27
PERAN HAKIM AGAMA, METODE BERPIKIR YURIDIS DAN KONSEP KEADILAN DALAM PENERAPAN HUKUM 1 oleh: Mukti Ali Jalil, S. Ag., MH 2 A. Pendahuluan. Hakim adalah figur sentral dalam proses peradilan, senantiasa dituntut untuk membangun kecerdasan intelektual, terutama kecerdasan emosinal, kecerdasan moral dan spiritual, jika kecerdasan intelektual, emosional, dan moral spiritual terbangun dan tepelihara dengan baik bukan hanya akan memberikan manfaat kepada diri sendiri, tetapi juga akan memberikan manfaat bagi masyarakat dalam konteks penegakan hukum. 3 Kemampuan ketiga unsur penting tersebut, dalam diri seorang Hakim harus memperoleh perhatian seimbang dalam keperibadian, kedinasan dan dalam pergaulan kemasyarakatan, sehingga keluhuran dan martabat hakim dimanapun dan kapanpun akan tetap terjaga terpelihara. Secara formalistic, tugas Hakim adalah memeriksa, dan memutus perkara, yang diajukan kepadanya, tetapi sejati filosofis tugas hakim harus berjuang mengerahkan segala kemampuan meliputi; kecerdasan intetelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual untuk menemukan kebenaran dan keadilan yang sangat abstrak ditengah-tengah hiruk pikuknya kehidupan. Karena hakim dalam memutus perkara wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam 1 Makalah (dahulunya sebagai makalah yang diprosentasikan pada mata kuliyah Sejarah Hukum dengan Dosen Pengasuh: Prof. DR. H. Ediwarman, SH., M. Hum., pada saat penulis sebagai Mahasiswa S2 Program Pasca Sarjana UIR Pekanbaru tahun 2008-2009) 2 Wakil Panitera Pengadilan Agama Bengkalis; 3 Ahmad Kamil, 2008, Pedomana perilaku Hakim dalam perspektif Filsafat Etika, Dalam Majalah Hukum, suara Uldilag No. 13., MARI, Jakarta, Halaman 38.

Peran Hakim Agama

Embed Size (px)

DESCRIPTION

(Artikel)

Citation preview

Page 1: Peran Hakim Agama

PERAN HAKIM AGAMA, METODE BERPIKIR YURIDIS

DAN KONSEP KEADILAN DALAM PENERAPAN HUKUM1

oleh: Mukti Ali Jalil, S. Ag., MH 2

A. Pendahuluan.

Hakim adalah figur sentral dalam proses peradilan, senantiasa

dituntut untuk membangun kecerdasan intelektual, terutama kecerdasan

emosinal, kecerdasan moral dan spiritual, jika kecerdasan intelektual,

emosional, dan moral spiritual terbangun dan tepelihara dengan baik bukan

hanya akan memberikan manfaat kepada diri sendiri, tetapi juga akan

memberikan manfaat bagi masyarakat dalam konteks penegakan hukum.3

Kemampuan ketiga unsur penting tersebut, dalam diri seorang Hakim

harus memperoleh perhatian seimbang dalam keperibadian, kedinasan dan

dalam pergaulan kemasyarakatan, sehingga keluhuran dan martabat hakim

dimanapun dan kapanpun akan tetap terjaga terpelihara.

Secara formalistic, tugas Hakim adalah memeriksa, dan memutus

perkara, yang diajukan kepadanya, tetapi sejati filosofis tugas hakim harus

berjuang mengerahkan segala kemampuan meliputi; kecerdasan

intetelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual untuk

menemukan kebenaran dan keadilan yang sangat abstrak ditengah-tengah

hiruk pikuknya kehidupan. Karena hakim dalam memutus perkara wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

1 Makalah (dahulunya sebagai makalah yang diprosentasikan pada mata kuliyah

Sejarah Hukum dengan Dosen Pengasuh: Prof. DR. H. Ediwarman, SH., M. Hum., pada saat

penulis sebagai Mahasiswa S2 Program Pasca Sarjana UIR Pekanbaru tahun 2008-2009) 2 Wakil Panitera Pengadilan Agama Bengkalis;

3 Ahmad Kamil, 2008, Pedomana perilaku Hakim dalam perspektif Filsafat Etika,

Dalam Majalah Hukum, suara Uldilag No. 13., MARI, Jakarta, Halaman 38.

Page 2: Peran Hakim Agama

masyarakat. disini terkandung aktivitas kegiatan filosofis dan sosiologis

yang harus juga dilakukan oleh seorang Hakim.4

Putusan Hakim yang adil dalam penerapan hukum akan menjadi

puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam

kehidupan bernegara, karena putusan Hakim yang diawali dengan irah-irah

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA

ESA” hakikinya adalah sinyal betapa kewajiban penegakan hukum dan

keadilan itu harus dipertanggungjawabkan oleh Hakim secara vertikal

dengan mempertaruhkan nama Allah swt.

Untuk menegakkan suatu keadilan dalam penerapan hukum harus

ada sumber hukum berupa hukum-hukum tertulis yang sudah terkodifikasi.

Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, menghadapi suatu

kenyataan, bahwa hukum tertulis tersebut ternyata tidak selalu dapat

menyelesaikan masalah yang dihadapi.5 Bahkan seringkali Hakim harus

menemukan sendiri hukum itu (Rechtsvinding), dan/atau menciptakan

(Rechtsschepping), untuk melengkapi hukum yang sudah ada, dalam memutus

suatu perkara. Hakim atas inisiatif sendiri harus menemukan hukum6, karena

Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada, tidak

lengkap, atau hukum samar-samar7. Termasuk juga dalam hal ini adalah para

4 Ibid., hal. 43

5 Sudikno Mertokusumo, Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Sebuah

Pengantar, cet. II, Liberty, Yogyakarta, Halaman 10. 6 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum,

Citra Aditya Bakti, Jakarta, Halaman 7. 7 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.4 tahun 2004,

LN. No. 9 tahun 2004, TLN No. 4359, ps.16. Berbunyi sebagai berikut: (1) Pengadilan tidak boleh menolak

untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada

atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya

Page 3: Peran Hakim Agama

Hakim diperadilan agama.

