120
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 -720- Pemetaan Risiko Bencana di Kota Bogor Tahun 2015 (Bencana Banjir, Tanah Longsor, Angin Puting Beliung, dan Kebakaran) Disaster Risk Mapping of Bogor in 2015 (Flood, Landslide, Whirlwind, and Fire Disaster) Dwi Santy Ratnasari 1) , dan Puspa Kusumawardani 2) 1 PT. Wilmar International Plantation 2 PT. weBGis Indonesia *) E-mail: [email protected] ABSTRAK-Kota Bogor memiliki bentang alam yang cukup bervariasi, curah hujan tinggi, morfologi bergelombang, serta dilalui dua aliran sungai besar (Sungai Ciliwung dan Cisadane). Dalam menghadapi kondisi bencana di Kota Bogor, diperlukan manajemen bencana yang komprehensif, salah satunya dengan pemetaan risiko bencana. Citra penginderaan jauh berperan dalam mengekstrak informasi spasial seperti kepadatan bangunan, sedangkan Sistem Informasi Geografi (SIG) berperan dalam pengolahan data spasial sehingga dihasilkan peta risiko bencana. Adapun peta risiko bencana yang dihasilkan pada penelitian ini dibuat berdasarkan PERKA BNPB Nomor 2 Tahun 2012. Berdasarkan peta risiko bencana, dapat diketahui bahwa hampir seluruh wilayah Kota Bogor berisiko terkena bencana banjir, namun risiko tertinggi berada di Kelurahan Cibadak, Kebon Pedes, Kedungjaya, Kedung Waringin, Kencana, Mekarwangi, dan Sukaresmi (Kecamatan Tanah Sareal); Bencana kebakaran cenderung terjadi di perumahan padat seperti di Kelurahan Bantarjati dan Katulampa (Kecamatan Bogor Timur); Risiko bencana tanah longsor dan angin puting beliung tertinggi terjadi di Kecamatan Bogor Selatan, yaitu di Kelurahan Mulyaharja dan Batutulis. Kata kunci: Risiko, Bencana, Sistem Informasi Geografi, dan Penginderaan Jauh ABSTRACT-Bogor City has average variation landscape, high rainfall, wavy morphology, and two rivers (Ciliwung and Cisadane River) that flow passed it. For facing disaster in Bogor City, we need a comprehensive disaster management, one of it is disaster risk mapping. Remote sensing image has a role in spatial data extracting, such as building density, while Geographic Information Sistem (GIS) has a role in disaster risk map producing. These maps in this research are resulted based on PERKA BNPB Number 2 in 2012. Based on disaster risk map, we will know that almost all of Bogor City area has flood risk area, but the highest risk of flood disaster located in Cibadak, Kebon Pedes, Kedungjaya Kedung Waringin, Kencana, Mekarwangi, dan Sukaresmi (Tanah Sareal Subdistrict); Fire disasters tend to occurr in dense settlement area, such as Bantarjati and Katulampa (East Bogor Subdistrict); The high Landslide and whirlwind risk occurr in South Bogor Subdistrict (Mulyaharja and Batutulis). Keywords: Risk, Hazard, Geography Information System, and Remote Sensing 1. PENDAHULUAN Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik faktor alam, non alam maupun sosial. Kepahaman akan arti penting dari sebuah bencana ini sangat diperlukan oleh seluruh masyarakat karena Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia, sehingga memiliki karakteristik geo-fisik yang juga terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik yang saling berinteraksi (lempeng benua Eurasia, Lempeng Samudera Hindia-Australia dan Lempeng Samudera Pasifik), Pertemuan tiga lempeng besar ini menjadikan Negara Indonesia memiliki fenomena alam yang komplek mulai dari pegunungan, perbukitan dan dataran. Proses geologi merupakan siklus di bumi dalam mencapai titik keseimbangan yang sering menjadi fenomena ancaman seperti gempa bumi, tsunami, longsor, banjir, angin puting beliung, dan sebagainya. Kondisi ini dapat diprediksi berdasarkan parameter-parameter pemicunya meliputi kondisi geologis dan geomorfologis, sehingga dapat dipetakan sebaran dan dampaknya terhadap sistem yang ada di bawahnya dengan menggunakan analisis spasial dan analisis database. Risiko bencana merupakan interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan ancaman bahaya (hazard) yang ada. Ancaman bahaya, khususnya bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika proses alami pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga internal maupun eksternal, sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi, sehingga kemampuan dalam menghadapi ancaman tersebut semakin meningkat.Secara umum, risiko dapat dirumuskan sebagai berikut :

Pemetaan Risiko Bencana di Kota Bogor Tahun 2015 (Bencana

Embed Size (px)

Citation preview

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-720-

Pemetaan Risiko Bencana di Kota Bogor Tahun 2015

(Bencana Banjir, Tanah Longsor, Angin Puting Beliung, dan Kebakaran)

Disaster Risk Mapping of Bogor in 2015 (Flood, Landslide, Whirlwind, and Fire Disaster)

Dwi Santy Ratnasari1), dan Puspa Kusumawardani2)

1PT. Wilmar International Plantation 2PT. weBGis Indonesia

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK-Kota Bogor memiliki bentang alam yang cukup bervariasi, curah hujan tinggi, morfologi bergelombang, serta dilalui dua aliran sungai besar (Sungai Ciliwung dan Cisadane). Dalam menghadapi kondisi bencana di Kota Bogor, diperlukan manajemen bencana yang komprehensif, salah satunya dengan pemetaan risiko bencana. Citra penginderaan jauh berperan dalam mengekstrak informasi spasial seperti kepadatan bangunan, sedangkan Sistem Informasi Geografi (SIG) berperan dalam pengolahan data spasial sehingga dihasilkan peta risiko bencana. Adapun peta risiko bencana yang dihasilkan pada penelitian ini dibuat berdasarkan PERKA BNPB Nomor 2 Tahun 2012. Berdasarkan peta risiko bencana, dapat diketahui bahwa hampir seluruh wilayah Kota Bogor berisiko terkena bencana banjir, namun risiko tertinggi berada di Kelurahan Cibadak, Kebon Pedes, Kedungjaya, Kedung Waringin, Kencana, Mekarwangi, dan Sukaresmi (Kecamatan Tanah Sareal); Bencana kebakaran cenderung terjadi di perumahan padat seperti di Kelurahan Bantarjati dan Katulampa (Kecamatan Bogor Timur); Risiko bencana tanah longsor dan angin puting beliung tertinggi terjadi di Kecamatan Bogor Selatan, yaitu di Kelurahan Mulyaharja dan Batutulis.

Kata kunci: Risiko, Bencana, Sistem Informasi Geografi, dan Penginderaan Jauh

ABSTRACT-Bogor City has average variation landscape, high rainfall, wavy morphology, and two rivers (Ciliwung and Cisadane River) that flow passed it. For facing disaster in Bogor City, we need a comprehensive disaster management, one of it is disaster risk mapping. Remote sensing image has a role in spatial data extracting, such as building density, while Geographic Information Sistem (GIS) has a role in disaster risk map producing. These maps in this research are resulted based on PERKA BNPB Number 2 in 2012. Based on disaster risk map, we will know that almost all of Bogor City area has flood risk area, but the highest risk of flood disaster located in Cibadak, Kebon Pedes, Kedungjaya Kedung Waringin, Kencana, Mekarwangi, dan Sukaresmi (Tanah Sareal Subdistrict); Fire disasters tend to occurr in dense settlement area, such as Bantarjati and Katulampa (East Bogor Subdistrict); The high Landslide and whirlwind risk occurr in South Bogor Subdistrict (Mulyaharja and Batutulis).

Keywords: Risk, Hazard, Geography Information System, and Remote Sensing

1. PENDAHULUAN Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik faktor alam, non alam maupun sosial. Kepahaman akan arti penting dari sebuah bencana ini sangat diperlukan oleh seluruh masyarakat karena Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia, sehingga memiliki karakteristik geo-fisik yang juga terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik yang saling berinteraksi (lempeng benua Eurasia, Lempeng Samudera Hindia-Australia dan Lempeng Samudera Pasifik), Pertemuan tiga lempeng besar ini menjadikan Negara Indonesia memiliki fenomena alam yang komplek mulai dari pegunungan, perbukitan dan dataran. Proses geologi merupakan siklus di bumi dalam mencapai titik keseimbangan yang sering menjadi fenomena ancaman seperti gempa bumi, tsunami, longsor, banjir, angin puting beliung, dan sebagainya. Kondisi ini dapat diprediksi berdasarkan parameter-parameter pemicunya meliputi kondisi geologis dan geomorfologis, sehingga dapat dipetakan sebaran dan dampaknya terhadap sistem yang ada di bawahnya dengan menggunakan analisis spasial dan analisis database.

Risiko bencana merupakan interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan ancaman bahaya (hazard) yang ada. Ancaman bahaya, khususnya bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika proses alami pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga internal maupun eksternal, sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi, sehingga kemampuan dalam menghadapi ancaman tersebut semakin meningkat.Secara umum, risiko dapat dirumuskan sebagai berikut :

Pemetaan Risiko Bencana di Kota Bogor Tahun 2015 (Bencana Banjir, Tanah Longsor, Angin Puting Beliung, dan Kebakaran) (Ratnasari, D.S., dkk.)

-721-

Risiko = Bahaya X Kerentanan X Ketidakmampuan

Peta Risiko Bencana (PRB) adalah: Representasi suatu wilayah atau lokasi yang menyatakan kondisi wilayah yang memiliki tingkat risiko tertentu berdasarkan adanya parameter-parameter ancaman, kerentanan dan kapasitas yang ada di suatu wilayah. Contoh: peta risiko bencana banjir, peta risiko bencana longsor, peta risiko bencana gempa. Dalam metode análisis risiko dengan menggunakan GIS untuk menghasilkan peta risiko, yang paling utama adalah pemilihan parameter dan indikator masing-masing análisis risiko. Sifat peta Resiko ini Dinamis: analisis risiko bukan sesuatu yang mati tetapi dinamis dapat berubah setiap saat tergantung upaya-upaya yang sudah dilakukan untuk PRB. Dalam hal ini konsultan menawarkan bagaimana konsep update able analisis risiko dengan peta risiko bencana di daerah yang dapat dilakukan setiap saat oleh instansi yang berwenang di daerah, karena dalam GIS proses penyusunan database menjadi dasar yang kuat untuk analisis spasial. Bersifat Partisipatif dimana konsultan menawarkan bukan hanya sekedar hasil peta risiko dan laporan semata, tapi lebih pada proses yang partisipatif dan berkelanjutan serta Akuntabel yaitu hasil peta risiko dapat dipertanggungjawabkan, data-data yang diperoleh dari seluruh instansi di kabupaten harus melalui proses validasi dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran, sehingga hasil analisis risiko bisa berkelanjutan.

Bencana yang dikaji kali in berada disalah satu Kota di Indonesia yaitu Kota Bogor. Karakteristik fisik Kota Bogor memiliki bentang alam yang cukup bervariasi, curah hujan tinggi, morfologi bergelombang, serta dilalui dua aliran sungai besar (Sungai Ciliwung dan Cisadane), sehingga bisa menyebabkan beberapa bencana. Bencana sesungguhnya dapat dikurangi atau bahkan dicegah dampaknya terhadap masyarakat, namun semua itu tergantung kepada masyarakat itu sendiri (apakah melakukan aksi atau tidak). Oleh karena itu manusia bertanggungjawab dalam mengidentifikasi risiko dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya bencana, kemudian memutuskan tindakan pencegahan atau manajemen untuk mengendalikan dampaknya.

2. METODE Alat: - Seperangkat Komputer - Software ArcGIS 10.1

Bahan: - Data Iklim BMKG (Curah Hujan dan Intensitas Hujan) - Data Litologi (Kemiringan Lereng, Kepadatan Batuan, Kepekaan terhadap Erosi, Ketebalan Tanah) - Citra WorldView-2 Kota Bogor Tahun 2014 - Data Statistik Kota Bogor

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-722-

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

1. Pengumpulan Data

Tahap ini dilakukan untuk menghasilkan bahaya dan kerentanan dari setiap bencana sehingga didapatkan peta risiko dari setiap bencana. a) Bahaya Bencana

Parameter yang digunakan untuk mendapatkan bahaya bencana tanah longsor adalah curah hujan, kemiringan lereng, kepadatan bantuan, kepekaan tanah terhadap erosi, ketebalan tanah, dan penggunaan lahan.

Pemetaan Risiko Bencana di Kota Bogor Tahun 2015 (Bencana Banjir, Tanah Longsor, Angin Puting Beliung, dan Kebakaran) (Ratnasari, D.S., dkk.)

-723-

Tabel 1. Parameter Bahaya Tanah Longsor

Parameter Harkat 1 Harkat 2 Harkat 3 Harkat 4 Harkat 5 Sumber Data

Curah Hujan (mm/jam)

Kemiringan Lereng (°)

<5

<1

5-20

1-3

21-50

3-6

51-100

6-9

>100

9-25

BMKG

USSS

Kepadatan Batuan

Sangat Halus Halus Sedang Agak

Kasar Kasar

Data Statistik

Kota Bogor

Kepekaan Tanah terhadap

Erosi

Sangat Tidak Peka

Tidak Peka Sedang Peka Sangat Peka

Data Statistik

Kota Bogor

Ketebalan Tanah (cm) >100 76-100 21-75 10-20 <10

Data Statistik

Kota Bogor

Penggunaan Lahan Hutan

Rumput Belukar

dan Tanah

Kosong

Tegalan Sawah Permukiman dan Lahan Terbangun

Pusat Infromasi Bencana

Aceh (PIBA)

Keenam parameter tersebut kemudian dihitung berdasarkan persaman (1) di bawah ini: Bahaya Longsor = (0,21 * Curah Hujan) + (0,04 * Erosi) + (0,02 * Batuan) + (0,15 * Lereng) + (0,12 * PL) + (0,01 * Tanah) + (0,45 * JumlahKejadian)...........................(1) Parameter yang digunakan untuk mendapatkan bahaya bencana angin puting beliung adalah curah hujan, kemiringan lereng, dan penggunaan lahan.

Tabel 2. Parameter Bahaya Angin Puting Beliung

Parameter Harkat 1 Harkat 2 Harkat 3 Harkat 4 Harkat 5 Sumber Data

Curah Hujan (mm/jam)

Kemiringan Lereng (°)

<5

<1

5-20

1-3

21-50

3-6

51-100

6-9

>100

9-25

BMKG

USSS

Penggunaan Lahan Hutan

Rumput Belukar

dan Tanah

Kosong

Tegalan Sawah Permukiman dan Lahan Terbangun

Pusat Infromasi Bencana

Aceh (PIBA)

Ketiga parameter tersebut kemudian dihitung berdasarkan persaman (2) di bawah ini: Bahaya Puting Beliung = (0,33 * Lahan Terbuka) + [0,33 * (1 - Kemiringan Lereng)] + [(0,33 * Curah Hujan Tahunan)/5000] ....................................................................................... (2) Parameter yang digunakan untuk mendapatkan bahaya bencana banjir adalah curah hujan, kemiringan lereng, ketebalan tanah, dan Vegetasi.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-724-

Tabel 3. Parameter Bahaya Banjir

Parameter Harkat 1 Harkat 2 Harkat 3 Harkat 4 Harkat 5 Sumber

Data Curah Hujan

(mm/jam) Kemiringan Lereng (°)

<5

25-9

5-20

8-6

21-50

5-4

51-100

3-1

>100

<1

BMKG

USSS

Ketebalan Tanah (cm) <10 10-20 21-75 76-100 >100

Data Statistik

Kota Bogor

Vegetasi Sangat Tidak Rapat

Tidak Rapat Sedang Rapat Sangat

Rapat Interpretasi

Citra

Keempat parameter tersebut kemudian dihitung berdasarkan persaman (3) di bawah ini: Bahaya Banjir = (0,20 * Curah Hujan) + (0,13 * Lereng) + (0,06 * Tekstur Tanah) + (0,03 * Vegetasi) + (0,58 * Jumlah Kejadian) ............................................................................. (3) Parameter yang digunakan untuk mendapatkan bahaya kebakaran bangunan adalah kepadatan bangunan rumah mukim, pola bangunan rumah mukim, jenis atap bangunan rumah mukim, lokasi permukiman dari jalan utama, lokasi sumber air, lebar jalan masuk permukiman, kualitas jalan, dan kualitas bahan bangunan rumah mukim.

Tabel 4. Parameter Bahaya Tanah Longsor Parameter Harkat 1 Harkat 2 Harkat 3 Sumber Data

Kepadatan Bangunan Rumah Mukim <40% Jarang 40-75%

Agak Padat >75% Padat Ditjen Cipta Karya,

1980 (dengan Perubahan)

Pola Bangunan Rumah Mukim

<40% Teratur

40-75% Agak

Teratur

>75% Tidak Teratur

Suharyadi, 2000 (dengan perubahan)

Jenis Atap Bangunan Rumah Mukim <40% Baik 40-75%

Sedang >75% Buruk Ditjen Cipta Karya,

1980 (dengan Perubahan)

Lokasi Permukiman dari Jalan Utama

>75% berjarak 100

m (dekat)

40-75% berjarak

100m dan >75%

berjarak 100-200m

(Agak Jauh)

<40% berjarak 100m dan

<75% berjarak 100-200m

(Jauh)

Ditjen Cipta Karya, 1980 (dengan Perubahan)

Lokasi Sumber Air >75%

berjarak 100 m (dekat)

40-75% berjarak

100m dan >75%

berjarak 100-200m

(Agak Jauh)

<40% berjarak 100m dan

<75% berjarak 100-200m

(Jauh)

Dinas Kebakaran Kota Bandung, 2007 (dengan Perubahan)

Lebar Jalan Masuk Permukiman

>75% Lebar masuknya

>6 m (Lebar)

40%-75% Lebarnya

masuknya > 6m dan >

75% Lebarnya masuknya antara 3m-

6m ( Agak

<40% Lebarnya masuknya

lebih dari 6 m dan < 75% Lebarnya masuknya

antara 3m – 6 m

( Sempit)

Suharyadi, 2000 dengan Perubahan

Pemetaan Risiko Bencana di Kota Bogor Tahun 2015 (Bencana Banjir, Tanah Longsor, Angin Puting Beliung, dan Kebakaran) (Ratnasari, D.S., dkk.)

