Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam Volume 8, Nomor 1, Februari 2015; p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579; 46-95
PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI GAGASAN ABDURRAHMAN WAHID
DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak: Dalam sejarah perkembangan agama Islam, diketahui bahwa hijrahnya Nabi ke Madinah dengan tujuan menjamin keamanan masyarakat agamanya serta demi kondisi-kondisi yang dibutuhkan bagi penyiaran agama Islam. Di Madinah, Nabi mengeluarkan sebuah Piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas, dengan menekankan kerjasama seerat mungkin antara muslim dengan non muslim untuk bekerjasama demi keamanan mereka bersama. Kecenderungan sekelompok kecil umat Islam yang sering bersikap keras terhadap penganut agama lain menurut Abdurrahman Wahid merupakan proses pendangkalan agama. Proses pendidikan dan dakwah Islam yang cenderung bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain merupakan faktor lain yang memperburuk hubungan antar umat beragama di Indonesia. Hal ini dilakukan baik oleh mubalillgh maupun guru-guru di sekolah. Padahal tidak ada ayat atau hadis nabi yang memerintahkan kaum Muslim bersikap keras demikian, apalagi terhadap agama-agama samawi. Kata kunci: pluralisme, pendidikan Islam, Abdurrahman Wahid
Pendahuluan
Menurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk
atau plural society,1 dari segi etnis, misalnya ada suku melayu dan ada suku
Melanesia yang selanjutnya membentuk seratus suku besar dan 1.072 suku-
suku derivative besar dan kecil. Dari segi bahasa, terdapat ratusan bahasa yang
digunakan di seluruh wilayah Nusantara. Dari segi pulau yang dihuni,
terdapat sekitar 13.000 lingkungan kehidupan kepulauan. Dari segi sejarah
politik lokal, terdapat puluhan bahkan ratusan sistem kerajaan kesukuan lama
yang berpengaruh terhadap sistem stratifikasi sosial dan adat istiadat
1 Setelah Indonesia merdeka, kemajemukan masyarakat Indonesia disebabkan oleh keadaan intern tanah air dan bangsa Indonesia sendiri. Golongan Eropa yang sebelum itu mempunyai kedudukan sangat penting di dalam masyarakat Indonesia kemudian terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia. Lihat Dr. Ichtijanto, “Masyarakat Majemuk dan Kerukunan Hidup Beragama”, dalam Prof. Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, 47.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
47 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
setempat sekarang. Dari segi mata pencaharian, terdapat keragaman antara
kehidupan pedesaan dan perkotaan. Dari segi agama, terdapat sejumlah
agama besar dunia dan sejumlah sistem kepercayaan lokal yang tersebar
diseluruh wilayah Nusantara.2
Sering kali perbenturan dalam pluralisme yang mendapat sorotan tajam
adalah mengenai pluralisme agama. Karena secara historis, di negara ini
agama-agama besar berkembang dengan suburnya. Dan secara sosiologis,
hubungan masing-masing agama erat dengan berbagai dinamika, terkadang
akomodatif dan terkadang konfrontatif. Pola hubungan akomodatif terjadi
karena masing-masing umat dapat mengaktualisasikan ajaran agamanya
dengan benar sekaligus para pemeluk agama menaati dan mengakomodir
nilai-nilai budaya lokal. Sedangkan mencuatnya hubungan konfrontatif
disebabkan oleh sifat dan watak umat beragama, termasuk pemahaman
agama yang sempit serta adanya pengaruh provokasi dari luar. Yang
selanjutnya menyebabkan kerusuhan yang bernuansa agama.
Menurut Yenni Wahid,3 kekerasan berbau SARA terjadi karena ada
pihak-pihak yang ingin memecah belah bangsa Indonesia yang majemuk.
Mereka membenturkan hal-hal yang berbeda, juga ada keinginan untuk
memimpin ruang-ruang tertentu namun rela mengacaukan hubungan yang
telah harmonis. Serta ada pula penyebab lain, terutama faktor ekonomi yang
bisa menyebabkan seseorang menjadi frustasi lalu mudah ditawari untuk
menjadi mujahid dengan mengikuti kelompok yang menjanjikan surga dan
kemuliaan.4
Agama dewasa ini ditantang dan diuji oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesatnya,5 agama-agama besar
2 Atho Mudzhar, Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan ke Depan (Tinjauan dari Aspek Keagamaan) dalam Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, cet. I (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), 1-2 3 Yenni Wahid bernama asli Zannuba Arrifah Chafsoh, putri ke-2 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah Direktur The Wahid Institut 2004-sekarang. 4 Zannuba Arrifah Chafsoh, “Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah”, Suara Merdeka (Semarang: 20 Februari 2011), 2. 5 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berasal dari munculnya revolusi industri yang berlangsung di beberapa masyarakat Barat terutama pada abad ke- 19 dan awal abad ke- 20. Revolusi industri bukanlah peristiwa tunggal, melainkan terdiri dari beberapa perkembangan yang saling terkait dan berpuncak pada transformasi dunia
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 48 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
dunia, Yahudi, Kristen, dan Islam disadari ataupun tidak telah memasuki
periode krisis yang ikut dan berlangsung secara kontinyu. Krisis tersebut
karena agama-agama sudah tidak mampu memberikan solusi-solusi alternatif
bagi manusia modern dalam ragam masalah kehidupan mereka.
Pendidikan Pluralisme
Istilah konsep dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai ide umum,
pengertian, pemikiran, rancangan, serta rencana dasar.6 Pluralisme berasal dari kata
plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti terdapat keanekaragaman dalam
masyarakat. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, pluralisme diartikan sebagai
keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam
suatu masyarakat atau negara serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu
badan, kelembagaan, dan sebagainya. 7 Pluralisme yang dalam bahasa arabnya
diterjemahkan al-ta’addudiyyah,8 secara lughawi berasal dari kata plural (Inggris) yang
berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain
di luar kelompok kita yang harus diakui. Pluralisme adalah sebuah “ism” atau aliran
tentang pluralitas.9
Pluralisme yang berarti jamak atau lebih dari satu, dalam kamus bahasa
Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (a) sebutan untuk
orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (b)
memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun
nonkegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mengakui
adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga,
pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman
kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap
menjunjung tinggi aspekaspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara
Barat dari sistem pertanian menuju sistem industri besar-besaran. Dengan munculnya pabrik-pabrik sebagai buah dari kemajuan teknologi. Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, cetakan II (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), 7. 6 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), 362. 7 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), 13. 8 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, cetakan III (Jakarta: Gema Insani, 2007), 11. 9 Ma’arif, Pendidikan Pluralisme , 11
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
49 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
kelompokkelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa
disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau
keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan
karakteristik masing-masing.10
Nurcholis Madjid menyatakan bahwa pluralisme tidak dapat dipahami hanya
dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari
berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan
pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif”
(negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.
Menurut Alwi Shihab, pengertian konsep pluralisme dapat disimpulkan
sebagai berikut: pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemajemukan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme,
kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam, ras, bangsa hidup
berdampingan di suatu lokasi. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan
dengan relativisme. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni
menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian
komponen ajaran dari beberapa agama tersebut.11
Sementara definisi tentang pendidikan pluralisme menurut Frans Magnez
Suseno adalah suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada
cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi
budaya dan agama sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah
keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan
akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.12
Pendidikan Pluralisme sering dikenal orang dengan sebutan “Pendidikan
Multikultural”. Ainurrofiq Dawam menjelaskan definisi pendidikan multikultural
sebagai proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas
10 Thoha, Tren Pluralisme Agama, 12. 11 Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1999), 41-42. 12 Ma’arif, Pendidikan Pluralisme, 92.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 50 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran
(agama).13
Muhammad Ali menyebut pendidikan multikultural sebagai pendidikan yang
berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus
berwawasan multikultural, seperti itu, dengan sebutan “Pendidikan Pluralis
Multikultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari
upaya komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme
agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep
pendidikan ini adalah toleransi.14
Memperhatikan beberapa definisi tentang pendidikan pluralisme tersebut di atas,
secara sederhana pendidikan pluralisme dapatlah di definisikan sebagai pendidikan
untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan
demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan. Pendidikan di sini, dituntut untuk dapat merespon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak
bagi setiap kelompok.
Melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan yang berbasis pluralisme akan
berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada
peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para
peserta didiknya akan pentingnya saling menghargai, menghormati dan bekerja sama
dengan agama-agama lain.15
Dasar Pendidikan Pluralisme
a. Dasar Historis
Ada banyak bukti historis bahwa Nabi Muhammad SAW. Sangat
proeksistensi terhadap pemeluk agama lain dan memberikan kebebasan kepada
mereka untuk melakukan ritual di masjid milik umat Islam. Dikisahkan oleh Ibnu
Hisyam dalam al Sirah al-Nabawiyyah, bahwa Nabi pernah menerima kunjungan para
tokoh Kristen Najran berjumlah 60 orang. Menurut Muhammad ibnu Ja’far ibnu al-
13 Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003), 100. 14 Ma’arif, Pendidikan Pluralisme. 15 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme (Semarang: Nedd’s Press, 2008), 100.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
51 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah, mereka langsung menuju masjid.
Saat itu Nabi sedang melaksanakan shalat ashar bersama para sahabatnya. Mereka
datang dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang juga lazim digunakan oleh
Nabi Muhammad SAW. Dan para sahabatnya. Ketika waktu Kebaktian tiba, mereka
pun tak harus mencari gereja. Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan
sembahyang di masjid.16
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh kalangan Kristen. Ketika umat Islam
dikejar-kejar oleh Kafir-Quraisy Mekkah, yang memberikan perlindungan adalah
Najasy, raja Abesinia yang Kristen. Ia berpendirian bahwa pengikut Muhammad
haruslah dilindungi hak-haknya, termasuk hak memeluk agama. Begitu pula ketika
Nabi hijrah ke Madinah, Beliau mengadakan pertemuan secara besar-besaran
bersama sahabat Anshar dan beberapa keluarga (Naqib) dari Mekkah. Dalam
pertemuan itu, 23 artikel dari Piagam Madinah telah ditetapkan. Juga tercantum
dalam piagam itu, untuk membentuk masyarakat dan hubungan-hubungan legal bagi
kelompok Muslim yang baru. Selanjutnya Beliau berkonsultasi dengan perwakilan
dari non-Muslim. Akhirnya seluruh dari mereka menyepakati dasar-dasar
pembentukan sebuah “citystate” yang baru. Inilah yang kemudian diabadikan dengan
sebutan “Piagam Madinah”.17 Seperti yang telah dikatakan oleh Muhammad Husain
Haekal bahwa:
Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan masyarakat Yahudi, Muhammad
membuat perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas agama mereka dan harta
benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik. Sehingga setiap warga Madinah
tanpa membedakan agama maupun suku, mereka berkewajiban mempertahankan
kota itu. Mereka harus bekerja sama antar sesama.18
Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah peradaban Islam yang
menyepakati soal-soal hubungan atau interaksi sosial antara kelompok-kelompok
yang memiliki perbedaan agama dan budaya, yakni antara kelompok Yahudi, Nasrani
16 Moh. Shofan, Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah (Yogyakarta: LSAF, 2008), 54-55 17 Ma’arif, The Beauty of Islam , 67. 18 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, cetakan 30 (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2008), 202.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 52 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
dan Muslim. Di sini, Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai pencetus dan
mediator dalam gerakan ishlah ini. Hal hal penting yang dapat dijadikan sebagai dasar
interaksi sosial di tengah komunitas yang plural antara lain:19
1. Seluruh suku yang ada di Madinah disebut dalam pasal pasal piagam dengan
maksud menghormati identitas kolektivitas keagamaan dan etnik yang ada dalam
masyarakat tersebut.
2. Tiap-tiap kelompok etnik dan keagamaan dijamin otonomi hukum dan
budayanya secara total.
3. Secara garis besar Piagam Madinah memuat kesepakatan antara Muhammad,
kaum Musyrik, dan Yahudi. Dari 47 pasal yang termuat dalam piagam itu meliputi
masalah monoteisme, persatuan-kesatuan, persamaan hak, keadilan, kebebasan
beragama, bela negara, pelestarian adat, perdamaian dan proteksi.
4. Masing-masing berkewajiban menjaga keamanan dan stabilitas Madinah.
5. Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam memiliki kepedulian tinggi terhadap
kesetaraan antaretnis dan ras. Dari sudut tinjauan modern, ia diterima sebagai
sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang majemuk.
6. Piagam Madinah menjadi bukti bagi kerja sama kaum Muslimin dengan
kelompok beragama lain, sekaligus menunjukkan bahwa Muhammad telah
melembagakan asas toleransi beragama yang dinyatakan dalam al-Qur’an (Q.S al-
Baqarah: 156, al-Maidah: 48, dan al-Kafirun: 6).
