15

Click here to load reader

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Penyitaan Barang Jaminan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PENYITAAN BARANG JAMINAN

Citation preview

  • JUDUL:

    PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PENYITAAN

    BARANG JAMINAN OLEH PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Setiap manusia dalam kehidupannya sehari-hari tidak akan terlepas dari

    apa yang disebut dengan kebutuhan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

    kebutuhan adalah sesuatu yang dibutuhkan. Kebutuhan manusia menurut

    intensitas kegunaannya dibagi atas kebutuhan primer (pokok), kebutuhan

    sekunder serta kebutuhan tersier1. Yang dimaksud dengan kebutuhan primer

    adalah kebutuhan utama yang harus dipenuhi, seperti makan dan minum,

    sandang dan papan. Kemudian kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang

    terkait erat dengan faktor lingkungan dan hidup dan tradisi masyarakat seperti

    sepatu dan kasur. Dan kebutuhan tersier adalah kebutuhan yang berkaitan

    dengan status sosial seperti mobil, perhiasan, villa, dan lain-lain.

    Dengan adanya macam-macam kebutuhan dalam kehidupan manusia,

    pasti yang menjadi pemenuhan utama adalah kebutuhan primer (pokok). Karena

    manusia tidak akan dapat bertahan hidup jika kebutuhan primer tidak dipenuhi.

    Barulah setelah kebutuhan primer terpenuhi, maka manusia tidak akan lepas dari

    kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier. Kedua kebutuhan tersebut adalah

    penunjang bagi kehidupannya dalam pergaulan dengan masyarakat.

    Kebutuhan tersier, selalu identik dengan kebutuhan bagi orang-orang

    kelas atas yang berada. Artinya tidak semua orang memiliki barang-barang yang

    termasuk kebutuhan tersier. Namun di dalam perkembangannya, kebutuhan

    tersier juga bisa dimiliki oleh orang-orang dalam kelas menengah bahkan kelas

    bawah. Dengan tuntutan kebutuhan yang terus meningkat, telah muncul

    berbagai perusahaan finansial yang menawarkan pembiayaan dalam bentuk

    pembiayaan konsumen. Target pasar dari pembiayaan kosumen ini sudah jelas

    1 http://www.materisma.com/2014/05/penjelasan-macam-macam-kebutuhan-manusia.html

  • bahwa para konsumen. Disamping itu, besar biaya yang diberikan per konsumsi

    relatif kecil, mengingat barang yang dibidik untuk dibiayai secara pembiayaan

    konsumen adalah barang-barang keperluan konsumen yang akan dipakai oleh

    konsumen untuk keperluan hidupnya2.

    Pembiayaan konsumen muncul dari berbagai faktor yang merupakan

    suatu kebutuhan masyarakat dan kemudian dalam praktik dimulailah dicari suatu

    sistem pendanaan yang mempunyai terms and coditions yang lebih businesslike

    dan tidak jauh berbeda dengan sistem perkreditan biasanya yang dapat

    menjangkau masyarakat luas selaku konsumen3. Dengan tuntutan kehidupan

    yang terus meningkat, sehingga mau tidak mau masyarakat menggunakan

    pembiayaan konsumen sebagai jalan keluar terhadap berbagai kendala-kendala

    yang diantaranya adalah dana (finansial).

    Sementara itu, salah satu hal yang diperhatikan dalam pembiayaan

    konsumen adalah mengenai jaminan. Jaminan yang diberikan dalam pembiayaan

    konsumen dapat dibagi ke dalam jaminan utama, jaminan pokok dan jaminan

    tambahan4. Jenis jaminan yang menjadi fokus perhatian dan menjadi fokus

    utama adalah jaminan pokok. Jaminan pokoknya adalah barang yang dibeli

    dengan dana tersebut. Dan biasanya apabila barang tersebut adalah barang

    bergerak, jaminan berbentuk Fiduciary Transfer of Ownership (Fidusia).

    Setiap pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan, tidak akan pernah

    terlepas dari apa yang disebut dengan risiko. Risiko pasti tetap ada yang berupa

    wanprestasi. Macetnya pembayaran tunggakan oleh konsumen merupakan hal

    yang sering terjadi dalam dunia perusahaan pembiayaan.