-725-

Lebar )

Kualitas Jalan <40% (Baik)

40%-75% (Sedang)

>75% (Buruk)

Ditjen Cipta Karya, 1980 dengan Perubahan

Kualitas Banhan Bangunan RumahhMukim

<40% (Tidak Mudah

terbakar)

40%-75% (Agak Mudah

Terbakar)

>75% (Mudah

Terbakar)

Suharyadi, 2000 dengan perubahan

Keempat parameter tersebut kemudian dihitung berdasarkan persaman (4) di bawah ini: Bahaya Kebakaran = ( 3 x Kepadatan Bangunan ) + ( 2 x Pola Bangunan ) + ( 3 x Lokasi dari jalan Utama ) + (2 x Jenis atap bangunan ) + ( 3 x Lebar jalan masuk ) + ( 1 x Kualitas Jalan ) + ( 2 x Lokasi Sumber air ) + ( 3 x Kualitas bahan bangunan ) + (3 x Jumlah Kejadian) ............. (4)

b) Kerentanan Bencana Kerentanan dalam perhitungan risiko bencana terbagi menjadi kerentanan sosial, fisik, ekologi, dan ekonomi. Kerentanan sosial diklasifikasikan berdasarkan Jumlah Fasilitas Kesehatan, Jumlah Fasilitas Pendidikan, Jumlah Lansia, dan kepadatan penduduk sebagai berikut:

Tabel 5. Parameter Kerentanan Sosial Parameter Harkat 1 Harkat 2 Harkat 3 Sumber Data

Jumlah Fasilitas Kesehatan Rendah Sedang Tinggi Bogor dalam Angka Tahun 2013

Jumlah Fasilitas Pendidikan Rendah Sedang Tinggi Bogor dalam Angka Tahun 2013

Jumlah Lanjut Usia Rendah Sedang Tinggi Bogor dalam Angka

Tahun 2013

Jumlah Balita Rendah Sedang Tinggi Bogor dalam Angka Tahun 2013

Kepadatan Penduduk Rendah Sedang Tinggi Bogor dalam Angka Tahun 2013

Kerentanan fisik diklasifikasikan berdasarkan Luas Perumahan dan Luas Permukiman sebagai berikut:

Tabel 6. Parameter Kerentanan Fisik Parameter Harkat 1 Harkat 2 Harkat 3 Sumber Data

Luas Perumahan Rendah Sedang Tinggi Bogor dalam Angka Tahun 2013

Luas Permukiman Rendah Sedang Tinggi Bogor dalam Angka Tahun 2013

Kerentanan sosial diklasifikasikan berdasarkan Luas Kawasan Lindung sebagai berikut:

Tabel 7. Parameter Kerentanan Ekologi Parameter Harkat 1 Harkat 2 Harkat 3 Sumber Data

Luas Kawasan Lindung Rendah Sedang Tinggi Bogor dalam Angka Tahun 2013

Kerentanan fisik diklasifikasikan berdasarkan Luas Perumahan dan Luas Permukiman sebagai berikut:

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-726-

Tabel 8. Parameter Kerentanan Ekonomi Parameter Harkat 1 Harkat 2 Harkat 3 Sumber Data

Jumlah Luas Sawah Rendah Sedang Tinggi Bogor dalam Angka Tahun 2013

Jumlah Luas Kebun Rendah Sedang Tinggi Bogor dalam Angka Tahun 2013

Jumlah Luas Tegalan Rendah Sedang Tinggi Bogor dalam Angka

Tahun 2013

Jumlah Luas Industri Rendah Sedang Tinggi Bogor dalam Angka Tahun 2013

Jumlah Luas Jasa Rendah Sedang Tinggi Bogor dalam Angka Tahun 2013

Jumlah Luas Wisata Rendah Sedang Tinggi Bogor dalam Angka Tahun 2013

Kerentanan tersebut kemudian dihitung berdasarkan persamaan (5) sebagai berikut:

Kerentanan = (0,04 * Kerentanan Sosial) + (0,69 * Kerentanan Fisik) + (0,06 * Kerentanan Ekonomi) + (0,70 * Kerentanan Ekologi) ................................................... (5)

c) Kapasitas Kapasitas yang digunakan untuk perhitungan semua risiko pada penelitian ini sama karena kapasitas menunjukkan kesiapsiagaan suatu daerah dalam mengantisipasi bencana. Kapasitas suatu daerah diketahui berdasarkan keberadaan aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana, peringatan dini dan kajian risiko bencana, pendidikan kebencanaan, pengurangan faktor risiko dasar, serta pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini. Komponen indeks kapasitas tersebut dijelaskan pada Tabel 9 berikut ini:

Tabel 9. Komponen Indeks Kapasitas

Komponen Indeks Rendah

Indeks Sedang

Indeks Rendah

Bobot Total Sumber Data

1. Aturan dan Kelembagaan Penanggulangan Bencana

Tingkat Ketahanan 1 dan tingkat

Ketahanan 2

Tingkat Ketahanan 3

Tingkat Ketahanan 4 dan Tingkat Ketahanan 5

100%

FGD pelaku PB (BPBD,

Bappeda, Dinsos, Dinkes,

UKM, Dunia Usaha,

Universitas, LSM, Tokoh Masyarakat,

Tokoh Agama dll)

2. Peringatan dini dan Kajian risiko bencana

3. Pendidikan Kebencanaan 4. Pengurangan Faktor Risiko Dasar 5. Pembangunan Kesiapsiagaan

pada seluruh lini

Setelah diketahui indeks kapasitas bencana, selanjutnya adalah penentuan harkat kapasitas dan penghitungan kapasitas berdasarkan tabel 10 di bawah ini

Tabel 10. Harkat Kapasitas

Parameter Harkat 1 Harkat 2 Harkat 3 Sumber Data

Aturan dan Kelembagaan Penanggulangan Bencana <0,33 0,33-0,66 >0,66

Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB)

Peringatan dini dan Kajian risiko bencana <0,33 0,33-0,66 >0,66

Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB)

Pendidikan Kebencanaan <0,33 0,33-0,66 >0,66

Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB)

Pengurangan Faktor Risiko Dasar <0,33 0,33-0,66 >0,66 Badan Nasional

Penanggulangan

Pemetaan Risiko Bencana di Kota Bogor Tahun 2015 (Bencana Banjir, Tanah Longsor, Angin Puting Beliung, dan Kebakaran) (Ratnasari, D.S., dkk.)

-727-

Bencana (BNPB)

Pembangunan Kesiapsiagaan pada seluruh lini

<0,33 0,33-0,66 >0,66

Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB)

Baik Tabel 9 maupun Tabel 10 berlaku pada semua bencana. Sementara itu, perhitungan kapasitas dilakukan berdasarkan persamaan (6) Kapasias = 10 x Harkat Kapasitas ............................................................................................ (6)

2. Pengolahan Data Tahap pengolahan data dilakukan untuk mendapatkan peta risiko setiap bencana berdasarkan persamaan berikut ini:

= × ........................................................................................... (7)

3. Pemetaan Tahap ini meliputi kegiatan desain simbol dan desain layout peta risiko setiap bencana.

3. HASILDAN PEMBAHASAN 3.1 Bencana Banjir

Bencana banjir merupakan bencana yang umum terjadi di beberapa tempat di Kota Bogor, mengingat curah hujan Kota Bogor yang tinggi. Wilayah yang cenderung mengalami bencana banjir memiliki curah hujan tinggi, lereng datas, tanah yang tipis, dan tutupan vegetasi rendah.

Gambar 2. Peta Risiko Banjir Kota Bogor

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-728-

Berdasarkan peta risiko bencana banjir Kota Bogor, dapat diketahui bahwa hampir seluruh wilayah Kota Bogor berisiko dilanda banjir. Hal ini terjadi karena Kota Bogor memiliki intensitas curah hujan yang tinggi dan sebagian besar wilayahnya pun memiliki kenampakan sedang hingga datar. Adapun risiko bancana banjir dengan klasifikasi rendah berada pada sebagian Kecamatan Bogor Barat (Kelurahan Cilendek Barat, Cilendek Timur, Curug Mekar, Gunung Batu, Loji, Semplak, dan Situgede), Kecamatan Bogor Selatan (Kelurahan Cikaret, Mulyaharja, dan Pamoyanan), Kecamatan Bogor Timur (Kelurahan Baranangsiang dan Katulampa), Kelurahan Bogor Utara (Bantarjati, Cibuluh, Ciluar, Ciparigi, Tanah Baru, dan Tegalgundil), serta Kecamatan Tanah Sareal (Kelurahan Cibadak, Kebon Pedes, Kedungjaya, Kedung Waringin, Kencana, Mekarwangi, dan Sukaresmi). Namun, tingkat risiko tertinggi paling banyak terjadi pada Kecamatan Tanah Sareal. Hal ini terjadi karena kecamatan tersebut memiliki lereng yang paling landai di antara kecamatan lainnya.

3.2 Bencana Tanah Longsor

Bencana longsor merupakan bencana yang umum terjadi lokasi dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Selain memiliki curah hujan tinggi, intensitas hujan Kota Bogor juga termasuk tinggi sehingga terdapat beberapa lokasi yang termasuk rawan longsor. Wilayah yang terklasifikasi sebagai rawan longsor memiiki karakteristik intensitas curah hujan tinggi, lereng curah, tekstur tanah kasar, tanah yang tipis, dan penggunaan lahan yang didominasi oleh lahan terbangun.

Gambar 2. Peta Risiko Tanah Longsor Kota Bogor

Berdasarkan peta risiko bencana longsor Kota Bogor, dapat diketahui bahwa sebagian besar

wilayah Kota Bogor termasuk dalam kategori dengan potensi risiko sedang. Namun, risiko tinggi banyakterdapat pada Kelurahan Mulyaharja di Kecamatan Bogor Selatan. Hal ini terjadi karena wilayah tersebut memiliki intensitas curah hujan yang tergolong sedang (21-50 mm/jam) dan lereng sedang (20-50°). Bagian selatan Kota Bogor juga memiliki elevasi yang lebih tinggi dari pada bagian lainnya karena bagian selatan Kota Bogor semakin dekat dengan Gunung Salak. Keadaan ini kemudian

Pemetaan Risiko Bencana di Kota Bogor Tahun 2015 (Bencana Banjir, Tanah Longsor, Angin Puting Beliung, dan Kebakaran) (Ratnasari, D.S., dkk.)

-729-

menyebabkan bagian selatan Kota Bogor memiliki tanah yang kasar (memiiki banyak kerikil). Hal tersebut juga merupakan salah satu pendorong terjadinya bencana longsor.

3.3 Bencana Kebakaran Kebakaran juga merupakan bencana yang umum terjadi di Kota Bogor karena Kota Bogor

memiliki banyak perumahan padat seperti di daerah Bantar Jati. Parameter yang digunakan untuk mengetahui wlayah yang rawan banjir ini lebih kepada karakteristk blok bangunan itu sendiri, seperti kepadatan bangunan, pola bangunan, jenis atap bangunan, lokasi permukiman, lokasi sumber air, lokasi jalan masuk permukiman, kualitas jalan, dan kualitas bahan bangunan.

Gambar 3. Peta Risiko Kebakaran Kota Bogor

Peta risiko bencana kebakaran Kota Bogor menunjukkan bahwa risiko kebakaran tertinggi paling

banyak berada di permukiman padat pada Kelurahan Katulampa dan Cikaret. Kota Bogor memang memiliki banyak permukiman padat dan kepadatan permukiman merupakan salah satu variabel dengan bobot tinggi, namun bahaya bencana kebakaran tidak hanya ditentukan oleh kepadatan permukiman, tapi juga ada variabel lebar jalan, jarak dari jalan utama, dan jenis bahan bangunan yang merupakan variabel dengan bobot tinggi juga. Pada Kelurahan Tegalega, Babakan, Panaragan, Sukasari, dan Baranangsiang yang merupakan kelurahan yang memiliki banyak permukiman padat, tapi kelurahan-kelurahan tersebut termasuk dalam klasifikasi potensi risiko bencana sedang. Hal ini terjadi karena permukiman-permukiman yang ada pada kelurahan tersebut berada dekat dengan jalan utama, seperti Jalan Tol Jagorawi yang melewati kelurahan Tegalega dan Baranangsiang, Jalan Raya Pajajaran yang melewati Kelurahan Babakan, Tegalega, Baranangsiang, dan Sukasari, serta Jalan Veteran yang melewati Kelurahan Panaragan.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-730-

3.4 Bencana Angin Puting Beliung

Gambar 4. Peta Risiko Angin Puting Beliung Kota Bogor

Peta risiko Bencana Puting Beliung Kota Bogor menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah di

Kota Bogor memiliki potensi risiko tinggi bencana puting beliung. Wilayah yang rawan terkena bencana puting beliung adalah wilayah yang memiliki curah hujan tahunan tinggi, lereng yang curam, dan lahan terbuka yang luas. Karena Kota Bogor memiliki curah hujan tahunan yang tinggi dan sebagian besar wilayahnya berupa lahan terbuka atau permukiman, maka sebagian besar wilayah Kota Bogor merupakan wilayah dengan potensi tinggi bencana puting beliung. Namun, wilayah yang berpotensi risiko sedang hingga rendah banyak terjadi di Kecamatan Bogor Selatan, seperti di Kelurahan Genteng, Cipaku, Lawanggintung, Kertamaya, dan rancamaya. Hal ini terjadi karena kelurahan-kelurahan tersebut memiliki area lahan terbuka lebih sedikit dari pada kelurahan-kelurahan lainnya.

4. KESIMPULAN 1. Risiko bencana banjir tertinggi berada di Kelurahan Cibadak, Kebon Pedes, Kedungjaya, Kedung

Waringin, Kencana, Mekarwangi, dan Sukaresmi (Kecamatan Tanah Sareal); Bencana kebakaran cenderung terjadi di perumahan padat seperti di Kelurahan Bantarjati dan Katulampa (Kecamatan Bogor Timur); Risiko bencana tanah longsor dan angin puting beliung tertinggi terjadi di Kecamatan Bogor Selatan, yaitu di Kelurahan Mulyaharja dan Batutulis.

2. Daerah yang memiliki lebih dari satu klasifikasi risiko tinggi di wilayahnya adalah Kelurahan Mulyaharja di Kecamatan Bogor Selatan.

3. Bencana dengan luasan risiko tinggi terluas adalah bencana angin puting beliung.

Pemetaan Risiko Bencana di Kota Bogor Tahun 2015 (Bencana Banjir, Tanah Longsor, Angin Puting Beliung, dan Kebakaran) (Ratnasari, D.S., dkk.)

-731-

5. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bidang Fisik Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah

(BAPPEDA) Kota Bogor yang telah membantu penulis dalam penyediaan data. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko

Bencana UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Marfai, M.A, (2012).Modul Kuliah Pengelolaan Kebencanaan di Indonesia, Fakultas Geografi Universitas Gajdah

Mada, Yogyakarta. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016

Moderator : Dr. DedeDirgahayu JudulMakalah : Pemetaan Resiko Bencana di Kota Bogor Tahun 2015 (Bencana Banjir, Tanah

Longsor, Angin Putting Beliung, dan Kebakaran) Pemakalah : Dwi Santy (UGM) Diskusi :

Pertanyaan: Kadarsah (BMKG) 1. Mengapa kerentanan ekologi diperhitungkan paling besar? Pertanyaan: Nanda Alfuadi (STMKG) 2. Mengapa tidak ada variable jenis tanah pada kejadian longsor? 3. Terkait putting beliung mengapa hanya 3 variabel? Pertanyaan: Parwati (LAPAN) 4. Pengintegrasian parameter-parameternya bagaimana? Apakah skala reselusi spasial sudah disamakan? Jawaban: 1. Kerusakan ekologi merupakan gabungan dari pengurangan perluasan hutan lindung. Semakin

berkurangnya luas hutan lindung maka luas produktif semakin berkurang. Skoring dilakukan berdasarkan PERKA BNPB No. 20 Tahun 2012

2. Jenis tanah sudah dicantumkan, akan tetapi memiliki porsi pembobotan yang paling kecil. Pembobotan paling besarya itu berdasarkan jumlah kejadian yang sering terjadi di daerah tersebut

3. Putting beliung 3 variabel berdasarkan PERKA BNPB No. 20 Tahun 2012 4. Penyatuan semua parameter sudah disamakan resolusi spasialnya yaitu menggunakan worldview

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-732-

Pemanfaatan Data Fotogrametri-Berbasis-Drone untuk Mitigasi Bencana Tsunami (Studi Kasus: Painan, Kab.Pesisir Selatan, Sumatera Barat)

Application of Drone-based-Photogrammetry for Tsunami Mitigation Action

(Case Study: Painan, Pesisir Selatan Regency, Sumatera Barat)

Pandu Adi Minarno1*), Haunan Afif1, Mamay Surmayadi1, Akhmad Solikhin1, dan Juanda1

1Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK-Painan, ibukota Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat, merupakan daerah rawan tsunami karena terletak pada daerah pesisir barat Pulau Sumatera yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Oleh karena itu, daerah Painan ini membutuhkan strategi mitigasi bencana tsunami yang tepat. Data yang dibutuhkan antara lain, peta topografi detail, tutupan lahan area Painan yang terbaru, dan lokasi objek-objek vital dan strategis. Kami melakukan pemetaan topografi menggunakan metode fotogrametri dengan drone sebagai wahananya. Metode ini menghasilkan Digital Elevation Model (DEM) dan orthophoto dengan resolusi spasial mencapai 20 cm yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan mitigasi bencana tsunami. DEM ini merupakandata penting dalam pembuatan peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Tsunami yang digunakan sebagai data topografi detail untuk pemodelan landaan tsunami. Sedangkan model orthophoto memperlihatkan informasi tutupan lahan detail dan terbaru, seperti batas area permukiman dan vegetasi. Data ini dibutuhkan untuk menentukan zonasi nilai kekasaran berdasarkan tutupan lahan tersebut. Lokasi objek vital dan strategis pun dapat diidentifikasi dari model ini, yang nantinya dapat digunakan sebagai referensi dalam menentukan jalur evakuasi terbaik dan prioritas area evakuasi. Salah satu keuntungan metode ini yaknibiaya yang relatif lebih murah dan hasil yang didapat lebih cepat dibandingkan metode lain, misalnya dengan citra satelit. Kata kunci: painan,tsunami, fotogrametri, drone, topografi, peta KRB, tutupan lahan, DEM ABSTRACT–Painan, capital city of Pesisir Selatan Regency, Province of Sumatera Barat, is prone to tsunamis due to its location on the western coast of Sumatera Island, which is directly adjacent to the Indian Ocean. Therefore, Painan area requires proper strategies for tsunami disaster mitigation. Requirement data for that such as, detailed topographic map, updated land cover, and the location of vital and strategic objects in Painan. We have mapped the topography of Painan using photogrammetric methods with drone. This method generated a Digital Elevation Model (DEM) and orthophoto with spatial resolution up to 20 cm, which can be utilised in the tsunami disaster mitigation action in Painan. The DEM is the important data in the process of making Tsunami Hazard Mapthat use as detail topographic data for tsunami modelling. While orthophoto model shows detailed and updated land cover, such as a populated area and vegetation area. These data are needed to determine the roughness values, based on the zoning of each land cover. The location of vital dan strategic objects also can be identified from this model, which can be used, e.g. as a reference in determining the best evacuation route and the priority of the evacuation area. The advantages of this method are relatively lower cost and the results obtained faster than other methods, e.g. satellite imagery. Keywords: painan, tsunami, photogrammetry, drone, topography, hazard map, land cover, DEM

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang rawan bencana dilihat dari aspek geografis, klimatologis

dandemografis. Indonesia, secarageografis terletak di antara dua benua dan dua samudera, mempunyai potensi yang cukup bagus dalam perekonomian, namun rawandengan bencana. Secara geologis, Indonesia terletak pada 3 (tiga)lempeng yaitu LempengEurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik yang membuat Indonesia kaya dengan cadangan mineral, dan mempunyai dinamika geologis yang tinggi yang mengakibatkan potensi bencana gempa, tsunami dan gerakan tanah/longsor.

