Upload
phungkien
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL:
STUDI KASUS DI BALI
Makalah disampaikan dalam “Seminar dan FGD Pengelolaan Lingkungan Berbasis Kearifan
Lokal” yang diselenggarakan Bank Concern di Nusa Dua – Bali tanggal 23 Nopember 2015
Oleh
Anak Agung Gde Raka Dalem
Dosen Universitas Udayana, Kampus Unud Bukit Jimbaran - Bali
Auditor/Assessor Sertifikasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan
Auditor Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards
Hp 081 139 5360; [email protected]
PENDAHULUAN
Masalah lingkungan akhir-akhir ini tidak lagi bisa dikesampingkan dalam pelaksanaan
pembangunan Bali. Kekurangperhatian terhadap permasalahan lingkungan dapat
menyebabkan bencana atau malapetaka, yang dampaknya bisa dirasakan secara langsung atau
tidak langsung, dalam jangka waktu pendek atau dalam jangka panjang. Banjir, longsor,
abrasi pantai, intrusi air laut, kotor karena sampah, masalah limbah, dan sebagainya sudah
semakin sering diwacanakan dalam berbagai media, bahkan bisa kita lihat dalam kehidupan
sehari-hari di sekitar kita. Tidak salah jika dikatakan bahwa keseimbangan dan keharmonisan
hubungan manusia dengan lingkungan/palemahan (environment) merupakan salah satu
sumber kebahagiaan manusia di samping keharmonisan dengan manusia lainnya
(community) dan dengan Tuhan-nya (spiritualitas/parhayangan). Dalam pola pikir orang
barat, hal ini dituanhgkan dengan istilah balanced life between culture, community and
environment.
Dengan semakin meningkatnya perhatian terhadap lingkungan, maka isu pembangunan
berkelanjutan juga selalu dihubungkan dengan kelestarian lingkungan. Pertanyaan yang ingin
dijawab pada artikel ini adalah, nilai-nilai atau kearifan lokal Bali apa yang mempunyai
hubungan dengan kelestarian lingkungan?
2
Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan, maka ada banyak nilai kearifan lokal Bali
yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan, antara lain: desa kala patra, tri hita karana,
tri kaya parisudha, tri mandala, dewasa ayu (ala ayuning dewasa), tenget, nyepi, bengang,
cerik lantang, kangin kauh dan kaje kelod, arep ungkur, segilik-seguluk selunglung
sebayantaka, tat twam asi, paras-paros, Tumpek Uduh/Tumpek Bubuh dan Tumpek Kandang,
awig-awig dan perarem, subak, ngayah, karma phala, dan lain-lain. Mari kita lihat uraian dari
beberapa contoh kearifan lokal tersebut berikut ini.
DESA KALA PATRA
Desa artinya tempat, kala artinya waktu dan patra artinya keadaan. Jadi dalam pengelolaan
lingkungan berdasarkan pada nilai desa kala patra artinya manusia harus bisa mengelola
lingkungan menyesuaikan diri dengan kondisi setempat dan keadaan yang dihadapinya
(misal: Suwardani, 2015). Misalnya jika di daerah yang tanahnya jenis tanah andosol (yang
sebagia besar terdiri dari debu dan pasir) dengan kemiringan tinggi (misal diatas 45%) maka
sebaiknya tidak dilakukan pembukaan lahan untuk ditanami tanaman musiman, tetapi
dibiarkan sebagai hutan lindung atau ditanami tanaman tahunan, sehingga peluang terjadinya
tanah longsor dapat ditekan, terutama di musim hujan. Dengan demikian maka permasalahan
bisa ditekan seminimal mungkin.
Demikian juga kalau kita anut desa kala patra, maka jika membangun di daerah tertentu maka
sebaiknya memanfaatkan bahan-bahan lokal, kalau makan buah sebaiknya menikmati buah
lokal (bukan impor), dan sebaginya. Dengan demikian semakin minimal bahaya lingkungan
akibat transportasi dan mengakibatkan mengurangi polusi terhadap lingkungan.