Untuk itu Hakim Agama senantiasa harus melengkapi diri dengan ilmu

hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Hakim Agama tidak boleh membaca

hukum itu hanya secara normatif (yang terlihat) saja. Dia dituntut untuk

dapat melihat hukum itu secara lebih dalam, lebih luas, dan lebih jauh

kedepan. Dia harus mampu melihat hal-hal yang melatar belakangi suatu

ketentuan-ketentuan tertulis, pemikiran-pemikiran apa yang ada di

sana, dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran masyarakat akan hal itu.8.

Untuk itu, Hakim Agama juga harus mampu berperan dalam proses

penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechtsschepping),

pada saat memutus perkara. Masalahnya sekarang, sanggupkah Hakim

Agama melakukan peran seperti tersebut di atas? Jawabannya harus

sanggup, Hakim Agama harus mempunyai pengetahuan yang cukup,

serta memiliki metode proses berpikir yuridis, didalam penerapan

hukum tersebut.

Dari pertimbangan yang telah diuraikan di atas, terlihat bahwa suatu

kajian tentang peran Hakim Agama dalam penerapan hukum, adalah suatu hal

yang menarik untuk dikaji/dibahas, yang dituangkan dalam bentuk makalah

yang diberi judul “ PERAN HAKIM AGAMA, METODE BERPIKIR

YURIDIS DAN KONSEP KEADILAN DALAM PENERAPAN

HUKUM”.

8 Sugijanto Darmadi, 1998, Kedudukan Hukum dalam llmu dan Filsafat. CV

Mandar Maju, Jakarta, Halaman 3. Bandingkan dengan Theo Hwijbers, 1995, Filsafat Hukum,

Kanisius, Jakara, Halaman 17-18.

Page 4: Peran Hakim Agama

B. Masalah Pokok.

Seperti diungkap di atas, masalah pokok yang hendak dicari

jawabannya dalam penelitian ini adalah “Bagaimana peran seorang Hakim

Agama, metode berpikir yuridis, dan konsep keadilan dalam penerapan

hukum”. Masalah ini dapat dirinci menjadi beberapa masalah berikut yang

perlu dicari jawabannya untuk menjawab masalah pokok itu sendiri, yaitu:

1. Bagaimana Peran Hakim Agama dalam Penemuan Hukum

(Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (rechtsschepping)?

2. Bagaimana Metode/Cara Berpikir Yuridis Hakim Agama dalam

Penerapan Hukum?

3. Bagaimana Konsep Keadilan dalam Penerapan Hukum oleh Hakim

Agama dalam Memutus suatu Perkara?

C. Pembahasan

1. Peran Hakim Agama Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan

Penciptaan Hukum (rechtsschepping).

Para ahli filsafat hukum memang berbeda pendapat mengenai apakah

Hakim punya peran untuk menemukan hukum, yang kadangkala atau selalu

berarti menyimpang dari undang-undang.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman sebagai hasil revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Bab

IV tentang Hakim dan Kewajibannya, Pasal 28 ayat (1) dinyatakan bahwa:

"Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan

Page 5: Peran Hakim Agama

keadilan yang hidup dalam masyarakat". Selanjutnya dalam penjelasan dari

pasal tersebut disebutkan: "Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan Hakim

sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat". Ketentuan Pasal 28 ayat

(1) ini merupakan pengulangan dengan sedikit perubahan dari Pasal 27

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang digantikannya.9

Dari ketentuan di atas, tersirat secara juridis maupun filosofis, Hakim

mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum dan

penciptaan hukum, agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum

dan rasa keadilan masyarakat. Ketentuan ini berlaku bagi semua Hakim dalam

semua lingkungan peradilan dan dalam semua tingkatan.

Selanjutnya, dalam upaya menyelesaikan suatu perkara yang

disodorkan kepadanya (Hakim), maka menurut Sudikno, ada tiga tahapan

yang harus dilewati seorang Hakim, yakni mengkonstatir fakta-fakta,

mengkualifikasikan peristiwa dan mengkonstitusikan peristiwa hukum10

.

Menurut Sudikno, mengkonstatir fakta-fakta adalah menilai benar

tidaknya suatu peristiwa konkrit yang diajukan dipersidangan, baik perkara

pidana atau perdata, dan hal ini memerlukan pembuktian. Jadi yang harus

dibuktikan adalah fakta atau peristiwa konkrit. Sedangkan dalam tahap

kualifikasi hakim menilai peristiwa konkrit (fakta-fakta) tersebut termasuk

hubungan apa atau mana. Dengan kata lain, mengkualifisir berarti

mengelompokkan atau menggolongkan peristiwa konkrit tersebut masuk

dalam kelompok atau golongan peristiwa hukum apa (pencurian, pemerasan,

9 Lihat UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 28 ayat (1).

10 Sudikno Mertokusomo, Penemuan Hukum… Op. cit., Halaman 49.

Page 6: Peran Hakim Agama

perzinaan, percekcokan terus menerus, penganiayaan jasmani, peralihan

hak dan sebagainya) dengan jalan menerapkan peraturannya sebagai

suatu kegiatan yang bersifat logis. Dalam proses ini adakalanya Hakim

bukan hanya menerapkan peraturan tetapi juga harus menciptakan

hukumnya. Selanjutnya, tahap akhir adalah mengkonstituir atau memberi

konstitusinya, yakni hakim menentukan hukumnya, memberi keadilan,

menentukan hukum dari suatu hubungan hukum antara peristiwa hukum

dengan subjek hukum (terdakwa, tergugat ataupun penggugat).

Selanjutnya, pada dasarnya hakim memang harus menerapkan

hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan. Adanya hukum

yang tertulis dalam bentuk perundang-undangan sebagai wujud dari asas

legalitas, memang lebih menjamin adanya kepastian hukum. Tetapi undang-

undang sebagai produk politik, tidak mudah untuk diubah dengan cepat

mengikuti perubahan masyarakat. Disisi yang lain, dalam kehidupan

modern dan komplek serta dinamis seperti sekarang ini, masalah-masalah

hukum yang dihadapi masyarakat semakin banyak dan beragam yang

menuntut pemecahan yang segera.11

Dalam praktek, Hakim menghadapi dua kendala, yakni seringkali

kata atau kalimat undang-undang tidak jelas, atau undang-undang tidak

lengkap dalam arti belum tegas-tegas mengatur suatu kasus konkrit yang

diajukan kepada Hakim. Padahal disisi lain, Hakim dilarang menolak

mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih hukum tidak

11

Mukhsin Asyrof, Asas-Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum oleh

Hakim dalam Proses Peradilan, 2006, Artikel dalam Varia Peradilan, tahun ke XXI No. 252.