    Apabila konsumen melakukan wanprestasi (tidak membayar utang)

    kepada kreditor, maka kreditor (perusahaan pembiayaan) dapat menggugat

    debitor ke pengadilan. Namun, adakalanya juga kreditor mempunyai jaminan

    tambahan berupa akta pengakuan utang (promissory notes) atau

    acknowledgment of indebtedness, Kuasa Menjual Barang, dan Assignment of

    Proceed (Cessie) dari asuransi sebagai alat antisipasi debitor wanprestasi.

    2 Munir Fuadi. Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktik. (Bandung: Citra Aditya

    Bakti, 2000). Hal 161 3 Ibid.

    4 Ibid. Hal 168

  • Tetapi yang dipermasalahkan adalah adanya suatu tindakan yang

    dilakukan oleh perusahaan pembiayaan berupa penyitaan atau eksekusi secara

    sendiri (mandiri) tanpa adanya penetapan dari pengadilan dan sebagainya

    sehingga konsumen (debitor) dirugikan. Dimana konsumen adalah pengguna

    jasa dari perusahaan pembiayaan tersebut telah tidak diperhatikan hak-hak yang

    diatur dan dijamin di dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen. Sebagaimana telah diketahui bahwa salah satu asas dalam UU

    Perlindungan Konsumen adalah asas keseimbangan antara kepentingan

    konsumen, pelaku usaha dan pemerintah. Dimana tidak boleh ada kepentingan

    yang tidak diperhatikan. Dalam praktik, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran

    yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan dalam setiap penyitaan terhadap

    barang jaminan, yang antara lain tidak memperhatikan isi perjanjian, kemudian

    tiba-tiba konsumen dihadang oleh para penagih tanpa dasar hukum yang jelas,

    dan lain-lain. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut di

    atas dalam skripsi ini dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN

    TERHADAP PENYITAAN BARANG JAMINAN OLEH PERUSAHAAN PEMBIAYAAN.

    1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka

    permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :

    1. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen apabila terjadi kredit

    macet?

    2. Bagaimana akibat hukum apabila barang objek pembiayaan disita oleh

    perusahaan pembiayaan karena kredit macet?

    1.3. Tujuan Penulisan

    Penelitian bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji

    kebenaran suatu pengetahuan. Tujuan yang hendak dicapai dalam skripsi ini

    adalah :

    1. Untuk menganalisis bentuk perlindungan hukum bagi konsumen yang

    mengalami penyitaan barang agunan akibat kredit macet berdasarkan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

    2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa dalam kredit macet dari

    konsumen guna mewujudkan keseimbangan kepentingan antara

    perusahaan pembiayaan dan konsumen di Indonesia.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Tinjauan Umum tentang Wanprestasi

    2.1.1. Pengertian Wanprestasi

    Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah

    memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada

    pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana

    dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak

    atau debitor.

    Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya

    prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang

    dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitor tidak dapat memenuhi prestasi

    seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan

    memaksa (overmacht). Menurut J. Satrio wujud dari wanprestasi bisa berupa5 :

    a. debitor sama sekali tidak berprestasi ;

    b. debitor keliru berprestasi ;

    c. debitor terlambat berprestasi.

    Sedangkan menurut R. Subekti, seorang debitor dikatakan lalai, apabila

    ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhi

    kewajibannya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan atau melakukan

    sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan6.

    Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam

    suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak

    dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihakdiwajibkan melakukan prestasi yang

    diperjanjikan. Dalam hal bentuk prestasi debitor dalam perjanjian yang berupa

    tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitor melakukan

    wanprestasi yaitu sejak pada saat debitor berbuat sesuatu yang tidak

    diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitor yang berupa

    berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan

    5 J. Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya. (Bandung: Alumni. 1993). Hal 122

    6 R. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta: Intermasa. 2003). Hal 147

  • dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata debitor dianggap

    melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak

    ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitor

    melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur

    yangdiberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.

    Somasi (sommatie) adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditor

    kepada debitor yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan

    prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam

    pemberitahuan itu.7 Menurut Pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :

    Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

    Adakalanya dalam kontrak itu sendiri sudah ditetapkan, kapan atau

    dalam hal-hal sama si berutang dapat dianggap lalai. Disini tidak diperlukan

    suatu somasi atau perigatan.

    2.1.2. Akibat Wanprestasi

    Dalam hal debitor tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi

    kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena

    itu karena ada unsur salah padanya, maka ada akibat-akibat hukum yang bisa

    menimpa dirinya8.

    Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1243 KUH Perdata kreditor

    berhak untuk menuntut penggantian kerugian, yang berupa ongkos-ongkos,

    kerugian dan bunga. Akibat hukum seperti ini menimpa debitor baik dalam

    perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu ataupun tidak

    melakukan sesuatu. Selanjutnya Pasal 1237 KUH Perdata mengatakan bahwa

    sejak debitor lalai, maka risiko atas objek perikatan manjadi tanggungan debitor.

    Yang ketiga adalah bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik,

    maka berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata sekarang kreditor berhak menuntut

    pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi.

    Tapi tidak semua itu mengurangi hak dari kreditor untuk menuntut pemenuhan.

    7 Ibid.

    8 J. Satrio. Op.Cit. Hal 144

  • 2.2. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen

    2.2.1. Pengertian Perlindungan Konsumen

    Secara terminologi menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya

    yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

    konsumen9. Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmaja, yang dimaksud dengan

    hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah

    hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan

    masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen. Sedangkan.

    Dan yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang

    dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri

    sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk

    diperdagangkan10.

    Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen

    adalah, pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan kepada mereka

    oleh pengusaha. Dalam buku A.Z. Nasution yang berjudul aspek-aspek hukum

    masalah perlindungan konsumen, istilah konsumen berasal dari bahasa

    consumer (Inggris-Amerika) atau consument (Belanda). Secara harfiah arti kata

    consumer adalah lawan dari produsen, setiap orang yang menggunakan

    barang11.

    2.2.2. Asas dalam Perlindungan Konsumen

    Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama

    berdasarkan 5 (lima) asas yag relevan dalam pembangunan nasional12, yaitu

    berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan

    konsumen, serta kepastian hukum.

    a. Asas Manfaat. Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala

    upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus

    9 Pasal 1 angka 1

    10 Pasal 1 angka 2

    11 A.Z. Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta: Diadit Media.2002). Hal 3

    12 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta: PT RajaGrafindo

    Persada. 2008). Hal 25-26

  • memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen

    dan pelaku usaha secara keseluruhan.

    b. Asas Keadilan. Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa

    diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

    konsumen dan pelaku usaha untuk memberikan haknya dan

    melaksanakan kewajibannya secara adil.

    c. Asas Keseimbangan. Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

    antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam

    arti materiil dan spiritual.

    d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen. Dimaksudkan untuk

    memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada

    konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang

    atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

    e. Asas Kepastian Hukum. Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

    konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

    penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

    kepastian hukum.

    2.2.3. Hak dan Kewajiban Konsumen

    Hukum, khususnya hukum ekonomi mempunyai tugas untuk mencip-

    takan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pengusaha, masyarakat,

    dan pemerintah. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen (UUPK) secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi

    nasional pada era globalisasi harus mampu menghasilkan aneka barang dan jasa

    yang memiliki kandungan teknologi yang dapat menjadi sarana penting

    kesejahteraan rakyat, dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan

    jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.

    Selanjutnya, upaya menjaga harkat dan martabat konsumen perlu didukung

    peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian

    konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku

    usaha yang bertanggung jawab13.

    13

    Dhaniswara K. Harjono. Pemahaman Hukum Bisnis bagi Pengusaha. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2006). Hal 72-73

  • Dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

    mengatur hak-hak dari konsumen. Hak-hak konsumen tersebut adalah :

    a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

    barang dan/atau jasa.

    b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

    dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

    yang dijanjikan.

    c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

    jaminan barang dan/atau jasa.

    d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

    yang digunakan.

    e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

    sengketa perlindungan konsumen secara patut.

    f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

    g. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

    diskriminatif.

    h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,

    apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

    dan tidak sebagaimana mestinya.

    i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lain.

    Selanjutnya Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen mengatur kewajiban dari konsumen, yaitu :

    a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

    atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

    b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

    c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

    d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

    secara patut.

    2.3. Tinjauan Umum tentang Pembiayaan Konsumen

    2.3.1. Pengertian Pembiayaan Konsumen

    Pembiayaan konsumen merupakan salah satu lembaga pembiayaan

    yang dilakukan oleh suatu perusahaan finansial (consumer finance

  • company)14. Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha yang

    melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan

    kebutuhan konsumen dengan siste m pembayaran angsuran atau berkala

    oleh konsumen15.

