35
PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF Penulis: dr. Ni Ketut Putri Ariani, SpKJ PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/ RSUP SANGLAH DENPASAR 2018

PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

PENANGANAN NYERI KANKER

PADA PERAWATAN PALIATIF

Penulis:

dr. Ni Ketut Putri Ariani, SpKJ

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA/ RSUP SANGLAH

DENPASAR

2018

Page 2: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas

karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

Dalam penyusunan penulisan ini, penulis banyak memperoleh masukan serta bantuan

dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima

kasih kepada semua pihak

Akhir kata penulis menyadari bahwa penelitian kecil ini masih jauh dari sempurna

sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran, dan atas perhatiannya penulis

mengucapkan terima kasih.

Denpasar,

Penulis

Page 3: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyeri merupakan keluhan yang sering dialami oleh penderita penyakit

kanker. Data dari WHO menyebutkan bahwa dalam perjalanan penyakitnya, 45-

100% penderita kanker mengalami nyeri dalam berbagai derajat, dari ringan sampai

dengan berat. Laporan dari negara maju menunjukkan bahwa pada saat ini 50-80%

nyeri kanker tidak mendapatkan penanganan yang adequate. Pada penderita kanker,

nyeri biasanya berlangsung terus menerus dan cenderung makin hebat sejalan

dengan berkembangnya penyakit. Nyeri yang tidak teratasi akan merusak kualitas

hidup penderita dan keluarga. Pada hal, sesungguhnya 80-90% nyeri kanker dapat

ditanggulangi jika hal tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur pengelolaan

penderita nyeri kanker yang dianjurkan WHO.

Nyeri adalah "pengalaman sensoris dan emosional yang tidak

menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau

dijelaskan dalam hal kerusakan tersebut. Nyeri total adalah pengalaman holistik

yang melampaui domain fisiologis, merupakan interaksi faktor psikologis, kognitif,

sosial, spiritual, dan budaya yang mempengaruhi persepsi rasa sakit dan

pengalaman total. Karena nyeri yang dialami penderita tidak hanya berhubungan

dengan faktor-faktor somatik, tetapi juga banyak faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi status psikologinya, maka penanganan nyeri yang efektif harus

mencakup semua faktor tersebut.

Page 4: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

4

Penderita nyeri kanker dalam semua stadium membutuhkan penangana

nyeri untuk membebaskan mereka dari nyeri yang dideritanya. Seperti tersurat

didalam batasan perawatan paliatif, ialah semua tindakan aktif guna meringankan

beban penderita kanker terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Tindakan

penanganan nyeri dan pengobatan penyakit kanker hendaknya dijalankan bersama-

sama. Penilaian dan manajemen nyeri yang komprehensif merupakan tujuan

mendasar dalam lingkup perawatan paliatif, dan manajemen yang optimal

bergantung pada pengalaman masing-masing domain dari pengalaman nyeri total.

1.2 Batasan Masalah

Tinjauan pustaka ini membahas tentang berbagai masalah yang berkaitan

dengan penanganan nyeri pada penderita kanker

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari secara lebih

mendalam tentang penangan nyeri yang dialami penderita kanker pada fase

terminal. Dengan pengetahuan ini diharapkan bisa diambil suatu kesimpulan terkait

penanganan pasien fase terminal sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup

pasien pada akhir kehidupannya.

Page 5: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perawatan Paliatif

Perawatan paliatif adalah perawatan menyeluruh dari pasien-pasien dengan

penyakit yang tidak berespon terhadap pengobatan kuratif. Sir Oliver Wendel

Holmes, pada abad ke 18 telah menyatakan bahwa seorang dokter harus mampu

untuk terkadang menyembuhkan, sering meringankan penderitaan, namun selalu

memberikan kenyamanan pada penderitanya. Perawatan paliatif mempunyai

pilosofi memandang penderita secara holistik atau seutuhnya sebagai mahluk

biopsikososiokultural dan meliputi semua tindakan aktif guna meringanka beban

penderita kanker, tidak hanya setelah penyembuhan tidak lagi mungkin, namun

telah dimulai sejak pertama dimulai keluhan (Budiwarsono, 1996).

Perawatan paliatif dilakukan oleh tim pelayanan paliatif yaitu pelayanan

terintegrasi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan memberikan

dukungan bagi keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan

kondisi pasien dengan mencegah dan mengurangi penderitaan melalui identifikasi

dini, penilaian yang seksama serta pengobatan nyeri dan masalah-masalah lain,

baik masalah fisik, psikososial dan spiritual (WHO, 2002), dan pelayanan masa

duka cita bagi keluarga (WHO 2005).

2.2 Nyeri Kanker

Menurut International Association for the Study of Pain, nyeri adalah

“pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan

Page 6: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

6

kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau dijelaskan dalam hal kerusakan

tersebut."

Saunders, Twycross dan Lack menggunakan konsep total pain untuk menjelaskan

bahwa nyeri yang dialami oleh penderita tidak hanya berhubungan dengan faktor-

faktor somatik, tetapi juga banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status

psikologiknya. Maka penanganan nyeri yang efektif harus mencakup semua faktor

tersebut (Tejawinata, 1999).

Komponen-komponen dari nyeri total (total pain).

a. Nyeri fisik

Nyeri fisik adalah komponen fisiologis. ini menekankan pentingnya dampak fisik

pada seluruh orang. Nyeri juga dipengaruhi oleh penderitaan-penderitaan fisik lain

yang diderita penderita penyakit kanker. Dyspnea, gangguan tidur, mual, dan

kehilangan nafsu makan adalah gejala fisik lain yang perlu dinilai ketika seseorang

mengalami nyeri. Nyeri fisik harus merupakan tujuan utama sebelum kita

melakukan penilaian dan intervensi faktor-faktor lain yang mempengaruhi nyeri.

Meskipun nyeri fisik tidak selalu merupakan faktor terpenting, yang paling penting,

dokter harus mengenali bahwa nyeri dapat berkontribusi pada gejala lain; dengan

demikian, mengelola rasa sakit juga dapat menghilangkan gejala lain (Reye-Gibby,

CC., et al, 2013, Yennurajalingam S, et al, 2013).

