Upload
trinhkiet
View
224
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
i
PENGALAMAN PERAWAT DALAM PENANGANAN
CARDIAC ARREST DI INSTALASI GAWAT DARURAT
RSUD KARANGANYAR
SKRIPSI
“Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan”
Oleh :
Berlianti Diah Nawaningrum
NIM S11009
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan karunia-Nya, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Pengalaman Perawat Dalam Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi
Gawat Darurat RSUD Karanganyar”. Penelitian ini disusun sebagai salah satu
persyaratan dalam menempuh mata ajar skripsi di Program Studi Ilmu
Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta. Dalam penyusunan skripsi ini,
peneliti banyak mendapat bimbingan, arahan dan dukungan dari berbagai pihak,
oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dra. Agnes Sri Harti, M.Si, selaku ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta.
2. Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Program Studi S1
Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta..
3. Wahyuningsih Safitri, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku pembimbing utama yang
telah memberikan bimbingan, arahan dan saran selama penyusunan penelitian
ini.
4. Aria Nurahman Hendra Kusuma, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku pembimbing II
yang juga telah memberikan bimbingan, masukan dan dukungan selama
penyusunan penelitian ini.
5. bc. Yeti Nurhayati, M.Kes selaku penguji yang telah memberikan arahan dan
bimbingan dalam penyusunan penelitian ini.
v
6. Seluruh dosen dan staf akademik Program Studi S1 Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta.
7. Direktur RSUD Karanganyar yang memberikan ijin dan arahan untuk peneliti
dalam melakukan studi pendahuluan proposal skripsi.
8. Orang tua tercinta dan terhebat, yaitu Bapak Suhardi, BA dan Ibu Sri Suparni,
kakakku tercinta yang selalu memberikan dukungan doa, materi dan kasih
sayangnya sepanjang waktu.
9. Partisipan yang berpartisipasi dalam penelitian ini.
10. Teman-teman seperjuangan S1-Keperawatan angkatan 2011 yang selalu
mendukung dan membantu dalam proses pembuatan skripsi ini.
11. Semua pihak yang telah memberikan dukungan moral maupun material
dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan peneliti satu
persatu.
Semoga segala bantuan dan kebaikan, menjadi amal sholeh yang akan
mendapat balasan yang lebih baik. Pada akhirnya peneliti bersyukur kepada
Allah SWT semoga skripsi ini dapat bermanfaat kepada banyak pihak dan
peneliti sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik demi perbaikan
proposal skripsi ini sehingga dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan
pelayanan keperawatan.
Surakarta, 15 Agustus 2015
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
SURAT PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
ABSTRAK xii
ABSTRACT xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 5
1.3. Tujuan 5
1.4. Manfaat 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori 7
2.1.1 Pengertian Cardiac Arrest 7
2.1.1. Pengetahuan 22
2.1.2. Pengalaman 24
vii
2.1.3. Perilaku 26
2.1.4. Konsep Kesiapan 29
2.2. Kerangka Teori 34
2.3. Fokus Penelitian 35
2.4. Keaslian Penelitian 36
BAB III METODELOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian 38
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 39
3.3. Populasi dan Sampel 39
3.4. Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data 41
3.5. Analisa Data 47
3.6. Keabsahan Data 49
3.7. Etika Penelitian 53
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Partisipan 58
4.2 Tema Hasil Penelitian 58
4.2.1 Pengetahuan perawat 58
4.2.2 Tindakan perawat 66
4.2.3 Faktor pendukung. 76
4.2.4 Faktor penghambat 81
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Pengetahuan perawat tentang penanganan cardiac arrest 84
5.2 Tindakan perawat dalam penanganan cardiac arrest 95
viii
5.3 Faktor pendukung perawat dalam penanganan cardiac arrest 107
5.4 Faktor penghambat perawat dalam penanganan cardiac arrest 119
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan 125
6.2 Saran 127
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
2.1
Judul Tabel
Keaslian Penelitian
Halaman
36
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Judul Gambar
Halaman
2.1 Algoritma Penatalaksanaan Henti
Jantung Pada Arithmia
11
2.3 Skema Kerangka Teori 34
2.4 Skema Fokus Penelitian
35
xi
DAFTAR LAMPIRAN
No Lampiran
Lampiran 1 : F.01 Usulan Topik Penelitian
Lampiran 2 : F.02 Pengajuan Persutujuan Judul
Lampiran 3 : F.04 Pengajuan Izin Studi Pendahuluan
Lampiran 4 : Lembar Pengantar Studi Pendahuluan
Lampiran 5 : Surat Tidak Keberatan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
Lampiran 6 : Surat Rekomendasi Survey Badan Perencanaan Pembangunan
Lampiran 7 : Surat Jawaban Izin Studi Pendahuluan RSUD Karanganyar
Lampiran 8 : Surat Keterangan Melakukan Penelitian
Lampiran 9 : Lembar Permohonan Menjadi Partisipan
Lampiran 10 : Lembar Persetujuan Menjadi Partisipan
Lampiran 11 : Data Demografi
Lampiran 12 : Pedoman Wawancara
Lampiran 13 : Bukti Penelitian
Lampiran 14 : Analisis Tematik
Lampiran 15 : Transkip Wawancara
Lampiran 16 : Lembar Konsultasi
Lampiran 17 : Lembar Oponent Ujian Sidang Proposal Skripsi
Lampiran 18 : Lembar Audience Ujian Sidang Proposal Skripsi
Lampiran 19 : Jadwal Penelitian
Daerah
xii
PROGRAM S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2015
Berlianti Diah Nawaningrum
Pengalaman Perawat Dalam Penanganan Cardiac Arrest di Instalasi Gawat
Darurat RSUD Karanganyar
Abstrak
Kematian jantung mendadak merupakan tidak berfungsinya kelistrikan
jantung dan menghasilkan irama jantung yang tidak normal. Hasil dari rekam
medik di RSUD Karanganyar selama bulan Januari sampai Oktober 2014 terdapat
127 pasien mengalami cardiac arrest dengan tindakan resusitasi 30 kompresi
dada dan 2 ventilasi sebanyak 5 siklus dengan hambatan karena keterbatasan
tempat penuh sehingga kekurangan tenaga kesehatan dan fasilitas.
Tujuan penelitian untuk mengetahui pengalaman perawat dalam
penanganan cardiac arrest diInstalasi Gawat Darurat RSUD Karanganyar.
Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif fenomenologis. Teknik
pengambilan sampel dengan purposive sampling yang melibatkan 3 partisipan.
Pengumpulan data dilakukan dengan in-depth interviewing. Teknik analisa yang
digunakan adalah metode Colaizzi.
Hasil penelitian dari 1) pengetahuan didapatkan tema (a) definisi henti
jantung, (b) penyebab henti jantung, (c) tanda dan gejala henti jantung, (d)
tindakan henti jantung. 2) tindakan perawat didapatkan tema (a) pengkajian awal
resusitasi jantung paru, (b) tindakan resusitasi jantung paru, (c) evaluasi resusitasi
jantung paru, (d) posisi recovery, (e) faktor dihentikan resusitasi jantung paru, (f)
pemberian obat – obatan emergency. 3) faktor pendukung didapatkan tema (a)
pengetahuan perawat, (b) sarana pendukung, (c) kesiapan perawat. 4) faktor
penghambat didapatkan tema (a) hambatan sarana dan prasarana, (b) faktor
pasien, (c) faktor keluarga.
Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa pengalaman perawat dalam
penanganan cardiac arrest didukung oleh pengetahuan dan kesiapan perawat
dengan hambatan sarana dan prasarana.
Kata Kunci : Pengalaman, perawat, penanganan, cardiac arrest.
DaftarPustaka : 69 (2005-2014)
xiii
BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCE
KUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA
2015
Berlianti Diah Nawaningrum
Nurses’ Experience in Cardiac Arrest Management at the Emergency
Installation of Local General Hospital of Karanganyar
ABSTRACT
Sudden cardiac death (SCD) is a sudden, unexpected death caused by loss
of heart function (sudden cardiac arrest). The medical record of Local General
Hospital of Karanganyar shows that in the period of January up to October 2014,
there were 127 patients of cardiac arrest with resuscitation intervention of 30 chest
compressions and two ventilations as many as 5 cycles inhibited by the lack of
health workers and facilities.
The objective of the research is to investigate the nurses’ experience in the
cardiac arrest management at the Emergency Installation of Local General
Hospital of Karanganyar. The research used the phenomenological qualitative
method. The samples of research were 3 participants. They were taken by using
the purposive sampling technique. The data were collected through in-depth
interview and analyzed by using the Colaizzi’s method.
The result of the research shows that there were several themes namely:
(1) knowledge: (a) definition of cardiac arrest, (b) cause of cardiac arrest, (c) signs
and symptoms of cardiac arrest, and (d) action of cardiac arrest; (2) nurses ‘s
intervention : (a) initial assessment of cardiopulmonary resuscitation, (b)
cardiopulmonary resuscitation intervention, (c) evaluation of cardiopulmonary
resuscitation, (d) recovery position, (e) factors of the stop of cardiopulmonary
resuscitation , (f) administration of emergency drugs; (3) supporting factors: (a)
nurses’ knowledge (b) supporting facilities, (c) nurses’ preparedness ; and (4)
inhibiting factors: (a) facilities and infrastructure constraints, (b) patient factors,
(c) family factors.
Thus, the nurses’ experience in the cardiac arrest was supported by the
nurses’ knowledge and readiness but was inhibited by the lack of facilities and
infrastructures.
Keywords: Experience, nurse, management, cardiac arrest.
References: 69 (2005-2014)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kematian jantung mendadak atau cardiac arrest adalah berhentinya
fungsi jantung secara tiba-tiba pada seseorang yang telah atau belum
diketahui menderita penyakit jantung. Hal ini terjadi ketika sistem
kelistrikan jantung menjadi tidak berfungsi dengan baik dan menghasilkan
irama jantung yang tidak normal (American Heart Association, 2010). Henti
jantung merupakan penyebab kematian utama di dunia dan penyebab
tersering dari cardiac arrest adalah penyakit jantung koroner (Subagjo A,
2010).
Secara klinis, keadaan henti jantung ditandai dengan tidak adanya nadi
dan tanda – tanda sirkulasi lainnya. Pada tahun 2010 menurut catatan WHO
diperkirakan sekitar 17 juta orang akibat penyakit gangguan cardiovascular
setiap 5 detik 1 orang meninggal dunia akibat Penyakit Jantung Koroner
(WHO, 2010). Angka kejadian cardiac arrest di Amerika Serikat mencapai
250.000 orang pertahun dan 95 persennya diperkirakan meninggal sebelum
sampai di rumah sakit (Suharsono, 2009). Data di Indonesia tidak ada data
statistik mengenai kepastian jumlah kejadian cardiac arrest tiap tahunnya,
tetapi diperkirakan adalah 10 ribu warga. Data di ruang perawatan koroner
intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusuma tahun 2006, menunjukkan
2
terdapat 6,7% pasien mengalami atrial fibrilasi, yang merupakan kelainan
irama jantung yang bisa menyebabkan henti jantung (Depkes, 2006).
Cardiac arrest dapat menyebabkan kematian otak dan kematian
permanen terjadi dalam jangka waktu 8 sampai 10 menit (Pusponegoro,
2010). Cardiac arrest dapat dipulihkan jika tertangani segera dengan
cardiopulmonary resusitation dan defibrilasi untuk mengembalikan denyut
jantung normal. Kesempatan pasien untuk bisa bertahan hidup berkurang 7
sampai 10 persen pada tiap menit yang berjalan tanpa cardiopulmonary
resusitation dan defibrilasi (American Heart Assosiacion, 2010).
Penanganan cardiac arrest adalah kemampuan untuk dapat mendeteksi
dan bereaksi secara cepat dan benar untuk sesegera mungkin
mengembalikan denyut jantung ke kondisi normal untuk mencegah
terjadinya kematian otak dan kematian permanen (Pusponegoro, 2010).
Berdasarkan standar kompetensi dari Vanderblit University School of
Nursing (Gebbie,dkk 2006), kesiapan perawat dalam menghadapi situasi
kegawatan adalah kemampuan untuk berfikir kritis, kemampuan untuk
menilai situasi, mempunyai ketrampilan teknis yang memadai, dan
kemampuan untuk berkomunikasi.
Kesiapan perawat dalam penanganan cardiac arrest dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu pengetahuan yang cukup dari perawat tentang
penanganan situasi kegawatan, pengalaman yang memadai, peraturan atau
protokol yang jelas, sarana dan suplai yang cukup, serta pelatihan atau
training tentang penanganan situasi kegawatan (Wolff.dkk, 2010).
3
Pengetahuan berpengaruh pada ketrampilan perawat dalam
melaksanakan tugas (Cristian, 2008). Pengalaman yang memadai
mempengaruhi karena sektor klinik berperan dalam memberi kesempatan
atau tugas kepada staff perawat dengan hal-hal baru dan penanganan situasi
yang bersifat khusus untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru.
Peraturan atau protokol yang jelas karena pembuat kebijakan atau rumah
sakit mempunyai tanggung jawab membuat kebijakan untuk dijalankan oleh
setiap staff perawat dalam menjalankan tugasnya (Wolff.dkk, 2010).
Sarana dan suplai yang cukup merupakan segala sesuatu yang dapat
memudahkan dan memperlancar pelaksanaan usaha yang berupa benda –
benda (Cristian, 2008). Pelatihan membantu perawat untuk menguasai
keterampilan dan kemampuan atau kompetensi yang spesifik untuk berhasil
dalam pekerjaannya (Ivancevich, 2008). Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan tidak ada hubungan antara fasilitas dengan kesiapan perawat
dalam menangani cardiac arrest, dimana fasilitas tidak lengkap atau tidak
memadai sehingga perawat tidak siap menangani cardiac arrest
(Aminuddin, 2013).
Berdasarkan data dari rekam medik di RSUD Karanganyar selama
bulan Januari sampai Oktober 2014 jenis pelayanan emergency yang paling
sering dilakukan di IGD adalah penanganan pasien serangan jantung atau
payah jantung, terdapat 127 pasien mengalami cardiac arrest dan yang
meninggal dunia sebanyak 34 pasien. Ini membuktikan masih tingginya
angka kematian dan pentingnya tindakan penanganan cardiac arrest oleh
4
semua perawat. Hasil observasi peneliti dari data perawat di Instalasi Gawat
Darurat berjumlah 17 perawat dengan 3 perawat pernah mengikuti pelatihan
PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat) atau BTCLS (Basic Training
Cardiac Life Support).
Hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan 3 perawat pada tanggal
30 Desember 2014, semua perawat tersebut sudah pernah melakukan
penanganan cardiac arrest dengan pertolongan cardio pulmonary
resuscitation (CPR). Satu perawat mengatakan bahwa pasien cardiac arrest
diberikan tindakan resusitasi dengan 30 kali kompresi dada dan 2 kali
ventilasi sebanyak 5 kali siklus dengan kesulitan tindakan yaitu keterbatasan
tempat penuh sehingga kekurangan tenaga kesehatan dan fasilitas. Satu
perawat lagi mengatakan bahwa yang pertama dilakukan adalah
membebaskan jalan napas dan mengalirkan darah ke tempat yang penting
dalam tubuh, sehingga pasokan oksigen ke otak terjaga untuk mencegah
terjadinya kematian sel otak, walaupun usaha untuk melakukan resusitasi
tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak
dilakukannya resusitasi dengan tepat dan cepat. Perawat terakhir
mengatakan melakukan perekaman EKG untuk mengetahui kelainan jantung
sebelum mengetahui pasien cardiac arrest dan melakukan resusitasi.
Berdasarkan data tersebut diatas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Pengalaman Perawat Dalam Penanganan Cardiac Arrest
di RSUD Karanganyar”.
5
1.2 Rumusan Masalah
Pasien yang mengalami cardiac arrest dapat dipulihkan jika ditangani
segera dengan cardiopulmonary resusitation dan defibrilasi. Tindakan
tersebut dapat mengembalikan fungsi jantung kembali normal. Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengalaman perawat dalam
penanganan cardiac arrest di RSUD Karanganyar.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pengalaman perawat dalam penanganan cardiac
arrest di RSUD Karanganyar.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mendeskripsikan pengetahuan perawat tentang penanganan
cardiac arrest.
2. Mendeskripsikan tindakan perawat dalam penanganan cardiac
arrest.
3. Mengidentifikasi faktor pendukung perawat dalam penanganan
cardiac arrest.
4. Mengidentifikasi faktor penghambat perawat dalam penanganan
cardiac arrest.
6
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Rumah Sakit Karanganyar
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
bagi Rumah Sakit Karanganyar untuk menentukan langkah–langkah
dalam peningkatan pengetahuan dan kompetensi tentang penanganan
cardiac arrest sehingga pihak managemen Rumah Sakit diharapkan
meningkatkan ketrampilan perawat melalui pelatihan dalam
penanganan cardiac arrest dan diharapkan pelayanan kepada pasien
gawat darurat meningkat.
1.4.2 Institusi Pendidikan
Memperkaya literatur ilmu keperawatan dibidang
kegawatdaruratan kardiovaskuler sebagai penunjang dalam proses
belajar mengajar atau praktik gawat darurat.
1.4.3 Peneliti Lain
Peneliti lain dapat menambah pengetahuan tentang penanganan
cardiac arrest dan menjadikan hasil penelitian ini untuk referensi atau
acuan peneliti lainya dengan metode yang berbeda dan meneliti faktor
lain seperti peraturan atau protokol yang jelas, sarana dan suplai yang
cukup yang berhubungan dengan penanganan cardiac arrest.
1.4.4 Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan peneliti
tentang pengalaman perawat dalam penanganan cardiac arrest,
sehingga peneliti lebih memahami tentang cardiac arrest.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Tinjauan Teori
2.2.1 Cardiac Arrest
1. Definisi
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara
tiba-tiba dan mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang
memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak.
Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan
sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart
Association, 2010).
Cardiac arrest adalah semua keadaan yang
memperlihatkan penghentian mendadak fungsi pemompaan
jantung, yang mungkin masih reversible jika dilakukan
intervensi dengan segera tetapi dapat menimbulkan kematian
jika tidak dilakukan intervensi. Kecenderungan keberhasilan
intervensi berhubungan dengan mekanisme terjadinya cardiac
arrest dan kondisi klinis pasien (Parnia, 2012).
8
2. Etiologi Cardiac Arrest
Penyebab cardiac arrest adalah serangan jantung atau
infark miokard (aritmia jantung, khususnya fibrilasi ventrikel
dan ventrikel tachycardia tanpa nadi) terjadi akibat arteri
koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi
keras dan menyempit akibat sebuah material (plak) yang
terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat ukuran
plak semakin buruk sirkulasi ke jantung dan otot-otot jantung
tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk
melakukan fungsinya, sehingga dapat terjadi infark, beberapa
jaringan jantung mati dan menjadi jaringan parut. Jaringan parut
ini dapat menghambat sistem konduksi langsung dari jantung,
meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.
Sumbatan jalan napas oleh benda asing, tenggelam,
stroke atau CVA, overdosis obat-obatan (antidepresan trisiklik,
fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker, kokain,
digoxin, aspirin, asetominophen) dapat menyebabkan aritmia.
Tercekik, trauma inhalasi, tersengat listrik, reaksi alergi yang
hebat (anafilaksis), trauma hebat misalnya kecelakaan
kendaraan bermotor dan keracunan (Suharsono, T., & Ningsih,
D. K., 2012).
9
3. Manifestasi klinis cardiac arrest
Gejala yang paling umum adalah munculnya rasa tidak
nyaman atau nyeri dada yang mempunyai karakteristik seperti
perasaan tertindih yang tidak nyaman, diremas, berat, sesak atau
nyeri. Lokasinya ditengah dada di belakang sternum. Menyebar
ke bahu, leher, rahang bawah atau kedua lengan dan jarang
menjalar ke perut bagian atas. Bertahan selama lebih dari 20
menit. Gejala yang mungkin ada atau mengikuti adalah
berkeringat, nausea atau mual, sesak nafas (nafas pendek-
pendek), kelemahan, tidak sadar (Suharsono & Ningsih, 2012).
4. Patofisiologi cardiac arrest
Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh
timbulnya aritmia yaitu fibrilasi ventrikel (VF), takhikardi
ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi (PEA), dan asistol
(Kasron, 2012).
a. Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering
menimbulkan kematian mendadak, pada keadaan ini
jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung
hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang
harus segera dilakukan adalah CPR dan DC shock atau
defibrilasi.
10
b. Takhikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinya takhikardi
ventrikel biasanya karena adanya gangguan otomatisasi
(pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya gangguan
konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan
fase pengisian ventrikel kiri akan memendek, akibatnya
pengisian darah ke ventrikel juga berkurang sehingga curah
jantung akan menurun. VT dengan keadaan hemodinamik
stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih
diutamakan. Pada kasus VT dengan gangguan
hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi),
pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC
shock dan CPR adalah pilihan utama.
c. Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung
tidak menghasilkan kontraktilitas atau menghasilkan
kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga tekanan darah
tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba.
d. Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya
aktifitas listrik pada jantung, dan pada monitor irama yang
terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini
tindakan yang harus segera diambil adalah CPR.
11
Gambar 2.1 Algoritma penatalaksanaan henti jantung pada arithmia
Sumber : (American Heart Association, 2010)
1. Henti Jantung Tanpa Nadi
a. BLS algoritma: meminta bantuan, lakukan CPR.
b. Beri oksigen bila tersedia.
c. Pasang monitor jantung.
2. VF/VT 3. Periksa irama jantung, perlu defibrilasi?
4. Beri 1 kali shock
a. Manual biphasic:
ukuran khusus (120-200 J)
b. AED : dng ukuran khusus.
c. Monophasic: 360 J
Lakukan CPR segera
7. Periksa irama jantung, perlu
defibrilasi?
5. Periksa irama jantung, perlu defibrilasi?
9. Asistol/PEA
11. Periksa irama jantung,
perlu defibrilasi?
10. Lakukan CPR segera
sebanyak 5 siklus. Ketika
telah tersedia IV/IO, beri
vasopresor. Epinephrine 1 mg
IV/IO, ulangi setiap 3-5 menit
atau beri 1 dosis vasopresin 40
unit IV/IO untuk
menggantikan epinephrine
dosis pertama dan kedua.
Atropin 1 mg IV/IO untuk
asistol atau PEA dng frekuensi
lambat, ulangi tiap 3-5 menit
(sampai 3 dosis)
8. Lanjutkan CPR , lakukan defibrilasi 1X. Segera
mulai lagi CPR setelah pamberian defibrilasi.
Berikan bersamaan dng CPR (sebelum/sesudah
defibrilasi) amiodrone 300mg IV/IO, kemudian
siapkan kemungkinan tambahan 150 mg, atau
lidocain 1-1,5 mg/kg BB dosis pertama, kemudian
0,5-0,75 mg/kg (max 3)
6. Lanjutkan pemberian CPR sementara
defibrillator di-charge kemudian berikan 1 kali
shock.
Segera mulai lagi CPR Setelah pemberian
defibrilasi.
Ketika IV/IO tersedia, berikan vasopresor dan
lanjutkan CPR (sebelum/sesudah defibrilasi)
a. Epinephrine 1 mg IV/IO : Ulangi setiap 3-5
menit.
b. Mungkin bisa diberikan 1 dosis vasopresin
40 unit IV/IO untuk menggantikan dosis
pertama dan kedua dari epinephrine.
