sejak dini dan berkelanjutan mulai dari

kecil sampai perguruan tinggi sehingga akan tercapai tugas tersebut yang menjadikan

peserta didik mampu membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu

melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga akan mampu

melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun

kesamaan cita-cita.

Dari segi fungsi pendidikan Islam yaitu menyediakan fasilitas yang dapat

memungkinkan tugas pendidikan agar berjalan dengan lancar, hendaknya mampu

56 Hal tersebut sesuai dengan pembahasan dalam Seminar internasional pertama tentang pendidikan antar-agama (interfaith education) yang diselenggarakan UIN Jakarta secara resmi ditutup Presiden RI di Istana Negara tanggal 4 Februari 2005 lalu. Konferensi yang berlangsung tiga hari ini terbilang cukup prestisius. Mayoritas pembicara kunci (keynote speakers) datang dari sejumlah negara dengan beragam latar belakang keyakinan agama seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu, Kong Hu Cu, serta Taoisme. dan Gus Dur merupakan salah satu pembicara yang mewakili Indonesia. Lihat: http://rohmatmulyana.blogspot.com/2015/05/issue-pendidikan-antar-agama.html 57 Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan, 34.

Page 39: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 84 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

menjadi wahana mempererat persaudaraan di antara masyarakat beragama,

mengantarkan peserta didik memiliki cara pandang inklusif, peduli terhadap sesama

manusia yang sama-sama ciptaan Tuhan.

Sementara itu, pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid jika

ditinjau dari segi Tujuan Pendidikan Islam, 58 memiliki tujuan yang sama, yaitu

bertujuan menjadikan manusia sebagai hamba Allah yang bertakwa, mengantarkannya

menjadi khalifatullah fi al-ardl yang mampu memakmurkannya, dan memperoleh

kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat. Hal tersebut akan tercapai

jika ada upaya untuk menjalankan amanat sebagai khalifatullah fi al-ardl dengan cara

senantiasa menciptakan kedamaian bagi sesama makhluk Tuhan, mengembangkan

rasa saling pengertian yang tulus terhadap umat beragama lain, bukan sekedar saling

menghormati serta tenggang rasa, tetapi yang diperlukan adalah rasa saling memiliki.

Dalam pembahasan mengenai kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum

yang sesuai bagi masyarakat Indonesia yang majemuk yaitu kurikulum yang dapat

menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis dan menekankan

penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi

muda yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam

suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain.59

Selain itu, perlu kiranya memperhatikan kurikulum sebagai proses. Ada empat

hal yang perlu diperhatikan guru dalam mengembangkan kurikulum sebagai proses

ini, yaitu; (a) posisi siswa sebagai subjek dalam belajar, (b) cara belajar siswa yang

ditentukan oleh latar belakang budayanya, (c) lingkungan budaya mayoritas

masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behaviour kultur siswa, (d) lingkungan budaya

siswa adalah sumber belajar. Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum pendidikan

seharusnya mencakup subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-

kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM,

demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.

58 Menurut Prof. Achmadi, tujuan tertinggi/terakhir Pendidikan Islam, yaitu menjadi hamba Allah yang bertakwa, mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fi al-ardl yang mampu memakmurkannya, dan memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat. Lihat, Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 95 59 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), 99.

Page 40: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

85 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Salah satu cara paling efektif menerapkan kurikulum yang dapat menunjang

proses belajar siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis artinya peserta didik

dapat menerima dan mampu mengembangkan pluralisme dengan kesadaran diri,

menurut Abdurrahman Wahid, hendaknya peserta didik mampu belajar dari

penerimaan secara terbuka terhadap pluralisme makanan. Siapapun yang memahami

realitas keragaman masakan yang hampir dimiliki oleh setiap daerah di seluruh

pelosok negeri ini, maka pemahamannya terhadap pluralisme justru akan semakin

kokoh. Keragaman masakan yang kita miliki sebenarnya merupakan unsur kekuatan,

bukan unsur ancaman. Makanan yang begitu banyak aneka ragamnya telah menjadi

fakta bahwa pluralisme atau kebhinekaan merupakan rahmat Tuhan yang harus

didayagunakan untuk kemajuan bangsa

Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid Dalam Konteks Keindonesiaan

