78

Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran ... fileNilai tukar rupiah ... ruang bagi penurunan suku bunga instrumen moneter secara lambat dan berhati-hati. Seiring dengan

Embed Size (px)

Citation preview

1Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003

Sampai dengan triwulan terakhir di tahun 2003, kestabilan makroekonomi danmoneter masih terus berlanjut yang mengindikasikan bahwa proses pemulihan ekonomiterus berlangsung. Pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2003 diperkirakan meningkat. Nilaitukar rupiah bergerak relatif stabil pada level sebagaimana yang diperkirakan pada awaltahun. Kecenderungan penurunan inflasi terus berlangsung sejalan dengan stabilnya nilaitukar, ekspektasi masyarakat yang membaik, serta ketersediaan pasokan dalam negeri.Sementara itu, pertumbuhan uang primer t etap terkendali meskipun cenderung meningkatseiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap uang kartal dalam rangkaperayaan hari besar keagamaan dan tahun baru. Kondisi-kondisi tersebut telah memberikanruang bagi penurunan suku bunga instrumen moneter secara lambat dan berhati-hati. Seiringdengan penurunan suku bunga instrumen moneter tersebut, suku bunga pasar uang, sukubunga simpanan dan kredit menurun. Sejalan dengan hal tersebut, fungsi intermediasiperbankan menunjukkan peningkatan.

Pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2003 diperkirakan meningkat sebesar 4,55% lebihtinggi dari triwulan sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan ekonomi ini terutama didorongoleh kegiatan konsumsi terutama konsumsi swasta serta ekspor. Sementara kegiataninvestasi menunjukkan sedikit penurunan. Secara sektoral, pertumbuhan positif ditunjukkanoleh seluruh sektor ekonomi.

Nilai tukar rupiah dalam triwulan IV-2004 bergerak relatif stabil pada tingkat rata-rata sekitar Rp8.474 per dolar AS. Penguatan nilai tukar rupiah ini didukung oleh faktorfundamental dan sentimen positif yang terkait terutama dengan kemajuan programdivestasi saham beberapa bank dan peningkatan credit rating Indonesia oleh LembagaPemeringkat Internasional. Sejalan dengan kestabilan kondisi makroekonomi dan monetertermasuk nilai tukar serta membaiknya sisi penawaran, laju inflasi masih dalamkecenderungan yang menurun. Inflasi IHK pada akhir triwulan IV-2003 tercatat rendahmencapai 5,06% (yoy). Penurunan laju inflasi ini didukung oleh kebijakan moneter yangberhati-hati khususnya dalam menyerap kelebihan likuiditas yang cenderung meningkatakibat faktor musiman pada akhir triwulan IV-2003. Kecenderungan menurunnya lajuinflasi juga dipengaruhi oleh rendahnya dampak administered price serta terkendalinya

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKANDAN SISTEM PEMBAYARAN

TRIWULAN IV – 2003

Tim Penulis Laporan Triwulanan IV – 2003, Bank Indonesia

2 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

harga beberapa bahan makanan yang biasanya cenderung fluktuatif serta membaiknyaekspektasi masyarakat.

Perkembangan besaran-besaran moneter khususnya uang beredar menunjukkanpeningkatan sejalan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dalam triwulan IV-2003. Uangprimer menunjukkan peningkatan namun masih dalam batas-batas pengendalian BankIndonesia. Sejalan dengan penurunan suku bunga tersebut, intermediasi perbankan jugaterus menunjukkan perbaikan, walaupun belum seoptimal sebagaimana yang diharapkan.Hal ini terlihat dari peningkatan nominal kredit dan pembiayaan alternatif melalui obligasidan saham. Sejalan dengan kondisi moneter yang kondusif, stabilitas perbankan dan sistemkeuangan dapat dipertahankan sampai dengan triwulan laporan. Kinerja dan tingkatkesehatan perbankan menunjukkan perbaikan.

Dalam triwulan mendatang, beberapa tantangan ekonomi masih harus dihadapi In-donesia. Prospek ekonomi negara maju dalam triwulan I-2004 dan keseluruhan tahun 2004diperkirakan akan membaik, walaupun belum secara optimal mendorong sektor eksternalekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2004 diperkirakan akan meningkat.Sejalan dengan hal ini inflasi IHK diperkirakan akan naik, sementara nilai tukar Rupiahdiperkirakan akan stabil dan cenderung menguat. Di bidang perbankan, proses intermediasiperbankan terus menunjukkan perbaikan namun belum begitu kuat. Melihat keseluruhanprospek ekonomi tahun 2004, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati antara lain masihadanya faktor risiko yang terkait dengan masih besarnya ekses likuiditas perbankan, sertaperkiraan kenaikan suku bunga di beberapa negara maju.

Mempertimbangkan perkembangan dan prospek makroekonomi dan moneter sampaidengan akhir tahun 2003 dan tahun 2004, kebijakan moneter tetap diarahkan pada upayamencapai sasaran inflasi jangka menengah dengan tetap memperkuat proses pemulihanekonomi. Terkait dengan hal tersebut, ruang bagi penurunan suku bunga tetap terbukayang dilakukan secara berhati-hati meskipun dengan laju yang semakin melambat dandisesuaikan dengan upaya pencapaian sasaran inflasi. Sementara itu, di bidang perbankan,kebijakan diarahkan untuk melanjutkan upaya-upaya untuk mempertahankan stabilitassistem keuangan dan perbankan serta mendorong peningkatan fungsi intermediasiperbankan dan efisiensi operasional melalui moral suasion kepada bank-bank.

Laporan triwulan IV-2003 ini mencakup evaluasi pelaksanaan tugas dan wewenangBank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran dengan penekananpada evaluasi pencapaian sasaran inflasi dan sasaran moneter lainnya. Sistematika penyajianlaporan terbagi dalam beberapa bab. Bab 2 memaparkan evaluasi Bank Indonesia atasperkembangan kinerja makroekonomi dan kinerja inflasi. Selanjutnya bab 3, 4, 5 masing-masing memaparkan evaluasi atas kebijakan dan perkembangan di bidang moneter,perbankan, dan sistem pembayaran. Bab 6 mengemukakan pandangan Bank Indonesia

3Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003

mengenai prospek ekonomi dan arah kebijakan mendatang termasuk permasalahan yangdihadapi perekonomian dan berbagai langkah yang akan ditempuh Bank Indonesia untukmengatasinya. Dalam lampiran laporan ini juga disampaikan evaluasi kebijakan di bidangmanajemen intern serta produk-produk hukum Bank Indonesia selama triwulan laporan.Secara keseluruhan, rangkuman dari materi laporan triwulan IV-2003 disajikan dalamTinjauan Umum ini.

1. Evaluasi Perkembangan Inflasi dan Makroekonomi

1.1. Kinerja Inflasi dan Nilai Tukar

Sejalan dengan keberhasilan mempertahankan stabilitas moneter dan makroekonomikhususnya nilai tukar, laju inflasi selama triwulan IV-2003 menunjukkan kecenderunganyang menurun. Di samping itu, kestabilan makroekonomi dan moneter juga mendukungupaya menjaga ketersediaan pasokan dalam negeri baik yang berasal dari produksi dalamnegeri maupun impor guna mengimbangi permintaan domestik yang meningkat. Laju inflasiIHK triwulan IV-2003 mencapai 5,06% (yoy) atau lebih rendah dari dibandingkan triwulanIII-2003 yang mencapai 6,02% (yoy). Laju inflasi IHK yang cenderung menurun tersebutterutama dipengaruhi oleh rendahnya dampak administered price serta terkendalinya hargabeberapa bahan makanan yang biasanya cenderung fluktuatif serta membaiknya ekspektasimasyarakat.

Pergerakan nilai tukar rupiah yang cenderung stabil turut membantu kestabilan harga.Hal ini terlihat dari inflasi kategori traded yang menurun hingga mencapai 2,60% (yoy)dibandingkan triwulan III-2003 sebesar 3,93% (yoy). Sementara itu inflasi non traded jugamenunjukkan sedikit melambat yakni dari 10,06% pada akhir triwulan III-2003 menjadi9,65% (yoy) pada akhir triwulan laporan. Meningkatnya permintaan untuk bahan makananseiring dengan faktor musimannya telah mendorong lebih tingginya inflasi kelompok food

dibandingkan kelompok non food.

Dalam triwulan IV-2003, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil pada level rata-ratasekitar Rp8.474 per dolar AS. Secara point to point rupiah melemah 0,3% dari Rp8.395 perdolar AS menjadi Rp8.420 per dolar AS. Namun demikian, apabila dibandingkan dengantahun 2002, nilai tukar rupiah tahun 2003 telah menguat 6,29% secara point to point dansecara rata-rata menguat 8,71%.

Cukup stabilnya nilai tukar rupiah tersebut didukung oleh beberapa faktor positifbaik fundamental maupun sentimen sehingga dapat menahan tekanan depresiasi rupiah, yang terutama diakibatkan oleh peningkatan valas untuk kebutuhan akhir tahunkhususnya oleh BUMN menjelang akhir tahun, baik untuk kebutuhan pembiayaan impormaupun untuk pembayaran utang luar negeri. Membaiknya kondisi fundamental ekonomi

4 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Indonesia antara lain tercermin dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi, kecenderunganmenurunnya inflasi, dan membaiknya kinerja fiskal dan neraca pembayaran. Sementaraitu, beberapa faktor positif yang mendukung sentimen positif antara lain : divestasi sahambeberapa bank seperti BRI dan BII, penerbitan obligasi pemerintah, dan peningkatan credit

rating Indonesia oleh Standard and Poor’s dan Fitch IBCA, serta Moody’s.

1.2. Kinerja Makroekonomi

Kinerja perekonomian nasional pada triwulan IV-2003 diperkirakan membaik dantumbuh sebesar 4,55% (yoy) lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 3,93%.Di sisi permintaan, perbaikan kinerja ekonomi ini masih ditopang oleh kinerja sektorkonsumsi, terutama sektor konsumsi swasta. Sementara itu, kegiatan investasi diperkirakanmenunjukkan penurunan sejalan dengan penurunan pertumbuhan impor barang modal.Sumbangan operasi keuangan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi relatif netralseiring dengan berimbangnya ekspansi fiskal dan kebutuhan perekonomian pada akhirtahun 2003.

Konsumsi swasta dalam triwulan IV-2003 menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,29%(yoy) lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan konsumsi swasta iniantara lain terindikasi dari berbagai indikator seperti peningkatan indeks keyakinankonsumsi, peningkatan penjualan kendaraan bermotor, dan peningkatan impor barangkonsumsi. Kegiatan konsumsi yang meningkat tersebut didukung oleh adanya kemudahanpembiayaan dan didorong oleh kecenderungan penurunan suku bunga.

Kinerja investasi dalam triwulan IV-2003 diperkirakan menurun dibandingkantriwulan sebelumnya. Beberapa indikator yang menunjukkan perkiraan ini antara lainkecenderungan penurunan indeks tendensi bisnis. Diffusion index untuk sentimen bisnismenunjukkan adanya penurunan pada industri transportasi, komunikasi, keuangan danjasa. Indikator lain yang mendukung rendahnya kinerja investasi ditunjukkan daripertumbuhan impor barang modal yang tercatat masih negatif dan pertumbuhan kreditinvestasi yang menurun. Rendahnya pertumbuhan impor barang modal ini juga sejalandengan rendahnya realisasi investasi asing.

Sementara itu, ekspor non migas menunjukkan peningkatan dibanding triwulansebelumnya. Peningkatan ini terutama disumbang oleh seluruh kelompok barang terutamakelompok barang tambang. Dengan demikian, kinerja ekspor barang dan jasa dalam triwulanIV-2003 diprakirakan mencatat pertumbuhan sebesar 0,73% (yoy). Peningkatan ini antaralain terkait dengan masih tingginya harga komoditas nonmigas di pasar internasional danmulai membaiknya kondisi perekonomian di beberapa negara tujuan ekspor. Sementara

5Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003

itu, sejalan dengan meningkatnya permintaan domestik telah mendorong pertumbuhanimpor non migas.

Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi selama triwulan IV-2003 didukung olehpertumbuhan positif di seluruh sektor pembentuk PDB. Sektor perdagangan, sektorpengangkutan, dan sektor industri pengolahan diperkirakan memberi sumbangan terbesarterhadap peningkatan kegiatan ekonomi selama triwulan laporan. Sektor perdagangan

Tabel 1.1. Indikator Makroekonomi

1) Rata-rata tertimbang akhir periode2) REER adalah indeks nilai tukar rupiah per mata uang negara mitra dagang yang dibobot dengan total ekspor dan impor dari 8 mitra dagangutama Indonesia.* : Perkiraan Bank Indonesia** : Angka bulan November 2003*** : Angka Bulan Oktober 2003Sumber : BPS (diolah) dan Bank Indonesia

Trw III Trw IV Trw I Trw II Trw IIIIndikator

2002 2003

IHK (%) 3,63 0,77 0,46 1,24 2,51Triwulanan (quarter to quarter) 10,03 7,12 6,62 6,20 5,06Tahunan (year on year)

PDB (% pertumbuhan, tahunan) 3,8 3,4 3,8 3,9* 4,6*Dari sisi permintaan :

Konsumsi Total 5,9 4,1 5,0 5,3* 6,0*Investasi Total 8,9 5,5 1,7 0,03* -0,4*

Dari sisi produksi :Pertanian 2,4 4,9 2,1 0,8* 3,6*Pertambangan 5,7 -1,3 5,2 7,4* 5,6*Industri Pengolahan 2,4 2,1 2,5 2,4* 2,8*

Sektor eksternal :Ekspor non migas (fob, % pertumbuhan tahunan) 4,3 5,0 14,9 0.7 3,6**Impor non migas (c&f, % pertumbuhan tahunan) -2,1 6,4 11,0 -5.1 6,6**Transaksi berjalan (juta USD) 1.849 1.225 2.617 2.507 1.451Posisi Utang LN (juta USD) 131.343 129.466 130.587 132.072 132.575***

Besaran Moneter (miliar RP)M0 138.250 125.211 132.403 136.471 166.474M1 191.939 181.239 195.219 207.587 224.318**M2 883.908 877.776 894.554 911.223 944.647**

Suku bunga (%)1)

SBI 1 bulan 12,93 11,40 9,53 8,66 8,31PUAB (overnight) 12,44 12,70 6,99 9,71 8,38Deposito 1 bulan 12,81 11,90 10,31 8,17 7,48Kredit modal kerja 18,25 18,08 17,41 16,36 15,45Kredit investasi 17,82 17,85 17,43 16,7 15,93

Kurs (Rp/USD), nominal akhir periode 8.950 8.693 8.275 8.395 8.420Real Effective Exchange Rate (REER)2), 1995=100 86,1 87,2 92,4 88,5 88,9Kurs rata-rata 9.045 8.902 8.488 8.431 8.474

6 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

menunjukkan peningkatan kinerja seiring dengan berlangsungnya perayaan hari raya IdulFitri. Selain itu, meningkatnya impor barang-barang ritel terutama dari Cina turutmendorong tingginya pertumbuhan sektor tersebut. Peningkatan sektor pengangkutan dantelekomunikasi seiring dengan meningkatnya permintaan masyarakat terhadap jasaangkutan dan telekomunikasi menjelang hari raya dan tahun baru.

2. Evaluasi Kebijakan dan Perkembangan Moneter

Pada triwulan IV-2003, secara umum perkembangan besaran-besaran monetermenunjukkan kecenderungan meningkat namun tetap stabil dan terkendali. Sejalan denganmeningkatnya permintaan uang oleh masyarakat menjelang perayaan beberapa harikeagamaan dan tahun baru, perkembangan uang primer menunjukkan peningkatan. Dalamkondisi meningkatnya permintaan uang oleh masyarakat yang berakibat terhadap relatifketatnya likuiditas perbankan dan dalam kondisi masih rendahnya inflasi dan stabilnyanilai tukar rupiah, ruang bagi penurunan suku bunga moneter tetap terbuka namundilakukan secara hati-hati dengan kecepatan yang lebih lambat dari triwulan sebelumnya.Penurunan suku bunga instrumen moneter tersebut telah ditransmisikan oleh penurunansuku suku bunga pasar uang antar bank (PUAB), simpanan dan kredit.

Selama triwulan IV-2003, perkembangan uang primer cenderung meningkat dantumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Posisi test date sementara akhir triwulan IV-2003 mencapai Rp152,1 triliun dan rata-rata test date sementara uang primer meningkatdari 11,28% (yoy) pada triwulan III-2003 menjadi 14,29% (yoy). Berdasarkan komponennya,peningkatan uang primer terutama disebabkan oleh peningkatan uang yang diedarkankhususnya uang kartal. Peningkatan uang kartal ini seiring dengan meningkatnyapermintaan uang untuk kebutuhan transaksi sehubungan dengan perayaan hari besarkeagamaan, hari-hari libur yang lebih panjang, dan perayaan akhir tahun. Sejalan denganmeningkatnya kegiatan ekonomi dalam triwulan IV-2003, perkembangan uang beredar jugamenunjukkan perkembangan yang meningkat. Pertumbuhan rata-rata M1 dan M2 (No-vember 2003) masing-masing 15,6% dan 8,0% (yoy) lebih tinggi dari triwulan sebelumnya.

Operasi pasar terbuka (OPT) selama triwulan IV-2003 masih menunjukkan likuiditasperbankan yang relatif ketat terutama pada pertengahan triwulan sebagai akibatmeningkatnya permintaan uang kartal masyarakat untuk perayaan hari keagamaan. Kondisiini tercermin dari lebih rendahnya bidding perbankan dalam lelang SBI dibandingkan yangjatuh tempo terutama untuk SBI 1 tahun. Namun demikian, sejalan dengan relatif stabilnyanilai tukar rupiah dan laju inflasi, ruang bagi penurunan suku bunga SBI secara hati-hatimasih berlanjut meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat. Selama triwulan IV-2003,suku bunga SBI 1 dan 3 bulan hanya turun sebesar 35 bps dan 41 bps hingga masing-masing

7Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003

mencapai posisi 8,31% dan 8,34% pada akhr periode. Penurunan ini lebih lambatdibandingkan triwulan sebelumnya yang turun sebesar 87 bps dan 143 bps. Searah denganperkembangan tersebut, suku bunga FASBI diturunkan sebesar 50 bps dan tercatat padaposisi 8,00%.

Sejalan dengan penurunan suku bunga SBI, suku bunga simpanan dan kredit bankjuga menunjukkan arah yang sama. Suku bunga simpanan menurun secara signifikan,sementara suku bunga kredit masih menurun meskipun masih relatif lambat sebagai akibatpengaruh internal maupun eksternal perbankan. Di PUAB, suku bunga PUAB baik sessipagi maupun sore menunjukkan penurunan sejalan dengan turunnya suku bunga instrumenmoneter. Suku bunga rata-rata PUAB pagi dan sore pada triwulan IV-2003 masing-masingturun sebesar 55 bps dan 75 bps menjadi 8,38% dan 6,23%. Rata-rata tertimbang suku bungadeposito 1 dan 3 bulan menurun masing-masing sebesar 69 bps dan 100 bps. Penghapusanmargin penjaminan suku bunga deposito yang berlaku pada November 2003 juga turutmendorong penurunan suku bunga deposito ini. Sementara itu, suku bunga kreditperbankan turun dengan kisaran 46-62 bps.

3. Evaluasi Kebijakan dan Perkembangan Perbankan

Selama triwulan IV-2003 kebijakan bidang perbankan tetap difokuskan pada berbagailangkah untuk memperkokoh kondisi perbankan nasional sebagai kesinambungan pro-gram restrukturisasi perbankan. Program tersebut difokuskan untuk melanjutkan upayaprogram penyehatan lembaga perbankan dan pemantapan ketahanan sistem perbankanantara lain melalui pengembangan infrastruktur, peningkatan good corporate governance, sertapenyempurnaan pengaturan dan pemantapan sistem pengawasan bank.

Dalam kerangka penyempurnaan ketentuan perbankan, dalam triwulan III-2003 BankIndonesia telah mengeluarkan empat ketentuan yakni : (i) Ketentuan tentang KewajibanPenyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Mar-

ket Risk), (ii) Ketentuan tentang Posisi Devisa Neto (PDN); (iii) Ketentuan tentang KewajibanPenyediaan Dana Pendidikan dan Pelatihan Untuk Pengembangan SDM BPR; (iv) Ketentuantentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.

Secara umum kinerja perbankan dan sistem keuangan dalam triwulan IV-2003menunjukkan kestabilan. Hal ini antara lain didukung oleh semakin pulihnya kepercayaanmasyarakat terhadap sektor perbankan Indonesia. Namun demikian, terdapat beberapahal yang perlu mendapat perhatian, terutama dalam menghadapi tahun 2004 dan tahun-tahun selanjutnya. Sementara itu, beberapa indikator keuangan lainnya yang mempengaruhikestabilan sistem perbankan dan keuangan relatif menunjukkan perbaikan.

8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Membaiknya kondisi perbankan terutama tercermin dari meningkatnyapenghimpunan dana serta membaiknya tingkat profitabilitas dan permodalan. Perbaikantingkat keuntungan yang tercermin dari ROA terutama terkiat dengan keberhasilanperbankan menahan penurunan secara drastis net interest margin (NIM) di tengahkecenderungan penurunan suku bunga. Sementara itu, likuiditas perbankan selama 2003sangat memadai bahkan masih mengalami kelebihan likuiditas. Demikian pula, permodalanperbankan masih berada di atas angka 20% dan modal tersebut ternyata dapat tetapmenyerap risiko usaha khususnya risiko kredit selama 2003.

Namun demikian, selama 2003 terdapat beberapa hal yang patut dicermati terutamadalam hal perkembangan kredit perbankan dan permodalan bank. Dalam hal perkembangankredit perbankan, peningkatan posisi kredit dan kredit baru yang dikucurkan perbankanselama tahun 2003 lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan posisi kreditperbankan dan pertambahan kredit baru masing-masing sebesar Rp53,4 triliun dan Rp53,6triliun (sampai dengan Oktober 2003), lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.Rendahnya penyaluran kredit baru tersebut disertai pula dengan meningkatnya undisbursed

loan perbankan yang selama 2003 mencapai Rp25,6 triliun (periode Januari sd Oktober 2003),lebih besar dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp19,1 triliun. Tersendatnyapenyaluran kredit tersebut tidak terlepas dari masih berlanjutnya rigiditas suku bunga kreditperbankan yang di satu sisi ditujukan untuk mempertahankan tingkat kleuntungannya.

Selain itu, penyaluran kredit selama 2003 masih didominasi oleh kredit konsumsi.Penyaluran kredit konsumsi selama 2003 menunjukkan kecenderungan yang semakinmeningkat (33,8% y-o-y), jauh lebih besar dibandingkan kredit untuk jenis penggunaan modalkerja dan investasi yang masing-masing sebesar 16,9% dan 7,4%. Sementara itu, posisi kreditproperti mencapai sebesar Rp43,9 triliun (Oktober 2003) atau 10,3% dari total kredit perbankan,mengalami peningkatan dibandingkan posisi Desember 2002 sebesar Rp. 35,0 triliun.

Di sisi lain, pemulihan fungsi intermediasi perbankan dihadapkan pada tantangansemakin gencarnya perusahaan melakukan pembiayaan melalui penerbitan obligasi di pasarmodal. Selama 2003, 43 emiten telah menerbitkan obligasi sebesar Rp19,2 triliun ataumencapai 35,8% kredit baru yang dikucurkan perbankan.

4. Evaluasi Kebijakan dan Perkembangan Sistem Pembayaran

Secara umum perkembangan aktivitas dalam sistem pembayaran baik tunai maupunnon tunai dalam triwulan IV-2003 mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnyakegiatan ekonomi. Di sisi pembayaran tunai, indikator-indikator pengedaran uang dalamtriwulan IV-2003 menunjukkan pertumbuhan yang positif sejalan dengan penurunan sukubunga SBI dan relatif stabilnya nilai tukar rupiah selama beberapa bulan terakhir.

9Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003

Sesuai dengan arah kebijakan di sektor sistem pembayaran tunai, Bank Indonesiaberupaya meningkatkan penyediaan uang untuk memenuhi peningkatan kebutuhanmasyarakat akan uang kartal seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakatkhususnya dalam menghadapi perayaan hari besar keagamaan dan tahun baru. Posisi UangYang Diedarkan (UYD) meningkat pada triwulan IV-2003 sebesar 16,80%. Peningkatan UYDtersebut juga sejalan dengan pola musiman yang berlaku selama ini khususnya dalammenghadapi perayaan hari besar keagamaan dan tahun baru 2004. Sementara itu, persediaanuang kartal yang tercermin dari posisi kas nasional menunjukkan penurunan 19,63%dibandingkan triwulan sebelumnya.

Sementara itu, kebijakan di sektor sistem pembayaran non tunai diarahkan pada upayapenurunan risiko dan peningkatan efisiensi sistem pembayaran. Beberapa upaya yangditempuh antara lain dengan menyusun RUU tentang Transfer Dana, menyusun konsepPBI Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan penyusunan Failure to Settle

Arrangement. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan efisiensi sistem pembayaran BankIndonesia terus melanjutkan pengembangan Nota Kredit Paperless (PNK).

Secara umum aktivitas sistem pemnÒyaran pada triwulan IV-2003 mengalamipeningkatan sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat. Aktivitas pembayarannon tunai melalui sistem BI-RTGS mengalami peningkatan, sedangkan transaksi melaluikliring menunjukkan penurunan. Sementara itu untuk perkembangan alat pembayaranberbasis kartu, seperti kartu kredit, kartu debit, dan penggunaan kartu ATM mengalamipeningkatan yang antara lain disebabkan oleh makin meluasnya jaringan ATM.

