Upload
imam-bukhori
View
353
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai subyek hukum yang hidup secara berkelompok dalam
suatu komunitas tertentu dalam suatu wilayah tertentu disebut masyarakat.
Dalam kehidupannya manusia disadari adanya interaksi satu sama lain.
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk
bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang
berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia
sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia
lainnya.
Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakan
dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan
selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai
makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan
untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan
bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia.
Diperkuat dengan dalil Aristoteles mengatakan manusia itu “zoon
politicon” yang artinya satu individu dengan individu lainnya saling
membutuhkan satu sama lain sehingga keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan
1
dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena sifat manusia itu yang suka
bergaul antara satu dengan yang lainnya, maka manusia itu disebut sebagai
makhluk sosial.1) Sebagai makhluk sosial, maka manusia yang di dalam
hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh orang lain dan tentunya
akan terjadi hubungan secara timbal balik dengan manusia lain.2)
Selain itu, sebagai makhluk sosial, manusia juga sebagai makhluk
pribadi yang dengan segala keunikan personality nya adalah makhluk sosial
yang secara kodrati tercipta untuk berkehidupan bersama. Salah satu bentuk
kerjasama dengan orang lain yaitu saling bahu membahu dan bekerja sama
dalam rangka memenuhi kebutuhan dan untuk tujuan hidupnya.
Makhluk sosial dan makhluk pribadi, manusia (natuurlijk person) juga
sebagai subyek hukum.3) Oleh karena itu, di Indonesia tiap-tiap manusia
dianggap sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum dan
merupakan subyek hukum. Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak,
mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir saat ia meninggal dunia.4)
Aktivitas kehidupan sehari-hari, adakalanya manusia sebagai subyek
hukum melakukan hubungan hukum seperti pinjam meminjam, jual beli, sewa
menyewa, kontrak maupun perjanjian kerjasama, baik antara dua orang atau
lebih. Hal tersebut merupakan suatu perbuatan hukum karena adanya ikatan
yang mengikat antara pihak yang satu dengan pihak yang lain.
1) Chainur Arrasjid, Pengantar Ilmu Hukum, (Medan: Yani Corporation, 1988), hal.1 2) Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Bandung: Kencana Prenada Media
Group, 2007), hal. 673) Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. ke-29, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), hal. 194) Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. ke-37, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2006), hal. 4
2
Secara yuridis, suatu hubungan hukum yang dilakukan seseorang
dengan orang lain yang semula sangat bersifat keperdataan (individual
contract), seringkali dapat berkembang menjadi problem yang kompleks
karena mengandung aspek yuridis lain, misalnya dimensi kepidanaan.
Peristiwa hukum berupa perjanjian atau hubungan hutang piutang yang
dilakukan antara dua orang misalnya, ketika realisasi dari perjanjian atau
hubungan hukum hutang piutang tersebut tidak sesuai rencana semula atau
terjadi "pengkhianatan" di antara mereka, seringkali berubah menjadi kasus-
kasus pidana sebagai penipuan, penggelapan, dan sebagainya. Jika sudah
demikian, maka pengetahuan dan kehati-hatian tentang aspek-aspek hukum
dalam suatu tindakan hukum menjadi sangat urgen untuk dipahami oleh setiap
manusia sebagai subyek hukum.
Sebagaimana dalam penulisan skripsi ini, penulis mencoba
mengangkat dan membatasi sebuah kasus yang diawali dari perkara perdata,
namun dalam perkembangan selanjutnya menjadi perkara pidana. Kasus
tersebut terdapat dalam Putusan Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb dengan
Terdakwa Djono Sutanto (yang selanjutnya dalam penulisan ini disebut
Terdakwa) sebagai penjual batubara dan Suwanto Sutono selaku Direktur PT
Prima Multi Arta sebagai pembeli batubara.
Berawal dari adanya kerjasama antara Terdakwa dengan Suwanto
Sutono sepakat melakukan transaksi jual beli batubara. Pada hari Selasa
tanggal 07 Juli 2009 terdakwa datang menemui Pembeli di kantornya yang
berlamat di Jl. Payau 1 No 01 Kelurahan Sei Besar Kec Banjarbaru Selatan,
3
Kota Banjarbaru dengan mengatakan akan menurunkan batubara dalam
jumlah 1.000 metrik ton, kemudian Terdakwa meminta uang kepada saksi
Suwanto Sutono sebesar Rp. 130.000.000 (seratus tiga puluh juta rupiah)
untuk pembayaran kepada pihak ketiga dengan rincian sebagai berikut :
1. Biaya kontraktor Rp.75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) per ton
sehingga membutuhkan biaya sebesar Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima
juta rupiah);
2. Biaya trucking Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) per ton sehingga
membutuhkan biaya sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah);
3. Biaya premi supir Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) per ton sehingga
membutuhkan biaya sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah).
Kemudian pada hari Selasa tanggal 07 Juli 2009 Suwanto Sutono
memerintahkan kepada Rustini selaku kasir di PT Prima Multi Arta untuk
mengeluarkan uang tunai sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan
langsung diterima oleh Terdakwa. Pada hari yang sama saksi Suwanto Sutono
memerintahkan Sukamto Rianto selaku Manager Keuangan PT Prima Multi
Artha untuk mengirimkan uang melalui transfer Bank Mandiri Banjarbaru ke
rekening Terdakwa sebesar Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).
Kemudian pada hari Kamis tanggal 09 Juli 2009 Suwanto Sutono
memerintahkan Sukamto Rianto untuk mengirimkan uang melalui transfer
Bank Mandiri Banjarabaru kerekening Terdakwa sebesar Rp. 55.000.000,-
(lima puluh lima juta rupiah). Sehingga jumlah uang yang diterima oleh
4
Terdakwa dari Suwanto Sutono sebesar Rp.130.000.000 (seratus tiga puluh
juta rupiah).
Uang yang diterima terdakwa dari saksi Suwanto Sutono sebesar
Rp.130.000.000 (seratus tiga puluh juta rupiah) seharusnya digunakan untuk
membayar biaya kontraktor, biaya trucking dan biaya prenmi supir. Tetapi
terdakwa dengan sengaja memiliki uang tersebut sacara melawan hukum
dengan cara uang tersebut digunakan oleh terdakwa untuk pembayaran fee
lahan dan fee jalan kepada saksi Yamin sebagai pemilik lahan serta untuk
pembayaran fee lahan, fee debu, fee desa, fee kepala desa setempat.
Dikarenakan Terdakwa tidak menyerahkan uang yang diterima dari
Suwanto Sutono untuk pembayaran kontraktor, biaya trucking dan biaya
premi supir, maka Suwanto Sutono didatangi oleh Hardiansyah selaku
kontraktor untuk menagih pembayaran biaya kontraktor sebesar
Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) kemudian Suwanto Sutono
mengatakan uangnya sudah diserahkan kepada Terdakwa. Karena Suwanto
Sutono berkepentingan terhadap batubara tersebut, sehingga Suwanto Sutono
membayaar biaya kontraktor sebesar Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta
rupiah) kepada Hardiansyah.
Kemudian Suwanto Sutono didatangi oleh Tony Budy Susetyo untuk
menagih pembayaran biaya trucking dan biaya premi supir. Akhirnya Suwanto
Sutono kembali membayar uang tersebut dan ternyata jumlah pembayarannya
tidak sampai Rp.55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah) seperti yang
diminata oleh Terdakwa, tetapi nilanya hanya sebesar Rp.38.569.500,- (tiga
5
puluh delapan juta lima ratus enam pululuh sembilan ribu lima ratus rupiah).
Akibat perbuatan tersebut, Suwanto Sutono mengalami kerugian sebesar
Rp.130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah). 5)
Atas perbuatannya tersebut, Terdakwa dilaporkan ke pihak kepolisian
Resort Banjarbaru dengan tuduhan penggelapan dan penipuan. Dakwaan
Penuntut Umum yang disusun secara alternatif, Terdakwa didakwa kesatu,
melakukan tindak pidana penggelapan yang diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 372 KUHP, dan kedua melakukan tindak pidana penipuan yang diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 378 KUHP.
Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, Terdakwa
mengatakan uang Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta Rupiah) tersebut
untuk membayar kontraktor, ongkos angkut dan memberi premi sopir dan
Terdakwa berjanji dengan membuat pernyataan tertulis akan menurunkan
batubara antara tanggal 09 Juli sampai dengan tanggal 11 Juli 2009. Ternyata
Terdakwa tidak menepati janjinya dan uang dari Suwanto Sutono telah
digunakannya sendiri untuk membayar fee lahan, fee debu, fee Desa dan fee
Kepala Desa.
Mencermati kasus di atas, maka dapat dilihat bahwa kasus ini adalah
kasus keperdataan yaitu adanya perjanjian jual beli batubara yang telah
disepakati bersama dengan pengiriman sampai ke pelabuhan. Namun, apakah
secara yuridis tindakan Terdakwa yang tidak menempati janjinya mengirim
batu bara 1.000 (seribu) metrik ton ke pelabuhan dan Terdakwa telah
menerima uang muka sesuai permintaannya tetapi ternyata ia tidak
5) Putusan Pengadilan Negeri Banjarbaru Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb, hal. 5 dan 7
6
menurunkan batubara yang dijanjikan tepat pada waktunya, yaitu antara
tanggal 09 Juli sampai dengan tanggal 11 Juli 2009. Terdakwa baru
menurunkan batubara dimaksud setelah melampaui tanggal 11 Juli 2009,
tetapi masih dalam bulan Juli 2009 apakah dapat dikatakan sebagai kejahatan
penipuan. Meskipun tidak dipungkiri bahwa tidak sedikit kasus penggelapan
dan penipuan berawal dari kasus keperdataan.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik
untuk menyusun penulisan skripsi ini dengan judul: PENGALIHAN
PEMBAYARAN FEE SEBAGAI TINDAK PIDANA PENIPUAN PADA
PERKARA NOMOR 44/PID.B/2011/PN.BJB.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka 2 (dua) permasalahan
yang dapat penulis kemukakan sebagai berikut:
Apakah tidak terlaksananya tujuan pembayaran karena pengalihan fee dapat
menjadi dasar tindak pidana penipuan?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui
tidak terlaksananya tujuan pembayaran karena pengalihan fee dapat
menjadi dasar tindak pidana penipuan.
2. Kegunaan dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu secara teoritis dan
secara praktis yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Kegunaan teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum
7
perihal hubungan hukum keperdataan yang menjadi tindak pidana
penipuan.
b. Kegunaan praktis yaitu untuk memperoleh data dan informasi serta
untuk memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum
khususnya mengenai putusan hakim dalam memandang suatu kasus
tindak pidana penipuan yang awalnya dari hubungan hukum
keperdataan.
D. Kerangka Konseptual
Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum,
menjelaskan pengertian kerangka konseptual adalah kerangka yang
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan
kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau yang
akan diteliti.6) Selain itu pengertian kerangka konseptual berisi uraian konsep-
konsep yang berhubungan dengan variabel penelitian.7)
Atas dasar pengertian di atas, maka kerangka konseptual yang dapat
penulis kemukakan dalam penulian skripsi adalah sebagai berikut:
Pengertian alih berarti beralih, berpindah, mengalihkan, memindahkan;
peralihan, pemindahan, pergantian, alih-alih, kiranya; tetapi rupanya.8)
6) Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.132.
7) Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Pedoman Penulisan Skripsi Bidang Hukum, (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar Nomor 015-D/FHUNTAR/II/2011, 2011), Lampiran 2
8) Darmansyah, Kamus Bahasa Indonesia, Dengan Ejaan Yang Disempurnakan Menurut Pedoman, (Jakarta: Batavia Press, 2008), hal. 25
8
Pengalihan berarti proses, cara, perbuatan mengalihkan; pemindahan;
penggantian; penukaran; pengubahan.9)
Fee dapat diartikan sebagai suatu biaya atau harga untuk membayar
imbalan-imbalan jasa. Biaya biasanya memudahkan untuk overhead, upah,
biaya, dan markup.10) Pada situs Dictionary.com, fee dapat diterjemahkan
sebagai:11)
1. Biaya atau pembayaran untuk jasa profesional: biaya dokter.
2. Jumlah yang dibayar atau dikenakan biaya untuk hak istimewa, biaya
masuk.