1. Indonesia Adalah Negara Pancasila, Bukan Negara Islam

Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk yang terdiri dari bermacam-

macam etnis, bahasa, suku, ras, agama, dan kepercayaan yang saling berinteraksi

secara harmonis. Semuanya memiliki kesadaran berbangsa dan cinta tanah air

dengan ditunjukkannya semangat membela Negara dan mempertahankan

Kesatuan Negara Republik Indonesia dari pihak-pihak penjajah sampai titik darah

penghabisan. Tak hanya suku Jawa yang berjuang dan tak hanya umat Muslim

yang mempertahankannya, namun semua komponen bangsa, bukan segelintir

pihak. Sehingga upaya untuk menerapkan formalisasi, syari’atisasi maupun

ideologisasi Islam pada Negara merupakan hal yang mustahil.

Gus Dur dengan tegas menolak pembentukan Negara Islam bagi

Indonesia, sikap tersebut didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan

hidup tidak memiliki konsep yang jelas tentang Negara. Dasar yang dipakai beliau

adalah:

Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang

pergantian kepemimpinan. Itu terbukti ketika wafatnya Nabi Muhammad SAW.,

dan digantikan Abu Bakar melalui bai’at oleh kepala suku dan wakil-wakil

kelompok umat pada waktu itu. Sedangkan Abu Bakar sebelum wafat menyatakan

Page 41: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 86 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

kepada kaum Muslimin, hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat

menggantikan posisinya. Berarti sistem yang dipakai adalah penunjukan.

Sementara Umar menjelang wafat meminta agar penggantinya ditunjuk melalui

dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu terpilihlah Usman bin Affan.

Selanjutnya Usman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu Abu Sufyan

juga telah menyiapkan anak cucunya untuk menggantikan Ali. Sistem ini kelak

menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau sistem marga yang menurunkan

calon-calon raja dan sultan dalam sejarah Islam.

Kedua, besarnya Negara yang diidealisasikan oleh Islam, juga tak jelas

ukurannya. Nabi Muhammad saw. meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan

mengenai bentuk pemerintahan kaum Muslimin. Tidak ada kejelasan, misalnya

Negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks Negara-bangsa

ataukah hanya Negara kota. Acuan inilah yang dipegang Gus Dur sebagai prinsip

untuk menolak dijadikannya Indonesia sebagai Negara Islam.

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak zaman Kerajaan Majapahit telah

membuktikan adanya pluralisme. Para pendiri Indonesia juga telah mewariskan

nilai-nilai utama dalam membangun kehidupan bangsa yang majemuk. Mereka

mampu menempatkan antara agama dan nasionalisme secara seimbang. Sikap dan

perjuangan Gus Dur membela pluralisme tidak datang seketika. Ia memahami

sejarah kebangsaan dan ke-NU-an dengan cermat, sebelum akhirnya memilih jalan

itu. Tokohtokoh NU sejak sebelum kemerdekaan, KH. Hasyim Asy’ari dan KH.

Wahab Hasbullah, telah memikirkan bagaimana menempatkan Islam agar dapat

berfungsi dalam Indonesia yang majemuk serta menjadikan Islam hidup

berdampingan dengan agama lain.

Pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU telah memutuskan

bahwa Hindia Belanda (nama Indonesia waktu itu) tidak memerlukan Islam

sebagai ideologi negara. Namun, umat Islam tetap wajib membela negaranya

meskipun negaranya tidak berbentuk negara Islam. Keputusan ini pulalah yang

membuat NU mengakui Pancasila dan UUD 1945 saat ormas-ormas Islam lain

masih memperdebatkannya. UUD 1945 dan Pancasila yang memberikan jaminan

Page 42: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

87 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

atas pluralisme juga banyak mengandung nilai Islam, seperti mewujudkan

kesejahteraan bersama serta menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Sering kali Gus Dur mengutip atau bahkan mendasarkan tindakannya