Penyebab Nyeri Fisik

Nyeri pada pasien dengan kanker dapat oleh karena:

a. Oleh kankernya sendiri (yang paling sering)

b. Hal yang berkaitan dengan kanker (Spasme otot, limfedema, konstipasi,

luka baring)

Page 7: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

7

c. Berkaitan dengan perawatan anti kanker (chronic postsurgical scar pain,

chemotherapy-induced mucositis)

d. Disebabkan oleh penyakit yang terjadi bersamaan (spondylosis,

osteoarthritis)

Beberapa pasien dengan kanker yang sudah parah memiliki nyeri multiple dari

beberapa katagori tersebut.

Kanker sendiri menyebabkan nyeri melalui:

a. Perluasan ke dalam soft tissue

b. Mempengaruhi visceral

c. Mempengaruhi tulang

d. Menekan saraf

e. Perlukaan pada saraf

f. Peningkatan tekanan intra kranial

b. Nyeri psikologis

Gangguan emosional, depresi, kecemasan, ketidakpastian, dan harapan adalah

segala bentuk rasa sakit psikologis yang dapat terjadi bersamaan dengan rasa sakit

fisik dengan depresi menjadi salah satu gejala psikologis yang paling umum. Satu

tinjauan sistematis menunjukkan bahwa terjadinya bersama-sama rasa sakit dan

depresi kira-kira 36,5%. Semakin hebat rasa sakit itu, semakin besar kemungkinan

individu itu menjadi depresi (p <0,05). Pasien dengan depresi dapat menggunakan

kata-kata yang lebih afektif untuk menggambarkan rasa sakit. Kualitas hidup juga

terbukti lebih buruk pada mereka yang menderita nyeri dan depresi. Depresi juga

ditemukan sebagai hambatan yang signifikan untuk mengelola rasa sakit,

Page 8: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

8

menggarisbawahi pentingnya mengelola depresi untuk meningkatkan rasa sakit

(Laird, BJ., et al, 2009).

Menurut National Comprehensive Cancer Network, distress adalah

pengalaman mental yang tidak menyenangkan, secara fisik, sosial, dan spiritual.

Hal ini dapat mempengaruhi cara individu berpikir, merasakan atau bertindak dan

dapat membuat koping lebih sulit. Distress harus diskrining pada setiap kunjungan

pasien. Jika nyeri merupakan alasan distress, alasan lain harus dicatat sebagai semua

faktor dapat meningkatkan terjadinya dan keparahan dari pengalaman nyeri (Maher,

et al, 2013, Lin, s. et al, 2013). Dalam satu studi, gejala fisik dan psikososial distress

terjadi bersama-sama pada pasien yang datang ke klinik-klinik nyeri kanker. Dokter

harus mengenali nyeri dan distress yang terjadi bersamaan tersebut (Waller A, et al,

2012).

Komponen-komponen yang mempengaruhi nyeri psikologis:

1. Kognitif-perilaku

Respons kognitif-perilaku terhadap nyeri adalah komponen tambahan dari nyeri

total holistik. Satu respon kognitif bisa jadi adalah kegagalan pasien untuk

mengakui rasa sakit karena takut bahwa ini merupakan penyakit progresif. Pasien

lain mungkin merasa perlu untuk bersikap keras dan menahan rasa sakit.

Penyangkalan rasa sakit kognitif ini, yang dapat berasal dari keyakinan budaya atau

spiritual, dapat mengganggu manajemen yang optimal. Domain kognitif-perilaku

juga dapat digunakan secara positif untuk mengatasi rasa sakit secara keseluruhan.

Terapi perilaku kognitif yang dapat digunakan untuk memperbaiki rasa sakit pada

beberapa pasien termasuk membangun harga diri, optimisme, dan penguasaan

kontrol rasa sakit (Schwabish SD., 2011). Katastrofisasi adalah sifat kognitif lain

Page 9: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

9

yang dikenal terkait dengan rasa sakit. Pasien yang menunjukkan perilaku ini

merusak atau membesar-besarkan rasa sakit mereka, dan katastrofi umumnya

terkait dengan depresi. Pendekatan kognitif-perilaku harus dipertimbangkan dalam

keseluruhan rencana manajemen nyeri (Badr H., et al., 2014).

2. Sosial

Konteks sosial nyeri kanker sangat dikenal. Nyeri dapat menyebabkan isolasi sosial,

pelepasan dari makan dan kegiatan lain, beban pengasuh, dan ketidakmampuan

untuk membeli analgesik untuk mengontrol rasa sakit. Dukungan sosial yang

memadai adalah prediksi yang kurang tertekan, depresi, dan kecemasan (Carlson,

2013). Jaringan Kanker Komprehensif Nasional (NCCN) Termometer distress

mencakup pengukuran yang terkait dengan kesusahan sosial. Sekali lagi, penilaian

marabahaya harus dimasukkan ke dalam praktek sehari-hari. Ketika tekanan sosial

terdeteksi, intervensi psikososial, termasuk pendidikan dan pelatihan keterampilan

mengatasi dapat menjadi tambahan yang berguna untuk manajemen medis nyeri.

3. Spiritual dan agama

Spiritualitas, didefinisikan sebagai kebutuhan untuk terhubung ke kekuatan yang

lebih tinggi, memiliki hubungan yang signifikan dengan rasa sakit. Agama, di sisi

lain, mencakup praktik-praktik yang terkait dengan sistem yang terorganisasi.

Pengaruh spiritual dan agama dari rasa sakit dapat bervariasi berdasarkan agama

dan bahkan oleh keyakinan individu dalam suatu agama. Sebagai contoh, beberapa

pasien mungkin merasa bahwa Allah sedang menghukum mereka, dan bahwa upah

mereka di surga akan lebih besar jika mereka menahan rasa sakit. Dalam iman

Muslim, beberapa pasien merasa bahwa rasa sakit dianggap sebagai hukuman dari

Tuhan; namun, laporan ajaran Islam berbeda-beda (Leong et al, 2016).

Page 10: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

10

Keyakinan spiritual dan agama karenanya dapat disalahpahami dan mempengaruhi

bagaimana seseorang merasakan rasa sakit dan mengelola rasa sakit. Seringkali

seorang pemimpin agama atau penasihat agama dapat menjelaskan pertanyaan

spiritual dan religius dengan pasien secara individual, yang dapat menambah

keseluruhan rencana manajemen rasa sakit.

