Click here to load reader
Upload
rachmad-robby-nugraha
View
74
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PENYITAAN BARANG JAMINAN
Citation preview
JUDUL:
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PENYITAAN
BARANG JAMINAN OLEH PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap manusia dalam kehidupannya sehari-hari tidak akan terlepas dari
apa yang disebut dengan kebutuhan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
kebutuhan adalah sesuatu yang dibutuhkan. Kebutuhan manusia menurut
intensitas kegunaannya dibagi atas kebutuhan primer (pokok), kebutuhan
sekunder serta kebutuhan tersier1. Yang dimaksud dengan kebutuhan primer
adalah kebutuhan utama yang harus dipenuhi, seperti makan dan minum,
sandang dan papan. Kemudian kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang
terkait erat dengan faktor lingkungan dan hidup dan tradisi masyarakat seperti
sepatu dan kasur. Dan kebutuhan tersier adalah kebutuhan yang berkaitan
dengan status sosial seperti mobil, perhiasan, villa, dan lain-lain.
Dengan adanya macam-macam kebutuhan dalam kehidupan manusia,
pasti yang menjadi pemenuhan utama adalah kebutuhan primer (pokok). Karena
manusia tidak akan dapat bertahan hidup jika kebutuhan primer tidak dipenuhi.
Barulah setelah kebutuhan primer terpenuhi, maka manusia tidak akan lepas dari
kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier. Kedua kebutuhan tersebut adalah
penunjang bagi kehidupannya dalam pergaulan dengan masyarakat.
Kebutuhan tersier, selalu identik dengan kebutuhan bagi orang-orang
kelas atas yang berada. Artinya tidak semua orang memiliki barang-barang yang
termasuk kebutuhan tersier. Namun di dalam perkembangannya, kebutuhan
tersier juga bisa dimiliki oleh orang-orang dalam kelas menengah bahkan kelas
bawah. Dengan tuntutan kebutuhan yang terus meningkat, telah muncul
berbagai perusahaan finansial yang menawarkan pembiayaan dalam bentuk
pembiayaan konsumen. Target pasar dari pembiayaan kosumen ini sudah jelas
1 http://www.materisma.com/2014/05/penjelasan-macam-macam-kebutuhan-manusia.html
bahwa para konsumen. Disamping itu, besar biaya yang diberikan per konsumsi
relatif kecil, mengingat barang yang dibidik untuk dibiayai secara pembiayaan
konsumen adalah barang-barang keperluan konsumen yang akan dipakai oleh
konsumen untuk keperluan hidupnya2.
Pembiayaan konsumen muncul dari berbagai faktor yang merupakan
suatu kebutuhan masyarakat dan kemudian dalam praktik dimulailah dicari suatu
sistem pendanaan yang mempunyai terms and coditions yang lebih businesslike
dan tidak jauh berbeda dengan sistem perkreditan biasanya yang dapat
menjangkau masyarakat luas selaku konsumen3. Dengan tuntutan kehidupan
yang terus meningkat, sehingga mau tidak mau masyarakat menggunakan
pembiayaan konsumen sebagai jalan keluar terhadap berbagai kendala-kendala
yang diantaranya adalah dana (finansial).
Sementara itu, salah satu hal yang diperhatikan dalam pembiayaan
konsumen adalah mengenai jaminan. Jaminan yang diberikan dalam pembiayaan
konsumen dapat dibagi ke dalam jaminan utama, jaminan pokok dan jaminan
tambahan4. Jenis jaminan yang menjadi fokus perhatian dan menjadi fokus
utama adalah jaminan pokok. Jaminan pokoknya adalah barang yang dibeli
dengan dana tersebut. Dan biasanya apabila barang tersebut adalah barang
bergerak, jaminan berbentuk Fiduciary Transfer of Ownership (Fidusia).