Pada Desember 2004, gempa dan tsunami telah menyebabkan kerusakan/kerugian yang sangat dahsyat, terutama di Aceh. Lebih dari 200 ribu orang tewas karena tsunami Aceh, karena itu tsunami Aceh dianggap sebagai tsunami paling mematikan dalam sejarah kejadian tsunami (Ristek, 2005). Daerah lain yang diperkirakan sebagai daerah rawan gempa dan tsunami terdapat di sepanjang pantai barat Sumatera dan pantai selatan Jawa. Berdasarkan kondisi tersebut, kegiatan mitigasi bencana

Pemanfaatan Data Fotogrametri-Berbasis-Drone untuk Mitigasi Bencana Tsunami (Studi Kasus: Painan, Kab.Pesisir Selatan, Sumatera Barat) (Minarno, P.A., dkk)

-733-

tsunami di Indonesia menjadi suatu keharusan dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk meminimalkan jumlah korban.

1.2 Rumusan Masalah

Salah satu kegiatan mitigasi bencana tsunami yang dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, adalah Pembuatan Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Tsunami. Dalam proses pembuatan peta ini dibutuhkan data topografi resolusi tinggi yang digunakan sebagai benchmark dalam proses pemodelan landaan tsunami agar model yang dihasilkan sedapat mungkin mendekati kondisi aslinya.

Permasalahan utama yang timbul yakniterbatasnya akses data/informasi topografi dari citra resolusi tinggi karena keterbatasan dana, sehingga data topografi yang digunakan adalah data dari citra resolusi rendah ataupun sedang, seperti Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:50.000 yang mempunyai interval kontur 25m, maupun data Digital Elevation Model (DEM) Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) yang memiliki resolusi 30m.

1.3 Tujuan

Berkembangnya teknologi drone belakangan ini, memberikan alternatif lain untuk mendukung kegiatan mitigasi bencana tsunami, tidak hanya untuk Pemetaan KRB, tapi dapat juga untuk kegiatan mitigasi bencana lainnya.

Pemanfaatandata fotogrametri berbasis drone untuk mitigasi bencana tsunami tidak terbatas hanya dalam Pemetaan KRB saja. Makalah ini bertujuan memberikan gambaran umum pemanfaatan data dronedalam kegiatan-kegiatan mitigasi bencana tsunami.

2. METODE

2.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Painan, yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Pesisir Selatan,

Sumatera Barat. Painan merupakan daerah rawan tsunami karena terletak pada daerah pesisir barat Pulau Sumatera yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Dari sejak 1612, Painan tidak memiliki sejarah tsunami yang disebabkan oleh gempa tektonik (Supartoyo, 2014).Namun beberapa kali Kabupaten Pesisir Selatan mengalami kerusakan akibat gempa, antara lain pada tahun 2004, 2007, dan terakhir disebabkan oleh gempabumi 6.5SR pada tanggal 2 Juni 2016 yang menyebabkan kerusakan di beberapa bangunan di Painan. Mengingat kejadian gempa itu selalu berulang di tempat yang sama, maka daerah Painan ini membutuhkan strategi mitigasi bencana tsunami yang tepat.

2.2 Peralatan

Kegiatan Pemetaan KRB Tsunami Painan ini menggunakan metode fotogrametri. Alat yang digunakan adalah satu set drone merk DJI Phantom III Advance yang memiliki kamera 12 megapixel, yang digunakan untuk pengambilan data fotogrametri; dan 3 set Global Positioning System (GPS) geodetik merk Trimble R8 yang digunakan untuk pengukuran Ground Control Point (GCP) di lapangan.

Gambar 1. Peralatan pada Kegiatan Pemetaan KRB Tsunami Painan. DJI Phantom III Advance (kiri), dan

GPS Geodetik Trimble R8 (kanan)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-734-

2.3 Landasan Teori

Digital Terrain Model (DTM)merupakan pendekatan dari sebagian atau seluruh permukaan yang dibentuk oleh titik-titik 2D dengan nilai ketinggian yang unik. Ketinggian pada DTM adalah jarak vertikal antara titik di model dengan permukaan referensi (misalnya, muka laut rata-rata, geoid, dan ellipsoid) atau datum geodetik. Titik-titik 2D yang diselaraskan dengan grid tertentu, biasanya mempunyai koordinat geodetik (lintang dan bujur), atau koordinat planar (Utara dan Timur) (Weibel dan Heller, 1991 dalam Hirt, 2015).

Sementara DTM mewakili tanah kosong di permukaan, Digital Surface Model(DSM) menampilkan ketinggian vegetasi dan objek buatan manusia (misalnya, bangunan). Dengan demikian penting untuk membedakan antara DTM dan DSM di daerah yang bervegetasi atau penuh dengan bangunan. Sebuah istilah yang terkait erat adalah Digital Elevation Model (DEM), yang terkadang diartikan sama dengan DTM, tetapi sering juga didefinisikan sebagai istilah umum untuk menggambarkan DTM dan DSM (Wood, 2008; Hutchinson dan Galant, 2009; Shinagre dan Kale, 2013). DEM sering digunakan untuk model elevasi dari penginderaan jauh (misalnya, radar atau fotogrametri). Model ini lebih cenderung sebagai DSM dibandingkan DTM, kecuali vegetasi dan bangunan ketinggian dihapus (Hirt, 2015).

Pemetaan foto udara menggunakan drone memberikan satu pilihan yang efisien untuk mendapatkan data citra foto/orthophoto, DEMserta untuk keperluan lainnya, seperti pemantauan tata guna lahan, pemantauan hutan dan lain sebagainya. Baru-baru ini, sistem Light Detection and Ranging (LIDAR) telah menjadi cara yang ampuh untuk menghasilkan DEM karena keuntungannya yang dapat mengumpulkan informasi tiga dimensi dengan sangat efektif di atas area yang luas (Polat & Uysal, 2015). Namun, kelemahan utama dari platform udara berawak seperti pesawat terbang terhitung mahal, terutama untuk bidang studi yang kecil. Selama dekade terakhir, penerbangan murah dengan menggunakan Pesawat Tanpa Awak/Unmanned Aerial Vehicle (UAV) banyak digunakan untuk mengatasi masalah ini, khususnya untuk keperluan pemetaan dengan resolusi spasial dan temporal yang tinggi. Saat ini, penggunaan UAV meningkat dari hari ke hari karena biaya yang relatif murah dengan penggunaan untuk inspeksi, pengawasan, pengintaian, dan pemetaan. Teknologi komputer dan teknologi pengolahan gambar digital telah dikembangkan dan pengembangan ini dapat menyediakan hingga melakukan proses ekstraksi baik secara otomatis atau semi-otomatis (Solikhin, 2016).

Secara definisi, fotogrametri adalah seni, ilmu pengetahuan dan teknologi pengumpulan informasi mengenai objek fisik dan lingkungan, melalui proses perekaman, pengukuran, dan menginterpretasi citra fotografik dan pola radiant energy elektromagnetik yang terekam serta fenomena lainnya. Tujuan utama dari pengolahan data fotogrametri adalah untuk menghasilkan titik awan tiga dimensi (3D) dan ter-georeferensi dari data citra udara yang tidak teratur dan bertumpang tindih (Siebert & Teizer, 2014). Prinsip kerja pemetaan fotogrametris adalah menggunakan dua buah atau lebih foto udara yang saling bertampalan, sehingga dari tampalan tersebut dapat dibuat bayangan tiga dimensi (Gambar 2). Model tiga dimensi ini dengan bantuan beberapa titik kontrol foto, yang biasa disebut Ground Control Point (GCP), kemudian diorientasikan sedemikian rupa sesuai model absolut sesuai dengan keadaan lapangan.

Gambar 2. Prinsip kerja fotogrametri untuk menghasilkan model 3 dimensi dari beberapa gambar foto untuk

objek yang sama namun dari beberapa sudut pengambilan gambar

Pemanfaatan Data Fotogrametri-Berbasis-Drone untuk Mitigasi Bencana Tsunami (Studi Kasus: Painan, Kab.Pesisir Selatan, Sumatera Barat) (Minarno, P.A., dkk)

-735-

Pengukuran GCP diperlukan agar DEM/DSM yang dihasilkan mempunyai sistem koordinat yang

jelas. Umumnya digunakan sistem koordinat dengan datum geodetik WGS 1984 yang merupakan sistem koordinat yang digunakan oleh GPS. Pengukuran GCP ini menggunakan GPS geodetik Trimble R8. Penyebaran dan jumlah GCP sangat menentukan kualitas dari DSM yang dihasilkan

Banyak perangkat lunak untuk mengolah foto udara, salah satunya yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Agisoft PhotoScan. Perangkat lunak ini terdepan dalam aplikasi UAV dan memungkinkan untuk menghasilkan permintaan orthophoto dalam sistem koordinat yang diinginkan. Untuk kinerja penuh pada perangkat lunak ini, dianjurkan untuk menggunakan komputer yang kuat karena jumlah besar data (Siebert & Teizer, 2014). Proses pengolahan data nya relatif mudah dengan tahap-tahap seperti pada diagram alir Gambar 2. Dimulai dengan memuat foto dari kamera ke komputer dan menghilangkan foto yang terdistorsi atau kabur. Foto udara kemudian diselaraskan dan dibangun geometrinya dengan menambahkan data koordinat GCP. Proses selanjutnya adalah membangun point cloud (awan titik) disebut juga titik-titik ketinggian yang merupakan satu set titik data dalam suatu sistem koordinat. Dari point cloud yang rapat (dense)dibuat DEM/DSM, yang nantinya menjadisumber data untuk pembuatan model orthophoto.

Gambar 3. Diagram Alir Kegiatan Pemetaan Topografi Menggunakan Metode Fotogrametri

3. HASILDAN PEMBAHASAN 3.1 Pengolahan Ground Control Point (GCP)

GCPyang disiapkan dan diukur di dalam area Painan ini sebanyak 27 titik. Satu titik GCP diukur menggunakan GPS geodetik selama 20 menit.Lokasi titik-titik GCP ini didisain dalam jarak yang konsisten satu sama lain, rata-rata berjarak 500m antar-titik, dan tersebar merata pada seluruh area pemetaan.Apabila area pemetaan merupakan area perbukitan, maka sebaiknya GCP ditempatkan di

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-736-

elevasi yang berbeda-beda. Ini semua adalah strategi pengukuran agar DSM yang dihasilkan memiliki akurasi yang tinggi, namun tetap membuat pekerjaan efisien.

Gambar 4. Lokasi Titik-titik GCP di Painan

Kumpulan GCP ini diukur dengan menggunakan titik referensi 'PAIN' yang berada di kantor Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pesisir Selatan. Titik referensi PAIN sendiri diolah secara daring oleh server Trimble Navigation System, sedangkan titik-titik GCP diolah menggunakan software Trimble Business Center.

Tabel 1. Daftar Koordinat Titik Referensi dan Titik GCP di Painan

Nomor Namatitik Koordinat UTM (zona 47S) Tinggi

ellipsoid (m) Standardeviasi (m)

Easting (m) Northing (m) Horizontal Vertikal Rata-rata 1 PAIN (ref) 675672.516 9850738.289 8.035 - - - 2 22_49_p01 674554.542 9851150.363 121.641 0.003 0.006 0.005 3 22_49_p02 674648.546 9850793.082 -2.241 0.003 0.006 0.005 4 22_49_p03 674186.160 9850451.228 -2.393 0.004 0.007 0.006 5 22_49_p04 674364.959 9850518.301 -2.090 0.004 0.006 0.005 6 22_49_p05 675027.139 9850565.135 -1.452 0.002 0.004 0.003 7 22_49_p06 675222.787 9851195.426 -1.957 0.004 0.008 0.006 8 23_49_p01 675205.839 9849956.974 -2.285 0.002 0.004 0.003 9 23_49_p02 675502.826 9850295.214 -0.825 0.002 0.003 0.003

10 23_49_p03 674877.066 9849119.883 3.121 0.003 0.005 0.004 11 23_49_p04 675908.810 9850438.115 -0.498 0.002 0.004 0.003 12 23_49_p05 675543.822 9850830.295 -0.895 0.003 0.007 0.005 13 23_49_p06 674883.212 9849307.634 3.759 0.003 0.005 0.004 14 23_50_p01 674303.428 9849016.416 -2.635 0.014 0.009 0.012 15 23_50_p02 675566.611 9851504.095 -0.358 0.002 0.004 0.003 16 24_49_p01 675910.367 9851102.821 -0.085 0.002 0.003 0.003 17 24_49_p02 676183.026 9851498.992 0.111 0.002 0.003 0.003 18 24_49_p03 676667.746 9850726.764 4.111 0.002 0.004 0.003 19 24_49_p04 676511.130 9851583.538 5.922 0.002 0.004 0.003 20 24_49_p05 676136.749 9851946.131 49.394 0.002 0.004 0.003 21 24_49_p06 674958.563 9851490.925 170.730 0.003 0.006 0.005 22 24_50_p01 676168.740 9850666.990 0.509 0.002 0.003 0.003 23 24_50_p02 676388.354 9851093.258 1.417 0.002 0.003 0.003 24 24_50_p03 677097.783 9850574.008 13.861 0.004 0.006 0.005 25 24_50_p04 676180.199 9851830.359 6.147 0.006 0.013 0.010 26 24_50_p05 675879.973 9851876.150 14.689 0.004 0.007 0.006 27 24_50_p06 675861.868 9851496.642 -0.558 0.002 0.004 0.003

Pemanfaatan Data Fotogrametri-Berbasis-Drone untuk Mitigasi Bencana Tsunami (Studi Kasus: Painan, Kab.Pesisir Selatan, Sumatera Barat) (Minarno, P.A., dkk)

-737-

28 24_50_p07 675169.627 9851733.597 202.783 0.006 0.010 0.008

3.2 Pengolahan Foto Udara Pengambilan data foto udara menggunakan drone dilakukan pada ketinggian 120 m dari permukaan

laut. Nilai overlap dan sidelap adalah 70%. Total foto yang berhasil diambil sejumlah 1.483 foto dengan luas area pemetaan sekitar 350 ha. Pengolahan foto udara ini menggunakan software Agisoft PhotoScan. Tahap pertama yakni menyelaraskan foto-foto tersebut sesuai dengan koordinatnya (align photo). Lalu setelah itu, agar DSM yang dihasilkan mempunyai georeference, titik-titik GCP yang terdapatpada model aligned photos tersebut harus ditempatkan tepat dengan posisi objek GCP tersebut di lapangan. Model ini masih berbentuk sparse cloud karena masih banyak titik-titik yang menyebar dan jarak antar titik masih renggang sebagaimana terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Model Aligned Photos Painan di Agisoft PhotoScan

Setelah GCP ditempatkan sesuai dengan posisinya di lapangan, langkah selanjutnya yakni membuat

Dense Point Cloud. Model ini dibuat berdasarkan estimasi posisi kamera dan informasi kedalaman (depth information) dari setiap foto yang akan dikombinasikan menjadi satu Dense Point Cloud. Tahap ini merupakan tahapan paling lama dalam pengolahan foto udara menjadi DSM, dan membutuhkan hardware dengan spesifikasi yang tinggi karenatahapan ini seringkali gagal terselesaikan (crashed)di tengah proses pekerjaanakibat kurangnya spesifikasi hardwareyang digunakan. Core i7 dengan RAM 16GB dan VGA dedicated 4GB adalah spesifikasi yang disarankan.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-738-

Setelah model Dense Point Cloud berhasil dibuat, masih terdapat beberapa area yang memiliki tingkat akurasi rendah sehingga pembentukan modelnya pun menjadi kurang akurat. Sebagian besar daerah penelitian ini merupakan area perairan, dan sebagian besar area perairan dihapus dari model, hasil pemotretan dapat dilihat di Gambar 6, dari gambar tersebut terlihat objek-objek di lapangan dengan cukup jelas. Jalan-jalan kecil pun masih dapat diidentifikasi dengan jelas.

Gambar 6.Cuplikan Dense Point CloudPainan

Pemanfaatan Data Fotogrametri-Berbasis-Drone untuk Mitigasi Bencana Tsunami (Studi Kasus: Painan, Kab.Pesisir Selatan, Sumatera Barat) (Minarno, P.A., dkk)

-739-

Setelah model Dense Point Cloud berhasil dibuat, selanjutnya dilakukan pembuatanDEM/DSM dengan menggunakan model Dense Point Cloud sebagai sumber data, dan orthophotodengan menggunakan DEM/DSM sebagai sumber data.

3.3 Pemanfaatan Data Foto Udaradari Dronedalam Mitigasi Bencana Tsunami 3.3.1 Data Topografi untuk Pemodelan Tsunami

Salah satu tahap dari pembuatan Peta KRB Tsunami adalah pemodelan. Pengerjaan pemodelan antara lain meliputi penyiapan daerah perhitungan, ekstraksi dan analisis data topografi.Input tersebut digunakan dalam pemodelan perambatan tsunami untuk mendapatkan data ketinggian tsunami dan jarak jangkauan gelombang dari garis pantai (Robiana, 2015). Data topografi yang biasanya digunakan yaknidata DEM SRTM dengan resolusi 30m. Berikut adalah perbandingan antara data SRTM dengan hasil DSM dari drone.

Gambar 7.Perbandingan Data DEM SRTM 30m (atas), dengan Data DSM dari Drone 20cm (bawah)

Dari gambar diatas, terlihat bahwa DSM dari drone memiliki tren topografi yang mirip dengan

data SRTM. Ini menunjukkan bahwa metode fotogrametri berbasis drone dapat menghasilkan data

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-740-

yang tidak hanya detail, namun juga data yang benar secara visual dan kualitatif. Ketersediaan data topografi detail yang sulit didapat menjadi salah satu isu dalam pembuatan Peta KRB Tsunami. Mahalnya harga data tersebut yang umumnya menjadi kendala. Sedangkan data topografi paling detail yang tidak berbayar sampai saat ini baru tersedia dalam resolusi 30m. Data DSM dari drone ini dapat menjadi salah satu alternatif sebagai input dalam pemodelan Peta KRB Tsunami.

