45
DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 10 KAJIAN SEKTOR KESEHATAN PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKATKEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

10

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

Page 2: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN© 2019 by Kementerian PPN/Bappenas

PengarahDr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc

PenulisI Made Suwandi, MSoc, Sc., PhD.Afif Syarifudin Yahya, SIP, MSi

Reviewer dan EditorM. Dzulfikar Arifi, SKMRenova Glorya Montesori Siahaan, SE, MScPungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhDProf. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH.

Foto: UNICEF Indonesia

Diterbitkan dan dicetak oleh Direktorat Kesehatan dan Gizi MasyarakatKedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603Email: [email protected]

Cetakan pertama: April 2019ISBN: 978-623-93153-7-5

Hak Penerbitan @ Kementerian PPN/Bappenas Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, microfilm dan sebagainya.

PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKATKEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

KAJIAN SEKTOR KESEHATAN

Page 3: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

Kajian Sektor Kesehatan • viv • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

KATA PENGANTAR

Konstitusi mengamanatkan bahwa salah satu tujuan bernegara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana yang dinyatakan dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan, UNDP menggunakan (tiga) dimensi yaitu: Kesehatan, Pendidikan dan Daya Beli. Sebagai salah satu dimensi kesejahteraan, kesehatan mempunyai pengaruh yang paling dominan karena dapat mempengaruhi kualitas pendidikan dan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.

Mewujudkan masyarakat yang sehat juga merupakan salah satu agenda pembangunan nasional. Dengan kata lain, pembangunan nasional dapat dikatakan berhasil apabila terjadi peningkatan derajat kesehatan. Akan tetapi, masing-masing warga negara mempunyai kemampuan yang berbeda-beda untuk meningkatkan derajat kesehatannya. Oleh karena itu, diperlukan upaya semesta untuk mewujudkannya. Pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat harus bahu-membahu untuk mewujudkan masyarakat yang sehat sebagai bentuk pelaksanaan kewajibannya.

Urgensi peningkatan pelayanan kesehatan juga termaktub dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Setiap warga negara berhak atas hidup sehat, dan kesehatan merupakan investasi nasional yang sangat produktif, baik secara sosial maupun ekonomi. Sebagai urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, terdapat standar pelayanan minimal bidang kesehatan yang harus disediakan oleh Pemerintah sebagai bentuk pemenuhan hak dasar warga negara. Oleh karena itu, penyelenggaraan urusan kesehatan harus menjadi prioritas sehingga seluruh sumber daya yang ada harus digunakan secara optimal untuk meningkatkan derajat kesehatan warga negara.

Untuk mewujudkan tata kelola pembangunan kesehatan yang baik, terdapat serangkaian upaya yang harus dilakukan. Pertama, adanya pembagian kewenangan dan mekanisme hubungan kerja yang jelas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antar kementerian/lembaga, termasuk di tingkat daerah. Selanjutnya dibangun struktur kelembagaan yang tepat ukuran (right sizing) untuk mewadahi pelaksanaan urusan kesehatan. Selain itu, diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup, baik secara kuantitas maupun kualitas, dengan memperhatikan beban tugas (beban kerja) yang ditanggung dan lokasi penugasan. Alokasi keuangan yang cukup dibutuhkan agar seluruh biaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dapat terpenuhi, baik yang bersumber dari keuangan negara maupun iuran masyarakat. Produk layanan kesehatan yang dihasilkannya pun harus jelas standar mutunya (standard of quality) sehingga masyarakat bisa memperoleh layanan kesehatan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan urusan kesehatan maka mekanisme pembinaan dan pengawasan harus dilaksanakan secara efektif. Masyarakat selaku pihak penerima layanan kesehatan harus diajak dan diberikan ruang untuk berpartisipasi sehingga pemerintah selaku penyedia layanan kesehatan dapat memperoleh penilaian balik (feedback) atas layanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Sistem IT yang dibangun harus mampu memperbaiki kinerja manajemen sehingga berbagai kendala internal dapat diminimalisir.

Penulisan difokuskan untuk mengetahui tingkat capaian pembangunan kesehatan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 dari aspek tata kelola pemerintahan (governance). Berbagai aspek yang terkait dengan tata kelola pemerintahan bidang kesehatan dikaji secara komprehensif guna menghasilkan pemahaman yang utuh.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun dan narasumber yang telah membantu penyelesaian laporan ini. Kami sangat berharap kajian ini dapat bermanfaat bagi pemangku kepentingan terkait dalam merancang pembangunan kesehatan ke depan, terutama sebagai masukan untuk penyusunan RPJMN 2020-2024.

Jakarta, April 2019

Subandi Sardjoko

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas

Page 4: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

Kajian Sektor Kesehatan • vii

DAfTAR ISI

Kata Pengantar iv

Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Singkatan xii

Ringkasan Eksekutif xiv

1. OVERVIEW SITUASI DESENTRALISASI URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KESEHATAN PADA RPJMN 2015-2019 1

1.1 Kondisi Pembagian Urusan Kesehatan antar Tingkatan Pemerintahan 2

1.2 Kondisi Urusan Kesehatan 4

1.3 Kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan 10

1.4 Kondisi Pendanaan Kesehatan 18

1.5 Kondisi Pelaksanaan SPM kesehatan 22

1.6 Kondisi Pembinaan dan Pengawasan Urusan Kesehatan 23

1.7 Analisis NSPK Lintas Sektor terhadap Kondisi Kesehatan Daerah 26

1.8 Kesimpulan dari Overview NSPK dalam rangka Desentralisasi Kesehatan 27

1.9 Overview Kondisi Pemanfaatan IT dalam Pengelolaan Urusan Kesehatan 28

2. STRATEGI DESENTRALISASI URUSAN KESEHATAN 31

2.1 Strategi Pemenuhan NSPK dalam Konteks Pembagian Urusan Kesehatan antara Pusat dengan Daerah 32

2.2 Strategi Penataan Kelembagaan 45

2.3 Strategi Penataan SDM 47

2.4 Strategi Penataan Keuangan 48

2.5 Strategi Pemenuhan SPM kesehatan dan Program Prioritas 51

2.6 Strategi Sinkronisasi Program Lintas Sektor dan Lintas Level Pemerintahan 52

2.7 Strategi Penataan Pembinaan dan Pengawasan 53

2.8 Strategi Penyediaan dan Pemanfaatan IT dalam Tata Kelola Urusan Kesehatan 54

UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu penulisan dan perbaikan laporan ini. Apresiasi yang tinggi kami berikan kepada Dr. Pungkas Bahjuri Ali sebagai Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat (KGM) Bappenas, M. Dzulfikar Arifi, SKM, Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, MSc, Ardhiantie, SKM, MPH dan tim lainnya yang telah memberikan input untuk perbaikan tulisan, Prof. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH , tim penulis dan sekretariat Health Sector Review (HSR) 2018, UNICEF, dan juga para narasumber yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Kajian ini disusun oleh sebuah tim Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review) dibawah bimbingan Dr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan - Bappenas) dengan arahan teknis dari Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD (Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat - Bappenas). Adapun koordinator teknis pelaksanaan HSR 2018 adalah Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, MSc (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas) didukung oleh Prof. dr. Ascobat Gani sebagai team leader HSR 2018.Kajian yang dilakukan pada tahun 2018 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas ini mendapatkan dukungan dari kementerian/Lembaga terkait, serta dukungan dari UNICEF and DFAT, beserta beberapa mitra pembangunan lain seperti WHO, ADB, World Bank, USAID, UNFPA, WFP, FAO, JICA, UNDP, GIZ, dan Nutrition International. Proses edit dan cetak laporan kajian ini didukung oleh UNICEF Indonesia.

Kajian sektor kesehatan dilakukan secara paralel untuk 10 topik meliputi:

1 Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

2 Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

3 Kesehatan Reproduksi, Ibu, Neonatal, Anak dan Remaja

4 Pembangunan Gizi di Indonesia

5 Sumber Daya Manusia Kesehatan

6 Penyediaan Obat, Vaksin, dan Alat Kesehatan

7 Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan

8 Pembiayaan Kesehatan dan JKN

9 Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

10 Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

vi • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Page 5: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

Kajian Sektor Kesehatan • ixviii • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

DAfTAR TABEL

Tabel 1 Kondisi NSPK dalam Pelaksanaan Urusan Kesehatan xiv

Tabel 2 Gejala Pembiayaan Urusan Kesehatan dan Treatment yang Harus Dilakukan xvi

Tabel 3 Kondisi SDM Kesehatan di Daerah Provinsi Tahun 2017 14

Tabel 4 Kondisi SDM Kesehatan di Rumah Sakit Menurut Provinsi Tahun 2017 15

Tabel 5 Kondisi SDM Kesehatan di puskesmas Tahun 2017 16

Tabel 6 APBD per Kapita Provinsi 21

Tabel 7 Alokasi dan Realisasi Anggaran Dana Dekonsentrasi Tahun Anggaran 2017 25

Tabel 8 Pembagian Urusan Kesehatan antar Tingkatan Pemerintahan 32

Tabel 9 Kondisi dan Kebutuhan NSPK dalam Penyelenggaraan 41

Tabel 10 Alokasi DAK Kesehatan Tahun 2017 50

3. ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN TANTANGAN KE DEPAN DESENTRALISASI URUSAN KESEHATAN 55

3.1 Implikasi Pilkada Serentak terhadap Perencanaan Kesehatan 56

3.2 Dana Desa untuk Membantu Kesehatan 57

4. TUJUAN DAN ARAH DESENTRALISASI KESEHATAN TAHUN 2020-2024 59

4.1 Tujuan Desentralisasi Kesehatan Tahun 2020-2024 60

4.2 Arah Desentralisasi Kesehatan Tahun 2020-2024 60

5. REKOMENDASI 61

Referensi 66

Page 6: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

Kajian Sektor Kesehatan • xix • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

DAfTAR GAMBAR

Gambar 1 Struktur Organisasi 5

Gambar 2 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Tipe A 6

Gambar 3 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Tipe B 7

Gambar 4 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Tipe C 8

Gambar 5 Proporsi puskesmas Tanpa Dokter Berdasarkan Provinsi (%) Tahun 2017 17

Gambar 6 Perbandingan Proporsi puskesmas Tanpa Dokter (%) 17

Gambar 7 Rasio Dokter per puskesmas Tahun 2017 18

Gambar 8 Alokasi (%) APBD Provinsi untuk Kesehatan Tahun Anggaran 2017 19

Gambar 9 Persentase (%) Alokasi APBD Kabupaten/Kota dalam Provinsi untuk Kesehatan 20

Page 7: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

xii • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

DAfTAR SINGKATAN

ANC Antenatal ASI Air Susu IbuASPAK Aplikasi Sarana dan Prasarana Alat Kesehatan BKPM Badan Koordinasi Penanaman ModalBLUD Badan Layanan Umum Daerah BMHP Bahan Medis Habis PakaiBOK Biaya Operasional Kesehatan BPJS-K Badan Penyelenggara Jaminan Sosial KesehatanCDR Crude Death RateCPR Contraceptive Prevalence Rate DAK NF Dana Alokasi Khusus Non Fisik DNI Daftar Negatif Investasi DPT Difteri, Pertusis, dan TetanusDTPK Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan Terluar DTPK Daerah Tertinggal, Kepulauan, dan Terpencil EPHF Essential Public Health FunctionsFasyankes Fasilitas Pelayanan KesehatanFornas Formularium Nasional Germas Gerakan Masyarakat Hidup SehatGF ATM Global Fund AIDS, TB, Malaria IHIS Integrated Health Information SystemJKN Jaminan Kesehatan Nasional JKN-KIS Jaminan Kesehatan Nasional Keluarga Indonesia SehatJMD Juru Malaria DesaKARS Komisi Akreditasi Rumah sakit KB Keluarga BerencanaKBK Kapitasi Berbasis Komitmen KBPU Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha KIA Kesehatan Ibu dan Anak KKI Konsil Kedokteran Indonesia KTI Kawasan Timur Indonesia LTD Lembaga Teknis Daerah MBS Mass Blood SurveyMEA Masyarakat Ekonomi Asean NS Nusantara SehatNSPK Norma, Standar, Prosedur, Kegiatan OAM Obat Anti Malaria Pemda Pemerintah Daerah PHC Primary Health Care PIS-PK Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga

Kajian Sektor Kesehatan • xiii

PP Peraturan Pemerintah PPK BLUD Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah PTM Penyakit Tidak Menular RITL Rawat Inap Tingkat Lanjutan RITP Rawat Inap Tingkat PertamaRJTL Rawat Jalan Tingkat Lanjutan RJTP Rawat Jalan Tingkat Pertama RKO Rencana Kebutuhan Obat RS Rumah Sakit RSD Rumah Sakit Daerah (RSD) RSUD Rumah Sakit Umum Daerah SDG Sustainable Development Goals SDM Sumber Daya Manusia SIK Sistem Informasi Kesehatan SIKDA Sistem Informasi Kesehatan Daerah SIKNAS Sistem Informasi Kesehatan Nasional SIMDA Sistem Informasi DaerahSIMPUS Sistem Informasi puskesmas SIMRS Sistem Informasi Rumah Sakit SIP Sistem Informasi puskesmas SJSN Sistem Jaminan Kesehatan Nasional SKN Sistem Kesehatan NasionalSKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah SPM Standar Pelayanan MinimalTB TuberkulosisTIK Teknologi Informasi dan Komunikasi TP Tugas Pembantuan TT Tempat Tidur UHC Universal Health Coverage UKBM Upaya Kesehatan Berbasis MasyarakatUKM Upaya Kesehatan MasyarakatUKP Upaya Kesehatan PeroranganUKS Usaha Kesehatan Sekolah UPT Unit Pelaksana TeknisUPTD Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah USAID United States Agency for International DevelopmentUU Undang-Undang WKDS Wajib Kerja Dokter Spesialis

Page 8: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

Kajian Sektor Kesehatan • xv

RINGKASAN EKSEKUTIf

Berseminya nilai demokrasi pasca reformasi telah merubah secara signifikan lanskap pemerintahan di Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan dengan pendekatan sentralistik telah beralih menuju ke pemerintahan yang desentralistik. Namun di sisi lain perubahan sistem tersebut dihadapkan pada 2 (dua) hambatan utama yaitu pertama adalah kesiapan pemerintah daerah untuk mengambil peran besar tersebut tetapi belum disertai dengan persiapan yang cukup. Persoalan peningkatan kapasitas (capacity building) menjadi isu sentral bagi pemerintah daerah untuk memangku tanggung jawab besar tersebut. Hambatan kedua yakni perlu suatu perubahan mind set yang besar bagi para pejabat di pusat, dari yang dulunya adalah sebagai policy maker dan policy implementor untuk lebih memusatkan diri sebagai policy maker. Untuk itu maka peran pemerintah pusat yang dulunya sebagai implementor harus mampu berubah untuk memainkan peran sebagai empowerer, enabler dan facilitator agar pemerintah daerah dapat menjalankan peran yang dulunya dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Ada beberapa isu utama yang perlu mendapat perhatian selama pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 serta untuk penyusunan RPJMN 2020-2024 bidang kesehatan. Isu-isu tersebut terurai berikut ini.

Isu pertama yang perlu diperhatikan adalah perlunya dilakukan evaluasi secara menyeluruh tentang pembagian urusan kesehatan antara pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam lampiran UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Banyak lembaga yang menangani urusan kesehatan pada masing-masing tingkat pemerintahan. Di tingkat pusat, penyelenggaraan urusan kesehatan dilaksanakan oleh beberapa kementerian/lembaga (K/L) seperti: Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan dan beberapa K/L lainnya. Pada level daerah provinsi penyelenggaraan urusan kesehatan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi selaku pelaksana urusan kesehatan pada tingkat provinsi dan rumah sakit (RS) kelas B (publik dan swasta). Sementara itu, di tingkat kabupaten/kota penyelenggaraan urusan kesehatan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, RS kelas C dan/atau D (publik dan swasta) dan puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan.

Langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi terhadap Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang ada. Hal ini perlu dilakukan untuk penyesuaian khususnya NSPK yang terkait dengan aspek manajerial dan administrasi. Perubahan tidak akan banyak terjadi kalau menyangkut NSPK teknis dimana perubahannya sangat tergantung dengan perubahan teknologi di bidang kesehatan. Namun NSPK yang bersifat manajerial dan administrasi akan sangat cepat berubah seiring dengan berubahnya paradigma pemerintahan menuju kearah pemerintahan yang desentralistik. Dari hasil analisis, terdapat 55 (lima puluh lima) NSPK yang dibutuhkan dengan kondisi sebagai berikut:

Tabel 1. Kondisi NSPK dalam Pelaksanaan Urusan Kesehatan

KONDISI NSPK (JUMLAH)

NSPK YANG DIBUTUHKAN NSPK YANG SUDAH ADA NSPK YANG HARUS DIBUAT

55 NSPK 14 NSPK 41 NSPK

Adapun tindakan yang dibutuhkan terhadap 41 (empat puluh satu) NSPK yang belum ada maka harus secepatnya dibuat agar ada kepastian hukum bagi daerah dalam melaksanakan kewenangannya. Selain itu, juga untuk mencegah tumpang tindih kewenangan dan kegiatan, serta memperjelas hak dan kewajiban daerah dalam era desentralisasi urusan kesehatan. Sedangkan 14 NSPK yang sudah ada pun perlu dilakukan evaluasi apakah masih up-to-date untuk dilaksanakan atau perlu dilakukan perbaikan (revisi).

Isu kedua menyangkut aspek kelembagaan yang meliputi penataan kelembagaan dan hubungan kelembagaan. Jika merujuk pada konstitusi, Undang-Undang Kementerian Negara dan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial maka antara BPJS dan Kementerian Kesehatan harus saling berkoordinasi dan bersinergi dalam pemberian jaminan kesehatan sehingga pelayanan kesehatan yang diperoleh masyarakat dapat dilaksanakan secara optimal. Sedangkan permasalahan terkait ukuran struktur organisasi Dinas Kesehatan lebih disebabkan ketidaktepatan dalam mengidentifikasi beban kerja Dinas Kesehatan itu sendiri. Selain itu dalam hal pembuatan pengaturan, harus ada koordinasi antara BPJS dengan Kementerian Kesehatan termasuk dengan Dinas Kesehatan. Sebagai pembuat kebijakan kesehatan di tingkat daerah, pemerintah daerah harus paham betul apa dasar pemikiran yang dijadikan landasan oleh BPJS dalam membuat pengaturan teknis kesehatan dan pengaturan tersebut seyogyanya sudah disetujui oleh Kementerian Kesehatan. Selain itu, terjadi pula kecenderungan kelembagaan kesehatan daerah (Dinas Kesehatan) tidak jelas hubungannya dengan kelembagaan kesehatan di pusat (Kementerian Kesehatan). Demikian juga antara Dinas Kesehatan Provinsi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Disamping itu, terjadi dualisme kelembagaan antara Dinas Kesehatan dengan RSUD karena hubungan kedua lembaga tersebut belum jelas. Berdasarkan konstitusi, secara universal urusan kesehatan merupakan tanggung jawab Kementerian Kesehatan selaku pembantu Presiden dalam urusan kesehatan. Di sisi lain, desentralisasi memberikan peluang bagi daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan kesehatan yang menjadi kewenangannya.

Isu ketiga menyangkut aspek Sumber Daya Manusia (SDM). Tidak meratanya jumlah personil kesehatan menjadi kendala utama dalam pengelolaan urusan kesehatan di daerah. Untuk itu, diperlukan NSPK yang mengatur standar jumlah, kualifikasi dan kompetensi yang jelas dan tegas dalam rekrutmen dan promosi tenaga kesehatan di daerah. Terlebih dengan adanya moratorium penerimaan PNS yang menyebabkan pemerintah merekrut tenaga kesehatan melalui mekanisme outsourcing yang menjadi tantangan untuk kesinambungannya. Standar kompetensi Kepala puskesmas dan RSUD sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun belum tersedia untuk jabatan Kepala Dinas Kesehatan. Sampai sekarang belum terdapat kejelasan persyaratan kompetensi, baik manajerial, teknis dan sosio-kultural yang harus dimiliki sebagai bagian dari persyaratan menduduki jabatan Kepala Dinas Kesehatan.

Isu keempat menyangkut aspek keuangan untuk membiayai urusan kesehatan yang didesentralisasikan. Ada 4 (empat) gejala yang perlu diperhatikan oleh pemerintah pusat dalam menyikapi hal ini. Gejala pertama, daerah tidak mempunyai kemampuan fiskal yang mencukupi untuk pelaksanaan urusan kesehatan. Kedua, daerah dengan kapasitas fiskal yang mencukupi tetapi tidak mampu menghasilkan kinerja bidang kesehatan yang bagus. Ketiga, daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi dan menghasilkan kinerja kesehatan yang tinggi

xiv • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Page 9: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

Kajian Sektor Kesehatan • xviixvi • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan Kajian Sektor Kesehatan • xvii

juga. Terakhir, daerah dengan kapasitas fiskal yang rendah namun mampu menghasilkan kinerja kesehatan yang tinggi. Keempat gejala tersebut memerlukan treatment yang berbeda satu dengan yang lainnya. Adapun treatment yang diberikan dapat dilihat pada table berikut:

Tabel 2. Gejala Pembiayaan Urusan Kesehatan dan Treatment yang Harus Dilakukan

No Gejala Treatment

1 Daerah dengan kapasitas fiskal yang rendah dan menghasilkan kinerja yang rendah

Diberikan bantuan DAK dari Pusat

2 Daerah dengan kapasitas fiskal yang cukup/tinggi tetapi menghasilkan kinerja yang rendah

Diberikan sistem reward- punishment

3 Daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi dan menghasilkan kinerja yang tinggi

Dilakukan monitoring dan evaluasi untuk menjaga kesinambungannya

4 Daerah dengan kapasitas fiskal yang rendah tetapi mampu menghasilkan kinerja yang tinggi

Diberikan insentif atau reward

Isu kelima menyangkut pelayanan kesehatan yang dihasilkan daerah dan lebih khusus lagi menyangkut pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) kesehatan. Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, yang didalamnya termasuk SPM kesehatan. Meskipun demikian, SPM kesehatan memerlukan pedoman pelaksanaan dalam bentuk NSPK. Selanjutnya perlu juga dilakukan pemetaan kondisi pencapaian SPM untuk seluruh daerah di Indonesia. Untuk daerah yang belum mencapai SPM, perlu diidentifikasi penyebabnya antara lain seperti apakah dananya yang kurang, apakah SDM kesehatan yang kurang, atau bahkan skill-nya yang kurang atau ada penyebab lainnya, sehingga dapat dicarikan solusi yang optimal.

Isu keenam menyangkut pembinaan dan pengawasan (binwas). Dalam era kebebasan sebagai buah dari demokrasi sering terjadi misinterpretasi dalam pelaksanaannya. Untuk itu perlu adanya kejelasan dalam pelaksanaan pembinaan dan pengawasan baik yang menyangkut pembinaan dan pengawasan teknis yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan maupun pembinaan dan pengawasan umum yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri. Untuk mengoptimalkan proses pelaksanaan pembinaan dan pengawasan maka kementerian/lembaga yang berkontribusi terhadap penyelenggaraan urusan kesehatan harus diikutkan dalam rapat koordinasi yang dilaksanakan secara rutin.

Isu ketujuh menyangkut pelaksanaan program kesehatan yang sering kali terkait dengan kewenangan K/L lainnya. Untuk itu, Kementerian Kesehatan harus melakukan inisiasi penyusunan Peraturan Presiden sebagai NSPK bagi K/L terkait dalam pelaksanaan program kesehatan yang memerlukan pendekatan lintas sektor. Sampai dengan saat ini, belum nampak secara jelas dan tegas NSPK lintas sektor yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan. Khusus untuk NSPK lintas sektor memerlukan keterlibatan K/L terkait. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dapat berperan sebagai koordinator, dengan focal point atau inisiasi tetap dari Kementerian Kesehatan. Ketika NSPK menyangkut lintas K/L maka NSPK yang dibuat wajib dalam bentuk Peraturan Presiden.