3. Muatan yang diperbolehkan oleh hukum untuk pelayanan petugas publik.
4. Hukum.
a. Sebuah harta warisan di tanah, baik mutlak dan tidak terbatas pada
setiap kelas tertentu dari ahli waris (biaya sederhana) atau terbatas
pada kelas tertentu dari ahli waris (ekor biaya).
b. Warisan diwariskan di tanah milik seorang tuan tanah pada kondisi
melakukan jasa tertentu.
c. Biaya untuk menyelenggarakan suatu wilayah.
5. Sebuah gratifikasi atau tip;
6. Untuk memberikan suatu biaya;
7. Terutama perskot (uang muka) untuk menyewa; mempekerjakan.
9) Anonim, “Pengalihan”, http://www.artikata.com/arti-357583-pengalihan.html, diunduh 22 Juni 2012.
10) Anonim, “Fee”, http://en.wikipedia.org/wiki/Fee, diunduh 22 Juni 2012.11) Anonim, “Fee”, http://dictionary.reference.com/browse/fee, diunduh 22 Juni 2012.
9
Tindak adalah mengambil langkah, berhak sesuatu sebagai sambutan
kepada sesuatu kejadian.12) Tindak pidana adalah tindak pidana yang dilakukan
oleh satu atau lebih dari satu orang yang bekerjasama dan dilakukan pada saat
yang bersamaan, atau dilakukan oleh dua atau lebih dari seorang pada saat dan
tempat yang berbeda akan tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan
jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya atau dilakukan oleh tiga orang atau
seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana lain/menghindarkan diri dari pemidanaan
karena tindak pidana lain.13) Pengertian lain tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang diancam dengan pidana dengan undang-undang yang
bertentangan dengan hukum, dilakukan dengan kesalahan orang mana dapat
dipertanggungjawabkan.14)
Pengertian penggelapan secara umum adalah penyelewengan, korupsi,
proses, cara atau perbuatan menggelapkan.15) Kata penggelapan juga berarti
memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian adalah milik kepunyaan orang
lain dengan cara melawan hukum, tindak pidana penggelapan ini dapat terjadi
sewaktu pengalihan hak milik orang lain menjadi hak si pelaku yang
berkehendak untuk memilikinya dan tentulah dalam hal ini dilakukan tanpa
izin pemilik aslinya. Dengan pengalihan hak yang demikian itu, maka si
pelaku atau si pengambil hak itu bertindak seolah-olah sebagai pemilik aslinya
12) Padmo Wayhono, Kamus Tata Hukum, (Jakarta: Ind Hill-Co, 1987), hal. 49013) Ibid., hal. 28214) Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. (Jakarta: Alumni
Ahaem-Petehaem, 1986), hal. 29 15) Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 349.
10
dan tindakan-tindakan itu dapat berbentuk menjual, menggadaikan atau
menyewakan dan sebagainya.16) Khusus di dalam hukum pidana materiil
masalah penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP, adalah dengan sengaja
dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi
yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.
D. Metode Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, yaitu berupa penelitian yang
menggambarkan fenomena atas permasalahan tertentu dan pada dasarnya
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,
keadaan atau gejala-gejala lainnya.17)
Pada penulisan skripsi ini, menggunakan jenis penelitian hukum
normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,18) penelitian hukum
normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif memiliki
definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan
bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-
bahan hukum primer dan sekunder. Penelitian hukum yang normatif dapat
berupa inventarisasi hukum positif, usaha-usaha penemuan asas-asas dasar
16) Gerson W. Bawengan, Hukum Pidana di Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal. 150.
17) Soerjono Soekanto, Op.Cit. hal.1018) Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
(Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal. 13-14.
11
falsafah (doktrin) hukum positif, usaha penemuan hukum (in concreto) yang
sesuai untuk diterapkan guna penyelesaian perkara tertentu.
Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada putusan pengadilan
tentang tindak pidana yang diawali dengan adanya wanprestasi pengiriman
batubara yang tidak tepat waktu. Bahan dalam penulisan ini terdiri dari 2 (dua)
yaitu bahan hukum dan bahan non hukum. Adapun bahan-bahan hukum yang
dipergunakan dalam penulisan ini meliputi:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam
penelitian ini, bahan hukum perimer yang penulis gunakan yaitu bahan
yang merupakan ketentuan utama yaitu:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
c. Putusan Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb
2. Bahan Hukum Sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku, surat
kabar, dan jurnal-jurnal hukum.
3. Bahan Hukum Tersier, yakni berupa kamus-kamus dalam hal ini meliputi
Kamus Hukum.
Bahan-bahan non hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi
ini meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Selanjutnya untuk
mendukung penelitian hukum normatif ini, dilakukan wawancara yaitu
kepada dosen hukum pidana dan dengan praktisi hukum Bapak Sangap
Sidauruk di kantor hukum Sangap & Partners.
12
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu pendekatan
kasus (case approach) dengan menelaah kasus Putusan Pengadilan Negeri
Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb dengan isu hukumnya yaitu kasus yang
sebenarnya berawal dari kasus perdata, namun kemudian kasus ini masuk ke
ranah pidana. Selain itu, pendekatan yang digunakan selanjutnya yaitu
pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah
semua peraturan perundang-undangan hukum pidana yang berkaitan dengan
permasalahan dalam penulisan skripsi ini.
Pengumpulan dan pengolahan menggunakan pendekatan secara
kualitatif yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Teknik
pengumpulannya dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library
research), yaitu penelitian yang dilaukan dengan cara meneliti bahan pustaka
atau yang disebut dengan data sekunder.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini diperlukan agar penelitian agar penelitian
dapat dilakukan secara sistematis dan terarah. Sistematika yang dipergunakan
dimaksud untuk memberikan gambaran singkat isi dari seluruh penulisan
skripsi ini.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian mengenai latar belakang, permasalahan,
tujuan, dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
13
BAB II KERANGKA TEORETIS
Bab ini menguraikan beberapa teori yang berhubungan penulisan
ini seperti karakteristik wanprestasi dalam hukum perdata dan
konsep penipuan dalam hukum pidana.
BAB III HASIL PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang kasus posisi, Pertimbangan Hakim
dan Putusan Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb berkaitan dengan tindak
pidana penggelapan dan data hasil wawancara.
BAB IV ANALISIS TIDAK TERLAKSANANYA TUJUAN
PEMBAYARAN KARENA PENGALIHAN FEE MENJADI
DASAR TINDAK PIDANA PENIPUAN
Bab ini merupakan analisis yang menguraikan jawaban pada pokok
permasalahan mengenai tidak terlaksananya tujuan pembayaran
karena pengalihan fee dapat menjadi dasar teradinya tindak pidana
penipuan.
BAB V PENUTUP
Dalam bab terakhir ini akan ditarik kesimpulan yang merupakan
jawaban atas permasalahan berdasarkan hasil penelitian, analisis
dan saran yang merupakan solusi alternatif atas kendala yang masih
terjadi di dalam masyarakat.
14
BAB II
KERANGKA TEORETIS
A. Karakteristik Wanprestasi Dalam Hukum Perdata
Terjadinya wanprestasi senantiasa diawali dengan hubungan
kontraktual. Kontrak dibuat sebagai instrumen yang secara khusus mengatur
hubungan hukum antara kepentingan-kepentingan yang bersifat privat atau
perdata khususnya dalam pembuatan kontrak. Kepentingan-kepentingan antara
masyarakat individu dalam kehidupan bermasyarakat, apabila dilanggar akan
menimbulkan suatu konflik kepentingan antara hak dan kewajiban.19)
Wanprestasi atau sering dikenal dengan istilah ingkar janji yaitu
kewajiban dari debitur untuk memenuhi suatu prestasi. Jika dalam melaksakan
kewajiban bukan terpengaruh karena keadaan, maka debitur dianggap telah
melakukan ingkar janji. Perkataan wanprestasii berasal dari bahasa Belanda,
yaitu berarti prestasi buruk,20) dan umumnya terjadinya wanprestasi
disebabkan karena adanya kesalahan yaitu kelalaian dan kesengajaan.
Wanprestasi dalam perspektif hukum perdata, dapat diidentifikasikan
sebagai kemunculan atau terjadinya melalui beberapa parameter sebagai
berikut:
19) Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Pidana Penipuan Yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2011), hal.49.
20 ) Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 45.
15
1. Dilihat dari segi sumber terjadinya wanprestasi
Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk
mendalilkan suatu subyek hukum telah melakukan wanprestasi, harus ada
lebih dahulu perjanjian antara dua pihak atau lebih sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1320 BW/KUHPER yang pada pokoknya
menyatakan bahwa: Supaya terjadi persetujuan yang sah dan mengikat,
perlu dipenuhi empat syarat yaitu : adanya kesepakatan para pihak yang
mengikatkan dirirrya; adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
adanya suatu pokok persoalan tertentu yang disetujui; suatu sebab yang
tidak terlarang.
Secara umum, wanprestasi biasanya terjadi karena debitur (orang
yang dibebani kewajiban untuk mengerjakan sesuatu sesuai perjanjian)
tidak memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati, yaitu :
a. tidak memenuhi prestasi sama sekali; atau
b. tidaktepat waktu dalam memenuhi prestasi; atau
c. tidak layak dalan pemenuhan prestasi sebagaimana yang dijanjikan.
2. Dilihat dari segi timbulnya hak menuntut ganti rugi
Penuntutan ganti rugi pada wanprestasi diperlukan terlebih dahulu
adanya suatu proses, seperti pernyataan lalai dari kreditor (inmorastelling,
negligent of expression, inter pellatio, ingeberkestelling). Hal ini penting
karena Pasal 1243 BW/KUHPER telah menggariskan bahwa perikatan
ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk
tidak berbuat sesuatu. Kecuali jika ternyata dalam perjanjian tersebut
16
terdapat klausul yang mengatakan bahwa debitur langsung dapat dianggap
lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan. Ketentuan
demikian juga diperkuat oleh salah satu Yurisprudensi Mahkamah Agung
tertanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan apabila perjanjian secara tegas
telah menentukan tentang kapan pemenuhan perjanjian maka menurut
hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban (baca:
wan prestasi) sebelum hal itu secara tertulis oleh pihak kreditur.21)
3. Dilihat dari segi tuntutan ganti rugi
Mengenai perhitungan tentang besaranya ganti rugi dalam kasus
wanprestasi secara yuridis adalah dihitung sejak saat terjadi kelalaian. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1237B W/KUHPER yang menegaskan
bahwa: Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang
itu meniadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai
untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu,
semenjak perikatan dilahirkan, menjadi tanggungannya. Selanjutnya
ketentuan Pasal 1246 BW/KUHPER menyatakan, biaya, ganti rugi dan
bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah
dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya.
Berdasarkan Pasal 1246 BW/KUHPER tersebut, dalam
wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis
dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang
akan diperoleh sekiranya perjanjian tersebut dipenuhi dan ganti rugi bunga
(interst). Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi
21) Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 186. K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959
17
dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci
dan jelas. Hal tersebut berbeda jika dibandingkan dengan masalah tuntutan
ganti rugi pada kasus perbuatan melawan hukum. Dalam kasus demikian,
tuntutan ganti rugi harus sesuai dengan ketentuan Pasal 1265
BW/KUHPER, yakni tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana
bentuknya dan tidak perlu perincian. Jadi tuntutan ganti rugi didasarkan
pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat
juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan
semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke
toestand), herstel in de vorige toestand). Namun demikian, meski tuntutan
ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa Yurisprudensi
Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi
dalam kasus akibat perbuatan melawan hukum ini, seperti terlihat pada
Putusan tertanggal 7 Oktober 1976 yang menyatakan besarnya jumlah
ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372
KUHPER yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi
kedua belah pihak.22) Demikian pula Putusan Mahkamah Agung tertanggal
13 April 1978, yang menegaskan bahwa soal besarnya ganti rugi pada
hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak
dapat didekati dengan suatu ukuran.23)
22) Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 196. K/Sip/1974 tertanggal 7 Oktober 1976.
23) Putusan Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 1226. K/Sip/1977 tanggal 13 April 1978.
18
Melihat pembagian wanprestasi dalam perspektif hukum perdata
tersebut, maka dalam kehidupan bermasyarakat terkait lahirnya suatu kontrak
perlu dijaga prinsip umum berlakunya hukum kontrak. Dengan demikian
antara hak dan keawjiban para pihak akan terlindungi. Apabila hak dan
kewajiban tidak dijalankan sebagimana mestinya oleh salah satu pihak, maka
terjadi konflik kepentingan yaitu terdapat ingkar janji atau wanprestasi.
