Peraturan Pernikahan Beda Agama

Embed Size (px)

Citation preview

aa1

123


Peraturan Pernikahan Beda Agama Resensi kuliah : NURI_SULISTIA@GARUT. Dalam UU no. 1 tahun 1974, pernikahan beda agama termasuk dalam perkawinan campu ran. Peraturan perkawinan campuran mengacu pada Peraturan Perkawinan Campuran/Re geling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR). Mengapa? Hal ini sesuai dengan pasal 66 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa masalah pernikaha n beda agama harus berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran. Dan beberapa ketentuan tentang pernikahan beda agama pada GHR adalah sebagai berikut: Pasal 1: Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia Belanda tunduk pada h ukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran. Pasal 6 ayat (1): Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas suaminya, kecu ali izin para calon mitrakawin yang selalu disyaratkan. Pasal 7 ayat (2): Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan. Beberapa pasal di atas secara tegas mengatur tentang pernikahan beda agama bahka n disebutkan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah t erjadinya pernikahan. Beberapa Pandangan Atas Pernikahan Beda Agama UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (khususnya jika berbicara mengenai pernik ahan beda agama) adalah CACAT! Bagaimana mungkin dari sebuah Undang-Undang dapat mucul tiga interpretasi sekaligus dan semuanya berlainan? Mari kita lihat ketig a pandangan tersebut. i. Pernikahan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap und ang-undang perkawinan berdasarkan pada pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f) ya ng dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu pernikahan beda agama adala h tidak sah dan batal demi hukum. Adapun bunyi pasal 2 ayat 1 adalah Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menur ut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sementara bunyi pasal 8 h uruf (f) adalah Perkawinan dilarang antara dua orang yang: mempunyai hubungan yan g oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. ii. Pernikahan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itu dapat dilangsungkan, sebab pernikahan tersebut termasuk dalam pernikahan campuran. Men urut pendapat ini, titik tekan pasal 57 UU Perkawinan terletak pada dua orang yan g di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Oleh karena itu pasal tersebut t idak saja mengatur pernikahan antara dua orang yang memiliki kewarganegaraan yan g berbeda tetapi juga mengatur pernikahan antara dua orang yang berbeda agama. M enurut pendapat ini, pelaksanaan pernikahan beda agama dilakukan menurut tata ca ra yang diatur oleh pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran (yaitu menurut hukum y ang berlaku atas suaminya). iii. Undang-undang pernikahan tidak mengatur tentang masalah pernikahan beda aga ma. Oleh karena itu dengan merujuk pasal 66 Undang-undang Perkawinan, maka perat uran-peraturan lama selama Undang-undang Perkawinan belum mengaturnya dapat dibe rlakukan. Dengan demikian maka masalah pernikahan beda agama harus berpedoman ke pada peraturan perkawinan campuran (seperti yang sudah diuraikan di atas). Masalah: Fakta dan Analisis Mari kita lihat satu demi satu masalah yang terjadi di bumi pertiwi ini. Masalah yang paling terlihat oleh mata kita adalah ada dua lembaga yang mencatatkan per nikahan, yaitu kantor catatan sipil bagi warga nonMuslim dan kantor urusan agama bagi warga Muslim. Pertanyaannya, mengapa ada dua? Mengapa tidak menyatu? Menga pa dibedakan? Mengapa pula terkesan bahwa pernikahan adalah urusan agama? Sejak kapan pernikahan menjadi urusan agama? Padahal, menurut pasal 34 ayat 2 dan ayat 4 UU no 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, institusi yang boleh m encatatkan pernikahan adalah kantor catatan sipil. Mengapa ada bias semacam ini? Selanjutnya, karena pernikahan beda agama di Indonesia tidak sah, maka untuk men gakali hal tersebut ditembuh cara-cara ekstrem, seperti melalui lembaga-lembaga tertentu (Paramadina, ICRP, Wahid Institut) yang sebenarnya cara-cara yang dilak

