7
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH Volume 27, Mei 2010 15 Perhitungan Fungsi Termodinamika Sistem Paraboson Orde Dua dengan Metode Differensial Numerik DIDIK PRASETYA Pusat Penelitian Fisika – LIPI, Komplek PUSPIPTEK Tangerang, Indonesia E-MAIL : [email protected] MIRZA SATRIAWAN Departemen Fisika – FMIPA, Universitas Gadjah Mada, Sekip Utara Bulaksumur,Yogyakarta Indonesia INTISARI : Berawal dari bentuk perumusan rasio determinan fungsi partisi kanonik lengkap sistem paraboson orde dua yang telah diketahui, dapat dihitung beberapa fungsi termodinamika sederhana sistem paraboson orde dua melalui proses derivatif numerik. Dengan menggunakan cara ekstrapolasi Richardson’s, perhitungan derivatif numerik dapat digunakan untuk menghitung fungsi-fungsi termodinamika model sistem partikel identik dengan tingkat energi terbatas yang mirip osilator harmonik. Hasil yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk grafik, yaitu grafik fungsi partisi kanonik lengkap Z, rerata partikel N, entropi sistem S, dan energi internal U. Semua fungsi-fungsi termodinamika sistem paraboson orde dua memiliki kemiripan bentuk dengan sistem boson, hanya nilainya lebih tinggi. KATA KUNCI : paraboson , differensial numerik, fungsi termodinamika. ABSTRACT : Starting from well known formulation ratio of determinant for the grand canonical partition function of order two parabosonic system, simple thermodynamics functions can be obtained by using numerical differentiation method. Using Richardson’s extrapolation, calculation of the numerical differentiation was used to calculate the thermodynamics functions for a system of identical particle with harmonic oscillator-like energy levels. The results showed in the form of graphics, i.e. the graphics of the grand canonical partition function Z, average number of particle N, entropy S. All of the thermodynamics functions of order two parabosonic system have a similar pattern with the bosonic system, however with higher values. KEYWORDS : parabosonic, numerical defferentiation, thermodynamics function 1 PENDAHULUAN Ditinjau dari kaidah-kaidah mekanika kuantum, tidak ada keharusan bahwa statistika partikel-partikel yang ada di alam harus memenuhi kaidah statistika Bose-Einstein maupun Fermi-Dirac. Banyak fisikawan yang berusaha membuat formulasi statistika yang lebih umum dari jenis statistika yang telah ada, baik dengan membuat jenis statistik partikel yang baru, maupun dengan menggeneralisasi statistik Bose dan Fermi. Beberapa statistik partikel selain Bose dan Fermi yang telah diperkenalkan antara lain null statistics, “doubly-infinite”statistics, orthofermi statistics, hubbard statistics, q-Orthobose statistic, q-Orthofermi statistic [13]. Jenis statistik yang merupakan hasil generalisasi dari statistik yang telah ada antara lain intermediate statistics, parastatistics, infinite statistics, anyon statistics dan lain-lain, A-statistic, Ambiguous statistic [5]. Khusus untuk parastatistik, yang pertama kali diperkenalkan oleh Green[4], merupakan generalisasi pertama yang konsisten dari bentuk kuantum statistic Bose-Einstein (paraboson), dan statistik Fermi-Dirac (parafermi). Meskipun tidak ada indikasi bahwa partikel-partikel fundamental yang ada di alam saat ini memenuhi aturan parastatistik, tetapi teori ini tetap menarik untuk diselidiki lebih lanjut, misalnya untuk model paraquark dan model parastring [3]. Terdapat rumusan FPGK (Fungsi Partisi Grand Kanonik) untuk model sistem paraboson orde p dalam bentuk relasi rekursi [16]. Bentuk FPGK untuk sistem paraboson orde p, pB p Z ) ( juga telah diperoleh dalam bentuk perumusan rasio dua determinan [15]. Bentuk fungsi partisi Z paraboson orde dua yang telah diperoleh oleh peneliti sebelumnya, untuk p > 2 hanya terbatas untuk kasus p m , dimana m ialah banyaknya level energi, dan p adalah orde sistem partkel. Fungsi partisi kanoniknya adalah [8] L L m n m n l x x x Z 1 1 1 1 (1) dengan n n x exp . Secara umum, FPGK dapat ditulis sebagai [6, 10]