Apabila terjadi ingkar janji atau wanprestasi diperlukan instrumen hukum
kontrak untuk menyelesaikannya, bahkan penyelesaiannya memerlukan
putusan hakim.
Konsep wanprestasi merupakan domain dalam hukum perdata
(privat). Pasal 1234 BW menyatakan bahwa tujuan dari perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu. Perbedaan antara berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu
seringkali menimbulkan keraguan-raguan dan memerlukan penjelasan,
yang pertama adalah bersifat positif, yang kedua bersifat negatif.
Maksud berbuat sesuatu adalah menyerahkan hak milik atau : memberikan
kenikmatan atas sesuatu benda. Misalnya A menyerahkan sebuah rumah atau
kenikmatan atas barang yang disewa kepada B. Kemudian yang dimaksud
tidak berbuat sesuatu berarti membiarkan sesuatu atau mempertahankan
sesuatu yang sebenarnya seperti tidak ada perikatan yang harus diciptakan.
Pada perikatan pula terjadi kewajiban pokok debitur untuk
menyerahkan barangnya dan berkewajiban untuk memelihara barangnya
sampai saat penyerahan; memelihara berarti menjaga barangnya jangan
19
sampai rusak atau musnah.24) Undang-undang mensyaratkan kepada dibitur,
bahwa ia dalam memelihara barangnya harus bertindak selaku "bapak rumah
tangga yang baik". Syarat ini tidak hanya beriaku bagi persetujuan saja, akan
tetapi juga untuk perikatan yang timbul dari Undang-undang, seperti tersebut
dalam Pasal 1356 BW (perwakilan sukarela).
1. Syarat Keabsahan Kontrak
Keabsahan kontrak merupakan hal yang esensial dalam hukum
kontrak. Pelaksanan isi kontrak, yakni hak dan kewajiban, hanya dapat
dituntut oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain, demikian pula
sebaliknya, apabila kontrak yang dibuat itu sah menurut hukum.25) Oleh
karena itu keabsahan kontrak sangat menentukan pelaksanaan isi kontrak
yang ditutup. Kontrak yang sah tidak boleh diubah atau dibatalkan secara
sepihak. Kesepakatan yang tertuang dalam suatu kontrak karenanya
menjadiaturan yang dominan bagi para pihak yang menutup kontrak.26)
Berkenaan dengan kontrak atau perjanjian, dalam BW
menggunakan istilah overeenkomt dan contract untuk pengertian yang
sama dalam buku ke III Bab Kedua tentang perikatan yang lahir dari
kontrak atau persetujuan. Pengertian ini didukung pendapat banyak
sarjana, antara lain Jacob Hans Niewenhuis, J. Satrio, Marthalena Pohan,
Mariam Darus Badrulzaman, dan Tirtodiningrat, yang mendukung
penggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama.27)
24) Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta 1978), hal. 16.25) Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang
dan Jasa Oleh Pemerintah, (Surabaya: Laksbang Pressindo, 2009), hal. 12. 26 ) J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: Cutra Aditya Bakti, 1992), hal.19.27 ) Yahman, Op.Cit., hal.51.
20
Mengenai kontrak Subekti berpendapat lain,28 memberi makna
perjanjian, yaitu suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut
yang dinamakan perikatan, perjanjian merupakan sumber perikatan yang
terpenting. Perikatan suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian
suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa. Perikatan lahir dari
perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang
membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-
undang di luar kemauan para pihak. Apabila mereka mengadakan suatu
perjanjian, maka mereka bermaksud supaya di antara mereka berlaku suatu
hukum.
Peter Mahmud Marzuki29) memberikan argumentasi kritis
mengenai penggunaan istilah kontrak atau perjanjian dengan melakukan
perbandingan mengenai pengertian kontrak atau perjanjian dalam sistem
Anglo-American. Sistematika Buku III tentang Verbitenissenrecht (hukum
perikatan) mengatur tentang overrrenkomst jika diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak merupakan terjemahan
dari Bahasa Inggris yaitu contract. Di dalam konsep kontinental,
penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III BW Indonesia tentang
Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan
dengan masalah harta kekayaan (Vermogen). Pengertian perjanjian ini
28) Subekti, Op.Cit., hal. 1-3 29) Peter Mahmud Marzuki, “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”, Yuridika, Volome 18
Nomor: 3, Mei Tahun 2003, hal. 195-196.
21
mirip dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan
dengan bisnis. Dalam bahasa Belanda perjanjian adalah overrenkomst,
dalam bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih
luas dari contract.
Berkenaan dengan penggunaan istilah kontrak atau perjanjian,
dalam penulisan buku ini menggunakan istilah kontrak atau kontraktual
untuk memudahkan istilah dalam fokus kajian yang mendasari perspektif
Burgelijk Wetboek (BW). Dalam praktik kedua istilah tersebut sudah lazim
dipergunakan dalam kontrak misal:30)
1. Kontrak pengadaan barang/jasa
2. Kontrak kerjasama
3. Kontrak kerja konstruksi
4. Perjanjian sewa guna usaha
5. Perjanjian kerjasama
Berkenaan dengan kontrak terdapat adanya syarat-syarat
sahnya suatu kontrak, dapat dijumpai dalam Pasal 1320 BW, menentukan
4 (empat) syarat sah suatu kontrak, yaitu:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri:
2. Kecakapan membuat kontrak;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang diperbolehkan.
Dua syarat pertama disebut sebagai syarat subyektif karena
mengenai subyek kontrak, sedangkan dua syarat yang terakhir disebut
30 ) Yahman, Op.Cit., hal.55.
22
syarat obyektif, karena mengenai obyek dari kontrak. Dengan tidak
dipenuhinya syarat subyektif status kontrak dapat dibatalkan, akan tetapi
jika tidak dipenuhi syarat obyektif maka kontrak diancam dengan batal
demi hukum.
2. Cacat Kehendak Dalam Pembentukan Kata Sepakat
Kontrak merupakan suatu kesepakatan yang dibuat oleh kedua
belah pihak yang dilandasi adanya konsensus para pihak (bertemunya
penawaran dan penerimaan), dalam kondisi normal adalah kesesuaian
antara kehendak dan pernyataan. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan
bahwa kontrak dibuat adanya unsur cacat kehendak (wilsgeberke). Dalam
BW terdapat tiga hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak
berdasarkan adanya cacat kehendak, yaitu: kekhilafan, paksaan dan
penipuan.
a. Kekhilafan ( Dwaling )
Kekhilafan atau dwaling (Pasal 1322 BW) jika kehendak
seseorang dalam menutup kontrak terkait hakikat benda atau orang,
hakikat barang adalah sifat-sifat atau ciri dari barangnya yang
merupakan alasan bagi kedua belah pihak untuk mengadakan kontrak.
Dengan demikian kesesatan terhadap hakikat benda dikaitkan dengan
keadaan yang akan datang. Jika kesesatan mengenai orangnya
dinamanakan error in persona, jika kesesatan itu mengenai hakikat
barangnya dinamakan error in substantia, contoh dari error in
persona, ialah kontrak yang dibuat oleh seseorang dengan seorang
23
biduanita terkenal, ternyata kemudian dibuatnya dengan biduanita tak
terkenal, tetapi namanya sama, mengenai hakikat barangnya, misalnya
seseorang yang menganggap bahwa ia membeli lukisan Basuki
Abdullah, kemudian mengetahui bahwa lukisan yang dibelinya
itu adalah sebuah tiruan.31)
b. Paksaan (Dwang)
Paksaan atau dwang (Pasal 1323-1327) Keadaan atau situasi
dimana seseorang melakukan kekerasan dalam menutup kontrak di
bawah ancaman yang melanggar hukum, ancaman itu dapat
menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan. Ancaman
bersifat melanggar hukum ini meliputi dua hal, yaitu:32)
1) Ancaman itu sendiri sudah merupakan perbuatan melanggar
hukum (pembunuhan, penganiayaan);
2) Ancaman itu bukan merupakan perbuatan melanggar hukum,
tetapi ancaman itu dimaksudkan untuk mencapai sesuatu
yang tidak dapat menjadi hak pelakunya.
c. Penipuan (Bedrog)
Penipuan atau bedrog diatur ;diteni (Pasai 1328) BW,
menyatakan bahwa:
Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan persetujuan, apabila tipu-muslihat yang dipakai oleh salah satu
31) Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 2001), hal.100
32) Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersialm (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008), hal 150
24
pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Penipuan dalam hukum perdata terjadi dikarenakan akibat
salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban yang telah
diperjanjikan, dengan itikad tidak baik terhadap kontrak atau
perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak, penipuan ini selalu
diawali atau didahului dengan hubungan hukum kontrak atau
perjanjian. Hubungan hukum ini merupakan konsep penipuan dalam
hukum perdata atau dengan kata lain merupakan karakteristik penipuan
dalam hukum perdata.
Penipuan di sini adalah merupakan bentuk kesesatan yang
dikualifisir, artinya ada penipuan bila gambaran yang keliru tentang
sifat-sifat dan keadaan-keadaan (kesesatan) ditimbulkan oleh tingkah
laku yang sengaja menyesatkan dari pihak lawan. Untuk berhasilnya
upaya (dalil) penipuan disyaratkan bahwa gambaran yang keliru itu
ditimbulkan oleh rangkaian tipu muslihat (kunstgrepen), suatu
kebohongan saja tidak akan pernah dapat membenarkan dalil
penipuan.33)
Maksud dikualifisir, artinya memang terdapat kesesatan satu
pihak, namun kesesatah ini disengaja oleh pihak lain. Jadi persamaan
antara kesesatan dan penipuan adalah adanya pihak yang sesat, sedang
33) Yahman, Op.Cit., hal.64
25
perbedaanya terdapat terletak pada unsur kesengajaan untuk
menyesatkan.
Penipuan merupakan bagian dari unsur-unsur cacat kehendak,
dalam hal menutup suatu kontrak tidak diperbolehkan adanya suatu
penipuan, yaitu rangkaian kata-kata bohong, tipu muslihat terhadap
pihak lawan. Ada tiga hal menyangkut dengan cacat kehendak,
diantaranya yaitu: kesesatan/kekhilkafan atau dwaling; paksaan atau
dwang penipuan atau bedrog sebagaimana diuraikan di atas.
Berkenaan dengan perbuatan penipuan dalam hukum
perdata menurut Subekti34 berpendapat yaitu, apabila satu pihak
dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu
atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk
membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang
menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak
lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya,
dipalsukan nomor mesinnya dan lain sebagainya. Satu kebohongan
tidak cukup, paling sedikit ada suatu rangkaian kebohongan atau suatu
perbuatan yang dinamakan tipu muslihat. Perjanjian yang dibuat
oleh para pihak, yang dilandasi adanya unsur tipu muslihat,
rangkaian kebohongan.
Contoh: A membeli sebuah sepeda motor dari B, untuk
mempengaruhi dan menggerakkan supaya A mau membeli sepeda
motor itu, B dengan akal cerdiknya menyetel kilometer yang ada pada
34) Subekti, Op.Cit., hal.24.
26
sepeda motor tersebut seakan-akan kilometernya baru 5.000 kilometer,
dan menunjukan surat-surat sepeda motor yang dipalsukan. Ternyata
kemudian diketahui sepeda motor itu ternyata sudah digunakan sejauh
150.000 kilometer.
Berdasarkan contoh kasus di atas, nampak jelas bahwa adanya
suatu tipu muslihat dan rangkaian kata bohong yang dilakukan penjual
sepeda motor itu. Ada gambaran yang keliru tentang sifat-sifat dan
keadaan palsu yang menyesatkan yang ditimbulkan oleh tingkah laku
penjual sepeda motor itu. Atas gugatan pihak yang dibohongi, maka
hakim dalam putusannya akan membatalkan kontrak atau perjanjian,
jika dapat diterima maka tidak akan menutup kontrak atau perjanjian.
