27
“PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT DAN EFEK SEDATIF” I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian obat yang berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat yang berbeda-beda pula. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorbsi akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan. Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat per oral, karena mudah, aman, dan murah . Dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus, karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200m 2 . Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada saluran cerna. Ada beberapa cara pemberian obat yang lain, yaitu sublingual, per oral, per rectal, pemakaian pada permukaan epitel ( kulit, kornea, vagina, mukosa hidung ), inhalasi, dan suntikan ( subkutan, intramuskuler, dan intratekal ). Kecepatan absorbsinya pun berbeda pada masing-masing cara pemberian yang dapat menunjukan keefektifan obat tersebut. Dalam praktikum kali ini kita akan membandingkan keefektifan dan kecepatan absorbsi obat berdasarkan rute pemberian yang berbeda-beda. Selain itu, pada percobaan kali ini juga akan

PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT DAN EFEK SEDATIF.docx

Embed Size (px)

Citation preview

PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT DAN EFEK SEDATIFI. PENDAHULUANa. Latar BelakangAbsorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian obat yang berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat yang berbeda-beda pula. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorbsi akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat per oral, karena mudah, aman, dan murah . Dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus, karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200m2. Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada saluran cerna. Ada beberapa cara pemberian obat yang lain, yaitu sublingual, per oral, per rectal, pemakaian pada permukaan epitel ( kulit, kornea, vagina, mukosa hidung ), inhalasi, dan suntikan ( subkutan, intramuskuler, dan intratekal ). Kecepatan absorbsinya pun berbeda pada masing-masing cara pemberian yang dapat menunjukan keefektifan obat tersebut. Dalam praktikum kali ini kita akan membandingkan keefektifan dan kecepatan absorbsi obat berdasarkan rute pemberian yang berbeda-beda. Selain itu, pada percobaan kali ini juga akan digunakan obat golongan hipnotik sedatif yang merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP), mulai yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan , hingga yang berat (kecuali benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran, koma dan mati bergantung kepada dosis.

b. Tujuan percobaan Mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap kecepatan absorbsinya, menggunakan data farmakologi sebagai tolak ukurnya. Mempelajari dan mengamati pengaruh dari obat penekan syaraf pusat.

