Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENANGANAN NYERI KANKER
PADA PERAWATAN PALIATIF
Penulis:
dr. Ni Ketut Putri Ariani, SpKJ
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA/ RSUP SANGLAH
DENPASAR
2018
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
Dalam penyusunan penulisan ini, penulis banyak memperoleh masukan serta bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak
Akhir kata penulis menyadari bahwa penelitian kecil ini masih jauh dari sempurna
sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran, dan atas perhatiannya penulis
mengucapkan terima kasih.
Denpasar,
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nyeri merupakan keluhan yang sering dialami oleh penderita penyakit
kanker. Data dari WHO menyebutkan bahwa dalam perjalanan penyakitnya, 45-
100% penderita kanker mengalami nyeri dalam berbagai derajat, dari ringan sampai
dengan berat. Laporan dari negara maju menunjukkan bahwa pada saat ini 50-80%
nyeri kanker tidak mendapatkan penanganan yang adequate. Pada penderita kanker,
nyeri biasanya berlangsung terus menerus dan cenderung makin hebat sejalan
dengan berkembangnya penyakit. Nyeri yang tidak teratasi akan merusak kualitas
hidup penderita dan keluarga. Pada hal, sesungguhnya 80-90% nyeri kanker dapat
ditanggulangi jika hal tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur pengelolaan
penderita nyeri kanker yang dianjurkan WHO.
Nyeri adalah "pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau
dijelaskan dalam hal kerusakan tersebut. Nyeri total adalah pengalaman holistik
yang melampaui domain fisiologis, merupakan interaksi faktor psikologis, kognitif,
sosial, spiritual, dan budaya yang mempengaruhi persepsi rasa sakit dan
pengalaman total. Karena nyeri yang dialami penderita tidak hanya berhubungan
dengan faktor-faktor somatik, tetapi juga banyak faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi status psikologinya, maka penanganan nyeri yang efektif harus
mencakup semua faktor tersebut.
4
Penderita nyeri kanker dalam semua stadium membutuhkan penangana
nyeri untuk membebaskan mereka dari nyeri yang dideritanya. Seperti tersurat
didalam batasan perawatan paliatif, ialah semua tindakan aktif guna meringankan
beban penderita kanker terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Tindakan
penanganan nyeri dan pengobatan penyakit kanker hendaknya dijalankan bersama-
sama. Penilaian dan manajemen nyeri yang komprehensif merupakan tujuan
mendasar dalam lingkup perawatan paliatif, dan manajemen yang optimal
bergantung pada pengalaman masing-masing domain dari pengalaman nyeri total.
1.2 Batasan Masalah
Tinjauan pustaka ini membahas tentang berbagai masalah yang berkaitan
dengan penanganan nyeri pada penderita kanker
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari secara lebih
mendalam tentang penangan nyeri yang dialami penderita kanker pada fase
terminal. Dengan pengetahuan ini diharapkan bisa diambil suatu kesimpulan terkait
penanganan pasien fase terminal sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien pada akhir kehidupannya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif adalah perawatan menyeluruh dari pasien-pasien dengan
penyakit yang tidak berespon terhadap pengobatan kuratif. Sir Oliver Wendel
Holmes, pada abad ke 18 telah menyatakan bahwa seorang dokter harus mampu
untuk terkadang menyembuhkan, sering meringankan penderitaan, namun selalu
memberikan kenyamanan pada penderitanya. Perawatan paliatif mempunyai
pilosofi memandang penderita secara holistik atau seutuhnya sebagai mahluk
biopsikososiokultural dan meliputi semua tindakan aktif guna meringanka beban
penderita kanker, tidak hanya setelah penyembuhan tidak lagi mungkin, namun
telah dimulai sejak pertama dimulai keluhan (Budiwarsono, 1996).
Perawatan paliatif dilakukan oleh tim pelayanan paliatif yaitu pelayanan
terintegrasi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan memberikan
dukungan bagi keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan
kondisi pasien dengan mencegah dan mengurangi penderitaan melalui identifikasi
dini, penilaian yang seksama serta pengobatan nyeri dan masalah-masalah lain,
baik masalah fisik, psikososial dan spiritual (WHO, 2002), dan pelayanan masa
duka cita bagi keluarga (WHO 2005).
2.2 Nyeri Kanker
Menurut International Association for the Study of Pain, nyeri adalah
“pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan
6
kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau dijelaskan dalam hal kerusakan
tersebut."
Saunders, Twycross dan Lack menggunakan konsep total pain untuk menjelaskan
bahwa nyeri yang dialami oleh penderita tidak hanya berhubungan dengan faktor-
faktor somatik, tetapi juga banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status
psikologiknya. Maka penanganan nyeri yang efektif harus mencakup semua faktor
tersebut (Tejawinata, 1999).
Komponen-komponen dari nyeri total (total pain).
a. Nyeri fisik
Nyeri fisik adalah komponen fisiologis. ini menekankan pentingnya dampak fisik
pada seluruh orang. Nyeri juga dipengaruhi oleh penderitaan-penderitaan fisik lain
yang diderita penderita penyakit kanker. Dyspnea, gangguan tidur, mual, dan
kehilangan nafsu makan adalah gejala fisik lain yang perlu dinilai ketika seseorang
mengalami nyeri. Nyeri fisik harus merupakan tujuan utama sebelum kita
melakukan penilaian dan intervensi faktor-faktor lain yang mempengaruhi nyeri.
Meskipun nyeri fisik tidak selalu merupakan faktor terpenting, yang paling penting,
dokter harus mengenali bahwa nyeri dapat berkontribusi pada gejala lain; dengan
demikian, mengelola rasa sakit juga dapat menghilangkan gejala lain (Reye-Gibby,
CC., et al, 2013, Yennurajalingam S, et al, 2013).