Page 7: Peran Hakim Agama

ada atau kurang jelas, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1)

UU.No. 4 Th. 2004.

Kendala yang dihadapi ini, menurut Sudikno,12

diatasi Hakim

dengan dua cara. Jika peraturannya tidak jelas, Hakim melakukan

interpretasi/penafsiran terhadap bunyi undang-undang dengan berbagai

metode interpretasi/penafsiran, seperti penafsiran otentik, sistematis,

historis, sosiologis dan lain-lain. Jika peraturannya tidak lengkap, Hakim

akan melakukan penalaran (reasoning), juga dengan berbagai

metode penalaran13

/ argumentasi tertentu seperti argumentum a

contrario, argumentum per analogiam (analogi) "' dan penyempitan

hukum (rechts-verfijning).

Atas dasar tersebut, maka Hakim juga berperan disamping menerapkan

hukum juga menemukan dan menciptakan hukum. Pada waktu mengadili,

Hakim menentukan hukum in concreto terhadap suatu peristiwa tertentu.

Dengan demikian putusan hakim adalah hukum atau dengan putusannya

Hakim membuat hukum (judge made law). Disamping lembaga legislatif

sebagai pembentuk hukum yang objektif abstrak, maka Hakim juga

membentuk atau mencipta hukum, hanya saja hukum yang diciptakan

Hakim adalah hukum inconcreto.14

Secara tekstual, sebagaimana telah disebutkan, undang-undang

memang menuntut Hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam

12

Mertokusomo Sudikno,Penemuan Hukum….Op.cit., Halaman 142. 13

Ahmad Ali menyebutkan,” Metode Penalaran /Argumentasi ini dengan nama

konstruksi Hukum, lihat bukunya Mengembara di Belantara Hukum, 1990, Bulan Bintang,

Jakarta, Halaman 158. 14

Ibid., Halaman 133.

Page 8: Peran Hakim Agama

masyarakat, yang secara filosofis berarti menuntut Hakim untuk

melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum. Hanya saja,

apakah dengan dalih kebebasan hakim tersebut, atau dengan dalih

Hakim harus memutus atas dasar keyakinannya, lalu Hakim boleh

sekehendak hatinya melakukan penyimpangan terhadap undang-

undang (contra legem) atau memberi interpretasi/ penafsiran terhadap

undang-undang.

Jawabnya tentu saja tidak, karena hal itu akan menimbulkan kekacauan

dan ketidak pastian hukum. Penemuan dan penciptaan hukum oleh Hakim

dalam penerapan hukum dan keadilan, haruslah dilakukan atas prinsip-

prinsip atau asas-asas tertentu, yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu

bagi Hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan

menciptakan hukum.

2. Metode/ Cara Berpikir Yuridis Hakim Agama dalam Penerapan

Hukum.

Untuk menegakkan suatu keadilan dalam penerapan hukum harus

ada sumber hukum berupa hukum-hukum tertulis. Dalam sistem hukum civil

law, hukum tertulis adalah merupakan primadona sebagai sumber hukum.

Hal itu ditandai oleh munculnya suatu gerakan kodifikasi, oleh aliran

legisme, yaitu: aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui

hukum di luar undang-undang. Mereka mengatakan bahwa hukum adalah

identik dengan undang-undang, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan

Page 9: Peran Hakim Agama

hukum, diakui sebagai hukum apabila undang- undang menunjuknya15

.

Selanjutnya mereka mengatakan, bahwa undang-undang (kodifikasi) justru

diadakan untuk membatasi hakim, yang karena kebebasannya telah menjurus

ke arah kesewenang-wenangan atau tirani16

. Apabila hukum tertulis tidak

lengkap, atau belum dapat menjawab permasalahan yang ada untuk

menyelesaikan sengketa yang dihadapi, barulah dicari kelengkapannya dari

sumber hukum yang lain-lainnya. Menurut Sudikno Mertokusumo, sumber

hukum adalah: peraturan perundangan-undangan, kemudian kebiasaan,

yurisprudensi, perjanjian internasional, barulah doktrin. Jadi, terdapat

hirarkhi atau kewerdaan dalam sumber hukum, ada tingkatan-tingkatan.17

Selain itu menurut TAP MPR, sumber hukum meliputi: Pancasila, Hukum

tertulis, dan Hukum Tidak Tertulis, yang dipakai sebagai sumber (bahan)

menyusun peraturan perundang-undangan.18

Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, menghadapi suatu

kenyataan, bahwa hukum tertulis tersebut ternyata tidak selalu dapat

15

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang…...Op.cit.,

Halaman 10. 16

J.A. Pontier, "Penemuan Hukum (Rechtvinding)", diterjemahkan oleh B. Arief

Shidarta (Untuk digunakan secara terbatas hanya untuk kalangan sendiri, Laboratorium Hukum

Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung 2000), hal.54. Disana dikatakan:

Kodifikasi sebagai sarana untuk membatasi kekuasaan para hakim. Kodifikasi hukum

mengimplementasikan bahwa tugas pengembangan hukum secara formal dibebankan kepada

pembentuk undang-undang, dan bukan hakim. 17

Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum…….Op.cit., Halaman 48. 18

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No:

III/MPR/2000,Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan,

ps. 1. Yang berbunyi sebagai berikut: (1) Sumber Hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk

penyusunan peraturan perundang-undangan. (2) Sumber Hukum terdiri atas Sumber Hukum Tertulis dan

Tidak Tertulis. (3) Sumber Hukum Dasar Nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan

beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Tubuh

Undang-Undang Dasar 1945.

Page 10: Peran Hakim Agama

menyelesaikan masalah yang dihadapi.19

Bahkan seringkali Hakim harus

menemukan sendiri hukum itu (Rechtsvinding), dan/atau menciptakan

(Rechtsschepping), untuk melengkapi hukum yang sudah ada, dalam memutus

suatu perkara. Hakim atas inisiatif sendiri harus menemukan hukum20

, karena

Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada, tidak

lengkap, atau hukum samar-samar21

. Termasuk juga dalam hal ini adalah para

Hakim diperadilan agama.

