Upload
vuongkhanh
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Pendahuluan
Catatan 20 Tahun Perjalanan Ekonomi Indonesia
Komisi Ekonomi PPI Dunia
20 tahun yang lalu, Indonesia menghadapi krisis ekonomi yang membuat pertumbuhan
ekonomi mengalami kontraksi hingga -13.1 persen pada tahun 1998 dan membuat
pendapatan per kapita Indonesia turun dari USD 1,064 menjadi hanya USD 464. Walaupun
krisis ekonomi Asia 1997 berawal dari krisis mata uang Bath di Thailand, tapi Indonesia
menjadi negara yang paling mengalami dampak buruk dari krisis ekonomi. Krisis ekonomi
pada tahun-tahun tersebut pulalah yang membuat Presiden Soeharto mundur dari posisinya
sebagai Presiden dan menandakan berakhirnya Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998. Oleh
sebab itu, perjalanan 20 tahun reformasi tidak dapat dilepaskan dari kinerja perekonomian
nasional. Kinerja ekonomi menjadi salah satu indikator penting dalam menilai sukses atau
tidaknya pelaksanaan reformasi selama 20 tahun.
Setelah mengalami kontraksi pada tahun 1998, ekonomi Indonesia kembali
mendapatkan momentum pertumbuhan pada tahun 1999 dimana ekonomi Indonesia
tumbuh 0.79 persen. Sejak saat itu, Indonesia berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi
selama 20 tahun terakhir dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 5.04 persen (Bank
Dunia, 2017).
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (Persen)
Sumber: Bank Dunia (2018)
-15
-10
-5
0
5
10
2
Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan
Filipina, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung lebih stabil. Pada saat krisis
finansial global menghantam negara-negara di dunia pada tahun 2008, pertumbuhan
ekonomi Indonesia masih tetap positif. Di saat yang bersamaan, negara-negara tetangga
seperti mengalami gejolak ekonomi. Thailand dan Malaysia bahkan mencapai pertumbuhan
ekonomi negatif pada tahun 2009 dimana pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut
sebesar -0.7 persen dan -2,5 persen.
Gambar 2. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (Persen)
Sumber: Bank Dunia (2018)
Dalam konteks pertumbuhan ekonomi sektoral, sektor non-tradable tumbuh lebih
cepat dibandingkan sektor tradable (lihat gambar 3). Kondisi ini membuat pertumbuhan
ekonomi Indonesia selepas berakhirnya Orde Baru dianggap tidak berkualitas dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Hal ini mengingat sektor-sektor non-tradable
menyerap tenaga kerja yang lebih sedikit dibandingkan sektor-sektor tradable.
-15
-10
-5
0
5
10
15
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Indonesia Thailand Malaysia Philippines
3
Gambar 3. Pertumbuhan Sektor Tradable dan Non Tradable (Persen)
Sumber: BPS (2016), diolah
Rendahnya pertumbuhan sektor tradable disumbang oleh rendahnya pertumbuhan
sektor industri. Padahal, sektor industri merupakan sektor krusial dalam pembangunan suatu
negara dan berperan menjadi prime mover perekonomian suatu negara. Alih-alih peranannya
semakin tinggi, sektor industri justru mengalami fenomena yang dikenal dengan istilah
deindustrialisasi dini.
Dalam sebuah tahapan pembangunan suatu negara, menurunnya peranan sektor
industri dalam bagi ekonomi dan digantikan oleh sektor jasa sebenarnya merupakan hal yang
wajar. Fenomena transformasi struktural tersebut terjadi ketika sektor industri sudah berada
pada tahap kapasitas penuh. Walaupun tidak ada kesepakatan definisi kapasitas penuh,
namun negara-negara maju mengalami transformasi struktural ketika peranan sektor industri
terhadap PDB nasional sudah mencapai 30 persen. Dalam konteks Indonesia, peranan sektor
industri bagi ekonomi justru mengalami penurunan sebelum mencapai tahap tersebut.
Bahkan sejak tahun 2001, kontribusi sektor industri terus mengalami penurunan dari 29.05
persen di 2001 menjadi hanya 20.16 persen pada tahun 2007. Meskipun pemerintah
deindustrialisasi dini sudah menjadi perhatian pemerintah namun upaya mengerem laju
deindustrialisasi belum berhasil.
4.6
2.6
3.93.5 3.4 3.5 3.7 3.9
3.4
2.2
3.8
5.14.7
3.7 3.6
2.5
5.34.9
5.3
6.37
87.4
8.8 8.7
7.1
8.6
7.1 7.2 7.1
6.26.5
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Tradable Non-Tradeable GDP
4
Sumber: BPS (2018), diolah
Selain aspek makro, evaluasi atas kinerja ekonomi Indonesia mencakup berbagai
persoalan yang sifatnya mikro. Sebagai contoh adalah terkait pembangunan ekonomi wilayah
mengingat pembangunan wilayah merupakan salah satu semangat reformasi. Untuk
mendukung hal ini, maka sejak berakhirnya orde baru, Indonesia menjalankan desentralisasi
ekonomi dengan harapan agar kue ekonomi tidak lagi terpusat di Jakarta tetapi dapat
dirasakan di wilayah-wilayah lain di luar Jakarta dan Jawa. Lebih dari itu, indikator
kesejahteraan menjadi indikator yang penting untuk dianalisis dalam menilai kinerja
perekonomian nasional selama 20 tahun setelah reformasi.
Oleh sebab itu, pada bagian selanjutnya akan dijelaskan kinerja ekonomi Indonesia dari
sudut pandang yang lebih spesifik. Tulisan pertama yang ditulis oleh Dzulfian Syafrian, akan
menjelaskan mengenai demokratisasi ekonomi, terutama dalam kaitannya dengan
pembangunan ekonomi wilayah. Lalu pada tulisan selanjutnya, I Made Krisna akan membahas
urgensi mendorong investasi di Indonesia dalam rangka mencapai pembangunan yang
berkualitas. Lalu pada tulisan ketiga akan dibahas tantangan dan strategi yang perlu dilakukan
dalam rangka mengurai ketimpangan ekonomi di Indonesia. Lalu pada tulisan terakhir akan
dibahas bagaimana APBN dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi demografi di
Indonesia.
29.0528.72
28.25 28.0727.41 27.54
27.05
27.81
26.36
24.8024.34
23.96 23.69 23.71
22.0421.76
21.4521.03
20.7 20.8 21
20.1620.00
21.00
22.00
23.00
24.00
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Kontribusi Sektor Industri Pengolahan Terhadap PDB Nasional (%)
Seri 2000 Seri 2010
5
Demokratisasi Ekonomi Indonesia:
Menggeser Paradigma Kebijakan Nasional dari Berbasis Individu (People-
Centred) Menjadi Pro-Wilayah (Region-Based)
Oleh: Dzulfian Syafrian*
*Kajian Ekonomi PPI Dunia, Mahasiswa Doktoral Durham University Business School dan Anggota Jaringan
Internasional Peneliti Studi Regional, Regional Studies Association (RSA)
Pengantar
Pada tahun ini, 2018, masyarakat Indonesia memeringati fase paling penting perjalanan
bangsa ini dalam kurun waktu dua dekade belakangan, yaitu Reformasi 1998. Demokratisasi
adalah salah satu kata kunci dalam Gerakan Reformasi 1998. Hanya saja, banyak orang terlalu
fokus pada demokratisasi politik, padahal demokratisasi ekonomi Indonesia tidak lah kalah
penting dalam amanat Reformasi.
Tanpa adanya krisis moneter 1998, mungkin saja Gerakan Reformasi 1998 tidak akan
terlahir. Jatuhnya rupiah dari kisaran Rp3.000/USD menjadi Rp16.500/USD, praktis membuat
ekonomi Indonesia seketika kolaps. Maraknya praktek-praktek anti-demokrasi ekonomi,
seperti monopoli, perburuan rente (rent-seeking), korupsi, kolusi atau nepotisme dalam
berbagai aktivitas ekonomi adalah beberapa penyebab meledaknya Krisis Ekonomi 1998.
Pada periode ini, banyak sekali pengusaha ’hitam’ memanfaatkan longgarnya kebijakan
ekonomi, khususnya perbankan dan subsidi, sejak era 1980-an pada saat itu (Syafrian, 2011).
Para pengusaha busuk ini secara serampangan (moral hazard) menggunakan uang negara (i.e.
subsidi) maupun uang publik di perbankan untuk mengembangkan bisnis mereka dimana
banyak dari bisnis tersebut sebenarnya tidak layak dan aman untuk didanai. Alhasil, kredit
macet dimana-mana yang membuat sistem perbankan Indonesia kolaps. Sebagai ongkosnya,
Negara dirugikan hampir Rp150 triliun melalui bail-out besar-besaran melalui Program
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia/BLBI (Batubara, et al.,2008; Edward, 2010). Achmad
(2012) menyebut bahwa kasus ini adalah kejahatan korupsi perbankan terbesar dalam
sejarah Indonesia.
Tanpa adanya pembangunan institusi yang kuat, perilaku aktivitas-aktivitas anti-
demokrasi ekonomi seperti ini sangatlah memungkinkan terjadi karena para pemburu rente
(rent seekers) akan dengan mudah berkongsi dengan penguasa untuk memengaruhi berbagai
6
kebijakan ekonomi yang menguntungkan bisnis mereka, meskipun merugikan bagi
masyarakat luas (Stigler, 1971). Oleh karena itu, kajian ini mencoba merefleksikan hal-hal
yang mesti menjadi perhatian kita semua, khususnya Pemerintah, dalam menegakkan
demoktrasisasi ekonomi Indonesia.
Fokus kajian ini menekankan isu ketimpangan regional (Bab II) sebagai titik tolak
penegakan demokratisasi ekonomi Indonesia. Selepas jatuhnya Rezim Orde Baru, ironisnya
pembangunan ekonomi Indonesia justru semakin timpang. Arah pembangunan Indonesia
semakin terpusat di Jawa (Jawa sentris). Selain itu, rasio gini (i.e. salah satu indikator utama
ketimpangan) Indonesia melorot dari level 0,31-0,33 pada era Pak Harto menjadi 0,39 per
2017, bahkan sempat menyentuh titik terburuk 0,43 pada 2013-151. Memburuknya
ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan bentuk pengkhianatan terhadap
amanat Reformasi 1998, yaitu demokratisasi ekonomi Indonesia. Selain itu, membiarkan
ketimpangan semakin meburuk juga merupakan tindakan inkonstitusional karena
pemerataan pembangunan merupakan amanat UUD 1945 dan Pancasila, khususnya sila
kelima: ’Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Oleh karena itu, kajian ini
merekomendasikan paradigma baru dalam pengambilan kebijakan pembangunan Indonesia,
yang awalnya cenderung bersifat orang-per-orang atau dikenal dgn istilah Peole-Centred
Approach menjadi berbasis pembangunan regional/Region-Based Approach (Bab III).
Kesimpulan kajian ini ditampilkan pada Bab IV.
Ketimpangan Regional
The Economist (2017), majalah ekonomi-politik terkemuka di dunia, menerbitkan kajian
khusus terkait efek buruk timpangnya pembangunan antar wilayah di sebuah negara. Dalam
kajian ini dibahas bagaimana ketimpangan regional memiliki ongkos ekonomi, sosial dan
politik yang begitu besar bagi sebuah negara. Contoh yang paling nyata adalah bagaimana
ketimpangan regional mendorong kemenangan mengejutkan Brexit di Inggris Raya dan juga
terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat/AS ke-45 (Clarke and Whittaker,
2016; Rodríguez-Pose, 2017). Dalam kasus Brexit, daerah-daerah yang relatif tertinggal, kecil
dan miskin mayoritas masyarakatnya memilih Britannia Raya untuk keluar ’Leave’ dari Uni
1 Koefisien Gini merupakan indikator yang lazim digunakan sebagai potret ketimpangan di suatu negara. Koefisien ini bernilai 0 (pembangunan merata sempurna/perfectly equal) hingga 1.0 (ketimpangan sempurna/perfectly inequal).
7
Eropa (Brexit). Demikian pula yang terjadi di AS, wilayah-wilayah (i.e. States) yang relatif
terbelakang pembangunannya cenderung untuk memilih Trump ketimbang lawannya. Bab
ini, oleh karena itu, hendak membahas ketimpangan regional di Indonesia dan
konsekuensinya bagi perekonomian nasional.
Kasus Indonesia: Pembangunan Jawa-Sentris
Ezcurra dan Rodríguez-Pose (2014) menunjukkan bahwa Indonesia pasca reformasi
merupakan salah satu negara paling buruk dalam hal ketimpangan antar wilayahnya. Studi ini
menunjukkan besarnya perbedaan pendapatan per kapita antar wilayah di Indonesia, dengan
menggunakan data PDB per kapita, dan dibandingkan dengan negara-negara berkembang
lainnya. Ketimpangan regional di Indonesia ini juga sangat terlihat antara wilayah ‘Barat’ dan
wilayah ‘Timur’2 sebagaimana data pada Tabel 1. Tabel 1 secara gamblang menunjukkan
bahwa Wilayah Barat (Jawa dan Sumatera) selalu menguasai lebih dari 80% PDB Indonesia.
Tabel 1 juga mengindikasikan bahwa bahwa perekonomian Indonesia kian hari semakin
terpusat di Jawa (Jawa-sentris). Hal ini terlihat dari distribusi PDRB Jawa yang terus naik sejak
1971 (54,5%) menjadi 58,5% pada 2017. Dengan kata lain, hampir 60 persen aktivitas
perekonomian nasional hanya terpusat di Jawa, sedangkan daerah-daerah lain khususnya
Wilayah Timur hanya menikmati kue pembangunan kurang dari sepuluh persen saja.
Tabel 1. Distribusi Pendapatan Domestik Regional Bruto/PDRB Indonesia (persen)
Wilayah 1971 1990 2017
Sumatera 29 25.2 21.7
Jawa 54.5 56.8 58.5
Bali & Nusa
Tenggara 3.4 2.9 3.1
Kalimantan 5.4 9.1 8.2
Sulawesi 6 4.1 6.1
Maluku &
Papua 1.7 1.9 2.4
total 100 100 100
Sumber: BPS
2 ‘Wilayah Barat’ di sini adalah Sumatera, Jawa, dan Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara, sedangkan sisanya dikategorikan sebagai ‘Wilayah Timur’ (i.e. Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua).
8
Indikator-indikator sosial-ekonomi lainnya, seperti Indeks Pembangunan Manusia
(IPM), Konsentrasi Dana Pihak Ketiga (DPK) dan Populasi Penduduk juga mengonfirmasi
buruknya ketimpangan wilayah di Indonesia sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2. Singkat
kata, ketimpangan regional di Indonesia ini tidak hanya semakin memburuk tetapi juga
tergolong akut dan struktural.
Tabel 2. Beberapa Indikator Pembangunan Lainnya
Wilayah
IPM (2013)i
Konsentrasi DPK (%)ii
Kependudukan (2014)iii
Rata2
Margin
Total % Kepadata
n
(juta org)
(org/km2)
Sumatra 74.7 -0.2 11.5 54.4 21.
6 113.0
Jawa 74.8 0.0 76.6 143.6 56.
