Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah mendasar yang menentukan banguan suatu negara adalah
konsep kedaulatan yang dianut. Kedaulatan merupakan konsepsi yang
berkaitan dengan kekuasaan tertinggi dalam organisasi negara. Sebagaimana
dikutip oleh Isra dalam Sarbaini (2015:105) yang menyatakan bahwa
“kekuasaan tersebut biasanya dipahami sebagai sesuatu yang bersifat abstrak,
tunggal dan utuh serta tidak berasal dari kekuasaan lain lebih tinggi.”
Sekalipun demikian, pengakuan terhadap kekuasaan pemegang kekuasaan
tertinggi di suatu negara tidak mutlak. Ia mengalami perkembangan baik dari
sisi pemikiran maupun ketatanegaraan, mulai dari kedaulatan tuhan hingga
gagasan kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat. (Sarbaini, 2015:105)
Lebih lanjut Sarbani menjelaskan (2015:106) bahwa dalam khazanah
pemikiran tentang negara dan praktik kenegaraan sepanjang peradaban
manusia, dari beberapa teori tentang kedaulatan, teori kedaulatan yang saat
ini paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia sejak peradaban
rasionalisme berkembang adalah kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum di
mana kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi.
Demokrasi telah menjadi arus utama negara-negara modern yang dalam
2
pelaksanaannya dijalankan atas dasar prinsip persamaan, yaitu bahwa setiap
warga negara memiliki kesamaan hak dan kedudukan di dalam Pemerintahan.
Oleh karena itu, setiap warga negara sejatinya memiliki kekuasaan yang sama
untuk memerintah. Kekuasaan rakyat inilah yang menjadi sumber legitimasi
dan legalitas kekuasaan negara.
Kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum (pemilu) dianggap
sebagai lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi meskipun demokrasi
tidak sama dengan pemilihan umum. Sebagaimana yang dikemukakan
Junaidi dalam Prasetyoningsih (2014:242) yang menyatakan bahwa
Pemilihan Umum merupakan wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun
demokrasi tidak sama dengan pemilihan umum, namun pemilihan umum
merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat penting yang juga harus
diselenggarakan secara demokratis.
Penyelenggaraan pemilihan umum awalnya hanya ditunjukkan untuk
memilih anggota lembaga perwakilan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Akan tetapi, setelah amandemen ke- IV Undang-Undang
Dasar 1945 tahun 2002, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)
yang awalnya dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga Pilpres masuk ke
dalam rezim pemilu
3
(http://id.m.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia, diakses pada
tanggal 07 Desember 2016 pukul 21.00 WIB)
Penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2004 dalam
lingkup nasional yang pada saat ini masuk ke dalam rezim pemilu menjadi
hal yang mendasari diselenggarakannya pemilihan Kepala Daerah. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Harahap (2016 : 17) yang menyatakan
bahwa:
“Penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
2004 secara langsung telah mengilhami dilaksanakannya
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada)
secara langsung pula sebagaimana pemilihan umum yang
diselenggarakan atas dasar manifestasi prinsip persamaan di muka
hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dikatakan sebagai alat untuk
meningkatan partisipasi publik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang disalurkan melalui pengaturan dengan mekanisme
yang semakin mencerminkan prinsip keterbukaan dan persamaan
bagi setiap warga negara serta merupakan proses dari peralihan
pemimpin suatu daerah yang melibatkan peran nyata publik atau
rakyat secara berkedaulatan.”
