10
1 PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL: STUDI KASUS DI BALI Makalah disampaikan dalam “Seminar dan FGD Pengelolaan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal” yang diselenggarakan Bank Concern di Nusa Dua – Bali tanggal 23 Nopember 2015 Oleh Anak Agung Gde Raka Dalem Dosen Universitas Udayana, Kampus Unud Bukit Jimbaran - Bali Auditor/Assessor Sertifikasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan Auditor Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards Hp 081 139 5360; [email protected] PENDAHULUAN Masalah lingkungan akhir-akhir ini tidak lagi bisa dikesampingkan dalam pelaksanaan pembangunan Bali. Kekurangperhatian terhadap permasalahan lingkungan dapat menyebabkan bencana atau malapetaka, yang dampaknya bisa dirasakan secara langsung atau tidak langsung, dalam jangka waktu pendek atau dalam jangka panjang. Banjir, longsor, abrasi pantai, intrusi air laut, kotor karena sampah, masalah limbah, dan sebagainya sudah semakin sering diwacanakan dalam berbagai media, bahkan bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita. Tidak salah jika dikatakan bahwa keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan/palemahan (environment) merupakan salah satu sumber kebahagiaan manusia di samping keharmonisan dengan manusia lainnya (community) dan dengan Tuhan-nya (spiritualitas/parhayangan). Dalam pola pikir orang barat, hal ini dituanhgkan dengan istilah balanced life between culture, community and environment. Dengan semakin meningkatnya perhatian terhadap lingkungan, maka isu pembangunan berkelanjutan juga selalu dihubungkan dengan kelestarian lingkungan. Pertanyaan yang ingin dijawab pada artikel ini adalah, nilai-nilai atau kearifan lokal Bali apa yang mempunyai hubungan dengan kelestarian lingkungan?

PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL: … fileAuditor/Assessor Sertifikasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan Auditor Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL: … fileAuditor/Assessor Sertifikasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan Auditor Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards

1

PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL:

STUDI KASUS DI BALI

Makalah disampaikan dalam “Seminar dan FGD Pengelolaan Lingkungan Berbasis Kearifan

Lokal” yang diselenggarakan Bank Concern di Nusa Dua – Bali tanggal 23 Nopember 2015

Oleh

Anak Agung Gde Raka Dalem

Dosen Universitas Udayana, Kampus Unud Bukit Jimbaran - Bali

Auditor/Assessor Sertifikasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan

Auditor Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards

Hp 081 139 5360; [email protected]

PENDAHULUAN

Masalah lingkungan akhir-akhir ini tidak lagi bisa dikesampingkan dalam pelaksanaan

pembangunan Bali. Kekurangperhatian terhadap permasalahan lingkungan dapat

menyebabkan bencana atau malapetaka, yang dampaknya bisa dirasakan secara langsung atau

tidak langsung, dalam jangka waktu pendek atau dalam jangka panjang. Banjir, longsor,

abrasi pantai, intrusi air laut, kotor karena sampah, masalah limbah, dan sebagainya sudah

semakin sering diwacanakan dalam berbagai media, bahkan bisa kita lihat dalam kehidupan

sehari-hari di sekitar kita. Tidak salah jika dikatakan bahwa keseimbangan dan keharmonisan

hubungan manusia dengan lingkungan/palemahan (environment) merupakan salah satu

sumber kebahagiaan manusia di samping keharmonisan dengan manusia lainnya

(community) dan dengan Tuhan-nya (spiritualitas/parhayangan). Dalam pola pikir orang

barat, hal ini dituanhgkan dengan istilah balanced life between culture, community and

environment.

Dengan semakin meningkatnya perhatian terhadap lingkungan, maka isu pembangunan

berkelanjutan juga selalu dihubungkan dengan kelestarian lingkungan. Pertanyaan yang ingin

dijawab pada artikel ini adalah, nilai-nilai atau kearifan lokal Bali apa yang mempunyai

hubungan dengan kelestarian lingkungan?