c. Dasar TeoriAbsorbsi merupakan pengambilan obat dari permukaan tubuh atau dari tempat-tempat tertentu pada organ ke dalam aliran darah yang dipengaruhi beberapa faktor yakni cara pemberian obat dan bentuk sediaan. Ada beberapa cara pemberian obat yaitu sublingual, per oral, per rectal, pemakaian pada permukaan epitel ( kulit, kornea, vagina, mukosa hidung ), inhalasi, dan suntikan ( subkutan, intramuskuler, dan intratekal ). (Anonim,1995).Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagai barier absorbsi adalah membran epitel saluran cerna yang seperti halnya semua membran sel epitel saluran cerna , yang seperti halnya semua membran sel ditubuh kita, merupakan lipid bilayer.Dengan demikian , agar dapat melintasi membran sel tersebut, molekul obat harus memiliki kelarutan lemak (setelah terlebih dulu larut dalam air) (Farmakologi dan Terapi edisi 5, 2007).Cara pemberian dapat mempengaruhi kecepatan absorbsi obat yang berpengaruh juga terhadap onset dan durasi. Onset adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk menimbulkan efek mulai obat itu diberikan. Cara pemberian per oral memiliki onset yang paling lama karena pada per oral senyawa obat memerlukan proses absorbsi, setelah obat masuk mulut akan masuk lambung melewati kerongkongan. Di dalam lambung obat mengalami ionisasi kemudian diabsorbsi oleh dinding lambung masuk kedalam peredaran darah, sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk berefek. Sedangkan secara intraperitonial memiliki onset paling pendek karena rongga perut banyak terdapat pembuluh darah dan tidak ada faktor penghambat sehingga dengan segera akan menimbulkan efek. Pada subcutan melalui bawah kulit di mana obat harus melalui lapisan- lapisan kulit baru masuk ke pembuluh kapiler bawah kulit, sehingga onset yang dihasilkan lebih lama dari kedua cara lainnya (Anief, 1990).Durasi adalah waktu yang diperlukan obat mulai dari obat berefek sampai efek hilang. Durasi dipengaruhi oleh kadar obat dalam darah dalam waktu tertentu. Pada per oral didapatkan durasi terpendek, disebabkan karena per oral melewati banyak fase seperti perombakan dihati menjadi aktif dan tidak aktif. Semakin banyak fase yang dilalui maka kadar obat akan turun sehingga obat yang berikatan dengan reseptor akan turun dan durasinya pendek. Sedangkan pada pemberian secara intraperitonial obat dengan kadar tinggi akan berikatan dengan reseptor sehingga akan langsung berefek tetapi efek yang dihasilkan durasinya cepat karena setelah itu tidak ada obat yang berikatan lagi dengan reseptor. Pada sub cutan memiliki durasi yang lama, hal ini disebabkan karena obat akan tertimbun di depot lemak/ jaringan di bawah kulit sehingga secara perlahan- lahan baru akan dilepaskan sehingga durasinya lama. Cara pemberian obat yang baik, bila onset yang dihasilkan cepat dan durasi dalam obat lama (Anief, 1990).Per oral. Sebagian besar obat diberikan melalui mulut dan ditelan. Beberapa obat( misalnya: alcohol dan aspirin ) dapat diserap dengan cepat dari lambung, tetapi kebanyakan obat diabsorpsi sebagian besar melalui usus halus. Absorpsi obat melalui usus halus, pengukuran yang dilakukan terhadap absorpsi obat baik secara in vivo maupun secara in vitro, menunjukan bahwa mekanisme dasar absorpsi obat melalui usus halus ini adalah secara transfer pasif. Di mana kecepatan obat ditentukan oleh derajat ionisasi obat dan lipid solubilitas dari molekul obat tersebut. Pemberian obat secara suntikan intravena. Pemberian obat secara intravena adalah cara yang paling cepat dan paling pasti. Suatu suntikan tunggal intravena akan memberikan kadar obat yang sangat tinggi yang pertama-tama akan mencapai paru-paru dan kemudian ke sirkulasi sistemik. Kadar puncak yang mencapai jaringan tergantung pada kecepatan suntikan yang harus diberikan secara perlahan-lahan sekali. Obat-obat yang berupa larutan dalam minyak dapat menggumpalkan darah atau dapat menyebabkan hemolisa darah, karena itu tidak boleh diberikan secara intravena. Pemberian obat suntikan subkutan. Suntikan subkutan hanya bias dilakukan untuk obat-obat yang tidak menyebabkan iritasi terhadap jaringan karena akan menyebabkan rasa sakit hebat, bnekrosis dan pengelupasan kulit. Absorpsi melalui subkutan ini dapat pula bervariasi sesuai dengan yang diinginkan. Pemberian suntikan intramuskuler ( IM ). Obat- obat yang larut dalam air akan diabsorbsi dengan cepat setelah penyuntikan IM. Umumnya kecepatan absorpsi setelah penyuntikan pada muskulus deloid atau vastus lateralis adalah lebih cepat dari pada bila disuntikkan pada gluteus maximus. Pemberian suntikan intra-anterial. Kadang-kadang obat disuntikan ke dalam sebuah arteri untuk mendapatkan efek yang terlokalisir pada jaringan atau alat tubuh tertentu. Tetapi nilai terapi cara ini masih belum pasti. Kadang-kadang obat tertentu jug a disuntikan intraarteri untuk keperluan diagnosis. Sutikan intraarteri harus dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli. Pemberian suntikan intratekal. Dengan cara ini oabt langsung disuntikkan ke dalam ruang subaraknoid spinal. Suntikan intratekal dilakukan karena banyak obat yang tidak dapat mencapi otak, karena adanya sawar darah otak (dr. sjamsuir munaf, 1994 )Pemberian suntikan intra-peritonial. Rongga peritoneum mempunyai permukaan absorpsi yang sangat luas sehingga obat dapat masuk ke sirkulasi sistemik secara cepat. Cara ini banyak digunakan di laboratorium tetapi jarang digunakan di klinik karena adanya bahaya infeksi dan perlengketan peritoneu ( dr.sjamsuir munaf,1994 ).Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur. Umumnya, obat ini diberikan pada malam hari. Bila zat-zat ini diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP), mulai yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan , hingga yang berat (kecuali benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran, koma dan mati bergantung kepada dosis. Pada dosis terapi obat sedasi menekan aktifitas, menurunkan respons terhadap rangsangan dan menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis sedatif (Tjay, 2002).Sedatif menekan reaksi terhadap perangsangan, terutama rangsangan emosi tanpa menimbulkan kantuk yang berat. Hipnotik menyebabkan tidur yang sulit dibangunkan disertai penurunan refleks hingga kadang-kadang kehilangan tonus otot (Djamhuri, 1995). Hipnotika dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu benzodiazepin, contohnya: flurazepam, lorazepam, temazepam, triazolam; barbiturat, contohnya: fenobarbital, tiopental, butobarbital; hipnotik sedatif lain, contohnya: kloralhidrat, etklorvinol, glutetimid, metiprilon, meprobamat; dan alkohol (Ganiswarna dkk, 1995).Barbiturat tidak dapat mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pemberian obat barbiturat yang hampir menyebabkan tidur, dapat meningkatkan 20% ambang nyeri, sedangkan ambang rasa lainnya (raba, vibrasi dan sebagainya) tidak dipengaruhi. Pada beberapa individu dan dalam keadaan tertentu, misalnya adanya rasa nyeri, barbiturat tidak menyebabkan sedasi melainkan malah menimbulkan eksitasi (kegelisahan dan delirium). Hal ini mungkin disebabkan adanya depresi pusat penghambatan (Ganiswarna dkk, 1995).

