Upload
lamnguyet
View
232
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PERBEDAAN KADAR CYSTATIN C ANTARA REMAJA OBESITAS DAN NORMOWEIGHT
COMPARISON OF CYSTATIN C LEVELS BETWEEN ADOLESCENT OBESITY AND NORMOWEIGHT
¹Ridwan, ²Rosdiana Natzir, ¹Wardihan Sinrang
¹Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar ²Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar
Alamat Koresponden: Jl. Sultan Alauddin Lr 79/65 Makassar Hp. 085342128111 Email: [email protected]
Abstrak
Overweight dan obesitas adalah faktor risiko terjadinya ESRD (Early Stage Renal Disease) dan CKD (Chronic Kidney Disease) dan hal ini dapat dideteksi melalui pemeriksaan kadar Cystatin C. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar Cystatin C pada remaja obesitas dan normoweight. Desain penelitian adalah cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 46 remaja, terdiri dari 26 remaja obesitas dan 20 remaja normoweight yang dipilih secara purposive sampling. Kriteria kelompok obesitas berdasarkan Indeks Massa Tubuh dan lingkar pinggang. Kategori IMT ditentukan berdasarkan ambang batas Z-Score dalam Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak Kementerian Kesehatan (2010), sedangkan kategori lingkar pinggang ditentukan berdasarkan Waist Circumfrence for Hong Kong Chinese Children (2008). eGFR berbasis Cystain C dihitung dengan menggunakan rumus Dade-Behring. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kadar Cystatin C antara remaja obesitas dan normoweight dimana kadar Cystatin C pada remaja obesitas lebih tinggi dibandingkan remaja normoweight (0,80±0,11 mg/L vs 0,72±0,11 mg/L, p=0,014). Terdapat perbedaan eGFR antara remaja obesitas dan normoweight dimana eGFR pada remaja obesitas lebih rendah dibandingkan remaja normoweight (104,88±17,48 ml/mnt/1,73² vs 121,95±23,67 ml/mnt/1,73² , p=0,007). Terdapat korelasi positif antara IMT dengan kadar Cystatin C (p=0,012, r=0,332), makin tinggi IMT makin tinggi pula kadar Cystatin C. Terdapat korelasi positif antara lingkar pinggang dengan kadar Cystatin (p=0,004, r=0,390), makin tinggi lingkar pinggang makin tinggi pula kadar Cystatin C. Dibandingkan IMT, lingkar pinggang memiliki korelasi yang paling besar terhadap peningkatan kadar Cystatin C. Disimpulkan bahwa kadar Cystatin C pada remaja obesitas lebih tinggi dibandingkan remaja normoweight. Kata Kunci : Cystatin C, eGFR, ESRD, Indeks Massa Tubuh, Lingkar Pinggang Abstract Overweight and obesity are risk factors for ESRD (Early Stage Renal Disease) and CKD (Chronic Kidney Disease) and this can be detected through levels of Cystatin C. This study aims to determine the levels of Cystatin C difference between adolescent obesity and normoweight. The study design was a cross sectional study with a total sample of 46 adolescents, consisted of 26 obese adolescents and 20 adolescents normoweight selected by purposive sampling. Criteria for obesity based group Body Mass Index and waist circumference. BMI categories were determined based on the threshold Z-Score in Standard Child Nutrition Status Anthropometric Assessment Ministry of Health (2010), while the category is determined by waist circumference Waist Circumfrence for Hong Kong Chinese Children (2008). Cystatin C-based eGFR was calculated using the formula Dade-Behring. The results showed that there were differences in levels of Cystatin C between adolescent obesity and normoweight where Cystatin C levels in obese adolescents than adolescents normoweight higher (0,80±0,11 mg/L vs 0,72±0,11 mg/L, p=0.014). There are differences in eGFR between adolescent obesity and normoweight where eGFR in obese adolescents is lower than the juvenile normoweight (104,88±17,48 ml/mnt/1,73² vs 121,95±23,67 ml/mnt/1,73², p=0.007). There is a positive correlation between BMI and levels of cystatin C (p=0.012, r=0.332). There is a positive correlation between waist circumference and cystatin levels (p=0.004, r=0.390). Concluded that cystatin C levels in obese adolescents is higher than normoweight adolescents. Keywords: Cystatin C, eGFR, ESRD, Body Mass Index, Waist Circumference
PENDAHULUAN
Obesitas telah menjadi pandemi global di seluruh dunia dan dinyatakan oleh World
Health Organization (WHO) sebagai masalah kesehatan kronis terbesar. Obesitas atau yang
biasa dikenal sebagai kegemukan merupakan suatu masalah yang cukup merisaukan
dikalangan remaja (Proverawati, 2010).