9 1126.0 Bali dan Nusa Tenggara 70.2 -4.6 2.6 13.9 5.5 190.0 Kalimantan 74.1 -0.8 4.4 15.0 6.0 26.0 Sulawesi 73.0 -1.8 3.0 18.5 7.3 97.0 Maluku dan 70.1 -4.8 1.8 6.7 2.7 15.0
Sumber: Syafrian dan Rachbini (2017)
Catatan: (i) Indeks Pembangunan Manusia (IPM), BPS 2015 (diolah); (ii) Dana Pihak Ketiga (DPK),
Statistik Perbankan Indonesia BI, Juli 2015 (diolah); (iii) Kependudukan, BPS 2015 (diolah)
Lahirnya gerakan-gerakan separatis baik itu berdasarkan wilayah, suku atau agama
adalah salah satu konsekuensi dari ketimpangan regional ini. Kecemburuan sosial yang
ditimbulkan oleh timpangnya kesejahteraan dan pembangunan antara satu daerah dibanding
daerah lain, memberikan ruang bagi gerakan politik populisme, khususnya wilayah-wilayah
yang merasa diacuhkan. Di Indonesia, gerakan semacam ini tidak hanya muncul di Wilayah
Timur (e.g. Organisasi Papua Merdeka/OPM) tetapi juga di Wilayah Barat (e.g. Gerakan Aceh
Merdeka/GAM). Narasi yang dikampanyekan kedua gerakan tersebut sangat lah mirip,
seperti: (i) tertinggalnya pembangunan di daerah mereka; (ii) sumber daya mereka yang
disedot oleh Jawa, khususnya Jakarta; (ii) opresi Jakarta (i.e. Pemerintah Pusat) atas daerah
mereka, dll.
Ancaman disintegrasi semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia atau negara-negara
berkembang lainnya. Bahkan negara-negara maju, seperti Britannia Raya (the United
9
Kingdom) dan Spanyol pun tidak luput dari gerakan separtis berbasis wilayah semacam ini.
Sebagai gambaran, pada 2014 Skotlandia yang telah ratusan tahun menjadi bagian Britannia
Raya mengadakan pemilu untuk menentukan apakah mereka memilih untuk mendirikan
negara sendiri (disintegrasi) atau tetap bersama dengan Pemerintahan Britannia Raya
(integrasi). Meskipun mayoritas pemilih mendukung opsi kedua (integrasi), selisihnya sangat
lah dekat yaitu hanya 45% versus 55%. Demikian pula yang terjadi di Spanyol, Wilayah
Katalunya (Catalonia) yang merupakan markas dari Barcelona FC mengadakan referendum
serupa pada 2017. Dalam pemilu ini, Rakyat Katalunya menang telak (92%) menuntut
disintegrasi dari Pemerintah Spanyol.
Indonesia harus belajar dari pengalaman Skotlandia dan Katalunya ini. Jika ketimpangan
wilayah di Indonesia tidak segera diselesaikan, bukan tidak mungkin Indonesia akan
mengalami ancaman disintegrasi yang nyata seperti yang terjadi di Britannia Raya dan
Spanyol. Ini lah mengapa kebijakan nasional berbasis wilayah (Region-Based Policy) harus
semakin diterapkan di Indonesia guna menanggulangi ketimpangan pembangunan antar
daerah, sebagaimana dielaborasi lebih lanjut dalam bab berikutnya.
Kebijakan Pro-Wilayah (Region-Based Approach Policy)
Secara umum, berbagai kebijakan ekonomi dan publik cenderung disusun dengan fokus
terhadap membangun manusianya atau lebih dikenal dengan istilah kebijakan berbasis
individu (People-Based Approach Policy). Kebijakan berbasis individu ini sepertinya masih
menjadi paradigma utama pengambilan kebijakan ekonomi dan publik di Indonesia. Sebagai
contoh, Prof. Suahazil Nazara (2013), Ekonom TNP2K yang kini menjabat sebagai Kepala BKF
Kemenkeu, pernah menyebutkan bahwa kebijakan kemiskinan di Indonesia lebih bersifat
orang-per-orang, ketimbang berdasarkan wilayah. Konsekuensinya, alokasi dana
pengentasan kemiskinan di Indonesia sebagian besar dikucurkan di Jawa. Hal ini dikarenakan
jumlah orang miskin (number of poor people) di Jawa jauh lebih banyak ketimbang di Wilayah
lain, meskipun tingakat kemiskinan (poverty rate) di Jawa lebih rendah. Di sisi lain, daerah-
daerah yang tertinggal seperti Papua atau Nusa Tenggara hanya mendapatkan alokasi yang
relatif lebih sedikit. Fakta ini menunjukkan dilema kebijakan (pengentasan kemiskinan) yang
dihadapi Pemerintah Indonesia ketika dihadapkan antara memilih kebijakan Pro-Individu atau
Pro-Wilayah (i.e. lihat Syafrian dan Rachbini (2015) untuk pembahasan lebih lanjut terkait
dilema kebijakan ini).
10
Paradigma antara kebijakan berbasis individu dan berbasis wilayah memang cukup
berbeda. Kebijakan Pro-Individu didasarkan pada argumen bahwa ketimpangan regional
merupakan sebuah keniscahyaan dari pembangunan. Pendapat ini menyatakan bahwa
aktivitas ekonomi dimanapun pasti lah tidak tersebar secara merata (i.e. lihat Gill (2010) yang
membahas argument ini secara mendetil).
Namun demikian, saat ini diskursus penyusunan kebijakan ekonomi dan publik di
berbagai belahan dunia sudah mulai bergeser dari Pro-Individu menjadi Pro-Wilayah. Sebagai
gambaran, rekomendasi kebijakan yang Pro-Wilayah (Region-Based Approach Policy) telah
menjadi perhatian luas publik, khususnya di negara-negara maju. Rekomendasi kebijakan ini
tercermin dari laporan-laporan yang dirancang oleh Barca (2009) untuk berbagai regional di
Uni Eropa dan juga OECD (2009, 2010).
Garcilazo, Martins dan Tompson (2010) mendefinisikan Kebijakan Pro-Wilayah sebagai
‘kebijakan ekonomi yang tidak hanya mementingkan kesejahteraan orang per orang tetapi
juga mempertimbangkan aspek spasial dan territorial dalam rangka memaksimalkan
pertumbuhan dan kesejahteraan’. Argumen urgensi Kebijakan Pro-Wilayah didasari temuan,
misal Laporan OECD (2009), yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi regional lebih
didorong oleh faktor-faktor endogenous, seperti kualitas manusia dan pasar tenaga kerja,
infrastruktur, innovasi, dan institusi (i.e. lihat pula Acemoglu dan Dell (2009) yang membahas
lebih lanjut terkait temuan ini). Oleh karena itu, sudah semestinya paradigma penyusunan
dan pengambilan kebijakan ekonomi dan publik di Indonesia juga memerhatikan aspek
spasial dan territorial, tidak hanya individu.
Singkat kata, paradigma kebijakan berbasis wilayah ini sangat lah penting untuk
diterapkan di Indonesia guna mengatasi permasalahan ketimpangan pembangunan antar
wilayah. Indonesia mesti merubah paradigma Kebijakan Pembagunan Nasional-nya, dari
berbasis orang-per-orang (People-Based Approach) menjadi berbasis wilayah (Region-Based
Approach).
Kesimpulan
Salah satu amanat utama reformasi 1998 adalah demokratisasi seluruh aspek kehidupan di
Indonesia. Meskipun demikian, isu demokrasi ekonomi masih kurang mendapat perhatian
yang cukup dalam diskursus pembangunan nasional. Hal ini menjadi ironis mengingat tidak
meratanya pembangunan antar wilayah di Indonesia yang telah menjadi permasalahan
11
struktural semenjak Indonesia merdeka. Sebagaimana di tunjukkan pada Bab II, Indonesia
telah gagal melakukan demokratisasi ekonomi nasional yang tercermin dari masih
terpusatnya aktivitas ekonomi nasional terbatas di Jawa (Jawa-sentris). Kian hari,
perekonomian yang bersifat Jawa-sentris ini kian memburuk. Timpangnya pembangunan
antara Jawa-Luar Jawa atau antara Barat dan Timur Indonesia (akan) memiliki biaya sosial,
ekonomi dan politik yang besar. Paradigma pembangunan yang masih cenderung bersifat
orang-per-orang (Peole-Centred Approach) tidak akan mampu menyelesaikan ketimpangan
struktural antar wilayah ini, justru pendekatan ini dapat memperparah ketimpangan wilayah
di Indonesia. Oleh karena itu, kajian ini merekomendasikan agar diterapkannya paradigma
pengambilan kebijakan yang lebih bersifat kewilayahan (Region-Based Approach) guna
menaggulangi ketimpangan struktural antar wilayah di Indonesia.
12
MENINGKATKAN INVESTASI DI INDONESIA
Oleh: I Made Krisna *
*Kajian Ekonomi PPI Dunia, Mahasiswa Doktoral Australian National University (ANU)
Ringkasan Kebijakan Investasi Indonesia
Ekonomi Indonesia dewasa ini kembali mengalami tantangan. Di tengah defisitnya
neraca perdagangan Indonesia saat ini, mata uang rupiah melemah terhadap dolar Amerika
Serikat (AS), tertinggi sejak 2 tahun terakhir. Perdagangan internasional tengah menghadapi
ketidak pastian akibat perang dagang yang utamanya mengitari dua kekuatan ekonomi global
saat ini, yaitu AS dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Meski lifting minyak nampak memenuhi
target, namun harga minyak per barel semakin jauh meninggalkan asumsi APBN 2018 yang
tidak realistis. Pertumbuhan ekonomi pun masih di bawah harapan.
Kondisi Makroekonomi Indonesia
Bank Indonesia tidak memiliki banyak pilihan. Bank sentral AS telah meningkatkan suku
bunganya menjadi 1.75 %, dan jika pertumbuhan ekonomi AS makin membaik, maka angka
ini masih mungkin naik lagi dalam waktu dekat. Instrumen Bank Indonesia sangat terbatas:
menaikkan suku bunga dengan potensi mengendurkan pertumbuhan ekonomi, atau melepas
dolar AS yang sekarang tinggal 126 dolar AS. Kondisi ini diperparah dengan keadaan utang
Indikator Satuan APBN 2018 2017*
Pertumbuhan Ekonomi % 5.4 5.01
Inflasi % yoy 3.5 3.7
Nilai Tukar IDR/USD 13400 13331
Suku Bunga SPN % 5.2 5
Harga Minyak USD/barrel 48 48.9
Lifting Minyak 1000 barrel/hari 800 794.2
Lifting Gas 1000 barrel/hari 1200 1128.8
*Angka sampai September 2017
Sumber: https://www.kemenkeu.go.id/apbn2018
13
Indonesia yang cukup tinggi dimiliki asing dan kondisi keseimbangan Neraca Pembayaran
Indonesia (NPI) yang kurang baik dibandingkan kondisi Krisis Global 2008 (Ren 2018).
Bagaimana kondisi NPI Indonesia saat ini?
Gambar 1 Grafik Neraca Pembayaran Indonesia
Berdasarkan gambar 1, kita dapat lihat bahwa transaksi berjalan Indonesia tercatat
mengalami defisit sejak 2012. Indonesia mencatat nilai ekspor yang belakangan ini konsisten
positif, namun tidak cukup untuk membendung pendapatan primer yang harus dibayarkan ke
luar negeri. Mengandalkan ekspor untuk mengurangi defisit NPI tidak mudah. Karena itu,
salah satu strategi yang masih menjadi andalan pemerintah adalah meningkatkan transaksi
finansial, untuk mengurangi defisit NPI.
Indonesia, serupa dengan negara emerging market lain, menikmati keuntungan dari
rendahnya suku bunga negara-negara maju. Uang yang semula ditanam di negara maju
langsung mengalir ke negara-negara yang suku bunganya kompetitif seperti Indonesia.
Hasilnya, nilai investasi asing yang masuk ke tanah air meningkat. Hingga saat ini, Indonesia
masih menikmati surplus neraca finansial, yang membantu mengurangi defisit NPI. Namun,
jika investasi yang masuk tersebut adalah dalam bentuk investasi portfolio, maka investasi ini
sangat rentan dengan keadaan suku bunga di Amerika Serikat. Lalu bagaimana cara terbaik
menjaga kondisi makroekonomi Indonesia saat ini?
Jawabannya adalah investasi langsung sektor riil. Cara terbaik menjaga agar aset luar
negeri tidak pergi dari Indonesia adalah menanamnya dalam bentuk Foreign Direct
Investment (FDI). Meskipun Bank Indonesia adalah penjaga nilai mata uang dan kondisi
-40,000
-30,000
-20,000
-10,000
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Transaksi Berjalan Transaksi Finansial
14
moneter Indonesia, namun kita tidak boleh lupa bahwa instrument BI hanya menjaga rupiah
dari volatilitas. Jika ingin kondisi makroekonomi memiliki kestabilan jangka Panjang di posisi
yang kita inginkan, jalan terbaik adalah memperbaiki kondisi riil. Dapat kita lihat di gambar 2
bahwa investasi langsung memiliki volatilitas yang lebih rendah, dan nampak akan menuju
tren kenaikan baru.
Gambar 2 Transaksi Finansial Indonesia, 2010-2017
Kondisi Iklim Investasi Indonesia Saat ini
Investasi langsung diikordir oleh Badan Kebijakan Penanaman Modal (BKPM), namun
berbagai kebijakan pemerintah sangat memengaruhi keputusan asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia. Menurut Laporan Posisi Investasi Internasional Indonesia Triwulan IV
2017, tingginya surplus neraca finansial Indonesia diakibatkan oleh suku bunga kompetitif,
kepercayaan investor terhadap kondisi ekonomi domestik Indonesia, dan pertumbuhan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Tentunya laporan tersebut berdasarkan angka dan
pengamatan sampai dengan tahun 2017.
Menurut data dari BKPM3, realisasi investasi langsung mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Gambar 3 menunjukan realisasi investasi langsung Indonesia dari tahun 2010
sampai 2016. Dapat kita lihat bahwa secara keseluruhan, realisasi tersebut mengalami tren
positif. Bagaimanapun, Penanaman Modal Asing (PMA) masih stagnan dibandingkan dengan
3 Menurut BKPM, angka-angka pada basis data mereka tidak memasukkan besanya Investasi di bidang-bidang antara lain: minyak bumi dan gas, asuransi, perbankan dan Lembaga Keuangan non-bank, sewa guna usaha, dan Investasi yang perizinannya dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor.
-15,000
-10,000
-5,000
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Investasi Langsung Investasi portofolio
Derivatif Finansial Investasi Lainnya
15
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Dengan kata lain, peningkatan investasi langsung
masih didorong oleh PMDN. Jika kita bicara pertumbuhan ekonomi, tentu investasi langsung
selalu baik, dari manapun sumbernya. Akan tetapi, ini menunjukan bahwa sebagian besar
modal asing yang masuk kemungkinan memang adalah investasi portfolio, yang tentunya
volatilitasnya lebih tinggi.