Penyebab Nyeri Fisik
Nyeri pada pasien dengan kanker dapat oleh karena:
a. Oleh kankernya sendiri (yang paling sering)
b. Hal yang berkaitan dengan kanker (Spasme otot, limfedema, konstipasi,
luka baring)
7
c. Berkaitan dengan perawatan anti kanker (chronic postsurgical scar pain,
chemotherapy-induced mucositis)
d. Disebabkan oleh penyakit yang terjadi bersamaan (spondylosis,
osteoarthritis)
Beberapa pasien dengan kanker yang sudah parah memiliki nyeri multiple dari
beberapa katagori tersebut.
Kanker sendiri menyebabkan nyeri melalui:
a. Perluasan ke dalam soft tissue
b. Mempengaruhi visceral
c. Mempengaruhi tulang
d. Menekan saraf
e. Perlukaan pada saraf
f. Peningkatan tekanan intra kranial
b. Nyeri psikologis
Gangguan emosional, depresi, kecemasan, ketidakpastian, dan harapan adalah
segala bentuk rasa sakit psikologis yang dapat terjadi bersamaan dengan rasa sakit
fisik dengan depresi menjadi salah satu gejala psikologis yang paling umum. Satu
tinjauan sistematis menunjukkan bahwa terjadinya bersama-sama rasa sakit dan
depresi kira-kira 36,5%. Semakin hebat rasa sakit itu, semakin besar kemungkinan
individu itu menjadi depresi (p <0,05). Pasien dengan depresi dapat menggunakan
kata-kata yang lebih afektif untuk menggambarkan rasa sakit. Kualitas hidup juga
terbukti lebih buruk pada mereka yang menderita nyeri dan depresi. Depresi juga
ditemukan sebagai hambatan yang signifikan untuk mengelola rasa sakit,
8
menggarisbawahi pentingnya mengelola depresi untuk meningkatkan rasa sakit
(Laird, BJ., et al, 2009).
Menurut National Comprehensive Cancer Network, distress adalah
pengalaman mental yang tidak menyenangkan, secara fisik, sosial, dan spiritual.
Hal ini dapat mempengaruhi cara individu berpikir, merasakan atau bertindak dan
dapat membuat koping lebih sulit. Distress harus diskrining pada setiap kunjungan
pasien. Jika nyeri merupakan alasan distress, alasan lain harus dicatat sebagai semua
faktor dapat meningkatkan terjadinya dan keparahan dari pengalaman nyeri (Maher,
et al, 2013, Lin, s. et al, 2013). Dalam satu studi, gejala fisik dan psikososial distress
terjadi bersama-sama pada pasien yang datang ke klinik-klinik nyeri kanker. Dokter
harus mengenali nyeri dan distress yang terjadi bersamaan tersebut (Waller A, et al,
2012).
Komponen-komponen yang mempengaruhi nyeri psikologis:
1. Kognitif-perilaku
Respons kognitif-perilaku terhadap nyeri adalah komponen tambahan dari nyeri
total holistik. Satu respon kognitif bisa jadi adalah kegagalan pasien untuk
mengakui rasa sakit karena takut bahwa ini merupakan penyakit progresif. Pasien
lain mungkin merasa perlu untuk bersikap keras dan menahan rasa sakit.
Penyangkalan rasa sakit kognitif ini, yang dapat berasal dari keyakinan budaya atau
spiritual, dapat mengganggu manajemen yang optimal. Domain kognitif-perilaku
juga dapat digunakan secara positif untuk mengatasi rasa sakit secara keseluruhan.
Terapi perilaku kognitif yang dapat digunakan untuk memperbaiki rasa sakit pada
beberapa pasien termasuk membangun harga diri, optimisme, dan penguasaan
kontrol rasa sakit (Schwabish SD., 2011). Katastrofisasi adalah sifat kognitif lain
9
yang dikenal terkait dengan rasa sakit. Pasien yang menunjukkan perilaku ini
merusak atau membesar-besarkan rasa sakit mereka, dan katastrofi umumnya
terkait dengan depresi. Pendekatan kognitif-perilaku harus dipertimbangkan dalam
keseluruhan rencana manajemen nyeri (Badr H., et al., 2014).
2. Sosial
Konteks sosial nyeri kanker sangat dikenal. Nyeri dapat menyebabkan isolasi sosial,
pelepasan dari makan dan kegiatan lain, beban pengasuh, dan ketidakmampuan
untuk membeli analgesik untuk mengontrol rasa sakit. Dukungan sosial yang
memadai adalah prediksi yang kurang tertekan, depresi, dan kecemasan (Carlson,
2013). Jaringan Kanker Komprehensif Nasional (NCCN) Termometer distress
mencakup pengukuran yang terkait dengan kesusahan sosial. Sekali lagi, penilaian
marabahaya harus dimasukkan ke dalam praktek sehari-hari. Ketika tekanan sosial
terdeteksi, intervensi psikososial, termasuk pendidikan dan pelatihan keterampilan
mengatasi dapat menjadi tambahan yang berguna untuk manajemen medis nyeri.
3. Spiritual dan agama
Spiritualitas, didefinisikan sebagai kebutuhan untuk terhubung ke kekuatan yang
lebih tinggi, memiliki hubungan yang signifikan dengan rasa sakit. Agama, di sisi
lain, mencakup praktik-praktik yang terkait dengan sistem yang terorganisasi.
Pengaruh spiritual dan agama dari rasa sakit dapat bervariasi berdasarkan agama
dan bahkan oleh keyakinan individu dalam suatu agama. Sebagai contoh, beberapa
pasien mungkin merasa bahwa Allah sedang menghukum mereka, dan bahwa upah
mereka di surga akan lebih besar jika mereka menahan rasa sakit. Dalam iman
Muslim, beberapa pasien merasa bahwa rasa sakit dianggap sebagai hukuman dari
Tuhan; namun, laporan ajaran Islam berbeda-beda (Leong et al, 2016).
10
Keyakinan spiritual dan agama karenanya dapat disalahpahami dan mempengaruhi
bagaimana seseorang merasakan rasa sakit dan mengelola rasa sakit. Seringkali
seorang pemimpin agama atau penasihat agama dapat menjelaskan pertanyaan
spiritual dan religius dengan pasien secara individual, yang dapat menambah
keseluruhan rencana manajemen rasa sakit.
