Upload
abdul-malik-firdaus
View
318
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemanasan global (Global Warming) dapat diartikan secara sederhana, yakni
kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi yang
diakibatkan panas yang diserap oleh lapisan ozon sebagian dan sisanya sebagian
dipantulkan kembali ke bumi. Sebagian dari panas ini mengandung radiasi infra
merah gelombang panjang ke luar angkasa. Namun, sebagian panas tetap
terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca. Gas-gas
tersebut menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan
bumi, akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Hal tersebut
terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus
meningkat. Jika konserntrasi gas-gas tersebut terus meningkat di atmosfer, maka akan
semakin banyak panas yang terpantul ke bumi.
Pemanasan global menjadi faktor penting bagi berlangsungya suatu
kehidupan, yang telah menjadi isu global yang menyita perhatian masyarakat dunia,
sebagaimana telah diproyeksikan ilmuwan hingga puluhan tahun kedepan, pemansan
global menimbulkan perubahan berskala luas menyangkut semua unsur di bumi yang
melibatkan berbagai unsur, antara lain atmosfer, lautan, daratan dan biota. Perubahan
ini dapat terjadi secara berskala dengan perulangan yang cukup teratur, namun juga
dapat terjadi tanpa memperlihatkan keteraturan perulangan.
Fenomena tersebut dikuatkan dengan data anomali suhu global (Gambar 1)
dari tahun 1880 sampai 2000 yang menunjukkan adanya gejala pemanasan suhu.
2
Gambar 1. Anomali suhu global terhadap waktu
Sumber : Mc Kenzie, 1998
Beberapa hal yang diproyeksikan terjadi apabila perubahan iklim begitu cepat terjadi
yang sudah mulai kita rasakan belakangan ini antara lain : kejadian cuaca yang lebih
ekstrem, kenaikan muka air laut, kenaikan suhu air laut, dan kenaikan suhu udara.
Indonesia sebagai negara maritim memiliki potensi kelautan yang sangat
potensial dalam mengurangi dampak pemanasan global. Hal ini dikarenakan posisi
strategis Indonesia yang memiliki luas laut kurang lebih 5,6 juta km2 atau sekitar 63%
dari total wilayahnya, dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dengan jumlah
pulau mencapai 17.506 pulau (DKP, 2008). Laporan PBB yang baru dirilis di
perundingan Kopenhagen tahun 2009 menyatakan bahwa wilayah samudera dapat
menyerap sekitar 25% dari efek gas rumah kaca dunia yang dipompa ke atmosfir dari
aktivitas manusia setiap tahun. Data produksi emisi karbon di dunia dari tahun 1980
sampai 2004 mencapai 8000 Million Metric Tons of Carbon/year (Modern Global
Antropogenic Carbon Emissions, 2010).
Indonesia memiliki laut yang sangat luas, dimana didalamnya terdapat
terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan biomassa laut (fitoplankton) itu
sendiri, sehingga potensi penyerapan karbon baik yang dilakukan fitoplakton atau
biota laut lainnya sangatlah besar. Oleh karena itu, ekosistem laut di Indonesia
mempunyai potensi besar untuk menyerap CO2 sebagai gas utama penyebab
pemanasan global yang berimplikasi pada terjadinya perubahan iklim. Salah satu
3
contohnya adalah hutan mangrove yang memiliki produktivitas antara 3,99-26,70
ton/hektare/tahun (Komiyama et al.,2008). Jika dilihat dari angka ini hutan mangrove
berpotensi sebagai rosot karbon).
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk mengkaji potensi ekosistem
laut (hutan mangrove, padang lamun, fitoplankton, dan terumbu karang) sebagai rosot
karbon, guna penyelamatan lingkungan dari efek dari pemanasan global.
1.3 Manfaat Penulisan
Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan wacana kepada mahasiswa,
pemerintah, Instansi terkait, dunia internasional mengenai pentingnya ekosistem laut
(hutan mangrove, padang lamun, fitoplankton, dan terumbu karang).
GAGASAN
Tinjauan Umum Ekosistem Laut
Ekosistem laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan
mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Peran ekosistem laut
tergambarkan oleh kehadiran ekosistem lainnya seperti ekosistem hutan mangrove,
padang lamun, terumbu karang ,dan aktifitas fitoplankton. Ekosistem laut juga
memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, tempat
pemijahan, tempat pengasuhan dan tumbuhan besar, tempat mencari makan bagi
beragam biota laut, serta sebagai alternatif ekosistem yang dapat mereduksi CO2.