Setiap pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan, tidak akan pernah
terlepas dari apa yang disebut dengan risiko. Risiko pasti tetap ada yang berupa
wanprestasi. Macetnya pembayaran tunggakan oleh konsumen merupakan hal
yang sering terjadi dalam dunia perusahaan pembiayaan.
Apabila konsumen melakukan wanprestasi (tidak membayar utang)
kepada kreditor, maka kreditor (perusahaan pembiayaan) dapat menggugat
debitor ke pengadilan. Namun, adakalanya juga kreditor mempunyai jaminan
tambahan berupa akta pengakuan utang (promissory notes) atau
acknowledgment of indebtedness, Kuasa Menjual Barang, dan Assignment of
Proceed (Cessie) dari asuransi sebagai alat antisipasi debitor wanprestasi.
2 Munir Fuadi. Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktik. (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2000). Hal 161 3 Ibid.
4 Ibid. Hal 168
Tetapi yang dipermasalahkan adalah adanya suatu tindakan yang
dilakukan oleh perusahaan pembiayaan berupa penyitaan atau eksekusi secara
sendiri (mandiri) tanpa adanya penetapan dari pengadilan dan sebagainya
sehingga konsumen (debitor) dirugikan. Dimana konsumen adalah pengguna
jasa dari perusahaan pembiayaan tersebut telah tidak diperhatikan hak-hak yang
diatur dan dijamin di dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Sebagaimana telah diketahui bahwa salah satu asas dalam UU
Perlindungan Konsumen adalah asas keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha dan pemerintah. Dimana tidak boleh ada kepentingan
yang tidak diperhatikan. Dalam praktik, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan dalam setiap penyitaan terhadap
barang jaminan, yang antara lain tidak memperhatikan isi perjanjian, kemudian
tiba-tiba konsumen dihadang oleh para penagih tanpa dasar hukum yang jelas,
dan lain-lain. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut di
atas dalam skripsi ini dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN
TERHADAP PENYITAAN BARANG JAMINAN OLEH PERUSAHAAN PEMBIAYAAN.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen apabila terjadi kredit
macet?
2. Bagaimana akibat hukum apabila barang objek pembiayaan disita oleh
perusahaan pembiayaan karena kredit macet?
1.3. Tujuan Penulisan
Penelitian bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji
kebenaran suatu pengetahuan. Tujuan yang hendak dicapai dalam skripsi ini
adalah :
1. Untuk menganalisis bentuk perlindungan hukum bagi konsumen yang
mengalami penyitaan barang agunan akibat kredit macet berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa dalam kredit macet dari
konsumen guna mewujudkan keseimbangan kepentingan antara
perusahaan pembiayaan dan konsumen di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum tentang Wanprestasi
2.1.1. Pengertian Wanprestasi
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada
pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana
dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak
atau debitor.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya
prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang
dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitor tidak dapat memenuhi prestasi
seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan
memaksa (overmacht). Menurut J. Satrio wujud dari wanprestasi bisa berupa5 :
a. debitor sama sekali tidak berprestasi ;
b. debitor keliru berprestasi ;
c. debitor terlambat berprestasi.
Sedangkan menurut R. Subekti, seorang debitor dikatakan lalai, apabila
ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhi
kewajibannya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan atau melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan6.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam
suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak
dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihakdiwajibkan melakukan prestasi yang
diperjanjikan. Dalam hal bentuk prestasi debitor dalam perjanjian yang berupa
tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitor melakukan
wanprestasi yaitu sejak pada saat debitor berbuat sesuatu yang tidak
diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitor yang berupa
berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan
5 J. Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya. (Bandung: Alumni. 1993). Hal 122
6 R. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta: Intermasa. 2003). Hal 147
dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata debitor dianggap
melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak
ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitor
melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur
yangdiberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.