TRI HITA KARANA
Tri artinya tiga, hita artinya baik, bahagia, sejahtera, karana artinya sebab. Jadi tri hita karana
(THK) artinya tiga penyebab kebaikan, kebahagiaan atau kesejahteraan. Dalam kaitan
dengan ini, manusia diharapkan bisa melaksanakan kehidupan yang seimbang, selaras dan
harmonis antara tiga komponen yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (yang dikenal dengan
3
bidang parhyangan), antara manusia dengan manusia lainnya (yang dikenal dengan bidang
pawongan) serta antara manusia dengan lingkungannnya (bidang palemahan) (Rabindra,
2009; Sudiana dan Sudirgayasa, 2015). Dalam pengelolaan lingkungan yang berdasarkan
pada nilai filosofis tri hita karana (THK) (misal: Dalem et al., 2007), diharapkan manusia
tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi semata namun juga mempertimbangkan nilai-
nilai ketuhanan atau spiritual dan nilai-nilai kemasyarakatan atau kemanusiaan. Hal ini
ditekankan karena sering kali manusia hanya mementingkan keuntungan ekonomi dan sering
tidak memperhatikan lingkungan serta nilai sosial budaya lokal. Misalnya kejadian
pembangunan ruko (rumah toko) di perkotaan yang kadang-kadang membeton semua lahan
tanpa meninggalkan resapan air atau tanpa drainase yang memadai dapat menyebabkan
bencana banjir, walaupun hanya ada hujan lebat dalam jangka waktu tidak terlalu lama.
TRI KAYA PARISUDHA
Tri kaya parisudha terdiri dari manacika, wacika, dan kayika, yang mana artinya sebagai
berikut. Manacika berpikir yang baik, wacika berkata yang baik dan manacika berbuat yang
baik (misal: Suwardani, 2015). Dengan demikian diharapkan adanya kesesuaian antara
berpikir, berbicara dan berbuat yang mana semuanya dilakukan dengan baik dan benar.
Berpikir yang buruk dapat mempengaruhi perkataan dan dapat juga mempengaruhi perbuatan
menjadi tidak baik. Sebailknya perbuatan yang tidak baik juga bisa menyebabkan pikiran
yang tidak baik juga. Misalnya perbuatan serakah meracuni ikan dengan sianida atau potas
agar cepat mendapatkan ikan dalam jumlah banyak dalam waktu singkat dapat merusak
lingkungan yaitu terumbu karang sebagai habitat ikan, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan ketersediaan ikan dalam jangka panjang berkurang, yang tentunya sangat
merugikan nelayan penangkap ikan.
TRI MANDALA
Tri mandala terdiri dari kata tri dan mandala, yang mana tri artyinya tiga, mandala artinya
tempat atau zone. Jadi tri mandala artinya 3 tempat atau 3 zone (misal: Suwardani, 2015).
Makna tri mandala dari segi aksesibilitas pada sebuah rumah misalnya, bahwa wilayah di
4
sekitar rumah dibagi ke dalam 3 zone yaitu zone yang bisa diakses oleh umum atau siapa saja
yaitu telajakan rumah, wilayah atau zone yang terbatas untuk siapa saja dalam keluarga
sehari-hari yaitu pekarangan rumah, serta wilayah yang bisa diakses hanya untuk kepentingan
sembahyang yang berupa merajan/sanggah.
Makna dari tri mandala dari segi konservasi adalah bahwa seseorang yang membangun tidak
boleh memanfaatkannya hanya untuk kepentingan pemanfaatan manusia saja tetapi juga
harus menyediakan ruang untuk kepentingan kegiatan spiritual/parhyangan serta untuk
kepentingan alam, konservasi. Oleh sebab itu, mereka harus menyediakan satu lahan hanya
sebagai lahan terbuka hijau alami yang mirip dengan “teba” pada lingkungan pemukiman.
Jika “teba” tidak ada lagi maka tidak ada lagi cukup vegetasi untuk menyerap polusi dari
lingkungan sekitar, dan tidak tersedia lagi habitat bagi fauna, serta tidak tersedia lagi
keragaman flora yang berfungsi sebagai cadangan genetik (plasma nutfah) bagi kepentingan
konservasi alam, yang mungkin berguna buat kita namun belum tentu semuanya kita ketahui
manfaatnya sampai saat ini.
DEWASA AYU (ALA AYUNING DEWASA)
Di lingkungan masyarakat Bali, ada istilah dewasa ayu atau saat/masa/periode yang baik, dan
ada juga hari yang tidak baik untuk kegiatan tertentu (ala), atau ada juga pantangan-
pantangan. Setiap kegiatan manusia diatur agar sinkron dengan kebutuhan sosial, budaya dan
alam. Misalnya ada dewasa ayu (masa/periode/hari baik) untuk menebang pohon, ada hari
pantangan/buruk untuk menebang pohon dan sebagainya. Misalnya pada saat tertentu
dilarang menebang bambu. Ini adalah bagian dari kearifan lokal untuk melestarikan bambu
tertentu. Agar tidak dilakukan penebangan terus menerus.