Isu kedelapan menyangkut dukungan pemanfaatan IT untuk optimalisasi pelaksanaan urusan kesehatan. Dengan memanfaatkan IT maka sistem pelayanan kesehatan akan semakin cepat, mudah, dan murah. Sampai saat ini, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan dan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Pemanfaatan IT juga sudah dilaksanakan dalam penyelenggaraan urusan kesehatan meskipun belum terintegrasi dan belum dilaksanakan secara menyeluruh (bersifat sectoral). Hal ini menyebabkan daerah menginisiasi sistem IT sendiri. Menanggapi kondisi tersebut, Kementerian Kesehatan sedang merumuskan dan mengadakan sistem IT kesehatan yang komprehensif, berjenjang dan terintegrasi sebagai bentuk tindak lanjut dari penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan. Selain itu, Sistem IT yang ada harus compatible dengan kondisi dan tuntutan penyelenggaraan urusan kesehatan ke depan, yakni dapat digunakan baik secara online maupun offline, serta dapat di upgrade sesuai dengan perkembangan IT.

Dalam mengakhiri RPJMN 2015-2019 dan menyongsong RPJMN 2020-2024 telah terjadi perubahan-perubahan yang sangat signifikan yang akan banyak mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi kesehatan yaitu: dilaksanakannya Pilkada serentak dan dialokasikannya dana desa yang sangat besar untuk mensejahterakan warga desa. Kedua momentum tersebut dapat dijadikan instrumen untuk menciptakan terobosan dalam pelaksanaan urusan kesehatan yang terdesentralisasi.

KATA KUNCI: perubahan lanskap pemerintahan, NSPK, kelembagaan kesehatan, SDM kesehatan, pembiayaan kesehatan, SPM, pembinaan dan pengawasan, Sistem IT, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

xvi • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Page 10: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

xviii • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

1. OVERVIEW SITUASI

DESENTRALISASI URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KESEHATAN

PADA RPJMN 2015-2019

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

Penguatan tata Kelola Pembangunan Kesehatan

xviii • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Page 11: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Overview Situasi • 32 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Mengingat pembagian urusan tersebut hanya menyangkut garis-garis besar saja yang memungkinkan munculnya berbagai interpretasi dalam pelaksanaannya maka untuk hal-hal yang belum jelas seyogyanya diterbitkan NSPK oleh pemerintah pusat. Dalam Tabel 9 laporan ini, telah menyebutkan 55 (lima puluh lima) NSPK yang dibutuhkan untuk dijadikan pedoman bagi daerah untuk melaksanakan kewenangannya. Namun sampai sekarang baru 14 (empat belas) NSPK yang terbit sehingga memerlukan 41 (empat puluh satu) NSPK lainnya agar daerah mempunyai landasan hukum yang jelas dalam melaksanakan kewenangannya.

Jika menyangkut kewenangan antar kementerian/lembaga maka perlu diatur dalam bentuk PP atau Peraturan Presiden (Perpres) sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Jika menyangkut urusan teknis kesehatan yang merupakan kewenangan dari Kementerian Kesehatan maka perlu diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Dalam merumuskannya harus melibatkan Daerah sebagai stakeholder.

Berdasarkan studi empirik diketahui bahwa keempat pembagian urusan pemerintahan konkuren tersebut belum dilaksanakan sesuai dengan amanat undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Sebagai contoh adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cibinong Kabupaten Bogor yang telah naik kelas tetapi tidak diikuti dengan peralihan tanggung jawab pelaksanaan tugas. Pada awalnya, RSUD Cibinong adalah Rumah Sakit Kelas C yang menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten Bogor. Akan tetapi, setelah menjadi RS Kelas B harusnya menjadi tanggung jawab pemerintah Provinsi Jawa Barat. Namun, hingga sekarang RSUD tersebut masih menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten Bogor. Ketika terjadi peralihan tanggung jawab antar tingkatan pemerintahan maka harus disertai pula dengan peralihan status kepegawaian, pembiayaan, sarana dan prasarana, maupun dokumentasi (P3D). Mengacu pada PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah diketahui bahwa RSUD merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kesehatan yang bersifat fungsional. Sedangkan peralihan status kepegawaian, pembiayaan, sarana dan prasarana, maupun dokumentasi (P3D) merupakan implikasi atas perubahan tanggung jawab pelaksanaan tugas sebagai akibat perubahan pembagian urusan pemerintahan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam pasal 404 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Kejelasan mengenai tingkatan pemerintahan yang mana (pemerintah pusat, pemerintah provinsi atau pemerintah kebupaten kota) yang berwenang untuk menyelenggarakan urusan kesehatan atas tingkatan RS menjadi isu yang sangat krusial, Selain itu keterlibatan swasta juga perlu menjadi pertimbangan. Rumah Sakit Umum Tipe A yang menjadi kewenangan Pusat, RSUD Tipe B yang menjadi kewenangan provinsi, serta RSUD Tipe C dan Tipe D serta puskesmas yang menjadi kewenangan kabupaten/kota tidak hanya terbatas dalam pemberian ijin saja, namun ketika sektor swasta tidak berminat untuk mendirikannya atau terjadi market failure maka akan menjadi kewajiban tingkatan pemerintahan yang bersangkutan untuk menyiapkannya. Pusat seharunya memetakan dalam suatu wilayah provinsi berapa jumlah pelayanan kesehatan yang harus ada. Sebagai contoh adalah Provinsi Jawa Barat, berapa jumlah rumah sakit tipe B yang harus ada di Provinsi Jawa Barat, kemudian untuk di wilayah Kabupaten Bogor berapa jumlah Rumah Sakit Tipe C dan Tipe D serta puskesmas yang harus tersedia. Langkah berikutnya adalah harus jelasnya NSPK yang dibuat oleh

1.1. KONDISI PEMBAGIAN URUSAN KESEHATAN ANTAR TINGKATAN PEMERINTAHAN

Kebijakan desentralisasi dalam bentuk otonomi seluas-luasnya pasca reformasi telah diamanatkan dalam pasal 18 ayat 5 UUD 1945 sebagai salah satu dari amandemen kedua konstitusi. Pada tahun 2014 telah ditetapkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 sebagai pengganti dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perjalanan otonomi daerah pasca reformasi telah memberikan ruang demokrasi yang sangat luas pada satu sisi namun menimbulkan kerancuan di sisi lain, khususnya terkait hubungan pusat dengan daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan undang-undang otonomi daerah yang pertama pasca reformasi telah memberikan diskresi kewenangan yang sangat luas ke daerah. Hal tersebut telah menciptakan turbulensi yang ditandai dengan hubungan diametris antara pusat dengan daerah. UU 32/2004 telah mencoba memberikan solusi dengan memperjelas pembagian urusan pemerintahan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 yang memuat pembagian setiap urusan pemerintahan termasuk urusan kesehatan kedalam masing-masing tingkatan dan susunan pemerintahan baik pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Namun selama lebih dari satu dekade pelaksanaannya masih terjadi tumpang tindih kewenangan antar tingkatan pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota), khususnya ketika pembagian urusan pemerintahan tidak secara jelas mengaturnya. Untuk itu maka perlu pengaturan lebih lanjut dari pembagian urusan tersebut dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK).

Permasalahan lainnya muncul dengan berubahnya undang-undang sektor yang seringkali tidak konsisten dengan UU pemerintahan daerah khususnya yang terkait dengan pembagian urusan antara pusat dan daerah. Mengingat pembagian urusan pemerintahan dalam UU 32/2004 hanya diatur dengan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka dalam pelaksanaannya dikalahkan oleh undang-undang sektor karena undang-undang sektor mempunyai tingkatan hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan PP. Kondisi tersebut dalam pelaksanaannya sering menimbulkan kerancuan atas hak dan kewajiban daerah dalam mengelola urusan kesehatan yang diotonomikan ke daerah. Usaha untuk memperbaiki kerancuan mengenai pembagian urusan pemerintahan tersebut telah dilakukan dengan ditetapkannya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan diaturnya pembagian urusan pemerintahan termasuk urusan kesehatan dalam lampiran UU tersebut yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari batang tubuh UU 23/2014, maka diharapkan mampu memperkecil kemungkinan terjadinya tumpang tindih kewenangan antar tingkatan pemerintahan khususnya antara pusat dengan daerah dan antara provinsi dengan kabupaten/kota.

Ada 4 (empat) bidang yang diatur dalam pembagian urusan pemerintahan di bidang kesehatan yaitu:

a. Upaya kesehatanb. Sumber daya manusia kesehatanc. Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan minumand. Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan

Page 12: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Overview Situasi • 54 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Kementerian Kesehatan mengenai standarisasinya. Ketika ada pihak swasta yang ingin berinvestasi untuk mendirikan RS maka pemerintah daerah dapat mengacu pada NSPK tersebut, apakah bisa diberikan izin atau tidak. Akan tetapi jika tidak ada pihak swasta yang berminat untuk berinvestasi mendirikan RS maka penyediaannya menjadi tanggung jawab tingkatan pemerintahan sesuai dengan kewenangannya.

1.2. KONDISI URUSAN KESEHATAN

Adanya pembagian urusan bidang kesehatan yang jelas wajib diikuti dengan pembentukan kelembagaan yang mengakomodasikan urusan tersebut kedalam struktur organisasi baik di tingkat pusat maupun daerah yang disertai dengan kejelasan hubungan antar kelembagaan di pusat, hubungan kelembagaan pusat dengan kelembagaan di daerah provinsi dan kabupaten/kota serta bagaimana hubungan antara Dinas Kesehatan Provinsi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota khususnya dalam pelaksanaan urusan kesehatan secara keseluruhan.

Di tingkat pusat, selain Kementerian Kesehatan terdapat pula beberapa kementerian/lembaga yang turut serta dalam penyelenggaraan urusan kesehatan seperti: BPOM terkait pengawasan obat dan makanan, BPJS terkait penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional, BKKBN terkait pengendalian penduduk dan keluarga berencana, Kementerian PANRB dan BKN terkait tenaga kesehatan dan non tenaga kesehatan, Kementerian Ristek dan Dikti terkait pelaksanaan pendidikan bagi tenaga kesehatan, Kementerian PUPR terkait lingkungan hidup, Kementerian Perdagangan terkait impor obat-obatan dan alat kesehatan dari luar negeri, dan Kementerian Dalam Negeri sebagai koordinator penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hubungan dan tata kerja antar kementerian/lembaga tersebut harus diatur dalam Peraturan Presiden sehingga jelas tanggung jawab masing-masing kementerian/lembaga terkait dan tidak boleh terjadi kekosongan maupun tumpang-tindih dalam pelaksanaan tugas urusan kesehatan. Sebagai contoh adalah Kemenristekdikti dengan Kementerian Kesehatan harus meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dalam hal pendidikan SDM kesehatan yang merupakan kewenangan Kemenristekdikti dan kompetensi yang harus dimiliki oleh sumber daya manusia kesehatan yang merupakan kewenangan Kementerian Kesehatan.

Selanjutnya adalah terkait hubungan kelembagaan antara Kementerian Kesehatan dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Hubungan tersebut dapat dirujuk berdasarkan struktur organisasi Kementerian Kesehatan dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Struktur organisasi Kementerian Kesehatan telah diatur dalam Perpres 35/2015 tentang Kementerian Kesehatan dan Permenkes 64/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Untuk lebih jelasnya berikut adalah gambar struktur organisasi Kementerian Kesehatan:

Gambar 1. Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan

Menteri Kesehatan

Staf Ahli

Sekretariat Jenderal

BiroPerencanaan

dan Anggaran

BiroKeuangan

dan Barang

MilikNegara

BiroHukum

danOrganisasi

BiroKepegawaian

BiroKerjaSamaLuar

Negeri

BiroKomunikasi

danPelayanan

Masyarakat

BiroUmum

Direktorat JenderalPelayanan Kesehatan

Direktorat JenderalKefarmasian danAlat Kesehatan

SekretariatDitjen

Direktorat

SekretariatJenderal

Pusat

PusatKesehatan

Haji

Pusat Krisis

Kesehatan

PusatPembiayaandan Jaminan

Kesehatan

PusatAnalisis

DeterminanKesehatan

Pusat Data dan

Informasi

Pusat

Badan Pengembangan dan

Pemberdayaan SDM

Kesehatan

Badan Penelitian

dan Pengembangan

Kesehatan

SekretariatDitjen

SekretariatDitjen

SekretariatDitjen

DirektoratDirektoratDirektorat

Inspektorat

SekretariatJenderal

Direktorat JenderalPencegahan dan

Pengendalian Penyakit

Direktorat Jenderal

KesehatanMasyarakat

SekretariatJenderal

InspektoratJenderal

Sumber: Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan dan Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan

Selanjutnya untuk struktur organisasi Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota bahwa Dinas Kesehatan Provinsi maupun Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) tipe yakni:

a. Tipe A untuk mewadahi pelaksanaan tugas dengan beban kerja yang besarb. Tipe B untuk mewadahi pelaksanaan tugas dengan beban kerja yang sedangc. Tipe C untuk mewadahi pelaksanaan tugas dengan beban kerja yang kecil

Untuk lebih jelasnya terkait ketiga tipe struktur organisasi tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Page 13: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Overview Situasi • 76 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Gambar 2. Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Tipe A

DinasKesehatan

Sekretariat

SubbagianKeuangan

danPengelolaan

Aset

SubbagianHukum,

Kepegawaian,dan Umum

SubbagianProgramInformasi

danHumas

BidangPencegahan

danPengendalian

Penyakit

BidangKesehatanMasyarakat

SeksiKesehatan

Keluarga danGizi

Seksi Promosidan

PemberdayaanMasyarakat

SeksiKesehatan

LingkunganKesehatanKerja, danOlahraga

SeksiSurveilans

danImunisasi

Seksi Pencegahan

dan Pengendalian

PenyakitMenular

SeksiPencegahan

danPengendalian

PenyakitTidak

Menular

KelompokJabatan

Fungsional

UPTDinas

SeksiPelayananKesehatanTradisional

SeksiPelayananKesehatanRujukan

SeksiPelayananKesehatan

Primer

SeksiKefarmasian

Seksi AlatKesehatandan PKRT

Seksi SDMKesehatan

BidangPelayananKesehatan

BidangSDM

Kesehatan

Sumber: Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan dan Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan

Gambar 3. Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Tipe B

DinasKesehatan

Sekretariat

BidangKesehatanMasyarakat

Seksi KesehatanKeluarga dan

Gizi

Seksi Promosi danPemberdayaan

Masyarakat

SeksiKesehatan

Lingkungan,KesehatanKerja, danOlahraga

BidangPencegahan

danPengendalian

Penyakit

SeksiSurveilans

danImunisasi

SeksiPencegahan

danPengendalian

PenyakitMenular

SeksiPencegahan

danPengendalianPenyakit Tidak

Menular

KelompokJabatan

Fungsional

SubbagianProgramInformasi

dan Humas

SubbagianHukum

Kepegawaian,dan Umum

BidangPelayanan danSumber Daya

Kesehatan

SeksiPelayanankesehatan

SeksiKefarmasian,

Alkes, danPKRT

Seksi SumberDaya Manusia

Kesehatan

UPTDinas

Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian

Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota

Page 14: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Overview Situasi • 98 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Gambar 4. Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Tipe C

Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian

Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota

Ada beberapa permasalahan yang perlu mendapat perhatian terkait dengan organisasi pelaksana urusan kesehatan sebagaimana terurai berikut ini.

Pertama, masalah hubungan antara struktur organisasi di pusat (Kementerian Kesehatan) dengan struktur organisasi di daerah (Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota). UUD 1945 pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Pengaturan tersebut memberi penafsiran bahwa tanggung jawab akhir pelaksanaan urusan pemerintahan secara keseluruhan menjadi tanggung jawab Presiden. Konsekuensinya adalah Presiden melalui Menteri Kesehatan dapat mengatur daerah sesuai dengan kewenangannya, termasuk

mengatur hubungan antara Kementerian Kesehatan dengan Dinas Kesehatan Daerah. Pengaturan tersebut yang kemudian harus dituangkan dalam NSPK yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan. Dalam NSPK tersebut harus mengatur hubungan antara Dinas Kesehatan daerah Tipe A, Dinas Kesehatan daerah Tipe B atau Dinas Kesehatan daerah Tipe C dengan komponen-komponen Direktorat jenderal di Kementerian Kesehatan. Walaupun struktur Kementerian Kesehatan sudah ada (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota) namun belum diatur secara jelas bagaimana hubungan kelembagaan antara Kementerian Kesehatan dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Hal ini untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan pembinaan dan pengawasan teknis kesehatan sehingga menjadi lebih fokus dan tidak hanya bertumpu di tangan Kepala Dinas. Dengan cara tersebut maka akan terjadi pemerataan beban kerja dan pendalaman atas beban kerja pada masing-masing bidang di tingkat Dinas Kesehatan daerah dengan komponen pembina dan pengawas yang jelas di tingkat komponen Kementerian Kesehatan.

Kedua, masalah hubungan antara Dinas Kesehatan Provinsi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Walaupun otonomi daerah provinsi dan otonomi daerah kabupaten/kota tidak bersifat hierarkis, namun terdapat hubungan interelasi dan interdependensi diantara keduanya. Hal ini didasarkan atas adanya hubungan antara urusan kesehatan yang menjadi tanggung jawab provinsi dengan urusan kesehatan yang menjadi tanggung jawab kabupaten/kota.

Ketiga, hubungan antara Dinas Kesehatan dengan unit pelayanan kesehatan milik daerah. Dinas Kesehatan adalah penanggung jawab urusan kesehatan yang diotonomikan ke daerah. Sedangkan unit pelayanan kesehatan seperti RSUD dan puskesmas merupakan unit yang menangani langsung pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Untuk itu seyogyanya Dinas Kesehatan bertanggung jawab atas urusan manajerial dan administratif kesehatan baik yang menyangkut unsur manajemen seperti: SDM, keuangan, sarana dan prasarana dan penyusunan SOP kesehatan. Selain itu, Dinas Kesehatan daerah juga bertanggung jawab terhadap proses manajemen urusan kesehatan seperti perencanaan, pengorganisasian, penganggaran, pengawasan dan pelaporannya. Sedangkan unit pelayanan kesehatan akan fokus pada peningkatan upaya pelayanan kesehatan secara profesional sesuai dengan kewenangannya.

Keempat, hubungan antara Dinas Kesehatan dengan Unit pelayanan kesehatan milik swasta. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memetakan berapa unit pelayanan kesehatan yang diperlukan dalam suatu daerah yang dapat didasarkan atas jumlah penduduk dan karakteristik geografis wilayah. Pada tingkat provinsi, perlu diidentifikasi berapa jumlah kebutuhan Rumah Sakit Kelas B, sedangkan pada tingkat kabupaten/kota perlu diidentifikasi berupa jumlah kebutuhan Rumah Sakit Kelas C, Rumah Sakit Kelas D dan puskesmas. Dari hasil pemetaan tersebut akan terdeteksi berapa unit pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Pemerintah daerah fokus pada penyediaan unit pelayanan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin. Sedangkan penyediaan unit pelayanan kesehatan untuk orang mampu secara keuangan dapat diarahkan kepada swasta sesuai mekanisme pasar. Dengan mengetahui jumlah unit pelayanan yang seharusnya ada, dan dikurangi dengan jumlah unit yang disediakan oleh pemerintah daerah maka akan diketahui tingkat kekurangan yang dapat diisi oleh pihak swasta. Peran pemerintah daerah adalah mengeluarkan perijinan sesuai dengan NSPK dan kewenangannya.

Page 15: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Overview Situasi • 1110 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Kelima, ketidaksesuaian ukuran antara struktur organisasi dengan beban kerja. Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa struktur organisasi Tipe A adalah untuk mewadahi beban kerja yang besar, Tipe B adalah untuk mewadahi beban kerja yang sedang, dan Tipe C adalah untuk mewadahi beban kerja yang kecil. Ketidaksesuaian dapat terjadi karena Dinas Kesehatan tidak secara tepat mengidentifikasi beban kerja yang menjadi tugasnya, terlebih lagi NSPK penyelenggaraan urusan kesehatan belum dipenuhi secara keseluruhan. Ketepatan Dinas Kesehatan dalam mengidentifikasi beban kerja sangat berpengaruh terhadap pembentukan struktur organisasi yang ideal karena pada prinsipnya struktur organisasi didasarkan atas beban kerja yang menjadi tugasnya.

Keenam, hubungan kelembagaan antara Kementerian Kesehatan dengan BPJS dan Kementerian/Lembaga Sektor terkait. Berdasarkan konstitusi, Undang-Undang Kementerian Negara dan Undang-Undang Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial diketahui bahwa Kementerian Negara yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kesehatan adalah Kementerian Kesehatan, sedangkan BPJS maupun Kementerian/Lembaga terkait hanya bersifat penajaman atau pendukung/penunjang penyelenggaraan urusan kesehatan. Oleh karena itu, seharunya Kementerian Kesehatan berperan sebagai leading sector dalam penyelenggaraan urusan kesehatan, sedangkan BPJS maupun Kementerian/Lembaga terkait dalam menyelenggaraan tugas yang berkaitan dengan urusan kesehatan harus berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan.

1.3. KONDISI SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) KESEHATAN

Isu utama dalam hal SDM kesehatan adalah tersedianya SDM dalam jumlah, kualifikasi dan kompetensi yang mencukupi dalam melaksanakan urusan kesehatan. Dalam konteks desentralisasi kesehatan, pemerintah daerah harus menghitung berapa jumlah SDM kesehatan yang dibutuhkan sesuai dengan kewenangan kesehatan yang diserahkan kepadanya. Untuk mengetahui jumlah dan kompetensi SDM yang dibutuhkan maka harus ada NSPK dari Kementerian Kesehatan yang mengatur mengenai tingkat kebutuhan SDM yang dibutuhkan, baik untuk Dinas Kesehatan sesuai tipenya maupun oleh unit pelayanan kesehatan yang menjadi tanggung jawab masing-masing tingkatan pemerintahan. Pemetaan ini menjadi bahan bagi daerah untuk meminta formasi kepegawaian SDM kesehatan kepada Kementerian PANRB.