sesuai dengan kaidah ushul fiqih, menanggapi keadaan atau situasi bangsa. Dalam

soal kepemimpinan, misalnya, Gus Dur sering mengutip kaidah ushul, tasharrafu al

imām ’alā al-ra’iyyah, manūthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin terhadap

rakyatnya, bergantung pada kemaslahatan atau kesejahteraan). Dalam soal

pembaruan, Gus Dur juga memakai kaidah ushul al-muhāfadzatu ’ala al-qadim al-

shālih, wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi terdahulu yang baik, dan

menerima sesuatu yang baru, yang lebih baik). Artinya, sikap pluralisme Gus Dur

sudah terbangun sejak kecil dan menerapkannya pada era modern. Apa yang

selama ini dipahami sebagai tradisi, Gus Dur mengubahnya menjadi sesuatu yang

lebih bermakna.

Sebelum dipimpin Gus Dur, citra NU yang menonjol adalah sebagai

organisasi Islam yang eksklusif dari pengaruh pemikiran kontemporer yang

berkembang, konservatif dalam pemahaman keagamaan, dan fundamentalis dalam

memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. hanya dalam tiga periode

kepemimpinannya, dia berhasil mengubah citra NU menjadi inklusif, modern, dan

moderat.

Semangat itu pula yang menginspirasinya untuk menjadikan Indonesia

yang sejahtera dengan kemajemukan warganya. UUD 1945 telah menjamin hak

hidup dan kemerdekaan untuk menganut keyakinan dan mengungkapkan

pendapat. Ini harus dipertahankan mati-matian apa pun resikonya, Dalam hidup

berbangsa, umat Islam perlu saling mengembangkan dialog dan kerja sama dengan

umat agama lain. Hanya dengan dialog dan kerja sama inilah yang akan membuat

umat Islam terus belajar dan mampu hidup berdampingan dengan umat lain.

Kondisi ini menempatkan Islam bukan sebagai alternatif, tetapi sebagai bagian dari

masyarakat dan bangsa.

Page 43: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 88 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

2. Memperjuangkan Penegakan Demokrasi, HAM, dan Pluralisme di Indonesia

Bagi kalangan minoritas, Gus Dur dianggap sebagai pembela utama

eksistensi mereka. Masyarakat Papua, etnis Tionghoa, atau umat Nasrani

menganggap Gus Dur sebagai pembela di tengah tantangan dan ancaman politis

masyarakat atau negara. Ia mengatakan bahwa pembelaan terhadap kelompok

minoritas bukan perjuangan mudah. Oleh karena itu, nasib kelompok minoritas

yang selama ini tersisih harus terus diperjuangkan sesuai dengan amanat UUD

1945.

Menurut Gus Dur, pemerintah tidak perlu melihat segala tuntutan

kelompok minoritas hanya dari kacamata politis. Jika segala tindakan kelompok

minoritas dipandang sebagai gerakan politis, berarti negara telah kehilangan

penghargaan atas keragaman yang dibangunnya sendiri. Pluralisme Indonesia

merupakan yang paling kuat dibandingkan negara lain. Karena itu, perbedaan itu

tidak perlu dipolitisasi. Kegigihannya membela pluralisme inilah yang membuat

Gus Dur pada dianugerahi Medals of Valor dari The Simon Wiesenthal Center di

Amerika Serikat. Ia dinilai gigih memperjuangkan moderasi dalam Islam dan

membangun dialog dengan agama-agama lain dan turut menciptakan perdamaian

dunia.

