Upload
muhammad-mujtabah
View
87
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aliran-aliran dalam islam muncul sejak zaman sahabat dan sesudahnya
yaitu tabiin dan tabitabiin . Para sahabat dan penerusnya berbeda pendapat dalam
berbagai aspek di antaranya akidah dan syariah. Pada Makalah Ini penulis akan
berupaya menjelaskan berbagai Aliran-aliran yang Muncul akibat perbeaaan
pendapat dari segi akidah (tauhid) yang dikenal dengan nama Ilmu Kalam.Penulis
akan memaparkan beberapa kelompok aliran ilmu kalam(al mutakallimun) di
antaranya : asy aari,mutazilah,maturidiyah,jabariyah ,qadariyah1.
Beberapa aliran tersebut berbeda pendapat dalam empat kaedah dasar yaitu:
Kaedah pertama : sifat-sifat dan pengesaan pada sifat tersebut,contohnya sifat
azaliyah ada aliran yang menetapkan sifat tersebut dan ada yang menafikan. Yang
bertentangan pada kaedah ini yaitu mutazilah ,asyarii dan mujassimah.
Kaedah kedua : qadr dan keadilan di dalamnya, yang mencakup beberapa masalah
: qada dan qadr,keinginan baik dan buruk,yang ditakdirkan dan yang diketahui,
yang berusaha dan yang tidak mau berusaha. yang bertentangan pada kaedah ini
yaitu qadariyah,jabariyah,asyariyahdan karramiyah.
Kaedah ketiga : janji dan ancaman., mencakup beberapa masalah yaitu iman dan
taubah,ancaman dan pertolongan,pengkafiran dan penyesatan. Aliran yang berbeda
di antaranya al murjiah, mutazilah asyariyah.
Kaedah keempat : pendengaran dan akal ,utusan dan pimpinan. Yang mencakup
beberapa masalahyaitu baik dan buruk,perdamaian, kelembutan dan kekuasaaan
pada nabi, dan syarat-syarat pemimpin. Dan yang bertentangan dalam kaedah ini
yaitu syiah, khawarij,mutazilah dan asyariyah.
1 Drs. H. M. Yusran Asmuni. Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993.. hal.
154-155
Pada makalah ini akan penulis bahas beberapa pokok masalah yang
dipertentangkan yaitu perbuatan Tuhan, Perbuatan manusia dan ruyatullah dan
akan di bahas pada bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendapat-pendapat setiap aliran tentang perbuatan Tuhan,
perbuatan manusia, kalamullah, antropomorfisme dan ruyatullah ?
2. Apakah alasan mengapa mereka berbeda pendapat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan
melakukan perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi logis dari
dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
1. Aliran Mutazilah
Aliran Mutazilah adalah aliran kalam yang bercorak rasional. Berpendapat
bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun
ini bukan berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan
tidak melakukan perbuatan buruk karena ia tahu keburukan dari perbuatan buruk
itu. Di dalam Al Quran dikatakan pada surat Al-Anbiya ayat 23 dan Arrum ayat 8
dan inilah yang menjadi dalil kaum Mutazilah.
Seorang tokoh Mutazilah Qodi Abd Al Jabar mengatakan bahwa ayat
tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan yang maha suci
dari berbuat buruk. Tuhan tidak perlu ditanya ia menambahkan bahwa seseorang
yang dikenal baik apabila secara nyata berbuat baik2. Apabila ia secara nyata
berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu. Dari
ayat kedua menurut Al Jabar mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan
tidak akan melakukan perbuatan buruk. Pernyataan bahwa ia menciptakan langit
dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita
bohong.
2 DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia
Bandung: 2006. hal. 133-139
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang berjalan
sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak tuhan
mendorong kelompok Mutazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
kewajiban terhadap manusia. Kewajiban tersebut dapat disimpulkan dalam suatu
hal yaitu kewajiban berbuat terhadap manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat
baik bahkan yang terbaik (ash sahalah wa al aslah) mengonsekwensikan aliran
Mutazilah memunculkan paham kewajiban Allah berikut ini.
a. Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia
Adalah bertentangan dengan paham berbuat baik dan terbaik dan ini
bertentangan dengan paham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan
bersifat tidak adil kalau ia memberikan beban yang terlalu berat kepada
manusia.
b. Kewajiban mengirimkan Rasul bagi aliran Mutazilah bahwa akal dapat
mengetahui hal yang gaib. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak
dapat mengetahui setiap apa-apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan
dan alam gaib. Oleh karena itu Tuhan berkewajiban melakukan perbuatan baik
dan terbaik dengan cara mengirim Rasul. Tanpa Rasul mereka tidak akan
memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat.
c. Kewajiban menepati janji (al wad) dan ancaman (waid). Seperti janji
memberikan ganjaran kepada yang berbuat baik dan memberikan ancaman
kepada yang berbuat jahat.