Untuk tingkat provinsi ditentukan standar kebutuhan SDM baik jumlah, kualifikasi maupun kompetensinya pada Dinas Kesehatan tipe A, tipe B atau tipe C beserta unit pelayanan RUSD kelas B yang menjadi kewenangannya. Demikian juga untuk tingkat kabupaten/kota harus ditetapkan standar SDMnya untuk Dinas Kesehatan tipe A, tipe B atau tipe C beserta unit pelayanan kesehatan baik untuk RSUD kelas C atau kelas D maupun puskesmas. Dengan demikian setiap Dinas Kesehatan Provinsi maupun kabupaten/kota dapat mengetahui secara pasti berupa kelebihan maupun kekurangan SDM yang dimilikinya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 diketahui bahwa SDM kesehatan untuk Rumah Sakit Kelas A terdiri atas:

1. Tenaga medis yang paling sedikit terdiri dari:a. 18 (delapan belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasarb. 4 (empat) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulutc. 6 (enam) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasard. 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjange. 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lainf. 2 (dua) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialisg. 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut

2. Tenaga kefarmasian yang paling sedikit terdiri dari:a. 1 (satu) apoteker sebagai kepala instalasi farmasi rumah sakitb. 5 (lima) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 10

(sepuluh) tenaga teknis kefarmasianc. 5 (lima) apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 10 (sepuluh) tenaga

teknis kefarmasiand. 1 (satu) apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2 (dua)

tenaga teknis kefarmasiane. 1 (satu) apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) tenaga teknis

kefarmasianf. 1 (satu) apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat

merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian rumah sakit

g. 1 (satu) apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian rumah sakit

3. Tenaga keperawatan yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah tempat tidur pada instalasi rawat inap

4. Tenaga kesehatan lain dan non kesehatan yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan rumah sakit

Sedangkan untuk SDM kesehatan Rumah Sakit Kelas B terdiri atas:1. Tenaga medis yang paling sedikit terdiri dari:

a. 12 (dua belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasarb. 3 (tiga) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut c. 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasard. 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjange. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lainf. 1 (satu) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialisg. 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut

2. Tenaga kefarmasian yang paling sedikit terdiri dari:a. 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi rumah sakitb. 4 (empat) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 8

(delapan) orang tenaga teknis kefarmasian

Page 16: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Overview Situasi • 1312 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

c. 4 (empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian

d. 1 (satu) orang apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian

e. 1 (satu) orang apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian

f. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian rumah sakit

g. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian rumah sakit

3. Tenaga keperawatan yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah tempat tidur pada instalasi rawat inap

4. Tenaga kesehatan lain dan non kesehatan yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan rumah sakit

Selanjutnya untuk SDM kesehatan Rumah Sakit Kelas C terdiri atas:1. Tenaga medis yang paling sedikit terdiri dari:

a. 9 (sembilan) dokter umum untuk pelayanan medik dasarb. 2 (dua) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulutc. 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasard. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjange. 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut

2. Tenaga kefarmasian yang paling sedikit terdiri dari:a. 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi rumah sakitb. 2 (dua) apoteker yang bertugas di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 4

(empat) orang tenaga teknis kefarmasianc. 4 (empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8 (delapan)

orang tenaga teknis kefarmasiand. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan produksi

yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian rumah sakit

3. Tenaga keperawatan yang jumlahnya dihitung berdasarkan perbandingan 2 (dua) perawat untuk 3 (tiga) tempat tidur

4. Tenaga kesehatan lain dan non kesehatan yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan rumah sakit

dan terakhir untuk SDM kesehatan Rumah Sakit Kelas D terdiri atas:1. Tenaga medis yang paling sedikit terdiri dari:

a. 4 (empat) dokter umum untuk pelayanan medik dasarb. 1 (satu) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulutc. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar

2. Tenaga kefarmasian yang paling sedikit terdiri dari:a. 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi rumah sakitb. 1 (satu) apoteker yang bertugas di rawat inap dan rawat jalan yang dibantu oleh

paling sedikit 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasianc. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan produksi

yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian rumah sakit

3. Tenaga keperawatan yang jumlahnya dihitung berdasarkan perbandingan 2 (dua) perawat untuk 3 (tiga) tempat tidur

4. Tenaga kesehatan lain dan non kesehatan yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan rumah sakit

Sedangkan untuk SDM kesehatan di puskesmas sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas paling sedikit terdiri atas:

1. Dokter atau Dokter layanan primer2. Dokter gigi3. Perawat4. Bidan5. Tenaga kesehatan masyarakat6. Tenaga kesehatan lingkungan7. Ahli teknologi laboratorium medik8. Tenaga gizi9. Tenaga kefarmasian

Berikut ini adalah gambaran kondisi SDM kesehatan pada Rumah Sakit dan puskesmas pada tahun 2017 sebagaimana yang ditampilkan pada tabel dan grafik berikut:

Page 17: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Overview Situasi • 1514 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Tab

el 3

. Ko

nd

isi S

DM

Kes

ehat

an d

i Dae

rah

Pro

vin

si Ta

hu

n 2

017

NO

PR

OV

INS

I

DOKTER SPESIALIS

DOKTER UMUM

DOKTER GIGI SPESIALIS

DOKTER GIGI

TENAGA PSIKOLOGI KLINIS

TENAGA KEPERAWATAN

TENAGA KEBIDANAN

TENAGA KEFARMASIAN

TENAGA KESEHATAN MASYARAKAT

TENAGA KESEHATAN LINGKUNGAN

TENAGA GIZI

TENAGA KETERAPIAN FISIK

TENAGA KETEKNISIAN MEDIS

TENGA TEKNIK BIOMEDIKA

TENAGA KESEHATAN TRADISIONAL

JUMLAH

TENAGA PENUNJANG KESEHATAN

TOTAL SDM KESEHATAN

1A

CE

H13

6717

1524

353

5312

369

1172

313

1519

9897

662

839

594

314

646

3532

979

7843

307

2S

UM

UT

3870

2940

4182

925

1558

216

241

1659

1576

649

1026

222

864

1339

846

871

1101

557

886

3S

UM

BA

R11

7810

6318

393

2378

0758

4811

7343

438

660

616

611

5711

640

2141

668

9128

307

4R

IAU

1375

1387

3838

834

8246

6323

1129

551

269

432

197

584

958

121

912

7576

2948

8

5JA

MB

I56

974

47

195

1169

8043

4481

339

039

134

910

451

177

40

1618

247

5220

934

6S

UM

SE

L15

4812

9919

272

4612

589

1071

214

9314

9769

764

522

997

611

8713

3322

210

065

4328

7

7B

EN

GK

ULU

217

447

911

46

4211

3466

486

916

166

384

3114

247

31

1106

931

0214

171

8LA

MP

UN

G83

912

2018

215

1282

5276

9575

982

649

137

510

953

492

12

2226

874

8529

753

9B

AB

EL

240

396

586

930

2411

7136

119

912

516

460

226

344

164

1131

5395

64

10K

EP

RI

457

464

1612

08

3286

1549

350

132

125

142

4718

933

60

7221

3360

1058

1

11JA

KA

RTA

7084

4283

447

1076

5325

819

5052

5239

598

483

1228

736

2006

3478

057

582

2904

186

623

12JA

BA

R85

6955

3941

017

9069

3785

520

519

5305

1949

1239

1709

720

3095

4182

2192

971

3737

213

0343

13JA

TE

NG

6035

4692

171

1132

111

3922

520

201

5606

1290

1403

2016

1018

3278

4857

591

040

3631

112

7351

14YO

GYA

KA

RTA

1710

1239

173

387

6381

5919

6417

7726

927

956

028

496

212

840

1911

081

3727

247

15JA

TIM

6706

4822

194

1544

688

3961

420

509

5368

1326

1274

2236

631

2256

4219

4091

427

4316

513

4592

16B

AN

TE

N26

3516

5411

155

730

9140

5170

1384

599

243

413

297

602

1044

023

879

9970

3384

9

17B

ALI

1518

1314

3340

713

8455

4466

902

363

451

502

9555

998

30

2006

197

2829

789

18N

TB

560

708

1613

312

6199

3741

623

421

490

601

7150

473

40

1481

353

9820

211

19N

TT40

670

61

182

868

3144

7577

570

265

360

110

861

078

53

1684

655

7122

417

20K

ALB

AR

580

780

2315

413

7690

3778

959

485

428

548

107

653

822

017

020

6283

2330

3

21K

ALT

EN

G25

446

314

978

5577

2910

520

354

213

408

5836

551

71

1175

937

5615

515

22K

ALS

EL

915

910

1825

424

7352

5226

975

514

539

840

7265

387

60

1916

858

9225

060

23K

ALT

IM88

510

5649

297

780

4932

9410

6833

927

736

212

835

083

80

1699

981

7525

174

24K

ALT

AR

A91

270

756

419

4393

424

323

897

128

2063

171

042

6515

2357

88

25S

ULU

T78

087

96

998

6034

1518

546

335

437

379

112

342

157

011

632

3559

1519

1

26S

ULT

EN

G40

949

05

129

2468

8743

8881

111

4850

933

173

220

337

115

762

4296

2005

8

27S

ULS

EL

2191

1517

4670

812

1303

367

4615

9115

5686

399

728

011

0214

259

3207

677

3139

807

28S

ULT

RA

274

398

517

78

5563

4391

735

1141

465

679

5529

247

40

1465

733

2417

981

29G

OR

ON

TALO

176

324

550

019

5312

2624

841

919

133

919

105

154

052

0922

7474

83

30S

ULB

AR

105

161

775

020

3316

9122

724

313

617

127

9415

30

5123

1102

6225

31M

ALU

KU

159

240

453

841

2015

0531

842

133

047

930

6318

90

7919

1754

9673

32M

ALU

T14

426

33

442

2181

1757

297

541

124

287

2959

216

259

4914

7274

21

33PA

PU

A B

AR

AT

145

204

337

020

3483

018

517

210

413

513

6416

70

4093

1116

5209

34PA

PU

A32

580

08

987

7184

2747

599

619

456

614

5213

269

287

215

205

4701

1990

6

IND

ON

ES

IA54

316

4538

719

5412

501

1399

3452

7619

8110

4583

924

561

1595

921

314

6595

2455

537

714

986

8364

6630

7028

1143

494

Su

mb

er: D

ata

dan

Info

rmas

i Pro

fil K

eseh

atan

Ind

on

esia

201

7, K

emen

teri

an K

eseh

atan

Ju

ni 2

018

Tab

el 4

. Ko

nd

isi S

DM

Kes

ehat

an d

i Ru

mah

Sak

it M

enu

rut

Pro

vin

si Ta

hu

n 2

017

NO

PR

OV

INS

IDOKTER

SPESIALIS

DOKTER UMUM

DOKTER GIGI SPESIALIS

DOKTER GIGI

TENAGA PSIKOLOGI

KLINIS

PERAWAT

BIDAN

FARMASI

KESEHATAN MASYARAKAT

KESEHATAN LINGKUNGAN

GIZI

KETERAPIAN FISIK

KETEKNISIAN MEDIS

TEKNIK BIOMEDIKA

TENAGA KESEHATAN

TRADISIONAL

JUMLAH

TENAGA PENUNJANG KESEHATAN

TOTAL SDM KESEHATAN

1A

CE

H1.

364

922

2313

145

6.67

02.

537

734

530

277

230

304

514

1.07

00

15.3

514.

408

19.7

59

2S

UM

UT

3.85

11.

575

3429

216

8.31

72.

461

954

280

144

349

202

460

923

019

.858

6.67

226

.530

3S

UM

BA

R1.

176

642

1712

021

5.16

896

672

783

100

279

150

658

783

010

.890

3.85

314

.743

4R

IAU

1.35

272

537

152

304.

559

1.60

075

916

264

201

179

377

684

110

.882

4.74

215

.624

5JA

MB

I56

738

27

5711

4.23

01.

023

475

6697

175

9925

748

40

7.93

02.

662

10.5

92

6S

UM

SE

L1.

536

774

1913

738

6.25

42.

059

897

207

147

291

201

596

836

1314

.005

6.26

420

.269

7B

EN

GK

ULU

217

222

841

32.

218

739

298

266

4122

030

9930

90

4.71

11.

484

6.19

5

8LA

MP

UN

G83

260

916

8011

4.12

01.

273

426

177

133

149

107

254

613

08.

800

4.53

013

.330

9B

AB

EL

238

233

530

91.

910

362

233

5035

7958

136

234

03.

612

1.86

55.

477

10K

EP

RI

454

222

1549

82.

237

552

240

3947

5845

162

256

04.

384

1.98

36.

367

11JA

KA

RTA

7.08

32.

740

447

587

5323

.908

3.23

64.

540

512

227

979

729

1.74

33.

211

049

.995

24.8

0774

.802

12JA

BA

R8.

556

3.44

839

992

060

27.0

485.

200

4.00

752

628

887

770

42.

099

3.34

50

57.4

7727

.829

85.3

06

13JA

TE

NG

5.99

72.

984

162

471

107

30.6

715.

647

4.03

728

044

91.

136

901

2.23

23.

672

258

.748

25.1

4283

.890

14YO

GYA

KA

RTA

1.69

379

715

917

822

7.06

695

91.

058

5912

137

224

865

796

20

14.3

515.

556

19.9

07

15JA

TIM

6.68

72.

983

180

547

674

26.3

735.

615

4.22

529

146

51.

276

580

1.53

43.

233

2554

.688

30.6

7085

.358

16B

AN

TE

N2.

631

1.07

211

025

829

7.06

31.

544

1.17

633

678

252

286

444

918

016

.197

7.18

523

.382

17B

ALI

1.51

685

432

121

136.

834

2.04

870

813

212

331

690

325

833

013

.945

7.03

520

.980

18N

TB

520

380

1630

122.

732

645

336

134

5114

967

240

408

05.

720

2.75

38.

473

19N

TT39

935

71

518

2.43

574

232

472

103

126

8928

740

20

5.39

63.

315

8.71

1

20K

ALB

AR

579

443

2270

124.

214

875

640

6991

184

102

247

527

08.

075

3.96

312

.038

21K

ALT

EN

G24

522

78

368

2.54

065

130

536

3613

556

167

365

04.

815

2.38

37.

198

22K

ALS

EL

914

407

1582

234.

072

983

456

8414

523

364

240

507

08.

225

3.59

711

.822

23K

ALT

IM88

155

548

926

5.42

897

468

224

5415

312

321

255

00

9.78

24.

899

14.6

81

24K

ALT

AR

A91

136

712

387

620

695

279

3119

3995

01.

646

773

2.41

9

25S

ULU

T77

038

76

506

3.42

031

627

090

6610

179

9411

10

5.76

62.

182

7.94

8

26S

ULT

EN

G40

728

45

4519

3.77

01.

018

423

282

171

137

7213

522

30

6.99

11.

732

8.72

3

27S

ULS

EL

2.18

784

744

286

118.

231

1.87

095

241

818

838

326

360

71.

024

917

.320

5.15

622

.476

28S

ULT

RA

273

177

548

82.

374

835

341

185

6617

653

160

288

04.

989

1.30

86.

297

29G

OR

ON

TALO

171

196

316

01.

087

310

148

4628

9818

7311

70

2.31

11.

167

3.47

8

30S

ULB

AR

104

647

190

831

448

100

5618

3920

4783

01.

836

378

2.21

4

31M

ALU

KU

155

119

419

71.

661

424

140

106

7513

926

4111

30

3.02

988

63.

915

32M

ALU

T14

013

22

171

1.01

637

514

912

024

7524

4014

30

2.25

857

62.

834

33PA

PU

A B

AR

AT

144

117

317

078

523

391

2419

3412

5398

01.

630

549

2.17

9

34PA

PU

A32

043

88

463

3.13

973

429

912

114

630

048

8435

20

6.03

81.

871

7.90

9

IND

ON

ES

IA54

050

26.4

501.

874

5.10

71.

277

223.

257

49.4

6031

.245

5.89

04.

126

9.73

26.

048

15.3

1327

.772

5046

1.65

120

4.17

566

5.82

6

Su

mb

er: D

ata

dan

Info

rmas

i Pro

fil K

eseh

atan

Ind

on

esia

201

7, K

emen

teri

an K

eseh

atan

Ju

ni 2

018

Page 18: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Overview Situasi • 1716 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Tab

el 5

. Ko

nd

isi S

DM

Kes

ehat

an d

i Pu

skes

mas

Tah

un

201

7

NO

PR

OV

INS

I

JUM

LAH

TE

NA

GA

KE

SE

HA

TAN

TE

NA

GA

P

EN

UN

JAN

G

KE

SE

HA

TAN

TOTA

L S

DM

K

ES

EH

ATA

ND

OK

TE

R

UM

UM

DO

KT

ER

GIG

IP

ER

AW

AT

BID

AN

TE

NA

GA

KE

-FA

RM

AS

IAN

TE

NA

GA

K

ES

EH

ATA

N

MA

SYA

RA

KA

T

TE

NA

GA

K

ES

EH

ATA

N

LIN

G-

KU

NG

AN

TE

NA

GA

G

IZI

AH

LI T

E-

KN

OLO

GI

LAB

OR

ATO

RI-

UM

ME

DIK

JUM

LAH

1A

CE

H74

721

455

7491

0748

110

9062

435

535

418

546

2049

2059

5

2S

UM

UT

1285

530

7062

1369

559

491

540

755

733

125

376

2315

2769

1

3S

UM

BA

R41

327

325

9548

4940

928

225

731

231

597

0515

1811

223

4R

IAU

653

235

3662

4706

361

351

178

229

233

1060

812

8411

892

5JA

MB

I34

813

626

3232

8728

323

624

816

423

475

6877

283

40

6S

UM

SE

L50

813

462

4586

0154

498

749

633

831

618

169

2058

2022

7

7B

EN

GK

ULU

221

7118

8626

5315

744

110

614

312

758

0578

765

92

8LA

MP

UN

G53

612

839

2663

3325

938

831

019

024

212

312

1758

1407

0

9B

AB

EL

150

5310

4678

110

582

7078

8224

4755

330

00

10K

EP

RI

239

6610

3598

810

980

7682

6527

4063

833

78

11JA

KA

RTA

1542

489

1911

1816

693

8625

624

921

572

5735

9310

850

12JA

BA

R19

7983

410

422

1512

211

7410

7081

576

665

232

834

6700

3953

4

13JA

TE

NG

1597

648

8334

1439

110

6968

382

382

985

629

230

7919

3714

9

14YO

GYA

KA

RTA

351

151

928

938

217

148

136

175

197

3241

1760

5001

15JA

TIM

1791

955

1312

214

391

1070

742

745

902

854

3498

993

1144

300

16B

AN

TE

N45

925

519

8334

3218

422

314

314

710

169

2713

7583

02

17B

ALI

453

286

1580

2372

172

141

259

164

126

5553

1534

7087

18N

TB

302

100

3387

3035

256

207

374

431

249

8341

1477

9818

19N

TT33

712

942

9236

9038

145

148

444

934

810

561

1276

1183

7

20K

ALB

AR

322

7934

1328

7328

927

730

634

025

981

5811

0992

67

21K

ALT

EN

G23

056

2956

2241

184

176

145

252

130

6370

558

6928

22K

ALS

EL

496

170

3258

4221

495

329

378

597

340

1028

415

5211

836

23K

ALT

IM48

419

825

0522

5437

628

721

520

523

467

5819

4787

05

24K

ALT

AR

A11

841

1034

710

136

122

8087

6323

9138

627

87

25S

ULU

T42

945

2235

1136

194

160

306

251

3747

9340

852

01

26S

ULT

EN

G20

183

3044

3333

330

663

295

175

8982

1313

3495

47

27S

ULS

EL

666

419

4732

4837

556

800

562

568

376

1351

612

3314

749

28S

ULT

RA

214

128

3038

3482

315

654

322

445

133

8731

835

9566

29G

OR

ON

TALO

120

3482

589

187

294

137

224

3026

4269

033

32

30S

ULB

AR

9556

1154

1231

123

146

9912

669

3099

345

3444

31M

ALU

KU

107

3322

6010

3512

117

719

728

846

4264

400

4664

32M

ALU

T12

727

1120

1365

117

312

8719

667

3418

394

3812

33PA

PU

A B

AR

AT

8319

1234

587

7810

975

9668

2349

152

2501

34PA

PU

A35

152

3819

1934

236

349

256

287

286

7570

1217

8787

IND

ON

ES

IA17

954

7127

1182

4914

6734

1215

513

458

1026

710

697

8124

3447

6561

247

4060

12

Su

mb

er: D

ata

dan

Info

rmas

i Pro

fil K

eseh

atan

Ind

on

esia

201

7, K

emen

teri

an K

eseh

atan

Ju

ni 2

018

Gambar 5. Proporsi Puskesmas Tanpa Dokter berdasarkan Provinsi (%) Tahun 2017

Sumber: Risnakes 2017, N=9699

Gambar 6. Perbandingan Proporsi Puskesmas Tanpa Dokter (%) berdasarkan Rifakes 2011 dan Risnakes 2017

Sumber: Litbang Kemenkes, 2018

Page 19: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Overview Situasi • 1918 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Gambar 7. Rasio Dokter per Puskesmas Tahun 2017

Sumber: Risnakes 2017, N=9699

Berdasarkan data tersebut, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat melalui Dinas Kesehatan Provinsi dapat merencanakan pemerataan penyebaran tenaga kesehatan di wilayah provinsi yang bersangkutan. Kalaupun masih terjadi kekurangan, maka dalam kondisi moratorium dapat dilakukan outsourcing secara selektif dan prudent untuk menghindari terjadinya over staffed. Disamping itu dirasa perlu adanya penetapan kebijakan dari pemerintah pusat untuk melarang tenaga kesehatan untuk beralih ke jabatan-jabatan lainnya yang non kesehatan di lingkungan pemerintah daerah.

1.4. KONDISI PENDANAAN KESEHATAN

Dalam konteks desentralisasi kesehatan, pendanaan kesehatan sangat tergantung kepada beban kerja yang diserahkan kepada daerah. Beban kerja akan sangat tergantung kepada urusan kesehatan yang diserahkan ke daerah. Hal ini dapat dilihat dari lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Isu terpenting adalah bagaimana penjabaran dari setiap urusan tersebut kedalam NSPK yang lebih rinci. Untuk sub urusan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) memerlukan penjabaran yang lebih rinci mana yang menjadi tanggung jawab pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Demikian juga dalam hal penyediaan obat, apakah semua jenis obat menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, ataukah ada jenis obat lainnya yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. hal yang sama juga terkait dengan pemberdayaan masyarakat, bagaimana terjemahannya, mana yang menjadi kewenangan Pusat dan mana yang menjadi kewenangan Daerah. demikian juga dengan rincian hak dan kewajiban puskesmas, RSUD kelas B, RSUD kelas C dan RSUD kelas D yang harus jelas. Dengan adanya kejelasan mengenai isu-isu di atas maka akan membantu daerah dalam penyediaan dananya (pembiayaan).

Adanya NSPK yang mengatur isu-isu di atas sangat diperlukan oleh daerah untuk dijadikan pedoman dalam penganggaran dana kesehatan dalam APBD. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah menetapkan bahwa alokasi APBD untuk pembiayaan kesehatan minimal sebesar 10% di luar gaji sebagaimana yang tertuang dalam pasal 171 ayat (2) yang berbunyi: “Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji”. Grafik berikut ini menunjukkan daerah mana saja yang sudah mengganggarkan 10% dari APBDnya dan daerah mana yang belum mengganggarkan 10% dari APBDnya.

Gambar 8. Alokasi (%) APBD Provinsi untuk Kesehatan Tahun Anggaran 2017

Sumber: Perda APBD, Ditjen Bina Keuda kemendagri Tahun 2018

Berdasarkan data dari Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri tahun 2018 diketahui bahwa rata-rata alokasi anggaran kesehatan pada tingkat provinsi adalah sebesar 9,17% (sembilan koma tujuh belas persen). Adapun provinsi yang belum menganggarkan 10% (sepuluh persen) dari APBDnya yakni: Lampung, Kepulauan Riau, Papua, Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, Banten, Sumatera Utara, DI Yogyakarta, Papua Barat dan Jawa Barat.

Rata-rata : 9,17%

UU No.36/2019

Page 20: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Overview Situasi • 2120 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Gambar 9. Persentase (%) Alokasi APBD Kabupaten/Kota dalam Provinsi untuk Kesehatan Tahun Anggaran 2017

Sumber: Perda APBD, Ditjen Bina Keuda kemendagri Tahun 2018

Sementara itu, rata-rata alokasi anggaran kesehatan pada tingkat kabupaten/kota dalam 1 (satu) wilayah provinsi adalah 13,77% (tiga belas koma tujuh puluh tujuh persen) (Kemendagri, 2018). Data pengalokasian anggaran di atas didalamnya termasuk gaji pegawai, oleh karena itu perlu adanya pengurangan gaji pegawai terlebih dahulu untuk mendapatkan ketepatan anggaran yang dialokasikan untuk urusan kesehatan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU 36/2009.