Prevalensi obesitas (IMT > 30 kg/m2) merupakan kasus pada anak, remaja, dan
dewasa di Amerika serikat. Telah dilaporkan dari survey National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES) bahwa prevalensi obesitas pada pria tahun 2003-2004 adalah
31,1 % dan pada tahun 2005-2006 33,3 %. Pada anak dan remaja umur 12-19 tahun,
prevalensi obesitas pada tahun 2003-2006 adalah 16,3 % (Soegih et al, 2009). Di New Delhi
(North India,) prevalensi overweight dan obesitas pada remaja urban Asian Indian berumur
14-17 tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu 9,8% pada tahun 2006 menjadi
11,7% pada tahun 2009 (Gupta et al, 2011) . Studi Department of Human Service Australia
melaporkan bahwa pada tahun 2025 sepertiga anak dan remaja usia 5-19 tahun di Australia
mengalami overweight dan obesitas (37% pada laki-laki dan 33% pada perempuan
dibandingkan tahun 1995 (21% pada laki-laki dan perempuan) dengan peningkatan mutlak
0,5% per tahun pada laki-laki dan 0,4% pertahun pada perempuan (Haby et al, 2008).
Pengukuran obesitas pada 2098 remaja di Hong Kong berumur 11-18 tahun dengan
menggunakan berbagai kriteria diagnostik telah dilakukan. Dengan menggunakan kriteria
IOTF (International Obesity Task Force), COTF (Group of China Obesity Task Force) atau
CDC (Center of Disease Control and Prevention), prevalensi obesitas bervariasi antara 1,8% -
6,0%. Namun, dengan menggunakan kriteria HKGS (Hong Kong Growth Survey) charts,
prevalensi obesitas meningkat sebanyak 11-27% (Ko et al, 2008).
Di Indonesia, kelebihan berat badan dan obesitas mengancam generasi muda. Kondisi
yang salah satunya disebabkan kelebihan gizi tersebut, justru membawa kerentanan berbagai
penyakit tak menular yang membahayakan. Remaja juga terbelit masalah kelebihan berat
badan. Mengutip riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan tahun 2007 dan 2010, remaja
perempuan gemuk meningkat dari 23,8 persen menjadi 26,9 persen. Remaja laki-laki gemuk
meningkat dari 13,9 persen menjadi 16,6 persen. Dari sepuluh remaja putri, tiga di antaranya
gemuk. Dari sepuluh remaja putra, dua di antaranya gemuk. Sepertiga anak obesitas akan
menjadi obesitas saat dewasa. Sementara separuh anak sekolah yang obesitas akan menjadi
obesitas saat dewasa (Anna, 2011).
Pertambahan massa lemak selalu disertai perubahan fisiologis tubuh. Timbunan
lemak pada jaringan visceral (intra-abdomen) yang tergambar sebagai penambahan ukuran
lingkar pinggang akan mendorong perkembangan hipertensi, peningkatan insulin plasma,
sindrom resistensi insulin, hipertrigliseridemia dan hiperlipidemia. Gangguan klinis karena
obesitas meliputi DM tipe 2, perubahan fungsi kardiovaskular, gangguan homeostasis,
penyimpangan pola tidur, gangguan fungsi reproduksi dan fungsi hati, pembentukan batu
empedu, peningkatan risiko terhadap kanker tertentu (Arisman, 2010). Seperti halnya orang
dewasa, obesitas pada anak-anak dan remaja dapat menyebabkan diabetes melitus,
hiperlipidemia, penyakit jantung dan penyakit ginjal ( Jung et al, 2005).
Kegemukan dan obesitas adalah faktor risiko yang signifikan terjadinya gangguan
ginjal. Beberapa penelitian menunjukkan obesitas sebagai faktor risiko terjadinya ESRD
(Early Stage Renal Disease) dan CKD (Chronic kidney Disease). Penelitian di University of
California, San Fransisco tahun 2006 telah membuktikan bahwa ada hubungan kuat antara
obesitas dan terjadinya gagal ginjal. Penelitian ini menemukan bahwa penderita obesitas
memiliki risiko tujuh kali lebih besar terjadinya gagal ginjal daripada orang dengan berat
badan normal. Hal ini di sebabkan karena pada penderita obesitas cederung mengalami
hipertensi dan diabetes. Alasan lain adalah karena terjadi hiperfiltrasi glomerolus ginjal
(Culloch et al, 2006). Sebuah studi prospektif juga melaporkan obesitas berhubungan dengan
risiko terjadinya CKD dan ESRD. Mekanisme terjadinya gagal ginjal pada obesitas masih
sulit dipahami dan masih bersifat spekulatif. Disamping faktor hemodinamik dan inflamasi,
efek metabolik juga berhubungan dengan terjadinya obesitas (Marwyne et al, 2011). Zoccali
(2009) melaporkan risiko terjadinya ESRD memiliki progresifitas yang tinggi pada
peningkatan indeks massa tubuh dan individu dengan obesitas yang ekstrim memiliki risiko
lima kali lebih tinggi terjadinya ESRD dibandingkan individu dengan indeks massa tubuh
normal. Hubungan serupa juga dilaporkan dalam studi di jepang dan di Swedia. Sehingga ada
hubungan yang kuat antara obesitas dan CKD atau ESRD. Lemak visceral, resistensi insulin
dan inflamasi berkorelasi kuat dalam studi cross sectional pada pasien CKD. Namun sampai
sekarang belum ada studi yang menguji apakah ada hubungan antara lingkar pinggang atau
rasio pinggang-pinggul dengan CKD dan ESRD.