Page 2: PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL: … fileAuditor/Assessor Sertifikasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan Auditor Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards

2

Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan, maka ada banyak nilai kearifan lokal Bali

yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan, antara lain: desa kala patra, tri hita karana,

tri kaya parisudha, tri mandala, dewasa ayu (ala ayuning dewasa), tenget, nyepi, bengang,

cerik lantang, kangin kauh dan kaje kelod, arep ungkur, segilik-seguluk selunglung

sebayantaka, tat twam asi, paras-paros, Tumpek Uduh/Tumpek Bubuh dan Tumpek Kandang,

awig-awig dan perarem, subak, ngayah, karma phala, dan lain-lain. Mari kita lihat uraian dari

beberapa contoh kearifan lokal tersebut berikut ini.

DESA KALA PATRA

Desa artinya tempat, kala artinya waktu dan patra artinya keadaan. Jadi dalam pengelolaan

lingkungan berdasarkan pada nilai desa kala patra artinya manusia harus bisa mengelola

lingkungan menyesuaikan diri dengan kondisi setempat dan keadaan yang dihadapinya

(misal: Suwardani, 2015). Misalnya jika di daerah yang tanahnya jenis tanah andosol (yang

sebagia besar terdiri dari debu dan pasir) dengan kemiringan tinggi (misal diatas 45%) maka

sebaiknya tidak dilakukan pembukaan lahan untuk ditanami tanaman musiman, tetapi

dibiarkan sebagai hutan lindung atau ditanami tanaman tahunan, sehingga peluang terjadinya

tanah longsor dapat ditekan, terutama di musim hujan. Dengan demikian maka permasalahan

bisa ditekan seminimal mungkin.

Demikian juga kalau kita anut desa kala patra, maka jika membangun di daerah tertentu maka

sebaiknya memanfaatkan bahan-bahan lokal, kalau makan buah sebaiknya menikmati buah

lokal (bukan impor), dan sebaginya. Dengan demikian semakin minimal bahaya lingkungan

akibat transportasi dan mengakibatkan mengurangi polusi terhadap lingkungan.

TRI HITA KARANA

Tri artinya tiga, hita artinya baik, bahagia, sejahtera, karana artinya sebab. Jadi tri hita karana

(THK) artinya tiga penyebab kebaikan, kebahagiaan atau kesejahteraan. Dalam kaitan

dengan ini, manusia diharapkan bisa melaksanakan kehidupan yang seimbang, selaras dan

harmonis antara tiga komponen yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (yang dikenal dengan

Page 3: PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL: … fileAuditor/Assessor Sertifikasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan Auditor Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards

3

bidang parhyangan), antara manusia dengan manusia lainnya (yang dikenal dengan bidang

pawongan) serta antara manusia dengan lingkungannnya (bidang palemahan) (Rabindra,

2009; Sudiana dan Sudirgayasa, 2015). Dalam pengelolaan lingkungan yang berdasarkan

pada nilai filosofis tri hita karana (THK) (misal: Dalem et al., 2007), diharapkan manusia

tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi semata namun juga mempertimbangkan nilai-

nilai ketuhanan atau spiritual dan nilai-nilai kemasyarakatan atau kemanusiaan. Hal ini

ditekankan karena sering kali manusia hanya mementingkan keuntungan ekonomi dan sering

tidak memperhatikan lingkungan serta nilai sosial budaya lokal. Misalnya kejadian

pembangunan ruko (rumah toko) di perkotaan yang kadang-kadang membeton semua lahan

tanpa meninggalkan resapan air atau tanpa drainase yang memadai dapat menyebabkan

bencana banjir, walaupun hanya ada hujan lebat dalam jangka waktu tidak terlalu lama.

TRI KAYA PARISUDHA

Tri kaya parisudha terdiri dari manacika, wacika, dan kayika, yang mana artinya sebagai

berikut. Manacika berpikir yang baik, wacika berkata yang baik dan manacika berbuat yang

baik (misal: Suwardani, 2015). Dengan demikian diharapkan adanya kesesuaian antara

berpikir, berbicara dan berbuat yang mana semuanya dilakukan dengan baik dan benar.

Berpikir yang buruk dapat mempengaruhi perkataan dan dapat juga mempengaruhi perbuatan

menjadi tidak baik. Sebailknya perbuatan yang tidak baik juga bisa menyebabkan pikiran

yang tidak baik juga. Misalnya perbuatan serakah meracuni ikan dengan sianida atau potas

agar cepat mendapatkan ikan dalam jumlah banyak dalam waktu singkat dapat merusak

lingkungan yaitu terumbu karang sebagai habitat ikan, yang pada akhirnya dapat

menyebabkan ketersediaan ikan dalam jangka panjang berkurang, yang tentunya sangat

merugikan nelayan penangkap ikan.