7. Piagam Madinah menjadi piagam pertama yang mengakui kebebasan hati nurani
yang ditemui dalam sejarah umat manusia.
b. Dasar Normatif
Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa pluralitas adalah salah satu
kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau sunnah Allah,
dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan di hari akhir nanti, mengapa
manusia berbeda satu dari yang lain. Hal tersebut tercantum dalam QS. al-Hujurat:
13.
19 Mukhsin Abdurrahman, Pendidikan Pluralisme-Multikultural http://mukhsinblog.blogspot.com/ 2015/ 05 pendidikan-pluralisme-multikultural.html
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
53 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.20
Asbabun nuzul ayat tersebut menegaskan kesatuan asal usul manusia dengan
menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak wajar seseorang
berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan saja antar satu bangsa,
suku atau warna kulit dengan selainnya, tetapi juga antara jenis kelamin mereka.
Islam juga memerintahkan umatnya untuk berinteraksi terutama dengan
agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi
dan debat intelektual dan teologis secara bersama-sama dengan cara yang sebaik-
baiknya. Hal tersebut terdapat pada QS. al-Ankabut: 46
Artinya: Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[1154], dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri"
Menurut Moh. Shofan, setidaknya ada empat tema pokok yang menjadi
kategori utama al-Qur’an tentang pluralisme agama:21
a) Tidak ada paksaan dalam beragama, yang terdapat pada QS. al-Baqarah: 256
20 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani, 2005), 518. 21 Shofan, Menegakkan Pluralisme , 74-75
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 54 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.22
Tidak boleh ada paksaan dan tindakan kekerasan untuk masuk ke dalam
agama. Iman itu tunduk dan khudhu’ (patuh). Untuk mencapai hal itu tidak bisa
dilakukan dengan paksaan dan tekanan, tetapi harus dengan alasan dan penjelasan
yang menguatkan. Iman adalah urusan hati. Tidak seorang pun bisa menguasai hati
manusia.
Ayat ini cukup untuk membuktikan tentang kekeliruan musuh-musuh agama
Islam yang mengatakan: “agama Islam ditegakkan dengan pedang, dan orang yang
tidak mau memeluk agama Islam dipancung lehernya”. Sejarah telah membuktikan
kebohongan dari pernyataan itu. Peperangan yang terjadi pada masa Nabi bertujuan
membela diri, supaya kaum Musyrik berhenti mengganggu dan memfitnah para
Muslim. Inilah sebabnya, para Muslim tidak lagi memerangi para Musyrik ketika
mereka telah memeluk Islam atau tetap pada agama semula dengan membayar jizyah
(pajak) sebagai jaminan keamanan.23
Allah Maha Kuasa, sehingga dengan kekuasaan-Nya, Dia bisa jadi ada yang
menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi alasan bagi Allah untuk memaksa
makhluk mematuhi agama Nya. Namun yang terjadi tidak demikian, yang dimaksud
dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini
berarti jika seseorang telah memilih satu akidah, maka dia terikat dengan tuntunan-
tuntunannya, dia berkewajiban melaksanakan perintahperintahnya. Dia terancam
sanksi jika melanggar ketetapannya.
Di sini Anda pun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang Anda miliki.
Anda juga tahu bahwa telah jelas yang ini membawa manfaat dan itu mengakibatkan
mudharat, jika demikian tidak perlu ada paksaan karena yang dipaksa adalah yang
enggan tunduk akibat ketidaktahuan. Di sini telah jelas jalan itu sehingga tidak perlu
22 Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an Terjemah (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani, 2002), 43. 23 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur, jilid II (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), 450-451.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
55 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
ada paksaan. Anda memaksa anak untuk minum obat yang pahit, karena Anda tahu
bahwa obat itu adalah mutlak untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya.24
b) Pengakuan akan eksistensi agama-agama lain. Pengakuan al-Qur’an terhadap
pemeluk agama-agama lain, antara lain tercantum dalam QS. al-Baqarah: 62
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.25
Pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok: al-ladzina
Amanu (menunjuk pada umat Islam), al-ladzina Hadu (ummat Yahudi), al-Nashara
(umat Kristen), dan al-Shabi’in. Al-Thabari berpendapat bahwa jaminan Allah atas
keselamatan tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman, percaya pada hari kemudian, dan
perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk beriman kepada Allah dan Muhammad
saw. Atau dengan kata lain, yang dimaksud dalam ayat ini ialah mereka yang telah
memeluk Islam.26
c) Kesatuan Kenabian, yang bertumpu pada QS. Asy Syura: 13
Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1, 551-552. 25 Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an, 11. 26 Shihab, Tafsir al-Mishbāh, 79.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 56 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).27
Penyebutan Nabi-Nabi sebagaimana terbaca di atas, sejalan dengan masa
kehadiran mereka di pentas bumi ini terkecuali Nabi Muhammad saw. Itu untuk
mengisyaratkan kedudukan terhormat yang diperoleh Nabi Muhammad saw. Di
kalangan para Nabi. Ini serupa dengan firman-Nya dalam QS. al-Ahzab:7
d) Kesatuan Pesan Ketuhanan yang berpijak pada QS. an-Nisa’: 131
Artinya: Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.28 Apa saja yang ada di langit dan bumi adalah kepunyaan Allah. Dialah yang
menciptakan dan Dialah yang mengurus. Dalam mengurus makhluk-makhuk-Nya,
Allah menciptakan hukum secara mutlak, dan semuanya tunduk di bawah hukum itu.
Orang yang benar-benar memahami hukum-hukum Allah yang berlaku
umum terhadap bumi, langit dan semua isinya serta memahami pula hukum yang
mengatur kehidupan makhluk-Nya, akan mengetahui betapa besar limpahan rahmat
dan karunia-Nya kepada semua makhluk-Nya. Oleh sebab itulah kepada setiap
hamba diperintahkan agar bertakwa kepada-Nya, seperti telah diperintahkan kepada
umat-umat terdahulu, yang telah diberi al-Kitab seperti orang-orang Yahudi dan
Nashrani. Serta kepada orang-orang yang melaksanakan ketakwaan dengan tunduk
dan patuh kepada- Nya dan dengan menegakkan syari’at-Nya. Dengan tunduk dan
27 Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an, 485. 28 Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an, 100.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
57 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
patuh kepada-Nya dan dengan menegakkan syari’at-Nya manusia akan berjiwa bersih
dan dapat mewujudkan kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.29
Pendidikan Islam
Dalam proses pendidikan sangatlah perlu komponen-komponen pendidikan.
Komponen itu sendiri berarti bagian dari suatu sistem yang memiliki peran dalam
keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai sebuah tujuan.
Pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term:
tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris. Masing-masing memiliki keunikan
makna tersendiri, namun memiliki makna yang sama. Akan tetapi term yang populer
digunakan dalam praktek Pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah.30
Istilah kunci yang seakar dengan kata tarbiyah adalah al-rabb, rabbayani, nurabbi,
yurbi, dan rabbani. Istilah tarbiyah yang diambil dari madhi-nya (rabbayani) memiliki arti
memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan,
mengembangkan, memelihara, membesarkan, dan menjinakkan. Pemahaman tersebut
diambil dari tiga ayat dalam al-Qur’an :
a. QS. al-Isra’: 24 “kamâ rabbayânî shaghîrâ” (sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil).
b. QS. al-Syu’ara: 18 “alâ nurabbika fînâ walîdâ” (bukankah Kami telah
mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu masih kanak-kanak).
c. QS. al-Baqarah: 276 “yamhu Allah al-riba wa yurbi shadaqah”.(Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah).
Secara terminologi Pengertian Pendidikan Islam ini sebetulnya sudah cukup
banyak dikemukakan oleh para ahli. Meskipun demikian, perlu dicermati dalam
rangka melihat relevansi rumusan baik dalam hubungan makna, tujuan, fungsi,
maupun proses kependidikan Islam yang dikembangkan dalam rangka menjawab
permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan umat manusia sekarang
ini.
29 Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), 29. 30 Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy dalam kitabnya Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, seperti dikutip oleh Abdul Mujib, Pendidikan Islam dalam khazanah keislaman populer dengan Istilah Tarbiyah, Lihat. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, cetakan I (Jakarta: Kencana, 2006), 10.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 58 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa Pendidikan Islam adalah bimbingan
jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran Islam.31
Memang dalam pendidikan Islam terdapat sebuah karakteristik yang khusus,
rekomendasi Konferensi Internasional Pendidikan Islam di Universitas King Abdul
Aziz Jeddah tahun 1997 mendefinisikan pendidikan Islam sebagai keseluruhan
pengertian yang terkandung dalam istilah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Berdasarkan
pemaknaan ini, Abdurrahman al-Nahlawy menyimpulkan bahwa pendidikan Islam
terdiri dari empat unsur, yaitu: pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak
menjelang baligh; kedua, mengembangkan seluruh potensi; ketiga, mengarahkan
seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan; dan keempat, dilaksanakan secara
bertahap.
Dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam akan dipertanyakan dan menjadi
sorotan tajam tatkala anak didiknya terbawa arus modernitas; menjadi robot-robot
yang tidak mempunyai daya kreativitas kecuali hanya terseret arus. Domain ini yang
sejatinya mampu membawa perubahan tak lebih hanya teranggap sebagai sesuatu
yang konservatif dan sia-sia. Ini tak lebih karena pengajaran agama selama ini bersifat
normatif, dogmatis, dan hanya memikirkan kebenaran yang masih di angan-angan
(akhirat). Sedangkan pemahaman tentang Tuhan beserta ritual pengabdiannya (baca:
teologi) cenderung eksklusif dan ada klaim-klaim apologis seperti klaim kebenaran
(truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim). Hal ini menyebabkan fragmentasi
dan permusuhan antar agama hingga menyebabkan konflik berkepanjangan dan
berdarah-darah. Nilai keagamaan menjadi luntur dan hanya memunculkan
simbolsimbol agama saja.
Dalam lingkup yang lebih luas, gerakan ini merupakan bentuk perlawanan
terhadap westernisasi. Walaupun dalam bentuk kaku, formalistik, dan ritualistik
semacam berjenggot, berpakaian putih dan berjilbab, angkatan muda yang masih
tergolong puritan dan steril dari idiologi sekuler meyakini Islam sebagai satu-satunya
31 Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: al-Ma’arif, 1989), 23.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
59 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
juru selamat. Karenanya identitas Islam harus dikembalikan dari pengaruh luar
(westernisasi).32
Pendidikan Islam sebagai penyedia segala fasilitas yang dapat
memungkinkan tugas-tugasnya tersebut tercapai dan berjalan lancar dengan melihat
realitas keanekaragaman ras dan agama di Indonesia, maka pendidikan Islam harus
memperhatikan beberapa hal berikut:
Pertama, Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga
pendidikan umum yang bercirikan Islam. Artinya, di samping menonjolkan
pendidikannya dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan, namun karakter
keagamaan juga menjadi bagian integral dan harus dikuasai serta menjadi bagian dari
kehidupan siswa sehari-hari.
Kedua; Pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai pendidikan
yang berbasis pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang diberikan kepada siswa
tidak menciptakan suatu pemahaman yang tunggal, termasuk di dalamnya juga
pemahaman tentang realitas keberagamaan.
Ketiga; Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga
pendidikan yang menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem
pendidikan yang memberikan keleluasaan pada siswa untuk mengekspresikan
pendapatnya secara bertanggung jawab.33
Pemikiran Abdurrahman Wahid Mengenai Konsep Pendidikan Pluralisme
Mengamati pemikiran Gus Dur memang menarik sekaligus menyulitkan.
Menarik karena ide-idenya sangat sederhana, tetapi mampu memberikan wawasan
tersendiri dalam menganalisis persoalan, baik di Indonesia maupun di dunia.
Menyulitkan karena pemikirannya terkadang keluar dari kultur yang membesarkannya
(NU dan Pesantren).34
1. Dasar Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid
Tulisan Gus Dur berjudul ’Pengembangan Fiqih Secara Kontekstual’, dipaparkan
bahwa Ideologi pluralisme yang dibawa Beliau dan penghormatannya terhadap
32 Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2001), 14-15. 33 Ma’arif, The Beauty of Islam, 120. 34 Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis (Yogyakarta: LKiS, 2010), 55.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 60 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
pluralitas sepenuhnya berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran
Islam dan juga tradisi keilmuan NU sendiri.
Pertama, prinsip pluralisme secara tegas diakui di dalam kitab suci. Al-Qur’an
secara tegas mendeklarasikan bahwa pluralitas masyarakat dari segi agama, etnis,
warna kulit, bangsa, dan sebagainya, merupakan keharusan sejarah yang menjadi
kehendak Allah (sunnatullah). Karena itu, upaya penyeragaman dan berbagai
bentuk hegemonisasi yang lain, termasuk dalam hal pemahaman dan
implementasi ajaran agama, merupakan sesuatu yang bertentangan dengan
semangat dasar al-Qur’an.
Pluralitas agama dan masyarakat menjadi alat uji parameter kualitas
keberagamaan umat, apakah dengan pluralitas itu setiap kelompok atau umat
beragama bisa hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama lain
dengan semangat saling belajar dan saling menghormati. Atau sebaliknya,
pluralitas itu justru menjadi alasan untuk membangun klaim-klaim kebenaran
yang bersifat sektarian.35
Kedua, nalar keragaman NU sepenuhnya dibangun di atas spirit pluralisme.