Harapan adalah konsep yang umumnya terkait dengan spiritualitas dan
merupakan komponen penting dari sebagian besar agama. Studi mengungkapkan
harapan berkorelasi positif dengan kesejahteraan spiritual (p <0,01) dan berkorelasi
negatif dengan intensitas nyeri rata-rata (p = 0,02), intensitas nyeri terburuk (p
<0,01), gangguan nyeri dengan fungsi (p <0,05), kecemasan (p <0,01), dan depresi
(p <0,01). Depresi terutama mempengaruhi hubungan ini, yang memperkuat
kebutuhan untuk mengelola rasa sakit secara holistik (Rawdin, et al, 2013).
4. Budaya
Ekspresi rasa sakit adalah pengalaman individual, yang dipengaruhi oleh budaya
atau etnis. Ini dapat mewakili makna konseptual individu dari rasa sakit, persepsi
rasa sakit, dan kemampuan mengatasi. Satu tinjauan sistematis menemukan bahwa
beberapa kelompok etnis mengungkapkan rasa sakit yang lebih parah. Orang Asia
cenderung menormalkan rasa sakit sedangkan orang barat lebih cenderung mencari
bantuan untuk rasa sakit mereka
Tinjauan sistematis terbaru kedua dari penelitian membandingkan respon
nyeri dari African Americans (AA) untuk kulit putih non-Hispanik (NHW) dan
menemukan AA menunjukkan toleransi nyeri yang lebih rendah. Meta-analisis
besar lain dari 22 penelitian menemukan pasien Asia memiliki lebih banyak
hambatan nyeri dibandingkan dengan pasien Barat seperti kekhawatiran tentang
11
perkembangan kanker, toleransi obat, fatalisme, dan hambatan manajemen nyeri.
Ini bisa memberikan alasan mengapa orang Asia mungkin mencoba untuk
menormalkan rasa sakit.
Secara keseluruhan, pasien dari beberapa kelompok etnis atau budaya mungkin
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan penyedia perawatan mereka
tentang nyeri (Williams, 2012). Penyedia juga mungkin memiliki hambatan
terhadap pasien yang secara etnis atau ras berbeda dari mereka sendiri. Sebagai
contoh, dalam satu penelitian, dokter Kaukasia Barat dicatat meremehkan rasa sakit
di 75% dari AA dan 64% dari Hispanik. Pasien-pasien ini juga melaporkan
manajemen nyeri yang kurang optimal. Semua perbedaan ini menggarisbawahi
perlunya pendekatan yang terpusat pada pasien untuk manajemen nyeri (Williams,
2012).
5. Tenaga kesehatan
Nyeri yang dirasakan penderita serta ekspresinya dan respon terhadap pengobatan
amat dipengaruhi oleh lingkungan yang diciptakan oleh tenaga kesehatan yang
merawatnya. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
dapat memberikan akibat buruk terhadap nyeri. Pengalaman yang negatif dimasa
lampau terhadap tenaga kesehatan dan tempat-tempat pelayana kesehatan jelas akan
memberikan pengaruh yang tidak diinginkan / diharapkan terhadap nyeri yang
dialami penderita. Tenaga kesehatan yang menyediakan atmosfer yang hangat dan
nyaman serta berempati dapat membuat pasien merasa berkurang penderitaan yang
dihadapi dan dengan sendirinya dapat mengurangi nyeri yang dirasakan.
12
2.3 Mekanisme Nyeri
Manfaat dari pengalaman nyeri terutama nyeri akut dapat melindungi fungsi vital,
membuat kita waspada akan adanya kerusakan tubuh. Ketika nyeri akut berasal dari
perifer tapi berlanjut menjadi nyeri kronis, ini dapat mengubah mekanisme nyeri di
system saraf pusat dimana akan meningkatkan atau memperlama nyeri perifer.
Tabel 1. Beberapa istilah yang sering digunakan:
Nyeri akut
Nyeri kronis
Nyeri neuropatik
Nociceptik
Stimulus noxius
Hiperalgesia
Nyeri yang berdurasi pendek dan hilang; biasanya
berhubungan langsung dengan resolusi atau penyembuhan
kerusakan jaringan.
Nyeri yang berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan
(misalnya, 1 bulan); ambang batas untuk kronisitas tidak
sesuai
Nyeri yang timbul dari kerusakan, atau disfungsi dari
setiap bagian dari sistem saraf perifer atau pusat
Proses dimana rangsangan berbahaya menghasilkan
aktivitas di jalur sensorik yang menyampaikan informasi
"menyakitkan"
Stimulus yang menimbulkan kerusakan, atau berpotensi
menimbulkan kerusakan pada jaringan tubuh
Setiap proses yang mengurangi sensasi rasa sakit,
sementara tidak mempengaruhi sentuhan normal
1. Nyeri nosiseptif dihasilkan dari stimulasi langsung nosiseptor atau meningkatnya
sensitivitas karena proses inflmasi, ini mungkin dideskripsikan sebagai “sakit”
dapat berasal dari:
Nyeri somatik dari kulit, tulang dan jaringan lunak yang memiliki inervasi
yang banyak.
Nyeri visceral dari organ dalam dari inervasi yang berbeda.
Proses nyeri nosiseptik sebagai berikut
13
a. Tranduksi:
Nosiseptor mendeteksi adanya stimulus noxius yang menyebabkan terjadi
perubahan voltage di membrane saraf perifer. Terjadi depolarisasi aktivasi
voltage sensitive sodium canel.
b. Konduksi: perubahan potensial aksi ini dihantarkan sepanjang serabut
neuron afferent primer.
c. Modulasi: impuls nosiseptik masuk dari neuron afferent primer ke CNS
yaitu ke dorsal horn. Sampai pada tahap ini impuls dapat diblok dengan
anastesi lokal seperti lidokain.
d. Respon spesifik karakteristik dari neuron afferen primer ditentukan oleh
reseptor spesifik dan canel diexpresikan oleh neuron di perifer.