II. ALAT DAN BAHANA. Alat-alat Spuit injeksi (0,1-2 ml) Jarum sonde Labu ukur 10 ml Stopwatch Timbangan tikus Neraca analitik Alat-alat gelas Rotarod (batang berputar)B. Bahan Hewan coba (masing-masing kelompok tikus 3 ekor) Fenobarbital Aquabidest

III. CARA KERJA

Peralatan Percobaan

Semua perhitunganDisiapkan semua alat yang dibutuhkan

Dihitung dosis konversi, larutan stok, dan jumlah obat yang harus diambil. Hewan uji (tikus)Dihitung volumefenobarbital yang akan diberikan.

Dibagi per kelompok mendapat 3 tikus Ditimbang bobot tikus dan diberi tanda. Diberikan fenobarbital sesuai dengan kelompok.

Kelompok 4Diberikan secaraPer oralSubkutan IntramuskularKelompok 3Diberikan secaraPer oralIntravena Intraperitoneal Kelompok 1Diberikan secaraPer oralIntravena Intraperitoneal Kelompok 2Diberikan secaraPer oralSubkutan Intramuskular

Ditandai sesuai dengan pemberian bahan uji. Dilakukan percobaan pada menit ke 15, 30, 60, dan 90 dengan meletakkannya pada rotarod. Diamati berapa kali tikus terjatuh dari rotarod. Diamati onset dan durasi obat fenobarbital. HasilDicatat