2. Aliran Asy-Ariyah
Menurut aliran ini Paham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi
manusia (as salah wa al aslah) sebagaimana dikatakan oleh kaum Mutazilah. Tidak
dapat diterima karena bertentangan dengan Paham kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan ini ditugaskan Al Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak
berkewajiban berbuat baik kepada manusia. Dengan demikian aliran As Ariyah
tidak menerima paham Tuhan mempunyai kewajiban3. Tuhan dapat berbuat baik
dan terbaik bagi manusia. Tuhan berbuat sekehendak hatinya terhadap makhluk
3 Harun Nasution Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Pebandingan UI Press,
Jakarta: 1986 hal. 135-136
sebagaimana dikatakan Al Ghazali perbuatan Tuhan tidak wajib (Jaiz) dan tidak
satupun darinya bersifat wajib. Karena paham ini percaya bahwa kekuasaan
sepenuhnya mutlak milik Tuhan.
3. Aliran Maturidylah
a. Maturidiyah Samarkand
Yaitu aliran yang memberikan batasan pada kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Mereka berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal
baik saja. Dengan demikian Tuhan berkewajiban melakukan hal- yang baik bagi
manusia.
b. Maturidiyah Bukhara
Memiliki pandangan yang sama dengan As Ariyah bahwa menurut mereka
Tuhan tidak memiliki kewajiban. Namun sebagaimana dijelaskan oleh Al Bazdawi
bahwa Tuhan pasti menepati janjinya seperti memberikan upah pada orang yang
telah berbuat baik.
B. Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan pencipta alam semesta
dan manusia di dalamnya. Tuhan bersifat maha kuasa dan bersifat mutlak.
1. Aliran Jabariyah
a. Jabariyah Ekstrim, berpendapat bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa,
tidak mempunyai daya, kehendak dan pilihan. Perbuatan manusia bukanlah
kehendaknya sendiri melainkan paksaan dari Tuhan.
b. Jabariyah Moderat,
Paham ini mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia. Akan
tetapi manusia mempunyai peran di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam
diri manusia mempunyai efek untuk melakukan perbuatan-perbuatan atau
dengan kata lain perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan dan diperoleh
(acquired iktasaba) pada hakikatnya oleh manusia.
2. Aliran Qodariah
Aliran ini mengatakan bahwa tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendak sendiri4. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatannya atas kehendak sendiri, baik itu perbuatan baik atau jahat.
Paham takdir dalam pandangan Qodariah adalah ketentuan Allah yang
diciptakan untuk alam semesta beserta seluruh isinya. Dalam istilah Al Quran
disebut sunatullah. Ayat-ayat Al Quran yang tercantum dalam surat Al Kahfi ayat
ke 29 yang artinya Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu. Siapa yang mau
berimanlah dia dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah dia (QS. Al Kahfi:
29)
3. Aliran Mutazilah
Aliran mutasilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan
bebas. Oleh sebab itu mutasilah menganut paham Qodariah atau free will.
Mutazilah mengatakan dengan tegas bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya
yang terdapat pada manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Aliran
Mutazilah mengaku bahwa Tuhan adalah pencipta awal. Sedangkan manusia
berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya
4. Aliran Asyariyah
Dalam paham Asyariyah manusia ditempatkan diposisi yang lemah. Aliran
ini telah dekat dengan Paham jabariyah. AsyAriyah menggunakan teori Al Kasb
untuk membela keyakinan tersebut. Al AsyAriyah mengemukakan dalil tentang Al
Quran yang artinya Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (QS
Asy-Saffat:96).
Aliran ini berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Allah.
Sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya.
5. Aliran Maturidiyah
Menurut aliran Maturidiyah Samarkand perbuatan manusia merupakan
kehendak dan daya manusia dalam arti kata yang sebenarnya. Bukan dalam arti
kiasan. Manusia dalam paham Maturidiah tidaklah sebebas manusia dalam paham
4 DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M.Ag. Op. Cit. Hlm. 177-179
Mutazilah. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah
diciptakan Tuhan.
C. Kalamullah
Pembahasan mengenai Kalamullah (perkataan Allah) menjadi pembicaraan
yang menarik disebabkan oleh banyaknya asumsu atau pendapat aliran-aliran
teologi dalam Islam, misalnya apakah perkataan Allah itu qadim atau abadi sama
dengan qadimnya Allah SWT sendiri, yang merupakan sumber dari perkataan
tersebut.
Dalam tulisan berikut ini akan dijelaskan dari aliran-aliran yang ada dalam teologi
Islam berkaitan dengan masalah Kalamullah itu, juga dalil yang dikemukakan untuk
meligitimasi atau menguatkan dalil mereka yang ternyata semuanya juga berdalil
dalam Al-Quran itu sendiri.
1. Aliran Mutazilah
Aliran muktazilah melihat Al-Quran sebagai suatu perkataan yang terdiri
dari huruf dan suara, artinya disamakan dengan perkataan biasa dikenal. Perkataan
menyatakan pikiran yang ada pada dirinya, supaya diketahui orang lain. Kalau Al-
Quran terdiri dari kata-kata, sedang kata-kata itu baru, maka Al-Quran itupun
baru. Selain itu sifat qalam (Al-Quran) bukanlah sifat dzat, tetapi adalah salah satu
sifat perbuatan (sifat aktifa) karena itu menurut mereka Al-Quran itu adalah
makhluk. Artinya Tuhan mengadakan perkataan pada lauhul mahfudz, atau Jibril
utusan-Nya.