Cystatin C merupakan protein berat molekul rendah (13kD) yang diseintesis oleh
semua sel berinti dan ditemukan diberbagai cairan tubuh manusia. Cystatin C difiltrasi bebas
oleh glomerolus dan tidak disekresi, kemudian direabsorpsi tetapi mengalami katabolisme
hampir lengkap oleh sel epitel tubulus proksimal ginjal sehingga tidak ada yang kembali
kedarah. Dengan demikian kadarnya dalam darah menggambarkan LFG sehingga dapat
dikatakan Cystatin C merupakan penanda endogen yang mendekati ideal untuk uji fungsi
ginjal. Pemeriksaan Cystatin C dapat dilakukan untuk menentukan kadar LFG pada neonatus,
anak, remaja dan dewasa karena kadar Cystatin C tidak dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin,
tinggi dan berat badan, inflamasi, massa otot, hormonal dan ras. Penurunan fungsi ginjal
lebih cepat terdeteksi oleh Cystatin C daripada kreatinin (Yaswir et al, 2012; Pusparini,
2007).
Berbagai penelitian untuk mengevaluasi kadar Cystatin C sebagai parameter
penurunan fungsi ginjal dini telah dilakukan. Bermawi (2010) dan Marwyne et al (2011)
menyimpulkan, Cystatin C lebih tepat digunakan untuk penetapan adanya kerusakan ginjal
dengan penurunan LFG dibandingkan bersihan kreatinin. Penelitian mengenai korelasi
pengukuran kreatinin serum, Cystatin C dan penggunaan rumus Modification of Diet and
Renal Diseases (MDRD) dengan kreatinin klirens untuk memperkirakan laju filtrasi
glomerolus oleh Halimah dkk (2010) juga menyimpulkan bahwa Cystatin C lebih dipercaya
dibandingkan kreatinin klirens dalam memperkirakan laju filtrasi glomerolus (LFG).
Pusparini (2007) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk membandingkan Cystatin C
dengan parameter uji fungsi ginjal lainnya melaporkan bahwa Cystatin C dapat digunakan
sebagai parameter alternatif uji fungsi ginjal karena zat ini memenuhi syarat yang dianjurkan
sebagai baku emas zat endogen, sebab Cystatin C diproduksi secara bertahap (konstan),
difiltrasi tidak disekresi tubuli, penentuan kadar di dalam darah tanpa menampung air kemih
(urin) 24 jam, tidak dipengaruhi umur, massa otot, luas permukaan tubuh dan asupan
makanan. National Kidney Foundation mengusulkan untuk menggunakan Cystatin C untuk
mengukur LFG pada berbagai kondisi klinis untuk populasi anak, remaja, ibu hamil dan usia
lanjut.
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menyelidiki penggunaan Cystatin C sebagai
biomarker penurunan fungsi ginjal tahap dini pada obesitas. Penelitian di Malaysia oleh
Bashir et al (2010) terhadap 85 subjek berumur 18 – 60 tahun untuk mengetahui pengaruh
Body Mass Index (BMI) terhadap kadar Cystatin C menunjukkan kadar Cystatin C serum
lebih tinggi pada kelompok overweight dan obesitas dibandingkan kelompok kontrol baik
pada laki-laki maupun pada perempuan. Begitupun dengan penelitian Muntner et al (2008)
terhadap 5083 partisipan di Amerika Serikat untuk mengetahui hubungan overweight dan
obesitas dengan peningkatan serum Cystatin C sebagai biomarker ESRD menunjukkan
prevalensi peningkatan serum Cystatin C sebesar 9,6 %, 12,9%, 17,4 % dan 21,5 % masing -
masing pada kelompok normal weight, overweight, obesitas kelas I dan obesitas kelas II-III.
