Upload
ganti-phaing-kanisa
View
14
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kawasan hutan
Citation preview
Visi Pembangunan Kehutanan adalah memantapkan kepastian status kawasan hutan serta
kualitas data dan informasi kehutanan, meningkatkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
(PHPL) untuk memperkuat kesejahteraan rakyat sekitar hutan dan keadilan berusaha,
memantapkan penyelenggaraan perlindungan dan konservasi sumberdaya alam,
memelihara dan meningkatkan fungsi dan daya dukung daerah aliran sungai (DAS)
sehingga dapat meningkatkan optimalisasi fungsi ekologi, ekonomi dan sosial DAS, serta
meningkatkan ketersediaan produk teknologi dasar dan terapan serta kompetensi SDM
dalam mendukung penyelenggaraan pengurusan hutan secara optimal. Untuk menunjang
hal tersebut, ada beberapa program yang diprioritaskan oleh Kementerian Kehutanan,
antara lain: pemantapan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung
DAS, pengamanan dan pengendalian kebakaran hutan, konservasi keanekaragaman
hayati, revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan, pemberdayaan masyarakat
di dalam dan sekitar hutan, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan, dan
penguatan kelembagaan kehutanan.
Periode Kebijakan dan Perubahan Luas Hutan
Sejarah kawasan hutan di Indonesia dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan,
sejalan dengan perubahan kebijakan yang mempengaruhi status dan fungsi kawasan
hutan. Ada beberapa periode kebijakan kawasan yang berpengaruh terhadap kondisi
kawasan hutan Indonesia. Yang pertama adalah periode berlakunya UU No. 5 tahun 1967
dimana hutan register dan penunjukan parsial kawasan hutan menjadi rujukan serta
kawasan hutan yang dirujuk sesuai dengan peta TGHK. Kemudian periode selanjutnya
adalah periode berlakunya UU No. 24/1992 dimana keberadaan kawasan hutan sebagai
bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, sehingga kawasan hutan sesuai
TGHK perlu dipadukan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Periode ke tiga
adalah periode berlakunya UU No. 41 tahun 1999, dimana hasil paduserasi antara TGHK
dan RTRWP ditetapkan sebagai peta penunjukan kawasan hutan. Sementara periode
terakhir adalah periode diberlakukannya mUU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 26 Tahun
2007, dimana status dan fungsi kawasan hutan harus dikaji kembali eksistensinya sesuai
usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam rangka review RTRW
Provinsi. Data sampai dengan bulan Juni tahun 2011 menunjukkan bahwa luas kawasan
hutan Indonesia adalah 130,68 juta ha,terdiri dari hutan konservasi (26,8 juta ha), hutan
lindung (28,8 juta ha), hutan produksi (32,6 juta ha), hutan produksi terbatas (24,4 juta
ha), dan hutan produksi konversi (17,9 juta ha). Sedangkan dari data penutupan hutan,
terdapat hutan primer seluas 41,3 juta ha, hutan sekunder seluas 45,5 juta ha, hutan
tanaman seluas 2,8 juta ha, dan bukan berupa hutan seluas 41,0 juta ha. Luas kawasan
hutan ini cenderung terus berkurang seiring dengan penyelesaian kajian perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam rangka review RTRWP oleh Tim Terpadu
(Timdu). Dalam dinamika pembangunan saat ini, kondisi eksisting kawasan hutan di
lapangan sudah banyak yang berubah menjadi permukiman permanen, fasum dan fasos
yang tidak mungkin lagi dipertahankan sebagai kawasan hutan.
Hutan di dalam RTRWP
Posisi kawasan hutan dalam RTRWP akan mengisi
pola ruang kawasan lindung dan
kawasan budidaya. Pada posisi kawasan lindung,
kawasan hutan akan memberikan fungsi perlindungan
dan konservasi. Dalam konteks kehutanan, maka pola
ruang yang seperti itu dijadikan kawasan hutan
Lindung, kawasan hutan gambut, dan kawasan suaka
alam/kawasan pelestarian alam (KSA/KPA).