Alasan yang dikemukakan aliran Muktazilah adalah alasan berdasar pada
Al-Quran atau syara dan alasan yang bersandar pada logika akal pemikiran.
Alasanya syara adalah Al-Quran surah az-Zukhruf. 3, Hud. 1, Yusuf. 2, at-
Taubah. 6, al-Baqarah. 30, sedangkan alasan dalam bentuk logika adalah sudah
disepakati kaum muslimin bahwa apa yang dinamakan Quran adalah kata-kata
yang dapat di dengar dan di baca dan terdiri dari surat-surat, ayat-ayat, huruf-huruf
tertentu. Sudah barang tentu Quran tersebut kalam yang menjadi salah satu sifat
Tuhan.
2. Aliran Asyary
Aliran ini berkeyakinan bahwa Al-Quran adalah bukan makhluk, bahkan
Asyary menyatakan bahwa tidak satupun bagian dari Al-Quran itu makhluk.
Namun pendapat imam Asyary oleh pengikutnya ternyata ada yang bertentangan
pendapatnya.
D. Ruyatullah
Ruyah secara bahasa berarti melihat dengan mata kepala ataupun mata hati
sehingga ruyatullah berarti melihat ALLAH dengan penglihatan mata ataupun
penglihatan hati.
Di dalam al-Quran al-Karim, Allah SWT memberikan penjelasan-
penjelasan tentang permasalahan ruyatullah. Akan tetapi, sebagian ayat-ayat al-
Quran menjelaskan bahwa manusia tidak akan mungkin melihat Tuhannya.
Sementara sebagian ayat-ayat al-Quran lainnya malah mensinyalir bahwa manusia
dapat melihat Tuhannya. Sekelompok aliran kalam menjadikan ayat-ayat al-Quran
yang menyatakan bahwa manusia tidak akan mungkin melihat Tuhannya sebagai
ayat muhkamat, sehingga ayat-ayat al-Quran yang menyatakan sebaliknya adalah
sebagai ayat-ayat mutasyabihat. Sebagai konsekuensi, masing-masing aliran
menerima secara tegas ayat-ayat muhkamat dan menakwilkan ayat-ayat al-Quran
yang dianggap mutasyabihat.
1. Ayat-Ayat Tentang Kemungkinan Melihat Allah
Sejumlah ayat al-Quran yang sepintas tampak menyatakan bahwa seorang
manusia dapat melihat Allah SWT adalah sebagai berikut:
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri; kepada
Tuhan-nya mereka Melihat.(Q.S. 75: 22-23)
Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan
ampunan untukmu), supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya
(yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.
Pada hari di mana mereka akan bertemu dengan-Nya dengan penuh kedamaian; dan
Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.(Q.S. Al-Ahzab/33: 43-44).
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: Hai Musa, kami tidak akan beriman
kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar
halilintar, sedang kamu menyaksikannya.(Q.S.Al-Baqarah/2: 55)
2. Ayat-Ayat Yang Menunjukkan Kemustahilan Melihat Allah
Sementara sejumlah ayat al-Quran yang secara sepintas tampak menyatakan
bahwa seorang manusia tidak akan dapat melihat Tuhannya adalah sebagai berikut:
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat
segala yang kelihatan; dan Dia-lah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (Q.S.
6 : 103)
Sekali-kali tidak, sesungguhnya Allah pada hari itu akan menutup diri-Nya
dari pandangan mereka. (Q.S. Muthaffifin/83: 15)
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang
telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah
Musa: Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat
kepada Engkau. Tuhan berfirman: Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku,
tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sedia kala)
niscaya kamu dapat melihat-Ku. tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada
gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.
Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: Maha Suci Engkau, aku bertaubat
kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman. (Q.S. 7: 143)
Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan
mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-
Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
(Q.S. Asy-Syura/42: 51)
Demikianlah sejumlah ayat al-Quran berkenaan dengan masalah
ruyatullah. Ayat-ayat al-Quran yang tampak menyatakan bahwa manusia dapat
melihat Tuhan, dijadikan sejumlah aliran kalam sebagai dalil naqli bagi
kemungkinan manusia melihat Tuhan5. Mereka menakwilnya ayat-ayat yang
5 Drs. H. Sahilun A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo Persada. Jakarta: 1996: hal. 98
sepintas menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat melihat. Sebaliknya, ayat-ayat yang
tampak menyatakan bahwa manusia tidak dapat melihat Tuhan dijadikan oleh
sejumlah aliran sebagai dalil naqli bagi ketidakmungkinan manusia melihat Tuhan.
Konsekuensinya, mereka menakwilkan ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan
dapat dilihat.
Jika dilihat sepintas tampak bahwa ayat-ayat al-Quran yang berkaitan
dengan masalah ruyatullah saling bertentangan. Sebagian ayat menyatakan
kemungkinan manusia melihat Tuhan, sementara sebagian ayat lainnya
menyatakan kebalikannya. Untuk masalah ini, harus diperhatikan bahwa
sesungguhnya tidak ada pertentangan di dalam al-Quran. Kesimpulan bahwa ayat-
ayat al-Quran saling kontradiksi itu hanya merupakan akibat pemahaman yang
keliru semata-mata. Karena itu, para sarjana Islam harus mampu menakwilkan
sejumlah ayat al-Quran yang tampak berlawanan itu. Ini pula sebenarnya segi
paling menarik dan paling mengagumkan dari susunan al-Quran. Pendeknya, tidak
ada pertentangan di dalam al-Quran.