Gambar 1. Aktivasi serabut saraf nociceptive. Deteksi stimulus noxius di terminal
perifer neuron aferen primer menyebabkan terjadinya potensial aksi yang lalu merambat
sepanjang akson ke pusat terminal. Serat Aβ hanya merespons stimuli non-noxius, serat
Aδ merespon untuk rangsangan mekanik berbahaya dan rangsangan termal subnoxious,
dan serabut C merespon rangsangan mekanis panas, dan rangsangan kimia. Neuron aferen
primer memiliki badan sel di dorsal root ganglion dan mengirim terminal ke dalam segmen
sumsum tulang belakang serta pengiriman lebih sedikit kolateral padat sampai sumsum
tulang belakang untuk jarak dekat. Neuron aferen primer sinaps ke beberapa kelas yang
berbeda proyeksi neuron (PN) dorsal horn, yang proyeksi melalui saluran yang berbeda ke
pusat yang lebih tinggi.
14
2. Nyeri neuropatik: disebabkan sebuah lesi atau penyakit dari sistem
somatosensoris.
Stimulus berjalan ascenden dari dorsal horn menuju thalamus melalui traktus
spinotalamikus dan traktus spinobulbar. Impuls diproyeksikan ke kortek
somatosensorik. Impuls sebagian diproyeksikan oleh traktus spinobulbar, ke
regio limbik yang merupakan jaras emosi dan perilaku. Pada akhirnya impuls
ini dipersepsikan sebagai “nyeri”. Sistem neurotransmitter di dorsal horn dapat
diblok oleh opioid atau SNRI.
Gambar 2. Neuron dorsal horn diproyeksi traktus spinotalamik ke thalamus dan kemudian
ke korteks somatosensori primer. Jalur ini membawa informasi tentang intensitas dan lokasi
rangsangan yang menyakitkan dan disebut jalur diskriminatif. Neuron naik di traktus
spinobulbar proyeksi saluran untuk nukleus batang otak dan kemudian ke thalamus dan
struktur limbik. Jalur-jalur ini menyampaikan aspek emosional dan motivasi pengalaman
rasa sakit. Hanya bila informasi dari pihak yang diskriminatif (thalamokortikal) dan
emosional / jalur motivasional (limbik) bergabung adalah pengalaman subyektif manusia
nyeri terbentuk ("aduh").
15
Nyeri neuropatik dapat berasal dari:
Sistem saraf perifer (khususnya neuropati): nyeri neuropatik dengan
mekanisme perifer. Tranduksi dan konduksi normal di neuron afferent
perifer diperkirakan dimodulasi oleh proses endogen pada keadaan nyeri
neuropatik tertentu untuk meningkatkan signaling nosiseptik pada
kehadiran stimulus noxius yang relevan. Ini tidak terjadi hanya di perifer
pada neuron afferent primer tapi juga neuron central di dorsal horn dan
spinal cord.
Sistem saraf pusat (lesi pada otak atau medulla spinalis).
Beberapa nyeri kronik dapat dimulai di sentral tanpa penyebab perifer,
terutama kondisi yang berhubungan dengan gejala fisik nyeri yang tidak
dapat dijelaskan seperti depresi, cemas dan fibromyalgia.
Gambar 3. Pada beberapa kasus cedera atau penyakit dapat secara langsung memepengaruhi system saraf
pusat mengakibatkan perubahan plstisitas yang mengarah pada sensitisasi didalam ssp. Nyeri dapat terus
dialami walaupun kerusakan jaringan sudah diatasi. Impuls mungkin tercipta pada lokasi abnormal
ataupun spontan melalui proses mekanis. Pada tingkat spinal cord, proses ini disebut sesnsasi sentral
segmental. Mekanisme ini melatarbelakangi kondisi seperti neuropati diabetik
16
Gambar 4. Sensasi sentral supra segmental. Perubahan plastis pada situs di otak dimana jaras nosiseptik dapat
menyebabkan sensasi, misalnya pada tingkat thalamus atau kortek sensoris. Proses ini di dalam otak disebut sensasi
sentral supra segmental. Ini dapat terjadi mengikuti cedera perifer(A), atau meskipun tidak ada teridentifikasi pencetus
(B). Mekanisme ini dipercaya kondisi yang melatarbelakangi fibromyalgia, nyeri kronik, nyeri pada symptom depresi
dan cemas
Gambar 5. Berbagai neurotransmiter dapat memodulasi proses nyeri di spinal cord. Terdapat beberapa
neurotransmitter dan reseptor korespondennya di dorsal horn, yang dapat direales oleh neuron afferent
primer, regulasi descenden melalui proyeksi neuron dorsal horn dan melalui inter neuron.
17
2.4 Penilaian Nyeri
Evaluasi nyeri adalah langkah vital pertama pada manajemen nyeri kanker.
Hal ini memerlukan pemahaman tidak hanya masalah fisik tapi juga komponen
psikologis, sosial dan spiritual yang dialami oleh pasien. Ini terbaik dicapai dengan
pendekatan oleh tim. Penilaian nyeri harus dilakukan dengan seksama dalam waktu
yang relatif singkat. Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan
ketrampilan terpenting yang harus dimiliki oleh tenaga medis dalam melaksanakan
penilaian nyeri dengan berbagai komponennya.
2.4.1 Prinsip-Prinsip Penilaian Nyeri
Pemeriksaan-pemeriksaan harus dibatasi pada pemeriksaan yang hasilnya
dapat memberikan perbedaan pada penanganan nyeri. Bila pemeriksaan itu tidak
akan mengubah rencana penanganan atau penanganan yang telah berjalan,
janganlah dilakukan. Tetapi sebaliknya tidak boleh takut untuk melakukan
pemeriksaan yang memang diperlukan. Keterlambatan penanganan nyeri harus
dihindari, karena akan memberikan penderitaan yang semestinya tidak perlu terjadi.
Nyeri dan respon terhadap obat-obatan yang diberikan perlu pemantauan
sefrekwen mungkin sesuai dengan keadaan penderita, khususnya pada awal
pemberian obat. Pada nyeri berat perlu paling sedikit tiap 12-18 jam sekali.