Sebagaimana Masuknya Pilkada ke dalam rezim pemilu juga dapat
dilihat dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Melalui Undang-Undang tersebut,
Pilkada masuk ke dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat
dengan Pemilukada. Adapun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PPU-XI/2013, secara tegas Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
Pemilihan Kepala Daerah bukanlah rezim pemilu. Dalam putusan tersebut,
4
pemilihan umum hanya diartikan sebagai limitatif yang sesuai dengan Pasal
22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu
Pemilihan Umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden
serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan setiap 5 tahun
sekali. Oleh karena itu, perluasan makna tentang Pemilu yang mencakup
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah) merupakan inkonstitusional menurut Mahkamah
Konstitusi. Dikatakan demikian karena Pemilihan Kepala Daerah bukan
termasuk ke dalam rezim pemilu melaikan rezim Pemerintahan Daerah
(Pemda). Oleh karena itu, istilah yang paling mungkin digunakan adalah
“Pemilihan” atau setidak-tidaknya menggunakan istilah Pilkada (Pemilihan
Kepala Daerah) bukan Pemilihan Umum (Pemilu) Kepala Daerah. (Rajab,
2015:7)
Pilkada merupakan pesta demokrasi rakyat dalam memilih Kepala
Daerah beserta wakilnya yang berasal dari usulan partai politik tertentu,
gabungan partai politik atau secara independen dan yang telah memenuhi
persyaratan. (Sumarno:2005,131). Pendapat lain terkait pengertian Pilkada
juga disampaikan oleh Harahap (26 : 18) bahwa :
“Pilkada merupakan suatu aktivitas dari proses demokrasi yang
tidak terlepas dari penyelenggaraan pemilihan umum karena
Pilkada memiliki output yakni pejabat publik dan bukan memilih
pejabat administratif. Pilkada merupakan sarana bagi masyarakat
untuk ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan daerah
untuk periode tertentu. Ketika demokrasi mendapat perhatian
yang luas dari masyarakat, maka penyelenggaraan Pilkada yang
5
demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan
kepemimpinan suatu daerah di mana Pilkada langsung dinilai
sebagai metode nyata yang berfungsi sebagai sarana penyampaian
hak-hak demokrasi rakyat.”
Pengaturan terkait pilkada diatur dalam sejumlah Undang-Undang
mulai dari pengaturan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yakni
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan perubahannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, hingga pengaturan tersendiri dalam Undang-Undang
mulai dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 hingga yang terakhir
yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dengan Perubahannya Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota. (Rajab, 2015:6)
Perkembangan kehidupan yang demokratis di Indonesia bisa
dikatakan tumbuh dengan sangat pesat dan mengalami dinamika yang cukup
rumit. Sebagaimana dikutip dari salah satu website (Wikipedia, Desember
07,2016), sebelum tahun 2005, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat dengan istilah “Pilkada”.
Pemilihan Kepala Daerah yang pertama diselenggarakan berdasarkan adalah
Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2007 yang berdasarkan pada Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007. Kemudian pada tahun 2011, terbit undang-undang
baru mengenai penyelenggaraan pemilihan umum yaitu Undang-Undang
6
Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang tersebut istilah yang
digunakan bukan lagi pemilihan Kepala Daerah melainkan Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota. (DetikNews, Juli 13,2012)
Asshiddiqie (2006:103) berpendapat bahwa tujuan penyelengggaraan
pemilihan secara langsung yakni untuk memungkinkan terjadinya peralihan
kepemimpinan pemerintah secara tertib dan damai, untuk memungkinkan
terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat, untuk
melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat, dan untuk melaksanakan prinsip
hak-hak asasi warga negara. Artinya bahwa pemilihan secara langsung lebih
mengedepankan urusan dan kepentingan rakyat dalam proses pengambilan
kebijakan suatu keputusan yang dilakukan oleh seorang pemimpin yang
mampu melahirkan kebijakan-kebiijakan publik yang secara prinsipil selalu
mengutamakan orientasi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat meskipun
dalam prakteknya masih ditemukan permasalahan-permasalahan.
Permasalahan utama ialah dari lemahnya kesadaran berdemokrasi
yang sehat di dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah yang dipengaruhi
oleh beberapa hal. Mulai dari lemahnya kualitas pendidikan dan pengetahuan
sampai pada unsur kemiskinan dan semakin jauhnya jarak kesenjangan sosial.
Sehingga hal-hal tersebut membuka peluang terjadinya penyimpangan dalam
pesta demokrasi oleh beberapa kelompok yang sifatnya egois untuk dapat
mewujudkan kepentingannya melalui pemilihan Kepala Daerah yang dapat
dicermati mulai dari permainan politik uang (money politics), praktek-praktek
kampanye ilegal (black campaign) yang menjatuhkan citra dan fakta
7
kebenaran lawan politik, manipulasi surat suara, hingga pada sengketa hasil
Pilkada yang kemudian dilanjutkan pada pelanggaran kasus penyuapan hakim
yang menangani sengketa Pilkada.