NU mengikuti tradisi pemikiran madzhab yang menjadi pilar tegaknya peradaban
fiqih. Ajaran Islam digali secara langsung dari sumbernya, tetapi melalui
pemikiran, NU terhindar dari pendekatan tekstual dan interpretasi tunggal
terhadap al-Qur’an dan al-Hadis. Fiqih dirumuskan sebagai hukum atau
kumpulan hukum yang ditarik dari dalildalil syar’i, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis
(al-ahkam al-mustanbathah min adillatiha al-syar’iyyah). Definisi ini menurut Gus Dur,
secara jelas menampakkan adanya proses untuk memahami situasi yang di situ
ayat al- Qur’an dan al-Hadis memperoleh pengolahan untuk disimpulkan
berdasarkan kebutuhan manusia. Di sini nyata terlihat bahwa pluralisme yang
dikembangkan Gus Dur adalah revitalisasi dari ajaran Islam dan tradisi berpikir
pesantren yang telah berkembang selama-berabad-abad.
Toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur tidak sekedar
menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari agama
35 M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2010), 63-64.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
61 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
yang berbeda, tetapi juga disertai kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran yang
baik dari agama lain, dalam sebuah tulisannya yang berjudul Intelektual di Tengah
Eksklusivisme, Gus Dur pernah mengatakan:
Saya membaca, menguasai, menerapkan al-Qur’an, al-Hadis, dan kitab-kitab Kuning tidak dikhususkan bagi orang Islam. Saya bersedia memakai yang mana pun asal benar dan cocok dan sesuai hati nurani. Saya tidak mempedulikan apakah kutipan dari Injil, Bhagawad Gita, kalau bernas kita terima. Dalam masalah bangsa, ayat al-Qur’an kita pakai secara fungsional, bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi aplikasi adalah soal penafsiran. Berbicara masalah penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis, melainkan sudah menjadi masalah pemikiran.36
2. Pandangan Pluralisme Abdurrahman Wahid
Dalam QS. Ali Imran: 85 yang artinya: ”Barang siapa mengambil selain Islam
sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah, dan dia di akhirat
kelak akan menjadi orang yang merugi,” Gus Dur memberikan penjelasan bahwa ayat
tersebut jelas menunjuk kepada masalah keyakinan Islam yang berbeda dengan
keyakinan lainnya, dengan tidak menolak kerjasama antara Islam dengan berbagai
agama lainnya.37
Dalam pidato perayaan Natal pada tanggal 27 Desember 1999 di Balai Sidang
Senayan Jakarta, misalnya, Abdurrahman Wahid menyampaikan :
Saya adalah seorang yang menyakini kebenaran agama saya, tapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat beragama. Sejak kecil itu saya rasakan. Walaupun saya tinggal di lingkungan pasantren, hidup dikalangan keluarga kiai, tak pernah sedikitpun saya merasa berbeda dengan yang lain.38 Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama antara Islam
dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan
umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu tentunya akan dapat
diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antaragama. Dengan
kata lain prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku dalam hal ini, seperti adagium
36 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, cet. II (Yogyakarta: LKiS, 2010), 204. 37 Menurut Gus Dur, Hal inilah yang membedakan amal sholeh yang merujuk pada amal baik seorang Muslim dengan amal khoir atau amal baik non muslim. Kalau amal saleh itu akan sampai kepada Allah dan akan diterima oleh Nya, sedangkan amal khair tidak demikian, dan hanya akan menjadi fatamorgana. 38 Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada (ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta: LAKPESDAM), 144.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 62 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
ushul fiqh/teori legal hukum Islam: ”sesuatu yang membuat sebuah kewajiban
agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula (Ma la yatimmu
al wajibu illa bihi fahuwa wajibun)”. Kerjasama tidak akan terlaksana tanpa dialog,
oleh karena itu dialog antaragama juga menjadi kewajiban.39
Tentang pluralitas, seperti terdapat dalam QS. al-Hujurat: 13, menurut Gus
Dur, ayat tersebut menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada antara laki-
laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan
demikian, perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang
dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan.
Tentu saja adanya berbagai keyakinan itu tidak perlu dipersamakan secara
total, karena masing-masing memiliki kepercayaan atau aqidah yang dianggap
benar. Demikian pula kedudukan penafsiran-penafsiran aqidah itu. Umat
Katholik sendiri memegang prinsip itu. Seperti dalam Konsili Vatikan II yang
dipimpin Paus Yohannes XXIII dari tahun 1962- 1965, menyebutkan bahwa para
Uskup yang menjadi peserta menghormati setiap upaya mencapai kebenaran,
walaupun tetap yakin bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama
mereka. jadi keyakinan masingmasing tidak perlu diperbandingkan atau
dipertentangkan.
Di sinilah nantinya tebentuk persamaan antaragama, bukannya dalam ajaran
atau aqidah yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian materi. Karena
ukuran capaian materi menggunakan bukti-bukti kuantitatif seperti tingkat
penghasilan rata-rata masyarakat.
3. Cara Menyikapi pluralisme
Menurut Gus Dur, pluralisme di tanah air disimbolisasi dengan banyak hal,
utamanya agama, suku, dan bahasa. Tetapi ada hal yang banyak dilupakan oleh
banyak kalangan, yaitu pluralisme makanan. Ekspresi dan manifestasi pluralisme
dalam makanan semakin memperkukuh entitas kebhinekaan yang mewujud
dalam bangsa ini.
39 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2002), 133-134.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
63 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Ketika berkunjung ke tempat manapun, yang paling menarik dan menjadi
salah satu kekuatan adalah aneka macam menu makanan dengan variannya.
Bahkan, belakangan soal pluralisme makanan tersebut dijadikan sebagai salah satu
acara di stasiun televisi, yang dikenal dengan wisata kuliner.40
Gus Dur memandang bahwa siapapun yang memahami realitas keragaman
masakan yang hampir dimiliki oleh setiap daerah di seluruh
pelosok negeri ini, maka pemahamannya terhadap pluralisme justru akan semakin
kokoh. Keragaman masakan yang kita miliki sebenarnya merupakan unsur
kekuatan, bukan unsur ancaman. Ia semakin menjadikan kita sehat secara jasadi
dan sehat secara ruhani. Makanan yang begitu banyak aneka ragamnya telah
menjadi fakta bahwa pluralisme atau kebhinekaan merupakan rahmat Tuhan yang
harus didayagunakan untuk kemajuan bangsa. Belajar dari pluralisme makanan,
maka kita sebenarnya dapat merayakan manfaat dari pluralisme.
Pluralisme bukanlah ide yang menyatakan semua agama sama. Kita semua
mengakui dan menyadari bahwa setiap agama mempunyai ajaran yang berbeda-
beda. Tetapi perbedaan tersebut bukanlah alasan untuk menebarkan konflik dan
perpecahan. Perbedaan justru dapat dijadikan sebagai katalisator untuk
memahami anugerah Tuhan yang begitu nyata untuk senantiasa merajut
keharmonisan dan toleransi. Oleh sebab itu, perbedaan dan keragaman
merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Apalagi dalam perbedaan dan
keragaman tersebut tersimpan keistimewaan, yang mana antara kelompok yang
satu dengan kelompok lain bisa saling mengisi dan menyempurnakan.
Restoran merupakan ruang publik yang sebenarnya dapat memperkokoh
pluralisme, karena di situlah perbedaan dirayakan dalam konteks menentukan
eksistensi setiap kelompok dengan basis saling menghargai dan menghormati.
Sebab itu kebiasaan Gus Dur dalam menyantap aneka ragam menu masakan di
negeri ini merupakan salah satu apresiasi terhadap pluralisme dan bagaimana
menyikapinya dengan positif dan konstruktif.
40 Maman Imanulhaq Faqih, Fatwa dan Canda Gus Dur (Jakarta: Kompas, 2010), 148.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 64 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Menurut Gus Dur, Setidaknya ada tiga hal mendasar yang bisa dilakukan
sebagai ikhtiar mengurangi berbagai bentuk ancaman terhadap kemajemukan
bangsa, Pertama, penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku tindak kekerasan
dan pemaksaan kehendak yang mengatasnamakan agama. Kedua, ormas-ormas
keagamaan harus didorong untuk mengedepankan dialog dan kerjasama dalam
berbagai bidang sosial dan kebudayaan sehingga toleransi dapat ditumbuhkan
secara menyeluruh. Ketiga, nilai-nilai toleransi perlu ditanamkan dan diajarkan
sejak dini dan berkelanjutan kepada anak-anak mulai dari Sekolah Dasar sampai
Perguruan Tinggi.41
4. Pluralisme dalam Konteks Keindonesiaan
Wajah budaya Indonesia yang bhineka menuntut sikap toleran yang tinggi
dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleransi tersebut harus dapat diwujudkan
oleh semua anggota dan lapisan masyarakat sehingga terbentuklah suatu
masyarakat yang kompak tapi beragam sehingga kaya akan ide-ide baru.42
Serta hubungan antaragama di Indonesia selama kurun waktu 30 tahun
terakhir ini telah berkembang dalam berbagai dimensinya, yang secara kualitatif
telah merubah, dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh perkembangan
pemikiran keagamaan di kalangan umat beragama itu sendiri. Hal ini minimal
dapat ditelusuri pada pemikiran keagamaan kaum muslimin, dalam sosoknya yang
tampak balau pada saat ini. Sebagaimana telah diketahui sejarah bangsa kita, Islam
datang di kawasan ini dalam bentuk dan corak yang heterogen. Dalam garis
besarnya, Islam datang dalam bentuk utusan-utusan politik, para pedagang dan
para sufi.43
Heterogenitas asal usul Islam di Indonesia menunjukkan variasi sangat tinggi
dalam pengalaman menjalani hubungan antaragama yang dibawa oleh kaum
Muslimin ke negeri ini. Dalam pola sinkretik kehidupan beragama orang Islam di
keraton Mataram hingga puritanisme Islam yang kemudian meletus dalam perang
41 A. Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur (Yogyakarta, LKiS, 2010), 19-20. 42 HAR. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, cet. III (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 180. 43 Abdurrahman Wahid, “Hubungan antar-Agama, Dimensi Internal dan Eksternalnya di Indonesia” dalam Adurrahman Wahid, dkk., Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), 3.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
65 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Paderi di Sumatera Barat pada paruh pertama abad yang lalu, terbentang
spektrum luas dengan manifestasi hubungan antar beragama yang sangat
beragam. Muslimin masyarakat Jawa menerima ”kekeramatan” bertemunya hari
penting Arab Jum’at dan Hari Jawa Kliwon atau Legi, dengan melakukan ibadah
ekstra pada hari tersebut.
Begitu juga mereka menyebut hari Ahad dengan hari Minggu,44 serta mereka
menjadikan hari tersebut sebagai hari tutup kantor dan tutup sekolah dengan
mengganti kesibukan seperti majlis ta’lim serta pengajian umum. Perubahan
”Hari Kristen” menjadi ”Hari Islam”, tanpa merubah penyebutan nama harinya
itu menunjukkan keindahan mozaik kerukunan hidup antara umat beragama yang
menyejukkan hati dan menentramkan jiwa. Namun, tantangan modernisasi yang
datang dari Barat ternyata menumbuhkan sikap-sikap baru di kalangan kaum
muslimin, yang memerlukan pengamatan teliti.
Pluralitas masyarakat Indonesia sendiri sekurang-kurangnya bisa dilihat
sebagai fakta dalam dua sisi. Sisi pertama: pluralitas suku, agama, dan budaya
serta berbagai turunannya. Sisi kedua: pluralitas di internal suku, agama, dan
budaya itu sendiri. Dalam Islam misalnya, terdapat berbagai aliran yang secara
formal sering kali berseberangan. Demikian juga di dalam agama, budaya dan
suku yang lain.
Toleransi yang diajarkan Gus Dur merupakan ajaran semua agama dan
budaya, apalagi dalam masyarakat majemuk dan multikultur seperti Indonesia.