TRI MANDALA

Tri mandala terdiri dari kata tri dan mandala, yang mana tri artyinya tiga, mandala artinya

tempat atau zone. Jadi tri mandala artinya 3 tempat atau 3 zone (misal: Suwardani, 2015).

Makna tri mandala dari segi aksesibilitas pada sebuah rumah misalnya, bahwa wilayah di

Page 4: PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL: … fileAuditor/Assessor Sertifikasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan Auditor Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards

4

sekitar rumah dibagi ke dalam 3 zone yaitu zone yang bisa diakses oleh umum atau siapa saja

yaitu telajakan rumah, wilayah atau zone yang terbatas untuk siapa saja dalam keluarga

sehari-hari yaitu pekarangan rumah, serta wilayah yang bisa diakses hanya untuk kepentingan

sembahyang yang berupa merajan/sanggah.

Makna dari tri mandala dari segi konservasi adalah bahwa seseorang yang membangun tidak

boleh memanfaatkannya hanya untuk kepentingan pemanfaatan manusia saja tetapi juga

harus menyediakan ruang untuk kepentingan kegiatan spiritual/parhyangan serta untuk

kepentingan alam, konservasi. Oleh sebab itu, mereka harus menyediakan satu lahan hanya

sebagai lahan terbuka hijau alami yang mirip dengan “teba” pada lingkungan pemukiman.

Jika “teba” tidak ada lagi maka tidak ada lagi cukup vegetasi untuk menyerap polusi dari

lingkungan sekitar, dan tidak tersedia lagi habitat bagi fauna, serta tidak tersedia lagi

keragaman flora yang berfungsi sebagai cadangan genetik (plasma nutfah) bagi kepentingan

konservasi alam, yang mungkin berguna buat kita namun belum tentu semuanya kita ketahui

manfaatnya sampai saat ini.

DEWASA AYU (ALA AYUNING DEWASA)

Di lingkungan masyarakat Bali, ada istilah dewasa ayu atau saat/masa/periode yang baik, dan

ada juga hari yang tidak baik untuk kegiatan tertentu (ala), atau ada juga pantangan-

pantangan. Setiap kegiatan manusia diatur agar sinkron dengan kebutuhan sosial, budaya dan

alam. Misalnya ada dewasa ayu (masa/periode/hari baik) untuk menebang pohon, ada hari

pantangan/buruk untuk menebang pohon dan sebagainya. Misalnya pada saat tertentu

dilarang menebang bambu. Ini adalah bagian dari kearifan lokal untuk melestarikan bambu

tertentu. Agar tidak dilakukan penebangan terus menerus.

Dewasa ayu juga diterapkan misalnya untuk pertanian. Dengan memperhatikan dewasa ayu

maka biasanya sudah mempertimbangkan faktor alam seperti musim. Dewasa ayu untuk

memulai menanam padi pasti sudah menyesuaikan dengan musim kemarau dan musim hujan.

Dengan demikian diharapkan kebutuhan pertanian akan terpenuhi dan hasil panen melimpah.

Page 5: PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL: … fileAuditor/Assessor Sertifikasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan Auditor Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards

5

TENGET

Sesuatu yang “tenget” biasanya dijaga kelestariannya karena alasan tertentu, nanti ada resiko

jelek menimpa seseorang yang melanggarnya. Misalnya pohon yang tenget, jika ditebang

akan mebahayakan orang yang menebangnya dan dia bisa terkena nasib atau akibat buruk

atau celaka akibat ulahnya itu.

Dalam kehidupan sehari-hari sesuatu yang tenget membuat orang menjaganya atau

melestarikannya. Ini memberikan nilai positif dari segi konservasi. Misalnya lelipi duwe atau

ular duwe akan dijaga oleh masyarakat untuk dilestarikan dan tidak berani untuk dibunuh.