Selanjutnya, untuk mengetahui kapasitas fiskal daerah berikut ini adalah tabel yang menunjukkan kapasitas APBD per kapita pada daerah provinsi:

Rata-rata : 13,77%

UU No.36/2019

Tabel 6. APBD per Kapita Provinsi

NO PROVINSI APBDJUMLAH

PENDUDUKAPBD PER KAPITA

1 ACEH 13,005,649,000,000 5,189,466 2,506,163

2 SUMUT 7,823,455,000,000 14,262,147 548,547

3 SUMBAR 3,876,115,000,000 5,321,489 728,389

4 RIAU 9,583,497,000,000 6,657,911 1,439,415

5 JAMBI 3,679,159,000,000 3,515,017 1,046,697

6 SUMSEL 6,247,547,000,000 8,266,983 755,723

7 BENGKULU 2,196,415,000,000 1,934,269 1,135,527

8 LAMPUNG 4,567,673,000,000 8,289,577 551,014

9 BABEL 1,921,560,000,000 1,430,865 1,342,936

10 KEPRI 3,457,710,000,000 2,082,694 1,660,210

11 JAKARTA 51,418,296,000,000 10,374,235 4,956,346

12 JABAR 25,897,425,000,000 48,037,827 539,105

13 JATENG 16,846,898,000,000 34,257,865 491,767

14 YOGYAKARTA 22,619,271,000,000 3,762,167 6,012,298

15 JATIM 8,138,238,000,000 39,292,972 207,117

16 BANTEN 5,617,388,000,000 12,448,160 451,263

17 BALI 5,617,388,000,000 4,246,528 1,322,819

18 NTB 2,803,255,000,000 4,955,578 565,677

19 NTT 3,022,694,000,000 5,287,302 571,689

20 KALBAR 3,847,515,000,000 4,932,499 780,034

21 KALTENG 3,516,415,000,000 2,605,274 1,349,729

22 KALSEL 5,656,560,000,000 4,119,794 1,373,020

23 KALTIM 12,336,184,000,000 3,575,449 3,450,248

24 KALTARA 1,826,814,000,000 691,058 2,643,503

25 SULUT 2,570,193,000,000 2,461,028 1,044,357

26 SULTENG 2,588,136,000,000 2,966,325 872,506

27 SULSEL 5,842,842,000,000 8,690,294 672,341

28 SULTRA 2,520,564,000,000 2,602,389 968,558

29 GORONTALO 1,301,492,000,000 1,168,190 1,114,110

30 SULBAR 1,369,497,000,000 1,330,961 1,028,954

31 MALUKU 1,912,550,000,000 1,744,654 1,096,235

32 MALUT 1,532,720,000,000 1,209,342 1,267,400

33 PAPUA BARAT 7,096,757,000,000 915,361 7,752,960

34 PAPUA 11,543,022,000,000 3,265,202 3,535,163

RATA-RATA 261,712,905,000,000 261,890,872 999,320

Sumber: Diolah berdasarkan data BPS dan Data dan Informasi Profil Kesehatan 2017

Berdasarkan data kapasitas APBD per kapita pada daerah provinsi di atas terlihat bahwa rata-rata APBD per kapita secara nasional adalah Rp 999.320.

Page 21: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Overview Situasi • 2322 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

1.5. KONDISI PELAKSANAAN SPM KESEHATAN

Salah satu indikator utama terlaksananya urusan kesehatan yang menjadi kewenangan Daerah adalah tingkat pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan. Esensi SPM adalah pelayanan minimal bidang kesehatan yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah sehingga masyarakat terpenuhi kebutuhan minimalnya. Pada tanggal 4 Januari 2018, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, yang didalamnya mengatur pula tentang SPM Kesehatan, yang mencakup SPM kesehatan daerah provinsi dan SPM kesehatan daerah kabupaten/kota.

Jenis pelayanan dasar pada SPM kesehatan daerah provinsi terdiri atas:a. Pelayanan kesehatan bagi penduduk terdampak krisis kesehatan akibat bencana dan/

atau berpotensi bencana provinsib. Pelayanan kesehatan bagi penduduk pada kondisi kejadian luar biasa provinsi

Sedangkan jenis pelayanan dasar pada SPM kesehatan daerah kabupaten/kota terdiri atas:a. Pelayanan kesehatan ibu hamilb. Pelayanan kesehatan ibu bersalinc. Pelayanan kesehatan bayi baru lahird. Pelayanan kesehatan balitae. Pelayanan kesehatan pada usia pendidikan dasarf. Pelayanan kesehatan pada usia produktifg. Pelayanan kesehatan pada usia lanjuth. Pelayanan kesehatan penderita hipertensii. Pelayanan kesehatan penderita diabetes mellitusj. Pelayanan kesehatan orang dengan gangguan jiwa beratk. Pelayanan kesehatan orang terduga tuberculosisl. Pelayanan kesehatan orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan daya tahan

tubuh manusia (Human Immunodeficiency Virus), yang bersifat peningkatan/promotif dan pencegahan/preventif

Adapun penerima pelayanan dasar untuk setiap jenis pelayanan dasar yakni seluruh warga negara dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Penduduk terdampak krisis kesehatan akibat bencana dan/atau berpotensi bencana provinsi untuk jenis pelayanan dasar pelayanan kesehatan bagi penduduk terdampak krisis kesehatan akibat bencana dan/atau berpotensi bencana provinsi

b. Penduduk pada kondisi kejadian luar biasa provinsi untuk jenis pelayanan dasar pelayanan kesehatan bagi penduduk pada kondisi kejadian luar biasa provinsi

c. Ibu hamil untuk jenis pelayanan dasar pelayanan kesehatan ibu hamild. Ibu bersalin untuk jenis pelayanan dasar pelayanan kesehatan ibu bersaline. Bayi baru lahir untuk jenis pelayanan dasar pelayanan kesehatan bayi baru lahirf. Balita untuk kjenis pelayanan dasar pelayanan kesehatan balitag. Usia pendidikan dasar untuk jenis pelayanan dasar pelayanan kesehatan pada usia

pendidikan dasarh. Usia produktif untuk jenis pelayanan dasar pelayanan kesehatan pada usia produktifi. Usia lanjut untuk jenis pelayanan dasar pelayanan kesehatan pada usia lanjutj. Penderita hipertensi untuk jenis pelayanan dasar pelayanan kesehatan penderita

hipertensi

k. Penderita diabetes melitus untuk jenis pelayanan dasar pelayanan kesehatan penderita diabetes mellitus

l. Orang dengan gangguan jiwa berat untuk jenis pelayanan dasar pelayanan kesehatan orang dengan gangguan jiwa berat

m. Orang terduga tuberkulosis untuk jenis pelayanan dasar pelayanan kesehatan orang terduga tuberculosis

n. Orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan daya tahan tubuh manusia (Human Immunodeficiency Virus) untuk jenis pelayanan dasar pelayanan kesehatan orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan daya tahan tubuh manusia (Human Immunodeficiency Virus)

Bagi kepala daerah dan/wakil kepala daerah yang tidak melaksanakan SPM kesehatan maka dapat dijatuhi sanksi administratif. Meskipun demikian, tingkat capaian SPM kesehatan tersebut belum bisa diketahui karena baru mulai dilaksanakan secara efektif terhitung pada tanggal 1 Januari 2019 meskipun pada tahun 2016 Menteri Kesehatan telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 tentang SPM Bidang Kesehatan. Untuk melaksanakan SPM bidang kesehatan tersebut perlu disusun NSPK agar pelaksanaan pada tahun 2019 dapat dilakukan secara optimal oleh pemerintah daerah.

1.6. KONDISI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN URUSAN KESEHATAN

Dalam konteks desentralisasi, mengingat tanggung jawab akhir urusan kesehatan menjadi tanggung jawab Presiden yang dalam hal ini pelaksanaannya dilimpahkan kepada Menteri Kesehatan, maka Kementerian Kesehatan menjadi ujung tombak dalam pembinaan dan pengawasan (Binwas) urusan kesehatan. Dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah telah diatur bahwa Menteri Dalam Negeri mendapat pelimpahan dari Presiden untuk mengkoordinasikan kementerian/lembaga yang sebagian kewenangannya diserahkan ke daerah otonom dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Jadi pada prinsipnya pembinaan dan pengawasan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat yang secara teknis dalam bidang kesehatan dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan dan secara umum oleh Kementerian Dalam Negeri.

Adapun ruang lingkup pembinaan umum yang menjadi kewenangan Kementerian Dalam Negeri sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah meliputi:

a. Pembagian urusan pemerintahanb. Kelembagaan daerahc. Kepegawaian pada Perangkat Daerahd. Keuangan daerahe. Pembangunan daerahf. Pelayanan publik di daerahg. Kerja sama daerahh. Kebijakan daerahi. Kepala daerah dan DPRDj. Bentuk pembinaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Page 22: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Overview Situasi • 2524 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Sedangkan yang menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan adalah Binwas teknis yang mencakup aspek-aspek teknis yang telah dituangkan dalam NSPK yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan sebagai pedoman bagi daerah dalam melaksanakan urusan kesehatan yang diserahkan ke daerah tersebut.

Terdapat 4 (empat) bentuk pembinaan yang dapat dilakukan yakni: fasilitasi, konsultasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan. Pemberian fasilitasi dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam penyelenggaraan urusan kesehatan yang meliputi kegiatan pemberdayaan, penguatan kapasitas, dan bimbingan teknis kepada pemerintahan daerah. Kegiatan konsultasi dimaksudkan untuk mendapatkan petunjuk, pertimbangan, dan/atau pendapat terhadap permasalahan kesehatan yang dialami oleh pemerintah daerah. Pemberian pendidikan dan pelatihan (Diklat) dimaksudkan untuk mengembangkan kompetensi tenaga kesehatan maupun ASN yang terlibat dalam penyelenggaraan urusan kesehatan. Sedangkan kegiatan penelitian dan pengembangan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kebijakan dan program bidang kesehatan.

Karena Binwas terhadap provinsi dilaksanakan langsung dalam bentuk Binwas umum oleh Kementerian Dalam Negeri dan Binwas teknis oleh Kementerian Kesehatan, maka sangat diperlukan adanya koordinasi antara kedua kementerian tersebut dalam pelaksanaan Binwas umum dan Binwas teknis untuk menghindari terjadinya tumpang tindih. Sedangkan untuk Binwas terhadap pelaksanaan urusan kesehatan di kabupaten/kota menurut UU 23/2014 dilimpahkan oleh Presiden kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP). Untuk itu perlu dibuat NSPK apa saja yang harus dilakukan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP). Dalam NSPK tersebut harus jelas diatur hak dan kewajiban Gubernur termasuk staf yang akan membantunya dalam melakukan Binwas tersebut, baik yang bersifat umum maupun teknis. Untuk itu GWPP perlu didukung oleh pendanaan dari Pusat yang dialokasikan melalui dana dekonsentrasi (dana Dekon).

Dalam realitas aturan Binwas sebagaimana diatur dalam UU 23/2014 belum bisa berjalan sebagaimana mestinya karena beberapa hal:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan telah diterbitkan, namun belum bisa berjalan karena belum disosialisasikan baik di tingkat pusat maupun daerah

b. Lemahnya koordinasi antara Kementerian Kesehatan selaku penangungjawab Binwas teknis dan Kementerian Dalam Negeri selaku penanggungjawab Binwas umum dalam penyelenggaraan urusan kesehatan

c. Belum siapnya Binwas terhadap pelaksanaan urusan kesehatan Kabupaten/Kota yang seharusnya dilakukan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat

Sebagai contoh, berikut ini adalah tabel yang akan menunjukkan seberapa besar dana dekon yang sudah diserahkan ke daerah dan seberapa besar tingkat realisasinya pada tahun anggaran 2017:

Tabel 7. Alokasi dan Realisasi Anggaran Dana Dekonsentrasi Tahun Anggaran 2017

NO WILAYAH ALOKASI REALISASI %

1 ACEH 32.682.944.000 26.144.831.176 80,00

2 SUMUT 49.077.685. 000 45.620.884.517 92,96

3 SUMBAR 26.495.337.000 23.740.102.001 89,60

4 RIAU 22.833.147.000 20.020.877.239 87,68

5 JAMBI 27.412.435.000 26.202.064.699 95,58

6 SUMSEL 33.515.878.000 30.241.125.258 90,23

7 BENGKULU 22.602.342.000 21.022.656.908 93,01

8 LAMPUNG 37.398.255.000 35.126.171.774 93,92

9 BABEL 19.167.295.000 16.791.614.518 87,61

10 KEPRI 22.431.024.000 19.940.407.891 88,90

11 JAKARTA 23.387.221.000 18.193.254.921 77,79

12 JABAR 56.369.030.000 45.779.227.927 81,21

13 JATENG 60.919.089.000 56.027.222.088 91,97

14 YOGYAKARTA 19.265.137.000 17.070.258.026 88,61

15 JATIM 57.029.708.000 47.585.667.895 83,44

16 BANTEN 32.956.499.000 28.337.670.292 85,99

17 BALI 19.934.632.000 17.154.739.025 86,05

18 NTB 28.515.254.000 25.216.898.122 88,43

19 NTT 36.022.763.000 34.275.097.314 95,15

20 KALBAR 29.584.996.000 26.255.107.104 88,74

21 KALTENG 26.837.301.000 22.705.966.507 84,61

22 KALSEL 24.724.799.000 21.941.339.633 88,74

23 KALTIM 24.786.005.000 21.788.985.044 87,91

24 KALTARA 17.537.671.000 11.930.860.838 68,03

25 SULUT 31.544.345.000 31.115.687.745 98,64

26 SULTENG 31.890.814.000 31.078.714.940 97,45

27 SULSEL 44.365.697.000 42.643.597.525 96,12

28 SULTRA 27.369.771.000 26.576.211.434 97,10

29 GORONTALO 23.763.452.000 22.366.693.828 94,12

30 SULBAR 22.895.261.000 18.768.205.601 81,97

31 MALUKU 25.239.860.000 18.676.683.793 74,00

32 MALUT 28.434.969.000 26.572.089.065 93,45

33 PAPUA BARAT 31.357.413.000 25.966.412.123 82,81

34 PAPUA 48.353.347.000 37.177.360.505 76,89

DEKONSENTRASI KEMENKES 1.066.701.376.000 940.054.687.276 88,13

Sumber: Biro Keuangan dan BMN Kemenkes RI Tahun 2018

Hasil overview terhadap pelaksanaan desentralisasi kesehatan menunjukan kepada kita perlunya berbagai pembenahan yang harus dilakukan, baik yang menjadi kewenangan Pusat khususnya dalam penyusunan NSPK maupun yang menjadi kewenangan Daerah khususnya

Page 23: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Overview Situasi • 2726 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

pelaksanaan kewenangan kesehatan yang sudah diserahkan ke daerah. Di samping itu, hal menonjol lainnya adalah masih perlunya penataan hubungan kelembagaan antara Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan dan hubungan antara Dinas Kesehatan Provinsi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah berubahnya status RSUD sebagai unit pelayanan kesehatan dan bagaimana hubungannya dengan Dinas Kesehatan. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah mekanisme pelaksanaan Binwas, baik Binwas teknis yang menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan maupun Binwas umum yang menjadi kewenangan Kementerian Dalam Negeri. Sinergi diantara kedua kementerian tersebut sangat esential untuk menjamin terlaksananya otonomi urusan kesehatan di daerah.

Pengawasan atas penyelenggaraan urusan kesehatan juga perlu melibatkan masyarakat sebagai penerima layanan sehingga proses check and balances dapat dilaksanakan secara optimal. Selain itu, pengawasan penyelenggaraan urusan kesehatan oleh masyarakat merupakan perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Ruang pengawasan oleh masyarakat atas penyelenggaraan urusan kesehatan juga telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dimana masyarakat dapat menyampaikan laporan atau pengaduan atas dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh kepala/wakil kepala daerah, Anggota DPRD dan ASN yang terlibat dalam penyelenggaraan urusan kesehatan. Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) berkoordinasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH) wajib melakukan pemeriksaan atas laporan/aduan masyarakat tersebut. Apabila hasil pembinaan dan pengawasan menyangkut tuntutan perbendaharaan dan/atau tuntutan ganti rugi maka wajib dilakukan proses tuntutan perbendaharaan dan/atau tuntutan ganti rugi, dan apabila hasil pembinaan dan pengawasan menyangkut penyimpangan yang bersifat pidana maka dilakukan proses lebih lanjut oleh aparat penegak hukum.

Dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah juga telah mengatur kewajiban pemerintah daerah untuk mengumumkan ringkasan APBD-nya kepada masyarakat dan juga mewajibkan pemerintah daerah untuk mengumumkan jenis pelayanan publik, termasuk juga pelayanan kesehatan, yang diberikan oleh pemerintah daerah termasuk prosedur, biaya dan waktu serta saluran keluhan apabila masyarakat tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya. Ketentuan ini akan mendorong partisipasi masyarakat dan sekaligus juga melakukan pengawasan terhadap pelayanan kesehatan yang disediakan pemerintah daerah untuk warganya.

1.7. ANALISIS NSPK LINTAS SEKTOR TERHADAP KONDISI KESEHATAN DAERAH

Dari uraian analisis kondisi pelaksanaan urusan kesehatan di daerah, kita bisa melihat perlunya NSPK yang sering bersifat lintas sektor yang menyangkut kewenangan beberapa kementerian/lembaga yang berkaitan satu dengan yang lain dalam bidang kesehatan. Tanpa keterlibatan lintas sektor yang terkait dengan kesehatan dalam penyusunan NSPK, dikhawatirkan dalam pelaksanaannya akan mengalami hambatan. Adapun sektor terkait yang sangat erat hubungannya dalam bidang kesehatan di daerah antara lain:

Pertama, Kementerian Dalam Negeri selaku koordinator penyelenggaraan pemerintahan daerah mempunyai tanggungjawab besar terkait dengan kejelasan urusan kesehatan yang diserahkan kepada daerah, kelembagaan Dinas Kesehatan, SDM kesehatan di daerah,

penganggaran kesehatan di daerah, pemberian sanksi bagi daerah yang melalaikan urusan kesehatan sebagai salah satu urusan wajib yang terkait pelayanan dasar, pelaksanaan pengawasan dan pembinaan umum, serta pengaturan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.

Kedua, Kementerian Keuangan khususnya yang terkait dengan aspek keuangan/pendanaan urusan kesehatan seperti DAK, Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan. NSPK mengenai ketiga bentuk alokasi dana tersebut harus melibatkan Kementerian Kesehatan terkait dengan teknis kesehatan dan Kementerian Keuangan terkait dengan teknis pelaporan dan pertanggungjawaban keuangannya.

Ketiga, Kementerian PAN dan RB sepanjang yang terkait dengan aspek SDM khususnya mengenai strategi mengatasi moratorium pengangkatan PNS, strategi outsourcing, dan larangan tenaga kesehatan beralih ke jabatan struktural lain non kesehatan. Keterlibatan Kementerian PAN dan RB sangat diperlukan dalam penyusunan NSPK terkait hubungan kelembagaan pusat dan daerah, sedangkan keterlibatan Kementerian Dalam Negeri sangat diperlukan dalam penyusunan NSPK terkait hubungan antara Dinas Kesehatan Provinsi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan juga hubungan antara Dinas Kesehatan dengan RSUD dan puskesmas.

Keempat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian terkait Lingkungan Hidup, Kementerian Riset dan DIKTI, BP POM, Kementerian Perdagangan dan kementerial/lembaga non kementerian lainnya khususnya yang terkait dengan upaya penciptaan hidup sehat. Kementerian PUPR sangat diperlukan keterlibatannya ketika menyangkut penyusunan NSPK terkait dengan kebersihan lingkungan, sanitasi, air bersih, perumahan sehat, fasos dan fasum. Keterlibatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyangkut masalah lingkungan hidup yang layak dan sehat, dan pengelolaan limbah. Kementerian Riset Dikti terlibat dalam penyelenggaran pendidikan bagi SDM kesehatan, peningkatan kualitas pengetahuan dan ketrampilan SDM kesehatan. BP POM terkait dengan penyusunan NSPK obat, pre-market dan post-market control. Kementerian Perdagangan akan terkait dengan impor obat-obatan dan alat kesehatan dari luar negeri.

1.8. KESIMPULAN DARI OVERVIEW NSPK DALAM RANGKA DESENTRALISASI KESEHATAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan perlunya disusun NSPK oleh Kementerian Kesehatan sebagai berikut:

Pertama, perlunya NSPK yang mengatur penjabaran lebih lanjut mengenai pembagian urusan pemerintahan bidang kesehatan, khususnya yang terkait dengan pedoman yang diperlukan daerah untuk melaksanakan urusan kesehatan yang menjadi kewenangannya.

Kedua, perlunya NSPK yang mengatur kelembagaan daerah dan bagaimana mekanisme hubungan kerja dengan kelembagaan kesehatan di Kementerian Kesehatan. Termasuk dalam hal ini adalah hubungan antara Dinas Kesehatan sebagai penanggung jawab manajerial dan administratif dengan RSUD atau puskesmas yang bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan.

Page 24: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Overview Situasi • 2928 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Ketiga, perlunya NSPK mengenai SDM kesehatan yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah sebagai pedoman untuk menentukan kondisi SDM kesehatan baik dalam jumlah maupun kompetensinya. Dengan demikian pemerintah daerah akan mengetahui kekurangan (backlog) atau kelebihan SDM kesehatan yang ada di daerahnya.

Keempat, perlunya NSPK tentang pendanaan urusan kesehatan yang menjadi kewenangan Daerah. NSPK tersebut harus mengatur reward bagi pemerintah daerah yang sudah memenuhi ketentuan perundang-undangan dalam penganggaran kesehatan dan punishment bagi pemerintah daerah yang mengabaikan, atau bantuan apa yang perlu diberikan kepada pemerintah daerah yang kemampuan fiskalnya tidak mampu membiayai urusan kesehatan.

Kelima, perlunya NSPK mengenai pedoman untuk melaksanakan SPM kesehatan yang menjadi kewajiban pemerintah daerah. Bagaimana cara melaksanakan SPM kesehatan tersebut, termasuk didalamnya adalah sistem monitoring dan evaluasi serta pelaporannya.

Keenam, perlunya NSPK tentang Binwas terhadap pelaksanaan urusan kesehatan oleh pemerintah daerah. Termasuk pengaturan mengenai Binwas yang harus dilakukan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) terhadap pelaksanaan urusan kesehatan oleh pemerintah kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi yang bersangkutan.

Ketujuh, perlunya disusun NSPK lintas sektor mengingat kompleksitas pelaksanaan urusan kesehatan yang terkait dengan kewenangan beberapa kementerian/lembaga terkait.

1.9. OVERVIEW KONDISI PEMANFAATAN IT DALAM PENGELOLAAN URUSAN KESEHATAN

Pemanfaatan IT dalam penyelenggaraan urusan kesehatan akan sangat membantu dalam penyediaan data/informasi dan memperbaiki manajemen urusan kesehatan. Dengan memanfaatkan IT maka pelayanan kesehatan akan semakin cepat, mudah, murah. Selain itu, juga membantu mempermudah pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan urusan kesehatan, apakah sudah sesuai dengan ketentuan apa belum, sehingga penyelenggaraan urusan kesehatan dapat dilaksanakan secara optimal.

Sejauh ini, terdapat regulasi yang dapat menjadi payung hukum dalam penyusunan sistem informasi kesehatan dan arah pemanfaatan yakni Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan dan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik. Meskipun demikian, sampai saat ini Kementerian Kesehatan masih dalam tahap perumusan data/informasi apa saja yang terkandung dalam sistem IT dan pengadaan sistem IT itu sendiri.