Selama triwulan IV-2003, total aktivitas BI-RTGS mencapai nilai Rp6.233 triliun denganjumlah transaksi sebanyak 1.166 ribu atau meningkat masing-masing sebesar 4,5% dan 15,7% dibanding triwulan sebelumnya. Sementara itu, total nominal kliring penyerahan secaranasional menunjukkan penurunan menjadi sebesar Rp245,2 triliun dengan warkat sejumlah15,27 juta lembar.

5. Prospek Ekonomi dan Moneter serta Arah Kebijakan Ke Depan

5.1. Prospek Ekonomi Makro

Prospek ekonomi pada triwulan I-2004 diperkirakan tetap membaik. Pertumbuhanekonomi pada triwulan I-2004 diperkirakan meningkat, berkisar 4,3% - 4,8% (y-o-y).Konsumsi (khususnya swasta) sebagai sumber penopang utama ekonomi yang tumbuhsedikit melambat, sementara pertumbuhan investasi dan ekspor mengalami peningkatan.Sementara itu, konsumsi pemerintah diperkirakan masih tumbuh, meskipun cenderungrendah, mengikuti pola musiman fiskal.

10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Pertumbuhan investasi dan ekspor riil diperkirakan sedikit meningkat. Meningkatnyapertumbuhan investasi didukung oleh menurunnya suku bunga dan membaiknya tingkatkepercayaan investor seperti yang tercermin pada peningkatan persetujuan PMA/PMDN(meskipun PMA didominasi oleh alih status), peningkatan aktivitas di sektor properti danhasil survey yang menunjukkan iklim bisnis yang membaik. Sementara itu pertumbuhanekspor diperkirakan mulai membaik akibat membaiknya perekonomian dunia, meskipunmasih terbatas.

Secara sektoral, kegiatan ekonomi diperkirakan akan meningkat dengan sumbanganterbesar berasal dari sektor perdagangan, sektor pertanian, dan industri pengolahan.Pertumbuhan tinggi di sektor perdagangan erat kaitannya dengan kondisi ekonomi danpolitik. Pertumbuhan sektor pertanian disebabkan utamanya oleh panen raya dalamtriwulan I-2004 (meskipun diwarnai banjir di beberapa daerah). Di sektor industri,meningkatnya kegiatan di sektor ini antara lain sebagai dampak positif pelaksanaan pemiluyang diperkirakan akan mendorong peningkatan produk industri tertentu.

Di sisi eksternal, perbaikan ekonomi dunia diperkirakan masih berlanjut pada triwulanI-2004, yang didukung oleh peningkatan perkiraan pertumbuhan ekonomi negara-negaraAS, Eropa dan kawasan Asia. Nemun demikian, pemulihan ekonomi global diperkirakanbelum sepenuhnya diikuti oleh perbaikan kinerja neraca pembayaran Indonesia. Surplustransaksi berjalan dalam triwulan I-2004 diperkirakan akan mengalami peningkatan,bersumber dari penurunan ekspor yang lebih rendah dibandingkan penurunan impor sertadefisit neraca jasa yang mencatat penurunan dibandingkan dengan triwulan yang samapada tahun sebelumnya. Sementara itu, kinerja ekspor nonmigas diperkirakan membaikdibandingkan triwulan I-2003 sejalan dengan semakin membaiknya permintaan dunia danmasih relatif tingginya harga komoditas nonmigas internasional. Di lain pihak, neraca modaldiprakirakan akan mencatat peningkatan defisit, yang bersumber dari peningkatan defisitneraca modal swasta sebagai akibat pembayaran ULN swasta terutama oleh perusahanFDI. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa dalam triwulan I-2004 diperkirakanakan mencapai sebesar USD36,1 miliar. Jumlah cadangan devisa tersebut cukup untukmembiayai 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

5.2. Prospek Nilai Tukar dan Inflasi

Pada triwulan I-2004 nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan bergerak relatif stabildan sedikit menguat. Stabilitas nilai tukar diperkirakan akan ditopang oleh cadangan devisayang diperkirakan masih relatif kuat dalam memelihara keseimbangan penawaran danpermintaan di pasar valas. Faktor positif yang mendukung pergerakan nilai tukar rupiahantara lain adalah pola musiman permintaan valas awal tahun yang cenderung menurun,

11Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003

berlanjutnya kegiatan divestasi dan privatisasi, masih berlangsungnya ekspektasi positifsebagai dampak peningkatan credit rating Indonesia, serta adanya penerbitan obligasi valaspemerintah.

Namun demikian, terdapat beberapa faktor risiko yang berpotensi dapat menimbulkantekanan depresiasi terhadap rupiah antara lain, meningkatnya faktor risiko berkaitan denganPemilu 2004, dan kemungkinan semakin membaiknya perekonomian Amerika Serikat yangmenimbulkan sentimen positif terhadap dollar AS. Dengan mempergunakan model BEER,hasil survey, dan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, nilai tukar rupiah dalamtriwulan I-2004 diperkirakan akan bergerak relatif stabil dan sedikit menguat.

Pada triwulan I-2004, inflasi IHK selama triwulan I-2004 diperkirakan mencapai 5%-6% atau meningkat dibanding triwulan sebelumnya. Sementara itu, inflasi inti diperkirakancenderung menurun, mencapai 6%-7% (yoy). Perkembangan tersebut sejalan denganperbaikan fundamental, khususnya nilai tukar dan ekspektasi inflasi masyarakat. Sementaraitu, kondisi permintaan dan penawaran relatif seimbang, sehingga tidak memberi tekananpada inflasi. Sedangkan perkembangan harga volatile food dan administered price diperkirakanakan sedikit meningkat.

5.3. Arah Kebijakan Triwulan Mendatang

Secara umum kondisi makroekonomi stabil dan cenderung membaik selama 2003.Kinerja neraca pembayaran, nilai tukar rupiah, dan laju inflasi lebih baik daripada proyeksidi awal 2003. Kebijakan makroekonomi (moneter dan fiskal) memegang peran kunci dalammencapai kondisi makroekonomi yang membaik tersebut. Pelaksanaan kebijakankonsolidasi fiskal yang konsisten telah membantu meningkatkan kepercayaan terhadapstabilitas makroekonomi dan mengurangi tekanan inflasi di dalam negeri.

Sementara itu, pelaksanaan kebijakan moneter yang relatif longgar telah mendorongkenaikan permintaan agregat dan memberikan ruang gerak bagi pemulihan kondisi sektorusaha. Pada saat yang sama, kondisi ekses likuiditas yang terkendali dan pelaksanaansterilisasi valas yang terukur mampu mendukung kestabilan harga dan nilai tukar rupiah.

Dengan memperhatikan masih tingginya ekses likuiditas perbankan, maka kebijakanmoneter akan tetap diarahkan pada upaya menjaga kestabilan harga denganmenyeimbangkan kondisi penawaran likuiditas sesuai dengan kebutuhan perekonomian.Selain itu, upaya penurunan suku bunga yang melambat diharapkan dapat terusdimanfaatkan oleh perekonomian riil untuk menjaga momentum pertumbuhan yang telahdicapai.

Di bidang perbankan, dalam triwulan mendatang Bank Indonesia akan terusmelanjutkan langkah restrukturisasi perbankan serta langkah-langkah penyehatan dan

12 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

pemantapan ketahaan perbankan. Selain itu, upaya memperkuat struktur perbankannasional dalam ditempuh dalam kerangka penerapan Arsitektur Perbankan Indonesia (API)secara bertahap serta meningkatkan fungsi intermediasi perbankan. Langkah-langkahkebijakan dalam kerangka program penyehatan perbankan dan ketahanan sistem perbankanakan tetap dilakukan melalui penerapan secara bertahap pengawasan bank berdasarkanrisiko yang berorientasi pada penerapan manajemen risiko bank. Di samping itu, upayapengembangan perbankan syariah terus dilanjutkan melalui penyempurnaan ketentuan,sistem pengawasan, dan infrastruktur pendukung lainnya.

Di bidang sistem pembayaran tunai, kebijakan diarahkan untuk meningkatkanefektivitas pengedaran uang kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan masyarakatatas uang kartal termasuk pemenuhan masyarakat akan uang pecahan kecil yang layakedar dan mempercepat penarikan uang lusuh/tidak layak edar dari masyarakat. Di sampingitu, Bank Indonesia juga terus melanjutkan kerjasama dan jejaring dengan pihak-pihak terkaitdalam upaya penanggulangan terhadap uang palsu.

Di bidang sistem pembayaran non tunai, kebijakan diarahkan untuk mengatur danmenjaga kelancaran sistem pembayaran untuk terciptanya sistem pembayaran nasionalyang efisien, cepat, aman dan handal guna mendukung kestabilan sistem moneter dankeuangan. Hal ini dimaksudkan agar dapat meminimalkan risiko sistem pembayaran,meningkatkan efisiensi dan kehandalan sistem pembayaran serta adanya perlindungankonsumen bagi para pemakai jasa sistem pembayaran. Beberapa langkah akan terusdilanjutkan antara lain yang terkait dengan RUU Transfer Dana, pengembangan nota kreditpaperless (PNK), penyusunan review blue print sistem pembayaran nasional, penyusunanfailure to settle scheme, pengkajian peningkatan peran BPR dalam sistem pembayaran sertastrategi pengawasan sistem pembayaran.

13Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal

1 Peneliti Ekonomi dan Asisten Peneliti Ekonomi di Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan, Bank Indonesia.2 Clark, Tom and Andrew Dilnot, Measuring the UK Fiscal Stance since the Second World War, The Institute for Fiscal

Studies, Briefing Note No. 263 Perhitungan dampak multiplier operasi keuangan pemerintah terhadap perekonomian secara sederhana dapat dimulai dari

fungsi consumsi yaitu bahwa pendapatan siap pakai yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi. Setiaprupiah belanja domestik pemerintah akan menjadi pendapatan bagi suatu pelaku ekonomi domestik, yang kemudian olehpelaku ekonomi domestik tersebut dibelanjakan untuk membiayai konsumsinya. Proses yang sama akan berlanjut dari

Indikator Fiscal Impulseuntuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal

Decymus1

Diana Permatasari

Pendahuluan

Kajian terhadap operasi keuangan pemerintah atau saldo (surplus/defisit) anggaransering digunakan untuk melihat arah kebijakan fiskal, apakah bersifat ekspansif ataukontraktif terhadap perekonomian pada suatu periode tertentu. Lebih jauh, kajian tersebutdimaksudkan untuk melihat apakah ada upaya dari pemerintah untuk mempengaruhipermintaan agregat agar bergerak menuju tingkat output yang diinginkan. Namun, berbagaipenelitian membuktikan bahwa angka operasi keuangan atau saldo anggaran saja ternyatatidak cukup untuk menjelaskan arah kebijakan fiskal.2

Oleh karena itu, perlu ada indikator lain untuk mengatasi kelemahan tersebut di atas.Indikator dimaksud adalah Fiscal Impulse yang dikembangkan oleh German Council ofEconomic Expert (GCEE) dan digambarkan secara detail oleh Dernberg (1975). Indikatorini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh IMF dan oleh beberapa bank sentral di duniadipakai sebagai alat (tools) terutama untuk melakukan assessment terhadap hubungankebijakan fiskal dengan perekonomian.

Sebagai sebuah alat, indikator fiscal impulse masih memiliki kelemahan yaitu bahwaindikator ini hanya mampu menjelaskan sampai pada apakah stance kebijakan fiskal padasuatu periode bersifat kontraktif atau ekspansif terhadap perekonomian, namun tidak bisamenjawab berapa besar dampak atau efek multiplier dari operasi keuangan pemerintahtersebut terhadap perekonomian. Pengukuran dampak atau efek multiplier operasikeuangan pemerintah membutuhkan alat bantu lain yaitu berupa model makroekonomiseperti Macroeconometric Model of Singapore (MMS), New Zealand Treasury Model(NZTM), dan MODBI di Bank Indonesia.3

14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

suatu pelaku ekonomi domestik ke pelaku ekonomi domestik lainnya, dst. Secara agregat, kenaikan Rp1 belanja pemerintah–melalui proses multiplier— akan menyebabkan kenaikan lebih dari Rp1 pendapatan nasional (Lihat Mankiw, 2000).Secara matematis dapat ditulis:∆ Y = (1 + MPC + MPC2 + MPC3 + ... ) * ∆ G, sehingga∆ Y / ∆ G = (1 + MPC + MPC2 + MPC3 + ... )∆ Y / ∆ G = 1 / (1-MPC)Dengan MPC Indonesia sebesar 0,73 (yang biasa digunakan dalam model makroekonomi BI), maka angka multiplierbelanja pemerintah terhadap PDB adalah sekitar 3,7.

4 Lihat Heller, Peter and others, A Review of the Fiscal Impulse Measure, IMF Occasional Paper No. 44 (May 1986).

Aspek Teoritis Indikator Fiscal Impulse (FI)

Indikator fiscal impulse pada dasarnya menggambarkan perkembangan besaran fiskal(surplus/defisit anggaran) yang telah dikonfrontasikan dengan perkembangan PDB agarkesimpulan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan stance kebijakan fiskal dalam suatuperiode tertentu, apakah bersifat kontraktif atau ekspansif terhadap perekonomian. Secaramatematis, indikator fiscal impulse tersebut dijabarkan dalam bentuk persamaan sebagaiberikut:4

FI = - ∆∆∆∆∆ B – g0 ∆∆∆∆∆ YP + t0 ∆∆∆∆∆ Y,

dimana :

FI = fiscal impulse

T = penerimaan negara

G = belanja negara

∆ B = perubahan defisit/surplus (Bt – Bt-1) dimana B = T-G

g0 = G0/Y0, rasio belanja negara pada tahun dasar

t0 = T0/Y0, rasio penerimaan negara pada tahun dasar

∆ YP = perubahan PDB harga berlaku potensial (YPt – YP

t-1)

∆ Y = perubahan PDB harga berlaku (Yt – Yt-1)

Komponen pertama dalam persamaan tersebut (DB) menunjukkan perubahan ac-

tual budget, sedangkan komponen kedua dan ketiga (– g0 ∆ YP + t0 ∆ Y) menunjukkanperubahan cyclically neutral budget. Secara sederhana, actual budget dapat diartikan sebagaiselisih antara pendapatan dan belanja negara yang ditetapkan oleh pemerintah, sedangkancyclically neutral budget dapat diartikan sebagai selisih antara potensi pendapatan dan belanjanegara yang dapat digarap oleh pemerintah sesuai perkembangan ekonomi (automatic sta-

bilizer). Yang dimaksud pendapatan negara adalah pendapatan negara yang mengkontraksiperekonomian domestik, sedangkan belanja negara adalah belanja negara yang menginjeksiperekonomian domestik.

Persamaan di atas menjelaskan bahwa fiscal impulse dihitung dari perbedaan antaraperubahan actual budget dari periode tahun dasarnya dengan perubahan cyclically neutral

15Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal

5 Karena alasan praktis, tahun dasar ditetapkan secara rolling base year dalam arti bahwa tahun lalu ditetapkan sebagaitahun dasar untuk mengukur stance kebijakan fiskal tahun ini.

6 PDB potensial dihitung dengan menggunakan metode Hodrick-Prescott Filter.7 Decymus dan Dian Prima S., Manual Analisis Fiskal di Bank Indonesia, Bagian Analisis Perencanaan Kebijakan, Bank

Indonesia, 2003.

Rincian

Tabel 1Ilustrasi Penghitungan Fiscal Impulse (FI)7

Periode

t0 t1

I. Pendapatan (T) T t0

T ti

Pajak (kec. PPh Migas)

Pendpt. Neg. Bukan Pajak (kec. Migas)

II. Pengeluaran (G = C + I Tr) Gto=C

to + I

to + Tr

toG

to=C

to + I

to + Tr

to

1. Konsumsi Pemerintah - C Ct0

Ct1

Belanja Pegawai DN

Belanja Barang DN

Dana Alokasi Umum

Dana Otonomi Khusus & Penyb.

Pengeluaran Rutin Lainnya

2. Investasi Pemerintah - I It0

It1

Pembiayaan dlm. Rupiah

Bantuan Proyek

Dana Alokasi Umum

Dana Bagi Hsl & Dana Alok. Khusus

3. Pembayaran Transfer - Tr Trt0

Trt1

Bunga Utang Dalam Negeri

Subsidi

III. Surplus(+) / Defisit(-) (Actual Balance) Bt0

= Tt0 - G

t0B

t1 = T

t1 - G

t1

IV. Perubahan Actual Balance ( ∆∆∆∆∆ B) periode t dibanding

periode sama tahun sebelumnya 1)

- dalam Triliun Rp ∆ B = Bt1 - B

t0

- dalam % thd PDB ∆ B/Yt1*100

V. Perubahan Actual Balance ( ∆∆∆∆∆ Bn) periode t dibanding

periode sama tahun sebelumnya 2)

- dalam Triliun Rp ∆ Bn = (-go*∆ Yp + t0*∆ Y)

- dalam % thd PDB ∆ Bn/Y

t1 *100

VI. Fiscal Impulse (FI) 3) FI = -∆ B + ∆ Bn

Memo items :

PDB Nominal (Y) Yt0

Yt1

PDB Potensial (Yp) Ypt0

Ypt1

Perubahan PDB Aktual ( ∆ Y) Yt1

- Yt0

Perubahan PDB Potensial ( ∆ Yp) Ypt1

- Ypt0

Rasio penerimaan negara terhadap PDB nominal pada tahun dasar t0 (to) T

t0 / Y

t0

Rasio belanja Negara terhadap PDB nominal pada tahun dasar t0 (go) G

t0 / Y

t0

Keterangan :

1. (+) = Kontraksi, jika - B t1

< - B t0

atauB t1

< - B t0 ; sebaliknya, jika - B

t1 > - B

t0 atauB

t1 > - B

t0

2. (+) = Kontraksi, jika ∆ Bn> 0; sebaliknya (-) = Ekspansi,jika ∆ B

n< 0

3. FI (+) = ekspansi,jika : ∆ Bn> eksp. pada ∆ B

n atau kontr. ∆ B < kontr. ∆ B

n; sebaliknya FI (-) = ekspansi,jika : ∆ B

n < eksp. pada ∆ B

n atau

kontr. ∆ B > kontr. ∆ Bn

FI (+) = netral, jika : eksp. ∆ B = eksp. ∆ Bn atau kontr. ∆ B = kontr. ∆ B

n

budget pada kedua periode tersebut. Tahun dasar adalah suatu tahun dimana PDB aktualsecara kasar diasumsikan sama dengan PDB potensial.5 Cyclically neutral budget diturunkandari actual budget pada tahun dasar dengan mengasumsikan bahwa pendapatan negarabersifat unitary elastic terhadap PDB aktual dan belanja negara bersifat unitary elastic terhadapPDB potensial.6 Dengan demikian, belanja negara akan bersifat cyclically neutral jika iameningkat secara proporsional dengan peningkatan PDB potensial; hal yang sama berlakuuntuk perubahan pendapatan negara terhadap perubahan PDB aktual.

16 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Dengan konsep di atas, jika tidak terjadi perubahan kebijakan fiskal atau tidak adadiskresi pemerintah, perubahan actual budget akan sama dengan perubahan cyclically neu-

tral budget, sehingga secara matematis angka fiscal impulse akan nol. Artinya, stance kebijakanfiskal bersifat netral. Sementara itu, jika perubahan surplus actual budget lebih besar dariperubahan surplus cyclically neutral budget atau perubahan defisit actual budget lebih kecildari perubahan defisit cyclically neutral budget, maka angka fiscal impulse akan negatif. Artinya,pemerintah melakukan kontraksi fiskal dalam jumlah yang lebih besar dari kemampuanpotensial perekonomian atau pemerintah melakukan ekspansi fiskal dalam jumlah yanglebih kecil dari kebutuhan potensial perekonomian. Hal yang sama berlaku sebaliknya, jikaperubahan surplus actual budget lebih kecil dari perubahan surplus cyclically neutral budget

atau perubahan defisit actual budget lebih besar dari perubahan defisit cyclically neutral bud-

get, maka angka fiskal impulse akan positif. Artinya, pemerintah melakukan kontraksi fiskaldalam jumlah yang lebih kecil dari kemampuan potensial perekonomian atau pemerintahmelakukan ekspansi fiskal dalam jumlah yang lebih besar dari kebutuhan potensialperekonomian.

Berkaitan dengan stance kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah, Alesina danPerotti (1995) mengkategorikan signifikansi stance kebijakan tersebut terhadap perekonomiandalam beberapa skala sebagai berikut:8

Sangat longgar : jika FI lebih kecil dari –1,5% dari PDB

Longgar : jika FI antara –0,5% dan –1,5% dari PDB

Netral : jika FI antara –0,5% dan 0,5% dari PDB

Ketat : jika FI antara 0,5 dan 1,5% dari PDB

Sangat Ketat : jika FI lebih besar dari 1,5% dari PDB

Metode Pengolahan Data

Pengukuran fiscal impulse di Indonesia dilakukan dengan menggunakan data OperasiKeuangan Pemerintah Pusat (Central Government) dari tahun 1993 sampai dengan 2003.Untuk mengakomodir perubahan sistem tahun anggaran sejak tahun 2001, maka datahistoris triwulanan APBN sampai dengan tahun anggaran 2000 yang semula dalam bentuktahun fiskal dirobah menjadi tahun kalender.

8 Philip, Renee dan John Janssen, Indikator of Fiscal Impulse for New Zealand, New Zealand Treasury Working Paper 02/30,Desember 2002. Alesina dan Perotti menggunakan budget balance sebagai indikator fiscal impulse, sehingga positifmengindikasikan surplus, negatif mengindikasikan defisit.

17Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal

9 Dampak injeksi fiskal terhadap permintaan agregat dalam bentuk pembayaran bunga utang dalam negeri masih dipertanyakankarena belanja pemerintah dalam bentuk ini pada dasarnya masih merupakan bail-out pemerintah untuk menutup kerugiansektor perbankan. Sebagai informasi, Monetary Authority of Singapore (MAS) dan beberapa negara tidak memasukkanpengeluaran pemerintah dalam rangka menolong perusahaan negara yang akan bangkrut (bail-out) dalam perhitungan FI.

Data-data APBN tersebut kemudian diolah untuk mengukur fiscal impulse Indonesiadengan metode sebagai berikut:

1. Pendapatan negara (T) mencakup semua pendapatan negara di luar penerimaan migas,pajak migas dan hibah. Penerimaan migas, pajak migas dan hibah dikeluarkan dariperhitungan karena dari sisi anggaran negara tidak bersifat mengkontraksiperekonomian.

2. Belanja negara (G) mencakup belanja pegawai, belanja barang, bunga utang dalam negeri,bunga utang dalam negeri, subsidi, pengeluaran rutin lainnya, anggaran pembangunandan anggaran untuk daerah.9 Komponen belanja lainnya seperti pembayaran bungautang luar negeri, belanja pegawai luar negeri dan barang luar negeri dikeluarkan dariperhitungan karena tidak bersifat menginjeksi perekonomian.

3. Tahun dasar menggunakan metode rolling base year yaitu angka suatu triwulandibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya, sedangkanperhitungan tahunan didapat dengan membandingkan angka suatu tahun dengan tahunsebelumnya. Teknik ini berguna untuk menetralkan faktor musiman dan siklikal baikanggaran maupun PDB.

4. Dengan menggunakan metode tahun dasar seperti pada butir 3, maka analisis FIditujukan untuk melihat stance kebijakan fiskal pada suatu triwulan dibanding triwulanyang sama pada tahun sebelumnya atau suatu tahun dibanding tahun sebelumnya.

Pengukuran Fiscal Impulse Indonesia

Pengukuran fiscal impulse Indonesia dengan menggunakan data APBN yang telahdiolah dengan menggunakan metode tersebut di atas memberikan gambaran sebagaiberikut:

1. Pada periode sebelum krisis 1998, pertumbuhan ekonomi tercatat cukup tinggi sebelumakhirnya mulai menurun pada tahun 1997. Memanfaatkan momentum pertumbuhantersebut, pemerintah terlihat menjalankan stance kebijakan fiskal yang kontraktifdibandingkan tahun sebelumnya, meskipun magnitude-nya cenderung menurun menujutahun 1996 (Grafik 1). Stance kebijakan yang bersifat kontraktif tersebut dilakukanpemerintah melalui kebijakan pengendalian belanja negara.

18 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Grafik 1.Stance Kebijakan Fiskal Indonesia

Triliun Rp.% thd. PDB

-20.0

-10.0

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

90.0

100.0

110.0

120.0

130.0

140.0

FI (skala kiri); (+) = ekspansi Pertmb. PDB (skala kiri)

Perub. Penerimaan (skala kanan) Perub. C + I + Tr (skala kanan)

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004*)(15.0)(14.0)(13.0)(12.0)(11.0)(10.0)

(9.0)(8.0)(7.0)(6.0)(5.0)(4.0)(3.0)(2.0)(1.0)

0.01.02.03.04.05.06.07.08.09.0

10.0

2. Pada saat krisis 1998, pertumbuhan ekonomi berbalik menjadi negatif yang cukup tajamsehingga pemerintah menerapkan stance kebijakan yang sangat ekspansif untukmencegah krisis yang semakin dalam. Kebijakan tersebut dijalankan pemerintah melaluipeningkatan yang cukup tajam pada pos belanja negara, khususnya dalam bentuk subsididan jaring pengaman sosial (JPS). Pada tahun 1999, mulai terjadi recovery ekonomi danpertumbuhan ekonomi mulai positif. Pada periode yang sama, pemerintah kembalimengambil stance kebijakan fiskal yang bersifat kontraktif yang terutama dilakukanmelalui pengurangan alokasi anggaran belanja untuk subsidi dan JPS, karena dinilaikurang tepat sasaran. Pada tahun 2000, pertumbuhan ekonomi makin positif, namunstance kebijakan fiskal terlihat ekspansif. Namun, hal ini sebenarnya lebih disebabkankarena perubahan tahun anggaran dari fiskal menjadi kalender yang menyebabkanterjadinya dua kali akhir tahun anggaran. Berdasarkan pola musiman APBN, pengeluaranpemerintah pada triwulan terakhir tahun anggaran selalu jauh lebih besar dari tigatriwulan lainnya.