Berbeda dengan penelitian di korea oleh Jung et al (2005) terhadap 115 anak dan remaja
berusia antara 6 – 20 tahun untuk menguji hubungan obesitas, laju filtrasi glomerolus (GFR)
dan konsentrasi Cystatin C serum, didapatkan kadar Cystatin C tidak berbeda secara
bermakna antara kelompok obesitas dan non obesitas.
Berdasarkan pertimbangan diatas bahwa salah satu problem kesehatan pada masa
remaja adalah obesitas yang berisiko menyebabkan ESRD dan CKD. Penelitian yang
berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal tahap dini dengan biomarker Cystatin C pada
remaja obesitas belum banyak dilakukan padahal pemahaman tentang kerusakan ginjal tahap
dini pada remaja obesitas sangat penting, untuk dilakukan intervensi dalam rangka mencegah
kerusakan ginjal lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar
Cystatin C antara remaja obesitas dan normoweight.
BAHAN DAN METODE
Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah studi potong lintang (Cross Sectional Study).
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di SMA Khatolik Rajawali Makassar. SMA Khatolik Rajawali
Makassar merupakan SMA swasta yang mayoritas siswa(i)nya adalah penduduk non pribumi
(China Tionghoa) dengan tingkat ekonomi orangtua menengah keatas. Selain itu, berdasarkan
hasil pengamatan, mayoritas siswa(i)nya tergolong overweight dan obesitas. Waktu Penelitian
mulai bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh Siswa(i) yang berusia 10-18 tahun. Sampel sebanyak 46 orang
remaja, terdiri dari 26 remaja obesitas dan 20 remaja normoweight dipilih secara purposive
sampling yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu bersedia menjadi responden, memenuhi
kriteria obesitas dan berumur 10-18 tahun.
Pengumpulan Data
Dilakukan pengukuran antropometri meliputi indeks massa tubuh dan lingkar
pinggang untuk mengetahui kategori obesitas dan normoweight. Kategori IMT ditentukan
berdasarkan ambang batas Z-Score dalam Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak
Kementerian Kesehatan (2010), sedangkan kategori lingkar pinggang ditentukan berdasarkan
Waist Circumfrence for Hong Kong Chinese Children (2008). eGFR dihitung dengan
menggunakan rumus Dade-Behring. Pemeriksaan kadar Cystatin C dilakukan di laboratorium
Prodia dengan metode Particle Enhanced Nephelometric ImmunoAssay (PENIA).
Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan SPSS for windows 20,0 lalu
dianalisis dengan tingkat kemaknaan ≤ 0,05. Untuk mengetahui perbedaan kadar Cystatin C
dan eGFR pada remaja obesitas dan normoweight, dilakukan uji independent sampel t test.
Untuk mengetahui hubungan antara indeks massa tubuh dengan kadar Cystatin C digunakan
uji Spearman Correlation . Untuk mengetahui hubungan antara lingkar pinggang dengan
kadar Cystatin C digunakan uji Pearson Correlation. Analisis regresi linear sederhana
dilakukan untuk mengetahui variabel yang paling besar pengaruhnya dalam menentukan
peningkatan kadar Cystatin C.
HASIL
Karakteristik Sampel
Tabel 1 memperlihatkan karakteristik remaja yang menjadi responden dalam
penelitian ini. Rerata umur responden adalah 15,42 (SD = 0,45), rerata tinggi badan
responden adalah 1,67 (SD = 0,08), dan rerata berat badan responden adalah 74 (SD = 17,59).
Adapun karakteristik responden berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) adalah rerata 27,67
(SD = 5,00), rerata lingkar pinggang adalah 90 (SD = 17,27). Sedangkan karakteristik
responden berdasarkan kadar Cystatin C dan eGFR rerata masing-masing adalah 0,76 (SD =
1,11) dan 112,30 (SD = 21,90).
Perbedaan Kadar Cystatin C antara Remaja Obesitas dan Normoweight
Tabel 2 memperlihatkan perbedaan kadar Cystatin C antara remaja obesitas dan
normoweight. Didapatkan rerata kadar Cystatin C pada kelompok obesitas adalah 0,80 + 0,11
lebih tinggi dibandingkan kelompok normoweight dengan rerata 0,72 + 0,11. Dengan
menggunakan uji independen sample T test didapatkan nilai p=0,014 yang berarti bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan kadar Cystatin C antara kelompok Obesitas dan kelompok
normoweight dimana kadar Cystatin C pada kelompok Obesitas lebih tinggi daripada
kelompok normoweight.
Perbedaan eGFR Berbasis Cystatin C antara Remaja Obesitas dan Normoweight
Pada penelitian ini dilakukan juga perhitungan eGFR berdasarkan kadar Cystatin C.