Namun, toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur berbeda dari tokoh-
tokoh agama lain. Gus Dur mengajarkan toleransi plus, yaitu kalau kebanyakan
orang membudayakan toleransi sebatas pada hidup berdampingan secara damai,
yaitu hidup bersama dalam suasana saling menghormati dan menghargai. Tidak
demikian dengan Gus Dur. Dalam menyikapi pluralitas tersebut, Gus Dur
menegaskan bahwa tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada
pola hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence), karena hal demikian
masih sangat rentan terhadap munculnya kesalah-pahaman antar kelompok
44 Minggu berasal dari kata domingo yang berarti hari Tuhan bagi orang-orang Katolik Portugal, dan kemudian diikuti orang-orang Eropa lain untuk pergi ke gereja.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 66 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu
penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal
dan berdialog secara tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain bisa
saling memberi dan menerima.45
Selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang
mempermasalahkan pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan bangsa
Indonesia. Menurut Gus Dur, kelompok yang menolak pluralisme itu akibat
ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya Bangsa Indonesia. Salah satu cara
mengatasinya, kata Gus Dur, Bangsa Indonesia harus membangun batasan
bersama. Batasan itu adalah penghargaan terhadap pluralisme tidak akan diutak-
atik. Batasan ini juga berlaku saat membahas Undang-Undang Dasar Negara.46
Konsep toleransi yang dikembangkan Gus Dur meniscayakan adanya
kebenaran yang datang dari agama atau peradaban lain. Namun, jika kerendahan
hati seperti itu bisa dikembangkan secara terus menerus, maka toleransi di tengah
masyarakat, akan semakin menemukan polanya yang dengan sendirinya
kerukunan antaragama akan menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika
masyarakat dan suasana saling belajar, melengkapi dan mengisi akan menciptakan
kultur keberagamaan yang matang dan dewasa. Jika sudah demikian, maka
dengan sendirinya perbedaan agama dan keyakinan akan menjadi sumber
kekuatan yang sangat dahsyat bagi perubahan dalam persaudaraan.
5. Aktualisasi Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memimpin upacara pemakaman
Gus Dur di lingkungan Ponpes. Tebu Ireng Jombang, 31 Desember 2009, secara
terbuka mengakui Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme. Jauh sebelumnya, tepatnya
pada 24 Agustus 2005 sejumlah tokoh Lintas Agama, Jaringan Doa Nasional
Tionghoa Indonesia dan warga Ahmadiyah menganugerahi Gus Dur sebagai
Bapak Pluralisme Indonesia. Penganugerahan ini disampaikan di gedung PBNU,
jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat.
45 Tulisan ini diambil dari makalah Gus Dur berjudul “Pluralisme Agama dan Masa Depan Indonesia”, disampaikan pada seminar di UKSW, tahun 1992. lihat Dhakiri, 41 Warisan, 120. 46 Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur, Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis, http://wahidinstitute.org
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
67 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Kepedulian Gus Dur terhadap kasus-kasus internasional yang beberapa
diantaranya kontroversial termasuk hubungannya dengan Israel, maupun kasus
kekerasan etnik dan keagamaan serta kasus yang berkaitan dengan HAM dan
demokrasi di Indonesia, misalnya: persoalan Ahmadiyah, kasus Monitor, ICMI,
Ulil Abshar Abdalla, Inul, peristiwa Banyuwangi dan pembunuhan di Jawa Timur
tahun 1998, Sambas di Kalimantan Barat, peristiwa Ambon di Maluku, GAM di
Aceh, masalah Timor Timur, persoaalan Etnis China, tidak hanya dibuktikan
pada level pemikiran belaka, namun Gus Dur selalu tampil sebagai pembela pada
level praktis.
a. Jama’ah Ahmadiyah
Ketika banyak kelompok menghujat dan berusaha menyingkirkan
kelompok lain yang dianggap sesat dengan cara-cara kekerasan dan penistaan
seperti yang sering dialami jamaah Ahmadiyah, Gus Dur selalu tampil sebagai
pembelanya. Bukan berarti Gus Dur setuju dengan keyakinan Ahmadiyah itu,
tetapi Ia sangat menghormati keyakinan seseorang.
b. Kasus Monitor
Kasus Monitor pada bulan Oktober 1990, di mana tabloid tersebut
dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara sebuah surveinya yang
menyinggung perasaan umat Islam. Menurut Gus Dur, kasus monitor
menunjukkan bahwa kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi isu-isu
agama untuk mengedepankan kepentingan mereka. Sehingga beliau
mendirikan Forum Demokrasi untuk memperjuangkan demokrasi di
Indonesia
c. Munculnya ICMI
Berdirinya ICMI pada Desember 1990. Menurut Gus Dur, ICMI
merupkan alat eksploitasi politik terhadap agama yang mengutamakan
kepentingan kelompok eksklusif yang sempit di atas kepentingan nasional.
ICMI akan mengaliansikan non-Muslim dan memperburuk pembelahan dan
salah paham yang sudah kuat dalam masyarakat Indonesia selama ini antara
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 68 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
kelompok keagamaan, kesukuan dan budaya yang berbeda. Peristiwa ini pula
yang melatarbelakangi Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi.
d. Pembelaan terhadap Ulil Abshar Abdalla, Inul Daratista, dan kelompok yang
dituduh Komunis.
Ia tanpa ragu membela Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual muda
NU yang juga tokoh muda “Islam Liberal” yang mengemukakan Liberalisme
Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah
implikasi yang sangat jauh, misalnya anggapan bahwa Ulil akan
mempertahankan kemerdekaan berpikir seorang santri demikian bebasnya,
sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan kebenaran Islam.
Itulah sebabnya mengapa demikian besar reaksi orang terhadap pemikirannya
ini. Seperti diketahui bahwa sejumlah ulama’ serta aktifis Islam tertentu
menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu Ia
layak dihukum mati. Menurut Gus Dur, kemerdekaan berpikir adalah sebuah
keniscayaan dalam Islam.
Demikian juga dalam kasus Inul Daratista, perempuan lugu dan
sederhana ini dicerca keras oleh sebagian Tokoh Agama, Majelis Ulama’, dan
Seniman karena goyang ngebornya dianggap melanggar batas-batas kesusilaan
umum. Mereka menggunakan justifikasi fatwa-fatwa keagamaan untuk
melarang Inul tampil di depan publik. Di tengah kontroversi itu, Gus Dur
tampil melindungi dari gempuran kecaman dan panasnya opini publik yang
menekan Inul. Pembelaan Gus Dur didasarkan pada melindungi Hak Asasi
wong cilik dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian
yang agak represif.
Dalam pembelaannya terhadap mereka yang diperlakukan tidak
manusiawi karena dituduh sebagai anggota kelompok Komunis. Karena itu,
ketika Ia menjadi Presiden, Gus Dur mengusulkan pencabutan TAP No.
XXV/MPRS/1966 soal pelarangan penyebaran ajaran Komunisme,
Marxisme dan Leninisme. Namun usul tersebut akhirnya ditolak. Dalam rapat
yang berlangsung hari Senin 29 Mei 2000, seluruh fraksi MPR yang ada di
panitia Ad Hoc II badan pekerja (PAH II BP) MPR menolak usul Gus Dur
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
69 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
tersebut. Para anggota MPR tampaknya masih sulit membedakan antara
Komunisme sebagai ideologi (pengetahuan) dan Komunisme sebagai gerakan
partai (G 30 S PKI).146
e. Peristiwa Banyuwangi dan Pembunuhan di Jawa Timur Tahun 1998
Pembunuhan yang konon dilakukan oleh para Ninja berpakaian serba hitam
itu telah memakan korban 200 orang lebih, terbukti bahwa orang yang terlibat
dalam pembunuhan ini mempunyai pendidikan militer dan terorganisir
dengan baik. serta menginginkan kerusuhan sosial di masyarakat. Perlu dicatat
bahwa sebagian korban peristiwa itu adalah anggota NU yang memiliki
kedudukan sebagai Ulama’ di daerah mereka. Respon Gus Dur terhadap
pembunuhan tersebut adalah dengan mengunjungi Banyuwangi dan
mendorong para tokoh agama lokal untuk menahan diri dari godaan untuk
merespons kekerasan ini dengan kekerasan.
f. Sambas di Kalimantan Barat
Daerah ini mempunyai sejarah konflik yang panjang, khususnya
antara transmigran Madura dengan penduduk lokal Dayak dan masyarakat
Melayu. secara kebetulan penduduk asal Madura mempunyai hubungan
dengan NU. mempelajari akar konflik itu, sering dikatakan bahwa elemen-
elemen kekerasan etnik dan agama berakar pada kenyataan bahwa dalam
konflik itu masyarakat Dayak yang Kristen bekerja sama dengan masyarakat
Melayu yang Muslim dan karenanya kerusuhan itu berkaitan dengan faktor
sosio-ekonomi. Meski selama hari-hari sibuk pra-kampanye, Gus Dur
menyempatkan diri untuk mengunjungi langsung daerah sengketa tersebut
untuk bertemu dengan para pemimpin lokal dan meminta respons mereka
dengan sabar dan dewasa terhadap persoalan yang sangat kompleks ini. serta
kunjungan meredamkan konflik tersebut terus berlanjut pada kesempatan
berikutnya. saat itu beliau ditemani oleh Alwi Shihab untuk bertemu dengan
kelompok yang terdiri atas ratusan pemimpin lokal, mengadakan makan siang
bersama dan membincangkan isu kekerasan dan peranan agama dan etnisitas.
Baik Alwi maupun Gus Dur berbicara dengan baik, sabar dan penuh
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 70 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
keyakinan serta agaknya punya pengaruh besar terhadap para pendengarnya.
sulit untuk menentukan sampai mana kunjungan singkat tersebut bersifat
instrumental dalam pencapaian perubahan yang cepat, tetapi yang jelas Gus
Dur konsisten dengan posisinya, memberikan prioritas untuk mendorong
pemimpin agama lokal dan pemimpin masyarakat untuk menghindari
kekerasan.
g. Peristiwa Ambon di Maluku
Di Ambon, tak lama setelah pecah kekerasan dan kondisinya saat itu
benar-benar tegang sehingga tidak mungkin mengadakan pertemuan dengan
kubu pemimpin Muslim maupun Kristen seperti yang direncanakan. meski
demikian, Gus Dur tetap bertemu dengan para pemimpin masyarakat lokal
dan membujuk mereka agar bersabar dan toleran dan menahan kekerasan.
sulit sekali untuk mengukur arti kunjungan Gus Dur tersebut yang teramat
penting, Gus Dur merasa perlu untuk mengunjungi dan mempertaruhkan
reputasi persoalannya untuk mencari jalan pemecahan.
h. GAM di Aceh
Kunjungan Gus Dur ke Aceh pada bulan Mei 1999 adalah atas
undangan mahasiswa Aceh untuk berbicara masalah-masalah yang dihadapi
Aceh, khususnya berkaitan dengan kekerasan yang sedang dan terus
berlangsung di Aceh di tangan militer/TNI dan semakin kuatnya Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). di sana Ia juga mengunjungi para pemimpin
komunitas agama walaupun banyak diantaranya bukan anggota PKB, karna
saat itu adalah saat menjelang kampanye. Meski sibuk menyiapkan kampanye,
Gus Dur tetap menyempatkan untuk meredamkan konflik Aceh padahal Ia
juga tahu bahwa Aceh bukanlah basis PKB. ini menunjukkan kunjungan
tersebut memang murni dorongan hati nurani beliau.
i. Masalah Timor Timur
Dalam seluruh aktivitas untuk menyelesaikan kekerasan
ini,pelanggaran HAM dan konflik yang sedang berlangsung, satu persoalan
penting muncul di hadapan Gus Dur dan dituntut untuk segera disikapi
untuk merespons pasukan internasional penjaga perdamaian di Timor Timur.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
71 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
pada bulan September 1999, Gus Dur membuat serangkaian komentar keras,
khususnya diarahkan pada pemerintahan Australia dan juga lembaga-lembaga
lain yang dianggap mencampuri urusan internal Indonesia.
j. Persoalan Etnis China.
Gus Dur sengaja melakukan hubungan dengan Beijing dan orang-
orang China, baik di daratan China maupun seluruh Asia Tenggara. di
samping untuk membantu orang-orang China di Indonesia sebagai WNI, juga
menjadi pemikiran penting sebagai pendewasaan masyarakat Indonesia.
karena itu dia nyatakan tujuan akhirnya adalah dihapuskannya diskriminasi
atas orang-orang China Indonesia. bahkan dalam situasi yang tidak
menguntungkan pun, berkaitan dengan resiko politik, dia telah menunjukkan
dukungannya bagi orang-orang China, Kristen, dan masyarakat minoritas
lainnya.
Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang di
Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai
kawasan pecinan di Semarang Jawa Tengah, mentahbiskan Gus Dur sebagai
Bapak Tionghoa. Gus Dur bukan hanya banyak melahirkan pemikiran dan
kebijakan yang menghormati masyarakat Tionghoa, tetapi juga mensejajarkan
mereka dengan semua kelompok yang ada di bumi Nusantara dari berbagai
agama, suku dan adat-istiadat yang berbeda.
Pada level praktis dan kebijakan, pembelaan Gus Dur terhadap
kelompok dan etnis Tionghoa dibuktikan secara nyata. Saat Ia menjadi
Presiden, hari raya Imlek bisa diperingati dan dirayakan dengan bebas. Warga
Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyi-sembunyi jika merayakannya.