Ekosistem Terumbu Karang
4
Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium
karbonat (CaCO3) yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas
Anthozoa, ordo Madreporaria, Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga
berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat.
(Nybakken, 1988). Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk
dalam filum Coelenterata (hewan berongga) atau Cnidaria, yang disebut sebagai
karang (coral) mencakup karang dari ordo scleractinia dan sub kelas Octocorallia
(kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa (Timotius, 2003). Menurut Dahuri 2003,
Distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang tergantung dari beberapa
parameter fisika lingkungan yaitu: kecerahan, temperatur, salinitas, sirkulasi arus dan
sedimentasi
Ekosistem Hutan Mangrove
Mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugish) dan grove (English).
Secara umum hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe ekosistem hutan
yang tumbuh di suatu daerah pasang surut (pantai, laguna, muara sungai) yang
tergenang pasang dan bebas pada saat air laut surut dan komunitas tumbuhannya
mempunyai toleransi terhadap garam (salinity) air laut. Menurut Nybakken (1988)
hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu
komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau
semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan tawar
maupun asin.
Tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi membuat hutan mangrove
sebagai aset yang sangat berharga tidak saja dilihat dari fungsi ekologisnya tetapi
juga dari fungsi ekonomisnya. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain untuk
penangkal abrasi pantai, tsunami, dan penghambat angin badai, habitat berbagai jenis
fauna, daerah asuhan (nursery ground), dan daerah mencari makanan (feeding
ground), serta daerah pemijahan (spawning ground) bermacam ikan dan udang,
pengontrol penyakit malaria, pengendali intrusi air laut, penyerap CO2 dan penghasil
5
O2, sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan sebagai perangkap sedimen yang
diangkut oleh aliran air permukaan (surface run-off) dan juga sebagai perangkap
bahan-bahan pencemar tertentu yang akan diikat oleh substrat. Adapun fungsi
ekonomis hutan mangrove antara lain sebagai penyedia kayu yang digunakan untuk
berbagai kontruksi bangunan, kayu bakar, arang, bahan kertas, dan lain-lain. Daun-
daunnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan obat-obatan, pupuk
untuk pertanian, dan sebagainya. Hutan mangrove juga dapat dijadikan sebagai
tempat rekreasi atau obyek wisata alam (ecotourism) yang menarik seperti yang telah
dikembangkan di banyak negara lain, antara lain Malaysia dan Australia.
Ekosistem Padang lamun
Lamun (seagrasses), atau disebut juga ilalang laut adalah satu-satunya
kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang terdapat di lingkungan laut. Tumbuh-
tumbuhan ini hidup di perairan pantai yang dangkal. Seperti halnya rumput di darat,
yang merupakan asal-usul lamun, mereka punya tunas berdaun yang tegak dan
tangkai-tangkai yang merayap yang dinamakan rimpang (rhizome) efektif untuk
berkembang-biak. Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan laut lainnya (alga dan rumput
laut), lamun mempunyai sistem perakaran jangkar (rhizoma) berbunga
(angiospermae), berbuah dan menghasilkan biji (biji satu/monokotil). Selain itu,
organisme ini mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat-zat
hara.
Lamun memegang peranan penting dalam pendauran barbagai zat hara dan
elemen-elemen yang langka di lingkungan laut. Khususnya zat-zat hara yang
dibutuhkan oleh algae epifit. Lamun juga mempunyai akar dan rimpang (rhizome)
yang mencengkeram dasar laut sehingga dapat membantu pertahanan pantai dari
gerusan ombak dan gelombang. Fungsi ekologis dan nilai ekonomis dari lamun itu
sendiri sangat penting bagi manusia. Menurut Nybakken 1988), fungsi ekologis
padang lamun adalah: (1) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber makanan
6
bagi organisme dalam bentuk detritus, (3) penstabil dasar perairan dengan sistem
perakarannya yang dapat menangkap sediment (trapping sediment), (4) tempat
berlindung bagi biota laut, (5) tempat perkembangbiakan (spawning ground),
pengasuhan (nursery ground), serta sumber makanan (feeding ground) bagi biota-
biota perairan laut, (6) pelindung pantai dengan cara meredam arus, (7) penghasil
oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan.