Perhitungan mengunakan rumus Dade Behring :
eGFR : 74,835
CysC 1/0,75
Tabel 3 memperlihatkan perbedaan eGFR berbasis Cystatin C antara remaja obesitas dan
normoweight. Didapatkan rerata eGFR pada kelompok obesitas adalah 104,88±17,48 lebih
rendah dibandingkan kelompok normoweight dengan rerata 121,95±23,67. Dengan
menggunakan uji independen sample T test didapatkan nilai p sebesar 0,007 yang berarti
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan eGFR berbasis Cystatin C antara kelompok
Obesitas dan kelompok normoweight dimana eGFR pada kelompok Obesitas lebih rendah
daripada kelompok normoweight.
Korelasi IMT dan Lingkar Pinggang terhadap Kadar Cystatin C
Tabel 4 memperlihatkan korelasi antara IMT dan lingkar pinggang terhadap kadar
Cystatin C. Dengan uji Pearson correlation untuk mengetahui hubungan antara lingkar
pinggang dengan kadar Cystatin C diperoleh angka signifikansi sebesar 0,004 yang berarti
bahwa ada hubungan linier antara lingkar pinggang dengan kadar Cystatin C. Nilai koefisien
korelasi sebesar 0,390 menunjukkan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi
yang lemah. Arah korelasi positif berarti semakin tinggi lingkar pinggang semakin tinggi pula
kadar Cystatin C. Dengan uji Spearman correlation untuk mengetahui hubungan antara
indeks massa tubuh dengan kadar Cystatin C diperoleh angka signifikansi sebesar 0,012 yang
berarti bahwa ada hubungan linier antara indeks massa tubuh dengan kadar Cystatin C. Nilai
koefisien korelasi sebesar 0,332 menunjukkan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan
korelasi yang lemah. Arah korelasi positif berarti semakin tinggi indeks massa tubuh semakin
tinggi pula kadar Cystatin C.
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan yang signifikan kadar Cystatin C antara
kelompok obesitas (0.80±0,11) dan kelompok normoweight (0,72±0,11) dimana kadar
Cystatin C lebih tinggi pada kelompok obesitas daripada kelompok normoweight. Hal ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Bashir et al (2010) yang melakukan penelitian pada
subyek berumur 18 – 60 tahun. Mereka mendapatkan perbedaan yang signifikan kadar
Cystatin C antara kelompok obese, overweight dan kelompok kontrol baik pada Laki-laki
maupun Perempuan dimana kadar Cystatin C lebih tinggi pada kelompok obese dibandingkan
kelompok overweight dan kelompok kontrol. Hasil yang ditemukan pada penelitian ini
berbeda dengan yang ditemukan oleh Jung et al (2005). Pada penelitian yang mereka lakukan
di Korea pada populasi anak dan remaja berusia 6 – 20 tahun, mereka menemukan bahwa
Cystatin C serum tidak berbeda secara signifikan antara kelompok obesitas dan non obesitas.
Perbedaan hasil penelitian yang didapat mungkin dikarenakan kriteria obesitas yang
digunakan. Kriteria obesitas pada penelitian mereka hanya berdasarkan IMT sedangkan pada
penelitian ini berdasarkan IMT dan lingkar pinggang. Selain itu, populasi penelitian mereka
adalah anak dan remaja sedangkan populasi pada penelitian ini hanya pada remaja. Tetapi,
mereka menyimpulkan bahwa obesitas menyebabkan perubahan hemodinamik ginjal seperti
hiperfiltrasi.
Hiperfiltrasi umumnya ditemukan pada individu obese yang menyebabkan
peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan level angiotensin II dan hiperinsulinemia.
Individu obese mengalami peningkatan reabsorbsi natrium pada tubulus proksimal dan tidak
dapat dengan cepat meningkatkan ekskresi natrium. Peningkatan reabsorbsi garam di tubulus
proksimal menyebabkan berkurangnya pengiriman natrium ke macula densa dan karena itu
menyebabkan vasodilatasi aferen dan peningkatan sintesis renin. Sehingga menimbulkan
peningkatan kadar angiotensin II lokal dan vasokonstriksi arteriol efferent pada obesitas.
Glomerulogali dan Fokal Glomerulosclerosis (FGS) timbul sebagai kerusakan anatomi akibat
glomerular hiperfiltrasi-hipertensi. Kemungkinan besar glomerulogali dan FGS pada obesitas
dengan proteinuria mendasari perubahan mikrosirkulasi ginjal yaitu terjadinya aliran
glomerolus yang tinggi dan hiperfiltrasi. Perubahan ini terjadi pada tahap awal obesitas.