Untuk menemukan/menerapkan hukum dan menciptakan hukum

haruslah melalui metode. Metode penemuan hukum hanya dapat

digunakan dalam praktek hukum22

. Metode penemuan hukum juga

bukan teori hukum. Metode penemuan hukum terdiri atas penafsiran

hukum, seperti: penafsiran gramatikal; penafsiran sistematis; dan

penafsiran teleologis atau sosiologis. Metode penemuan hukum juga

mencakup konstruksi hukum, seperti: analogi, argumentum a kontrario,

dan penghalusan hukum23

. Metode penemuan hukum hanya

dipergunakan dalam praktek terutama oleh hakim dalam memeriksa dan

memutus perkara.

Metode penemuan hukum diarahkan pada suatu peristiwa yang

19

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum….Op.cit., Halaman 10. 20

Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang…Op.cit., Halaman 7. 21

Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.4 tahun 2004,

LN. No. 9 tahun 2004, TLN No. 4359, ps.16. Berbunyi sebagai berikut: (1) Pengadilan tidak boleh menolak

untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada

atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya 22

Sugijanto Darmadi, Op.cit., Halaman 63. 23

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum…., Op.cit., Halaman 56-74. Di sana

diuraikan secara panjang lebar tentang penafsiran dan konstruksi hukum tersebut. Untuk jelasnya

silahkan membaca sendiri literature tersebut, karena secara detail tidak akan dimuat dalam

uraian penelitian singkat ini. Selain itu, telah banyak literatur yang membahas dan menguraikan

akan hal itu.

Page 11: Peran Hakim Agama

bersifat khusus, konkret, dan individual. Jadi, metode penemuan

hukum adalah bersifat "praktikal", karena lebih dipergunakan dalam

praktek hukum. Hasil dari metode penemuan hukum, adalah terciptanya

putusan pengadilan yang baik, yang dapat dipergunakan sebagai

sumber pembaharuan hukum. Putusan hakim berperan juga terhadap

perkembangan hukum dan ilmu hukum, oleh karena itu keputusan hakim

juga dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam ilmu hukum.

Kemampuan seorang Hakim Agama akan terlihat dari kualitas

putusan yang dilakukannya. Putusan yang berkualitas, adalah hasil dari

proses berpikir Hakim Agama yang bersangkutan, yang sudah barang tentu

dengan bekal pengetahuan yang cukup tinggi dalam ilmu hukum, teori

hokum, filsafat hukum, serta berbagai ilmu penunjang lain, yang

dimilikinya. Oleh karena itu, dalam uraian selanjutnya dari tulisan ini, akan

memuat tentang bekal pengetahuan dan proses berpikir Hakim tersebut.

Mengapa penemuan hukum perlu? Hakim dalam memeriksa dan

memutus perkara, ternyata menghadapi suatu kenyataan, bahwa hukum yang

sudah ada tidak dapat secara pas untuk menjawab dan menyelesaikan sengketa

yang dihadapi. Hakim harus mencari kelengkapannya, dengan menemukan

sendiri hukum itu24

. Menurut Sudikno Mertokusumo: Kegiatan kehidupan

manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak

mungkin tercakup dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan

tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-

24

Lihat: Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang……., Op.cit., Halaman 10; dan

Lie Oen Hock Op.cit., Halaman 8.

Page 12: Peran Hakim Agama

undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia,

sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-

lengkapnya dan yang jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak jelas,

maka harus dicari dan ditemukan.25

Jadi, pertama-tama Hakim harus

menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, akan tetapi apabila hukum

tertulis tersebut ternyata tidak cukup atau tidak pas, maka barulah hakim

mencari dan menemukan sendiri hukum itu dari sumber-sumber hukum

lainnya26

. Sumber-sumber hukum lainnya tersebut, adalah: yurisprudensi;

doktrin; traktat; kebiasaan atau hukum tidak tertulis27

. Menurut B. Arief

Sidharta, ada 6 (enam) jalur proses pembentukan hukum, salah satunya adalah

melalui jalur proses peradilan28

.

Proses dan cara berpikir Hakim untuk menemukan hukum, dapat

dikelompokkan ke dalam 2 (dua) aliran, yaitu: (1). Aliran konservatif; dan

(2). Aliran progresif29

. Dari karya putusan seorang Hakim, dapat diketahui

apakah dia termasuk kelompok aliran konservatif atau aliran progresif.

Mereka sendiri tidak menyebutkan bahwa mereka adalah penganut dari salah

satu aliran tersebut. Bahkan, seringkali seorang Hakim dalam setiap kasus

(secara kasuistis) berubah-ubah pendirian. Dalam kasus (A) misalnya, dia

memutus dalam aliran konservatif, tetapi dalam kasus (B) dia

25 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum ….., Op.cit., Halaman 37.

26 Lihat: Ps. 16 dan Ps. 28 UU No. 4 Tahun 2004; dan Sudikno Mertokusumo,

Op.cit., Halaman 8. 27

Lihat: Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang……., Op.cit., Halaman 8; dan

juga Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum…, op.cit., Halaman 18. 28

Bernard Arief Sidharta, Refeksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, 2000, Mandar

Maju, Bandung, Halaman 189. Beliau mengatakan: Proses pembentukan hukum itu

berlangsung melalui proses politik yang menghasilkan perundang-undangan, proses peradilan

yang menghasilkan yurisprudensi, putusan birokrasi, pemerintahan yang menghasilkan ketetapan,

prilaku hukum warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, dan pengembangan ilmu hukum. 29

Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang…., Op.cit., Halaman 5.

Page 13: Peran Hakim Agama

memutus dalam aliran progresif.

Aliran konservatif dan aliran progresif pernah menjadi primadona

pada jamannya masing-masing.30

Sebagai reaksi terhadap tidak adanya

kepastian hukum pada sekitar tahun 1800, oleh karena penggunaan hukum

kebiasaan yang beraneka ragam, muncullah gerakan-gerakan kodifikasi,

disertai timbulnya aliran legisme, yang tidak mengakui hukum diluar

undang-undang. Hukum dan undang-undang itu indentik, sedangkan

kebiasaan dan ilmu pengetahuan diakui sebagai hukum apabila undang-

undang menunjuknya31

.