Ketiadaan sistem IT yang dipelopori oleh Kementerian Kesehatan tersebut mengakibatkan beberapa pemerintah daerah atau institusi membuat sistem IT sendiri-sendiri sesuai dengan kebijakan/program yang dilaksanakan. Bahkan beberapa pemerintah daerah telah memanfaatkan gadget sebagai media pelayanan kesehatan. Sebagai contoh: penerapan “SMS gateway” yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor yang dikhususkan bagi para kader kesehatan di posyandu dan puskesmas dalam rangka mempercepat akses informasi dan layanan pengaduan masyarakat, penerapan Sistem Informasi Pelayanan Kesehatan (SIPK) berbasis SMS gateway di Kabupaten Landak dalam rangka mengingatkan pasien terkait jadwal kunjungan berobat ulang, serta penerapan SMS gateway oleh BPJS dalam rangka pemberian

informasi pribadi terkait kepesertaan. Secara umum, SMS gateway dalam penyelenggaraan urusan kesehatan sudah banyak digunakan tetapi dalam pemanfaatanya masih berbeda-beda sesuai dengan institusi yang menginisiasi.

Merujuk pada PP 46/2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan maka terdapat 7 (tujuh) informasi yang melingkupi tata kelola urusan kesehatan yakni:

a. Informasi upaya kesehatanb. Informasi penelitian dan pengembangan kesehatanc. Informasi pembiayaan kesehatand. Informasi sumber daya manusia kesehatane. Informasi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makananf. Informasi manajemen dan regulasi kesehatang. Informasi pemberdayaan masyarakat

Informasi terkait upaya kesehatan paling sedikit memuat penyelenggaraan pencegahan, peningkatan kesehatan, pengobatan, pemulihan, dan fasilitas pelayanan kesehatan. Informasi terkait penelitian dan pengembangan kesehatan paling sedikit memuat hasil penelitian dan pengembangan kesehatan serta hak kekayaan intelektual bidang kesehatan. Dari aspek tata kelola pemerintahan bidang kesehatan, informasi-informasi yang harus termuat dalam sistem informasi sebagaimana yang diamanatkan dalam PP 46/ 2014 tersebut sangat komprehensif. Meskipun demikian, dalam era desentralisasi perlu ada penegasan mana yang menjadi tugas dari pemerintah daerah kabupaten/kota, mana yang menjadi tugas dari pemerintah daerah provinsi, dan mana yang menjadi tugas pemerintah pusat sesuai dengan kewenangannya. Selain itu, perlu adanya kemudahan akses terhadap data/informasi bagi pemerintah daerah kabupaten/kota, pemerintah daerah provinsi dan institusi lain yang membutuhkan. Hal ini dimaksudkan sebagai pedoman, optimalisasi pengadaan/pemanfaatan pelayanan kesehatan, serta pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan urusan kesehatan.

Data/informasi yang tersedia dalam sistem informasi tersebut juga harus komprehensif, berjenjang dan terintegrasi. Makna komprehensif sebagaimana dimaksud yakni data/informasi yang tersedia mencakup seluruh data/informasi yang dibutuhkan dalam tata kelola penyelenggaraan urusan kesehatan antara lain data/informasi dasar kesehatan, manajemen urusan kesehatan (seperti: pembagian tugas urusan kesehatan antara pusat dan daerah, tenaga kesehatan, pembiayaan, sarana dan prasarana) dan capaian pelayanan kesehatan. Makna berjenjang yakni data/informasi yang tersedia dimulai dari unit pelayanan kesehatan yang paling rendah yakni pada tingkat daerah kabupaten/kota yang meliputi puskesmas/puskesmas pembantu (Pustu). Sedangkan makna integrasi sebagaimana dimaksud bahwa data/informasi yang ada dapat diintegrasikan dengan data/informasi yang tersedia dari institusi lain. Sistem IT yang ada pun harus compatible dengan kondisi dan tuntutan penyelenggaraan urusan kesehatan ke depan, yakni dapat digunakan baik secara online maupun offline serta dapat di upgrade sesuai dengan perkembangan IT ke depan.

Page 25: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

30 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

2. STRATEGI DESENTRALISASI

URUSAN KESEHATAN

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

Penguatan tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Page 26: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

2. Strategi Desentralisasi Urusan Kesehatan • 3332 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

2.1. STRATEGI PEMENUHAN NSPK DALAM KONTEKS PEMBAGIAN URUSAN KESEHATAN ANTARA PUSAT DENGAN DAERAH

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa NSPK merupakan elemen penting bagi pemerintah daerah untuk dijadikan pedoman atau guidance dalam melaksanakan urusan yang diserahkan ke pemerintah daerah. Tanpa NSPK yang jelas akan menyebabkan pemerintah daerah menafsirkan pelaksanaan urusan tersebut sesuai dengan preferensi mereka sendiri, dan hal tersebut dapat menyebabkan munculnya peraturan daerah (Perda) yang tidak sesuai dengan kebijakan nasional di bidang kesehatan. Bahkan dalam kondisi tertentu akan mengakibatkan munculnya ego kedaerahan. Untuk itu Kementerian Kesehatan wajib mengidentifikasi NSPK mana saja yang mendesak untuk disiapkan untuk menyamakan persepsi pemerintah daerah secara nasional dalam melaksanakan urusan kesehatan.

Ada 4 (empat) bidang urusan kesehatan yang kewenangannya dibagi kedalam tingkatan pemerintahan (pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota) sebagai berikut:

Tabel 8. Pembagian Urusan Kesehatan antar Tingkatan Pemerintahan

URUSAN PEMERINTAH PUSAT PROVINSIKABUPATEN/

KOTA

Upaya Kesehatan a. Pengelolaan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) rujukan nasional/lintas daerah provinsi.

b. Pengelolaan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) nasional dan rujukan nasional/lintas daerah provinsi.

c. Penyelenggaraan registrasi, akreditasi, dan standardisasi fasilitas pelayanan kesehatan publik dan swasta.

d. Penerbitan izin rumah sakit kelas A dan fasilitas pelayanan kesehatan Penanaman Modal Asing (PMA) serta fasilitas pelayanan kesehatan tingkat nasional.

a. Pengelolaan UKP rujukan tingkat daerah provinsi/lintas daerah kabupaten/kota.

b. Pengelolaan UKM daerah provinsi dan rujukan tingkat daerah provinsi/lintas daerah kabupaten/kota.

c. Penerbitan izin rumah sakit kelas B dan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat daerah provinsi.

a. Pengelolaan UKP daerah kabupaten/kota dan rujukan tingkat daerah kabupaten/kota.

b. Pengelolaan UKM daerah kabupaten/kota dan rujukan tingkat daerah kabupaten/kota.

c. Penerbitan izin rumah sakit kelas C dan D dan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat daerah kabupaten/kota.

URUSAN PEMERINTAH PUSAT PROVINSIKABUPATEN/

KOTA

Sumber Daya Manusia(SDM) Kesehatan

a. Penetapan standardisasi dan registrasi tenaga kesehatan Indonesia, Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing (TK-WNA), serta penerbitan rekomendasi pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA).

b. Penetapan penempatan dokter spesialis dan dokter gigi spesialis bagi daerah yang tidak mampu dan tidak diminati.

c. Penetapan standar kompetensi teknis dan sertifikasi pelaksana urusan pemerintahan bidang kesehatan.

d. Penetapan standar pengembangan kapasitas SDM kesehatan.

e. Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan untuk UKM

Perencanaan dan

pengembangan SDM

kesehatan untuk UKM

dan

UKP daerah provinsi.

a. Penerbitan izin praktik dan izin kerja tenaga kesehatan.

b. Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan untuk UKM dan UKP daerah kabupaten/kota.

Page 27: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

2. Strategi Desentralisasi Urusan Kesehatan • 3534 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

URUSAN PEMERINTAH PUSAT PROVINSIKABUPATEN/

KOTA

Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan Minuman

a. Penyediaan obat, vaksin, alat kesehatan, dan suplemen kesehatan program nasional.

b. Pengawasan ketersediaan pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan.

c. Pembinaan dan pengawasan industri, sarana produksi dan sarana distribusi sediaan farmasi, obat tradisional, alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT), bahan obat, bahan baku alam yang terkait dengan kesehatan.

d. Pengawasan pre-market obat, obat tradisional, kosmetika, alat kesehatan, PKRT, dan makanan minuman

e. Pengawasan post-market obat, obat tradisional, kosmetika, alat kesehatan, PKRT, dan makanan minuman.

a. Penerbitan pengakuan Pedagang Besar Farmasi (PBF) cabang dan cabang Penyalur Alat Kesehatan (PAK).

b. Penerbitan izin Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT).

a. Penerbitan izin apotek, toko obat, toko alat kesehatan dan optikal.

b. Penerbitan izin Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT).

c. Penerbitan sertifikat produksi alat kesehatan kelas 1 (satu) tertentu dan PKRT kelas 1 (satu) tertentu perusahaan rumah tangga.

d. Penerbitan izin produksi makanan dan minuman pada industri rumah tangga.

e. Pengawasan post-market produk makanan-minuman industri rumah tangga.

Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan

Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan melalui tokoh nasional dan internasional, kelompok masyarakat, organisasi swadaya masyarakat serta dunia usaha tingkat nasional dan internasional.

Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan melalui tokoh provinsi, kelompok masyarakat, organisasi swadaya masyarakat dan dunia usaha tingkat provinsi.

Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan melalui tokoh kabupaten/kota, kelompok masyarakat, organisasi swadaya masyarakat dan dunia usaha tingkat kabupaten/kota.

Sumber: Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Dari keempat urusan tersebut, maka sedikitnya NSPK yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:1) Sub Urusan Upaya Kesehatan

a. Kewenangan Kementerian Kesehatan (Pusat) yakni:(1) Pengelolaan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) rujukan nasional/lintas daerah

provinsi(2) Pengelolaan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) nasional dan rujukan nasional/

lintas daerah provinsi(3) Penyelenggaraan registrasi, akreditasi, dan standardisasi fasilitas pelayanan

kesehatan publik dan swasta(4) Penerbitan izin rumah sakit kelas A dan fasilitas pelayanan kesehatan Penanaman

Modal Asing (PMA) serta fasilitas pelayanan kesehatan tingkat nasional

b. Kewenangan Provinsi yakni:(1) Pengelolaan UKP rujukan tingkat daerah provinsi/lintas daerah kabupaten/kota(2) Pengelolaan UKM daerah provinsi dan rujukan tingkat daerah provinsi/lintas daerah

kabupaten/kota(3) Penerbitan izin rumah sakit kelas B dan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat daerah

provinsi

c. Kewenangan Kabupaten/Kota yakni:(1) Pengelolaan UKP daerah kabupaten/kota dan rujukan tingkat daerah kabupaten/kota(2) Pengelolaan UKM daerah kabupaten/kota dan rujukan tingkat daerah kabupaten/kota(3) Penerbitan izin rumah sakit kelas C dan D dan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat

daerah kabupaten/kota

Memperhatikan kewenangan yang diserahkan ke provinsi dan kabupaten/kota sepanjang mengenai UKP dan UKM diperlukan adanya NSPK untuk menjadi pedoman bagi mereka untuk melakukan UKP dan khususnya UKM mengingat penanganan UKP telah sepenuhnya diserahkan ke BPJS. NSPK UKM sangat diperlukan untuk memberikan batasan bagi pemerintah provinsi, apa yang dimaksud dengan kegiatan UKM tingkat provinsi atau lintas kabupaten/kota dan UKM pada tingkat kabupaten/kota, termasuk didalamnya terkait pengaturan rujukannya.

Harus diatur secara jelas mengenai standar, prosedur, tata cara pendirian dan lain-lainnya agar dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam mengelola rumah sakit negeri yang menjadi kewenangannya. Di samping itu juga dapat digunakan sebagai pedoman pemberian ijin pendirian bagi rumah sakit swasta. Di samping itu, dalam rangka mencegah terjadinya kelebihan atau kekurangan rumah sakit baik kelas B, C atau D atau bahkan puskesmas, maka perlu adanya aturan dalam bentuk NSPK yang mengatur berapa jumlah optimal rumah sakit yang boleh ada dalam suatu provinsi atau kabupaten/kota dengan mempertimbangkan berbagai variabel yang relevan seperti jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi sarana prasarana sosial dan variabel lainnya. Dengan demikian akan ada pedoman bagi pemerintah daerah berapa jumlah ijin pendirian rumah sakit swasta yang dapat dikeluarkan agar jumlah rumah sakit menjadi optimal. Sebagai perbandingan apa yang terjadi di sektor perdagangan dengan berlomba-lombanya daerah mengeluarkan perijinan mini market-mini market yang menjamur tidak terkendali akibat tidak adanya NSPK yang mengatur hal tersebut.

Page 28: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

2. Strategi Desentralisasi Urusan Kesehatan • 3736 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Dari uraian di atas maka untuk pelaksanaan sub urusan upaya kesehatan ada 4 NSPK yang harus disusun yaitu:a. NSPK untuk kegiatan UKMb. NSPK menyangkut hak dan kewajiban daerah dalam UKP terutama kaitannya dengan

BPJSc. NSPK menyangkut standard RSUD tipe B bagi provinsi, tipe B dan C serta puskesmas

untuk kabupaten/kotad. NSPK berapa jumlah RSUD Tipe B untuk setiap provinsi serta jumlah RSUD tipe C dan

D dan puskesmas untuk kabupaten/kota termasuk syarat-syarat pemberian ijin bagi swasta yang akan mendirikan rumah sakit atau klinik kesehatan

2) Sub Urusan Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatana. Kewenangan Kementerian Kesehatan (pusat) yakni:

(1) Penetapan standarisasi dan registrasi tenaga kesehatan Indonesia, Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing (TK-WNA), serta penerbitan rekomendasi pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA)

(2) Penetapan penempatan dokter spesialis dan dokter gigi spesialis bagi daerah yang tidak mampu dan tidak diminati

(3) Penetapan standar kompetensi teknis dan sertifikasi pelaksana urusan pemerintahan bidang kesehatan

(4) Penetapan standar pengembangan kapasitas SDM kesehatan(5) Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan untuk UKM dan UKP Nasional

b. Kewenangan provinsi yakni:(1) Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan untuk UKM dan UKP daerah provinsi

c. Kewenangan kabupaten/kota yakni:(1) Penerbitan izin praktek dan izin kerja tenaga kesehatan pada di wilayah kabupaten/kota(2) Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan untuk UKM dan UKP daerah

kabupaten/kota

Di lihat dari kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan maka terlihat bahwa kewenangan SDM lebih didominasi oleh pusat. Argumen itu didasarkan atas perlunya pemerataan penempatan SDM di seluruh Indonesia. SDM kesehatan tidak dapat dilepas kepada mekanisme pasar karena terdapat kecenderungan yang kuat pasca reformasi bahwa ada keengganan dari tenaga medik untuk ditempatkan di daerah terpencil, pulau terluar atau daerah yang tidak diminati. Dari kondisi tersebut lahir kebijakan afirmatif (affirmative policy) dalam bentuk ditariknya kewenangan penempatan dokter spesialis dan dokter spesialis gigi untuk daerah terluar, terpencil, dan tidak diminati oleh pemerintah pusat.

Dilihat dari aspek SDM, ada keperluan beberapa NSPK untuk hal tersebut agar menjadi pedoman bagi daerah dalam menindak lanjutinya sebagaimana terurai berikut ini.

Pertama, perlu adanya NSPK yang mengatur standardisasi SDM kesehatan dan registrasi Tenaga Kerja Asing (TKA). Dalam NSPK tersebut harus jelas apa kewenangan Daerah, khususnya dalam Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang terkait dengan perpanjangan. Kementerian Kesehatan perlu berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja untuk menentukan apakah biaya IMTA yang disetorkan ke daerah masuk dalam kas daerah atau menjadi Penerimaan Bukan Pajak (PNBP) yang harus disetorkan ke kas negara. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum oleh pejabat daerah ketika memungut IMTA. Dalam bidang pengawasan tenaga medik asing, apakah diserahkan ke daerah atau tetap di tangan pusat. Kalaupun itu menjadi kewenangan Pusat apakah daerah akan diberikan Tugas Pembantuan (TP) untuk meningkatkan efisiensi pelayanan termasuk pengawasannya karena tenaga kerja tersebut bekerja di daerah dan sulitnya menciptakan pengawasan yang efektif mengingat wilayah Indonesia sangat luas.

Dalam hal standarisasi jumlah dan kompetensi tenaga medik, adanya standar tenaga medik akan menjadi pedoman bagi daerah dalam merekrut tenaga medik. Daerah akan tahu bagaimana positioning tenaga kesehatan mereka apakah sudah sesuai dengan standar jumlah dan kompetensinya. Manakala daerah dihadapkan pada kondisi kekurangan tenaga medik dan juga dihadapkan pada moratorium rekrutmen PNS, maka perlu NSPK dari Pusat untuk dijadikan pedoman bagi daerah apakah daerah sebaiknya melakukan kebijakan outsourcing dan mengatur kriteria dan standar kompetensi tenaga medik outsourcing tersebut sehingga tidak menimbulkan kesenjangan kompetensi ketika kebijakan moratorium dicabut. Sehingga gejolak sosial sebagaimana tuntutan tenaga honorer atau outsourcing yang terjadi akhir-akhir ini yakni menuntut agar diterima jadi PNS tanpa test dapat dihindari.

Ketiga, adanya NSPK yang terkait dengan perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan untuk keperluan UKP dan UKM. Perlu diatur hubungan yang jelas antara perencanaan pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam pengembangan SDM kesehatan. Siapa yang bertanggung jawab mengembangkannya, bagaimana kordinasi perencanaannya, pembiayaannya dan lain-lainnya.

Dari uraian di atas maka ada 4 NSPK yang dibutuhkan dalam pelaksanaan sub urusan SDM kesehatan yaitu:1. NSPK mengenai standard kompetensi teknis dan sertifikasi pelaksana urusan kesehatan2. NSPK mengenai pengembangan SDM untuk UKM dan UKP daerah baik provinsi

maupun kabupaten/kota3. NSPK penerbitan ijin praktek dan ijin kerja tenaga kesehatan pada kabupaten/kota4. NSPK tentang pengawasan tenaga kerja asing yang bekerja di daerah khususnya apa

peran daerah dalam pelaksanaan pengawasan tersebut. Apakah akan diserahkan ke daerah atau ditugas-pembantuankan (TP) ke daerah. Termasuk biaya ijin perpanjangan tenaga kerja asing akankah menjadi hak daerah (PAD) atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

Page 29: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

2. Strategi Desentralisasi Urusan Kesehatan • 3938 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

3) Sub Urusan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan Minumana. Kewenangan Pusat yakni:

(1) Penyediaan obat, vaksin, alat kesehatan, dan suplemen kesehatan program nasional(2) Pengawasan ketersediaan pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan(3) Pembinaan dan pengawasan industri, sarana produksi dan sarana distribusi sediaan

farmasi, obat tradisional, alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT), bahan obat, bahan baku alam yang terkait dengan kesehatan

(4) Pengawasan pre-market obat, obat tradisional, kosmetika, alat kesehatan, PKRT, dan makanan minuman

(5) Pengawasan post-market obat, obat tradisional, kosmetika, alat kesehatan, PKRT, dan makanan minuman

b. Kewenangan provinsi yakni:(1) Penerbitan pengakuan Pedagang Besar Farmasi (PBF) cabang dan cabang Penyalur

Alat Kesehatan (PAK)(2) Penerbitan izin Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT)

c. Kewenangan kabupaten/kota yakni: (1) Penerbitan izin apotik, toko obat, toko alat kesehatan dan optikal(2) Penerbitan izin Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT)(3) Penerbitan sertifikat produksi alat kesehatan kelas 1 (satu) tertentu dan PKRT kelas 1

(satu) tertentu perusahaan rumah tangga(4) Penerbitan izin produksi makanan dan minuman pada industri rumah tangga(5) Pengawasan post-market produk makanan-minuman industri rumah tangga

Dengan memperhatikan batas-batas kewenangan dalam konteks sub urusan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan minuman tersebut, maka NSPK yang dibutuhkan adalah sebagaimana terurai berikut ini.

Pertama, NSPK mengenai penyediaan obat, vaksin, alat kesehatan, dan suplemen kesehatan. Dalam konteks ini harus jelas diatur batas kewenangan Daerah dalam pengadaan obat, vaksin dan alat kesehatan. Dengan pertimbangan efisiensi dan pertimbangan lainnya, apa saja yang menjadi kewenangan Pusat dalam bidang pengadaan obat, dan apa yang menjadi kewenangan Daerah. Dalam hal daerah memerlukan obat yang menjadi kewenangan Pusat, bagaimana mekanisme penyalurannya (SOP), bagaimana obat dapat tersedia dalam jumlah dan waktu yang tepat mengingat luasnya wilayah Indonesia, dan bagaimana sistem supply-nya (supply chain).

Kedua, perlunya NSPK terkait dengan pengadaan alat kesehatan (alkes). Apa saja alat kesehatan yang pengadaannya menjadi kewenangan Pusat dan apa yang menjadi kewenangan Daerah. Hal ini untuk menghindari terjadinya tumpang tindih. Selanjutnya, bagaimana penentuan dan penyaluran alat kesehatan ke daerah, apakah didasarkan atas kapasitas fiskal daerah atau tidak. Bagaimana standar alat kesehatan di puskesmas, RSUD kelas B, C dan D. Apa yang menjadi kriteria bantuan alat kesehatan dari Pusat akan diberikan ke daerah dan lain-lainnya. Adanya pengaturan yang jelas tersebut dapat mencegah tumpang tindih pengadaan, memudahkan pemeriksaan dan pembinaan serta penyaluran bantuannya.

Ketiga, perlunya NSPK terkait dengan pembinaan dan pengawasan (Binwas) industri, sarana produksi dan sarana distribusi sediaan farmasi, obat tradisional, alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT), bahan obat, bahan baku alam yang terkait dengan kesehatan. Mengingat banyaknya jenis produksi dan luasnya wilayah Indonesia, bagaimana Pusat bisa melakukan pengawasan sampai ke daerah-daerah. Apakah akan memanfaatkan peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat (GWPP) melalui mekanisme dekonsentrasi. Apakah akan melibatkan Kabupaten/Kota melalui mekanisme Tugas Pembantuan (TP) dalam pelaksanaan Binwas. Ataukah akan mendirikan Balai sebagai perpanjangan Pemerintah pusat untuk melakukan tugas tersebut. Dalam hal akan mendirikan Balai di daerah, maka rekomendasi dari Daerah sangat diperlukan agar tidak menciptakan kegaduhan karena tidak dimanfaatkannya mekanisme Dekonsentrasi dan TP untuk melakukan tugas tersebut. Dalam penyusunan NSPK tersebut sangat diperlukan kordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk melibatkan daerah dalam pembahasannya.

Keempat, perlu adanya NSPK mengenai pengawasan pre-market dan post-market obat, obat tradisional, kosmetika, alat kesehatan, PKRT, dan makanan minuman. Apakah Pusat akan lebih berkonsentrasi pada pengawasan pre-market atau post-market atau malah keduanya. Apakah akan ada kewenangan yang akan dilimpahkan ke daerah. Atau daerah baru diberikan pelimpahan sepanjang memenuhi persyaratan-persyaratan teknis yang diatur oleh Pusat. Dalam hal Pusat akan melaksanakan semua kewenangan Pusat sebagaimana diatur dalam lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, apakah Pusat akan membentuk Balai, melalui mekanisme Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan, atau akan ada pengaturan khusus seperti menetapkan kriteria untuk membentuk Balai, meminta bantuan GWPP atau melalui TP.