Somasi (sommatie) adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditor
kepada debitor yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan
prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam
pemberitahuan itu.7 Menurut Pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Adakalanya dalam kontrak itu sendiri sudah ditetapkan, kapan atau
dalam hal-hal sama si berutang dapat dianggap lalai. Disini tidak diperlukan
suatu somasi atau perigatan.
2.1.2. Akibat Wanprestasi
Dalam hal debitor tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena
itu karena ada unsur salah padanya, maka ada akibat-akibat hukum yang bisa
menimpa dirinya8.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1243 KUH Perdata kreditor
berhak untuk menuntut penggantian kerugian, yang berupa ongkos-ongkos,
kerugian dan bunga. Akibat hukum seperti ini menimpa debitor baik dalam
perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu ataupun tidak
melakukan sesuatu. Selanjutnya Pasal 1237 KUH Perdata mengatakan bahwa
sejak debitor lalai, maka risiko atas objek perikatan manjadi tanggungan debitor.
Yang ketiga adalah bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik,
maka berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata sekarang kreditor berhak menuntut
pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi.
Tapi tidak semua itu mengurangi hak dari kreditor untuk menuntut pemenuhan.
7 Ibid.
8 J. Satrio. Op.Cit. Hal 144
2.2. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen
2.2.1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Secara terminologi menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen9. Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmaja, yang dimaksud dengan
hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan
masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen. Sedangkan.
Dan yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk
diperdagangkan10.
Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen
adalah, pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan kepada mereka
oleh pengusaha. Dalam buku A.Z. Nasution yang berjudul aspek-aspek hukum
masalah perlindungan konsumen, istilah konsumen berasal dari bahasa
consumer (Inggris-Amerika) atau consument (Belanda). Secara harfiah arti kata
consumer adalah lawan dari produsen, setiap orang yang menggunakan
barang11.
2.2.2. Asas dalam Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
berdasarkan 5 (lima) asas yag relevan dalam pembangunan nasional12, yaitu
berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum.
a. Asas Manfaat. Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus
9 Pasal 1 angka 1
10 Pasal 1 angka 2
11 A.Z. Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta: Diadit Media.2002). Hal 3
12 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 2008). Hal 25-26
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b. Asas Keadilan. Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memberikan haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
c. Asas Keseimbangan. Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil dan spiritual.
d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen. Dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas Kepastian Hukum. Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
2.2.3. Hak dan Kewajiban Konsumen
Hukum, khususnya hukum ekonomi mempunyai tugas untuk mencip-
takan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pengusaha, masyarakat,
dan pemerintah. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi
nasional pada era globalisasi harus mampu menghasilkan aneka barang dan jasa
yang memiliki kandungan teknologi yang dapat menjadi sarana penting
kesejahteraan rakyat, dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan
jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.
Selanjutnya, upaya menjaga harkat dan martabat konsumen perlu didukung
peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku
usaha yang bertanggung jawab13.
13
Dhaniswara K. Harjono. Pemahaman Hukum Bisnis bagi Pengusaha. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2006). Hal 72-73
Dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mengatur hak-hak dari konsumen. Hak-hak konsumen tersebut adalah :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
dan tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lain.
Selanjutnya Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen mengatur kewajiban dari konsumen, yaitu :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
2.3. Tinjauan Umum tentang Pembiayaan Konsumen
2.3.1. Pengertian Pembiayaan Konsumen
Pembiayaan konsumen merupakan salah satu lembaga pembiayaan
yang dilakukan oleh suatu perusahaan finansial (consumer finance
company)14. Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen dengan siste m pembayaran angsuran atau berkala
oleh konsumen15.