Sejak saat itu hingga sekarang, tanpa disadari, terdapat kelompok-

kelompok hakim, yang lebih mengutamakan hukum tertulis sebagai sumber

utama untuk memutus perkara. Kelompok-kelompok hakim yang berpikir

secara demikian digolongkan kepada suatu aliran konservatif. Artinya,

hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara berusaha

mempertahankan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat32

. Dari

strukturnya, hukum terlihat sebagai hal yang cenderung mempertahankan

status quo. Hukum berusaha untuk menghindar dari perubahan. Hukum

menjaga stabilitas33

. Mereka tidak pernah berpikir, bahwa melalui putusan-

putusannya, mereka dapat menciptakan nilai-nilai baru, atau mereka dapat

30

Menjadi primadona pada jaman kodifikasi, jaman ligisme, dimana ilmu

pengetahuan hukum tidak mengakui hukum di luar undang-undang. Pandangan ini berkembang di

Eropa sekitar tahun 1930-1980 yang dipelopri ajaran Montesquiew. Setelah itu muncul aliran

progresif, madzab historis dan freirechtschule, yang berpendapat bahwa undang-undang tidak

lengkap. Di samping undang-undang masih ada sumber-sumber lain, yaitu: kebiasaan. Tokoh Von

Savignya melahirkan sistem azas-azas hukum (Begriffsjurisprudenz). Lihat: Sudikno

Mertokusumo, Penemuan Hukum,…..Op.cit., Halaman 8-11. 31

Lihat kembali: UU No. 4 tahun 2004. ps. 16 dan ps. 28. 32

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum…Loc..cit. 33

Sugijanto Darmadi, Op.cit., Halaman 5.

Page 14: Peran Hakim Agama

merekayasa suatu masyarakat yang baru yang sesuai dengan perkembangan

jaman dan tekhnologi masyarakat34

.

Pada aliran konservatif, Hakim hanya mengkonstatir bahwa undang--

undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian Hakim

menerapkannya menurut bunyi undang-undang. Dengan demikian maka

penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undang-undang yang

terjadi secara terpaksa atau silogisme35

. Lie Oen Hock mengatakan "deduksi

logis", menemukan sendiri hukum yang berlaku untuk peristiwa konkret.

Hakim tidak menciptakan sesuatu yang baru, Hakim hanya menemui dan

menyatakan pikiran-pikiran yang tersembunyi dalam undang-

undang36

. Hakim hanya sekedar mulut atau corong undang-undang,

substantie automate37

atau la bouche de la loi38

. Hakim tergantung

pada bunyi undang-undang, hakim heterotonom, memutus berdasarkan

peraturan-peraturan yang berada diluar dirinya, oleh karena itu

Hakim tidak mandiri, Hakim heterotonom karena harus tunduk kepada

undang-undang39

.

Perkembangan selanjutnya, sebagai reaksi terhadap cara berpikir di

34

Mochtar Kusuma Atmaja pada waktu menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI,

menyebut hukum sebagai sarana rekayasa sosial. Akan tetapi hal itu hanya berlaku terhadap

bidang-bidang hukum yang netral seperti: bidang ekonomi, sedangkan yang menyangkut agama

dan kultur (tidak netral), hal itu tidak mungkin dilakukan seperti: hukum keluarga. Lihat: Tatiek

Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, 2004, Disertasi Doktor Program

Pascasarjana Universitas Surabaya, Halaman 275-276. 35

Ibid., Halaman 272; lihat juga. Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang…..

Op.cit., Halaman 6. 36

Lie Oen Hock, Op.cit., Halaman 7. 37

Ibid., Halaman 8. 38

Wiarda, Drie Typen Van de Rechtsvindings. Deventer, 1999, W.E.J-Tjeink

Willink, Halaman 14-17. 39

Ibid., Halaman 13.

Page 15: Peran Hakim Agama

atas, pada sekitar tahun 185040

, muncul aliran progresif, yang berpendirian

bahwa Hakim bukan lagi sekedar corong undang-undang. Hakim harus

mandiri, atas apresiasi sendiri menemukan hukum. Dalam menjatuhkan

putusan seorang Hakim harus dibimbing oleh pandangan-pandangan, atau

oleh pikirannya sendiri. Hakim menjadi otonom, bukan lagi heterotonom41

.

Pada aliran progresif diyakini bahwa undang-undang tidak

lengkap, hukum tertulis bukan satu-satunya sumber hukum. Undang-undang

tidak identik dengan hukum, karena undang-undang hanya merupakan satu

tahap dalam proses pembentukan hukum, dan hakim harus mencari

kelengkapannya dalam praktek memutus perkara42

. Pengetahuan dan

pengalaman empiris seorang hakim dapat mempengaruhi putusan-putusan

yang dibuatnya.

Aliran progresif tidak hanya mempertahankan nilai-nilai yang ada,

akan tetapi secara dinamis harus mampu menciptakan nilai-nilai yang baru,

atau merekayasa masyarakat sesuai dengan perkembangan jaman dan

teknologi masyarakat43

. Lebih jauh Roscoe Paund mengatakan: "Law as a tool

of social engeneering"44

Aliran progresif menjadi populer dengan semakin

kuatnya perkembangan ilmu sosiologi dan budaya ke dalam ilmu hukum.

Muncullah aliran-aliran tentang sosiologi hukum dan budaya hukum

40

Sudikno Mertokusomo, Bab-Bab tentang…. Op.cit., Halaman 7. 41

Van Eikema Hommas, Logica en rechtsvinding, (roneografie) vrije

universiteit, Halaman 26. 42

Sudikno Mertokusomo. Bab-Bab Tentang,………. Op.cit., Halaman 8. 43

Lihat Pendapat Prof. Dr. Muchtar Kusuma Atmaja, SH., Tentang Hukum sebagai

Sarana Rekayasa, ditulis oleh Dr. Tatiek Sri Djatmiati, SH., Op.cit., Halaman 275. Bandingkan

Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, 1991, Citra Aditia Bakti, Bandung,

Halaman 48. 44

Lili Rasyidi dan LB. Wijata Putra, Hukum Sesuatu Sistem, 1993, Remaja

Rosdakarya, Bandung, Halaman 126.

Page 16: Peran Hakim Agama

(legal culture)45

, dan sebagainya. Hukum yang timbul dan berkembang di

masyarakat, menjadi lahan penemuan hukum, di dalam pembaruan

hukum. Oleh karena itu, Hakim senantiasa harus melengkapi diri

dengan ilmu sosiologi hukum dan budaya hukum tersebut.

3. Konsep Keadilan dalam Penerapan Hukum oleh Hakim Agama dalam

Memutus suatu Perkara.