Gambar 3 Realisasi Investasi Langsung Indonesia, 2010-2016, dalam dolar AS
Tabel 1 menunjukkan penjabaran investasi langsung tersebut pada tahun 2016
berdasarkan sektor. Oleh BKPM, Sektor secara garis besar dibagi 3, yaitu sektor primer,
sekunder dan tersier. Dapat kita lihat bahwa memang secara umum, PMDN jauh melebihi
PMA secara umum dalam nilai, namun sebaliknya dalam bentuk proyek. PMA memiliki lebih
banyak proyek namun dalam skala kecil, jika kita bandingkan dengan PMDN.
Di sektor primer, investasi paling banyak terkonsentrasi terutama di pertambangan dan
tanaman pangan & perkebunan. Seperti diketahui, ekspor Indonesia saat ini masih didominasi
oleh kedua sektor tersebut, antara lain batu bara, sawit, gas dan karet (sekitar 25% nilai
ekspor), dan nampaknya sektor ini masih akan menjadi keunggulan komparatif Indonesia di
masa depan.
Di sektor sekunder, industri mendapat suntikan investasi terbesar nampak memiliki
korelasi positif dengan industri yang memiliki pertumbuhan paling baik (lihat tabel 2). Industri
makanan masih menjadi primadona, mencatat pertumbuhan yang sangat konsisten dan
sangat tinggi relatif dibandingkan dengan sektor lain maupun agregat. Secara total, investasi
$0
$50,000
$100,000
$150,000
$200,000
$250,000
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
PMDN PMA
16
di sektor sekunder jauh melebihi investasi di sektor primer, yang artinya investor-investor
masih yakin sektor manufaktur Indonesia memiliki masa depan yang cerah.
Tabel 1 Realisasi investasi langsung tahun 2016 berdasarkan sektor
NO. S E K T O R PMA PMDN
Proyek Nilai
total (Juta
USD)
Proyek Nilai total
(Juta USD)
I SEKTOR PRIMER 2,313 4,502 802 27,704.7
1 Tanaman Pangan & Perkebunan 800 1,589.1 543 20,998.6
2 Peternakan 150 48.9 90 466.0
3 Kehutanan 108 78.2 16 203.8
4 Perikanan 125 43.3 19 2.6
5 Pertambangan 1,130 2,742.4 134 6,033.6
II SEKTOR SEKUNDER 9,564 16,687.6 3,544 106,858.9
6 Industri Makanan 1,948 2,115.0 1,171 32,046.3
7 Industri Tekstil 886 321.3 284 3,209.8
8 Ind. Barang Dari Kulit & Alas Kaki 279 144.4 21 69.1
9 Industri Kayu 240 267.5 116 3,151.0
10 Ind. Kertas dan Percetakan 274 2,786.6 185 5,257.9
11 Ind. Kimia dan Farmasi 1,096 2,889.1 452 30,111.9
12 Ind. Karet dan Plastik 710 737.3 422 3,576.9
13 Ind. Mineral Non Logam 397 1,076.0 217 15,404.6
14 Ind. Logam, Mesin & Elektronik 2,185 3,897.1 483 11,568.5
15 Ind. Instru. Kedokteran, Presisi &
Optik & Jam
22 8.8 7 5.0
17
16 Ind. Kendaraan Bermotor & Alat
Transportasi Lain
928 2,369.3 93 1,713.9
17 Industri Lainnya 599 75.2 93 744.2
III SEKTOR TERSIER 13,451 7,774.6 3,168 81,742.5
18 Listrik, Gas dan Air 748 2,139.6 472 22,794.5
19 Konstruksi 437 186.9 365 14,039.1
20 Perdagangan & Reparasi 5,541 670.4 1,024 4,513.4
21 Hotel & Restoran 2,028 887.8 368 1,559.9
22 Transportasi, Gudang &
Komunikasi
620 750.2 364 26,769.6
23 Perumahan, Kawasan Ind &
Perkantoran
1,151 2,321.5 324 9,192.8
24 Jasa Lainnya 2,926 818.2 251 2,873.2
JUMLAH 25,328 28,964.1 7,514 216,306.1
Sumber: BKPM
Tabel 2 Pertumbuhan sektor industri, dalam %
Sektor 2014 2015 2016 2017
Industri makanan dan minuman 9.49 7.54 8.33 9.23
Industri logam dasar 6.01 6.21 0.99 5.87
Industri mesin dan perlengkapan 8.67 7.58 5.05 5.55
Industri kimia farmasi, dan obat
tradisional
4.04 7.61 5.84 4.53
Industri tekstil dan pakaian jadi 1.58 -4.79 -0.09 3.76
Agregat 5.61 5.05 4.43 4.84
Sumber: Kementerian Perindustrian
Untuk sektor tersier, transportasi, gudang dan komunkasi merupakan sektor yang paling
banyak mendapatkan sumber dana dari investasi. Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia
18
untuk mengurangi ongkos logistik di Indonesia. Selain itu, penanaman modal di bidang listrik,
gas dan air merupakan nomor dua tertinggi untuk sektor tersier, diikuti konstruksi di
peringkat ke-3. Hal yang menarik untuk dicermati untuk sektor tersier adalah investasi asing
relatif besar untuk bidang perumahan, Kawasan industri dan perkantoran.
Sementara itu, menurut publikasi BKPM berjudul Frequently Asked Question on
Investment, BKPM menargetkan beberapa sektor investasi utama. Sektor-sektor ini dapat
dilihat di gambar 4. Dari gambar 4, kita dapat lihat bahwa beberapa sektor disasar untuk
menjaga keunggulan komparatif Indonesia, terutama di bidang CPO. Tekstil, makanan dan
elektronika. Namun di gambar tersebut, memang sektor prioritas tersebut sangat banyak dan
beragam dengan pertimbangan masing-masing.
Gambar 4 Sektor Investasi Prioritas, dikutip verbatim dari BKPM
Secara keseluruhan, Indonesia sedang berinvestasi, memiliki sektor yang memang
ditargetkan untuk investasi, dan pertumbuhan investasi nampak belum mau berhenti.
Pertumbuhan investasi langsung amat penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas makroekonomi, terutama dari fenomena eksternal seperti harga minyak dan suku
bunga bank sentral AS. Sayangnya, PMA masih konsisten rendah, jika dibandingkan dengan
baik PMDN maupun investasi portofolio. Padahal, PMA sangat dibutuhkan untuk mengejar
pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, dan memperkuat stabilitas makroekonomi. Lalu
bagaimana cara pemerintah menarik lebih banyak investasi langsung, khususnya PMA?
19
Kebijakan Pemerintah di Bidang Investasi Langsung
Ada beberapa langkah yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan investasi langsung di
Indonesia. Dalam artikel ini akan dibahas tiga diantaranya.
Peningkatan Belanja Infrastruktur
Pertama adalah dengan menggunakan APBN. Pembangunan infrastruktur adalah salah satu
ciri khas Presiden Joko Widodo. Pembangunan Infrastruktur ini, seiring dengan realisasi
belanja pemerintah yang lebih cepat di kuartal 1 2018, meningkatkan optimisme investor
akan kondisi investasi Indonesia. Selain itu, banyak penelitian menyatakan bahwa untuk
negara berkembang seperti Indonesia, investasi untuk infrastruktur dasar memang
diperlukan sebelum dilakukan investasi yang lebih kompleks seperti investasi di bidang
teknologi informasi (diantaranya Dewan dan Kraemer, 2000).
Tabel 3 Pertumbuhan alokasi APBN untuk Infrastruktur, 2013-2018
Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Nilai (Trilyun
Rupiah)
155.9 154.7 256.1 269.1 388.3 410.7
Perubahan (%) 7.2 -0.8 65.5 5.1 44.3 5.8
Sumber: https://www.kemenkeu.go.id/apbn2018
Tabel 1 menunjukan alokasi APBN yang digunakan untuk belanja infrastruktur. Tahun 2015,
belanja infrastruktur meningkat sebesar 65.5%, dan kembali meningkat tajam pada APBN
2017. Untuk alokasi 2018, 107,4 Trilyun diantaranya dialokasikan kepada Kementerian PU &
Perumahan Rakyat, dan sisanya dibagi secara proporsional ke Kemenhub, Dana Alokasi
Khusus (DAK), dan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang dialirkan melalui BUMN. Untuk saat
ini, target utama alokasi-alokasi tersebut antara lain adalah pembangunan jalan dan
jembatan, Light Rapid Transit (LRT), Bandara Udara, Menara BTS, dan perumahan terjangkau.
Tentu saja pertanyaan natural dari mendorong pertumbuhan investasi (atau apapun) melalui
belanja negara adalah: uangnya dari mana? Tabel 4 menunjukan defisit APBN sejak tahun
2014 sampai 2018. Menurut tabel tersebut, defisit APBN tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Memang defisit tersebut secara nominal terus mengalami kenaikan, namun secara
proporsi, defisit APBN masih dalam batas yang sangat aman, terutama jika kita bandingkan
dengan belanja pemerintah negara ASEAN lainnya.
20
Tabel 4 Defisit APBN, 2014-2018
Defisit Anggaran 2014 2015 2016 2017 2018
Nilai (Trilyun
Rupiah)
226.7 298.5 308.3 362.9 325.9
% PDB -2.25 -2.59 -2.49 -2.67 -2.19
Sumber: Kementerian Keuangan
Menurut tabel 3, kenaikan belanja infrastruktur mencapai sekitar 100 trilyun rupiah pada
2015, dan sekitar 120 trilyun rupiah pada 2017. Kenaikan ini lebih sedikit dibandingkan
kenaikan pada defisit, yaitu pada 2015, defisit naik sebesar sekitar 70 trilyun, dan pada 2017
sebesar sekitar 54 trilyun. Dapat dikatakan bahwa pemerintah menekan belanja lain untuk
membiayai belanja infrastruktur, dan bukan dari defisit. Tentu saja defisit perdagangan ini
dibiayai dari utang, namun bahkan sebelum proporsi investasi publik meningkat drastis, kita
sudah memiliki defisit yang sama, dan tentunya pertumbuhan utang yang lebih kurang sama.
Ada setidaknya dua hal yang perlu didiskusikan terkait kebijakan ini. Pertama, jika dilihat dari
target infrastruktur yang dibiayai APBN, kita dapat simpulkan bahwa infrastruktur yang
ditarget adalah infrastruktur yang mendukung logistik. Mengingat tingginya ongkos logistik
Indonesia, hal ini sangat wajar dan mungkin tepat sasaran. Namun untuk melihat dampak
jangka panjangnya, terutama pertumbuhan sektor ekonomi tertentu, mungkin kita harus
menunggu hingga beberapa tahun.
Kedua, investasi melalui APBN tidak menolong mengurangi defisit NPI. Ketika kita bicara
NPI, maka PMA menjadi penting karena kita menerima banyak mata uang asing masuk, dan
mencegahnya keluar dengan cepat seperti kasus investasi portofolio. Jika kita katakana
bahwa belanja infrastruktur ini dapat memicu PMA di sektor lain, maka kita kembali ke
argument pertama: mungkin butuh beberapa tahun sampai ini terjadi. Masalahnya, tingginya
belanja pemerintah diramalkan dapat memicu efek “crowding out” investasi4.
Dengan kata lain, pendorongan infrastruktur dari sisi APBN tidak dapat menolong
volatilitas jangka pendek mata uang rupiah maupun NPI. Gambar 3 dapat menggambarkan
kondisi PMA Indonesia yang memang tidak kunjung meningkat. Untungnya, belanja
4 Mekanismenya adalah belanja investasi pemerintah akan mendorong sisi permintaan kredit, dan meningkatkan suku bunga. Hal ini banyak dibahas dalam buku teks standar makroekonomi seperti Blanchard.
21
infrastruktur bukan satu-satunya instrument pemerintah. Kita akan lihat insentif lain yang
diberikan oleh pemerintah untuk mendorong tumbuhnya investasi.
Insentif pajak
Kementerian keuangan memiliki mekanisme yang disebut insentif pajak. Peraturan yang
terbaru adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35/PMK.010/2018 Tentang
Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Peraturan tersebut memberikan
kebebasan dan pengurangan terhadap pajak penghasilan yang harus dibayarkan oleh
korporat. PMK ini terus diperbarui secara berkala sejak tahun 2007. Dengan kata lain,
pemerintah telah menggunakan instrument ini sejak 2007, dengan berbagai perubahan.
Untuk kondisi terbaru, pembebasan pajak diberikan kepada penanam modal baru
dengan jangka waktu 5 sampai 20 tahun, tergantung komitmen nilai investasinya. Industri
yang mendapatkan insentif ini terbatas pada 17 industri pionir, dapat dilihat pada tabel 5.
Untuk mendapatkan insentif ini, Investor dapat mengajukan untuk mendapatkan fasilitas ini
melalui BKPM. Usulan dari BKPM akan ditimbang oleh Menteri Keuangan, dan apabila
disetujui, Menteri Keuangan akan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan tentang
pemberian insentif pembebasan atau pengurangan pajak. Setelah mendapatkan fasilitas ini,
perusahaan tersebut wajib melaporkan pencairan investasinya kepada Direktorat Jenderal
Pajak, dan dievaluasi apakah investasi tersebut sesuai dengan komitmen.
Tabel 5 daftar industri pionir yang berhak mendapatkan insentif pajak
no Industri pionir
1 Industri logam dasar hulu
2 Industri pemurnian dan atau pengilangan minyak dan gas bumi dengan atau tanpa
turunannya
3 Industri petrokimia berbasis minyak bumi, gas alam, batu bara dengan atau tanpa
turunannya
4 Industri kimia dasar anorganik dengan atau tanpa turunannya, terintegrasi
5 Industri kimia dasar organic yang bersumber dari hasil pertanian, perkebunan, atau
kehutanan dengan atau tanpa turunannya, terintegrasi
6 Industri bahan baku farmasi dengan atau tanpa turunannya, terintegrasi
7 Industri pembuatan semi konduktor dan komponen utama komputer lainnya
8 Industri pembuatan komponen utama peralatan komunikasi
22
9 Industri pembuatan komponen utama alat kesehatan yang terintegrasi dengan industry
pembuatan peralatan iradiasi, elektromedikal, atau elektroterapi.
10 Industri pembuatan komponen utama mesin industry.
11 Industri pembuatan komponen utama mesin.
12 Industri pembuatan komponen robotic yang terintegrasi dengan industry pembuatan
mesin manufaktur.
13 Industri pembuatan komponen utama kapal yang terintegrasi dengan industry
pembuatan kapal.
14 Industri pembuatan komponen utama pesawat terbang.
15 Industri pembuatan komponen utama kereta api.
16 Industri mesin pembangkit tenaga listrik.
17 Infrastruktur ekonomi
Sumber: BKF
PMK yang baru ini juga menyingkat waktu pengajuan pengurangan pajak. Di aturan lama,
waktu tercepat untuk mendapatkan kepastian pengurangan pajak adalah 45 hari, dengan
yang terlama dapat mencapai 120 hari. Aturan baru menyingkat proses yang tercepat menjadi
hanya 5 hari. Kepastian untuk jangka waktu pengurangan pajak di PMK ini juga sudah lebih
pasti dan tidak subyektif. Kepastian jangka waktu yang baru ini dapat dilihat di tabel 6.