Pranata Hukum Pembiayaan Konsumen dipakai sebagai terjemahan
dari istilah Consumer Finance. Pembiayaan konsumen ini tidak lain dari sejenis
kredit konsumsi (consumer credit). Hanya saja, jika pembiayaan konsumen
dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sementara kredit konsumsi diberikan
oleh bank. Namun demikian pengertian kredit konsumsi sebenarnya secara
substantif sama saja dengan pembiayaan konsumen, yaitu:
Kredit yang diberikan kepada konsumen-konsumen guna pembelian barang-barang konsumsi dan jasa-jasa seperti yang dibedakan dari pinjaman-pinjaman yang digunakan untuk tujuan-tujuan produktif atau dagang. Kredit yang demikian itu dapat mengandung risiko yang lebih besar daripada kredit dagang biasa. Maka dari itu, biasanya kredit itu diberikan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi.16
Pembiayaan konsumen berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI
No. 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan memberikan pengertian
kepada Pembiayaan Konsumen sebagai suatu kegiatan yang dilakukan dalam
bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang
pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen.
Sedangkan menurut Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan menyatakan bahwa, Pembiayaan konsumen (consumers finance)
adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan berdasarkan
kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran17.
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebe-
narnya antara kredit konsumsi dengan pembiayaan konsumen sama saja. Hanya
pihak pemberi kreditnya yang berbeda. Pembiayaan konsumen sebagai salah
satu lembaga pembiayaan lebih banyak diminati oleh konsumen ketika mereka
memerlukan barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau
14
Neni Sri Imaniyati. Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, (Yogyakarta: Grafika Ilmu. 2009). Hal 69 15
Sentosa Sembiring. Hukum Dagang. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001). Hal 114 16
Munir Fuady. Op.Cit. Hal 162 17
Pasal 1 angka 4
cicilan. Barang yang menjadi obyek pembiayaan konsumen umumnya adalah
barang-barang seperti, alat-alat elektronik, kepentingan rumah tangga yang
menjadi kebutuhan konsumen. Besarnya pembiayaan yang diberikan kepada
konsumen umumnya relatif kecil, sehingga kandungan risiko yang mesti harus
dipikul oleh perusahaan pembiayaan konsumen juga relatif kecil.
2.3.2. Para Pihak dalam Pembiayaan Konsumen
Bila seseorang membutuhkan barang-barang seperti TV, Mobil, dan
sebagainya sementara penghasilannya tidak cukup membayar secara tunai,
maka yang bersangkutan dapat menghubungi suatu lembaga pembiayaan
(consumers finance) yang dapat membantu mendapatkan barang-barang
konsumsi tersebut melalui supplier. Lembaga pembiayaan akan membayar
secara tunai kepada supplier, dan selanjutnya konsumen membayar harga
barang tersebut kepada lembaga pembiayaan secara angsuran sesuai dengan
jangka waktu yang diperjanjikan. Para pihak yang terlibat dalam transaksi
pembiayaan konsumen adalah :
1. Pihak Perusahaan Pembiayaan (Kreditor)
Pihak perusahaan pembiayaan adalah pihak yang menyediakan dana bagi
kepentingan konsumen.
2. Pihak Dealer/Supplier
Pihak dealer/supplier adalah pihak penyedia barang yang dibutuhkan
konsumen.
3. Pihak Konsumen
Pihak konsumen adalah pihak yang membutuhkan barang.
Berikut Hubungan satu sama lainnya dapat dilihat sebagai berikut18 :
a. Hubungan Pihak Perusahaan Pembiayaan dengan konsumen
Hubungan antara perusahaan pembiayaan dengan konsumen adalah
hubungan kontraktual, dalam hal ini kontrak pembiayaan. Pihak peru-
sahaan pembiayaan berkewajiban untuk memberikan sejumlah dana
(uang) untuk pembelian suatu barang konsumsi. Sementara pihak
konsumen berkewajiban untuk membayar kembali uang tersebut secara
angsuran (cicilan) kepada pihak perusahaan pembiayaan. Jadi hubungan
18
Ibid. Hal 165
kontraktual antara pihak penyediaan dengan konsumen adalah sejenis
perjanjian kredit. Secara yuridis apabila kontrak pembiayaan tersebut
sudah ditandatangani oleh para pihak dan dana sudah dicairkan serta
barang sudah diserahkan oleh supplier kepada konsumen, maka barang
tersebut sudah langsung menjadi hak milik konsumen, meskipun
harganya belum dibayar lunas. Dalam hal ini berbeda dengan kontrak
leasing, dimana secara yuridis barang leasing tetap menjadi milik lessor,
terkecuali pihak lessee menggunakan hak pilih (opsinya) untuk memiliki
barang tersebut pada akhir kontrak.