3. Hadits-Hadits Tentang Melihat Allah dalam Kitab Sunni dan Syiah
Di pihak lain, menurut tradisi Sunni (Ahlussunnahwaljamaah), ada
sejumlah hadits Nabi Muhammad SAW yang membahas permasalahan ruyatullah
ini, sebagaimana tertulis di dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Dalam kitab
Sahih Bukhari tertera sejumlah hadits tentang ruyatullah, sebagaimana tertulis di
bawah ini.
Dari Aisyah r.a, katanya: Siapa yang menceritakan kepada engkau, bahwa
Nabi Muhammad SAW melihat Tuhannya, sesungguhnya orang tersebut
berdusta, karena Tuhan mengatakan: Pandangan tidak sampai kepada-Nya.
Dan siapa yang mencerita-kan kepada engkau, bahwa Nabi Muhammad
SAW mengetahui hal yang gaib, sesungguhnya orang itu dusta, karena
Tuhan mengatakan Tiada yang mengetahui hal yang gaib melainkan
Allah.
Dari Jarir r.a. katanya: ketika kami sedang duduk dekat Nabi SAW, beliau
memperhatikan bulan di malam purnama, beliau bersabda Sesungguhnya
kamu nanti akan melihat Tuhan kamu, sebagaimana kamu melihat bulan ini
dan kamu tidak berdesak-desak untuk melihat-Nya. Dan kalau kamu
sanggup tidak ketinggalan dalam mengerjakan sembahyang sebelum
matahari terbit dan sembahyang yang sebelum matahari terbenam,
perbuatlah.
Dari Adi bin Hatim r.a. katany: Rasulullah SAW bersabda: Setiap kamu
nanti akan berbicara dengan Tuhannya, tanpa perantaraan juru bahasa dan
tidak ada pula dinding yang membatasi.
Sementara dalam kitab Sahih Muslim, tertera sejumlah hadits tentang
ruyatullah, yakni sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abu Musa r.a. : Rasulullah SAW pernah berdiri di
tengah-tengah kami menjelaskan lima pokok pembicaraan. Beliau bersabda,
Sesungguhnya, Allah SWT tidak tidur, dan tidak patut bagi-Nya untuk
tidur; Dia menurunkan dan menaikkan kadar timbangan amal hamba-Nya;
kepada-Nyalah diangkat amal hamba-Nya yang malam hari sebelum amal
yang siang hari; dan juga amal yang siang hari sebelum amal yang malam
harinya; tirai Allah SWT adalah cahaya. Jika Allah SWT menyingkap tirai-
Nya, cahaya Zat Allah itu akan menghanguskan semua Makhluq-Nya.
4. Perbandingan Aliran-aliran Tentang Ruyatullah
Theologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-
kewajiban manusia terhadap Tuhan,memakai akal dan wahyu dalam memperoleh
pengetahuan tentang kedua soal tersebut.Maka dari sinilah setiap aliran-aliran ilmu
kalam mempunyai pendapat masing-masing tentang wahyu,akal dan
ruyatullah.Beberapa aliran ilmu kalam yang memiliki pendapat tentang hal
tersebut diantaranya :
a. Pendapat Mutazilah tentang Wahyu,akal dan ruyatullah.
Tentang ruyatullah kaum Mutazilah berpendapat bahwa manusia tidak
akan mampu melihat Allah SWT baik di dunia maupun di akhirat. Semua pemuka
Mutazilah meyakini bahwa Allah SWT tidak dapat dilihat melalui mata fisik.
Namun sejumlah kecil pemuka Mutazilah seperti Abu Huzail meyakini bahwa
manusia dapat melihat Tuhan melalui hatinya.Akan tetapi tidak sedikit pula pemuka
kaum Mutazilah berpandangan bahwa Allah SWT tidak bisa diketahui dengan
penglihatan mata atau pun hati, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Pandangan
terakhir diyakini para pemuka Mutazilah seperti al-Fuwathi, Abbad ibn Sulaiman,
dan lainnya.Aliran Mutazilah menolak keyakinan antropomorfisme. Mereka tidak
meyakini bahwa Allah memiliki wujud materil. Allah SWT bukan wujud materil.
Karena itu, Allah tidak membutuhkan tempat. Karena itu, Allah SWT tidak serupa
dengan makhluq. Oleh karena Allah seperti itu, maka mereka meyakini bahwa
manusia tidak akan dapat melihat Allah SWT di di dunia dan di akhirat kelak.
Sejumlah pemuka Mutazilah memang meyakini bahwa Allah dapat dilihat oleh
manusia melalui hati sanubari, namun pada umumnya pemuka-pemuka aliran ini
menolak hal tersebut. Alasan-alasan yang mereka ajukan adalah sebagai berikut :
Dalam Q.S. al-Qiyamah: 22-23, menjelaskan bahwa Allah SWT tidak dapat
dilihat oleh manusia. Menurut mereka, kata nazhara tidak berarti raa (melihat),
karena kata ini jika dikaitkan dengan kata ain (mata) berarti usaha untuk
melihat, sebagaimana jika dikaitkan dengan hati (qalb) berarti usaha untuk
tahu. Hakikat nazhara adalah mengarahkan mata ke arah sesuatu untuk
melihatnya. Jika demikian, mestilah Tuhan yang dilihat itu berada pada satu
arah. Jika pendapat ini benar, maka Allah itu berjisim, karena berada pada arah
tertentu. Karena itu tidak dapat diterima, maka mestilah kata rabbiha
(Tuhannya) ditakwilkan dengan pahala yang diberikan Tuhan.