Tabel 6 Jangka waktu pemberian pengurangan pajak berdasarkan nilai investasi
Nilai Investasi Jangka waktu pengurangan pajak
Rp 500 miliar s.d. kurang dari 1 triliun 5 tahun
Rp 1 triliun s.d. kurang dari Rp 5 triliun 7 tahun
Rp 5 triliun s.d. kurang dari Rp 15 triliun 10 tahun
Rp 15 triliun s.d. kurang dari Rp 30 triliun 15 tahun
Rp 30 triliun atau lebih 20 tahun
Sumber: BKF
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
KEK adalah sebuah Kawasan yang memiliki kekhususan dalam melaksanakan aktivitas
ekonomi. BKPM, dalam Frequently Asked Question on Investment, menegaskan pentingnya
23
melaksanakan investasi di KEK5. KEK diatur dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 2009. KEK
memiliki berbagai keuntungan, seperti misalnya pembebasan pajak atau peringanan pajak
penghasilan badan. Pengusaha di KEK tidak dipungut pph impor, PPN dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM). Perizinan dilakukan satu pintu di KEK, sehingga lebih efisien
bagi pengusaha dari sisi waktu dan biaya.
Saat ini sudah ada 14 KEK di Indonesia, kesemuanya berlokasi di luar Pulau Jawa.
Direncanakan akan dibentuk 11 lagi sampai dengan 2019. Setiap KEK ini memiliki kekhususan
tertentu. Penjabaran mengenai KEK dapat dilihat di tabel 6. Kembali dapat kita lihat industri
pilihan pemerintah daerah6 dan pemerintah pusat adalah comparative advantage di bidang
kelapa sawit, karet dan minerba.
Tabel 7 Kawasan Ekonomi Khusus, lokasi dan kekhususan
Lokasi Kekhususan
Sei Mankei, Sumatera Utara Industri sawit, karet, pupuk, logistik dan pariwisata
Tanjung Api-Api, Sumatera Selatan Industri sawit, karet, dan petrokimia
Tanjung Lesung, Banten Industri pariwisata
Maloy Batuta, Kalimantan Timur Industri kelapa sawit, mineral dan batubara
Bitung, Sulawesi Utara Industri perikanan, industri agro dan logistik
Palu, Sulawesi Tengah Smelter, industri agro, dan logistik
Mandalika, Nusa Tenggara Barat Industri pariwisata
Morotai, Maluku Industri pariwisata, manufaktur dan logistik
Arun Lhokseumawe, Aceh Industri pengolahan migas, hasil pertanian, kertas,
petrokimia dan logistik
Galang Batang, Kepulauan Riau Logistik, Energi dan pengolahan ekspor
Tanjung Kelayang, Babel Industri pariwisata
MBTK, Kalimantan Timur Industri sawit dan pengolahan kayu
Bitung, Sulawesi Utara Industri perikanan, kelapa, farmasi dan logistik
Sorong, Papua Barat Industri galangan kapal, logistik, perikanan, hasil
pertanian, dan pertambangan
Sumber: Dewan Nasional KEK
5 Disebut Special Economic Zones dalam FAQ BKPM. 6 KEK dapat diusulkan oleh pemerintah daerah. Karena itu KEK memiliki sisi bottom-up policy
24
Namun di luar argument comparative advantage, kita dapat lihat pemerintah mulai
mendorong hilirisasi untuk komoditas mineral dengan dibuatkannya KEK khusus smelter.
Pemerintah juga mencoba melakukan diversifikasi untuk pariwisata di luar Bali. Di samping
itu, KEK ini dapat menjadi bukti keseriusan pemerintah untuk memajukan pertumbuhan
ekonomi di luar jawa.
Berdasarkan laporan tahunan Dewan Nasional KEK 2017, saat ini dari 14 KEK tersebut,
baru 4 yang sudah beroperasi, yaitu Sei Mangkei, Tanjung Lesung, Palu dan Mandalika. Khusus
untuk Sei Mankei dan Palu, kedua KEK tersebut sudah menghasilkan output senilai 9.17 trilyun
rupiah. Dewan Nasional KEK klaim bahwa ke-empat KEK tersebut sudah menyerap hamper
8,000 tenaga kerja. Investor telah berkomitmen sebesar 41.05 trilyun rupiah, di mana dari
angka tersebut, sebesar 5.83 trilyun rupiah telah terealisasi.
Bagaimana kebijakan-kebijakan ini dapat mendorong investasi langsung?
Jika program infrastruktur berpotensi menekan keuangan negara dari sisi pembelanjaan,
maka Insentif pajak berpotensi menekan keuangan negara dari sisi penerimaan pajak.
Sementara itu, KEK memiliki potensi keduanya karena KEK memberikan pengurangan tidak
hanya PPh tapi juga cukai dan PPn. Selain itu, KEK berdasarkan peraturan dapat dibiayai oleh
pemerintah. Padahal, pajak penghasilan badan dan PPN merupakan penyumbang terbesar
pendapatan negara dari pajak, yaitu sekitar 50%. Namun tentu saja kebijakan ini, jika dapat
dikelola dengan baik, akan memiliki efek jangka panjang yang baik, terutama pemerataan
pertumbuhan ekonomi daerah.
Namun kesemua kebijakan ini nampak belum mampu menyedot PMA yang cukup untuk
berperan dalam menjaga stabilitas makroekonomi. Pertumbuhan PMA tetap stagnan, seperti
dapat dilihat di gambar 3. Kita perlu memiliki data lebih lengkap tentang PMA dan PMDN
untuk berkata lebih banyak tentang tren PMA dan PMDN, karena data yang dimiliki BKPM
hanya menunjukkan angka investasi untuk sektor tertentu. Pemerintah juga tidak nampak
memberikan kerangka yang jelas tentang bagaimana mengevaluasi dampak kebijakan-
kebijakan ini terhadap kenaikan PMA maupun PMDN.
Evaluasi dari luar nampak tidak memberikan jawaban yang cukup positif. Indonesia
Investment, sebuah perusahaan investasi asal Belanda, melakukan investigasi internal
tentang iklim investasi Indonesia. Menurut mereka, ada 190 kasus di mana investor
menyatakan penundaan atau bahkan menghentikan rencana investasinya di Indonesia
25
karena mengalami hambatan ketika akan berinvestasi, bahkan setelah mendapatkan izin
prinsip dari BKPM. Nilai total 190 kasus tersebut diperkirakan mencapai 351.2 triliun rupiah.
Beberapa kasus ini diakibatkan perubahan aturan setelah izin prinsip dilakukan, kurangnya
infrastruktur logistik dan energi, buruknya koordinasi dengan pemerintah daerah, dan
tingginya suku bunga bank di Indonesia.
Pemerintah AS, melalui export.gov7, menyatakan bahwa berinvestasi di Indonesia
adalah “challenging”. Beberapa maslaah yang disebutkan dalam evaluasi mereka antara lain
ketidak pastian hukum, sulit dan lamanya mengakuisisi lahan, serta keharusan untuk
berpartner dengan pengusaha lokal yang seringkali menjadi rente. Mereka juga mengeluhkan
perlunya komitmen yang panjang dalam berinvestasi. Tentu saja komitmen ini menjadi
semakin penting di tengah ketidakpastian, terutama karena sulitnya menarik investasi
langsung. Tingginya angka korupsi dan koordinasi pusat-daerah yang buruk menambah daftar
panjang masalah dalam berinvestasi di Indonesia.
Cerita tentang investasi di Indonesia tidak selalu buruk. Indikator ease of doing business
di Indonesia, sebuah indikator yang disusun oleh World Bank (Bank Dunia), menunjukkan
bahwa Indonesia terletak di posisi 72 dari 190 negara pada tahun 2017. Bukan posisi yang
membanggakan, namun Indonesia mengalami peningkatan yang pesat sejak tahun 2015 (lihat
tabel 8). Menurut indikator ini, Indonesia memiliki kelemahan paling besar di bidang
enforcing contract dan registering property.
Tabel 8 Data historis peringkat Indonesia dalam Ease of Doing Business
Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Peringkat 122 126 129 116 120 120 106 91 72
Sumber:tradingeconomics.com
Ketiga hasil yang disebutkan oleh Indonesia Investment, export.gov, dan ease of doing
business menunjukkan bahwa permasalahan utama di Indonesia bukanlah soal pengurangan
pajak. Karena itu, mengandalkan instrument fiskal saja mungkin tidak cukup. Membuat
peraturan dan memastikan tegaknya peraturan tersebut adalah dua hal yang berbeda, dan
soal penegakan ini sepertinya masih menjadi masalah klasik di Indonesia. Kebijakan berbasis
bottom-up seharusnya secara teori dapat membantu meningkatkan koordinasi pusat daerah,
7 Sebuah Lembaga binaan Departemen Perdagangan Amerika Serikat yang berfungsi membantu pengusaha AS mendapatkan informasi mengenai Investasi dan perdagangan internasional.
26
namun jika kemungkinan berubahnya kebijakan seiring dengan pergantian pemimpin masih
tinggi, maka butuh instrumen yang lebih kuat untuk menjaga pusat-daerah tetap pada visi
yang telah disepakati.
Langkanya kerangka evaluasi kebijakan pemerintah membuka peluang bagi peneliti
untuk melakukan kajian lebih mendalam. Evaluasi yang lebih terstruktur dapat dilakukan
untuk memperkuat analisis awal yang terdapat di tulisan ini. Hal yang dapat dilakukan antara
lain melakukan studi mendalam di setiap sektor investasi, terutama di KEK yang saat ini sudah
beroperasi. Diperlukan juga data investasi yang lebih dalam daripada apa yang dipublikasi
oleh BKPM saat ini.
Data lain yang dapat membantu analisis lebih dalam adalah perusahaan-perusahaan
yang telah mendapatkan pengurangan pajak. Berdasarkan analisis sementara, insentif fiskal
bukan merupakan salah satu faktor utama bagi investor asing dalam memutuskan investasi
di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan insentif pajak yang ditarget kepada industri yang
memang merupakan comparative advantage Indonesia, sektor yang seharusnya sudah
memberikan insentif cukup tanpa perlu dorongan insentif fiskal.
Kesimpulan
Kondisi makroekonomi Indonesia ini belakangan dalam goncangan setelah harga minyak
konsisten naik, ditambah dengan naiknya suku bunga bank sentral AS diikuti melemahnya
rupiah. Untuk menjaga stabilitas makroekonomi Indonesia jangka panjang, menarget
masuknya PMA menjadi salah satu cara yang dapat ditempuh. Diperlukan instrumen
pemerintah untuk meningkatkan PMA. Instrumen fiskal melalui peningkatan investasi
infrastruktur, insentif pajak dan KEK telah dilakukan pemerintah dan diharapkan mampu
meningkatkan PMA. Namun demikian, analisis sementara menunjukan bahwa tren PMA
masih stagnan. Perlu penanganan masalah yang lebih mendasar untuk mendatangkan PMA,
seperti meningkatkan kepastian hukum, mengurangi korupsi dan memperbaiki koordinasi
antar instansi, terutama pusat-daerah.
27
MENGURAI KETIMPANGAN EKONOMI PASCA REFORMASI
Oleh: Imaduddin Abdullah *
*Kajian Ekonomi PPI Dunia, Mahasiswa Program Public Policy, National Graduate Institute for Public Policy
Studies (GRIPS), Japan)
1. Pendahuluan
Salah satu isu krusial di bidang ekonomi setelah 20 tahun reformasi adalah ketimpangan
ekonomi yang justru semakin lebar. Rasio gini yang merupakan salah satu indikator untuk
menilai ketimpangan ekonomi di suatu wilayah menunjukkan peningkatan sejak tahun 1999.
Walaupun rendahnya ketimpangan pada tahun 1999 lebih banyak disebabkan oleh faktor
krisis ekonomi yang memukul kelompok masyarakat atas, namun sejak reformasi rasio gini
Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2000, rasio gini Indonesia berada pada
posisi 0.3. Namun dalam perjalanan masa reformasi, rasio gini di Indonesia terus mengalami
peningkatan dan mencapai 0.391 pada September 2017.
Gambar 4. Perkembangan Rasio Gini Indonesia (1964-2017)
Sumber: Badan Pusat Statistik (2017)
Selain di level nasional, ketimpangan ekonomi juga terjadi pada level provinsi dimana
meningkatnya ketimpangan dapat lihat di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Pada tahun
1996, hanya tiga provinsi yang memiliki tingkat rasio gini yang lebih tinggi dibandingkan
angkat gini nasional. Namun pada tahun 2015, provinsi yang memiliki nilai indeks gini rasio
di atas nilai nasional (0,41) bertambah menjadi tujuh provinsi yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Papua, serta Papua Barat. Semakin tingginya tingkat
0.25
0.27
0.29
0.31
0.33
0.35
0.37
0.39
0.41
0.43
19
64
19
69
19
76
19
80
19
84
19
87
19
90
19
93
19
96
19
99
20
00
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
20
13
20
14
Mar
-15
Sep
-15
Mar
-16
Sep
-16
28
ketimpangan di Indonesia secara nasional maupun di tingkat provinsi tidaklah sejalan dengan
reformasi yang memiliki semangat untuk pemerataan pembangunan di Indonesia.
Gambar 5. Perkembangan Rasio Gini Pada Level Provinsi di Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik (2017)
Tingginya ketimpangan perlu mendapatkan perlu dari semua pihak mengingat ketimpangan
memiliki dampak negatif terhadap agenda pembangunan Indonesia. Berbagai literatur sudah
mengemukakan dampak negatif dari ketimpangan ekonomi di suatu wilayah. Studi yang
dilakukan oleh Cingano (2014) misalnya menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi
memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Studi ini konsisten dengan
sejumlah studi yang dilakukan oleh (Babu et al, 2016) Kennedy et al, 2017; Shin, 2012; . Selain
memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan ekonomi juga
dapat mendorong terciptanya konflik sosial dan instabilitas politik (Alesina and Perotti, 1996;
Bartusevicius, 2014; Knack and Keefer, 2000)
2. Akar Ketimpangan
Terdapat sejumlah teori yang menjelaskan akar dari ketimpangan yang dapat dikategorikan
dalam tiga aspek yaitu: rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi, ketimpangan akses
terhadap faktor produksi, dan ketimpangan aset. Pada bagian ini akan dijelaskan kondisi
00.05
0.10.15
0.20.25
0.30.35
0.40.45
0.5
1996 2005 2015 Nasional 1996 dan 2005 Nasional 2015
29
ketiga aspek tersebut selama 20 tahun terakhir. Lalu pada bagian berikutnya akan dibahas
strategi yang dicapai dalam mengurai ketimpangan di Indonesia.
2.1. Pertumbuhan Tidak Berkualitas
Faktor pertama yang mendorong meningkatnya ketimpangan di Indonesia selama 20 tahun
terakhir adalah rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi. Walaupun ekonomi Indonesia
mampu tumbuh dengan rata-rata 5,2 selama periode tersebut, namun pertumbuhan
ekonomi Indonesia lebih banyak didorong oleh pertumbuhan sektor non-tradable yang relatif
menyerap tenaga kerja lebih rendah dibandingkan sektor tradable. Seperti yang terlihat pada
gambar 6, pertumbuhan sektor non-tradable selalu lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan
PDB nasional maupun pertumbuhan sektor tradable.