Sebagai contoh pada kasus Suap Pilkada Lebak (Banten) yang mana
mampu melibatkan pejabat aktif negara, dalam hal ini Atut Qosi’ah (sebagai
Gubernur Banten) dan Aqil Mochtar (sebagai Hakim Konstitusi). Keduanya
telah terbukti dan diproses secara hukum karena melakukan tindak pidana
korupsi (suap) dalam menangani kasus sengketa Pilkada Lebak. Majelis
Hakim Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa Aqil terbukti menerima
suap sebagaimana dakwaannya yaitu terkait penanganan sengketa Pilkada
Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengan (Rp 3 miliar),
Pilkada Lebak (Rp 1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan
500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar).
(Lopulalan, Desember 27, 2014)
Berbagai permasalahan yang seringkali terjadi dalam pelaksanaan
Pilkada secara langsung menjadi bahan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) untuk menghapus sistem Pemilihan
Kepala Daerah secara langsung tersebut. Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-RI) kembali mengangkat isu krusial terkait Pemilihan Kepala
Daerah dengan menyusun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang
mengatur Pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan melalui DPRD. Sidang
Paripurna DPR-RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa
Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung atau kembali
8
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Putusan Pemilihan
Kepala Daerah secara tidak langsung tersebut didukung oleh 226 anggota
DPR-RI yang terdiri dari Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat
Nasional (PAN) berjumlah 44 orang, dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32
orang. (KiniNEWS,September 25,2014)
Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota yang mengatur mekanisme Pemilihan Kepala
Daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah
mendapatkan penolakan dari masyarakat luas dan dari berbagai pihak karena
dinilai sebagai langkah mundur di bidang “pembangunan” demokrasi,
sehingga masih dicarikan cara untuk menggagalkan keputusan itu melalui uji
materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bagi sebagian pihak yang lain,
Pilkada tidak langsung atau langsung dinilai sama saja. Tetapi satu hal prinsip
yang harus digarisbawahi (walaupun dalam pelaksanaan Pilkada tidak
langsung nantinya dapat menyenangkan rakyat) adalah karena Pilkada tidak
langsung menyebabkan hak pilih rakyat hilang dan Pilkada tidak langsung
menyebabkan anggota DPRD mendapat dua hak sekaligus, yakni hak pilih
dan hak legislasi. Padahal jika Pilkada secara langsung diselenggarakan, hal
tersebut tidak menyebabkan hak pilih anggota DPRD (sebagai warga negara)
hilang atau dengan kata lain hak pilihnya tetap ada. (Ikhsan, 2013:142)
Menanggapi arus penolakan terhadap Undang–Undang Nomor 22
Tahun 2014 tersebut, selanjutnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
9
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU)
Nomor 1 Tahun 2014 yang disahkan DPR melalui sidang paripurna di mana
semua fraksi menyetujuinya yang kemudian disahkan menjadi Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang. Dalam PERPPU
tersebut masih dikehendaki bahwa Pemilihan Kepala Daerah harus dilakukan
secara langsung oleh rakyat. (Wulandari, 2016 :16)
Menurut Agustino sebagaimana dikutip dalam Ikhsan (2013:140),
sejumlah alasan akan terjadinya perubahan sistem Pemilihan Kepala Daerah
dari dipilih oleh DPRD menjadi dipilih langsung oleh masyarakat adalah
karena mekanisme pemilihan secara langsung akan menghadirkan legitimasi
yang lebih kuat bagi Kepala Daerah dibandingkan dengan pemilihan yang
dilakukan oleh DPRD. Alasan lain terkait hal tersebut yakni dalam pemilihan
Kepala Daerah yang dipilih langsung oleh rakyat akan melibatkan partisipasi
politik masyarakat secara nyata, serta dapat mengukuhkan akuntabilitas
pemimpin kepada masyarakatnya. Ketiga alasan konsep tersebut diikat oleh
satu konsep yaitu mengukuhkan demokrasi di tingkat lokal.