Komunitas Fitoplankton
Fitoplankton merupakan mikroalgae yang melayang di permukaan air dan
pergerakannya lebih banyak dibantu oleh arus laut Di perairan laut, keberadaan
fitoplankton sangat berpengaruh dalam regulasi karbon. Fitoplankton termasuk
organisme renik, berukuran sekitar 20 mikron, bersel tunggal dan bergerak mengikuti
arus laut. Biota berklorofil ini menjadi santapan organisme lainnya yang lebih besar,
seperti zooplankton dan ikan.
Fitoplankton akan mengekstrak karbon dari gas karbon dioksida dari atmosfer
untuk proses fotosintesa. Proses sederhana ini dapat terjadi di permukaan laut dan
membutuhkan beberapa syarat seperti cukupnya sinar matahari untuk proses
fotosintesa dan nutrisi di permukaan laut untuk mendukung pertumbuhan plankton di
permukaan laut. Nutrisi tersebut berupa nutrient (nitrat dan fosfat) yang berasal dari
aliran sungai, aktifitas industri dan manusia yang bermuara di laut serta dari proses
alamiah seperti kenaikan massa air laut ke atas (upwelling).
Konsep Umum Laut Indonesia sebagai Rosot Karbon
Indonesia sebagai negara maritim memiliki potensi besar untuk mengurangi
dampak pemanasan global ini karena memiliki luas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
sebesar (2.914.878 km2) yang dapat meyerapan karbon sebesar 59,2 juta ton/tahun
(McNeil, 2003) ; luas terumbu karang (61.000 km2) yang dapat menyerap karbon
65,7 juta ton/tahun; hutan bakau (93.000 km2) yang memiliki potensi penyerapan
7
karbon hingga 67,7 juta ton/tahun; padang lamun (30.000 km2) yang memiliki
potensi penyerapan karbon hingga 50,3 juta ton/tahun ; dan fitoplankton (contoh 5.8
juta km2) memiliki potensial penyerapan karbonnya 36,1 juta ton/tahun (DKP, 2007)
dan 3.5 juta ton per tahun (Darmawan,2003), berdasarkan pada produktivitas primer.
Daratan maupun lautan dapat berfungsi sebagai tempat penyerap gas karbon
dioksida (CO2). Gas ini dapat diserap oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis,
sedangkan di lautan, gas karbon dioksida digunakan oleh fitoplankton untuk proses
fotosistesis, dapat tenggelam ke dalam laut beserta dengan pemakan fitoplakton dan
predator tinggi lainnya. Proses perpindahan gas karbon dioksida dari atmosfer (lautan
dan daratan) disebut sebagai carbon sequestration. Penelitian Ahmad Subki,
menjelaskan pada tahun 1995 rata-rata perairan Indonesia melepaskan gas CO2
hingga 2 mol CO2 m2 per tahun, dan selanjutnya terjadi trend peningkatan daya serap
oleh laut mencapai 0,5 mol CO2 m2 per tahun Untuk memprediksi kemampuan laut
Indonesia dalam menyerap CO2 hingga tahun 2100, dalam studi ini diaplikasikan dua
skenario, yaitu skenario dasar (skenario B2 IPCC) dan skenario mitigasi (skenario
berdasarkan Protokol Kyoto), dimana pada skenario mitigasi konsentrasi CO2 lebih
rendah dari skenario dasarnya. Pada skenario dasar, hasil prediksi menunjukkan pada
tahun 2050 perairan Indonesia mampu menyerap secara optimum hingga 15 mol CO2
m2 per tahun. Setelah tahun 2050 diperkirakan daya serap laut mulai menurun
kembali karena konsentrasi CO2 di atmosfer diperkirakan menurun hingga tahun
2100. Sedangkan pada skenario mitigasi, trend laut Indonesia menyerap CO2 lebih
rendah dibandingkan dengan skenario dasar.
Dengan menggabungkan informasi potensi laut Indonesia dalam penyerapan
karbon dan iklim beserta kajian proses carbon sequestrationnya yang terjadi dapat
memberikan gambaran potensi laut benua maritim Indonesia dalam menyerap karbon
dari gas-gas rumah kaca melalui pemanfaatan secara maksimal dan tepat terhadap
ekosistem laut. Ekosistem laut tersebut antara lain terumbu karang, mangrove,
fitoplankton, dan padang lamun.