Kata nazhara biasanya dipakai untuk pengertian menanti (al-intizhar).
Terkadang pula dipakai untuk pengertian mengarahkan mata ke suatu objek
untuk melihatnya. Bahkan dipakai pula untuk pengertian berfikir dengan hati
untuk memperoleh pengetahuan.
Pendapat bahwa kata nazhara jika dikaitkan dengan wajah berarti melihat
tidak dapat diterima. Karena pengertian melihat dengan wajah tidak dikenal
dalam bahasa Arab. Yang biasa dikenal adalah pengaitan mata dengan
penglihatan.
Dalam Q.S. al-Anam ayat 103 dijelaskan secara tegas bahwa Allah tidak akan
dapat dilihat. Bagi kaum Mutazilah, Tuhan tidak dapat dilihat karena kata al-
idrak disertai penyebutan kata al-bashar, yang dimaksudkan adalah melihat
dengan penglihatan mata. Ayat ini bersifat umum tanpa ada pengecualian.
Karena itulah, Tuhan tidak akan dilihat oleh manusia.
b. Pendapat aliran asyariyah tentang ruyatullah.
Tentang melihat Tuhan(ruyatullah) Secara umum dapat dikatakan bahwa
aliran Asyariyah menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat oleh manusia. Mereka
mengajukan sejumlah argumen, tidak saja argumen aqli namun pula argumen naqli.
Bagi aliran ini, jika sesuatu menempati ruang dan waktu, maka sesuatu itu bersifat
temporal. Bagi mereka, Tuhan tidak menempati ruang dan waktu. Bagi mereka,
suatu benda, meskipun benda itu tidak ada di depan orang yang melihatnya,
mungkin saja untuk dilihat. Karena itu pula, Tuhan sangat mungkin dilihat,
meskipun indra manusia tidak memperoleh kesan obyek yang mengenai indra itu.
Selain itu, tidak mustahil Tuhan akan menciptakan di dalam diri manusia sebuah
kapasitas untuk melihat-Nya di akhirat kelak6.
Menurut al-Asyari, segala keberadaan dapat dilihat dan menyebabkan
dapat dilihat dari sisi keberadaannya. Karena Allah SWT itu secara niscaya ada,
maka Dia mesti dapat dilihat oleh manusia di hari akhirat kelak.Al-Asyari
memiliki dua pendapat tentang hakikat ruyat. Pertama, ruyat itu sebagai
pengetahuan khusus, yakni khusus melihat yang ada dan bukan yang tidak ada.
Kedua, penglihatan itu adalah temuan di belakang ilmu, bukan refleksi dari yang
ditemui dan bukan pula pengaruh dari yang ditemui.
Berkenaan dengan Tuhan, aliran Asyariyah berada pada posisi tengah
antara golongan Musyabihah dan Mujassimah dengan golongan tanzih
(nihil).Pemuka aliran ini menyatakan bahwa Allah itu memiliki wajah, tangan,
mata, dan Dia bersemayam di Arsy. Namun demikian, seseorang tidak boleh
menanyakan bagaimana wajah, tangan, mata, dan seperti apa bersemayam di Arsy
itu. Bersamaan dengan itu, seseorang pun tidak boleh mengingkari semua hal itu
Demikian pandangan mereka tentang hakikat Tuhan.
Dalam bukunya al-Ibanah an Ushul ad-Diyanah, Abul Hasan Al-Asyari
menguraikan secara luas pandangannya tentang masalah ini. Menurutnya, Allah
6 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran sejarah Analisis Perbandingan. Jakarta:
25006, UI press. Halm. 147
SWT dapat dilihat oleh penglihatan mata manusia di akhirat kelak. Beliau pun
mengajukan argumentasi-argumentasi, baik aqliyah maupun naqliyah. Dalam
konteks argumen aqliyah, beliau menyatakan: Pertama. Setiap yang ada, mungkin
untuk diperlihatkan Allah kepada kita. Yang tidak mungkin terlihat adalah sesuatu
yang tidak ada. Jika Allah termasuk sesuatu yang ada, berarti Dia dapat
memeprlihatkan wujud-Nya kepada manusia, dan ini tidak mustahil. Kedua, bahwa
Allah melihat segala sesuatu. Jika Allah melihat sesuatu, maka tidak mungkin Dia
melihat sesuatu sementara Dia tidak dapat melihat diri-Nya. Jika Dia dapat melihat
diri-Nya sendiri, maka bukan suatu kemustahilan jika Dia memperlihatkan diri-Nya
kepada kita. Dengan kata lain, jika Allah mengetahui sesuatu, maka berarti Dia
mengetahui diri-Nya, dan jika Dia dapat melihat diri-Nya berarti tidak mustahil jika
Dia memperlihatkan diri-Nya kepada kita. Sebagaimana halnya Dia mengetahui
tentang diri-Nya, maka tidak mustahil jika Dia memberitahukan kepada kita tentang
diri-Nya.