Sedangkan pada kawasan budidaya, kawasan hutan
dikelola untuk mendukung produksi hasil hutan (kayu,
non-kayu dan jasa lingkungan) seperti yang dilakukan
pada setiap kawasan hutan produksi (HPT, HP, dan
HPK) dengan tujuan produksi komoditas kehutanan.
Dalam hal pemanfaatan, pola ruang kehutanan sering
tumpang tindih dengan pola ruang untuk pembangunan
di luar kepentingan kehutanan pada kawasan hutan
(misalnya pertambangan, pertanian, perikanan,
permukiman, dan atau wilayah industri). Maka,
peraturan di bidang kehutanan memungkinkan untuk
mengakomodir sebagian kawasan hutan untuk
pembangunan non-kehutanan tersebut melalui
pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan.
Sedangkan untuk pembangunan non-kehutanan yang
permanen dan mengubah land use kawasan hutan (misalnya untuk transmigrasi atau
pemukiman, perkebunan, dan pertanian), pemanfaatan hutan dapat ditempuh melalui
mekanisme pelepasan kawasan hutan, atau tukar menukar kawasan hutan. Jika terjadi
tumpang tindih ruang untuk kepentingan pembangunan non-kehutanan pada kawasan
konservasi, maka pemanfaatan hutan secara selektif dapat ditempuh melalui kolaborasi
pengelolaan dengan pemangku kawasan konservasi. UU No. 26 Tahun 2007 antara lain
mengamanatkan agar Pemerintah Daerah melakukan review RTRW-nya. Namun sejak
diundangkan tahun 2007 hingga 2011, baru 18 provinsi yang telah mendapat persetujuan
substansi kehutanan, yaitu pada tahun 2009 sebanyak lima provinsi, pada tahun 2010
sebanyak lima provinsi, dan di tahun 2011 sebanyak delapan provinsi. Sampai saat ini,
persetujuan substansi kehutanan atas usulan perubahan kawasan hutan terus mengalami
kemajuan, yaitu delapan belas provinsi telah mendapat persetujuan substansi kehutanan,
enam provinsi diharapkan selesai pada tahun 2011 (Kalbar, Kaltim, Sulbar, Jambi, Babel,
dan Riau), sedangkan sembilan provinsi dalam proses Tim Terpadu dan diharapkan
selesai pada tahun 2012.
Terkait dengan proses kajian Tim Terpadu atas usulan perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan dalam review RTRWP, maka percepatan perlu dilakukan dengan tetap
mengedepankan sasaran kajian. Maksudnya adalah agar dapat menjamin kepastian
hukum dan usaha, serta mendorong pembangunan wilayah. Mekanisme persetujuan
substansi kehutanan dapat dipercepat penyelesaiannya dengan pelaksanaan kegiatan
Timdu secara efektif dan efisien. Waktu kajian Timdu sebenarnya dapat dipangkas atau
dipercepat apabila seluruh kegiatan Timdu yang terdiri dari kunjungan lapangan, pleno
Timdu serta uji konsistensi dilakukan secara kontinu dan intensif. Tim Terpadu yang
dibentuk oleh Menteri Kehutanan sesungguhnya merupakan alat yang di BKO-kan
kepada Pemerintah Provinsi. Oleh karena itu, kecepatan penyelesaian usulan perubahan
kawasan hutan tersebut tak lepas dari upaya pemerintah provinsi dalam mendayagunakan
Tim Terpadu. Untuk mendukung percepatan penyelesaian substansi kehutanan dalam
kajian terpadu, maka diperlukan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut: a)
perencanaan tahapan kegiatan yang mantap; b) penjadwalan yang ketat; c) penyediaan
sarana dan SDM serta kelengkapan data yang valid; dan d) dukungan pendanaan yang
memadai. Untuk itu diperlukan sinergi antara Kementerian Kehutanan dengan
pemerintah provinsi untuk implementasinya.