b. Hubungan pihak konsumen dengan supplier
Antara pihak konsumen dengan pihak supplier terdapat suatu
hubungan jual beli, dalam hal ini jual beli bersyarat, dimana pihak
supplier selaku penjual menjual barang kepada pihak konsumen selaku
pembeli, dengan syarat bahwa harga akan dibayar oleh pihak ketiga,
yaitu pihak perusahaan pembiayaan. Syarat tersebut mempunyai arti
bahwa apabila pihak perusahaan pembiayaan tidak jadi (batal)
memberikan dana, maka jual beli antara supplier dengan konsumen
menjadi batal pula.
c. Hubungan Perusahaan Pembiayaan dengan Supplier.
Antara pihak perusahaan pembiayaan dengan supplier tidak
mempunyai hubungan hukum yang khusus, kecuali pihak perusahaan
pembiayaan hanya pihak ketiga yang disyaratkan, yaitu disyaratkan
untuk menyediakan dana untuk dipergunakan dalam perjanjian jual beli
antara pihak supplier dengan pihak konsumen. Karena itu, jika
perusahaan pembiayaan wanpresiasi (ingkar janji) dalam menyediakan
dananya, sementara kotrak jual beli maupun kontrak pembiayaan
sudah selesai dibuat, maka jual beli bersyarat antara supplier dengan
konsumen itu akan batal.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian sangat penting karena keberhasilan dari suatu
penelitian ditentukan oleh metode yang digunakan. Penelitian secara ilmiah
adalah suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa
masalah dengan jalan menganalisa dan mengadakan pemeriksaan yang
mendalam. Metode penelitian merupakan suatu unsur mutlak yang harus ada di
dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Metode penelitian sering
disebut dengan metodologi. Menurut Soejono Soekanto metodologi merupakan
suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan
suatu ilmu pengetahuan.19
Metode dalam penelitian hukum menguraikan tentang tata cara ba-
gaimana suatu penelitian hukum itu harus dilaksanakan. Penelitian hukum adalah
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.20 Hal yang
perlu diperhatikan dalam menentukan metode penelitian ini adalah adanya
kesesuaian antara masalah dengan metode yang akan digunakan dalam
penelitian. Oleh karena itu seorang peneliti harus mampu untuk memilih atau
menentukan metode penelitian yang tepat untuk hal yang akan diteliti. Metode-
metode untuk mencapai tujuan penulisan yang digunakan penulis dalam karya
ilmiah ini adalah sebagai berikut:
3.1. Tipe Penelitian
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum
yang timbul. Tipe Penelitian dalam karya ilmiah ini adalah Yuridis Normatif (legal
Research). Hukum sebagai konsep normatif adalah hukum sebagai norma, baik
yang diidentikkan dengan keadaan yang harus diwujudkan (ius constituendum)
ataupun norma yang telah terwujud sebagai perintah yang eksplisit dan yang
secara positif telah terumus jelas (ius constitutum).21
19
Soejono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI-Press,1986). Hal 17 20
Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010).
Hal. 35 21
Ashofa Burhan. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000). Hal 33
3.2. Pendekatan Masalah
Terkait karya ilmiah ini penulis menggunakan beberapa pendekatan.
Melalui pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dan berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan
yang digunakan penulis dalam karya tulis ilmiah ini adalah yuridis yaitu dengan
menggunakan antara lain :
1. Pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan ini
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani22 ;
2. Pendekatan konseptual (conseptual approach), pendekatan ini beranjak
dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di
dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, penulis akan menemukan ide-ide
yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,
dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut
merupakan sandaran bagi penulis dalam membangun suatu argumentasi
hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi23.