(Zoccali, 2010).
Kadar Cystatin C kelompok obese (0.80±0,11) lebih tinggi daripada kelompok
normoweight (0,72±0,11). Hal ini menandakan bahwa pada remaja obesitas mungkin sudah
terjadi perubahan hemodinamik ginjal yang mengarah kepada kerusakan ginjal tahap dini.
Kelompok obesitas lebih berisiko terkena gangguan ginjal dibandingkan kelompok
normoweight. Peningkatan risiko Early Stage Renal Disease (ESRD) pada BMI yang tinggi
dan obesitas adalah lima kali lebih lebih tinggi dibandingkan individu dengan berat badan
normal. Lemak visceral, resistensi insulin dan inflamasi berkorelasi kuat dengan terjadinya
CKD dan ESRD pada obesitas (Zoccali, 2010). Penelitian sebelumnya di University of
California, San Fransisco juga menemukan bahwa ada hubungan yang kuat antara obesitas
dengan perjalanan terjadinya CKD atau ESRD. Mereka meyimpulkan bahwa risiko gagal
ginjal pada responden overweight hampir dua kali lebih besar daripada responden berat badan
normal dan responden yang obese dengan IMT 40 kg/m² atau lebih memiliki risiko tujuh kali
lebih besar menderita gagal ginjal.
Pada penelitian ini juga dilakukan perhitungan eGFR berdasarkan nilai kadar Cystatin
C. Rerata eGFR pada responden adalah 112,30 + 21,90. Uji perbedaan eGFR pada kelompok
obese dan normoweight didapatkan perbedaan yang signifikan dimana eGFR kelompok obese
(104±17,48) lebih rendah dibandingkan kelompok normoweight (121,95±23,67). Mungkin
perubahan hemodinamik ginjal telah terjadi pada kelompok obese meskipun rerata eGFR pada
kelompok obese masih normal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Jung (2005) untuk
mengetahui tingkat filtrasi glomerolus pada anak dan remaja yang menemukan bahwa GFR
berbeda secara signifikan antara kelompok obese dan non obese, GFR berkorelasi positif
dengan IMT tetapi tidak berkorelasi secara signifikan dengan derajat obesitas. Mereka
menyimpulkan bahwa obesitas dapat menyebabkan hiperfiltrasi. Marwyne et al (2011)
menemukan bahwa eGFR berbasis persamaan Cystatin C memiliki korelasi tertinggi
dibandingkan eGFR berbasis kreatinin pada subyek overweight dan obesitas. Mereka
menyimpulkan bahwa eGFR berbasis Cystatin C lebih akurat, sensitif dan spesifik
dibandingkan dengan eGFR berbasis kreatinin dalam memperkirakan GFR pada subyek
overweight dan obesitas.
Berbagai studi menemukan bahwa konsentrasi Cystatin C tidak dipengaruhi oleh usia,
jenis kelamin, ras, diet, massa otot, IMT, hormon, inflamasi, demam dan keganasan (Pardede,
2001; Filler, 2005; Pusparini, 2007; Naour et al, 2009; Grubb, 2010; Bermawi, 2010; Yaswir,
2012). Pada penelitian ini dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara IMT dengan
kadar Cystatin C dan didapatkan hubungan yang linear antara IMT dengan kadar Cystatin C
(p=0,012). Tetapi kekuatan korelasi yang didapatkan adalah lemah (r=0,332). Arah korelasi
positif berarti semakin tinggi IMT semakin tinggi kadar Cystatin C. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Bashir et al (2010) yang mendapatkan hubungan antara IMT dengan kadar
Cystatin C. Tetapi, kekuatan korelasi yang mereka dapatkan adalah sedang. Mereka
menyimpulkan bahwa Cystatin C serum dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk
peningkatan tinggi dan berat badan. Pada obesitas berdasarkan IMT diketahui bahwa adiposit
tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk penyimpanan triacyglycerol, tetapi mampu
memproduksi dan mensekresikan sejumlah protein termasuk Cystatin C yang memengaruhi
berbagai proses fisiologis. Nour (2009) dalam penelitiannya pada subyek obesitas (IMT :
34,7±0,29 kg/m²) menemukan bahwa level Cystatin C meningkat pada obesitas. Cystatin C
mRNA di ekspresikan dalam jaringan subkutan dan adiposa omentum dua kali lipat lebih
tinggi dibandingkan jaringan non adiposa. Peningkatan ini bisa muncul dari adiposit yang
membesar dan atau dari sel SVF termasuk makrofag yang mengekspresikan Cystatin C
mRNA dan menyusup pada jaringan adiposa. Mereka menyimpulkan bahwa Cystatin C
menambah daftar faktor baru molekul bioaktif yang disekresikan oleh jaringan adiposa untuk
implikasi obesitas dan komplikasi terkait obesitas. Pada penelitian terhadap populasi dewasa
yang menderita overweight dan obesitas di Amerika Serikat oleh Muntner et al (2008), juga
didapatkan hubungan yang kuat antara IMT dengan peningkatan kadar Cystatin C sebagai
biomarker ESRD.