Berkenaan dengan dalil naqli, Abu Hasan al-Asyari menganggap bahwa
ayat-ayat tentang kemungkinan manusia melihat Tuhan sebagai ayat-ayat muhkam
sehingga mesti diyakini. Sementara ayat-ayat tentang ketidakmungkinan melihat
Tuhan sebagai ayat-ayat mutasyabih, sehingga perlu ditakwil. Sedikitnya, beliau
mengajukan sejumlah ayat sebagai argumentasi guna membuktikan bahwa manusia
dapat melihat Tuhan di akhirat tentang matanya, yakni:
Q.S. al-Qiyamah ayat 22-23 membuktikan bahwa manusia dapat melihat
Tuhan melalui mata di akhirat kelak. Kata nazhar dalam ayat ini memiliki 4
kemungkinan makna, yakni berfikir, menunggu, merahmati, dan melihat. Ayat
ini membicarakan peristiwa di hari akhirat, karena itu kata Nazhar tidak
mungkin berfikir karena akhirat bukan tempat berfikir, bukan pula bermakna
menunggu karena kata ini dikaitkan dengan kata wajah, sehingga maknanya
adalah melihat dengan mata yang ada di wajah, dan bukan pula bermakna
merahmati, karena makhluk tidak mungkin merahmati Penciptanya. Kata
Nazhar tidak mungkin pula bermakna menunggu karena kata ini disertai huruf
ila dan sebelumnya terdapat kata wujuh, sehingga maknanya harus melihat
dengan mata kepala. Jika kata nazhar dalam ayat ini tidak disertai huruf ila,
maka maknanya bisa menunggu.
Q.S. al-Araf ayat 143. Dalam ayat ini, Allah SWT menceritakan bahwa Musa
memohon kepada Allah agar ia bisa melihat-Nya. Dalam konteks ini, Musa
diangkat Allah sebagai nabi. Allah pun memeliharanya dari kesalahan-
kesalahan. Karena itu, tidak mungkin Musa mengajukan sebuah permintaan
yang mustahil. Jika hal itu tidak boleh dilakukan Musa, maka nabi Musa tidak
akan meminta hal-hal mustahil kepada Tuhannya. Oleh karena Musa meminta
kepada Tuhan agar ia bisa melihat-Nya, berarti ia meminta sesuatu yang tidak
mustahil,. Jadi, melihat Tuhan adalah sesuatu yang mungkin. Dalam ayat ini
pula, sebenarnya Allah berkuasa menjadikan gunung tersebut kokoh. Jika hal
itu dilakukan Allah, maka Musa akan mampu melihat-Nya. Sesungguhnya
Allah berkuasa menjadikan hamba-Nya mampu melihat-Nya. Benar bahwa
mata manusia tidak akan mampu melihat matahari di dunia, maka mata
manusia pun tidak akan mampu melihat-Nya di akhirat. Namun kelak, Allah
sangat berkuasa untuk memperkuat pandangan mata manusia tersebut,
sehingga mata manusia mampu melihat-Nya.
Berdasarkan Q.S. Yunus: 26; Q.S. Qaaf: 35; Q.S. al-Ahzab: 44; dan Q.S. al-
Muthaffifin: 15, bahwa melihat Tuhan itu sangat mungkin terjadi. Karena
melihat Tuhan itu merupakan nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada
orang-orang beriman. Orang-orang beriman akan melihat-Nya, sebagai balasan
atas perbuatan kebajikannya di dunia. Sementara orang-orang kafir tidak akan
dapat melihat-Nya, sebagai balasan atas kejahatannya di dunia.
Secara lahiriah, Q.S. al-Anam: 103 menunjukkan ketidakmungkinan melihat
Tuhan. Namun bagi al-Asyari, maknanya bukan demikian, melainkan
ketidakmungkinan melihat-Nya di dunia, sementara melihat-Nya di akhirat
sangat mungkin. Bisa pula diartikan sebagai ketidakmungkinan orang-orang
kafir melihat-Nya. Di samping itu, kata ruyah memiliki perbedaan makna
dengan kata idrak. Kata idrak dalam ayat ini berarti melihat seutuhnya.
Sementara kata ruyah bermakna sekedar melihat dan/atau melihat tidak
seutuhnya. Jadi, kedua kata ini berbeda maknanya. Oleh karena itu, ayat
tersebut memiliki makna bahwa Allah SWT tidak dapat dilihat secara penuh
(idrak), namun dapat dilihat tidak seutuhnya dan/atau sekedarnya (ruyah).
Bahwa melihat Allah bukan dalam melihat-Nya secara penuh tidak akan
mengurangi kesempurnaan Allah SWT. Benar bahwa manusia tidak dapat
mencapai-Nya, namun bukan berarti manusia itu tidak dapat melihat-Nya.
Manusia melihat-Nya dengan mata kepala, bukan berarti manusia itu telah
mencapai-Nya.
Pandangan al-Asyari tentang ruyatullah ini diikuti oleh para penerusnya.