ukan melanggar hukum. Sebut saja terjadi pembuatan dokumen-dokumen palsu dan ter dapat persekongkolan antara pihak pemuka agama dan petugas catatan sipil. Biaya ya ng diperlukan pun jauh lebih tinggi. Mau yang mana? 10 juta, dilaksanakan menuru t masing-masing agama, dokumen lengkap dan ngerti beres? Atau 4 juta, yang menik ah menurut salah satu agama dulu sebelumnya, lalu agama satunya dengan trik-trik khusus? Seru ya! Bicara mengenai biaya, hal ini tentu tidak pro rakyat kecil. Ah, atau mau yang lebih seru lagi? Menikah saja di luar negeri! Sekembalinya ke Indonesia langsung dicatatkan! Beres, rapi jail! Ckckck Lucu ya Indonesia. Yang m ampu melakukan ini? Banyak! Syarat: banyak duit, tabungan dollar, lebih bagus la gi kalau artis! Lembaga-lembaga penolong yang kusebutkan di atas tadi, memiliki image sebagai dewa penolong bagi calon pasangan beda agama. Oleh karenanya, mereka diberi pelayana n terbaik (misalnya penginapan terbaik, semua biaya makan dan akomodasi ditanggu ng), plus gaji yang lumayan. Mereka sangat dihormati sebagai penemu jalan tengah d i kondisi yang tak terselesaikan ini. Mereka memang sangat menghargai pluralisme dan memiliki alasan yang manusiawi di balik kegigihan mereka membantu calon pas angan beda agama. Alasan itu antara lain adalah demi mencegah hubungan seksual d i luar nikah mengingat sudah lama berpacaran atau sudah sangat serius ingin mela njutkan hubungan ke tahap pernikahan. Alasan lain adalah karena tulus ingin memb antu mengingat perlunya sebuah perubahan dalam negara ini. Namun sebuah hubungan baik antara penolong dan yang ditolong itu berhenti ketika akhirnya pasangan te rsebut berhasil mengukuhkan cintanya dalam cara yang paling beradab, yakni perni kahan. Pasca pernikahan, pasangan-pasangan tadi bersembunyi dari penolongnya. Mera sa sudah berhasil keluar dari masa sulit, mereka berusaha mempertahankan apa yan g sudah mereka dapat, dan sebisa mungkin tidak berhubungan lagi dengan lembaga y ang telah menolong mereka. Ironis? No comment. Satu hal lagi yang kutemukan adalah kenyataan bahwa tidak ada satu teks agama pu n yang secara tegas melarang pernikahan beda agama, kecuali interpretasi para pe muka agama. Dan dari kejadian-kejadian yang aku temukan, aku dapat menarik sebua h pola yang cukup menarik, yaitu institusi-institusi agama tidak memberikan ruan g terhadap pernikahan beda agama dan undang-undang negara mengukuhkannya. Padaha l pernikahan bukan merupakan ciptaan agama. Pernikahan sudah ada jauh sebelum ag ama ada. Pernikahan adalah domain pribadi tiap manusia. Agama juga domain pribad i tiap manusia. Keduanya walaupun berkaitan namun seharusnya bukan menjadi hal y ang dicampuradukkan, khususnya jika berbicara mengenai konsteks hukum keduanya. Hal ini cukup dimengerti karena pernikahan adalah sesuatu yang begitu pentingnya , sehingga hukum negara, agama, bahkan adat serta tradisi tidak ketinggalan meng atur pernikahan ini. Yang terjadi di Indonesia adalah bentrokan ketika pernikaha n dikaitkan dengan agama. Hak menikah melekat pada pribadi manusia, bukan meleka t pada agamanya. Pola berikutnya dapat kurangkai menjadi kalimat ini: adanya persaingan politik y ang cukup tajam. Pertama, pernikahan dipakai sebagai alat penundukan, pembungkam an, serta kekerasan. Hal ini berkaitan erat dengan konsep patriarki di mana kelu arga berpusat pada peran ayah sebagai kepala keluarga yang diharapkan dapat menu larkan pengaruh agama ke istri dan anak-anaknya. Hm, bukankah itu terdengar seba gai pemaksaan agama? Di sini politik agama bermain. Agama manapun pasti ingin me nyebarkan pengaruhnya seluas-luasnya. Dan keluarga adalah zona yang paling mudah dan paling dekat. Goyahnya iman seorang anggota keluarga karena pengaruh agama dari anggota keluarga yang lain menjadi kekuatan konsep patriarki ini. Kedua, pada masa Orde Baru muncul politisasi identitas. Identitas itu dipakai un tuk membangun kecurigaan dan ketakutan atas golongan yang berbeda. Hal ini tidak lain dan tidak bukan untuk memunculkan rasa kesetiaan ekstrem pada identitas ma sing-masing yang diharapkan dapat mendukung permainan politik negara. Misalnya s aja, fanatisme berlebihan pada agamanya sehingga muncul propaganda terhadap kelo mpok-kelompok tertentu. Hal ini kemudian berimplikasi menciptakan mind set bahwa golongannyalah yang paling benar dan menolak mentah-mentah jika ada hubungan ci nta apalagi perkawinan antara dua agama yang berbeda. Ketika saya menjadi kita, boleh ada hak-hak asasi kita yang dikurangi. Kasus di atas adalah contohnya. Wal aupun pada dasarnya bersuara adalah salah satu hak asasi manusia (HAM), namun ji ka kita kemudian melakukan hal-hal yang negatif seperti propaganda terhadap golo