Gambar 6. Pertumbuhan Sektor Tradable dan Non-Tradable
Sumber: BPS (2017)
Jika melihat dalam konteks pertumbuhan sektoral, maka dapat dilihat bahwa sektor-
sektor yang menyerap tenaga kerja besar seperti sektor industri dan sektor pertanian
cenderung mencatatkan pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan sektor-sektor seperti
Pengangkutan dan Komunikasi serta Sektor Keuangan yang menyerap tenaga kerja rendah.
Rata-rata pertumbuhan sektor pertanian sepanjang 2000-2010 sebesar 3.48 persen dan 4.48
persen. Padahal 29,7 persen dan 14,1 persen dari total pekerja Indonesia bekerja di sektor
4.6
2.6
3.93.5 3.4 3.5 3.7 3.9
3.4
2.2
3.8
5.14.7
3.7 3.6
2.5
5.34.9
5.3
6.37
87.4
8.8 8.7
7.1
8.6
7.1 7.2 7.1
6.26.5
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Tradable Non-Tradeable GDP
30
ini. Sedangkan sektor-sektor seperti Pengangkutan dan Komunikasi maupun sektor
Keuangan, Persewaan, dan Perusahaan tumbuh rata-rata sebesar 12,89 persen 6,71 persen.
Sumber: BPS (2017)
Gambar 7. Rata-Rata Pertumbuhan Tahunan dan Persentase Penyerapan Tenaga Kerja
Terdapat sejumlah faktor yang menjadi pendorong tingginya ketimpangan di Indonesia.
Yusuf et al (2014) menjelaskan faktor pemicu ketimpangan ekonomi di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor-faktor eksogen
terkait dengan perdagangan dimana Indonesia menikmati ledakan komoditas (commodity
boom) di pasar global pada tahun 2000an yang membuat harga sejumlah komoditas utama
Indonesia mengalami peningkatan seperti batu bara dan minyak sawit. Hal ini membuat
kelompok masyarakat dengan pendapatan atas sebagai kelompok yang paling mendapatkan
manfaat dari kenaikan harga komoditas mengalami peningkatan konsumsi yang signifikan.
Sedangkan peningkatan konsumsi kelompok masyarakat rendah cenderung rendah yaitu 3
persen sepanjang 1993-2013, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan konsumsi rata-rata
nasional yang mencapai 3,7 persen. Studi yang dilakukan oleh Burke dan Resosudarmo (2012)
juga menunjukkan bahwa meroketnya harga komoditas, utamanya harga batubara, di pasar
global meningkatkan ketimpangan ekonomi di Indonesia. Sedangkan faktor-faktor eksogen
yang mendorong peningkatan ketimpangan di Indonesia antara lain adalah perubahan di
pasar tenaga kerja seperti semakin rendahnya permintaan unskilled labour serta semakin
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
Pertanian Pertambangan Industri Listrik, Gas, Air Konstruksi Perdagangan Pengangkutandan Komunikasi
Keuangan Jasa-jasa
Pertumbuhan Penyarapan Tenaga Kerja
31
tingginya tingkat informalitas dalam tenaga kerja berpenghasilan rendah dan kebijakan fiskal
pemerintah seperti kebijakan subsidi BBM justru semakin memperparah ketimpangan
ekonomi di Indonesia setelah berakhirnya era Orde Baru.
2.2. Ketimpangan Akses
Dalam publikasi yang lain, Bank Dunia (2017) menjelaskan bahwa semakin tingginya
ketimpangan di Indonesia dipicu oleh peningkatan pendapatan kelompok atas yang jauh lebih
cepat dibandingkan peningkatan pendapatan kelompok menengah dan miskin. Dalam
konteks ini, ketimpangan dalam hal akses terhadap sumber daya dan aset dianggap sebagai
faktor yang memicu perbedaan kecepatan peningkatan pendapatan antar kelompok
masyarakat. Padahal sumber daya maupun aset memiliki peranan yang penting dalam
menghasilkan pendapatan. Oleh sebab itu, ketimpangan dalam hal aset dan sumber daya
menjadi faktor penting yang perlu mendapatkan perhatian.
2.2.1. Ketimpangan Akses terhadap Aset di Sektor Pertanian
Salah satu bentuk ketimpangan aset yang menyebabkan jurang ketimpangan ekonomi di
Indonesia semakin tinggi adalah ketimpangan aset di sektor pertanian. Padahal, akses
terhadap aset di sektor pertanian memiliki peranan yang tinggi dalam mempengaruhi
produktivitas di sektor pertanian yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kesejahteraan
pekerja di sektor pertanian.
Berbagai studi yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa ketimpangan dalam hal akses
terhadap lahan berpengaruh terhadap produktivitas dan kesejahteraan. Setidaknya terdapat
tiga saluran yang menjelaskan hubungan antara akses terhadap lahan dan produktivitas di
sektor pertanian. Saluran pertama adalah melalui akses terhadap kredit. Akses terhadap
tanah dapat mempengaruhi akses terhadap pembiayaan di sektor pertanian karena tanah
dapat dijadikan sebagai agunan dalam mendapatkan pembiayaan. Studi yang dilaksanakan
oleh Dower dan Potamites (2014) menunjukkan adanya efek positif dan signifikan dari
kepemilikan tanah terhadap akses terhadap pembiayaan.
Saluran kedua adalah melalui insentif dalam produksi. Studi yang dilakukan oleh Lawry
et al (2017) menggunakan metodologi systematic review dari sejumlah studi yang pernah
dilakukan oleh berbagai penelitian menunjukkan bahwa petani yang memiliki lahan sendiri
cenderung lebih produktif dibanding petani tanpa lahan. Hal ini disebabkan karena petani
yang memiliki lahan memiliki insentif yang lebih tinggi untuk investasi di sektor pertanian
32
karena manfaat dari investasi tersebut dapat dinikmati dalam jangka panjang. Hal berbeda
berlaku jika tidak ada kepemilikan formal terhadap tanah tersebut dimana tidak ada insentif
untuk melakukan investasi jangka panjang. Studi yang dilakukan oleh Goldstein et al (2018)
menggunakan metode Randomized-Controlled Trial (RCT) menunjukkan bahwa petani yang
memiliki lahannya sendiri akan mempengaruhi keputusan para petani tersebut untuk
mengubah bentuk investasinya dari investasi jangka pendek menjadi investasi jangka
panjang.
Saluran ketiga dari hubungan antara kepemilikan lahan dengan produktivitas dan
kesejahteraan juga dapat dilihat dari skala ekonomi penguasaan tanah. Berbagai penelitian
juga sudah menemukan bahwa besarnya lahan yang dikuasai memiliki hubungan positif
dengan tingkat produktivitas. Tabel 9. memberikan gambaran mengenai luas lahan yang
harus dikelola pada sejumlah komoditas agar usahanya Break Even Point (BEP) atau agar
usahanya mampu memberikan pendapatan setara atau di atas garis kemiskinan.
Tabel 9. Luas Lahan Minimal yang Dibutuhkan untuk Break Even Point Serta Pendapatan
Setara/Di Atas Garis Kemiskinan Pada Sejumlah Komoditas
Komoditas BEP Usaha Tani
(hektar)
Pendapatan Setara/Di Atas Garis
Kemiskinan (hektar)
Padi 0,51 0,65
Jagung 0,41 1,12
Kedelai 0,46 0,74
Sumber: Susilowati dan Maulana (2012)
Walaupun kepemilikan lahan memiliki faktor yang krusial dalam produktivitas dan
kesejahteraan petani, namun pada faktanya ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia
cukup tinggi. Berdasarkan Sensus Pertanian tahun 2013, gini rasio tanah mencapai 0.64, lebih
tinggi dibandingkan rasio gini konsumsi yang selama ini dijadikan indikator ketimpangan
ekonomi. Walaupun gini rasio tanah berdasarkan Sensus Pertanian tahun 2013 lebih rendah
dibandingkan rasio gini tahun 2003, namun rasio tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan rasio
gini selama Orde Baru.
33
Gambar 9. Rasio Gini Ketimpangan Lahan
Sumber: Diolah dari BPS (2016) dan Winardi (2011)
Pada sektor pertanian sendiri, rendahnya luas kepemilikan lahan juga dapat dilihat luas
lahan yang dikuasai oleh petani. Berdasarkan data Sensus Pertanian 2013, lebih dari setengah
total petani di Indonesia (56,03 persen) merupakan petani gurem yang penguasaan lahannya
kurang dari 0,5 hektar. Di saat yang bersamaan, persentase petani yang memiliki lahan lebih
dari 2 hektar semakin besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (lihat gambar 10). Jika
dilihat secara lebih mendalam berdasarkan data sensus pertanian tahun 2003 dan 2013, maka
proporsi petani yang memiliki lahan lebih dari 3 hektar mengalami peningkatan dari 4,19
persen (dari total rumah tangga petani) tahun 2003 menjadi 6,14 persen. Lebih dari itu,
penguasaan lahan oleh korporasi dengan luas lahan 5.000-.‐30.000 hektar meningkat menjadi
24,57 persen dibandingkan tahun 2003.
Sumber: Sensus Pertanian (2013)
0.541
0.504
0.643
0.717
0.64
0.45
0.5
0.55
0.6
0.65
0.7
0.75
1973 1983 1993 2003 2013
0%
20%
40%
60%
80%
100%
1983 1993 2003 2013
<0.5 0.5-0.99 1-1.99 >2
34
Gambar 10. Komposisi Petani Di Indonesia Berdasarkan Luas Lahan yang Dikuasai
Jika dibandingkan dengan dibandingkan dengan negara-negara lainnya, maka rata-rata
kepemilikan lahan oleh petani di Indonesia cenderung lebih kecil. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Rigg (2015), rata-rata kepemilikan lahan oleh petani di Indonesia hanya
0,8 hektar. Sedangkan negara-negara lainnya memiliki kepemilikan lahan rata-rata lebih dari
1 hektar.
Gambar 11. Rata-Rata Luas Kepemilikan Lahan oleh Petani di Sejumlah Negara (hektar)
Sumber: Rigg et al (2015)
Jika melihat rata-rata kepemilikan tanah di atas, maka tidak mengherankan jika
pendapatan petani di Indonesia cenderung rendah. Berdasarkan penelitian Susilowati dan
Maulana (2012) terkait luas lahan untuk mencapai skala ekonomi yang sudah dijelaskan pada
bagian sebelumnya, maka lebih dari setengah petani Indonesia kesulitan untuk mencapai BEP
atau memiliki penghasilan setara atau di atas pendapatan setara atau di atas garis
kemiskinan. Hal ini terkonfirmasi dari rata-rata penghasilan petani di Indonesia yang hanya
Rp 12,4 juta per tahun atau sekitar 1 juta per bulan. Dengan asumsi satu keluarga terdiri dari
empat anggota, pendapatan per kapita dari rata-rata rumah tangga petani di Indonesia hanya
sebesar Rp 250 ribu per bulan, atau lebih rendah dibandingkan kemiskinan di pedesaan
sebesar Rp 286.097 per kapita per bulan (menggunakan data April 2014).
0.8
1.571.46
2
3.2
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Indonesia Jepang Korea Selatan Filipina Thailand
35
Gambar 12. Rata-Rata Penghasilan Rumah Tangga Petani
Sumber: Sensus Pertanian (2013)
2.2.2. Ketimpangan Akses terhadap Pelayanan Dasar
Faktor lain yang menyebabkan ketimpangan ekonomi semakin tinggi di Indonesia adalah
ketimpangan akses terhadap pelayanan dasar yang membuat tidak semua masyarakat di
Indonesia mendapatkan kesempatan yang sama. Padahal, akses terhadap pelayanan dasar
memiliki peranan krusial dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia yang
merupakan kunci pembangunan suatu wilayah. Oleh sebab itu, pertumbuhan ekonomi hanya
dirasakan oleh kelompok masyarakat yang selama ini mendapatkan akses pelayanan dasar.
Ketimpangan akses terhadap pelayanan dasar dapat dilihat dari sejumlah indikator seperti
ketimpangan terhadap akses pendidikan, akses kesehatan, maupun akses pelayanan dasar
lainnya.
Dalam hal akses pendidikan, ketimpangan dapat dilihat dari perbedaan kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan berdasarkan kemampuan keluarga. Berdasarkan data
Susenas (2012), dapat dilihat bahwa kuantil kelima cenderung memiliki akses yang lebih tinggi
terhadap pendidikan. Pada tahap Pendidikan Dasar (7-12 tahun), seluruh kelompok
masyarakat mendapatkan akses pendidikan yang hampir sama. Namun ketimpangan mulai
terjadi pada tahap Sekolah Menengah Pertama (13-15 tahun) dan Sekolah Menengah Atas
12.410.7
15.6
13.3
24.623.023.0
17.2
14.1
16.6
18.819.4
10.3
8.07.4
10.59.6
12.010.7
9.0
16.516.5
12.6
21.520.5
15.213.413.9
11.7
14.7
11.812.4
15.217.0
20.5
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
Ind
on
esia
Ace
h
Sum
ater
a U
tara
Sum
ater
a B
arat
Ria
u
Jam
bi
Sum
ater
a Se
lata
n
Ben
gku
lu
Lam
pu
ng
Kep
. Ban
gka
Bel
itu
ng
Kep
ula
uan
Ria
u
DK
I Jak
arta
Jaw
a B
arat
Jaw
a Te
nga
h
DI Y
ogy
akar
ta
Jaw
a Ti
mu
r
Ban
ten
Bal
i
Nu
sa T
engg
ara
Bar
at
Nu
sa T
engg
ara
Tim
ur
Kal
iman
tan
Bar
at
Kal
iman
tan
Ten
gah
Kal
iman
tan
Se
lata
n
Kal
iman
tan
Tim
ur
Kal
iman
tan
Uta
ra
Sula
wes
i Uta
ra
Sula
wes
i Ten
gah
Sula
wes
i Sel
atan
Sula
wes
i Ten
ggar
a
Go
ron
talo
Sula
wes
i Bar
at
Mal
uku
Mal
uku
Uta
ra
Pap
ua
Bar
at
Pap
ua
36
(16-18 tahun). Pada tahap SMP dan SMA, kelompok masyarakat penghasilan atas memiliki
akses pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok masyarakat bawah. Pada tahap
SMA misalnya, 75,3 persen dari kelompok masyarakat penghasilan atas (Q5) mendapatkan
akses pendidikan. Sedangkan hanya 42,9 persen dari total kelompok masyarakat penghasilan
atas (Q1) yang dapat mengenyam pendidikan SMA. Kondisi tersebut semakin parah ketika
tahap Pendidikan Tinggi (19-24 tahun) dimana hanya 4,8 persen dari total kelompok
masyarakat penghasilan atas (Q1) yang dapat kuliah di tingkat Pendidikan Tinggi. Sedangkan
33,1 persen dari total kelompok masyarakat penghasilan atas (Q1) yang dapat mengenyam
pendidikan tinggi.