Kebebasan ini tak lepas dari keputusan politik Gus Dur yang pada 17 Januari
2000 mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 tahun 2000, isinya
mencabut Inpres nomor 14/1967 yang dibuat Soeharto tentang agama,
kepercayaan, dan adat-istiadat China. Dengan Inpres No 14/1967 rezim
Orde Baru yang represif telah membuat Imlek terlarang dirayakan di depan
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 72 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
publik; Barongsai, Liang Liong harus sembunyi; huruf-huruf atau lagu
Mandarin tidak boleh diputar di radio.47
k. Konflik Filipina
Seiring dengan berjalannya waktu, Gus Dur telah tumbuh
berkembang reputasinya bukan hanya sebagai pemimpin agama yang
memiliki komitmen terhadap nilai toleransi, tetapi juga seorang pemikir yang
independen dan bijaksana, pada kunjungan ke Jakarta pada September 1993,
Presiden Filipina, Fidel Ramos mencuri kesempatan untuk berkonsultasi
dengan Gus Dur berkaitan dengan masalah perselisihan Muslim Moro di
bagian selatan Pulau Mindanao agar dapat diselesaikan tanpa konflik senjata,
Gus Dur sepakat dengan menambahkan bahwa: “semakin lama masyarakat
Islam dibiasakan dengan konflik bersenjata, semakin lama pula mereka
diharuskan berjuang mengatasi kemundurannya”, Ramos kemudian
mengundang Gus Dur untuk mengunjungi Filipina dan membantu berunding
dengan Front Pembebasan Moro. permintaan yang diresponnya pada tahun
berikutnya. lebih menarik lagi itu dua pekan sebelum kunjungan Ramos ke
Jakarta, Gus Dur dianugerahi salah satu hadiah paling bergengsi di Filipina
dan Asia Tenggara, yaitu Magsaysay Award (sebagai keterlibatan Gus Dur
yang luas dalam upaya untuk mengembangkan toleransi beragama).
l. Hubungan Diplomatik dengan Israel
Dalam hal ini dukungan Gus Dur untuk membuka hubungan
diplomatik dengan Israel. sangatlah penting untuk menimbang konteks
historis posisi kebijakan Gus Dur, khususnya dalam pertemuanpertemuan
sebelumnya dengan Israel. Gus Dur sendiri telah memberikan berbagai
macam alasan bahwa hubungan tersebut berkaitan dengan pembangunan
ekonomi dan perwujudan kemauan baik pada Israel itu sendiri. Jika Indonesia
dapat membuka hubungan dengan Israel, maka Indonesia akan memiliki
posisi yang sangat kuat untuk memperkuat argumentasi bagi perbaikan sosial
dan politik di Timur Tengah, khususnya Israel dengan Palestina. Dalam
47 Dhakiri, 41 Warisan, 71.
Pluralisme Perspektif Pendidikan
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
73 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
konteks ini, Gus Dur mengatakan bahwa sebagai Muslim terbesar di dunia,
sangatlah tepat jika Indonesia memainkan peranan penting bagi perdamaian
Israel dan Palestina. sudah pasti normalisasi hubungan diplomatik dengan
Israel sangat terikat dengan suksesnya perdamaian itu. Inilah yang mendasari
Gus Dur ketika pertama kali mengunjungi Israel pada bulan oktober 1994
untuk menjadi saksi kemajuan proses perdamaian antara Israel dengan
negara-negara “Arab”. Gus Dur berempat, ditemani oleh tokoh utama dialog
antaragama.
Analisis Tentang Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid
1. Terbentuknya Watak Pluralisme Abdurrahman Wahid
Dari lacakan epitemologis, Gus Dur bukanlah seorang yang eksistensialis,
melainkan seorang yang beragama dan percaya pada konsep wahyu, tetapi Ia
gabungkan dengan pemikiran modern. Bahwa kalau memang ada Tuhan Allah
Sang Pencipta, ada wahyu dan ada kitab suci, tetapi juga ada pengetahuan obyektif.
Jadi ada yang mutlak tetapi kemutlakan itu dibatasi oleh yang tidak mutlak. Jadi
secara otomatis ada implikasi pluralisme. Ini adalah sumber pluralisme intelektual,
tetapi ada juga sumber-sumber pluralisme yang lain. Orang bisa pluralis karena
punya sikap humanitarian, kecintaan kepada manusia membuat kita saling
menghormati.
Telah disadari bahwa betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur
dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup
dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran
yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi
jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis,
fundamentalis, sampai modernis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur
mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi,
sampai dengan budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga
persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks
sampai yang liberal dan radikal semua dialami.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 74 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren.
Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal,
dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah
mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang
konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang
kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir
Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek perilaku yang
humanis, pengaruh para Kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai
andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari
Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo
telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-
sentuhan kemanusiaan.
Menurut Greg Barton, Sebagai seorang remaja, Gus Dur mulai mencoba
memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, serta pada saat yang sama ia
bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan What is To be Done karya Lenin,
sehingga Ia tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal,
seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book-Mao.
Saat di Mesir, Gus Dur juga dengan penuh minat mengikuti bagaimana Mesir
sebagai negara memperlakukan pemikir Islam Sayyid Qutb. Pada saat itu ia telah
membaca karya-karya penulis Islam dan akhirnya mendapati bahwa pemikiran
Islam bersifat ekstrim dan sangat naif. Misalnya karya-karya Hasan al-Banna
(pendiri Ikhwanul Muslimin), Ali Syari’ati, Sayyid Qutb, dan penulis-penulis lain.
Gus Dur juga belajar kepada salah seorang temannya bernama Ramin ketika
ia tinggal di Baghdad, tepatnya karena mereka berdua samasama bekerja di ar-
Rahmadani (perusahaan impor tekstil dari Eropa dan Amerika). Ramin berasal
dari komunitas kecil Yahudi Irak, juga merupakan pemikir liberal dan terbuka.
Mereka bertemu secara rutin untuk membicarakan agama, filsafat, dan politik.
Dari Ramin-lah Gus Dur pertama kali mengetahui Yudaisme dan pengalaman
orang-orang Yahudi. Ramin berbicara panjang lebar mengenai cobaan berat yang
dialami orang-orang Yahudi yang tinggal di Rusia. Ia juga bercerita mengenai
keluarganya sendiri yang tinggal di Irak. Dari Ramin jugalah Gus Dur mulai belajar
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
75 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
menghormati Yudaisme dan memahami pandangan agama Yahudi serta
keprihatinan politik dan sosial orang-orang Yahudi yang hidup dalam diaspora
sebagai kaum minoritas yang selalu disiksa.
Akan tetapi bagi Gus Dur, topik yang sangat menarik perhatiannya bukanlah
politik atau filasafat yang dipelajari sebagai sesuatu yang abstrak, namun
bagaimana agar mempunyai sifat manusiawi. Pada waktu itu, dan kemudian
sepanjang hidupnya, ia sangat suka memahami kepelikan sifat manusia.
Sebagaimana yang ia pelajari dalam Wayang Kulit, yang berisi kisah-kisah
mengenai bagaimana menghargai ambivalensi, maka dalam sastra-sastra besar
Eropa ia juga belajar menghargai kepelikan dan bermacam lapis kelabu yang
membentuk sifat manusia. Cintanya akan kemanusian ini, yang dibinanya lewat
sastra klasik, dilengkapi oleh kegemarannya menonton film. Demikianlah rasa
cinta Gus Dur yang besar akan sastra dan ilmu pada umumnya.
Pluralisme merupakan salah satu komponen dari liberalisme, di samping
komponen yang lain yaitu kebebasan, toleransi, serta persamaan. Terbentuknya
liberalisme Gus Dur tidaklah sulit untuk diidentifikasi, dan juga tidak mengejutkan
bahwa daya tarik Islamisme radikalnya tidak berumur panjang. Menurut Greg
Barton, Pengaruh yang pertama adalah keluarganya sendiri. Di dalam lingkungan
keluarga ini ia dididik untuk bersikap terbuka dan selalu mempertanyakan sesuatu
secara intelektual. Yang kedua, ia dibesarkan di dalam dunia sufistik Islam
tradisional Indonesia, dan yang ketiga adalah ia dipengaruhi oleh orientasi budaya
masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan egalitarianisme.
Akhirnya ia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelajarinya karena
keduanya memberikan kesempatan kepada dirinya untuk mencoba mensintesiskan
pemikiran Barat modern dengan Islam.
Greg Barton juga menyatakan bahwa, terdapat lima elemen kunci yang dapat
disimpulkan dari pemikiran Abdurrahman Wahid:48
Pertama, pemikirannya progresif dan bervisi jauh ke depan. baginya, dari pada
terlena oleh kemenangan masa lalu, Gus Dur melihat masa depan dengan harapan
48 Greg Barton, “Abdurrahman Wahid dan Toleransi Keberagamaan” dalam M. Syafi’i Ma’arif, dkk. Gila Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000), 124-125.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 76 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
yang pasti, bahwa bagi Islam dan masyarakat Muslim, sesuatu yang terbaik pasti
akan datang.
Kedua, pemikiran Gus Dur sebagian besar merupakan respons terhadap
modernitas; respons dengan penuh percaya diri dan cerdas. Sembari tetap kritis
terhadap kegagalan – kegagalan masyarakat Barat modern, Gus Dur secara umum
bersikap positif terhadap nilai-nilai inti pemikiran liberal pasca pencerahan,
walaupun dia juga berpendapat hal ini perlu diikatkan pada dasar-dasar teistik.
Ketiga, dia menegaskan bahwa posisi sekularisme yang teistik yang ditegaskan
dalam Pancasila merupakan dasar yang paling mungkin dan terbaik bagi
terbentuknya negara Indonesia modern dengan alasan posisi non-sektarian
Pancasila sangat penting bagi kesejahteraan dan kejayaan bangsa. Gus Dur
menegaskan bahwa ruang yang paling cocok untuk Islam adalah ruang sipil (civil
sphere), bukan ruang politik praktis,
Keempat, Gus Dur mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan terbuka
yang toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga harmoni dalam
masyarakat.
Kelima, pemikiran Gus Dur mempresentasikan sintesis cerdas pemikiran Islam
tradisional, elemen modernisme Islam, dan kesarjanaan Barat modern, yang
berusaha menghadapi tantangan modernitas baik dengan kejujuran intelektual
yang kuat maupun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran utama
Islam.
Dari kelima kunci pemikiran Gus Dur tersebut, terlihat bahwa fokus utama
pemikiran beliau bertumpu pada terciptanya kehidupan yang damai sesuai dengan
cita-cita Islam yang memberi rahmat kepada seluruh alam dengan menghormati
HAM secara penuh, memberi ruang gerak demokrasi, serta mengembangkan sikap
pluralisme, yang kesemuanya itu merupakan ajaran Islam yang terkandung pada
prinsip universal Islam pada maqashid al-syari’ah.
2. Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid
Salah satu aspek yang paling dapat dipahami dari Abdurrahman Wahid adalah
bahwa Ia sang penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas,
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
77 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
khususnya China Indonesia, juga penganut Kristen dan kelompok-kelompok lain
yang tidak diuntungkan. Gus Dur dipahami sebagai Muslim non-chauvinis,
sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia
itu beragam. Yang secara luas tidak atau tepatnya kurang diapresiasi adalah bahwa
Gus Dur itu orang yang bangga sebagai seorang Muslim. Dia sangat mencintai
kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri. Lebih dari
itu, Gus Dur adalah tokoh spiritual, figur mistik yang dalam pandangannya dunia
spiritual nyata seperti dunia materi yang dapat dirasakan dengan indera manusia.
Dengan memahami berbagai pemikiran Gus Dur yang telah dipaparkan pada
bab-bab sebelumnya, maka ide-ide mengenai Konsep pendidikan pluralisme menurut
beliau yaitu:
a. Pendidikan pluralisme Abdurrahman Wahid didasarkan pada penghormatan yang
mendalam terhadap tradisi keilmuan NU, yang prinsip pluralismenya terdapat
dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan mengakui perbedaan sebagai keniscayaan
bahwa Allah memang menciptakan perbedaan itu agar saling mengenal dan
menghindari perpecahan. Konsep pluralisme yang didasarkan pada QS. al-
Hujurat ayat 13, menurut Gus Dur ayat tersebut jelas menunjuk kepada
perbedaan yang senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar
berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan
sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan
keterpisahan.
Beliau tidak mempersamakan keyakinan secara total, karena masing-
masing percaya bahwa akidahnya sendiri adalah benar. Namun hendaknya kita
tetap meyakini kebenaran agama kita sendiri. Kendati demikian kita harus tetap
menciptakan suasana yang harmonis. Sehingga dipahami bahwa Pluralisme
bukanlah ide yang menyatakan semua agama sama. Kita semua mengakui dan
menyadari bahwa setiap agama mempunyai ajaran yang berbeda-beda.
b. Tugas Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu membentuk
masyarakat yang mengakui perbedaan sebagai ketentuan dari Tuhan, serta
menjalin kerjasama meskipun berbeda agama. Abdurrahman Wahid
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 78 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
mengembangkan pluralisme dengan bertindak dan berpikir. Dalam bertindak
yaitu hendaknya kita bersikap inklusif, tidak membatasi pergaulan dengan orang
lain, meski berbeda keyakinan.