    Pranata Hukum Pembiayaan Konsumen dipakai sebagai terjemahan

    dari istilah Consumer Finance. Pembiayaan konsumen ini tidak lain dari sejenis

    kredit konsumsi (consumer credit). Hanya saja, jika pembiayaan konsumen

    dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sementara kredit konsumsi diberikan

    oleh bank. Namun demikian pengertian kredit konsumsi sebenarnya secara

    substantif sama saja dengan pembiayaan konsumen, yaitu:

    Kredit yang diberikan kepada konsumen-konsumen guna pembelian barang-barang konsumsi dan jasa-jasa seperti yang dibedakan dari pinjaman-pinjaman yang digunakan untuk tujuan-tujuan produktif atau dagang. Kredit yang demikian itu dapat mengandung risiko yang lebih besar daripada kredit dagang biasa. Maka dari itu, biasanya kredit itu diberikan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi.16

    Pembiayaan konsumen berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI

    No. 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan memberikan pengertian

    kepada Pembiayaan Konsumen sebagai suatu kegiatan yang dilakukan dalam

    bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang

    pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen.

    Sedangkan menurut Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga

    Pembiayaan menyatakan bahwa, Pembiayaan konsumen (consumers finance)

    adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan berdasarkan

    kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran17.

    Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebe-

    narnya antara kredit konsumsi dengan pembiayaan konsumen sama saja. Hanya

    pihak pemberi kreditnya yang berbeda. Pembiayaan konsumen sebagai salah

    satu lembaga pembiayaan lebih banyak diminati oleh konsumen ketika mereka

    memerlukan barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau

    14

    Neni Sri Imaniyati. Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, (Yogyakarta: Grafika Ilmu. 2009). Hal 69 15

    Sentosa Sembiring. Hukum Dagang. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001). Hal 114 16

    Munir Fuady. Op.Cit. Hal 162 17

    Pasal 1 angka 4

  • cicilan. Barang yang menjadi obyek pembiayaan konsumen umumnya adalah

    barang-barang seperti, alat-alat elektronik, kepentingan rumah tangga yang

    menjadi kebutuhan konsumen. Besarnya pembiayaan yang diberikan kepada

    konsumen umumnya relatif kecil, sehingga kandungan risiko yang mesti harus

    dipikul oleh perusahaan pembiayaan konsumen juga relatif kecil.

    2.3.2. Para Pihak dalam Pembiayaan Konsumen

    Bila seseorang membutuhkan barang-barang seperti TV, Mobil, dan

    sebagainya sementara penghasilannya tidak cukup membayar secara tunai,

    maka yang bersangkutan dapat menghubungi suatu lembaga pembiayaan

    (consumers finance) yang dapat membantu mendapatkan barang-barang

    konsumsi tersebut melalui supplier. Lembaga pembiayaan akan membayar

    secara tunai kepada supplier, dan selanjutnya konsumen membayar harga

    barang tersebut kepada lembaga pembiayaan secara angsuran sesuai dengan

    jangka waktu yang diperjanjikan. Para pihak yang terlibat dalam transaksi

    pembiayaan konsumen adalah :

    1. Pihak Perusahaan Pembiayaan (Kreditor)

    Pihak perusahaan pembiayaan adalah pihak yang menyediakan dana bagi

    kepentingan konsumen.

    2. Pihak Dealer/Supplier

    Pihak dealer/supplier adalah pihak penyedia barang yang dibutuhkan

    konsumen.

    3. Pihak Konsumen

    Pihak konsumen adalah pihak yang membutuhkan barang.

    Berikut Hubungan satu sama lainnya dapat dilihat sebagai berikut18 :

    a. Hubungan Pihak Perusahaan Pembiayaan dengan konsumen

    Hubungan antara perusahaan pembiayaan dengan konsumen adalah

    hubungan kontraktual, dalam hal ini kontrak pembiayaan. Pihak peru-

    sahaan pembiayaan berkewajiban untuk memberikan sejumlah dana

    (uang) untuk pembelian suatu barang konsumsi. Sementara pihak

    konsumen berkewajiban untuk membayar kembali uang tersebut secara

    angsuran (cicilan) kepada pihak perusahaan pembiayaan. Jadi hubungan

    18

    Ibid. Hal 165

  • kontraktual antara pihak penyediaan dengan konsumen adalah sejenis

    perjanjian kredit. Secara yuridis apabila kontrak pembiayaan tersebut

    sudah ditandatangani oleh para pihak dan dana sudah dicairkan serta

    barang sudah diserahkan oleh supplier kepada konsumen, maka barang

    tersebut sudah langsung menjadi hak milik konsumen, meskipun

    harganya belum dibayar lunas. Dalam hal ini berbeda dengan kontrak

    leasing, dimana secara yuridis barang leasing tetap menjadi milik lessor,

    terkecuali pihak lessee menggunakan hak pilih (opsinya) untuk memiliki

    barang tersebut pada akhir kontrak.