Kelima, perlunya diterbitkan NSPK untuk mengatur SOP penerbitan pengakuan Pedagang Besar Farmasi (PBF) cabang dan cabang Penyalur Alat Kesehatan (PAK) serta penerbitan izin Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT). Dalam NSPK ini diatur mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh provinsi untuk menjalankan kewenangannya tersebut. Mengingat wilayah provinsi yang relatif luas maka perlu diatur bagaimana mekanisme pengawasan provinsi ke kabupaten yang jauh dari ibukota provinsi, apakah provinsi akan membentuk cabang Dinas Kesehatan untuk melakukan hal tersebut atau akan menugaskan kabupaten/kota melalui mekanisme Tugas Pembantuan (TP). Kriterianya harus diatur secara jelas agar dapat dijadikan acuan bagi daerah dalam pelaksanaannya.

Keenam, Perlu adanya NSPK untuk kabupaten/kota yang mengatur SOP Penerbitan izin apotik, toko obat, toko alat kesehatan dan optikal. Dalam NSPK tersebut harus jelas diatur batas-batas kewenangan ketika menyangkut alat kesehatan karena ada sebagian kewenangan tersebut berada ditangan Pemerintah pusat. Demikian juga halnya dengan penerbitan izin Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT). Apa yang dimaksud dengan kriteria mikro.

Ketujuh, perlu adanya pengaturan dalam NSPK tentang penerbitan sertifikat produksi alat kesehatan kelas 1 (satu) tertentu dan PKRT kelas 1 (satu) tertentu perusahaan rumah tangga. Harus jelas batasan alat kesehatan kelas 1 dan penerbitan izin produksi makanan dan minuman pada industri rumah tangga. Termasuk pengawasan post-market produk makanan-minuman industri rumah tangga.

Page 30: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

2. Strategi Desentralisasi Urusan Kesehatan • 4140 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Dari uraian di atas khusus untuk pelaksanaan Sub Urusan Sediaan Farmasi, Peralatan Kesehatan, Makanan dan Minuman dibutuhkan 7 NSPK oleh Kementerian Kesehatan agar daerah dapat melaksanakan urusannya sesuai dengan standard dan pedoman yang dikeluarkan Pusat.

4) Sub Urusan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan.a. Kewenangan Pusat yakni:

(1) Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan melalui tokoh nasional dan internasional, kelompok masyarakat, organisasi swadaya masyarakat serta dunia usaha tingkat nasional dan internasional

b. Kewenangan Provinsi yakni:(1) Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan melalui tokoh provinsi, kelompok

masyarakat, organisasi swadaya masyarakat dan dunia usaha tingkat provinsi

c. Kewenangan Kabupaten/Kota yakni:(1) Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan melalui tokoh kabupaten/kota,

kelompok masyarakat, organisasi swadaya masyarakat dan dunia usaha tingkat kabupaten/kota

Memperhatikan batasan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing tingkatan pemerintahan, maka NSPK yang diperlukan adalah NSPK yang mengatur mengenai batasan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, bagaimana SOP pemberdayaan masyarakat oleh masing-masing tingkatan pemerintahan tersebut. Apakah ada gradasi pemberdayaan mengingat scope pengaruh dari obyek yang menjadi pemberdayaan berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan demikian terhindar terjadinya tumpang tindih pemberdayaan karena masing-masing tingkatan mempunyai obyek yang berbeda.

Dari uraian diatas, untuk pelaksanaan Sub Urusan Pemberdayaan Masyarakat diperlukan adanya 1 NSPK khususnya yang terkait unruk membedakan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan sub urusan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas maka untuk melaksanakan urusan kesehatan yang diserahkan oleh Pusat ke daerah sebagaimana tercantum dalam lampiran UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah diperlukan adanya 16 NSPK dengan rincian sebagai berikut:

1. Sub Urusan Upaya Kesehatan : 4 NSPK2. Sub Urusan SDM Kesehatan : 4 NSPK3. Sub Urusan Sediaan Farmasi, Alkes, Makanan & Minuman : 7 NSPK4. Sub Urusan Pemberdayaan Masyarakat : 1 NSPK TOTAL : 16 NSPK

Namun dari 16 NSPK tersebut kalau dirinci secara lebih teknis atau detail lagi, maka NSPK yang dibutuhkan serta NSPK yang sudah ada atau sudah diterbitkan adalah sebagaimana pada tabel berikut ini:

Tabel 9. Kondisi dan Kebutuhan NSPK dalam Penyelenggaraan Urusan Bidang Kesehatan

NO NSPK YANG DIPERLUKAN

KONDISI NSPK

KETERANGANSUDAH

ADABELUM

ADA

ADA TAPI PERLU REVISI

1Pengelolaan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) rujukan nasional/lintas daerah provinsi

√PERMENKES

001/2012

2Pengelolaan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) nasional dan rujukan nasional/lintas daerah provinsi

3Penyelenggaraan registrasi, akreditasi, dan standardisasi fasilitas pelayanan kesehatan publik dan swasta

√PERMENKES

56/2014

4

Penerbitan izin rumah sakit kelas A dan fasilitas pelayanan kesehatan Penanaman Modal Asing (PMA) serta fasilitas pelayanan kesehatan tingkat nasional

√PERMENKES

56/2014

5Pengelolaan UKP rujukan tingkat daerah provinsi/lintas daerah kabupaten/kota

√PERMENKES

001/2012

6Pengelolaan UKM daerah provinsi dan rujukan tingkat daerah provinsi/lintas daerah kabupaten/kota

7Penerbitan izin rumah sakit kelas B dan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat daerah provinsi

√PERMENKES

56/2014

8Pengelolaan UKP daerah kabupaten/kota dan rujukan tingkat daerah kabupaten/kota

9Pengelolaan UKM daerah kabupaten/kota dan rujukan tingkat daerah kabupaten/kota

10Penerbitan izin rumah sakit kelas C dan D dan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat daerah kabupaten/kota

√PERMENKES

56/2014

11

Penetapan standarisasi dan registrasi tenaga kesehatan Indonesia, Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing (TK-WNA), serta penerbitan rekomendasi pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA)

12Penetapan penempatan dokter spesialis dan dokter gigi spesialis bagi Daerah yang tidak mampu dan tidak diminati

13Penetapan standar kompetensi teknis dan sertifikasi pelaksana Urusan Pemerintahan bidang kesehatan

Page 31: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

2. Strategi Desentralisasi Urusan Kesehatan • 4342 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

NO NSPK YANG DIPERLUKAN

KONDISI NSPK

KETERANGANSUDAH

ADABELUM

ADA

ADA TAPI PERLU REVISI

14Penetapan standar pengembangan kapasitas SDM kesehatan

15Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan untuk UKM dan UKP Nasional

16Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan untuk UKM dan UKP daerah provinsi

17Penerbitan izin praktek dan izin kerja tenaga kesehatan pada daerah kabupaten/kota

18Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan untuk UKM dan UKP daerah kabupaten/kota

19Penyediaan obat, vaksin, alat kesehatan, dan suplemen kesehatan program nasional

√KEP MENKES

189/2006

20Pengawasan ketersediaan pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan

√KEP MENKES

189/2006

21

Pembinaan dan pengawasan industri, sarana produksi dan sarana distribusi sediaan farmasi, obat tradisional, alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT), bahan obat, bahan baku alam yang terkait dengan kesehatan

22Pengawasan pre-market obat, obat tradisional, kosmetika, alat kesehatan, PKRT, dan makanan minuman

23Pengawasan post-market obat, obat tradisional, kosmetika, alat kesehatan, PKRT, dan makanan minuman

24Penerbitan pengakuan Pedagang Besar Farmasi (PBF) cabang dan cabang Penyalur Alat Kesehatan (PAK)

25Penerbitan izin Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT)

26Penerbitan izin apotik, toko obat, toko alat kesehatan dan optikal

27Penerbitan izin Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT)

NO NSPK YANG DIPERLUKAN

KONDISI NSPK

KETERANGANSUDAH

ADABELUM

ADA

ADA TAPI PERLU REVISI

28Penerbitan sertifikat produksi alat kesehatan kelas 1 (satu) tertentu dan PKRT kelas 1 (satu) tertentu perusahaan rumah tangga

29Penerbitan izin produksi makanan dan minuman pada industri rumah tangga.

30Pengawasan post-market produk makanan-minuman industri rumah tangga

31

Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan melalui tokoh nasional dan internasional, kelompok masyarakat, organisasi swadaya masyarakat serta dunia usaha tingkat nasional dan internasional

32

Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan melalui tokoh provinsi, kelompok masyarakat, organisasi swadaya masyarakat dan dunia usaha tingkat provinsi

33

Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan melalui tokoh kabupaten/kota, kelompok masyarakat, organisasi swadaya masyarakat dan dunia usaha tingkat kabupaten/kota

34Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Daerah

√PERMENKES

64/2015

35 Tipelogi Dinas Kesehatan √PERMENKES

49/2016

36Hubungan antara Kementerian Kesehatan dengan kementerian/lembaga terkait penyelenggaraan urusan kesehatan

37

Hubungan antara Kementerian Kesehatan dengan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan kesehatan

38Hubungan antara Kementerian Kesehatan dengan Dinas Kesehatan Daerah

39Hubungan antara Dinas Kesehatan Provinsi dengan Dinas Kabupaten Kota

40Hubungan antara Dinas Kesehatan dengan Rumah Sakit

√ PP 18/2016

41Hubungan antara Rumah Sakit Milik Pemerintah dengan Rumah Sakit Swasta

Page 32: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

2. Strategi Desentralisasi Urusan Kesehatan • 4544 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

NO NSPK YANG DIPERLUKAN

KONDISI NSPK

KETERANGANSUDAH

ADABELUM

ADA

ADA TAPI PERLU REVISI

42Hubungan antara Rumah Sakit Tipe A, Rumah Sakit Tipe B, Rumah Sakit Tipe C, Rumah Sakit Tipe D dan puskesmas

43Jumlah optimum rumah sakit yang ada di suatu provinsi maupun kabupaten/kota

44Pemberian bantuan keuangan berupa DAK, Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan

45

Jumlah dan kualifikasi SDM pada Dinas Kesehatan tipe A, Dinas Kesehatan tipe B dan Dinas Kesehatan tipe C baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota

46

Jumlah dan kualifikasi SDM pada Rumah Sakit Kelas A, Rumah Sakit Kelas B, Rumah Sakit Kelas C dan Rumah Sakit Kelas D serta puskesmas

√PERMENKES

56/2014

47

Kompetensi yang harus dimiliki, baik kompetensi teknis maupun manajerial untuk menduduki jabatan struktural yang ada di Dinas Kesehatan

48Manajemen tenaga kesehatan terkait dengan proses recruitment, placement, development, rotation, career planning dan remuneration

49 Standar Pelayanan Kesehatan di rumah sakit √

50 Standar Pelayanan Kesehatan di puskesmas √

51 Kesehatan lingkungan √ PP 66/2014

52 Pelaksanaan SPM kesehatan √PERMENKES

43/2016

53 Sistem Informasi Pelayanan Kesehatan √ PP 46/2014

54 Pelaksanaan Binwas Umum dan Binwas Teknis √

55 Sanksi apabila melanggar NSPK √

Dari semua NSPK tersebut, maka posisinya adalah sebagai berikut:a. NSPK yang dibutuhkan secara keseluruhan ada 55 NSPKb. NSPK yang sudah ada dan masih tetap bisa diberlakukan sebanyak 14 NSPKc. NSPK yang belum ada dan perlu disusun ada 41 NSPK

Namun perlu dicatat bahwa NSPK yang ada mungkin saja perlu direvisi mengingat berubahnya dasar hukum yang menjadi rujukan ketika NSPK tersebut dibuat dengan dasar hukum yang ada sekarang. Hal ini memerlukan diskusi yang lebih mendalam dengan melibatkan stakeholders terkait, dan paling sedikit melibatkan Kementerian Dalam Negeri ketika menyangkut otonomi daerah, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ketika menyangkut kelembagaan kesehatan, BPPOM ketika melibatkan obat dan makanan serta daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota sebagai end user dari NSPK tersebut.

Catatan lainnya adalah NSPK yang harus dibuat tersebut tidak perlu dibuat satu persatu sebagaimana tabel di atas, namun dapat juga dilakukan penggabungan atas NSPK yang secara teknis bersifat serumpun sehingga dapat saja dirumpunkan menjadi 16 NSPK sebagaimana kesimpulan pertama. Namun apabila menyangkut hal-hal spesifik dan sulit untuk disatukan dalam rumpun dan dirasa harus berdiri sendiri maka sebaiknya untuk hal-hal spesifik tersebut jangan dipaksakan dirumpunkan.

Semua NSPK di atas adalah NSPK yang diperlukan agar urusan pemerintahan bidang kesehatan yang didesentralisasikan dapat berjalan secara baik. Di luar NSPK tersebut masih banyak sekali NSPK yang sudah ada dan selama ini sudah dijadikan rujukan bagi daerah dalam melaksanakan urusan kesehatan. NSPK yang berkaitan dengan teknis penanggulangan penyakit, cara hidup sehat dan lain-lainnya pasti sudah ada dan masih tetap berlaku sepanjang masih sesuai dengan perkembangan dari dunia kesehatan.

2.2. STRATEGI PENATAAN KELEMBAGAAN

Setelah adanya pembagian urusan pemerintahan yang jelas antartingkatan pemerintahan dan diikuti dengan kejelasan NSPK sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan kesehatan yang menjadi kewenangannya, maka langkah selanjutnya adalah adanya kelembagaan untuk mewadahi penyelenggaraan urusan kesehatan. Ada beberapa isu kelembagaan yang perlu perhatian besar untuk dilakukan evaluasi dalam pelaksanaan RPJMN 2015-2019.

Pertama, terkait dengan kelembagaan daerah telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah sebagai tindak lanjut dari UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada PP 18/2016 telah diatur mengenai tipologi dinas sesuai dengan beban tugasnya. Ada tipe A untuk mengakomodir beban tugas yang besar, tipe B untuk mengakomodir beban tugas yang sedang dan tipe C untuk mengakomodir beban tugas yang kecil. Dalam tipe A akan terdapat 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang dimana sekretariat terdiri atas 3 (tiga) subbagian dan bidang terdiri atas paling banyak 3 (tiga) seksi. Tipe B akan terdapat 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 3 (tiga) bidang dimana sekretariat terdiri atas 2 (dua) subbagian dan bidang terdiri atas paling banyak 3 (tiga) seksi. Sedangkan untuk tipe C akan terdapat 1 (satu) sekretariat paling banyak 2 (dua) bidang dimana sekretariat terdiri atas 2 (dua) subbagian dan bidang terdiri atas paling banyak 3 (tiga) seksi. Untuk itu harus ada kejelasan komponen setingkat direktorat jenderal di Kementerian Kesehatan mengenai siapa yang menjadi stakeholder-nya di tingkat daerah. Dengan demikian tidak semua pekerjaan akan tertumpu di kepala dinas namun akan terbagi kedalam bidang-bidang yang jelas hubungannya dengan komponen-komponen di lingkungan Kementerian Kesehatan. Dengan cara tersebut proses pembinaan, fasilitasi dan pengawasan akan lebih efektif.

Page 33: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

2. Strategi Desentralisasi Urusan Kesehatan • 4746 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Kedua, isu yang berubah secara signifikan adalah hubungan antara Dinas Kesehatan dengan RSUD. Di masa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 keduanya mempunyai posisi yang sama yaitu Eselon II b di tingkat kabupaten/kota dan Eselon II a di tingkat provinsi. Sedangkan dalam UU 23/2014 yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP 18/2016 diatur bahwa penanggung jawab kesehatan di daerah menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan. Namun untuk pelayanan kesehatan menjadi domain dan tanggung jawab rumah sakit. Dengan demikian posisi RSUD adalah unit pelayanan kesehatan dibawah koordinasi Dinas Kesehatan. Dengan demikian dualisme pengelola urusan kesehatan tidak terjadi lagi. Aspek administrasi dan manajerial urusan kesehatan akan menjadi tanggungjawab Dinas Kesehatan sedangkan RSUD akan fokus pada pelayanan kesehatan. Agar PNS profesional tertarik menjadi direktur RSUD, maka jabatan kepala rumah sakit adalah direktur yang disetarakan dengan Eselon II dan dibawah koordinasi kepala Dinas Kesehatan. Pemahaman disetarakan adalah walaupun jabatan direktur RSUD tersebut bukan jabatan struktural, namun segala hak keuangan, fasilitas dan protokolernya disetarakan dengan hak keuangan, fasilitas dan protokoler Eselon IIa untuk RSUD Tipe B dan Eselon IIb untuk RSUD Tipe C. Akan tetapi ada jabatan struktural di RSUD khususnya yang terkait dengan keuangan, kepegawaian, logistik dan sejenisnya. Jadi direktur RSUD adalah pejabat fungsional sarjana kesehatan yang diberikan pekerjaan tambahan sebagai direktur. Untuk itu perlu diatur dalam NSPK yang dikeluarkan Menteri Kesehatan terkait dengan tata hubungan antara Dinas Kesehatan dengan RSUD, batas-batas kewenangan, hak dan tanggung jawabnya. Untuk mempercepat pelayanan RSUD maka pengelolaan keuangannya disarankan memakai mekanisme BLUD (Badan Layanan Umum Daerah).

Ketiga, isu tentang hubungan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan puskesmas dan hubungan RSUD dengan puskesmas. Puskesmas adalah unit pelayanan kesehatan primer yang memberikan pelayanan kesehatan pertama kepada masyarakat. Hubungan manajerial dan administratif akan lebih mewarnai hubungan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan puskesmas seperti terkait aspek kepegawaian, keuangan, logistik, umum dan lain-lain sejenisnya. Sedangkan hubungan RSUD Kelas C dan RSUD Kelas D yang menjadi milik pemerintah kabupaten/kota dengan puskesmas akan lebih pada aspek teknis kesehatan seperti teknis pengobatan, pelayanan pasien, dan aspek teknis medikal lainnya. Jadi dengan demikian hubungan administratif dan manajerial akan mewarnai hubungan Dinas Kesehatan dengan puskesmas dan hubungan teknis medikal akan mewarnai hubungan RSUD dengan puskesmas. Pengaturan hal tersebut harus dituangkan dalam NSPK dari Menteri Kesehatan yang mengatur tata hubungan kelembagaan sehingga dapat dijadikan pedoman bagi daerah dalam pelaksanaannya.

Keempat, hubungan antara Dinas Kesehatan Provinsi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Sebagaimana halnya urusan pemerintahan yang diotonomikan ke daerah, masing-masing daerah melaksanakan urusan yang diserahkan kepadanya. Namun demikian akan selalu ada hubungan antara keduanya walaupun tidak bersifat hierarkis. Selalu ada hubungan interrelasi dan interdependensi antara urusan kesehatan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dengan urusan kesehatan yang menjadi kewenangan provinsi dan bahkan sampai di Pusat. Hal yang mudah dapat dilihat dari mekanisme rujukan (referral) antara puskesmas dengan RSUD kelas D dan RSUD kelas C yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dengan RSUD kelas B yang menjadi kewenangan provinsi dan bahkan dengan RSU kelas A yang menjadi kewenangan Pusat yang dalam hal ini adalah kewenangan Kementerian Kesehatan. Tata hubungan tersebut harus diatur dalam NSPK yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan sebagai pedoman kerja bagi setiap tingkatan pemerintahan dalam melaksanakan kewenangannya masing-masing.

Kelima, hubungan antara kelembagaan kesehatan publik dengan kelembagaan kesehatan milik swasta. Apabila ada pihak swasta yang akan mendirikan RSUD ataupun klinik di daerah, maka sesuai dengan tipenya harus diatur tingkatan pemerintahan yang mana yang mempunyai kewenangan mengeluarkan ijinnya. Untuk rumah sakit swasta setara kelas A atau yang strategis akan menjadi kewenanagn Kementerian Kesehatan untuk mengeluarkan ijinnya. Demikian pula halnya dengan rumah sakit swasta atau klinik setara kelas B akan menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Sedangkan pada rumah sakit dan klinik swasta setara kelas C atau D atau setara puskesmas adalah menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam penerbitan ijinnya. Di samping menerbitkan ijin, setiap tingkatan pemerintahan sesuai kewenangannya wajib melakukan monitoring dan evaluasi (monev) apakah pihak swasta tersebut telah memenuhi ketentuan sebagaimana yang telah diatur diatur dalam NSPK. Dalam hal pemerintah daerah melalaikan kewajibannya untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan monev maka harus jelas bagaimana sanksinya. Semua hal tersebut seyogyanya diatur dalam NSPK yang mengatur secara jelas dan tegas tentang hal tersebut, termasuk sanksi apabila NSPK tidak dilaksanakan.

Kesimpulan:Dari aspek kelembagaan maka sangat mendesak untuk membuat NSPK yang menyangkut:

a. Hubungan Kementerian Kesehatan dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota termasuk hubungan Dinas Kesehatan Provinsi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

b. Hubungan antara Dinas Kesehatan Provinsi dengan RSUD tipe B milik provinsic. Hubungan antara Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan RSUD tipe C dan tipe D serta

puskesmas milik kabupaten/kotad. Hubungan pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan dengan pihak pengelola

layanan kesehatan swasta sesuai denganbatas kewenangannyae. Penyetaraan hak keuangan, fasilitas dan protokoler bagi Direktur RSUD. Hal ini untuk

mendukung pendekatan jabatan fungsional bagi pengelola rumah sakit Dengan tersedinya NSPK hubungan kelembagaan maka potensi tumpang tindih tidak akan terjadi antara kelembagaan pusat dengan daerah, dan antar kelembagaan di daerah itu sendiri.

2.3. STRATEGI PENATAAN SDM

Dengan memperhatikan overview kondisi SDM kesehatan maka strategi penataan yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut:

1. Melakukan pemetaan antara kondisi SDM kesehatan yang ada dengan standar yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Menteri Kesehatan telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 yang dapat dijadikan instrumen pemetaan kondisi SDM kesehatan di rumah sakit. Sedangkan untuk SDM kesehatan pada puskesmas dapat merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas.

2. Dengan membandingkan antara kondisi SDM kesehatan yang ada dengan standar yang telah ditetapkan, pemerintah daerah akan dapat menghitung apakah SDM kesehatan yang ada sudah mencukupi atau belum. Jika terjadi kelebihan maka dilakukan moratorium penambahan SDM kesehatan. Sebaliknya jika terjadi kekurangan maka dapat menjadi dasar pengajuan formasi kebutuhan SDM kesehatan kepada Kementerian PAN dan RB.

Page 34: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

2. Strategi Desentralisasi Urusan Kesehatan • 4948 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

3. Kementerian Kesehatan perlu menetapkan NSPK sebagai berikut:a. Standar jumlah SDM pada Dinas Kesehatan tipe A, Dinas Kesehatan tipe B dan Dinas

Kesehatan tipe C baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kotab. Standar kompetensi yang harus dimiliki untuk menduduki jabatan struktural yang ada

di Dinas Kesehatan, yang meliputi: kompetensi manajerial, teknis dan sosio-kulturalc. Manajemen SDM bagi mereka yang bekerja pada Dinas Kesehatan dan unit

pelayanan kesehatan khususnya yang terkait dengan proses rekrutmen, placement, development, rotation, career planning dan remuneration. Kementerian Kesehatan wajib berkoordinasi dengan Kementerian PAN dan RB serta dengan BKN ketika mengatur manajemen SDM tersebut

d. Sanksi administratif apabila terjadi pelanggaran terhadap NSPKe. Sistem monitoring dan evaluasi (monev) untuk memantau perkembangan aspek

SDM

2.4. STRATEGI PENATAAN KEUANGAN

Langkah keempat yang perlu ditata dalam pelaksanaan urusan kesehatan adalah isu pendanaannya. Sepanjang menyangkut otonomi di bidang kesehatan, prinsip dasar adalah bahwa urusan kesehatan yang diserahkan kepada daerah hendaknya diikuti dengan penyerahan sumber pendanaannya. Dari prinsip tersebut lahir prinsip money follows function. Urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah termasuk urusan kesehatan harus diikuti dengan penyerahan sumber-sumber keuangan yang memungkinkan daerah untuk membiayai urusan yang diotonomikan kepada daerah tersebut.