Dengan ular terjaga maka tikus bisa dikontrol, dan masalah serangan hama bisa ditekan di

lahan pertanian. Jika kita membasmi tikus dengan pestisida yang tidak ramah lingkungan,

maka bukan hanya tikusnya yang mati, namun efek racunnya juga bisa membunuh satwa

lainnya seperti belut, cacing, klipes, dan lain-lain yang menyebabkan kehilangan atau

penurunan keanekaragaman hayati. Paling tidak sumber makanan bagi kita juga akan

berkurang. Efek negatif lainnya dari penggunaan pestisida tidak ramah lingkungan adalah

terjadinya pencemaran yang bisa membahayakan manusia. Misalnya kakul (keong), kerang

yang tercemar jika dimakan bisa meracuni manusia. Apalagi racunnya dalam keong bisa

bersifat akumulatif, menumpuk dari waktu ke waktu, maka bahaya yang bisa ditimbulkan

bisa semakin besar atau semakin fatal. Misalnya dulu kita menyemprot tanaman padi dengan

DDT. Maka sampai 25 tahunpun residu racun dari DDT ini amsih ada di lahan tersebut. Jadi

pemulihannya susah dan dampak negatifnya dalam jangka panjang juga sulit dihilangkan.

Tenget juga menyebabkan lebih terjaganya kondisi lingkungan dari polusi atau pencemaran.

Misalnya sekitar sungai yang diisi pelinggih yang dianggap tenget, maka akan menyebabkan

orang tidak berani kencing dan berak di air tersebut. Dengan demikian tenget akan dapat

menekan terjadinya polusi air.

NYEPI

Nyepi bagi umat Hindu di Bali biasanya dikaitkan dengan pergantian tahun baru Caka.

Nyepi dilalui dengan melakukan amati karya atau tidak bekerja, amati geni tidak menyalakan

api, amati lelungan atau tidak bepergian, dan amati lelanguan atau tidak bersenang-senang.

Page 6: PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL: … fileAuditor/Assessor Sertifikasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan Auditor Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards

6

Dalam pemaknaan yang lebih mendalam, misalnya amati geni bisa dimaknai tidak boleh

marah. Dengan nyepi manusia diberikan kesempatan selama satu hari penuh untuk

melakukan evaluasi atas kehidupannya untuk menyongsong tahun baru yang lebih baik, dan

tidak mengulangi hal-hal yang jelek atau negatif di masa lalu. Kalau dikaitkan dengan

manajemen seperti review manajemen atau evaluasi menyeluruh atas manajemen usaha atau

kehidupan. Jadi bukan hanya sekedar tidak bekerja saja.

Untuk masyarakat tertentu, misalnya masyarakat Nusa Penida (?) mereka bahkan memiliki

nyepi segara(?). Dalam kaitan dengan ini, pada hari tertentu nelayan di Nusa Penida tidak

melakukan aktivitas kesehariannya untuk memberikan kesempatan kepada alam laut untuk

berjalan secara alami tanpa intervensi manusia.

BENGANG

Bengang artinya lahan yang kosong tanpa bangunan. Bengang ini biasanya terletak di

tempat-tempat tertentu misalnya di perbatasan antar desa. Bengang ini memberikan

lingkungan yang terbuka kepada setiap orang yang bepergian dari desa ke desa lainnya. Pada

saat itu dia bisa menghirup udara segar, melihat indahnya pemandangan di lahan terbuka, dan

sebagainya. Jika dilihat lebih jauh, bengang pada masa lalu juga sering dipakai sebagai

media membatasi penyebaran penyakit dari satu desa ke desa lainnya. Dengan semakin

maraknya pembangunan di lahan terbuka hijau di perbatsan desa maka bengang ini semakin

berkurang. Akibat paling sederhana kelihatan kita kehilangan kesempatan menikmati

pemandangan lahan terbuka itu, dan menyebabkan pikiran manusia semamin sumpek.

Akibatnya untuk menikmati pemandangan manusia harus mencari tempat hiburan yang

kadang kala harus membayar bukan gratisan.

CERIK LANTANG

Nilai cerik berarti kecil, lantang berarti panjang. Dalam kaitan dengan pengelolaan

lingkungan konsep cerik panjang bermakna kita harus memanfaatkan sumberdaya alam

secara efisien dan memikirkan agar permanfaatannya bisa dilakukan dalam jangka panjang,

bukan sebesar-besarnya hanya pemenuhan kebutuhan singkat sesaat saja. Misalnya

Page 7: PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL: … fileAuditor/Assessor Sertifikasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan Auditor Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards

7

Penebangan kayu di hutan bagian hulu atau pegunungan secara besar-besaran bisa

menimbulkan resiko banjir pada saat musim hujan karena kurangnya penahan laju air dan

lokasi penyerapan air ke dalam tanah.