Februari 2015, DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Dengan
disahkannya undang-undang tersebut, maka sistem pemilihan Kepala Daerah
kembali dipilih oleh rakyat secara langsung (Wulandari, 2016:8). Ketentuan
di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor
10
1 Tahun 2014 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dirasa masih
terdapat beberapa inkonsistensi dan menyisakan sejumlah kendala apabila
dilaksanakan sehinnga perlu untuk disempurnakan serta selaras dengan tugas
menegakkan demokrasi berdasarkan Pancasila maka Pilkada dengan
dinamika yang beragam dalam usahanya mencapai tujuan kedaulatan rakyat
pada tanggal 18 Maret 2015, Pemerintah menetapkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 Tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Salah satu tujuan dari pelaksanaan Pilkada yang diselenggarakan
secara langsung dan serentak ialah untuk menghemat anggaran Pilkada
sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Perludem
Titi Anggraini dalam Wulandari et.al (2016) mengatakan bahwa :
“secara umum Pilkada langsung dan serentak ini hadir untuk
menguatkan konsolidasi demokrasi lokal di Indonesia. Menurut
paling tidak terdapat tiga hal yang hendak dijawab dari hadirnya
pilkada serentak : Pertama, untuk menciptakan penyelenggaraan
pemilu yang efisien, dan efektif. Kedua, untuk memperkuat derajat
keterwakilan antara masyarakat dengan kepala daerahnya. Ketiga,
menciptakan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien dalam
rangka menegaskan sistem pemerintahan presidensialisme.”
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Komisioner Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Arief Budiman dalam Rapat Koordinasi Persiapan dan
11
Pengelolaan Anggaran Pilkada Serentak tahun 2015 yang menjelaskan
bahwa tujuan dilaksanakannya Pemilihan Kepala Daerah serentak supaya
tercipta efektivitas dan efisiensi anggaran.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tersebut, diatur
mengenai KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga
penyelenggara Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Selain itu,
implementasi dari diterbitkannya Undang-Undang ini, muncul skema
pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan dalam 3 gelombang. Yakni,
gelombang pertama untuk Kepala Daerah dengan Akhir Masa Jabatan 2015
sampai dengan Juni 2016, maka pemilihan Dilaksanakan Desember 2015.
Gelombang kedua, untuk Kepala Daerah dengan Akhir Masa Jabatan Juli
sampai dengan Desember 2016 dan 2017 yang pemilihannya dilaksanakan
Februari 2017. Dan gelombang ketiga, untuk pemilihan Kepala Daerah
dengan Akhir Masa Jabatan 2018 dan 2019 yang pemilihannya dilaksanakan
Juni 2018. Dari rangkaian pemilihan serentak yang terbagi ke dalam 3
gelombang ini nantinya akan melebur dalam Pemilihan Serentak Nasional
yang akan dilaksanakan oleh seluruh Provinsi dan Kabupaten/Kota di
Indonesia pada tahun 2027. Gelombang pertama Pemilihan Serentak telah
dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2015. Tercatat sebanyak 269 daerah
meliputi 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 36 Kota di Indoneisa telah
menggelar Pemilihan secara langsung dan serentak. (Wulandary, Februari 24,
2015)
12
Dalam pelaksanaannya, Pilkada langsung dan serentak sebagai metode
baru di Indonesia dalam pemilihan Kepala Daerah tidak luput dari berbagai
permasalahan. Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini dalam Wulandari
et. al (2016) menjelaskan bahwa :
“ Pilkada serentak yang hadir di bawah payung hukum UU
Nomor 8 Tahun 2015 dalam prakteknya ternyata belum mampu
sepenuhnya mencapai tujuan pilkada serentak itu sendiri. Sebagai
contoh dalam hal efisiensi anggaran di mana penyelenggaraan
Pilkada serentak yang belum sepenuhnya dapat dilakukan dalam
waktu yang bersamaan diseluruh kabupaten/kota dalam satu
provinsi. Hal tersebut tentu akan berdampak pada
membengkaknya biaya penyelenggaraan Pilkada yang harus
dibayarkan pada waktu yang berbeda untuk kedua kalinya. Hal
tersebut tentu tidak akan terjadi apabila Pilkada diselenggarakan
pada waktu yang bersamaan di seluruh kabupaten/kota dalam satu
provinsi karena negara hanya mengeluarkan satu kali honor
penyelenggara untuk dua pemilu yang berbeda.
Inefisiensi anggaran Pilkada serentak gelombang pertama ini juga
disinyalir karena dibiayainya empat aspek kampanye oleh APBD
mulai dari debat publik, iklan media massa elektronik dan cetak,
alat peraga kampanye, dan distribusi alat peraga kampanye.
Seharusnya tidak perlu sepenuhnya dibebankan kepada anggaran
negara dalam membiayai seluruh kebutuhan kampanye,
melaiknan hanya debat publik dan iklan di media massa saja yang
seharusnya dibiayai oleh negara.