Gus Dur adalah orang yang konsisten dengan prinsip-prinsipnya. dan

prinsip-prinsip ini berakar pada pemahamannya terhadap Islam yang liberal, yaitu

pemahamannya yang menekankan pada rahmat, pengampunan, kasih sayang

Tuhan dan keharusan kita untuk mengikuti sifat-sifat ini dalam kehidupan sehari-

hari, terutama dalam kehidupan beragama. Gus Dur sudah lama dikenal sebagai

pembela kaum yang lemah, dan selama berpuluh-puluh tahun Ia adalah orang

yang terus terang, sering mempertaruhkan reputasi personal yang cukup besar,

dalam membela kelompok yang orang lain enggan membelanya. Dan

komitmennya pada toleransi, keterbukaan, kasih sayang dan pembebasan dalam

hubungan antar-komunal maupun antar-iman ini merupakan salah satu identitas

Gus Dur dalam memandang kehidupan publik baik politik maupun religius.

Gus Dur adalah sosok pemimpin sejati yang selalu memayungi dan

mengayomi semua golongan tanpa melihat perbedaan ras, agama, kepercayaan dan

Page 44: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

89 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

profesi. Gus Dur selalu melindungi dan mengayomi hakhak minoritas dari

kesewenang-wenangan mayoritas di Indonesia. Perjuangan beliau Tak hanya pada

konsep pemikiran belaka, namun langkah konkret beliau lakukan dalam

mewujudkan masyarakat berbangsa yang adil dan harmonis. Sehingga beliau layak

disebut sebagai Bapak Pluralisme, Bapak Demokrasi, serta Pejuang HAM.

Perjuangan konkrit Gus Dur misalnya, ketika banyak kelompok menghujat

dan berusaha menyingkirkan kelompok lain yang dianggap sesat dengan cara-cara

kekerasan dan penistaan seperti yang sering dialami jamaah Ahmadiyah, Gus Dur

selalu tampil sebagai pembelanya. Bukan berarti Gus Dur setuju dengan keyakinan

Ahmadiyah itu, tetapi Ia sangat menghormati keyakinan seseorang. Ia juga ingin

menunjukkan cara memahami dan menghayati agama secara dewasa, penuh

kearifan dan kebijaksanaan. Tidak semata-mata pemahaman agama yang

berdasarkan pengetahuan dan sisi normatifnya saja. Ia berpegang pada ajaran sang

Kiai bahwa boleh saja kita memandang keyakinan orang lain atau agama orang itu

dianggap sesat, tetapi hal itu tidak dengan sendirinya menjadi boleh bagi kita

untuk melarangnya atau melenyapkannya.

Pembelaan Gus Dur terhadap kelompok dan etnis Tionghoa dibuktikan

secara nyata. Saat Ia menjadi Presiden, hari raya Imlek bisa diperingati dan

dirayakan dengan bebas. Warga Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyi-

sembunyi jika merayakannya.

Karena sebelumnya para warga keturunan Tionghoa harus mengganti

namanya menjadi nama pribumi, tidak boleh mendirikan sekolah, dilarang

mendirikan surat kabar atau majalah yang berbahasa Mandarin, dan yang lebih parah

lagi bahwa mereka dilarang beragama Konghucu.

Beliau berpandangan bahwa Indonesia dari latar belakang sejarahnya

terbentuk oleh orang yang mempunyai asal-usul berbedabeda secara bersama-

sama mendirikan Negara ini, termasuk warga keturunan Tionghoa. Sehingga

segala bentuk diskriminasi kepada masyarakat Tionghoa sangat bertentangan

dengan nilai perjuangan pembentukan bangsa ini.

Page 45: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 90 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Gus Dur juga dikenal sebagai pejuang demokrasi yang sangat gigih.

Karena itu, pada Maret 1991 Gus Dur bersama para koleganya mendirikan Forum

Demokrasi. Tujuan utamanya adalah untuk memperjuangkan tegaknya demokrasi

di Indonesia baik pada level kelembagaan maupun kesadaran masyarakat. Namun

secara khusus berdirinya forum demokrasi dilatarbelakangi oleh dua peristiwa

penting di Republik ini. Pertama, kasus Monitor pada bulan Oktober 1990, di mana

tabloid tersebut dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara sebuah

surveinya yang menyinggung perasaan umat Islam. Menurut Gus Dur, kasus

monitor menunjukkan bahwa kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi

isu-isu agama untuk mengedepankan kepentingan mereka. Kedua, berdirinya ICMI

pada Desember 1990. Menurut Gus Dur, ICMI merupkan alat eksploitasi politik

terhadap agama yang mengutamakan kepentingan kelompok eksklusif yang sempit

di atas kepentingan nasional. ICMI akan mengaliansikan non-Muslim dan

memperburuk pembelahan dan salah paham yang sudah kuat dalam masyarakat

Indonesia selama ini antara kelompok keagamaan, kesukuan dan budaya yang

berbeda.