Namun, perlu diingat bahwa area inundasi (rendaman) tsunami yang menggunakan DSM lebih kecil dibandingkan hasil pengamatan, sedangkan area rendaman hasil dari DTM lebih besar. Deviasi landaan tsunami antara DTM dan DSM cukup besar. (Griffin dkk, 2012). Oleh karena itu, dalam pemodelantsunami, input data topografi sebaiknya berformat DTM. Jadi data DSM diatas sebaiknya diolah menjadi DTM terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai input data topografi untuk pemodelan tsunami.

3.3.2 Data Kekasaran Tutupan Lahanuntuk Pemodelan Tsunami

Input lain pada saat pemodelan landaan tsunami adalahnilai Kekasaran Tutupan Lahan(Land Cover Roughness). Biasanya data tutupan lahan ini diambil dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) milik Badan Informasi Geospasial (BIG). Untuk area Painan, data ini tersedia dalam skala 1:50.000. Perbandingannya seperti ditunjukkan pada Gambar 8 dibawah ini.

Pemanfaatan Data Fotogrametri-Berbasis-Drone untuk Mitigasi Bencana Tsunami (Studi Kasus: Painan, Kab.Pesisir Selatan, Sumatera Barat) (Minarno, P.A., dkk)

-741-

Gambar 8.Perbandingan Data Tutupan Lahan BIG skala 1:50.000 (atas) dengan ModelOrthophoto dari

Drone Resolusi 20cm (bawah)

Efek kekasaran tutupan lahan dalam memengaruhi dinamika landaan tsunami di darat disorot oleh Imamura (2009), Leschka et al. (2009), dan Gayer et al. (2010), yang mengembangkan peta kekasaran (roughness map) untuk tiga lokasi lokal di Indonesia. Merekamenemukan bahwa kekasaran tutupan lahan memengaruhi cakupan genangan secara signifikan, dan oleh karena itu mereka mengusulkan untuk memperhitungkan efek ini seakurat mungkin (Kaiser dkk, 2011).

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-742-

Gambar 9.Overlap Data Tutupan Lahan BIG skala 1:50.000 denganModel Orthophoto dari Drone Resolusi 20cm Gambar 9 diatas menunjukkan bahwa model orthophoto yang dihasilkan dari drone ini

menampilkan data tutupan lahan yang lebih detail dan lebih baru dibandingkan data BIG. Terlihat area yang dikelilingi garis jingga adalah tutupan lahan yang berbeda diantara dua data tersebut. Beberapa area kosong/ladang teridentifikasi sebagai permukiman, sedangkan sepanjang area pantai yang teridentifikasi sebagai semak belukar telah menjadi area permukiman yang cukup padat. Perbedaan tutupan lahan ini sangat berpengaruh pada model landaan tsunami yang dihasilkan, apalagi sepanjang area pantai tutupan lahannya sudah berbeda sama sekali. Diharapkan dengan menggunakan data droneini, model tsunami yang dihasilkan akan semakin akurat.

3.3.3 Data Tutupan Lahan untuk Identifikasi Area Rawan Bencana

Model orthophoto yang menampilkan data tutupan lahan detail pun dapat dimanfaatkan dalam penyusunan jalur evakuasi dan zona aman tsunami. Objek vital dan strategis, seperti Rumah Sakit, area padat penduduk, area wisata pantai, dan Kantor Bupati dapat diidentifikasi pada model orthophoto ini. Lebar jalan pada area rawan tsunami pun bisa diidentifikasi apakah sudah cukup lebar untuk digunakan pada saat evakuasi tsunami atau belum.Model ini dapat menjadi salah satu referensi bagi penentuan jalur evakuasi, prioritas area evakuasi, dan zona aman tsunami.

Contohnya bisa dilihat pada Gambar 8, Pantai Carocok adalah lokasi yang padat penduduk karena merupakan lokasi wisata pantai, sebaiknya akses dari pantai menuju zona aman tsunami diperlebar dan diperbanyak karena dilihatdi model tersebut, akses jalan dari pantai menuju zona aman, masih terlalu kecil. Diharapkan dengan adanya data tutupan lahan yang terbaru dan detail, maka para pihak yang berwenang dalam penentuan kebijakan terkait bencana, mendapatkan data benar dan lengkap, agar langkah-langkah yang diambil, baik pada saat belum terjadi, pada saat, maupun setelah terjadinya bencana, efektif dan efisien.

4. KESIMPULAN

DSM yang dihasilkan dari drone memiliki resolusi sebesar 20cm dengan tren topografi yang mirip dengan data SRTM. Ini memerlihatkan bahwa metode fotogrametri berbasis drone dapat menghasilkan data yang tidak hanya detail, namun juga data yang benar.

Pemanfaatan Data Fotogrametri-Berbasis-Drone untuk Mitigasi Bencana Tsunami (Studi Kasus: Painan, Kab.Pesisir Selatan, Sumatera Barat) (Minarno, P.A., dkk)

-743-

Metode fotogrametri berbasis drone hanya dapat dilakukan di siang hari ketika cuaca tidak hujan. Metode ini pun hanya menghasilkan DSM karena tidak mampu memetakan topografi asli pada area vegetasi yang lebat. Sehingga untuk digunakan sebagai input pemodelan tsunami, harus diolah terlebih dahulu menjadi DTM.

Model orthophoto yang dihasilkan dari drone memiliki resolusi sebesar 20cm, dapat memberikan informasi tutupan lahan yang detail dan terbaru. Diharapkan dengan menggunakan data ini, model tsunami yang dihasilkan akan semakin akurat, terutama dalam zonasi nilai kekerasan (roughness value).

Objek vital dan strategis dapat diidentifikasi pada model orthophoto. Model ini dapat menjadi salah satu referensi bagi penentuan rute evakuasi, prioritas area evakuasi dan zona aman tsunami. Diharapkan dengan adanya data tutupan lahan yang terbaru dan detail, maka pihak pengambil kebijakan terkait bencana, mendapatkan data benar dan lengkap, agar langkah-langkah yang diambil, baik pada saat belum terjadi, pada saat, maupun setelah terjadinya bencana, efektif dan efisien.

Spesifikasi hardwareyang rendah dapat menjadi kendala dalam mengolah data hasil pemotretan menggunakandrone ini dalam pemodelan tsunami

5. UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih kepada pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pesisir Selatan atas segala bantuannya pada saat kegiatan penelitian di lapangan. Juga kepada Pak Andi Liputo dari Asosiasi Pilot Drone Indonesia (APDI) cabang Sumatera Barat atas bantuannya dalam pengambilan data foto udara di Painan, dan kepada Ibu Yustisi Ardhitasari dari Badan Informasi Geospasial (BIG) atas informasi terkait Peta Rupa Bumi Indonesia.

6. DAFTAR PUSTAKA

Griffin dkk., (2012). An evaluation of onshore digital elevation models for tsunami inundation modelling. Paper presented at the 2012 American Geophysical Union Fall Meeting, 3-7 December 2012, San Fransisco, USA.

Hirt, C., (2015), Digital Terrain Models. In: Encyclopedia of Geodesy (Ed. E.W. Grafarend), doi 10.1007/978-3-319-02370-0_31-1, Springer, Berlin, Heidelberg. Kaiser, G., Scheele, L., Kortenhaus, A., Løvholt, F., Romer, H., Leschka, S., (2011). The influence of land cover

roughness on the results of high resolution tsunami inundation modeling. Natural Hazards Earth System Sciences Journal, European Geosciences Union.

Robiana, R., Minarno, P.A., Omang, A., Suparan, R., (2015). Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Tsunami Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Bandung: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, KESDM.

Solikhin, A., Minarno, P.A., Junaedi, D., Putra, I.E., (2016). Penelitian Gempabumi Memicu Gerakan Tanah di Kabupaten Aceh Tengah, Aceh. Bandung: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, KESDM.

Supartoyo, (2014). Katalog Gempabumi Merusak di Indonesia 1612-2014.Bandung: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, KESDM.

Trisakti, B., Carolita, I., Nur, M. (2007). Simulasi Jalur Evakuasi untuk Bencana Tsunami Berbasis Data Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat).Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan data Citra Digital LAPAN, Vol 4, no.1.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator : Dr. M. Rokhis Khomarudin JudulMakalah : Penerapan Fotogrametri Menggunakan Drone pada Mitigasi Bencana Tsunami (Studi Kasus: Painan, Kab.Pesisir Selatan, Sumatera Barat) Pemakalah : Pandu Adi M (Kem. ESDM) Diskusi : Pertanyaan: Mahdi Kartasasmita, Ph.D. 1. Ini penelitian yang sangat ditunggu, mencari DEM yang teliti. Presenter mengatakan cakupan penelitian

350 hektar kira 36 km2, kalo seIndonesia di perlukan berapa drone? Pertanyaan: Dr. Dony Kushardono (LAPAN)

PemanfaatanData Fotogrametri-Berbasis-Drone Pada Mitigasi Bencana Tsunami (Studi Kasus: Painan, Kab.Pesisir Selatan, Sumatra Barat) (Minarno, P.A., dkk)

-744-

2. Mengukur ketinggian pada penelitian ini, akurasi sampai berapa? Kamera yang digunakan resolusi seperti apa, perencan terbang overlap nya berapa %?

Pertanyaan: Dr. M. Rokhis Khomarudin (LAPAN) 3. Tabel 1 itu, deviasi merupakan selisih antara pengukuran atau bukan?

Jawaban: 1. Kelemahan penelitian dengan drone ini memang cakupan kecil.kalo untuk penelitian seluruh Indonesia,

tentunya diperlukan banyak drone dan waktu yang lama. Karena drone ini punya asosiasi pilot drone, jadi kita bisa melakukan korespondensi dengan mereka untuk melakukan kerjasama atau melakukan pemetaan secara berkoordinasi.

2. Perencanaan Overlapnya 70 %, penelitian berikutnya direncanakan 80 sampai 90%. Untuk ketelitian di software ketelitian horizontal sekitar di orde cm, vertical juga cm tapi lebih tinggi. Masih didalami dalam akurasi. Jika di kroscek dg data SRTM pas aja. Masih mencari metode.

3. Ketelitian masing masing GCP dari pengolah dari data GPS.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-745-

Aplikasi Penerapan Algoritma Nunohiro untuk Mendeteksi Area Terbakar di Wilayah Kalimantan Barat

Analyzis of Nunohiro Algorithm Application for Detecting Burnt Area

in West Kalimantan

Mirzha Hanifah1*), Lailan Syaufina2, dan Indah Prasasti3

1Program Studi Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana IPB 2Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB

3Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK - Penelitian ini mengaplikasikan sebuah metode deteksi area bekas kebakaran hutan melalui diagram algoritma yang digunakan oleh Nunohiro dkk. (2007) dengan memanfaatkan data citra MODIS. Diagram algoritma tersebut memasukkan dua index baru yaitu MNDFI (Modified Normalized Difference Fire Index) yang merupakan modifikasi dari indeks NDFI (Normalized Difference Fire Index) dengan memanfaatkan kanal NIR (Near Infrared) dan SWIR (Short Infrared), dan NTI (Normalized Thermal Index) yang merupakan kombinasi dari kanal thermal citra MODIS, serta beberapa variabel nilai reflektansi kanal spektral citra MODIS. Penggunaan diagram algoritma ini dimaksudkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dalam mendeteksi area kebakaran hutan dan lahan dengan mengurangi dampak awan, asap, serta badan air yang dihasilkan dari kanal spektral MODIS. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan algoritma Nunohiro untuk mendeteksi area bekas kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan Barat. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa MNDFI memiliki kemampuan yang baik dalam memisahkan piksel lahan terbakar dengan tidak terbakar, hal ini ditunjukkan oleh nilai Distance (D) yaitu sebesar 7.792. Namun, hasil identifikasi melalui model diagram algoritma memiliki akurasi yang rendah (21.8%). Meskipun demikian, algoritma Nunohiro tersebut sangat mungkin untuk diterapkan di wilayah Indonesia dengan melakukan penyesuaian kembali terhadap fixed threshold yang digunakan dalam diagram algoritma tersebut. Hal ini ditujukan agar lebih sesuai dengan karakteristik kebakaran hutan dan lahan di wilayah Indonesia.

Kata kunci:MNDFI, MODIS, NTI

ABSTRACT - This study applied a method of burnt area detection using algorithms diagram which derived from MODIS image data. The algorithms diagram includes two new indices, MNDFI (Modified Normalized Difference Fire Index), which is a modification of NDFI (Normalized Difference Fire Index) which utilizes channel NIR (Near Infrared) and SWIR (Short Infrared), and NTI (Normalized Thermal Index) which is a combination of MODIS thermal image, as well as some variable spectral reflectance values. The point of using this algorithm diagram to get better results in detecting burnt area by reducing the impact of clouds, smoke, and water bodies resulting from MODIS spectral band. The purpose of this study to detect burnt area in Kalimantan Barat. Results of previous studies showed that MNDFI have good skills in separating pixels with the fire does not burn, it is indicated by the Distance value that is equal to 7.792. Furthermore, the identification results through algorithms diagram models have a low accuracy (21.8%) but likely to be implemented in Indonesia with the adjustment back to the fixed threshold algorithm used in the diagram to better suit the characteristics of the land and forest fires in Indonesia.

Keywords: MNDFI, MODIS, NTI

1. PENDAHULUAN Salah satu penyebab degradasi dan deforestasi selain adanya kegiatan pembalakan, perambahan, dan

penambangan liar, juga disebakan kejadian kebakaran hutan dan lahan. Tercatat kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang hebat terjadi pada tahun 1997-1998 yang menghanguskan lahan hutan sekitar 45000 km2 di Sumatera dan Kalimantan dan menjadi isu lingkungan dan ekonomi (Tacconi, 2003; Siegert,dkk., 2001). Kebakaran juga memainkan peran penting dalam menentukan struktur dan komposisi dari ekosistem hutan (Franklin,dkk., 2002; Turner, 2010). Beberapa tahun terakhir, penelitian terkait dampak dari kejadian kebakaran hutan dan lahan semakin meningkat (Dwyer,dkk., 2000). Dampak kebakaran hutan dan lahan merupakan sumber utama dari polusi yang dapat mempengaruhi kondisi atmosfer dan iklim (Tansey, 2008). Kebakaran hutan dan lahan di daerah tropis seringkali terjadi untuk penyiapan lahan peladangan berpindah atau dikonversi menjadi peternakan (Crutzen dan Andreae, 1990).

Aplikasi Penerapan Algortima Nunohiro untuk Mendeteksi Area Terbakar di Wilayah Kalimantan Barat (Hanifah, M dkk)

-746-

Pemerintah Indonesia dalam menanggapi kejadian kebakaran hutan dan lahan telah melakukan upaya pengendalian mulai dari deteksi dini kejadian kebakaran, penyuluhan, pemberian insentif bagi mereka yang dapat mengurangi kegiatan pembakaran, pengadaan alat pemadaman, hingga pembentukan kelompok-kelompok “peduli api” untuk bersama mencegah dan mengurangi kejadian kebakaran. Namun demikian, upaya tersebut masih memiliki beberapa kendala teknis lapangan salah satunya seperti sulitnya menjangkau lokasi kebakaran saat pemadaman dan menyebabkan kebakaran semakin luas dan berlangsung lama.Kondisi ini juga menyebabkan perhitungan luas area bekas kebakaran diduga dilakukan dengan perkiraan, sehingga akurasinya sangat dipertanyakan. Data luas area bekas kebakaran hutan dan lahan sangat penting dan dapat digunakan sebagai acuan kegiatan rehabilitasi, penegakan hukum bagi pemerintah, hingga estimasi emisi karbon, khususnya dalam perubahan stok karbon. Selanjutnya, upaya untuk mendapatkan data yang akurat dan mengatasi beberapa kendala yang dihadapi di lapangan diperlukan teknologi yang memadai, salah satunya dengan memanfaatkan data penginderaan jauh seperti citra resolusi sedang MODIS. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh menjadi solusi yang tepat untuk pemantauan dan pengukuran dampak kebakaran hutan dan lahan dalam cakupan wilayah yang luas (Miettinen, 2007; Prasasti,dkk.,2012). Selain cakupan wilayah yang dipetakan lebih luas, penginderaan jauh juga memberikan waktu pemantauan yang lebih near real-time dibandingkan menggunakan data observasi lapangan (Prasasti,dkk., 2012).

Hingga saat ini hotspot masih dipercaya sebagai alat deteksi kebakaran hutan dan lahan (Prasasti,dkk., 2012). Namun dalam pemanfaatannya, lebih lanjut Prasasti, dkk. (2012) menyatakan bahwa banyaknya jumlah hotspot yang terdeteksi tidak selalu mencerminkan makin luasnya kebakaran yang terjadi karena ditemukan pada terjadinya kebakaran yang sangat luas tidak terdapat hotspot. Oleh karena itu sebagai alternatif lainnya, saat ini dikembangkan beberapa metode identifikasi menggunakan beberapa variabel yang diturunkan dari nilai pantulan atau reflektansi sebuah kanal spektral maupun indeks yang merupakan kombinasi dari beberapa nilai pantulan kanal spektral. Hal ini bertujuan agar mendapatkan hasil identifikasi yang lebih baik dibandingkan dengan data observasi lapangan maupun estimasi dengan hotspot.

Penelitian ini mengkaji pemanfaatan data MODIS untuk identifikasi area bekas kebakaran hutan dan lahan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Nunohiro,dkk. (2007) yaitu dengan diagram algoritma. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan sebuah metode baru yang lebih baik dalam mengidentifikasi area bekas kebaran hutan dan lahan.

2. METODE 2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil wilayah Kalimantan Barat yang memiliki luas mencapai 146.807 km2 atau sekitar 7.53% dari luas Indonesia dan secara astronomis terletak pada 2°05’ LU dan 3°05’ LS serta di antara 108°30’-114°10’ BT. Pembagian daerah administrasi Provinsi Kalimantan Barat seperti pada Gambar 1 meliputi 14 pemerintahan kabupaten/kota, yaitu: Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kota Pontianak, dan Kota Singkawang. Hutan produksi terbatas merupakan kawasan hutan yang memiliki luasan paling besar di provinsi ini. Sebagain besar hutan mangrove di provinsi ini sudah menjadi hutan mangrove sekunder dan hanya sekitar 0.81% dari luas provinsi tersisa hutan mangrove primer.

2.2 Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: data reflektansi citra MODIS kanal 2 yang beresolusi spasial 250m, kanal 3, 5, 6, dan 7 yang beresolusi spasial 500m, serta kanal 21 dan 32 yang beresolusi spasial 1000m, citra Landsat 8 dengan nomor path/row 122/60 (21 Maret 2014), 121/61 (9 September 2015), dan data hotspots NASA FIRMS (https://firms.modaps.eosdis.nasa.gov) untuk wilayah Kalimantan Barat periode 2014.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-747-

Gambar 1. Peta Batas Administrasi Provinsi Kalimnatan Barat

2.3 Metode Analisis 2.3.1 Pengumpulan dan pengolahan awal data

Data citra MODIS dan Landsat diakuisi dan diproses awal sebelum diturunkan menjadi nilai reflektansi dan indeks menggunakan peralatan dari LAPAN. Proses awal yang dimaksud adalah koreksi geometrik. Rentang waktu untuk perekaman citra MODIS dan Landsat 8 yang akan dianalisis didasarkan pada periode kebakaran yang terjadi pada tahun 2014 yaitu sekitar bulan Januari-April.