Berdasarkan data overview kondisi keuangan untuk membiayai urusan kesehatan, strategi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil pemetaan kemampuan fiskal daerah maka pemerintah daerah yang belum menganggarkan 10% (sepuluh persen) APBD di luar gaji untuk anggaran kesehatan menjadi objek pemberian DAK dari pemerintah pusat. Dengan catatan bahwa daerah tersebut memang mempunyai kapasitas fiskal yang rendah. Untuk itu, pelibatan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam rangka pemetaan fiskal kabupaten/kota di wilayahnya menjadi sangat penting. Gubernur dalam rangka menjalankan tugas ini wajib didukung dengan dana dekonsentrasi

2. Bagi pemerintah daerah yang dengan sengaja tidak mau menganggarkan 10% (sepuluh persen) APBD-nya diluar gaji untuk membiayai urusan kesehatan padahal mereka mempunyai kapasitas fiskal yang mencukupi maka Menteri Dalam Negeri memerintahkan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat untuk menunda pengesahan Rancangan APBD Kabupaten/Kota bersangkutan

3. Bagi pemerintah daerah yang mempunyai kapasitas fiskal yang tinggi dan telah menganggarkan 10% (sepuluh persen) APBD-nya diluar gaji untuk biaya kesehatan maka pemerintah daerah tersebut didorong untuk menjaga keberlangsungan pembiayaan tersebut

4. Bagi pemerintah daerah yang mempunyai kapasitas fiskal yang cukup namun kinerjanya kurang bagus maka Kementerian Kesehatan menyediakan pelatihan bagi tenaga kesehatan di pemerintah daerah tersebut

5. Terdapat pemerintah daerah dengan kapasitas fiskal per kapita yang relatif rendah namun mampu mencapai IPM bidang kesehatan yang baik. Ada beberapa alasan yang memungkinkan hal tersebut seperti:a. pemerintah daerah banyak melakukan terobosan kebijakan yaitu menekankan pada

kegiatan public health yang menyebabkan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. Dengan demikian pada gilirannya mengurangi tingkat kematian bayi dan meningkatkan harapan hidup masyarakat daerah yang bersangkutan

b. pemerintah daerah memberikan kemudahan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi di bidang kesehatan. Kemudahan dapat berupa insentif fiskal dan non fiskal yang merangsang pihak swasta mendirikan klinik kesehatan, rumah sakit dan sarana serta prasarana kesehatan lainnya sehingga otomatis akan mengurangi beban pemerintah daerah dalam pengalokasian biaya kesehatan

Sebagai gambaran, daerah-daerah yang mendapatkan bantuan DAK pada tahun 2017 disajikan dalam tabel berikut:

Page 35: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

2. Strategi Desentralisasi Urusan Kesehatan • 5150 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan KesehatanTa

bel

10.

Alo

kasi

DA

K K

eseh

atan

Tah

un

201

7

NO

PR

OV

INS

ID

AK

FIS

IKD

AK

NO

N F

ISIK

ALO

KA

SI (

RP

)R

EA

LIS

AS

I (R

P)

(%)

ALO

KA

SI (

RP

)R

EA

LIS

AS

I (R

P)

(%)

1A

CE

H65

5.64

0.56

3.00

057

8.40

5.90

7.51

688

,22

240.

183.

658.

000

147.

980.

230.

753

61,6

12

SU

MU

T72

2.40

0.58

3.00

054

1.21

3.69

0.61

674

,92

424.

701.

451.

000

272.

989.

476.

040

64,2

83

SU

MB

AR

488.

721.

048.

000

337.

117.

592.

434

68,9

818

4.14

4.24

7.00

011

0.09

8.22

8.23

859

,79

4R

IAU

300.

741.

425.

000

194.

378.

291.

957

64,6

316

9.85

3.95

4.00

088

.677

.165

.981

52,2

15

JAM

BI

269.

791.

788.

000

234.

654.

717.

052

86,9

812

0.83

3.48

5.00

081

.380

.551

.958

67,3

56

SU

MS

EL

404.

897.

127.

000

328.

922.

706.

785

81,2

422

5.34

6.81

5.00

016

3.15

4.74

4.35

772

,40

7B

EN

GK

ULU

400.

456.

469.

000

217.

857.

176.

363

54,4

011

1.36

2.76

4.00

049

.612

.792

.422

44,5

58

LAM

PU

NG

448.

824.

604.

000

357.

595.

488.

483

79,6

721

2.11

4.36

6.00

012

3.47

2.74

9.14

358

,21

9B

AB

EL

209.

215.

602.

000

189.

616.

122.

484

90,6

343

.420

.970

.000

30.9

36.7

70.1

9871

,25

10K

EP

RI

177.

690.

466.

000

147.

233.

504.

053

82,8

646

.691

.895

.000

35.5

86.6

94.0

5976

,22

11JA

KA

RTA

00

0,00

68.0

00.2

80.0

0017

.507

.067

.983

25,7

512

JAB

AR

898.

858.

031.

000

645.

670.

015.

653

71,8

368

5.74

6.18

1.00

033

6.61

8.61

5.24

749

,09

13JA

TE

NG

910.

969.

125.

000

816.

968.

044.

216

89,6

852

8.46

7.14

9.00

039

6.73

7.54

8.66

275

,07

14YO

GYA

KA

RTA

130.

707.

838.

000

116.

080.

498.

419

88,8

164

.052

.369

.000

54.0

60.3

16.0

2784

,40

15JA

TIM

1.10

2.39

2.82

0.00

093

9.78

0.03

4.35

385

,25

542.

308.

108.

000

327.

344.

143.

740

60,3

616

BA

NT

EN

273.

909.

025.

000

215.

417.

087.

852

78,6

518

1.68

7.50

4.00

010

2.03

6.31

7.70

356

,16

17B

ALI

174.

725.

820.

000

153.

209.

499.

266

87,6

970

.956

.729

.000

51.8

36.3

37.8

2473

,05

18N

TB

295.

276.

659.

000

231.

755.

026.

089

78,4

912

7.01

9.67

9.00

098

.591

.860

.996

77,6

219

NTT

1.17

2.15

8.09

1.00

082

5.19

2.18

6.51

370

,40

317.

980.

177.

000

210.

894.

031.

024

66,3

220

KA

LBA

R79

0.68

4.41

2.00

036

5.01

0.25

4.67

946

,16

207.

469.

773.

000

71.4

74.4

73.3

6934

,45

21K

ALT

EN

G37

6.58

2.99

2.00

031

3.15

4.47

9.14

383

,16

139.

791.

207.

000

94.8

87.6

32.9

2867

,88

22K

ALS

EL

249.

131.

053.

000

227.

902.

866.

116

91,4

816

3.41

1.52

3.00

012

1.57

0.86

5.29

474

,40

23K

ALT

IM39

6.25

3.70

6.00

031

1.81

9.69

7.54

578

,69

121.

432.

598.

000

76.1

14.0

77.7

0562

,68

24K

ALT

AR

A29

8.27

0.96

1.00

010

1.64

8.47

9.98

434

,08

37.5

15.7

30.0

0013

.614

.008

.675

36,2

925

SU

LUT

424.

103.

472.

000

306.

848.

053.

146

72,3

512

2.13

9.66

8.00

076

.215

.876

.145

62,4

026

SU

LTE

NG

654.

502.

521.

000

586.

789.

725.

763

89,6

515

2.00

3.65

4.00

012

3.65

4.60

1.51

681

,35

27S

ULS

EL

889.

366.

108.

000

758.

066.

319.

413

85,2

430

5.36

4.78

6.00

022

1.98

9.86

9.53

172

,70

28S

ULT

RA

346.

857.

198.

000

302.

794.

577.

316

87,3

018

0.70

4.25

0.00

014

6.43

0.88

0.88

181

,03

29G

OR

ON

TALO

244.

960.

217.

000

188.

874.

443.

783

77,1

062

.113

.577

.000

46.6

79.1

36.9

5675

,15

30S

ULB

AR

205.

099.

806.

000

187.

462.

955.

326

91,4

075

.699

.229

.000

60.1

38.3

61.3

7679

,44

31M

ALU

KU

575.

657.

224.

000

230.

862.

520.

179

40,1

016

5.80

7.33

9.00

037

.311

.185

.099

22,5

032

MA

LUT

354.

803.

330.

000

281.

182.

810.

048

79,2

597

.203

.043

.000

76.6

71.4

40.1

3478

,88

33PA

PU

A B

AR

AT

291.

231.

258.

000

71.2

32.4

74.1

4424

,46

124.

654.

228.

000

10.8

88.2

70.4

988,

7334

PAP

UA

1.46

8.91

3.42

4.00

054

2.74

8.57

2.63

236

,95

331.

017.

754.

000

111.

682.

244.

472

33,7

4D

AN

A D

AK

16.6

03.7

94.7

66.0

0011

.847

.465

.819

.321

71,3

56.

651.

200.

140.

000

3.98

8.83

8.56

6.93

459

,97

Su

mb

er: D

ata

dan

Info

rmas

i Pro

fil K

eseh

atan

Ind

on

esia

201

7

Untuk memetakan kondisi ini maka Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) memetakan capaian IPM yang dikaitkan dengan kemampuan fiskal daerah kabupaten/kota yang ada dalam wilayahnya. GWPP dapat memetakan kabupaten/kota dalam wilayahnya, kabupaten/kota mana yang berhak mendapatkan reward, kabupaten/kota mana yang harus di maintain kinerjanya, kabupaten/kota mana yang harus dibina dan difasilitasi dan kabupaten/kota mana yang perlu mendapatkan DAK. Dengan cara seperyi ini maka akan meringankan beban pemerintah pusat untuk fokus dalam pembinaan urusan kesehatan di daerah. Pusat akan punya peta yang utuh mana daerah yang wajib dibantu dengan DAK, mana daerah yang perlu dibantu dalam hal manajemen kesehatannya dan mana pula yang perlu diberikan reward.

Sisi lain dari aspek pendanaan yang perlu di evaluasi adalah Dana Dekonsentrasi (Dana Dekon) dan Dana Tugas Pembantuan (Dana TP). Dana dekon adalah dana yang diperuntukkan untuk menunjang kegiatan GWPP dalam melakukan Binwas dan monev terhadap pelaksanaan urusan kesehatan yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota di wilayahnya. Sedangkan dana TP adalah dana yang dialokasikan oleh pusat ke daerah untuk membantu pelaksanaan urusan kesehatan yang menjadi kewenangan Pusat yang berlokasi di daerah. Dana TP juga bisa dialokasikan oleh pemerintah daerah provinsi sebagai daerah otonom provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya untuk melaksanakan urusan kesehatan yang menjadi kewenangan provinsi yang berlokasi di kabupaten/kota. Kedua model pendanaan tersebut lebih ditujukan untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan urusan kesehatan yang menjadi domain kewenangan yang menugaskan.

2.5. STRATEGI PEMENUHAN SPM KESEHATAN DAN PROGRAM PRIORITAS

Berdasarkan overview kondisi SPM kesehatan maka strategi yang diusulkan adalah sebagai berikut:

1. Kementerian Kesehatan secepatnya menerbitkan NSPK tentang SPM Kesehatan2. Setelah menerbitkan NSPK tentang SPM Kesehatan maka Kementerian Kesehatan

melakukan sosialisasi kepada daerah. Khusus untuk sosialisasi di tingkat kabupaten/kota dilaksanakan dengan memanfaatkan peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Untuk itu maka diperlukan Training of Trainer (TOT) terhadap pejabat Dinas Kesehatan Provinsi untuk disiapkan sebagai fasilitator kabupaten/kota

3. Kementerian Kesehatan melakukan pemetaan kondisi capaian pemenuhan SPM kesehatan. Pemetaan ini dimaksudkan untuk mengetahui baseline capaian SPM kesehatan pada masing-masing daerah

4. Bagi daerah yang belum memenuhi SPM kesehatan, maka langkah yang perlu diidentifikasi adalah penyebab tidak tercapainya SPM kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk melatih daerah untuk menyusun strategi pemenuhan SPM kesehatan di daerahnya

5. Kementerian Kesehatan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan bahwa anggaran untuk SPM kesehatan dimasukkan dalam pedoman penyusunan anggaran tahunan yang ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri

Page 36: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

2. Strategi Desentralisasi Urusan Kesehatan • 5352 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

2.6. STRATEGI SINKRONISASI PROGRAM LINTAS SEKTOR DAN LINTAS LEVEL PEMERINTAHAN

Berdasarkan overview lintas sektor, strategi yang dapat dilaksanakan dalam konteks sinkronisasi program lintas sektor dan lintas level pemerintahan adalah sebagai berikut:

1. Kementerian Kesehatan menentukan target-target kesehatan yang harus dicapai sesuai dengan visi dan misi Presiden terpilih selaku penanggung jawab pemerintahan secara keseluruhan sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 4 (1) UUD 1945. Target-target ini yang kemudian dituangkan dalam program-program dan kegiatan untuk merealisasikannya.

2. Program dan kegiatan kesehatan yang telah ditetapkan secara keseluruhan kemudian dikaitkan dengan pembagian urusan kesehatan sebagaimana diatur dalam lampiran UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dari pembagian urusan tersebut akan nampak secara jelas siapa penanggung jawab pelaksanaan program dan kegiatan tersebut dan bagaimana hubungan antar tingkatan pemerintahan ketika suatu program menjadi domain kewenangan tingkatan pemerintahan yang berbeda. Kemudian harus jelas apa yang dikerjakan oleh pusat, provinsi dan kabupaten/kota untuk menunjang program dan kegiatan tersebut.

3. Program dan kegiatan yang bersifat lintas sektor dan lintas tingkatan pemerintahan dibicarakan dalam musyawarah perencanaan pembangunan nasional (Musrenbangnas) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) akan mengkoordinir program dan kegiatan kabupaten/kota di wilayah provinsi tersebut dan disinergikan dengan tugas provinsi yang bersangkutan di bidang kesehatan. Semua isu tersebut akan dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat provinsi. Bappeda provinsi bertugas mengkoordinasikan lintas SKPD/OPD yang terkait dengan pencapaian program dan kegiatan kesehatan . Operasionalisasi dalam praktek akan berada di tangan Dinas Kesehatan Provinsi.

4. Dinas Kesehatan Provinsi harus memetakan (mapping) permasalahan-permasalahan kesehatan yang terjadi di kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan berdasarkan input dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Inventarisasi masalah-masalah yang dihadapi dalam pencapaian target nasional di provinsi yang bersangkutan. Kemudian bersama Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dibahas mengenai target pencapaian dan solusi atas masalah-masalah yang potensial terjadi.

5. Mekanisme tersebut akan berjalan secara baik apabila didukung dengan sistem monev dan IT yang memadai. Alur informasi yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada Dinas Kesehatan Provinsi harus diteruskan ke Kementerian Kesehatan. Kemudian Kementerian Kesehatan mengkoordinasikannya dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan untuk mengambil tindakan korektif yang diperlukan.

6. Dalam hal program kesehatan bersifat multisektor di tingkat daerah, maka Kementerian Kesehatan harus membuat NSPK bagi daerah dalam pelaksanaan urusan kesehatan.

7. Dalam hal program kesehatan bersifat multisektor yang melibatkan beberapa K/L, maka dibuatkan NSPK dalam bentuk Peraturan Presiden dimana Kementerian Kesehatan sebagai leading sektornya.

2.7. STRATEGI PENATAAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Berdasarkan overview pembinaan dan pengawasan maka strategi yang diusulkan adalah sebagai berikut:

1. Untuk pembinaan dan pengawasan terhadap provinsi, secara teknis dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan dan secara umum dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri. Untuk itu perlu dibuat MoU antara Kementerian Kesehatan dengan Kementerian Dalam Negeri mengenai tata cara, prosedur, dan sistem pelaporan yang terkait dengan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan.

2. Untuk pembinaan dan pengawasan terhadap kabupaten/kota, baik secara teknis maupun umum, dilaksanakan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, dibantu oleh Dinas Kesehatan Provinsi sebagai unsur pelaksana. Untuk itu perlu disusun NSPK oleh Kementerian Kesehatan mengenai tata cara, prosedur, dan sistem pelaporan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan tersebut.

3. Perlu dilaksanakan TOT untuk pejabat Dinas Kesehatan Provinsi agar mampu melaksanakan pembinaan dan pengawasan sesuai dengan NSPK yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.

4. Dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan terhadap kabupaten/kota, pembiayaan atas pelaksanaan tugas Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dibebankan pada APBN.

5. Dalam hal hasil pembinaan dan pengawasan menunjukkan daerah belum mampu melaksanakan kewenangannya dalam urusan kesehatan maka langkah-langkah yang dilakukan adalah:a. Apabila daerah kekurangan dana akan dijadikan obyek untuk mendapatkan bantuan

DAKb. Apabila SDM kesehatan yang ada masih kurang maka dapat menjadi dasar untuk

mengajukan formasi kebutuhan SDM kesehatan kepada Kementerian PAN dan RB. Sebaliknya, jika SDM kesehatan yang ada sudah berlebih maka dapat menjadi dasar moratorium tenaga kesehatan di daerah tersebut

c. Apabila keterampilan SDM kesehatan kurang memadai maka dapat menjadi dasar bagi Kementerian Kesehatan untuk melaksanakan pelatihan

6. Apabila kurang optimalnya pelaksanaan urusan kesehatan oleh kabupaten/kota dikarenakan adanya kesengajaan maka Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dapat mengusulkan sanksi kepada Menteri Dalam Negeri. Dalam hal pelanggaran dilakukan oleh provinsi maka Menteri Dalam Negeri dapat menjatuhkan sanksi kepada Gubernur sebagai kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

7. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan pengawasan maka perlu melibatkan masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan. Perlu dibentuk ruang pengaduan bagi masyarakat secara mudah, murah dan cepat direspon sehingga perkembangan perbaikan pelayanan kesehatan dapat terus termonitor. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menginformasikan kepada masyarakat terkait pelayanan kesehatan yang diberikan dan sejauhmana capaian yang telah diraih.

Page 37: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

54 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

2.8. STRATEGI PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN IT DALAM TATA KELOLA URUSAN KESEHATAN

Berdasarkan overview kondisi sistem IT dalam tata kelola urusan kesehatan maka strategi yang diusulkan adalah sebagai berikut:

1. Segera menyelesaikan pengadaan sistem IT dan rumusan data/informasi yang terkandung dalam sistem IT Kesehatan dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan mengingat PP tersebut telah ditetapkan sejak 3 Juni 2014.

2. Sistem IT yang ada harus dapat dikelola secara online maupun offline, dapat diupgrade sesuai dengan perkembangan teknologi, dan mampu bertahan atas ancaman virus/malware atau sejenisnya. Data/informasi yang ada harus komprehensif, berjenjang dan terkoneksi dengan lembaga/institusi terkait.

3. Sistem IT yang ada harus disesuaikan dengan lanskap penyelenggaraan pemerintahan era desentralisasi. Mana yang menjadi tugas pusat, provinsi dan kabupaten/kota sesuai kewenangannya, serta bagaimana hubungan kelembagaan dan mekanisme koordinasi dalam tata kelola urusan kesehatan.

4. Sistem IT yang ada harus memudahkan dalam proses monitoring dan evaluasi serta pembinaan dan pengawasan pelaksanaan urusan kesehatan sehingga terpenuhinya standar pelayanan kesehatan dan menghasilkan pelayanan kesehatan yang optimal.

3.ANALISIS LINGKUNGAN

STRATEGIS DAN TANTANGAN KEDEPAN

DESENTRALISASI URUSAN KESEHATAN

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

Penguatan tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Page 38: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

3. Analisis Lingkungan Strategis dan Tantangan Kedepan • 5756 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

3.1. IMPLIKASI PILKADA SERENTAK TERHADAP PERENCANAAN KESEHATAN

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilakukan secara serentak mempunyai implikasi terhadap kelancaran perencanaan pembangunan nasional. Selama ini dengan pola Pilkada yang sendiri-sendiri terjadi berbagai masalah antara lain:

a. Biaya Pilkada menjadi mahal sehingga Pilkada menciptakan beban yang berat secara finansial terhadap pemerintah daerah.

b. Masyarakat menjadi jenuh dengan Pilkada yang hampir setiap hari bisa terlaksana mengingat jumlah pemda provinsi sebanyak 34 dan pemda kabupaten/kota berjumlah 515. Artinya secara komulatif akan dilaksanakan 549 Pilkada dalam kurun 5 tahun dan kemungkinan event Pilkada akan terjadi dua kali setiap minggunya kalau menggunakan angka rata-rata.

c. Dari segi efektifitas penyelenggaraan pemerintahan akan menyulitkan pencapaian visi dan misi pemerintah secara keseluruhan. Masa dimulainya pengabdian kepala daerah yang berbeda antara Presiden sebagai kepala pemerintahan nasional dengan Gubernur dan Bupati/Walikota sebagai kepala pemerintahan di daerahnya masing-masing akan sangat mempengaruhi perencanaan pembangunan secara nasional. Sulit menciptakan sinerji pembangunan antara pusat dengan daerah dan antara provinsi dengan kabupaten/kota dalam wilayahnya. Sebagai negara kesatuan, kita seyogyanya mempunyai kesamaan visi dan misi secara nasional. Pencapaiannya terserah pada inovasi, kreativitas dan kearifan lokal masing-masing daerah sebagai refleksi dari otonomi daerah. Sering muncul keluhan karena visi dan misi Presiden terpilih ke “barat”, Gubernur ke “timur” dan Bupati/Walikota ke “utara”. Banyak energi bangsa yang akan terbuang dan tidak fokus apabila keadaan terus dibiarkan. Pilkada serentak diharapkan dapat mengatasi kesemrawutan perencanaan pembangunan sehingga fokus dan holistik secara nasional.

Pilkada serentak harus dimanfaatkan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas manajemen pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kesehatan secara nasional tanpa mengganggu proses pematangan demokrasi yang sedang berjalan dewasa ini.Untuk itu, peran Pusat yang dalam hal ini Kementerian Kesehatan akan sangat signifikan untuk menjadi “dirigen” dalam pencapaian tujuan nasional di bidang kesehatan. Jangan lagi setiap daerah dibiarkan melaksanakan urusan kesehatan dengan visi dan misi-nya sendiri-sendiri. Visi dan misi kesehatan secara nasional wajib dipahami oleh semua stakeholders kesehatan. Kepala daerah bisa saja dalam konteks otonomi daerah berupaya melaksanakan upaya kesehatan sesuai dengan karakter dan inisiatif lokalnya, namun tetap dalam koridor kebijakan kesehatan nasional, mengingat tanggung jawab akhir berada ditangan Menteri Kesehatan sebagai pemegang pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden di bidang kesehatan. Sebagian dari kewenangan tersebut diserahkan pelaksanaannya ke daerah. Untuk itu pelaksanaan di tingkat daerah harus sinerji dengan kebijakan di tingkat nasional.

Dengan memperhatikan bagian urusan kesehatan secara nasional dan urusan kesehatan yang diserahkan ke daerah, Kementerian Kesehatan menetapkan tujuan yang ingin dicapai dari setiap bidang urusan kesehatan yang dilaksanakan oleh daerah. Daerah diberikan diskresi yang luas untuk menentukan cara dan teknis untuk mencapai tujuan tersebut sesuai dengan kondisi dan situasi daerah masing-masing.