Harapan adalah konsep yang umumnya terkait dengan spiritualitas dan

merupakan komponen penting dari sebagian besar agama. Studi mengungkapkan

harapan berkorelasi positif dengan kesejahteraan spiritual (p <0,01) dan berkorelasi

negatif dengan intensitas nyeri rata-rata (p = 0,02), intensitas nyeri terburuk (p

<0,01), gangguan nyeri dengan fungsi (p <0,05), kecemasan (p <0,01), dan depresi

(p <0,01). Depresi terutama mempengaruhi hubungan ini, yang memperkuat

kebutuhan untuk mengelola rasa sakit secara holistik (Rawdin, et al, 2013).

4. Budaya

Ekspresi rasa sakit adalah pengalaman individual, yang dipengaruhi oleh budaya

atau etnis. Ini dapat mewakili makna konseptual individu dari rasa sakit, persepsi

rasa sakit, dan kemampuan mengatasi. Satu tinjauan sistematis menemukan bahwa

beberapa kelompok etnis mengungkapkan rasa sakit yang lebih parah. Orang Asia

cenderung menormalkan rasa sakit sedangkan orang barat lebih cenderung mencari

bantuan untuk rasa sakit mereka

Tinjauan sistematis terbaru kedua dari penelitian membandingkan respon

nyeri dari African Americans (AA) untuk kulit putih non-Hispanik (NHW) dan

menemukan AA menunjukkan toleransi nyeri yang lebih rendah. Meta-analisis

besar lain dari 22 penelitian menemukan pasien Asia memiliki lebih banyak

hambatan nyeri dibandingkan dengan pasien Barat seperti kekhawatiran tentang

Page 11: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

11

perkembangan kanker, toleransi obat, fatalisme, dan hambatan manajemen nyeri.

Ini bisa memberikan alasan mengapa orang Asia mungkin mencoba untuk

menormalkan rasa sakit.

Secara keseluruhan, pasien dari beberapa kelompok etnis atau budaya mungkin

mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan penyedia perawatan mereka

tentang nyeri (Williams, 2012). Penyedia juga mungkin memiliki hambatan

terhadap pasien yang secara etnis atau ras berbeda dari mereka sendiri. Sebagai

contoh, dalam satu penelitian, dokter Kaukasia Barat dicatat meremehkan rasa sakit

di 75% dari AA dan 64% dari Hispanik. Pasien-pasien ini juga melaporkan

manajemen nyeri yang kurang optimal. Semua perbedaan ini menggarisbawahi

perlunya pendekatan yang terpusat pada pasien untuk manajemen nyeri (Williams,

2012).

5. Tenaga kesehatan

Nyeri yang dirasakan penderita serta ekspresinya dan respon terhadap pengobatan

amat dipengaruhi oleh lingkungan yang diciptakan oleh tenaga kesehatan yang

merawatnya. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

dapat memberikan akibat buruk terhadap nyeri. Pengalaman yang negatif dimasa

lampau terhadap tenaga kesehatan dan tempat-tempat pelayana kesehatan jelas akan

memberikan pengaruh yang tidak diinginkan / diharapkan terhadap nyeri yang

dialami penderita. Tenaga kesehatan yang menyediakan atmosfer yang hangat dan

nyaman serta berempati dapat membuat pasien merasa berkurang penderitaan yang

dihadapi dan dengan sendirinya dapat mengurangi nyeri yang dirasakan.

Page 12: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

12

2.3 Mekanisme Nyeri

Manfaat dari pengalaman nyeri terutama nyeri akut dapat melindungi fungsi vital,

membuat kita waspada akan adanya kerusakan tubuh. Ketika nyeri akut berasal dari

perifer tapi berlanjut menjadi nyeri kronis, ini dapat mengubah mekanisme nyeri di

system saraf pusat dimana akan meningkatkan atau memperlama nyeri perifer.

Tabel 1. Beberapa istilah yang sering digunakan:

Nyeri akut

Nyeri kronis

Nyeri neuropatik

Nociceptik

Stimulus noxius

Hiperalgesia

Nyeri yang berdurasi pendek dan hilang; biasanya

berhubungan langsung dengan resolusi atau penyembuhan

kerusakan jaringan.

Nyeri yang berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan

(misalnya, 1 bulan); ambang batas untuk kronisitas tidak

sesuai

Nyeri yang timbul dari kerusakan, atau disfungsi dari

setiap bagian dari sistem saraf perifer atau pusat

Proses dimana rangsangan berbahaya menghasilkan

aktivitas di jalur sensorik yang menyampaikan informasi

"menyakitkan"

Stimulus yang menimbulkan kerusakan, atau berpotensi

menimbulkan kerusakan pada jaringan tubuh

Setiap proses yang mengurangi sensasi rasa sakit,

sementara tidak mempengaruhi sentuhan normal

1. Nyeri nosiseptif dihasilkan dari stimulasi langsung nosiseptor atau meningkatnya

sensitivitas karena proses inflmasi, ini mungkin dideskripsikan sebagai “sakit”

dapat berasal dari:

Nyeri somatik dari kulit, tulang dan jaringan lunak yang memiliki inervasi

yang banyak.

Nyeri visceral dari organ dalam dari inervasi yang berbeda.

Proses nyeri nosiseptik sebagai berikut

Page 13: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

13

a. Tranduksi:

Nosiseptor mendeteksi adanya stimulus noxius yang menyebabkan terjadi

perubahan voltage di membrane saraf perifer. Terjadi depolarisasi aktivasi

voltage sensitive sodium canel.

b. Konduksi: perubahan potensial aksi ini dihantarkan sepanjang serabut

neuron afferent primer.

c. Modulasi: impuls nosiseptik masuk dari neuron afferent primer ke CNS

yaitu ke dorsal horn. Sampai pada tahap ini impuls dapat diblok dengan

anastesi lokal seperti lidokain.

d. Respon spesifik karakteristik dari neuron afferen primer ditentukan oleh

reseptor spesifik dan canel diexpresikan oleh neuron di perifer.