2.3.2 Ekstraksi indikator luas kebakaran hutan dan lahan dari citra MODIS

Penghitungan indeks indikator luas kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh Nunohiro,dkk. (2007). Identifikasi area bekas kebakaran menggunakan model ini menggunakan fixed threshold dan beberapa syarat kondisi yang secara rinci dijelaskan pada Gambar 2.

Gambar 2.Diagram algoritma dalam identifikasi area bekas kebakaran hutan dan lahan (Nunohiro,dkk., 2007)

Aplikasi Penerapan Algortima Nunohiro untuk Mendeteksi Area Terbakar di Wilayah Kalimantan Barat (Hanifah, M dkk)

-748-

Nunohiro,dkk.(2007) menggunakan indeks MNDFI untuk mengidentifikasi area bekas kebakaran hutan dan lahan sebagai modifikasi dari indeks NDFI.Selain menggunakan NDFI dan MNDFI, Nunohiro,dkk. (2007) juga menggunakan indeks thermal NTI (Normalized Thermal Index). Tujuan dari NTI adalah untuk menemukan lokasi yang memiliki suhu sangat tinggi seperti titik panas atau gunung merapi. NTI dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut (Nunohiro,dkk., 2007): NTI 21_32 = (Kanal 21 – Kanal 32) / (Kanal 21 + Kanal 32)..................................................................(1)

Gambar 2 menjelaskan beberapa syarat kondisi dalam mengidentifikasi area bekas kebakaran hutan

dan lahan yaitu sebagai berikut: Kondisi 1 (Ekstraksi area terbakar berdasarkan suhu tinggi)

Data kanal 7 terdiri dari reflektansi maupun faktor-faktor radiasi yang efektif dalam mengekstraksi area bersuhu tinggi.Kebakaran hutan terbakar pada suhu lebih dari 1000°C. Oleh karena itu, piksel dengan nilai kanal 7 dan MNDFI yang tinggi akan terekstraksi.

Kondisi 2,3 (Ekstraksi area dengan peluang kebakaran yang tinggi) Kondisi 2 dan 3 mengekstraksi wilayah terbakar yang suhunya relatif rendah serta untuk area dengan campuran antara vegetasi yang terbakar dan tidak terbakar dalam satu piksel. Kanal 2 dan 3 digunakan dalam kondisi tertentu untuk menghapus data yang terdispersi asap. Kanal 5 dan 6 digunakan dalam kondisi tertentu untuk data yang terdispersi awan.

Kondisi 4,5 (Ekstraksi area kebakaran yang tidak dapat terektrasi pada kondisi 1) NTI digunakan untuk area bersuhu tinggi yang memiliki pembacaan nilai kanal 3 yang lebih tinggi dari kanal 2 yang disebabkan oleh dispersi asap. Asap memiliki pengaruh yang kecil dalam pembacaan NTI. Namun demikian, resolusi NTI hanya 1 km sehingga resolusi spasial NTI lebih rendah dari kanal 7.

2.3.3 Analisis tingkat akurasi hasil identifikasi area bekas kebakaran hutan dan lahan

Tingkat akurasi dihitung dengan membandingkannya dengan data referensi atau area pembanding yang menggunakan hasil deteksi area bekas kebakaran yang diolah dari citra Landsat 8. Suwarsono (2012) menjelaskan tingkat akurasi area bekas kebakaran hutan dan lahan dapat diketahui dengan menghitung nilai ICSI (Individual Classification Success Index) yaitu menggunakan persamaan yang diadopsi dari Koukoulas dan Blachburn (2001) sebagai berikut:

ICSI = 1 – Error of Omm% + Error of Comm%......................................................................................(2)

Keterangan: ICSI = Individual Classification Succses Index Omm = Area terbakaryang masuk ke kelas lain Comm = Area terbakartambahan dari kelas lain

3. HASILDAN PEMBAHASAN MNDFI merupakan sebuah indeks yang dikembangkan oleh Nunohiro,dkk. (2007) sebagai modifikasi

dari NDFI yang bertujuan untuk mengurangi pengaruh awan atau asap yang dapat ditimbulkan dari kanal 7 MODIS. MNDFI maupun NDFI memanfaatkan kanal 2 (spektrum panjang gelombang inframerah dekat/Near Infra Red (NIR); 0.841-0.876 µm) yang berkorelasi tinggi dengan jumlah klorofil dan kanal 7 (spektrum panjang gelombang inframerah pendek/Short Wave Infra Red (SWIR); 2.105-2.155 µm) yang berkorelasi dengan peningkatan suhu (Nunohiro,dkk., 2007). Berdasarkan hasil penelitian penulis sebelumnya kedua indeks tersebut dapat dengan baik membedakan area bekas kebakaran dengan tidak terbakar serta penambahan 5% dalam algortima NDFI sebelumnya membuat MNDFI lebih tegas terhadap pengaruh awan dan badan air.

Nunohiro,dkk. (2007) mengembangkan MNDFI ke dalam diagram algoritma untuk mendeteksi kebakaran hutan dan lahan. Hasil identifikasi area bekas terbakar ditunjukkan oleh Gambar 3. Diagram algortima ini menggunakan fixed threshold (nilai tetap) yang dimasukkan pada beberapa kondisi untuk mengesktraksi piksel area bekas terbakar. Selanjutnya, selain MNDFI, pada diagram algortima ini menambahkan variabel lain seperti nilai reflektansi kanal 2 dan 3 untuk mengurangi dampak asap, kanal 5 dan 6 untuk membedakan asap dengan awan, serta satu indeks tambahan yaitu Normalized Thermal Index (NTI). NTI merupakan indeks thermal yang memanfaatkan nilai reflektansi kanal Mid-Infra red (MIR) dan Thermal Infrared (TIR) MODIS.Tujuan dari NTI adalah untuk menemukan lokasi yang memiliki suhu tinggi seperti titik panas.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-749-

Perbedaan NTI dengan hotspot terletak pada threshold yang digunakan.Hotspot menggunakan threshold yang didasarkan pada suhu kebakaran yaitu 360K untuk siang hari dan 320K untuk malam hari sebelum menjadi sebuah produk active fire MODIS. Deteksi hotspot memiliki beberapa kelemahan utama seperti bias yang disebabkan oleh kombinasi kegiatan pembakaran regional, waktu lintas satelit (Eva dan Lambin, 2000), dan bahkan masalah dengan tutupan awan yang berbahaya pada area tropis seperti Indonesia yang sering kali tertutup awan dalam jangka waktu yang panjang (Miettinen, 2007; Tansey,dkk., 2008). Selain itu, pada pemetaan area bekas terbakar, hotspot kurang berpotensi untuk mengestimasi luasan kebakaran karena ketidakmampuannya mengukur proporsi total area yang dipengaruhi kebakaran. Sebuah piksel berukuran 1 km2, dapat jenuh oleh kebakaran tidak lebih dari 0.001 km2 sehingga mengarah pada ketidakpastian tentang ukuran luas area bekas terbakar.Tansey,dkk. (2008) merangkum dari beberapa penelitian yang mengestimasi luas area bekas kebakaran menggunakan pendekatan hotspot dan menemukan bahwa rata-rata luasan area bekas kebakaran dari satu hotspot berbeda-beda untuk setiap peneliti. Wotawa,dkk. (2006) menyarankan bahwa setiap hotspot sebanding dengan luas area terbakar sebesar 180 ha pada hutan boreal, hampir dua kali lipat yang disarankan oleh Li dkk. (2000) yang menyarankan sebesar 100 ha pada tipe hutan yang sama. Hotspot seringkali dijadikan pendekatan untuk mengestimasi luasan area bekas terbakar karena masih kurangnya informasi yang tersedia.

Gambar 3. Hasil Identifikasi Menggunakan Diagram Algortima Nunohiro, dkk. (2007)

Hasil identifikasi menggunakan diagram algoritma Nunohiro,dkk. (2007) memiliki tinggkat akurasi sebesar 21.8%. Tingkat akurasi ini masih terbilang rendah karena dijumpai adanya komisi (commision) dan omisi (ommision), yaitu daerah lain yang tidak terbakar yang ikut terdeteksi sebagai area terbakar atau daerah yang sebenarnya terbakar namun tidak terdeteksi sebagai area terbakar. Adanya eror tersebut terkait dengan resolusi spasial kanal citra MODIS yang digunakan pada algoritma.

Miettinen (2007) menjelaskan bahwa luasan terkecil area terbakar yang masih dapat terdeteksi dengan model dari kanal citra 2 dan 7 MODIS berkisar 6.25 hingga 25 ha. Secara faktual, area terbakar yang terdeteksi pada resolusi spasial 500 meter (luasan 25 ha) tidak berarti bahwa seluruh piksel merupakan area terbakar, kemungkinan hanya merupakan area terbakar kecil atau fraksi-fraksi kecil area terbakar yang berukuran kurang dari 25 ha yang terdeteksi sebagai area terbakar satu piksel penuh yang berukuran 25 ha.Demikian pula area terbakar yang terdeteksi pada resolusi spasial 250 meter (luasan 6.25 ha). Selanjutnya karena perbedaan nilai yang kuat antara area terbakar dengan tidak terbakar, meskipun hanya memiliki luasan 40% atau kurang dari ukuran satu piksel, daerah tersebut dapat terdeteksi sebagai area terbakar (Eva dan Lambin, 1998). Daerah tropis Asia Tenggara banyak dijumpai adanya kebakaran-kebakaran kecil berukuran kurang dari 25 ha yang dilakukan oleh masyarakat atau pengusaha kecil (Suwarsono, 2012). Hal ini didukung oleh data observasi lapangan dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Kalimantan Barat bahwa banyak ditemukan kebakaran berukuran kurang dari 10 ha. Selain itu keterbatasan data juga menjadi salah satu persoalan sehingga tanggal perekaman citra MODIS dengan Landsat yang digunakan

(a) Citra MODIS komposit RGB 621 tanggal 4 Februari 2014

(b) Hasil identifikasi menggunakan diagram algoritma (hotspot ditunjukan oleh titik merah)

Aplikasi Penerapan Algortima Nunohiro untuk Mendeteksi Area Terbakar di Wilayah Kalimantan Barat (Hanifah, M dkk)

-750-

dalam penelitian ini tidak sama namun masih berdekatan, sehingga memungkinkan adanya penambahan area kebakaran di antara selang waktu antara citra tersebut.

4. KESIMPULAN Hasil identifikasi melalui diagram algoritma walaupun memiliki akurasi yang terbilang rendah (21%)

namun mungkin untuk diterapkan di wilayah Indonesia untuk menunjukkan lokasi sumber kebakaran yang sebenarnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyarankan perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap fixed threshold yang digunakan dalam diagram algortima yang dikembangkan oleh Nunohiro,dkk. (2007) agar lebih sesuai dengan karakteristik kebakaran hutan dan lahan di wilayah Indonesia.

5. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan terima kasih dan apresiasi tertinggi kepada pihak Lembaga Penerbangan dan

Antariksa Nasional (LAPAN) yang telah memfasilitasi penulis utama dalam melakukan penelitian, terutama kepada Suwarsono, M.Si yang telah membantu dalam pengumpulan dan pengolahan data.

DAFTAR PUSTAKA Crutzen, P.J., dan Andreae, M.O., (1990).Biomass burning in the tropics: Impact on atmospheric chemistry and

biogeochemical cycles. Science, 250:1669-1679. Dwyer, E., Pinnock, S., Gregoire, J.M., dan Pereira, J.M.C., (2000).Global spatial and temporal distribution of

vegetation fire as determined from satellite observations. Remote Sensing, 21: 1289-1302. Eva, H., dan Lambin, E.F.,(1998).Remote sensing of biomass burning in tropical regions: sampling issues and

multisensor approach. Journal Remote Sensing of Environment, 64:292-315. Eva, H., dan Lambin, E.F.,(2000). Fires and land-cover change in the tropics: A remote sensing analysis at the

landscape scale. J Biogeography. 27:765-776. Franklin, J.F., Lindenmayer, D.B., Thronburgh, D.A., Van, P.R., Chen, J., Spies, T.A., dan Bible, K., (2002).

Disturbance and structural development of natural forest ecosystems with silvicultural implications, using Douglas-fir forest as an example. For.Ecol.Manage. 155 (1-3): 399-423.

Koukoulas, S., dan Blackburn, G.A. (2001). Introducing new indices for accuracy evaluation of classified images representing semi-natural woodland environments. J Photogrammetric Engineering and Remote Sensing. 67(6):499-510.

Li, Z., Nadon, S., dan Cihlar, J., (2000). Satellite-based detection of Canadian boreal forest fires: Development and application of the algorithm. Remote Sensing, 21: 3057-3069.

Miettinen, J.,(2007).Burnt area mapping in insular Southeast Asia using medium reolution satellite imagery. Disertasi. University of Helsinki, Finland.

Nunohiro, E.,Katayama, K.,Mackin, K.J., dan Park, J.G., (2007). Forest and field fire search system using MODIS data. Journal of Advanced Computational Intelligence and Intelligent Informatics, 11(8):1043 – 1048.

Prasasti, I., Boer, R., Ardiyansyah, M., Buono, A., Syaufina, L., dan Vetrita, Y. ,(2012). Analisis hubungan kode-kode SPBK (Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran) dan hotspot dengan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah.JPSL,2(2):91-101.

Siegert, F., Ruecker, G., Hinrich, A.,dan Hoffman, A.A. (2001). Increased damage from fires in logged forest during droughts caused by El Nino. Nature, 414: 437-440.

Suwarsono (2012).Daerah bekas kebakaran hutan dan lahan (burned area) di Kalimantan. Thesis, Universitas Indonesia, Depok.

Tacconi, L., (2003). Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya, dan Implikasi Kebijakan. CIFOR Occasional Paper No 28.

Tansey, K., Beston, J., Hoscilo, A., Page, S.E., dan Paredes Hernandez, C.U., (2008). Relationship between MODIS fire hot spot count and burned area in a degraded tropical peat swamp forest in Cnetral Kalimantan, Indonesia. Geophys, 113.

Turner, M.G., (2012). Disturbance and landscpae dynamics in a changing world. Ecology, 91: 2833-2849. Wotawa, G., DeGeer, L.E., Becker, A., D’Amours, R., Jean, M., Servranckx, R., dan Ungar, K. (2006). Inter- and intra-

continental transport of radioactive cesium released by boreal forest fires. Geophys, 31.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator : Parwati Judul Makalah : Aplikasi Penerapan Algoritma Nunohiro untuk Mendeteksi Area Terbakar di

Wilayah Kalimantan Barat

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-751-

Pemakalah : Mirza Hanifah (IPB) Diskusi : Pertanyaan: Suwarsono (LAPAN): Bagaimana kondisi lingkungan geografis daerah yang dikaji, apakah dapat dijelaskan jenis tanahnya, kedepannya mungkin bisa mempertajam bila dilihat kondisi yang berbeda baik beda land cover atau beda zona klimatologis untuk member pemahamaman lebih terhadap peningkatan akurasi dari model-model deteksi Jawaban: Land cover Kalimantan Barat didominasi lahan gambut sekunder, dioverlay dengan tutupan lahan sebagian besar ditemukan di lahan pertanian, saran untuk penelitian harus ada pembandingan antara lahan yang didominasi tanah gambut dengan tanah mineral, Untuk Kalimantan Barat didominasi oleh tanah gambut, mungkin nanti harus ada pembedaan, dari threshold sudah ditetapkan dari nunohiro dan sudah fix threshold, itu mungkin yang membuat akurasi hasil hanya 21%, jika threshold disesuaikan dengan karekteristik di wilayah Indonesia untuk tanah gambut, tanah mineral mungkin akan lebih tinggi akurasinya. Pertanyaan: Parwati (LAPAN): Komparasi citra hasil aplikasi nunohiro dan citra RGB, apakah warna merah merupakan daerah yang teridentifikasi daerah terbakar sedangkan daerah tersebut berada pada warna biru di citra RGB, sebaiknya ada legenda warna untuk penulisan dan dikonfirmasi untuk daerah yang teridentifikasi daerah terbakar; Di kesimpulan metode algoritma nunohiro terbilang rendah untuk diterapkan di wilayah Indonesia sedangkan daerah yang dianalisis hanya Kalimantan Barat, sebaiknya pada kesimpulannya dinyatakan hanya untuk wilayah Kalimantan Barat sesuai daerah yang dikaji. Jawaban: Kotak warna merah bata letaknya lebih keatas yang merupakan daerah identifikasi terbakar, (saran bu parwati: perlu diperhatikan skala untuk menampilkannya dalam makalah dan power point), kesimpulan akan dibatasiu ntuk wilayah Kalimantan Barat

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-752-

Teknologi UAS dan Teknik Fotogrametri dalam Evaluasi Material Vulkanik Paska Erupsi Kelud 13 Februari 2014

UAS Technology and Photogrammetry in Evaluation of Vulcanic Material

After Kelud Eruption 13 Februari 2014

A. Heriwaseso 1*), A. Diefenbach2), N.A. Afatia1), Weningsulistri 1), C.M. Firmansyah1), dan Y. Kristiawan1)

1) Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi – BADAN GEOLOGI 2) United State of Geological Survey (USGS)