12.
a. Jika asistol kembali ke
box10.
b. Jika ada aktifitas
kelistrikan, periksa nadi,
jika tidak ada nadi,
kembali ke box 1.
c. Jika nadi teraba,
lanjutkan ke perawatan
post resusitasi.
13.
Kembali
ke box 4
12
5. Prognosis
Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi
hanya dalam jangka waktu 8 sampai 10 menit dari seseorang
tersebut mengalami henti jantung. Kondisi tersebut dapat
dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru dan
defibrilasi segera (sebelum melebihi batas maksimal waktu
untuk terjadinya kerusakan otak), untuk secepat mungkin
mengembalikan fungsi jantung normal. Resusitasi jantung paru
dan defibrilasi yang diberikan antara 5 sampai 7 menit dari
korban mengalami henti jantung, akan memberikan kesempatan
korban untuk hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan defibrillator
yang mudah diakses di tempat-tempat umum seperti pelabuhan
udara, dalam arti meningkatkan kemampuan untuk bisa
memberikan pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin, akan
meningkatkan kesempatan hidup rata-rata bagi korban cardiac
arrest sebesar 64% (American Heart Assosiacion, 2010).
6. Resusitasi Jantung Paru / Cardio Pulmonary Resusitation.
a. Pengertian
Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan suatu
metode untuk memberikan bantuan sirkulasi. Resusitasi
Jantung Paru (RJP) dapat meningkatkan angka kelangsungan
hidup korban yang mengalami henti jantung dengan
13
mengkombinasikan antara kompresi dada dan nafas buatan
untuk memberikan oksigen yang diperlukan bagi
kelangsungan fungsi sel tubuh (Suharsono, T., & Ningsih,
D. K., 2012).
Resusitasi juga dapat diartikan sebagai suatu upaya
untuk menghidupkan kembali, melalui usaha untuk
mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi
kematian biologis (Cadogan, 2010).
b. Prosedur Cardio Pulmonary Resusitation
Pada penanganan korban cardiac arrest dikenal
istilah rantai untuk bertahan hidup (chain of survival) : cara
untuk menggambarkan penanganan ideal yang harus
diberikan ketika ada kejadian cardiac arrest. Jika salah satu
dari rangkaian ini terputus, maka kesempatan korban untuk
bertahan hidup menjadi berkurang, sebaliknya jika
rangkaian ini kuat maka korban mempunyai kesempatan
besar untuk bisa bertahan hidup.
Rantai kehidupan (chain survival) terdiri dari
beberapa tahap berikut ini (AHA, 2010):
1) Mengenali tanda-tanda cardiac arrest dan segera
mengaktifkan panggilan gawat darurat (Emergency
Medical Services).
14
2) Segera melakukan RJP dengan tindakan utama
kompresi dada.
3) Segera melakukan defibrilasi jika diindikasikan.
4) Segera memberi bantuan hidup lanjutan (advanced life
support).
5) Melakukan perawatan post cardiac arrest .
Prosedur CPR menurut American Heart Association
2010 adalah terdiri dari circulation, airway dan breathing :
1) Memastikan kondisi lingkungan sekitar aman bagi
penolong.
2) Memastikan kondisi kesadaran pasien.
Penolong harus segera mengkaji dan menentukan
apakah korban sadar/ tidak. Penolong harus menepuk
atau menggoyang bahu korban sambil bertanya dengan
jelas: ‘Hallo, Pak/ Bu! Apakah anda baik-baik saja?’.
Jangan menggoyang korban dengan kasar karena dapat
mengakibatkan cedera. Juga hindari gerakan leher yang
tidak perlu pada kejadian cedera kepala dan leher.
3) Mengaktifkan panggilan gawat darurat (Emergency
Medical Services)
Jika korban tidak berespon, segera panggil bantuan dan
segera menghubungi 118 untuk memanggil ambulans.
Jika ada orang lain disekitar korban, minta orang
15
tersebut untuk menelpon ambulans dan ketika menelpon
memberitahukan hal-hal berikut: lokasi korban nomor
telpon yang anda pakai, apa yang terjadi pada korban,
jumlah korban, minta ambulans segera datang dan tutup
telepon hanya jika diminta oleh petugas.
4) Memastikan posisi pasien tepat
Agar resusitasi yang diberikan efektif maka korban
harus berbaring pada permukaan yang datar, keras, dan
stabil. Jika korban dalam posisi tengkurap atau
menyamping, maka balikkan tubuhnya agar terlentang.
Pastikan leher dan kepala tersangga dengan baik dan
bergerak bersamaan selam membalik pasien.
Fase-fase Resusitasi Jantung Paru sesuai Algoritma
AHA (2010) adalah :
1) Fase I: Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support)
a) C (Circulation)
Mengkaji nadi/ tanda sirkulasi: Ada tidaknya
denyut jantung korban/pasien dapat ditentukan
dengan meraba arteri karotis di daerah leher korban/
pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari
telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba
pertengahan leher sehingga teraba trakhea,
kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan
16
atau kiri kira-kira 1–2 cm raba dengan lembut
selama 5–10 detik. Jika teraba denyutan nadi,
penolong harus kembali memeriksa pernapasan
korban dengan melakukan manuver tengadah kepala
topang dagu untuk menilai pernapasan korban/
pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan
pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan
napas.
Melakukan kompresi dada: Jika telah dipastikan
tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat
diberikan bantuan sirkulasi atau kompresi jantung
luar, dilakukan dengan teknik sebagai berikut :
(1) Menentukan titik kompresi (center of chest):
Cari possesus xypoideus pada sternum dengan
tangan kanan, letakkan telapak tangan kiri tepat
2 jari diatas posseus xypoideus.
(2) Melakukan kompresi dada: Kaitkan kedua jari
tangan pada lokasi kompresi dada, luruskan
kedua siku dan pastikan mereka terkunci pada
posisinya, posisikan bahu tegak lurus diatas
dada korban dan gunakan berat badan anda
untuk menekan dada korban sedalam minimal 2
inchi (5 cm), lakukan kompresi 30x dengan
17
kecepatan minimal 100x/menit atau sekitar 18
detik. (1 siklus terdiri dari 30 kompresi: 2
ventilasi). Lanjutkan sampai 5 siklus CPR,
kemudian periksa nadi carotis, bila nadi belum
ada lanjutkan CPR 5 siklus lagi. Bila nadi
teraba, lihat pernafasan (bila belum ada upaya
nafas) lakukan rescue breathing dan cek nadi
tiap 2 menit.
b) A (Airway)
Tindakan ini bertujuan mengetahui ada
tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda asing.
Buka jalan nafas dengan head tilt-chin lift/ jaw
thrust.
Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan
dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat
dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah
yang dilapisi dengan sepotong kain (fingers sweep),
sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek
dengan menggunakan jari telunjuk yang
dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan teknik
Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan
berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.
18
c) B (Breathing)
Bantuan napas dapat dilakukan melalui
mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke
stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan)
dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak
2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap
kali hembusan adalah 1,5–2 detik dan volume udara
yang dihembuskan adalah 7000–1000ml (10ml/kg)
atau sampai dada korban/pasien terlihat
mengembang. Konsentrasi oksigen yang dapat
diberikan hanya 16 – 17%. Penolong juga harus
memperhatikan respon dari pasien setelah diberikan
bantuan napas.
Cara memberikan bantuan pernapasan:
(1) Mulut ke mulut: penolong harus mengambil
napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong
harus dapat menutup seluruhnya mulut korban
dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat
menghembuskan napas dan juga penolong harus
menutup lubang hidung pasien dengan ibu jari
dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar
kembali dari hidung. Volume udara yang
diberikan pada kebanyakkan orang dewasa
19
adalah 700–1000ml (10ml/kg). Volume udara
yang berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu
cepat dapat menyebabkan udara memasuki
lambung, sehingga terjadi distensi lambung.
Setelah nafas dan nadi korban ada, jika tidak
ada kontraindikasi untuk mencegah kemungkinan
jalan nafas tersumbat oleh lidah, lender, atau
muntah berikan posisi recovery pada korban dengan
langkah sebagai berikut (Suharsono, T., & Ningsih,
D. K., 2012):
(1) Letakkan tangan korban yang dekat dengan anda
dalam posisi lengan lurus dan telapak tangan
menghadap keatas kearah paha korban.
(2) Letakkan lengan yang jauh dari anda menyilang
diatas dada korban dan letakkan punggung
tangannya menyentuh pipinya.
(3) Dengan menggunakan tangan anda yang lain,
tekuk lutut korban yang jauh dari anda sampai
membentuk sudut 90˚.
(4) Gulingkan korban kearah penolong.
(5) Lanjutkan untuk memonitor denyut nadi korban,
‘tanda sirkulasi’, dan pernafasan tiap 2 menit
hingga bantuan datang.
20
2) Fase II: Tunjangan Hidup Lanjutan (Advance Life
Support)
Fase kedua merupakan fase yang dilakukan setelah
tunjangan hidup dasar (basic life support) berhasil
diberikan. Fase ini terdiri dari:
a) D (Drug): pemberian obat-obatan termasuk cairan
untuk memperbaiki kondisi korban atau pasien.
b) E (ECG) : melakukan pemeriksaan diagnosis
elektrokardiografis secepat mungkin untuk
mengetahui fibrilasi ventrikel.
3) Fase III: Tunjangan Hidup Terus-Menerus (Prolonged
Life Support)
a) G (Gauge): pengukuran dan pemeriksaan untuk
monitoring penderita secara terus menerus, dinilai,
dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
b) H (Head): tindakan resusitasi untuk menyelamatkan
otak dan sistem saraf dari kerusakan lebih lanjut
akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat
dicegah terjadinya gangguan neurologic yang
permanen.
c) I (Intensive Care): perawatan intensif di ICU,
meliputi: tunjangan ventilasi (trakheostomi),
pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung.
21
c. Obat Emergency atau Resusitasi
1) Menurut Philladelpia (2010) prinsip obat emergency
adalah :
a) Koreksi hipoksia.
b) Mempertahankan sirkulasi spontan pada kondisi
tekanan darah yang adekuat.
c) Membantu mengoptimalkan fungsi jantung.
d) Menghilangkan nyeri.
e) Koreksi asidosis.
f) Mengatasi gagal jantung kongestif.
2) Obat-obat resusitasi jantung paru dan obat-obat
perbaikan sirkulasi.
a) Oksigen.
b) Meningkatkan tekanan darah : epinefrin atau
adrenalin, vasopressin, dopamine.
c) Meningkatkan denyut jantung atau nadi (heart rate) :
atropin.
d) Menurunkan atau mengatasi aritmia supraventrikel :
adenosine, dilteazem, amiodaron.
e) Obat-obatan untuk IMA : morfin, aspirin,
fibrinolitik.
22
2.2.2 Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Menurut Notoatmojo yang dikutip oleh (Wawan & Dewi,
2011), pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi
setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Pengetahuan sangat erat hubunganya dengan
pendidikan, dimana bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka
orang tersebut akan semakin luas pola pengetahuanya (Wawan
& Dewi, 2011). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(ovent behavior) (Wawan & Dewi, 2011).
2. Tingkat Pengetahuan
Ada 6 tingkat pengetahuan seseorang menurut Notoatmojo
(2003), yaitu:
a. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang
telah dipelajari sebelumnya.
b. Memahami (Comprehention) diartikan sebagai suatu
kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Application) diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau
kondisi sebenarya.
23
d. Analisis (Analysis) adalah suatu kemampuan untuk
menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-
komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi
tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesa (Syntesis) adalah suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menggabungkan bagianbagian dalam suatu
bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (Evaluation) berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi
atau objek tertentu.
3. Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan
perawat
Mubarak & Chayatin (2009) menyatakan faktor – faktor
yang berpengaruh terhadap pengetahuan meliputi tingkat
pengetahuan perawat diantaranya :
a. Usia
Pada umumnya semakin dewasa seseorang, tingkat
pengetahuan CPR akan semakin meningkat.
b. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan menentukan mudah tidaknya
seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang
mereka peroleh sehingga akan semakin mudah dalam
menerima informasi.
24
c. Pengalaman kerja (lama kerja)
Pengalaman merupkan sumber pengetahuan, hasil
interaksi dengan lingkungan (kerja) yang dapat
meningkatkan pengetahuan pada sesuatu.
d. Pelatihan kegawat daruratan yang pernah diikuti
Pendidikan dan pelatihan dapat mempengaruhi
pengetahuan seseorang, sehingga seseorang dapat
melakukan sesuatu dengan lebih cepat dalam melakukan
cardio pulmonary resuscitation.
e. Informasi
Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah
tetapi jika ia mendapat informasi yang baik dari berbagai
media maka hal itu akan meningkatkan pengetahuan.
2.2.3 Pengalaman
1. Pengertian Pengalaman
Menurut kamus besar bahasa indonesia (2010)
pengalaman diartikan sebagai sesuatu yang pernah (dijalani,
dirasai, ditanggung). Menurut Notoatmodjo (2010) pengalaman
merupakan guru yang baik, yang menjadi sumber pengetahuan
dan juga merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan. Pengalaman dapat diartikan juga sebagai memori
episodik, yaitu memori yang menerima dan menyimpan
25
peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dialami individu pada
waktu dan tempat tertentu, yang berfungsi sebagai referensi
otobiografi (Syah, 2008).
2. Indikator dari Pengalaman
Indikator pengalaman kerja menurut Foster 2001
dalam Mulyawati (2008) yaitu lama waktu atau masa kerja,
tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki,
pengetahuan merujuk pada konsep, prinsip, prosedur, kebijakan
atau informasi lain yang dibutuhkan oleh karyawan, penguasaan
terhadap pekerjaan dan peralatan.
Ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah
ditempuh seseorang dapat memahami tugas – tugas suatu
pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik. Pengetahuan
juga mencakup kemampuan untuk memahami dan menerapkan
informasi pada tanggung jawab pekerjaan. Sedangkan
keterampilan merujuk pada kemampuan fisik yang dibutuhkan
untuk mencapai atau menjalankan suatu tugas atau pekerjaan.
Tingkat penguasaan seseorang dalam pelaksanaan aspek-aspek
teknik peralatan dan teknik pekerjaan (Efendi & Makhfudli,
2009).
Perawat dituntut untuk memiliki kompetensi dalam
menangani korban yang membutuhkan bantuan hidup dasar.
Salah satu upaya dalam peningkatan kompetensi tersebut
26
dilakukan melalui pelatihan bantuan hidup dasar, pelatihan ini
merupakan pelatihan dasar bagi perawat dalam menangani
korban yang memerlukan bantuan hidup dasar akibat trauma dan
gangguan kardiovaskuler. Penanganan masalah tersebut
ditujukan untuk memberikan bantuan hidup dasar sehingga
dapat menyelamatkan nyawa dan meminimalisir kerusakan
organ serta kecacatan penderita (Yanti Bala, 2014).
2.2.4 Perilaku
1. Pengertian Perilaku
Perilaku adalah aksi seseorang individu terhadap reaksi
rangsangan tertentu dari hubungannya dengan lingkungan
(Suryani dalam Susilo, 2011). Perilaku adalah suatu perbuatan
atau tindakan seseorang terhadap suatu respon dan dijadikan
kebiasaan karena adanya nilai yang diyakin (Mubarak, 2012).
Dari kedua definisi perilaku tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa perilaku adalah suatu respon yang didapat dari
lingkungan dan menjadi kebiasaan seseorang, baik dapat diamati
secara sadar maupun tidak sadar, sehingga respon yang didapat
dari seseorang dalam berperilaku bermacam-macam.
2. Pengukuran Perilaku
Cara mengukur perilaku ada 2 cara (Notoatmodjo, 2010)
yaitu perilaku dapat diukur secara langsung yakni wawancara
27
terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam,
hari, bulan yang lalu (recall) dan perilaku yang diukur secara
tidak langsung yakni, dengan mengobservasi tindakan atau
kegiatan responden.
Benyamin Bloom (1908) yang dikutip Notoatmodjo
(2010), membagi perilaku manusia ke dalam 3 domain ranah
atau kawasan yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective) dan
psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori ini
dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan
yakni pengetahuan, sikap dan praktik atau tindakan
(Notoatmodjo, 2010).
3. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Faktor yang dapat mempengaruhi perilaku adalah faktor
predisposisi, faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor
penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi merupakan
faktor yang mempermudah perilaku seseorang atau masyarakat
yaitu pengetahuan dan sikap seseorang terhadap apa yang akan
dilakukan. Faktor pemungkin (enabling factors) terdiri dari
faktor fasilitas, sarana atau prasarana yang memfasilitasi
terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Faktor penguat
(reinforcing factors) adalah tokoh masyarakat, peraturan,
undang-undang dan surat keputusan pejabat pemerintah maupun
28
faktor penguat dalam seseorang atau masyarakat untuk
berperilaku (Notoadmojo, 2010).
4. Teori Terjadinya Perilaku
Perilaku manusia tidak dapat lepas dari keadaan individu
itu sendiri dan lingkungan dimana individu itu berada. Perilaku
manusia didorong oleh motif tertentu sehingga manusia
berperilaku (Ircham, 2005) dalam Hasanah (2010).
5. Bentuk Perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu
respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan
(stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon ini berbentuk dua
macam (Suryani dalam Susilo 2011) yakni :
a. Bentuk Pasif
Respons internal yaitu yang terjadi di dalam diri
manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang
lain, misalnya berpikir, tanggapan atau sikap batin dan
pengetahuan.
b. Bentuk Aktif
Perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung,
oleh karena perilaku mereka ini sudah tampak dalam
bentuk tindakan nyata disebut overt behavior.
29
6. Klasifikasi Perilaku
Beberapa klasifikasi perilaku menurut beberapa ahli,
antara lain:
a. Berdasarkan teori “S-O-R” dalam Notoatmodjo (2010)
maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi 2,
yaitu:
1) Perilaku Tertutup (Covert behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap
stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain
(dari luar) secara jelas. Respons tersebut masih terbatas
dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi,
pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang
bersangkutan.
2) Perilaku terbuka (Overt Behavior)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap
stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik
tersebut dapat diamati orang lain.
2.2.5 Konsep Kesiapan
1. Pengertian
Kesiapan adalah keseluruhan kondisi seseorang yang
membuatnya siap untuk memberi respon atau jawaban dengan
cara tertentu terhadap suatu situasi. Penyesuaian kondisi pada
30
suatu saat akan berpengaruh atau kecenderungan untuk memberi
respon (Slameto, 2008). Seorang ahli bernama Cronbach
memberikan pengertian tentang kesiapan sebagai segenap sifat
atau kekuatan yang membuat seseorang dapat bereaksi dengan
cara tertentu. Kemampuan seseorang dalam kesiapan terdiri
dari: mempunyai kemampuan dasar umum dan kemampuan
untuk menangani hal -hal yang bersifat khusus, memberikan
perawatan yang aman kepada klien, mampu menghadapi atau
bertahan dengan kenyataan sekarang dan kemungkinan-
kemungkinan kedepan, serta mempunyai keseimbangan antara
pelaksanaan, pengetahuan dan berpikir.
Perawat dituntut tidak hanya siap dalam kondisi stabil
dan sesuatu yang sudah biasa saja, tetapi juga dalam hal-hal
bersifat khusus yang memerlukan konsentrasi tinggi dan
keadaan yang sedang berubah dan baru. Pemberian perawatan
yang aman kepada klien merupakan suatu komponen yang
penting dari praktek keperawatan. Seorang perawat yang
dikatakan siap mempunyai alasan yang menyakinkan kenapa dia
memutuskan untuk melakukan suatu tindakan keperawatan dan
mendemonstrasikan kemampuan untuk melaksanakan praktek
keperawatan sesuai dengan etika, penuh kehatihatian, dan aman
(Yanti Bala, 2014).
31
Perawat harus bisa menunjukkan bahwa mereka mampu
bekerja (berfungsi) dengan realitas yang ada sekarang, dengan
segala keterbatasannya, dan mereka juga harus bisa beradaptasi
terhadap suatu yang baru dan perubahan-perubahan yang terjadi
dalam dunia kesehatan. Perawat mempunyai dasar pengetahuan
yang baik untuk mengenali situasi yang sedang terjadi dan
mampu memutuskan kapan mereka memerlukan bantuan jika
dibutuhkan. Critical Thinking yaitu kemampuan untuk membuat
keputusan yang pasti dan hati-hati tentang kondisi klien, adalah
komponen kunci dari kesiapan. Pelaksanaan tindakan
keperawatan harus didasari dengan kemampuan untuk berpikir
kritis berdasarkan pengetahuan yang cukup dari perawat
(Wolff.dkk, 2010).
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Perawat dalam
Menangani Cardiac Arrest.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan perawat
dalam menangani cardiac arrest adalah pengetahuan,
pengalaman dan pelatihan atau training. Pengetahuan sangat
berhubungan erat dengan kesiapan. Sebagai contoh dalam
kondisi seseorang menghadapi pasien cardiac arrest, agar
seseorang tersebut mampu mengambil keputusan terhadap apa
yang akan dilakukan, maka dia harus mempunyai pengetahuan
tentang cardiac arrest, yaitu pada tingkat evaluasi yang
32
merupakan tingkatan tertinggi dari pengetahuan. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Notoadmodjo (1993): evaluasi yang
merupakan tingkatan tertinggi dari pengetahuan, adalah
kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap
suatu meteri atau objek, penilaian itu berdasarkan suatu kriteria
yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah
ada. Kemampuan untuk menilai, kemampuan untuk berfikir
kritis dan mengambil keputusan terhadap tindakan sesuai
dengan kondisi klien itulah yang disebut kesiapan (Wolff.dkk,
2010).
Pengalaman merupakan faktor penting yang
mempengaruhi kesiapan seseorang, dalam arti akan lebih
meningkatkan kemampuan seseorang dalam menangani sesuatu
(Simanjutak, Payama J. ,2005). Semakin luas pengalaman kerja
seseorang, semakin terampil melakukan pekerjaan dan semakin
sempurna pola berpikir dan sikap dalam bertindak untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Puspaningsih, A. 2004).
Dengan kata lain bahwa seorang yang berpengalaman akan lebih
siap bila dihadapkan pada suatu beban masalah yang sama.
Faktor lain yang mempengaruhi kesiapan adalah training.
Training yang mempunyai pengertian proses pendidikan jangka
pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis
dan terorganisir, menurut Sikula dalam (Sumantri, 2010),
33
bertujuan untuk mengubah perilaku kerja sekelompok pegawai
dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi (Ivancevich,
2008). Pelatihan yang efektif merupakan pelatihan yang
berorientasi proses, dimana organisasi tersebut dapat
melaksanakan program-program yang sistematis untuk
mencapai tujuan dan hasil yang dicita-citakan. Pelatihan efektif
apabila pelatihan tersebut dapat menghasilkan sumber daya
manusia yang meningkat kemampuannya, keterampilan dan
perubahan sikap yang lebih mandiri.
Simamora (2007), mengukur keefektifan pendidikan dan
pelatihan adalah bagaimana reaksi-reaksi atau perasaan
partisipan terhadap program, peningkatan pengetahuan,
keahlian, dan sikap-sikap yang diperoleh sebagai hasil dari
pelatihan, perilaku perubahan-perubahan yang terjadi pada
pekerjaan sebagai akibat dari pelatihan, hasil-hasil dampak
pelatihan pada keseluruhan yaitu efektivitas organisasi atau
pencapaian pada tujuan-tujuan organisasional, perawat yang
telah mendapatkan pelatihan penanganan cardiac arrest
diharapkan mendapatkan peningkatan pengetahuan, mempunyai
keahlian yang lebih meningkat seperti yang diajarkan dalam
pelatihan, dan menunjukkan adanya perubahan sikap yang lebih
siap bila sewaktu-waktu ada kejadian cardiac arrest di tempat
kerjanya.