    b. Hubungan pihak konsumen dengan supplier

    Antara pihak konsumen dengan pihak supplier terdapat suatu

    hubungan jual beli, dalam hal ini jual beli bersyarat, dimana pihak

    supplier selaku penjual menjual barang kepada pihak konsumen selaku

    pembeli, dengan syarat bahwa harga akan dibayar oleh pihak ketiga,

    yaitu pihak perusahaan pembiayaan. Syarat tersebut mempunyai arti

    bahwa apabila pihak perusahaan pembiayaan tidak jadi (batal)

    memberikan dana, maka jual beli antara supplier dengan konsumen

    menjadi batal pula.

    c. Hubungan Perusahaan Pembiayaan dengan Supplier.

    Antara pihak perusahaan pembiayaan dengan supplier tidak

    mempunyai hubungan hukum yang khusus, kecuali pihak perusahaan

    pembiayaan hanya pihak ketiga yang disyaratkan, yaitu disyaratkan

    untuk menyediakan dana untuk dipergunakan dalam perjanjian jual beli

    antara pihak supplier dengan pihak konsumen. Karena itu, jika

    perusahaan pembiayaan wanpresiasi (ingkar janji) dalam menyediakan

    dananya, sementara kotrak jual beli maupun kontrak pembiayaan

    sudah selesai dibuat, maka jual beli bersyarat antara supplier dengan

    konsumen itu akan batal.

  • BAB III

    METODE PENELITIAN

    Metode penelitian sangat penting karena keberhasilan dari suatu

    penelitian ditentukan oleh metode yang digunakan. Penelitian secara ilmiah

    adalah suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa

    masalah dengan jalan menganalisa dan mengadakan pemeriksaan yang

    mendalam. Metode penelitian merupakan suatu unsur mutlak yang harus ada di

    dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Metode penelitian sering

    disebut dengan metodologi. Menurut Soejono Soekanto metodologi merupakan

    suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan

    suatu ilmu pengetahuan.19

    Metode dalam penelitian hukum menguraikan tentang tata cara ba-

    gaimana suatu penelitian hukum itu harus dilaksanakan. Penelitian hukum adalah

    suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun

    doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.20 Hal yang

    perlu diperhatikan dalam menentukan metode penelitian ini adalah adanya

    kesesuaian antara masalah dengan metode yang akan digunakan dalam

    penelitian. Oleh karena itu seorang peneliti harus mampu untuk memilih atau

    menentukan metode penelitian yang tepat untuk hal yang akan diteliti. Metode-

    metode untuk mencapai tujuan penulisan yang digunakan penulis dalam karya

    ilmiah ini adalah sebagai berikut:

    3.1. Tipe Penelitian

    Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum

    yang timbul. Tipe Penelitian dalam karya ilmiah ini adalah Yuridis Normatif (legal

    Research). Hukum sebagai konsep normatif adalah hukum sebagai norma, baik

    yang diidentikkan dengan keadaan yang harus diwujudkan (ius constituendum)

    ataupun norma yang telah terwujud sebagai perintah yang eksplisit dan yang

    secara positif telah terumus jelas (ius constitutum).21

    19

    Soejono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI-Press,1986). Hal 17 20

    Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010).

    Hal. 35 21

    Ashofa Burhan. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000). Hal 33

  • 3.2. Pendekatan Masalah

    Terkait karya ilmiah ini penulis menggunakan beberapa pendekatan.

    Melalui pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dan berbagai

    aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan

    yang digunakan penulis dalam karya tulis ilmiah ini adalah yuridis yaitu dengan

    menggunakan antara lain :

    1. Pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan ini

    dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

    bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani22 ;

    2. Pendekatan konseptual (conseptual approach), pendekatan ini beranjak

    dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di

    dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan

    doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, penulis akan menemukan ide-ide

    yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,

    dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

    Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut

    merupakan sandaran bagi penulis dalam membangun suatu argumentasi

    hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi23.