8
Hutan Mangrove sebagai Rosot karbon
Hutan mangrove sebagai bagian dari hutan tropis yang berada di ekoton antara
terestial dan laut luasnya hanya mencapai 0,1% luas hutan di dunia, tetapi memiliki
peran yang patut diperhitungkan. Hutan mangrove memiliki peran yang unik dalam
siklus karbon oseanik, yaitu pertukaran karbon di perairan laut (Twilley et al., 1992
dalam Buillon et al., 2008). Lebih luas lagi, zona laut (~200m kedalaman laut)
memiliki peran penting di dalam siklus karbon oseanik. Karbon organik dibentuk
oleh ekosistem mangrove dan lamun, kemudian dimineralisasi di zona laut. Selain itu
produksi karbonat dan akumulasi terjadi pula di zona ini oleh ekosistem karang
(Duarte et al.,2005)
Besarnya produksi karbon organik dapat dilihat dari tingkat produktivitas
ekosistem mangrove dan lamun. Hutan mangrove merupakan salah satu ekositem
yang memiliki produktifitas yang tinggi (Komiyama et al.,2008). Menurut riviewnya,
produktifitas hutan mangrove di beberapa negara berkisar antara 3,99-26,70
ton/hektar/tahun. Contoh di Indonesia, produktivitas hutan mangrove mencapai 22,90
ton/hektar/tahun (Sukardjo dan Yamada,1992).
Dari laju produktifitas di atas dapat diestimasikan besarnya laju penimbunan
karbon di ekosistem mangrove. Pada tabel 1 ditunjukkan estimasi laju penimbuann
karbon di ekosistem mangrove. Karbon biomassa tersimpan dalam jangka waktu
puluhan tahun (Tomlinson, 1994 dalam Duarte et al., 2005) untuk mangrove dan
beberapa dekade (Duarte & Hemimnga, 2000). Fraksi karbon organik yang
diproduksi vegetasi pantai diduga dilepaskan ke laut lepas lebih dari 10% (Dittmar et
al., 2006). Ini menegaskan ekosistem mangrove sangat penting dalam siklus karbon
oseanik.
9
Tabel 1 . Estimasi laju penimbunan karbon organik di area vegetasi pantai (Duarte et
al., 2005)
Komponen Area (10 12 m2 ) gC/m2 /tahun Ton/tahunmangrove 0,2 139,0 23,6
Kendala sekarang adalah sedikitnya informasi mengenai karbon budget pada
mangrove. Estimasi produktifitas biomassa di bawah tanah masih kasar karena
sulitnya mengembangkan metodologi, sehingga dalam kajian budget karbon
seringkali diabaikan, akibatnya memberikan bias dalam penghitungan. Selain itu,
setting lokasi mangrove yang sangat bervariasi, karena perbedaan iklim,
geomorfolog, struktur vegetasi turut juga dalam menyulitkan ekstrapolasi perhitungan
bujet karbon global (Buillon et al., 2008). Berikut contoh kegiatan estimasi karbon
tersimpan yang telah dilakuakn Puslit Oseanografi-LIPI pada Tabel 2.
Tabel 2. Karbon tersimpan, aboveground, hutan mangrove Kepulauan Pari
Karbon Tersimpan Pulau Pari Pulau Tengah Pulau Burung Pulau Kongsi
Rata-rata 158.8 140.65 154.54 151.7Standar Deviasi 96.24 82.09 71.07 124.08Jumlah Data 45 30 4 18
Terumbu Karang sebagai Rosot Karbon
Sebagai sebuah ekosistem, terumbu karang mempunyai banyak fungsi seperti
tempat pemijahan ikan, perlindungan, pencarian makan, hingga “body wash” oleh
sebagian hewan akuatik. Dalam fungsi secara ekologi, terumbu karang mampu
sebagai penghalang bagi struktur laut sehingga tidak tergerus. Demikian juga halnya
dengan fungsi ekonomi, dimana masyarakat nelayan mengambil ikan dari keberadaan
ekosistem ini yang dimana peran terumbu karang sebagai tempat tinggal yang kokoh
bagi biota laut dan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan erosi pantai.