Dalam pengetahuan ilmu hukum, cacat kehendak sebagaimana
terdapat dalam Pasal 1321- 1328 BW di antaranya adalah penipuan,
paksaan dan kesesatan. Menurut van Dunne dan van der Burght
sebagaimana dikutip oleh Yahman35 cacat kehendak ini disebut cacat
kehendak klasik. Karena selalu berhubungan dengan cacat dalam
pembentukan kehendak yang didasarkan pada pernyataan kehendak.
B. Konsep Penipuan Dalam Hukum Pidana
Terjadinya penipuan dalam hukum pidana merupakan suatu hubungan
hukum yang senantiasa diawali atau didahului hubungan hukum kontraktual.
Suatu hubungan hukum yang diawali dengan kontraktual tidak selalu
merupakan perbuatan wanprestasi, akan tetapi dapat pula merupakan suatu
perbuatan pidana penipuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.
35) Yahman, Op.Cit., hal.66
27
Manakalah suatu kontrak yang ditutup sebelumnya terdapat adanya tipu
muslihat, keadaan palsu dan rangkaian kata bohong dari pelaku yang dapat
menimbulkan kerugian pada orang lain atau korban merupakan penipuan.36)
Penipuan pada Pasal 278 KUHP merupakan domain hukum pidana apabila
dilanggar akan mendapatkan sanksi pidana penjara.
Konsep penipuan (bedrog) terdapat dalam Pasal 378 KUHP
merupakan suatu perbuatan pidana atau delik, apabila dilanggar akan
mendapat sanksi penjara. Masih terdapat berbagai macam pendapat dan
pemaknaan terhadap istilah delik, Leden Marpaung memberi istilah delik atau
strafbaar feit (bahasa Belanda); delictum (bahasa Latin), criminal act (bahasa
Inggris) yang berarti perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana
dan mendapat sanksi pidana bagi barang siapa yang melanggarnya.37) Menurut
kepustakaan hukum pidana istilah Strafbaar feit atau delik ini ada beberapa
pendapat dengan menggunakan istilah-istilah, yaitu:
a. Peristiwa pidana38)
b. Perbuatan pidana39)
c. Perbuatan yang boleh dihukum40)
d. Tindak pidana41)
36 ) Ibis., hal.90 37) Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 738) Indonesia. Undang-Undang Dasar Sementara 1950, Pasal 14 ayat (1).39) Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Prtanggungjawaban dalam Hukum Pidana, (Jakarta:
Bina Aksara, 1983), hal. 1140) Mr. Kami, Ringkasan Tentang Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Pustaka Indonesia, 1959),
hal.3441) Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2003), hal. 59
28
e. Pelanggaran pidana42)
f. Delik43)
Pemberian istilah yang diikuti dengan argumentasi masing-masing.
Pembentuk Undang-undan.g di Indonesia menggunakan istilah tindak pidana,
tanpa memberikan argumentasi. Berbagai istilah pemaknaan yang diberikan
terhadap pengertian strafbaar feit, menurut Moeljatno adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman
(sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.44) Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada beberapa
macam pembagian delik, Menurut Satochid Kartanegara45) dikenal dua jenis
delik yaitu: formed delict (delict formil) dan materieel delict (delict materiil).
Maksud delict formil, yaitu delik yang dianggap telah voltooid
(sepenuhnya terlaksana) dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang,
contohnya adaiah Pasal 242 KUHP tentang sumpah palsu. Dalam perbuatan
ini yang dilarang ialah memberikan keterangan palsu di atas sumpah. Pasal
263 KUHP tentang pemalsuan surat, yang dilarang ialah perbuatan
memalsukan. Pasal 362 KUHP tentang pencurian, yang dilarang ialah
mengambil barang milik orang. lain dengan melawan hukum.
Adapun yang dimaksud dengan materieel delict, yaitu delict yang
dianggap votooid met het interden van het gevolg (terlaksana penuh dengan
42) HM. Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Fasco, 1955), hal.18.43) Satochid Kartanegara, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana dan Pendapat-pendapat
paraAhli Hukum Terkemuka Bagian Satu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun), hal. 135-136
44) Moeljatno, Op.Cit.45) Satochid Kartanegara, Op.Cit.
29
timbulnya akibat) yang dilarang. Contohnya Pasal 338 KUHP tentang
pembunuhan. Dalam perbuatan ini yang dilarang ialah menyebabkan matinya
orang lain. Dalam perbuatan ini tidak dinyatakan dengan tegas bagaimana sifat
perbuatannya yang menimbulkan matinya orang lain. Yang dilarang di dalam
delict ini adalah akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu, yaitu matinya
orang lain.
Bahwa delik itu dipandang dari unsur-unsurnya dihadapkan dengan
unsur-unsur obyektif ialah tindakan atau perbuatan (handeling), akibat
(gevolg) dan keadaan atau situasi (omstanding held), unsur subyektif untuk
menentukan kesalahan. Faedah ini penting untuk menentukan poging
(kehendak untuk berbuat sesuatu dan deelneming (mem bantu, ikut serta).46)
Simon47) berpendapat, harus diakui bahwa apabila terjadi akibat yang
nyata, namun akibat ini adalah setelah perbuatan selesai yang timbul menurut
tempat dan waktu tidak terpisah. Pendapat tadi ditentang oleh beberapa
sarjana, di antaranya yang menentang pendapat ini adalah van Hamel48)
memberikan suatu pengertian lebih luas dan lengkap bahwa tiada peristiwa
tanpa pembuatnya, ternyata dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
sebagaian besar pasal-pasal membuka kalimat dengan kata-kata barang siapa,
kata-kata tabib, yang telah dewasa, pegawai, pengawas, pegawai negeri
(ambtenaar, bestuurder, saudagar dan sebagainya). Boleh dikata bahwa KUH
Pidana sendiri mendorong kita untuk meninjau anasir-anasir setiap peristiwa
46) Ibid., hal. 137-138.47) Utrecht, Rangakain Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986),
hal.25148) Ibid., hal. 256.
30
pidana berhubungan dengan keadaan psikis dari pembuat. Hal ini sangat perlu
terkait dengan dijatuhkan hukuman yang tidak adil. Tentang pendapat ini
Vos49)menulis di dalam delict formil terjadi akibat yang nyata, yang kadang-
kadang terpisah menurut waktu dan tempat dari suatu perbuatan itu. Dalam
perkembangannya terdapat perbedaan pengertian tentang istilah tersebut.
Utrecht50) memakai istilah peristiwa pidana karena yang ditinjau adalah
peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.
C. Unsur-Unsur Dalam Tindak Pidana Penipuan
Penipuan dalam KUHP merupakan terminologi dalam hukum pidana
yang diatur dalam Buku Ke II (tentang kejahatan) dan dalam Bab XXV Pasal
378 KUHP dinyatakan:
Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan bohong, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum penjara karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 378 KUHP tentang penipuan (bedrog), terdapat dua unsur pokok
yaitu, unsur obyektif dan subyektif.
1. Unsur obyektif
Unsur obyektif yaitu membujuk/menggerakkan orang lain dengan alat
pembujuk/penggerak:
a. memakai nama palsu;
49) Satochid Kartanegara, Op.Cit. hal. 13850) Utrecht., Op.Cit., hal. 251.
31
b. martabat/kedaan palsu;
c. rangkaian kata bohong, tipu muslihat;
d. menyerahkan sesuatu barang;
e. membuat hutang;
f. menghapuskan piutang
Nama palsu atau martabat palsu yaitu nama yang digunakan bukan
nama aslinya melainkan nama orang lain, mertabat atau kedudukan yang
tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, termasuk nama tambahan
yang tidak dikenal oleh orang lain. Pasal dalam Code Penal Perancis
tentang penipuan (Pasal 405 C.P.) tidak menggunakan perkataan memakai
nama palsu, akan tetapi perkataan "menggunakan" nama palsu. Hal ini
menimbulkan suatu perbedaan pendapat, bertitik tolak dari perbedaan
pendapat dapat dilihat Hoge Raad 19 Juni 1855, W.1783 seorang laki-laki
menggerakkan seorang pesuruh yang datang menyampaikan suatu
bungkusan kepada seorang wanita untuk menyerahkan bungkusan itu
kepadanya, dengan mengakui bahwa ia mempunyai anak perempuan
dengan nama yang tertera pada bungkusan itu, pada hal bukan begitu
keadaannya. Orang itu dipidana karena penipuan dengan sarana
mempergunakan nama palsu juga memakai martabat palsu.51)
Tipu muslihat, yang dimaksud yaitu suatu perbuatan dengan akal
licik, dan tipu daya untuk memperalat orang lain sehingga seseorang
tergerak hatinya untuk mengikuti kehendak seseorang menjadi percaya
51) Van Bemmelen, Hukum Pidana 3 Bagian Khusus Delik-Delik Khusus, terjemahan oleh Husnan, (Bandung: Binacipta, 1986), hal. 147
32
atau yakin atas kebenaran dari sesuatu kepada orang lain atas suatu
tindakan, termasuk menunjukkan surat-surat palsu. Dalam
perkembangannya, tipu muslihat terjadi perbedaan pendapat oleh para
sarjana, perkataan tipu muslihat pertama kali dipakai oleh Modderman52)
yang mengusulkan dalam Komisi de Wal untuk merumuskan sarana
penipuan sebagai berikut: Barang siapa dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum menggerakkan orang
lain dengan memakai narrj| palsu atau kualitas palsu, atau dengan tipu
muslihat, digncam dengan pidana kerena penipuan.
Rangkaian kebohongan, yaitu suatu perbuatan dengan
perkataan yang tidak cukup satu perkataan bohong, melainkan
beberapa kebohongan yang membuat orang lain terpengaruh atau
terperdaya olehnya, rangkaian kata kebohongan yang diucapkan
secara tersusun menjadi suatu cerita yang dapat diterima sebagai sesuatu
yang logis dan benar, kata-kata yang diucapkan membenarkan kata yang
satu atau memperkuat kata yang lain. Pada permulaan abad ke-19
dalam rencana Lijfstrafflijk Wetboek (Kitab Undang-undang
Pidana Siksaan Badan) tahun 1804 dan juga dalam Crimineel Wetboek
(Kitab Undang-undang Kriminal) tahun 1809, pembuat undang-
undang merengkuh lebih jauh setiap perbuatan curang diancam dengan
pidana. Dalam, perkembangannya, di samping rangkaian kebohongan
tipu muslihat juga untuk dipertahankan sebagai perlengkapan untuk
52) Ibid., hal. 155
33
menghadapi perbuatan pidana yang dilakukan tanpa mengucapkan suatu
perkataan pun.
Menurut de Pinto yang dimaksud dengan rangkaian kebohongan
adalah suatu rangkaian kebohongan yang sedemikan rupa sehingga orang
yang berpikir sehat dapat menjadi korban.53)
Menggerakkan orang lain yaitu suatu perbuatan yang disamakan
dengan membujuk orang lain, yaitu mempengaruhi seseorang sedemikian
rupa atau dengan cara tertentu sehingga orang lain mau berbuat sesuai
dengan kehendak pelaku untuk menyerahkan barang. Dalam
perbuatan menggerakkan orang untuk menyerahkan barang harus ada
hubungan kausal antara alat penggerak itu dan penyerahan barang, dengan
dipergunakan alat-alat penggerak mencitptakan suatu situasi yang tepat
untuk menyesatkan seseorang yang normal, sehingga orang itu terperdaya
karenanya.
Barang yaitu barang yang berwujud dan barang yang tidak
berwujud, barang berwujud yaitu pakaian, uang, mobil dan sebagainya,
sedangkan barang yang tidak berwujud yaitu aliran listrik, gas dan
sebagainya. Barang yang diserahkan itu bukan karena pencurian,
melainkan yaitu korban tergerak untuk memberikan atau menyerahkan
barang kepada pelaku atas suatu tindakan dengan akal cerdiknya.
Membuat utang atau menghapuskan piutang yaitu suatu perbuatan
yang menimbulkan kerugian secara materiil orang lain, yaitu seseorang
yang digerakkan dengan suatu tindakan oleh pelaku yang dapat
53) Ibid., hal. 152.
34
mempengaruhi orang lain, untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya
memberi utang maupun menghapuskan utang.
2. Sengaja atau Kesengajaan
Sengaja mengandung unsur subyektif, yaitu dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain; dengan melawan hukum.