Dalam berpikir, bersedia menerima dan mengambil gagasan atau pemikiran
dari kalangan lain. Apa yang muncul paling jelas dalam pemikiran Gus Dur adalah
keyakinan bahwa pandangan religius yang membentuk dan melahirkan nilai-nilai
yang berasal dari Eropa Kristen dan Yahudi sejajar dalam visi pokoknya dengan
pesan Islam. Dengan kata lain, Gus Dur seperti intelektual progresif lainnya di
Indonesia, tidak mempermasalahkan hubungan antara Islam dan Barat.
Walaupun tidak menolak adanya perbedaan penting antara keduanya, Gus Dur
berargumentasi dengan efektif bahwa arah dan perhatian utama tradisi Judeo,
Kristen dan Islam sangat dekat bila dicari sistem nilainya yang paling utama.
c. Fungsi Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu sebagai wadah
untuk Mengembangkan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan
terhadap umat beragama lain, bukan sekedar saling menghormati serta tenggang
rasa, tetapi yang diperlukan adalah rasa saling memiliki .
Sebenarnya istilah toleransi jauh terlalu lemah untuk mendeskripsikan
sikap Gus Dur. Gus Dur tanpa sedikitpun memperlemah keyakinan Islaminya,
sepenuhnya menerima keberadaan umat beragama lain. toleransi, keterbukaan,
ketenangan berhadapan dengan agama-agama lain, itu agak unik pada Gus Dur.
seakan-akan Ia begitu mantap dalam keislamannya sehingga dengan gampang
dapat berbesar hati pada agama-agama lain. Gus Dur sering dianggap terlalu
dekat dengan kaum minoritas dan kritis pada agamanya sendiri. Tetapi argumen
itu lebih merupakan tanda kekerdilan mereka yang mengajukannya. Dengan
demikian, Gus Dur adalah seorang humanis49 yakin dalam arti yang sebenar-
benarnya; Ia akan selalu membela yang lemah, tertindas, minoritas, dan Ia tidak
akan tunduk terhadap prasangka-prasangka.
49 Seperti ketika menjelang wafatnya, Gus Dur berpesan agar batu nisan di makamnya kelak ditulis “di sini telah dikubur seorang humanis”.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
79 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
d. Tujuan Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid berorientasi pada
terciptanya kerjasama antar pemeluk agama yang berbeda serta menghindari
perpecahan, agar terwujud kehidupan yang harmonis dan sejahtera.
e. Mengenai penerapan Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu
dengan menanamkan pendidikan nilai-nilai toleransi sejak dini dan berkelanjutan
terhadap anak didik dari mulai kecil sampai perguruan tinggi. Upaya ini sangat
efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik.
Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa
bergaul dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama pada peserta didik yang
berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk menggali dan menemukan nilai-nilai
keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus dapat mengenal tradisi
agama orang lain.
Gus Dur sangat yakin bahwa Islam adalah keyakinan yang menebar kasih
sayang, yang secara mendasar toleran dan menghargai perbedaan. Bagi Gus Dur,
Islam adalah keyakinan yang egaliter, keyakinan yang secara fundamental tidak
mendukung perlakuan yang tidak adil karena alasan ras, suku, kelas, gender, atau
pengelompokanpengelompokan lainnya dalam masyarakat.
Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa dalam pandangan Tuhan,
semua manusia adalah setara. Bagian dari keyakinan mendasar Gus Dur adalah
bahwa nilai-nilai yang mendasari demokrasi dan liberalisme adalah nilai-nilai
universal. Kemudian Ia berargumentasi bahwa prinsip-prinsip itu dapat
diterapkan di Timur sebagaimana di Barat. Kendati demikian, Ia menolak
argumentasi yang terlalu menyederhanakan, yaitu bahwa hal ini karena Islam
adalah sumber asli pemikiran, nilai-nilai, dan ide-ide. Bahkan Gus Dur
menganggap pandangan ini apologetik saja. Gus Dur lebih lanjut menegaskan
bahwa prinsip-prinsip mendasar yang berasal dari pencerahan duduk setara
dengan pesan utama Islam.
Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid Ditinjau dari Pendidikan Islam
Maqashid al-Syari’ah sebagai Prinsip Pendidikan Pluralisme
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 80 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Menurut Gus Dur, Prinsip pluralisme harus dilihat dalam konteks manifestasi
universalisme dan kosmopolitanisme peradaban Islam, ajaran moralitas Islam yang
secara teoritik bertumpu pada adanya lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam
kepada warga masyarakat (maqashid al-syari’ah), meliputi; keselamatan fisik warga
masyarakat (hifdzu alnafs), keselamatan keyakinan agama masing-masing (hifdzu al-din),
keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu al-nasl), keselamatan harta benda dan
milik pribadi (hifdzu al-mal), dan keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk).
Kesemuanya itu merupakan konsep yang dijadikan Gus Dur sebagai prinsip
Universal Islam.50
Watak kosmopolitanisme dari peradaban Islam itu sesungguhnya telah tampak
sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai dengan cara-cara Nabi
Muhammad saw. mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya
ensiklopedia Muslim awal pada abad ketiga Hijriyah, memantulkan proses saling
menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Islam pada waktu itu. Yaitu
mulai dari sisa-sisa peradaban Yunani Kuno yang berupa hellenisme hingga peradaban
Anak Benua India.
Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur
dominan, seperti hilangnya batasan etnik, kuatnya pluralitas budaya, heterogenitas
politik, dan bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan,
yaitu kehidupan beragama yang eklektik51 selama berabad-abad.
Kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal,
manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan
kebebasan berpikir semua warga masyarakat termasuk mereka yang non-Muslim.
Kosmopolitanisme seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di
dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mancari wawasan terjauh dari
keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian
sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan,
situasi cair yang memaksa universalime ajaran Islam untuk terus-menerus
50 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 4-5 51 Sikap berfilsafat yang bersifat memilih atau seleksi dari berbagai sumber untuk membangun pemikiran filsafat sendiri
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
81 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata. Namun demikian, proses tersebut
bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka.
Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid Dalam
Persepektif Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-
hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran
Islam.52 Pendidikan Islam juga mempunyai pengertian sebagai suatu proses edukatif
yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian. 53 Dari penjelasan
tersebut, diketahui bahwa pendidikan pluralisme Abdurrahman Wahid yang
mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik sejak dini
yang berkelanjutan dengan mengembangkan rasa saling pengertian dan saling
memiliki terhadap umat agama lain itu sesuai dengan konsep pendidikan Islam yang
selalu berorientasi pada terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur.
Dasar yang menjadi acuan Pendidikan Islam merupakan sumber nilai
kebenaran dan kekuatan yang dapat mengantarkan peserta didik ke arah pencapaian
pendidikan. Oleh karena itu dasar yang terpenting dari Pendidikan Islam adalah al-
Qur’an dan Sunnah Rasul SAW.54 kedua dasar itulah yang dijadikan Abdurrahman
Wahid sebagai landasan pemikiran dan tindakannya.
Menurut beliau, dalam mencapai taraf hidup yang sejahtera, Islam mengajarkan
umatnya agar senantiasa bekerjasama dalam hal muamalat tak hanya dengan umat
Muslim saja. Seperti yang telah dijelaskan dalam ajaran agama bahwa umat Islam
hendaknya saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan taqwa (wa ta’āwanū ’ala al-
birri wa al-taqwā, QS.al- Maidah:2), juga anjuran untuk berlomba dalam kebaikan
(fastabiqu alkhairāt, QS. al-Baqarah: 148). Dalam mengakui perbedaan antara laki-laki
dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa di bumi ini, menurut Gus Dur hal itu
sebagai keniscayaan bahwa Allah memang menciptakan perbedaan itu agar saling
mengenal dan menghindari perpecahan. Dalam al-Qur’an juga dijelaskan bahwa kita
52 Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: al-Ma’arif, 1989), 23. 53 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), 4. 54 Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, cetakan V (Jakarta: Ciputat Press, 2005), 34.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 82 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
semua diperintahkan untuk berpegang teguh pada tali Allah, dan dilarang untuk
bercerai berai (QS. Ali Imran: 103).
Pada ayat yang lain misalnya, dalam menjelaskan QS. al-Baqarah: 120 yang
artinya: “Dan orang-orang Yahudi dan Kristen tidak akan rela kepadamu, hingga
engkau mengikuti kebenaran/aqidah mereka. Gus Dur memandang bahwa selama
Nabi Muhammad SAW masih berkeyakinan; Tuhan adalah Allah, dan Beliau sendiri
adalah utusan Allah swt. selama itu pula orang-orang Yahudi dan Kristen tidak dapat
menerima (berarti tidak rela) kepada keyakinan/aqidah tersebut. Sama halnya dengan
sikap kaum Muslimin sendiri. Selama orang Kristen yakin bahwa Yesus adalah anak
Tuhan dan orang Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan, maka
selama itu pula kaum Muslimin tidak akan rela kepada kedua agama tersebut. Dalam
arti tidak menerima ajaran mereka.
Gus Dur menjelaskan bahwa jika kita bersikap demikian, hal itu sebenarnya
wajar-wajar saja, karena menyangkut penerimaan keyakinan. Tetapi hal itu tidak
menghalangi para pemeluk ketiga agama itu untuk bekerjasama dalam hal muamalat,
yaitu memperbaiki nasib bersama dalam mencapai kesejahteraan materi. Mereka
dapat bekerjasama untuk mengatur kesejahteraan materi tersebut dengan
menggunakan ajaran masing-masing.55
Amal perbuatan kaum Muslimin yang ikhlas kepada agama mereka memiliki
sebuah nilai lebih. hal itu dinyatakan sendiri oleh QS. Ali Imran: 85: “Dan orang yang
menjadikan selain Islam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di
akhirat. dan ia adalah orang yang merugi”. dari Kitab suci ini dapat diartikan bahwa
Allah tidak akan menerima amal perbuatan seorang non-Muslim, tetapi di dalam
kehidupan sehari-hari kita tidak boleh memandang rendah kerja siapapun.
Sebenarnya pengertian kata diterima di akhirat berkaitan dengan keyakinan
agama dan dengan keyakinan demikian memiliki kualitas tersendiri. sedangkan pada
tataran duniawi perbuatan itu tidak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan
secara teknis membawa manfaat bagi manusia lain. jadi manfaat dari setiap perbuatan
dilepaskan oleh Islam dari keyakinan agama dan sesuatu yang secara teknis memiliki
55 Wahid, Islamku, 135.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
83 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
kegunaan bagi manusia diakui oleh Islam. Namun dimensi penerimaan dari sudut
keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. pengislaman perbuatan kita justru tidak
tergantung dari nilai-perbuatan teknis semata, karena antara dunia dan akhirat
memiliki dua dimensi yang berbeda satu dari yang lain.
Dengan demikian, dasar pendidikan Islam itulah yang juga menjadi dasar
pemikiran pendidikan pluralisme Abdurrahman wahid, sehingga sangatlah relevan.
Pemikiran mengenai sikap saling memahami dan menghargai memang diajarkan
dalam setiap agama. Islam dengan jelas menempatkan toleransi sebagai ajaran penting
yang diwakili idiom alirham (QS. An Nisa’: 1) dan al-ta’aruf (QS. Al Hujurat: 13) yang
berarti silaturrahmi dan saling mengenal. Demikian pula lafadz amalunā‘amalukum
dapat ditafsirkan sebagai asas penghargaan terhadap wilayah keunikan setiap agama.
Sejarah berbicara bahwa Rasulullah telah menanamkan sikap tasamuh pada masyarakat
Makkah dan Madinah untuk hidup berdampingan dengan kaum Yahudi dan
Nasrani.56
Ditinjau dari segi tugas pendidikan Islam yaitu membimbing dan mengarahkan
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya
sampai mencapai titik kemampuan optimal, 57 maka langkah beliau dalam
merumuskan pendidikan pluralisme yaitu bahwa untuk menanamkan nilai-nilai
toleransi pada peserta didik harus dilakukan sejak dini dan berkelanjutan mulai dari
kecil sampai perguruan tinggi sehingga akan tercapai tugas tersebut yang menjadikan
peserta didik mampu membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu
melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga akan mampu
melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun
kesamaan cita-cita.
Dari segi fungsi pendidikan Islam yaitu menyediakan fasilitas yang dapat
memungkinkan tugas pendidikan agar berjalan dengan lancar, hendaknya mampu
56 Hal tersebut sesuai dengan pembahasan dalam Seminar internasional pertama tentang pendidikan antar-agama (interfaith education) yang diselenggarakan UIN Jakarta secara resmi ditutup Presiden RI di Istana Negara tanggal 4 Februari 2005 lalu. Konferensi yang berlangsung tiga hari ini terbilang cukup prestisius. Mayoritas pembicara kunci (keynote speakers) datang dari sejumlah negara dengan beragam latar belakang keyakinan agama seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu, Kong Hu Cu, serta Taoisme. dan Gus Dur merupakan salah satu pembicara yang mewakili Indonesia. Lihat: http://rohmatmulyana.blogspot.com/2015/05/issue-pendidikan-antar-agama.html 57 Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan, 34.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 84 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
menjadi wahana mempererat persaudaraan di antara masyarakat beragama,
mengantarkan peserta didik memiliki cara pandang inklusif, peduli terhadap sesama
manusia yang sama-sama ciptaan Tuhan.