IV. PERHITUNGAN DAN HASIL PERCOBAANPerhitungan Per OralDosis Konversi = 0,018 x 30 mg = 0,54 mg/200 g BB tikusLarutan stok == = 0,054 mgBerat yang diambil = x berat tablet=x 124,3 mg = 0,2 mg ad 10 ml aquabidestVolume pemberian = x Vmaks = x .5 = 2,75 ml Subkutan Dosis Konversi = 0,018 x 30 mg = 0,54 mg/200 g BB tikusLarutan stok == = 0,054 mgV1. M1 = V2. M2V1. 25 = 25 x 0,054V1= 0,054 ad 25 mlVolume pemberian = x Vmaks = x .5 = 3,75 ml Intramuskular Dosis Konversi = 0,018 x 30 mg = 0,54 mg/200 g BB tikusLarutan stok == = 2,7 mgV1. M1 = V2. M2V1. 25 = 2,7 x 25V1= 2,7 ad 25 mlVolume pemberian = x Vmaks = x . 0,1 = 0,065 mlHasil pengamatanPengaruh pemberian terhadap absorbsi obat Kelompok 1Per OralIntravenaIntraperitoneal

Onset 301515

Durasi 709090

Kelompok 2Per OralSubkutan Intramuskular

Onset 706045

Durasi 909070

Kelompok 3Per OralIntravena Intraperitoneal

Onset 521517

Durasi 848890

Kelompok 4Per OralSubkutanIntramuskular

Onset 456030

Durasi 8011590

Tabel Rata-rataPer OralIntravenaIntraperitonealSubkutanIntramuskular

Rata-rata Onset49,2515166037,5

Rata-rata Durasi808990102,580

Efek Sedatif (Jumlah Jatuh dalam 2 menit)Menit (Kelompok 1)Per OralIntravenaIntraperitoneal