Penderita dan keluarganya harus mengerti cara menilai nyeri yang diderita
penderita. Hal ini penting agar dapat dibuat catatan medik yang benar untuk
mengikuti perubahan-perubahan nyeri, dan untuk menentukan pengobatan
selanjutnya. Cara penanggulangan nyeri yang efektif termasuk komunikasi yang
efektif antara semua anggota tim kesehatan interdisiplin yang merawat.
18
2.4.2 Skala Nyeri
1. NRS (numeric Rating Scale)
Tanyakan intensitas nyeri dengan menggunakan angka 0-10
0 berarti tidak nyeri dan 10 sangat nyeri
2. Categorial Scale
Dibagi atas: nyeri ringan – nyeri sedang – nyeri berat
3. Faces Rating Scale/ Wong-Baker face grimace scale
Keterangan:
a. Nilai 0 : Tidak ada/ bebas nyeri
b. Nilai 1-2 : Nyeri ringan (tidak bisa bercanda, serius, wajah datar, nyeri dapat diabaikan)
c. Nilai 3-5 : Nyeri sedang ( Alis berkerut, bibir mengerucut, menahan nafas, aktivitas terganggu)
d. Nilai 5-7 : Nyeri sedang (hidung berkerut, mengangkat bibir bagian atas, bernafas cepat, konsentrasi terganggu
e. Nilai 7-9 : Nyeri berat (mulut terbuka, slow blink mengganggu kebutuhan dasar
f. Nilai 10 : Nyeri hebat (mata tertutup, mengerang menangis, memerlukan bed rest)
19
4. Visual Analog Scale
Gambar 1. Visual Analog Scale (Hill 1977, Gagilese dan Melzack 2003, Powel, 2010)
5.Numeric Pain Scale (NPS)
Gambar 2. Numeric Pain Scale ( McCaffery, 1999, Gagilese dan Melzack 2003, Powel, 2010)
0 = tidak nyeri
1-3 = nyeri ringan
4-7 = nyeri sedang
8-10 = nyeri berat
Dapat dipakai pada anak-anak mulai usia 6-7 tahun
2.5 Tata Laksana Nyeri Kanker
Perawatan harus dimulai dengan penjelasan yang sesungguhnya kepada pasien
tentang penyebab nyerinya. Beberapa nyeri terbaik diobati dengan kombinasi obat
dan non obat. Analgetik dan jumlah terbatas dari obat-obatan adalah hal utama dari
manjemen nyeri kanker. Anti kanker dan terapi obat untuk nyeri kanker dapat
diberikan secara bersama-sama. Beberapa nyeri berespon baik terhadap kombinasi
non opioid dan opioid. Yang lain memerlukan kombinasi kortikosteroid dengan
opioid. Nyeri neuropatik sering menunjukkan respon yang kecil pada analgetik non
20
opioid dan opioid, tapi dapat berkurang dengan antidepresan trisiklik dan
antikonvulsan. Pasien kanker sering mengalami ketakutan dan kecemasan, dan
mungkin menjadi depresi. Pasien yang sangat cemas dan depresi berat dapat
membutuhkan obat psikotropik yang sesuai sebagai tambahan analgetik.
Sesuai dengan penyebab yang ada dan prinsip tata laksana yang digunakan di
perawatan paliatif melalui pendekatan fisik dan psikologis, dengan menggunakan
baik pengobatan farmakologik ataupun non farmakologik.
2.5.1 Penanganan Nyeri Fisik
Medikamentosa:
Analgetik: NSAID, Non opioid, Opioid; Adjuvant (kortikosteroid, antidepresan,
anti epilepsi, relaksan otot, antispas modik)
Nonmedikamentosa
Kompres hangat, TENS, modifikasi lingkungan dan gaya hidup: hindari aktifitas
yang memacu atau memperberat nyeri, immobilisasi bagian yang sakit dengan alat,
gunakan alat bantu untuk jalan atau kursi roda
Lain-lain
Modifikasi terhadap proses patologi yang ada:
Diperlukan pada kondisi emergency seperti patah tulang karena metastase, resiko
patah tulang pada tulang penyangga tubuh, metastase ke otak, leptomeningeal atau
epidural, obstruksi memerlukan radioterapi dan infeksi memerlukan antibiotik.
a. Prinsip-prinsip pemberian analgetik
Metode efektif yang relatif murah untuk mengurangi nyeri kanker pada 70-90%
pasien. Beberapa pusat perawatan kanker di beberapa negara berbeda telah
21
menguji metode ini pada tahun 1980an dan dan mendemontrasikan efikasinya.
Metodenya adalah:
“by mouth”
“by the clock”
“by the ledder”
“for the individual”
“attention to detail”
“By mouth”: jika memungkinkan analgetik diberikan peroral. Pemberian secara
suppository bermanfaat pada pasien yang mengalami disfagia, muntah atau
obstruksi gastrointestinal. Pemberian subcutan secara kontinyu juga dapat sebagai
alternatif pada kondisi ini. Sejumlah pompa infus portable mekanik juga tersedia.
“By the clock”: analgetik harus diberikan pada interval waktu yang tetap.
Analgetik harus diberikan dengan dosis titrasi dalam melawan nyeri, ditingkatkan
secara gradual hingga pasien merasa nyaman. Dosis berikutnya harus diberikan
sebelum efek dari obat sebelumnya habis. Dengan cara ini nyeri dapat berkurang
secara kontinyu. Beberapa pasien memerlukan “rescue doses” untuk mengurangi
nyeri yang muncul intermiten.
“By the ladder”: Penggunaan obat anti nyeri pada langkah pertama adalah non
opioid. Jika pada langkah ini nyeri tidak berkurang, opioid untuk nyeri ringan
hingga sedang harus ditambahkan. Jika opioid untuk nyeri ringan hingga sedang
dikombinasi dengan non opioid gagal mengurangi nyeri, harus disubstitusi dengan
opioid untuk nyeri sedang hingga berat. Hanya satu obat dari masing-masing
kelompok diberikan pada waktu yang sama.