Berkenaan kesengajaan (dolus/opzet) atau kealpaan (culpa), dari rumusan
kesalahan (sculd) tersebut di atas, merupakan suatu kesalahan dalam
bentuk kesengajaan namun tidak dalam bentuk ketidaksengajaan (culpa).54)
Dalam hukum positif Indonesia, definisi tentang kesengajaan
belum ada yang memberikan definisi tentang kesengajaan. Definisi
kesengajaan yang tepat dapat dijumpai dalam Wetboek van Strafrect
1809,55) yaitu kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh
undang-undang.
Dalam teori juga dikenal ada beberapa bentuk atau model
kesengajaan yaitu:
a. kesengajaan sebagai maksud;
b. kesengajaan sebagai kepastian, keharusan;
c. kesengajaan dengan kemungkinan (dolus eventualis)
Moeljatno berpendapat, jika paham kesengajaan adalah
pengetahuan ini dianut, maka sesungguhnya ada 2 (dua) corak kesengajaan
54) PAF. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 1997), hal. 279
55) J.E.Sahetapy dan Agustinus Pohan, Hukum Pidana, (Yogjakarta: Liberty, 1995), hal. 87
35
yaitu: kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai
kemungkinan.56) Kesulitan yang ada dalam menentukan corak kesengajaan
sebagai kemungkinan, Moeljatno57) kemudian mengusulkan penggunaan
teori inkauf nehmen (teori apa boleh buat). Dalam teori ini diperlukan
adanya dua syarat, yaitu:
a. terdakwa mengetahui adanya akibat/keadaan yang merupakan delik;
b. sikap terhadap kemungkinan itu andai kata sungguh timbul; prinsip apa
boleh buat harus berani dipikul resikonya.
D. Pengaturan Tindak Pidana Penggelapan
Penggelapan menurut Wirjono Prodjodikoro58) adalah bahwa si pelaku
mengecewakan kepercayaan yang diberikan atau dapat dianggap diberikan
kepadanya oleh pemilik barang atau si pelaku tidak memenuhi kepercayaan
yang dilimpahkan atau dapat dianggap dilimpahkan kepadanya oleh yang
berhak atas suatu barang. Jadi, tidaklah cukup apabila kebetulan suatu barang
de facto dibawah kekuasaan si pelaku.
Gerson W. Bawengan mengartikan penggelapan sebagai perbuatan
memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian adalah milik kepunyaan orang
lain dengan cara melawan hukum, tindak pidana penggelapan ini dapat terjadi
sewaktu pengalihan hak milik orang lain menjadi hak si pelaku yang
berkehendak untuk memilikinya dan tentulah dalam hal ini dilakukan tanpa
izin pemilik aslinya. Dengan pengalihan hak yang demikian itu, maka si 56) Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 177.57) Ibid., hal. 175-176.
58) Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. (Bandung: Eresco, 1986), hal. 31.
36
pelaku atau si pengambil hak itu bertindak seolah-olah sebagai pemilik aslinya
dan tindakan-tindakan itu dapat berbentuk menjual, menggadaikan atau
menyewakan dan sebagainya.59)
Tindak pidana penggelapan diatur dalam KUHP Buku II Bab XXIV
yang secara keselurahan ada dalam 6 (enam) pasal yaitu dari Pasal 372 sampai
dengan Pasal 377 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus dari
penggelapan (tindak pidana pokoknya) terdapat pada Pasal 372 KUHP yang
menyatakan bahwa:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukam memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak seimbilan ratus rupiah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 372 KUHP di atas, diketahui bahwa
secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa:
1. Unsur subyektif delik
Berupa kesengajaan petaku untuk menggelapkan barang milik orang lain
yang dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata dengan
sengaja, dan
2. Unsur oyektif delik yang terdiri atas :
a. Unsur barang siapa;
b. Unsur menguasai secara melawan hukum;
c. Unsur suatu benda;
d. Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan
59) Gerson W. Bawengan, Op.Cit., hal. 150.
37
e. unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.
Jadi untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku penggelapan,
Majelis Hakim Pengadilan pun harus melakukan pemeriksaan dan
membuktikan secara sah dan meyakinkan, apakah benar pada diri dan
perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana
penggelapan baik berupa unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Dalam
konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, kesengajaan pelaku
penggelapan (opzet), melahirkan implikasi-implikasi pembuktian apakah
benar (berdasar fakta hukum) terdakwa memang:60)
a. Menghendaki atau bermaksud untuk menguasai suatu benda secara
melawan hukum;
b. Mengetahui/menyadari secara pasti bahwa yang ingin ia kuasai itu adalah
sebuah benda;
c. Mengetahui/menyadari bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya
adalah milik orang lain
d. Mengetahui bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.
Terkait unsur-unsur obyektif delik penggelapan, menurut perspektif
doktrin hukum pidana ada beberapa hal yang harus dipahami juga sebagai
berikut:
a. Pelaku penggelapan harus melakukan penguasaan suatu benda yang milik
orang lain tersebut secara melawan hukum. Unsur melawan hukum
(wederrnechtelijk toeeigenen) ini merupakan hal yang harus melekat adap
60) Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Edisi Ke-5, (Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 2006), hal. 106.
38
ada perbuatan menguasai benda milik orang lain tadi, dan dengan
demikian harus pula dibuktikan. Menurut van Bemmelen dan van Hattum,
makna secara melawan hukum dalam hal ini cukup dan bisa diartikan
sebagai bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat.61)
Selanjutnya R. Soesilo lebih jauh menjelaskan bahwa perbuatan pelaku
penggelapan yang menjadikan ia dapat dinilai secara yuridis telah berlaku
memiliki (menguasai) barang yang ada padanya tersebut ialah jika ia telah
memperlakuan barang tadi seolah miliknya sendiri. Misal menjual,
menggadaikan, memakan, dan lain sebagainya.62)
b. Cakupan makna suatu benda milik orang lain yang dikuasai pelaku
penggelapan secara melawan hukum tadi, dalam praktek cenderung
terbatas pada pengertian benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-
pindahkan atau biasa disebut dengan istilah benda bergerak.
3. Pengertian bahwa benda yang dikuasai pelaku penggelapan, sebagian atau
seluruhnya merupakan milik orang lain, adalah mengandung arti
(menurut berbagai Arrest Hoge Raad) bahwa harus ada hubungan
langsung yang bersifat nyata antara pelaku dengan benda yang
dikuasainya.
61) Ibid, hal. 108. 62) R. Soesilo, KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal,
(Bogor: Penerbit Politeia, 1981), hal. 223.
39
BAB III
DATA HASIL PENELITIAN
A. Kasus Posisi
Pada kasus ini, berawal dari adanya kerjasama antara Djono Sutanto
(Terdakwa) dengan Suwanto Sutono yang telah sepakat melakukan transaksi
jual beli batubara. Terdakwa datang ke perusahaan Suwanto Sutanto
membicarakan jual beli batubara sebanyak 1000 metrik ton, kemudian
Terdakwa meminta uang kepada saksi Suwanto Sutono sebesar Rp.
130.000.000 (seratus tiga puluh juta rupiah) untuk pembayaran kepada pihak
ketiga dengan rincian sebagai berikut:
1. Biaya kontraktor sebesar Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah);
2. Biaya trucking sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah);
3. Biaya premi supir sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah).
Pembayaran dilakukan secara bertahap selama tiga kali pembayaran.
Pertama, pada hari Selasa tanggal 07 juli 2009 dilakukan pembayaran secara
tunai sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Kedua, pada hari yang
pula membayar melalui transfer Bank Mandiri Banjarbaru ke rekening
Terdakwa sebesar Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dan ketiga
40
pada hari Kamis tanggal 09 Juli 2009 membayar melalui transfer Bank
Mandiri Banjarabaru kerekening Terdakwa sebesar Rp. 55.000.000,- (lima
puluh lima juta rupiah). Sehingga jumlah uang yang diterima oleh Terdakwa
dari Suwanto Sutono sebesar Rp.130.000.000 (seratus tiga puluh juta rupiah).
Uang tersebut yang seharusnya digunakan untuk membayar biaya
kontraktor, biaya trucking dan biaya premi supir, akan tetapi oleh terdakwa
digunakan hal yang lain yang berkaitan dengan proses pengiriman batubara
yaitu untuk pembayaran fee lahan, fee debu, fee desa, fee kepala desa
setempat. Dikarenakan terdakwa tidak menyerahkan uang yang seharusnya
untuk membayar biaya kontraktor, biaya trucking dan biaya premi supir, maka
Suwanto Sutono selaku pembeli batubara didatangi oleh Hardiansyah selaku
kontraktor untuk menagih pembayaran biaya kontraktor sebesar
Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah). Karena Suwanto Sutono
berkepentingan dengan batubara tersebut, maka dibayarlah biaya kontraktor
tersebut.
Bukan hanya itu saja, pihak trucking juga menagih kepada Suwanto
Sutono untuk meminta pembayaran biaya trucking dan biaya premi supir.
Karena bepenetingan dengan batubara tersebut, akhirnya Suwanto Sutono
kembali membayar biaya trucking dan biaya premi supir tersebut. Akibatnya,
Suwanto Sutono mengalami kerugian sebesar Rp.130.000.000,- (seratus tiga
puluh juta rupiah).
41
Atas perbuatan terdakwa tersebut, kemudian Suwanto Sutono
melaporkan terdakwa ke pihak kepolisian Resort Banjarbaru dengan tuduhan
penggelapan dan penipuan. Dakwaan Penuntut Umum yang disusun secara
alternatif, Terdakwa didakwa kesatu, melakukan tindak pidana penggelapan
yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 372 KUHP, dan kedua
melakukan tindak pidana penipuan yang diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 378 KUHP.
Menurut keterangan Sangap Sidauruk selaku pengacaranya, pada saat
itu terdakwa tengah mengalami kesulitan keuangan, sehingga uang Rp.
130.000.000,- (seratus tiga puluh juta Rupiah) yang telah diterimanya sebagai
pembayaran uang muka penjualan batubara dari saksi Suwanto Sutono tidak
mencukupi untuk membayar kontraktor, ongkos angkut dan memberi premi
kepada supir, oleh karena terdakwa memakai uang tersebut untuk memenuhi
tagihan membayar fee lahan sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta
Rupiah), fee debu sebesar Rp. 41.000.000,- (empat puluh satu juta Rupiah),
fee Desa sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah) dan fee Kepala Desa
sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah) dan pada bulan Agustus,
September dan Oktober 2009, perusahaan terdakwa CV. Keluarga Sejahtera
masih melakukan mengirim batubara ke perusahaan saksi Suwanto Sutono PT.
Prima Multi Arta.
42
Pada kasus ini juga diajukan 6 (enam) orang saksi yaitu Suwanto
Sutono, Sukamto Rianto, Rustini, Hadriansyah, Rahmat Surta dan Tamani.
Berdasarkan keterangan keenam saksi tersebut telah mengetahui adanya
perjanjian jual beli batubara dengan terdakwa Djono Sutono dengan
kesepakatan barang yang dikirim sampai ke tempat tujuan dengan harga yang
telah disepakati sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Keterangan terdakwa Djono Sutono pada persidangan juga
mengemukkan bahwa antara terdakwa dengan Suwanto Sutono sebagai rekan
kerja pernah menjalin kerjasama jual beli batubara (bisnis) sejak tahun 2008
sampai dengan tahun 2009 dan dari kerjasama tersebut terdakwa sudah pernah
mengirimkan 2000 (dua ribu) metrik ton. Bisnis yang dilakukan tersebut
adalah bisnis yang berkelanjutan dan surat pernyataan yang dibuat terdakwa
dengan Suwanto Sutono adalah sebagaian dari rangkaian bisnis tersebut.
Adanya keterlambatan pengiriman batubara, maka terdakwa membuat
surat pernyataan kesanggupan untuk mengirimkan batubara. Akan tetapi
pengiriman yang seharusnya sesuai dengan surat pernyataan tersebut tidak
ditepati karena pengirimannya lewat beberapa hari dari tanggal yang
dijanjikan.
Mengenai masalah ini juga terdakwa pernah digugat secara perdata
oleh Suwanto Sutono di Pengadilan Negeri Banjarmasin dengan putusan
verstek yang kemudian dilakukan verset (perlawanan). Tujuan gugatan perdata
43
adalah untuk mengambil alih Surat Kuasa Penambangan milik terdakwa yang
nilainya miliaran rupiah.