3. Pada tahun 2001 dan 2002, pertumbuhan ekonomi masih positif dan stance kebijakanfiskal bersifat kontraktif. Pada kedua tahun ini, pemerintah terlihat sangat mengendalikananggaran belanja melalui penurunan tajam pada subsidi untuk menutup besarnyapembayaran bunga utang dalam negeri, meskipun di sisi lain mencoba memberikanstimulus bagi perekonomian melalui fasilitas perpajakan. Phase ini sering disebut jugasebagai phase konsolidasi fiskal untuk menjamin tercapainya kondisi fiskal yangsustainabel.

19Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal

10 Jika mengacu pada konsep kategori stance kebijakan fiskal oleh Alesina dan Perotti (1995), stance pada tahun 2003 masihtermasuk dalam kategori netral (-0,5% s/d 0,5% dari PDB).

11 Untuk pengujian sustainabilitas fiskal, lihat Decymus, Wahyu A. Nugroho, Bambang Kusmiarso dan T.M. Arief Macmuddalam “Kesinambungan Fiskal Indonesia Jangka Menengah, Program Kerja Strategis DKM, Bank Indonesia, 2001.

Grafik 2.Perubahan Actual Budget dan Cyclically Neutral Budget

% thd PDB

8,07,06,05,04,03,02,01,00,0

-1,0-2,0

-3,0-4,0-5,0-6,0

-7,0

Perub. Cyclically Neutral Budget: (+) surplus, (-) defisit

Perub. Actual Budget: (+) surplus, (-) defisitFiscal Impulse: (+) ekspansi, (-) kontraksi

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004*)

4. Pada tahun 2003, pemerintah terlihat akan menjalankan kebijakan fiskal yang relatifnetral dibandingkan tahun sebelumnya.10 Meskipun masih relatif terbatas, penurunanalokasi anggaran untuk subsidi dikompensasi dengan peningkatan alokasi anggaranuntuk pengeluaran pembangunan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan darimasyarakat dan DPR akan stimulus fiskal. Dari sisi sustainabilitas fiskal, langkah inidimungkinkan karena mulai terbukanya ruang gerak pemerintah untuk melakukanekspansi, sejalan dengan terus menurunnya rasio utang terhadap PDB dan mulaibergulirnya kebijakan pengelolaan utang seperti kebijakan reprofiling dan refinancing

utang dalam negeri.11

5. Sebagaimana telah dibahas dalam tinjauan teoritis FI, secara teknis stance kebijakan fiskaljuga dapat dijelaskan sebagai hasil dari perkembangan dua aspek anggaran yaitu diskresipemerintah dan dan dampak automatic stabilizer anggaran dalam merespons aktivitasperekonomian. Diskresi pemerintah tercermin dari perubahan actual budget, sedangkandampak automatic stabilizer anggaran tercermin dari perubahan cyclically neutral budget.Pada periode 1995 – 1997, perhitungan actual budget pada tiap-tiap tahun menunjukkanbahwa pemerintah menjalankan kebijakan anggaran yang relatif netral (Grafik 2). Namun,perhitungan cyclically neutral budget menunjukkan bahwa sesuai perkembangan ekonomipemerintah seharusnya menjalankan kebijakan anggaran yang bersifat ekspansif pada

20 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

12 Metode konvensional untuk mengukur dampak awal operasi keuangan pemerintah terhadap sektor riil hanya didasarkanatas hubungan langsung antara pengeluaran konsumsi dan investasi pemerintah (atau PDB sektor pemerintah) terhadapPDB. Konsumsi pemerintah mencakup Belanja Pegawai Dalam Negeri, Belanja Barang Dalam Negeri, Sekitar 80% dariDana Alokasi Umum (proksi), Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang, dan Pengeluaran Rutin Lainnya. Investasipemerintah mencakup Pembiayaan Rupiah, Pembiayaan Proyek, Sekitar 20% dari Dana Alokasi Umum (proksi), Dana

tiap-tiap tahun tersebut. Dengan kata lain, diskresi anggaran yang ditetapkan pemerintahkurang longgar dibandingkan automatic stabilizernya. Pada kondisi demikian, dikatakanbahwa pemerintah menempuh stance kebijakan fiskal yang lebih kontraktif dibandingkantahun sebelumnya.

6. Situasi yang hampir serupa juga terjadi pada tahun 1999, 2001, dan 2002. Pada tahun-tahun tersebut pemerintah menempuh kebijakan fiskal yang bersifat netral dan kontraktifpada saat automatic stabilizer anggaran menunjukkan angka ekspansif. Situasi yang unikterjadi pada tahun 1998. Pada tahun tersebut, pemerintah justru melakukan menempuhkebijakan fiskal yang bersifat ekspansif pada saat automatic stabilizer anggaranmemungkinkan pemerintah untuk menempuh kebijakan anggaran yang bersifatkontraktif. Pada kondisi ini, dikatakan bahwa pemerintah menempuh stance kebijakanfiskal yang lebih ekspansif dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2003,pemerintah menempuh kebijakan fiskal bersifat netral yang ditunjukkan oleh angkaactual budget yang hampir sama dengan cyclically neutral budget. Sementara itu, padatahun 2004 pemerintah merencanakan untuk menempuh kebijakan yang kontraktif padasaat automatic stabilizer anggaran sebenarnya memungkinkan pemerintah untukmenempuh stance kebijakan yang netral.

Penutup

Pengukuran fiscal impulse ini harus dibedakan dengan pengukuran dampak

rupiah operasi keuangan pemerintah. Pengukuran fiskal impulse lebih ditujukan untukmengukur dampak bersih kontraksi dan injeksi fiskal terhadap PDB, sedangkan pengukurandampak rupiah lebih ditujukan untuk mengukur dampak bersih seluruh kontraksipenerimaan (termasuk pembiayaan) rupiah dan ekspansi belanja rupiah pemerintahterhadap jumlah uang beredar. Dengan batasan tersebut, maka beberapa transaksi rupiahpemerintah yang diperhitungkan sebagai dampak rupiah APBN terhadap jumlah uangberedar seperti penerbitan utang dalam negeri dan amortisasi utang dalam negeri tidaktermasuk dalam perhitungan fiscal impulse.

Pengukuran fiscal impulse dapat memperkaya metode konvensional yang biasadigunakan selama ini untuk mengukur dampak awal keuangan pemerintah terhadap sektorriil.12 Pengayaan tersebut adalah dalam bentuk dimasukkannya unsur pendapatan pajak

21Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal

Bagi Hasil, dan Dana Alokasi Khusus. Sementara itu, Beban Bunga Utang Dalam Negeri dan Subsidi tidak termasukdalam kedua kategori tersebut karena dianggap merupakan transfer payment sektor pemerintah ke sektor swasta yangnantinya akan mempengaruhi pembentukan PDB sektor swasta.

dan penerimaan bukan pajak sebagai besaran fiskal yang bersifat mengkontraksiperekonomian dan dimasukkan unsur perkembangan PDB dalam perhitungan sehinggamampu mengidentifikasi ada tidak unsur diskresi atau upaya pemerintah untukmempengaruhi permintaan agregat.

Pengukuran fiscal impulse pada dasarnya berguna untuk mengukur magnitude awaldari stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah, namun tidak dimaksudkan untukmenghitung keseluruhan dampak (full impact) dari kebijakan fiskal terhadap permintaanagregat. Pengukuran keseluruhan dampak tersebut membutuhkan alat analisis lain yangmampu menghubungkan dampak kebijakan fiskal terhadap berbagai blok ekonomi lainnyadan terintegrasi dalam suatu bentuk macroeconometric model atau analisis input-output.

22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

R e f e r e n s i

1. Macroeconomic Review, Monetary Authority of Singapore, January 2002.

2. N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, Fourth Edition, 2000.

3. Peter Heller and others, A Review of the Fiscal Impulse Measure, IMF OccasionalPaper No. 44, May 1986.

4. Renee Philip and John Janssen, Indicators of Fiscal Impulse for New Zealand,New Zealand Treasury Working Paper 02/30, December 2002.

5. Tom Clark and Andrew Dilnot, Measuring the UK Fiscal Stance since the Second WorldWar, The Institute for Fiscal Studies, Briefing Note No. 26.

6. Decymus, Wahyu A. Nugroho, Bambang Kusmiarso dan T.M. Arief Macmud,Kesinambungan Fiskal Indonesia Jangka Menengah, Bank Indonesia, 2001.

23Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

PENGUJIAN VALIDITAS DATA STOK KAPITALDAN PERKEMBANGAN STOK KAPITAL INDONESIA

Gunawan Wicaksono dan Eko Ariantoro1 )

• Data stok kapital hasil perhitungan metode Perpetual Inventory Method (PIM) dalamkurun waktu periode 1980-2002 cukup valid untuk digunakan dalam analisis ekonomimakro, seperti estimasi output potensial dan analisis kontribusi terhadap pertumbuhanekonomi. Data stok kapital sektoral memiliki korelasi yang cukup signifikan denganvariabel ekonomi makro lainnya. Data stok kapital tersebut dapat disajikan dalam bentukmatrik balk menurut jenis barang modal maupun sektor ekonominya.

• Dengan menggunakan data matriks stok kapital menurut jenis barang modal dan sektorekonomi selama periode 1980-2002, stok kapital Indonesia ternyata didominasi oleh jenisbarang modal bangunan, terutama yang berada pada sektor keuangan, persewaan danjasa perusahaan, serta sektor pemerintahan umum.

• Pertumbuhan stok kapital pada periode 1990-2000 relatif lebih tinggi dibandingkandengan periode 1980-1990, kecuali pada saat krisis ekonomi tahun 1997-1998 dimanastok kapital mengalami pertubuhn negatif.

1 Penulis merupakan para peneliti ekonomi di Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter. Penulis menyampaikan ucapanterimakasih kepada segenap pihak termasuk pimpinan Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter khususnya Bagian StatistikSektor Riil dan Keuangan Pemerintah yang telah membantu editing penulisan hasil penelitian ini termasuk Sdr. CicikYuniarsih dan A. Reina Sari yang membantu updating data stok kapital.

24 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

I. PENDAHULUAN

Penerapan kerangka kebijakan inflation targeting (IT) di Bank Indonesia memerlukanantara lain penyiapan model ekonomi berikut data pendukung yang baik untuk menghitungproyeksi inflasi. Model ekonomi yang saat ini sedang dikembangkan adalah model yangmemanfaatkan variabel antara berupa output-gap, yaitu kesenjangan antara aktual dan ouputpotensial. Output aktual biasa di-proxi dengan data produk domestik bruto (PDB),sementara output potensial dihitung melalui teknik estimasi tertentu. Salah satu metodeyang digunakan untuk mengestimasi output potensial adalah pendekatan struktural denganmodel fungsi produksi Cobb-Douglass. Perhitungan pendekatan struktural tersebutmensyaratkan tersedianya data stok kapital yang akurat.

Upaya penyusunan data stok kapital telah diawali pada tahun 2000 dengan suatukajian mengenai metode yang tepat untuk menghitung stok kapital saat ini. Pada tahun2001, penelitian dilanjutkan dengan penghitungan stok kapital dengan pendekatan per-

petual inventory method (PIM) yang menggunakan data PMTB sebagai data dasarnya. Datastok kapital tersebut disajikan dalam angka total, baik menurut konsep neto (net capital

stock/NCS) maupun bruto (gross capital stock/GCS), yang disusun secara time-series untukperiode 1980-2000.

Data stok kapital yang dihasilkan saat ini merupakan hasil penyempurnaanmetodologi perhitungan yang meliputi perbaikan metode gross-up, event analysis secaradeskriptif, time-series analysis, serta pemanfaatan data stok kapital dalam perhitungan out-put potensial dan kontribusi pertumbuhan ekonomi. Pengujian validitas data stok kapitalitu meliputi data PMTB sebagai data dasarnya dan data stok kapital itu sendiri.

II. PERHITUNGAN STOK KAPITAL DENGAN METODE PIM: BRIEF REVIEW

Pemilihan metode PIM dalam penghitungan stok kapital lebih didasarkan padapertimbangan applicability metode tersebut2 ). Metode PIM memiliki keunggulandibandingkan dengan metode langsung (Direct Observation of Capital) terutama dalam halefisiensi biaya dan sumber daya yang diperlukan.

Dalam perhitungan dengan metode PIM diperlukan 2 hal pokok, yaitu (1) ketersediaandata PMTB yang reliable dengan kategori yang rinci dan cakupan data yang luas serta (2)penetapan asumsi yang digunakan. Akumulasi data PMTB selama suatu kurun waktutertentu dengan mempertimbangkan periode umur aset dan karakteristik nilai usai pakainya(retirement) serta penyusutannya (depreciation) menghasilkan angka stok kapital. Formula

2) Penghitungan Data Stok Kapital dengan Metode Perpetual Inventory – Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Vol.5No.2, September 2002

25Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

umum penghitungan stok kapital sebagai berikut:

GCS = Σ PMTB - Σ RET

NCS = Σ PMTB - Σ DEP

= (GCS + Σ RET) - Σ DEP

Data PMTB diperoleh dari data sekunder3), sementara nilai usai pakai dan penyusutandiperoleh dengan menggunakan asumsi-asumsi yaitu: (1) asumsi umur aset (asset life), (2)asumsi pola distribusi umur aset (discard pattern/survival function), dan (3) asumsi metodedepresiasi (depreciation method). Umur suatu aset menggambarkan sampai berapa lama suatuasset secara rata-rata dapat bertahan dan ditentukan berdasarkan best practices di beberapanegara yang melakukan penghitungan stok kapital dengan metode PIM (antara lain Aus-tralia, Canada, dan Belanda), yaitu sebagai berikut:

3) Data PMTB merupakan hasil kerjasama BI dan BPS pada tahun 2001

No. Jenis Barang Modal Umur (tahun)

1. Bangunan 202. Mesin I 163. Mesin II 184. Transportasi 105. Ternak 36. Perlengkapan – Listrik 107. Perlengkapan – Logam 58. Perlengkapan – Kain & Kulit 59. Lainnya 16

Dalam penelitian terdahulu, penghitungan stok kapital dengan metode PIMdiaplikasikan terhadap 5 jenis pola distribusi, yaitu (1) Standard, (2) Linear, (3) Delayed Lin-

ear, (4) Logistic dan (5) Weibull. Salah satu kesimpulan pada penelitian terdahulu adalahbahwa penggunaan berbagai macam asumsi pola distribusi yang berbeda (kecuali polaStandard) tidak terlalu berpengaruh pada hasil perhitungan stok kapital. Metode depresiasiyang digunakan adalah straight line depreciation method. Metode depresiasi ini dipilih karenasecara empiris lebih valid dibadingkan metode depresiasi lainnya dan perhitungannya yangrelatif sederhana.

26 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Rentang umur asset Sisa populasi (survival)

s.d. 25 % 93,1 %

s.d. 50 % 61,9 %

s.d. 75 % 23,3 %

s.d. 90 % 9,0 %

s.d. 95 % 6,1 %

Untuk keperluan penelitian uji validitas, data stok kapital yang digunakan adalahhasil perhitungan PIM dengan menggunakan pola distribusi Weibull. Secara hipotesis (hy-

pothetical presumption), data stok kapital dengan pendekatan pola Weibull tersebut dianggaplebih merepresentasikan perkembangan (trend) stok kapital Indonesia. Pola distribusiWeibull secara umum diformulasikan sebagai berikut:

F x e x( ) ( )= − −1 λ α

dimana F(x) = fungsi cumulative density function (CDF) pola Weibull

α = parameter pola distribusi

λ = parameter keragaman

Dengan menggunakan persamaan regresi ln ln ( ) ln( ) ln( )− −[ ]( ) = +1 F x xα λ α diperoleh

nilai parameter dari fungsi CDF pola Weibull, yaitu : α = 2.7438 dan λ = 0.0153 (β = 65.3704).Adapun pola distribusi umur aset yang diestimasi dengan pendekatan pola Weibull tersebutadalah sebagai berikut:

Dari tabel pola distribusi tersebut, disusun retirement matrix (Mret) dan depreciation

matrix (Mdep). Perkalian matriks PMTB (Mpmtb) dengan kedua matriks tersebutmenghasilkan nilai aset yang retired (RET) dan nilai depresiasinya (DEP).

RET = Mpmtb x Mret

DEP = Mpmtb x Mdep

Stok kapital dalam konsep bruto (GCS) dan neto (NCS) dapat dihitung denganformula:

27Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

GCSt = GCSt-1 + PMTBt-1 – RET

NCSt = NCSt-1 + PMTBt-1 – DEP

Nilai GCS dan NCS dihitung untuk periode 1960-2002 pada setiap jenis barang modalyang ada pada seluruh sektor ekonomi. Dari hasil perhitungan tersebut, disusun data stokkapital dalam bentuk data-series periode 1960-2002 dan dalam bentuk matriks menurutjenis barang modal dan sektor ekonomi.

III. TAHAPAN DALAM PROSES UJI VALIDITAS

Prosedur uji validtas mencakup tahapan-tahapan sebagai berikut:

- Updating data PMTB sampai dengan 2002.

Data PMTB merupakan data dasar dalam penyusunan data stok kapital dengan PIM,sehingga updating data PMTB secara otomatis akan mengupdate data stok kapital selama3 tahun sesuai dengan updating data PDB.

- Gross-up dengan metode yang telah disempurnakan.

Hasil data update stok kapital periode 1980-2002 digross-up dengan teknik estimasiyang lebih baik, yaitu dari semula menggunakan metode trend-linear diganti denganmetode estimasi. Kelemahan yang ada pada metode trend-linier karena mengabaikankoefisien perubahan percepatan investasi tidak terdapat pada metode estimasi. Denganmengandalkan pada ketersediaan data PMTB, maka data hasil estimasi pada periode1960-1979, maka proses perhitungan stok kapital dilakukan secara langsung sejak tahun1960 sampai dengan 2002. Proses estimasi dimaksud meliputi:

- estimasi data agregat PMTB 1960-1980 menjadi klasifikasi yang lebih rinci menurutjenis barang modal.

- Data PMTB hasil estimasi ditambahkan sebagai series pada data PMTB periode 1980– 2002 sehingga periode perhitungan stok kapital secara langsung dimulai dari 1960menurut jenis barang modal dan menurut sektor.

- Pengujian data secara deskriptif (event analysis)

Dalam pengujian deskriptif dilakukan analisis kontribusi dan distribusi terhadap datastok kapital atas dasar harga konstan dan analisis trend data stok kapital. Tujuan analisiskontribusi dan distribusi adalah untuk mengamati peranan masing-masing jenis barangmodal terhadap total stok kapital dan distribusi penggunaannya pada setiap sektorekonomi.

28 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

- Pengujian data dengan menggunakan analisis regresi

Pengujian data stok kapital dilakukan terhadap akurasi data PMTB yang digunakankarena data tersebut merupakan data dasar dalam perhitungan stok kapital. Pengujiandilakukan dengan cara mengamati hubungan antara data PMTB dengan variabelekonomi lainnya, misalnya data PDB dan investasi finansial.

- Penerapan data stok kapital dalam beberapa model ekonomi sederhana

Langkah ini dimaksudkan untuk mengetahui performa data stok kapital sebagai salahsatu variabel dalam beberapa model ekonomi sederhana, misalnya model fungsi produksiuntuk mengestimasi output potensial dan analisis kontribusi pertumbuhan stok kapitalterhadap pertumbuhan ekonomi.

- Perbandingan dengan beberapa hasil penelitian lainnya

Pada bagian akhir, dilakukan pula analisis komparasi antara data stok kapital hasilperhitungan penelitian ini dengan beberapa hasil penelitian serupa lainnya, sepertiyang dilakukan Timmer dan BPS. Meskipun tidak seluruhnya dapat dibandingkan(incomparable), namun hasil analisis ini cukup memberikan gambaran bahwa hasilperhitungan ini cukup searah dengan hasil penelitian lain, terutama pada sektor industripengolahan.

IV. PEMBAHASAN HASIL UJI VALIDITAS

Pembahasan uji validitas difokuskan pada data stok kapital neto (NCS) karena datatersebut lebih banyak digunakan dalam analisis ekonomi. Sementara itu, data stok kapitalbruto (GCS) disajikan pada tabel-tabel lampiran untuk keperluan analisis lainnya.

4.1. Updating Data Stok Kapital Periode 1960-2002

Perhitungan PIM sebagaimana tersebut di atas menghasilkan data stok kapital hargakonstan menurut jenis barang modal (Lampiran 1: tabel I) dan sektor ekonomi (Lampiran1: tabel II).

4.2. Hasil Analisis Deskriptif

4.2.1. Perkembangan Data Investasi Fisik

Berdasarkan harga konstan 1993, terjadi penurunan angka investasi fisik (PMTB) tahun2002 yaitu sebesar Rp96.058 miliar dibandingkan PMTB tahun 2001 sebesar Rp96.244 miliar.Angka PMTB tahun 2002 ini masih belum kembali kepada level PMTB tertinggi yang

29Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

Grafik 1.Perkembangan PMTB 10 tahun Terakhir

terjadi pada tahun 1997 sebesar Rp128.699 miliar. Selengkapnya perkembangan PMTBselama 10 tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 1 di bawah ini.

Sementara itu, struktur data PMTB selama 10 tahun terakhir dikuasai oleh sektorkeuangan persewaan dan jasa-jasa (20%) disusul oleh sektor pemerintahan umum (17%)dan sektor industri pengolahan (15%). Selengkapnya kontribusi 10 tahun terakhir sampaidengan tahun 2002 dapat dilihat pada gambar berikut:

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

150.000

140.000

130.000

120.000

110.000

100.000

90.000

80.000

70.000

60.000

Rp. Miliar

Sumber: BPS diolah

Grafik 2.Kontribusi PMTB 10 tahun Terakhir

5%

17%

7%3%

15%

9%

1%

10%

13%

20%

Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan

Pertambangan & Penggalian

Perdagangan, hotel & restouran

Pengangkutan & Komunikasi

Industri Pengolahan Keuangan, Persewaaan & jasa perusahaan

Listrik, gas dan air bersih Pemerintahan Umum

Bangunan Jasa - jasa

Sumber: BPS diolah

30 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Berdasarkan harga konstan 1993, terjadi penurunan angka investasi fisik (PMTB)Secara komposisi, dibandingkan periode 10 tahun sebelumnya 1983-1992 telah terjadiperubahan dalam komposisi PMTB. Pada periode 1983-2002, sektor pemerintahan umummemegang porsi terbesar (28%) disusul oleh sektor keuangan persewaan dan jasa-jasa (26%)dan sektor industri pengolahan (16%).

4.2.2. Perkembangan Data Stok Kapital

Secara rata-rata pertumbuhan stok kapital periode 1980-2002 cenderung lebih tinggidibandingkan rata-rata pertumbuhan stok kapital 1960-1980. Pada tahun 2002, data stokkapital neto (Net Capital Stock – NCS) mengalami peningkatan 0,45% dari semula Rp625.405miliar pada tahun 2001 menjadi Rp628.202 pada tahun 2002. Level stok kapital tahun 2002ini masih berada di bawah level tertinggi stok kapital yang pernah terjadi tahun 1998 sebesarRp636.581 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan data stok kapital selama kurunwaktu 1999 – 2002 masih belum dapat mengatasi penyusutan nilai barang modal dari stokkapital selama periode dimaksud. Namun demikian, trend peningkatan kembali data stokkapital telah dimulai kembali sejak tahun 2000. Perkembangan data stok kapital dapat dilihatpada gambar 3 di bawah ini.

Grafik 3.Perkembangan Stok Kapital neto (NCS) dan Bruto (GCS)

1960

1970

1980

1990

2000

2002

00.000

00.000

00.000

00.000

00.000

00.000

0

GCS setelah gros-up metode 2002

GCS sebelum gros-up

GCS Metode 2003

NCS setelah gros-up metode 2002

NCS sebelum gros-up

NCS Metode 2003

Tahun awal perhitunganStok Kapital (1980)sebelum gros-up

GCS hasil yangdisempurnakanmetode terbaru

NCS hasil yangdisempurnakanmetode terbaru

Periode estimasi (1960-1980)untuk menentukan nilai gros-upStok Kapital 1980-2001

31Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

Selain menunjukkan adanya percepatan investasi barang modal dari periode 1960-1980 ke periode 1980-2002, pada gambar 3 juga terlihat adanya fenomena yang wajarmengenai perkembangan stok kapital pada periode paska krisis. Turunnya NCS padaperiode 1999-2000 menunjukkan bahwa investasi barang modal baru relatif tidak ada,sementara angka GCS yang tetap meningkat menggambarkan adanya investasi dalambentuk re-utilisasi barang modal lama. Fenomena tersebut juga dapat diartikan bahwajumlah barang modal yang rusak (baik yang retired maupun depreciated) lebih banyakdibandingkan jumlah investasi barang modal baru. Selanjutnya, peningkatan NCS padatahun 2002 antara lain memperlihatkan adanya indikasi mulai bergeraknya (recovery)kegiatan ekonomi nasional, terutama dari sisi investasi barang modal.