15123

30222

45456

60105-

905-5

Menit (Kelompok 2)Per OralSubkutan Intramuskular

15114

30342

45323

601-1

90---

Menit (Kelompok 3)Per OralIntravena Intraperitoneal

152-4

30332

45441

60142

90-12

Menit (Kelompok 4)Per OralSubkutanIntramuskular

1521-

30141

45373

6048-

90-124

Tabel Rata-rataPer OralIntravenaIntraperitonealSubkutanIntramuskular

Menit 151,513,512

Menit 302,252,5241,5

Menit 453,54,53,54,53

Menit 6044,5140,5

Menit 9050,53,562

V. PEMBAHASANOnset adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk menimbulkan efek mulai obat itu diberikan. Cara pemberian per oral memiliki onset yang paling lama karena pada per oral senyawa obat memerlukan proses absorbsi, setelah obat masuk mulut akan masuk lambung melewati kerongkongan. Di dalam lambung obat mengalami ionisasi kemudian diabsorbsi oleh dinding lambung masuk kedalam peredaran darah, sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk berefek. Sedangkan secara intraperitonial memiliki onset paling pendek karena rongga perut banyak terdapat pembuluh darah dan tidak ada faktor penghambat sehingga dengan segera akan menimbulkan efek. Pada subcutan melalui bawah kulit di mana obat harus melalui lapisan- lapisan kulit baru masuk ke pembuluh kapiler bawah kulit, sehingga onset yang dihasilkan lebih lama dari kedua cara lainnya. Durasi adalah waktu yang diperlukan obat mulai dari obat berefek sampai efek hilang. Durasi dipengaruhi oleh kadar obat dalam darah dalam waktu tertentu. Pada per oral didapatkan durasi terpendek, disebabkan karena per oral melewati banyak fase seperti perombakan dihati menjadi aktif dan tidak aktif (Anief, 1990). Rute-rute pemberian obat di kelompokkan menjadi lima yaitu: peroral, subktan(sc), intravena(iv), intraperitonial(ip) dan intramuscular(im). Pada pemberian per oral banyak faktor dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat. Karena ada obat-obat yang tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut (metabolisme atau eliminasi lintas pertama). Pemberian intravena (IV) tidak mengalami absorpsi tetapi langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik, sehingga kadar obat dalam darah diperoleh secara capat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respon penderita. Kerugiannya adalah mudah tercapai efek toksik karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan, dan obat tidak dapat ditarik kembali.Injeksi subkutan (SC) atau pemberian obat melalui bawah kulit, hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsinya biasanya terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama. Injeksi intramuskular (IM) atau suntikkan melalui otot, kecepatan dan kelengkapan absorpsinya dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam air. Absorpsi lebih cepat terjadi di deltoid atau vastus lateralis daripada di gluteus maksimus.Injeksi intraperitoneal atau injeksi pada rongga perut tidak dilakukan untuk manusia karena ada bahaya infeksi dan adesi yang terlalu besar. Pemberian secara injeksi intravena menghasilkan efek yang tercepat, karena obat langsung masuk ke dalam sirkulasi. Efek lebih lambat diperoleh dengan injeksi intramuskular, dan lebih lambat lagi dengan injeksi subkutan karena obat harus melintasi banyak membran sel sebelum tiba dalam peredaran darah.Praktikum kali ini mempalajari tentang pengaruh cara pemberian obat terhadap absorpsi obat dalam tubuh (dalam hal ini pada tubuh hewan uji). Tikus dipilih sebagai hewan uji karena proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga sangat cocok untuk dijadik`n sebagai objek pengamatan. Pada praktikum ini, di lakukan berbagai macam cara pemberian obat fenobarbital kepada 5 tikus jantan. Pada awalnya mencit jantan bersifat normal (aktif berlari, memanjat, dll). Kemudian disuntikkan obat fenobarbital ke masing-masing mencit jantang dengan berbagai macam cara pemberian obat, yaitu oral, intra vena, intra peritoneal, intra muscular, dan subcutan. Dosis yang diberikan kepada masing-masing mencit berbeda-beda, sesuai dengan berat badan mencit masing-masing. Setelah pemberian fenobarbital perubahan mulai terjadi pada mencit, namun ada 1 perbedaan pada hasilnya, yaitu perbedaan pada waktu obat mulai bereaksi terhadap masing-masing mencit.Dari hasil percobaan didapatkan rata-rata onset dari yang tercepat hingga terlama secara berurutan yaitu intravena 15 menit, intraperitoneal 16 menit, intramuskular 37,5 menit, per oral 49,25 menit dan subkutan 60 menit. Dari data yang didapatkan tentang perbandingan rute pemberian obat terhadap efektifitasnya, menunjukkan bahwa onset rute pemberian melalui intravena adalah yang paling cepat, yaitu didapatkan hasil rata-rata membutuhkan waktu rata-rata 15 menit. Hal ini sudah sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa rute pemberian intravena dapat memberikan onset yang paling cepat karena obat langsung masuk kepembuluh darah dan langsung terabsorbsi ke bagian tubuh yang sakit. Sedangkan onset yang paling lama tercapai adalah melalui subkutan yang didapatkan hasil rata-rata sekitar 60 menit. Tetapi hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan literatur. Dalam literatur menyatakan