34
2.2 Kerangka Teori
Gambar 2.2
Kerangka Teori
Sumber : (Wolff.dkk, 2010), (Notoadmojo, 2010).
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
kesiapan perawat
dalam menangani
kondisi kegawatan
(cardiac arrest) :
1. Pengetahuan
penanganan
cardiac arrest.
2. Pengalaman
menangani
cardiac arrest.
3. Pelatihan atau
training.
Kesiapan
Perawat
dalam
menangani
cardiac
arrest
Dimensi kesiapan :
1. Kemampuan menilai situasi
2. Critical thinking, decision making yang tepat.
3. Pemberian asuhan keperawatan dengan
memperhatikan aspek keamanan dan perlindungan.
4. Komunikasi efektif.
Penanganan
cardiac
arrest
Faktor yang
mempengaruhi
perilaku :
1. Faktor
predisposisi.
2. Faktor
pemungkin
(enabling
factors).
3. Faktor penguat
(reinforcing
factors).
Perilaku Pengetahuan
Faktor yang
mempengaruhi
perilaku :
1. Faktor
predisposisi.
2. Faktor
pemungkin
(enabling
factors).
3. Faktor penguat
(reinforcing
factors).
35
2.3 Fokus Penelitian
Gambar 2.3
Fokus Penelitian
Pengalaman
Perawat
Faktor Penghambat
Penanganan
Cardiac Arrest
Pengetahuan
Perawat
Faktor Pendukung
36
2.4 Keaslian Penelitian
Tabel 2.1
Keaslian Penelitian
Nama /
Tahun
Judul
Penelitian
Metode Hasil
Aminuddin
(2013)
Analisis
faktor yang
berhubung
an dengan
kesiapan
perawat
dalam
menangani
cardiac
arrest di
ruangan
ICCU dan
ICU RSU
Anutapura
Palu
Jenis penelitian ini
adalah penelitian
analitik cros
sectional dengan
pengambilan sampel
total sampling
menggunakan
kuesioner dan
ceklist.
Uji statistic
menggunakan chi-
square.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada
hubungan bermakna
antara pengetahuan
dengan kesiapan perawat
dalam menangani cardiac
arrest (p = 0,001), tidak
ada hubungan bermakna
antara fasilitas dengan
kesiapan perawat dalam
menangani cardiac arrest
(p = 0,301), ada hubungan
bermakna pelatihan
dengan kesiapan perawat
dalam menangani cardiac
arrest (p = 0,025).
Pengetahuan dan pelatihan
berhubungan dengan
kesiapan perawat dalam
menangani cardiac arrest.
Fasilitas tidak
berhubungan dengan
kesiapan perawat dalam
37
k
k
k
k
k
k
menagani cardiac arrest.
Diharapkan kepada
peneliti lain dapat
mengembangkan
penelitian ini dengan
variabel yang lain.
Ifa Roifah
(2014)
Metode
cardio
pulmonary
resuscitati
on untuk
meningkat
kan
survival
rates
pasien post
cardiac
arrest.
Desain penelitian ini
adalah analitik
dengan
menggunakan
pendekatan case-
control atau
retrospektive study
yang kemudian
dianalisis
menggunakan
statistik deskriptif
yaitu tabel distribusi
frekuensi dan nilai
mean.
Hasil ini membuktikan
bahwa semakin
seseoarang diberikan
jumlah siklus yang sesuai
dengan prosedur (5 siklus)
maka waktu ketahanan
hidupnya akan lebih lama
dibandingkan dengan
yang tidak diberikan,
sehingga dengan demikian
terdapat pengaruh
pemberian CPR terhadap
survival rates pasien
cardiac arrest.
38
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif dilakukan karena peneliti ingin mengeksplor fenomena-fenomena
yang tidak dapat dikuantifikasikan yang bersifat deskriptif seperti proses suatu
langkah kerja, formula suatu resep, pengertian-pengertian tentang suatu
konsep yang beragam, karakteristik suatu barang dan jasa, gambar-gambar,
gaya-gaya, tata cara suatu budaya, model fisik suatu artifak dan lain
sebagainya (Satori & Komariah, 2013).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
fenomenologis, menurut Rieman dalam Santana (2007) penelitian
fenomenologi bertujuan untuk menyajikan persepsi berbagai orang yang
menjadi informan di dalam sebuah masalah, melihat bagaimana pengalaman
mereka, kehidupan dan tampilan fenomenanya, serta mencari pemaknaan dari
berbagai orang yang menjadi partisipan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman perawat tentang
penanganan cardiac arrest di RSUD Karanganyar. Bertujuan khusus untuk
mendeskripsikan pengetahuan perawat tentang penanganan cardiac arrest,
mendeskripsikan tindakan perawat dalam penanganan cardiac arrest,
mengidentifikasi faktor pendukung perawat dalam penanganan cardiac arrest,
39
mengidentifikasi faktor penghambat perawat dalam penanganan cardiac
arrest.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang instalasi gawat darurat (IGD)
RSUD Karanganyar.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 5 Februari sampai 21 April 2015.
3.3 Populasi dan Sampel
Satori & Komariah (2013) menyatakan bahwa populasi dalam penelitian
kualitatif lebih tepat disebut sebagai sumber data pada situasi sosial tertentu
yang menjadi subjek penelitiannya adalah benda, hal atau orang yang padanya
melekat data tentang objek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah 17
perawat Instalasi Gawat Darurat yang pernah menangani kasus cardiac arrest
di RSUD Karanganyar.
Sampel merupakan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh
populasi (Notoatmodjo, 2012). Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau
yang dapat dipergunakan sabagai subjek penelitian melalui sampling. Sampel
sebanyak 1 – 10 orang hingga tercapai saturasi (Afiyanti, 2014). Peneliti
mengambil partisipan perawat IGD yang pernah menangani kasus cardiac
arrest sebanyak 3 partisipan. Teknik pengambilan sampel dilakukan
40
menggunakan metode purposive sampling yaitu sampel yang dipilih
berorientasi pada tujuan penelitian individu diseleksi atau dipilih secara
sengaja karena memiliki pengalaman yang sesuai dengan fenomena yang
diteliti sampel ini menetapkan terlebih dahulu kriteria – kriteria inklusi yang
telah ditetapkan. Sedangkan sampling adalah proses menyeleksi porsi dari
populasi yang dapat mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2011).
Wawancara akan dihentikan oleh peneliti ketika semua jawaban dari
partisipan sudah mencapai saturasi. Saturasi adalah ketika semua jawaban
sudah dikatakan benar sama atau jenuh (Sutopo, 2006).
Kriteria inklusi adalah subjek penelitian yang memenuhi syarat sebagai
sampel atau persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh subjek agar dapat
diikutkan dalam penelitian (Sastroasmoro dan Ismael, 2007). Dalam penelitian
ini kriteria inklusi sendiri adalah:
1) Perawat berpendidikan minimal D III Keperawatan.
2) Perawat yang telah bekerja lebih dari 3 tahun di Instalasi Gawat Darurat.
3) Perawat yang memiliki sertifikat pelatihan BTCLS atau PPGD.
4) Perawat yang pernah melakukan penanganan cardiac arrest.
5) Bersedia menjadi partisipan.
41
3.4 Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data
3.4.1 Dalam penelitian ini menggunakan dua instrumen penelitian yaitu:
1. Instrumen Inti
Instrumen inti dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri.
Peneliti sebagai instrument inti berusaha untuk meningkatkan
kemampuan diri dalam melakukan wawancara. Usaha yang
dilakukan berlatih wawancara terlebih dahulu sebelum pengambilan
data kepada partisipan (Sugiyono, 2013).
Peneliti menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian,
sebagai perencana, pelaksana, pengumpulan data, analisis, penafsir
data, dan pengevaluasi hasil penelitian. Peneliti harus paham metode
penelitian, penguasaan teori wawancara terhadap bidang yang diteliti
dan peneliti siap untuk memasuki obyek penelitian, baik secara
akademik maupun logistiknya. Peneliti adalah seorang mahasiswi
dari program studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang ingin melakukan penelitian dan ingin mengeksplorasi
tentang pengalaman perawat dalam menangani kasus cardiac arrest
di RSUD Karanganyar.
2. Penunjang penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan tiga teknik yaitu:
a. Wawancara mendalam
Sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif
adalah berupa manusia yang dalam posisi sebagai partisipan.
42
Informasi dari sumber data ini dikumpulkan dengan teknik
wawancara, dalam penelitian kualitatif khususnya dilakukan
dalam bentuk yang disebut wawancara mendalam (in-depth
interviewing) yaitu wawancara yang dilakukan untuk
menemukan permasalahan secara lebih terbuka dimana partisipan
yang diwawancara diminta pendapat, ide-idenya, peneliti
mencatat apa yang dikemukakan oleh partisipan (Sugiyono,
2013). Wawancara akan dihentikan oleh peneliti ketika semua
jawaban dari partisipan jenuh (Sutopo, 2006). Wawancara
mendalam dalam penelitian ini menggunakan:
1. Lembar Informed Consent berfungsi sebagai bukti
persetujuan dari partisipan dalam penelitian yang dilakukan
oleh peneliti.
2. Pedoman wawancara yang berisi 12 pertanyaan tentang
penanganan cardiac arrest berfungsi untuk pedoman dalam
melakukan wawancara penelitian.
3. Voice Recorder dengan smartphone dengan kapasitas memori
1 Gb yang mampu merekam suara kurang lebih 60 menit
sebanyak dua kali perekaman untuk satu partisipannya
berfungsi untuk merekam suara semua percakapan yang
dilakukan peneliti dan partisipan. Wawancara di lakukan
sebanyak dua kali.
43
b. Observasi tersamar
Teknik observasi tersamar yaitu peneliti melakukan
observasi tanpa diketahui partisipan sehingga data yang
didapatkan lebih natural (Sugiyono, 2013). Teknik ini digunakan
untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa,
aktivitas, perilaku, tempat atau lokasi dan benda, serta rekaman
gambar. Observasi dalam penelitian menggunakan lembar
catatan lapangan yang berfungsi untuk catatan peneliti dalam
penelitian yang telah dilakukan.
Observasi dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak
langsung (Sutopo, 2006). Alasan peneliti melakukan observasi
adalah untuk menyajikan gambaran realitis perilaku atau
kejadian, untuk menjawab pertanyaan dan untuk evaluasi
melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu serta melakukan
umpan balik terhadap pengukuran tersebut (Sumantri, 2011).
Peneliti melakukan observasi terus terang atau tersamar yaitu
peneliti menyatakan terus terang kepada sumber data bahwa
peneliti sedang melakukan penelitian sehingga sumber
mengetahui sejak awal sampai akhir tentang aktivitas peneliti,
namun dalam suatu saat peneliti juga tidak berterus terang atau
tersamar dalam observasi untuk menghindari adanya suatu data
yang masih dirahasiakan (Sugiyono, 2013).
44
c. Dokumentasi
Studi dokumen adalah teknik pengumpulan data dengan
mempelajari catatan-catatan mengenai suatu data. Dokumen
tertulis merupakan sumber data yang memiliki posisi penting
dalam penelitian kualitatif (Sutopo, 2006). Sumber data dan
dokumen pada penelitian ini diperoleh dari buku dan jurnal yang
membahas mengenai penanganan cardiac arrest. Dari data
sumber tersebut kemudian di analisis sehingga dapat memperkuat
hasil penelitian peneliti. Dokumentasi penelitian ini
menggunakan :
1. Lembar data demografi mengenai kode, nomer partisipan,
usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pengalaman lama
kerja di Instalasi Gawat Darurat dan pelatihan yang pernah
diikuti.
2. Alat tulis berfungsi untuk menulis dan mencatat segala
sesuatu yang penting dalam penelitian.
3. Bukti penelitian mengenai inisial perawat, diagnosa medis,
tindakan dan tanda tangan partisipan.
4. Camera berfungsi untuk mendokumentasikan pembicaraan
antara peneliti dengan informan atau sumber data. Dengan
adanya foto ini, maka dapat meningkatkan keabsahan
penelitian akan lebih terjamin, karena peneliti betul-betul
melakukan pengumpulan data. Camera yang digunakan
45
adalah camera handphone 5 megapixel dengan kapasitas
memory 4 Gb.
3.4.2 Prosedur pengumpulan data
1. Tahap persiapan
Pengumpulan data dimulai setelah peneliti menyelesaikan
ujian proposal dan diperbolehkan melakukan pengambilan data di
lapangan. Peneliti mengurus surat ijin pengambilan data mengenai
kriteria inklusi partisipan yang dikeluarkan oleh Program Studi S-1
Keperawatan STIKes Kusuma Husada kepada Kesatuan Bangsa dan
Politik (KESBANGPOL) untuk tembusan ke Bupati Karanganyar,
Kepala BAPPEDA dan Direktur serta bagian diklat RSUD
Karanganyar.
Partisipan yang memenuhi kriteria inklusi kemudian diberikan
penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian serta dampak
yang mungkin terjadi pada proses pengumpulan data. Peneliti
memberi tahu kepada partisipan bahwa akan dilakukan perekaman
wawancara dan pengambilan gambar mengenai pengalaman perawat
dalam menangani kasus cardiac arrest. Setelah diberikan penjelasan
partisipan diminta kesediaannya untuk menandatangani lembar
persetujuan menjadi partisipan. Selanjutnya peneliti dan partisipan
membuat kontrak waktu dan tempat untuk proses pengambilan data.
46
2. Tahap pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan peneliti menyiapkan instrumen inti
dan penunjang. Instrumen inti ini disiapkan dengan melatih
ketrampilan wawancara kepada perawat yang bukan menjadi
partisipan, kemudian peneliti melakukan pengembangan diri
terhadap proses wawancara. Sebelum ke tahap wawancara, peneliti
mencari data atau dokumentasi angka kejadian kematian kasus
cardiac arrest di rekam medik RSUD Karanganyar. Instrumen
penunjang yang disiapkan meliputi buku, catatan, bolpoint, pedoman
pertanyaan, lembar data demografi, bukti penelitian dan kamera
untuk mendokumentasikan gambar pada saat wawancara. Alat
perekam yang sudah dipastikan dapat digunakan kembali diperiksa
dengan baik. Lembar obsevasi, buku catatan dan bolpoint disiapkan
dengan baik kemudian peneliti bertemu dengan partisipan.
Peneliti datang sesuai dengan waktu dan tempat yang telah
disepakati sebelumnya dengan partisipan. Peneliti melakukan
wawancara secara mendalam (indepth interview) dengan terstruktur.
Peneliti menggunakan pedoman pertanyaan yang berisi garis besar
pertanyaan yang diajukan kepada partisipan, pertanyaan wawancara
dikembangkan dari jawaban partisipan tetapi tidak keluar dari
pedoman yang telah dibuat. Partisipan diberikan kebebasan untuk
memberikan informasi selengkapnya dan seluas mungkin. Sehingga
47
pertanyaan dan hasil wawancara yang diperoleh bervarisasi untuk
setiap partisipan.
3. Tahap terminasi
Tahap terminasi adalah tahap akhir dari pengumpulan data
yang dilakukan terminasi dengan melakukan validasi terhadap data
yang telah ditemukan kepada partisipan. Setelah dilakukan
pengambilan data wawancara selanjutnya dilakukan observasi guna
menyajikan gambaran realistis perilaku atau kejadian, dan untuk
memvalidasi hasil wawancara dengan hasil observasi apakah sama
dan akan memberikan umpan balik terhadap pengambilan data yang
telah dilakukan. Peneliti memperlihatkan hasil transkip wawancara
dan intrepetasi peneliti kepada informan, jika informan mengatakan
apa yang ditulis peneliti telah sesuai dengan apa yang dimaksud oleh
partisipan dan dilakukan terminasi dan ucapan terimakasih telah
bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan menyampaikan bahwa
proses penelitian telah selesai.
3.5 Analisa Data
Analisa data merupakan proses pengumpulan data, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dari peneliti dan menulis catatan singkat sepanjang
penelitian (Creswell, 2013). Teknik analisa yang digunakan pada penelitian
ini adalah dengan menggunakan metode Colaizzi (Creswell, 2013). Metode
Colaizzi dinilai efektif digunakan dalam penelitian ini, dikarenakan dengan
48
metode Colaizzi fenomena-fenomena dapat terungkap dengan jelas sesuai
dengan makna-makna yang di dapat. Adapun langkah-langkah analisa data
sebagai berikut :
3.5.1 Membuat deskripsi informan tentang fenomena dari informan dalam
bentuk narasi yang bersumber dari wawancara.
3.5.2 Membaca kembali secara keseluruhan deskripsi informasi dari
informan untuk memperoleh perasaan yang sama seperti pengalaman
informan. Peneliti melakukan 3-4 kali membaca transkip untuk
merasakan hal yang sama seperti informan.
3.5.3 Mengidentifikasi kata kunci melalui penyaringan pernyataan informan
signifikan dengan fenomena yang diteliti. Pernyataan-pernyataan yang
merupakan dan mengandung makna yang sama atau mirip maka
pernyataan ini diabaikan.
3.5.4 Memformulasikan arti dari kata kunci dengan cara mengelompokkan
kata kunci yang sejenis. Peneliti sangat berhati-hati agar tidak
membuat penyimpangan dari pernyataan informan dengan merujuk
kembali pada pernyataan yang signifikan. Cara yang perlu dilakukan
adalah menelaah kalimat satu dengan yang lain.
3.5.5 Mengorganisasikan arti-arti yang telah teridentifikasi dalam beberapa
kelompok tema. Setelah tema-tema terorganisir, peneliti menvalidasi
kembali kelompok tema tersebut.
3.5.6 Mengintegrasikan semua hasil penelitian ke dalam suatu narasi yang
menarik dan mendalam sesuai dengan topik penelitian.
49
3.5.7 Mengembalikan semua hasil penelitian pada masing-masing informan
lalu diikut sertakan pada diskripsi hasil penelitian.
3.6 Keabsahan Data
Dalam pengujian keabsahan data pada penelitian ini dicapai dengan
melakukan pengecekan keabsahan temuan untuk menjamin kepercayaan hasil
penelitian. Pada penelitian kualitatif menurut Polit & Beck (2012)
mengemukakan yang dapat dicapai untuk mendapat kepercayaan tertentu
dengan 4 prinsip, meliputi uji creadibility, transferability (validitas
eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (obyektivitas).
3.6.1 Creadibility (kepercayaan data)
Kredibilitas data atau ketepatan dan keakuratan suatu data yang
dihasilkan dari studi kualitatif menjelaskan derajat atau nilai kebenaran
dari data yang dihasilkan termasuk proses analisis data tersebut dari
penelitian yang dilakukan. Suatu hasil penelitian dikatakan memiliki
kredibilitas yang tinggi atau baik ketika hasil-hasil temuan pada
penelitian tersebut dapat dikenali dengan baik oleh partisipannya
dalam konteks sosial mereka.
Pada penelitian ini kredibilitas dicapai dengan melakukan
validasi kembali hasil wawancara dan catatan lapangan untuk dilihat
dan dibaca partisipan apakah ada diantara ungkapan dan pernyataan
tidak sesuai dengan maksud partisipan. Partisipan juga diberi
kesempatan untuk memberi gambaran yang sebenarnya dirasakan oleh
50
partisipan. Peneliti juga berkonsultasi dengan pembimbing terkait hasil
pengumpulan data yang diperoleh. Prinsip ini untuk mengetahui
apakah kebenaran hasil penelitian kualitatif dapat dipercaya dalam
mengungkapkan kenyataan yang sesungguhnya antara konsep peneliti
dengan konsep partisipan.
Ukuran cara memvaliditas data terdapat pada alat untuk
menjaring data, terletak pada penelitiannya yang dibantu dengan
metode interview, observasi dan studi dokumen. Dengan demikian,
yang diuji ketepatannya adalah kapasitas peneliti dalam merancang
focus, menetapkan dan memilih partisipan, melaksanakan metode
pengumpulan data, menganalisis dan menginterpretasi dan melaporkan
hasil penelitian yang kesemuanya perlu menunjukkan konsistensinya
satu sama lain.
3.6.2 Transferability (keteralihan data)
Seberapa mampu suatu hasil penelitian kualitatif dapat
diaplikasikan dan dialihkan pada keadaan suatu konteks lain atau
kelompok atau partisipan lainnya merupakan pertanyaan untuk menilai
kualitas tingkat keteralihannya atau transferabilitas. Penilaian
keteralihan suatu hasil penelitian kualitatif ditentukan oleh para
pembaca. Istilah transferabilitas dapat dipakai pada penelitian kualitatif
untuk menggantikan konsep generalisasi telah banyak dibahas dan
direspon oleh para peneliti, baik kuantitatif maupun kualitatif.
51
Penulis melibatkan pembimbing dalam penulisan dan pelaporan
hasil agar mudah dipahami oleh pembaca, selain itu peneliti membuat
uraian yang diteliti dan secermat mungkin sehingga menghasilkan di
skripsi yang padat dan dapat digunakan pada setting lain dengan
konsep dan karakteristik yang sama.
3.6.3 Dependability (ketergantungan)
Dependabilitas mempertanyakan tentang konsistensi dan
reabilitas suatu instrumen yang digunakan lebih dari sekali
penggunaan. Masalah yang ada pada studi kualitatif adalah instrumen
penelitian dan peneliti sendiri sebagai manusia memiliki sifat-sifat
manusia yang sepenuhnya tidak pernah dapat konsisten dan dapat
diulang walaupun dengan kondisi dan keadaan yang sama dan sangat
dipengaruhi oleh latar belakang peneliti terutama berkaitan dengan apa
saja yang di intrepetasikan dan disimpulkan oleh peneliti tersebut.
Peneliti sebagai instrumen kunci dapat membuat kesalahan dalam
menginterpretasikan data sehingga timbul ketidakpercayaan pada
peneliti. Agar penelitian ini dapat di pertanggungjawabkan secara
ilmiah, peneliti melibatkan seseorang yang berkompeten di bidangnya
yaitu selalu melibatkan pembimbing selama penelitian, analisa data
dan penulisan hasil penelitian untuk menjaga dependabilitas hasil
penelitian (Afiyanti, 2014).
52
3.6.4 Confirmability
Konfirmabilitas menggantikan aspek objektivitas pada penelitian
kualitatif, namun tidak persis sama arti dari keduanya, yaitu kesediaan
peneliti untuk mengungkap secara terbuka proses dan elemen-elemen
penelitiannya.
Aspek confirmability dipenuhi peneliti dengan melakukan
konfirmasi kembali terhadap hasil interpretasi kepada partisipan dan
pembimbing serta mengintregasikan dengan catatan lapangan dan hasil
observasi.
Strategi yang digunakan untuk memperoleh keabsahan data pada
penelitian ini adalah dengan melakukan triangulasi (Denzin & Lincoln,
2005 di dalam Rachmawati & Afiyanti, 2014). Triangulasi yang dapat
dilakukan peneliti antara lain:
1. Triangulasi data
Teknik triangulasi data, yaitu peneliti menggunakan berbagai
sumber data yang dapat digunakan selama riset dilakukan. Data
yang didapatkan dari partisipan kemudian divalidasi dengan
menggunakan dokumentasi keperawatan contohnya tindakan
dalam penanganan cardiac arrest di IGD RSUD Karangannyar.