Selama kurun waktu 1960 sampai dengan 2002, secara rata-rata stok kapital terbesarterjadi pada jenis barang modal bangunan (kontribusi 71,1%) disusul jenis barang modalmesin (kontribusi 15,8%). Selengkapnya kontribusi jenis barang modal dan sektor terhadaptotal data stok kapital dapat dilihat pada gambar 4 di bawah ini.

Berdasarkan komposisi menurut jenis barang modal, perkembangan stok kapital Indo-nesia selama kurun waktu +/- 22 tahun terkonsentrasi pada bangunan dengan rata-ratakontribusi sebesar 71%. Investasi properti terlihat semakin meningkat pada periode 1990-2002 dibandingkan periode 1980-1990. Peningkatan investasi properti dikompensasikandengan penurunan investasi mesin, ditunjukkan dengan turunnya kontribusi mesin dari 16,1%(1960-1965) menjadi 15,3% (1996-2002). Pada jenis barang modal alat transportasi terjadipenurunan kontribusi investasi secara terus menerus sejak tahun 1980, terlihat dari turunnyakontribusi alat transportasi pada komposisi stok kapital, yaitu sebesar 10,4% (1980-1985)menjadi hanya 4,4% (1996-2002).

Grafik 4.Komposisi Stok Kapital Neto menurut Jenis Barang Modal

15,8%

Bangunan TransportasiMesin

Lainnya

7,2%

4,8%

71,1%

Ternak

0,02%

Perlengkapan

32 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Dilihat dari distribusi stok kapital menurut sektor ekonomi, investasi barang modalsejak tahun 1980-an tidak terdistribusi secara merata di seluruh sektor ekonomi. Distribusistok kapital terkonsentrasi hanya pada 2 sektor ekonomi, yaitu sektor pemerintahan umumdan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Persentase rata-rata (periode 1980-2002) distribusi barang modal pada kedua sektor tersebut masing-masing sebesar 38,1%dan 19,5%. Distribusi stok kapital pada sektor pemerintahan umum terutama berasal dariinvestasi pada pembangunan infrastruktur, yang terdiri dari bangunan, jalan dan saranapenunjang lainnya. Seiring dengan beralihnya peranan sektor pemerintah ke sektor swasta,distribusi stok kapital pada sektor pemerintahan umum mengalami penurunan yang cukupsignifikan dari 45,8% (1960-1965) menjadi 42,7% (1981-1985) dan turun terus hingga menjadi

Periode Ternak Perleng. Lainnya Transport Mesin Bangunan

Tabel 1Perkembangan Komposisi Stok Kapital Menurut Jenis Barang Modal

1960-1965 0,04% 1,4% 5,0% 8,6% 16,1% 68,8%

1966-1970 0,02% 1,0% 4,9% 7,0% 15,6% 71,5%

1971-1975 0,03% 1,1% 4,8% 7,3% 15,5% 71,2%

1976-1980 0,02% 1,0% 4,8% 7,9% 15,4% 70,9%

1981-1985 0,01% 0,9% 4,0% 10,4% 13,6% 71,1%

1986-1990 0,01% 1,0% 4,5% 7,4% 16,6% 70,4%

1991-1995 0,02% 0,8% 5,1% 5,7% 18,7% 69,7%

1996-2002 0,03% 0,8% 5,2% 4,4% 15,3% 74,2%

Grafik 5.Perkembangan Stok Kapital Neto menurut Sektor

Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan

Pertambangan & Penggalian

Perdagangan, hotel & restoran

Pengangkutan & Komunikasi

Industri Pengolahan

Keuangan, Persewaaan & jasa perusahaan

Listrik, gas dan air bersih

Pemerintahan Umum

Bangunan

Jasa - jasa

700.000,00

600.000,00

500.000,00

400.000,00

300.000,00

200.000,00

100.000,00

0,00

19

60

19

65

19

70

19

75

19

80

19

85

19

90

19

95

20

00

20

02

33Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

20,2% (1996-2002). Sementara itu, meningkatnya distribusi stok kapital pada sektorkeuangan, persewaan dan jasa perusahaan terjadi pada periode 1986-1990 dan 1991-1995merupakan dampak dari kebijakan deregulasi perbankan sehingga investasi pada sektortersebut berkembang secara ekspansif. Namun krisis perbankan sejak tahun 1997 telahmengakibatkan kontraksi pada sektor ini sehingga distribusinya turun cukup tajam dar27,8% (1991-1995) menjadi 22,5% (1996-2002).

Peningkatan peranan investasi barang modal yang cukup signifikan juga terjadi padasektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor listrik, gas dan air. Hal ini tercermindari meningkatnya distribusi stok kapital pada kedua sektor tersebut. Peningkatan distribusistok kapital pada sektor pengangkutan dan komunikasi terutama terjadi pada periode 1996-2002 yaitu sebesar 10,7% dibandingkan periode-periode sebelumnya yang distribusinyatidak lebih dari 5%. Sementara itu, distribusi stok kapital pada sektor listrik, gas dan airmeningkat dari hanya 1,8% (1960-1965) menjadi 8,2% (1996-2002).

Dilihat dari pertumbuhannya, stok kapital Indonesia selama periode 1980-2002 rata-rata mengalami pertumbuhan sebesar 7,4% per tahun. Gambar 6 menunjukkan bahwapertumbuhan stok kapital mengalami percepatan pada tahun 1990-an, terutama pada sektorpengangkutan dan komunikasi, sektor listrik, gas dan air, sektor pertambangan danpenggalian, serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Krisis ekonomi sejaktahun 1997 berdampak pada turunnya investasi fisik di Indonesia, antara lain tercermin darimerosotnya angka pertumbuhan total stok kapital menjadi hanya 1,5% pada tahun 1998,bahkan mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 1999 (-2,1%). Selama krisis, sektor yangpaling terkena dampak negatif berupa berkurangnya investasi fisik adalah sektor bangunandan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang masing-masing mengalami

Tabel 2Perkembangan Distribusi Stok Kapital Menurut Sektor Ekonomi

1960-1965 45,8% 15,4% 14,2% 6,2% 8,1% 2,8% 1,7% 1,8% 1,5% 2,6%

1966-1970 47,1% 15,3% 13,8% 5,8% 8,0% 2,5% 1,6% 1,7% 1,5% 2,6%

1971-1975 47,0% 15,3% 13,8% 5,9% 8,0% 2,6% 1,6% 1,7% 1,5% 2,6%

1976-1980 46,8% 15,4% 13,7% 6,0% 8,0% 2,7% 1,6% 1,7% 1,5% 2,5%

1981-1985 42,7% 19,0% 12,3% 6,9% 7,3% 3,5% 3,2% 1,5% 1,5% 2,1%

1986-1990 32,8% 25,1% 13,8% 7,7% 6,5% 4,2% 4,8% 1,8% 1,4% 1,8%

1991-1995 27,7% 27,8% 14,0% 7,6% 5,3% 4,0% 5,6% 3,7% 2,0% 2,3%

1996-2002 20,2% 22,5% 13,3% 10,0% 4,6% 10,7% 6,5% 8,2% 1,3% 2,7%

PeriodePemerin-

tahan

Umum

Keuangan

Persewaan

& Jasa

perusahaan

Industri

Pengolahan

Perdagangan,

Hotel &

restoran

Pertanian,

peternakan,

kehutanan

& perikanan

Pengangkut-

an &

komunikasi

Jasa-

Jasa

Listrik, Gas

&

air bersih

BangunanPertam-

bangan &

penggalian

34 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

pertumbuhan negatif pada tahun 1998 sebesar –9,3% dan -3,7%. Stok kapital baru kembalimengalami pertumbuhan positif pada tahun 2001 dan 2002, masing-masing 0,69% dan 0,45%.

Grafik 6.Pertumbuhan Stok Kapital Neto menurut Sektor Terpilih

80.00

60.00

40.00

20.00

0.00

-20.001980 1985 1990 1995 2000 2002

Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan

Pertambangan & Penggalian

Perdagangan, hotel & restoran

Pengangkutan & Komunikasi

Industri Pengolahan

Keuangan, Persewaaan & jasa perusahaanPemerintahan Umum

T o t a l

Persen

4.2.3 Perkembangan Produktivitas Sektoral

Yang dimaksud dengan produktivitas sektoral di sini adalah kemampuan suatusektor dalam mengelola investasi yang diperoleh untuk menghasilkan output.Perhitungannya dapat menggunakan angka ICOR (Incremental Capital Output Ratio) danangka COR (Capital Output Ratio). Angka ICOR merupakan angka investasi tahunsebelumnya dibagi dengan pertambahan PDB pada tahun itu, sementara COR menggunakanperbandingan data stok kapital dengan data PDB pada tahun itu.

Namun, pada kesempatan ini kita hanya akan melihat data COR yang merupakanperbandingan antara data stok kapital dengan data output yang dihasilkan. Pada periodewaktu 1980-1985, sebagaimana yang diperkirakan, sektor pertambangan merupakan sektoryang paling kecil angka COR-nya yaitu sebesar 0,17 pada periode 1996 – 2002. Hal iniberarti bahwa stok kapital pada sektor pertambangan mampu menghasilkan outputhampir enam kali (600%) dari stok kapitalnya. Sementara itu, sektor pemerintahan umummemiliki angka COR terbesar yaitu 5,97 yang berarti bahwa sektor pemerintahan umumhanya dapat menghasilkan output sebesar kurang lebih seperenam (17%) dari stokkapitalnya. Lebih jauh lagi, hal ini menjelaskan bahwa dalam periode 1980-1985 sektorpertambangan merupakan sektor yang diandalkan dalam menghasilkan output bagiperekonomian Indonesia.

35Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

Dalam perkembangannya, pada periode 1996-2002, sektor pertambangan bukanlagi merupakan sektor yang memiliki COR terkecil. COR sektor pertambangan pada periodetersebut adalah 0,43 atau berada di atas COR sektor bangunan yang merupakan sektordengan COR terkecil yaitu 0,31. Hal itu berarti bahwa pada periode tersebut, sektorpertambangan hanya mampu menghasilkan output 232% dari stok kapitalnya sedangkansektor bangunan mampu menhasilkan output 323% dari stok kapitalnya. Sektorpemerintahan umum pada periode itu memiliki COR 5,47 yang berarti kemampuanmenghasilkan output dalam periode 1996-2002 meningkat sedikit dibandingkan periode1980-1985 yaitu 18% dari stok kapitalnya. Selengkapnya perkembangan COR sektoral sejaktahun 1980 dapat dilihat pada gambar 7 di bawah ini.

Grafik 7.Pertumbuhan Stok Kapital Neto

menurut Sektor Terpilih

Pertanian

Pertambangan & Penggalian

Industri Pengolahan

Listrik, gas dan air bersih

Bangunan

Total Capital Stock (NCS) Perdagangan, hotel & restouran

Pengangkutan & Komunikasi

Keuangan, Persewaaan* jasa perusahaan

Pemerintahan Umum

Jasa - jasa Swasta

9

8

7

6

5

4

3

2

1

01980 - 1985 1985 - 1990 1991 - 1995 1996 - 2000

4.3. Hasil Pengujian Statistik

Pengujian statistik dilakukan dengan metode regresi linear terhadap data PMTB dandata stok kapital. Pengujian terhadap data PMTB dilakukan mengingat data tersebutmerupakan data dasar dalam perhitungan stok kapital dengan metode PIM, sehingga validtidaknya data stok kapital juga tergantung pada akurasi data PMTB, selain pada metodeperhitungan yang digunakan. Sementara itu, pengujian terhadap data stok kapital dilakukandengan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglass. Tujuan pengujian adalah untukmengetahui apakah data stok kapital hasil perhitungan PIM dapat digunakan sebagai salahsatu variabel prediksi dalam perhitungan output potensial.

36 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Setelah dilakukan serangkaian uji statistik (termasuk uji normalitas, heteroskedastisitasdan autokorelasi) antara data PDB dengan data PMTB disimpulkan bahwa secara total keduavariabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan. Koefisien korelasi antara PDB danPMTB tercatat sebesar 0,940, sementara variabilitas data PDB dapat dijelaskan oleh dataPMTB sebesar 87,7 % dan variabel lainnya sebesar 12,3 %. Secara sektoral, hampir seluruhdata PMTB menurut sektor memiliki hubungan yang signifikan dengan data PDB menurutsektor. Hasil lengkap uji statistik PMTB dapat dilihat pada tabel 2.

Dependent Variable : PMTB

Tabel 4Hasil Uji Regresi PMTB dengan Investasi Financial

Variable Coefficient Std. Error r-Statistic Prob

C 84030.2 23363.98000 3.59657 0.00290INVFINC 0.05368 0.03001 1.78899 0.09530AR(1) 0.80247 0.14530 5.52274 0.00010

R-squared 0.822237 Mean dependent var 81802.75Adjusted R-squared 0.796843 S.D. dependent var 29501.56SE. of regression 13297.23 Akaike info criterion 21.98728Sum squared resid 2.48E+09 Schwarz criterion 22.13432Log likelihood -183.8919 F-statistic 32.37833Durbin-Watson stat 1.60775 Prob (F-statistic) 0.000006

Dependent Variable Independent Variable R R2 Ajd. R2 b t

Tabel 3Regresi data PDB sektoral atas data PMTB sektoral

PDBtot PMTBtot 0.940 0.883 0.877 2.907 12.300

PDBtani PMTBtani 0.887 0.786 0.776 6.991 8.576

PDBindustri PMTBindustri 0.905 0.819 0.810 5.726 9.526

PDBgast PMTBgast 0.968 0.937 0.934 0.502 17.236

PDBbangt PMTBbangt 0.712 0.506 0.482 0.536 4.529

PDBperdagt PMTBperdagt 0.933 0.871 0.864 0.432 4.235

PDBtranst PMTBtranst 0.935 0.874 0.868 0.118 11.798

PDBuangt PMTBuangt 0.750 0.562 0.540 1.136 5.067

PDBjasat PMTBjasat 0.757 0.573 0.552 0.348 5.179

Pengujian statistik juga dilakukan antara data PMTB dengan data investasi finansial(FIN). Dari hasil uji regresi liniear, diketahui bahwa kedua variabel memiliki hubunganberbanding lurus yang cukup signifikan. Variabilitas data PMTB dapat dijelaskan oleh

37Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

perkembangan data investasi finansial (INVFINC) atau setiap penambahan investasifinansial akan meningkatkan investasi fisik (PMTB) pada tahun yang bersangkutan. Hasiluji regresi dapat dilihat pada tabel 4 diatas.

Selanjutnya, validitas data stok kapital diuji melalui penerapannya dalam beberapamodel ekonomi. Dalam pengujian ini data stok kapital dan data tenaga kerja (yang diperolehdari BPS) digunakan sebagai variabel penduga (estimator) untuk mengestimasi outputpotensial dan menghitung kontribusi pertumbuhan faktor input terhadap pertumbuhanekonomi. Model ekonomi yang digunakan dalam pengujian ini adalah model fungsiproduksi Cobb-Douglass Douglas, dengan persamaan sebagai berikut:

Y = T Kα Lβ

dimana,Y = Total output (PDB)K = Stok kapital (NCS)L = Tenaga kerja (LPROD)T = Teknologi

α, β = Elastisitas NCS dan LPROD terhadap PDB

Dalam pengujian ini digunakan persamaan regresi linear, sehingga persamaan Cobb-Douglass diatas ditransformasikan dalam bentuk fungsi log-linear menjadi:

LnY = lnT + αLnK + βLnL

Dari uji regresi, dihasilkan parameter-parameter estimator α = 0,256; β = 0,901; dankonstanta LnT = 1,902, atau dalam bentuk persamaan: Y = 1,902 K0,256 L0,902. (Lihat hasil ujiregresi pada tabel 5). Selanjutnya, parameter-parameter estimator tersebut dapat digunakan

Dependent Variable : PDBTOT

Tabel 5Hasil Uji Regresi Fungsi Produksi Cobb Douglass

Variable Coefficient Std. Error r-Statistic Prob

C 1.90237 0.31787 5.98471 0.00060LNNCSTOT 0.25555 0.02602 9.82151 0.00000LNLPROD 0.90128 0.06394 14.09686 0.00000

R-squared 0.99575 Mean dependent var 12.76231Adjusted R-squared 0.99454 S.D. dependent var 0.16160SE. of regression 0.01194 Akaike info criterion -5.77445Sum squared resid 0.00100 Schwarz criterion -5.68367Log likelihood 31.87224 F-statistic 820.698.40Durbin-Watson stat 2.054646 Prob (F-statistic) 0.00000

38 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

untuk melakukan pendugaan (forecasting) terhadap besaran output potensial pada tahun-tahun tertentu dengan memasukkan data estimasi faktor input K dan L.

Dalam perhitungan kontribusi pertumbuhan faktor input K dan L terhadappertumbuhan ekonomi (PDB), dilakukan dengan menderivasikan persamaan log-lineardiatas terhadap variabel waktu (t) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:

(dY/dt)(1/Y)=(dT/dt)(1/T) + α(dK/dt)(1/K) + β(dL/dt)(1/L)

Dalam bentuk diskret, persamaan tersebut menjadi:

(dy/dt)=(dT/dt)+a(dK/dt)+b(dL/dt)

atau

r(Y) = r(T) + ar(K) + br(L)

dimana,

ry = Pertumbuhan ekonomi tahunan (annual rate of changes) output

αr(K), βr(L) = Kontribusi pertumbuhan K dan L

rT = Kontribusi pertumbuhan teknologi atau total fator produktivity (TFP)

Pengujian dilakukan dengan menggunakan data periode 1990–1999, semata-matakarena keterbatasan data tenaga kerja yang tersedia. Simulasi perhitungan difokuskan padapengamatan terhadap perbedaan kontribusi pertumbuhan faktor input antara periodesebelum krisis (1991-1996) dengan setelah krisis (1997-1999). Hasil simulasi perhitungandapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Periode ry rt ark brl

Tabel 6Kontribusi Pertumbuhan Faktor Input Kapital (K) dan Tenaga Kerja (L)

Sebelum Krisis 0.0754 0.0015 0.0262 0.0477

Sesudah Krisis -0.0443 -0.0966 -0.0005 0.0529

Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa faktor input tenaga kerja memberikan kontribusiyang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan stok kapital,baik pada periode sebelum maupun sesudah krisis. Turunnya rata-rata pertumbuhanekonomi paska krisis (sampai dengan 1999) sebesar -4,43% lebih banyak didorong olehturunnya teknologi (-9,66%) dan stok kapital (-0,05 %).

39Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

4.4. Perbandingan dengan Hasil Penelitian Lain

Sebagaimana diketahui bahwa upaya penelitian mengenai stok kapital Indonesiapernah dilakukan oleh para peneliti lain, yaitu Keuning (1988, 1991) dan , BPS (1995), danTimmer (1999). Cakupan penelitian stok kapital para peniliti tersebut terbatas pada sektorindustri pengolahan, sementara klasifikasi jenis barang modal yang diteliti juga tidakselengkap penelitian ini. Meskipun tidak seluruh hasil penelitian dapat dibandingkan,namun analisis ini dapat memberikan gambaran bahwa hasil penelitian ini cukup searahdengan hasil penelitian lain, terutama pada sektor industri pengolahan.

Perbandingan pada tabel 7 menunjukkan bahwa komposisi NCS pada sektor industripengolahan antara hasil penelitian ini dengan Timmer tidak jauh berbeda, meskipun secaranominal angka level tidak sama. Sementara itu, pada tabel 8 terlihat perbandingan angkaGCS periode 1975-1985, dimana rata-rata pertumbuhan GCS hasil penelitian ini cenderunglebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Steven J. Keuning. Secara umum, diketahui bahwastok kapital hasil penelitian ini relatif lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Timmerdan Keuning. Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan metode perhitungan dan tahundasar yang digunakan, disamping karena gross-up yang dilakukan.

Sektor Industri Pengolahan

Tabel 7Perbandingan Komposisi Industri Pengolahan dengan Hasil Penelitian Timmer

Stok Kapital (NCS) Sektor Industri Pengolahan, Tahun 1995

Kode

1993, Rp Milyar Persen 1983, Rp Milyar Persen

Hasil Penelitian ini(BI/SRKP-DSM)

Hasil PenelitianMarcel P. Timmer *)

Industri makanan, minuman & tembakau S-31 7.448 12,01 5.998 14,60Industri tekstil dan kulit S-32 15.471 25,11 9.629 23,44Industri dari kayu, bambu dsb S-33 4.905 8,39 4.281 10,42Industri kertas dan percetakan S-34 6.636 11,68 4.148 10,10Industri kimia s-35 11.306 18,87 6.141 14,95Industri mineral non logam S-36 5.483 8,86 3.100 7,55Industri logam dasar S-37 1.905 3,07 1.277 3,11Industri barang dari logam S-38 7.005 11,35 6.025 14,67Industri lainnya S-39 384 0,65 472 1,15Total NCS S-30 60.544 100 41.071 100

*) Indonesia’s Ascent on the Technology Ladder : Capital Stock and Total Factor Productivity in Indonesian Manufacturing, 1975-1995(Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.35, April 1999, Marcel P. Timmer, Eindhoven University of Technology)

40 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

V. PENUTUP

Penggunaan metode PIM dalam penghitungan data stok kapital cukup valid, baikdari sisi sumber data, metode perhitungan dan data yang dihasilkan. Data stok kapitaltersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan analisis ekonomi, termasuk dalam rangkapenyusunan model-model ekonomi makro. Secara deskriptif, data stok kapital hasilperhitungan PIM cukup mampu menggambarkan perkembangan stok kapital Indonesia.

Hasil pengujian terhadap data PMTB menunjukkan bahwa data dasar perhitunganstok kapital tersebut cukup akurat dan dapat dipercaya. Dari hasil serangkaian test statistik,diketahui bahwa data PMTB total dan sebagian besar data PMTB sektoral memilikihubungan yang cukup signifikan dengan data PDB. Hubungan yang berbanding lurusantara investasi fisik (PMTB) dengan investasi finansial menggambarkan kondisi yang cukuprealistis, dimana investasi fisik (barang modal) akan meningkat walaupun lebih lambatdaripada pertumbuhan pada investasi finansial (seperti obligasi dan surat-surat berhagalainnya).

Penggunaan data stok kapital hasil perhitungan PIM dalam penghitungan outputpotensial dengan pendekatan model fungsi produksi Cobb-Douglass mampu menghasilkanparameter-parameter yang cukup masuk akal. Dalam analisis kontribusi pertumbuhan, datastok kapital bersama-sama dengan data tenaga kerja juga mampu menggambarkan besarankontribusi pertumbuhan yang wajar dan cukup realistis.

Dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, data stok kapital hasilpenelitian ini lebih komprehensif terutama dalam hal cakupan data yang dihasilkan. Padapenelitian-penelitian sebelumnya, perhitungan stok kapital hanya mencakup 4 jenis barang

Tahun

Tabel 8Perbandingan dengan Hasil Penelitian Steven J. KeuningStok Kapital (NCS) Sektor Industri Pengolahan, 1975-1985

Eqivalen 1993, Rp Milyar *)

Hasil Penelitian ini(BI/SRKP-DSM)

Hasil PenelitianSteven J. Keuning

1975 9.811,41 17,6 66.996 20.353 -1976 11.227,48 14,4 73.082 22.210 9,11977 12.867,86 14,6 79.360 24.109 8,61978 14.758,97 14,7 85.451 25.959 7,71979 16.541,87 12,1 94.343 28.660 10,41980 17.980,66 8,7 102.484 31.133 8,61981 19.646,11 9,3 111.983 34.019 9,31982 21.210,47 8,0 122.756 37.292 9,61983 22.579,76 6,5 135.274 41.095 10,21984 23.781,05 5,3 148.223 45.028 9,61985 25.295,36 6,4 159.706 48.517 7,7

1993, Rp Milyar Pertumbuhan % 1993, Rp Milyar Pertumbuhan %

*) angka equivalen 1993 dengan menggunakan pendekatan deflator PDB

41Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

modal dan 1 sektor ekonomi (sektor industri pengolahan), sementara dalam penelitian inidata stok kapital tidak hanya disajikan dalam bentuk series yang lebih panjang (1980-2002)tetapi juga dalam bentuk data matriks menurut 6 jenis barang modal dan 10 sektor ekonomi.Dengan demikian, perbandingan dengan hasil penelitian sebelumnya hanya dapat dilakukanpada sektor industri pengolahan, dimana kedua penelitian tersebut menyajikan angkapersentase distribusi sektoral yang relatif sama, meskipun angka nominalnya berbeda.

Meskipun data stok kapital hasil perhitungan PIM terbukti cukup akurat dan dapatdigunakan untuk keperluan analisis ekonomi, namun terdapat keterbatasan yang tidakdapat dihindarkan, terutama pada penetapan asumsi-asumsi yang digunakan. Oleh karenaitu, penelitian yang lebih komprehensif diperlukan guna memperbaiki asumsi-asumsi dalamperhitungan PIM. Penyempurnaan asumsi dapat dilakukan melalui studi literatur yanglebih dan survei-survei khusus. Terhadap data matriks stok kapital yang dihasilkan masihperlu dilakukan penelitian terhadap keakuratan data stok kapital secara lebih rinci, yaitumenurut jenis barang modal, sektor ekonomi, institusi dan wilayah asal barang, sehinggadata stok kapital yang tersedia dapat dimanfaatkan secara lebih optimal dalam kajian-kajianekonomi. Dalam jangka panjang, apabila kajian perhitungan stok kapital dengan metodelangsung (Direct Observation of Capital) dimungkinkan maka hasilnya dapat digunakan untukbenchmarking data stok kapital yang ada saat ini.