Pada sisi lain, jika ditinjau dari segi tahapan penyelenggaraan
pemilu, masih terdapat beberapa persoalan dalam Pilkada
serentak 2015 yang mengganggu efektifitas penyelenggaraan
Pilkada itu sendiri seperti adanya pergeseran anggaran biaya
penyelenggaraan Pilkada yang semula dibebankan pada ABPN ke
APBD. Dalam prakteknya, hal tersebut mengganggu kepastian
pelaksanaan Pilkada di beberapa daerah karena masih belum
memiliki kepastian terkait anggaran. Selain itu, dibebankannya
anggaran Pilkada ke APBD membuka ruang conflict of interest
calon kepala daerah yang berasal dari incumbent.
Tidak hanya cukup sampai di situ, persoalan hak pilih yang
bersumber dari mekanisme pendaftaran pemilih dan sumber data
pemutakhiran daftar pemilih masih menjadi persoalan klasik
13
yang berulang di mana persoalan tersebut juga terjadi dalam
tahapan kampanye yakni dengan masih terjadinya money politics
menjelang hari pemungutan suara sebagai sarana kandidat untuk
meraih suara terbanyak. Hal lain yang menjadi pesoalan dalam
Pilkada serentak 2015 ialah munculnya fenomena calon tunggal
serta adanya persoalan penegakan hukum pemilu yakni sengketa
pencalonan dan hasil pemilu yang berlarut-larut. Berbagai
persoalan yang muncul dalam Pilkada serentah 2015 tersebut
tentunya akan berpengaruh pada tujuan dan kualitas
penyelenggaraan Pilkada serentak itu sendiri.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan metode
pemilihan secara langsung dan serentak merupakan metode yang pertama kali
dilakukan di Indonesia. Penyelenggaraan Pilkada secara langsung dan
serentak merupakan perwujudan dari implementasi kebijakan Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Jones (1984 : 166) mengemukakan teori implementasi kebijakan terdiri dari 3
aktivitas utama yang sangat penting dalam implementasi kebijakan publik,
yaitu organization, interpretation, and application. Di dalam implementasi
kebijakan terdapat beberapa model dalm implementasi kebijakan. Salah satu
model implementasi kebijakan ialah yang dikemukakan oleh George Edward
III di mana dalam model implementasi ini komunikasi, sumberdaya, disposisi
sikap serta struktur birokrasi menjadi hal yang saling berkaitan antara satu
dengan yang lainnya dalam keberhasilan sebuah implementasi kebijakan.
Berkaitan dengan implementasi Kebijakan pemilihan Kepala Daerah
secara langsung dan serentak, salah satu daerah yang melaksanakan pesta
14
demokrasi (pemilu) serentak dan langsung adalah Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur. Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu kabupaten yang terletak di
Provinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Kota Surabaya dan
Kabupaten Gresik di utara, Selat Madura di timur, Kabupaten Pasuruan di
selatan, serta Kabupaten Mojokerto di barat. Bersama dengan Gresik,
Sidoarjo merupakan salah satu penyangga utama Kota Surabaya dan termasuk
dalam kawasan Gerbangkertosusilo. Kabupaten Sidoarjo terletak antara 112’5
dan 112’9 Bujur Timur dan antara 7’3 dan 7’5 Lintang Selatan. Pembagian
administratif Kabupaten Sidoarjo yaitu terdiri atas 18 kecamatan yang dibagi
atas 353 desa dan kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Sidoarjo kurang lebih
719,63 Kilo meter persegi. Jumlah populasi yang berada di Kabupaten
Sidoarjo pada tahun 2010 jumlahnya 1.945.252 jiwa dengan kepadatan
sekitar 2.703,13 jiwa per kilo meter persegi. (sidoarjokab, Desember 07,2016)
Sampai saat ini, Pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang telah
dilakasanakan di Kabupaten Sidoarjo sudah dilakukan sebanyak 3 kali proses
Pilkada secara langsung yakni :
1. Pilkada Kabupaten Sidoarjo Tahun 2005
Pilkada tahun 2005 ini merupakan Pilkada pertamakalinya yang
dilakukan oleh Kabupaten Sidoarjo secara langsung. Pilkada ini
dilaksanakan pada tanggal 25 September 2005 untuk memilih Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah periode 2005-2010. Pilkada ini
diikuti oleh 3 pasang calon Bupati dan Wakil Bupati Sidoarjo. Ialah
15
Win Hendarso – Saiful Ilah, Sjamsu Bahri – Fatmah Thota Assegaf,
dan Nadhim – Salam. Pilkada Sidoarjo pada tahun 2005 ini
dimenangkan oleh Drs. H. Win Hendarso, M.Si dan H. Saiful Illah,
S.H yang memperoleh 459.206 ribu suara atau sekitar 67,85 %
mengungguli 2 pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten
Sidoarjo lainnya.