Gambar 1. Aktivasi serabut saraf nociceptive. Deteksi stimulus noxius di terminal

perifer neuron aferen primer menyebabkan terjadinya potensial aksi yang lalu merambat

sepanjang akson ke pusat terminal. Serat Aβ hanya merespons stimuli non-noxius, serat

Aδ merespon untuk rangsangan mekanik berbahaya dan rangsangan termal subnoxious,

dan serabut C merespon rangsangan mekanis panas, dan rangsangan kimia. Neuron aferen

primer memiliki badan sel di dorsal root ganglion dan mengirim terminal ke dalam segmen

sumsum tulang belakang serta pengiriman lebih sedikit kolateral padat sampai sumsum

tulang belakang untuk jarak dekat. Neuron aferen primer sinaps ke beberapa kelas yang

berbeda proyeksi neuron (PN) dorsal horn, yang proyeksi melalui saluran yang berbeda ke

pusat yang lebih tinggi.

Page 14: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

14

2. Nyeri neuropatik: disebabkan sebuah lesi atau penyakit dari sistem

somatosensoris.

Stimulus berjalan ascenden dari dorsal horn menuju thalamus melalui traktus

spinotalamikus dan traktus spinobulbar. Impuls diproyeksikan ke kortek

somatosensorik. Impuls sebagian diproyeksikan oleh traktus spinobulbar, ke

regio limbik yang merupakan jaras emosi dan perilaku. Pada akhirnya impuls

ini dipersepsikan sebagai “nyeri”. Sistem neurotransmitter di dorsal horn dapat

diblok oleh opioid atau SNRI.

Gambar 2. Neuron dorsal horn diproyeksi traktus spinotalamik ke thalamus dan kemudian

ke korteks somatosensori primer. Jalur ini membawa informasi tentang intensitas dan lokasi

rangsangan yang menyakitkan dan disebut jalur diskriminatif. Neuron naik di traktus

spinobulbar proyeksi saluran untuk nukleus batang otak dan kemudian ke thalamus dan

struktur limbik. Jalur-jalur ini menyampaikan aspek emosional dan motivasi pengalaman

rasa sakit. Hanya bila informasi dari pihak yang diskriminatif (thalamokortikal) dan

emosional / jalur motivasional (limbik) bergabung adalah pengalaman subyektif manusia

nyeri terbentuk ("aduh").

Page 15: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

15

Nyeri neuropatik dapat berasal dari:

Sistem saraf perifer (khususnya neuropati): nyeri neuropatik dengan

mekanisme perifer. Tranduksi dan konduksi normal di neuron afferent

perifer diperkirakan dimodulasi oleh proses endogen pada keadaan nyeri

neuropatik tertentu untuk meningkatkan signaling nosiseptik pada

kehadiran stimulus noxius yang relevan. Ini tidak terjadi hanya di perifer

pada neuron afferent primer tapi juga neuron central di dorsal horn dan

spinal cord.

Sistem saraf pusat (lesi pada otak atau medulla spinalis).

Beberapa nyeri kronik dapat dimulai di sentral tanpa penyebab perifer,

terutama kondisi yang berhubungan dengan gejala fisik nyeri yang tidak

dapat dijelaskan seperti depresi, cemas dan fibromyalgia.

Gambar 3. Pada beberapa kasus cedera atau penyakit dapat secara langsung memepengaruhi system saraf

pusat mengakibatkan perubahan plstisitas yang mengarah pada sensitisasi didalam ssp. Nyeri dapat terus

dialami walaupun kerusakan jaringan sudah diatasi. Impuls mungkin tercipta pada lokasi abnormal

ataupun spontan melalui proses mekanis. Pada tingkat spinal cord, proses ini disebut sesnsasi sentral

segmental. Mekanisme ini melatarbelakangi kondisi seperti neuropati diabetik

Page 16: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

16

Gambar 4. Sensasi sentral supra segmental. Perubahan plastis pada situs di otak dimana jaras nosiseptik dapat

menyebabkan sensasi, misalnya pada tingkat thalamus atau kortek sensoris. Proses ini di dalam otak disebut sensasi

sentral supra segmental. Ini dapat terjadi mengikuti cedera perifer(A), atau meskipun tidak ada teridentifikasi pencetus

(B). Mekanisme ini dipercaya kondisi yang melatarbelakangi fibromyalgia, nyeri kronik, nyeri pada symptom depresi

dan cemas

Gambar 5. Berbagai neurotransmiter dapat memodulasi proses nyeri di spinal cord. Terdapat beberapa

neurotransmitter dan reseptor korespondennya di dorsal horn, yang dapat direales oleh neuron afferent

primer, regulasi descenden melalui proyeksi neuron dorsal horn dan melalui inter neuron.

Page 17: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

17

2.4 Penilaian Nyeri

Evaluasi nyeri adalah langkah vital pertama pada manajemen nyeri kanker.

Hal ini memerlukan pemahaman tidak hanya masalah fisik tapi juga komponen

psikologis, sosial dan spiritual yang dialami oleh pasien. Ini terbaik dicapai dengan

pendekatan oleh tim. Penilaian nyeri harus dilakukan dengan seksama dalam waktu

yang relatif singkat. Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan

ketrampilan terpenting yang harus dimiliki oleh tenaga medis dalam melaksanakan

penilaian nyeri dengan berbagai komponennya.

2.4.1 Prinsip-Prinsip Penilaian Nyeri

Pemeriksaan-pemeriksaan harus dibatasi pada pemeriksaan yang hasilnya

dapat memberikan perbedaan pada penanganan nyeri. Bila pemeriksaan itu tidak

akan mengubah rencana penanganan atau penanganan yang telah berjalan,

janganlah dilakukan. Tetapi sebaliknya tidak boleh takut untuk melakukan

pemeriksaan yang memang diperlukan. Keterlambatan penanganan nyeri harus

dihindari, karena akan memberikan penderitaan yang semestinya tidak perlu terjadi.

Nyeri dan respon terhadap obat-obatan yang diberikan perlu pemantauan

sefrekwen mungkin sesuai dengan keadaan penderita, khususnya pada awal

pemberian obat. Pada nyeri berat perlu paling sedikit tiap 12-18 jam sekali.