10
Pada kondisi normal daerah terumbu karang memproduksi 2,5X1013 moles
CaCO3 ha/th, dimana 1,5X1013CaCO3 akan diakumulasikan dalam bentuk kapur,
1,5X1013 dalam bentuk terlarut di dalam air laut. CaCO3 yang terlarut dalam air laut
inilah yang mempunyai kemampuan untuk menyerap CO2 yang berasal dari udara
sebesar 6% (Kleypas et al, 2006). De Goeij and Van Duyl 2007 meneliti kemampuan
karang menyerap dissolved organic carbon (DOC), kedua peneliti ini
membandingkan kemampuan terumbu karang yang ada di Berau, Kalimatan timur
dan terumbu karang di Curacao. Hasilnya menunjukan bahwa karang di Berau
mampu menyerap rata-rata 90 mmol/m2/hari sedangkan karang di Curacao daya
serap yang lebih besar yaitu rata-rata 342 mmol/m2/hari. Kedua peneliti ini
menyimpulkan bahwa karang “net sink of DOC” dan memainkan peranan yang
sangat penting dari energy budget dari terumbu karang.
Padang lamun sebagai Rosot Karbon
Padang lamun sering dijumpai berdampingan atau tumpang tindih dengan
ekosistem mangrove dan terumbu karang. Bahkan, terdapat interkoneksi antar
ketiganya. Di seluruh laut terdapat tumbuhan yang dapat menyerap karbon dari
atmosfer lewat fotosintesis, baik berupa plankton yang mikroskopis maupun yang
berupa tumbuhan yang hanya hidup di pantai seperti di hutan mangrove, padang
lamun, ataupun rawa payau (salt marsh). Meskipun tumbuhan pantai (mangrove,
padang lamun, dan rawa payau) luas totalnya kurang dari setengah persen dari luas
seluruh laut, ketiganya dapat mengunci lebih dari separuh karbon laut ke sedimen
dasar laut. Keseluruhan tumbuhan mangrove, lamun, dan rawa payau dapat mengikat
235-450 juta ton karbon per tahun, setara hampir setengah dari emisi karbon lewat
transportasi di seluruh dunia. Dengan demikian, penyelamatan ekosistem padang
lamun sangat penting, dan tidak kalah strategis, dibandingkan dengan pengelolaan
ekosistem terumbu karang dan mangrove.
11
Potensi lamun sebagai rosot karbon didapatkan melalui proses fotosintesis dan
kemampuan akar lamun untuk menyimpan nutrient dan pengikat karbon. Lamun
sebagaimana mangrove juga memiliki peranan dalam siklus karbon oseanik.
Tabel 4. Berikut laju penimbunan karbon oseanik di area vegetasi pantai lamun
(Duarte et al., 2005)
Komponen Area (10 12 m2 ) gC/m2 /tahun Ton/tahunLamun 0,3 83,0 27,4
Tabel 5. Luas tutupan, kerapatan dan karbon tersimpan lamun (n=3, PB= Pari Barat,
PU= Pari Utara).
Stasiun Jenis Par
Luas Kerapatan Karbon Karbon TotalTutupan
(%) (tunas/m2) tersimpan tersimpan (gr.BK.m2) belowground aboveground (gr.BK.m2) (gr.BK.m2) PB-1 T.hemprichii X 70,00 500 141,40 124,94 266,34
Sd 16,73 350 67,08 33,20 150,29 C. rotundata X 416,7 11,25 19,50 37,44 Sd 104,1 6,16 3,14 7,87
PB-2 E. acoroides X 78,00 99,7 468,27 18,61 636,87 Sd 10,95 3,1 25,65 95,36 113,34 T.hemprichii X 650,0 103,66 121,94 225,65 Sd 377,5 6,93 37,22 40,46 C. rotundata X 366,7 23,29 24,93 48,22 Sd 175,6 14,77 14,88 29,45
PU E. acoroides X 21,50 77,5 344,93 152,32 497,25 Sd 8,00 17,3 166,87 60,60 227,40
Fitoplankton sebagai Rosot Karbon
Fitoplankton akan mengekstrak karbon dari gas karbon dioksida dari atmosfer
untuk proses fotosintesa. Proses sederhana ini dapat terjadi di permukaan laut dan
membutuhkan beberapa syarat seperti cukupnya sinar matahari untuk proses
12
fotosintesa dan nutrisi di permukaan laut untuk mendukung pertumbuhan plankton di
permukaan laut. Nutrisi tersebut berupa nutrient (nitrat dan fosfat) yang berasal dari
aliran sungai, aktifitas industri dan manusia yang bermuara di laut serta dari proses
alamiah seperti kenaikan massa air laut ke atas (upwelling).