ngan tertentu, maka negara wajib membatasi dan mengurangi propaganda tersebut, b ukannya malah menciptakannya (seperti yang terjadi saat Orde Baru). Di sini dapa t dilihat bahwa negara telah melakukan kejahatan. Ketiga, ketika RUU Perkawinan dibuat, Muhammadiyah berpendapat RUU Perkawinan be rtentangan dengan ajaran-ajaran Islam dan ada pihak yang mengatakan bahwa RUU te rsebut adalah kristenisasi terselubung. Pertentangan RUU Perkawinan dengan hukum Islam antara lain pembatasan jumlah istri, sahnya perkawinan, perkawinan beda a gama, dan masa iddah. Mereka juga berpendapat bahwa perkawinan adalah masalah ag ama dan karena agama mayoritas adalah Islam maka wajar jika ketentuan Islam menj adi dasar dari UU Perkawinan. Masalah kristenisasi muncul karena RUU Perkawinan sedikit banyak mengacu pada hukum pernikahan Belanda. Ketika pemerintah tidak me mperhatikan protes kaum Islam terhadap RUU Perkawinan dan hasilnya UU Perkawinan tidak mengatur secara eksplisit (expressis verbis) mengenai pernikahan beda aga ma, terlihat jelas bahwa UU Perkawinan adalah hasil kompromi negara terhadap aga ma. Ada masalah mengenai bagaimana mengelola tuntutan mayoritas dan menempatkan minoritas. Padahal dalam konsep hak asasi manusia, tidak boleh ada pengutamaan k elompok mayoritas. Pengutamaan kelompok mayoritas dapat dikatakan sebagai diskri minasi, padahal hak asasi manusia melarang diskriminasi apa pun berdasarkan lata r belakang apa pun. Keempat, pernikahan beda agama memunculkan masalah pendidikan (agama) anak yang terancam. Seperti yang kita ketahui, beberapa konsep yang ada di masyarakat adal ah: Katolik yang menekankan bahwa anak-anaknya harus dididik secara Katolik Konsep patriarki yang menyatakan bahwa kepala keluarga dapat menularkan agamanya ke istri dan anak-anaknya Konsep bahwa anak akan lebih dekat ke ibu sehinga agama anak akan sama dengan ag ama ibu Selanjutnya, muncul kekhawatiran bahwa anak akan memiliki 2 agama, yaitu agama m enurut yang diajarkan di rumah dan agama yang diajarkan di sekolah Kelima, tahun 1987 pemerintah mengangkat beberapa pemuka agama (Godsdientvoorgan ger) yaitu Pendeta/Pastor, untuk bertindak atas nama pemerintah, dengan sebutan Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan. Hal ini cukup membantu dalam pencatatan si pil jika petugas pencatat perkawinan itu adalah warga gereja atau pendeta. Namun sejak tahun 1995 ada kecenderungan dan khususnya di Jakarta untuk tidak lagi me mberikan peluang bagi Pemuka Agama untuk menjadi Pembantu Pegawai Pencatatan Per kawinan. Kelima kejadian-kejadian yang sudah diuraikan kurasa cukup jelas menggambarkan y ang terjadi di belakang isu pernikahan beda agama adalah sungguh permainan polit ik yang lihai dan tajam. Unsur politisasi juga terlihat dengan tidak diakuinya p ernikahan beda agama oleh negara dengan alasan bahwa terdapat perbedaan antara h ukum negara dengan hukum agama. Perlu dicatat bahwa hukum negara tidak sesuai de ngan hak privat warga negara. Pertentangan pernikahan beda agama selalu dikaitka n dengan UU Perkawinan. Padahal undang-undang bukan hukum. Bukan juga hasil komp romi setiap warga negara. Undang-undang dibuat oleh negara, pemerintah, dan DPR. Sehingga seharusnya undang-undang melingkupi setiap kepentingan warganya. Terakhir, pola yang paling besar dan yang paling mengganggu pikiranku adalah ken yataan bahwa UU Perkawinan bertentangan dengan hak asasi manusia. Menikah adalah hak setiap orang dan negara wajib melindunginya. Penjelasan lebih lanjut adalah seperti ini. Pernikahan adalah domain pribadi setiap manusia. Dan negara berkew ajiban untuk mencatatkan, bukan mengesahkan seperti yang terjadi di Indonesia me lalui UU Perkawinan yang tidak sempurna itu. Dengan tugas negara untuk mencatatk an, maka konsekuensi yang didapat warga negaranya adalah adanya pengakuan status hukum atas pernikahan mereka. Hal ini sesuai dengan pasal 23 konvenan internasi onal hak-hak sipil dan politik yang telah disahkan melalui UU no 12 tahun 2005 t entang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights, juga di tegaskan dalam pasal 16 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pada dasarnya, semua umat beragama mempunyai hak dari agamanya untuk mendapatkan pelayanan agamanya, salah satunya adalah pernikahan. Hak ini juga termasuk hak asasi manusia, lho. Namun hal ini menjadi halangan jika agama tidak mentolerir p ernikahan beda agama. Kadang aku berpikir, ya sudah mbok ya agama itu satu aja,