Dewasa ayu juga diterapkan misalnya untuk pertanian. Dengan memperhatikan dewasa ayu
maka biasanya sudah mempertimbangkan faktor alam seperti musim. Dewasa ayu untuk
memulai menanam padi pasti sudah menyesuaikan dengan musim kemarau dan musim hujan.
Dengan demikian diharapkan kebutuhan pertanian akan terpenuhi dan hasil panen melimpah.
5
TENGET
Sesuatu yang “tenget” biasanya dijaga kelestariannya karena alasan tertentu, nanti ada resiko
jelek menimpa seseorang yang melanggarnya. Misalnya pohon yang tenget, jika ditebang
akan mebahayakan orang yang menebangnya dan dia bisa terkena nasib atau akibat buruk
atau celaka akibat ulahnya itu.
Dalam kehidupan sehari-hari sesuatu yang tenget membuat orang menjaganya atau
melestarikannya. Ini memberikan nilai positif dari segi konservasi. Misalnya lelipi duwe atau
ular duwe akan dijaga oleh masyarakat untuk dilestarikan dan tidak berani untuk dibunuh.
Dengan ular terjaga maka tikus bisa dikontrol, dan masalah serangan hama bisa ditekan di
lahan pertanian. Jika kita membasmi tikus dengan pestisida yang tidak ramah lingkungan,
maka bukan hanya tikusnya yang mati, namun efek racunnya juga bisa membunuh satwa
lainnya seperti belut, cacing, klipes, dan lain-lain yang menyebabkan kehilangan atau
penurunan keanekaragaman hayati. Paling tidak sumber makanan bagi kita juga akan
berkurang. Efek negatif lainnya dari penggunaan pestisida tidak ramah lingkungan adalah
terjadinya pencemaran yang bisa membahayakan manusia. Misalnya kakul (keong), kerang
yang tercemar jika dimakan bisa meracuni manusia. Apalagi racunnya dalam keong bisa
bersifat akumulatif, menumpuk dari waktu ke waktu, maka bahaya yang bisa ditimbulkan
bisa semakin besar atau semakin fatal. Misalnya dulu kita menyemprot tanaman padi dengan
DDT. Maka sampai 25 tahunpun residu racun dari DDT ini amsih ada di lahan tersebut. Jadi
pemulihannya susah dan dampak negatifnya dalam jangka panjang juga sulit dihilangkan.
Tenget juga menyebabkan lebih terjaganya kondisi lingkungan dari polusi atau pencemaran.
Misalnya sekitar sungai yang diisi pelinggih yang dianggap tenget, maka akan menyebabkan
orang tidak berani kencing dan berak di air tersebut. Dengan demikian tenget akan dapat
menekan terjadinya polusi air.
NYEPI
Nyepi bagi umat Hindu di Bali biasanya dikaitkan dengan pergantian tahun baru Caka.
Nyepi dilalui dengan melakukan amati karya atau tidak bekerja, amati geni tidak menyalakan
api, amati lelungan atau tidak bepergian, dan amati lelanguan atau tidak bersenang-senang.
6
Dalam pemaknaan yang lebih mendalam, misalnya amati geni bisa dimaknai tidak boleh
marah. Dengan nyepi manusia diberikan kesempatan selama satu hari penuh untuk
melakukan evaluasi atas kehidupannya untuk menyongsong tahun baru yang lebih baik, dan
tidak mengulangi hal-hal yang jelek atau negatif di masa lalu. Kalau dikaitkan dengan
manajemen seperti review manajemen atau evaluasi menyeluruh atas manajemen usaha atau
kehidupan. Jadi bukan hanya sekedar tidak bekerja saja.
Untuk masyarakat tertentu, misalnya masyarakat Nusa Penida (?) mereka bahkan memiliki
nyepi segara(?). Dalam kaitan dengan ini, pada hari tertentu nelayan di Nusa Penida tidak
melakukan aktivitas kesehariannya untuk memberikan kesempatan kepada alam laut untuk
berjalan secara alami tanpa intervensi manusia.
BENGANG
Bengang artinya lahan yang kosong tanpa bangunan. Bengang ini biasanya terletak di
tempat-tempat tertentu misalnya di perbatasan antar desa. Bengang ini memberikan
lingkungan yang terbuka kepada setiap orang yang bepergian dari desa ke desa lainnya. Pada
saat itu dia bisa menghirup udara segar, melihat indahnya pemandangan di lahan terbuka, dan
sebagainya. Jika dilihat lebih jauh, bengang pada masa lalu juga sering dipakai sebagai
media membatasi penyebaran penyakit dari satu desa ke desa lainnya. Dengan semakin
maraknya pembangunan di lahan terbuka hijau di perbatsan desa maka bengang ini semakin
berkurang. Akibat paling sederhana kelihatan kita kehilangan kesempatan menikmati
pemandangan lahan terbuka itu, dan menyebabkan pikiran manusia semamin sumpek.