Keadilan dalam cita hukum yang merupakan kemanusiaan

berevolusi mengikuti ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang

tanpa henti dan akan terus berlanjut sampai manuasi tidak beraktivitas lagi,

keadilan tetap harus ditegakkan46

.

Keadilan dalam penerapan hukum oleh Hakim dalam memutus

perkara, secara kasuistis, selalu dihadapkan kepada 3 (tiga) Azas, yaitu:

Azas Kepastian Hukum (Rechtssicherheit); Azas Keadilan

(Gerechtigkeit); dan Azas Kemanfaatan (Zweckmassigkeit)47

.

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa ketiga azas tersebut harus

dilaksanakan secara kompromi, yaitu dengan cara menerapkan

ketiga-tiganya secara berimbang atau proporsiona1 dalam suatu

putusan Hakim48

.

Bertitik tolak ketiga azas dasar hokum tersebut diatas sebaiknya

45

Lawrence M. Pridmen, yang mengatakan; Bahwa hukum dipatuhi karena 3 hal,

yaitu: Substance; Structure; and legal Culture; Peran budaya hukum menjadi lebih penting

dalam kepatuhan kepada hukum. 46

M. Rasjidi dan H. Cawidu, 1988, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, Bulan

Bintang, Jakarta, Halaman 17. 47

Sudikno Mertokusomo, Bab-Bab Tentang ..Op.cit., Halaman 1- 4. 48

Ibid., Halaman 2.

Page 17: Peran Hakim Agama

Hakim membuat atau menjatuhkan keputusan terlebih dahulu

memperhatikan nilai keadilan, apakah dengan menetapkan suatu

keputusan tersebut sudah adil atau tidak ada lagi kekeliruan dan unsur ini

benar-benar dipertimbangkan, karena Hakim harus objektif, adil Hakim

juga harus mempertimbangkan unsur yang kedua yaitu kepastian hokum

dengan melihat kepada peraturan perundang-undangan yang ada apakah

keputusan yang ditetapkan tersebut sudah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang ada. Dalam melihat peraturan perundang-

undangan Hakim harus melihat secara komprehensif dengan mengaitkan

kepada aturan-aturan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Sedangkan

nilai dasar Hukum yang ketiga yaitu kemanfaatan, apa manfaatnya

seorang Hakim menjatuhkan suatu putusan kepada seseorang, baik

terhadap tersangka maupun sikorban49

.

Ketiga nilai dasar hukum tersebut harus diterapkan secara

seimbang dan tidak bisa mengutamakan nilai keadilan saja, sedangkan

nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan tidak diterapkan, demikian

juga sebaliknya tidak dapat diterapkan nilai kepastian hukum, sedang

nilai keadilan dan kemanfaatan tidak dipertimbangkan, demikian juga

tidak bisa mengutamakan nilai kemanfaatan, tetapi nilai keadian dan

kepastian hukum dikesampingkan, tegasnya sebelum menjatuhkan

putusan kepada seseorang, ketiga nilai dasar hukum tersebut harus

dipenuhi dalam putusannya, jika tidak terpenuhi ketiga unsur tersebut,

49

Lihat; Ediwarman, Pidana Mati Ditinjau Dari Sudut Pandangan Hak Asasi

Manusia.(Guru Besar FH. USU dan Konsultan Hukum di Medan), Halaman 9-10.

Page 18: Peran Hakim Agama

maka keadilan yang diharapkan oleh kedua belah pihak yaitu keadilan

yang responsive/real justice tidak terwujud50

.

Melihat kepada realita sekarang ini, terhadap suatu putusan ke 3

(tiga) nilai dasar hukum tersebut menurut penulis, hal itu tidak mungkin

dilakukan oleh seorang Hakim dalam diktum putusan. Paling-paling hanya

dapat dilakukan misalnya; dalam hal-hal yang meringankan; perkara perdata,

penundaan eksekusi agar Tergugat berkesempatan melunasi hutangnya;

perkara PTUN, menunda eksekusi agar pihak pemerintah berkesempatan

melakukan kewajiban-kewajibannya seperti mencabut keputusannya, dan

sebagainya. Hakim harus memilih salah satu dari azas tersebut, untuk

memutus perkara, dan tidak mungkin mencakupnya sekaligus dalam satu

putusan (harmonisasi). lbarat dalam sebuah garis, Hakim dalam memeriksa

dan memutus perkara berada (bergerak) diantara 2 (dua) titik pembatas dalam

garis tersebut, yaitu: titik keadilan dan titik kepastian hukum. Azas

kemanfaatan berada diantaranya. Manakala Hakim memutus lebih dekat

ke arah titik kepastian hukum51

, maka secara otomatis dia akan jauh dari

titik keadilan. Sebaliknya, kalau dia memutus dekat dengan titik keadilan,

secara otomatis dia juga akan jauh dari titik kepastian hukum. Di sinilah

letak batas-batas kebebasan Hakim. Dia hanya bisa bergerak di antara 2

50

Ibid., Halaman 10. 51

Sebagai contoh lihat Hakim hentikan sidang Soeharto ",Kompas (29 September

2000), Halaman 6. Disana diuraikan penghentian persidangan kasus mantan Presiden Soeharto

dan membebaskannya dari tahanan kola. Alasan penghentian tersebut adalah karena sakit

berdasarkan surat keterangan dokter, dan orang sakit tidak mungkin disidangkan karena tidak

sanggup mengikuti jalannya persidangan. Tidak dapat,menjawab pertanyaan - pertanyaan, untuk

memperoleh data (keterangan) yang lengkap. Lihat juga : " Soeharto diperiksa Tim Dokter RSCM

", Kompas (19 Juni 2002), Halaman 7; dan Soeharto masih terbaring Kejagung hentikan

penyelidikan", Kompas (23 Juli 1999), halaman 16.

Page 19: Peran Hakim Agama

(dua) titik pembatas tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar,

seorang Hakim akan menentukan kapan dia berada dekat dengan titik

kepastian hukum, dan kapan dia harus berada dekat dengan titik keadilan.

Jadi tidak benar bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus perkara bebas

dan tanpa batas52

. Azas kemanfaatan bergerak di antara 2 (dua) titik

tersebut, yang lebih melihat kepada tujuan atau kegunaan dari hukum itu

kepada masyarakat. Sugijanto Darmadi mengatakan bahwa hukum adalah

ciptaan manusia, bukan ciptaan supranatural. Hukum sengaja dibuat oleh

manusia dan untuk kepentingan manusia, sebab itu bersifat artifisial53

.