2. Triangulasi peneliti
Teknik triangulasi peneliti, yaitu peneliti bekerja sama
dengan peneliti lain untuk mengurangi potensial bisa dari satu riset
dengan dilakukannya uji validitas. Pada penelitian ini peneliti
53
menggunakan jurnal penelitian yang membahas masalah yang
sama dengan penelitian yang peniliti lakukan, hasil skripsi dan
tesis dari universitas lainnya. Pandangan dan tafsir yang dilakukan
oleh beberapa peneliti terhadap semua informasi yang berhasil
digali dan dikumpulkan yang berupa catatan, bahkan sampai
dengan simpulan sementara, diharapkan bisa terjadi pertemuan
pendapat yang pada akhirnya bisa lebih memantapkan hasil akhir
penelitan.
3. Triangulasi teori
Teknik triangulasi teori, yaitu peneliti menggunakan berbagai
perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan
yang dikaji. Peneliti menggunakan beragam teori yang membahas
mengenai tindakan dalam penanganan cardiac arrest dan
pengalaman perawat.
3.7 Etika Penelitian
Etika penelitian adalah suatu system nilai normal yang harus dipatuhi
oleh peneliti saat melakukan aktivitas penelitian yang melibatkan responden,
meliputi kebebasan dari adanya ancaman, kebebasan dari adanya eksploitasi
keuntungan dari penelitian tersebut dan resiko yang didapatkan (Polit &
Hungler, 2005).
Peneliti meyakini bahwa partisipan harus di lindungi dengan
memperhatikan aspek-aspek: self determination, privacy, anonymity,
informed consent, dan protections for discomfort (Polit & Hungler, 2005) :
54
3.7.1 Self determination.
Partisipan diberikan kebebasan untuk menentukan apakah
bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian sukarela.
Peneliti memberikan kebebasan kepada partisipan untuk ikut
berpartisipasi. Peneliti memberikan penjelasan kepada calon
partisipan mengenai tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan.
Peneliti juga menjelaskan bahwa partisipan yang mengikuti penelitian
tidak dipungut biaya apapun, seluruh biaya sudah ditanggung peneliti.
3.7.2 Informed consent
Peneliti menegaskan kembali mengenai maksud dan tujuan
penelitian yaitu untuk mengindetifikasi pengetahuan, tindakan, faktor
pendukung dan penghambat dalam penanganan cardiac arrest.
Setelah partisipan mengerti, peneliti memberikan lembar informed
consent kepada partisipan.
3.7.3 Privacy
Selama dan sesudah penelitian, privacy partisipan dijaga secara
benar, semua partisipan diberlakukan sama, peneliti akan menjaga
kerahasiaan partisipan dari informasi yang diberikan dan hanya
digunakan untuk kegiatan penelitian serta tidak akan dipublikasikan
tanpa izin dari partisipan.
3.7.4 Anonymity
Nama partisipan selama penelitian tidak digunakan melainkan
diganti dengan nomor dan inisial penelitian. Nomor dan inisial dari
55
partisipan ini digunakan dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan
partisipan dan mencegah kekeliruan peneliti dalam memasukkan data.
3.7.5 Protections for discomfort.
Selama pengambilan data penelitian, peneliti memberi
kenyamanan pada partisipan dengan mengambil tempat wawancara
sesuai dengan keinginan partisipan. Sehingga partisipan dapat leluasa
tanpa ada pengaruh lingkungan untuk mengungkapkan hambatan
yang dialami.
3.7.6 Beneficence
1. Bebas dari bahaya yaitu peneliti harus berusaha melindungi subyek
yang diteliti, terhindar dari bahaya atau ketidaknyamanan fisik atau
mental.
2. Bebas dari eksploitasi yaitu keterlibatan peserta dalam penelitian
tidak seharusnya merugikan mereka atau memaparkan pada situasi
yang mereka tidak disiapkam.
3. Rasio antara resiko dan manfaat adalah peneliti dan penilai
(reviewer) harus menelaah keseimbangan antara manfaat dan
resiko dalam penelitian (Hamid & Achir, 2008).
3.7.7 Non Meleficence
Mengurangi bahaya terhadap partisipan serta melindungi
partisipan (Hamid & Achir, 2008).
56
3.7.8 Justice
Hak mendapatkan perlakuan yang adil adalah partisipan
mempunyai hak yang sama, sebelum, selama, dan setelah partisipasi
mereka dalam penelitian. Perlakuan yang adil mencakup aspek-aspek
berikut ini:
1. Seleksi partisipan yang adil dan tidak diskriminatif.
2. Perlakuan yang tidak menghukum bagi mereka yang menolak atau
mengundurkan diri dari kesertaannya dalam penelitian, walaupun
dia pernah menyetujui untuk berpartisipasi.
3. Penghargaan terhadap semua persetujuan yang telah dibuat antara
peneliti atau partisipan.
4. Mendapatkan penjelasan, jika diperlukan yang tidak diberikan
sebelum penelitian dilakukan atau mengklarifikasi isu yang timbul
selama penelitian.
5. Perlakuan yang penuh rasa hormat selama penelitian (Hamid &
Achir, 2008).
57
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Pada bab 4 ini dipaparkan mengenai hasil penelitian terkait perawat dalam
penanganan cardiac arrest di Instalasi Gawat Darurat RSUD Karanganyar. Sesuai
tujuan khusus meliputi mendeskripsikan pengetahuan perawat tentang
penanganan cardiac arrest, mendeskripsikan tindakan perawat dalam penanganan
cardiac arrest, mengidentifikasi faktor pendukung perawat dalam penanganan
cardiac arrest dan mengidentifikasi faktor penghambat perawat dalam
penanganan cardiac arrest.
Tema- tema yang didapatkan dari penelitian ini diperoleh berdasarkan
hasil wawancara yang dilakukan pada 3 perawat di Instalasi Gawat Darurat yang
pernah menangani kasus cardiac arrest. Tema yang didapat meliputi 16 tema
yaitu definisi henti jantung, penyebab henti jantung, tanda dan gejala henti
jantung, tindakan henti jantung, pengkajian awal resusitasi jantung paru, tindakan
resusitasi jantung paru , evaluasi tindakan resusitasi jantung paru, posisi recovery,
faktor dihentikan resusitasi jantung paru, pemberian obat-obatan emergency ,
pengetahuan perawat, sarana pendukung, kesiapan perawat, hambatan sarana dan
prasarana, faktor pasien dan faktor keluarga.
58
4.3 Karakteristik Partisipan
Karakteristik ketiga partisipan yang bersedia dilakukan wawancara
adalah sebagai berikut : partisipan satu (P1) adalah seorang laki-laki dengan
usia 52 tahun, pendidikan terakhir D3 keperawatan, mengikuti pelatihan
PPGD dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Karanganyar selama 31 tahun.
Partisipan kedua (P2) adalah seorang perempuan dengan usia 39 tahun,
pendidikan terakhir S1 keperawatan dan Ners, mengikuti pelatihan PPGD dan
BTCLS dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Karanganyar selama 12
tahun. Partisipan ketiga (P3) adalah seorang laki-laki dengan usia 40 tahun,
pendidikan terakhir S1 keperawatan mengikuti pelatihan PPGD dan BTCLS
dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Karanganyar selama 13 tahun.
4.4 Tema Hasil Penelitian
Tema tersebut disusun oleh katakunci dan kategori pendukung. Berikut
ini hasil dari tema-tema yang ditemukan.
4.4.1 Tema dari Tujuan Khusus : Mendeskripsikan pengetahuan
perawat tentang penanganan cardiac arrest.
Tema – tema yang dihasilkan dari mendeskripsikan
pengetahuan perawat tentang penanganan cardiac arrest didapatkan 4
tema yaitu definisi henti jantung, penyebab henti jantung, tanda dan
gejala henti jantung dan tindakan henti jantung. Tema ini didapatkan
dari analisa terhadap kategori- kategori yang didapat dari ungkapan
59
keseluruhan dari partisipan. Berikut penjelasan mengenai beberapa
tema tersebut:
1. Definisi henti jantung
Definisi cardiac arrest atau istilah lainnya yaitu henti jantung
dan gangguan irama jantung.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai henti jantung :
“…terjadi henti jantung.” (P2)
“Itu mendadak kok dek datangnya tapi intinya ya henti
jantung.” (P3)
“Kebanyakan pasien cardiac arrest bisa saja mengalami
kematian dalam 24 jam pertama setelah dia sudah mengalami
henti jantung.” (P3)
“Kematian penyakit jantung yang mendadak…” (P1)
“Otomatis jantung tidak berdenyut…” (P3)
Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
henti jantung meliputi kematian penyakit jantung mendadak dan
jantung tidak berdenyut.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai gangguan irama
jantung :
“…ventrikel takikardi dan ventrikel fibrilasi, VF dan VT…”
(P2)
“…VT (ventrikel takhikardi)...”(P2)
“…VT (ventrikel takhikardi) biasanya nadinya cepat sekali
dan darah ke ventrikel jadi berkurang.” (P2)
“…atau bisa juga pasien sudah asistol...”(P2)
60
“Asistol yaa? Sudah tidak ada aktifitas jantung lagi dek. Kalo
dimonitor garis lurus memanjang itu loh.” (P2)
“…ventrikel fibrilasi, VF dan VT !!” (P2)
“…gambaran ventrikel fibrilasi…” (P2)
“Kalo VF (fibrilasi ventrikel) itu jantung masih getar...” (P2)
“…dan PEA (Pulseless Electrical Activity)...”(P2)
“PEA (Pulseless Electrical Activity) sih masih ada aktifitas
jantung cuman ya ga terlihat tekanan darah dan nadinya.”
(P2)
Pernyataan partisipan 2 tersebut diatas mengungkapkan gangguan
irama jantung meliputi ventrikel fibrilasi, ventrikel takhikardi,
pulseless electrical activity dan asistol.
2. Penyebab henti jantung
Penyebab cardiac arrest sebagai akibat dari serangan jantung
meliputi : gangguan sirkulasi tubuh dan suatu peristiwa.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai gangguan sirkulasi
tubuh:
“Ya sebetulnya semua sama-sama diakibatkan timbulnya
aritmia.” (P2)
“…lalu sirkulasi aliran darah keseluruh tubuh berhenti.”
(P3)
“…kita curigai karena pasien itu hipoksia.” (P3)
Pernyataan partisipan 2 dan partisipan 3 tersebut diatas
mengungkapkan gangguan sirkulasi tubuh meliputi aritmia,
sirkulasi aliran darah keseluruh tubuh berhenti dan hipoksia.
61
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai peristiwa :
“…aliran jantung berhenti karena kondisi pasien disebabkan
suatu hal seperti tersengat listrik, tenggelam…” (P2)
Pernyataan partisipan 2 tersebut diatas mengungkapkan peristiwa
penyebab henti jantung meliputi tersengat listrik dan tenggelam.
3. Tanda dan gejala henti jantung
Tanda dan gejala munculnya cardiac arrest meliputi : nadi
berhenti berdenyut, penurunan kesadaran, gangguan sistem
respirasi, nyeri dada dan tekanan darah rendah.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai nadi berhenti
berdenyut:
“…mungkin denyut nadi tidak teraba lagi atau berhentilah,
jadi serangan jantung mendadak ya perlu penanganan yang
harus secara cepat dan tepat.” (P1)
“…nadinya tidak teraba. Cardiac arrest itu tidak harus
ditemukan di IGD kadang dijalan raya kita bisa temui cardiac
arrest jadi dimanapun kita bisa ketemu cardiac arrest jadi
penanganan RJP.” (P2)
“…masih ada aktifitas jantung cuman ya ga terlihat tekanan
darah dan nadinya.” (P2)
“Menurut saya ya dek, jantung tidak memompa sama sekali
dan tidak teraba nadinya.” (P3)
Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
nadi berhenti berdenyut meliputi denyut nadi tidak teraba.
62
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai penurunan kesadaran :
“…sampai pasien tidak sadar dan sebagainya.” (P1)
“Apnea, hipotensi, penurunan kesadaran, yaitu!” (P2)
“…kalo pasien datang di IGD misalnya ada penurunan
kesadaran apa pasien memang sudah tidak sadar…” (P2)
“…tiba-tiba pasien apnea dan penurunan kesadaran kita
curiganya ke cardiac arrest.” (P2)
“Itu bertahan bisa lebih dari 20 menit atau pasien langsung
tidak sadarkan diri.” (P3)
Pernyataan partisipan 1, 2, dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
penurunan kesadaran meliputi pasien cardiac arrest tidak sadarkan
diri.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai gangguan sistem
respirasi :
“Ya kan langsung disini kalo langsung nyeri di uluhati, sesak
nafas.” (P1)
“…nafasnya mulai nafas pendek-pendek…” (P3)
“Apnea, hipotensi, penurunan kesadaran, yaitu!...” (P2)
“…tiba-tiba pasien apnea dan penurunan kesadaran kita
curiganya ke cardiac arrest.” (P2)
Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
gangguan sistem respirasi meliputi sesak nafas, nafas pendek dan
apnea.
63
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai nyeri dada :
“…nyeri dada seperti ditusuk-tusuk, nadi cepat, keluar
keringat dingin…” (P1)
“…ada riwayat nyeri dada.” (P2)
“…kita kenali saat pasien mengeluh nyeri dada…” (P3)
Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
nyeri dada meliputi nyeri dada seperti ditusuk-tusuk.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai tekanan darah
rendah :
“Apnea, hipotensi, penurunan kesadaran...” (P2)
Pernyataan partisipan 2 tersebut diatas mengungkapkan tekanan
darah rendah meliputi hipotensi.
4. Tindakan henti jantung
Tindakan henti jantung meliputi : pemberian obat, monitor
keadaan pasien, pemberian posisi.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pemberian obat :
“…berikan terapi obat sementara sebelum dimasukan ke ICU
jadi pasien bisa memperoleh perawatan yang lebih
definitive.” (P2)
“Kemungkinan keberhasilan tindakannya itu perlu di
pikirkan juga dengan bantuan alat-alat resusitasi yang
memadai atau dengan terapi obat-obatan, terapi cairan
juga…” (P3)
64
Pernyataan partisipan 2 dan partisipan 3 tersebut diatas
mengungkapkan pemberian obat meliputi terapi obat dan terapi
cairan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai monitor kondisi pasien:
“Pertama ya kita monitor kesadaran sama nadi dulu.” (P1)
“…trus kita monitor kondisi pasien…” (P2)
“…harusnya setelah itu monitoring keadaan pasien.” (P3)
“Jadi kita udah lakukan RJP trus nanti dalam tempo sebelum
24 jam terjadi serangan jantung lagi, makanya monitoring itu
perlu.” (P3)
“…terapi cairan juga harusnya setelah itu monitoring
keadaan pasien.” (P3)
Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
memonitor kondisi pasien meliputi monitor kesadaran, monitor
kondisi dan keadaan pasien.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pemberian posisi :
“Kalo headlift/ chinlift itu apa ya? itu posisinya harus
ekstensi, posisi mengadah atau mendongakkan kepala pasien
istilahnya secara singkat ya ekstensi harus memberi
kelonggaran pada saluran pernafasan.” (P1)
“Tangan kiri kita memegang dahi dan tangan kanan kita
memegang dagu kita tengadahkan.” (P2)
“…dengan cara tangan kita diletakkan di kening lalu tekan ke
belakang, koyo (seperti) di dongakke (mengadah) ning mburi
(kebelakang) ngono lah dek...”(P3)
“Pernafasan dari lidah cuman caranya yang lain untuk
mengatasi pasien yang mengalami penyumbatan lidah.” (P2)
65
“Head tilt/ chin lift maneuver ini tujuannya sama, sebenarnya
untuk membebaskan sumbatan to?cuman caranya yang lain.”
(P2)
“Kalo jaw thrust maneuver adanya membebaskan sumbatan
lidah yang kita curigai ada fraktur servikal jadi posisinya kita
berada diatas pasien , kita pegang rahang bawah dengan
kedua tangan, untuk pasien jika dicurigai leher fraktur
servikal.” (P2)
“Head tilt untuk membebaskan jalan nafas dari sumbatan
lidah…” (P3)
“…diangkat mandibulanya ke atas, ya ekstensi itu cuman
beda istilah saja sama tadi.” (P1)
“…jadi posisinya kita berada diatas pasien , kita pegang
rahang bawah dengan kedua tangan…” (P2)
“Trus tangan satunya pegang dagu dan angkat rahangnya ke
depan mben (agar) giginya menutup gitu.” (P3)
Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
pemberian posisi membuka jalan nafas meliputi head tilt/ chinlift
dengan posisi menengadahkan atau mendongakkan kepala pasien
untuk membebaskan jalan nafas dari sumbatan lidah dan jaw thrust
maneuver jika dicurigai leher fraktur servikal dengan cara
memegang rahang bawah dengan kedua tangan tangan satunya
pegang dagu dan angkat rahangnya ke depan agar giginya
menutup.
4.2.2 Tema dari Tujuan Khusus : Mendeskripsikan tindakan perawat
dalam penanganan cardiac arrest.
66
Tema – tema yang dihasilkan dari mendeskripsikan tindakan
perawat dalam penanganan cardiac arrest didapatkan 6 tema yaitu
pengkajian awal resusitasi jantung paru, tindakan resusitasi jantung
paru, evaluasi resusitasi jantung paru, posisi recovery, faktor
dihentikan resusitasi jantung paru, dan pemberian obat-obatan
emergency. Tema ini didapatkan dari analisa terhadap kategori-
kategori yang didapat dari ungkapan keseluruhan dari partisipan.
Berikut penjelasan mengenai beberapa tema tersebut:
1. Pengkajian awal resusitasi jantung paru.
Pengalaman perawat mengenai pengkajian awal resusitasi
jantung paru pada pasien cardiac arrest meliputi: pengkajian
lokasi, pemeriksaan tingkat kesadaran, pemeriksaan nadi dan
pemeriksaan pernafasan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pengkajian lokasi :
“Kita amankan pasien dari lingkungan…” (P2)
“Ingat aman lingkungan, pasien, penolong...” (P3)
Pernyataan partisipan 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
pengkajian lokasi meliputi mengamankan lingkungan, pasien dan
penolong.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pengkajian tingkat
kesadaran :
67
“Pertama ya kita monitor kesadaran sama nadi dulu, otomatis
dilakukan dengan posisi itu. Setelah henti nafas kita lakukan
resusitasi itu pake ambubag jadi ambubag itu suatu alat yang
ada masker untuk mendorong oksigen untuk masuk ke paru-
paru. Dia menekan merangsang bagian jantung, lalu ya
dilakukan RJP lah dek.” (P1)
“Otomatis RJP, dari kita mengkaji kesadarannya apalagi kita
ketemu pasien seperti itu masih nafas spontan atau nafas
satu-satu, langsung kita lakukan RJP.” (P2)
“…kita pastikan pasien benar-benar tidak sadar dan ga ada
nadi.” (P3)
Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
pengkajian tingkat kesadaran meliputi mengkaji kesadaran sampai
memastikan pasien benar-benar tidak sadar.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pemeriksaan nadi :
“…lalu cek nadi kemudian kalo nadi tidak teraba…” (P2)
“…lalu kita raba denyut nadi pada arteri carotis dan femoral
selama 10 detik paling lama.” (P2)
“…periksa nadi karotis di raba disisi leher sini dek dengan
jari telunjuk 10 detik aja.” (P3)
“Langsung cek nadi…” (P3)
Pernyataan partisipan 2 dan partisipan 3 tersebut diatas
mengungkapkan pemeriksaan nadi meliputi meraba denyut nadi
pada arteri carotis dan femoral.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pemeriksaan
pernafasan :
68
“…lalu kita raba denyut nadi pada arteri carotis dan femoral
selama 10 detik paling lama.” (P2)
“…periksa nadi karotis di raba disisi leher sini dek dengan
jari telunjuk 10 detik aja.” (P3)
“…kemudian kita cek pernafasan…” (P2)
“…cek nadi dan pernafasannya ada atau tidak…” (P3)
Pernyataan partisipan 2 dan partisipan 3 tersebut diatas
mengungkapkan pemeriksaan pernafasan meliputi cek pernafasan
selama 10 detik.
2. Tindakan resusitasi jantung paru.
Pengalaman perawat mengenai penanganan sirkulasi pasien
cardiac arrest meliputi resusitasi jantung paru, kedalaman
kompresi dada, frekuensi kompresi dada, siklus kompresi dada dan
kecepatan kompresi dada.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai resusitasi jantung paru:
“Dia menekan merangsang bagian jantung, lalu ya dilakukan
RJP lah dek.” (P1)
“Otomatis RJP, dari kita mengkaji kesadarannya apalagi kita
ketemu pasien seperti itu masih nafas spontan atau nafas satu-
satu, langsung kita lakukan RJP.” (P2)
“…nafas ada tapi nadi belum teraba kita lakukan RJP .” (P2)
Pernyataan partisipan 1 dan partisipan 2 tersebut diatas
mengungkapkan resusitasi jantung paru meliputi melakukan
tindakan resusitasi jantung paru
69
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai kedalaman kompresi
dada :
“…RJP nya 2 jari diatas sternum jadi di tulang dada
kedalamanya 3 -5 cm.” (P2)
“…kompresi dadanya kira-kira 5 cm dalamnya dengan
telapak tangan dipaskan ditengah tulang sternum seperti ini
dek (kedua siku diluruskan trus jari-jari tangan dibuat
terkunci gini loh) bahu kita harus tetap tegak lurus diatas
pasien ya dek...” (P3)
Pernyataan partisipan 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
kedalaman kompresi dada meliputi kompresi dada kira-kira 3-5 cm
dalamnya dengan telapak tangan tepat ditengah tulang sternum.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai frekuensi kompresi
dada :
“…30 kompresi dan 2 ventilasi dek.” (P1)
“…kompresi dada dengan perbandingan 30:2 jadi 30
kompresi lalu 2 ventilasi itu…” (P2)
“Setiap 5 siklus 30 kompresi dada…” (P3)
Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
frekuensi kompresi dada adalah 30 kali kompresi.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai siklus kompresi dada :
“Biasanya ya 5 siklus…” (P1)
“…dilakukan selama 1 siklus itu selama 5 kali dalam jangka
waktu 5 menit.” (P2)
“Setiap 5 siklus 30 kompresi dada…” (P3)
70
Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
siklus kompresi dada adalah 5 siklus.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai kecepatan kompresi
dada :
“…RJP nya 2 jari diatas sternum jadi di tulang dada
kedalamanya 3 -5 cm dengan frekuensi selama kurang lebih
100x/menit.” (P2)
“Kompresi dadanya kira-kira 5 cm dalamnya dengan telapak
tangan dipaskan ditengah tulang sternum seperti ini dek
(kedua siku diluruskan trus jari-jari tangan dibuat terkunci
gini loh) bahu kita harus tetap tegak lurus diatas pasien ya
dek, temponya cepat banget minimal 100x/menit.” (P3)
Pernyataan partisipan 2 dan partisipan 3 tersebut diatas
mengungkapkan kecepatan kompresi dada adalah 100x/menit.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai teknik membuka jalan
nafas :
“Jangan lupa head tilt tadi apa yang jaw thrust. Kompresi
dadanya kira-kira 5 cm dalamnya dengan telapak tangan
dipaskan ditengah tulang sternum seperti ini dek (kedua siku
diluruskan trus jari-jari tangan dibuat terkunci gini loh) bahu
kita harus tetap tegak lurus diatas pasien ya dek, temponya
cepat banget minimal 100x/menit.” (P3)
“Tapi kalo udah ada nadi tapi belum bernafas ya breathing
selama 10 kali/menit.” (P3)
“Ngitungnya tu “satu ribu, dua ribu, tiga ribu, empat ribu,
lima ribu” semenit 10 tiupan dek.” (P3)
“…pemenuhan oksigen dalam otak. Ya kita ngasih
oksigenasi dulu, buka jalan nafasnya trus yaa breathingnya
kita beri ventilasi 2 kali.” (P1)
71
“…dan 2 ventilasi dek.” (P1)
“…kita beri ventilasi 2 kali kalo sudah kita lakukan…” (P2)
“…lalu 2 ventilasi itu dilakukan selama 1 siklus itu selama 5
kali dalam jangka waktu 5 menit.” (P2)
“…lalu 2 kali bantuan nafas…” (P3)
Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
teknik membuka jalan nafas meliputi head tilt dan jaw thrust,
breathing selama 10 kali/menit dan 2 kali bantuan nafas.