*)Email: [email protected] ABSTRAK - UAS (Unmanned Aerial System) merupakan terobosan peralatan baru dalam pemetaan dan evaluasi potensi bencana geologi yang efektif dan efisien berbiaya murah. Metode yang digunakan adalah Teknik Fotogrametri. Pemanfaatan teknologi UAV dengan teknik fotogrametri digunakan dalam pemantauan dan pemetaan geologi, kajian-kajian gerakan tanah, tsunami, gempabumi dan gunungapi. Khusus dalam gunungapi antara lain digunakan dalam pemetaan topografi puncak/kawah, area sebaran potensi bahaya, area landaan bencana, perubahan morfologi, perhitungan volume kubah atau material vulkanik, pembuatan DEM (Digital Elevation Model), dan pemodelan produk vulkanik. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi memanfaatkan teknik fotogrametri pembuatan DEM dan menghasilkan bentuk topografi kawah baru. Dengan menggunakan Phanton DJI II dilengkapi camera gps 14MP dilakukan pemetaan topografi puncak G. Kelud paska erupsi 13 Februari 2014. Hasilnya adalah mendapatkan DEM kawah 2016 dengan luasan genangan/danau kawah 2016 adalah 92.702 m2. Hasil perhitungan volume yang hilang dari kawah sebesar 47.651.165 m3 dan material vulkanik yang terendapkan di area kawah sebesar 66.576.309 m3 paska erupsi G. Kelud. Lebih lanjut DEM dapat digunakan sebagai dasar pemodelan atau simulasi bahaya produk gunungapi. Tahapan pembuatan GCP, pengambilan Foto, dan pekerjaan Studio merupakan tahapan dalam mendapatkan hasil DEM resolusi 20 cm yang dapat digunakan untuk analisis lebih jauh. Output yang dihasilkan adalah melakukan evaluasi potensi bencana berupa hasil perhitungan luas dan volume material vulkanik hasil erupsi 2014 dan Outcame berupa rekomendasi ke pemerintah daerah serta masyarakat dalam usaha mitigasi bencana gunungapi. Kata kunci: UAV, Fotogrametri, Topografi, Mitigasi ABSTRACT - UAS (Unmanned Aerial System) is a breakthrough new system not only effective and efficient approch for mapping and do evaluation of potential geological disasters but also low cost. The method used is Photogrammetry. Utilization of UAV technology with photogrammetry techniques can beused in monitoring and mapping of geology, landslide, tsunami, earthquakes, and volcanoes studies. Application on volcanoes studies used in topographic mapping of crater, distribution of potential hazards area, disaster areas, changes of morphology, volume of lava dome calculation or, built DEM (Digital Elevation Model), and modeling of volcanic products. Center for Volcanology and Geological Hazard Mitigation used photogrammetric techniques to built DEM and produce new crater topography. By using Phanton DJI II with 14MP camera GPS, team trid to map Kelud crater after February 13, 2014 eruption. The goal is to get the latest DEM 2016 crater morphology of Kelud and calculate area of lake is 92.702 m2. Result of calculation volume of volcanic material that ejected from carter is 47.651.165 m3 and 66.576.309 m3 of volcanic material has been deposited into crater area. Futhermore DEM can be use as the basis for modeling or simulation of piroklastic products. Stages of GCP, taking photos, and Studio dekswork is a stage for built DEM 20 cm resolution that can be used for further analysis. Output of this study is to evaluate the potential for hazard as area and volume of volcanic material of the 2014 eruption and the outcame is to provide recommendations for mitigation to the local government and communities in disaster area.. Keywords: UAV, Photogrammetry, Topography, Mitigation

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut catatan sejarah kegiatannya, erupsi G. Kelud telah menimbulkan banyak korban manusia dan harta benda. Tercatat erupsi besar abad ini terjadi pada tahun 1919, 1951, 1966, 1990 dan 2014. Pada tahun 2007 terjadi pembentukan kubah lava dipermukaan dengan volume 16 juta m3 (Hidayati, 2010) yang menyisakan 100.000 m3 air danau kawah G. Kelud. Bencana erupsi terbesar yang banyak menelan korban jiwa manusia terjadi pada erupsi tahun 1586 dengan korban meninggal sekitar 10.000 orang. Pada erupsi tahun 1919, menelan korban meninggal 5.190 orang, dan 9.000 rumah rusak/hancur. Pada erupsi tahun

Teknologi UAS dan Teknik Fotogrametri dalam Evaluasi Material Vulkanik Paska Erupsi Kelud 13 Februari 2014 (Heriwaseso, A., dkk.)

-753-

1966, menelan korban meninggal 211 orang, dan 86 orang luka-luka, sedangkan pada erupsi 10 Februari 1990, tidak ada korban langsung akibat letusan. Tercatat 34 korban akibat bencana banjir lahar dan runtuhnya atap rumah. Kampung Lestari dan Wonorejo hancur total, 8 rumah hanyut, 29 rusak berat, dan 58 rusak ringan. 13 Februari 2014, G. Kelud kembali terjadi erupsi yang dampaknya dapat dirasakan oleh sebagian besar Jawa, khususnya Jawa Timur. Erupsi G. Kelud menghasilkan tinggi kolom erupsi hingga 17 km dan jangkauan abu vulkaniknya hingga Jawa Barat. Dampak erupsi 13 Februari 2014 yaitu 7 korban meninggal, 1423 terluka, dan 87.629 jiwa mengungsi. Berdasarkan hasil pemantauan visual dan instrumental serta potensi ancaman bahaya G. Kelud, maka terhitung tanggal 13 Februari 2014 pukul 21:15 WIB status kegiatan G. Kelud dinaikkan dari SIAGA (level III) menjadi AWAS (level IV). Dan malam itu juga pukul 22.45 WIB, 13 Februari 2014 gunung Kelud meletus dahsyat hingga menghancurkan kubahnya. Dari penjelasan di atas, sangat perlu dilakukan pemetaan kawah dalam rangka mitigasi bencana gunungapi. Pemetaan kawah dapat menjelaskan bentuk morfologi yang mencerminkan erupsi gunung tersebut. Selain itu pemetaan topografi kawah dapat menjelaskan perubahan dan potensi bahaya terbaru serta dalam perhitungan luasan dan volume danau/kubah lava/ struktur/ kawah /manisfestasi yang lain. Pemetaan menggunakan UAV tentunya lebih meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja dengan hasil yang akurat dan cepat. Lebih lanjut hasil pemetaan ini dapat digunakan dalam penelitian dan penyelidikan G. Kelud berikutnya. 1.2 Sejarah Erupsi Gunung Api Kelud Erupsi Gunung Api Kelud mempunyai sejarah yang panjang, Sejak zaman kerajaan Daha, Singosari, hingga Majapahit telah terjadi letusan eksplosif. Berdasarkan sejarah letusan yang memiliki VEI (Volcanic Eruption Index) 3 sejak tahun 1311 dan pernah hingga VEI 5 tahun 1586. VEI 3-5 berarti tipe vulkanian-subplinian dengan tinggi kolom erupsi 3 - >25 km dan volume tephra yang dikeluarkan 10 juta m3 hingga >1 km3 (Newhall, 1997). Erupsi G. Kelud dimulai pada tahun 1000. Disebutkan, bahwa erupsi tersebut terjadi selama 3 abad berturut-turut, yakni dari 1311-1600 dan 1600-1900 mempunyai selang waktu istirahat terpanjang 65-76 tahun, dan tersingkat 3 tahun. Sedangkan sejak 1900 hingga sekarang, waktu istirahat terpanjang adalah 15-31 tahun, dan tersingkat 1 tahun. Erupsi besar dan dampaknya yang tercatat adalah pada tahun 1586, 1919, 1951, 1966, dan 1990 (Tabel 1). Kemudian setelah berisitirahat 17 tahun, G. Kelud kembali memperlihatkan aktifitasnya berupa erupsi efusif. Setelah erupsi eksplosif tahun 1990, G. Kelud memperlihatkan perubahan morfologi dari danau kawah kemudian erupsi muncul kubah lava tahun 2007 dan akhirnya pada tanggal 13 Februari 2014 terjadi erupsi eksplosif kembali (Gambar 1). Tabel 1. Perbandingan Erupsi G. Kelud dari 1848 – 2014 (Heriwaseso, 2014).

Tanggal Erupsi Volume Danau

Volume Tephra

Durasi Erupsi

Jarak Kerusakan

Jarak Lahar

Jarak AP Korban

(Juta m3) (Juta m3)

Jam km km km

16 Mei 1848 48,7 27 ? ? 3-4 januari 1864 27 ? ? 22-23 Mei 1901 120 27 ada ?

20 Mei 1919 40 190 37,5 30 5160 31 Agustus 1864 1,8 200 11,5 4-6,5 12 6,5 7

26 April 1966 21,6 90 7 2-5 31 9 210 10 Februari 1990 2,5 130 8 1-5 0 5 34 13 Februari 2014 0 219 3,2 1-7 (ngantang) 18-32 5,9 (S.Putih) 4

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-754-

A. Erupsi G. Kelud 1990 (Siswowidjojo)

B. Erupsi G. Kelud 2014 (I. Mulyana)

Gambar 1. Peristiwa Erupsi (a) G. Kelud 1990 dan (b) G. Kelud 2014.

Perubahan akibat erupsi explosif mempengaruhi besar dan dimensi dari kawah G. Kelud. Perubahan tersebut dapat dilihat dari perubahan bentuk morfologi kawah, danau kawah hingga kubah lavanya. Berdasarkan sejarah erupsi, waktu yang diperlukan untuk pembongkaran sumbat antara 7 (tahun 2007-2014) dan yang lama 31 tahun (1920-1951) (Gambar 2).

A. Tanggal 7 April 1990 B. Tanggal 7 Februari 2014 C. Tanggal 29 September 2014

(I. Pratomo)

(Kuncoro)

(A. Heriwaseso)

Gambar 2. Perbedaan (a) Sumbat Lava 1990, (b) 2007 dan (c) 2014. 1.2 Maksud dan Tujuan Contoh kasus yang akan dibahas adalah pemetaan topografi kawah G. Kelud paska erupsi 2014 dengan membandingkan perubahan kawah paska erupsi G. Kelud sebelumnya. Maksud pemetaan ini adalah mendapatkan topografi kawah G. Kelud paska erupsi 2014. Tujuannya adalah dapat membandingkan perubahan morfologi paska erupsi G. Kelud sejak tahun 1968 – 2014 dan mendapatkan luas dan volume material vulkanik paska erupsi 2014. 2. METODE 2.1 Metodologi dan Tahapan

Metodologi pelaksanaan analisis morfologi dengan metode fotogrametri pada kegiatan pemetaan topografi kawah G. Kelud dilakukan dengan pengambilan data di lapangan serta pengolahan menggunakan perangkat lunak khusus di laboratorium. Pengambilan data lapangan adalah pengambilan gambar/foto menggunakan drone/pesawat tak berawak (UAV) disertai dengan pengukuran Ground Control Point (GCP). Pengambilan foto dilakukan dengan menerbangkan drone setelah GCP terpasang pada areal yang akan diambil fotonya. Pengolahan foto udara dapat diolah dengan menggunakan program Agisoft Photoscan. Hasil pengolahan ini dapat diexport dalam bentuk DSM (Digital Surface Model) dan DEM (Digital Elevation Model)

Teknologi UAS dan Teknik Fotogrametri dalam Evaluasi Material Vulkanik Paska Erupsi Kelud 13 Februari 2014 (Heriwaseso, A., dkk.)

-755-

Berikut merupakan tahapan pekerjaan dalam pemetaan topografi kawah G. Kelud 2016 A. Tahapan Persiapan

1) Menentukan cakupan wilayah untuk fotogrametri 2) Pengumpulan data sekunder meliputi topografi daerah sebelumnya. 3) Mempelajari morfologi daerah analisis dari waktu ke waktu. 4) Membuat rencana jalur terbang serta titik penentuan GCP 5) Menyiapkan peralatan survei lapangan meliputi perangkat drone, kamera, dan perangkat GPS

Geodetic. B. Tahapan Pelaksanaan Lapangan

1) Identifikasi lapangan untuk rencana jalur terbang dan penentuan lokasi titik GCP 2) Pengukuran GCP di titik titik yang sudah ditentukan 3) Penerbangan Drone/UAV sesuai jalur terbang yang sudah ditentukan sebelumnya. 4) Pengecekan foto yang dihasilkan

C. Tahapan Pengolahan Data 1) Rekapitulasi data lapangan 2) Pengolahan data GPS 3) Pengolahan data lapangan menggunakan Perangkat lunak khusus 4) Pengolahan data dari foto ke Align Photo - Dence Cloud – Mesh – Textur hingga dihasilkan

DSM 5) Proses DSM hingga menghasilkan DEM (Digital Elevation Model) 6) Analisis DEM yang dihasilkan dengan topografi terdahulu

2.2 Peralatan Peralatan pemetaan yang digunakan adalah:

1. Quadcopter DJI Phantom II dengan 8 baterai 2. Kamera Canon S100 GPS 14 MP 3. GPS Geodetik trimble R8 base and rover 4. Titik GCP (Ground Control Point) dan Paku 5. GPS Handy Garmin 6. Peralatan survey

2.3 Lokasi Pemetaan Secara geografis G. Kelud terletak pada koordinat 07O 56’00” LS dan 112O 18’30” BT termasuk dalam tiga wilayah administratif yaitu Kabupaten Kediri, Blitar, dan Malang, Propinsi Jawa Timur. Gunung Kelud (1731 m dpl) merupakan salah satu gunungapi strato aktif Tipe A yang berada di wilayah padat penduduk (Gambar 3).

Gambar 3. Lokasi Pemetaan. (a) Peta lokasi, dan (b) Morfologi G. Kelud dari barat

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Fotogrametri di PVMBG Penggunaan metode fotogrametri di PVMBG – Badan Geologi terus dikembangkan mengingat penerapan, waktu dan biaya yang lebih efektif dan efisien. Penggunaan drone dan software fotogrametri sebagai alat bantu pengambilan data dilengkapi oleh camera digital 14MP sudah cukup untuk menghasilkan DSM resolusi 20 cm. Penerapannya juga sangat luas, bukan hanya di monitoring dan pemetaan gunungapi tetapi juga di bencana geologi lainnya seperti gerakan tanah, gempabumi dan tsunami.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-756-

Penerapan fotogrametri sangat mendukung peralatan pemantauan yang lain seperti mengetahui perkembangan kubah lava gunungapi, peningkatan aktifitas visual dalam kawah, perubahan topografi di kawah, pemantauan gerakan tanah, indentifikasi retakan tanah, pembuatan DSM, identifikasi dampak dan kerusakan bencana, penentuan lokasi pemantauan gerakan tanah, penentuan daerah relokasi korban bencana (Gambar 4), dsb.

A. Lokasi Relokasi B. Lokasi Longsor

Gambar 4. Fotogrametri untuk Gerakan Tanah. (a) Lokasi Relokasi Penduduk dan (b) Lokasi Longsor di Desa Clapar,

Banjarnegara 2016 (Kanan)

Fotogrametri di gunung api merupakan metode terbaru di PVMBG dalam pemetaan topografi. Khusus dalam topografi kawah, pengukuran yang rutin berfungsinya sangat banyak, seperti: 1. Pengukuran deformasi dasar kawah yang mencerminkan adanya desakan magma dan/gas ke permukaan

bumi. 2. Mengetahui dinamika gunungapi dan membantu pemantauan gunungapi secara berkelanjutan. 3. Mendapatkan karasteristik tipe dan arah deformasi 5. Mengetahui perubahan struktur, manisfestasi hingga munculnya kubah lava. 6. Memantau adanya ketidakstabilan kubah lava dan atau material vulkanik. 7. Pemantauan topografi dan perhitungan perubahan luas dan volume kubah lava, danau kawah dan analisis

model kawah. 8. Interpretasi pola perpindahan pusat erupsi. 9. Membuat sequential model elevasi digital (Dems) dari kubah lava untuk mendapatkan perubahan volume

dan kecepatan laju kubah lava. 10. Melakukan pemodelan bahaya gunungapi dari hasil pemetaan topografinya, seperti aliran

piroklastik/awan panas, jatuhan piroklastik, aliran gas dan aliran lahar. Faktor morfologi merupakan hal yang mempengaruhi bahaya gunungapi, di samping itu hasil dari

pemetaan topografi juga dapat digunakan model dalam kajian potensi dan risiko bencana gunungapi terhadap masyarakat sekitar G. Kelud di mana lerengnya sudah dipenuhi oleh aktifitas manusia dan pemukiman.

Hasil pemetaan topografi menggunakan metode fotogrametri dapat digabungkan dengan pemetaan menggunakan data satelit (INSAR/TerrasarX) dan Lidar untuk dapat menghasilkan resolusi tinggi dan cakupan area yang luas. 3.2 Kondisi Paska Erupsi 2014

Berdasarkan perhitungan dengan metode Carey dan Sparks (1986) tinggi kolom letusan G. Kelud adalah 17 km (Heriwaseso, 2015), terjadi perubahan morfologi di dalam kawah, terutama kubah lava yang mempunyai volume 16,28 juta m3 hancur dan menghilang menyisakan kawah baru dengan diameter lk 450 m dan kedalaman lk 50 m serta terdapat sisa kubah lava dengan ketinggian lk 10 m di sisi sebelah selatan kawah dalam. Pada tanggal 13 Februari setelah letusan, semua peralatan pemantauan dekat kawah terutama CCTV rusak sehingga tidak dapat melihat morfologi dan aktivitas terbaru dari kawah. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan citra resolusi tinggi dari Terrasar untuk membantu upaya mitigasi berikutnya. Selain itu digunakan juga foto udara dengan menggunakan pesawat remote control untuk melihat situasi kawah dan sekitarnya, mengingat kawasan tersebut masih tertutup dan sangat berbahaya.

Data kondisi kawah sudah dapat diamati secara jelas pada bulan Maret, aktivitasnya sudah menurun dan tidak ada tanda-tanda kenaikan kembali. Data survei di lapangan menunjukan di dalam kawah sudah terbentuk morfologi kawah baru dengan lubang berukuran 450 m dengan kedalaman sekitar 50 m (Gambar 5). Fumatola dan Solfatara juga terlihat dalam 3 titik yang berbeda, di sebelah utara dan barat. Kawah yang terlihat kosong dengan sedikit air di bagian timur yang mungkin akibat genangan air hujan setelah erupsi 13

Teknologi UAS dan Teknik Fotogrametri dalam Evaluasi Material Vulkanik Paska Erupsi Kelud 13 Februari 2014 (Heriwaseso, A., dkk.)

-757-

Februari 2014. Setelah erupsi perubahannya sangat cepat, faktor iklim dan cuaca menjadi dominan, ditambah erosi mendukung terbentuknya kembali danau kawah dua tahun paska erupsi (Gambar 6).

Gambar 5. Kenampakan Kawah G. Kelud dari Sisi Barat Daya

A. Tanggal 1 Desember 2014 B. Tanggal 2 Mei 2015

C. Tanggal 29 September 2015 D. Tanggal 23 Maret 2016

Gambar 6. Foto Perubahan kawah paska Erupsi 2014. (A) Tanggal 1 Desember 2014, (B) Tanggal 2 Mei 2015, (C) Tanggal 29 September 2015 dan (D) Tanggal 23 Maret 2013.

3.3 Proses kegiatan Pemetaan Topografi Kawah dengan Metoda Fotogrametri 3.3.1. Kegiatan Lapangan

Kegiatan di lapangan dilakukan dengan melakukan pemasangan dan pengukuran Ground Control Point (GCP) dan pengambilan foto udara menggunakan drone. Pengukuran GCP sangat dibutuhkan sebagai titik referensi atau titik ikat agar DEM yang dihasilkan mempunyai koordinat yang akurat. Tanda GCP dapat kita buat sendiri atau juga bisa menggunakan objek alam yang tidak mengalami perubahan dan terlihat jelas di foto udara. Tanda GCP dapat dibuat dengan berbagai bahan yang ada, misalnya berbahan kain putih diberi tanda + berwarna hitam, dengan ukuran yang cukup besar agar nampak difoto dari udara (minimal 1x1 meter). GCP dipasang dan diukur koordinatnya dengan GPS geodetik di titik-titik dalam area yang akan difoto, khususnya di sekitar areal kawah G. Kelud (Gambar 7).