Upaya penyediaan data stok kapital yang akurat bagi BI sendiri merupakan langkahnyata dalam mengantisipasi rencana pengimplementasian kerangka kebijakan inflation tar-

geting. Penyempurnaan data stok kapital perlu terus dilakukan untuk menghasilkan datastok kapital yang semakin akurat. Ketersediaan data stok kapital yang akurat akanmemberikan kontribusi yang semakin optimal dalam pengembangan model strukturalpenghitungan output potensial, sehingga proyeksi laju inflasi dengan menggunakan variabelantara output-gap dapat dilakukan secara lebih tepat. Pada akhirnya, ketepatan proyeksiinflasi akan memberikan sinyal bagi Bank Indonesia dalam pengambilan kebijakan moneteryang diperlukan.

42 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

DAFTAR PUSTAKA

Ariantoro, Eko (2001), Penetapan Asumsi dalam Perhitungan Stok Kapital, Bagian Statistik SektorRiil dan Keuangan Pemerintah, Bank Indonesia.

Australia Bureau of Statistics (1997), Australia’s Methodology for Compiling Estimates of Capi-

tal Stock and Consumption of Fixed Capital, Background Paper of Capital Stock Conferencein Canberra.

Badan Pusat Statistik (1997), Estimation of Capital Stock and Investment Matrix In Indonesia,Background Paper of Capital Stock Conference in Canberra.

(1995), Study of Estimation of Capital Stock in Indonesia 1979-1994, Jakarta.

, Tabel Input Output, berbagai seri, Jakarta

Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah (2000), Kajian Kemungkinan

Pengumpulan Data Stok Kapital Sektor Industri Pengolahan, Direktorat Statistik Ekonomidan Moneter, Bank Indonesia.

Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah (2001), Draft Stok Kapital, HasilKerjasama Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia dengan BadanPusat Statistik.

Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah (2001), Proses Pengumpulan Matriks

Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), Hasil Kerjasama Direktorat Statistik Ekonomidan Moneter, Bank Indonesia dengan Badan Pusat Statistik.

Divisi Pengembangan Statistika dan Komputasi (2001), Materi Workshop: Probabilitas dan

Distribusi, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor.

Frenken, Jim (1992), How to Measure Tangible Capital Stock?: The Choice Between Two Methods,CBS Netherlands.

Jones, Charles Irving (1997), Introduction to Economic Growth, Stanford University.

Keuning, Steven J. (1988), An Estimate Of Fixed Capital Stock By Industry and Type Of Capital

Good in Indonesia, Statistical Analysis Capability Programme, Working Paper Series No.4, Jakarta.

Saleh, Kusmadi (1997), The Measurement of Gross Domestic Fixed Capital Formation in Indone-

sia, Paper of Capital Stock Conference in Canberra.

Meinen, Gerhard (1999), Measuring Capital Stock: Explanatory Notes for the Manual on Capital

Stock Statistics, Statistics Netherlands.

43Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

Meinen, Gerhard and Bert Verlinden (1997), Statistics on Tangible Capital Stock: Direct Obser-

vation at Statistics Netherlands, Paper of Conference on Capital Stock (Preliminary Ver-sion) in Canberra.

Meinen, Gerhard, Piet Verbiest and Peter-Paul de Wolf (1998), Perpetual Inventory Method:

Service Lives, Discard Patterns and Depreciation Methods, Department of National Accounts,Statistics Netherlands.

Timmer, Marcel, The Dynamics of Asian Manufacturing: A Comparative Perspective, 1963-1993,Eindhoven Centre for Innovation Studies, Netherlands.

Timmer, Marcel (1999), Indonesia’s Ascent on The Technology Ladder: Capital Stock and Total

Factor Productivity in Indonesian Manufacturing, 1975-95, Bulletin of Indonesian EconomicStudies, Eindhoven University of Technology, Netherlands.

Wicaksono, Gunawan (2001), Perhitungan Stok Kapital: Beberapa Pengamatan terhadap Model

Perhitungan Stok Kapital dengan Perpetual Inventory Method Metode Australia dan Metode

Belanda, Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah, Bank Indonesia.

Wicaksono, Gunawan, Eko Ariantoro dan A. Reina Sari (2002), Penghitungan Data Stok Kapital

dengan Metode Perpetual Inventory (Suatu Upaya Penyediaan Data Stok Kapital untuk

Penghitungan Potensial Output dengan Pendekatan Fungsi Produksi), Buletin EkonomiMoneter dan Perbankan, Volume 5, No.2, September 2002, Bank Indonesia, Jakarta.

44 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Tabel 1Perkembangan Komposisi Stok Kapital Menurut Jenis Barang Modal

Tahun Total T-10 T-21 T-22 T-20 T-30 T-40 T-51 T-52 T-53 T-50 T-60

1960 3526.85 2384.85 549.93 21.29 571.23 329.47 1.84 10.96 47.83 2.44 61.24 178.23

1961 8385.43 5690.64 1305.85 50.70 1356.56 771.49 4.00 25.67 108.31 5.54 139.52 423.22

1962 12282.16 8294.35 1907.59 74.47 1982.06 1095.38 4.91 36.45 143.43 7.33 187.21 618.24

1963 14536.90 10036.39 2248.07 88.46 2336.53 1236.59 4.51 41.15 145.69 7.45 194.29 728.59

1964 16844.54 11742.94 2591.55 102.82 2694.38 1364.00 4.32 45.39 164.14 7.47 199.00 839.91

1965 18957.44 13330.47 2899.30 115.97 3015.27 1463.98 4.40 48.71 147.43 7.54 203.68 939.65

1966 21234.16 15034.06 3227.28 130.02 3357.30 1575.95 4.78 52.44 155.73 7.96 216.13 1045.94

1967 22296.62 15917.00 3361.38 136.65 3498.03 1576.30 4.57 52.45 151.15 7.73 211.33 1089.41

1968 23917.83 17169.16 3579.77 146.53 3726.30 1637.51 4.76 54.49 157.38 8.04 219.91 1160.18

1969 26621.86 19139.41 3965.87 162.85 4128.72 1812.05 5.67 60.30 181.14 9.26 250.70 1285.32

1970 30962.43 22211.38 4606.74 188.99 4795.73 2145.52 7.32 71.39 226.49 11.58 309.46 1493.02

1971 36484.77 26093.99 5431.29 222.29 5653.58 2584.87 9.19 86.01 282.45 14.44 382.90 1760.25

1972 43177.04 30796.50 6436.77 262.77 6699.54 3117.45 11.14 103.73 344.92 17.63 466.29 2086.13

1973 50997.14 36304.32 7615.22 310.20 7925.42 3729.17 13.19 124.09 411.84 21.05 556.98 2468.05

1974 60411.92 42944.37 9037.30 367.45 9404.75 4455.40 15.63 148.25 489.55 25.02 662.83 2928.94

1975 70987.56 50434.03 10632.53 431.88 11064.41 5248.91 18.21 174.66 572.15 29.24 776.05 3445.95

1976 81288.39 57810.89 12174.08 494.81 12668.89 5971.46 20.15 198.70 640.04 32.71 871.45 3945.56

1977 93216.63 66356.05 13957.19 567.67 14524.86 6804.63 22.63 226.42 721.69 36.89 98500 4523.46

1978 106953.84 76188.04 16009.18 65149 16660.67 7768.94 25.85 258.51 82136 41.98 1121.85 5188.50

1979 120008.95 85630.10 17939.52 731.25 18670.77 8629.14 28.28 287.13 903.25 46.16 1236.55 5814.11

1980 135245.63 94228.32 18911.60 800.88 1971249 13980.94 21.52 311.15 915.78 7484 1301.76 6000.60

1981 151734.46 106366.22 20144.81 879.32 21024.13 16733.34 15.55 326.25 950.62 95.81 1372.69 6222.53

1982 170213.47 121070.80 21804.78 970.93 22775.70 18355.88 13.54 338.33 1026.03 105.92 1470.28 6527.27

1983 189153.69 133965.81 24679.35 1108.82 25788.17 19983.61 19.95 355.59 1394.91 128.85 1879.34 7516.80

1984 197135.27 139886.31 25723.05 1162.34 26885.39 20409.65 15.34 338.50 1526.32 125.01 1989.82 7948.76

1985 205316.41 148920.71 26291.18 1190.63 27481.81 19202.35 7.71 311.66 1343.57 98.72 1753.95 7949.89

1986 217186.96 156452.85 29431.17 129384 30725.01 18690.49 6.14 312.52 1636.90 104.64 2054.05 9258.42

1987 229860.47 165301.96 33584.91 1402.50 34987.40 17859.32 12.14 319.98 1582.10 94.07 1996.15 9703.51

1988 248634.26 175934.94 40597.30 1567.83 42165.13 17500.28 16.48 347.31 1736.55 9565 2179.51 10837.92

1989 272982.67 188897.89 46880.66 1648.49 48529.15 19041.05 17.98 352.00 2893.63 143.01 3388.64 13107.97

1990 303849.87 206588.73 55979.70 1798.28 57777.98 2062802 12.59 377.69 321498 147.63 3740.30 15102.25

1991 339747.92 228806.54 65908.45 2024.64 67933.09 22590.28 1618 441.57 2931.87 130.73 3504.16 16897.67

1992 373917.74 254605.24 72005.83 2204.85 74210.68 22688.69 42.23 505.34 2734.86 123.36 3363.56 19007.35

1993 408733.93 285127.49 75027.37 2346.92 77374.28 22325.52 96.50 569.09 2439.32 115.32 3123.72 20686.41

1994 450839.58 321063.88 77670.75 2530.91 80201.67 23667.85 136.06 665.83 2232.57 113.15 3011.56 22758.57

1995 501742.21 362128.36 81933.22 2991.82 84925.04 24915.44 180.94 943.42 2260.37 124.96 3328.75 26263.68

1996 562576.57 408713.05 88605.75 3461.64 92067.39 26203.52 21635 1356.16 2818.32 126.82 4301.30 3107497

1997 626940.02 455701.05 96762.32 4079.25 100841.57 29686.09 324.85 1898.65 3219.63 102.29 5220.57 35165.87

1998 636581.45 462248.94 98469.16 4451.06 102920.21 28463.48 291.28 2265.56 3487.57 74.86 5827.99 36829.54

1999 623168.00 465358.46 88628.99 4204.00 92832.99 24662.88 220.75 2119.96 3282.86 54.86 5457.69 34635.24

2000 621098.35 468151.43 86878.74 4448.63 91327.36 24996.51 154.17 1924.46 2785.87 40.97 4751.30 31717.58

2001 625404.93 471995.43 86948.12 4832.36 91780.48 28004.19 126.73 1803.93 2520.35 34.54 4358.83 29139.28

2002 628201.82 477107.75 85969.81 5096.18 91065.99 29311.52 115.80 1673.04 2325.94 31.24 4030.22 26570.54

Keterangan:

T -10 : Bangunan

T -20 : Mesin terbagi 2 jenis:

T -21 : Mesin penggerak mula, mesin clan perlengkapannya, clan motor listrik

T -22 : Mesin listrik clan perlengkapannya

T-40 : Transportasi

T-40 : Ternak

T-50 : Perlengkapan terbagi 3 jenis:

T-31 : Perlengkapan listrik

T-32 : Perlengkapan logam

T-33 : Perlengkapan kain/kulit

T-60: Lainnya

T-40

45Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

Tabel 2Perkembangan Distribusi Stok Kapital Menurut Sektor Ekonomi

1960 1595.74 542.73 505.64 223.24 286.46 104.22 59.77 62.56 53.16 93.33

1961 3804.05 1289.91 1198.99 528.38 680.35 245.67 141.80 148.69 126.25 221.35

1962 5600.87 1887.87 1746.93 766.93 994.50 353.59 206.74 217.59 184.48 322.66

1963 6678.57 2231.71 2052.33 895.54 1174.04 407.63 243.01 257.13 217.59 379.35

1964 7794.19 2582.46 2361.88 1023.49 1357.73 459.70 279.60 297.32 251.25 43692

1965 8827.73 2902.42 2642.87 1136.96 1525.98 504.09 312.53 333.72 281.84 489.31

1966 9937.75 3247.40 2947.33 1259.93 1707.74 552.42 348.01 372.67 314.82 546.09

1967 10498.25 3406.07 3077.49 1306.31 1790.75 564.90 362.84 389.76 329.50 570.75

1968 11307.00 3651.90 3288.07 1389.86 1919.06 595.23 387.28 416.52 352.69 610.24

1969 12598.44 4065.75 3654.76 1544.51 2135.29 659.59 430.34 462.36 392.32 678.50

1970 14627.76 4732.42 4255.62 1804.10 2484.08 773.34 50129 537.17 456.69 789.97

1971 17197.35 5581.24 5023.15 2137.71 2928.02 921.21 592.14 632.92 538.82 932.20

1972 20310.42 6609.60 5953.43 2542.21 3465.83 1100.82 702.41 749.40 638.38 1104.54

1973 23954.79 7810.11 7039.11 3012.77 4094.10 1309.07 831.09 885.80 754.62 1305.67

1974 28347.21 9253.89 8346.24 3577.13 4850.79 1558.23 985.84 1050.29 894.47 1547.83

1975 33296.56 10873.80 9811.41 4206.38 5700.53 1834.13 1159.08 1235.01 1051.29 1819.38

1976 3815723 12448.91 11227.48 4808.76 6526.45 2093.47 1326.29 1414.30 1203.38 2082.12

1977 43787.21 14272.30 12867.86 5505.42 7483.27 2393.05 1519.79 1621.79 1379.44 2386.51

1978 50266.44 16372.30 14758.97 6308.57 8585.78 2738.77 1742.69 1860.63 1582.25 2737.44

1979 56471.45 18365.90 16541.87 7060.07 9631.13 3056.48 1952.69 2086.47 1774.22 3068.66

1980 62299.72 21536.71 17980.66 8893.97 10572.28 4098.67 2266.11 2229.68 2038.21 3329.62

1981 68776.48 25079.34 19646.11 10338.21 11580.66 4737.82 3318.49 2413.30 2294.07 3549.98

1982 76737.32 29685.75 21210.47 11239.30 12683.11 5312.86 4379.29 2616.11 2612.02 3737.26

1983 80497.54 36517.48 22579.76 13069.72 13835.28 6499.95 6507.14 2798.35 2956.91 3891 .56

1984 80373.65 40178.17 23781.05 1373271 14083.52 7478.36 7507.84 2954.08 3028.01 4017.89

1985 81325.96 43436.68 25295.36 14419.56 14441.72 8105.91 7911.79 3148.58 3092. 18 4138.66

1986 81910.14 48575.16 27750.04 15360.78 14984.51 8709.51 8908.67 3506.10 3189.83 4292.23

1987 80997.84 54518.71 30834.40 16831.55 15476.09 9401.38 10147.59 3931.85 3282.89 4438.17

1988 79766.89 63767.43 34462.27 19328.88 16300.52 10422.38 12016.86 4509.95 3478.93 4580.15

1989 82904.19 72427.67 39367.45 21837.33 17263.26 11390.44 13911.61 5214.19 3869.41 4797.13

1990 87602.49 82875.79 44818.27 25115.52 18375.18 13403.63 16117.78 6172.13 4292.17 5076.90

1991 96421.02 92083.52 53441.48 27295.37 19495.68 14279.71 17727.59 7149.92 5650.00 6203.63

1992 109251.39 100431.44 56613.55 28595.04 20450.37 14625.40 19414.85 9818.81 7148.06 7568.83

1993 117787.76 112786.79 57372.51 30465.57 21458.36 15095.53 21434.89 13589.13 8735.73 10007.65

1994 124491.96 130043.03 59520.63 31931.75 22776.41 15792.02 24079.53 20274.36 10121.12 11808.78

1995 123187.79 144704.07 60543.58 39082.05 24404.97 22538.27 34036.43 29700.73 10003.50 13540.80

1996 128030.87 152051.74 63558.13 52167.06 26675.77 39716.44 38683.41 36722.39 9868.08 15102.68

1997 135453.81 154939.85 74371.43 63028.56 28818.66 56943.56 42366.58 44543.77 9854.04 16619.76

1998 132223.46 149183.10 80019.91 64587.57 29171.22 65042.98 41561.01 48858.57 8942.27 16991.37

1999 127659.68 139568.73 81386.92 63648.65 28504.97 68594.92 38081.19 51148.78 7905.92 16668.24

2000 123774.37 131431.75 86373.40 63352.02 28329.09 73551.00 36189.27 54230.70 7145.12 16721.64

2001 115722.73 124681.91 93268.13 63536.10 28353.02 79048.57 39441.80 57966.37 6542.14 16844.16

2002 107827.40 119068.67 98844.18 63778.15 28380.86 83674.09 42439.86 61319.51 6006.62 16862.48

Tahun Pemerintahan

Umum

Keuangan

Persewaan

& Jasa

perusahaan

Industri

Pengolahan

Perdagangan,

Hotel &

restoran

Pertanian,

peternakan,

kehutanan

& perikanan

Pengangkut-

an &

komunikasi

Jasa-

Jasa

Listrik, Gas

&

air bersih

BangunanPertam-

bangan &

penggalian

46 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

MenerawangKebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

Firman Mochtar*

Dengan mempertimbangkan kemungkinan dampak interaksi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta

turut memperhatikan sumber pembiayaan bagi penerapan satu kebijakan, tulisan ini berusaha menelaah dampak

penerapan kebijakan moneter yang ‘forward looking’. Hasil menerawang mengindikasikan bahwa upaya

menerapkan kebijakan moneter yang ‘forward looking’ dalam periode SBI sebagai piranti moneter relatif terbatas.

Sempitnya ruang gerak kebijakan moneter yang ‘forward looking’ pada periode SBI ini tersirat dari kemungkinan

munculnya fenomena ‘tight monetary paradox’ saat kebijakan moneter ketat diterapkan. Gambaran berbeda

bilamana kebijakan moneter yang ‘forward looking’ tersebut diterapkan pada saat piranti yang digunakan adalah

surat utang negara (SUN, misalnya T-Bills). Kebijakan moneter yang ‘forward looking’ dalam periode T-Bills

ini terindikasi lebih leluasa bergerak untuk mengendalikan inflasi ke depan. Indikasi lain yang juga terlihat dari

tulisan ini adalah sulitnya bagi kebijakan moneter yang ‘forward looking’ untuk dapat berdiri sendiri dalam

formulasi kebijakan moneter. Meski dengan bobot yang lebih kecil dibandingkan bobot yang diberikan kepada

proyeksi inflasi, formulasi kebijakan moneter masih tetap perlu mempertimbangkan kondisi inflasi yang sedang

terjadi untuk melengkapi kebijakan moneter yang forward looking tersebut.

* Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan – Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan MoneterPenulis menyampaikan terima kasih kepada Wahyu A. Nugroho atas saran dan kritik terhadap lamunan ini.

Abstrak

47Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

1. Pendahuluan

Pemahaman bahwa efektivitas kebijakan moneter mempunyai efek tunda melahirkanpemahaman lanjutan bahwa kebijakan moneter yang diterapkan haruslah berkarateristik‘forward looking’ (Batini dan Haldane, 1999). Dalam hubungannya dengan ekonomi Indo-nesia, pemahaman yang sama juga muncul terutama berkaitan dengan kerangka inflation

targeting dimana salah satu elemennya adalah perlunya kebijakan moneter yang meresponekspektasi inflasi ke depan (Agung et.al, 2002 dan Alamsyah et.al, 2003).

Berkaitan dengan kebijakan moneter yang ‘forward looking’ tersebut, tulisan ini hanyamencoba menerawang1 secara singkat dan sederhana tentang kelayakan penerapankarakteristik kebijakan moneter ‘forward looking’ tersebut. Berbeda dengan beberapapenelitian sebelumnya yang tidak memasukkan variabel agregat moneter (‘M’), lamunanini menggunakan pendekatan lain yaitu dengan tetap mengakomodasi besaran moneterdalam sistem analisa. Upaya berbeda ini dilakukan karena pembahasan akan dicobadikaitkan dengan piranti yang digunakan dalam operasi pasar terbuka (OPT), yaitu SBIuntuk saat ini atau kemungkinan menggunakan surat utang negara (SUN, misalnya T-Bills).Dua bagian selanjutnya akan menerangkan secara singkat model yang digunakan sertahasil-hasil simulasi kejutan kebijakan moneter yang ‘forward looking’. Bagian terakhirditutup dengan implikasi kebijakan.

2. Model

Model yang digunakan adalah sama dengan model pada Mochtar (2003). Perbedaanutama model yang digunakan ini dengan penelitian terdahulu tentang kebijakan moneteryang forward looking di Indonesia (Hutabarat et.al, 2000, Darsono, et.al, 2002, Hutabarat,2003) terletak pada upaya untuk memperhatikan sumber pembiayaan kebijakan moneter.Sebagaimana pada Mochtar (2003), sumber pembiayaan kebijakan moneter dapat bersumberdari bank sentral bilamana instrumen yang digunakan merupakan surat berharga milikbank sentral (seperti SBI) atau bersumber dari pajak bilamana instrumen kebijakan monetertersebut menggunakan surat berharga pemerintah (seperti T-Bills). Perbedaan kedua yaituturut mempertimbangkan interaksi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yangsedang diterapkan. Upaya turut mengakomodir dampak interaksi kedua kebijakan tersebutsangat penting karena pengaruh dari kebijakan akan tergantung pola kebijakan yang sedangdijalankan di tiap kebijakan.

Implikasi yang muncul dari upaya mengakomodir sumber pembiyaan ini adalah tetapmemberikan tempat kepada besaran moneter (‘M’) ke dalam sistem analisa. Keuntungan

1 Menerawang berarti pikiran atau batin yang melayang jauh (Poerwadarminta, 1986)

48 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

tidak langsung yang didapat bila mengakomodasi ‘M’ tersebut adalah memberikangambaran pentingnya untuk tetap memperhatikan variable ‘M’ dalam kebijakan moneterkarena pada dasarnya uang dan suku bunga memiliki hubungan yang simultan sehinggatidak dapat dipisahkan (Leeper, 2003). Argumentasi lain adalah karena transmisi kebijakanmoneter tidak dapat hanya ditangkap melalui perilaku suku bunga sehingga peran ‘M’masih cukup relevan dipertimbangkan (Meltzer, 2001). Dikaitkan dengan kondisi Indone-sia periode sekarang, hal ini semakin relevan akibat kondisi perbankan yang mengalamiekses likuiditas sehingga unsur kuantitas ’M’ dalam kebijakan moneter patut pulamemperoleh perhatian.

Guna kepentingan kelengkapan analisa, model akan dijabarkan kembali secara singkat.Perekonomian diasumsikan berpopulasikan rumah tangga yang pada tiap periode t memilih

konsumsi riil ct , uang nominal, Mtd serta surat berharga bank sentral atau pemerintah Bt

d

guna memaksimalkan utilitas

max ( , / ), ,{ , , }c M B

tt t

dt

tt td

td

E U c M Pβ β0 10

< <=

∑ (1)

dimana

U c M P cM

Pt td

t ttd

t

( , / ) ,=−

+

>−

αα

ααα

αα

10

11

(2)

dengan batasan anggaran

cM M

P

B R B

Pyt

td

t

t

td

t t

tt t+ − + − = −− − −1 1 1 τ , (3)

dimana Pt indeks harga secara umum, Rt−1 bunga dan pokok surat berharga bank sentral

atau pemerintah yang dijual pada satu periode sebelumnya (t-1) dan jatuh tempo pada

periode t, τ t pajak lumpsum yang ditarik pada periode t dan yt produksi perekonomian

pada periode t.

Pengeluaran pemerintah dalam arti konsolidasi anggaran pemerintah pusat dan banksentral (government budget constraint) dibiayai melalui penciptaan uang oleh bank sentral,

M Mt t− −1 , nilai bersih penjualan surat berharga bank sentral atau pemerintah, B R Bt t t− − −1 1,

dan pajak lumpsum, τ t , sehingga memenuhi persamaan batasan anggaran pemerintah

dalam arti konsolidasi antara pemerintah pusat dengan bank sentral

M M

P

B R B

Pgt t

t

t t t

tt t

− + − + =− − −1 1 1 τ (4)

49Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

Pengeluaran pemerintah diasumsikan konstan dalam rasio tertentu terhadap output

perekonomian, g yt t= λ dimana 0 1< <λ , sehingga persamaan (4) dalam nilai riil

menjadi :

mm

bb R

ytt

tt

t t

tt t− + − + =− − −1 1 1

π πτ λ (5)

Kebijakan moneter diasumsikan merupakan fungsi dari kombinasi inflasi pada periodebersangkutan dan ekspektasi inflasi satu periode mendatang inflasi.

Rt t t t= +exp( )γ π π θγ γ0 1

1 2 (6)

dimana

log( ) log( )θ ρ θ σ εθ θθ

t t t= +−1, ρθ ∈ [ , )0 1 dan σθ > 0 (7)

Bank sentral melalui kebijakan moneternya dapat melakukan kombinasi pemilihanbobot kedua inflasi tersebut sesuai dengan prioritas kebijakan moneter. Bilamana kebijakanmoneter tersebut lebih memprioritaskan kebijakan moneter ‘backward looking’ maka bobot

γ1 akan lebih besar dibandingkan dengan bobot γ 2 . Sebaliknya, bila kebijakan moneter

yang diterapkan lebih bersifat ‘forward looking’ maka bobot γ 2 akan lebih besardibandingkan dengan bobot γ1.

Kebijakan fiskal berupa kebijakan penetapan pajak lumpsum diasumsikan mengacukepada posisi surat berharga pemerintah (SBI atau T-Bills) pada periode sebelumnya.

τ δ νδt t tb= −exp( )0 1

2 (8)

dimana

log( ) log( )ν ρ ν σ εν νν

t t t= +−1, ρν ∈ [ , )0 1 dan σν > 0 (9)

Hasil rinci penjabaran model ekonomi dalam kondisi optimum dan bentuk linearisasi-nya dapat dilihat pada Mochtar (2003).