Sementara itu, pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid jika
ditinjau dari segi Tujuan Pendidikan Islam, 58 memiliki tujuan yang sama, yaitu
bertujuan menjadikan manusia sebagai hamba Allah yang bertakwa, mengantarkannya
menjadi khalifatullah fi al-ardl yang mampu memakmurkannya, dan memperoleh
kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat. Hal tersebut akan tercapai
jika ada upaya untuk menjalankan amanat sebagai khalifatullah fi al-ardl dengan cara
senantiasa menciptakan kedamaian bagi sesama makhluk Tuhan, mengembangkan
rasa saling pengertian yang tulus terhadap umat beragama lain, bukan sekedar saling
menghormati serta tenggang rasa, tetapi yang diperlukan adalah rasa saling memiliki.
Dalam pembahasan mengenai kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum
yang sesuai bagi masyarakat Indonesia yang majemuk yaitu kurikulum yang dapat
menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis dan menekankan
penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi
muda yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam
suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain.59
Selain itu, perlu kiranya memperhatikan kurikulum sebagai proses. Ada empat
hal yang perlu diperhatikan guru dalam mengembangkan kurikulum sebagai proses
ini, yaitu; (a) posisi siswa sebagai subjek dalam belajar, (b) cara belajar siswa yang
ditentukan oleh latar belakang budayanya, (c) lingkungan budaya mayoritas
masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behaviour kultur siswa, (d) lingkungan budaya
siswa adalah sumber belajar. Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum pendidikan
seharusnya mencakup subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-
kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM,
demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
58 Menurut Prof. Achmadi, tujuan tertinggi/terakhir Pendidikan Islam, yaitu menjadi hamba Allah yang bertakwa, mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fi al-ardl yang mampu memakmurkannya, dan memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat. Lihat, Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 95 59 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), 99.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
85 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Salah satu cara paling efektif menerapkan kurikulum yang dapat menunjang
proses belajar siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis artinya peserta didik
dapat menerima dan mampu mengembangkan pluralisme dengan kesadaran diri,
menurut Abdurrahman Wahid, hendaknya peserta didik mampu belajar dari
penerimaan secara terbuka terhadap pluralisme makanan. Siapapun yang memahami
realitas keragaman masakan yang hampir dimiliki oleh setiap daerah di seluruh
pelosok negeri ini, maka pemahamannya terhadap pluralisme justru akan semakin
kokoh. Keragaman masakan yang kita miliki sebenarnya merupakan unsur kekuatan,
bukan unsur ancaman. Makanan yang begitu banyak aneka ragamnya telah menjadi
fakta bahwa pluralisme atau kebhinekaan merupakan rahmat Tuhan yang harus
didayagunakan untuk kemajuan bangsa
Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid Dalam Konteks Keindonesiaan
1. Indonesia Adalah Negara Pancasila, Bukan Negara Islam
Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk yang terdiri dari bermacam-
macam etnis, bahasa, suku, ras, agama, dan kepercayaan yang saling berinteraksi
secara harmonis. Semuanya memiliki kesadaran berbangsa dan cinta tanah air
dengan ditunjukkannya semangat membela Negara dan mempertahankan
Kesatuan Negara Republik Indonesia dari pihak-pihak penjajah sampai titik darah
penghabisan. Tak hanya suku Jawa yang berjuang dan tak hanya umat Muslim
yang mempertahankannya, namun semua komponen bangsa, bukan segelintir
pihak. Sehingga upaya untuk menerapkan formalisasi, syari’atisasi maupun
ideologisasi Islam pada Negara merupakan hal yang mustahil.
Gus Dur dengan tegas menolak pembentukan Negara Islam bagi
Indonesia, sikap tersebut didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan
hidup tidak memiliki konsep yang jelas tentang Negara. Dasar yang dipakai beliau
adalah:
Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang
pergantian kepemimpinan. Itu terbukti ketika wafatnya Nabi Muhammad SAW.,
dan digantikan Abu Bakar melalui bai’at oleh kepala suku dan wakil-wakil
kelompok umat pada waktu itu. Sedangkan Abu Bakar sebelum wafat menyatakan
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 86 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
kepada kaum Muslimin, hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat
menggantikan posisinya. Berarti sistem yang dipakai adalah penunjukan.
Sementara Umar menjelang wafat meminta agar penggantinya ditunjuk melalui
dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu terpilihlah Usman bin Affan.
Selanjutnya Usman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu Abu Sufyan
juga telah menyiapkan anak cucunya untuk menggantikan Ali. Sistem ini kelak
menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau sistem marga yang menurunkan
calon-calon raja dan sultan dalam sejarah Islam.
Kedua, besarnya Negara yang diidealisasikan oleh Islam, juga tak jelas
ukurannya. Nabi Muhammad saw. meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan
mengenai bentuk pemerintahan kaum Muslimin. Tidak ada kejelasan, misalnya
Negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks Negara-bangsa
ataukah hanya Negara kota. Acuan inilah yang dipegang Gus Dur sebagai prinsip
untuk menolak dijadikannya Indonesia sebagai Negara Islam.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak zaman Kerajaan Majapahit telah
membuktikan adanya pluralisme. Para pendiri Indonesia juga telah mewariskan
nilai-nilai utama dalam membangun kehidupan bangsa yang majemuk. Mereka
mampu menempatkan antara agama dan nasionalisme secara seimbang. Sikap dan
perjuangan Gus Dur membela pluralisme tidak datang seketika. Ia memahami
sejarah kebangsaan dan ke-NU-an dengan cermat, sebelum akhirnya memilih jalan
itu. Tokohtokoh NU sejak sebelum kemerdekaan, KH. Hasyim Asy’ari dan KH.
Wahab Hasbullah, telah memikirkan bagaimana menempatkan Islam agar dapat
berfungsi dalam Indonesia yang majemuk serta menjadikan Islam hidup
berdampingan dengan agama lain.
Pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU telah memutuskan
bahwa Hindia Belanda (nama Indonesia waktu itu) tidak memerlukan Islam
sebagai ideologi negara. Namun, umat Islam tetap wajib membela negaranya
meskipun negaranya tidak berbentuk negara Islam. Keputusan ini pulalah yang
membuat NU mengakui Pancasila dan UUD 1945 saat ormas-ormas Islam lain
masih memperdebatkannya. UUD 1945 dan Pancasila yang memberikan jaminan
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
87 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
atas pluralisme juga banyak mengandung nilai Islam, seperti mewujudkan
kesejahteraan bersama serta menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Sering kali Gus Dur mengutip atau bahkan mendasarkan tindakannya
sesuai dengan kaidah ushul fiqih, menanggapi keadaan atau situasi bangsa. Dalam
soal kepemimpinan, misalnya, Gus Dur sering mengutip kaidah ushul, tasharrafu al
imām ’alā al-ra’iyyah, manūthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin terhadap
rakyatnya, bergantung pada kemaslahatan atau kesejahteraan). Dalam soal
pembaruan, Gus Dur juga memakai kaidah ushul al-muhāfadzatu ’ala al-qadim al-
shālih, wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi terdahulu yang baik, dan
menerima sesuatu yang baru, yang lebih baik). Artinya, sikap pluralisme Gus Dur
sudah terbangun sejak kecil dan menerapkannya pada era modern. Apa yang
selama ini dipahami sebagai tradisi, Gus Dur mengubahnya menjadi sesuatu yang
lebih bermakna.
Sebelum dipimpin Gus Dur, citra NU yang menonjol adalah sebagai
organisasi Islam yang eksklusif dari pengaruh pemikiran kontemporer yang
berkembang, konservatif dalam pemahaman keagamaan, dan fundamentalis dalam
memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. hanya dalam tiga periode
kepemimpinannya, dia berhasil mengubah citra NU menjadi inklusif, modern, dan
moderat.
Semangat itu pula yang menginspirasinya untuk menjadikan Indonesia
yang sejahtera dengan kemajemukan warganya. UUD 1945 telah menjamin hak
hidup dan kemerdekaan untuk menganut keyakinan dan mengungkapkan
pendapat. Ini harus dipertahankan mati-matian apa pun resikonya, Dalam hidup
berbangsa, umat Islam perlu saling mengembangkan dialog dan kerja sama dengan
umat agama lain. Hanya dengan dialog dan kerja sama inilah yang akan membuat
umat Islam terus belajar dan mampu hidup berdampingan dengan umat lain.
Kondisi ini menempatkan Islam bukan sebagai alternatif, tetapi sebagai bagian dari
masyarakat dan bangsa.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 88 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
2. Memperjuangkan Penegakan Demokrasi, HAM, dan Pluralisme di Indonesia
Bagi kalangan minoritas, Gus Dur dianggap sebagai pembela utama
eksistensi mereka. Masyarakat Papua, etnis Tionghoa, atau umat Nasrani
menganggap Gus Dur sebagai pembela di tengah tantangan dan ancaman politis
masyarakat atau negara. Ia mengatakan bahwa pembelaan terhadap kelompok
minoritas bukan perjuangan mudah. Oleh karena itu, nasib kelompok minoritas
yang selama ini tersisih harus terus diperjuangkan sesuai dengan amanat UUD
1945.
Menurut Gus Dur, pemerintah tidak perlu melihat segala tuntutan
kelompok minoritas hanya dari kacamata politis. Jika segala tindakan kelompok
minoritas dipandang sebagai gerakan politis, berarti negara telah kehilangan
penghargaan atas keragaman yang dibangunnya sendiri. Pluralisme Indonesia
merupakan yang paling kuat dibandingkan negara lain. Karena itu, perbedaan itu
tidak perlu dipolitisasi. Kegigihannya membela pluralisme inilah yang membuat
Gus Dur pada dianugerahi Medals of Valor dari The Simon Wiesenthal Center di
Amerika Serikat. Ia dinilai gigih memperjuangkan moderasi dalam Islam dan
membangun dialog dengan agama-agama lain dan turut menciptakan perdamaian
dunia.
Gus Dur adalah orang yang konsisten dengan prinsip-prinsipnya. dan
prinsip-prinsip ini berakar pada pemahamannya terhadap Islam yang liberal, yaitu
pemahamannya yang menekankan pada rahmat, pengampunan, kasih sayang
Tuhan dan keharusan kita untuk mengikuti sifat-sifat ini dalam kehidupan sehari-
hari, terutama dalam kehidupan beragama. Gus Dur sudah lama dikenal sebagai
pembela kaum yang lemah, dan selama berpuluh-puluh tahun Ia adalah orang
yang terus terang, sering mempertaruhkan reputasi personal yang cukup besar,
dalam membela kelompok yang orang lain enggan membelanya. Dan
komitmennya pada toleransi, keterbukaan, kasih sayang dan pembebasan dalam
hubungan antar-komunal maupun antar-iman ini merupakan salah satu identitas
Gus Dur dalam memandang kehidupan publik baik politik maupun religius.
Gus Dur adalah sosok pemimpin sejati yang selalu memayungi dan
mengayomi semua golongan tanpa melihat perbedaan ras, agama, kepercayaan dan
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
89 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
profesi. Gus Dur selalu melindungi dan mengayomi hakhak minoritas dari
kesewenang-wenangan mayoritas di Indonesia. Perjuangan beliau Tak hanya pada
konsep pemikiran belaka, namun langkah konkret beliau lakukan dalam
mewujudkan masyarakat berbangsa yang adil dan harmonis. Sehingga beliau layak
disebut sebagai Bapak Pluralisme, Bapak Demokrasi, serta Pejuang HAM.
Perjuangan konkrit Gus Dur misalnya, ketika banyak kelompok menghujat
dan berusaha menyingkirkan kelompok lain yang dianggap sesat dengan cara-cara
kekerasan dan penistaan seperti yang sering dialami jamaah Ahmadiyah, Gus Dur
selalu tampil sebagai pembelanya. Bukan berarti Gus Dur setuju dengan keyakinan
Ahmadiyah itu, tetapi Ia sangat menghormati keyakinan seseorang. Ia juga ingin
menunjukkan cara memahami dan menghayati agama secara dewasa, penuh
kearifan dan kebijaksanaan. Tidak semata-mata pemahaman agama yang
berdasarkan pengetahuan dan sisi normatifnya saja. Ia berpegang pada ajaran sang
Kiai bahwa boleh saja kita memandang keyakinan orang lain atau agama orang itu
dianggap sesat, tetapi hal itu tidak dengan sendirinya menjadi boleh bagi kita
untuk melarangnya atau melenyapkannya.
Pembelaan Gus Dur terhadap kelompok dan etnis Tionghoa dibuktikan
secara nyata. Saat Ia menjadi Presiden, hari raya Imlek bisa diperingati dan
dirayakan dengan bebas. Warga Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyi-
sembunyi jika merayakannya.