Pengambilan gambar/foto dilakukan dengan menerbangkan drone setelah GCP terpasang pada areal yang akan diambil fotonya. Drone yang dipakai jenis DJI Phantom II yang dilengkapi dengan Kamera GPS. Adapun kamera yang digunakan sudah diatur untuk mengambil foto secara otomatis dalam selang interval tertentu sesuai kebutuhan.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-758-

Tantangan sulit dalam pengambilan data adalah cuaca dan akses menuju beberapa titik pengukuran GCP dan lokasi terbang. Cuaca pada saat pengambilan data kurang bersahabat dapat mengakibatkan pengambilan foto tidak maksimal. Akses ke beberapa titik GCP dan lokasi terbang juga tidaklah mudah khususnya saat menuju dinding kawah sebelah tenggara yang harus memutari Puncak Sumbing serta melewati medan berbatu yang terjal dan berbahaya. Kegiatan lapangan berlangsung selama 5 hari yaitu pada tanggal 21 - 25 Maret 2016. 3.3.2. Pengolahan foto udara dengan program Agisoft Photoscan.

Pengolahan foto udara hasil drone dapat diolah dengan menggunakan program Agisoft Photoscan. Dalam pengolahan foto ini dipandu oleh Angie Diefenbach mulai dari memasukkan foto, penentuan GCP, hingga didapatkan DEM sesuai yang diinginkan. Dalam program Agisoft Photoscan, foto-foto hasil pemotretan udara digabungkan menjadi 1 foto wilayah cakupan, foto yang memuat gambar GCP ditandai titik kontrol tanahnya/ikatnya sesuai dengan koordinat pemasangan GCP. Kemudian diproses lagi menghasilkan dense point clouds yang sudah teregister koordinatnya. Hasil ini dapat diexport dalam bentuk DEM (Digital Elevation Model) (Gambar 8).

Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk mengolah foto-foto ini yaitu Alignment, Optimize Photo, penambahan Ground Control Marker, membuat dense point cloud, membuat mesh dari dense point cloud, dan terakhir membuat digital surface model dan digital elevation model (Gambar 8).

Gambar 7. (a) Pemasangan GCP di kawah G. Kelud dan (b) Pemasangan dan pengukuran GPS untuk GCP

Gambar 8. (a) Penerbangan Drone, Pengambilan Foto di Area Kawah G. Kelud dan (B) Kegiatan Diskusi dan

Pengolahan Studio Lanjutan. 3.4 Hasil dan Pembahasan Pemetaan Topografi Kawah G. Kelud

Pemetaan topografi kawah G. Kelud sudah dilakukan sejak tahun 1968 paska erupsi tahun 1966. Penggunaan peralatan yang tradisional hingga digital sudah dilakukan dalam memahami karakteristik erupsi dari analisis bentuk model kawah. Sebelum tahun 2010, pemetaan topografi puncak di PVMBG - Badan Geologi masih menggunakan T0 dengan 5-10 personil dalam 15 hari pemetaan. Saat ini dengan menggunakan peralatan drone Phantom II dilengkapi kamera gps digital 14 MP dengah harga peralatan di bawah 15 juta rupiah sudah dapat melakukan pemetaan topografi detil dengan resolusi hingga 2 cm. Resolusi tinggi ini tentu saja sangat bagus dibanding dengan pengolahan citra satelit atau pengambilan menggunakan lidar yang membutuhkan biaya yang jauh berbeda. Kondisi ini menciptakan kegiatan baru di PVMBG untuk

A

B A

Teknologi UAS dan Teknik Fotogrametri dalam Evaluasi Material Vulkanik Paska Erupsi Kelud 13 Februari 2014 (Heriwaseso, A., dkk.)

-759-

melakukan pemetaan baik topografi, struktur, deformasi, dan sebagiannya hingga aplikasi pemetaan ke arah bencana gerakan tanah, gempabumi dan tsunami.

Berikut merupakan pemetaan kawah dan perubahannya paska erupsi G. Kelud dari tahun 1968 – 2016:

Thn A. Peta Kalkir B. Peta 3 Dimensi 1968

1981

1991

2001

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-760-

Gambar 9. Pemetaan Kawah dan Perubahannya Paska Erupsi G. Kelud dari Tahun 1968 – 2016

Gambar 10. DEM G. Kelud Hasil Metode Fotogrametri yang Dikombinasikan dengan DEM IFSAR

Gambar 11. Luas Area Genangan / Danau Kawah G. Kelud

Hasil yang didapatkan dari pemetaan topografi menggunakan metode fotogrametri berupa DSM/ DEM.

DEM resolusi 20 cm ini dapat digunakan dalam mitigasi bencana gunungapi dalam pemodelan bahaya gunungapi, deformasi, perhitungan volume dan sebagainya. Dalam perhitungan volume material yang dikeluarkan/hilang dari lubang kawah dan yang diendapkan disekitar kawah dapat dihitung dengan overlay DEM 2016 dengan DEM hasil IFSAR/Citra Satelit 2011. DEM 2011 merupakan DEM yang masih merekam

2011

2016

DEM HASIL IFSAR

ORTHOPHOTO

Teknologi UAS dan Teknik Fotogrametri dalam Evaluasi Material Vulkanik Paska Erupsi Kelud 13 Februari 2014 (Heriwaseso, A., dkk.)

-761-

adanya kubah lava 2007. Hasil Overlay ini mendapatkan hasil volume yang hilang dari kawah sebesar 47.651.165 m3 dan material vulkanik yang terendapkan di area kawah sebesar 66.576.309 m3.

Di samping dapat memperhitungkan volume dari material vulkanik, DEM ini juga dapat memperlihatkan bentukan erosional, geomorfologi dan juga jalur-jalur rekahan struktur. Dua tahun setelah erupsi Februari 2014, kawah G. Kelud terisi kembali oleh air hujan. Dengan DEM hasil fotogrametri didapatkan luasan genangan/danau kawah adalah 92.702 m2 (Gambar 11). 4. KESIMPULAN

Fotogrametri dapat menjawab kebutuhan DSM dan/atau DEM resolusi dengan waktu yang cepat dan biaya murah. Penggunaan teknik ini sangat berguna bagi pemetaan geologi gunungapi, modeling bahaya awan panas dan lahar gunungapi, menghitung volume kubah lava, dll. Selain itu membantu dalam analisis morfologi serta perubahan kawah suatu gunungapi dari waktu ke waktu.

Hasil Overlay DEM mendapatkan hasil volume yang hilang dari kawah sebesar 47.651.165 m3 dan material vulkanik yang terendapkan diarea kawah sebesar 66.576.309 m3. Perhitungan Luasan genangan/danau kawah menggunakan Google Earth adalah 92.702 m2.

Permasalahan yang muncul adalah hasil foto yang beberapa kurang maksimal seperti blur yang menyebabkan kualitas foto menjadi buruk karena kondisi angin di kawah. Kekurangan lainnya adalah cuaca dan keterbatasan drone terutama dalam daya jelajah dan baterai yang masih pendek. 5. UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih ditujukan untuk: 1. Kepala Badan Geologi dan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian ESDM

dalam ijin kegiatan pemetaan ini 2. Kepala Balai Besar Wil. Sungai Brantas dan Kepala PT. Abipraya dalam proyek rehabilitasi terowongan

puncak Gunung Kelud. 3. Kepala Bidang dan Subbidang Evaluasi Potensi Bencana Gunungapi 4. Pengamat Pos Pengamatan G. Kelud di Desa Sugihwaras – Kabupaten Kediri. 5. Diefenbach dari USGS sebagai pembimbing. 6. Cipta M. Firmansyah, Yohandi Kristiawan, Novie N. Avatia dan Weningsulistri sebagai rekan tim

Pemetaan Topografi Puncak G. Kelud 2016 DAFTAR PUSTAKA Carey, S., dan Sparks, R.S.J. (1986). Quantitative models of the fallout of pyroclastic from explotion eruption coloum.

Bul. Volcanol, 48:109-125. Heriwaseso, A. (2014). Dokumentasi dan Pengumpulan Informasi Paska Erupsi G. Kelud 13 Februari 2014. PVMBG

Badan Geologi. Heriwaseso, A. (2015). Laporan Penelitian Tephra G. Kelud Tahap I. PVMBG Badan Geologi. Newhall, Christopher, G., Self, dan Stephen (1982). The Volcanic Explosivity Index (VEI): An Estimate of Explosive

Magnitude for Historical Volcanism. Journal of Geophysical Research, 87(C2):1231–1238 Pratomo, I. (1990). Laporan penyelidikan petrokimia dan hasil letusan G. Kelud 1990. Proyek penyelidikan gunungapi

dan panasbumi. Direktorat Vulkanologi, bandung PVMBG. (2011). Data Dasar Gunungapi Indonesia Edisi ke-2. Badan Geologi, KESDM Sutawidjaja, I. (1990). Laporan Pengamatan Kegiatan G. Kelud. Direktorat Vulkanologi, bandung Zaennudin, A., dkk., (1992). Peta Geologi Gunungapi Kelut, Jawa Timur. Direktorat Vulkanologi, Bandung. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah : Teknologi UAS dan Teknik Fotogrametri dalam Evaluasi Material Vulkanik Paska

Erupsi Kelud 13 Februari 2014 Nama Pemakalah : Anjar Heriwaseso (PVMBG) Diskusi :

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-762-

Pertanyaan: Dr. Ety Parwati (LAPAN) 1. UAS (Unmanned Aerial System) merupakan terobosan peralatan baru dalam pemetaan dan evaluasi

potensi bencana geologi yang efektif dan efisien berbiaya murah. Apakah sudah coba dilakukan uji banding jika penelitian yang dilakukan tidak menggunakan UAP?

2. Apakah fungsi kegiatan survei lapangan dalam menguatkan analisis yang dilakukan? Jawaban: 1. Teknologi UAS merupakan integrasi antara penggunaan pesawat tanpa alat (UAV), Kamera digital, gcp

dan software pengolahannya untuk mendapatkan hasil bentuk orthofoto, DSM (Digital Surface Model) dan/atau DEM (Digital Elevation Model) dengan resolusi tinggi. Kami menggunakan drone phantom II (seharga 15 juta), Kamera digital 12 Mp (3 juta) dan software photoscan (trial 30 hari/beli atau kalau beli lisensinya sekitar 30juta) dengan personil 5 orang selama 3-5 hari hasilnya DSM resolusi 20 cm. Sebelumnya kami melakukan pemetaan topografi menggunakan Total Station (TS) untuk pemetaan kawah dengan personil 10 orang dengan waktu 1- 2 minggu, Hasilnya skala 1:1000. Perbandingan dengan survey pendahulu: Hasil peta topografi / DSM hingga resolusi 20cm (tergantung resolusi Kamera digital Semakin besar, semakin tinggi resolusi) Biaya yang dikeluarkan juga sangat jauh berbeda. Mobilisasi lebih ringan, efekstif dan efisiien Apakah maksud ibu UAP itu Unmanned Aerial Platform? menurut paper M.Zaman, teknologi UAP digunakan dalam pemetaan kondisi tanaman, perkiraan perubahan tanaman dsb. Prinsipnya sama, tapi mereka menggunakan Fix wing (harganya sekitar 300juta), ACD lite, tetracam dan miricle camera berikut softwarenya (mungkin harganya hingga milyar).

2. Dalam analisis perubahan topografi perlu dilakukan dalam usaha mitigasi bencana. Hasil dari pemetaan topografi kawah yang bersinambungan (continue) dapat membantu analisis seperti: Pengukuran deformasi dasar kawah yang mencerminkan adanya desakan magma dan/gaske

permukaan bumi. Mengetahui dinamika gunungai dan membantu pemantauan gunungapi secara berkelanjutan. Mendapatkan karasteristik tipe dan arah deformasi Mengetahui perubahan struktur, manisfestasi hingga munculnya kubah lava. Memantau adanya ketidakstabilan kubah lava dan atau material volcanik. Pemantauan topografi dan perhitungan perubahan luas dan volume kubah lava, danau kawah

dan analisis model kawah. Interpretasi pola perpindahan pusat erupsi. Membuat sequential model elevasi digital (Dems) dari kubah lava untuk mendapatkan

perubahan volume dan kecepatan laju kubah lava. Hasilnya juga dijugakan untuk melakukan pemodelan bahaya gunungapi seperti model aliran piroklastik/awan panas, jatuhan piroklastik, aliran gas dan aliran lahar.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-763-

Pemanfaatan Data Multi Kanal Satelit Cuaca Himawari 8 Dengan

Menggunakan Beberapa Teknik RGB Untuk Mendeteksi Debu Vulkanik (Studi Kasus: Letusan Gunung Bromo Pada Bulan Januari 2016)

The Utilization of Multi Channel Data of Himawari 8 Weather Satellite

Using Multiple RGB Techniques for Detecting Volcanic Ash (Case study: Mount Bromo on January 2016)

Bony Septian Pandjaitan1, Asri Susilowati1, dan Andersen Panjaitan1

1SubBidang Pengelolaan Citra Satelit CuacaBMKG

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK-Di dalam dunia penerbangan Indonesia, informasi sebaran debu vulkanik merupakan informasi penting. Pemanfaatan data satelit merupakan suatu sarana untuk menyediakan informasi tersebut. Data satelit yang digunakan untuk mendeteksi sebaran debu vulkanik umumnya mempunyai jenis polar orbital seperti data MODIS Terra dan Aqua dengan resolusi spasial yang bagus dan mempunyai banyak jumlah kanal panjang gelombang namun lemah dalam resolusi temporal. Hal ini kurang baik ketika kondisi berawan yang menyebabkan debu vulkanik susah dibedakan dengan awan meteorologis. Sedangkan, satelit Himawari 8 sebagai penerus satelit MTSAT memiliki 16 kanal dan kelebihan dalam resolusi temporal yang menghasilkan data tiap 10 menit. Pada makalah ini, penulis mencoba mengkaji kemampuan satelit Himawari 8 dalam mendeteksi debu vulkanik dengan studi kasus gunung Bromo pada Januari 2016. Data yang digunakan terdiri dari data satelit Himawari 8, dan data modis level 1B satelit Terra-Aqua. Pada kajian ini, penulis menguji kemampuan citra RGB multi kanal dalam mendeteksi debu vulkanik yang ada pada banyak literatur di wilayah subtropis lalu melihat apakah terdapat kombinasi RGB lain yang lebih baik dari kombinasi RGB yang telah digunakan BMKG. Berdasarkan hasil analisis dari berbagai jenis citra RGB pada kejadian erupsi gunung Bromo selama bulan Januari 2016 terlihat bahwa hampir semua jenis citra RGB mampu mendeteksi kejadian debu vulkanik. Namun, karena dengan kondisi berawan maka tidak semua dari jenis RGB mampu menampilkan debu vulkanik secara jelas.Resep RGB yang kedepannya bisa dijadikan alternatif untuk mendeteksi debu vulkanik secara operasional adalah jenis dust RGB dengan modifikasi pada gamma komponen biru dengan nilai 2,5.

Kata kunci:debu vulkanik, RGB, Himawari 8, MODIS

ABSTRACT-In the aeronautical world of Indonesia, the distribution information of volcanic ash is the important information. The utilization of satellite data is a tool for providing thisinformation. The Satellite data which are used to detect the spread of volcanic ash generally have orbital polar types such as Terra and Aqua MODIS data which has a good spatial resolution and have more number of wavelength channels but weak in temporal resolution. That is not good when appears in cloudy conditions that led to the volcanic ash is hard to distinguish with meteorological cloud. Meanwhile, as the successor of MTSAT satellite, Himawari 8 has 16 channels and good in temporal resolution that generated data every 10 minutes. In this paper, the authors tried to assess the ability of Himawari 8 to detect volcanic ash with a case study of Mount Bromo in January 2016. The data that is used consist of Himawari 8 data, and the data of level 1B MODIS Terra-Aqua. In this study, the authors tested the ability of multi-channel RGB image in the detection of volcanic ash that exist in much of the literature in subtropical and see if there are other RGB combinations are better than the combination of RGB which has been used BMKG. Based on the analysis of various types of RGB image of the eruption of Mount Bromo during the month of January 2016 is seen that almost all kinds of RGB images capable of detecting the occurrence of volcanic ash. However, due to cloudy conditions so not all of the types of RGB is able to show clearly the volcanic ash. The RGB recipe that in the future can be an alternative for the detection of volcanic ash operationally are the types of dust RGB with gamma modifications in the blue component with a value of 2.5

Keywords: volcanic ash, RGB, Himawari 8, MODIS 1. PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki jumlah gunung api aktif terbanyak di dunia yaitu sekitar 129 gunung api aktif atau sekitar 30 % gunung api aktif dunia berada di Indonesia (Pratomo, 2006). Debu vulkanik dan gas beracun seperti SO2 merupakan beberapa material yang bisa muncul saat gunung api erupsi

Pemanfaatan Data Multi Kanal Satelit Cuaca Himawari 8 dengan Menggunakan Beberapa Teknik RGB untuk Mendeteksi Debu Vulkanik. Studi Kasus: Letusan Gunung Bromo pada Bulan Januari 2016 (Pandjaitan, B.S., dkk.)

-764-

(PVMBG, 2015). Di dalam dunia penerbangan termasuk di Indonesia, informasi sebaran debu vulkanik merupakan informasi penting karena debu vulkanik mengandung beberapa mineral yang dapat merusak mesin jet pada pesawat yang membahayakan keselamatan penerbangan (ICAO,2007). Selain itu debu vulkanik bisa menggaggu kesehatan manusia (Suryani, 2014). Berbagai efek buruk dari debu vulkanik gunung berapi mengharuskan berbagai pihak khususnya pemerintah untuk meningkatkan kemampuan dalam memberikan informasi pemantauan arah sebaran debu vulkanik yang terjadi di wilayah Indonesia dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Semakin majunya kemampuan dalam teknologi dalam penginderaan jauh dapat memudahkan manusia untuk mendeteksi debu vulkanik dengan memanfaatkan satelit (Khomarudin dkk., 2015). Beberapa kajiantelah dilakukan untuk mendeteksi debu vulkanik menggunakan satelit Terra-Aqua, Landsat dan lain – lain yang dilakukan oleh Corradini dkk (2010), Hilger dan Clark (2002), dan masih banyak lagi. Namun, hampir semua penelitian tersebut menggunakan pemanfaatan data satelit dengan jenis polar orbital yang bagus pada resolusi spasial dan punya banyak jumlah kanal panjang gelombang namun kurang bagus dalam resolusi temporal

Satelit Himawari 8 yang telah beroperasi pada tahun 2015 sebagai penerus satelit MTSAT memiliki 16 kanal dan menghasilkan data tiap 10 menit (JMA, 2015). Jumlah kanal panjang gelombang yang tersedia dapat dimaksimalkan untuk membuat kombinasi antara beberapa kanal untuk bisa mendeteksi debu vulkanik maupun gas SO2 dari erupsi gunung berapi. Pandjaitan dan Panjaitan (2016) telah melakukan kajian dalam memanfaatkan data kanal panjang gelombang 11.0μm; 12,0 μm; dan 8,6 μm dari satelit Himawari 8denan membuat citra RGB dengan kombinasi kanal-kanal tersebut lalu membandingkannya dengan hasil dari data MODIS pada kejadian erupsi anak gunung Rinjani pada bulan Nopember 2015 dengan hasil terdapat kemiripan citra yang dihasilkan antara keduanya yang dapat mendeteksi debu vulkanik, sedangkan keberadaan SO2tidak terdeteksi.