Apresiasi Gus Dur terhadap HAM bukan hanya dalam konsep saja, Gus

Dur menyuarakan pembelaan terhadap sejumlah kasus tertentu yang menyangkut

hak-hak kaum minoritas, penghormatan terhadap non-Muslim. Ia tanpa ragu

membela Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual muda NU yang juga tokoh

muda “Islam Liberal” yang mengemukakan Liberalisme Islam, sebuah pandangan

yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi yang sangat jauh, misalnya

anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan kemerdekaan berpikir seorang santri

demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan

kebenaran Islam. Itulah sebabnya mengapa demikian besar reaksi orang terhadap

pemikirannya ini. Seperti diketahui bahwa sejumlah ulama’ serta aktifis Islam

tertentu menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu Ia

layak dihukum mati Menurut Gus Dur, kemerdekaan berpikir adalah sebuah

keniscayaan dalam Islam. Tentu saja Ia percaya akan batas batas kemerdekaan itu,

karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama Ia

percaya ayat 88 QS. al-Qashas yang berbunyi: “Segala sesuatu akan musnah

Page 46: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

91 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

kecuali Dzat Allah”. Serta yakin akan kebenaran kalimat tauhid, maka Ia adalah

seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat

mengubah kenyataan ini. seorang Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti

Muslim, akan terkena sabda Nabi Muhammad saw. ”Barang siapa yang

mengkafirkan saudaranya yang beragama Islam, justeru ialah yang kafir”.

Disadari atau tidak, bahwa hanya dengan cara menemukan pemikiran

seperti itu, barulah islam dapat berhadapan dengan tantangan sekularisme. Kalau

demikian reaksi kita, tentu saja kita masih mengharapkan Ulil mau melahirkan

pendapat-pendapat terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama’ di masa

lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan perbedaan-perbedaan pemikiran

seperti itu? Berpijak pada adagium seperti “Perbedaan pandangan di kalangan para

pemimpin adalah rahmat bagi umat.”

Demikian juga dalam kasus Inul Daratista, perempuan lugu dan sederhana

ini dicerca keras oleh sebagian Tokoh Agama, Majelis Ulama’, dan Seniman karena

goyang ngebornya dianggap melanggar batas-batas kesusilaan umum. Mereka

menggunakan justifikasi fatwafatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di

depan publik. Di tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari

gempuran kecaman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan

Gus Dur didasarkan pada melindungi Hak Asasi wong cilik dari hegemoni elit

keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak represif.

Dari pandangan dan impressinya terhadap HAM itu, jelas bahwa Gus Dur

sebagai tokoh Islam punya paradigma sendiri dalam memahami dan

mengaktualisasikan nilai-nilai HAM. Gus Dur menginginkan agar Islam

memberikan kesempatan lebih luas kepada semua orang untuk berkarya tanpa

dibatasi oleh apapun, seperti identitas politik dan etnik.

Islam bagi Gus Dur, mencapai titik kemajuan tertinggi justru ketika

seluruh ekspresi dan karya cipta orang perorang dan kelompok diberi hak hidup

yang sama betapapun menyimpangnya atau dianggap bid’ah. Islam juga

memberikan kesempatan kepada siapapun untuk terlibat langsung dalam

pemajuan islam itu sendiri. Merespon balik dengan cara menulis atau menciptakan

Page 47: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 92 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

karya sebanding adalah satusatunya cara yang diperbolehkan jika seseorang atau

kelompok tidak menyetujuinya. Situasi seperti itulah ketika Islam mencapai titik

tertinggi dan itulah cita-cita kebangkitan Islam.60

3. Solusi bagi Permasalahan Kemajemukan di Indonesia

Pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, tentu

sulit untuk mengembangkan saling pengertian yang mendalam antara beraneka

ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah, bahasa ibu, dan kebudayaannya.

kalaupun tidak terjadi salah pengertian mendasar antara unsur-unsur itu, paling

tidak tentu saling pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka.