Perhitungan Fungsi Termodinamika Sistem Paraboson … · entropi S sebagai fungsi suhu T menjadi lebih besar pada jumlah aras energi yang lebih besar. Hal ini terkait dengan semakin

Embed Size (px)

Citation preview

Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH Volume 27, Mei 2010

15

Perhitungan Fungsi Termodinamika Sistem Paraboson Orde Dua dengan Metode Differensial Numerik

DIDIK PRASETYA

Pusat Penelitian Fisika – LIPI, Komplek PUSPIPTEK Tangerang, Indonesia E-MAIL : [email protected]

MIRZA SATRIAWAN

Departemen Fisika – FMIPA, Universitas Gadjah Mada, Sekip Utara Bulaksumur,Yogyakarta Indonesia

INTISARI : Berawal dari bentuk perumusan rasio determinan fungsi partisi kanonik lengkap sistem paraboson orde dua yang telah diketahui, dapat dihitung beberapa fungsi termodinamika sederhana sistem paraboson orde dua melalui proses derivatif numerik. Dengan menggunakan cara ekstrapolasi Richardson’s, perhitungan derivatif numerik dapat digunakan untuk menghitung fungsi-fungsi termodinamika model sistem partikel identik dengan tingkat energi terbatas yang mirip osilator harmonik. Hasil yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk grafik, yaitu grafik fungsi partisi kanonik lengkap Z, rerata partikel N, entropi sistem S, dan energi internal U. Semua fungsi-fungsi termodinamika sistem paraboson orde dua memiliki kemiripan bentuk dengan sistem boson, hanya nilainya lebih tinggi. KATA KUNCI : paraboson , differensial numerik, fungsi termodinamika. ABSTRACT : Starting from well known formulation ratio of determinant for the grand canonical partition function of order two parabosonic system, simple thermodynamics functions can be obtained by using numerical differentiation method. Using Richardson’s extrapolation, calculation of the numerical differentiation was used to calculate the thermodynamics functions for a system of identical particle with harmonic oscillator-like energy levels. The results showed in the form of graphics, i.e. the graphics of the grand canonical partition function Z, average number of particle N, entropy S. All of the thermodynamics functions of order two parabosonic system have a similar pattern with the bosonic system, however with higher values. KEYWORDS : parabosonic, numerical defferentiation, thermodynamics function 1 PENDAHULUAN Ditinjau dari kaidah-kaidah mekanika kuantum, tidak ada keharusan bahwa statistika partikel-partikel yang ada di alam harus memenuhi kaidah statistika Bose-Einstein maupun Fermi-Dirac. Banyak fisikawan yang berusaha membuat formulasi statistika yang lebih umum dari jenis statistika yang telah ada, baik dengan membuat jenis statistik partikel yang baru, maupun dengan menggeneralisasi statistik Bose dan Fermi. Beberapa statistik partikel selain Bose dan Fermi yang telah diperkenalkan antara lain null statistics, “doubly-infinite”statistics, orthofermi statistics, hubbard statistics, q-Orthobose statistic, q-Orthofermi statistic [13]. Jenis statistik yang merupakan hasil generalisasi dari statistik yang telah ada antara lain intermediate statistics, parastatistics, infinite statistics, anyon statistics dan lain-lain, A-statistic, Ambiguous statistic [5]. Khusus untuk parastatistik, yang pertama kali diperkenalkan oleh Green[4], merupakan generalisasi pertama yang konsisten dari bentuk kuantum statistic Bose-Einstein (paraboson), dan statistik Fermi-Dirac (parafermi). Meskipun tidak ada indikasi bahwa partikel-partikel fundamental yang ada di alam saat ini memenuhi aturan parastatistik, tetapi teori ini tetap menarik untuk diselidiki lebih lanjut, misalnya untuk model paraquark dan model parastring [3]. Terdapat rumusan FPGK (Fungsi Partisi Grand Kanonik) untuk model sistem paraboson orde p dalam bentuk relasi rekursi [16]. Bentuk FPGK untuk sistem paraboson orde p, pB

pZ )( juga telah diperoleh dalam bentuk perumusan rasio dua determinan [15]. Bentuk fungsi partisi Z paraboson orde dua yang telah diperoleh oleh peneliti sebelumnya, untuk p >