Di samping itu, perlu dilakukan standarisasi metodologi analisis Tim Terpadu dengan
memilah tipologi usulan perubahan kawasan hutan ke dalam dua tipologi, yaitu:
perubahan peruntukan dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan untuk
mengakomodir permukiman, lahan garapan masyarakat, fasum/fasos, fasilitas
pemerintahan serta pengembangan wilayah dan perubahan fungsi antar kawasan hutan
disesuaikan dengan kondisi biofisik (reskoring kawasan hutan). Penetapan Perubahan KH
oleh Menhut Penetapan Perubahan KH setelah Persetujuan DPR RI Secara singkat dapat
dijelaskan bahwa proses persetujuan substansi kehutanan bermula dari usulan gubernur
yang merupakan kompilasi dari usulan-usulan kabupaten/kota. Jika terdapat usulan
perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, maka sesuai UU dibentuk Tim Terpadu
oleh Menhut untuk mengkaji usulan perubahan tersebut. Selanjutnya, rekomendasi kajian
Tim Terpadu dilaporkan kepada Menhut. Rekomendasi perubahan kawasan hutan yang
tidak bernilai strategis sesuai dengan kewenangan yang ada langsung ditetapkan oleh Menhut. Sedangkan yang bernilai strategis ditetapkan setelah mendapat persetujuan DPR.
Setelah persetujuan DPR diberikan, Menhutmenerbitkan keputusan peta kawasan hutan
provinsi yang baru. Dalam proses kajian terpadu, apabila dijumpai perubahan peruntukan
yang berdampak penting, cakupan luas, serta, bernilai strategis, maka perlu dilakukan
kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi
SDH, antara lain: pertumbuhan penduduk yang berdampak pada pertambahan
permukiman, pemekaran wilayah yang memerlukan lahan hutan untuk pembangunan
infrastruktur, fasum atau fasos. Di samping itu terdapat pula kebutuhan lahan untuk
investasi seperti untuk perkebunan, real estate, dan adanya faktor kondisi riil kawasan
hutan yang sudah berubah fungsi. Faktor-faktor tersebut mau tidak mau akan menentukan
sampai sejauh mana kebutuhan pembangunan tersebut bisa dipenuhi dari kawasan hutan,
yang pada akhirnya memunculkan pertanyaan: berapa luas sesungguhnya kawasan hutan yang harus dipertahankan? Namun jika kita sepakat untuk memaknai fungsi dan peran hutan sebagai penyangga kehidupan, maka semua pihak akan sepakat pula tentang
perlunya batas luas kawasan hutan yang rasional untuk mendukung pembangunan sektor
non kehutanan, seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, dsb.
HPK Untuk mengakomodir pembangunan sektor non-kehutanan, Kementrian Kehutanan
telah mengalokasikan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Seiring dengan
penyelesaian kajian perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam rangka
review RTRWP oleh Tim Terpadu, HPK telah banyak mengalami perubahan. Terkait
dengan hal itu, terdapat tiga skenario penyediaan areal HPK di seluruh Indonesia: areal
HPK pada Provinsi yang tidak mengalami perubahan kawasan hutan (seluas 133.842
ha), areal HPK pada provinsi yang mengusulkan perubahan kawasan hutan dan telah
direkomendasi Timdu (seluas 7.576.500 ha), dan areal HPK yang diusulkan pemerintah
provinsi dan masih dalam kajian Timdu (seluas 6.859.241 ha). Maka total areal HPK
sampai saat ini yang dapat dialokasikan untuk pembangunan non-kehutanan adalah seluas
14.569.583 ha. Mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku, maka luas kawasan
hutan minimal adalah 30% dari luas DAS, dan atau pulau dengan penyebaran yang
proporsional. Data empiris dalam review RTRWP, menunjukkan kecenderungan
pengurangan kawasan hutan diprediksi sekitar 18-20% dari luas kawasan saat ini. Dengan
demikian, diskenariokan luas kawasan hutan tetap sekitar 80% dari luas kawasan hutan
saat ini. Perkiraan pengurangan tersebut dialokasikan untuk mendukung kebutuhan
pembangunan di luar sektor kehutanan, dan sekaligus sebagai bentuk resolusi konflik.
Namun, pengurangan kawasan hutan tidak dilakukan sekaligus tetapi secara bertahap
sejalan dengan program pembangunan yang direncanakan. Prosentase pengurangan
kawasan hutan tidak sama untuk setiap wilayah, tapi disesuaikan dengan kondisi
lingkungan setempat, dan dilakukan dalam kerangka mempertahankan daya dukung dan
daya tampung lingkungan.