nggak usah banyak-banyak! Wong intinya sama kan? Memuja sesuatu yang memiliki ku asa dan kekuatan melebihi manusia, demi ketenangan di akhirat nanti. Memangnya T uhan menilai manusia dari agamanya? Enggak kan? Tuhan menilai manusia dari perbu atannya. Berikutnya, sudah menjadi jalan keluar yang default bahwa salah satu jalan kelua r dari pernikahan beda agama adalah salah satu pasangan pindah agama mengikuti p asangannya. Ya kalau rela. Kalau tidak? Bagi mereka yang agamanya tidak tercantu m sebagai agama yang diakui negara, mereka pun harus melembagakan diri menurut s alah satu agama. Hal ini jelas melanggar pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebas an setiap orang untuk beragama. Lucu lagi, kan? Kalau aku jadi Tuhan, aku akan m erasa terhina sekali! Karena harga ke-Ilahi-anku cuma seharga nafsu jasmani. Ata u lebih tepatnya lagi, cuma seharga Rp100.000 sebagai biaya membuat KTP baru den gan agama yang baru. Situasi pernikahan beda agama di Indonesia yang dipersulit negara adalah suatu b entuk pelanggaran HAM negara terhadap warganya. Pertama, karena negara melanggar dengan membuat keputusan yang plin-plan (ketidakjelasan UU Perkawinan mengenai pernikahan beda agama). Kedua, karena negara melanggar dengan pengabaian masalah ini. Negara tidak melakukan sesuatu yang mendukung, menjamin, melindungi, dan m emfasilitasi pernikahan beda agama. Sikap yang dapat kita ambil adalah dengan te rus mengkritisi UU Perkawinan. Masalah akan semakin banyak muncul dan tak tersel esaikan jika kita diam saja melihat ketidakbenaran ini. Mundurnya sebuah kekuata n hukum yang menyangkut hak asasi manusia seperti pernikahan dapat menjadi masal ah negara yang besar jika tak ditanggapi dengan kritis. To love another person is to see the face of God. Bukankah dengan mencintai seseorang aku turut mencintai Penciptaku? Bukankah den gan mencintai seseorang aku ikut menebar cinta kasih seperti yang diajarkan Yesu s? Bukankah setiap kali aku melihat seseorang yang kucintai, aku juga melihat ha sil karya Tuhan yang penuh cinta? Mengapa aku mendapat masalah di negeri ini han ya karena mencintai seseorang?