Demikian juga, seorang Hakim Agama dalam memeriksa dan

memutus perkara tidak selamanya terpaku pada satu azas saja. Pada setiap

kasus, atau secara kasuistis, mereka bisa saja berubah-ubah dari azas yang

satu, ke azas yang lain. Yang penting, mereka harus mempertimbangkan

dengan nalar yang baik, mengapa dalam kasus tertentu mereka memilih azas

tersebut. Kualitas Hakim Agama akan terlihat dari bobot pertimbangan-

pertimbangannya dalam menetapkan suatu putusan.

Penekanan azas kepastian hukum oleh seorang Hakim, lebih

cenderung untuk mempertahankan norma-norma hukum tertulis dari

hukum positif yang ada. Peraturan undang-undang harus ditegakkan demi

kepastian hukum. Cara berpikir yang normatif (normative thinking) tersebut,

52

Lintong O. Siahaan, "Quo Vadis Normative Thingking-Profil, Hakim PTUN"

(Dimuat dalam majalah "Gema Peratun", tahun VI No. 13 Triwulan III November 2000),

Halaman 84-86. 53

Sugijanto Darmaji, Op.cit., Halaman 5. Selanjutnya dikatakan bisa saja hukum

bersumber pada ajaran agama atau wahyu Tuhan yang tidak tertulis dalam Kitab Suci, tetapi

ajaran agama atau wahyu Tuhan itu dapat menjadi hukum apabila secara sadar memasuki

hubungan-hubungan hukum yang berakibat hukum dengan legitimasi dan validitasi tertentu.

Page 20: Peran Hakim Agama

akan mengalami kebuntuan manakala ketentuan-ketentuan tertulis tidak

dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada. Dalam situasi yang

demikian, hakim harus menemukan hukum untuk mengisi kelengkapan

hukum itu. Inilah yang dinamakan oleh Sugijanto Darmaji metode penemuan

hukum, yang hanya digunakan dalam praktek, terutama oleh hakim dalam

mengadili perkara54

. Sacipto Raharjo mengingatkan, penekanan azas

kepastian hukum, bukan berarti hanya sekedar penegakkan undang-undang

dan peraturan yang ada. Sebab undang-undang dan peraturan-peraturan

tidak identik dengan hukum. Hukum lebih luas dari hanya sekedar teks

undang-undang dan peraturan-peraturan. Dalam suatu kesempatan beliau

pernah berkomentar, agar hukum jangan menjadi hukum kacangan dan agar

negara hukum, jangan ditafsirkan menjadi negara undang-undang atau

negara peraturan. Kalau terjadi yang demikian, maka celakalah negara ini

sebagai negara hukum55

.

Penekanan azas keadilan, berarti harus mempertimbangkan hukum

yang hidup di masyarakat, yang terdiri dari kebiasaan-kebiasaan dan

ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Sosiologi hukum dan

budaya hukum sangat berperan dalam bidang ini56

. Harus dibedakan antara

54

Ibid., Halaman 83; Penemuan hukum diarahkan pada suatu peristiwa yang bersifat

khusus, kongkrit, dan individual. Hal yang sama juga disebutkan oleh penulis-penulis yang lain

tentang penemuan hukum, seperti: Sudikno Mertokusumo, B. Arief Sidarta, Theo Huijbers dan

lain-lain. 55

Lihat Juga : " Indonesia Jangan Menjadi Negara Hukum Kacangan"', Kompas (19

Agustus 2002), Halaman 4; "Tidak Menjadi Tawanan Undang - undang ", Kompas (25 Mei

2000), Halaman 4. 56

Tokoh-tokoh Sosiologi Hukum seperti: Aguste Comte; Max Weber; Emile

Durkheim; Eugen Ehrlich; Roscoe Pound; Talcott Parson; dan sebagainya, hendaknya menjadi

bahan studi seorang hakim secara terus menerus, agar dapat dipedomani dalam memutus perkara

yang berhubungan dengan azas keadilan.

Page 21: Peran Hakim Agama

rasa keadilan individu, kelompok dan masyarakat. Selain itu, juga rasa

keadilan dari suatu masyarakat tertentu, belum tentu sama dengan rasa

keadilan dari masyarakat yang lain. Hakim dalam pertimbangan-

pertimbangannya harus mampu menggambarkan hal itu semua, manakala

ia memilih azas keadilan sebagai dasar untuk memutus perkara

yang dihadapinya.

Penekanan azas kemanfaatan lebih bernuansa ekonomi. Dasar

pemikirannya adalah bahwa hukum adalah untuk manusia atau orang

banyak, oleh karena itu tujuan hukum harus berguna untuk manusia atau

orang banyak tersebut. Dari mulai legislasi dan regulasi sudah ada

penekanan-penekanan akan azas kemanfaatan tersebut.

D. Kesimpulan.

Dari uraian tentang peran Hakim Agama, metode berpikir yuridis

dan konsep keadilan dalam penerapan hukum sebagaimana yang telah

diuraikan diatas, maka dapatlah disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Secara yuridis maupun filosofis, Hakim Agama mempunyai peran dalam

melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum. Agar putusan yang

diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat,

dalam upaya menyelesaikan suatu perkara yang disodorkan kepadanya,

ada tiga tahapan yang harus dilewati seorang Hakim, yakni mengkonstatir

fakta-fakta, mengkualifikasikan peristiwa dan mengkonstitusikan peristiwa

hukum. Untuk itu sangat diperlukan Hakim-Hakim Agama yang

berkualitas, yang mampu berperan dalam penemuan hukum

Page 22: Peran Hakim Agama

(Rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechtsschepping).

2. Metode berpikir yuridis seorang Hakim Agama dalam penerapan hukum,

dimulai dengan menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, apabila

hukum tertulis tersebut ternyata tidak cukup atau tidak pas, maka barulah

hakim mencari dan menemukan sendiri hukum itu dari sumber-sumber

hukum lainnya berupa; yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau

hukum tidak tertulis. Sementara proses dan cara berpikir Hakim untuk

penerapan/ menemukan hukum, dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga)

aliran, yaitu: (1). Aliran konservatif; (2). Aliran progresif; (3). Aliran

Progresif.