22
Gambar 4. WHO three-step analgesic ledder
“For the individual”: tidak ada dosis standar untuk obat opioid. Dosis yang tepat
adalah dosis yang meredakan nyeri dari pasien. Contohnya: rentang dosis untuk
morfin peroral, adalah dapat lebih rendah dari 5 mg atau lebih tinggi dari 1000 mg
per 4 jam. Penggunaan obat untuk nyeri ringan hingga sedang dapat terbatas oleh
karena formulasi (contoh: kombinasi dengan Asetylsalisilyc acid (ASA) atau
parasetamol, yang toksik pada dosis tinggi) atau karena peningkatan disproporsi
pada efek samping pada dosis yang lebih tinggi (ex.: codein)
“Attention to detail”: Idealnya, regimen pengobatan pasien harus ditulis secara
lengkap untuk pasien dan keluarganya termasuk nama obat, jumlah tablet, dan
jumlah waktu perhari. Menonjolkan kebutuhan untuk pengaturan regular dari obat
penghilang nyeri. Morfin oral harus diberikan setiap empat jam. Dosis pertama dan
terakhir harus dikaitkan dengan waktu bangun dan tidur pasien. Waktu terbaik
secara umum adalah jam 10.00, 14.00 dan 18.00. Dengan jadwal ini akan seimbang
antara durasi efek analgesik dan keparahan efek samping. Pasien harus
diperingatkan tentang kemungkinan efek samping yang terjadi.
23
b. Penggunaan Obat Analgetik
Penggunaan analgetik dan obat adjuvant sangat penting. Digunakan pedoman
WHO three step ladder sebagai dasar pemberian obat (WHO Geneva, 1986
disesuaikan dengan obat yang tersedia di Indonesia)
Tabel 2. Tahap pemberian analgetik
1. Analgetik Non Opioid
Analgetik non opioid termasuk Asetyisalisylic acid (ASA), Nonsteriod Anti
Inflamatory Drug (NSAID), dan paracetamol. ASA, paracetamol, ibuprofen dan
indometacin semua termasuk dalam daftar obat esensial. Di kebanyakan negara,
sejumlah NSAID tersedia, dan pilihan tergantung pada ketersediaan di daerah
setempat dan harga obat.
Non opioid juga terutama bermanfaat untuk mengobati nyeri yang disebabkan oleh
infiltrasi soft tissue dan otot. Obat-obatan pada kelompok ini menunjukkan “ceiling
effect” seperti meningkatkan dosis diatas tingkat dosis yang sebelumnya diberikan
tidak berarti menyediakan reda lebih jauh. Jika nyeri tidak berkurang secara
adequate dengan non opioid, sebaiknya ditambahkan dengan opioid.
Paracetamol
Analgetik Obat pilihan Obat lain
STEP 1
Ringan
1-3
Nyeri Non-opioid +
adjuvant
NSAID Parasetamol
STEP
Sedang
4-6
Nyeri tetap atau
meningkat
Opioid lemah +
Non-opioid +
adjuvant
Codein Tramadol
STEP 3
Berat
7-10
Nyeri tetap atau
meningkat
Opioid kuat +
Non-opioid +
adjuvant
Morfin Fentanyl
24
Digunakan untuk nyeri ringan, terutama untuk jaringan lunak dan
musculoskeletal serta penurun panas. Sebagai suplemen opioid sehingga
memungkinkan dosis opioid yang lebih kecil. Dosis parcetamol adalah 650
– 1000 mg tiap 4-6 jam. Maksimum dosis adalah 6 gram perhari. Dapat
diberikan secara suppository.
NSAID (Nonsteriod Anti Inflamatory Drug)
NSAID, termasuk ASA adalah bagian penting didalam perawatan nyeri yang
disebabkan oleh metastase tulang. Dimana sering terdapat konsentrasi
prostaglandin lokal yang tinggi pada tulang yang terkena yang disebabkan oleh
sel tumor, dan NSAID bereaksi dengan menghambat biosintesis prostaglandin.
Pasien dengan nyeri tulang yang toleran terhadap ASA sebaiknya diberikan
NSAID. Selain itu, dipakai pada nyeri akibat inflamasi dan kerusakan jaringan,
nyeri karena metastase tulang, demam neoplastik dan nyeri post operasi.
Standar dosisASA 500-600 mg tiap 4-6 jam. Efek toksik terjadi pada pemberian
lebih dari 4 g/hari, berupa tinnitus dan tuli.
2. Analgetik Opioid Lemah
Codein:
Digunakan untuk nyeri sedang, dapat diberikan secara oral. Dosis: 0,5- 1 mg/kg
(maksimal 60 mg/dosis).
Efek samping: sedasi, konfusi, hipotensi, mual, muntah dan konstipasi. Efek
samping berupa konstipasi memerlukan laksatif secara rutin
Tramadol:
25
Tramadol memiliki efek samping yang minimal terhadap sedasi, depresi
pernafasan dan gastrointestinal. Dosis: 2 mg/kg (Maksimal 8 mg/kg/hari)
Efek samping: mual, muntah, gangguan sistem kardiovaskular dan pernafasan
(efek minimal).
3. Analgetik Opioid Kuat
Morfin Oral
- Morfin adalah jenis obat lini pertama jika ada indikasi pemberian opioid
- Mulai dengan dosis kecil immediate release (IR) PO: 2,5 – 5 mg tiap 4 jam
kemudian lakukan titrasi sampai dosis yang diperlukan.
- Tetap gunakan IR morfin untuk nyeri renjatan dan nyeri insiden dengan
dosis 1/6-1/10 total dosis 24 jam.
- Jika nyeri renjatan atau insiden terjadi, dosis harian (dosis dasar) tetap
diberikan sesuai jadwal.
- Dosis morfin perlu dinaikkan 30% – 50% jika efek morfin hanya sebagian
atau durasinya sebentar.
- Dosis morfin perlu diturunkan 30% - 50% jika efek samping yang muncul
persisten.
- Dosis harian perlu dinaikkan, bila renjatan nyeri terjadi 3 kali atau lebih
dalam sehari, dengan menjumlahkan dosis harian dan jumlah dosis renjatan
untuk hari berikutnya.
- Gantikan IR morfin dengan sustained release (SR) morfin segera setelah
dosis yang diperlukan tercapai: dosis 24 jam immediate release dibagi 2
untuk diberikan 2x sehari.