2 hanya terbatas untuk kasus pm , dimana m ialah banyaknya level energi, dan p adalah orde sistem partkel. Fungsi partisi kanoniknya adalah [8]

L L

mn mnl xxxZ

11

11

(1)

dengan nnx exp . Secara umum, FPGK dapat ditulis sebagai [6, 10]

Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH Volume 27, Mei 2010

16

HNm eTrxxZ ˆˆ

1 .,... (2)

dengan ix )ˆˆ( HNe , kT/1 , T adalah temperatur mutlak, k adalah konstanta Boltzman dan

adalah potensial kimia. Untuk Parafermi orde p, FPGK telah dapat disederhanakan menjadi rasio dua determinan [2]

1

1

1)( )....(

imj

imj

ipmj

imj

mpFp xx

xxxxZ (3)

sedangkan bentuk FPGK untuk paraboson orde p dapat diperoleh dengan cara mengekspansikan persamaan di atas menjadi suatu polinomial Schur tertentu dan dikalikan dengan polinomial Vandermode tertentu, sehingga diperoleh bentuk FPGK yang lain [15].

),(1

2/))1((11),( ),...,()1(),...,(),...,(

pom

rpm

indm

indpo xxsxxZxxZ

(4)

FPGK untuk paraboson selanjutnya dapat diperoleh dari pers (4) menggunakan sifat konjugasi polinomial Schur [15], dan FPGK untuk paraboson orde p yang dinyatakan sebagai rasio dua determinan.

),...,(

),...,(),...,(

1)0(

1)(1)(

m

mpm

pBp xxP

xxPxxZ (5)

dengan ),...,( 1)( mp xxP adalah determinan suatu matriks yang elemen-elemennya diberikan oleh

11)( )1()(

ipmj

pimj

imj

ijp xx

xP (6)

Bentuk ),...,( 1)( mpBp xxZ dapat diperoleh juga dengan menyelesaikan relasi rekursi yang diturunkan

menggunakan rumus simetrisasi polinomial Schur [15]. Dari perhitungan yang telah dilakukan secara rekursif dapat dilihat perilaku partikel paraboson orde dua dari sisi potensial kimia yang ditinjau [18], namun penyelesaian dengan metode rekursif memiliki beberapa kekurangan yaitu memory stack, pemahaman algoritma yang susah, dan pemeriksaan kesalahan yang relatif susah. Kelemahan pertama berdasarkan kenyataan bahwa pemanggilan sebuah subprogram akan membutuhkan memory stack. Dalam proses rekursif, sebuah subprogram belum selesai dieksekusi namun telah memanggil subprogram dirinya lagi. Dengan demikian memory stack yang dibutuhkan akan semakin banyak dan berisiko memberikan error "out of stack memory". Sedangkan kelemahan berupa pemahaman algoritma yang relatif susah dan pemeriksaan kesalahan yang relatif sulit lebih berorientasi kepada kemampuan pemrogram dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Dalam makalah ini akan dilakukan perhitungan untuk membuktikan bahwa perhitungan yang di lakukan dengan cara derivatif numerik memiliki hasil yang sama dengan perhitungan dengan metode relasi rekursi. Besaran – besaran yang akan dihitung adalah besaran termodinamika sederhana seperti fungsi partisi partikel Z, rerata partikel N, entropi S, dan energi internal U secara derivatif numerik, serta beberapa masalah syarat batas. 2. METODOLOGI/EKPERIMEN Salah satu metode yang digunakan untuk memperbaiki tingkat keakurasian derivatif pada orde yang lebih tinggi adalah dengan menggunakan metode ekstapolasi Richardson’s [1]. Bentuk rumusan untuk orde yang lebih tinggi yang melibatkan banyak titik diperoleh sebagai berikut :