Penderita dan keluarganya harus mengerti cara menilai nyeri yang diderita

penderita. Hal ini penting agar dapat dibuat catatan medik yang benar untuk

mengikuti perubahan-perubahan nyeri, dan untuk menentukan pengobatan

selanjutnya. Cara penanggulangan nyeri yang efektif termasuk komunikasi yang

efektif antara semua anggota tim kesehatan interdisiplin yang merawat.

Page 18: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

18

2.4.2 Skala Nyeri

1. NRS (numeric Rating Scale)

Tanyakan intensitas nyeri dengan menggunakan angka 0-10

0 berarti tidak nyeri dan 10 sangat nyeri

2. Categorial Scale

Dibagi atas: nyeri ringan – nyeri sedang – nyeri berat

3. Faces Rating Scale/ Wong-Baker face grimace scale

Keterangan:

a. Nilai 0 : Tidak ada/ bebas nyeri

b. Nilai 1-2 : Nyeri ringan (tidak bisa bercanda, serius, wajah datar, nyeri dapat diabaikan)

c. Nilai 3-5 : Nyeri sedang ( Alis berkerut, bibir mengerucut, menahan nafas, aktivitas terganggu)

d. Nilai 5-7 : Nyeri sedang (hidung berkerut, mengangkat bibir bagian atas, bernafas cepat, konsentrasi terganggu

e. Nilai 7-9 : Nyeri berat (mulut terbuka, slow blink mengganggu kebutuhan dasar

f. Nilai 10 : Nyeri hebat (mata tertutup, mengerang menangis, memerlukan bed rest)

Page 19: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

19

4. Visual Analog Scale

Gambar 1. Visual Analog Scale (Hill 1977, Gagilese dan Melzack 2003, Powel, 2010)

5.Numeric Pain Scale (NPS)

Gambar 2. Numeric Pain Scale ( McCaffery, 1999, Gagilese dan Melzack 2003, Powel, 2010)

0 = tidak nyeri

1-3 = nyeri ringan

4-7 = nyeri sedang

8-10 = nyeri berat

Dapat dipakai pada anak-anak mulai usia 6-7 tahun

2.5 Tata Laksana Nyeri Kanker

Perawatan harus dimulai dengan penjelasan yang sesungguhnya kepada pasien

tentang penyebab nyerinya. Beberapa nyeri terbaik diobati dengan kombinasi obat

dan non obat. Analgetik dan jumlah terbatas dari obat-obatan adalah hal utama dari

manjemen nyeri kanker. Anti kanker dan terapi obat untuk nyeri kanker dapat

diberikan secara bersama-sama. Beberapa nyeri berespon baik terhadap kombinasi

non opioid dan opioid. Yang lain memerlukan kombinasi kortikosteroid dengan

opioid. Nyeri neuropatik sering menunjukkan respon yang kecil pada analgetik non

Page 20: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

20

opioid dan opioid, tapi dapat berkurang dengan antidepresan trisiklik dan

antikonvulsan. Pasien kanker sering mengalami ketakutan dan kecemasan, dan

mungkin menjadi depresi. Pasien yang sangat cemas dan depresi berat dapat

membutuhkan obat psikotropik yang sesuai sebagai tambahan analgetik.

Sesuai dengan penyebab yang ada dan prinsip tata laksana yang digunakan di

perawatan paliatif melalui pendekatan fisik dan psikologis, dengan menggunakan

baik pengobatan farmakologik ataupun non farmakologik.

2.5.1 Penanganan Nyeri Fisik

Medikamentosa:

Analgetik: NSAID, Non opioid, Opioid; Adjuvant (kortikosteroid, antidepresan,

anti epilepsi, relaksan otot, antispas modik)

Nonmedikamentosa

Kompres hangat, TENS, modifikasi lingkungan dan gaya hidup: hindari aktifitas

yang memacu atau memperberat nyeri, immobilisasi bagian yang sakit dengan alat,

gunakan alat bantu untuk jalan atau kursi roda

Lain-lain

Modifikasi terhadap proses patologi yang ada:

Diperlukan pada kondisi emergency seperti patah tulang karena metastase, resiko

patah tulang pada tulang penyangga tubuh, metastase ke otak, leptomeningeal atau

epidural, obstruksi memerlukan radioterapi dan infeksi memerlukan antibiotik.

a. Prinsip-prinsip pemberian analgetik

Metode efektif yang relatif murah untuk mengurangi nyeri kanker pada 70-90%

pasien. Beberapa pusat perawatan kanker di beberapa negara berbeda telah

Page 21: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

21

menguji metode ini pada tahun 1980an dan dan mendemontrasikan efikasinya.

Metodenya adalah:

“by mouth”

“by the clock”

“by the ledder”

“for the individual”

“attention to detail”

“By mouth”: jika memungkinkan analgetik diberikan peroral. Pemberian secara

suppository bermanfaat pada pasien yang mengalami disfagia, muntah atau

obstruksi gastrointestinal. Pemberian subcutan secara kontinyu juga dapat sebagai

alternatif pada kondisi ini. Sejumlah pompa infus portable mekanik juga tersedia.

“By the clock”: analgetik harus diberikan pada interval waktu yang tetap.

Analgetik harus diberikan dengan dosis titrasi dalam melawan nyeri, ditingkatkan

secara gradual hingga pasien merasa nyaman. Dosis berikutnya harus diberikan

sebelum efek dari obat sebelumnya habis. Dengan cara ini nyeri dapat berkurang

secara kontinyu. Beberapa pasien memerlukan “rescue doses” untuk mengurangi

nyeri yang muncul intermiten.

“By the ladder”: Penggunaan obat anti nyeri pada langkah pertama adalah non

opioid. Jika pada langkah ini nyeri tidak berkurang, opioid untuk nyeri ringan

hingga sedang harus ditambahkan. Jika opioid untuk nyeri ringan hingga sedang

dikombinasi dengan non opioid gagal mengurangi nyeri, harus disubstitusi dengan

opioid untuk nyeri sedang hingga berat. Hanya satu obat dari masing-masing

kelompok diberikan pada waktu yang sama.