26
- Morfin SR mempunyai kelebihan seperti tidak perlu minum di tengah
malam, efek samping mengantuk dan mual lebih ringan, dan rasa yang lebih
dapat diterima.
- Berikan dosis SR pertama bersamaan dengan dosis IR terakhir. Tablet SR
jangan digerus, jangan dikunyah, harus ditelan utuh agar memiliki efek kerja
dan durasi yang diinginkan. Bila pasien tidak dapat menelan, tablet dapat
diberikan per rektal dengan dosis yang sama.
Morfin Parenteral
Pemberian morfin secara parenteral diperlukan jika pasien tidak dapat menelan,
mual muntah hebat atau ada obstruksi usus, kesadaran yang menurun,
kebutuhan dosis yang tinggi, nyeri harus segera diatasi dan pada pasien yang
tidak patuh untuk minum obat. Morfin parenteral sebaiknya diberikan secara
subkutaneus (SK) atau intravena (IV). Pemberian intramuskuler sebaiknya
dihindari karena absorbsi yang tidak teratur dan nyeri pada saat penyuntikan.
Dosis morfin parenteral adalah 1/3 dosis oral.
Dosis morfin parenteral 24 jam adalah jumlah dosis oral 24 jam (dosis dasar +
dosis renjatan, tidak termasuk dosis untuk nyeri insiden) dibagi 3. Pemberian
morfin SK atau IV dimulai dengan 1/3 dosis oral. Pemberian secara intermiten
dengan dosis 1/6 dosis 24 jam, diberikan tiap 4 jam. Pemberian SK atau IV
secara kontinyu dimulai dengan pemberian dosis loading 1/6 dosis 24 jam.
Fentanyl
Fentanyl tidak memiliki bentuk aktif metabolit. Efek samping terhadap susunan
saraf pusat dan efek konstipasi lebih sedikit dibanding dengan morfin.
Pemberian dapat melalui transdermal atau parenteral. Pemberian IV atau SK
27
memiliki durasi singkat sehingga dapat digunakan untuk nyeri renjatan.
Kekurangan fentanyl adalah: tidak memiliki bentuk oral, dosis yang besar tidak
dapat diberikan melalui SK karena memiliki volume yang besar, efek onset
yang lama (18-24 jam), dosis transdermal terbatas (12,5; 25; 50; dan 100
mikrogram per jam) dan tidak dapat dipotong untuk mendapatkan dosis yang
lebih kacil. Kekurangan yang lain adalah bila pasien berkeringat, bentuk
transdermal mungkin kurang bermanfaat. Bila menggunakan transdermal, dosis
dasar opioid harus tetap diberikan pada 12 – 18 jam pertama. Dosis
equivalen untuk 25 mikrogram per jam transdermal fentanyl adalah 60 – 100
mg oral morfin/24 jam. Tanda klinis toksik dan overdosis yang perlu diketahui
pada penggunaan opioid kuat: Gangguan kesadaran, delirium, halusinasi,
mioklonus, dan depresi nafas.
Tabel 3. Opioid oral untuk nyeri sedang-berat: starting dose
Opioid Dosis awal (mg)
Morfin
Hidromorfon
Oxycodon
Metadhon
Levorfanol
Petidin
10-15
1-2
5-15
5-10
1-2
50-100
4. Terapi Adjuvan
Anti Depresan Trisiklik
Amitriptilin dan imipramine tersedia secara luas. Obat alternative lain juga
tersedia di beberapa negara yang mungkin sesuai untuk pasien. Dosis awal
tergantung pada usia pasien, berat badan, dosis sebelumnya dan obat lain yang
28
Tabel 4. Obat adjuvant
bersama-sama diberikan. Dosis lebih rendah dari 10 mg mungkin sesuai untuk
beberapa pasien, tapi pada umumnya dapat diberikan 25-50 mg. Dosis dapat
dinaikkan menjadi 30-50 mg sesuai dengan yang dapat ditoleransi dalam hal
sedasi, hipotensi postural, dan mulut kering. Pada anak-anak dosis awal
direkomendasikan 0,5 mg/kg BB ditingkatkan sampai 1 mg/kg BB.
Antikonvulsan
Carbamazepin dapat diberikan mulai dosis 100 mg dua kali sehari dan dapat
ditingkatkan pelan-pelan. Carbamazepin dapat menyebabkan autoinduksi
enzyme, sehingga dapat meningkatkan metabolismenya sendiri. Inilah alasan
29
mengapa permulaan efek samping (seperti: mengantuk, ataxia) membaik dari
waktu ke waktu. Carbamazepin sering menyebabkan leukopenia. Obat ini
sebaiknya tidak digunakan untuk anak dibawah 6 tahun. Pada anak yang lebih
tua mulai dengan pemberian 100 mg/hr (2-3 mg/kg BB).
Asam palproat memiliki waktu paruh plasma yang cukup panjang dan sedatif.
Secara konvensional diberika dosis tunggal sebelum tidur. Mulai dengan dosis
500 mg, atau 200 mg pada orang tua. Dosis dapat ditingkatkan sebanyak 200
mg tiap 2-3 harin hingga dosis maksimum 1-1,5 g. Asam Valproat sebaiknya
tidak digunakan pada anak dibawah 2 tahun karena resiko hepatotosik yang
dapat fatal.
2.5.2 Penanganan Nyeri Psikologis
a. Depresi
Untuk depresi ringan dan sedang dapat diberikan intervensi berupa dukungan,
empati, edukasi, terapi kognitif, dan terapi simptomatis.
Depresi yang berat memerlukan anti depresan (SSRI selama 4 – 6 minggu. Bila
gagal berikan dapat diberikan TCA)
b. Cemas
Pasien dengan diagnosis kanker sering mengalami kecemasan. Dukungan
termasuk mencari dan mengerti kebutuhan dan apa yang menjadi
kecemasannya dengan mendengarkan dengan seksama dan memberikan
perhatian pada hal-hal yang khusus. Memberikan informasi yang jelas dan
meyakinkan bahwa akan terus memberikan dukungan untuk mencapai harapan
yang realistic dapat mengurangi kecemasan yang dialami oleh pasien.