Reaksi sederhana fotosintesis adalah sebagai berikut : 6CO2+6H2O→C6 H
12O6+6O2. Dari reaksi tersebut terlihat bahwa 6 molekul CO2 menghasilkan 6 molekul
O2. Dengan demikian untuk menghitung laju fotosintesis bisa dilakukan dengan
mengukur CO2 yang diserap, atau mengukur O2 yang dihasilkan
Nilai penyerapan karbon oleh fitoplankton dapat diestimasi dari laju
fotosintesis atau produktivitas primer fitoplankton. Apabila produktivitas primer
diukur dengan metode karbon, maka data tersebut dapat langsung digunakan. Apabila
produktivitas primer diukur dengan metode oksigen, maka nilai oksigen yang
dihasilkan dikonversi terlebih dahulu menjadi karbon, baru digunakan dalam
perhitungan. Perhitungan metode oksigen dinyatakan dalam satuan mgC/I/jam dan
mgO2/I/jam. Nilai produktivitas primer di perairan pantai dan laut Indonesia adalah
50 mgC/m2/th. Luas perairan Indonesia (Teritorial dan ZEE) kurang lebih 6 juta km 2
atau sama dengan 6 X (1.000.000)2=36.000.000.000.000 m2. Jadi untuk keseluruhan
Indonesia:
Serapan CO2 = 50 X 36.000.000.000.000 gC/tahun= 1.800.000.000.000.000 gC/tahun= 1.800.000.000 C/tahun= 1,8 milyar ton C/tahun
Jika satu persen dari nilai tersebut tenggelam sampai ke dasar laut, maka akan ada
sekitar 0,0186 milyar ton C/tahun disimpan di dasar laut.
KESIMPULAN
13
Analisis Perbandingan dari Ekosistem Mangrove, Lamun, Terumbu Karang,
dan Fitoplankton
Tabel 6. Data perbandingan Ekosistem Mangrove, Lamun, Terumbu Karang, dan
Fitoplankton
Parameter Hutan Mangrove Padang Lamun Terumbu Karang Fitoplankton
*Potensi Daya
Serap Karbon
67,7 juta ton/tahun
(L 93.000 km2)
50,3 juta ton/tahun
(30.000 km2)
65,7 juta ton/tahun
(61.000 km2)
36,1 juta ton/tahun
(L 5,8juta km2)
Cara
Penyerapan
Melalui fotosintesis Melalui foteosintesis Melalui fotosintesis,
kalsifikasi
Melalui fotosintesis
*Produktifitas 22,90 ton/hektar/tahun Belum diketahui Belum diketahui 50mgC/m2/tahun
Faktor
PembatasKecerahan:Temperatur
:Substrat: Berhubungan
Pemanfaatan oleh
masyarakat Suhu
Kecerahan Temperatur
Salinitas Substrat
Kecepatan Arus Suhu
Temperature Salinitas
Suhu
Cahaya, Nutrisi,
Pencemaran
Nilai Estetika) Menunjang demi
pariwisata
Menunjang demi
pariwisata
Menunjang demi
pariwisata
Tidak ada
Kekurangan Tidak ada Tidak ada Rentan terhadap suhu
panas yang bisa
menyebabkan bleching
Menyebabkan red
tide/blooming
*Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007
Dari hasil analisa perbandingan pada tabel 6. didapat bahwa ekosistem padang
lamun memiliki nilai rosot karbon yang lebih besar dibandingkan dengan ketiga
ekosistem lainnya. Hal ini dibuktikan dengan analisis dalam kisaran luas relatif kecil
tetapi memiliki potensi daya serap karbon yang cukup besar. Adapun dilihat dari
parameter kekurangan, terumbu karang dan fitoplankton masing-masing memiliki
kekurangan yaitu terumbu karang sangat rentan dengan suhu tinggi yang
mengakibatkan bleaching, sedangkan pada fitoplankton apabila pertumbuhannya
berlebihan akan menyebabkan red tide. Maka dalam perencanaan ekosistem laut
14
seharusnya padang lamun diberikan persentasi yang lebih besar dibandingkan dengan
hutan mangrove dan terumbu karang.