3. Simulasi Perubahan Parameter Kebijakan Moneter

Menggunakan model di atas, analisa dilanjutkan dengan mengubah parameter-pa-rameter pada kebijakan moneter (γ γ1 2, ) serta membandingkan dampaknya terhadapperkembangan inflasi. Sekali lagi disampaikan, kebijakan moneter tersebut lebih

didefinisikan sebagai kebijakan moneter yang ‘forward looking’ bilamana bobot γ 2 lebihbesar dibandingkan dengan bobot γ1. Sebaliknya kebijakan moneter dikategorikan ‘back-ward looking’ adalah jika bobot γ1 lebih besar dibandingkan dengan bobot γ 2 .

50 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Periode SBI

Asumsi utama dalam periode ini adalah kebijakan fiskal bersifat aktif yaitu pemerintahmelalui kebijakan fiskal-nya tidak memberikan respon saat terjadi perubahan pada posisiSBI. Sebagai pengejawantahan karakteristik ini maka parameter untuk kebijakan fiskal yang

digunakan adalah δ1 0= .

Berbagai hasil simulasi dengan mengubah komposisi bobot kebijakan moneter, secaraumum memperlihatkan bahwa upaya menerapkan kebijakan moneter yang ’forward look-ing’ dalam periode SBI relatif terbatas. Sebaliknya, dalam periode SBI ini kemungkinanpenerapan kebijakan moneter yang ’backward looking’ terlihat masih lebih dominan karenakebijakan moneter tersebut akan mampu mengendalikan inflasi beberapa saat setelahkebijakan moneter tersebut diterapkan (Tabel 2).

Menggunakan parameter kebijakan moneter yang berkarateristik ‘backward look-

ing’ (tergambar pada parameter γ1 yang lebih dominan/besar dalam formulasi kebijakan

moneter), hasil yang didapat adalah kebijakan moneter dapat secara penuh dalam beberapaperiode mengendalikan inflasi (baca: terdapat solusi yang unik terhadap inflasi bilamanaterjadi kejutan dari kebijakan moneter). Sebagai ilustrasi, dengan parameter kebijakan

moneter γ1 0 5= , dan γ 2 0 1= , , hasil simulasi memperlihatkan bahwa kejutan kebijakan

moneter melalui peningkatan suku bunga SBI pada periode awal akan segera menurunkanmampu menurunkan inflasi di periode setelah kejutan moneter tersebut (gambar 1).

Selain itu, simulasi juga dilakukan dengan membandingkan dampaknya bilamenggunakan piranti yang berbeda dalam kegiatan OPT bank sentral, yaitu perbedaanantara penggunaan SBI sebagai piranti OPT dan penggunaan surat utang negara (SUN,misalnya T-Bills). Untuk tujuan itu maka perubahan parameter dilakukan terhadap param-

eter kebijakan fiskal (δ1 ). Selebihnya parameter-parameter steady state yang digunakan

dalam model adalah sama dengan Mochtar (2003) sebagaimana pada tabel 1.

Tabel 1Parameter Kalibrasi

Parameter λ π β b y αNilai 0,41 0,85 0,93 0,15 0,05

51Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

Katerangan :

= Parameter Kebijakan MoneterKM 2* = Forward Looking dengan hasil “Tight Monetary Paradox”

2 = Dominasi Backward Looking 3 = Kondisi di bawah Multiple Equilibria Region (Indeterminacy)

2 = Dominasi Forward Looking 4 = Unstable Region

KMγ1

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5

0 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4

0.1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 5

0.2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 4

0.3 2 2 2 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 4 4 4

0.4 3 2 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4

0.5 3 3 2 2 2 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

0.6 3 3 3 2 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

0.7 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

0.8 3 3 3 2* 2* 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

0.9 3 3 2* 2* 2* 2* 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

1.0 3 2* 2* 2* 2* 2* 2* 4 4 4 4 4 4 4 4 4

1.1 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 4 4 4 4 4 4 4 4

1.2 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 4 4 4 4 4 4 4

1.3 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 4 4 4 4 4 4

1.4 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 4 4 4 4 4

1.5 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 4 4 4 4

γ2

Tabel 2Hasil Simulasi Parameter Kebijakan Moneter dalam Periode SBI

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan SBI

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Permintaan

Tahun setelah Kejutan

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0

-0.1

-0,2

0,5

0

2

-2

2

0

0

-2

10

5

0

1

0,5

0

Persen

x 10-16

Gambar 1Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang

‘Backward Looking’ dalam Periode SBI (γ1 0 5= , dan γ 2 0 1= , )

52 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Perilaku inflasi yang muncul menggunakan kebijakan moneter yang ’bacward look-ing’ dalam periode SBI adalah kebijakan moneter ketat di periode awal berarti akanmeningkatkan ekspektasi inflasi (Sargent dan Wallace, 1981). Hal ini karena pada periodeselanjutnya pertumbuhan base money akan mengalami pertumbuhan positif sebagaidampak dari komitmen Bank Indonesia untuk membayar bunga atas SBI yang telah dijualpada periode sebelumnya. Dengan asumsi Bank Indonesia di periode kedua ini tidak kembalimelakukan pengetatan kebijakan moneter guna menyerap kembali ’injeksi’ uang tersebutmaka secara kumulatif uang yang beredar mengalami peningkatan yang pada gilirannyaakan menyebabkan terjadinya kembali inflasi di periode berikutnya.

Perilaku berbeda akan nampak bila kebijakan moneter yang ’forwardlooking’diterapkan. Meski terdapat beberapa hasil simulasi kebijakan moneter yang ’for-ward looking’ ini sesuai dengan harapan, perilaku dominan yang muncul dari dampakkebijakan moneter yang ’forward looking’ ini adalah fenomena ’tight monetary paradox’yaitu kebijakan moneter ketat justru akan meningkatkan inflasi bersamaan dengan kebijakanmoneter ketat tersebut (gambar 2). Kondisi aktual yang menggambarkan perilaku ’tightmonetary paradox’ ini terjadi di perekonomian Kenya (Buffie, 2003).

Sebagai ilustrasi dengan menggunakan bobot parameter γ1 0 1= , dan γ 2 1 0= ,(gambar 2), alur transmisi ’tight monetary paradox’ ini adalah karena ’representative agent’memahami bahwa kebijakan moneter ketat dalam periode SBI, —bila tidak dibarengi oleh

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan SBI

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Permintaan

Tahun setelah Kejutan

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0.5

0

-0,5

2

0

-2

-5

5

0

0

-5

20

0

-20

0

-0,5

-1

Persen

x 10-16

5

Gambar 2Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’ dalam Periode SBI

(γ1 0 1= , , γ 2 1 0= , ) dengan Hasil ‘Tight Monetary Policy Paradox’

53Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

penyerapan kembali di periode selanjutnya—, akan mengakibatkan meningkatkanekspektasi inflasi. Dalam kondisi bank sentral lebih memusatkan perhatian kepada inflasike depan (sebagai cerminan dari kebijakan moneter yang ‘forward looking’) maka kebijakanmoneter ketat tersebut (melalui ’fisher equation’) akan berdampak pada menurunnya sukubunga nominal. Penurunan suku bunga nominal ini selanjutnya akan menurunkanpermintaan SBI dan meningkatkan permintaan uang. Dalam kondisi ini meningkatnyapertumbuhan uang nominal ini maka pada akhirnya akan meningkatkan inflasi sesaatsetelah kebijakan moneter ketat tersebut diterapkan.

Selain kedua hasil tersebut, hasil lain yang muncul dari simulasi parameter kebijakanmoneter ini adalah perilaku inflasi yang indeterminacy. Implikasi ekonomi dari hasil iniadalah kemungkinan sulitnya kebijakan moneter mengendalikan inflasi karena adanyaunsur multiple equilibria dari inflasi yang terjadi (gambar 3). Kendati demikian, dalamkondisi aktual, hasil ini masih diperdebatkan karena secara praktik fenomena ini sulitditemukan (McCallum, 2001). Hasil lain yang nampak dari simulasi adalah kondisi un-stable yaitu tidak ditemukannya nilai tunggal inflasi (gambar 4).

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

Tahun setelah Kejutan

Persen

1

0

-1

5

0

-5

-10

10

0

0

-10

50

0

-50

2

0

-2

10

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan SBI

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Permintaan

Gambar 3Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’ dalam Periode SBI

(γ1 0 1= , dan γ 2 0 5= , ) dengan Hasil ‘Multiple Equilibria / Indeterminacy Region’

54 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Periode T-Bills

Asumsi utama untuk periode ini adalah Bank Indonesia telah menggunakan SuratUtang Negara (SUN misalnya T-Bills) sebagai piranti dalam operasi pasar terbuka. Berkaitandengan karakteristik ini diasumsikan pula bahwa kebijakan fiskal bersifat pasif yaitukebijakan fiskal yang secara permanen memberikan respon terhadap perubahan yang terjadipada posisi T-Bills guna memenuhi keseimbangan pada persamaan anggaran. Dalam

hubungan itu pula maka parameter skenario kebijakan fiskal ditunjukkan oleh nilai 3,01=δ .

Gambar 4Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

dalam Periode SBI (γ1 0 6= , , γ 2 0 9= , ) dengan Hasil ‘Unstable Region’

0,04

0.02

0

0,5

0

-0,5

-0,2

-0,4

0

-0,2

-0,4

0

-2

-4

0,2

0

0,1

00 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan SBI

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Permintaan

Tahun setelah Kejutan

Persen

55Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

Berbeda dengan hasil periode SBI, hasil simulasi berbagai bobot parameter kebijakanmoneter pada periode T-Bills memperlihatkan bahwa kebijakan moneter yang ‘forwardlooking’ dapat lebih leluasa diterapkan untuk mengendalikan inflasi (Tabel 3). Sebagaigambaran, dengan menggunakan bobot γ1 0 5= , dan γ 2 0 8= , , kebijakan moneter yang

’forward looking’ ini akan mampu mengendalikan inflasi sesuai harapan. Inflasi akan tetapmenurun secara permanen setelah kebijakan moneter ketat diimplementasikan (gambar 5).

Tabel 3Hasil Simulasi Parameter Kebijakan Moneter dalam Periode T-Bills

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5

0 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1

0.1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1

0.2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1

0.3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1

0.4 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1

0.5 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

0.6 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

0.7 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

0.8 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

0.9 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1.0 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1.1 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1

1.2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1

1.3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1

1.4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1

1.5 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1

KM

Keterangan :

= Parameter Kebijakan MoneterKM

2 = Dominasi Backward Looking 3 = Kondisi di bawah Multiple Equilibria Region (Indeterminacy)

2 = Dominasi Forward Looking

γ1

γ2

56 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Gambar 5Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

dalam Periode T-Bills (γ1 0 5= , , γ 2 0 8= , ) dengan Hasil Solusi yang Tunggal

4. Implikasi Kebijakan

Berbagai hasil simulasi dari lamunan ini menyiratkan bahwa upaya memperhatikansumber pembiayaan dalam kebijakan moneter serta interaksi antara kebijakan fiskal dankebijakan moneter akan memberikan hasil yang berbeda terhadap dampak penerapankebijakan moneter yang ’forward looking’. Dalam periode SBI sebagai instrumen OPT,efektivitas kebijakan moneter yang ’forward looking’ terindikasi terbatas. Dengan analogibermain sepakbola, penerapan kebijakan moneter ‘forward looking’ dalam periode SBI tanpamelihat ’kondisi lapangan’ kebijakan makro ekonomi tempat ’bermain’ akan menyebabkanterjadinya ‘senggolan’ antar pemain sendiri sehingga dapat menyebabkan tidakharmonisnya alur permainan bahkan dapat ‘terjerembab’ dalam indikasi fenomena ‘tightmonetary paradox’.

Hal berbeda diperlihatkan bilamana kebijakan moneter ‘forward looking’ tersebutditerapkan di era SUN sebagai piranti OPT. Kebijakan moneter yang ‘forward looking’ dapat‘bermain’ secara lebih leluasa memanfaatkan ‘luasnya lapangan’ kebijakan makroekonomisehingga mampu ‘menembak’ inflasi ke depan dengan tepat.

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

Tahun setelah Kejutan

0,05

0

0

-0,1

-0,2

-2

-1

0

-1

-2

10

5

0

4

2

0

0

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan T-Bills

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Pemerintah

Persen

57Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

Implikasi lain yang muncul dari ‘permainan imajiner’ ini adalah kebijakan moneterforward looking tidak dapat ‘bermain’ sendiri dalam formulasi kebijakan moneter. Keduaperiode simulasi memperlihatkan bahwa hasil solusi yang tunggal akan dapat diperolehbilamana formulasi kebijakan moneter tersebut juga mempertimbangkan kondisi inflasiyang sedang terjadi dan tidak hanya proyeksi inflasi ke depan (forward looking). ‘Bayangan’ini mengimplikasikan bahwa kebijakan moneter harus tetap membagi ‘anggota tim’kebijakan moneter-nya antara pemain dari ‘inflasi yang sedang terjadi’ dan pemain ‘inflasike depan’ secara optimal sehingga dapat bermain dengan cantik untuk menghasilkan golberupa inflasi yang terkendali.

Daftar Pustaka

Agung, J., Siti Astiyah, Elisabeth S., Nugroho J.P., M.F. Muttaqin, Rifki I. (2002), IdentifikasiVariabel Informasi dalam Framework Inflation Targeting, Occasional Paper Bank Indo-nesia, 30 Juni

Alamsyah, Halim, Agung, J., Budiman, A., Affandi, Y., (2003), “Perubahan Struktural danKebijakan Moneter Pasca Krisis: Retrospek dan Framework ke Depan”, paper DirektoratRiset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia pada seminar ISEI di Malang14-15 Juli 2003

Batini, N. dan Haldane, A.G. (1999), “Forward-Looking Rules for Monetary Policy” dalamJohn B. Taylor, eds, “Monetary Policy Rules’, The University of Chicago Press, London

Buffie, Edward F (2003),”Tight Money, Real Interest Rates, and Inflation in Sub-SaharanAfrica”, IMF Staff Papers, Vo. 50, No.1

Darsono, Hutabarat, A.R., Wimanda, R.E., Handayani, D.E. (2002), “Disain Policy Rule untukIndonesia”, Working Paper, Program Kerja Strategis, Bank Indonesia, Direktorat RisetEkonomi dan Kebijakan Moneter, Bagian Studi Sektor Riil

Hutabarat, A.R., Anglingkusumo, R., Madjardi, F., dan Wimanda, R.E. (2000), “Policy Rulesuntuk Pengendalian Inflasi secara Forward Looking”, Buletin Ekonomi Moneter danPerbankan Vol. 3, Nomor 3, Desember, Bank Indonesia

Hutabarat, A.R., (2003), “Suku Bunga SBI dan Proyeksi Inflasi”, Occasional Paper BagianStudi Sektor Riil - Bank Indonesia, Agustus

58 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Leeper, E.M.dan J.E. Roush (2003), “Putting ‘M’ Back in Monetary Policy”, NBER WP 9552,March

Leeper, Eric M., (2002) “A Model of Monetary and Fiscal Policy Interactions”. Indiana Uni-versity, unpublished

McCallum, Bennet T. (2001), “Monetary Policy Analysis in Model without Money”, FederalReserve Bank of St. Louis, July/August

Meltzer, A.H. (2001), “The transmission process”, dalam “The Monetary Transmission Pro-cess: Recent Development and Lesson for Europe, Palgrave, London, DeutscheBundesbank, 112-130

Mochtar, Firman (2003), “SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi”, Buletin Ekonomi Moneterdan Perbankan, Vol. 6 No.2, September

Poerwadarminta, W.J.S. (1986), “Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, CetakanIX, Jakarta

59Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

1. Pendahuluan

Inflation targeting (IT) secara implisit telah diterapkan di Indonesia sejak Bank Indo-nesia mengumumkan target inflasi secara transparan kepada publik di awal tahun 2000.Penerapan IT di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan (Alamsyah, et al, 2001).Pertama, dengan telah ditinggalkannya sistem nilai tukar sebagai nominal anchor,diperlukan adanya anchor alternatif yang kredibel. Kedua, penerapan inflation targetingmerupakan konsekuensi dari independensi Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakanmoneter yang difokuskan pada pengendalian inflasi.

Penerapan inflation targeting di Indonesia terutama jika diterapkan secara “ketat”(strict) masih menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, komitmen untuk mencapai targetinflasi bermanfaat untuk mendisiplinkan bank sentral dalam menjalankan kebijakanmoneter, terutama dalam situasi ketika tekanan-tekanan untuk melakukan kebijakanmoneter yang akomodatif sangat besar. Bukti empiris di beberapa negara menunjukkanbahwa walaupun inflasi menjadi prioritas, namun ketika ‘short-run’ trade off antara inflasidan pertumbuhan ekonomi benar-benar sedang dihadapi, agak sulit bagi otoritas moneteruntuk secara konsisten menjadikan inflasi sebagai tujuan utama. Dengan target inflasi yangsecara eksplisit diumumkan kepada masyarakat dengan akuntabilitas yang jelas, banksentral mau tidak mau harus memprioritaskan pencapaian target inflasi. Kebijakan moneteryang secara konsisten memprioritaskan pencapaian target inflasi akan meningkatkankredibilitas kebijakan moneter itu sendiri, yang pada gilirannya akan menurunkanekspektasi masyarakat terhadap inflasi dan meminimalisir biaya pengendalian inflasi.

Sementara itu, beberapa pihak yang berkeberatan1 diterapkannya inflation tar-geting di Indonesia pada saat ini mengajukan sejumlah alasan. Pertama, dalam kondisikrisis, base money lebih baik dalam memberikan arah bagi kebijakan moneter karena

*) Para penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter serta Bagian StudiStruktur dan Perkembangan Pasar Keuangan yang telah memberikan saran dan dukungan dalam penyelesaian paper ini

1 Misalnya, Felman (2000).

Identifikasi Variabel InformasiDalam Framework Inflation Targeting

Juda Agung, Siti Astiyah, Elisabeth Sukowati,Nugroho J. Prastowo, M.Firdauz Muttaqin, Rifqi Ismal*)

60 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

demand for base money lebih stabil dibandingkan dengan hubungan antara suku bungadan inflasi.2 Dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi, suku bunga yang terjadi sangatberfluktuatif sejalan dengan naik turunnya premi resiko sebagai respon terhadapperkembangan faktor-faktor non-fundamental. Kedua, kredibilitas Bank Indonesia lebihmudah dibangun kembali melalui base money targeting karena bank sentral lebih mudahmengendalikan base money dibandingkan mengendalikan inflasi dalam situasi yang serbatidak pasti. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Pengalaman akhir-akhir inimenunjukkan bahwa pengendalian base money bukanlah hal yang mudah, terutamaketika fungsi intermediasi perbankan tidak berjalan normal dan aktivitas perekonomianberlangsung dengan uang kartal, maka sulit bagi kebijakan moneter untuk menyerapkelebihan base money. Ketiga, dalam situasi dimana banyak kendala di sisi perbankandan sektor riil, kebijakan moneter untuk mencapai target inflasi sering dihadapkan padadilemma kebijakan. Karena publik mengetahui dilemma yang dihadapi oleh bank sentraldan memiliki persepsi bahwa bank sentral akan mentolerir laju inflasi untuk tidakmengorbankan sektor riil dan perbankan, ekspektasi masyarakat terhadap inflasi semakinmeningkat. Dengan kata lain, karena publik melihat masalah yang dialami oleh perbankanmaupun oleh perusahaan adalah masalah jangka pendek yang harus segera diselesaikan,maka publik kurang percaya bahwa bank sentral akan mengabaikannya demi pencapaiantarget inflasi (credibility problem).

Dengan framework inflation targeting yang saat ini diterapkan, Bank Indonesia masihmenggunakan target base money sebagai sasaran antara. Dalam praktek, target inflasi yangdiumumkan tersebut digunakan dalam menghitung target base money denganmenggunakan simple quantity theory of money. Beberapa permasalahan dalampengendalian base money dalam inflation targeting seperti ketidakstabilan hubungan antarabase money dan inflasi dan keterbatasan instrumen dalam mengendalikan ‘kuantitas’ basemoney telah mendorong berkembangnya wacana tentang perlunya Bank Indonesia untuksegera menerapkan inflation targeting secara penuh (full-fledged inflation targeting). ‘Fullinflation targeting’ mengandung pengertian bahwa kebijakan moneter dalam rangkamencapai target inflasi paling tidak didasarkan pada lima pilar, yaitu tidak adanya nomi-nal anchor lainnya, komitmen institusional untuk mencapai kestabilan harga, tidak adanyadominasi fiskal, instrument independence, dan transparansi dan akuntabilitas (Mishkindan Hebbel, 2001). Dari kelima pilar IT ini, hanya pilar pertama yang belum dipenuhidalam framework kebijakan moneter yang saat ini dilakukan, yaitu masih adanya ‘doublenominal anchor’ yaitu digunakannya base money sebagai nominal anchor selain target inflasiitu sendiri.3 Lebih dari itu, kebijakan moneter belum sepenuhnya dilakukan secara for-

2 Dalam praktek inflation targeting, sejumlah negara menggunakan Taylor-type rule dalam merespon tekanan inflasi, dimanasuku bunga digunakan sebagai operasional target.

3 Sedangkan keempat unsur lainnya secara jelas telah digariskan dalam UU 23/1999.

61Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

ward looking, dalam arti target operasional tidak secara eksplist diarahkan untuk meresponperkembangan inflasi ke depan secara dinamis.

Framework inflation targeting yang bersifat forward looking mensyaratkankemampuan bank sentral dalam memprediksi perkembangan inflasi ke depan. Studi iniditujukan untuk mengidentifikasi sejumlah indikator atau variabel yang memilikikandungan informasi terhadap inflasi ke depan. Dalam konteks inflation targeting informasiterhadap perkembangan inflasi ke depan ini sangat krusial dalam menentukan responkebijakan moneter, yaitu respon dari target operasional jika perkembangan inflasi ke depantelah melenceng dari target inflasi yang telah ditetapkan.

Kesimpulan dari paper ini adalah sebagai berikut. Pertama, variabel-variabel nilaitukar merupakan ‘the best indicators’ inflasi dan memberikan efek yang segera terhadapinflasi. Kedua, variabel-variabel suku bunga memiliki information content yang lebih baikterhadap inflasi dibandingkan dengan variabel-variabel kuantitas uang. Temuan inikonsisten dengan berbagai penelitian sebelumnya yaitu suku bunga memiliki informationcontent yang tinggi terhadap inflasi ke depan. Ketiga, output gap mengandung informasiinflasi yang sangat signifikan dan memiliki predictive power terhadap inflasi degan lagantara 12-18 bulan. Ekspektasi inflasi yang dihasilkan dari Survey Kegiatan Dunia Usaha(SKDU) merupakan indikator inflasi dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjangkekuatan indikator ini terhadap inflasi melemah.

2. Inflation Targeting dan Information Variables

Secara operasional, negara-negara yang telah menerapkan inflation targeting secarapenuh seperti UK, Canada, Swedia dan Brazil, menggunakan suatu “rule”, seperti Taylorrule dalam merespon terhadap tekanan inflasi ke depan. Secara spesifik, suku bunga yangmenjadi stance kebijakan moneter disesuaikan apabila terjadi deviasi antara prakiraan inflasiyang akan datang (forecast inflasi) dengan target inflasi yang telah ditetapkan, dan apabilaproyeksi atas aggregat permintaan telah melebihi kapasitas perekonomian.

r = ηrt-1 + α(πf-π*) + β(y-y*)

dimana r adalah suku bunga jangka pendek yang dipergunakan sebagai operationaltarget (instrument kebijakan), πf dan π* adalah inflasi yang akan datang (prakiraan inflasi)dan target inflasi, y dan y* output aktual dan output potensial sehingga (y-y*) adalah outputgap. Suku bunga jangka pendek sebagai instrument moneter tersebut merupakan variabelyang harus dapat dikontrol oleh bank sentral dan akan berubah sebagai respon kebijakandalam rangka pencapaian sasaran akhir target inflasi. Sehingga dalam rejim inflation tar-

62 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

geting, prakiraan inflasi mempunyai peranan yang penting karena prakiraan inflasi tersebutseringkali menjadi semacam “intermediate target”, sehingga kemampuan bank sentral untukmemprediksi inflasi secara tepat menjadi sangat penting. Akan tetapi dalam pengambilankebijakan untuk merespon jika terjadi deviasi dari target menjadi lebih komplek karena halini juga tergantung dari banyak faktor antara lain penentuan dari model yang dipergunakansehingga permasalahannya tidak sesederhana untuk forecast inflasi saja. Oleh karena itu,banyak negara yang menggunakan inflation targeting juga memerlukan set indicator vari-ables sebagai information variables. Sehingga variables yang mempunyai prediction con-tent dengan inflasi yang akan datang ini menjadi penting untuk membantu pengambilkebijakan.

Secara umum information variables merupakan sebuah set variabel indikator yangmempunyai kandungan informasi untuk memprediksi inflasi yang akan datang. Sebuahvariabel dapat berperan sebagai information variabel ataupun sebagai intermediate target,tergantung dari framework kebijakan moneter yang digunakan. Sebagai contoh, nilai tukardalam rejim nilai tukar tetap merupakan intermediate target, namun dalam rejim nilai tukarfleksibel merupakan information variable. Contoh lain, uang beredar yang berperan sebagaiintermediate target dalam framework monetary targeting, dapat berperan sebagai infor-mation variable dalam framework inflation targeting.