- Aliran konservatif. Artinya, Hakim dalam memeriksa dan memutus

suatu perkara berusaha mempertahankan nilai-nilai yang ada di

dalam masyarakat dari strukturnya, hukum terlihat sebagai hal yang

cenderung mempertahankan status quo. Hukum berusaha untuk

menghindar dari perubahan. Hukum menjaga stabilitas.

- Aliran konservatif. Artinya Hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-

undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian Hakim

menerapkannya menurut bunyi undang-undang. Dengan demikian

maka penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undang-

undang yang terjadi secara terpaksa atau silogisme. Hakim tidak

menciptakan sesuatu yang baru, hakim hanya menemui dan

menyatakan pikiran-pikiran yang tersembunyi dalam undang-undang.

- Aliran progresif. Artinya Hakim bukan lagi sekedar corong undang-

undang. Hakim harus mandiri, atas apresiasi sendiri menemukan

Page 23: Peran Hakim Agama

hukum. Dalam menjatuhkan putusan seorang Hakim harus dibimbing

oleh pandangan-pandangan, atau oleh pikirannya sendiri. Hakim

menjadi otonom, bukan lagi heterotonom. Dalam aliran ini, Hukum

yang timbul dan berkembang di masyarakat, menjadi lahan penemuan

hukum, di dalam pembaruan hukum. Oleh karena itu, Hakim

senantiasa harus melengkapi diri dengan ilmu sosiologi hukum dan

budaya hukum tersebut.

3. Konsep keadilan dalam penerapan hukum oleh Hakim Agama dalam

memutus perkara, haruslah berpijak kepada 3 (tiga) azas, yaitu: (1).

Azas Kepastian Hukum, (2). Azas Keadilan, dan (3). Azas

Kemanfaatan.

- Penekanan azas kepastian hukum oleh seorang Hakim, berarti lebih

cenderung untuk mempertahankan norma-norma hukum tertulis dari

hukum positif yang ada. Peraturan undang-undang harus ditegakkan

demi kepastian hukum.

- Penekanan azas keadilan oleh seorang Hakim, berarti harus

mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat, yang terdiri

dari kebiasaan-kebiasaan dan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak

tertulis. Sosiologi hukum dan budaya hukum sangat berperan dalam

bidang ini. Harus dibedakan antara rasa keadilan individu, kelompok

dan masyarakat. Selain itu, juga rasa keadilan dari suatu masyarakat

tertentu, belum tentu sama dengan rasa keadilan dari masyarakat

yang lain. Hakim dalam pertimbanganpertimbangannya harus mampu

menggambarkan hal itu semua, manakala is memilih azas keadilan

Page 24: Peran Hakim Agama

sebagai dasar untuk memutus perkara yang dihadapinya.

- Penekanan azas kemanfaatan oleh seorang Hakim, berarti lebih

bernuansa ekonomi. Dasar pemikirannya adalah bahwa hukum

adalah untuk manusia atau orang banyak, oleh karena itu tujuan

hukum harus berguna untuk manusia atau orang banyak

tersebut……… Wassalam.

Page 25: Peran Hakim Agama

DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. Buku –Buku.

Arief Sidharta, Bernard, 2000, Refleksi Tentang Stuktur Ilmu Hukum . Cet.

II, CV. Mandar Maju, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2006, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah perubahan keempnt. Rajawali Pres, Jakarta.

Asyrof, Mukhsin, 2006, Asas-Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum

oleh Hakim dalam Proses Peradilan, Artikel dalam Varia

Peradilan, tahun ke XXI No. 252 , MARI, Jakarta.

Darmadi, Sugijanto. 1998, Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan Filsafat Cet.

I, CV Mandar Maju, Jakarta.

Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 2001, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Alam,

Rajawali Pres, Jakarta.

Ediwarman, Pidana Mati Ditinjau Dari Sudut Pandangan Hak Asasi

Manusia.(Guru Besar FH. USU dan Konsultan Hukum di Medan).

Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir

Abad Ke-20. Alumni, Bandung.

Huijbers, Theo, 1992, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Kanisius,

Jakarta.

---------------- , 1995, Filsafat Hukum. cet. III, Kanisius, Jakarta.

Maslow, A.H., 1954, Motivastion and personality, Harpers, New York.

Mamuji, Seri, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Cet. 6. PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, et A. Pitlo. 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum,

Citra Aditya, Jakarta.

---------------, 2001, Penemuan Hukum sebuah pengantar, Liberty, Jogjakarta.

Oen Hock, Lie, 1959, Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Pidato

Pengukuhan Guru Besar di U.I., Jakarta.

Pontier, J.A., 2000, Penemuan Hukum (Rechtvinding), diterjemahkan oleh B.

Arief Shidarta, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas

Katolik Parahiyangan, Bandung.

Purbacaraka, Purnadi dan Soekanto, Soerjono, 1993, Perihal Kaidah Hukum,

cet. IV, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rasyidi, Lili dan Putra, LB. Wijata, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT

Remaja Rasdakarya, Bandung.

Page 26: Peran Hakim Agama

Schheltens, D.F.,1983, Intending Tot De Wijsbegeerte Van Het Recht.

Terjemahan Siregar, Bakri, Pengantar Filsafat Hukum, Erlangga,

Jakarta.

Siahaan, Lintong , 2000, Quo Vadis Normative Thingking-Profil Hakim

PTUN". Dimuat dalam majalah "Gema Peratun", tahun VI No. 13

Triwulan III .

Soekanto, Soerjono, 1991, Fungsi Hukum Dan Perubahan Sosial, cet. III.

PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sri Djatmiati, Tatiek, 2004, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi

Doktor Program Pascasarjana Universitas Surabaya.

Van, Eikema Hommes. 1999, Logica en rechtsvinding, (roneografie) vrije

universiteit. Wiarda. Drie Typen Van de Rechtsvindings. Deventer:

W.E.J - Tjeink Willink.

B. Perundang –Undangan.

UUD 45 Amandemen ketiga.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tentang

Sumber Hukum. TAP MPR RI no. 111/2000.

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 14

Tahun 1970. LN. 1970. No. 74

Tentang Peruhahan Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung, Undang-undang No. 5 Tahun 2004. LN.

2004. No. 9, TLN. 4359.

UUD 45 Amandemen ketiga.

Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No.4 Tahun 2004, LN

No. 9 Tahun 2004, TLN No.4359.

Page 27: Peran Hakim Agama