2. Pilkada Sidoarjo Tahun 2010
Pilkada Sidoarjo tahun 2010 ini diselenggarakan pada tanggal 25
Juli 2010 yang diikuti oleh lima pasangan calon Kepala Daerah dan
Wakilnya untuk periode 2010-2015. Kelima pasangan calon tersebut
yakni Yuniawati-Sarto, Emy Susanti-Khulaim Junaidi, Agung Subaly-
Samsul Wahid, Saiful Ilah-Hadi Sutjipto, dan Bambang Prasetyo
Widodo-Khoirul Huda. Dalam Pilkada Sidoarjo tahun 2010 ini
berdasarkan jumlah perolehan suara dimenangkan oleh pasangan
Saiful Ilah – Hadi Sutjipto unggul dengan perolehan suara 450.586
suara (60,45%).
3. Pilkada Sidoarjo Tahun 2015
Pilkada Sidoarjo tahun 2015 ini diselenggarakan bersama-sama
dengan Pilkada daerah lainnya atau dengan kata lain diselenggarakan
secara serentak dengan beberapa daerah di Indonesia pada tanggal 9
Desember 2015. Hal tersebut sesuai berdasarkan pada Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa “Pemilihan
16
Gubernur, Bupati dan Walikota dilaksanakan setiap 5 tahun sekali
secara serentak diseluruh wilayah Kesatuan Negara Republik
Indonesia.”
Pilkada Sidoarjo tahun 2015 diikuti oleh 4 pasangan calon Bupati
dan Wakil Bupati dengan 1.367.945 pemilih dan total jumlah suara
yang sah sebanyak 720.064 suara. Keempat pasangan calon tersebut
ialah 1) Hadi Sutjipto – Abdul Kholik, 2) Utsman Ikhsan – Ida Astuti,
3) Saiful Ilah – Nur Ahmad Syaifuddin, dan 4) Warih Andono – Imam
Sugiri.
Dalam Pilkada Sidoarjo tahun 2015 ini, dimenangkan oleh
pasangan Saiful Ilah – Nur Ahmad Syaifuddin dengan perolehan suara
424.611 suara (58, 96 %), sedangkan pasangan lainnya masing-
masing medapat 192.414 suara (26, 71 %) yang diperoleh pasangan
Hadi Sutjipto – Abdul Kholik, kemudian Utsman Ikhsan – Tan Mei
Hwa yang mendapat 64.375 suara (8,94 %), serta Warih Handono –
Imam Sugiri dengan perolehan suara sebanyak 38.664 suara (5,36 %).
(http://kpud-sidoarjokab.go.id/, diakses pada 07 Desember 2016 pukul
18.30 WIB)
Dalam pelaksanannya, Pilkada Sidoarjo tahun 2015 yang dilaksanakan
secara langsung dan serentak masih terdapat berbagai permasalahan yang
terjadi di lapangan seperti persoalaan keaslian ijazah peserta Pilkada yang
telah ditetapkan sebagai pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati oleh KPU
17
Sidoarjo dan persoalan ancaman pembunuhan terhadap salah satu anggota
Panwaslu setempat. Selain itu, dalam terjadi pula dinamisasi politik yang
berkaitan dengan Alat Peraga Kampanye. (Eddy, September 07, 2015)
Secara teoritis maupun teknis, Implementasi Kebijakan Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dan serentak di
Kabupaten Sidoarjo tahun 2015 berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota merupakan
topik yang sangat menarik untuk dibahas karena pada saat ini Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 merupakan hal yang mendasari pelaksanaan
Pilkada secara langsung dan serentak secara nasional. Selain itu, Pelaksanaan
Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Sidoarjo merupakan momentum awal
dari penerapan untuk dilaksanakannya Undang-Undang tersebut.