bahwa onset yang paling lama adalah peroral, karena rute pemberiannya paling panjang dan harus melalui saluran pencernaan dan kemungkinan obat dapat rusak oleh asam lambung, selain itu absorbsi obat terhambat oleh makanan dalam lambung (Anief, 1990). Kesalahan hasil percobaan ini, dikarenakan karena mekanisme pemberian obat terutama injeksi yang kurang benar, injeksi yang salah dapat mengakibatkan obat terakumulasi pada jaringan yang salah sehingga absorbsi dan distribusi obat menjadi berbeda dari yang seharusnya. Injeksi yang salah juga mengakibatkan dosis obat yang masuk tidak sesuai dengan yang diharapkan bahkan obat tidak masuk ke sirkulasi sistemik. Selain itu, kondisi hewan coba yang mungkin kurang baik karena stress. Dari hasil percobaan terhadap durasi obat, didapatkan hasil durasi terpendek sampai terpanjang, yaitu per oral dan intramuskular 80 menit, intravena 89 menit, intraperitoneal 90 menit, dan subkutan 102,5 menit. Durasi tecepat yaitu per oral dan intramuskular dengan durasi rata-rata sekitar 80 menit. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan pada pemberian per oral didapatkan durasi terpendek, disebabkan karena per oral melewati banyak fase seperti perombakan dihati menjadi aktif dan tidak aktif. Sedangkan durasi yang terlama adalah subkutan, yang memiliki durasi rata-rata sekitar 102,5 menit, hal ini juga sesuai dengan literatur yaitu pada pemberian sub cutan memiliki durasi yang lama, hal ini disebabkan karena obat akan tertimbun di depot lemak/ jaringan di bawah kulit sehingga secara perlahan- lahan baru akan dilepaskan sehingga durasinya lama (Anief, 1990). Pada percobaan efek sedatif, obat yang digunakan adalah golongan barbiturat yaitu fenobarbital. Fenobarbital ini bila digunakan sebagai anti hipnotik-sedatif, diberikan secara oral. Obat ini diabsorbsi cepat dan beredar luas di seluruh tubuh. Ikatan fenobarbital pada protein plasma tinggi tetapi tingkat kelarutan lemak tidak begitu tinggi. Dosis sedasi 15-30 mg. Fenobarbital mencapai kadar puncak dalam 60 menit dengan durasi kerja 10 hingga 12 jam.waktu paruh dari fenobarbital adalah 80 hingga 120 jam. Fenobarbital dimetabolisme di hati dan diekskresikan ke urin kira-kira 25% fenobarbital diekskresi ke urin dalam bentuk utuh (Katzung, 2004). Pemerian Fenobarbital Rumus Molekul : C12H12N2O3 Nama Kimia : asam 5-etil-5- fenilbarbiturat Bobot molekul : 232,24 Pemerian : hablur atau serbuk hablur, putih tidak berbau, rasa agak pahit. (asam 5, fenil-5, etil barbiturat) Kelarutan : sangat sukar larut dlam air, agak sukar larut dalam kloroform, larut dalam etanol. Sifat farmakologi :Fenobarbital merupakan obat golongan barbitural yang berkhasiat sebagai hipnotik sedative yang berefek utama depresi susunan saraf pusat. Hipnotika adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur. Lazimnya, obat ini diberikan pada malam hari. Bilamana zat-zat ini diberikan pada pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan sedatif( obat-obat pereda). Hipnotika/sedatif termasuk dalam kelompok psikoleptika yang mencakup obat-obat yang menekan atau menghambat fungsi-fungsi susunan saraf pusat. Dewasa ini hanya beberapa barbiturat yang masih digunakan untuk indikasi-indikasi tertentu seperti fenobarbitural yang memiliki sifat antikonvulsif. Dosis fenobarbital 15-30 mg bekerja sebagai sedativum dan 100 mg atau lebih sebagai obat tidur. Overdosis fenobarbital dapat menimbulkan depresi sentral dengan penghambat pernapasan berbahaya, koma, dan kematian (Katzung, 2004) Efek utama fenobarbital adalah depresi pada sistem saraf pusat. Efek ini dicapai dengan cara berikatan dengan komponen-komponen molekuler reseptor GABAA pada membran neuron sistem saraf pusat. Ikatan ini akan meningkatkan lama pembukaan kanal ion klorida yang diaktivasi oleh GABA. Pada konsentrasi tinggi, fenobarbital juga bersifat sebagai GABAmimetik dimana akan mengaktifkan kanal klorida secara langsung. Peristiwa ini menyebabkan masuknya ion klorida pada badan neuron sehingga potensial intra membran neuron menjadi lebih negatif (Tjay, 2002).Percobaan terhadap efek sedatif dilakukan dengan menghitung berapa kali tikus terjatuh dari rotarod selama 2 menit, dihitung pada menit ke 15, 30, 45, 60, dan 90. Pada pemberian per oral didapatkan hasil frekuensi terbanyak tikus jatuh yaitu pada menit ke-90, menunjukkan bahwa kadar obat sudah mencapai puncak sehingga tikus tidak bisa menjaga keseimbangan dan terjatuh dari rotarod. Pada pemberian secara intravena, didapatkan hasil frekuensi terbanyak tikus jatuh yaitu pada menit ke-60, intraperitoneal pada menit ke-90, subkutan pada menit ke-90, dan intramuskular pada menit ke 90. Menurut literatur dosis sedasi 15-30 mg. Fenobarbital mencapai kadar puncak dalam 60 menit (Katzung, 2004). Sehingga perbandingan hasil percobaan dengan bila dibandingkan dengan literatur tidak sesuai, karena rute pemberian obat yang berbeda-beda sehingga absorbsi obat juga berbeda, dan waktu kadar obat mencapai puncak berbeda. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi ketidaksesuaian hasil dengan literatur, yaitu penempata tikus pada rotarod yang tidak sesuai sehingga mudah terjatuh.