Page 22: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

22

Gambar 4. WHO three-step analgesic ledder

“For the individual”: tidak ada dosis standar untuk obat opioid. Dosis yang tepat

adalah dosis yang meredakan nyeri dari pasien. Contohnya: rentang dosis untuk

morfin peroral, adalah dapat lebih rendah dari 5 mg atau lebih tinggi dari 1000 mg

per 4 jam. Penggunaan obat untuk nyeri ringan hingga sedang dapat terbatas oleh

karena formulasi (contoh: kombinasi dengan Asetylsalisilyc acid (ASA) atau

parasetamol, yang toksik pada dosis tinggi) atau karena peningkatan disproporsi

pada efek samping pada dosis yang lebih tinggi (ex.: codein)

“Attention to detail”: Idealnya, regimen pengobatan pasien harus ditulis secara

lengkap untuk pasien dan keluarganya termasuk nama obat, jumlah tablet, dan

jumlah waktu perhari. Menonjolkan kebutuhan untuk pengaturan regular dari obat

penghilang nyeri. Morfin oral harus diberikan setiap empat jam. Dosis pertama dan

terakhir harus dikaitkan dengan waktu bangun dan tidur pasien. Waktu terbaik

secara umum adalah jam 10.00, 14.00 dan 18.00. Dengan jadwal ini akan seimbang

antara durasi efek analgesik dan keparahan efek samping. Pasien harus

diperingatkan tentang kemungkinan efek samping yang terjadi.

Page 23: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

23

b. Penggunaan Obat Analgetik

Penggunaan analgetik dan obat adjuvant sangat penting. Digunakan pedoman

WHO three step ladder sebagai dasar pemberian obat (WHO Geneva, 1986

disesuaikan dengan obat yang tersedia di Indonesia)

Tabel 2. Tahap pemberian analgetik

1. Analgetik Non Opioid

Analgetik non opioid termasuk Asetyisalisylic acid (ASA), Nonsteriod Anti

Inflamatory Drug (NSAID), dan paracetamol. ASA, paracetamol, ibuprofen dan

indometacin semua termasuk dalam daftar obat esensial. Di kebanyakan negara,

sejumlah NSAID tersedia, dan pilihan tergantung pada ketersediaan di daerah

setempat dan harga obat.

Non opioid juga terutama bermanfaat untuk mengobati nyeri yang disebabkan oleh

infiltrasi soft tissue dan otot. Obat-obatan pada kelompok ini menunjukkan “ceiling

effect” seperti meningkatkan dosis diatas tingkat dosis yang sebelumnya diberikan

tidak berarti menyediakan reda lebih jauh. Jika nyeri tidak berkurang secara

adequate dengan non opioid, sebaiknya ditambahkan dengan opioid.

Paracetamol

Analgetik Obat pilihan Obat lain

STEP 1

Ringan

1-3

Nyeri Non-opioid +

adjuvant

NSAID Parasetamol

STEP

Sedang

4-6

Nyeri tetap atau

meningkat

Opioid lemah +

Non-opioid +

adjuvant

Codein Tramadol

STEP 3

Berat

7-10

Nyeri tetap atau

meningkat

Opioid kuat +

Non-opioid +

adjuvant

Morfin Fentanyl

Page 24: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

24

Digunakan untuk nyeri ringan, terutama untuk jaringan lunak dan

musculoskeletal serta penurun panas. Sebagai suplemen opioid sehingga

memungkinkan dosis opioid yang lebih kecil. Dosis parcetamol adalah 650

– 1000 mg tiap 4-6 jam. Maksimum dosis adalah 6 gram perhari. Dapat

diberikan secara suppository.

NSAID (Nonsteriod Anti Inflamatory Drug)

NSAID, termasuk ASA adalah bagian penting didalam perawatan nyeri yang

disebabkan oleh metastase tulang. Dimana sering terdapat konsentrasi

prostaglandin lokal yang tinggi pada tulang yang terkena yang disebabkan oleh

sel tumor, dan NSAID bereaksi dengan menghambat biosintesis prostaglandin.

Pasien dengan nyeri tulang yang toleran terhadap ASA sebaiknya diberikan

NSAID. Selain itu, dipakai pada nyeri akibat inflamasi dan kerusakan jaringan,

nyeri karena metastase tulang, demam neoplastik dan nyeri post operasi.

Standar dosisASA 500-600 mg tiap 4-6 jam. Efek toksik terjadi pada pemberian

lebih dari 4 g/hari, berupa tinnitus dan tuli.

2. Analgetik Opioid Lemah

Codein:

Digunakan untuk nyeri sedang, dapat diberikan secara oral. Dosis: 0,5- 1 mg/kg

(maksimal 60 mg/dosis).

Efek samping: sedasi, konfusi, hipotensi, mual, muntah dan konstipasi. Efek

samping berupa konstipasi memerlukan laksatif secara rutin

Tramadol:

Page 25: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

25

Tramadol memiliki efek samping yang minimal terhadap sedasi, depresi

pernafasan dan gastrointestinal. Dosis: 2 mg/kg (Maksimal 8 mg/kg/hari)

Efek samping: mual, muntah, gangguan sistem kardiovaskular dan pernafasan

(efek minimal).

3. Analgetik Opioid Kuat

Morfin Oral

- Morfin adalah jenis obat lini pertama jika ada indikasi pemberian opioid

- Mulai dengan dosis kecil immediate release (IR) PO: 2,5 – 5 mg tiap 4 jam

kemudian lakukan titrasi sampai dosis yang diperlukan.

- Tetap gunakan IR morfin untuk nyeri renjatan dan nyeri insiden dengan

dosis 1/6-1/10 total dosis 24 jam.

- Jika nyeri renjatan atau insiden terjadi, dosis harian (dosis dasar) tetap

diberikan sesuai jadwal.

- Dosis morfin perlu dinaikkan 30% – 50% jika efek morfin hanya sebagian

atau durasinya sebentar.

- Dosis morfin perlu diturunkan 30% - 50% jika efek samping yang muncul

persisten.

- Dosis harian perlu dinaikkan, bila renjatan nyeri terjadi 3 kali atau lebih

dalam sehari, dengan menjumlahkan dosis harian dan jumlah dosis renjatan

untuk hari berikutnya.

- Gantikan IR morfin dengan sustained release (SR) morfin segera setelah

dosis yang diperlukan tercapai: dosis 24 jam immediate release dibagi 2

untuk diberikan 2x sehari.