Akibatnya untuk menikmati pemandangan manusia harus mencari tempat hiburan yang
kadang kala harus membayar bukan gratisan.
CERIK LANTANG
Nilai cerik berarti kecil, lantang berarti panjang. Dalam kaitan dengan pengelolaan
lingkungan konsep cerik panjang bermakna kita harus memanfaatkan sumberdaya alam
secara efisien dan memikirkan agar permanfaatannya bisa dilakukan dalam jangka panjang,
bukan sebesar-besarnya hanya pemenuhan kebutuhan singkat sesaat saja. Misalnya
7
Penebangan kayu di hutan bagian hulu atau pegunungan secara besar-besaran bisa
menimbulkan resiko banjir pada saat musim hujan karena kurangnya penahan laju air dan
lokasi penyerapan air ke dalam tanah.
KANGIN KAUH (ORIENTASI) & KAJE-KELOD
Dalam kehidupan sehari-hari orang Bali ada yang meyakini perlunya pemaknaan orientasi
mata angin. Kalau orang Bali dikatakan “sing nawang kangin kauh” atau tidak tahu arah
adalah ungkapan yang dianggap orang tidak benar atau bodoh. Jadi arah itu sangat penting
dalam kehidupan orang Bali. Mengapa demikian? Orientasi terhadap arah mata angin dan
arah gunung-laut (kaje kelod) atau gunung-segara (nyegara gunung) memberikan keuntungan
terkait dengan aliran air yang berhubungan dengan grafitasi dan arah penyinaran matahari.
Hal inilah yang ditangkap, sehingga pola susunan bangunan dalam rumah, letak pura atau
tempat suci, letak kuburan dan sebagainya dibuat menyesuaikan dengan ini.
Dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, kesesuaian terhadap arah gunung-laut dan matahari
terbit-terbenam memberikan keuntungan antara lain karena hemat energi, misalnya.
Mengalirkan air dari ketinggian (gunung) ke arah rendah (laut) tidak akan memerlukan
tenaga tambahan, tetapi sebaliknya akan memerlukan energi. Jadi konsep ini menyangkut
efisiensi energi. Kesesuaian dengan penyinaran matahari (kangin-kauh) memberikan
efisiensi terkait dengan adanya penyinaran matahari ini di samping kesegaran matahari pagi.
AREP-UNGKUR
Konsep arep ungkur sering kali dihubungkan dengan bagian depan (arep) sebagai yang lebih
disucikan lebih diutamakan daripada bagian belakang (ungkur). Dengan konsep inilah
sebagian masyarakat Bali, khususnya di Tabanan membuat sanggah/merajannya di bagian
depan dari pekarangan rumah, pada perbatasan dengan pintu/gerbang masuk rumahnya.
Dengan konsep arep –ungkur ini maka bagian depan rumah ditata sebersih mungkin lebih
diutamakan daripada bagian belakang rumah, yang sering dipakai sebagai tempat
pembuangan sampah (misalnya).
8
SEGILIK-SEGULUK SELUNGLUNG SEBAYANTAKA,
PARAS-PAROS DAN TAT TWAM ASI
Pengelolaan lingkungan sering akan lebih berhasil kalau ada kebersamaan, dengan
mengedepankan nilai kebersamaan, “segilik-seguluk selunglung sebayantaka”, tat twam asi,
paras-paros, dan sebagainya (misal: Suwardani, 2015). Dengan konsep ini, kita mesti
menangani lingkungan secara bersama-sama. Sebagaimanapun perhatian seorang terhadap
lingkungan kalau sebagian besar masyarakat lainnya tidak peduli, maka permasalahan
tersebut akan sulit diatasi. Di samping itu, permasalahan lingkungan sering kali tidak
mengenal batas wilayah, sehingga akan berpengaruh terhadap pihak lain walaupun tempatnya
terpisah.
TUMPEK UDUH/TUMPEK BUBUH, DAN TUMPEK KANDANG
Tumpek Uduh atau tumpek Wariga, dan tumpek kandang atau tumpek Uye merupakan hari
penghormatan kepada Tuhan dalam manifestasinya menciptakan tumbuh-tumbuhan dan
binatang yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Tumbuh-tumbuhan dan binatang ini
menyediakan kebutuhan hidup yang diperlukan manusia, antara lain sebagai sumber makanan
(pangan), bahan bangunan/perumahan (papan), pakaian, dan sebagainya.