3. Evaluasi resusitasi jantung paru.
Pengalaman perawat mengenai mengevaluasi pasien cardiac
arrest setelah resusitasi jantung paru meliputi pemeriksaan nadi
dan pernafasan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pemeriksaan nadi dan
pernafasan :
“Kalo satu siklus itu sudah kita lakukan kita cek nadi dan
pernafasan kalo nafas ada tapi nadi belum teraba kita
lakukan RJP lagi 1 siklus lagi lalu kita lakukan cek nadi lagi
itu…” (P2)
“Kalo sudah ada tanda-tanda membaik ada nadi, terus nafas
spontan tadi atau pasien sudah dinyatakan meninggal itu
pupil kalo sudah melebar mediatris maksimal jadi pasien
sudah meninggal.” (P2)
“…jadi ya perawat harus selalu siap tenaga dan kondisi
soalnya nanti selesei siklus ke 5 terus dicek nadi lagi.” (P3)
“…di periksa lagi nadi sama pernafasan pasien dek setiap 2
menit...” (P3)
“…di periksa lagi nadi sama pernafasan pasien dek setiap 2
menit...” (P3)
72
Pernyataan partisipan 2 dan partisipan 3 tersebut diatas
mengungkapkan pemeriksaan nadi dan pernafasan meliputi
memeriksa ada nadi dan nafas spontan setiap 2 menit.
4. Posisi recovery
Pengalaman perawat mengenai pemberian posisi recovery
meliputi posisi sisi mantap dan teknik posisi sisi mantap.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai posisi sisi mantap:
“…saumpama sudah muncul semua ya tinggal di posisikan
recovery.” (P3)
“…boleh aja gaperlu posisi recovery seperti tadi, tidur
terlentang biasa ya gamasalah.” (P3)
Pernyataan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan posisi sisi
mantap adalah posisi recovery.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai teknik posisi sisi
mantap :
“Gimana ya jelasinnya dek, kalo ga keadaan terlentang ya
bingung, pokoknya punggung tangan kanan menyentuh pipi
dan kepala tapi kakinya ditekuk 900 gini…” (P3)
“…posisi telapak tangan satunya menghadap atas dan
kakinya diluruskan…” (P3)
Pernyataan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan teknik
posisi sisi mantap yaitu pasien terlentang dengan punggung tangan
kanan menyentuh pipi dan kepala, telapak tangan satunya
73
menghadap atas. Salah satu kaki ditekuk 900 dan posisi kaki
satunya diluruskan.
5. Faktor dihentikan resusitasi jantung paru.
Pengalaman perawat mengenai faktor dihentikan resusitasi
jantung paru meliputi henti nafas dan meninggal.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai henti nafas:
“…nafas dihitung normalnya 28x/ menit ya dalam satu menit
dua menit tiga kali nafas atau beberapa sampai 15 menit di
RJP tidak berespon ya itu dah henti nafas.” (P1)
Pernyataan partisipan 1 tersebut diatas mengungkapkan setelah di
RJP pasien tidak berespon merupakan henti nafas.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai meninggal:
“…atau pasien sudah dinyatakan meninggal itu pupil kalo
sudah melebar mediatris maksimal jadi pasien sudah
meninggal.” (P2)
Pernyataan partisipan 2 tersebut diatas mengungkapkan RJP
dihentikan saat pasien sudah dinyatakan meninggal.
6. Pemberian obat-obatan emergency
Pengalaman perawat mengenai pemberian obat-obatan
emergency meliputi jenis obat emergency atau resusitasi jantung
paru dan fungsi obat emergency atau resusitasi jantung paru.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai jenis obat emergency
atau resusitasi jantung paru :
74
“Paling ya dopamine, epineprine, vasonepressin, atropine.”
(P1)
“Terapi injeksinya? Kalo terapi injeksi itu jane dokter ya,
cuma sepengetahuanku itu epineprin sama amiodaron…”
(P2)
“…kalo pasien kehilangan kesadaran apa hipotensi berat ya
epineprin kalo amiodaron…” (P2)
“Kalo morfin itu untuk mengurangi nyeri dadanya, untuk
pasien kayak AMI, infark, angina beta blockres itu perlu
morfin itu sejenis penenang dosis tinggi, kalo nyeri tingkat
tinggi kita kasih morfin…” (P2)
“…adrenalin itu untuk tensi ngedrop itu baru dikasih,
dopamine itu juga untuk hipotensi itu.” (P2)
“Biasanya itu ya epinefrin…” (P3)
“…apa adrenalin satu ampul sama aja 1 mg itu untuk henti
jantung, fibrilasi, takikardi bisa juga menaikkan tekanan
darah gitu dek.” (P3)
“…Amiodaron ya ada, dopamin atau dobutamin jika tekanan
darahnya sistolik 70-100 mmHg. Atropin itu menaikkan
denyut nadi dek.” (P3)
Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
jenis obat emergency atau resusitasi jantung paru meliputi
dopamine atau dobutamin, epineprine, vasonepressin, atropine,
amiodaron dan morfin.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai fungsi obat emergency
atau resusitasi jantung paru :
“Kalo amiodaron itu fungsinya untuk melenturkan otot-otot
jantung jadi suplai O2 sama darahnya bisa lancar lagi jadi
aliran darah keseluruh tubuh berhenti berartikan jadi aliran ke
otak otomatis juga tidak ada atau berkurang nanti kalo
menyebabkan hipoksia itu berlarut-larut akan menyebabkan
kematian.” (P2)
75
“Seorang perawat tidak berhak boleh memberikan terapi
cuman melakukan perintah memberikan terapi bisa biar
pasien itu gak nyeri...” (P1)
“Kalo morfin itu untuk mengurangi nyeri dadanya.” (P2)
“…sama mengoptimalkan fungsi jantung.” (P1)
“…dopamine itu juga untuk hipotensi itu.” (P2)
“…dopamin atau dobutamin jika tekanan darahnya sistolik
70-100 mmHg.” (P3)
“…adrenalin itu untuk tensi ngedrop itu baru dikasih…” (P2)
“…untuk pasien kayak AMI, infark, angina beta blockres itu
perlu morfin itu sejenis penenang dosis tinggi, kalo nyeri
tingkat tinggi kita kasih morfin…” (P2)
“Biasanya itu ya epinefrin apa adrenalin satu ampul sama aja
1 mg itu untuk henti jantung, fibrilasi, takikardi bisa juga
menaikkan tekanan darah gitu dek.” (P3)
“Atropin itu menaikkan denyut nadi dek.” (P3)
Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
fungsi obat emergency atau resusitasi jantung paru meliputi
amiodaron berfungsi untuk melenturkan otot-otot jantung sehingga
suplai O2 dan darah dapat lancar kembali. Morfin berfungsi untuk
mengurangi nyeri dada. Dopamine atau dobutamin berfungsi untuk
tekanan darah sistolik 70-100 mmHg atau hipotensi. Adrenalin dan
epinefrin berfungsi untuk henti jantung, fibrilasi, takikardi dan
menaikkan tekanan darah. Atropin berfungsi untuk menaikkan
denyut nadi.
76
4.2.3 Tema dari Tujuan Khusus : Mengidentifikasi faktor pendukung
perawat dalam penanganan cardiac arrest.
Tema – tema yang dihasilkan dari mengidentifikasi faktor
pendukung perawat dalam penanganan cardiac arrest didapatkan 3
tema yaitu pengetahuan perawat, sarana pendukung dan kesiapan
perawat. Tema ini didapatkan dari analisa terhadap kategori- kategori
yang didapat dari ungkapan keseluruhan dari partisipan. Berikut
penjelasan mengenai beberapa tema tersebut:
1. Pengetahuan perawat
Pengalaman perawat mengenai faktor yang mempengaruhi
tingkat pengetahuan perawat dalam penanganan cardiac arrest
meliputi tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan pelatihan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai tingkat pendidikan :
“…serta latar belakang pendidikan mereka pendidikan
minimal D3…” (P1)
“Rata-rata sudah berpendidikan S1 keperawatan dan sudah
mengikuti pelatihan PPGD kalo yang baru ini ada 3 perawat
dek lulusan D3…” (P3)
Pernyataan partisipan 1 dan partisipan 3 tersebut diatas
mengungkapkan tingkat pendidikan meliputi latar belakang
pendidikan lulusan D3 dan S1.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pengalaman kerja :
“…dan pengalaman kerja yang sudah cukup…” (P1)
77
“Ini yang paling mempengaruhi itu pengalaman, ilmu. Lebih
baik ke pengalaman daripadi ilmu soalnya jika punya ilmu
tapi tidak diterapkan itu ya percuma kemudian itu ilmu
pengalaman.” (P2)
“…perawat disini punya skill yang terampil juga dan
tenaganya roso-roso loh dek.hehhe.” (P3)
“…kan makin lama usia makin lama pengalamannya.” (P3)
Pernyataan partisipan 1 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
pengalaman kerja meliputi lama pengalaman dan ilmu
pengalaman.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pelatihan :
“…apalagi yang sudah mengikuti pelatihan.” (P1)
“…jadi jika mau melakukan RJP itu harus dengan orang
yang sudah terlatih karena itu resikonya besar ke fraktur
costa kalo sampai terjadikan kita nanti bisa di tuntut.” (P2)
“…pelatihan , kondisi fisik perawat...” (P2)
“…dan sudah mengikuti pelatihan PPGD dan BTCLS…”
(P3)
“Seperti pengetahuan dan kompetensi dari pelatihan atau
penerapan pengetahuannya pas dibangku kuliah yang perawat
miliki biasanya di sharingkan ke teman-teman seprofesi.”
(P3)
Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
pelatihan meliputi pengetahuan dan kompetensi dari pelatihan,
pelatihan PPGD dan BTCLS.
78
2. Sarana Pendukung
Sarana di ruangan yang mendukung dalam tindakan
penanganan pasien henti jantung meliputi peralatan yang lengkap.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai peralatan :
“Soal peralatan ada tapi kalo lengkapnya dikatakan bisa,
pasang ETT (endotracheal tube) ada, laringoscope ada, EKG
ada”. (P1)
“Disini itu sarana fasilitasnya mendukung dan lengkap, ada
DC shock, ambu bag, oksigen ada.” (P2)
“Dalam menjalankan pekerjaan itu kita sudah didukung oleh
fasilitas yang lengkap...” (P3)
“Ada disini juga, ambubag adanya disini, khusus resusitasi
masker dengan bola didorong ada yang menekan pada dada,
yang elektrik juga ada tapi lali aku, tapi jarang dilakukan
disini, biasanya pada istilahnya cuma pake manual gitu.” (P1)
“Cobo tak sebutke siji-siji dek. Infus, oksigenasi, masker
oksigen, kateter, ambu bag, suction, bed, alat steril, alat tensi,
EKG, ventilator, DC shock, defibrillator sama obat-obatan
emergency. Pokoknya ada dek.” (P3)
Pernyataan 1, 2 dan 3 partisipan tersebut diatas mengungkapkan
peralatan resusitasi meliputi ETT (endotracheal tube),
laringoscope, EKG, ambu bag, suction, bed, alat steril, alat tensi,
ventilator, defibrillator dan obat-obatan emergency.
3. Kesiapan perawat
Faktor kesiapan perawat dalam penanganan pasien cardiac
arrest meliputi berpikir kritis, fokus, melindungi diri dan
melakukan tindakan dengan tepat.
79
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai berpikir kritis :
“Ya kita selalu standby apapun situasi yang terjadi, yang
penting kita bisa membuat keputusan saat penanganan...”
(P1)
“Nyawa pasien itu kita yang perjuangkan jadi harus bisa
memberi keputusan…” (P3)
“…makanya kita perlu berpikir kritis jadi kita bisa siap
dalam menghadapi apapun itu kondisi yang dialami pasien.”
(P3)
“…dan hati-hati dek bagaimanapun kondisi pasien yang
datang.” (P1)
“Perawat itu melakukan tindakan itu harus memperhatikan
kedepannya.” (P2)
“…berhati-hati saat RJP” (P3)
“Yaa seperti itulah dek, simple tapi hati-hati.” (P3)
“…ketelitian itu juga penting loh dek, saumpama nadi pasien
sudah ada tapi kita kira-kira belum ya bahaya itu. Tambah
nyesek malahan pasiennya…” (P3)
Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
perawat berpikir kritis meliputi dapat membuat keputusan saat
penanganan, berhati-hati, setiap tindakan memperhatikan
kedepannya dan teliti.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai fokus :
“Setiap kita melakukan RJP otomatis yang kompresi itu tidak
perlu menghitung yang berkewajiban menghitung kompresi
itu yang ventilator saja, soalnya nanti konsentrasi kita akan
terbagi. Yang menghitung siklus ya ventilatornya yang
pegang ambubag itu.” (P2)
“Ya kondisi perawat itu sendiri harus prima dan kuat agar
saat tindakan kita dapat berkonsentrasi...” (P3)
80
Pernyataan partisipan 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan
fokus meliputi berkonsentrasi saat tindakan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai melindungi diri :
“...itu bakal akibatnya apa trus kondisi pasien akan
bagaimana selain itu kita harus proteksi diri selain itu
saumpama tidak ada ambubag kita menangani pasien dijalan
raya kita perlu pakai mounth to mounth.” (P2)
“Kalo kompresi oke saja hanya dengan tangan kalo ventilasi
saumpama pasien ada TB paru atau HIV jadi keamanan
perawat juga harus diperhatikan. Kalo mounth to mounth
langsung itu sangat berbahaya sekali.” (P2)
Pernyataan partisipan 2 tersebut diatas mengungkapkan
melindungi diri meliputi proteksi diri dan memperhatikan
keamanan perawat.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai tindakan perawat :
“Ya langsung di RJP segera setelah kita ketahui tandanya tadi.
Tim perawat akan memulai persiapan, ada yang akan
langsung kompresi dada, ada yang ambil alat ventilator atau
mengeset alat defribilator tapi jangan lupa harus ada yang
menghubungi dokter jaga, sama persiapan obat tapi itu sesuai
kewenangan dokter. Semua itu buat jagani kalo pasien tidak
tertangani gitu dek. Pokoknya kita lakukan semua sesuai
aturan.” (P3)
Pernyataan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan tindakan
perawat meliputi memulai persiapan, mengompresi dada,
81
mengambil alat ventilator atau mengeset alat defribilator,
menghubungi dokter jaga dan persiapan obat
.
4.2.4 Tema dari Tujuan Khusus : Mengidentifikasi faktor penghambat
perawat dalam penanganan cardiac arrest.
Tema – tema yang dihasilkan dari mengidentifikasi faktor
penghambat perawat dalam penanganan cardiac arrest didapatkan 3
tema yaitu hambatan sarana dan prasarana, faktor pasien dan faktor
keluarga. Tema ini didapatkan dari analisa terhadap kategori- kategori
yang didapat dari ungkapan keseluruhan dari partisipan. Berikut
penjelasan mengenai beberapa tema tersebut:
1. Hambatan sarana dan prasarana.
Pengalaman perawat mengenai hambatan sarana dan
prasarana dalam penanganan cardiac arrest meliputi: tempat dan
keterbatasan alat.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai tempat :
“Tempat penuh, menghambatnya tidak bisa melakukan
dek...soalnya kan yang harus diruangan malah masih di rawat
di IGD, jadi selain kita melayani pasien yang baru datang
juga yang masih di rawat disini.” (P1)
Pernyataan partisipan 1 tersebut diatas mengungkapkan hambatan
sarana adalah tempat penuh.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai keterbatasan alat :
“…terus di RJP di sini ya lumayan kualahan kan, alatnya
juga terbatas hanya beberapa saja kecuali kalo dengan
82
manual ventilatornya pake mounth to mounth tapi ya bahaya
juga sih untuk perawatnya dek, tapi kan satu shift ada 4
perawat dan adik-adik praktikan.” (P3)
Pernyataan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan
keterbatasan alat meliputi alat di ruang IGD terbatas atau hanya
beberapa.
2. Faktor pasien
Faktor pasien yang menghambat dalam penanganan cardiac
arrest meliputi : penolakan tindakan dan kondisi pasien.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai penolakan tindakan :
“…edukasi dengan keluarga pasien itu kadang ada faktor
pendukung ya atau tidak, jika pasien tidak setuju ya kita
harus ngikut tapi jika pasien kooperatif.” (P2)
“…pasien menolakpun ada hitam diatas putihnya.” (P2)
Pernyataan partisipan 2 tersebut diatas mengungkapkan penolakan
tindakan meliputi pasien tidak setuju atau menolak di resusitasi.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai kondisi pasien :
“Ya tadi dek, pasiennya yang sudah menderita penyakitnya
lama…” (P3)
“…dan sudah makin tua juga gak bisa menahan rasa sakitnya
itu. Yang penting kita sebagai perawat itu sudah berusaha.”
(P3)
83
Pernyataan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan kondisi
pasien meliputi menderita penyakit yang lama dan faktor usia
pasien sudah tua.
3. Faktor keluarga
Faktor keluarga yang menghambat dalam penanganan
cardiac arrest meliputi : Penolakan keluarga.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai penolakan keluarga :
“Paling kalo dari pasien itu keluarganya ada yang tidak
menghendaki melakukan RJP karena mbahe mpun sepuh
mungkin mboten tegel, tapi dengan syarat ada
pendokumentasian misal nama pasien, alamat, umur, kondisi
pasien seperti ini, harus ada tanda tangan dokter missal…”
(P2)
“Sebetulnya perawat harus menanyakan terlebih dahulu dek
sama keluarga atau kerabat yang bersama pasien, walaupun
memang harus di RJP yaaa tapi kan keluarga pasien menolak
yaudah dek kita hentikan kompresinya. Kan ada itu keluarga
yang tidak kooperatif sama tindakan medis.” (P3)
“…harus dengan ijin keluarga…” (P2)
Pernyataan partisipan 2 tersebut diatas mengungkapkan penolakan
keluarga meliputi keluarga pasien tidak menghendaki pasien di
resusitasi jantung paru dan keluarga tidak kooperatif.
84
BAB V
PEMBAHASAN
5.5 Pengetahuan perawat tentang penanganan cardiac arrest.
5.1.1 Definisi henti jantung
Hasil penelitian menyatakan bahwa definisi henti jantung meliputi
henti jantung dan gangguan irama jantung berupa kematian penyakit
jantung mendadak, jantung tidak berdenyut, ventrikel takikardi, ventrikel
fibrilasi, pulseless electrical activity dan asistol.
Henti jantung (cardiac arrest) adalah keadaan di mana sirkulasi
darah berhenti akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara
efektif. Keadaan henti jantung ditandai dengan tidak adanya nadi dan
tanda–tanda sirkulasi lainnya (American Heart Association, 2010).
Kematian jantung mendadak adalah berhentinya fungsi jantung secara
tiba-tiba pada seseorang yang telah atau belum diketahui menderita
penyakit jantung. Waktu dan kejadiannya tidak diduga-duga, yakni
segera setelah timbul keluhan. Kejadian cardiac arrest yang
menyebabkan kematian mendadak terjadi ketika sistem kelistrikan
jantung menjadi tidak berfungsi dengan baik dan menghasilkan irama
jantung yang tidak normal yaitu hantaran listrik jantung menjadi cepat
(ventricular tachycardia) atau tidak beraturan (ventricular fibrillation)
(Subagjo A, 2011).
85
Henti jantung primer (cardiac arrest) adalah ketidaksanggupan
curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan organ
vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal jika dilakukan
tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian dan kerusakan
otak menetap jika tindakan tidak adekuat. Sebagian besar henti jantung
disebabkan oleh ventricle fibrillation atau takikardia tanpa denyutan (80-
90%) terutama kalau terjadinya di luar rumah sakit, asistole (± 10%) dan
electro-mechanical dissociation (± 5%) (Nolan J. P. et al, 2010).
Lima dari 1000 pasien yang dirawat di rumah sakit dibeberapa
negara berkembang diperkirakan mengalami henti jantung dan kurang
dari 20% dari jumlah pasien tersebut tidak mampu bertahan hingga
keluar dari rumah sakit (Goldbelger, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengertian henti jantung
yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan yang sudah
ada pada teori yaitu mengungkapkan bahwa henti jantung merupakan
kematian penyakit jantung yang mendadak dan jantung tidak berdenyut
atau denyut nadi tidak teraba sehingga sirkulasi aliran darah keseluruh
tubuh berhenti yang ditandai oleh gangguan irama jantung yaitu
ventrikel takikardi, ventrikel fibrilasi, pulseless electrical activity dan
asistol.
.
86
5.1.2 Penyebab henti jantung
Hasil penelitian menyatakan bahwa penyebab henti jantung
meliputi suatu peristiwa dan gangguan sirkulasi tubuh berupa tersengat
listrik, tenggelam, aritmia, sirkulasi aliran darah keseluruh tubuh
berhenti dan hipoksia.
Peristiwa penyebab terjadinya pasien henti jantung adalah suatu
situasi trauma akibat kecelakaan, seperti tenggelam juga merupakan
kasus kegawatan pernafasan karena mengakibatkan gangguan paru, jadi
sebagian besar memerlukan tindakan resusitasi untuk menolong korban
dari ancaman kematian (Muhiman, Muhardi.dkk. 2012). Tenggelam
(drawning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi cairan ke
dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke
dalam cairan (Onyekwelu, 2008).
Onyekwelu (2008) menyatakan beberapa kegawatdaruratan yang
dapat terjadi pada keadaan near drowning yakni pada korban hampir
tenggelam menunjukkan bradikardi berat. Bradikardi dapat timbul
karena refleks fisiologis saat berenang di air dingin atau karena hipoksia.
Perubahan pada fungsi kardiovaskuler yang terjadi pada hampir
tenggelam sebagian besar akibat perubahan tekanan parsial oksigen
arterial (PaO2) dan gangguan keseimbangan asam-basa. Henti nafas
terjadi dalam keadaan seperti: tenggelam atau lemas, stroke, obstruksi
jalan nafas, epiglotitis, overdosis obat-obat, tersengat listrik, infark
87
miokard, tersambar petir, koma akibat berbagai macam kasus
(Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2012).
Irama denyut jantung yang tidak teratur (arrhythmia)
menyebabkan jantung berhenti berdenyut secara mendadak. Kejadian
cardiac arrest disebabkan karena perlambatan denyut jantung yang
berlebihan (bradycardia) (American Heart Association, 2010). Penyebab
cardiac arrest menurut ACLS 2010 adalah hypoxia. Hypoxia merupakan
keadaan berkurangnya oksigen di dalam tubuh.
Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai penyebab henti
jantung yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan
yang sudah ada pada teori yaitu aliran jantung berhenti karena kondisi
pasien yang disebabkan oleh tersengat listrik dan tenggelam. Partisipan
mencurigai karena pasien hypoxia, jantung berhenti berdenyut
diakibatkan timbulnya aritmia dan sirkulasi aliran darah keseluruh tubuh
berhenti.
5.1.3 Tanda dan gejala henti jantung
Hasil penelitian menyatakan bahwa tanda dan gejala henti jantung
meliputi nadi berhenti berdenyut, penurunan kesadaran, gangguan sistem
respirasi, nyeri dada dan tekanan darah rendah berupa denyut nadi tidak
teraba, pasien cardiac arrest tidak sadarkan diri, sesak nafas, nafas
pendek, apnea, nyeri dada seperti ditusuk-tusuk dan hipotensi.
88
Nadi berhenti berdenyut merupakan rambatan dari denyut jantung
yang dihitung tiap menitnya dengan hitungan repetisi (kali/menit),
dengan denyut nadi normal 60- 100 kali/menit (Majid, 2010). Henti
jantung dibuktikan dengan pulsasi nadi yang tidak teraba. Akibat dari
tidak adekuatnya sirkulasi otak, pasien dapat mengalami penurunan
kesadaran dan dapat mengalami henti napas (Parnia, 2007).
Henti jantung merupakan kematian diartikan sebagai hilangnya
kesadaran dan semua refleks, disertai berhentinya pernafasan dan
peredaran darah yang irreversibel. Oleh karena itu resusitasi merupakan
segala usaha untuk mengembalikan fungsi sistem pernafasan, peredaran
darah dan saraf yang terhenti atau terganggu sedemikian rupa sehingga
fungsinya dapat berhenti sewaktu-waktu, agar kembali menjadi normal
seperti semula (Judarwanto, 2012).
Kegawatan pernafasan adalah sindroma gawat nafas, sindroma
gawat nafas terjadi dalam waktu 24 - 48 jam. Penderita akan merasakan
sesak nafas, pernafasan yang cepat dan dangkal. Karena rendahnya kadar
oksigen dalam darah, kulit terlihat pucat atau biru dan organ lain seperti
jantung dan otak akan mengalami kelainan fungsi sehingga cardiac
arrest (Judarwanto, 2012). Pada saat terjadi henti jantung, secara
langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti sirkulasi ini akan dengan
cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen. Pernafasan
yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba disertai
89
kebiruan atau pucat, pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil tak
bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar (Suharsono,
T., & Ningsih, D. K., 2012).
Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai tanda dan gejala
henti jantung yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan
pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu pasien datang ke IGD
dengan penurunan kesadaran atau pasien memang sudah tidak sadar,
tiba-tiba pasien apnea sehingga dapat di curigai ke cardiac arrest yang
dapat bertahan lebih dari 20 menit atau pasien langsung tidak sadarkan
diri. Cardiac arrest ditandai denyut nadi tidak teraba atau berhenti, jadi
serangan jantung mendada dan jantung tidak memompa sama sekali
sehingga diperlukan penanganan secara cepat dan tepat.
Pasien mengeluhkan nyeri di uluhati, sesak nafas, nafasnya mulai nafas
pendek-pendek, apnea, hipotensi, dan keluar keringat dingin yang di
curigai ke cardiac arrest.
5.1.4 Tindakan henti jantung
Hasil penelitian menyatakan bahwa tindakan henti jantung meliputi
pemberian obat, monitor keadaan pasien dan pemberian posisi berupa
terapi obat, terapi cairan, monitor kesadaran, monitor kondisi dan
keadaan pasien, pemberian posisi membuka jalan nafas dengan head tilt/
chinlift dan jaw thrust.
90
Tindakan atau ketrampilan (practice) merupakan aktifitas (fisik)
yang mencerminkan kemampuan motorik dalam psikomotor seseorang
(Mubarak, 2011). Tindakan ini dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan
yaitu praktik terpimpin (seseorang melakukan suatu kegiatan tetapi
masih tergantung atau menggunakan panduan), praktik secara
mekanisme (tindakan seseorang yang dilakukan secara otomatis), adopsi
(tindakan yang sudah dikembangkan) (Notoatmojo, 2010).
Drugs and fluid intravenous infusion (pemberian obat-obatan dan
cairan melalui infus intravena tanpa menunggu hasil EKG). Bantuan
hidup lanjut (korban dinyatakan belum mati dan belum timbul denyut
jantung spontan) dapat diberikan berupa obat-obatan yaitu : adrenalin,
natrium bikarbonat, sulfat atropine, lidokain, isoproterenol, propranolol,
kortikosteroid, natrium bikarbonat ntuk melawan metabolik asidosis,
diberikan iv dengan dosis awal: 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun
dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan
intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian
harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan
hiperosmolalitas, jika belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi
pemberian dengan dosis yang sama (Soerianata S, 2008).
Electrocardioscopy (Cardiography) adalah monitoring EKG
dilakukan untuk melihat bentuk henti jantung apakah asistol ventrikular,
fibrilasi ventrikular atau kompleks aneh yang lain seperti disosiasi
elektromekani. Fibrilation treatment (terapi fibrilasi atau defibrilasi)
91
adalah cara mengatasi fibrilasi jika mulanya henti jantung disaksikan
dengan EKG dilakukan precordial thumb, apabila tidak berhasil
dilakukan defibrilasi eksternal dengan syok listrik dan obat-obatan. Jika
penanganan belum berhasil, dapat diberi lignokain (lidokain) 1-2 mg/kg
BB IV untuk menurunkan ambang rangsang. Jika diperlukan dapat
diteruskan dengan tetesan infus (1-4 mg/menit). Kemudian ulangi syok
listrik, jika belum berhasil dapat diberi prokainamid 1-2 mg/kg BB IV
dengan tetap mengulangi syok listrik, jika gagal juga dapat diberikan
bretilium dapat ditinggikan hingga 10 mg/kg BB sampai dosis total 30
mg/kg BB. Bretilium ini merupakan obat terakhir yang tersedia apabila
dengan obat ini juga tidak berhasil maka ditegakkan diagnosis kematian
jantung (Alexander RH, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian bahwa pernyataan mengenai
pemberian obat yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan
pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu memberikan terapi obat-
obatan dan terapi cairan kepada pasien post cardiac arrest sehingga
memperoleh perawatan yang lebih definitive.
Memonitor kondisi pasien dengan cara melihat pupil yang normal
akan sama antara mata kiri dan kanan, berukuran 2-4 mm. Pupil yang
mengalami dilatasi dan terfiksir, menunjukkan kematian batang otak dan
hipoksia berat pada tingkat akhir. Bentuk pupil yang normal adalah
bulat, pupil memberikan reaksi yang cepat terhadap cahaya terang
karena pupil berfungsi sebagai diafragma yang mengatur jumlah sinar
92
yang sampai ke retina. Jika reaksi tersebut lambat, menunjukkan adanya
penekanan parsial pada nervus III, sedangkan jika penekanan tersebut
komplit maka reaksi tersebut tidak akan dijumpai. Pupil yang unisokor
pada orang yang sadar penuh tidak menunjukkan efek massa. Tanda vital
sangat penting dalam observasi pasien cardiac arrest karena dapat
memberikan banyak informasi mengenai keadaan pasien dengan
perubahan tanda-tanda vital terlebih dahulu. Tanda vital tersebut
mencakup suhu, nadi, dan tekanan darah. Metabolisme meningkat
sekitar 10% untuk setiap derajat peningkatan suhu tubuh. Hal ini sangat
berdampak buruk terhadap pasien tersebut yang memang sudah
mengalami gangguan suplai oksigen dan glukosa. Takikardia sebagai
respons autonom terhadap kerusakan hipotalamus juga dapat dijumpai
pada tahap akhir dari peningkatan tekanan intrakranial. Aritmia dapat
ditemukan jika terdapat darah dalam lesi fossa posterior. Hipotensi dapat
memperburuk keadaan pasien, perfusi otak yang kurang dapat
menyebabkan kerusakan sel-sel otak secara menyeluruh. Pola dan
frekwensi pernafasan dapat memberikan gambaran tentang keadaan
jantung. Jika frekwensi nafasnya cepat (> 28 kali permenit) dan tidak
teratur, merupakan keadaan emergensi yang harus segera dilaporkan
kepada dokter (Aucken, J, Crawford, 2011).
Pernyataan mengenai monitor keadaan dan kondisi pasien cardiac
arrest yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan teori yang sudah
ada tetapi partisipan tidak mengungkapkan cara melakukannya yaitu
93
partisipan melakukan tindakan pertama dengan memonitor kesadaran
dan nadi kemudian memeriksa kondisi pasien dengan memperhatikan
terapi cairan kemudian kembali memonitoring keadaan pasien, karena
sesudah melakukan RJP dalam tempo sebelum 24 jam ada kemungkinan
terjadi serangan jantung lagi.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa pernyataan mengenai tindakan
henti jantung yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan
pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu pemberian posisi membuka
jalan nafas meliputi head tilt/ chinlift dengan posisi menengadahkan atau
mendongakkan kepala pasien untuk membebaskan jalan nafas dari
sumbatan lidah dan jaw thrust maneuver jika dicurigai leher fraktur
servikal dengan cara memegang rahang bawah dengan kedua tangan
tangan satunya pegang dagu dan angkat rahangnya ke depan agar
giginya menutup. Setelah pasien henti jantung di IGD maka perawat
memonitor kondisi pasien dalam kurung waktu sebelum 24 jam terjadi
serangan jantung kembali dengan memberikan terapi obat-obatan dan
terapi cairan sementara sebelum dimasukan ke ICU sehingga pasien
memperoleh perawatan yang lebih definitive atau menggunakan bantuan
alat-alat resusitasi yang memadai.
Pernyataan mengenai teknik pemberian posisi saat airway yang di
ungkapkan oleh partisipan mengenai head tilt-chin lift tidak sesuai
dengan teori yang sudah ada yaitu teknik dasar pembukaan jalan napas
atas dengan mengangkat kepala-angkat dagu. Teknik dasar ini akan
94
efektif apabila obstruksi napas disebabkan lidah atau relaksasi otot pada
jalan napas atas. Pasien yang menderita trauma diduga mengalami
cedera leher, lakukan penarikan rahang tanpa mendorong kepala. Jaw
trust adalah memegang pada angulus mandibulae, dorong mandibula ke
depan (ventral). Manuver ini aman dilakukan pada pasien trauma.
Pernyataan mengenai tujuan pemberian posisi head tilt-chin lift
yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan teori yang sudah ada
karena mengelola jalan napas yang terbuka dan memberikan ventilasi
merupakan prioritas, maka mendorong kepala lalu menarik dagu apabila
penarikan rahang saja tidak membuka jalan napas adalah teknik head tilt
dan chin lift yang efektif untuk membuka jalan napas tetapi harus
dihindari pada kasus cedera tulang leher atau servikal (American Heart
Association, 2010).
Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti bahwa terapi cairan
dan obat-obatan penunjang resusitasi di IGD sudah lengkap walaupun
dari segi monitoring kondisi pasien lebih intensif dan lengkap alat di
ICU. Dalam pemberian posisi membuka jalan nafas partisipan
memberikan dengan head tilt/ chinlift dan jaw thrust tetapi ada
perbedaan dalam melakukannya sesuai teori yang sudah ada.
95
5.2 Tindakan perawat dalam penanganan cardiac arrest.
5.2.1 Pengkajian awal resusitasi jantung paru
Hasil penelitian menyatakan bahwa pengkajian awal resusitasi
jantung paru meliputi pengkajian lokasi, pemeriksaan tingkat kesadaran,
pemeriksaan nadi dan pemeriksaan pernafasan berupa mengamankan
lingkungan, pasien dan penolong, mengkaji kesadaran sampai
memastikan pasien benar-benar tidak sadar, meraba denyut nadi pada
arteri carotis dan femoral, pemeriksaan pernafasan selama 10 detik.
Menurut American Heart Association (2010) setelah memeriksa
keamanan pasien, penolong dan lingkungan dilanjutkan dengan
memeriksa kemampuan respon penderita, sambil meminta pertolongan
untuk mengaktifkan sistem gawat darurat dan menyediakan AED.
Memeriksa respon dengan memanggil dan menepuk-nepuk pundak atau
menggoyangkan badan penderita (Check responsiveness). Pemeriksaan
denyut nadi merupakan cara untuk mengetahui sirkulasi darah yang
paling sederhana. Denyut nadi merupakan sebagaian besar indeks
pekerjaan jantung tetapi elastilitas pembuluh darah yang lebih besar,
viskositas darah, resistensi arteriol dan kapiler memegang peranan dalam
menetapkan sifat-sifat tertentu dari denyut nadi (Hairy, 2013).
Sebelum pelaksanaan prosedur, nilai kondisi pasien secara
berturut-turut: pastikan pasien tidak sadar, pastikan tidak bernafas,
pastikan nadi tidak berdenyut, dan interaksi yang konstan dengan pasien
(Krisanty. dkk, 2009).
96
Penelitian yang telah dilakukan mengenai resusitasi
menunjukkan baik penolong awam maupun tenaga kesehatan mengalami
kesulitan dalam melakukan pemeriksaan pulsasi arteri carotis. Sehingga
untuk hal tertentu pengecekan pulsasi tidak diperlukan, seperti: penolong
tidak perlu memeriksa nadi dan langsung mengasumsikan penderita
menderita henti jantung jika penderita mengalami pingsan mendadak,
atau tidak berespons tidak bernapas, atau bernapas tidak normal.
Penilaian pulsasi sebaiknya dilakukan kurang dari 10 detik. Jika dalam
10 detik penolong belum bisa meraba pulsasi arteri, maka segera lakukan
kompresi dada. Jika teraba nadi berikan 1 kali napas tiap 5-6 detik. Cek
nadi tiap 2 menit. Jika tidak teraba nadi lanjutkan dengan kompresi
(American Heart Association, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai pengkajian awal
resusitasi jantung paru yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan
pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu perawat memastikan bahwa
lingkungan sekitar, pasien dan penolong sudah aman untuk melakukan
pertolongan resusitasi. Memastikan pasien benar-benar tidak sadar.
Memeriksa denyut nadi pada arteri carotis dan femoral dengan cara nadi
carotis diraba disisi leher dengan jari telunjuk selama kurang dari 10
detik kemudian memeriksaan pernafasan. Tetapi partisipan tidak
menyebutkan cara melakukan pemeriksaan tingkat kesadaran,
pemeriksaan nadi secara jelas dan pemeriksaan pernafasan pasien.
97
5.2.2 Tindakan resusitasi jantung paru
Hasil penelitian menyatakan bahwa tindakan resusitasi jantung
paru meliputi resusitasi jantung paru, kedalaman kompresi dada,
frekuensi kompresi dada, siklus kompresi dada, kecepatan kompresi
dada dan teknik membuka jalan nafas berupa melakukan tindakan
resusitasi jantung paru setelah pasien berhenti nadi dan pernafasannya,
kompresi dada 3-5 cm, frekuensi kompresi dada selama 30 kali
kompresi, siklus kompresi dada selama 5 siklus, kecepatan kompresi
dada selama 100x/menit, head tilt dan jaw thrust, breathing.
Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang diberikan antara 5
sampai 7 menit dari korban mengalami henti jantung, akan memberikan
kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan defibrillator
yang mudah diakses di tempat-tempat umum seperti pelabuhan udara,
dalam arti meningkatkan kemampuan untuk bisa memberikan
pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin, akan meningkatkan
kesempatan hidup rata-rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64%
(American Heart Assosiacion, 2010). Resusitasi jantung paru (RJP)
adalah upaya mengembalikan fungsi nafas dan atau sirkulasi yang
berhenti dan membantu memulihkan kembali fungsi jantung dan paru ke
keadaan normal. Bantuan hidup dasar meliputi aktivasi respon sistem
gawat darurat, dan defibrilasi dengan menggunakan defibrillator
(Shaharudin, N. A., 2010).
98
Berdasarkan penelitian Aehlert (2011) bahwa chest compression
dilakukan untuk mempertahankan sirkulasi darah saat jantung tidak
berdetak. Chest Compression dikombinasikan dengan bantuan
pernapasan untuk mengoksidasi darah. Kombinasi bantuan pernafasan
dan external chest compression ini disebut cardiopulmonary
resuscitation. Kompresi dada dilakukan dengan pemberian tekanan
secara kuat dan berirama pada setengah bawah sternum. Membuat garis
bayangan antara kedua papila mammae memotong mid line pada
sternum kemudian meletakkan tangan kiri diatas tangan kanan atau
sebaliknya. Yang dipakai adalah tumit tangan, bukan telapak tangan.
Siku lengan harus lurus dengan sumbu gerakan menekan adalah pinggul
bukan bahu.
AHA Guidelines (2010) merekomendasikan untuk melakukan
kompresi dada setidaknya 2 inchi (5cm) pada dada. Untuk dewasa,
kedalaman minimal 5 cm (2 inch). Kompresi dada di dua jari diatas
sternum di tulang dada kedalamanya 3 - 5 cm dengan telapak tangan
dipaskan ditengah tulang sternum, kedua siku diluruskan dengan jari-jari
tangan dibuat terkunci, bahu tetap tegak lurus diatas pasien. Komponen
yang perlu diperhatikan saat melakukan kompresi dada yaitu frekuensi
minimal 100 kali permenit. Memberikan kesempatan untuk dada
mengembang kembali secara sempurna setelah setiap kompresi. Tujuan
primer pemberian napas bantuan adalah untuk mempertahankan
oksigenasi yang adekuat dengan tujuan sekunder untuk membuang CO2.
99
Sesuai dengan revisi panduan yang dikeluarkan American Hearth
Association, penolong tidak perlu melakukan observasi napas spontan
dengan Look, Listen, Feel, karena langkah pelaksanaan tidak konsisten
dan menghabiskan banyak waktu. Hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan bantuan napas antara lain memasang mouth barrier untuk
proteksi diri, memberikan napas bantuan dalam waktu 1 detik,
disesuaikan dengan volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding
dada, memberikan 2 kali napas bantuan setelah 30 kompresi, pada
kondisi terdapat dua orang penolong atau lebih, dan telah berhasil
memasukkan alat untuk mempertahankan jalan napas (seperti pipa
endotrakheal, combitube, atau sungkup laring), maka napas bantuan
diberikan setiap 6-8 detik, sehingga menghasilkan pernapasan dengan
frekuensi 8-6 kali permenit (Aucken, J, Crawford, 2011). AHA Guidelines
(2010) merekomendasikan untuk melakukan kompresi dada dengan
kecepatan minimal 100x/menit, dimana dengan kecepatan ini 30
kompresi memerlukan waktu sekitar 18 detik
Teknik membuka jalan nafas untuk membantu ventilasi dan
memperbaiki oksigenasi tubuh. Tindakan ini sebaiknya dilakukan oleh
orang yang sudah menerima pelatihan Bantuan Hidup Dasar atau tenaga
kesehatan profesional dengan menggunakan teknik angkat kepala –
angkat dagu (head Tilt-Chin Lift) pada penderita yang diketahui tidak
mengalami cedera leher. Pada penderita yang dicurigai menderita trauma
servikal, teknik head tilt chin lift tidak bisa dilakukan. Teknik yang
100
digunakan pada keadaan tersebut adalah menarik rahang tanpa
melakukan ekstensi kepala (Jaw Thrust). Pada penolong yang hanya
mampu melakukan kompresi dada saja, belum didapatkan bukti ilmiah
yang cukup untuk melakukan teknik mempertahankan jalan napas secara
pasif, seperti hiperekstensi leher (American Heart Assosiacion, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pernyataan yang di
ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan teori yang sudah ada yaitu
melakukan resusitasi jantung paru untuk memberi bantuan pernapasan
setelah keadaan pasien ditandai dengan nafas ada tetapi nadi belum
teraba atau masih nafas spontan. Langkah awal dengan kompresi dada di
2 jari diatas sternum tulang dada kedalamanya 3-5 cm dengan telapak
tangan tepat ditengah tulang sternum kedua siku lurus dengan jari-jari
tangan dibuat terkunci, bahu tetap tegak lurus diatas pasien. Kompresi
dada dengan perbandingan 30:2 atau 30 kompresi dan 2 ventilasi dengan
frekuensi selama kurang lebih 100x/menit selama 5 siklus. Membuka
jalan nafas sesuai teknik head tilt / jaw thrust. Memberikan 2 kali
bantuan nafas dengan hitungan “satu ribu, dua ribu, tiga ribu, empat ribu,
lima ribu dan seterusnya selama 10 kali/menit.
5.2.3 Evaluasi tindakan resusitasi jantung paru
Hasil penelitian menyatakan bahwa evaluasi tindakan resusitasi
jantung paru meliputi pemeriksaan nadi dan pernafasan berupa
memeriksa ada nadi dan nafas spontan setiap 2 menit.
101
Evaluasi dilakukan secara menyeluruh mencakup urutan dan
prioritas langkah- langkah RJP dan disesuaikan untuk mengidentifikasi
faktor yang mempunyai dampak terbesar pada kelangsungan hidup.
Menurut American Heart Association (2010) bahwa setelah 5 siklus
atau 2 menit diperiksa pulsasi arteri carotis. Segera lakukan RJP selama
2 menit atau 5 siklus. Setelah 2 menit lakukan evaluasi apabila irama
yang terlihat dimonitor adalah irama yang harus diberikan kejut listrik
(Shockable rhytm) yaitu VT tanpa nadi atau VF, maka lakukan
pemberian kejut listrik kembali. apabila irama yang terlihat adalah PEA
atau asistol, maka lakukan pemberian RJP selama 2 menit atau 5 siklus
(Alexander RH, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian mengenai evaluasi tindakan resusitasi
jantung paru yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan
pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu setiap satu siklus perawat
mengecek nadi dan pernafasan setiap 2 menit apabila nafas sudah ada
tetapi nadi belum teraba maka dilakukan RJP 1 siklus lagi. Dihentikan
apabila terdapat tanda-tanda membaik berupa nadi dan nafas spontan
atau pasien sudah dinyatakan meninggal jika pupil pasien sudah melebar
mediatris maksimal dikatakan meninggal.
5.2.4 Posisi recovery
Hasil penelitian menyatakan bahwa posisi recovery meliputi
pemberian posisi sisi mantap dan teknik posisi sisi mantap.
102
Posisikan pasien pada posisi mantap (recovery position) jika tidak
ada riwayat trauma leher. Apabila tidak ada pernafasan pasien
diposisikan telentang, buka jalan nafas dan bersihkan sumbatan yang
terlihat didalam mulut pasien dan berikan bantuan pernafasan buatan
(American Heart Association, 2010).
Menurut buku dari Suharsono, T., & Ningsih, D. K (2012) :
Setelah nafas dan nadi korban ada, jika tidak ada kontraindikasi untuk
mencegah kemungkinan jalan nafas tersumbat oleh lidah, lender, atau
muntah berikan posisi recovery pada korban dengan langkah sebagai
berikut meletakkan tangan korban yang dekat dengan anda dalam posisi
lengan lurus dan telapak tangan menghadap keatas kearah paha korban,
meletakkan lengan yang jauh dari anda menyilang diatas dada korban
dan letakkan punggung tangannya menyentuh pipinya, dengan
menggunakan tangan anda yang lain maka tekuk lutut korban yang jauh
dari anda sampai membentuk sudut 90˚, menggulingkan korban kearah
penolong, melanjutkan untuk memonitor denyut nadi korban, tanda
sirkulasi dan pernafasan tiap 2 menit.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai posisi recovery yang di
ungkapkan oleh partisipan tidak sesuai dengan pernyataan yang sudah
ada pada teori yaitu posisi recovery seperti tidur terlentang biasa,
punggung tangan kanan menyentuh pipi dan kepala, kaki ditekuk 900.