Hasil analisis selanjutnya hubungan antara lingkar pinggang dengan kadar Cystatin C
menunjukkan hubungan yang linear antara lingkar pinggang dengan kadar Cystatin C
(p=0,004). Kekuatan korelasi yang didapatkan lemah (r=0,390). Arah korelasi positif berarti
semakin tinggi lingkar pinggang semakin tinggi kadar Cystatin C. Menurut Zoccali (2010),
belum ada studi yang menguji apakah ada hubungan antara lingkar pinggang atau rasio
pinggang-pinggul dengan terjadinya CKD atau ESRD. Pengukuran lingkar pinggang paling
tepat untuk menentukan obesitas sentral. Adanya timbunan lemak di perut tercermin dari
meningkatnya lingkar pinggang. Lemak pada daerah abdominal (viseral) berhubungan dengan
faktor risiko kardiovaskular dan sindrom metabolik (Proverawati, 2010). Salah satu
karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak
sehingga sel-sel lemak tersebut akan mensekresi produk-produk metabolik diantaranya sitokin
proinflamasi, prokoagulan, peptida inflamasi dan angiotensinogen (Jafar, 2011). Produk dari
sel-sel lemak dan peningkatan asam lemak bebas ini selanjutnya menyebabkan resistensi
insulin, inflamasi pada sel-sel messangial glomerolus dan sel-sel epitel tubulus yang
menyebabkan glomerulosclerosis dan tubulointerstitial fibrosis. Terutama tubulo interstitial
fibrosis yang menyebabkan penurunan katabolisme Cystatin C di sel-sel epitel tubulus yang
pada akhirnya menyebabkan peningkatan kadar Cystatin C serum.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kadar Cystatin C
antara remaja obesitas dan remaja normoweight dimana kadar Cystatin C pada remaja
obesitas lebih tinggi daripada remaja normoweight. Pada remaja obesitas terutama obesitas
sentral sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar Cystatin C secara berkala untuk mengetahui
adanya penurunan fungsi ginjal tahap dini.
DAFTAR PUSTAKA Anna L.K. (2011). Obesitas ancam remaja. Diunduh 31 Januari 2013. Diakses dari : URL:
HYPERLINK http://www.healthkompas.com. Arisman. (2011). Obesitas, Diabetes Melitus & Dislipidemia : Konsep, Teori dan
Penanganan Aplikatif. Jakarta : EGC. Bashir R., Imtiaz S., Yasir M., Raza H., Syah S.M.A. (2010). Effect of Body Mass Index on
Serum Cystatin C in Healthy Subjects. Pak J Med Health Sci oct-dec, 4(4):392-396. Behring D. (2007). When Assesing Renal Function. Diunduh 31 Januari 2012. Diakses dari :
URL: HYPERLINK http//www.dadebehring.com. Bermawi B.M. (2004). Evaluasi Pemeriksaan Kadar Cystatin C Sebagai Parameter
Penurunan Fungsi Ginjal Dini (Tesis). Diunduh 12 Nopember 2012. Diakses dari : URL: HYPERLINK http//www.digilib.ui.ac.id.
Chulloch C.E.M., Irabarren C., Darbinian J., Go A.S. Study Show Obesity is Related to Kidney Failure. Diunduh 31 Januari 2012. Diakses dari : URL: HYPERLINK http//www.ucsf.edu.
Filler G., Bokenkap A., Hofmann W. Bricon T.L., Martinez-Bru C., Grubb A. (2005). Cystatin C as a Marker of GFR : History, Indications and Future Research. Clinical Biochemistry, 38: 1-8.
Grubb A. (2010). Non-invasive Estimation of Glomerular Filtration Rate(GFR). The Lund Model : Simultaneous Use of Cystatin C and Creatinin-Based GFR-Prediction Equations, Clinical Data and an Internal Quality Check. Scandinavian Journal of Clinical & Laboratory Investigation, 70: 65-70.
Gupta D.K., Shah P., Misra A., Bharadwaj S., Gupta N., Sharma R., Pandey R.M., Goel K. (2011). Secular Trends in Prevalence of Overweight and Obesity from 2006 to 2009 in Urban Indian Adolescents Aged 14-17 Years. PloS ONE, 6(2): e17221.