Untuk mip 1

Untuk pi 1

Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH Volume 27, Mei 2010

17

14

)2()()()( 11

1

k

kkkk

hDhDhDhD , ,....2,1k (7)

Berdasarkan metode finite difference maka bentuk )(0 hD adalah sebagai berikut berikut [1]

hffhD hh

2)(0

(8)

Sehingga untuk orde 6 didapat rumusan

h

hDhDxf15

)2()(16)(' 11 (9)

Dari bentuk pers (6) bentuk matriks sistem paraboson orde dua dapat diperoleh sebagai berikut :

3)2( )(im

jim

j

imj

ij xx

xP

dan untuk p = 0, diperoleh

1

)0( )( imj

imjij xxP

dengan

'

''

expT

x ii

Untuk selanjutnya agar memudahkan perhitungan, tanda ' (aksen) dihilangkan. Jadi ,T dan i selalu dihitung dalam satuan ternormalkan. Beberapa rumusan dari besaran – besaran termodinamika yang akan di lakukan perhitungannya adalah :

2.1 Rerata partikel

VT

ZkTVTN,

ln),,(

= T

mxxZZT

),...,( 1 (12)

Perhitungan T

mxxZ

),...,( 1 pada pers (12) dapat dihitung dengan terlebih dahulu menghitung fungsi

partisi Z dengan masukan matriks jx seperti pada pers (10). Masukan matriks jx untuk kasus suhu konstan

diperoleh dengan menambahkan pada dengan nilai dipilih = 0.1, sehingga didapat bentuk

)))(exp( ijx , nilai 1f adalah bentuk determinan matriks yang masukannya seperti

tersebut di atas. Begitu juga dengan 1f , rumusan ini adalah bentuk determinan matriks yang masukannya

diberikan oleh )))(exp( ijx . Hal yang sama dilakukan untuk bentuk rumusan 2f dan

2f hanya merubah bentuk masukan pada matriksnya )))*2(exp( ijx dan )))*2(exp( ijx

Untuk 21 i

Untuk mi 3

Untuk mi 1

(10)

(11)

Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH Volume 27, Mei 2010

18

2.2 Entropi

Rumusan entropi dapat dituliskan sebagai berikut

Z

ZZ

TVTS

T

1ln,,,

(13)

Perhitungan

Zpers (13) sama seperti pada perhitungan rerata partikel ( N ) yang membedakan adalah

dilakukan pada yang konstan sehingga diperoleh bentuk )))(exp(( ijx dan nilai 1f pada pers (7.a) adalah bentuk determinan matriks yang masukannya seperti tersebut di atas. Begitu juga dengan 1f , rumusan ini adalah bentuk determinan matriks yang masukannya diberikan

oleh )))(exp(( ijx . Hal yang sama dilakukan untuk rumusan 2f dan 2f dengan

mengubah bentuk masukan pada matriksnya )))(*2exp(( ijx dan

)))(*2exp(( ijx . 2.3 Energi Internal Bentuk rumusan untuk energi internal adalah

zTz

ZZ

ZVTU

1ln),,(

,

(14)

Masukan matriks untuk energi internal sama dengan masukan matriks untuk entropi, hanya dilakukan pada nilai z = e yang konstan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Fungsi Partisi Z dan nilai Rerata Partikel N Potensial kimia terkait dengan rerata jumlah partikel, dan rerata jumlah pertikel harus bernilai positif. Gb. 1 menunjukkan bahwa rerata partikel N sebagai fungsi menunjukkan nilai -nya harus lebih

kecil dari energi terendah aras partikel tunggal 21 , yaitu 2

1 . Untuk nilai 21 nilainya menjadi

negatif dan tak terhingga. Metode komputasi dengan ektrapolasi Richardson’s menunjukkan bahwa untuk iterasi ke-5 nilai rerata partikel sama dengan nilai yang dihitung dengan menggunakan cara rekursif [18] dengan pemilihan langkah h = 0.1 dengan setiap kali iterasi h-nya berkurang menjadi 2

1 kali nilai semula.

Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH Volume 27, Mei 2010

19

Gambar 1. Fungsi Rerata Partikel (N) sebagai fungsi Potensial Kimia pada m = 8 dan T = 1

Gambar 2. Fungsi Partisi ( Z ) sebagai fungsi Potensial Kimia ( ) pada m = 8 dan T = 10

Selain itu juga diselidiki nilai Z-nya yang tidak boleh negatif. Terlihat dari gambar 2 bahwa fungsi partisi kanonik lengkap Z nilai -nya harus lebih kecil daripada energi terendah partikel tunggal 2

1 , yaitu

21 . Dari kecenderungan bentuk grafik yang diperoleh maka perilaku sistem paraboson orde dua

cenderung bersifat menyerap partikel seperti pada sistem boson, yaitu cenderung menambah jumlah partikel ke dalam sistem tanpa kehilangan energi [6]. Dan dari sini dapat diduga bahwa paraboson orde dua mengalami kondensasi seperti sistem boson. Untuk perhitungan rerata jumlah partikel yang melibatkan derivasi secara numerik dengan metode ekstrapolasi Richardson’s, dipilih h = 0.1 yang selanjutnya diiterasi sehingga diperoleh nilai yang sesuai dengan nilai yang diperoleh dengan cara rekursif [18] pada iterasi ke-5. Untuk iterasi yang lebih tinggi akan menghasilkan nilai error yang akan mengakibatkan perubahan nilai yang signifikan, hal ini disebabkab adanya truncation error dan round-off error. Dari Gb. 1-2 dapat dilihat bahwa nilai rerata partikel N maupun Z semakin meningkat dengan semakin meningkatnya jumlah aras energi dan nilai .

Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH Volume 27, Mei 2010

20

3.2 Entropi

Gb. 3 menunjukkan bahwa dengan naiknya suhu T mengakibatkan naiknya nilai entropi S. Kenaikan entropi S sebagai fungsi suhu T menjadi lebih besar pada jumlah aras energi yang lebih besar. Hal ini terkait dengan semakin banyak keadaan yang tersedia, sehingga entropi partikel semakin besar. Selain itu terlihat bahwa entropi S mengalami kenaikan dengan semakin meningkatnya suhu T. Dari kaitan bahwa sistem ini cenderung untuk menyerap partikel, maka dengan yang semakin besar maka S semakin tinggi sebaliknya jika semakin kecil maka entropi sistem S juga semakin rendah. Untuk perhitungan entropi sistem S sebagai fungsi suhu T yang melibatkan differensiasi numerik, dengan menggunakan ekstrapolasi Richardson’s diperoleh hasil yang hampir mendekati nilai seperti yang telah dilakukan perhitungannya dengan cara rekursi [18]. Dengan pemilihan h yang sama seperti pada perhitungan rerata partikel N. Gb.4 menunjukkan bahwa kenaikan entropi sistem semakin meningkat dengan penambahan nilai . Kenaikan entropi S sebagai fungsi meningkat dengan semakin meningkatnya jumlah aras tenaga. Hal ini disebabkan karena entropi sistem S merupakan besaran ekstensif, yaitu besaran yang sebanding dengan ukuran suatu sistem. Semakin banyak keadaan yang tersedia maka entropi partikel semakin meningkat, dapat dilihat juga dengan peningkatan suhu T entropi mengalami kenaikan, hal ini terjadi karena kenaikan suhu menyebabkan partikel-partikel yang ada pada suatu aras mendapatkan tambahan energi sehingga menyebabkan entropi semakin meningkat.