VI. KESIMPULANa. Rute pemberian obat dapat dilakukan melalui per oral yaitu melalui mulut dan melewati saluran cerna, intravena yaitu dengan menginjeksi ke pembuluh darah vena, intramuskular yaitu dengan menginjeksi pada otot, intraperitoneal yaitu dengan menginjeksi di rongga perut, dan secara subkutan dengan menginjeksi di bawah kulit.b. Pemberian obat secara intravena memberikan onset/ efek obat yang tercepat karena obat langsung masuk ke pembuluh darah, sementara onset yang terpanjang yaitu secara per oral karena harus melalui saluran cerna.c. Efek dari fenobarbital pada dosis 30 mg dapat memberikan efek sedatif-hiptonik, hipnotik-sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP), yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, dan menidurkan.

VII. DAFTAR PUSTAKAAnief, M. 1990. Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan. UGM Press. Yogyakarta Anonim.1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Depkes RI. Jakarta. Ansel, H. C. 1986. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta.Katzung, G B, 2004, Farmologi Dasar dan Klinik, EGC, Jakarta.Liew, 2009, Tentang Obat dan Penyakit, http://liew267.com/2009/03/05/pengaruh-cara-pemberian-terhadap-absorpsi- obat/ diakses 13 April 2014Mycek, mary J. dkk .2003. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta : Buku kedokteran EGC. Halaman 89-94Syindjia, Zalika, 2011, Keuntungan & kerugian Beberapa cara pemberian obat. http://www.syindjia.com/2011/03/penggolongan-obat-pada-antibiotik_02.html diakses 13 april 2014Tim departemen Farmakologi FKUI.2007. Farmakologi dan Terapi. FKUI:Jakarta.

Tjay. T.H dan K. Raharja, 2002, Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya Edisi 5, PT Elex Media, Jakarta.

VIII. LAMPIRANTugas1. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi obat dari saluran cerna?a. Bentuk SediaanTerutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk sediaan yang berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.b. Sifat Kimia dan Fisika ObatBentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi proses absorpsi. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak.c. Faktor BiologisAntara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya pembuluh darah pada tempat absorpsi.d. Faktor Lain-lainAntara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit tertentu (Liew, 2009).2. Jelaskan bagaimana cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi?Cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi dimana hubungannya dengan kecepatan dan kelengkapan absorbsi obat. Kecepatan absorbs obat di sini berpengaruh terhadap onsetnya sedangkan kelengkapan absorbs obat berpengaruh terhadap durasinya misalnya lengkap atau tidaknya obat yang berikatan dengan reseptor dan apakah ada factor penghambatnya (Ansel, 1986).3. Jelaskan keuntungan dan kerugian dari masing-masing cara pemberian obat?Cara Pemberian Obat Intravena Keuntungan Cepat mencapai konsentrasi Dosis tepat Mudah mentitrasi dosis

Kerugian Konsentrasi awal tinggi, toksik Invasiv, risiko infeksi dan Memerlukan tenaga ahliCara Pemberian Obat Intravemuskuler Keuntungan Tidak diperlukan keahlian khusus Dapat dipakai untuk pemberian obat larut dalam minyak Absorbsi cepat obat larut dalam air Kerugian Rasa sakit Tidak dapat dipakai pada gangguan bekuan darah Bioavibilitas berfariasi. Obat dapat menggumpal pada lokasi penyuntikan.