AWIG-AWIG DAN PARAREM
Keberhasilan dalam pengelolaan lingkungan dalam skup desa adat atau desa pekraman sangat
tergantung juga dengan peran penerapan awig-awig maupun perarem yang ada di desa
tersebut (misal: Suwardani, 2015). Misalnya pelestarian burung jalak Bali di Nusa Penida
didukung oleh desa adat di sana melalui aturan yang ada pada awig-awig desa. Pelanggaran
terhadap ini akan dikenai sangsi oleh desa adat. Dengan pemberlakuan ini, pelestarian jalak
bali di Nusa Penida kelihatannya cukup sukses dibandingkan di habitat aslinya, Taman
Nasional bali Barat (TNBB).
9
SUBAK
Subak sebenarnya adalah organisasi pengairan-pertanian di Bali. Diantaranya ada subak yang
berhubungan dengan pengelolaan persawahan (pertanian lahan basah) dan subak abian (yang
mengelola tegalan atau persawahan lahan kering).
Subak adalah salah satu benteng pelestarian lahan terbuka di Bali. Jika subak sudah tidak
berdaya dan sawah sudah banyak yang dikonversi menjadi pemukiman, toko dll, maka
peluang kehancuran Bali akan semakin dekat. Akhir-akhir ini UNESCO sudah mendukung
subak sebagai salah satu warisan budaya dunia (WBD) atau world heritage. Dengan
demikian, mudah-mudah semakin banyak pihak yang memperhatikan keberadaan subak ini.
Ada subak yang sawahnya sudah habis jadi bangunan, tinggal pura bedugulnya saja yang
tidak ada yang merawatnya, karena semua petani di wilayah ini sudah berganti jadi profesi
lain.
NGAYAH
Ngayah sebenarnya artinya bekerja tulus ikhlas tanpa pamerih/tanpa mengharapkan imbalan.
Ngayah ini bukan hanya dilakukan ke keluarga raja, namun juga ke pura-pura. Dengan
ngayah diharapkan pekerjaan selesai dan pikiran hening karena melaksanakan dengan tulus
ikhlas.
KARMA PHALA
Salah satu nilai budaya Bali yang diyakini umat Hindu adalah Hukum Karma Phala. Dalam
hukum ini dikatakan seseorang yang berbuat jahat akan menghasilkan sesuatu yang jelek,
sementara seseorang yang berbuat baik akan mendapatkan/berbuah pada kebaikan juga.
Dalam kaitan dengan pengelolaan lingkungan, berdasarkan kepercayaan pada hukum karma
phala, manusia didorong untuk menangani lingkungan dengan baik, sehingga menghasilkan
sesuatu yang baik bagi mereka dikemudian hari.
10
PENUTUP
Ada berbagai kearifan lokal ditemukan dalam kehidupan masyarakat Bali. Nilai-nilai ini
sudah sering disampaikan berbagai pihak dalam wacana-wacana pengelolaan lingkungan di
Bali. Masalahnya, apakah nilai-nilai ini benar-benar diterapkan dengan sebaik-baiknya atau
diabaikan begitu saja? Dengan peningkatan sosialisasi nilai-nilai kerifan lokal ini diharapkan
semua pihak di Bali lebih menyadari kembali pentingnya pengelolaan lingkungan berbasis
kearifan lokal, karena nilai-nilai itu memang sudah ada sejak dari dulu, dan nilai tersebut
tidaklah usang, masih relevan untuk kita terapkan pada jaman modern ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dalem, A.A.G.R., I N. Wardi, I W. Suarna, dan I W. Sandi Adnyana. 2007. Kearifan Lokal
Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denpasar: UPT Penerbit dan PPLH Unud.
Rabindra, I.B. 2009. Nilai Kearifan Lokal “Tri Hita Karana” dalam Penataan Ruang Kota
Berkelanjutan di Bali. JAL 2(3): 16-31.
Sudiana, I M. dan I G. Sudirgayasa. 2015. Integrasi Kearifan Lokal Bali dalam Buku
Ajar Sekolah Dasar. Jurnal Kajian Bali 5(1): 181-200.
Suwardani, N.P. 2015. Pewarisan Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk
Memproteksi Masyarakat Bali dari Dampak Negatif Globalisasi. Jurnal
Kajian Bali 5(2):247-264.