KANGIN KAUH (ORIENTASI) & KAJE-KELOD

Dalam kehidupan sehari-hari orang Bali ada yang meyakini perlunya pemaknaan orientasi

mata angin. Kalau orang Bali dikatakan “sing nawang kangin kauh” atau tidak tahu arah

adalah ungkapan yang dianggap orang tidak benar atau bodoh. Jadi arah itu sangat penting

dalam kehidupan orang Bali. Mengapa demikian? Orientasi terhadap arah mata angin dan

arah gunung-laut (kaje kelod) atau gunung-segara (nyegara gunung) memberikan keuntungan

terkait dengan aliran air yang berhubungan dengan grafitasi dan arah penyinaran matahari.

Hal inilah yang ditangkap, sehingga pola susunan bangunan dalam rumah, letak pura atau

tempat suci, letak kuburan dan sebagainya dibuat menyesuaikan dengan ini.

Dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, kesesuaian terhadap arah gunung-laut dan matahari

terbit-terbenam memberikan keuntungan antara lain karena hemat energi, misalnya.

Mengalirkan air dari ketinggian (gunung) ke arah rendah (laut) tidak akan memerlukan

tenaga tambahan, tetapi sebaliknya akan memerlukan energi. Jadi konsep ini menyangkut

efisiensi energi. Kesesuaian dengan penyinaran matahari (kangin-kauh) memberikan

efisiensi terkait dengan adanya penyinaran matahari ini di samping kesegaran matahari pagi.

AREP-UNGKUR

Konsep arep ungkur sering kali dihubungkan dengan bagian depan (arep) sebagai yang lebih

disucikan lebih diutamakan daripada bagian belakang (ungkur). Dengan konsep inilah

sebagian masyarakat Bali, khususnya di Tabanan membuat sanggah/merajannya di bagian

depan dari pekarangan rumah, pada perbatasan dengan pintu/gerbang masuk rumahnya.

Dengan konsep arep –ungkur ini maka bagian depan rumah ditata sebersih mungkin lebih

diutamakan daripada bagian belakang rumah, yang sering dipakai sebagai tempat

pembuangan sampah (misalnya).

Page 8: PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL: … fileAuditor/Assessor Sertifikasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan Auditor Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards

8

SEGILIK-SEGULUK SELUNGLUNG SEBAYANTAKA,

PARAS-PAROS DAN TAT TWAM ASI

Pengelolaan lingkungan sering akan lebih berhasil kalau ada kebersamaan, dengan

mengedepankan nilai kebersamaan, “segilik-seguluk selunglung sebayantaka”, tat twam asi,

paras-paros, dan sebagainya (misal: Suwardani, 2015). Dengan konsep ini, kita mesti

menangani lingkungan secara bersama-sama. Sebagaimanapun perhatian seorang terhadap

lingkungan kalau sebagian besar masyarakat lainnya tidak peduli, maka permasalahan

tersebut akan sulit diatasi. Di samping itu, permasalahan lingkungan sering kali tidak

mengenal batas wilayah, sehingga akan berpengaruh terhadap pihak lain walaupun tempatnya

terpisah.

TUMPEK UDUH/TUMPEK BUBUH, DAN TUMPEK KANDANG

Tumpek Uduh atau tumpek Wariga, dan tumpek kandang atau tumpek Uye merupakan hari

penghormatan kepada Tuhan dalam manifestasinya menciptakan tumbuh-tumbuhan dan

binatang yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Tumbuh-tumbuhan dan binatang ini

menyediakan kebutuhan hidup yang diperlukan manusia, antara lain sebagai sumber makanan

(pangan), bahan bangunan/perumahan (papan), pakaian, dan sebagainya.