Peranan dari suatu variable “hanya” sebagai information variable berbeda denganperanannya sebagai intermediate target4 . Dalam framework intermediate targeting,variabel tersebut harus memiliki hubungan struktural dengan variabel yang menjadi sasaranakhir yaitu inflasi, lebih dari sekedar memiliki ‘forecasting power’ atau ‘leading indicator’inflasi. Lebih dari itu hubungan struktural tersebut harus stabil. Tentu saja variabel yangmenjadi intermediate target harus dapat dikontrol oleh bank sentral melalui instrumen yangdimiliki, sehingga intermediate target itu berupa variabel finansial, seperti suku bunga jangkapanjang atau uang beredar.

Sementara itu, variabel yang berperan sebagai information variabel tidak memerlukanhubungan struktural yang stabil dengan inflasi namun cukup memerlukan forecasting powerterhadap inflasi. Di samping itu, salah satu keuntungan penggunaan information variabledidalam inflation targeting adalah dimungkinkannya untuk memasukkan indikator non-finansial didalam implementasi kebijakan moneter sehingga dapat meningkatkan efektivitaspencapain sasaran akhir kebijakan moneter. Keuntungan lain dari pendekatan ini adalahbahwa sebuah variabel yang tidak lagi memiliki kandungan informasi inflasi dapat denganmudah diganti dengan variabel yang lain. Ketidakstabilan hubungan struktural antarauang beredar dengan inflasi dan output pasca deregulasi sektor keuangan di berbagai negara

4 Diskusi lebih detail dapat dilihat di Friedman (1996).

63Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

industri dan berkembang telah menggeser peran uang beredar dari sasaran antara menjadisekedar information variabel (Friedman dan Kuttner, 1992). Dalam kaitan ini, ketidakpastiantransmisi kebijakan moneter dalam suatu periode dimana telah terjadi perubahan strukturaldalam perekonomian, penggunaan suatu set information variables dalam kebijakan moneter,daripada menggunakan sebuah variabel sebagai intermediate target, menjadi lebih tepat.

Pendekatan information variable sejalan dengan kerangka inflation targeting yaitubersifat constrained discretion dan orientasi kebijakan moneter yang bersifat aktif. Berbedadengan intermediate targeting dimana kebijakan moneter dilakukan secara pasif sepertimisalnya Friedman’s money supply rule, pendekatan information variables berhubungandengan penggunaan kebijakan moneter yang aktif seperti dalam inflation targeting dimanarespon kebijakan moneter merupakan hasil ‘feedback’ dari variabel indikator. Informationvariables ini diharapkan dapat memberikan signal kepada otoritas moneter sehingga otoritasmoneter dapat melakukan tindakan preventif jika terjadi “shock” yang dapat mempengaruhitarget inflasi. Atas dasar informasi tersebut, otoritas moneter diharapkan dapat merubahpolicy stance yang diperlukan.

3. Metodologi dan Data3.1. Metodologi

Untuk mengidentifikasi suatu variable yang dapat dikelompokkan dalam informa-tion variables, yaitu variabel-variabel yang memiliki kandungan informasi terhadap inflasi,studi ini menggunakan berbagai pendekatan. Pertama, untuk melihat hubungan jangkapanjang antara variabel-variabel yang menjadi kandidat dengan inflasi, pertama kalidilakukan pengujian kointegrasi. Selain hubungan kointegrasi antara kedua variabel tersebut(bivariate), pengujian kointegrasi juga dilakukan dalam bentuk multivariate denganmelibatkan output riil (trivariate), dan output riil dan nilai tukar (four-variate). Kedua,selanjutnya untuk melihat ‘information content’ dari variabel-variabel indikator dilakukan‘Granger causality test’ dari variabel indikator terhadap inflasi dalam bentuk reduce formpersamaan inflasi dalam bentuk first-difference jika antar variabel tidak terdapat hubungankointegrasi:

∆Xt = α(L) ∆Xt-1 + β(L) ∆Yt-1 + φ(L) ∆Zt-1 + ε t (1)

atau dalam bentuk model ‘error correction’ jika antar variabel terdapat hubungan kointegrasi,yaitu dengan menambahkan error correction term ke dalam model (1), menjadi:

∆Xt = α(L) ∆Xt-1 + β(L) ∆Yt-1 + φ(L) ∆Zt-1 + EC t-1 +ε t (2)

64 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

dimana X adalah logaritmik dari indeks harga dan Y adalah variabel indikator. Z adalahvektor dari variabel kontrol yang kemungkinan mengandung informasi terhadap inflasi.Dalam hal ini Z adalah GDP riil untuk model tiga-variabel dan GDP riil dan nilai tukaruntuk model empat-variabel. EC adalah error correction term jika terdapat hubungankointegrasi antar variabel indikator, indeks harga dan variabel kontrol.

Ketiga, untuk melihat apakah hubungan antara variabel kandidat dan inflasi bersifat‘struktural’ dalam arti variabel tersebut penting dalam transmisi kebijakan moneter, studiini juga menghitung variance decomposition dari inflasi.

3.2. Data

Sampel data adalah bulanan 1984.01 – 2001.12. Data inflasi yang digunakan adalahinflasi IHK, inflasi inti dengan menggunakan metode exclusion dan inflasi inti denganmenggunakan metode trimming. Sedangkan variabel-variabel yang digunakan sebagaikandidat terdiri dari 29 variabel yang meliputi besaran moneter, suku bunga, spread, nilaitukar dan variabel di sektor riil seperti output gap dan ekpektasi inflasi. Besaran monetermeliputi base money (BM), uang kartal (CUR), uang beredar dalam arti sempit (M1), uangberedar dalam arti luas (M2), Divisia M1 (DIVM1), dan Divisia M2 (DIVM2). Besaranmoneter yang lain meliputi total kredit (CR_TOT), total kredit dengan koreksi nilai tukar(CR_TOTEA), kredit investasi (CR_INV) dan kredit modal kerja (CR_WC). Variabel yangterkait dengan suku bunga meliputi suku bunga SBI 1 bulan (RSBI1M), suku bunga PUABovernight (RON), suku bunga deposito 1 bulan (RD1) dan 3 bulan (RD3), suku bunga kreditmodal kerja (RC_WC) dan suku bunga kredit investasi (RC_INV). Spread suku bungameliputi spread antara suku bunga kredit dan deposito (SP_CD), spread antara suku bungadeposito dan suku bunga SBI (SP_DS). Sedangkan, nilai tukar meliputi nilai tukar nomi-nal (EXR), Real Effective Exchange Rate (REER), Nominal Effective Exchange Rate (NEER)dan swap rate. Semua data dalam bentuk level di-log-kan terlebih dahulu sebelumdigunakan dalam berbagai prosedur empiris. Disamping itu, semua data dihilangkan dariunsur seasonalnya (seasonal adjustment) dengan metode X-12.

Sementara itu, sebelum melakukan pengujian kointegrasi, semua variabel perlu diujites stationaritas untuk menganalisa apakah masing-masing variabel tersebut stationer ataunon-stationer. Hasil dari uji stationaritas dengan menggunakan prosedur AugmentedDickey-Fuller (ADF) dimana jumlah ‘agumented lag’ ditentukan sedemikian rupa sehinggaresidual dari persamaan ADF tidak mengandung serial correlation. Hasil pengujian denganADF ini ditampilkan dalam Tabel 1. Tabel 1 mengindikasikan bahwa masing-masing levelvariabel tidak stasioner, sehingga perlu dilakukan uji stationaritas dengan menggunakanfirst difference untuk masing-masing variabel. Hasil uji stationaritas dengan menggunakan

65Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

first difference untuk masing-masing variabel tersebut menunjukkan bahwa masing-masingvariabel adalah stasioner pada first difference atau masing-masing variabel tersebutberintegrasi order 1 (I(1)), sehingga valid digunakan untuk pengujian kointegrasi.

Dengan memperhatikan hasil uji stasionaritas, maka pengujian Granger causalitymenggunakan VAR dalam bentuk first difference. Sedangkan jika terdapat kointegrasi antarvariabel, maka Granger causality test untuk melihat information content dari variabel-variabel kandidat dilakukan dengan menggunakan vector error correction, yaitu first dif-ference VAR dengan memasukkan error correction term.

4. Hasil Empiris

Hasil dari pengujian kointegrasi dan block exogeneity test (Wald test) untukmengetahui kandungan informasi terhadap inflasi IHK, exclusion and trimming ditampilkandalam Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4 masing-masing untuk sistem dengan dua, tiga dan empatvariabel. Hasil pengujian kointegrasi menunjukkan bahwa dalam sistem dua variabel(bivariate system), yaitu variabel informasi dan inflasi, menunjukkan bahwa uang primer,uang kartal, nilai tukar nominal, M1, Divisia M1 dan M2 terkointegrasi dengan ketiga jenisukuran inflasi . Dalam sistem dengan tiga variabel (trivariate system), maka antara uangprimer dan inflasi tidak lagi terkointegrasi, sedangkan variabel lainnya secara konsistenmasih terkointegrasi. Namun, dalam sistem dengan empat variabel, yaitu denganmemasukkan nilai tukar ke dalam sistem, beberapa variabel yang sebelumnya terkointegrasiseperti uang primer dan uang kartal menjadi tidak terkointegrasi lagi.

Hasil pengujian dengan Wald test/causality test pada sistem dengan dua variabeluntuk melihat kandungan informasi variabel terhadap inflasi mengindikasikan bahwasecara umum baik variabel kuantitas uang seperti uang kartal, M0, M1 dan M2, dan variabel-variabel suku bunga dan nilai tukar mempunyai kandungan informasi terhadap inflasibaik yang diukur dengan IHK maupun terhadap inflasi inti dengan metode exclusion dantrimming. Total kredit, kredit investasi, dan kredit modal kerja juga mempunyai kandunganinformasi yang signifikan terhadap inflasi baik yang diukur dengan IHK maupun denganinflasi inti yang diukur dengan exclusion dan trimming. Akan tetapi hasil uji bivariate Waldtest menunjukkan bahwa kredit yang telah dikeluarkan pengaruhnya terhadap volatilitasnilai tukar (CR_TOTEA) tidak mempunyai information content secara significant terhadapinflasi baik yang diukur dari IHK, exclusion maupun trimming. Adanya ketidak konsistenanantara hasil uji total kredit dengan kredit yang telah dikeluarkan faktor perubahan nilaitukarnya mengindikasikan bahwa pengaruh kredit terhadap inflasi kemungkinan melaluipengaruh perubahan nilai tukar.

66 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Hasil bivariate variance decomposition yang ditampilkan dalam Tabel 5 mendukunghasil dari Granger causality test. Variabel-variabel nilai tukar baik nominal maupun riil,kecuali swap rate, memiliki kemampuan prediksi yang terbesar dalam jangka pendek (6bulan) dan kamampuan prediksi terhadap inflasi dalam jangka panjang masih relatif tinggiwalaupun mengalami penurunan. Sebaliknya, variabel besaran moneter seperti uang kartal,base money, M1, dan M2 serta kredit memiliki kemampuan prediksi yang agak lemah untukinflasi jangka pendek namun kemampuan prediksinya terhadap inflasi dalam jangka yangrelatif lebih panjang menguat dan sangat signifikan di atas 24 bulan. Fakta di atasmenunjukkan bahwa transmisi nilai tukar kepada inflasi bersifat segera, sedangkan transmisiuang beredar kepada inflasi memiliki waktu tunda yang relatif lebih lama antara 1-2 tahun.

Mendukung temuan dari uji Granger causality, variance decompisition dari inflasimenunjukkan bahwa total kredit yang sudah dikoreksi dari unsur pergerakan nilai tukartidak memiliki kemampuan prediktif yang sangat rendah. Sementara itu, variabel sukubunga yang memiliki kemampuan prediksi cukup signifikan terhadap inflasi IHK adalahsuku bunga deposito 1 bulan dan suku bunga PUAB overnight. Namun, untuk inflasi intibaik yang dihitung dari exclusion maupun trimming, suku bunga deposito 3 bulan memilikikemampuan prediksi yang lebih baik dibanding dengan suku bunga deposito 1 bulan.

Walaupun perhitungan output gap dengan metode Hodrick-Prescott sampai saat inimasih banyak mengandung kelemahan, namun kandungan informasi variabel ini terhadapketiga ukuran inflasi sangat signifikan. Dari variance decomposition inflasi jugamenunjukkan bahwa output gap memiliki kemampuan prediktif terhadap inflasi denganlag antara 1-2 tahun. Sementara itu, ekspektasi inflasi juga mengandung informasi inflasidalam jangka pendek. Predictive power ekspektasi inflasi menjadi melemah setelah 6bulan.

Hasil temuan di atas juga konsisten pada sistem dengan tiga variabel. Secara umumtidak ada perbedaan temuan yang signifikan antara sistem dengan dua variabel dan tigavariabel. Hal ini juga tercermin dari temuan bahwa semua variabel nilai tukar, baik nilaitukar nominal (Rp/USD), nominal effective exchange rate (NEER), dan real effective ex-change rate (REER) secara konsisten memiliki kandungan informasi yang signifikan terhadapinflasi. Namun demikian, hasil pengujian Granger-causality menunjukkan bahwakandungan informasi dari base money menjadi lemah dalam trivariate system. Sementaraitu, dari hasil trivariate variance decomposition, semakin menunjukkan konsistensi nilaitukar sebagai indikator inflasi baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, sementarapredictive power dari beberapa besaran moneter seperti base money, uang kartal, M1 danM2 mengalami penurunan. Sebaliknya, predictive power dari suku bunga terutama sukubunga PUAB overnight mengalami penguatan dibanding dalam bivariate.

67Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

Hasil pengujian Granger causality dengan empat variabel dalam VAR, yaitu denganmemasukkan nilai tukar nominal ke dalam VAR, ditampilkan dalam Tabel 4, sedangkanfour-variable variance decomposition disajikan dalam Tabel 7. Hasil dari Granger cau-sality maupun variance decomposition dengan memasukkan nilai tukar ke dalam sistemmenunjukkan perubahan yang cukup signifikan dari information content dan predictivepower dari variabel-variabel kandidat. Kandungan informasi terhadap inflasi dariberbagai besaran moneter seperti M1, M2, Divisia M1 dan M2 menjadi hilang. Divisia M1dan Divisia M2 memiliki kandungan informasi terhadap inflasi inti yang dihasilkan darimetode trimming. Sementara itu, base money dan uang kartal masih memiliki kandunganinformasi terhadap semua jenis inflasi namun tidak terkointegrasi dengan inflasi. Temuanini didukung dengan hasil dari variance decomposition yang menunjukkan bahwa pre-dictive power dari base money dan uang kartal melemah. Hal ini memperkuat faktatingginya peran nilai tukar dalam mempengaruhi inflasi sehingga peran dari agregatmoneter menjadi kurang signifikan. Yang menarik adalah kandungan informasi darivariabel suku bunga menjadi menguat, bahkan predictive power dari suku bunga PUABmelebihi predictive power dari base money baik untuk prediksi inflasi dalam jangka yanglebih pendek (1 tahun) maupun jangka panjang (2-3 tahun). Output gap menjadi variabelyang memiliki predictive power yang tertinggi baik untuk jangka waktu 1, 2 dan 3 tahunke depan, konsisten untuk semua jenis inflasi.

Untuk mengetahui seberapa lama dampak dari perubahan variabel indikator tersebutakan mempengaruhi inflasi yang akan datang, studi ini menggunakan impulse-response.Impulse–response function ini pada dasarnya digunakan untuk mengetahui time pathresponse dari target variabel dengan adanya 1 unit shock dari variabel besaran monetertersebut. Pengujian impulse-response function hanya dilakukan untuk variabel besaranmoneter yang telah terseleksi mempunyai kandungan informasi yang cukup signifikanterhadap inflasi. Hasil dari pengujian impulse response tersebut ditampilkan dalamgrafik 1.

Impulse response function untuk base money mengindikasikan bahwa dampak basemoney pada inflasi mencapai puncaknya dalam waktu sekitar 24 bulan, sehingga hal inimengindikasikan bahwa perubahan base money mempunyai informasi untuk memprediksiinflasi baik inflasi IHK, exclusion, dan trimming sekitar 2 tahun kedepan. Impulse re-sponse function bivariate untuk uang kartal mengindikasikan perubahan uang kartalmempunyai dampak maksimum terhadap inflasi IHK yang lebih pendek dibdaning basemoney yaitu sekitar 20-25 bulan ke depan. Impulse response function untuk total kreditsignfikan pada periode antara 6 sampai 12 bulan, sedangkan di atas 12 bulan dampaknyatidak signifikan (standar deviasi besar). Sementara itu, impulse response dari inflasiterhadap beberapa besaran moneter lain seperti M1, M2 dan Divisia M2 secara umummencapai puncak berada pada kisaran antara 18-24 bulan.

68 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Konsisten dengan hasil variance decomposition, dampak nilai tukar baik nominalmaupun REER terhadap inflasi IHK relatif lebih cepat dan mencapai puncaknya padaperiode yaitu sekitar 8-12 bulan. Sementara itu, dampak output gap terhadap inflasi sangatsignifikan dan mencapai maksimum antara 12-18 bulan.

5. Kesimpulan

Dari hasil studi empiris ‘information content’ sejumlah variabel informasi dapatdisimpulkan bahwa: pertama, variabel-variabel nilai tukar merupakan ‘the best indica-tors’ inflasi dan memberikan efek yang segera terhadap inflasi. Kedua, variabel kuantitasuang, seperti uang kartal, base money, M1, dan M2 masih memiliki kandungan informasiyang cukup tinggi terhadap inflasi dengan lag sekitar 20-24 bulan. Namun, kandunganinformasi aggregat moneter ini melemah ketika nilai tukar dimasukkan sebagai variabelkontrol. Melemahnya kandungan informasi besaran moneter, seperti jumlah uang beredardan kredit mempunyai implikasi pada pergeseran peran variabel-variabel ini di dalamkebijakan moneter Bank Indonesia, yaitu dari peran sebagai intermediate target menjadisekedar information variables. Dari variabel aggregate moneter tersebut, base money (M0)mempunyai information content yang cukup besar untuk memprediksi inflasi IHK maupuninflasi inti.

Ketiga, variabel-variabel suku bunga, terutama suku bunga PUAB memilikikandungan informasi yang lebih baik terhadap inflasi dibandingkan dengan variabel-variabel kuantitas uang. Temuan ini konsisten dengan berbagai penelitian sebelumnyayaitu suku bunga PUAB memiliki information content yang tinggi terhadap inflasi ke depan.Sementara itu, kandungan informasi suku bunga SBI terhadap inflasi sangat lemah.

Keempat, output gap memiliki kandungan informasi yang sangat signifikan dengandampak yang relatif lebih cepat dibanding besaran moneter yaitu sekitar 12-18 bulan.Kelima, ekspektasi inflasi yang dihasilkan dari Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)merupakan indikator inflasi dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjangkekuatan indikator ini terhadap inflasi melemah.

69Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

Variables

Tabel 1Unit Root Test

Optimum Lag

No Trend With Trend

LEVEL

CPt_SA 8 3.07349 8 -1.75697

CPt_EX 7 2.21094 6 -2.71705

CP’-TR 10 2.86601 6 -2.44879

GDPRL_SA 4 2.45307 6 -0.20988

BM_SA 1 6.94162 1 -0.91795

BM_LA 12 4.01118 12 -1.09637

CR_INV_SA 5 0.35002 6 -2.16116

CR_TOT_SA 8 0.29725 8 -2.74719

CR_TOTEA_SA 12 0.30327 3 -1.74274

CR_WC_SA 8 0.37032 8 -2.67895

CUR_SA 12 3.98097 12 -1.35969

CUR_LA_SA 11 521914 11 -1.23391

EXR_SA 9 1.28698 9 -2.21537

GAP RAT_SA 12 -5.09034 12 -5.09768

M1_SA 1 8.01372 1 -2.53872

M1SAV_SA 6 3.75999 6 -4.02030

M2_SA 5 4.22129 8 -3.13065

DIVM2_SA 1 7.75607 1 -3.89715

DIVM2ATM_SA 1 7.82716 1 -3.48499

NEER_SA 9 -1.33080 9 -2.72610

REER_SA 12 -0.81690 8 -412346

SWAP_SA 12 -0.34333 6 -3.54352

RC_INV 1 -0.37937 1 -1.78712

RC_INV_SA 1 -0.38434 1 -1.75939

RC_WC_SA 10 -0.60979 10 -3.19160

RD1_SA 8 -1.32508 6 -4.34845

RD3_SA 3 -1.18046 6 -4.05376

RON_SA 2 -1.37353 8 -3.69336

RSBI1 M_SA 7 -1.79311 7 -4.34111

SKDU_SA 3 -1.12340 5 -265398

FIRST DIFFERENT

DCPI_SA 7 -3.41093 7 -4.74025

DCP,-EX 5 -2.21516 6 -3.39513

DCPI_TR 5 -2.03947 9 -3.86196

DGDPRL_SA 12 -2.61719 12 -4.01669

DBM_SA 9 -2.23867 1 -23.91980

DBM_LA 8 -3.05434 11 -5.16108

DCR_INV_SA 4 -3.07564 4 -3.17089

DCR_TOT_SA 7 -1.80275 4 -3.17619

DCR- TOTEA_SA 11 -2.31532 11 -2.45894

DCR_WC_SA 7 -1.81605 7 -193426

DCUR_SA 11 -2.20297 11 -4.70387

DCUR_LA_SA 11 -2.62778 10 -6.33612

DEXR_SA 12 -4.93327 12 -5.61257

DGAPRAT_SA 12 -6.90560 12 -6.86767

DM1_SA 5 -3.45051 1 -18.86684

DM1SAV_SA 5 -2.44310 4 -6.69113

DM2_SA 7 -1.71239 4 -5.07566

DDIVM2_SA 5 -2.07741 1 -14.71917

DDIVM2ATM_SA 7 -1.67563 1 -14.91296

DNEER_SA 12 -430012 12 -489369

DREER_SA 12 -5.42841 12 -5.50716

DSWAP _SA 11 -4.55591 11 -4.52166

DRC_INV 1 -11 .39625 1 -11.32773

DRC_INV_SA 1 -11.65270 1 -11 .58267

DRC_WC_SA 9 -3.18708 9 -3.16782

DRD1_SA 7 -4.32722 7 -4.30943

DRD3_SA 2 -5.26551 2 -5.24246

DRON_SA 12 -3.99635 12 -3.96830

DRSBI1 M_SA 12 -5.46469 12 -5.43579

DSKDU_SA 1 -5.72828 1 -5.69024

ADF Test-stat Optimum Lag ADF Test-stat

70 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

INFORMATIONS VARIABLES

Tabel 2Kointegrasi dan Casuality (bivariete)

HEAD LINE

Coint Wald ECM Coint Wald ECM Coint Wald ECM

EXCLUSION TRIMMING

BM Base MoneyBM_SA Yes 11,19 5,51** Yes 9,13 9,06*** No 14,38 -

(0,51) (0,02) (0,69) (0,00) (0,28)BM_LA No 43,51*** - Yes 30,19- 7,9S- Yes 36,50*** 712***

(0 ,00) (0,00) (0,00) (0 ,00) (0,08)CR_INV Credit - InvestmentCR_NV_SA No 75,28*** - No 65,72*** - No 52,20*** 10.001

(0.00) (0, 00) (0,00)CR_TOT Credit - TotalCR_TOT_SA No 75.28*** - No 66,79*** - - 47,26*** -

(0.00) (0. 00) (0,00)CR_TOTEA Credit- Total with ER adjCR_TOTEA_SA No 15.37 - No 18,09 - No 11,81 -

(0.22) (0,11) (0,46)CR_WC Credit - working capitalCR_WC_SA No 41,04*** - No 63,69*** - No 43,70*** -

(0.00) (0.00) (0.00)CUR CurrencyCUR_SA Yes 13,31 5,16** Yes 7,06 6,56** Yes 6,70 6,26**

(0,35) (0,02) (0,85) (0,01) (0,88) (0,012)CUR_LA_SA No 39,50*** - No 26,78*** - No 2405*** -

(0.00) (0,008) (0',02)EXR Exchange rate nominalEXR_SA Yes 95,58*** 3.01* No 287,14*** - No 270,03*** -

(0.00) (0,08 (0,00) (0.00)GAPRAT Output gap in ratio termsGAP RAT_SA No 33,11*** - No 33,15*** - No 26,40***

(0.00) (0.00) (0.009)M1 Narrow MoneyM1_SA Yes 38.05*** 16,98*** No 32,29*** 757*** No 30,06*** 9.05***

(0,00) (0. 00) (0.00) (0.006) (0.003 (0.003)M1 SAV Na.rrow + Saving depositsM1SAV_SA No 38,62*** - No 50,49*** - No 51,94*** -

(0,00) (0,00) (0.00)M2 Broad moneyM2_SA No 96.84*** - No 148,91*** - No 139,62*** -

(0,00) (0,00) (0,00)DIVM2 Divisia broad moneyDIVM2_SA Yes 32.06*** 20,00*** Yes 31,82*** 10 48*** Yes 33,78*** 13,38***

(0,00) (0.00) (0,00) (0.00) (0.00) (0,00)DIVM2ATM Divisia broad moneyadjusled ATMDIVM2ATM_SA Yes 25,82** 13,31** No 24,70** - Yes 25,61** 9,04***

(0.011) (0.00) (0.016) (0,012) (0.003) NEER Nominal efective exchange rate NEER_SA No 207,43*** - No 311,62*** - No 262 ,9*** -

(0.00) (0.00) (0.00)RC_INV Loan rate - ivestment No 24,50** - No 26,11** - No 28,58*** -