Page 26: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

26

- Morfin SR mempunyai kelebihan seperti tidak perlu minum di tengah

malam, efek samping mengantuk dan mual lebih ringan, dan rasa yang lebih

dapat diterima.

- Berikan dosis SR pertama bersamaan dengan dosis IR terakhir. Tablet SR

jangan digerus, jangan dikunyah, harus ditelan utuh agar memiliki efek kerja

dan durasi yang diinginkan. Bila pasien tidak dapat menelan, tablet dapat

diberikan per rektal dengan dosis yang sama.

Morfin Parenteral

Pemberian morfin secara parenteral diperlukan jika pasien tidak dapat menelan,

mual muntah hebat atau ada obstruksi usus, kesadaran yang menurun,

kebutuhan dosis yang tinggi, nyeri harus segera diatasi dan pada pasien yang

tidak patuh untuk minum obat. Morfin parenteral sebaiknya diberikan secara

subkutaneus (SK) atau intravena (IV). Pemberian intramuskuler sebaiknya

dihindari karena absorbsi yang tidak teratur dan nyeri pada saat penyuntikan.

Dosis morfin parenteral adalah 1/3 dosis oral.

Dosis morfin parenteral 24 jam adalah jumlah dosis oral 24 jam (dosis dasar +

dosis renjatan, tidak termasuk dosis untuk nyeri insiden) dibagi 3. Pemberian

morfin SK atau IV dimulai dengan 1/3 dosis oral. Pemberian secara intermiten

dengan dosis 1/6 dosis 24 jam, diberikan tiap 4 jam. Pemberian SK atau IV

secara kontinyu dimulai dengan pemberian dosis loading 1/6 dosis 24 jam.

Fentanyl

Fentanyl tidak memiliki bentuk aktif metabolit. Efek samping terhadap susunan

saraf pusat dan efek konstipasi lebih sedikit dibanding dengan morfin.

Pemberian dapat melalui transdermal atau parenteral. Pemberian IV atau SK

Page 27: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

27

memiliki durasi singkat sehingga dapat digunakan untuk nyeri renjatan.

Kekurangan fentanyl adalah: tidak memiliki bentuk oral, dosis yang besar tidak

dapat diberikan melalui SK karena memiliki volume yang besar, efek onset

yang lama (18-24 jam), dosis transdermal terbatas (12,5; 25; 50; dan 100

mikrogram per jam) dan tidak dapat dipotong untuk mendapatkan dosis yang

lebih kacil. Kekurangan yang lain adalah bila pasien berkeringat, bentuk

transdermal mungkin kurang bermanfaat. Bila menggunakan transdermal, dosis

dasar opioid harus tetap diberikan pada 12 – 18 jam pertama. Dosis

equivalen untuk 25 mikrogram per jam transdermal fentanyl adalah 60 – 100

mg oral morfin/24 jam. Tanda klinis toksik dan overdosis yang perlu diketahui

pada penggunaan opioid kuat: Gangguan kesadaran, delirium, halusinasi,

mioklonus, dan depresi nafas.

Tabel 3. Opioid oral untuk nyeri sedang-berat: starting dose

Opioid Dosis awal (mg)

Morfin

Hidromorfon

Oxycodon

Metadhon

Levorfanol

Petidin

10-15

1-2

5-15

5-10

1-2

50-100

4. Terapi Adjuvan

Anti Depresan Trisiklik

Amitriptilin dan imipramine tersedia secara luas. Obat alternative lain juga

tersedia di beberapa negara yang mungkin sesuai untuk pasien. Dosis awal

tergantung pada usia pasien, berat badan, dosis sebelumnya dan obat lain yang

Page 28: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

28

Tabel 4. Obat adjuvant

bersama-sama diberikan. Dosis lebih rendah dari 10 mg mungkin sesuai untuk

beberapa pasien, tapi pada umumnya dapat diberikan 25-50 mg. Dosis dapat

dinaikkan menjadi 30-50 mg sesuai dengan yang dapat ditoleransi dalam hal

sedasi, hipotensi postural, dan mulut kering. Pada anak-anak dosis awal

direkomendasikan 0,5 mg/kg BB ditingkatkan sampai 1 mg/kg BB.

Antikonvulsan

Carbamazepin dapat diberikan mulai dosis 100 mg dua kali sehari dan dapat

ditingkatkan pelan-pelan. Carbamazepin dapat menyebabkan autoinduksi

enzyme, sehingga dapat meningkatkan metabolismenya sendiri. Inilah alasan

Page 29: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

29

mengapa permulaan efek samping (seperti: mengantuk, ataxia) membaik dari

waktu ke waktu. Carbamazepin sering menyebabkan leukopenia. Obat ini

sebaiknya tidak digunakan untuk anak dibawah 6 tahun. Pada anak yang lebih

tua mulai dengan pemberian 100 mg/hr (2-3 mg/kg BB).

Asam palproat memiliki waktu paruh plasma yang cukup panjang dan sedatif.

Secara konvensional diberika dosis tunggal sebelum tidur. Mulai dengan dosis

500 mg, atau 200 mg pada orang tua. Dosis dapat ditingkatkan sebanyak 200

mg tiap 2-3 harin hingga dosis maksimum 1-1,5 g. Asam Valproat sebaiknya

tidak digunakan pada anak dibawah 2 tahun karena resiko hepatotosik yang

dapat fatal.

2.5.2 Penanganan Nyeri Psikologis

a. Depresi

Untuk depresi ringan dan sedang dapat diberikan intervensi berupa dukungan,

empati, edukasi, terapi kognitif, dan terapi simptomatis.

Depresi yang berat memerlukan anti depresan (SSRI selama 4 – 6 minggu. Bila

gagal berikan dapat diberikan TCA)

b. Cemas

Pasien dengan diagnosis kanker sering mengalami kecemasan. Dukungan

termasuk mencari dan mengerti kebutuhan dan apa yang menjadi

kecemasannya dengan mendengarkan dengan seksama dan memberikan

perhatian pada hal-hal yang khusus. Memberikan informasi yang jelas dan

meyakinkan bahwa akan terus memberikan dukungan untuk mencapai harapan

yang realistic dapat mengurangi kecemasan yang dialami oleh pasien.