Posisi telapak tangan satunya menghadap atas dan kakinya diluruskan.
Menurut peneliti bahwa sebelum melakukan pertolongan pertama posisi
103
pemulihan untuk korban pasca resusitasi harus dipastikan korban tidak
memiliki cedera leher, tulang punggung, dan cedera lainnya.
5.2.5 Faktor dihentikan resusitasi jantung paru
Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor dihentikan resusitasi
jantung paru meliputi henti nafas dan meninggal.
Indikasi dihentikannya resusitasi jantung paru hingga kini masih
menjadi perdebatan, tidak ada batasan waktu yang tegas disebutkan oleh
para ahli namun beberapa hal menjadi pertimbangan antara lain korban
telah menunjukan tanda-tanda kematian atau sudah ada respon dari
korban (nafas dan nadi mulai ada). Menurut Suharsono, T., & Ningsih,
D. K (2012) bahwa henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan
dada dan aliran udara pernafasan dari korban atau pasien. Resusitasi
jantung paru boleh dihentikan oleh penolong apabila terjadi hal-hal
berikut ini yaitu timbul nadi dan nafas spontan pada korban, penolong
terlalu lelah, datang bantuan yang lebih professional, pasien dinyatakan
sudah meninggal.
Upaya pemberian bantuan hidup dasar dihentikan pada beberapa
kondisi kembalinya sirkulasi dan ventilasi spontan, ada yang lebih
bertanggung jawab dan penolong lelah atau sudah 30 menit tidak
ada respon, tanda kematian yang ireversibel. Beberapa tanda kematian
yang dapat diidentifikasi yaitu lebam mayat, muncul sekitar 20-30 menit
setelah kematian, darah akan berkumpul pada bagian tubuh yang paling
104
rendah akibat daya tarik bumi, terlihat sebagai warna ungu pada kulit,
kaku mayat (rigor mortis), kaku pada tubuh dan anggota gerak setelah
kematian dan pupil melebar (midriasis) dan refleks terhadap cahaya
negative dan cedera mematikan (Alexander RH, 2013).
Hasil penelitian lain menyatakan bahwa salah satu faktor
dihentikan resusitasi jantung paru merupakan kematian. Penghentian
RJP dengan mempertimbangkan durasi RJP dan kondisi pasien
dilakukan untuk memberi kesempatan pada klien untuk meninggal
dengan tenang (Oktavianus, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor dihentikan resusitasi
jantung paru yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan
pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu dihentikan resusitasi jantung
paru karena setelah di resusitasi jantung paru pasien tidak berespon dan
henti nafas atau dinyatakan meninggal jika pupil sudah melebar
mediatris maksimal, tetapi pernyataan tersebut kurang lengkap dan
dijelaskan tentang penyebab pasien meninggal.
5.2.6 Pemberian obat-obatan emergency
Hasil penelitian menyatakan bahwa pemberian obat-obatan
emergency meliputi jenis obat emergency dan fungsi obat emergency
atau resusitasi jantung paru.
Pelaksanaan RJP tidak dapat dilakukan seorang diri. Pelaksanaan
RJP dilakukan oleh tim yang terdiri dari leader, ventilator, kompresor,
105
dan sirkulator. Sirkulasi juga dipengaruhi oleh intervensi pemberian
obat. Manajemen obat adalah salah satu faktor penting dalam
menentukan keberhasilan RJP. Obat dapat membantu mengembalikan
status hemodinamik tubuh. Dokter adalah profesi kesehatan yang
memiliki wewenang untuk memberikan obat-obatan pada pasien.
Sehingga untuk pemberian obat saat resusitasi pasien tergantung
keputusan dokter. Kehadiran dokter menjadi faktor yang sangat berperan
untuk keberhasilan RJP. Inisiasi awal pembebasan jalan napas,
pemberian ventilasi dan kompresi dilanjutkan dengan pemberian obat
sesuai advis dokter dapat menolong pasien yang mengalami arrest
(Lionell, 2006).
Advance life support (Drug and Fluid, Disability, Deferential
diagnose) merupakan usaha untuk mempertahankan dan mengembalikan
sirkulasi spontan, dan stabilitas system cardiovasculer dengan obat-
obatan dan terapi cairan seperti adrenalin, natrium bikarbonat, lidokain,
atropine, dopamine dan pemberian cairan sesuai dengan penyebab dan
tujuan pemberian terapi (terapi cairan). Tujuan terapi cairan intravena
adalah resusitasi untuk menggantikan segera kehilangan cairan untuk
mengembalikan sirkulasi darah.
Keberhasilan resusitasi jantung - paru yang ditandai dengan
kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation/ ROSC)
yaitu terabanya nadi karotis, yang sebenarnya adalah langkah awal dari
tujuan pengelolaan secara menyeluruh pada pasien henti jantung.
106
Pengelolaan pasca henti jantung dilaporkan dapat menurunkan mortalitas
akibat tidak stabilnya hemodinamik, bahkan dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas akibat gagal multi organ dan brain injury
(Neumar, 2008).
Penggunaan adrenalin telah terbukti meningkatkan ROSC, tetapi
tidak ada obat resusitasi atau alat bantu napas tingkat lanjut yang terbukti
meningkatkan kelangsungan hidup setelah henti jantung. Setiap siklus
secara umum sama, dengan total 2 menit RJP diberikan sebelum menilai
irama. adrenalin 1mg dan amiodarone 300 mg segera setelah kompresi
dilanjutkan. Amiodarone diberikan apabila setelah pemberian shock
ketiga masih terdapat irama VT/VF. Dosis diberikan secara bolus
sebanyak 300mg dan dapat diberikan dosis ulangan sebesar 150mg
untuk VT/VF refrakter, diikuti dengan infus 900 mg selama 24 jam.
Lidokain 1mg/kgBB dapat diberikan sebagai alternatif dari amiodarone
(Poerwanto, 2013).
Berdasarkan pernyataan mengenai pemberian obat-obatan
emergency yang di ungkapkan oleh partisipan hampir sesuai dengan
pernyataan yang sudah ada pada teori meliputi dopamine atau
dobutamine, epineprine, amiodaron vasonepressin, atropine dan
adrenalin. Amiodaron berfungsi untuk melenturkan otot-otot jantung
sehingga suplai O2 dan darah dapat lancar kembali, karena aliran darah
keseluruh tubuh berhenti sehingga aliran ke otak berkurang apabila di
biarkan menyebabkan hipoksia kemudian kematian. Morfin berfungsi
107
untuk mengurangi nyeri dada. Dopamine atau dobutamin berfungsi
untuk tekanan darah sistolik 70-100 mmHg atau hipotensi. Adrenalin
dan epinefrin berfungsi untuk henti jantung, fibrilasi, takikardi dan
menaikkan tekanan darah. Atropin berfungsi untuk menaikkan denyut
nadi. Seorang perawat tidak berhak untuk memberikan terapi apapun,
tetapi dapat melakukan perintah untuk memberikan terapi agar
pengobatan ke pasien dapat diberikan sesuai prosedur. Pemberian obat
atau terapi injeksi dan dosisnya berdasarkan perintah dokter dan perawat
hanya memberikan obatnya kepada pasien yang terserang cardiac arrest.
5.3 Faktor pendukung perawat dalam penanganan cardiac arrest
5.3.1 Pengetahuan perawat
Hasil penelitian menyatakan bahwa pengetahuan perawat meliputi
tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan pelatihan berupa latar
belakang pendidikan lulusan D3 dan S1, lama pengalaman, ilmu
pengalaman, kompetensi dari pelatihan, pelatihan PPGD dan BTCLS.
Menurut Notoatmojo yang dikutip oleh (Wawan & Dewi, 2011),
pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan
sangat erat hubunganya dengan pendidikan, dimana bahwa dengan
pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pola
pengetahuanya (Wawan & Dewi, 2011). Pengetahuan atau kognitif
108
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (ovent behavior) (Wawan & Dewi, 2011).
Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat
menurut Mubarak & Chayatin (2009) menyatakan faktor – faktor yang
berpengaruh terhadap pengetahuan meliputi tingkat pengetahuan
perawat diantaranya usia, tingkat pendidikan, pengalaman kerja (lama
kerja), pelatihan kegawat daruratan yang pernah diikuti dan informasi.
Pendidikan adalah proses untuk mempelajari dan meningkatkan
ilmu yang diperoleh, pendidikan yang lebih tinggi secara otomatis akan
berbanding lurus dengan pengetahuan yang dimiliki (Notoatmodjo,
2007) sejalan dengan yang dikemukakan oleh keraf (2001) bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin baik
pengetahuan yang dimiliki.
Adanya hubungan antara pengetahuan dengan perawat dalam
menangani cardiac arrest dalam penelitian ini didukung oleh teori
Notoadmodjo (2010) yang menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh
dari sekumpulan informasi yang saling terhubung secara sistematik
sehingga memiliki makna. Informasi diperoleh dari data yang sudah
diolah sehingga mempunyai arti. Selanjutnya data ini akan dimiliki
seseorang dan akan tersimpan dalam neuron-neuron (menjadi memori)
di otaknya. Kemudian ketika manusia dihadapkan pada suatu masalah,
maka informasi yang tersimpan dalam neuron-neuronnya dan terkait
dengan permasalahan tersebut, akan saling terhubung dan tersusun
109
secara sistematik sehingga memiliki model untuk memahami atau
memiliki pengetahuan yang terkait dengan permasalahan yang
dihadapinya. Kemampuan memiliki pengetahuan atas objek masalah
yang dihadapi sangat ditentukan oleh pengalaman, latihan atau proses
belajar.
Keterampilan merupakan keahlian yang dimiliki seseorang dalam
melakukan suatu pekerjaan dengan dilandasi pendidikan, keahlian yang
tinggi serta bertanggung jawab terhadap pekerjaannya tersebut (Abidin,
2011). Masa kerja juga merupakan suatu hal yang dapat mempengaruhi
pengetahuan serta ketrampilan, karena seseorang yang memiliki masa
kerja yang lama secara otomatis akan terbentuk pengalaman kerja yang
memadai serta tercipta pola kerja yang efektif dan dapat menyelesaikan
berbagai persoalan berdasarkan pengalaman ketrampilan serta tercipta
pola kerja yang efektif dan dapat menyelesaikan berbagai persoalan
berdasarkan pengalaman, ketrampilan, serta pengetahuannya (Erlita,
2008).
Menurut INTC (International Nurse Traininhg Centre) (2009)
kompetensi perawat dalam melaksanakan pelayanan kegawatdaruratan,
hal ini terkait dengan pernah tidaknya mengikuti pelatihan tentang
penanganan gawat darurat serta pelatihan Basic Trauma Cardiac Life
Support (BTCLS) sebagai kompetensi dasar. Penanggulangan Penderita
Gawat Darurat (PPGD) dalam mencegah kematian dan cacat ditentukan
oleh kecepatan ditemukan penderita, kecepatan meminta pertolongan,
110
dan kecepatan dalam kualitas pertolongan yang diberikan untuk
menyelamatkannya.
Adanya hubungan antara pelatihan dengan pengetahuan perawat
dalam menangani cardiac arrest dalam penelitian ini didukung oleh
pendapat Ivancevich (2008) yang menyatakan bahwa pelatihan
berorientasi ke masa sekarang dan membantu pegawai untuk menguasai
keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang spesifik untuk berhasil
dalam pekerjaannya, sebagai contoh seorang perawat dapat melakukan
tidakan penanganan cardiac arrest ketika sudah memiliki keterampilan
dan kemampuan. Kemampuan memiliki pengetahuan atas objek masalah
yang dihadapi sangat ditentukan oleh pengalaman dan latihan atau
proses belajar. Pelatihan efektif apabila pelatihan tersebut dapat
menghasilkan sumber daya manusia yang meningkat kemampuannya,
keterampilan dan perubahan sikap yang lebih mandiri. Keefektifan
pelatihan akan mempengaruhi kualitas kinerja sumber daya manusia
yang dihasilkannya (Wolff, 2010). Pelatihan bantuan hidup dasar
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan atau
keterampilan perawat dalam pelaksanaan asuhan keperawatan terutama
korban yang memerlukan bantuan hidup dasar, karena pelayanan korban
bantuan hidup dasar harus dilakukan dengan cepat, tanggap, terampil,
teliti, serta konsentrasi penuh, mengingat setiap kesalahan yang kita
lakukan akan mengakibatkan efek yang sangat fatal serta kesalahan
111
tersebut tidak dapat diperbaiki pada pertolongan selanjutnya (Cristian,
2009).
Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai pengetahuan
perawat yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan
yang sudah ada pada teori yaitu latar belakang pendidikan perawat di
Instalasi Gawat Darurat RSUD Karanganyar adalah pendidikan minimal
D3 dan sebagian besar berpendidikan S1 keperawatan serta mengikuti
pelatihan kegawatdaruratan. Tingginya tingkat pendidikan akan
mempengaruhi pengetahuan seseorang dan lama pengalaman perawat
bekerja di Instalasi Gawat Darurat RSUD Karanganyar adalah sebagian
besar lebih dari 10 tahun dan 3 perawat lainya dengan pendidikan D3
lama kerja kurang dari 3 tahun. Partisipan menyebutkan bahwa
penerapan ilmu yang dimiliki individu sangatlah penting untuk
menunjang pengalaman dalam menangani pasien kegawatan dan
semakin lama usia seseorang maka semakin lama pengalamannya.
Ketiga partisipan sudah mengikuti berbagai macam pelatihan
kegawatdaruratan seperti PPGD atau BTCLS. Perawat di IGD RSUD
Karanganyar biasanya berbagi ilmu pengetahuan dan kompetensi dari
pelatihan atau penerapan pengetahuan yang perawat miliki kepada
teman-teman seprofesi. Perbedaan jenis pelatihan gawat darurat tidak
menunjukkan ada perbedaan kerja perawat atau dalam penanganan
cardiac arrest.
112
Menurut peneliti berdasarkan pernyataan dan observasi kepada
partisipan adalah semakin tinggi tingkat pengetahuan dan pelatihan
berpengaruh kepada tindakan penanganan cardiac arrest yang tepat dan
benar tetapi pengalaman kerja yang lebih lama tidak berpengaruh karena
pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan perawat dalam penanganan
cardiac arrest merupakan hal utama yang harus dikuasai oleh seorang
perawat sebelum melakukan tindakan tersebut. Oleh karena itu perawat
dituntut untuk memiliki kompetensi dalam menangani korban yang
membutuhkan bantuan hidup dasar. Salah satu upaya dalam peningkatan
kompetensi tersebut dilakukan melalui pelatihan bantuan hidup dasar,
pelatihan ini merupakan pelatihan dasar bagi perawat dalam menangani
korban yang memerlukan bantuan hidup dasar akibat trauma dan
gangguan kardiovaskuler untuk menyelamatkan nyawa dan
meminimalisir kerusakan organ serta kecacatan penderita. Intinya adalah
bagaimana menguasai dan membebaskan jalan napas, bagaimana
membantu mengalirkan darah ke tempat yang penting dalam tubuh,
sehingga pasokan oksigen ke otak terjaga untuk mencegah terjadinya
kematian sel otak. Peran RJP sangatlah besar, seperti orang-orang yang
mengalami henti jantung tiba-tiba. Henti jantung menjadi penyebab
utama kematian walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu
berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya
resusitasi dengan tepat dan cepat.
113
5.3.2 Sarana pendukung
Hasil penelitian menyatakan bahwa sarana pendukung tindakan
cardiac arrest meliputi peralatan yang lengkap berupa ETT
(endotracheal tube), laringoscope, EKG, ambu bag, suction, bed, alat
steril, alat tensi, ventilator, defibrillator dan obat-obatan emergency.
Adanya hubungan antara fasilitas dengan faktor pendukung yang
mempermudah perawat dalam menagani cardiac arrest sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh Arikunto (2008) bahwa fasilitas adalah
segala sesuatu yang dapat memudahkan dan memperlancar pelaksanaan
usaha ini dapat berupa benda - benda maupun uang, jadi dalam hal ini
fasilitas dapat disamakan dengan sarana yang ada di Rumah Sakit.
Ketersediaan alat yang lengkap sudah menjadi standar pelayanan rumah
sakit. Kelengkapan alat menjadi kebutuhan vital yang harus tersedia saat
dilakukannya RJP. Perlengkapan yang biasa diperlukan yaitu ambu bag,
selang oksigen, oksigen, suction, selang suction, gudel, endotrakeal tube
beserta mandrainnya, laringoskop, senter, obat emergency seperti
adrenalin, SA, atau amiodaron. Adanya papan untuk RJP akan
memberikan kesempatan kompresi lebih maksimal dilakukan pada
pasien. Sirkulasi darah ke otak akan maksimal karena darah dipompa
manual secara maksimal oleh perawat.
Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai sarana
pendukung yang di ungkapkan oleh partisipan tidak sesuai dengan
pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu ketersediaan peralatan
114
merupakan faktor yang meningkatkan keberhasilan RJP bagi partisipan.
Partisipan menyatakan bahwa faktor yang meningkatkan keberhasilan
RJP adalah adanya fasilitas yang mendukung dan lengkap di ruangan
Instalasi Gawat Darurat RSUD Karanganyar yaitu ETT (endotracheal
tube), laringoscope, ambu bag, oksigen, ventilator, DC shock,
defibrillator, EKG dan obat-obatan emergency) resusitasi masker
elektrik tetapi di IGD menggunakan yang manual.
Menurut peneliti berdasarkan observasi bahwa daya tampung di
ruang IGD RSUD Karanganyar hanya 12 pasien tetapi sering di isi
kurang lebih 30 pasien. Fasilitas di ruang IGD masih standart fasilitas
RSUD tipe C, sehingga adanya perasaan tidak nyaman oleh petugas
kesehatan ataupun pasien dan keluarga karena keterbatasan tersebut.
5.3.3 Kesiapan perawat
Hasil penelitian menyatakan bahwa kesiapan perawat dalam
penanganan cardiac arrest meliputi berpikir kritis, fokus, melindungi
diri dan melakukan tindakan dengan tepat berupa membuat keputusan
saat penanganan, berhati-hati, setiap tindakan memperhatikan
kedepannya, teliti, proteksi diri, memperhatikan keamanan perawat,
memulai persiapan, mengompresi dada, mengambil alat ventilator atau
mengeset alat defribilator, menghubungi dokter jaga dan mempersiapkan
terapi obat.
115
Dalam International Journal of Nursing menyatakan bahwa
penggunaan kata kesiapan (readiness) dalam literatur keperawatan
tidaklah didefinisikan dengan pasti dan dikembangkan sebagai suatu
konsep. Kemampuan untuk menilai, kemampuan untuk berfikir kritis
dan mengambil keputusan terhadap tindakan sesuai dengan kondisi klien
yang disebut kesiapan. Memberikan perawatan yang aman kepada klien.
Pemberian perawatan yang aman kepada klien merupakan suatu
komponen yang penting dari praktek keperawatan.
Kesiapan adalah keseluruhan kondisi seseorang yang membuatnya
siap untuk memberi respon atau jawaban dengan cara tertentu terhadap
suatu situasi. Penyesuaian kondisi pada suatu saat akan berpengaruh atau
kecenderungan untuk memberi respon (Slameto, 2008). Seorang ahli
bernama Cronbach memberikan pengertian tentang kesiapan sebagai
segenap sifat atau kekuatan yang membuat seseorang dapat bereaksi
dengan cara tertentu. Kemampuan seseorang dalam kesiapan terdiri dari:
mempunyai kemampuan dasar umum dan kemampuan untuk menangani
hal -hal yang bersifat khusus, memberikan perawatan yang aman kepada
klien, mampu menghadapi atau bertahan dengan kenyataan sekarang dan
kemungkinan-kemungkinan kedepan, serta mempunyai keseimbangan
antara pelaksanaan, pengetahuan dan berpikir.
Hasil penelitian Wolff (2010) menyatakan bahwa ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kesiapan perawat, antara lain pengetahuan,
pengalaman dan training. Ketiga faktor tersebut akan saling menguatkan
116
untuk membentuk suatu kesiapan. Kemampuan memiliki pengetahuan
atas objek masalah yang dihadapi sangat ditentukan oleh pengalaman
dan latihan atau proses belajar. Seorang perawat yang dikatakan siap
mempunyai alasan yang menyakinkan kenapa dia memutuskan untuk
melakukan suatu tindakan keperawatan dan mendemonstrasikan
kemampuan untuk melaksanakan praktek keperawatan sesuai dengan
etika, penuh kehati-hatian dan aman. Mampu menghadapi atau bertahan
dengan kenyataan sekarang dan kemungkinan-kemungkinan ke depan.
Pengetahuan yang baik sangat berpengaruh pada ketrampilan
perawat. Ketrampilan asal dari kata “terampil” yang bermakna cakap
dalam melaksanakan tugas, mampu dan cekatan atau dalam arti lain
keterampilan atau kemampuan seseorang menerapkan pengetahuan yang
dimiliki kedalam bentuk tindakan. Perawat harus memiliki keterampilan
baik dalam komunikasi efektif, objektifitas dan kemampuan dalam
membuat keputusan klinis secara cepat dan tepat agar perawatan setiap
pasien menjadi maksimal (Dunnete, 2007 dalam Cristian, 2008).
Di unit gawat darurat dan instalasi care unit pengetahuan dan
ketrampilan perawat sangat dibutuhkan terutama dalam pengambilan
keputusan klinis dimana ketrampilan sangat penting dalam penilaian
awal, perawat harus mampu memprioritaskan perawatan pasien atas
dasar pengambilan keputusan yang tepat, untuk mendukung hal tersebut
dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan dalam hal melakukan tindakan
keperawatan. Pengetahuan dan ketrampilan perawat sangat penting di
117
dalamnya karena perawat merupakan ujung tombak utama dalam senuah
pelayanan khususnya pelayanan di ruang gawat darurat (Oman, 2008).
Keterlambatan dalam semenit saja sangat mempengaruhi prognosis
penderita, sebab kegagalan system otak dan jantung selama 4-6 menit
dapat menyebabkan kematian klinis sementara kematian biologis dapat
terjadi setelahnya (Sterz, 2008). Pengetahuan sangat berhubungan erat
dengan kesiapan dalam kondisi seseorang menghadapi pasien cardiac
arrest, agar seseorang tersebut mampu mengambil keputusan terhadap
apa yang akan dilakukan, maka dia harus mempunyai pengetahuan
tentang cardiac arrest yaitu pada tingkat evaluasi yang merupakan
tingkatan tertinggi dari pengetahuan (Notoadmodjo, 2010).
Langkah-langkah bantuan hidup dasar merupakan proteksi diri,
memastikan kesalamatan penolong dan korban apabila menemukan
penderita, hal yang paling utama sebelum melakukan bantuan adalah
proteksi diri, mengingat saat ini begitu banyak penyakit penyakit
menular yang beredar dimasyarakat (American Heart Assosiacion,
2010). Permasalahan yang sering dihadapi oleh perawat adalah cara
menangani kegawatan pulmonal serta kegawatan kardiovaskuler lewat
resusitasi jantung paru dengan tindakan dan teknik pelaksanaan yang
tepat (Soerianata, 2008). Kompetensi perawat menguasai panduan RJP
dan kolaborasi dengan dokter menentukan kualitas resusitasi yang
diberikan kepada pasien (Oktavianus, 2010).