Selain keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa, diajukan pula
bukti-bukti dalam proses persidangan dugaan tindak pidana penipuan dan
penggelapan. Bukti-bukti tersebut antara bukti transfer pembayaran dan bukti
surat pernyataan yang ditandatangani terdakwa dan Suwono Sutono.
B. Pertimbangan dan Putusan Hakim
Pertimbangan hakim dalam perkara ini didasarkan atas keterangan
saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti yang diajukan di
persidangan yang antara satu dengan lainnya saling bersesuaian. Berdasarkan
keterangan-keterangan tersebut, hakim menemukan fakta hukum yang
terungkap di persidangan yang pada pokoknya membenarkan telah terjadi
peristiwa hukum sebagaimana yang didakwakan.
Berdasarkan fakta hukum tersebut, langkah selanjutnya adalah
pembuktian terhadap unsur-unsur dari pasal-pasal yang didakwakan
sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang diususun secara alternatif
yaitu kesatu melanggar Pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan kedua
melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Oleh karena dakwaan tersebut
disusun secara alternatif, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan
dakwaan tersebut sesuai dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di
44
persidangan, dan Majelis Hakim akan mempertimbangkan Pasal 378 KUHP
yang unsur-usnurnya sebagai berikut:
1. Unsur barang siapa
2. Unsur dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum
3. Unsur dengan mekakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat maupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang
maupun menghapuskan piutang
Ad.1. Unsur barang siapa
Mengenai unsur barang siapa, Majelis Hakim berpendapat unsur
tersebut menunjuk kepada subyek hukum dari Straafbaar Feit dalam
hal ini manusia pribadi (Natuurlijke Persoon) selaku pendukung hak
dan kewajiban yang didakwa melakukan suatu perbuatan pidana
sebagaimana yang dimaksud dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut
Umum.
Selama persidangan telah dihadapkan Terdakwa yang bernama
Djono Sutanto Bin Karman (Alm) yang merunakan subyek hukum
tersebut. Jika hal tersebut dikaitkan dengan fakta-fakta hukum yang
terungkap dicocokan antara identitas terdakwa dengan identitas
sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan dan diakui pula oleh
45
Terdakwa sebagai jati dirinya sendiri yang diajukan dalam perkara ini,
sehingga dalam perkara ini tidak terdapat kesaiahan orang (error in
persona) yang diajukan ke muka persidangan. Berdasarkan
pertimbangan tersebut diatas hakim berkeyakinan unsur pertama yaitu
barang siapa telah terpenuhi.
Ad.2. Unsur dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum
Maksud dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dimana dalam
perbuatannya tersebut mempunyai maksud dan tujuan agar hasil dari
perbuatannya memberikan nilai lebih yang positif atau mendapatkan
sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada ataupun bertambah dari yang
ada sebelumnya baik itu ditujukan untuk diri sendiri atau dialihkan atau
didapatkan oleh orang lain.
Selanjutnya yang dimaksud dengan melawan hukum adalah
suatu perbuatan yang dilakukan oieh seseorang dimana perbuatan yang
dilakukan tersebut adalah perbuatan yang bertentangan dengan aturan
aturan hukum yang berlaku baik hukum yang tertulis maupun aturan
hukum yang tidak tertulis ataupun perbuatan tersebut bertentangan
dengan hak orang lain.
46
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan
dari keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti
maka diketahui bahwa Terdakwa Djono Sutanto melakukan hubungan
Kerjasama dengan Saksi Suwanto Sutono dalam hal Jual Beli Batubara
sejak Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2009, kemudian pada butan
Juli 2009 oleh karena Terdakwa memiliki Batubara sebanyak 1000
Metrik Ton yang sudah berada diatas (sudah digali/dikeruk) dan tinggal
mengangkut saja lalu Saksi Suwanto Sutono merasa membutuhkan
Batubara sejumlah tersebut selanjutnya antara Terdakwa dengan
Suwanto Sutono melakukan kerjasama untuk jual beli Batubara
sejumlah 1000 Metrik Ton.
Pada unsur ini, hakim menyatakan bahwa bahwa Terdakwa
telah memperoleh keuntungan sejumlah uang yang telah dibayarkan
oleh Suwanto Sutono kepada Terdakwa sebesar Rp. 130.000.000,-
(seratus tiga puluh juta rupiah) sehingga perbuatan Terdakwa yang telah
menerima uang tersebut adalah perbuatan yang dikatagorikan sebagai
perbuatan yang melawan hukum karena Terdakwa telah menikmati
keuntungan yang tidak seharusnya dinikmati oleh Terdakwa, dan
Terdakwa mendapatkan keuntungan yang tidak tepat dan tidak
sepantasnya seperti apa yang diperjanjikan oleh Terdakwa sebelumnya.
Melihat pertimbangan tersebut di atas, maka unsur dengan maksud
47
hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan
hukum telah terpenuhi.
Ad.3. Unsur Dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
musiihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain
untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi
hutang atau menghapuskan piutang
Melihat ketentuan dalam Pasal yang dituduhkan tersebut di atas
maka Pengadiian Negeri berpendapat bahwa hal ini bersifat alternatif,
dimana apabila salah satu saja dari beberapa pengertian perbuatan
pidana yang ditentukan telah dapat dibuktikan maka dengan sendirinya
unsur ini telah terpenuhi pula.
Nama palsu yang dimaksud adalah suatu keadaan yang sengaja
dilakukan dimana seseorang menggunakan nama yang bukan namanya
sendiri, melainkan nama orang lain yang telah direncanakan
sebelumnya oleh orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Selain itu martabat palsu yang dimaksud adalah suatu keadaan
dengan sengaja dilakukan dimana seseorang atau badan hukum yang
membuat atau menciptakan suatu keadaan perihal jabatan atau
kedudukan atau status yang tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya dimana keadaan yang sebenamya tersebut sengaja dirubah
agar maksud dan tujuan mana yang diinginkan oleh si pembuat tersebut
48
dapat terlaksana dengan menggunakan jabatan, kedudukan atau status
yang dipalsukan tersebut.
Selanjutnya tipu muslihat atau rangkaian kebohongan adalah
suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dengan sengaja
dengan memberikan keterangan, ataupun keadaan yang sama sekali
bertentangan dengan keadaan sebenarnya ataupun apa yang dikatakan
oleh seseorang tersebut sudah terlebih dahulu direncanakan dengan niat
yang tidak baik atau perbuatan dan perkataan yang yang disampaikan
tersebut tidak sekaligus disampaikan melainkan perbuatan dan
perkataan tersebut disampaikan secara sebagian sebagian sehingga
membentuk suatu rangkaian yang satu dan lainnya merupakan suatu
rangkaian dengan suatu maksud dan tujuan.
Berdasarkan penjelesan tersebut di atas, maka yang dimaksud
dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang
menghapuskan piutang adalah sebagai bentuk dari potongan-potongan
rangkaian perbuatan pelaku dalam mengeiabui korban agar korban
menyerahkan apa yang dimaksud atau dikehendaki oleh pelaku, baik itu
sadar maupun tidak sadar.
49
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan dari
keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti maka
diketahui bahwa pada mulanya terdakwa mengutarakan niatnya untuk
menurunkan Batubara dalam jumlah 1.000 (seribu) ton kepada saksi
Suwanto Sutono dan terdakwa minta agar dibiayai oleh Saksi Suwanto
Sutono di dalam menurunkan batubara tersebut, oleh karena Suwanto
Sutono memerlukan Batubara, maka setelah diadakan pembicaraan pada
tanggal 7 Juli 2009 Terdakwa dan saksi Suwanto Sutono sepakat untuk
melakukan transaksi jual beli batubara sejumlah 1000 (seribu) metrik ton.
Saksi Suwanto Sutono sebelumnya mengatakan kepada Terdakwa
bahwa ia memerlukan Batubara sebanyak 1000 (seribu) metrik ton
kemudian terdakwa menyatakan mempunyai batubara dalam jumlah
tersebut dan akan dikirimkan kepada saksi Suwanto Sutono, kemudian
untuk meyakinkan Saksi Suwanto Sutono maka terdakwa membuat Surat
Pernyataan yang disetujui oleh Saksi Suwanto Sutono tertanggal 7 Juli
2009.
Setelah adanya Surat Pernyataan tersebut yang ditandatangani oleh
terdakwa selaku orang yang membuat Surat Pernyataan dan Suwanto
Sutono selaku orang yang menyetujuinya, maka terdakwa meminta
sejumlah uang untuk menyediakan Batubara yang telah diminta oleh
Suwanto Sutono setelah adanya Surat Pernyataan tersebut, kemudian atas
50
permintaan terdakwa tersebut Suwanto Sutono pada hari itu juga
melakukan pembayaran yang pertama kali sebesar Rp. 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) sesuai barang bukti kwitansi tertanggal 7 Juli 2009 yang
ditanda tangani Djono Sutanto dan dibenarkan oleh Saksi Rustini selaku
kasir pada PT. PMA yang telah membayarkan kepada Terdakwa,
kemudian untuk yang kedua kalinya pada tanggal 7 Juli 2009 PT. PMA
membayar sejumlah Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) yang
dikirim melalui transfer bank mandiri (sesuai barang bukti) ke nomor
rekening terdakwa, dimana yang menflinmkan uang tersebut adalah Saksi
Sukamto Rianto selaku Manager Keuangan PT. PMA, sedangkan untuk
yang ketiga kalinya adalah pengiriman uang sebesar Rp.55.000.000 (lima
puluh lima juta rupiah) yang ditujukan ke rekening terdakwa, sehingga
jumlah dana keseluruhan yang telah dibayar PT. PMA dalam hal ini selaku
direkturnya adalah Suwanto Sutono sebesar Rp. 130.000.000,-(seratus tiga
puluh juta rupiah).
Saksi Suwanto Sutono bersedia dan percaya kepada terdakwa
kemudian menyerahkan uang sejumlah tersebut dengan harapan terdakwa
menyediakan Batubara dengan jumlah 1000 (seribu) metrik ton sampai
dengan tanggal 9 Juli 2009 karena kapal pengangkut sudah bersandar di
pelabuhan agar tidak teriaiu lama bersandar dan segera dapat mengirimkan
batubara. Selama berjalannya waktu sampai dengan hari Sabtu tanggai 9
51
Juli 2009 ternyata terdakwa tidak dapat mengirimkan Batubara
sebagaimana permintaan saksi Suwanto Sutono, kemudian Saksi Suwanto
Sutono menelepon terdakwa mengapa tidak bisa terkirim kemudian
dijawab terdakwa bahwa terdakwa belum bisa mengirimkan batubara
dikarenakan uang yang diberikan oleh Suwanto Sutono dipergunakan oleh
terdakwa untuk membayar fee (fee debu, fee lahan dan fee desa), akan
tetapi setelah terdakwa mengatakan alasan tersebut temyata permintaan
Suwanto Sutono terhadap batubara sebanyak 1000 (seribu) metrik ton
tidak juga dikirimkan oleh Terdakwa.
Apabila dikaitkan dengan perkara ini, maka berdasarkan fakta
hukum yang terungkap dipersidangan bahwa terdakwa Djono Sutanto
menciptakan situasi bahwa terdakwa memang benar-benar dapat
memenuhi keinginan dari Saksi korban Suwanto Sutono untuk
menyediakan Batubara sebanyak 1000 (seribu) metrik ton, yaitu dengan
terdakwa meyakinkan kepada Saksi korban Suwanto Sutono sebagaimana
terdapat dalam Surat Pernyataan terdakwa tanggal 7 Juli 2009 sehingga
diberikan uang untuk menurunkan Batubara tersebut, karena Terdakwa
adalah Pengusaha Batubara yang sudah biasa melakukan penambangan
batubara dan mengirimkan pesanan kepada pembeli.
Selain itu, karena Terdakwa memiliki KP (Kuasa Penambangan)
yang berwenang untuk mengelola Penambangan dalam suatu wilayah
52
tertentu dan pada bulan Juni 2009 Terdakwa sudah ada Kerjasama dengan
saksi Hardiansyah yang bertugas sebagai kontraktor untuk menggali
batubara sehingga sampai ke tanah. Pada bulan Juli 2009, batubara sudah
ada lebih dari 1000 (seribu) metrik ton, akan tetapi ternyata Terdakwa
belum membayar biaya kontraktor sebesar Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima
ribu rupiah) per metrik ton sehingga berjumlah Rp. 75.000.000,- (tujuh
puluh lima juta rupiah), oleh karena itu terdakwa tidak bisa mengangkut
Batubara tersebut. Hal ini juga diakui sendiri oleh terdakwa sendiri.