30
Pasien yang mengalami cemas sedang hingga berat memerlukan intervensi
anxiolitik. Dapat diberikan benzodiazepin (diazepam, alprazolam, lorazepam)
Penghambat beta untuk mengatasi gejala perifer.
c. Nyeri spiritual
Nyeri spiritual berupa penyesalan, perasaan tidak dimaafkan merasa tidak berarti
atau tidak berguna, kemarahan terhadap nasib atau Tuhan, kehilangan
kepercayaan, ketakutan terhadap hari akhir. Intervensi yang dapat disarankan
berupa memaafkan dan meminta maaf, diskusi tentang penyesalan / pengakuan
dosa, napak tilas kehidupan dan menemukan tujuan hidup, dan bimbingan
rohaniwan
d. Nyeri sosial
Kehilangan peran, kehilangan pekerjaan, masalah finansial, kekhawatiran
tentang masa depan keluarga, merasa ketergantungan dan adanya masalah yang
belum terselesaikan sering menambah penderitaan pasien dan memperburuk
kwalitas hidupnya. Beberapa hal seperti menulis surat, pembagian warisan,
menuntaskan urusan hukum, konseling dengan pekerja sosial mungkin dapat
memperbaiki nyeri sosial yang dialami oleh pasien.
2.5.3 Terapi Anti nyeri pada fase terminal
Pada fase terminal dari stadium terminal (kematian diperkirakan dalam hari atau
minggu):
1. Jangan kurangi dosis opioid semata-mata karena penurunan tensi, respirasi
atau kesadaran, namun pertahankan sampai mencapai kenyamanan.
2. Perhatikan adanya neurotoksisitas karena opioid termasuk hyperalgesia
3. Bila pengurangan dosis diperlukan, kurangi 50% dosis 24 jam.
31
4. Gantikan cara pemberian opioid bila diperlukan (oral, sk, iv, transdermal) dengan
dosis konversi.
5. Bila terdapat refractory pain, pertimbangkan sedasi.
32
BAB III
SIMPULAN
1. Nyeri kanker dapat dan harus diobati
2. Evaluasi dan perawatan nyeri kanker yang terbaik harus dilakukan
bersama-sama dalam suatu tim
3. Langkah pertama penanganan nyeri kanker adalah mengetahui
riwayat dan memeriksa secara detail keadaan pasien untuk
menentukan apakah nyeri disebabkan oleh: kankernya sendiri, bagian
dari sindrom spesifik, apakah merupakan nyeri nosiseptik, neuropatik
atau campuran.
4. Perawatan dimulai dengan penjelasan dan pendekatan fisik dan
psikologis.
5. Terapi obat biasanya akan meredakan nyeri dengan adequate jika
ditangani dengan obat, dosis, dan interval waktu yang tepat.
6. Tidak ada standar dosis. Dosis yang tepat adalah yang dapat
meredakan nyeri dan membuat pasien merasa nyaman.
7. Adalah penting memantau respon pasien untuk meyakinkan pasien
mendapat manfaat efek samping sekecil mungkin.
8. Pada pasien fase terminal pengobatan anti nyeri tetap diberikan, cara
pemberian disesuaikan dengan keadaan pasien.
33
DAFTAR PUSTAKA
American Pain Society. Principles of Analgesic Use in the Treatment of Acute Pain
and Cancer Pain. 6th ed. Glenview, IL, USA: APS Press; 2008.
Badr H, Gupta V, Sikora A, Posner M. Psychological distress in patients and
caregivers over the course of radiotherapy for head and neck cancer. Oral
Oncol. 2014; 50(10): 1005-1011 doi: 10.1016/j.oraloncology.2014.07.003
Bennett MI, Bagnall AM, Closs SJ. How effective are pa- tient-based
educational interventions in the management of cancer pain? Systematic
review and meta-analysis. Pain. 2009;143(3): 192-199. doi:
10.1016/j.pain.2009.01.016
Brant JM.2017.” Holistic Total Pain Management in Palliative Care: Cultural
and Global Considerations”. Palliat Med Hosp Care Open J.SE(1):32-
38.
Budiwarsono, Pengelolaan Nyeri Kanker, Majalah Paliatif Kanker. Edisi
khusus. Mei 1996. 26-37
Laird BJ, Boyd AC, Colvin LA, Fallon MT. Are cancer pain and depression
interdependent? A systematic review. Psy- chooncology. 2009; 18(5):
459-464. doi: 10.1002/pon.1431
Leong M, Olnick S, Akmal T, Copenhaver A, Razzak R. How Islam
influences end-of-life care: Education for palliative care clinicians. J
Pain Symptom Manage. 2016; 52(6): 771-774 e773. doi:
10.1016/j.jpainsymman.2016.05.034
National cancer control program policies and management guidelines. Geneva
World Health Organization, 1995
Reyes-Gibby CC, Aday LA, Anderson KO, Mendoza TR, Cleeland CS. Pain,
depression, and fatigue in community-dwell- ing adults with and without
a history of cancer. J Pain Symp- tom Manage. 2006; 32(2): 118-128.
doi: 10.1016/j.jpainsym- man.2006.01.008
Schwabish SD. Cognitive adaptation theory as a means to PTSD reduction
among cancer pain patients. J Psychosoc On- col. 2011; 29(2): 141-156.
Waller A, Groff SL, Hagen N, Bultz BD, Carlson LE. Char- acterizing distress,
the 6th vital sign, in an oncology pain clinic. Curr Oncol. 2012; 19(2):
e53-e59. doi: 10.3747/co.19.882
World Health Organization. Cancer Pain Relief, 2nd Ed, Geneva. 1996
Yennurajalingam S, Kwon JH, Urbauer DL, Hui D, Reyes- Gibby CC, Bruera
E. Consistency of symptom clusters among advanced cancer patients
34
seen at an outpatient supportive care clinic in a tertiary cancer center.
Palliat Support Care. 2013; 11(6): 473-480. doi:
10.1017/S1478951512000879
35