(0,02) (0,01) (0,005)RC_NV_SA No 24,85** - No 28,09** - No 28 44*** -

(0.02) (0.007) (0.005)RC_WC Loan rate. - working capitalRC_WC_SA No 55.30*** - No 106,33*** - No 85,19*** -

(0.00) (0.00) (0.00)RD1 Deposit rate - 1 monthRDI_SA No 35,73*** - No 54,92*** - No 72,73*** -

(0.00) (0.00) (0.00)RD3 Deposit rate - 3 monthRD3_SA No 30.06*** - No 46,53*** - No 53,83*** -

(0.00) (0.00) (0.00)REER Real effective exchange rateREER_SA No 196,87*** - No 289,17*** - No 248,81*** -

(0.00) (0.00) (0.00)RON Overnight rate - PUABRON_SA No 55,81*** - No 110,03*** - No 111,99*** -

(0.00) (0.00) (0.00)SBI1M SBI1 month rateSBI1M_SA No 28.84*** - No 28,05*** - No 30,18*** -

(0.00) (0.005) (0.003)SWAP Swap rateSWAP_SA No 78,11*** - No 92,88*** - No 97,11*** -

(0.00) (0.00) (0.00)SKDU Survey in Business Sector ActivilySKDU_SA No 42,89*** - No 42,13*** - No 49,13*** -

(0.00) (0.00) (0.00)

Note

*) Significant at α= 10% or 90% level of confidence **) Significant at α = 5% or 95% level of confidence ***) Significant at α= 1% or 99% level of confidence

71Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

INFORMATIONS VARIABLES

Tabel 3Kointegrasi dan Casuality (trivariete)

HEAD LINE

Coint Wald ECM Coint Wald ECM Coint Wald ECM

EXCLUSION TRIMMING

BM Base MoneyBM_SA No 20,77*** - Yes 7,54 4,37** No 11,32 -

(0,054) (0,82) (0,04) (0,50)BM_LA No 35,23*** - Yes 17,00 4 09*** Yes 20,24* 348*

(0,00) (0,15) (0.04) (0,06) (0.06)CR_INV Credit - InvestmentCR_INV_SA No 68,89*** - No 74,97*** - No 59,54*** -

(0,00) (0,00) (0.00)CR_TOT Credit - TotalCR_TOT_SA No 49,76*** - No 8180*** - No 54,12*** -

(0.00) (0.00) (0.00)CR_TOTEA Credit - Total with ER adjCR_TOTEA_SA No 12.42 - No 19.41* - No 14,58 -

(0.41) (0.08) (0.27)CR_WC Credit - working capitalCR_WC_SA No 41.12*** - No 74,77*** - No 46,92*** -

(0.00) (0,00) (0,00)CUR CurrencyCUR_SA Yes 11,33 2,92* Yes 6,58 5,45** Yes 8,18 5,51**

(0,50) (0,09) (0,88) (0,02) (0,77) (0,02)CUR_LA_SA No 28,78*** - No 17,41 - No 17,15 -

(0,004) (0,13) (0,14)EXR Exchange rate nominalEXR_SA Yes 42,26*** 8,03*** Yes 76,16*** 6,74*** Yes 76,91*** 3,87**

(0,00) (0 ,005) (0.00) (0,009) (0.00) (0,045)GAPRAT Output gap in ratio termsGAPRAT_SA No 32.12*** - No 20,16* - No 19,46* -

(0 ,00) (0.06) (0.08)M1 Narrow MoneyM1_SA Yes 26,06** 12,60*** Yes 17,71 6,96*** Yes 17,88 9,72

(0,011) (0,00) (0,12) (0.008) (0,12) (0,00)M1SAV Narrow + Saving depositsM1SAV_SA No 21.24** - No 34,16*** - No 34,27*** -

(0,047) (0,00) (0,00)M2 Broad moneyM2_SA No 86.79*** - No 138,75*** - No 135,71*** -

(0.00) (0.00) (0.00)DIVM2 Divisia broad moneyDIVM2_SA Yes 25,02** 10,02*** Yes 22,17** 4.86** Yes 25. 86** 5.96**

(0.015) (0,00) (0.04) (0.03) (0.011) (0.015)DIVU2ATIII Divisia broad money adjusted ATMDIVM2ATIII_SA Yes 22.69** 8.87** No 17.11 - Yes 19.91* 4.02**

(0.03) (0.03) (0.15) (0.07) (0.045)NEER Nominal efective exchange rateNEER_SA Yes 36,44*** 3,98** Yes 72,49*** 7,16*** Yes 186,91*** -

(0.00) (0.045) (0.00) (0.007) (0.00)RCJNV Loan rate - investment No 33,72*** - No 29,09*** - No 32,06*** -

(0,00) (0,004) (0,00)RC_INV_SA No 34,31*** - No 30,22*** - No 33,55*** -

(0.00) (0.003) (0.00)RC_WC Loan rate - working capitalRC_WC_SA No 54.27*** - No 85,62*** - No 77,40*** -

(0.00) (0.00) (0.00)RD1 Deposit rate - 1 monthRD1_SA No 45.51*** - No 51.77*** - No 56,94*** -

(0.00) (0.00) (0.00)RD3 Deposit rate - 3 monthRD3_SA No 35.65*** - No 32,73*** - No 37,31*** -

(0.00) (0,001) (0,00)REER Real effective exchange rateREER_SA No 146.10*** - No 239,83*** - No 179,79*** -

(0.00) (0.00) (0.00)RON Overnight rate - PUABRON_SA No 59.26*** - No 88.44*** - No 77,12*** -

(0.00) (0.00) (0.00)SBI1M SBI1 month rateSBI1M_SA No 30.93*** - No 3200*** - No 29,90*** --

(0.002) (0.001) (0,003)SWAP Swap rateSWAP_SA No 70.76*** - No 77.63*** - No 93,18*** -

(0.00) (0.00) (0.00)SKDU Survay in Business Sector ActivitySKDU_SA No 26.07** - No 21 ,67** - No 28,56*** -

(0.01) (0,04) (0,005)

Note

*) Significant at α= 10% or 90% level of confidence **) Significant at α = 5% or 95% level of confidence ***) Significant at α= 1% or 99% level of confidence

72 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

INFORMATIONS VARIABLES

Tabel 4Kointegrasi dan Casuality (four-variete)

HEAD LINE

Coint Wald ECM Coint Wald ECM Coint Wald ECM

EXCLUSION TRIMMING

BM Base MoneyBM_SA No 24.08*** - No 15.34 - No 14.77 -

(0,02) (0,22) (0,25)BM_LA No 36.92*** - No 30.57*** - No 34.97*** -

(0,00) (0,15) (0,00)CR_INV Credit - InvestmentCR_INV_SA No 15.02*** - Yes 39.29*** 2.86* No 28.53*** -

(0,24) (0,00) (0.09) (0.00)CR_TOT Credit - TotalCR_TOT_SA Yes 20.96*** 4.21** Yes 28,98*** 3.35* Yes 30.40*** 3.84**

(0.05) (0.04) (0.004) (0.07) (0.00) (0.049)CR_TOTEA Credit - Total with ER adjCR_TOTEA_SA Yes 23.17** 4.10** Yes 23.89** 3.09* Yes 26.02** 3.38*

(0.03) (0.04) (0.02) (0.08) (0.011) (0.07)CR_WC Credit - working capitalCR_WC_SA Yes 19.05* 4.31** Yes 21.25** 3.60* Yes 22.30** 3.92**

(0.09) (0.04) (0,047) (0.06) (0,03) (0.048)CUR CurrencyCUR_SA No 21.41** - No 14.90 - No 22.68** -

(0,045) (0,25) (0,03)CUR_LA_SA No 32.02*** - No 21.58** - No 30.46*** -

(0,00) (0,04) (0,00)GAPRAT Output gap in ratio termsGAPRAT_SA Yes 13.10 6.19** Yes 13.00 6.05** Yes 11.71 3.00*

(0 ,36) (0.013) (0.37) (0.014) (0.47) (0.08)M1 Narrow MoneyM1_SA No 12.07 - No 13.64 - No 15.91 -

(0,44) (0,32) (0,19)M1SAV Narrow + Saving depositsM1SAV_SA Yes 16.42 6.22** Yes 13.94 4.29** Yes 25.15** 3.92**

(0,17) (0.013) (0,30) (0.04) (0,014) (0.048)M2 Broad moneyM2_SA No 12.62 - No 15.34 - No 17,97 -

(0.40) (0.22) (0.12)DIVM2 Divisia broad moneyDIVM2_SA No 9.97 - No 14.77 - No 23.52** -

(0.62) (0.25) (0.02)DIVU2ATIII Divisia broad money adjusted ATMDIVM2ATIII_SA No 8.02 - No 14.76 - No 23.54* -

(0.78) (0.25) (0.02)NEER Nominal efective exchange rateNEER_SA Yes 11.46 4.94** Yes 12.79*** 8.10*** Yes 17.05*** 3.16*

(0.49) (0.03) (0.38) (0.00) (0.15) (0.08)RCJNV Loan rate - investment No 18.84* 6.80*** Yes 16.54 9.47*** Yes 22.54** 6.38**

(0,09) (0.009) (0,17) (0.00) (0,03) (0.011)RC_INV_SA No 20.15* 7.12*** Yes 16.86 9.63*** Yes 22.48** 6.61**

(0.06) (0.008) (0.16) (0.00) (0.03) (0.01)RC_WC Loan rate - working capitalRC_WC_SA Yes 14.79 6.93*** Yes 34.29*** 9.26*** Yes 44.35*** 8.93***

(0.25) (0.008) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00)RD1 Deposit rate - 1 monthRD1_SA Yes 24.35** 7.73*** Yes 45.69*** 6.81*** Yes 52.96*** 6.30**

(0.03) (0.005) (0.00) (0.009) (0.00) (0.012)RD3 Deposit rate - 3 monthRD3_SA Yes 31.98*** 9.15*** Yes 48.50*** 10.15*** Yes 66.29*** 6.41**

(0.00) (0.00) (0,00) (0,00) (0,00) (0,011)REER Real effective exchange rateREER_SA No 14.56 - No 15.93 - No 17.14 -

(0.27) (0.19) (0.14)RON Overnight rate - PUABRON_SA Yes 22.88** 4.16** No 27.40*** - No 37.85*** -

(0.03) (0.04) (0.007) (0.00)SBI1M SBI1 month rateSBI1M_SA Yes 19.39* 6.68*** Yes 23.96** 7.52*** Yes 23.34** 5.48**

(0.002) (0.009) (0.02) (0.006) (0,02) (0.02)SWAP Swap rateSWAP_SA No 25.05** - Yes 28.94*** 4.14** Yes 38.97*** 4.22**

(0.015) (0.00) (0.04) (0.00) (0.04)SKDU Survay in Business Sector ActivitySKDU_SA No 14.15 - No 11.35 - No 8.97 -

(0.29) (0,50) (0,71)

Note

*) Significant at α= 10% or 90% level of confidence **) Significant at α = 5% or 95% level of confidence ***) Significant at α= 1% or 99% level of confidence

73Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

Tabel 6Variance Decomposition (trivariate)

BM_SA 0 0.132 1407 27.657 51.942 0 1.858 6.878 26.242 33.317 0 2.633 5.035 15.916 23.686BM_LA 0 2.841 3.461 15.749 30.747 0 3.995 3.315 8.270 12.124 0 4.437 2.212 4.087 7.157CR_INV_SA 0 22.644 18.616 18478 18.292 0 14.889 11078 10.473 10.291 0 12.923 8.851 8.115 8.274CR_TOT_SA 0 7.801 4.538 4.178 4.473 0 6.673 4.014 3533 3.624 0 4.924 2.328 1.827 2.113CR_TOTEA_SA 0 1.685 4.624 5.745 5.432 0 4.216 9.564 11.907 11.251 0 6.026 12.103 15.152 14.286CR_WC_SA 0 4.118 1.699 1.367 1.686 0 4096 1.933 1.482 1.624 0 2.700 0.907 0.534 0.786CUR_SA 0 4.030 8.974 26.602 40.247 0 10.053 13.125 17.066 18.639 0 10.003 10.495 11460 12.709CUR_LA_SA 0 8.196 11.687 20.562 27.135 0 10.385 9869 7.881 7.659 0 10.561 9.162 6.540 6.336EXR_SA 0 56.551 71.398 77.170 78.724 0 71.668 88.450 93.987 93.830 0 73.631 90.303 94.880 94.896GAPRAT_SA 0 3.066 23.589 57.305 67824 0 3050 34560 62.374 67.499 0 3.030 33.017 67.636 73.900M1_SA 0 9.013 10.323 18.438 25.690 0 10.811 13089 20.538 24.306 0 12.360 13.314 17.606 20.749M1_SAV_SA 0 5.297 1.954 1225 1.652 0 3.438 1546 2.354 4.229 0 3.193 1.140 1.358 2.547M2_SA 0 8.549 7.726 7.931 9.108 0 11.222 15.797 29.215 36.033 0 10205 10.995 16.666 22421DlVM2_SA 0 4.027 2.974 6.531 10.893 0 0.961 0.373 1.565 3.147 0 0.945 0.281 0391 1.312DIVM 2ATM_SA 0 2.555 1.636 5.028 10.471 0 0.507 0.185 2133 5328 0 0.654 0.209 1401 3.707NEER_SA 0 55.892 60.063 58.034 58.942 0 55.115 58.593 57.177 57.114 0 0 52.412 56.566 55.687 56.678REER_SA 0 56.694 64.658 63.535 64.369 0 58.433 65.995 66.665 66.863 0 56.844 66.576 68.494 69.502SWAP_SA 0 7.044 4161 4.831 5.862 0 9.473 9.018 10.747 12.434 0 9.662 8.740 10639 12.431RC_INV 0 0.157 1.205 2.555 2.853 0 0.070 1.087 3.085 3.614 0 0.206 1.218 2.464 2.764RC_INV_SA 0 0.108 0.955 2.151 2.409 0 0.036 0.650 2.353 2.912 0 0.063 0.663 1.600 1.841RC_WC_SA 0 0.702 5.964 8.664 7.930 0 0.584 5.331 7.141 6.789 0 0.609 5.668 7.592 7.037RD1_SA 0 1448 5.007 6.390 6067 0 0.908 3.567 3745 3.579 0 0.802 3.075 3.057 2.812RD3_SA 0 0.058 0.246 0.200 0.726 0 3.931 2.955 4.901 6.783 0 2.099 1.325 2962 4.113RON_SA 0 3.084 10.917 24.566 30.961 0 1.542 7.193 12.698 13.588 0 2.795 11.586 20.540 22.934SBl 1M_SA 0 3.734 2.521 1.672 1.512 0 2.201 1.190 0.727 0.667 0 1.331 0.528 0.289 0.343SKDU_SA 0 7.029 5.901 4.945 5.166 0 20.005 22548 18.512 17.731 0 13.612 15.097 12.120 10.994

Variable

Lag61 12 24 36 61 12 24 36 61 12 24 36

CPI_SA (Headline) CPI_EX (Exclusion) CPT_TR (Trimming)

Tabel 5Variance Decomposition (bivariate)

BM_SA 0 1473 7.762 45.236 67.054 0 3.608 11.716 46.037 57.028 0 6.400 13.971 42.485 57.004BM_LA 0 11.172 20.242 47.202 65.190 0 18.664 25.497 51.716 68.102 0 22.144 26.985 49.152 66.960CR_INV_SA 0 46927 56.128 61.450 63.326 0 35.059 43878 49.053 50.719 0 33.956 44.371 52.032 55 303CR_TOT_SA 0 28.073 38883 48382 52860 0 24.407 35.184 44.173 48.131 0 22.983 34.042 44758 50224CR_TOTEA_SA 0 0.407 0.787 2.029 3.317 0 0.046 0.034 0737 2043 0 0.089 0.190 1171 2.289CR_WC_SA 0 21.471 31.301 41.660 47.267 0 19.294 29.376 39.436 44.553 0 18.730 29.122 40.468 46.798CUR_SA 0 6.997 13.924 35.429 51.921 0 16.231 26.685 48.888 62.391 0 20.274 30.478 49.591 62.491CUR_LA_SA 0 13.921 21.599 37.940 50.673 0 24.550 34.974 51.820 63.013 0 27.713 38.120 53.592 64.014EXR_SA 0 53.636 65.881 64.853 58.237 0 68.648 75.883 70.000 61145 0 64.171 71.708 67.949 61.294GAPRAT_SA 0 4.958 30737 58.941 60.929 0 5.026 33.687 59.027 59.414 0 4.810 33.905 58.825 60.367M1_SA 0 13.388 18021 28.767 38.811 0 23.228 31.091 47.723 56.580 0 27.041 35.133 50.656 60.088M1SAV_SA 0 18.679 20393 26. 825 32.365 0 13.933 13.975 21.416 28.693 0 15.069 14.992 22.688 31.209M2_SA 0 11.349 11.882 15.002 19.616 0 12.715 15.748 26.696 31.898 0 13.703 14.902 23.084 30.888DIVM2_SA 0 7.757 9.491 18.308 28.101 0 4.706 5302 12.928 23.004 0 5.393 5.796 12.968 24.338DIVMl2ATM_SA 0 6333 8.693 18.308 28.003 0 3.643 4739 13.267 23.920 0 4.364 5.469 14.238 26.932NEER_SA 0 58.276 63.121 50.930 42.442 0 57.541 57.155 39.389 28.399 0 52.745 51.824 37.556 29.749REER_SA 0 59170 67.646 59.290 54.139 0 56.611 59.082 45.311 37.039 0 53.742 57.553 49.002 43.847SWAP_SA 0 21.754 28.724 42.056 48.159 0 23.890 30.251 39.675 44.276 0 26.586 33.662 43.810 48.269RC_IN\/ 0 0.362 0.465 2.346 4.897 0 0.552 0.679 2.881 5.794 0 0.582 0.883 4.213 8.463RC_INV_SA 0 0.174 0.273 1.871 4161 0 0.296 0.460 2326 4190 0 0.392 0.755 3.817 6.452RC_WC_SA 0 0.435 1.171 0.587 0.934 0 0.352 1.021 0.481 1400 0 0231 0738 0.477 2.437RD1_SA 0 2969 5.977 5.065 3.798 0 1.265 1.724 0.793 1.121 0 1.462 1.762 0.729 1.292RD3_SA 0 0193 0.245 2.125 4.261 0 5.632 7.178 13.317 17604 0 3.513 4.185 10.796 15.056RON_SA 0 5.309 8.539 10.986 11.935 0 4.129 7.500 8983 9.083 0 6.792 12.043 13.913 13.729SBI 1M_SA 0 4189 2.046 0.936 0.859 0 1.341 0379 1.028 1.525 0 0.636 0.519 2.344 3.349SKDU_SA 0 10.326 14178 16.661 16876 0 27.164 33.474 35.853 35.682 0 20.564 24.658 26.728 26.844

Variable

Lag61 12 24 36 61 12 24 36 61 12 24 36

CPI_SA (Headline) CPI_EX (Exclusion) CPT_TR (Trimming)

74 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Tabel 7Variance decomposition (four-variable)

CPI_SA (Headline) CPI_EX (Exclusion) CPT_TR (Trimming)

BM_SA 0 1.062 0.668 15.785 32.750 0 0.017 2.093 20.984 30.223 0 0.099 1.040 12.768 22.325

BM_LA 0 0.805 0.640 4.739 17.098 0 0.964 0.869 3.240 7.420 0 1.464 1.148 1.274 4.260

CR_INV_SA 0 0.237 0.827 0.607 0.961 0 0.497 0.336 0.569 1.109 0 0.201 0.280 1.582 2.474

CR_TOT_SA 0 1.553 2.399 1.672 1.899 0 2.979 2.672 1.685 1.805 0 2.985 0.993 0.741 1.145

CR_TOTEA_SA 0 0.947 0.795 0.487 0.711 0 1.909 1.289 0.811 0.918 0 1.428 0.360 0.760 1.086

CR_WC_SA 0 2.172 2.317 1.511 1.699 0 4.106 3.818 2.481 2.419 0 4.215 1.644 0.938 1.193

CUR_SA 0 0.443 1.675 8.157 14.453 0 0.272 0.064 0.615 1.494 0 0.635 0.261 0.192 0.663

CUR_LA _SA 0 0.500 0.115 0.708 2.278 0 0.356 1.078 3.295 3.376 0 0.599 1.546 4.990 5.192

EXR_SA 0 56.551 71.398 77.170 78.724 0 71.668 88.450 93.987 93.830 0 73.631 90.303 94.880 94.896

GAPRAT_SA 0 0.711 18.380 53.279 64.273 0 0.971 31.387 65.923 70.476 0 1.051 31.542 69.226 73.745

M1_SA 0 0.765 0.169 1.648 5.792 0 0.642 0.322 1.708 5.182 0 1.103 0.549 0.500 2.105

M1SAV_SA 0 1.202 2.983 4.230 3.829 0 0.464 4.195 4.437 4.269 0 0.509 6.101 9.448 9.152

M2_SA 0 4.927 13.976 17.656 15.471 0 11.638 16.854 11.655 19.004 0 11.691 16.935 10.971 13.193

DlVM2_SA 0 1.454 3.958 2.402 4.793 0 4.755 9.576 5.878 7.006 0 5.541 11.560 8.527 8.196

DlVM2ATM_SA 0 1.477 3.853 2.454 5.804 0 4.779 9.826 6.290 8.524 0 5.548 11.430 8.677 8.406

NEER_SA 0 0.177 0.656 28.796 40.543 0 0.050 0.830 21.949 31.453 0 0.026 0.692 21.545 32.985

REER_SA 0 0.036 0.615 15.336 29.472 0 0.249 1.795 10.377 19.517 0 0.060 1.117 9.190 19.882

SWAP_SA 0 0.640 6.995 11.841 11.856 0 0.329 3.930 7.105 6.977 0 0.393 7.028 14.262 15.036

RC_INV 0 0.725 2.660 3.822 3.245 0 0.158 4.330 8.062 7.726 0 0.341 5.628 11.857 12.387

RC_INV_SA 0 0.696 2.367 3.506 2.974 0 0.124 4.168 8.246 7.938 0 0.285 5.610 12.234 12.810

RC_WC_SA 0 0.256 10.470 15.265 13.802 0 0.159 10.492 16.567 15.917 0 0.318 15.344 25.649 25.575

RD1_SA 0 0.659 5.538 9.481 9.797 0 1.257 2.035 4.721 4.809 0 1.067 3.505 10.107 10.879

RD3_SA 0 0.624 0.364 0.375 0.360 0 6.280 1.892 0.801 0.925 0 5.476 1.183 1.230 1.201

RON_SA 0 0.403 14.289 31.535 35. 385 0 2.401 10.995 23.070 24.003 0 3.063 11.648 29.838 32. 554

SBI1M_SA 0 1.226 0.579 0.262 0.229 0 0.474 0.161 0.174 0.216 0 0.307 0.088 0.128 0.141

SKDU_SA 0 3.065 0.971 0.515 0.608 0 3.542 0.986 1.082 1.013 0 2.702 1.252 1.948 1.828

61 12 24 36 61 12 24 36 61 12 24 36

Variable/

Lag

75Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

Grafik 1. Impulse Response Inflasi IHK terhadap variabel informasi (bivariate, 6 lags)

0,10

0,05

0,00

0,15

0,25

0,20

0,30

5 10 15 20 25 30 35

CR_TOT (Total Kredit)

.10

.08

.06

.04

.02

.00

-.02

5 10 15 20 25 30 35

M 2

.024

.020

.016

.012

.008

.004

.000

5 10 15 20 25 30 35

CUR (Uang Kartal)

0,1

0,0

-0,1

0,3

0,2

0,4

5 10 15 20 25 30 35

5 10 15 20 25 30 35

M 1

0,10

0,05

0,00

0,15

0,25

0,20

.030

.025

.015

.005

.000

.020

.010

-.005

5 10 15 20 25 30 35

BM (Base Money)

DIVM2 (Divisia M2)

76 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003

Grafik 1. (lanjutan)

.05

.04

.02

.01

.00

-.01

.03

5 10 15 20 25 30 35

GDPRAT (Output Gap) EXR (Exchange Rate)

REER

RON (Suku Bunga PUAB Overnight) S K D U

5 10 15 20 25 30 35

.06

.05

.04

.02

.01

.00

.03

-.01

5 10 15 20 25 30 35

.00

-.01

-.02

-.03

-.06

-.07

-.04

-.05

5 10 15 20 25 30 35

.00

-.01

-.02

-.03

-.05

-.06

-.04

SWAP

5 10 15 20 25 30 35

.05

.04

.03

.02

.00

-.01

.01

5 10 15 20 25 30 35

.03

.02

.01

.00

-.01

-.02

77Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

References

Alamsyah, H., Joseph, C., Agung, J., dan Zulverdy, D. (2001). Toward Implementation ofInflation Targeting in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Dec.

Baumgartner, Josef and Ramana Ramaswamy (1996), Inflation Targeting in the United King-dom: Information Content of Financial and Monetary Variables, IMF Working Paper, No.44.

Felman, J. (2000). Towards the Implementation of Inflation Targeting in Indonesia: Com-ments. Proceedings of an International Coneference on Monetary Policy and Inflation Targeting

in Emerging Economies, Jakarta July 2000.

Friedman, Benjamin M. and Kenneth N. Kuttner (1992), Money, Income, Prices, and Inter-est Rates, The American Economic Review, pp. 472-492, June.

Friedman, Benjamin M.(1996), The Rise and Fall of Money Growth Targets As Guidelinesfor US Monetary Policy, NBER Working Paper, No.5465.

Tallman, Ellis W. and Naveen Chandra (1997), Financial Aggregates As Conditioning Infor-mation for Australian Output and Inflation, RBA Research Discussion Paper, No. 9704,Reserve Bank of Australia.