Haby M., Markwick M.S.A. (2008). Future Prevalence of Overweight and Obesity in Australian Children an Adolescents, 2005-2025. Public Health Branch, Rural and Regional health & Aged care Service, Department of Human service, Australia.
Halimah E dkk. Korelasi Pengukuran Kreatinin Serum, Cystatin C, dan Penggunaan Rumus Modification of Diet Renal Diseases (MDRD) dengan Kreatinin Klirens untuk Memperkirakan Laju Filtrasi Glomerolus. Diunduh 12 Nopember 2012. Diakses dari : URL: HYPERLINK http//www.farmasi-unpad.ac.id.
Jafar N. (2011). Sindrom metabolik (Karya Tulis Ilmiah). Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Jung Y., Kim D., Lim I. (2005). The Relation Between Obesity and Glomerular Filtration Rate in Children and Adolescent. Korean.J.Pediatrik, 48(11):1219 – 1224.
Ko et al. (2008). The Problem of Obesity Among Adolescent in Hong Kong: a Comparison Using Various Diagnostic Criteria. BMC Pediatrics, 8:10.
Marywane M.N.N., Loo C.Y., Halim A.G., Norella K., Sulaiman T., Zaleha M.I. (2011). Estimating of Glomerular Filtration Rate Using Serum Cystatin C in Overweigth and Obese Subjects. Med J Malaysia, 6:313–317.
Muntner P., Winston J., Unibarri J., Mann D., Fox C.S. (2008). Overweight and Obesity and Elevated Serum Cystatin C Levels in US Adults. AnJ.Med, 121(4):341-348.
National Kidney Foundation. Cystatin C : What Is Its Role In Estimating GFR?. Diunduh 02 Februari 2012. Diakses dari : URL: HYPERLINK http//www.kidney.org.
Naour N et al. (2009). Potential Contribution of Adipose Tissue to Elevated Serum Cystatin C in Human Obesity. Obesity, 17(12):2121-2125.
Pardede S.O. (2001). Sistatin C dan Hubungannya dengan Fungsi Ginjal pada Anak. Cermin dunia Kedokteran, 132:28-32.
Pusparini. (2007). Perbandingan Cystatin C dengan Parameter Uji Fungsi Ginjal Lainnya. Indonesian journal of clinical pathology and medical laboratory, 4(1):16-19.
Proverawati A. (2010). Obesitas dan Gangguan Perilaku Makan pada Remaja. Yogjakarta : Nuha Medika.
Soegih R & Wiramihardja KK. (2009). Obesitas : Permasalahan dan Terapi Praktis. Jakarta : Sagung seto.
Yaswir R & Maiyesi A. (2012). Pemeriksaan Laboratorium untuk Uji Fungsi Ginjal. Jurnal Kesehatan Andalas, 1(1):10-14.
Zoccali C. (2009). Overweight, Obesity and Metabolic Alterations in Chronic Kidney Disease. Biol. Med. Sci, XXX(2):17-31.
Tabel 1. Karakteristik Responden
Variabel N Rerata Median SD Min Maks P Umur (thn) TB (cm) BB (kg) IMT (kg/m²) LP (cm) Kadar Cystatin C (mg/L) EGFR (ml/mnt/1,73m²)
46
46
46
46
46
46
46
15,55
1,67
71,72
25,52
88,54
0,76
112,30
15,42
1,66
74
27,67
90
0,75
111
0,45
0,08
17,59
5,00
17,27
1,11
21,90
15
1,50
36
16
63
0,53
67
17,42
2,00
119
34,3
123
1,12
172
0,00
0,61
0,00
0,03
0,01
0,61
0,78
Tabel 2. Perbedaan Kadar Cystatin C antara Remaja Obesitas dan Normoweight
Kategori
Obese n Kadar Cystatin C (mg/L)
Mean + SD p
Obesitas
Normoweight
26
20
0,80 + 0,11
0,72 + 0,11
0,014*
* signifikan p 0,05
Tabel 3. Perbedaan eGFR Berbasis Cystatin C antara Remaja Obesitas dan
Normoweight
Kategori Obese
N Kadar Cystatin C (mg/L) Mean + SD P
Obesitas Normoweight
26 20
104,88 + 17,48 121,95 + 23,67
0,007*
* signifikan p 0,05
Tabel 4. Korelasi IMT dan Lingkar Pinggang Terhadap Kadar Cystatin C
* Pearson Correlation test (1-tailed); p signifikan bila 0,05 ** Spearman Correlation test (1-tailed); p signifikan bila 0,05
Variabel r p NS/S
LP* IMT**
0,390 0,332
0,004 0,012
S S