    3.3. Sumber Bahan Hukum

    Sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian

    berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum non

    hukum. Bahan hukum tersebut merupakan sarana bagi suatu penulisan yang

    digunakan untuk memecahkan permasalahan sekaligus memberikan preskripsi

    mengenai apa yang menjadi seharusnya. Sumber bahan hukum yang digunakan

    dalam penulisan artikel ilmiah ini adalah :

    3.3.1. Bahan Hukum Primer

    Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

    yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari

    perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

    perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang

    22

    Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit. Hal 133 23

    Ibid. Hal 135

  • digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-

    undangan yaitu :

    1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ;

    2. Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan ;

    3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 28/POJK.05/2014 tentang

    Perizinan Usaha dan Kelembagaan Usaha Pembiayaan ;

    3.3.2. Bahan Hukum Sekunder

    Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum

    termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum. Menurut

    Soetandyo Wignyosoebroto, bahan hukum sekunder adalah juga seluruh

    informasi tentang hukum yang berlaku atau pernah berlaku di suatu negeri24.

    Disamping itu juga, kamus-kamus hukum, dan komentar-komentar atas putusan

    pengadilan. Bahan-bahan tersebut digunakan untuk mendukung, membantu,

    melengkapi, dan membahas masalah-masalah yang timbul dalam penulisan ini.

    Pada penulisan ini bahan hukum sekunder yang digunakan oleh penulis adalah

    buku-buku teks yang berkaitan dengan isu hukum yang menjadi pokok

    permasalahan.

    3.3.3. Bahan Non Hukum

    Sebagai penunjang dari sumber hukum primer dan sekunder, sumber

    bahan non hukum dapat berupa: internet, ataupun laporan-laporan penelitian

    hukum dan jurnal-jurnal non hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan

    topik penulisan karya ilmiah atau skripsi25.

    3.4. Analisis Bahan Hukum

    Metode analisis bahan hukum yang penulis gunakan dalam penulisan ini

    adalah menggunakan analisa deduktif, yaitu dengan cara melihat suatu

    permasalahan secara umum sampai dengan pada hal-hal yang bersifat khusus

    untuk mencapai preskripsi atau maksud yang sebenarnya. Peter Mahmud

    Marzuki menyatakan bahwa, dalam menganalisa bahan yang diperoleh agar

    24

    Soentandyo Wigyosoebroto, Hukum, Konsep, dan Metode, (Malang: Setara Press, 2013). Hal 68 25

    Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit.. Hal 164

  • dapat menjawab permasalahan dengan tepat dilakukan dengan langkah-langkah

    sebagai berikut:

    1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak

    relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan ;

    2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan non hukum yang

    dipandang mempunyai relevansi ;

    3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-

    bahan yang telah dikumpulkan ;

    4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu

    hukum ; dan

    5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun

    di dalam kesimpulan26.

    Sesuai langkah-langkah diatas, sebelumnya penulis mengidentifikasi

    fakta-fakta hukum dan telah menetapkan isu hukum yang akan dibahas.

    Selanjutnya mengumpulkan bahan-bahan yang relevan dengan isu hukum yang

    akan dibahas. Bahan-bahan hukum tersebut kemudian digunakan untuk

    menelaah dan menganalisis isu hukum yang dibahas. Setelah melakukan telaah

    kemudian penulis menganalisis dengan menggunakan analisis deduktif yaitu

    suatu proses penalaran yang berangkat dari suatu pernyataan umum untuk tiba

    pada suatu simpulan yang akan menjawab semua pertanyaan.27

    Dari judul yang dianalisis, yaitu PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

    KONSUMEN TERHADAP PENYITAAN BARANG AGUNAN OLEH PERUSAHAAN

    PEMBIAYAAN, dikaji menggunakan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen, Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga

    Pembiayaan dan Peraturan OJK No. 28/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha

    dan Kelembagaan Usaha Pembiayaan. Setelah itu memberikan preskripsi

    berdasarkan argumentasi yang dibangun dalam kesimpulan. Berdasarkan metode

    penelitian yang diuraikan diatas diharapkan didalam penilisan ini mampu

    memperoleh jawaban atas rumusan masalah, sehingga memperoleh hasil yang

    dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

    26

    Ibid. Hal 171 27

    Soetandyo Wignyosoebroto. Op.Cit. Hal 91