Rekomendasi Konsep Pengelolaan Ekosistem Laut Terpadu Sebagai solusi
perubahan iklim
Berdasarkan hasil kajian dan analisis pustaka tentang kemampuan ekosistem
laut dalam mereduksi karbon yang merujuk penelitian dari Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI dan PKSPL IPB (Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut
Institut Pertanian Bogor) menunjukkan bahwa kemampuan laut Indonesia mampu
menyerap karbon secara efektif. Kemampuan laut dalam menyerap karbon tersebut
bisa efektif dan maksimal apabila keempat ekosisitem tersebut berjalan secara
sinergis. Adapun konsep yang dapat direkomendasikan dalam rangka mencapai
sinergisme pemanfaatan ekosistem laut tersebut antara lain sebagai berikut :
Perencanaan
Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Terpadu (Integrated Conservation Zone Management) yang mengintegrasikan
berbagai perencanaan, sehingga terjadi sinergisme antara empat elemen ekosistem
sebagai rosot karbon. Konsep perencanaan kawasan konservasi terpadu merupakan
upaya bertahap dan terprogram yang disertai dengan upaya pengendalian dampak
implementatif yang mungkin timbul dalam rangka mengurangi dampak perubahan
iklim. Perencanaan Kawasan Konservasi Terpadu dibagi ke dalam empat tahapan
utama yaitu ; (i) rencana strategis ; (ii) rencana zonasi ; (iii) rencana pengelolaan ;
dan (iv) rencana aksi.
Pengelolaan
Pengelolaan Kawasan Konservasi Terpadu (Integrated Conservation Zone
Management) meliputi proses perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan,
15
pengendalian, pengawasan, dan pemberdayaan masyarakat, penentuan
kewenangan, kelembagaan, sampai dengan tindakan pencegahan demi kelestarian
ekossitem laut sebgai rosot karbon.
Pengawasan dan Pengendalian
Secara umum upaya pengawasan dan pengendalian Kawasan Konservasi
Terpadu (Integrated Conservation Zone) dilakukan dalam rangka :
1) Mengetahui adanya penyimpangan implementasi pelaksanaan rencana
strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan
tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem.
2) Mendorong agar pola pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di kawasan
konservasi berjalan sinergis sesuai dengan rencana pengelolaannya, serta
menjamin terpenuhinya hak pengelolaan oleh pihak-pihak (negara) terkait.
3) Memberikan sanksi pelanggaran baik berupa sanksi administratif, sanksi
perdata, maupun sanksi pidana berdasarkan kesepakatan hukum yang telah
disepakati.
DAFTAR PUSTAKA
Boyd, P. W. 2000. A mesosscle phytoplankton bloom in the plar southhern ocean stimulated by iron Fertilization. Nature, 407:695-702.
Dahuri, R. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta.
Dittmar, T. et al. 2006. Mangroves, a major source of dissolved organic carbon to the oceans. Global Biogeochem. Cycles.20(1).
Duarte, C.M.; J.J. Middleburg & C. Caraco, 2005. Major role of marine vegetation on the oceanic carbon Cycle. Biogeoscience. 2: 1-8.
16
IPCC.2001.Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovrnental Panel on Climate Change [Houghton,J.T.,Y.Ding,D.J.Griggs, M Nouger, P.J. van der Linden, et al. (eds.)]. Cambridge University Press,Cambridge, United Kingdom and New York, NY,881pp.
IPCC (Interngovernmental Panel on Climate Change), 2007. Summary for Policy Makers of IPCC Fouth Assessment Report, Working Group III – climate change 2007: mitigation of climate change, IPCC, Bangkok, Thailand.
Jarred D., 2006. Collapse. How societies choose to fail or survive. Penguin Books.
Komiyama, A., Jin E.O., Sasitorn P. 2008. Allometry, biomass and produktivity of mangrove forest. A review. Acuatiq Botany.89:128-137.
Purwadianto.2009. Pengelolaan Bidang Kesehatan Dalam Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Di Indonesia. Disampaikan dalam Workshop: Laut Sebagai Pengendali Perubahan Iklim.Bogor, 4 Agustus 2009, Indonesia.
WWF and the University of Queensland, 2009. The Coral Triangle and Climate Change ecosystem,People and societies at risk, Sydney, Australia.