Mengingat sampai pada batas waktu yang ditentukan ternyata
terdakwa tidak mengirimkan batubara dikarenakan uang sejumlah Rp.
130.000.000 (seratus tiga puluh juta) tersebut dipergunakan untuk
membayar fee debu, fee lahan, fee kepala desa dan fee desa, dimana
ternyata fee-fee tersebut sudah dibayar oleh terdakwa seharusnya bisa
untuk diangkut.
Berdasarkan kronologis kejadian tersebut di atas terlihat secara
jelas adanya itikad tidak baik dari terdakwa bahwa sesungguhnya tidak ada
niat untuk membuat suatu perikatan/perjanjian dengan saksi korban
Suwanto Sutono untuk jual beli batu bara sebanyak 1.000 metrik ton dan
apabila dihubungkan dengan uraian pertimbangan tersebut di atas dengan
unsur kesengajaan, terdakwa sebelum membuat kesepakatan dengan saksi
Suwanto Sutono dan menandatangani surat pernyataan tertanggai 7 Juli
53
2009, terdakwa telah mengetahui dan mempersiapkan sebelumnya tentang
apa apa saja yang akan dilakukan terdakwa.
Perbuatan dan perkataan terdakwa dengan menandatangani Surat
Pernyataan tanggal 7 Juli 2009 telah membuat saksi Suwanto Sutono
menyerahkan suatu barang dalam hal ini adalah berbentuk uang sejumlah
Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah) kepada Terdakwa dan
tidak mengirimkan Batubara sejumlah 1000 (seribu) metrik ton adalah
sudah termasuk perbuatan dan perkataan yang yang merupakan rangkaian
perkataan bohong.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka unsur dengan
memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu
muslihat maupun karangan dengan rangkaian perkataan bohong,
membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau
menghapuskan piutang telah terpenuhi.
Setelah mempertimbangkan unsur-unsur dari pasal yang didakwakan,
sebelum menjatuhkan kepada terdakwa, Majelis Hakim juga mempertimbang-
kan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan, yaitu:
1. Hal-hal yang memberatkan dari terdakwa diantaranya yaitu terdakwa tidak
mengakui perbuatannya, perbuatan terdakwa dapat menghilangkan
kepercayaan investor untuk berinvestasi dan terdakwa sudah menikmati
hasil kejahatannya.
54
2. Hal-hal yang meringankan dari terdakwa diantaranya yaitu terdakwa
berlaku sopan dipersidangan, terdakwa mempunyai tanggungan keluarga
dan terdakwa belum pernah dihukum.
Pada kasus ini, hakim menyatakan bahwa terdakwa Djono Sutanto
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
penipuan sehingga dijatuhi sanksi pidana selama 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan
dengan masa penahanan yang telah dijalani dikurangkan dari pidana yang
dijatuhkan serta menetapkan terdakwa tetap ditahan. Selain itu, semua barang
bukti dimebalikan kepada saksi Suwanto Sutono dan membebankan kepada
terdakwa untuk membayar biaya perkara.
55
BAB IV
ANALISIS TIDAK TERLAKSANANYA TUJUAN
PEMBAYARAN KARENA PENGALIHAN FEE MENJADI
DASAR TINDAK PIDANA PENIPUAN
Pada kasus pengalihan fee ini yang menjadi terdakwa adalah Djono
Sutanto selaku Direktur CV. Keluarga Sejahtera yaitu perusahaan yang
bergerak dalam bidang pertambangan dan menjual batubara. Adapun pihak
yang menjadi mitra adalah Suwanto Sutono selaku Direktur PT. Prima Multi
Arta yang menjalankan usaha jual beli batubara. Keduanya telah melakukan
kerjasama jual beli batubara sejak tahun 2008, dimana Terdakwa sebagai
penambang dan penjual batubara sedangkan saksi Suwanto Sutono sebagai
pembeli batubara dari terdakwa dengan harga yang telah disepakati
berdasarkan kualitas batubara yang dihasilkan dari penambangan terdakwa
yaitu Rp. 220.000,- (dua ratus dua puluh ribu rupiah) per metrik ton, diterima
di pelabuhan.
Perselisihan antara terdakwa dengan Suwanto Sutono timbul
dikarenakan tidak terlaksananya pengiriman batubara sebagaimana yang telah
disepakati, padahal uang yang dikeluarkan oleh Suwanto Sutono sebesar Rp.
56
130.000.000 (seratus tiga puluh juta rupiah) kepada terdakwa yang rencananya
untuk pembayaran kontraktor, biaya truking dan biaya premi supir, namun
oleh terdakwa dialihkan untuk pembayaran lain yaitu biaya fee lahan, fee debu
dan fee desa serta fee kepala desa.
Akibat dari adanya pengalihan fee tersebut, terdakwa tidak dapat
melakukan pembayaran kontraktor, biaya truking dan biaya premi supir yang
berakibat pula tidak terlaksananya pengiriman batubara sampai ke pelabuhan.
Sedangkan Suwanto Sutono telah mengeluarkan cukup banyak uang dan kapal
tongkang pengangkut batubara sudah siap, namun batubara yang setidaknya
sudah dapat diangkut belum dikirim sebagaimana yang diperjanjikan bersama
sehingga apabila menunggu terlalu lama, Suwanto Sutono merasa dirugikan
karena akan mengeluarkan biaya tambahan lebih banyak lagi untuk membayar
sewa parkir kapal tongkang di pelabuhan.
Atas dasar tersebut, Suwanto Sutono melaporkan terdakwa dengan
tuduhan penggelapan dan penipuan. Pada kasus ini, terdakwa dinyatakan
terbukti telah melakukan tindak pidana penipuan. Mengenai delik penipuan,
KUHP mengaturnya secara luas dan terperinci dalam Buku II Bab XXV dari
Pasal 378 s/d Pasal 395 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus
penipuan (tindak pidana pokoknya) terdapat dalam Pasal 378 KUHP yang
menegaskan sebagai berikut:
57
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling larna 4 (empat) tahun.
Berdasarkan ketentuan Pasal 378 KUHP di atas, maka secara yuridis
delik penipuan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa:
1. Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan pelaku untuk menipu orang
lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang dengan kata-kata
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau arang lain secara
melawan hukum.
2. Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas: (a) Unsur barang siapa; (b) Unsur
menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu
benda/memberi hutang/menghapuskan piutang; dan (c) Unsur cara
menggerakkan orang lain yakni dengan memakai nama palsu/martabat
atau sifat palsu/tipu muslihat/rangkaian kebohongan.
Untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku kejahatan
penipuan, Majelis Hakim Pengadilan harus melakukan pemeriksaan dan
membuktikan secara sah dan meyakinkan apakah benar pada diri dan
perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penipuan
baik unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Hal ini berarti, dalam konteks
pembuktian unsur subyektif misalnya, karena pengertian kesengajaan pelaku
58
penipuan (opzet) secara teori adalah mencakup makna willen en witens
(menghendaki dan atau mengetahui), maka harus dapat dibuktikan bahwa
terdakwa memang benar telah:
a. Bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum
b. Menghendaki atau setidaknya mengetahui/menyadari bahwa perbuatannya
sejak semula memang ditujukan untuk menggerakkan orang lain agar
orang lain tersebut menyerahkan suatu benda/memberi hutang/
menghapuskan piutang kepadanya (pelaku delik).
c. Mengetahui/menyadari bahwa yang dipergunakan untuk menggerakkan
orang lain, sehingga menyerahkan suatu benda/memberi hutang/
menghapuskan piutang kepadanya itu adalah dengan memakai nama palsu,
martabat palsu atau sifat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.
Berkenaan dengan kasus Putusan Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb,
hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa yang telah mengalihkan fee
sebagai tindak pidana penipuan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan hakim
yang menyatakan bahwa semua unsur yang dirumuskan dalam Pasal 378
KUHP telah terpenuhi sehingga terdakwa yang telah mengalihkan fee tersebut
dijadikan dasar oleh hakim sebagai tindak pidana penipuan.
Dakwaan yang disusun pada kasus ini dilakukan secara alternatif yaitu
dakwaan penggelapan dan penipuan, namun berdasarkan fakta di persidangan
59
yang terbukti adalah dakwaan penipuan. Selain itu, adanya peristiwa yang
merupakan fakta hukum yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Terdakwa adalah Direktur CV. Keluarga Sejahtera yang menjalankan
usaha sebagai penambang dan penjual batubara dan saksi Suwanto Sutono
adalah Direktur PT. Prima Multi Arta yang menjalankan usaha jual beli
batubara. Pada tahun 2008 telah terjalin kerjasama antara Terdakwa dengan
saksi Suwanto Sutono, dimana Terdakwa sebagai penambang dan penjual
batubara sedangkan saksi Suwanto Sutono sebagai pembeli batubara dari
Terdakwa, dengan harga yang telah disepakati berdasarkan kualitas batubara
yang dihasilkan dari penambangan Terdakwa yaitu Rp. 220.000,- (dua ratus
dua puluh ribu Rupiah) per metrik ton, diterima di pelabuhan.
Pada tanggal 07 Juli 2009 Terdakwa menemui saksi Suwanto Sutono
di Kantor PT. Prima Multi Arta di Jl. Payau I No. 01 Kelurahan Sei Besar
Kecamatan Banjarbaru Selatan Kota Banjarbaru, dimana saat itu Terdakwa
kepada saksi Suwanto Sutono mengatakan akan menurunkan batubara 1.000
(seribu) metrik ton dan Terdakwa meminta pembayaran di muka sebesar Rp.
130.000.000,- (seratus tiga puluh juta Rupiah) untuk keperluan:
1. Membayar kontraktor (biaya pekerjaan penambangan) Rp. 75.000,- per
Metrik Ton x 1.000 = Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta Rupiah) ;
2. Biaya trucking (ongkos angkut) Rp. 50.000,- per metrik ton x 1.000 =
Rp.50.000.000,- (lima puluh juta Rupiah);
60
3. Memberi premi kepada sopir truck Rp. 5.000,- per metrik ton x 1.000 =
Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah) ;
Berdasarkan fakta hukum di atas, dapat dianalisis bahwa pengertian
kata akan menurunkan batubara yang dikatakan terdakwa kepada saksi
Suwanto Sutono ialah bahwa si penjual (terdakwa) telah tersedia batubara di
lokasi penambangan untuk diangkut ke pelabuhan tempat pemuatan batubara
oleh si pembeli (saksi Suwanto Sutono) ke atas tongkang atau kapal, akan
tetapi pada kenyatannya terdakwa tidak dapat memenuhi pernyatannya. Hal
ini sebagaimana yang diungkapkan oleh saksi Suwanto Sutono bahwa
terdakwa telah menjanjikan dan membuat pernyataan tertulis bahwa batubara
sebanyak 1.000 metrik ton akan diturunkan di pelabuhan antara tanggal 09
Juli sampai dengan tanggal 11 Juli 2009.
Meskipun terdakwa sudah menerima uang pembayaran dari saksi
Suwanto Sutono sebesar Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah)
sebagai uang muka dan sisanya sebesar Rp. 90.000.000,- (sembilan puluh juta
rupiah), namun terdakwa belum dapat menurunkan batubara sebagaimana
yang telah dijanjikan. Terdakwa baru menurunkan batubara setelah
melampaui tanggal 11 Juli 2009, tetapi masih dalam bulan Juli 2009 dan
itupun sesudah saksi Suwanto Sutono memberikan lagi uang Rp. 75.000.000,-
(tujuh puluh lima juta Rupiah) untuk membayar kontraktor dan Rp.
61
38.569.500,- (tiga puluh delapan juta lima ratus enam puluh sembilan ribu
lima ratus Rupiah) untuk ongkos angkut dan memberi premi kepada supir.