Gambar 13. Angka Partisipasi Sekolah Berdasarkan Kuantil Penghasilan
Sumber: Susenas (2012), diolah
Selain akses pendidikan, ketimpangan juga dapat dilihat dari akses kesehatan. Dalam
hal ini, dua indikator dapat dilihat dalam menilai ketimpangan dalam hal akses kesehatan
yaitu akses fasilitas pada saat melahirkan dan akses imunisasi. Ketimpangan sudah terjadi
pada saat ibu melahirkan, dimana kelompok masyarakat ekonomi tinggi (Q5) memiliki akses
fasilitas kesehatan dan akses tenaga kesehatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok
masyarakat ekonomi rendah (Q1). Persentase kelompok Q1 yang mendapatkan persalinan di
fasilitas kesehatan hanya 29,7 persen sedangkan kelompok Q5 88,1 persen. Ketimpangan
akses kesehatan juga terjadi dalam konteks imunisasi dimana hanya 48,9 persen dari total
95.9
81
42.9
4.8
97.9
88.8
55.2
7.2
98.692.3
63.6
11.5
98.993.9
68.4
17.1
99.494.9
75.3
33.1
0
20
40
60
80
100
120
7-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun 19-24 tahun
Q 1 Q 2 Q 3 Q 4 Q 5
37
kelompok masyarakat ekonomi paling rendah (Q1) yang mendapatkan imunisasi dasar
lengkap. Sedangkan persentase kelompok masyarakat ekonomi Q5 yang mendapatkan
imunisasi lengkap mencapai 73,3 persen.
Gambar 14. Akses Kesehatan Saat
Melahirkan (Persen)
Gambar 15. Imunisasi Dasar Lengkap
(Persen)
Sumber: Susenas (2012)
3. Strategi Mengurai Ketimpangan
Isu ketimpangan ekonomi menjadi isu krusial terutama setelah berakhirnya era Orde Baru di
tahun 1998. Oleh sebab itu diperlukan strategi kebijakan yang dapat mengurai ketimpangan
yang semakin tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Strategi untuk mengurai ketimpangan
tersebut difokuskan untuk mengurai akar ketimpangan yang sudah dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, ketimpangan yang
semakin tinggi di Indonesia disebabkan sejumlah faktor antara lain pertumbuhan yang tidak
berkualitas, ketimpangan aset, dan ketimpangan akses. Oleh sebab itu, pada bagian ini akan
dijelaskan strategi mengurai ketimpangan dari masing-masing akar ketimpangan.
Pertumbuhan Berkualitas
Meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi dijalankan dengan melakukan revitalisasi
pembangunan di sektor pertanian dan industri. Hal ini mengingat dua sektor ini adalah dua
57.5
81.889.7
93.2 96.6
29.7
57.2
66.2
79.1 88.1
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Q 1 Q 2 Q 3 Q 4 Q 5
Persalinan nakes Persalinan di fasilitas kesehatan
48.9
66.5 66.673.7 73.3
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Q 1 Q 2 Q 3 Q 4 Q 5
38
sektor dengan jumlah penyerapan tenaga kerja terbesar. Oleh sebab itu, pertumbuhan kedua
sektor ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Strategi dalam rangka revitalisasi sektor pertanian diarahkan pada sejumlah kebijakan
antara lain adalah meningkatkan produktivitas petani; pembangunan infrastruktur
pendukung sektor pertanian; pengendalian harga dan ketersediaan input produksi sektor
pertanian; pengendalian kondisi pasar supaya bisa menguntungkan semua pihak, baik petani,
pedagang, maupun konsumen; serta lebih memudahkan petani dalam mengakses
pembiayaan yang murah. Revitalisasi sektor industri memiliki urgensi yang tinggi mengingat
sektor industri memiliki peranan sebagai mesin penggerak utama (prime mover)
perekonomian nasional, sekaligus tulang punggung ketahanan ekonomi nasional dengan
berbasis sumber daya lokal yang memiliki struktur keterkaitan dan kedalaman yang kuat.
Lebih dari itu, sektor ini berperan besar dalam mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi
karena berperan dalam mengatasi masalah pengangguran, meningkatkan nilai tambah,
investasi dan ekspor.
Kebijakan revitalisasi sektor industri perlu mencakup sejumlah aspek antara lain adalah
mendorong percepatan pembangunan infrastruktur industri (infrastruktur teknologi, logistik,
data, pasar, dan SDM industri) dan infrastruktur strategis lainnya dengan pelibatan swasta,
penyediaan SDA (bahan baku) & energi untuk pembangunan industri dalam negeri,
peningkatan kemampuan teknologi industri untuk mendorong peningkatan mutu, efisiensi,
dan produktifitas, mendorong peningkatan peran sektor keuangan pada pembiayaan industri,
menerapkan NTM untuk produk yang berpotensi lebih efisien diciptakan di dalam negeri
(subsitusi impor), erluasan pasar domestik dan ekspor produk-produk industry. Lebih dari itu,
pembangunan sektor industri juga harus didorong dengan sebagai penggerakan ekonomi
wilayah dimana setiap wilayah di Indonesia mendorong pengembangan industri berdasarkan
potensi daerah. Terlebih selama ini komoditas utama ekspor dari Kawasan Timur Indonesia
lainnya masih bersifat bahan mentah (raw material).
Meningkatkan Akses Terhadap Aset di Sektor Pertanian
Dalam rangka meningkatkan akses terhadap aset di sektor pertanian, maka diperlukan
kebijakan formalisasi hak atas tanah. Selain distribusi lahan dengan pendekatan ex-situ
dimana memberikan lahan baru kepada petani di daerah yang baru dibuka oleh pemerintah,
program distribusi lahan juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan in-situ melalui
39
program legalisasi dan sertifikasi. Dalam konteks ini, perlu ditetapkan kriteria petani yang
berhak mendapatkan sertifikat (tanah yang produktif).
Lebih dari itu, peningkatan akses terhadap aset juga harus disertai dengan peningkatan
akses terhadap sejumlah faktor yang diperlukan dalam proses produksi di sektor pertanian
seperti akses terhadap informasi, pembiayaan, dan teknologi. Dalam konteks ini, kemitraan
pertanian antara petani dengan perusahaan agribisnis berbasis contract farming dapat
menjadi solusi. Melalui contract farming, petani bisa mendapatkan akses kepada faktor
produksi dan juga mendapatkan kepastian bahwa produknya akan dibeli.
Sebagai tindak lanjut pengelolaan lahan hasil reforma agraria, maka diperlukan model
bisnis (business process) perkebunan yang berfungsi sebagai pengolahan hasil tanaman
perkebunan agar bernilai tambah. Hal ini agar, pembagian lahan tidak hanya bertujuan sosial
tetapi juga bertujuan untuk menciptakan nilai tambah (value creation). Pada akhirnya
kerjasama antara petani reforma agraria dan industri perkebunan diharapkan meningkatkan
pendapatan petani sekaligus meningkatkan produktivitas hasil pertanian secara nasional.
Meningkatkan Akses Terhadap Pelayanan Dasar
Peningkatan akses terhadap pelayanan dasar ditujukan untuk memastikan bahwa seluruh
kelompok masyarakat di Indonesia mendapatkan akses pelayanan dasar yang sama sejak
lahir. Pada bidang kesehatan, peningkatan akses pelayanan dasar dilakukan melalui sejumlah
kebijakan antara lain adalah:
1. Meningkatkan pendanaan untuk pembangunan fasilitas kesehatan. Dalam konteks ini,
kebijakan yang dapat didorong antara lain adalah meningkatkan Dana Alokasi Khusus
(DAK) di bidang kesehatan
2. Memastikan tersedianya jumlah tenaga medis yang kompeten, khususnya di daerah-
daerah terpencil
Sedangkan pada bidang pendidikan, sejumlah kebijakan yang perlu didorong antara lain
adalah:
1. Meningkatkan kualitas tenaga pendidik dan jumlah tenaga pendidik khususnya di
daerah-daerah terpencil
2. Meningkatkan pendanaan di bidang pendidikan. Meskipun demikian, peningkatan
pendanaan di bidang pendidikan harus diiringi oleh peningkatan pengawasan dan
ketepatan penggunaan anggaran. Hal ini mengingat peningkatan anggaran pendidikan
40
ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan Angka Partisipasi Murid
(APM) dimana elastisitas anggaran pendidikan terhadap APM tingkat SD menunjukkan
semua daerah berada di bawah angka 1 yang berarti inelastis.
TRANSISI DEMOGRAFI INDONESIA DAN KEBIJAKAN FISKAL UNTUK
PENDIDIKAN DI Indonesia
Oleh: Yuventus Effendi*
*Kajian Ekonomi PPI Dunia, Mahasiswa Doktoral Australian National University (ANU)
Dalam laporan World Competitiveness Report 2017-2018, peringkat daya saing global
Indonesia naik ke posisi ke-36 dari 140 negara. Kenaikan peringkat tersebut terutama
41
disebabkan karena Indonesia telah mampu memperbaiki kinerjanya dalam semua pilar daya
saing. Sama seperti laporan-laporan tahun sebelumnya, ukuran pasar yang besar masih
merupakan pendorong utama dari daya saing global Indonesia yang menduduki peringkat ke-
9 secara global. Namun, dari sisi inovasi dan bisnis, Indonesia mendapat peringkat 31 dan 32.
Bahkan untuk kesiapan teknologi dan efisiensi pasar tenaga kerja, Indonesia sangat jauh
tertinggal di peringkat 80 dan 96 dari 140 negara (Schwab, 2017). Laporan daya saing global
tersebut dapat memberikan indikasi mengenai potensi sumber daya manusia Indonesia yang
sangat besar melalui ukuran pasar yang besar. Sayangnya, populasi yang besar ini relative
masih kurang memiliki daya saing, seperti yang diindikasikan dengan indikator seperti
kesiapan teknologi dan efisiensi pasar tenaga kerja.
Kondisi Demografi Indonesia
Dalam beberapa tahun ke depan, demografi Indonesia akan mengalami perubahan yang
signifikan. Sebagai contoh, pada saat ini rasio ketergantungan8 Indonesia menunjukkan tren
penurunan sampai dengan tahun 2025. Setelah 2025, rasio tersebut akan perlahan
meningkat. Penurunan rasio ini merupakan indikasi bahwa proporsi penduduk usia produktif
yang relative lebih besar apabila dibandingkan dengan penduduk usia non-produktif.
Sedangkan kenaikan rasio ini dalam beberapa dekade ke depan merupakan indikasi bahwa
populasi penduduk yang berada dalam rentang usia tidak produktif akan mulai meningkat,
seiring dengan meningkatnya populasi penduduk yang berusia lanjut dan menurunnya
populasi usia muda.
8 Rasio ketergantungan (dependency ratio) merupakan rasio antara populasi yang sudah tidak bekerja (penduduk yang berumur kurang dari 15 tahun dan lebih dari 65 tahun) dibandingkan dengan populasi usia kerja.
42
Gambar 16. Rasio Ketergantungan dan Kelompok Usia
Sumber: Effendi, Hidayat, & Nurwanda (2016)
Gambar 16 menunjukkan bahwa dalam beberapa dekade ke depan, struktur demografi
Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan. Jumlah penduduk usia kerja akan terus
meningkat secara signifikan dari 160 juta penduduk pad atahun 2010 menjadi 210 juta
penduduk pada tahun 2035, setara dengan penambahan 50 juta penduduk usia produktif
dalam 25 tahun ke depan.
Dampak dari perubahan demografi terhadap ekonomi dapat ditemukan dalam
beberapa penelitian yang mengindikasikan bahwa demografi merupakan salah satu factor
yang penting dalam menentukan kondisi makro ekonomi suatu negara. Perkins et al. (2013)
dan Prskawetz et al. (2007) menemukan bahwa adanya dividen demografi, yang diindikasikan
dengan rendahnya rasio ketergantungan, akan mendorong peningkatan output per kapita.
Lebih lanjut, peningkatan tersebut akan mendorong peningkatan tabungan dan
kesejahteraan sebagai dampak dari lebih lamanya tingkat harapan hidup. Oosthuizen (2014)
berargumen bahwa adanya transisi demografi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
melalui lebih banyak sumber daya yang tersedia untuk penduduk usia muda dan relatif
rendahnya tingkat kesuburan yang akan mendorong penduduk usia kerja untuk tetap di pasar
tenaga kerja dan meningkatkan akumulasi investasi mereka untuk persiapan menghadapi
masa pensiun nanti.
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
0.00
50,000.00
100,000.00
150,000.00
200,000.00
250,000.00
19
50
19
56
19
62
19
68
19
74
19
80
19
86
19
92
19
98
20
04
20
10
20
16
20
22
20
28
20
34
20
40
20
46
20
52
20
58
20
64
20
70
20
76
20
82
20
88
20
94
21
00
%Ribu Orang
<14 years old 15-65 years old >65 years old Dependency Ratio (RHS)
43
Gambar 17 Proyeksi PDB per kapita (dalam %, Periode 2001-2055)
Sumber: Effendi, Hidayat, & Nurwanda (2016)
Gambar 17 menunjukkan dekomposisi pendapatan per kapita menjadi tiga komponen
utamanya yaitu produktivitas, partisipasi tenaga kerja dan proporsi tenaga kerja. Secara
umum, produktivitas merupakan komponen yang dominan dalam menentukan pendapatan
per kapita di Indonesia.
Terkait dengan komponen proporsi tenaga kerja dan partisipasi maka meningkatnya
komponen proporsi tenaga kerja dalam periode 2013-2025 merupakan sesuatu yang wajar
sebagai hasil dari meningkatnya penduduk usia kerja terhadap total populasi. Dalam periode
ini, komponen proporsi ini akan mendorong bertumbuhnya pendapatan per kapita, terutama
sebelum tahun 2025. Sayangnya setelah tahun 2025, dimana rasio ketergantungan perlahan
mulai meningkat, komponen proporsi sudah tidak lagi menjadi pendorong pertumbuhan
ekonomi. Sedangkan untuk komponen partisipasi lebih berperan yang mengindikasikan
bahwa jumlah penduduk yang bekerja terhadap total angkatan kerja mampu berkontribusi
positif.
Komponen terakhir, yaitu produktivitas, dapat didefinisikan secara sederhana sebagai
total output terhadap jumlah tenaga kerja. Dalam proyeksi tersebut, diasumsikan bahwa
produktivitas relatif tidak berubah pada kisaran 3,64%. Asumsi ini pada kenyataannya bisa
lebih rendah maupun lebih tinggi, sangat bergantung pada kebijakan yang diimplementasikan
pada saat ini. Sebagai contoh, apabila pemerintah mendorong penelitian dan pengembangan,
diharapkan dalam beberapa tahun ke depan produktivitas akan meningkat karena
(3.00)
(2.00)
(1.00)
-
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
20
01
20
03
20
05
20
07
20
09
20
11
20
13
20
15
20
17
20
19
20
21
20
23
20
25
20
27
20
29
20
31
20
33
20
35
20
37
20
39
20
41
20
43
20
45
20
47
20
49
20
51
20
53
20
55
%
Productivity (GDP/Lab Force) Participation (Lab Force/Working Age)
Proportion (Working Age/Population) Decomposition (RHS)
GDP per capita (RHS)
44
ditemukannya inovasi maupun teknologi baru. Produktivitas juga dapat ditingkatkan dengan
mendorong kualitas tenaga kerja, sehingga mampu memberikan tingkat output yang lebih
tinggi.
Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Shoven, Topper dan Wise (1994)
mengindikasikan bahwa transisi demografi akan memberikan dampak bagi alokasi anggaran
pemerintah melalui besarnya anggaran kesehatan yang harus dialokasikan untuk penduduk
usia lanjut, termasuk peningkatan harga dan intensitas penggunaan layanan kesehatan oleh
penduduk usia lanjut. Lebih lanjut, perubahan demografi yang menunjukkan peningkatan
penduduk usia kerja juga akan berpengaruh pada tingkat penerimaan pemerintah yang
berasal dari pajak. Sebuah studi yang dilakukan di Jerman, menunjukkan bahwa dengan
adanya populasi yang menurun dalam beberapa tahun terakhir, menyebabkan penerimaan
negara yang berasal dari pajak penghasilan menurun sebesar 7% dari total penerimaan
(Betznotska dan Hentze, 2017). Untuk kasus Indonesia, tentunya diharapkan dengan adanya
pertumbuhan populasi dan penduduk usia kerja, akan meningkatkan penerimaan negara baik
dari pajak penghasilan maupun konsumsi.
Walaupun Beznoska & Hentze (2017) menemukan bahwa adanya hubungan antara
populasi dan penerimaan negara di Jerman, untuk Indonesia, kenaikan populasi di Indonesia
belum memberikan dampak yang signifikan pada penerimaan pajak karena beberapa hal
seperti rendahnya jumlah wajib pajak yang terdaftar dan masih belum terintegrasinya sistem
perpajakan di Indonesia. Sebagai contoh, dari sekitar 120 juta tenaga kerja Indonesia (BPS,
2018), hanya sekitar 18,9 juta orang yang terdaftar sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi, atau
setara dengan . hal ini masih disertai dengan rasio penyampaian SPT Tahunan yang relatif
rendah sekitar 60,98%. Artinya, dari 18,9 juta Wajib Pajak Orang Pribadi, hanya sekitar 11,3
juta Wajib Pajak yang melaporkan pajaknya setiap tahun (DJP, 2017). Terkait dengan integrasi
sistem perpajakan, sampai dengan saat ini pemberlakukan Single Identity Number sebagai
identitas penduduk Indonesia juga masih belum diimplementasikan9. Hal ini berbeda dengan
negara maju yang telah mengintegrasikan sistem kependudukan dengan sistem administrasi
perpajakan.
Secara singkat, transisi demografi tersebut, secara langsung maupun tidak langsung
akan berpengaruh terhadap pola pendapatan dan penerimaan negara. Oleh karena itu,
9 Sampai dengan 2016, wacana untuk menggunakan Single Identity Number masih terbatas pada perekaman data penduduk dalam KTP
elektronik. Integrasi e-KTP sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak belum dilaksanakan sampai dengan saat ini.
45
pemerintah harus dapat mengantisipasi perubahan demografi tersebut dengan melakukan
kebijakan-kebijakan yang lebih mendorong daya saing tenaga kerja Indonesia melalui belanja
pemerintah yang lebih focus kepada pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, termasuk
memberikan insentif bagi pengembangan penelitian dan pengembangan.
Artikel ini berargumen bahwa kebijakan belanja pemerintah dapat berperan penting
dalam mengoptimalkan transisi demografi dalam beberapa dekade ke depan. Dari sisi
belanja, Pemerintah Indonesia perlu memberikan insentif berupa peningkatan mutu sumber
daya manusia yang memang masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara maju.
Termasuk, memberikan kesempatan yang lebih besar untuk melakukan riset dan inovasi. Dari
sisi penerimaan, pemerintah juga perlu memastikan bahwa adanya kenaikan jumlah tenaga
kerja tersebut juga dapat dioptimalkan untuk meningkatkan penerimaan pajak di Indonesia.
Hal ini dapat dilakukan dengan lebih mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dalam
mengawasi pembayaran pajak dari tenaga kerja dan memberikan sosialisasi terkait
penggunaan penerimaan pajak tersebut.
Lebih lanjut, artikel ini akan berfokus pada belanja pemerintah yang terkait dengan
pendidikan. Sektor pendidikan merupakan sektor yang penting dalam menentukan tingkat
daya saing tenaga kerja Indonesia. Tersedianya akses ke pendidikan secara langsung
berdampak positif terhadap tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia.
Produktivitas Tenaga Kerja Indonesia
Produktivitas merupakan salah satu isu krusial terkait dengan transisi demografi dalam
beberapa tahun ke depan. Salah satu indikasi dari pentingnya peningkatan produktivitas
tenaga kerja Indonesia adalah dengan besarnya alokasi belanja pemerintah untuk
meningkatkan kualitas sumber daya tenaga kerja Indonesia. Lebih lanjut, berdasarkan
dekomposisi pendapatan per kapita, komponen produktivitas merupakan komponen yang
dominan dalam menentukan pendapatan per kapita di Indonesia.
Sayangnya, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih relatif rendah apabila
dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Sebagai contoh, laporan dari Asian
Productivity Organisation (APO) mengindikasikan bahwa pada tahun 2014, tingkat
produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di bawah Singapura, Korea Selatan, Malaysia,
Thailand, bahkan Srilangka (APO, 2016). Terdapat beberapa hal yang menyebabkan kurang
46
optimalnya produktivitas tenaga kerja Indonesia seperti tingkat pendidikan dan
ketidakcocokan antara permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja.
Terkait dengan tingkat pendidikan, apabila dibandingkan dengan negara tetangga
seperti Korea Selatan, maka terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal proporsi
pendidikan tenaga kerja. Gambar 4 menunjukkan bahwa tenaga kerja di Korea Selatan pada
tahun 2018 didominasi oleh tenaga kerja yang lulus dari pendidikan atas dan universitas.
Hampir 40% tenaga kerja di Korea Selatan merupakan lulusan dari universitas atau
pendidikan tinggi, sisanya sebesar 40% merupakan lulusan sekolah menengah atas. Kondisi
ini sangat kontras apabila dibandingkan dengan Indonesia. Grafik 5 menunjukkan bahwa
hanya 30% dari tenaga kerja di Indonesia yang menyelesaikan pendidikan di sekolah
menengah atas dan pendidikan tinggi. Sebagian besar tenaga kerja Indonesia (sekitar 50%)
hanya berpendidikan sekolah dasar, atau tidak lulus atau bahkan tidak pernah sekolah.
a.Korea Selatan
b.Indonesia
Gambar 18 Komposisi Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Korea Selatan dan Indonesia
Sumber: CEIC (diolah)
Dari sisi permintaan dan penawaran, terlihat jelas bahwa adanya banyak permintaan
akan pekerjaan yang tidak dapat ditampung oleh penawaran. Grafik 7 menunjukkan bahwa
setiap tahunnya selalu terjadi selisih antara permintaan dan penawaran dalam pasar tenaga
kerja yang mengindikasikan adanya ketidakcocokan antara kualifikasi pekerjaan yang
ditawarkan dengan kualifikasi yang dimiliki oleh tenaga kerja. Emma (2016) berargumen
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
198
2
198
4
198
6
198
8
199
0
199
2
199
4
199
6
199
8
200
0
200
2
200
4
200
6
200
8
201
0
201
2
201
4
201
6
201
8
SD SMPSMA Universitas
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD SD
47
bahwa terjadi kesenjangan antara permintaan akan tenaga kerja yang memiliki pendidikan
kejuruan dan keahlian teknis dengan penawaran yang ada.
Sebagai contoh, pada tahun 2015, dari 5,2 juta murid yang mengambil pendidikan
tinggi, kurang dari 3% mengambil pendidikan politeknik. Lebih lanjut, terjadi masalah pekerja
yang kurang berkompeten yang mencapai sekitar 51% dari total pekerja dan hanya 40% yang
memiliki kompetensi sesuai yang dibutuhkan (Emma, 2016). ILO (2015) berpendapat bahwa
kondisi terjadinya ketidakcocokan tersebut disebabkan karena adanya tingkat pendidikan
yang rendah dan kurangnya panduan karir tenaga kerja muda yang tidak menyelesaikan
sekolah dan masuk ke pasar tenaga kerja.
Catatan: jumlah pencari kerja merupakan jumlah pencari kerja yang terdaftar
Sumber: CEIC (diolah)
Gambar 19 Jumlah lowongan dan pencari kerja (orang)
Beberapa penelitian juga mengindikasikan kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia. Gropello
(2011) menyatakan bahwa masalah kualitas tenaga kerja merupakan faktor yang penting
dalam menjelaskan adanya kesenjangan keahlian di Indonesia. Dalam artikel tersebut
dinyatakan bahwa walaupun ada perbaikan dalam hal pendidikan, terjadi kesenjangan antara
yang diharapkan oleh pemberi kerja dan tenaga kerja yang tersedia. Sebagai contoh, 40%
pekerja muda di Indonesia berpendapat bahwa adanya keterampilan tambahan dapat
meningkatkan kinerja mereka.
-
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
3,500,000
4,000,000
4,500,000
5,000,000
198
3
198
4
198
5
198
6
198
7
198
8
198
9
199
0
199
1
199
2
199
3
199
4
199
5
199
6
199
7
199
8
199
9
200
0
200
1
200
2
200
3
200
4
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
201
3
201
4
201
5
201
6
Lowongan Pencari Kerja
48
Alokasi Anggaran Sektor Pendidikan
Dengan relatif rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia, dan berbagai permasalahan
mendasar pada pasar tenaga kerja Indonesia, maka pemerintah dalam beberapa tahun
terakhir telah melakukan berbagai upaya terkait sector pendidikan di Indonesia. Pemerintah
dalam beberapa tahun terakhir mengalokasikan anggaran belanja yang relatif besar untuk
pendidikan dan kesehatan. Grafik 8 mengindikasikan bahwa dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) pada tahun 2018 yang mencapai Rp2.221 triliun, pemerintah telah
mengalokasikan sekitar 20% dari APBN untuk pendidikan (setara dengan Rp 450 triliun).
Secara umum, alokasi tersebut seharusnya sudah memadai untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia baik dari sisi pendidikan dan kesehatan.
Sumber: CEIC (diolah)
Gambar 20 Alokasi APBN untuk Pendidikan dan Kesehatan (2001-2018)
Walaupun demikian, pemerintah Indonesia masih berfokus pada alokasi anggaran pendidikan
yang relatif besar pada pendidikan dasar. Hal ini relatif berbeda apabila dibandingkan dengan
negara lainnya seperti Thailand, Malaysia, ataupun Korea. World Bank (2013) menemukan
bahwa anggaran pendidikan di Indonesia dialokasikan sekitar lebih dari 50%, dengan
pendidikan menengah mencapai sekitar 15%. Di Malaysia dan Korea Selatan, alokasi untuk
pendidikan dasar relatif lebih rendah dengan kurang dari 40%. Alokasi pendidikan menengah
lebih dominan yang mencapai lebih dari 50% (Bank Dunia, 2013).
-
500
1,000
1,500
2,000
2,500
050
100150200250300350400450500
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
20
13
20
14
20
15
20
16
20
17
20
18
Triliun RupiahMiliar Rupiah
Pendidikan Total Anggaran (RHS)
49
Sumber: CEIC (diolah)
Gambar 21 Anggaran Pendidikan (Triliun Rupiah) dan Persentase Pemerintah Daerah (%)
Lebih lanjut, terdapat pengalokasian anggaran pendidikan antara pemerintah pusat dan
daerah. Gambar 21 menunjukkan bahwa dari total anggaran pendidikan yang tersedia pada
tahun 2018 hampir sebagian besar dialokasikan ke pemerintah daerah (Rp 279,5 triliun).
Pemerintah pusat sendiri hanya memiliki Rp149,7 triliun untuk belanja pendidikan.
Meningkatnya jumlah transfer belanja pendidikan untuk pemerintah daerah dari tahun ke
tahun memberikan indikasi bahwa peranan pemerintah daerah dalam menentukan kinerja
pendidikan di Indonesia menjadi lebih penting di masa sekarang dan akan datang.
Sebagai contoh, pada tahun 2017, pemerintah daerah kemudian mengalokasikan
anggaran pendidikan tersebut sebagian besar ke Dana Alokasi Umum yang mencapai 55% dari
total belanja pendidikan yang ditransfer ke daerah. Relatif lebih sedikit dialokasikan pada
pembangunan fisik dan bantuan operasional sekolah yang kurang dari 20% (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).
Dengan sistem alokasi anggaran pendidikan saat ini, maka terdapat beberapa
permasalahan seperti kurangnya data untuk melakukan analisis yang komprehensif, dominasi
transfer ke daerah, kurangnya alokasi pendidikan usia dini, rendahnya alokasi untuk
pendidikan kejuruan, dan lemahnya korelasi antara insentif yang diberikan kepada guru dan
peningkatan kinerja/kualitas (World Bank, 2017).
Alokasi Anggaran Sektor Pendidikan
Terlepas dari masalah-masalah yang dihadapi pada saat pengalokasian anggaran pendidikan,
selain alokasi 20% APBN untuk pendidikan, pemerintah juga sebenarnya memiliki beberapa
52
54
56
58
60
62
64
66
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
%Triliun Rupiah
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah % Pemerintah Daerah
50
strategi dalam bentuk program mikro untuk mendorong kualitas sumber daya manusia di
Indonesia. Beberapa program tersebut antara lain Program Keluarga Harapan, Bantuan
Operasional Sekolah, Program Indonesia Pintar, dan Beasiswa Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan. Masing-masing program tersebut memiliki target yang berbeda-beda.
Terkait dengan Program Keluarga Harapan (PKH), program ini bertujuan untuk
mengurangi angka dan memutus rantai kemiskinan, termasuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia. Tujuan khusus dari PKH salah satunya adalah meningkatkan akses dan kualitas
pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi peserta PKH. PKH merupakan program yang
memberikan uang tunai kepada rumah tangga target dengan syarat memenuhi beberapa
kriteria seperti rumah tangga tersebut memiliki ibu hamil/nifas/anak balita; memiliki anak
usia 5-7 tahun yang belum masuk pendidikan dasar (anak pra sekolah); memiliki anak usia
SD/MI/Paket A/SDLB (usia 7-12 tahun); memiliki anak SLTP/MTs/Paket B/SMLB (Usia 12-15);
dan atau memiliki anak 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar termasuk
anak dengan disabilitas (TNP2K, 2018).
Sampai dengan 2017, realisasi anggaran yang telah disalurkan sekitar Rp 11,26 triliun
kepada 6 juta rumah tangga. Nilai realisasi ini naik signifikan apabila dibandingkan dengan
tahun 2015, dimana penerima PKH sebanyak 3,5 juta rumah tangga dengan total nilai bantuan
Rp5,58 triliun. Lebih lanjut, data Kementerian Sosial mengindikasikan bahwa pad atahun
2017, anggota rumah tangga penerima PKH lebih banyak mendapatkan manfaat untuk anak
usia SD sebanyak 4,73 juta orang, anak usia SMP 2,57 juta orang, dan anak usia SMA 1,52 juta
orang (Kementerian Sosial, 2017).
Sedangkan adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS), merupakan salah satu program
yang bertujuan untuk menyediakan dana operasional non-personel bagi pendidikan dasar,
menengah, dan Sekolah Luar Biasa. Berdasarkan laporan penggunaan dana per komponen,
maka sebagian besar dana BOS senilai Rp 8,46 triliun pada tahun 2017 disalurkan untuk
pengembangan perpustakaan (16,83%), pengelolaan sekolah (16,65%), pembayaran honor
(14,52%), Kegiatan pembelajaran dan ekstra kurikuler siswa (14,31%) dan kegiatan evaluasi
pembelajaran (10,27%) (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018).