Page 30: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

30

Pasien yang mengalami cemas sedang hingga berat memerlukan intervensi

anxiolitik. Dapat diberikan benzodiazepin (diazepam, alprazolam, lorazepam)

Penghambat beta untuk mengatasi gejala perifer.

c. Nyeri spiritual

Nyeri spiritual berupa penyesalan, perasaan tidak dimaafkan merasa tidak berarti

atau tidak berguna, kemarahan terhadap nasib atau Tuhan, kehilangan

kepercayaan, ketakutan terhadap hari akhir. Intervensi yang dapat disarankan

berupa memaafkan dan meminta maaf, diskusi tentang penyesalan / pengakuan

dosa, napak tilas kehidupan dan menemukan tujuan hidup, dan bimbingan

rohaniwan

d. Nyeri sosial

Kehilangan peran, kehilangan pekerjaan, masalah finansial, kekhawatiran

tentang masa depan keluarga, merasa ketergantungan dan adanya masalah yang

belum terselesaikan sering menambah penderitaan pasien dan memperburuk

kwalitas hidupnya. Beberapa hal seperti menulis surat, pembagian warisan,

menuntaskan urusan hukum, konseling dengan pekerja sosial mungkin dapat

memperbaiki nyeri sosial yang dialami oleh pasien.

2.5.3 Terapi Anti nyeri pada fase terminal

Pada fase terminal dari stadium terminal (kematian diperkirakan dalam hari atau

minggu):

1. Jangan kurangi dosis opioid semata-mata karena penurunan tensi, respirasi

atau kesadaran, namun pertahankan sampai mencapai kenyamanan.

2. Perhatikan adanya neurotoksisitas karena opioid termasuk hyperalgesia

3. Bila pengurangan dosis diperlukan, kurangi 50% dosis 24 jam.

Page 31: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

31

4. Gantikan cara pemberian opioid bila diperlukan (oral, sk, iv, transdermal) dengan

dosis konversi.

5. Bila terdapat refractory pain, pertimbangkan sedasi.

Page 32: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

32

BAB III

SIMPULAN

1. Nyeri kanker dapat dan harus diobati

2. Evaluasi dan perawatan nyeri kanker yang terbaik harus dilakukan

bersama-sama dalam suatu tim

3. Langkah pertama penanganan nyeri kanker adalah mengetahui

riwayat dan memeriksa secara detail keadaan pasien untuk

menentukan apakah nyeri disebabkan oleh: kankernya sendiri, bagian

dari sindrom spesifik, apakah merupakan nyeri nosiseptik, neuropatik

atau campuran.

4. Perawatan dimulai dengan penjelasan dan pendekatan fisik dan

psikologis.

5. Terapi obat biasanya akan meredakan nyeri dengan adequate jika

ditangani dengan obat, dosis, dan interval waktu yang tepat.

6. Tidak ada standar dosis. Dosis yang tepat adalah yang dapat

meredakan nyeri dan membuat pasien merasa nyaman.

7. Adalah penting memantau respon pasien untuk meyakinkan pasien

mendapat manfaat efek samping sekecil mungkin.

8. Pada pasien fase terminal pengobatan anti nyeri tetap diberikan, cara

pemberian disesuaikan dengan keadaan pasien.

Page 33: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

33

DAFTAR PUSTAKA

American Pain Society. Principles of Analgesic Use in the Treatment of Acute Pain

and Cancer Pain. 6th ed. Glenview, IL, USA: APS Press; 2008.

Badr H, Gupta V, Sikora A, Posner M. Psychological distress in patients and

caregivers over the course of radiotherapy for head and neck cancer. Oral

Oncol. 2014; 50(10): 1005-1011 doi: 10.1016/j.oraloncology.2014.07.003

Bennett MI, Bagnall AM, Closs SJ. How effective are pa- tient-based

educational interventions in the management of cancer pain? Systematic

review and meta-analysis. Pain. 2009;143(3): 192-199. doi:

10.1016/j.pain.2009.01.016

Brant JM.2017.” Holistic Total Pain Management in Palliative Care: Cultural

and Global Considerations”. Palliat Med Hosp Care Open J.SE(1):32-

38.

Budiwarsono, Pengelolaan Nyeri Kanker, Majalah Paliatif Kanker. Edisi

khusus. Mei 1996. 26-37

Laird BJ, Boyd AC, Colvin LA, Fallon MT. Are cancer pain and depression

interdependent? A systematic review. Psy- chooncology. 2009; 18(5):

459-464. doi: 10.1002/pon.1431

Leong M, Olnick S, Akmal T, Copenhaver A, Razzak R. How Islam

influences end-of-life care: Education for palliative care clinicians. J

Pain Symptom Manage. 2016; 52(6): 771-774 e773. doi:

10.1016/j.jpainsymman.2016.05.034

National cancer control program policies and management guidelines. Geneva

World Health Organization, 1995

Reyes-Gibby CC, Aday LA, Anderson KO, Mendoza TR, Cleeland CS. Pain,

depression, and fatigue in community-dwell- ing adults with and without

a history of cancer. J Pain Symp- tom Manage. 2006; 32(2): 118-128.

doi: 10.1016/j.jpainsym- man.2006.01.008

Schwabish SD. Cognitive adaptation theory as a means to PTSD reduction

among cancer pain patients. J Psychosoc On- col. 2011; 29(2): 141-156.

Waller A, Groff SL, Hagen N, Bultz BD, Carlson LE. Char- acterizing distress,

the 6th vital sign, in an oncology pain clinic. Curr Oncol. 2012; 19(2):

e53-e59. doi: 10.3747/co.19.882

World Health Organization. Cancer Pain Relief, 2nd Ed, Geneva. 1996

Yennurajalingam S, Kwon JH, Urbauer DL, Hui D, Reyes- Gibby CC, Bruera

E. Consistency of symptom clusters among advanced cancer patients

Page 34: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

34

seen at an outpatient supportive care clinic in a tertiary cancer center.

Palliat Support Care. 2013; 11(6): 473-480. doi:

10.1017/S1478951512000879

Page 35: PENANGANAN NYERI KANKER PADA PERAWATAN PALIATIF

35