Sebagaimana al-Asyari, al-Baqillani menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat
dilihat oleh manusia di akhirat kelak. Sebagaimana alasan al-Asyari, al-Baqillani
menandaskan bahwa setiap yang ada dapat dilihat. Karena Tuhan itu niscaya ada,
maka Tuhan pun dapat dilihat, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam Q.S. al-Araf:
143 dan Q.S. Al-Qiyamah: 22-23. kemudian, Al-Baghdadi menyatakan bahwa
Tuhan pun dapat dilihat. Baginya manusia dapat melihat aksiden, karena manusia
dapat membedakan antara hitam dan putih. Kalau aksiden dapat dilihat, maka
Tuhan pun dapat dilihat. Sementara itu, al-Juwaini menyatakan pula bahwa
manusia dapat melihat Tuhannya di akhirat kelak dengan menggunakan mata
kepalanya. Penglihatan itu akan menjadi kenyataan nanti di akhirat, ketika manusia
berada di syurga. Muhammad bin Tumart menandaskan pula bahwa Allah SWT
dapat dilihat oleh manusia. Bahwa manusia wajib meyakini dan membenarkan
dalam hati bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Namun melihat ini bukan berarti
Tuhan memiliki tubuh (tasybih). Al-Syahrastani pun mendukung bahwa manusia
mampu melihat Tuhannya di akhirat kelak. Baginya, setiap hal yang berwujud dapat
dilihat oleh manusia, karena Tuhan niscaya memiliki wujud, maka Tuhan pun dapat
dilihat oleh manusia. Baginya, setiap umat Islam wajib mengimani masalah
ruyatullah (melihat Tuhan) ini. Demikianlah, ajaran al-Asyari tentang ruyatullah
didukung oleh generasi penerusnya. Namun tak dapat disangkal, para generasi
penerus al-Asyari tersebut terus mengembangan konsep ini, terutama penambahan
dan penguatan argumentasi-argumentasi tentang kemungkinan melihat Allah SWT
di akhirat kelak.
c. Pendapat aliran mathuridiyah tentang ruyatullah.
Adapun masalah ruyatullah Menurut pendiri aliran ini, Abu Mansur al-
Maturidi bahwa Tuhan itu dapat dilihat. Uniknya, meskipun Dia dapat dilihat oleh
manusia, namun Tuhan itu bersifat immateri. Dia tidak bersifat dengan sifat-sifat
materil (jasmaniah). Karena itu, jika ada ayat-ayat menggambarkan bahwa Tuhan
itu bersifat dengan sifat-sifat materi, maka seseorang harus mengartikan ayat-ayat
itu secara metaforis (takwil).Jelasnya, Tuhan tidak berbadan. Karena badan itu
suatu yang tersusun dari substansi dan aksiden. Bagi Maturidi, bahwa Tuhan itu
tidak merupakan materi karena materi itu sesuatu yang mempunyai arah,
mempunyai akhir, dan mempunyai tiga dimensi (ruang, waktu, dan tempat).
Karenanya, jisim mutlak tidak boleh dinisbatkan kepada Tuhan. Dengan
demikian, jelas bahwa Tuhan itu immateri, tidak mempunyai bentuk, tidak
mengambil tempat, dan tidak terbatas. Meskipun begitu, menurut Maturidi, Tuhan
dapat dilihat karena Dia diyakini ada-Nya (wujud-Nya).
Pendeknya, Tuhan itu dapat dilihat oleh manusia. Ruyah kepada Tuhan itu
sesuatu hal yang dapat terjadi. Dalam konteks ini, Abu Mansur Maturidi
mendukung ayat-ayat yang secara tegas menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat,
misalnya Q.S. al-Qiyamah: 22-23. Namun begitu, manusia hanya dapat melihat
Allah di akhirat kelak saja, sebagaimana tergambar dalam ayat itu. Abu Mansur
Maturidi mengajukan sejumlah argumen tentang mengapa Allah dapat dilihat di
akhirat kelak. Pertama, Tuhan itu memiliki wujud. Kendati pun Dia tidak memiliki
bentuk dan tidak mengambil tempat, serta tidak memerlukan ruang (tidak terbatas).
Jika Tuhan itu terbatas, maka Tuhan bersifat materi. Karena jika sesuatu terbatas,
maka sesuatu itu berjisim. Padahal Tuhan itu adalah Syai, sesuatu yang pasti adanya
dan bukan yang lain. Karena Dia itu ada wujud-Nya, maka sesuatu yang ada pasti
bisa dilihat.
Selanjutnya, menurut Abu Mansur Maturidi, bahwa ruyah kepada Tuhan
itu merupakan bagian dari peristiwa hari kiamat. Sedangkan peristiwa hari kiamat
itu hanya diketahui oleh Ilmu Allah SWT. Sedangkan manusia hanya mengetahui
ungkapan-ungkapan tentang adanya peristiwa hari kiamat itu, dan manusia tidak
mengetahui tentang bagaimana peristiwa hari kiamat itu. Dari sini, Abu Mansur
menolak pandangan Mutazilah ketika aliran ini menganalogikan melihat Tuhan
dengan melihat benda materi, yang berarti menjisimkan Tuhan. Bagi Abu Mansur,
analogi itu tidak sempurna dan tertolak. Karena menganalogikan sesuatu bersifat
materi dengan sesuatu bersifat immateri. Padahal, semua peristiwa itu bersifat
immateri, bukan bersifat materi, maka tidak relevan menganalogikan materi untuk
segala hal kejadian di akhirat kelak. Seterusnya, Abu Mansur menyimpulkan bahwa
manusia dapat melihat Tuhan di akhirat kelak, dan peristiwa ini merupakan bagian
dari peristiwa hari kiamat, sehingga cara melihat Tuhan hanya diketahui oleh Tuhan
saja.