Lebih lanjut, Program Indonesia Pintar (PIP) merupakan program yang ditujukan untuk
memberikan akses layanan pendidikan sampai dengan pendidikan menengah, baik melalui
program pendidikan formal maupun non-formal. Program ini bertujuan untuk meningkatkan
tingkat partisipasi sekolah, termasuk meringankan biaya pendidikan. Besaran dana yang
51
diberikan bervariasi, bergantung pada tingkat pendidikan. Sebagai contoh, untuk peserta
didik SD/MI/Paket A mendapatkan Rp450.000,-/tahun; sedangkan untuk peserta didik
SMP/MTs/Paket B mendapatkan Rp750.000,-/tahun dan peserta didik SMA/SMK/MA/Paket
C mendapatkan Rp1.000.000,-/tahun (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018).
Program terakhir adalah beasiswa yang diberikan melalui Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP). Sampai dengan saat ini beasiswa LPDP berfokus kepada pendidikan tinggi
baik pada tingkat magister maupun doktor. Berdasarkan laporan tahunan terakhir, penerima
beasiswa magister dan doktoral mencapai lebih dari 25 ribu orang. Penerima beasiswa LPDP
juga relatif beragam, tersebar di berbagai bidang keilmuan antara lain teknik (16,73%),
pendidikan (16,59%), dan ekonomi (11,47%) (LPDP, 2017).
Beberapa studi empiris juga membuktikan bahwa adanya bantuan program mikro
pendidikan akan memberikan dampak positif bagi rumah tangga, seperti mengurangi tingkat
putus sekolah pada saat terjadi krisis keuangan (Cameron 2009). Dampak positif ini berasal
dari pemberian bantuan Jaringan Pengaman Sosial (JPS) setelah terjadinya krisis pada tahun
1998. Cameron (2009) menemukan bahwa pemberian JPS mengurangi tingkat putus sekolah
sebesar 3% poin.
World Bank (2011) menemukan bahwa dengan adanya PKH memberikan dampak yang
relatif sedikit apabila terkait pendidikan. Adanya PKH memberikan kesempatan bagi anak
yang telah bersekolah untuk memiliki waktu yang relatif lebih lama di sekolah. Namun PKH
tidak memberikan dampak bagi anak yang tidak bersekolah. Hal ini diindikasikan dari
beberapa indikator seperti tingkat pendaftaran sekolah, tingkat putus sekolah, dan upah
tenaga kerja yang relatif tidak berubah dalam tiga tahun. Hasil yang sama juga ditemukan
oleh Satriawan (2016) yang menyatakan bahwa adanya PKH tidak memberikan dampak yang
signifikan terhadap tingkat kehadiran di sekolah (Satriawan, 2016).
Lebih lanjut, World Bank (2014) menemukan bahwa bantuan seperti BOS sebenarnya
tidak memiliki dampak yang terlalu besar terhadap rumah tangga terutama apabila rumah
tangga tersebut merupakan rumah tangga yang paling miskin atau berada di wilayah yang
relative lebih miskin. Lebih lanjut, dengan adanya program BOS mengurangi sumber
pendanaan sekolah yang berasal dari pemerintah local.
52
Kesimpulan
Dalam beberapa dekade ke depan, Indonesia akan mengalami transisi demografi yang
signifikan. Transisi ini ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk yang berusia produktf
dan masuk ke pasar tenaga kerja. Di sisi lain, meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia yang
akan memberikan dampak tekanan pada penduduk yang berusia produktif dalam hal
menopang penduduk usia lanjut.
Dari sisi pemerintah, transisi demografi ini juga memberikan dampak secara langsung
pada prioritas belanja pemerintah terutama di sektor pendidikan. Sampai dengan saat ini,
pemerintah telah mampu mengalokasikan sekitar 20% dari APBN untuk pendidikan.
Sayangnya, alokasi ini masih belum disertai dengan peningkatan kualitas tenaga kerja
Indonesia.
Hal ini diindikasikan dari rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia, yang
terutama disebabkan oleh kualitas pendidikan tenaga kerja yang mayoritas lulusan sekolah
dasar. Faktor lain adalah adanya ketidakcocokan antara harapan pemberi kerja dan
tersedianya tenaga kerja di pasar Indonesia.
Produktivitas merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam menentukan
pencapaian pembangunan ekonomi di masa yang akan datang. Oleh karena itu, sudah
seharusnya pemerintah memiliki strategi untuk mengoptimalkan transisi demografi yang
sedang dan akan terjadi dengan mempersiapkan strategi yang efektif dan efisien dalam
mendorong peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia.
Beberapa strategi yang dijalankan saat ini seperti pemberian PKH, BOS, PIP, dan
beasiswa LPDP sepertinya sudah berada di arah yang benar. Dengan adanya pemberian
implementasi program-program tersebut, diharapkan dalam jangka panjang, sumber daya
manusia Indonesia akan membaik seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk usia
produktif di masa yang akan datang.
53
DAFTAR PUSTAKA
Acemoglu, D dan M Dell (2009), “Productivity Differences between and within
Countries”, American Economic Journal: Macroeconomics 2010, 2(1):169-188.
Achmad, Aang. (2012). “Kajian Kasus BLBI: Penggeseran Hukum Publik ke Dalam Lapangan
Hukum Privat”. Mimbar Hukum, 23(3), 597-610.
Alesina, A. and Perotti, R. (1996) Income distribution, political instability, and investment.
European Economic Review 40(6): 1203-1228.
Allen, Emma R. 2016. Analysis of trends and challenges in the Indonesian labor market. ADB
Paper on Indonesia No.16, Maret 2016.
APO. 2016. APO Productivity Databook 2016. Asian Productivity Organization. Tokyo.
Babu, M. S., Bhaskaran, V., & Venkatesh, M. (2016). Does inequality hamper long run
growth? Evidence from Emerging Economies. Economic Analysis and Policy, 52, 99-
113.
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, 2018, ‘Insentif perpajakan sebagai
pendukung tercapainya revolusi industri 4.0 Indonesia’, Indonesia Industrial Summit
2018, viewed 20 May 2018, < http://www.kemenperin.go.id/iis2018>.
Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2016, Frequently Asked Question on Investment, Badan
Koordinasi Penanaman Modal, viewed 24 May 2018,
Bank Dunia, see World Bank Group
Bank Dunia. 2013. Belanja lebih banyak atau Belanja lebih baik: Memperbaiki Pembiayaan
Pendidikan di Indonesia. Naskah Kebijakan Maret 2013,
Barca, F (2009), “An Agenda for a Reformed Cohesion Policy”, Independent report, EC,
Brussels.
Bartusevičius, H. (2014). The inequality–conflict nexus re-examined: Income, education and
popular rebellions. Journal of Peace Research, 51(1), 35-50.
Batubara, M., et al. (2008). “Skandal BLBI: Ramai-Ramai Merampok Negara”. Haekal Media
Center.
Beznoska, M & Hentze, T. 2017. Demograhic change and income tax revenue in Germany: a
microsimulation approach. Public Sector Economics Vol. 41 (1), pp.71-84.
BKF, see Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
54
BKPM, see Badan Koordinasi Penanaman Modal
BPS 2018. Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama 1986 – 2017.
Diakses pada 15 April 2018 di
https://www.bps.go.id/statictable/2009/04/16/971/penduduk-15-tahun-ke-atas-
menurut-status-pekerjaan-utama-1986---2017.html
Cameron, Lisa. 2009. Can a public scholarship program successfully reduce school drop-outs
in a time of economic crisis? Evidence from Indonesia. Economics of Education Review
28 (2009) 308–317
Cingano, F. (2014), "Trends in Income Inequality and its Impact on Economic Growth", OECD
Social, Employment and Migration Working Papers, No. 163, OECD Publishing, Paris,
Clarke, S. and Whittaker, M. (2016). “The importance of place: explaining the characteristics
underpinning the Brexit vote across different parts of the UK”. RES Foundation.
https://www.resolutionfoundation.org/app/uploads/2016/07/Brexit-vote-v4.pdf
Dewan, S, and Kraemer, KL, 2000, ‘Information technology and productivity: evidence from
country-level data’, Management Science, vol. 46, no. 4, pp. 548-562.
DJP. 2017. Laporan Tahunan: Kontribusi strategis membangun bangsa melalui amnesti
pajak. Kementerian Keuangan. Direktorat Jenderal Pajak. Diakses pada 15 April 2018
di http://www.pajak.go.id/sites/default/files/Annual%20Report%20DJP%202016%20-
%20INA_0.pdf
Edward, D. (2010).” BLBI Extraordinary Crime: Satu Analisis Historis dan Kebijakan”. LKiS:
Yogyakarta.
Effendi, Y, Hidayat W, & Nurwanda, A. 2016. Does Indonesian Demographic Transition
Favors Indonesian Future Economy? A report for the Australia Awards Indonesia Short
Course Award: Strengthening the Public Policy Making Process: A Course for Emerging
Leaders in the Ministry of Finance in 2016
Export.gov, 2017, ‘Indonesia country commercial guide’, The U.S. Department of Commerce,
viewed 25 May 2018, < https://www.export.gov/article?id=Indonesia-Executive-
Summary>.
Ezcurra, R., dan Rodríguez-Pose, A. (2014). “Trade Openness and Spatial Inequality in
Emerging Countries”. Spatial Economic Analysis, 9(2), 162-182.
Garcilazo, J. E., Martins, J. O., dan Tompson, W. (2010), “Why policies may need to be place-
based in order to be people-centred”, VoxEU.org, 20 November.
55
Gill, I (2010), “Regional development policies: Place-based or people-centred?”, VoxEU.org, 9
October.
Gropello, Emanuela.2011. A skill mismatch? Dalam Skill for the Labor Market in Indonesia:
Trends in Demand, Gaps, and Supply. World Bank.
ILO. 2015. Indonesia: Labour and social trends update November 2015. Asia Pacific Decent
Work Decade 2006-2015. International Labour Organization.
Indonesia Investments, 12 January 2018, ‘Indonesia misses out on billions because of troubled
investment climate’, Indonesia-investments. Viewed 25 May 2018, <
https://www.indonesia-investments.com/news/todays-headlines/indonesia-misses-
out-on-billions-because-of-troubled-investment-climate/item8488>.
Keefer, P. and Knack, S. (2000) Polarization, politics and property rights. World Bank Policy
Research Working Paper No 2418, August.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Jendela Pendidikan dan Kebudayaan :
Media Komunikasi dan Inspirasi Edisi IX/Maret 2017. Biro KOmunikasi dan Layanan
Masyarakat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2018. Penggunaan Dana per Komponen. Diakses
pada 16 April 2018 di http://bos.kemdikbud.go.id/index.php
Kementerian Pendidkan dan Kebu.2018. Tanya jawab Kartu Indonesia Pintar. Diakses pada
16 April 2018 di http://indonesiapintar.kemdikbud.go.id/
Kementerian Sosial. 2017. Pengelolaan bantuan sosial Program Keluarga Harapan yang lebih
berkualitas. Disampaikan pada Seminar Budget Day. Jakarta, 22 November 2017.
Kennedy, T., Smyth, R., Valadkhani, A., & Chen, G. (2017). Does income inequality hinder
economic growth? New evidence using Australian taxation statistics. Economic
Modelling, 65, 119-128.
LPDP. 2017. 2016 Annual Report. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan. Kementerian
Keuangan Republik Indonesia.
Nazara, S. (2013). ‘Perekonomian Indonesia: Kebijakan Pengentasan Kemiskinan’.
Disampaikan di kuliah Perekonomian Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Depok-Indonesia.
OECD (2009), “How Regions Grow: Trends and Analysis”, OECD, Paris.
OECD (2010), “Regions Matter”, Paris
56
Oosthuizen, M.J., 2014. Bonus or mirage? South Africa’s demographic dividend. The Journal
of the Economics of Ageing, 5, pp.14–22. Available at:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2212828X14000267
Perkins et al. 2013. Economic Development Edisi 7.
Prskawetz, A. et al., 2007. The Relationship Between Demographic Change and Economic
Growth in the EU,
Ren, S 2018, ‘Indonesia is fragile for a reason’, Bloomberg, viewed 24 May 2018
<https://www.bloomberg.com/view/articles/2018-05-17/indonesia-s-stuck-in-the-
fragile-five-for-good-reason>
Rodríguez-Pose, A. (2017). “The revenge of the places that don’t matter (and what to do
about it)”. Presentation on the 10th Anniversary Conference of Cambridge Journal of
Regions, Economy and Society. Cambridge: July 14.
Satriawan, Elan. 2016. Evaluating longer-term impact of Indonesia’s CCT Program: evidence
from a randomised control trial. Tim Nasional Percepatan Penganggulangan
Kemiskinan. JPAL SEA Conference on Social Protection. Jakarta, 12 Januari 2016.
Sekretariat Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, 2018, Merajut Pertumbuhan,
Menenun Pemerataan Laporan Tahunan Kawasan Ekonomi Khusus 2017, Jakarta.
Sekretariat Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus.
Shoven, J.B, Topper, M, & Wise, D.A. 1994. The Impact of the Demographic Transition on
Government Spending. Studies in the Economics of Aging. National Bureau of
Economic Research. Pp. 13-38.
Stigler, G. (1971). “The theory of economic regulation. Bell Journal of Economics and
Management Science”, 2, 3-21.
Syafrian, D. (2011). “Deregulasi Perbankan dan Praktek Rent-Seeking Para Tikus Orde Baru”.
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dapat diakses melalui https://bit.ly/2IpXM7s .
Syafrian, D. dan Rachbini, D. J. (2015). “Stabilitas Politik dan Demokrasi Ekonomi di
Indonesia”. Dalam INDEF (2015) ’2 Dekade Dies Natalis INDEF, 1995-2015’, INDEF:
Jakarta.
The Economist. (2017). “Left Behind: How to help places hurt by globalisation”. Edition October 21st-
27th.
TNP2K.2018. Program Keluarga Harapan. Diakses pada 16 April 2018 di
http://www.tnp2k.go.id/id/tanya-jawab/klaster-i/program-keluarga-harapan-pkh/.
57
Trading Economics, n.d., ‘Ease of doing business in Indonesia’, Trading Economics, Viewed 25
May 2018, <https://tradingeconomics.com/indonesia/ease-of-doing-business>.
World Bank .2017. Improving quality of spending in Indonesia: 2017 budget and beyond.
Diakses pada 15 April 2018 di
http://www.anggaran.depkeu.go.id/content/Publikasi/bidang%20pendidikan/improvi
ng%20quality%20of%20spending.pdf.
World Bank Group, n.d., Doing Business 2018 Reforming to Create Jobs Economy Profile
Indonesia. Viewed 25 May 2018,
World Bank. 2011. Program Keluarga Harapan: main findings from the impact evaluation of
Indonesia’s pilot household conditional cash transfer program. World Bank Jakarta.
World Bank. 2014. Assesing the role of the school operational grant program (BOS) in
improving education outcomes in Indonesia. World Bank Jakarta.
Website:
http://www.bkpm.go.id/images/uploads/printing/FAQ.compressed.pdf>.
http://www.doingbusiness.org/data/exploreeconomies/indonesia>.