Cara Pemberian Obat Subkutan Keuntungan Diperlukan latihan sederhana Absorbsi cepat obat larut dalam air Mencegah kerusakan sekitar saluran cerna Kerugian Rasa sakit dan kerusakan kulit Tidak dapat dipakai jika volume obat besar Bioavibilitas berfariasi, sesuai lokasi

Cara Pemberian Obat Oral Keuntungan Tidak diperlukan latihan khusus Nyaman (penyimpanan,muda dibawa) Non-invasiv, lebih aman Ekonomis. Kerugian drug delivery tidak pasti Sangat tergantung kepatuhan pasien Tingginya Interaksi : obat + obat, obat-makanan Banyak obat rusak dalam saluran cerna. Exposes drugs to first pass effect(Syindjia, 2011 )4. Apa tujuan mengadaptasikan mencit sebelum dilakukan percobaan?Tujuannya adalah agar mencit terbiasa dengan rotarod dan mengecek apakah mencit yang digunakan benar-benar sehat/ sudah tidak sehat.5. Jelaskan mekanisme terjadinya efek sedatif dan apa bedanya dengan efek anastesi?Mekanisme efek sedatif: Pengikatan GABA (asam gamma amino butirat) ke reseptornya pada membran sel akan membuka saluran klorida, meningkatkan efek konduksi klorida. Aliran ion klorida yang masuk menyebabkan hiperpolarisasi lemah menurunkan potensi postsinaptik dari ambang letup dan meniadakan pembentukan kerja-potensial. Benzodiazepin terikat pada sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari membran sel, yang terpisah tetapi dekat reseptor GABA. Reseptor benzodiazepin terdapat hanya pada SSP dan lokasi nya sejajar dengan neuron GABA. Pengikatan benzodiazepin memacu afinitas reseptor GABA untuk neurotansmitter yang bersangkutan, sehingga saluran klorida yang berdekatan lebih sering terbuka keadaan tersebut akan memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron [ catatan : benzodiazepin dan GABA secara bersama-sama akan meningkatkan afinitas terhadap sisi sisi ikatan nya tanpa perubahan jumlah total sisi tersebut ]. Efek klinis berbagai benzodiazepin tergantung afinitas ikatan obat masing-masing pada kompleks ikatan ion, yaitu kompleks GABA reseptor dan klorida. Barbiturat barangkali mengganggu transpor natrium dan kalium melewati membran sel. Ini mengakibatkan inhibisi aktivitas sistem retikular mesensefalik. Transmisi polisinaptik SSP dihambat . Barbiturat juga meningkatkan fungsi GABA memasukkan klorida ke dalam neuron, meskipun obatnya tidak terikat pada reseptor benzodiazepin.Mekanisme kerja anastesi: Pusat mekanisme kerja dari anastesi local terletak di membrane sel. Anastesi local memblok penyampaian implus dengn cara mencegah kenaikan permeabilitas membrane sel pada ion-ion natrium. Pada waktu yang bersamaan ambang kepekaan terhadap rangsangan listrik lambat laun meningkat, yang pada akhirnya memblokir penerusan impuls ( Mycek,2003)

6. Cari dan jelaskan cara uji daya sedatif yang lain berikut alat-alat yang digunakannya? a. Metode uji Chimoncy testMencit ditempatkan di dalam suatu silinder sepanjang 30 cm yang diberi tanda pada ketinggian 30 cm dan diameter tabung 2,8 cm. Silinder ditegakkan dalam posisi vertikal dan tikus akan berusaha memanjat dinding silinder. Pada mencit yang normal, mencit akan memanjat sampai batas tanda dalam waktu 30 detik.b. Metode uji PlatformDilakukan pengamatan terhadap tingkah laku mencit di atas platform. Efek sedatif ditunjukkan dalam malas bergerak (jarang menjenguk-jengukkan kepala keluar dari platform dan mencit cenderung tidk peduli dengan kondisi eksternal misalnya bunyi-bunyian.