Gambar 3. Fungsi Entropi ( S ) sebagai fungsi

Suhu ( T ) dengan = 0 pada m = 8

Gambar 4. Fungsi Entropi ( S ) sebagai fungsi Potensial Kimia ( ) dengan T = 10

pada m = 8

3. 3 Energi Internal Gb.5 menunjukkan bahwa energi internal U mengalami kenaikan dengan naiknya potensial kimia . Semakin banyak jumlah aras tenaga maka semakin besar energi internal dan dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu maka energi internal semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa sistem cenderung menyerap partikel ke dalam sistem dan partikel-partikel akan mengisi aras-aras energi secara merata. Kenaikan suhu menyebabkan partikel-partikel yang berada pada suatu aras akan mendapatkan tambahan energi sehingga energi internal U semakin meningkat. Gb.6 menunjukkan bahwa energi internal U sistem semakin besar dengan meningkatnya jumlah aras tenaga. Hal ini terkait dengan semakin banyak keadaan yang tersedia maka energi internal partikel semakin besar. Dengan meningkatnya energi internal U semakin besar. Sebaliknya jika kecil maka energi internal semakin menurun. Hal ini disebabkan karena sistem cenderung menyerap partikel.

Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH Volume 27, Mei 2010

16

Gambar 5. Energi Internal ( U ) sebagai fungsi Potensial Kimia ( ) dengan T = 10 pada m = 8

Gambar 6. Fungsi Energi Internal ( U ) sebagai fungsi Suhu ( T dengan m = 5

pada = -1

4. KESIMPULAN DAN SARAN Perhitungan dengan metode Richardson’s ekstrapolation memperoleh hasil yang sesuai dengan nilai yang diperoleh dengan cara rekursif. Rerata partikel N, entropi S, dan energi internal U grafiknya memiliki kecenderungan yang mirip dengan sistem boson, yang membedakan adalah nilainya. Sistem paraboson orde dua nilainya lebih tinggi dari sistem boson. Dari perumusan rasio determinan dapat diperoleh fungsi partisi kanonik lengkapnya yang mensyaratkan bahwa nilai potensial kimia ( ) yang diperbolehkan adalah 2

1 DAFTAR PUSTAKA [1] Arevalo, C. Numerical Analysis, New York, Pearson Prentice Hall (2004) [2] Cathurvedi, S and Srinivasan. Physics Letter A-224 : 249-252 (1999) [3] Chaturvedi, S. et all. Modern Physics Letter A-12 : 1095-1099 (1997) [4] Green. H. S.Physical Review Letters 90 : 270 (1953) [5] Greenberg, O. W.arXiv:cond-mat/9301002v1 (1993) [6] Greiner, W. et all . Thermodynamics and Statistical Mechanics. New York, Springer Verlag (1995) [7] Hama, M., et all. Progress in Theoretical Physics. 86 : 1141-1148 (1991) [8] Hama, M., et all. Progress in Theoretical. Physics. 86 : 149-153 (1992) [9] Hartle, J. B. et all. Physical Review Letters. D-2 : 1759-1761 (1970) [10] Huang, K..Statistical Mechanics. New York, Jhon Willey & Sons (1965) [12] Koonin, S. E.Computational Physics. New York, Addison-Wesley Publishing Company, Inc (1986) [13] Mishra, A. K. and G. Rajasekaran. Generalized Fock Spaces, New Form of Quantum Statistics and their

Algebras, RBI-TH-06 (1995) [14] Polychronacos, A. P.1996. Nuclear Physics B-474 : 529-539 (1996) [15] Satriawan, M., PhD.Generalized Parastatistics Systems; Dissertation, University of Illinois, Chicago

(2002) [16] Satriawan, M. Physics Journal of The Indonesian Physics Society C8 : 0515 (2003) [17] Suranyi, P. Physical Review Letters 65 : 2329 (1990) [18] Yosi, R.S..Perhitungan Fungsi-Fungsi Termodinamika Sistem Paraboson Orde Dua, Tesis, Fakultas

MIPA UGM, Yogyakarta. (2005)

21