AWIG-AWIG DAN PARAREM

Keberhasilan dalam pengelolaan lingkungan dalam skup desa adat atau desa pekraman sangat

tergantung juga dengan peran penerapan awig-awig maupun perarem yang ada di desa

tersebut (misal: Suwardani, 2015). Misalnya pelestarian burung jalak Bali di Nusa Penida

didukung oleh desa adat di sana melalui aturan yang ada pada awig-awig desa. Pelanggaran

terhadap ini akan dikenai sangsi oleh desa adat. Dengan pemberlakuan ini, pelestarian jalak

bali di Nusa Penida kelihatannya cukup sukses dibandingkan di habitat aslinya, Taman

Nasional bali Barat (TNBB).

Page 9: PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL: … fileAuditor/Assessor Sertifikasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan Auditor Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards

9

SUBAK

Subak sebenarnya adalah organisasi pengairan-pertanian di Bali. Diantaranya ada subak yang

berhubungan dengan pengelolaan persawahan (pertanian lahan basah) dan subak abian (yang

mengelola tegalan atau persawahan lahan kering).

Subak adalah salah satu benteng pelestarian lahan terbuka di Bali. Jika subak sudah tidak

berdaya dan sawah sudah banyak yang dikonversi menjadi pemukiman, toko dll, maka

peluang kehancuran Bali akan semakin dekat. Akhir-akhir ini UNESCO sudah mendukung

subak sebagai salah satu warisan budaya dunia (WBD) atau world heritage. Dengan

demikian, mudah-mudah semakin banyak pihak yang memperhatikan keberadaan subak ini.

Ada subak yang sawahnya sudah habis jadi bangunan, tinggal pura bedugulnya saja yang

tidak ada yang merawatnya, karena semua petani di wilayah ini sudah berganti jadi profesi

lain.

NGAYAH

Ngayah sebenarnya artinya bekerja tulus ikhlas tanpa pamerih/tanpa mengharapkan imbalan.

Ngayah ini bukan hanya dilakukan ke keluarga raja, namun juga ke pura-pura. Dengan

ngayah diharapkan pekerjaan selesai dan pikiran hening karena melaksanakan dengan tulus

ikhlas.

KARMA PHALA

Salah satu nilai budaya Bali yang diyakini umat Hindu adalah Hukum Karma Phala. Dalam

hukum ini dikatakan seseorang yang berbuat jahat akan menghasilkan sesuatu yang jelek,

sementara seseorang yang berbuat baik akan mendapatkan/berbuah pada kebaikan juga.

Dalam kaitan dengan pengelolaan lingkungan, berdasarkan kepercayaan pada hukum karma

phala, manusia didorong untuk menangani lingkungan dengan baik, sehingga menghasilkan

sesuatu yang baik bagi mereka dikemudian hari.

Page 10: PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL: … fileAuditor/Assessor Sertifikasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan Auditor Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards

10

PENUTUP

Ada berbagai kearifan lokal ditemukan dalam kehidupan masyarakat Bali. Nilai-nilai ini

sudah sering disampaikan berbagai pihak dalam wacana-wacana pengelolaan lingkungan di

Bali. Masalahnya, apakah nilai-nilai ini benar-benar diterapkan dengan sebaik-baiknya atau

diabaikan begitu saja? Dengan peningkatan sosialisasi nilai-nilai kerifan lokal ini diharapkan

semua pihak di Bali lebih menyadari kembali pentingnya pengelolaan lingkungan berbasis

kearifan lokal, karena nilai-nilai itu memang sudah ada sejak dari dulu, dan nilai tersebut

tidaklah usang, masih relevan untuk kita terapkan pada jaman modern ini.

DAFTAR PUSTAKA

Dalem, A.A.G.R., I N. Wardi, I W. Suarna, dan I W. Sandi Adnyana. 2007. Kearifan Lokal

Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denpasar: UPT Penerbit dan PPLH Unud.

Rabindra, I.B. 2009. Nilai Kearifan Lokal “Tri Hita Karana” dalam Penataan Ruang Kota

Berkelanjutan di Bali. JAL 2(3): 16-31.

Sudiana, I M. dan I G. Sudirgayasa. 2015. Integrasi Kearifan Lokal Bali dalam Buku

Ajar Sekolah Dasar. Jurnal Kajian Bali 5(1): 181-200.

Suwardani, N.P. 2015. Pewarisan Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk

Memproteksi Masyarakat Bali dari Dampak Negatif Globalisasi. Jurnal

Kajian Bali 5(2):247-264.