Berdasarkan hal-hal di atas, peneliti terinspirasi untuk melakukan
penelitian dalam sebuah kajian ilmiah dengan mempelajari dan menganalisis
bahwa sejauh mana pelaksanaan nilai demokratis dalam implementasi
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan serentak di Kabupaten
Sidoarjo dapat direalisasikan sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Apakah sudah berjalan secara
maksimal dengan mekanisme yang baik atau masih belum terealisasi secara
efektif dan efisien karena berbagai kendala atau permasalahan yang terjadi di
lapangan dengan judul penelitian “Implementasi Kebijakan Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Studi implementasi
18
kebijakan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
langsung dan serentak di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sidoarjo
Tahun 2015).
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, kiranya peneliti akan menguraikan beberapa pokok
permasalahan yaitu:
1. Bagaimana implementasi kebijakan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dalam Pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dan serentak di Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten Sidoarjo tahun 2015 ?
2. Bagaimana hasil dari implementasi kebijakan Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dalam Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dan serentak di Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten Sidoarjo tahun 2015?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang penulis kemukakan di atas, maka maksud
dan tujuan dalam penelitian ini ialah:
19
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis implementasi kebijakan
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
langsung dan serentak di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sidoarjo
tahun 2015.
2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis hasil dari implementasi kebijakan
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
langsung dan serentak di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sidoarjo
tahun 2015.
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, maka diharapkan hasil penelitian dapat
memberikan manfaat :
1. Secara Akademis
a) Dapat dijadikan bahan referensi dalam memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan pada umumnya dan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan Ilmu Administrasi Publik pada khususnya mengenai
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung
dan serentak di Kabupaten Sidoarjo.
20
b) Sebagai bahan untuk dijadikan referensi yang dapat dimanfaatkan oleh
peneliti lain untuk mengembangkan studi lebih lanjut yang berkaitan
dengan penelitian ini.
2. Secara Praktis
a) Penelitian ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan
wawasan khususnya terkait implementasi kebijakan pemilihan kepala
daerah secara langsung dan serentak.
b) Dapat digunakan sebagai kajian KPUD setempat agar lebih memahami
secara mekanisme pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
secara langsung dan serentak.
c) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan nilai (value),
sumbangan pemikiran dan masukan positif bagi KPUD Kabupeten
Sidoarjo dalam melaksanakan kebijakan yang diambil, khususnya
terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
secara langsung dan serentak.
1.5 Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini menggambarkan tentang apa yang
dikemukakan dalam skripsi ini dengan tujuan untuk mempermudah berbagai
pihak yang ingin memperoleh gambaran tentang penelitian ini. Secara garis besar
sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu :
21
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan
masalah dan manfaat penelitian serta sistematika penelitian. Dari
bab ini diharapkan pembaca dapat memahami secara garis besar
dari penulisan skripsi ini dengan terstruktur dan sistematis
mengenai implementasi kebijakan Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dalam
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
langsung dan serentak di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Sidoarjo tahun 2015.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memuat tentang kepustakaan teori-teori yang digunakan
oleh peneliti sebagai landasan dalam pemecahan masalah yang ada.
Adapun teori-teori yang digunakan berkaitan dengan konsep yang
akan dibahas meliputi Konsep Administrasi Publik, Paradigma
Administrasi Publik, Kebijakan Publik, Siklus Kebijakan
Publik,Konsep Implementasi Kebijakan Publik, Model
Implementasi Kebijakan Publik, Demokrasi dan Pemilu, dan
Pengertian Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serta
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan serentak.
22
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini menjelaskan tentang metode penelitian yang digunakan
yang meliputi jenis penelitian, fokus penelitian, lokasi dan situs
penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data,
instrumen penelitian, dan analisis data yang dipergunakan serta
keabsahan data.
BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian
yang berkaitan dengan rumusan masalah dan fokus yang diteliti
terkait Implementasi kebijakan Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dalam
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
langsung dan serentak di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Sidoarjo tahun 2015. Data yang disajikan kemudian dianalisis dan
dibahas atau diintrepretasikan oleh penulis.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil pembahasan dan saran yang
diberikan oleh penulis sesuai dengan permasalahan dalam
penelitian ini yakni terkait implementasi kebijakan Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota dalam Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan
23
serentak di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sidoarjo tahun
2015