Tidak terealisasinya pengiriman batubara dengan tepat waktu
sebagaimana yang diperjanjikan oleh terdakwa apabila melihat keterangan
terdakwa sebagaimana yang dinyatakan oleh kuasa hukumnya Sangap
Sidauruk lebih dikarenakan pada saat itu terdakwa tengah mengalami
kesulitan keuangan, sehingga uang Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta
rupiah) yang telah diterimanya sebagai pembayaran uang muka penjualan
batubara dari saksi Suwanto Sutono tidak mencukupi untuk membayar
kontraktor, ongkos angkut dan memberi premi kepada supir, karena oleh
terdakwa terpakai untuk memenuhi tagihan membayar fee lahan sebesar Rp.
15.000.000,- (lima belas juta Rupiah), fee debu sebesar Rp. 41.000.000,-
(empat puluh satu juta Rupiah), fee Desa sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta
Rupiah) dan fee Kepala Desa sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah).
Namun demikian, pada bulan Agustus, September dan Oktober 2009,
perusahaan terdakwa CV. Keluarga Sejahtera masih mengirim batubara ke
perusahaan PT. Prima Multi Arta milik Suwanto Sutono.
Meskipun hakim menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti
melakukan tindak pidana penipuan yang didasarkan atas pengalihan fee,
namun dalam analisis skripsi ini, penulis berpendapat bahwa apabila
dicermati bahwa uang pembayaran batubara yang telah diterima oleh
62
terdakwa sebagai penjual dari saksi Suwanto Sutono sebagai pembeli,
menurut hukum adalah uang hak terdakwa dan seluruhnya menjadi milik dari
terdakwa. Hanya saja dalam hal ini terdakwa mempunyai kewajiban untuk
mengirim dan menyerahkan batubara kepada saksi Suwanto Sutono sebanyak
1.000 (seribu) metrik ton. Oleh karena terdakwa sebagai pemilik uang atau
yang berhak atas uang itu, maka atas penggunaannya yang oleh terdakwa
dipakai membayar fee lahan, fee debu, fee Desa serta fee Kepala Desa, tidak
dapat dikatakan sebagai penguasaan secara melawan hukum.
Selain itu, melihat unsur pokok dari tindak pidana penipuan yang
dirumuskan dalam Pasal 378 KUHP adalah terletak pada cara/upaya yang
telah digunakan oleh si pelaku (terdakwa) untuk menggerakkan orang lain
(saksi Suwanto Sutono) agar menyerahkan sesuatu barang atau uang. Dalam
teori Hukum Pidana, penyerahan barang atau uang di sini merupakan unsur
konstitutif dari tindak pidana penipuan.
Berdasarkan uraian di atas, antara terdakwa dan Suwanto Sutono
apabila melihat dari kronologi kasusnya, kedua belah pihak sebelumnya telah
terjalin suatu hubungan kerjasama bisnis dalam jual beli batubara sejak tahun
2008. Pada tanggal 07 Juli 2009 terdakwa menawarkan akan menurunkan
batubara sebanyak 1.000 (seribu) metrik ton dan terdakwa meminta
pembayaran dimuka sebesar Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta
Rupiah) untuk keperluan membayar kontraktor, ongkos angkut dan memberi
63
premi kepada sopir dan terdakwa berjanji dengan membuat surat pernyataan
tertulis bahwa batubara sebanyak 1.000 (seribu) Metrik Ton akan diturunkan
di pelabuhan antara tanggal 09 Juli sampai dengan tanggal 11 Juli 2009. Pada
hari itu juga tanggal 07 Juli 2009 dan pada tanggal 09 Juli 2009 saksi
Suwanto Sutono telah memenuhi pembayaran uang muka sebesar Rp.
130.000.000,- (seratus tiga puluh juta Rupiah) dengan cara memberikan uang
tunai dan melalui transfer Bank Mandiri ke rekening terdakwa. Kendati
terdakwa telah menerima uang muka sesuai permintaannya tetapi ternyata
terdakwa tidak menurunkan batubara yang dijanjikan tepat pada waktunya,
yaitu antara tanggal 09 Juli sampai dengan tanggal 11 Juli 2009, namun
terdakwa baru dapat menurunkan batubara dimaksud setelah melewati
tanggal 11 Juli 2009, tetapi masih dalam bulan Juli 2009.
Penyerahan uang sebesar Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta
Rupiah) oleh saksi Suwanto Sutono kepada terdakwa, menurut analisis
penulis bukan sebagai akibat tergeraknya saksi oleh upaya terdakwa yang
berjanji dengan membuat pernyataan tertulis bahwa batubara 1.000 (seribu)
metrik ton akan diturunkan di pelabuhan antara tanggal 09 Juli sampai dengan
tanggal 11 Juli 2009, melainkan karena saksi sudah percaya dan sangat
membutuhkan batubara dari terdakwa dimana telah terjalin kerjasama sejak
tahun 2008.
64
Berdasarkan fakta hukum yang dikemukakan di atas dimana saksi
Suwanto Sutono masih memberikan lagi uang sebesar Rp. 75.000.000,- (tujuh
puluh lima juta rupiah) dan Rp. 38.569.500,- (tiga puluh delapan juta lima
ratus enam puluh sembilan ribu lima ratus rupiah) untuk membayar
kontraktor, ongkos angkut dan memberi premi kepada sopir padahal telah
dialami olehnya bahwa terdakwa tidak menepati janji dan kerjasama antara
terdakwa dengan saksi Suwanto Sutono terus berlangsung hingga bulan
Agustus, September dan Oktober 2009, menunjukkan besarnya kepercayaan
terhadap terdakwa.
Untuk itu, menurut pendapat penulis, unsur tergerak/terbujuk menjadi
terkesampingkan dengan adanya jalinan kerjasama bisnis yang didasari oleh
kepercayaan meskipun pada akhirnya mencederai kepercayaan itu. Jadi
kasus dalam perkara ini merupakan transaksi keperdataan, yaitu cidera
janji (wanprestasi). Wanprestasi atau ingkar janji sendiri terbagi menjadi
tiga yaitu tidak memenuhi prestasi sama sekali, terlambat memenuhi
prestasi dan memenuhi prestasi secara tidak baik. Pada kasus di atas,
perbuatan terdakwa termasuk dalam kategori terlambat memenuhi
prestasi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, terdakwa terbukti
melakukan perbuatan seperti yang didakwakan pada dakwaan kedua,
akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, akan
65
tetapi lebih dikarenakan adanya keterlambatan pengiriman barang yang
disebabkan kesulitan keuangan dari terdakwa, sehingga fee yang
seharusnya untuk membayar biaya kontraktor, trucking dan premi supir
dialihkan untuk menutupi pembayaran fee lahan, fee debu, fee desa, fee
kepala desa setempat.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian dan uraian analisis pembahasan di
atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Jual beli batu bara dengan perjanjian pengiriman sampai ke
pelabuhan antara terdakwa Djono Sutanto sebagai penjual batubara dan
Suwanto Sutono selaku pembeli batubara pada kasus putusan Nomor
44/Pid.B/2011/PN.Bjb, hakim menyatakan bahwa tidak terlaksananya
pengiriman batubara dengan tepat waktu sebagaimana yang diperjanjikan
sampai ke pelabuhan dikarenakan adanya pengalihan fee oleh Terdakwa
Djono Sutanto, dijadakan dasar pertimbangan oleh hakim sebagai tindak
pidana penipuan. Meskipun demikian putusan hakim dinilai kurang tepat
dikarenakan pengalihan fee bukan menjadi obyek perjanjian itu sendiri
atau karena tujuan dalam bentuk pengalihan fee bukan merupakan objek
perjanjian. Oleh karena itu dapat dipertegas bahwa niat yang lahir setelah
terjadinya perjanjian merupakan suatu wanprestasi atau cidera janji.
B. Saran
Berdasarkan uraian kesimpulan seperti yang telah diuraikan di atas,
maka dapat diambil beberapa saran berikut ini:
67
1. Pihak eksekutif dan legislatif dalam penyusunan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan konsep wanprestasi dan konsep penipuan
dalam suatu rumusan undang-undang, hendaknya kedua konsep tersebut
dapat dimasukan dalam Pasal Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana
disesuaikan dengan perkembangan hukum menyangkut hubungan
kontraktual, sehingga antara wanprestasi dan penipuan yang lahir dari
hubungan kontraktual akan semakin jelas, dapat diketahui batas pembeda
antara wanprestasi dan penipuan.
2. Hendaknya hakim yang menangani perkara penipuan yang mengandung
unsur wanprestasi lebih tepat jika diputus bebas dengan alasan bahwa
salah satu/beberapa unsur tindak pidana dalam Pasal 378 KUHP tidak
terpenuhi.
3. Hendaknya hakim dalam menerapkan konsep wanprestasi dan konsep
penipuan diharapkan ada pemahaman dan penafsiran yang sama, sehingga
tidak terjadi inkonsistensi hakim dalam memutus suatu perkara, sebagai
acuan dan pedoman serta pertimbangan hukum (ratio decidendi) hakim
terikat dengan persoalan wanprestasi dan penipuan yang lahir dari
hubungan kontraktual, hal ini untuk melindungi kepentingan privat
maupun publik, dengan harapan dimasa yang akan dating akan tercipta
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
68
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Arrasjid, Chainur. Pengantar Ilmu Hukum, (Medan: Yani Corporation, 1988).
Badrulzaman, Mariam Darus. KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 2001).
Bemmelen, van. Hukum Pidana 3 Bagian Khusus Delik-Delik Khusus, terjemahan oleh Husnan. (Bandung: Binacipta, 1986).
Bawengan, Gerson W. Hukum Pidana di Dalam Teori dan Praktek. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983).
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Pedoman Penulisan Skripsi Bidang Hukum, (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar Nomor 015-D/FHUNTAR/II/2011, 2011).
Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersialm (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008).
Kami. Ringkasan Tentang Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Pustaka Indonesia, 1959).
Kartanegara, Satochid. Kumpulan Kuliah Hukum Pidana dan Pendapat-pendapat paraAhli Hukum Terkemuka Bagian Satu. (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun).
Lamintang, PAF. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. (Bandung: Citra Aditya Bakti), 1997).
Marpaung, Leden. Asas Teori Praktek Hukum Pidana. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Prtanggungjawaban dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1983).
________. Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta: Bina Aksara, 1987).
Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. (Bandung: Eresco, 1986).
69
________. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. (Bandung: Refika Aditama, 2003).
Sahetapy, J.E. dan Agustinus Pohan, Hukum Pidana. (Yogjakarta: Liberty, 1995).
Satrio, J. Hukum Perjanjian. (Bandung: Cutra Aditya Bakti, 1992).
Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1986).
Simamora, Yohanes Sogar Hukum Perjanjian Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah. (Surabaya: Laksbang Pressindo, 2009).
Setiadi, Elly M. dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Bandung: Kencana Prenada Media Group, 2007).
Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. (Bandung: Binacipta 1978).
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, (Jakarta: UI Press, 1986).
________. & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). (Jakarta: Rajawali Pers, 2001)
Soesilo, R. KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. (Bogor: Penerbit Politeia, 1981).
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. ke-29, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001).
Subekti. Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005).
Tirtaamidjaja, HM. Pokok-pokok Hukum Pidana. (Jakarta: Fasco, 1955).
Utrecht. Rangakain Sari Kuliah Hukum Pidana I. (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986).
Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Pidana Penipuan Yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual. (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2011).
B. Peraturan Perundang-Undangan dan Yurisprudensi
Indonesia. Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
70
Soerodibroto, Soenarto. KUHP dan KUHAP, Edisi Ke-5, (Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 2006).
Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. ke-37, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006).
Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 186. K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959.
Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 196. K/Sip/1974 tertanggal 7 Oktober 1976.
C. Artikel/Makalah/Internet
Anonim. “Pengalihan”, http://www.artikata.com/arti-357583-pengalihan.html, diunduh 22 Juni 2012.
________. “Fee”, http://en.wikipedia.org/wiki/Fee, diunduh 22 Juni 2012.
________. “Fee”, http://dictionary.reference.com/browse/fee, diunduh 22 Juni 2012.
Marzuki, Peter Mahmud. “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”, Yuridika, Volome 18 Nomor: 3, Mei Tahun 2003.
D. Kamus
Darmansyah. Kamus Bahasa Indonesia, Dengan Ejaan Yang Disempurnakan Menurut Pedoman, (Jakarta: Batavia Press, 2008).
Sudarsono. Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992).
Wayhono, Padmo. Kamus Tata Hukum, (Jakarta: Ind Hill-Co, 1987).
E. Putusan
Putusan Pengadilan Negeri Banjarbaru Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb.
71