118
Perawat dituntut memberikan pelayanan yang cepat, tepat, dan
cermat dengan tujuan mendapatkan kesembuhan tanpa kecacatan. Oleh
karena itu perawat perlu membekali dirinya dengan pengetahuan dan
perlu meningkatkan keterampilan yang spesifik yang berhubungan
dengan kasus-kasus kegawatdaruratan utamanya kasus kegawatan
pernafasan dan kegawatan jantung (Maryuani, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai kesiapan
perawat yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan
yang sudah ada pada teori yaitu mengungkapkan bahwa perawat dalam
situasi apapun harus dapat membuat keputusan yang benar dan tepat,
berpikir kritis dengan memperhatikan kedepannya dengan berhati-hati
dan ketelitian agar tidak ada kesalahan dalam mendiagnosa saat
penanganan pasien dengan cardiac arrest. Tim perawat memulai
persiapan seperti pemeriksaan kondisi pasien sebelum kompresi dada,
mengambil alat ventilator atau mengeset alat defribilator, menghubungi
dokter jaga dan mepersiapkan terapi obat sesuai kewenangan dokter.
Saat melakukan kompresi perawat tidak perlu menghitung siklus tetapi
yang menghitung kompresi adalah pemegang ventilator agar perawat
dapat berkonsentrasi. Pentingnya proteksi diri dalam setiap tindakan
apabila diharuskan melakukan mounth to mounth harus diperhatikan
keamanan perawat karena sangat berbahaya jika pasien riwayat TB paru
atau HIV.
119
5.4 Faktor penghambat perawat dalam penanganan cardiac arrest.
5.4.1 Hambatan sarana dan prasarana
Hasil penelitian menyatakan bahwa hambatan sarana dan prasarana
meliputi keterbatasan tempat dan alat berupa tempat penuh dan alat di
ruang IGD terbatas.
Perawat harus mengetahui dan memahami hak penderita serta
beberapa keadaan yang mengakibatkan RJP tidak perlu dilaksanakan
seperti henti jantung terjadi dalam sarana atau fasilitas kesehatan
(Worthington, 2012). Sarana dan suplai yang cukup merupakan segala
sesuatu yang dapat memudahkan dan memperlancar pelaksanaan usaha
yang berupa benda – benda (Cristian, 2008).
Menurut Herkutanto (2008), ketersediaan tenaga kesehatan dalam
jumlah yang cukup sesuai kebutuhan adalah syarat yang harus dipenuhi
oleh IGD. Selain dokter jaga yang siap di IGD, rumah sakit juga harus
menyiapkan spesialis lain (bedah, penyakit dalam, anak, dll) untuk
memberikan dukungan tindakan medis spesialistis bagi pasien yang
memerlukannya.
Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai hambatan sarana
dan prasarana yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan
pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu mengungkapkan bahwa di
Instalasi Gawat Darurat RSUD Karangnyar keterbatasan tempat penuh
karena pasien yang seharusnya sudah diruangkan masih di rawat di IGD
sehingga kekurangan tenaga kesehatan untuk melayani pasien yang baru
120
datang dan melayani pasien yang masih di rawat di IGD maka alatnya
juga terbatas.
5.4.2 Faktor pasien
Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor pasien meliputi
penolakan tindakan dan kondisi pasien berupa pasien tidak setuju atau
menolak di resusitasi, menderita penyakit yang lama dan faktor usia
pasien sudah tua.
Pada awal dan akhir resusitasi, perbedaan etik dan norma-norma
budaya harus dipertimbangkan. Meskipun prinsip-prinsip etik tentang
beneficence, non maleficence, autonomy dan justice dapat diterima di
seluruh budaya, tetapi prioritas prinsip-prinsip etik ini dapat bervariasi
antara kebudayaan yang berbeda. Di Amerika Serikat sebagian besar
penekanan pada otonomi individual. Di Eropa lebih menekankan pada
penyedia layanan kesehatan otonomi yang menjadi tugas mereka dalam
mengambil keputusan bila timbul masalah yang muncul. Sedangkan di
Asia keputusan kelompok masyarakat mendominasi tentang keputusan
yang diambil bila timbul masalah yang timbul. Sehingga dokter harus
memainkan peranan penting dalam mengambil keputusan berdasarkan
data ilmiah dan keinginan (preferensi) pasien (Worthington, 2012).
Faktor kondisi dalam hal ini adalah penyebab atau penyakit
penyerta yang memicu terjadinya cardiac arrest pada pasien tersebut
diantaranya adanya infark miokard kronis, penyakit jantung koroner,
121
sepsis, serta syok kardiogenik, dan tidak hanya berhenti pada kondisi
pasien saja namun adanya indikasi untuk dihentikannya resusitasi juga
mempengaruhi pemberian siklus misalnya saat muncul lebam mayat
maka CPR harus dihentikan. Aehlert (2011) menyatakan apabila
pencetusnya adalah ventrikel fibrilasi maka outcome masih baik, namun
jika pencetusnya PEA atau asistole maka outcomenya cenderung buruk.
Usia bukan merpakan salah satu kontraindikasi dilakukannya
tindakan RJP. Walaupun dikatakan proses penuaan berkaitan dengan
akumulasi berbagai kelemahan dan penyakit dimana terdapat perawatan
jangka panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih menjadi salah satu
perkiraan hasil RJP yang buruk (Hilberman, 2007).
Gray (2012) dalam bukunya mendukung pernyataan Goldberger,
menyatakan bahwa penuntun pemberian CPR yang paling membantu
adalah dokter atau perawat senior yang mengetahui kondisi pasien, serta
catatan kasus yang informatif. Laki-laki yang mengalami arrest lebih
memiliki kesempatan untuk hidup kembali setelah mendapatkan RJP.
Usia yang lebih muda juga merupakan preditor keberhasilan RJP. Pasien
dengan penyebab non cardiac (henti napas) memiliki kesempatan yang
lebih besar untuk selamat. Pulseless Electrical Activity (PEA) atau
asistol merupakan prediktor yang buruk untuk keberhasilan RJP . Faktor
lain yang mempengaruhi keberhasilan RJP antara lain non cancer
diagnosis, kanker tanpa metastase, fungsi ginjal yang bagus, infeksi
122
yang diketahui, tekanan darah yang normal dan pasien tidak terisolasi
pada suatu ruangan.
Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai faktor pasien
yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan yang sudah
ada pada teori yaitu mengungkapkan bahwa perawat mengedukasi
keluarga pasien jika pasien atau keluarga tidak setuju maka perawat
harus mengikuti hak keputusan keluarga tersebut dengan surat hitam
diatas putih untuk bukti pendokumentasian. Keluarga pasien yang tidak
kooperatif pasrah dan kasihan melihat anggota keluarganya di kompresi
karena sudah menderita penyakit yang lama dan usia sudah terlalu tua.
Terpenting bahwa sebagai perawat sudah berusaha.
5.4.3 Faktor keluarga
Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor keluarga meliputi
penolakan keluarga berupa keluarga pasien tidak menghendaki pasien di
resusitasi jantung paru dan keluarga tidak kooperatif.
Keputusan tentang Resusitasi Jantung Paru (RJP) sangat rumit dan
sering dibuat dalam hitungan detik oleh tenaga medik tanpa mengetahui
apakah penderita mempunyai advanced directives atau tidak. Advanced
directives adalah dokumen yang sah secara hukum, yang ditulis sebelum
penderita menderita penyakit yang bersifat incapacitating. Petunjuk
yang ada dalam advanced directives ini dapat membebas tugaskan
tenaga medik dalam mengambil keputusan, dengan kata lain advanced
123
directives adalah pernyataan tentang keinginan penderita mengenai
tindakan medik apa yang sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan pada
waktu penderita itu dalam keadaan incompetency. Beberapa penelitian
menunjukkan pemberian RJP sering bertentangan dengan keinginan
pasien. Padahal setiap keputusan harus dibuat dengan belas kasih,
berdasarkan prinsip-prinsip etik dan referensi ilmiah yang ada
(Worthington, 2012).
Gray (2012) dalam bukunya mendukung pernyataan Goldberger,
menyatakan usaha resusitasi yang jelas tidak sesuai dengan usia pasien
atau kondisi medis dasar yang tidak hanya menyebabkan frustasi bagi
tim CPR namun juga potensial berbahaya untuk pasien, serta dapat
menyebabkan kesedihan mental pada keluarga pasien. Tidak adanya
indikasi jelas untuk menghentikan usaha resusitasi lebih awal, seperti
pada penyakit terminal, lanjutkan usaha resusitasi selama kurang lebih
30 menit, yang terbukti telah menyediakan oksigenasi jaringan yang
adekuat (yaitu pH dan gas darah yang memuaskan), jika masih belum
ada aktivitas jantung spontan setelah 30 menit, resusitasi lebih lanjut
sangat tidak bermanfaat. Tanpa oksigenasi adekuat, kerusakan otak
ireversibel dimulai setelah 3 menit dan usaha resusitasi yang berhasil
setelah lebih dari 10 menit kemungkinan besar dapat menyebabkan
kecacatan.
Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai faktor keluarga
yang di ungkapkan oleh partisipan tidak sesuai dengan pernyataan yang
124
sudah ada pada teori yaitu mengungkapkan bahwa sebelum melakukan
tindakan harus ada pendidikan kesehatan karena setiap keluarga ada
yang kooperatif dan tidak mengerti dengan tindakan medis. Tindakan
yang akan dilakukan harus dengan ijin keluarga. Keluarga pasien ada
yang tidak menghendaki melakukan RJP karena kasihan terhadap pasien
yang sudah tua dan lama penyakit penderita, tetapi dengan syarat ada
pendokumentasian misalnya nama pasien, alamat, umur, keadaan
kondisi pasien dan tanda tangan dokter. Perawat harus menanyakan
terlebih dahulu dengan keluarga atau kerabat pasien walaupun harus di
resusitasi tetapi keluarga pasien menolak tetap tindakan resusitasi tidak
dapat dilakukan.
125
BAB VI
PENUTUP
6.1 KESIMPULAN
Berdasarkan analisa dari kata kunci yang telah didapat dalam
penelitian ini maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
6.1.1 Mendeskripsikan pengetahuan perawat tentang penanganan cardiac
arrest.
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian
didapatkan empat tema yaitu definisi henti jantung meliputi henti
jantung dan gangguan irama jantung. Penyebab henti jantung meliputi
peristiwa dan gangguan sirkulasi tubuh. Tanda dan gejala henti
jantung meliputi nadi berhenti berdenyut, penurunan kesadaran,
gangguan sistem respirasi, nyeri dada dan tekanan darah rendah.
Tindakan henti jantung meliputi pemberian obat, monitor kondisi
pasien dan pemberian posisi.
Henti jantung merupakan kematian penyakit jantung yang
mendadak dan jantung tidak berdenyut atau denyut nadi tidak teraba
sehingga sirkulasi aliran darah keseluruh tubuh berhenti yang ditandai
oleh gangguan irama jantung yaitu ventrikel takikardi, ventrikel
fibrilasi, pulseless electrical activity dan asistol
126
6.1.2 Mendeskripsikan tindakan perawat dalam penanganan cardiac arrest.
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian
didapatkan enam tema yaitu pengkajian awal resusitasi jantung paru
meliputi pengkajian lokasi, pemeriksaan tingkat kesadaran,
pemeriksaan nadi, pemeriksaan pernafasan. Tindakan resusitasi
jantung paru meliputi resusitasi jantung paru, kedalaman kompresi
dada, frekuensi kompresi dada, siklus kompresi dada, kecepatan
kompresi dada dan teknik membuka jalan nafas. Evaluasi resusitasi
jantung paru meliputi pemeriksaan nadi dan pernafasan. Posisi
recovery meliputi posisi sisi mantap dan teknik posisi sisi mantap.
Faktor dihentikan resusitasi jantung paru meliputi henti nafas dan
meninggal. Pemberian obat-obatan emergency meliputi jenis obat
emergency atau resusitasi jantung paru dan fungsi obat emergency
atau resusitasi jantung paru.
6.1.3 Mengidentifikasi faktor pendukung perawat dalam penanganan
cardiac arrest.
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian
didapatkan tiga tema yaitu pengetahuan perawat meliputi tingkat
pendidikan, pengalaman kerja dan pelatihan. Sarana pendukung
meliputi peralatan. Kesiapan perawat meliputi berpikir kritis, fokus,
melindungi diri dan tindakan perawat.
127
6.1.4 Mengidentifikasi faktor penghambat perawat dalam penanganan
cardiac arrest.
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian
didapatkan tiga tema yaitu hambatan sarana dan prasarana meliputi
tempat penuh dan keterbatasan alat. Faktor pasien meliputi penolakan
tindakan dan kondisi pasien. Faktor keluarga meliputi penolakan
keluarga.
Sarana dan suplai yang memadai merupakan sesuatu yang dapat
memudahkan dan memperlancar pelaksanaan asuhan keperawatan.
Ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah yang cukup sesuai
kebutuhan adalah syarat yang harus dipenuhi oleh IGD. Fasilitas di
ruang IGD masih standart fasilitas RSUD tipe C, sehingga diharapkan
peningkatan kualitias dan kuantitas baik fasilitas dan tenaga kerja di
ruang IGD agar tercipta perasaan lebih nyaman oleh pasien atau
keluarga pasien dan petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan.
6.2 SARAN
6.2.1 Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
bagi Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar untuk menentukan
langkah – langkah dalam peningkatan pengetahuan dan kompetensi
tentang penanganan cardiac arrest sehingga pihak managemen Rumah
128
Sakit diharapkan meningkatkan ketrampilan perawat melalui pelatihan
dalam penanganan cardiac arrest dan diharapkan pelayanan kepada
pasien gawat darurat meningkat.
6.2.2 Institusi Pendidikan
Memperkaya literatur ilmu keperawatan dibidang
kegawatdaruratan kardiovaskuler sebagai penunjang dalam proses
belajar mengajar atau praktik gawat darurat.
6.2.3 Peneliti Lain
Peneliti lain dapat menambah pengetahuan tentang penanganan
cardiac arrest dan menjadikan hasil penelitian ini untuk referensi atau
acuan peneliti lainya dengan metode yang berbeda dan meneliti faktor
lain seperti peraturan atau protokol yang jelas, sarana dan suplai yang
cukup yang berhubungan dengan penanganan cardiac arrest.
6.2.4 Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan peneliti
tentang pengalaman perawat dalam penanganan cardiac arrest,
sehingga peneliti lebih memahami tentang cardiac arrest.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. M. (2011). Makalah tentang Profesionalisme Perawat. Dari
http://www.masbid.com diakses 20 Juni 2015.
Aehlert, Barbara. (2010). Emergency Medical Technician EMT in Action.
Southwest: EMS Education, Inc. Mc Graw, Hill Higher Education.
Afiyanti, Yati dan Rachmawati Imami. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif
dalam Riset Keperawatan. Jakarta : PT Raja Grafindo
Alexander RH, Proctor HJ. (2013). Advance Trauma Life Support Course for
Physicians. Chicago: The American College of Surgeons 5th Edition
American Heart Association. (2010). Scientific Position Risk Factors & Coronary
Heart Disease. AHA Scientific Position. December 20, 2014.
American Heart Association. (2010). Management of Cardiac Arrest. Circulation
; 112;IV-58-IV-66. Lippincott Williams & Wilkins, a division of Wolters
Kluwer Health, 351 West Camden Street, Baltimore.
Aminuddin. (2013) Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of
Nursing), Volume 8, No.3, Nopember 2013. Dari
http://jtptunimus.gdl.santosotri.ac.id diakses 20 Desember 2014.
Anon. Panduan Program Perawatan Didepan advance care planning guide. Dari
www.healthynh.com/fhc/initiatives/Indonesian/20_Adv/20Direct_.pdf
diakses 20 Juli 2015.
April Poerwanto B. (2013). Materi Pelatihan GELS (General Emergency Life
Support). RSUD Dr.Soetomo. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta
Aucken, J, Crawford, S. (2011). Neurological observations: Neuro-oncology for nurses.
London: Whurr. 29-65.
Cresswell, J.W. (2013). Qualitative Research. 3th ed. Thousand Oaks : Sage
Publications.
Christian, P. (2008). Keterampilan dalam Keperawatan Kamus Elektronik. Dari
http://petracristian.com diakses tanggal 2 Januari 2015.
Chung, Edward K. (2010). 100 Tanya Jawab Mengenai Serangan Jantung dan
Masalah-masalah yang terkait dengan Jantung. Jakarta: PT. Indeks.
Dede Kharisma Yanti Bala, Abdul Rakhmat, Junaidi. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Diagnosis Volume 4 Nomor 4 Tahun 2014. ISSN : 2302-1721.
Departemen Kesehatan. (2006). Pharmaceutical care untuk pasien penyakit
jantung koroner : Fokus sindrom koroner akut.
Ethical Issues. (2010). American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Part 2: Journal of American Heart Association Circulation; 112;IV-6-IV-
11.
Erlita, R. (2008). Kajian tentang Manajemen Pengetahuan. Dari
http://www.content.com diakses tanggal 22 Juni 2015.
Foster, Bill. (2001). Pembinaan Untuk Peningkatan Kinerja Karyawan. PPM.
Jakarta.
Gebbie, K., Qureshi, K. (2006). Historical Chalenge: Perawat dan Keadaan
Darurat. OJIN: The Journal Isue on Nursing. Vol 11 No 3.
Goldberger, Z. D., Chan, P. S., Berg, R. A. (2012). Duration of Resuscitation
Efforts and Survival After in-hospital Cardiac Arrest: an Observational
Study. 380.
Hamid, Achir Yani S. (2008). Buku Ajar Riset Keperawatan, Konsep Etika dan
Instrumentasi. Jakarta: EGC.
Hasanah U. (2010). Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Perilaku
Perawatan. Demak.
Hilberman M, Kutner J, Parsons D, Murphy DJ. (2007). Marginally effective
medikal care: ethical analysis of issues in cardiopulmonary resuscitation
(CPR). Journal of Medical Ethics ;23:361–7.
Iskandar, Rizki Ismailia Puteri. (2008). Ancaman Henti Jantung Lebih Tinggi
Laki-Laki. Dari http//www.klikdokter.com diakses 10 Desember 2014.
Ivancevich, John M. dkk. (2008). Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jilid 1
dan 2. Jakarta. Erlangga
Jameson, JN St C.; Dennis L. Kasper, Harrison, Tinsley Randolph; Braunwald,
Eugene; Fauci, Anthony S.; Hauser, Stephen L; Longo, Dan L. (2005).
Harrison prinsip-prinsip kedokteran internal . New York: McGraw-Hill
Medical Publishing Division. ISBN 0-07-140235-7. Dari
http//enwikipedia.org diakses 25 Desember 2014.
Judarwanto, Widodo. (2012). Penanganan Terkini Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS). FKUI. Jakarta.
Kasron. (2012). Buku Ajar Anatomi Fisiologi Kardiovaskuler. Yogyakarta: Nuha
Medika
Krisanty, Paula. dkk. (2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Trans
Info Media.
Lincoln, Y. S., & Guba, E. G. (2005). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, CA:
Sage Publications, Inc.
Lionell H Opie, Saunders Elsevier. 6 th ed. (2006). Drugs for the heart.
Philladelphia.
Makhfudli,& Effendi, Ferry. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas : teori
dan praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba medika.
Maryuani. (2009). Asuhan Kegawatdaruratan. Jakarta.: Trans Info Media.
Mubarak & Chayatin. (2009). Ilmu Kesehatan Masyarakat: Teori dan Aplikasi.
Salemba Medika: Jakarta.
Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakiarta: Nuha Medikal.
Nettina, Sandra M. (2006). Lippincott. Manual of Nursing Practice. Eight edition.
Philadelphia. London. New York. Lippincott Williams and Wilkins. A
Wolter Kluwer Company.
Neumar RW, Nolan JP, Adrie C etal. (2008). Post-cardiac 1. arrest syndrome:
epidemiology, pathophysiology, treatment, and prognostication.
Circulation:118;2452-2483.
Nolan J. P. et al. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation.
Notoadmodjo, S. (2007). Pengantar Pendidikan dan Ilmu Penelitian Kesehatan.
Yogyakarta: Andi offset.
Notoadmojo, S. (2010). Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. (Edisi Revisi:
2010). Rineka Cipta : Jakarta.
Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Oman, K., Koziol, J., Scheetz. (2008). Panduan Belajar Emergency. EGC:
Jakarta.
Parnia, S; Spearpoint, K, Fenwick, PB (August 2012). Near death experiences,
cognitive function and psychological outcomes of surviving cardiac
arrest. Resuscitation.
Polit, D.F. & Beck, C.T. (2012). Nursing research: generating and assesing
evidance for nursing practice. 9th edition. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins.
Polit, DF & Hungler, BP. (2005). Nursing Research : Priciples and Methods, 6th
edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Pusponegoro, A.D. (2010). Basic Trauma Life Support & Basic Cardiac Life
Support. Jakarta : YAGD 118.
Ridwan, M. (2010). Mengenal Mencegah Mengatasi Silent Killer. Jakarta :
Pustaka Wydyamara.
Santana, Septiawan. (2007). Menulis Ilmiah Metode Kualitatif. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia.
Sastroasmoro, S. & Ismail, S. (2007). Dasar-dasar Penelitian Klinis. (3th
edition). Jakarta: Sagung Seto
Satori, Djam’an & Aan Komariah. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung : Alfabeta.
Simamora, H, (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Bagian
Penerbitan STIE.
Simanjutak, Payama J. (2005) Manajemen & Evaluasi Kinerja. Penerbit FE UII
Slameto. (2008). Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta:
Rineka Cipta.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, Vol 1.EGC. Jakarta.
Soerianata S. (2008). Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
S.P Hasibuan, Malayu. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi
Aksara.
Subagiyo, A. Achyar. Ratnaningsih, E. Suginman, T. Kosasih, A. Agustinus, R.
(2011). Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Dasar. Jakarta : PP
PERKI.
Sudoyo dkk. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. FKUI. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Suharsono, T. Ningsih, D. (2012). Penatalaksanaan Henti Jantung Di Luar
Rumah Sakit. Malang : UMM Press.
Sugiyono. (2013). Memahami penelitian kualitatif. Cetakan kedelapan. Bandung:
Alfabeta.
Sumantri, S. (2010). Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Bandung: Fakultas Psikologi Unpad.
Susilo R. (2011). Pendidikan Kesehatan Dalam Keperawatan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Sutopo HB. (2006). Metodelogi penelitian kualitatif. Edisi 2. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.
Thygerson,Alton L. (2006) First aid, CPR, and AED. 5th Ed. American College
of Emergency Physicians, London W67pA. Jones and Batlett Publisher
International. Dari http//www.american.emergency.co.id diakses 5
Desember 2014.
Wawan A, & Dewi M. (2011). Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Perilaku dan
Perilaku Manusia. Nuha Medika: Yogyakarta.
Wolff, Angela C., Regan, Sandra., Pesut, Barbara.,& Black, Joyce. (2010). Ready
for what? An Exploration of the Meaning of New Graduate Nurses
Readiness for Practice. International Journal of Nursing Education
Scholarship. Article. Dari http//www.bepress.com/ijnes/vol7/iss1/art7
diakses 12 Desember 2014.
Worthington R. (2012). Clinical issues on consent: some philosophical concerns.
Journal of Medical Ethics Law and ethics ; 28:377-380
WHO (2008). World Health Statistic. Dari http//www.who.int diakses 12
Desember 2014.