Telah menjadi nyata bagi kita bahwa masalah pokok dalam hal hubungan

antarumat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan

berkelanjutan. Kita akan menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama

yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar saling

menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki, bukannya hanya saling

bertenggang rasa satu terhadap yang lain.61

Memang mayoritas bangsa kita yang Notabene beragama Islam, masih

dicekam oleh kemiskinan dan kebodohan sehingga mudah dirayu untuk berpindah

agama secara murahan. kondisi logis dari kenyataan itu sebenarnya adalah

keharusan bagi gerakan Islam untuk memajukan umat mereka. ini berarti para

pemimpin Islam di segenap tingkatan harus menutup mata terhadap semua ekses

yang terjadi dalam kehidupan beragama di negeri ini. harus ada langkah-langkah

untuk menangani dan mencegah terulangnya ekses-ekses itu, termasuk cara

penyebaran agama terlalu agresif, yang dilakukan oleh sementara kelompok

penganut agama dari golongan minoritas. Namun cara penanganan dan

penangkalan haruslah dilakukan dengan bijaksana, tanpa harus melakukan

generalisasi terhadap semua warga umat dari agama tersebut.

60 Wahid, Islamku, 145. 61 Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Jakarta: Kompas, 1999)

Page 48: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

93 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Kesimpulan

Pluralisme menurut Abdurrahaman merupakan hak kebebasan dalam semua

aspek baik kebebasan beragama, budaya, ras, politik dan sebagainya. Pluralisme

sangatlah penting bagi bangsa indonesia yang notabennya merupakan negara yang

beraneka/beragam agama, suku, budaya, ras dan sebagainya.Wajah budaya Indonesia

yang bhineka menuntut sikap toleran yang tinggi dari setiap anggota masyarakat.

Sikap toleransi tersebut harus dapat diwujudkan oleh semua anggota dan lapisan

masyarakat sehingga terbentuklah suatu masyarakat yang kompak tapi beragam

sehingga kaya akan ide-ide baru.

Pluralitas masyarakat Indonesia sendiri sekurang-kurangnya bisa dilihat sebagai fakta

dalam dua sisi. Sisi pertama: pluralitas suku, agama, dan budaya serta berbagai

turunannya. Sisi kedua: pluralitas di internal suku, agama, dan budaya itu sendiri.

Dalam Islam misalnya, terdapat berbagai aliran yang secara formal sering kali

berseberangan. Demikian juga di dalam agama, budaya dan suku yang lain.

Toleransi yang diajarkan Gus Dur merupakan ajaran semua agama dan

budaya, apalagi dalam masyarakat majemuk dan multikultur seperti Indonesia.

Namun, toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur berbeda dari tokoh-

tokoh agama lain. Gus Dur mengajarkan toleransi plus, yaitu kalau kebanyakan orang

membudayakan toleransi sebatas pada hidup berdampingan secara damai, yaitu hidup

bersama dalam suasana saling menghormati dan menghargai. Tidak demikian dengan

Gus Dur. Dalam menyikapi pluralitas tersebut, Gus Dur menegaskan bahwa

tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada pola hidup berdampingan

secara damai (peaceful coexistence), karena hal demikian masih sangat rentan terhadap

munculnya kesalah-pahaman antar kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa

menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu penghargaan terhadap pluralisme berarti

adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga

kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan menerima.

Referensi

Achmadi. 2005. Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 49: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 94 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Al Ash Shieddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2000. Tafsir al-Qur’anul Majid an Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra. Jilid II.