Abu Mansur al-Maturidi menafsirkan sedemikian rupa ayat-ayat yang
sepintas menafikan kemungkinan manusia melihat Tuhan, sebagaimana terlihat
pada Q.S. al-Anam: 103. Banyak pihak menyatakan bahwa ayat ini menegaskan
bahwa manusia tidak akan pernah dapat melihat Tuhannya. Kata idrak dalam ayat
tersebut dimaknai sebagai ruyah, sehingga kata idrak dalam ini bermakna bahwa
Tuhan tidak dapat dilihat. Namun Abu Mansur menandaskan bahwa kata idrak itu
bermakna menguasai (melihat) yang terbatas. Sementara Tuhan itu Mahasuci dari
sifat terbatas, karena sifat terbatas itu berarti titik maksimum dan membatasi yang
lebih tinggi. Tuhan menjadikan segala sesuatu dengan batas yang bisa dijangkau.
Jadi, baginya kata idrak tidak bisa diartikan sebagai ruyah. Dengan begitu, maka
kata idrak dalam ayat ini hanya berarti melihat pada batas sesuatu sehingga dengan
batas itulah sesuatu itu dapat diketahui. Sementara ruyah tidak menghendaki jika
objek penglihatan itu terbatas, bahkan ruyah dapat terjadi atas sejumlah hal yang
tidak dapat diketahui hakikatnya, kecuali dengan mengerti tentangnya.
Kemudian, Abu Mansur menyatakan bahwa jika Tuhan tidak dapat dilihat
oleh manusia, maka permintaan Musa untuk melihat Tuhannya adalah sia-sia.
Seandainya manusia itu mustahil melihat Tuhan, maka niscaya seorang nabi seperti
nabi Musa as. tidak akan mengharapkannya, sebagaimana tertera pada Q.S. al-
Araf: 143. Dalam ayat ini, Tuhan menjawab lan tarani (kamu takkan melihat-Ku),
bukan lan ura (Aku tak bisa dilihat). Ini menjadi dalil kuat bahwa Tuhan dapat
dilihat oleh manusia.
Terakhir, bagi Abu Mansur al-Maturidi, bahwa ruyatullah itu merupakan
tambahan anugrah dan pahala dari sisi Tuhan. Adalah melihat Tuhan itu sebagai
anugerah terbesar bagi insan beriman di akhirat kelak. Tuhan menjanjikan balasan
terbaik bagi manusia, dan manusia beriman tidak hanya mendapatkan surga, namun
mereka mendapatkan anugrah terbesar, yakni ruyatullah. Pada akhirnya, Abu
Mansur menandaskan bahwa ruyah itu hanya melalui pengetahuan hati.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Beberapa poin penting yang dapat penulis simpulkan dari pembahasan
sebelumnya yaitu :
1. Pendapat setiap aliran dalam theology Islam berbeda-beda dengan dasar
dalil yang berbeda-beda pula, setiap pendapat aliran dari theology Islam
mengenai perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, kalamullah serta melihat
Tuhan di akhirat telah jelas dalam bab pembahasan yang telah di uraikan
oleh penulis sebelumnya.
2. Aliran-aliran ilmu kalam memiliki corak pemikiran dan penafsiran terhadap
ayat mutasyabihat yang berbeda sehingga menghasilkan perbedaan
pendapat dalam menetapkan perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia dalam
membedakan perbuatan baik dan jahat, sifat Tuhan dan melihat Tuhan di
akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjjuddin Kh, 2001, I`itiqad Ahlussunnah Wal Jama`ah. Jakarta :
Pustaka Tarbiyah
Abdul Majid, Mufid, Suyoto, Tobroni, Nurhakim, Fathur Rahman, Al-Islam 1,
LSI Kemuhammadiyahan UMM, Malang, 1996. Hal. 81
Harun Nasution Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Pebandingan UI
Press, Jakarta: 1986
Drs. H. Sahilun A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo Persada. Jakarta:
1996:
Drs. H. M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993.
Dr. Yusuf Qardawi: "Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan, (Haqiqat Al- Tauhid)
terjemahan H. Abd. Rahim Haris, Pustaka Darul Hikmah, Bima, hal. 26 - 27).
Mulyadi, Drs. 2005. Aqidah Akhlak Kurikulum 2004 Madrasah Aliyah Kelas 2.
Semarang PT Karya Toha Putra.
Rozak Abdul, PT, M.Ag dan Anwar Rosihon, Dr, M.Ag. 2009, Ilmu Kalam untuk
UIN, STAIN, PTAIS. Bandung Pustaka Setia
Zarkasyi, Imam, Usuludin. Trimurti, Ponorogo. 1994. Hal.24