3.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian
berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum non
hukum. Bahan hukum tersebut merupakan sarana bagi suatu penulisan yang
digunakan untuk memecahkan permasalahan sekaligus memberikan preskripsi
mengenai apa yang menjadi seharusnya. Sumber bahan hukum yang digunakan
dalam penulisan artikel ilmiah ini adalah :
3.3.1. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang
22
Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit. Hal 133 23
Ibid. Hal 135
digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-
undangan yaitu :
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ;
2. Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan ;
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 28/POJK.05/2014 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Usaha Pembiayaan ;
3.3.2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum
termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum. Menurut
Soetandyo Wignyosoebroto, bahan hukum sekunder adalah juga seluruh
informasi tentang hukum yang berlaku atau pernah berlaku di suatu negeri24.
Disamping itu juga, kamus-kamus hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan. Bahan-bahan tersebut digunakan untuk mendukung, membantu,
melengkapi, dan membahas masalah-masalah yang timbul dalam penulisan ini.
Pada penulisan ini bahan hukum sekunder yang digunakan oleh penulis adalah
buku-buku teks yang berkaitan dengan isu hukum yang menjadi pokok
permasalahan.
3.3.3. Bahan Non Hukum
Sebagai penunjang dari sumber hukum primer dan sekunder, sumber
bahan non hukum dapat berupa: internet, ataupun laporan-laporan penelitian
hukum dan jurnal-jurnal non hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan
topik penulisan karya ilmiah atau skripsi25.
3.4. Analisis Bahan Hukum
Metode analisis bahan hukum yang penulis gunakan dalam penulisan ini
adalah menggunakan analisa deduktif, yaitu dengan cara melihat suatu
permasalahan secara umum sampai dengan pada hal-hal yang bersifat khusus
untuk mencapai preskripsi atau maksud yang sebenarnya. Peter Mahmud
Marzuki menyatakan bahwa, dalam menganalisa bahan yang diperoleh agar
24
Soentandyo Wigyosoebroto, Hukum, Konsep, dan Metode, (Malang: Setara Press, 2013). Hal 68 25
Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit.. Hal 164
dapat menjawab permasalahan dengan tepat dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak
relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan ;
2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan non hukum yang
dipandang mempunyai relevansi ;
3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-
bahan yang telah dikumpulkan ;
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu
hukum ; dan
5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun
di dalam kesimpulan26.
Sesuai langkah-langkah diatas, sebelumnya penulis mengidentifikasi
fakta-fakta hukum dan telah menetapkan isu hukum yang akan dibahas.
Selanjutnya mengumpulkan bahan-bahan yang relevan dengan isu hukum yang
akan dibahas. Bahan-bahan hukum tersebut kemudian digunakan untuk
menelaah dan menganalisis isu hukum yang dibahas. Setelah melakukan telaah
kemudian penulis menganalisis dengan menggunakan analisis deduktif yaitu
suatu proses penalaran yang berangkat dari suatu pernyataan umum untuk tiba
pada suatu simpulan yang akan menjawab semua pertanyaan.27
Dari judul yang dianalisis, yaitu PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
KONSUMEN TERHADAP PENYITAAN BARANG AGUNAN OLEH PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN, dikaji menggunakan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan dan Peraturan OJK No. 28/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha
dan Kelembagaan Usaha Pembiayaan. Setelah itu memberikan preskripsi
berdasarkan argumentasi yang dibangun dalam kesimpulan. Berdasarkan metode
penelitian yang diuraikan diatas diharapkan didalam penilisan ini mampu
memperoleh jawaban atas rumusan masalah, sehingga memperoleh hasil yang
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.
26
Ibid. Hal 171 27
Soetandyo Wignyosoebroto. Op.Cit. Hal 91