Arifin M. 1994. Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjaun Teoritis dan Praksis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner.Jakarta: Bumi Aksara.

Aziz, Ahmad, Amir. 1999. Neo-Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Rineka Cipta

Bakhtiar, A. Nur Alam. 2008. 99 Keistimewaan Gus Dur. Jakarta: Kultural Barton, Greg. 2000. Abdurrahman Wahid dan Toleransi Keberagamaan. Chafsoh, Zannuba Arrifah. 2011. Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah., Semarang: Suara

Merdeka Dawam, Ainurrofiq. 2003. Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan

Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press.

Departemen Agama RI. 2002. Mushaf Al-Qur’an Terjemah. Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani.

Dhakiri, M. Hanif. 2010.41 Warisan Kebesaran Gus Dur.Yogyakarta: LkiS. 124 Dj, Fauzan. 2011. Kekalahan Negara atas Kekerasan Berlatar Agama. Suara Merdeka.

Semarang : Litera Antar Nusa Faqih, Maman Imanulhaq. 2010. Fatwa dan Canda Gus Dur. Jakarta: Kompas. Hadi, Syamsul. 2010.Gusdur Guru Bangsa, Bapak Pluralisme. Jombang: Zahra Book. Hadjar, Ibnu. 1996. Dasar-Dasar Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo

Persada. Haikal, Muhammad Husain. 2008. Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah Jakarta:

Litera Antar Nusa. Hakim, Abdul Dubbun. 2006. Islam, Inklusivisme, Dan Kosmopolitanisme. dalam Abdul

Dubbun Hakim, Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan, Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Hanafi, Hassan. 2001. Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela,. Ichtijanto. 2005. Masyarakat Majemuk dan Kerukunan Hidup Beragama. dalam Prof.

Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama.

Iskandar, A. Muhaimin. 2010. Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. Yogyakarta, LkiS.

Isre, M. Saleh. 1998. Tabayun Gusdur Pribumisasi Islam, Hak Minoritas. Yogyakarta: LKiS

Kementerian Agama RI. 2005. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani.

Kementerian Agama RI. 2010. al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi. Jilid II Komaruddin. 1984. Kamus Research. Bandung: Angkasa. Ma’arif, Syamsul. 2008. The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme.

Semarang: Nedd’s Press. Marimba, Ahmad D. 1989. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al Ma’arif. Mudzhar, Atho, Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan ke Depan

(Tinjauan dari Aspek Keagamaan) dalam Atho 125

Page 50: PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI …

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan

95 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579

Mudzhar. 2005. Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama.

Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Mulkhan, Abdul Munir. 2001. Humanisasi Pendidikan Islam. dalam Hamami Zada, et.

Jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 11. Munawar, Ahmad. 2010. Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis. Yogyakarta:

LKiS Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2010. Pendidikan Multicultural Konsep dan Aplikasi.

Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:

Arkola. Qomar, Mujamil. 2004. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode

Kritik. Jakarta: Erlangga. Rachman, Budhi Munawwar. 2004. Islam Pluralis, Wacana Kesetaran Kaum Beriman,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Rahim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos. Rahman, Fazlur. 2000. Islam. Bandung: Pustaka. Ramage, Douglas E. 2010. Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKiS. Rasyidin dan Syamsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2009. Teori Sosiologi, Yogyakarta: Kreasi

Wacana. Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada

(ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan Jakarta: Lakpesdam Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif. Bandung: Mizan. Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,

Jakarta: Lentera Hati. Vol. 1 Shofan, Moh. 2008. Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh

Muhammadiyah. Yogyakarta: LSAF. Umiarso dan Makmur, Haris Fhatoni. 2010. Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme

Masyarakat Modern. Jogjakarta: IRCiSoD. Wahid, Abdurrahman. 1998. Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama. dalam

Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (ed), Passing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta: Paramadina.

_____________. 1999. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI. Jakarta: Kompas.

_____________. 1999. Tuhan Tidak Perlu di Bela. Yogyakarta: LKiS _____________. 2002. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute. _____________. 2007. Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi

Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute _____________. 2010. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.