Sinerji perencanaan pembangunan kesehatan tersebut akan sangat terbantu dengan dilaksanakannya Pilkada serentak. Arahan yang jelas dan tegas dari Pusat dengan mekanisme

pembinaan dan pengawasan yang jelas baik secara teknis oleh Kementerian Kesehatan dan secara umum oleh Kementerian Dalam Negeri akan membantu pencapaian target-target pembangunan kesehatan secara nasional. Kementerian Kesehatan membuat pemetaan secara nasional bagaimana pencapaian dari setiap daerah dalam pelaksanaan otonomi urusan kesehatan yang diserahkan ke daerah. Pemetaan tingkat provinsi dilakukan oleh Kementerian Kesehatan sedangkan pemetaan untuk kabupaten/kota diserahkan kepada GWPP melalui Dinas Kesehatan Provinsi untuk pelaksanaannya.

Kejelasan mekanisme dan teknis pelaksanaan monev menjadi esential agar proses tersebut berjalan secara efektif dan efisien. Dinas Kesehatan Provinsi membuat kompilasi hasil pemetaan pelaksanaan urusan kesehatan kabupaten/kota dalam wilayah provinsi yang bersangkutan. Kompilasi hasil pemetaan tersebutlah yang kemudian dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan. Dalam hal ini, termasuk pula laporan hasil pemetaan dari urusan kesehatan yang menjadi kewenangan provinsi sendiri.

Kementerian Kesehatan dapat mendorong dan membantu daerah dalam mengembangkan inovasi daerah untuk merangsang sektor swasta berinvestasi di daerah dengan insentif fiskal dan non fiskal.

Dengan langkah-langkah tersebut, Pusat dapat memanfaatkan momentum Pilkada serentak untuk membantu pencapaian tujuan nasional di bidang kesehatan. Momentum tersebut yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh Pusat dalam mencapai tujuan nasional dalam konteks negara kesatuan. Memanfaatkan kreativitas, inovasi dan kearifan lokal melalui otonomi daerah mencapai tujuan nasional.

3.2. DANA DESA UNTUK MEMBANTU KESEHATAN

Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah merubah secara signifikan penyelenggaraan pemerintahan di desa. Dari pendekatan konvensional yang berbasis menjaga tradisi dan adat istiadat, Desa telah diberikan peran penting dalam mensejahterakan warga desa. Desa telah diberikan kucuran dana dari Pusat sebanyak 10% (sepuluh persen) dari total DAU secara nasional yang dewasa ini telah mencapai lebih dari Rp 700 triliun. Ini berarti desa dengan jumlah sekitar 70.000 telah menerima kucuran dana yang sangat besar yaitu sekitar Rp 70 triliun. Ini juga berarti bahwa setiap desa secara potensial menerima dana rata-rata sekitar Rp 1 miliar. Dana tersebut belum termasuk dana perimbangan yang berasal dari APBD kabupaten/kota yang berjumlah 10% (sepuluh persen) setelah dikurangi DAK sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Desa.

Apabila jumlah penduduk desa sekitar 2.000 jiwa sampai 5.000 jiwa setiap desanya. Ini berarti setiap jiwa potensial akan memperoleh alokasi dana sekitar Rp 500.000 sampai Rp 200.000 per jiwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa secara keseluruhan. Suatu jumlah yang cukup signifikan untuk membangun masyarakat desa apabila pemanfaatannya terarah dan fokus pada masalah-masalah yang dihadapi masyarakat desa tersebut.

Prioritas pemanfaatan dana desa untuk tahun 2016 dipergunakan untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur desa seperti jalan desa, lingkungan desa, irigasi desa dan infrastruktur

Page 39: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

4. Tujuan dan Arah Desentralisasi Kesehatan Tahun 2020-2024 • 5958 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

tingkat desa lainnya. Pada tahun 2017 prioritas ditekankan pada pengembangan usaha produktif masyarakat desa seperti pasar desa, pertanian desa, Badan Milik Usaha Desa (Bumdes), koperasi desa dan kegiatan-kegiatan ekonomi desa lainnya.

Apabila kita kembali kepada pemahaman dasar kesejahteraan masyarakat, salah satu metodanya adalah memakai pendekatan Human Development Indexs (HDI) yang di Indonesia dikenal dengan istilah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Salah satu dimensi dari IPM adalah komponen kesehatan yang diukur dari tingkat kematian bayi dan harapan hidup. Salah satu permasalahan pelaksanaan kesehatan di Indonesia adalah kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Selama ini tingkat kesehatan di pedesaan adalah penyumbang terbesar dari masih rendahnya derajat kesehatan di pedesaan. Terbatasnya sarana prasarana kesehatan, minimnya air bersih, kotornya lingkungan hidup dan rendahnya gizi masyarakat banyak terjadi di pedesaan.

Momentum dialokasikannya dana desa yang sangat besar dari pemerintah pusat dapat dijadikan sarana bagi Pusat dan khususnya Kementerian Kesehatan untuk menjadikan dana desa sebagai pengungkit upaya kesehatan di tingkat desa. Selama ini kegiatan promotif dan preventif kesehatan sangat kurang mendapat perhatian. Kegiatan promotif dan preventif tersebut yang kemudian dikemas dengan istilah UKM (Upaya Kesehatan Masyarakat). Kegiatan UKM tersebutlah yang seyogyanya dapat diangkat dan dibiayai dengan dengan dana desa.

Langkah strategis yang dapat ditempuh oleh Kementerian Kesehatan adalah sebagai berikut:a. Melakukan MoU dengan Kementerian Desa Transmigrasi dan Daerah Tertinggal dan

Kementerian Dalam Negeri mengenai pelaksanaan UKM di pedesaanb. Membuat pemetaan kondisi kesehatan desa dengan memberikan pedoman bagi

kabupaten/kota untuk pelaksanaan pemetaan tersebut. Dengan pemetaan tersebut akan teridentifikasi desa-desa mana saja dalam suatu kabupaten/kota yang mengalami kondisi kesehatan yang parah. Artinya jauh di bawah standar kesehatan nasional atau bahkan dibawah rata-rata standar kesehatan dari desa-desa di kabupaten/kota tersebut. Desa-desa tersebutlah yang menjadi target UKM

c. Berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memerintahkan kepada Gubernur agar mendesak kabupaten/kota tersebut memberikan perhatian yang besar dalam bidang kesehatan. APBD untuk bidang kesehatan wajib diprioritaskan pada desa-desa tersebut. Bagi kabupaten/kota yang non compliance, GWPP dapat menunda persetujuan APBD kabupaten/kota tersebut sampai dengan mereka mematuhinya

d. Menugaskan GWPP untuk memerintahkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengkoordinir pelaksanaannya dan Dinas Kesehatan Provinsi untuk monev pelaksanaan urusan kesehatan di kabupaten/kota yang bersangkutan. Mekanisme tersebut akan memberikan informasi kepada GWPP tentang:1. Bagaimana progress UKM di desa target2. Apa yang menjadi masalah tersendatnya UKM3. Bagaimana rekomendasi solusi dari masalah tersebut

Mekanisme untuk mempergunakan momentum dialokasikannya dana desa akan membantu Kementerian Kesehatan khususnya dalam menunjang kegiatan-kegiatan UKM. Penataan lingkungan hidup, kebersihan desa, air bersih, persampahan, sanitasi serta kegiatan-kegiatan UKM lainnya akan sejalan dengan prioritas dan kebutuhan dari warga desa. Mereka membutuhkan arahan teknis dalam pelaksanaannya.

4.TUJUAN DAN ARAH

DESENTRALISASI KESEHATAN TAHUN 2020-2024

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

Penguatan tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Page 40: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

5. Rekomendasi • 6160 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

4.1. TUJUAN DESENTRALISASI KESEHATAN TAHUN 2020-2024

Tujuan desentralisasi kesehatan untuk RPJMN 2020-2024 dari sisi desentralisasi adalah sebagai berikut:

a. Mempercepat penyusunan NSPK yang belum adab. Sinkronisasi kelembagaan antara Kementerian Kesehatan dengan Dinas Kesehatan, dan

antara Dinas Kesehatan Provinsi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota serta antara Dinas Kesehatan dengan RSUD

c. Mendorong pemerintah daerah untuk memenuhi 10% (sepuluh persen) APBD di luar gaji untuk pembiayaan urusan kesehatan

d. Mendorong sinkronisasi perencanaan Pusat dan Daerah dalam melaksanakan program kesehatan

e. Mengoptimalkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap urusan kesehatan, baik yang dilakukan oleh provinsi maupun kabupaten/kota dengan berpedoman pada NSPK

f. Melaksanakan koordinasi lintas sektor (kementerian/lembaga) untuk pelaksanaan program-program kesehatan yang bersifat lintas kementerian/lembaga karena banyak urusan kesehatan yang bersifat lintas sektor

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan kesehatan dalam RPJMN 2020-2024 lebih bersifat pemantapan pelaksanaan strategi manajemen urusan kesehatan yang terdesentralisasikan. Pemantapan tersebut pada gilirannya akan bermuara pada stabilisasi manajemen urusan kesehatan secara nasional dan dijiwai oleh spirit otonomi daerah sebagai refleksi dari nilai-nilai demokrasi dalam era reformasi dewasa ini.

4.2. ARAH DESENTRALISASI KESEHATAN TAHUN 2020-2024

Arah desentralisasi kesehatan dalam RPJMN 2020-2024 adalah sebagai berikut:a. Tersusunnya visi dan misi kesehatan dalam 5 (lima) tahun mendatang dengan

mempertimbangkan kondisi politik, sosial, ekonomi bangsa dan negara Indonesiab. Tersosialisasikannya visi dan misi tersebut ke semua stakeholder kesehatan dan

khususnya ke elite pemerintah daerah dan lebih khusus lagi ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

c. Tersusunnya pembagian yang jelas dan tegas peran dari masing-masing tingkatan pemerintahan (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/kota) untuk mencapai visi dan misi tersebut. Daerah dipersilahkan mengenalkan visi dan misi daerah sesuai kondisi lokal sepanjang dalam koridor pencapaian visi dan misi nasional

d. Tersusunnya sistem monev dan supervisi yang jelas, tegas dan dimengerti oleh semua stakeholders kesehatan

e. Tersusunnya sistem penguatan (empowering), pemberdayaan (enabling) dan pembinaan (facilitating) untuk meyakinkan stakeholder mengenai langkah-langkah strategis yang diambil dalam hal terjadi ketidakmampuan daerah dalam melaksanakan urusan kesehatan yang menjadi kewenangannya

Dengan arah tersebut maka peran setiap pemangku kepentingan akan menjadi jelas dan langkah apa yang harus diambil apabila mereka menghadapi kesulitan dalam pelaksanaannya. Arah tersebut lebih bersifat konsolidatif sebagai langkah awal untuk kebijakan stabilisasi pada tahap berikutnya.

5.REKOMENDASI

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

Penguatan tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Page 41: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

5. Rekomendasi • 6362 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Dengan memperhatikan overview pelaksanaan RPJMN 2014 sampai 2018, dan mempertimbangkan permasalahan, dan tantangan kedepan termasuk perubahan lingkungan strategis yang terjadi, ada beberapa rekomendasi yang dapat disusun.

Pertama, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kesehatan agar secepatnya memenuhi kekurangan NSPK yang telah teridentifikasi. Dari 55 NSPK yang dibutuhkan baru ada 14 NSPK, jadi masih ada 41 NSPK yang harus segera disusun. NSPK yang sudah ada masih perlu dilakukan evaluasi, karena mungkin saja ada NSPK yang sudah out-of-date. Namun demikian, masih banyak NSPK teknis yang masih up-to-date sampai sekarang ini. Sedangkan NSPK yang belum ada agar disusun secepatnya untuk dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah untuk pelaksanaan urusan kesehatan yang menjadi kewenangannya. Namun perlu diingat seluas apapun otonomi yang diberikan ke daerah, kebijakan desentralisasi di Indonesia sebagai negara kesatuan dan dalam masa transisi demokrasi akan berbeda dengan negara kesatuan lainnya. Untuk itu NSPK yang dibuat masih banyak yang bersifat pembinaan dengan pendekatan insentif dan disinsentif serta detail untuk menghindari keragu-raguan dan mencegah terjadinya tumpang tindih dalam pelaksanaan urusan kesehatan. Dalam praktek pelaksanaan urusan kesehatan 5 (lima) tahun kedepan akan banyak berbasis “money follow program”. Untuk itu maka setiap program yang akan melibatkan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten kota harus diikuti dengan penerbitan NSPK yang mengatur stakeholder khususnya kementerian/lembaga yang terlibat di pusat dan stakeholder khususnya pemerintah daerah yang terlibat di daerah. Harus jelas pula tugas dan fungsi masing-masing dalam program tersebut termasuk tanggung jawab pembiayaannya.

Kedua, secepatnya diperjelas hubungan antara kelembagaan pusat dengan daerah yaitu antara Kementerian Kesehatan dengan Dinas Kesehatan, serta antara Dinas Kesehatan Provinsi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Tidak kalah pentingnya adalah perlunya kejelasan antara Dinas Kesehatan dengan RS daerah dan puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan. Adanya kejelasan hubungan kelembagaan tersebut akan memperjelas jalur komando, pembinaan dan pengawasan (Binwas) pusat terhadap daerah di bidang kesehatan. Dalam penyusunan NSPK yang menyangkut kelembagaan kesehatan, daerah agar berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian PANRB. Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, Kementerian Dalam Negeri yang bertindak sebagai “clearing house” dengan cara mengundang daerah dalam pembahasan draft NSPK yang disusun tersebut. Dengan demikian Kementerian Kesehatan akan mempunyai gambaran yang komprehensif tentang hubungan antar lembaga pusat (Kementerian Kesehatan) sebagai lembaga pembina dengan lembaga daerah (Dinas Kesehatan) sebagai pelaksana. Dengan pelibatan kementerian/lembaga lintas sektor dan juga daerah dalam finalisasinya akan menciptakan komitmen baik bagi Instansi pusat maupun daerah dalam pelaksanaannya.

Dalam konteks pembentukan kelembagaan pengawasan obat dan makanan di tingkat daerah, Badan POM agar berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian PAN dan RB. Apabila Badan POM akan membentuk balai di tingkat provinsi atau Loka di tingkat kabupaten/kota agar mempertimbangkan bahwa pekerjaan tersebut belum mampu untuk dikerjakan oleh pemerintah daerah terkait mengingat pekerjaan pengawasan tersebut menyangkut uji laboratorium yang belum dimiliki oleh pemerintah daerah ataupun menyangkut suatu keahlian tertentu yang tenaganya belum ada di tingkat daerah. Manakala laboratorium dan tenaga tersebut sudah ada di daerah provinsi maka tugas pengawasan obat dan makanan

dapat dilimpahkan pelaksanaannya kepada Dinas Kesehatan Provinsi melalui skema “Tugas Pembantuan”. Demikian juga halnya untuk pembentukan Loka di tingkat kabupaten/kota. Apabila kabupaten/kota tersebut sudah mempunyai tenaga dan sarana-prasarana yang mencukupi untuk pengawasan tersebut maka pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan skema “Tugas Pembantuan”.

Khusus untuk pengawasan obat dan makanan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dan Badan POM maka apabila berdasarkan hasil evaluasi menilai bahwa Kabupaten/Kota tersebut belum mempunyai kemampuan untuk melakukan pengawasan yang efektif maka Badan POM dapat menugaskan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) melalui Dinas Kesehatan Provinsi untuk melakukan pengawasan melalui skema “Dekonsentrasi”. Kebijakan tersebut dapat dilakukan setelah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan dengan melibatkan provinsi terkait. Untuk itu Badan POM harus membuat NSPK yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan dekonsentrasi tersebut. Dengan demikian pengawasan terhadap obat dan makanan dapat dilakukan secara komprehensif dan efektif di seluruh Indonesia.

Badan POM seyogyanya membuat pemetaan secara komprehensif terkait daerah mana saja yang perlu dibentuk Balai dan Loka, daerah mana yang bisa dilakukan pengawasannya melalui skema Tugas Pembantuan dan daerah mana pula yang pengawasannya bisa dilakukan dengan skema Dekonsentrasi.

Ketiga, dalam bidang SDM, secepatnya dilakukan pemetaan SDM kesehatan daerah dengan mengacu pada standar yang telah ditetapkan, baik kuantitas dan kualitas SDM kesehatan yang diatur dalam NSPK. Dengan demikian akan terdeteksi backlog dan akan cepat terumuskan langkah-langkah mengatasinya.

Keempat, secepatnya dilakukan pemetaan terhadap kapasitas fiskal daerah dalam membiayai urusan kesehatan sesuai kewenangan Daerah. Hal tersebut terkait dengan penentuan daerah-daerah mana yang harus dibantu dengan DAK, daerah mana yang perlu pembinaan melalui Diklat dan daerah mana pula yang memerlukan langkah-langkah korektif akibat kurangnya perhatian elite lokal dalam bidang kesehatan.

Kelima, perlu adanya identifikasi melalui pemetaan tingkat pencapaian SPM kesehatan oleh daerah. Perlu disusun peta daerah-daerah mana saja yang belum mencapai SPM dan kebijakan apa yang diperlukan untuk mengatasinya. Penguatan GWPP perlu dilakukan mengingat pelaksanaan SPM lebih banyak tertumpu pada pemerintah kabupaten/kota. Pengawas dan koordinator kabupaten/kota dapat dilakukan dengan mengoptimalkan peran GWPP.

Keenam, perlu dilakukan optimalisasi pelaksanaan kegiatan Binwas, baik Binwas teknis yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan maupun Binwas umum yang menjadi kewenangan Kementerian Dalam Negeri. Dalam melaksanakan Binwas agar diikuti dengan monev supaya Pusat lebih tahu permasalahan-permasalahan kesehatan yang terjadi di daerah. Untuk mendukung sistem monev maka diperlukan adanya dukungan dari aplikasi IT.

Ketujuh, semua rekomendasi tersebut memerlukan dukungan lintas Kementerian/Lembaga agar dapat berjalan secara optimal. Untuk itu perlu segera diidentifikasi Kementerian/Lembaga mana saja yang memerlukan keterlibatan yang intent, menengah dan minimum. Untuk itu

Page 42: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

5. Rekomendasi • 6564 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

forum lintas sektor wajib digalakkan untuk membangun kesepahaman bahwa kesehatan tersebut tidak dapat dijalankan oleh Kementerian Kesehatan sendiri namun memerlukan dukungan lintas kementerian/lembaga.

Kedelapan, perubahan lingkungan strategis perlu ditindaklanjuti dengan memanfaatkan momentum Pilkada serentak untuk memperkuat perencanaan pembangunan di bidang kesehatan. Akan jauh lebih besar kesempatan pemerintah pusat untuk membangun sinergitas pembangunan Pusat dan Daerah melalui pemanfaatan momentum Pilkada serentak. Pada sisi lain, dengan ditetapkannya Undang-Undang tentang Desa juga menjadi momentum yang sangat besar melalui ketersediaan dana desa yang hampir lebih dari Rp 1 miliar per desa untuk mendukung program kesehatan khususnya yang bernuansa UKM melalui dorongan kepada desa untuk membangun lingkungan hidup dan budaya hidup bersih. Langkah-langkah tersebut akan menciptakan dampak preventif sehingga dalam jangka panjang akan mengurangi beban pemerintah yang selama ini banyak terserap untuk pembiayaan UKP.

Tujuan desentralisasi kesehatan untuk RPJMN 2020-2024 dari sisi desentralisasi lebih terarah pada penguatan peran daerah dalam pencapaian tujuan kesehatan nasional. Diperlukan persamaan persepsi yang semakin solid, baik di tingkat pusat maupun daerah. Reformasi telah melahirkan pemerintahan yang desentralistik sebagai salah satu varian dari nilai demokrasi dalam pengelolaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini berarti bahwa pendekatan sentralistik sudah tidak relevan lagi dalam aspek pelaksanaan urusan kesehatan secara nasional. Peran pusat dalam hal ini Kementerian Kesehatan akan lebih bersifat:

a. Pembuatan kebijakan nasional yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan urusan kesehatan di daerah

b. Peran monitoring, evaluasi dan supervisi untuk mengevaluasi apakah pelaksanaan kebijakan nasional di bidang kesehatan telah dipedomani oleh daerah

c. Pemberdaya (enabler), yakni memberdayakan daerah agar mampu memahami dan melaksanakan urusan kesehatan yang menjadi kewenangannya

d. Memperkuat (empowering) daerah agar daerah dapat melakukan secara efektif dan efisien bidang tugas kesehatan yang menjadi kewenangannya sesuai dengan pembagian urusan kesehatan

e. Dalam konteks pelaksanaan urusan kesehatan oleh pusat (Kementerian Kesehatan) akan lebih berkonsentrasi pada urusan-urusan kesehatan strategis nasional, menciptakan terobosan-terobosan baik kebijakan maupun operasional untuk optimalisasi baik UKP maupun UKM

f. Melakukan benchmarking secara global untuk meningkatkan rating kesehatan nasional di dunia internasional

g. Mencipatakan kebijakan insentif dan dis-insentif kepada daerah dalam melaksanakan urusan kesehatan yang menjadi kewenangannya

h. Melaksanakan koordinasi lintas sektor (kementerian/lembaga) mengingat sering nature urusan kesehatan yang bersifat lintas sektor

Peran daerah akan lebih bersifat implementatif. Kebijakan lokal dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan nasional untuk menjamin kebijakan daerah sinergis dengan kebijakan nasional dalam pencapaian visi dan misi kesehatan bangsa Indonesia agar sejajar dengan tingkat kesehatan negara-negara maju.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan kesehatan dalam RPJMN 2020-2024 lebih bersifat pemantapan pelaksanaan strategi manajemen urusan kesehatan yang terdesentralisasikan. Pemantapan tersebut pada gilirannya akan bermuara pada stabilisasi manajemen urusan kesehatan secara nasional dan dijiwai oleh spirit otonomi daerah sebagai refleksi dari nilai-nilai demokrasi dalam era reformasi dewasa ini.

Page 43: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

Kajian Sektor Kesehatan • 6766 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

REfERENSI

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular

3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

7. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

8. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara

9. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah

10. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

11. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

12. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

13. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

14. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

15. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

16. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

17. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

18. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

19. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

20. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

21. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan

22. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan

23. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah

24. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

25. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.

26. Peraturan Presiden Nomor Sistem Kesehatan Nasional

27. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan

28. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan

29. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik

30. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 411/Menkes/Per/III/2010 tentang Laboratorium Klinik

31. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat sebagaimana telah diubah dengan Permenkes Nomor 17 Tahun 2013

32. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya

33. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028/Menkes/Per/I/2011 tentang Klinik

34. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

35. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perseorangan

36. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat

37. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2013 tentang Kriteria Fasilitas Pelayanan Kesehatan Terpencil, Sangat Terpencil, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang Tidak Diminati

38. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional

39. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di puskesmas

40. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit

Page 44: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

68 • Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

41. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat

42. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenkes

43. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan

44. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 189/Menkes/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional

45. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 89/Menkes/SK/II/2013 tentang Formularium Program Jaminan Kesehatan Masyarakat

46. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota

47. RPJMN Bidang Kesehatan Tahun 2015-2019

48. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2017, Kementerian Kesehatan

Page 45: PENGUATAN TATA KELOLA PEMBANGUNAN KESEHATAN

Direktorat Kesehatan dan Gizi MasyarakatKedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas

Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603Email: [email protected]