Karena sebelumnya para warga keturunan Tionghoa harus mengganti
namanya menjadi nama pribumi, tidak boleh mendirikan sekolah, dilarang
mendirikan surat kabar atau majalah yang berbahasa Mandarin, dan yang lebih parah
lagi bahwa mereka dilarang beragama Konghucu.
Beliau berpandangan bahwa Indonesia dari latar belakang sejarahnya
terbentuk oleh orang yang mempunyai asal-usul berbedabeda secara bersama-
sama mendirikan Negara ini, termasuk warga keturunan Tionghoa. Sehingga
segala bentuk diskriminasi kepada masyarakat Tionghoa sangat bertentangan
dengan nilai perjuangan pembentukan bangsa ini.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 90 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Gus Dur juga dikenal sebagai pejuang demokrasi yang sangat gigih.
Karena itu, pada Maret 1991 Gus Dur bersama para koleganya mendirikan Forum
Demokrasi. Tujuan utamanya adalah untuk memperjuangkan tegaknya demokrasi
di Indonesia baik pada level kelembagaan maupun kesadaran masyarakat. Namun
secara khusus berdirinya forum demokrasi dilatarbelakangi oleh dua peristiwa
penting di Republik ini. Pertama, kasus Monitor pada bulan Oktober 1990, di mana
tabloid tersebut dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara sebuah
surveinya yang menyinggung perasaan umat Islam. Menurut Gus Dur, kasus
monitor menunjukkan bahwa kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi
isu-isu agama untuk mengedepankan kepentingan mereka. Kedua, berdirinya ICMI
pada Desember 1990. Menurut Gus Dur, ICMI merupkan alat eksploitasi politik
terhadap agama yang mengutamakan kepentingan kelompok eksklusif yang sempit
di atas kepentingan nasional. ICMI akan mengaliansikan non-Muslim dan
memperburuk pembelahan dan salah paham yang sudah kuat dalam masyarakat
Indonesia selama ini antara kelompok keagamaan, kesukuan dan budaya yang
berbeda.
Apresiasi Gus Dur terhadap HAM bukan hanya dalam konsep saja, Gus
Dur menyuarakan pembelaan terhadap sejumlah kasus tertentu yang menyangkut
hak-hak kaum minoritas, penghormatan terhadap non-Muslim. Ia tanpa ragu
membela Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual muda NU yang juga tokoh
muda “Islam Liberal” yang mengemukakan Liberalisme Islam, sebuah pandangan
yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi yang sangat jauh, misalnya
anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan kemerdekaan berpikir seorang santri
demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan
kebenaran Islam. Itulah sebabnya mengapa demikian besar reaksi orang terhadap
pemikirannya ini. Seperti diketahui bahwa sejumlah ulama’ serta aktifis Islam
tertentu menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu Ia
layak dihukum mati Menurut Gus Dur, kemerdekaan berpikir adalah sebuah
keniscayaan dalam Islam. Tentu saja Ia percaya akan batas batas kemerdekaan itu,
karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama Ia
percaya ayat 88 QS. al-Qashas yang berbunyi: “Segala sesuatu akan musnah
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
91 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
kecuali Dzat Allah”. Serta yakin akan kebenaran kalimat tauhid, maka Ia adalah
seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat
mengubah kenyataan ini. seorang Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti
Muslim, akan terkena sabda Nabi Muhammad saw. ”Barang siapa yang
mengkafirkan saudaranya yang beragama Islam, justeru ialah yang kafir”.
Disadari atau tidak, bahwa hanya dengan cara menemukan pemikiran
seperti itu, barulah islam dapat berhadapan dengan tantangan sekularisme. Kalau
demikian reaksi kita, tentu saja kita masih mengharapkan Ulil mau melahirkan
pendapat-pendapat terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama’ di masa
lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan perbedaan-perbedaan pemikiran
seperti itu? Berpijak pada adagium seperti “Perbedaan pandangan di kalangan para
pemimpin adalah rahmat bagi umat.”
Demikian juga dalam kasus Inul Daratista, perempuan lugu dan sederhana
ini dicerca keras oleh sebagian Tokoh Agama, Majelis Ulama’, dan Seniman karena
goyang ngebornya dianggap melanggar batas-batas kesusilaan umum. Mereka
menggunakan justifikasi fatwafatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di
depan publik. Di tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari
gempuran kecaman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan
Gus Dur didasarkan pada melindungi Hak Asasi wong cilik dari hegemoni elit
keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak represif.
Dari pandangan dan impressinya terhadap HAM itu, jelas bahwa Gus Dur
sebagai tokoh Islam punya paradigma sendiri dalam memahami dan
mengaktualisasikan nilai-nilai HAM. Gus Dur menginginkan agar Islam
memberikan kesempatan lebih luas kepada semua orang untuk berkarya tanpa
dibatasi oleh apapun, seperti identitas politik dan etnik.
Islam bagi Gus Dur, mencapai titik kemajuan tertinggi justru ketika
seluruh ekspresi dan karya cipta orang perorang dan kelompok diberi hak hidup
yang sama betapapun menyimpangnya atau dianggap bid’ah. Islam juga
memberikan kesempatan kepada siapapun untuk terlibat langsung dalam
pemajuan islam itu sendiri. Merespon balik dengan cara menulis atau menciptakan
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 92 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
karya sebanding adalah satusatunya cara yang diperbolehkan jika seseorang atau
kelompok tidak menyetujuinya. Situasi seperti itulah ketika Islam mencapai titik
tertinggi dan itulah cita-cita kebangkitan Islam.60
3. Solusi bagi Permasalahan Kemajemukan di Indonesia
Pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, tentu
sulit untuk mengembangkan saling pengertian yang mendalam antara beraneka
ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah, bahasa ibu, dan kebudayaannya.
kalaupun tidak terjadi salah pengertian mendasar antara unsur-unsur itu, paling
tidak tentu saling pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka.
Telah menjadi nyata bagi kita bahwa masalah pokok dalam hal hubungan
antarumat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan
berkelanjutan. Kita akan menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama
yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar saling
menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki, bukannya hanya saling
bertenggang rasa satu terhadap yang lain.61
Memang mayoritas bangsa kita yang Notabene beragama Islam, masih
dicekam oleh kemiskinan dan kebodohan sehingga mudah dirayu untuk berpindah
agama secara murahan. kondisi logis dari kenyataan itu sebenarnya adalah
keharusan bagi gerakan Islam untuk memajukan umat mereka. ini berarti para
pemimpin Islam di segenap tingkatan harus menutup mata terhadap semua ekses
yang terjadi dalam kehidupan beragama di negeri ini. harus ada langkah-langkah
untuk menangani dan mencegah terulangnya ekses-ekses itu, termasuk cara
penyebaran agama terlalu agresif, yang dilakukan oleh sementara kelompok
penganut agama dari golongan minoritas. Namun cara penanganan dan
penangkalan haruslah dilakukan dengan bijaksana, tanpa harus melakukan
generalisasi terhadap semua warga umat dari agama tersebut.
60 Wahid, Islamku, 145. 61 Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Jakarta: Kompas, 1999)
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
93 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Kesimpulan
Pluralisme menurut Abdurrahaman merupakan hak kebebasan dalam semua
aspek baik kebebasan beragama, budaya, ras, politik dan sebagainya. Pluralisme
sangatlah penting bagi bangsa indonesia yang notabennya merupakan negara yang
beraneka/beragam agama, suku, budaya, ras dan sebagainya.Wajah budaya Indonesia
yang bhineka menuntut sikap toleran yang tinggi dari setiap anggota masyarakat.
Sikap toleransi tersebut harus dapat diwujudkan oleh semua anggota dan lapisan
masyarakat sehingga terbentuklah suatu masyarakat yang kompak tapi beragam
sehingga kaya akan ide-ide baru.
Pluralitas masyarakat Indonesia sendiri sekurang-kurangnya bisa dilihat sebagai fakta
dalam dua sisi. Sisi pertama: pluralitas suku, agama, dan budaya serta berbagai
turunannya. Sisi kedua: pluralitas di internal suku, agama, dan budaya itu sendiri.
Dalam Islam misalnya, terdapat berbagai aliran yang secara formal sering kali
berseberangan. Demikian juga di dalam agama, budaya dan suku yang lain.
Toleransi yang diajarkan Gus Dur merupakan ajaran semua agama dan
budaya, apalagi dalam masyarakat majemuk dan multikultur seperti Indonesia.
Namun, toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur berbeda dari tokoh-
tokoh agama lain. Gus Dur mengajarkan toleransi plus, yaitu kalau kebanyakan orang
membudayakan toleransi sebatas pada hidup berdampingan secara damai, yaitu hidup
bersama dalam suasana saling menghormati dan menghargai. Tidak demikian dengan
Gus Dur. Dalam menyikapi pluralitas tersebut, Gus Dur menegaskan bahwa
tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada pola hidup berdampingan
secara damai (peaceful coexistence), karena hal demikian masih sangat rentan terhadap
munculnya kesalah-pahaman antar kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa
menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu penghargaan terhadap pluralisme berarti
adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga
kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan menerima.
Referensi
Achmadi. 2005. Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 94 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Al Ash Shieddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2000. Tafsir al-Qur’anul Majid an Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra. Jilid II.
Arifin M. 1994. Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjaun Teoritis dan Praksis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner.Jakarta: Bumi Aksara.
Aziz, Ahmad, Amir. 1999. Neo-Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Rineka Cipta
Bakhtiar, A. Nur Alam. 2008. 99 Keistimewaan Gus Dur. Jakarta: Kultural Barton, Greg. 2000. Abdurrahman Wahid dan Toleransi Keberagamaan. Chafsoh, Zannuba Arrifah. 2011. Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah., Semarang: Suara
Merdeka Dawam, Ainurrofiq. 2003. Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan
Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press.
Departemen Agama RI. 2002. Mushaf Al-Qur’an Terjemah. Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani.
Dhakiri, M. Hanif. 2010.41 Warisan Kebesaran Gus Dur.Yogyakarta: LkiS. 124 Dj, Fauzan. 2011. Kekalahan Negara atas Kekerasan Berlatar Agama. Suara Merdeka.
Semarang : Litera Antar Nusa Faqih, Maman Imanulhaq. 2010. Fatwa dan Canda Gus Dur. Jakarta: Kompas. Hadi, Syamsul. 2010.Gusdur Guru Bangsa, Bapak Pluralisme. Jombang: Zahra Book. Hadjar, Ibnu. 1996. Dasar-Dasar Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Haikal, Muhammad Husain. 2008. Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah Jakarta:
Litera Antar Nusa. Hakim, Abdul Dubbun. 2006. Islam, Inklusivisme, Dan Kosmopolitanisme. dalam Abdul
Dubbun Hakim, Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan, Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Hanafi, Hassan. 2001. Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela,. Ichtijanto. 2005. Masyarakat Majemuk dan Kerukunan Hidup Beragama. dalam Prof.
Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama.
Iskandar, A. Muhaimin. 2010. Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. Yogyakarta, LkiS.
Isre, M. Saleh. 1998. Tabayun Gusdur Pribumisasi Islam, Hak Minoritas. Yogyakarta: LKiS
Kementerian Agama RI. 2005. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani.
Kementerian Agama RI. 2010. al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi. Jilid II Komaruddin. 1984. Kamus Research. Bandung: Angkasa. Ma’arif, Syamsul. 2008. The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme.
Semarang: Nedd’s Press. Marimba, Ahmad D. 1989. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al Ma’arif. Mudzhar, Atho, Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan ke Depan
(Tinjauan dari Aspek Keagamaan) dalam Atho 125
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Pluralisme Perspektif Pendidikan Islam; Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan
95 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Mudzhar. 2005. Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Mulkhan, Abdul Munir. 2001. Humanisasi Pendidikan Islam. dalam Hamami Zada, et.
Jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 11. Munawar, Ahmad. 2010. Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis. Yogyakarta:
LKiS Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2010. Pendidikan Multicultural Konsep dan Aplikasi.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Arkola. Qomar, Mujamil. 2004. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik. Jakarta: Erlangga. Rachman, Budhi Munawwar. 2004. Islam Pluralis, Wacana Kesetaran Kaum Beriman,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Rahim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos. Rahman, Fazlur. 2000. Islam. Bandung: Pustaka. Ramage, Douglas E. 2010. Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKiS. Rasyidin dan Syamsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2009. Teori Sosiologi, Yogyakarta: Kreasi
Wacana. Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada
(ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan Jakarta: Lakpesdam Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif. Bandung: Mizan. Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati. Vol. 1 Shofan, Moh. 2008. Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh
Muhammadiyah. Yogyakarta: LSAF. Umiarso dan Makmur, Haris Fhatoni. 2010. Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme
Masyarakat Modern. Jogjakarta: IRCiSoD. Wahid, Abdurrahman. 1998. Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama. dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (ed), Passing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta: Paramadina.
_____________. 1999. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI. Jakarta: Kompas.
_____________. 1999. Tuhan Tidak Perlu di Bela. Yogyakarta: LKiS _____________. 2002. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute. _____________. 2007. Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute _____________. 2010. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.