Selain menggunakan kombinasi kanal panjang gelombang 11.0μm; 12,0 μm; dan 8,6 μm, beberapa literatur dari EUMETSAT (2010), JMA (2015), dan BOM (2015) menyebutkan bahwa terdapat kombinasi multi kanal lain untuk membuat citra RGB dalam mendeteksi debu vulkanik yaitu kombinasi 11.0μm; 12,0 μm; dan 3,8 μm, Dust RGB, dan True Colour RGB. Dalam operasional di sub bidang pengelolaan citra satelit cuaca BMKG, digunakanlah kombinasi 11.0μm; 12,0 μm; dan 3,8 μm. Oleh karena itu, pada penelitian ini, penulis mencoba mengkaji kemampuan satelit Himawari 8 dalam mendeteksi debu vulkanik dengan menggunakan teknik RGB lainnya dari kombinasi multi kanal yang ada pada banyak literatur di wilayah subtropis lalu melihat apakah terdapat kombinasi RGB lain yang lebih baik dari kombinasi RGB yang telah digunakan BMKG untuk menyediakan informasi sebaran debu vulkanik. Kajian dilakukan dengan melakukan studi kasus erupsi gunung Bromo pada bulan Januari 2016 untuk mengetahui kemampuan RGB multi kanal pada kejadian erupsi di gunung Bromo.

1.1. Sensor MODIS Terra dan Aqua

MODIS merupakan salah satu sensor utama dalam sistem pengamatan bumi dari NASA (National Aeronautics and Space Administration) yang berada pada Satelit Terra dan Satelit Aqua (Barnes dkk., 2002; Salomonson dkk., 2002). Satelit Terra dan Aqua dioperasikan dalam polar orbital pada ketinggian 705 km.

MODIS melakukan pengamatan bumi dengan 36 kanal, yang mencakup rentang panjang gelombang 0,4-14,2 μm antara lain VIS, NIR, Short- and Middle- Wavelength Infrared (SMIR), dan Long- Wavelength Infrared (LWIR)(Che dkk., 2005). MODIS memiliki 3 resolusi spasial yang berbeda yaitu 250 m (Band 1-2), 500 m (Band 3-7), dan 1 km (Band 8-36). MODIS adalah sebuah cross-track scanning radiometerdengan dua sisi cermin scan yang berotasi pada rentang sudut scan ± 55o, menghasilkan cakupan 2.330 km dalam arah scan dan 10 km di trek arah setiap scan (Xiong dkk., 2007).

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-765-

Tabel 1. Karakteristik Kanal Panjang GelombangMODIS (Sumber: http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specifications.php)

Kegunaan Utama Kanal Panjang Gelombang (μm)

Resolusi (km) Jenis Panjang gelombang

Land/Cloud/AerosolsBoundaries 1 0,620 – 0,670 0,25 Vis

2 0,841 – 0,876 0,25 NIR

Land/Cloud/Aerosols Properties 3 0,459 – 0,479 0,50 Vis

4 0,545 – 0,565 0,50 Vis

5 1,230 – 1,250 0,50 NIR

6 1,628 – 1,652 0,50 NIR

7 2,105 – 2,155 0,50 NIR

Ocean Color/Phytoplankton/Biogeochemistry 8 0,405 – 0,420 1,00 Vis

9 0,438 – 0,448 1,00 Vis

10 0,483 – 0,493 1,00 Vis

11 0,526 – 0,536 1,00 Vis

12 0,546 – 0,556 1,00 Vis

13 0,662 – 0,672 1,00 Vis

14 0,673 – 0,683 1,00 Vis

15 0,743 – 0,753 1,00 NIR

16 0,862 – 0,877 1,00 NIR

AtmosphericWater Vapor 17 0,890 – 0,920 1,00 NIR

18 0,931 – 0,941 1,00 NIR

19 0,915 - 0,965 1,00 NIR

Surface/CloudTemperature 20 3.660 - 3.840 1,00 SMIR

21 3.929 - 3.989 1,00 SMIR

22 3.929 - 3.989 1,00 SMIR

23 4.020 - 4.080 1,00 SMIR

Pemanfaatan Data Multi Kanal Satelit Cuaca Himawari 8 dengan Menggunakan Beberapa Teknik RGB untuk Mendeteksi Debu Vulkanik. Studi Kasus: Letusan Gunung Bromo pada Bulan Januari 2016 (Pandjaitan, B.S., dkk.)

-766-

AtmosphericTemperature 24 4.433 - 4.498 1,00 SMIR

25 4.482 - 4.549 1,00 SMIR

Cirrus CloudsWater Vapor 26 1.360 - 1.390 1,00 SMIR

27 6.535 - 6.895 1,00 LWIR

28 7.175 - 7.475 1,00 LWIR

Cloud Properties 29 8.400 - 8.700 1,00 LWIR

Ozone 30 9.580 - 9.880 1,00 LWIR

Surface/CloudTemperature 31 10.780 - 11.280 1,00 LWIR

32 11.770 - 12.270 1,00 LWIR

Cloud TopAltitude 33 13.185 - 13.485 1,00 LWIR

34 13.485 - 13.785 1,00 LWIR

35 13.785 - 14.085 1000 LWIR

36 14.085 - 14.385 1000 LWIR

1.2. Advanced Himawari Imager (AHI) Satelit Himawari 8

Satelit Himawari 8 sebagai generasi baru dari satelit MTSAT dilengkapi sensor bernama Advanced Himawari Imager (AHI), yang memiliki resolusi temporal, spektral dan spasialnya lebih baik dibandingkan seri sebelumnya. Himawari 8 memiliki 16 kanal yang terdiri dari 3 kanal visibel, 3 kanal infra merah-dekat atau near infrared (NIR) dan 10 kanal Infrared (IR). Untuk resolusi spasial pada Himawari 8 terdiri dari 0.5km dan 1Km untuk kanal cahaya tampak (visible), 2 km untuk data kanal IR serta 1 km dan 2 km untuk data kanal NIR. Untuk resolusi temporal, Himawari 8 memiliki resolusi tiap 10 menit untuk pengamatan global dan 2,5 menit sekali untuk pengamatan khusus. Selain itu dengan memanfaatkan kanal yang sangat banyak yang dimiliki satelit Himawari 8, maka para penggunanya dapat membuat produk RGB (red green blue) dengan mengkombinasikan beberapa kanal (Kushardono, 2012).

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-767-

Tabel 2. Karakteristik Kanal Panjang GelombangAHI

(Sumber: https://www.meted.ucar.edu/satmet/himawari_ahi)

Kanal AHI Himawari: Informasi dari Panjang Gelombang, Resolusi, dan Contoh Penggunaannya

Jenis Panjang gelombang

Kanal Panjang Gelombang

Tengah (µm)

Resolusi (km)

Contoh Penggunaan

Vis 1 0.47 1 Daytime aerosols di daratan, coastal water mapping

2 0.51 1 Water/ocean color, termasuk deteksi terhadap algal blooms; memungkinkan true color imagery ketika dikombinaskan dengan

kanal biru dan merah (Kanal visible 1 dan 3)

3 0.64 0.5 Daytime cloud, kabut, insolasi, angin

Near-IR 4 0.86 1 Daytime vegetation, bekas kebakaran, aerosol sepanjang perairan, angin

5 1.6 2 Fase Daytime cloud-top dan ukuran partikel, salju

6 2.3 2 Daytime land/cloud properties, ukuran partikel, vegetasi, salju

SW IR 7 3.9 2 Permukaan dan awan, kabut pada malam hari, api, angin

IR (WV) 8 6.2 2 Uap air atmosfer level tinggi, angin, curah hujan

9 6.9 2 Uap air atmosfer level menengah, angin, curah hujan

10 7.3 2 Uap air level rendah, angin, SO2

LW IR 11 8.6 2 Total water untuk stabilitas, fase awan, dust, SO2, curah hujan

12 9.6 2 Total column ozone, turbulensi, angin

13 10.4 2 Permukaan dan awan

14 11.2 2 Imagery, sea surface temperature (SST), awan, curah hujan

15 12.4 2 Total column water vapor, ash, SST

16 13.3 2 Suhu udara, tinggi dan jumlah awan

SW: Shortwave LW: Longwave WV: Water vapor

2. METODE

Penelitian ini menggunakan data sebagai berikut: a. Data Satelit Himawari 8kanal 3 (0,64μm), kanal 2 (0,51μm), kanal 1 (0,47μm), kanal 7 (3,9μm), kanal

11 (8,6μm), kanal 13 (10,4μm), kanal 15 (12,4μm) dari tanggal 1 hingga 30 Januari 2016 dengan format sataid (.z) yang berasal dari Sub-bidang Pengelolaan Citra Satelit BMKG

b. Data Modis level 1B Satelit Terra dan Aqua kanal 1 (0,63μm), kanal 4 (0,52μm), kanal 3 (0,46μm), kanal 20 (3,7μm), kanal 29 (8,5μm), kanal 31 (11,0μm), dan kanal 32 (12,0μm) dari tanggal 1 hingga 4 Nopember 2015 dengan format hierarchical data format (.hdf) yang berasal dari web http://reverb.echo.nasa.gov/reverb/

c. Data aktivitas erupsi gunung berapi dari PVMBG Penelitian ini mengambil studi kasus letusan gunung Bromo yang terletak di Pulau Jawa Provinsi Jawa Timur.

Pemanfaatan Data Multi Kanal Satelit Cuaca Himawari 8 dengan Menggunakan Beberapa Teknik RGB untuk Mendeteksi Debu Vulkanik. Studi Kasus: Letusan Gunung Bromo pada Bulan Januari 2016 (Pandjaitan, B.S., dkk.)

-768-

Pada penelitian ini, untuk pengolahan data satelit Himawari 8 menggunakan bantuan perangkat lunak Sataid GMSLPD untuk menghasilkan citra RGB dari beberapa kombinasi dari kanal 3 (0,64μm), kanal 2 (0,51μm), kanal 1 (0,47μm), kanal 7 (3,9μm), kanal 11 (8,6μm), kanal 13 (10,4μm), kanal 15 (12,4μm). Sedangkan untuk pengolahan data modis dari satelit Terra dan Aqua menggunakan perangkat lunak HYDRA untuk menghasilkan citra RGB dari beberapa kombinasi dari kanal 1 (0,63μm), kanal 4 (0,52μm), kanal 3 (0,46μm), kanal 20 (3,7μm), kanal 29 (8,5μm), kanal 31 (11,0μm), dan kanal 32 (12,0μm).

SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis) adalah perangkat lunak yang dikembangkan JMA (Japan Meteorological Agency) yang berfungsi untuk menampilkan data binary dari satelit MTSAT menjadi suatu citra atau gambar. Salah satu variasi dari aplikasi SATAID adalah GMSLPD yang awalnya digunakan untuk melakukan analisis siklon tropis (Tanaka, 2009). Namun dengan adanya satelit Himawari 8 sebagai generasi baru dari satelit MTSAT, maka GMSLPD juga digunakan untuk pengolahan data satelit tersebut yang memiliki 16 kanal untuk menghasilkan citra RGB.

HYDRA (Hyper-spectral data viewer for Development of Research Applications) adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh University of Wisconsin’s Space Science and Engineering Center (SSEC) yang berfungsi untuk mengolah dan menampilkan data multispektral dan hyperspektral dari beberapa satelit dengan jenis polar orbital (misalnya satelit Aqua dan Terra) ke dalam bentuk citra atau gambar baik citra single channel maupun citra RGB hasil kombinasi beberapa kanal satelit Terra dan Aqua (Rink dkk., 2007).

RGB (Red Green Blue) merupakan sebuah konsep model warna dimana suatu warna yang ada berasal dari 3 warna primer (primary colour) yaitu merah (red), hijau (green), dan biru (blue). Kombinasi dari 3 warna primer tersebut menghasilkan warna-warna turunan (secondary colour) kuning, magenta, cyan, coklat, hitam dan putih. Dalam pengolahan data citra satelit, teknik RGB digunakan untuk menggabungkan lebih dari satu kanal panjang gelombang yang berbeda agar mendapatkan suatu produk citra yang berisi informasi yang lebih baik daripada yang didapatkan hanya dari citra 1 kanal saja. True Color RGB merupakan RGB yang dihasilkan dari kombinasi kanal visible 0,64μm, 0,51μm, dan 0,47μm yang bisa digunakan untuk mendeteksi kemunculan debu vulkanik yang berwarna coklat pada citra RGB tersebut. Hal tersebut karena RGB ini mencerminkan warna sebenarnya yang dilihat di alam dimana pada kasus ini debu vulkanik yang terjadi dari erupsi gunung berapi cenderung terlihat kecoklatan. dengan resep kombinasi seperti berikut:

Red = 0,64μm Green = 0,51μm Blue = 0,47μm

Selanjutnya adalah volcanic Ash RGB yang biasa digunakan untuk mendeteksi debu vulkanik dimana debu vulkanik akan tampak berwarna merah muda atau kemerahan. Berikut adalah kombinasi dari volcanic Ash RGB:

Red = IR12.0-IR11.0 (-4°C - +2°C) Green = IR11.0-IR8.6 (-4°C - +5°C) Blue = IR11.0 (-30°C - +30°C) Kombinasi yang biasa digunakan secara operasional oleh sub bidang pengelolaan citra Satelit BMKG

adalah hampir seperti volcanic ash RGB namun kanal 8.6 μm diganti oleh 3.8μm seperti berikut: Red = IR10.8-IR12.0 Green = IR3.8- IR10.8 Blue = IR3.8 Selain itu alternatif lain yang biasa digunakan oleh sub bidang pengelolaan citra Satelit BMKG adalah

dengan mengganti komponen blue dari 3.8μm menjadi kanal visible 0,64μmuntuk lebih dapat membedakan antara debu vulkanik dengan awan meteorologis yaitu

Red = IR10.8-IR12.0 Green = IR3.8- IR10.8 Blue = VS0.64 Sedangkan pada kajian ini akan diuji juga resep RGB hasil modifikasi dari resep dust RGBdengan

mengubah gamma di komponen red, dan green menjadi 1, Sedangkan komponen blue menjadi 2,5 agar bisa mendeteksi debu vulkanik dan SO2 lebih jelas lagi dimana awalnya resep dust RGB adalah sebagai berikut:

Red = IR12.0-IR11.0 (-4°C - +2°C) Green = IR11.0-IR8.6 (0°C - +15°C) Blue = IR11.0 (-12°C - +16°C) Penggunaan kanal 8,6 μm dalam kombinasi Volcanic Ash RGB ini selain untuk dapat mendeteksi debu

vulkanis juga ditujukan untuk mendeteksi keberadaan SO2 yang dapat muncul pada letusan gunung berapi (EUMETSAT, 2016).

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-769-

Alur penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Pengumpulan berbagai data penelitian (himawari 8, modis terra-aqua, laporan aktivitas erupsi gunung

berapi) b. Mengecek pada tanggal berapa saja terjadi erupsi gunung berapi dari data PVMBG c. Melakukan pengolahan citraTrue Colour RGB dari data MODIS yang memiliki resolusi spasial lebih

baik dibandingkan data Himawari 8 untuk menganalisa apakah terdeteksi erupsi gunung berapi d. Melakukan pengolahan citraTrue Colour RGB dari data Himawari 8menggunakan perangkat lunak

Sataid GMSLPD dan membandingkan dengan citra True Colour RGB dari data MODIS untuk melihat apakah citra True Color RGB dari Himawari 8 mampu mendekati kemampuan dari MODIS

e. Melakukan pengolahan citraRGB dari Himawari 8yang biasa digunakan oleh sub bidang pengelolaan citra Satelit BMKGmenggunakan perangkat lunak Sataid GMSLPDyaitu kombinasi IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 dan kombinasi IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, VS0.64

f. Melakukan pengolahan citra RGB operasional BMKG dari Himawari 8menggunakan perangkat lunak Sataid GMSLPDdengan kombinasi IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 dengan modifikasi di nilai kanal IR3.8 yaitu -25 hingga +45

g. Melakukan pengolahan citra volcanic ash RGBdari Himawari 8menggunakan perangkat lunak Sataid GMSLPD dan citra RGB modifikasi dari dust RGB

h. Membandingkan kelebihan dan kekurangan dari berbagai citra RGB dari data Himawari 8 dalam mendeteksi sebaran debu vulkanik dan gas SO2 dari hasil erupsi gunung berapi

3. HASILDAN PEMBAHASAN 3.1. Analisis Citra RGB Multi Kanal

(A) (B)

Gambar 1. Citra RGB MODISTanggal 12 Januari 2016 untuk (a)RGB True Colourdan, (b)RGBIR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8

Setelah melakukan pengolahan citra RGB beberapa kombinasi, maka diperoleh hari-hari dimana debu

vulkanik dapat dideteksi oleh Himawari 8 baik pada kondisi tanpa adanya awan meteorologis disekitar gunung Bromo, maupun saat disertai awan meteorologis. Pada pembahasan ini, penulis akan menampilkan beberapa sampel kejadian dengan kondisi terdapat awan meteorologis di sekitar gunung Bromo saat terdapat sebaran debu vulkanik maupun gas SO2 dari erupsi gunung Bromo yang mampu ditampilkan oleh beberap citra RGB dari data satelit Himawari 8. Hal tersebut dilakukan karena pada saat di sekitar gunung Bromo memiliki kondisi tanpa awan, maka jika ada sebaran debu vulkanik maupun sebaran gas SO2 akan mudah dengan jelas terlihat di citra RGB yang digunakan dalam kajian ini.

Berdasarkan Gambar 1a terlihat bahwa, citra RGB True Colour pada tanggal 12 Januari 2016 dari MODIS mampu mendeteksi sebaran debu vulkanik dengan warna kecoklatan. Selanjutnya berdasarkan Gambar 2a terlihat bahwa dari citra RGB True Colour pada tanggal 12 Januari 2016dari Himawari 8 menunjukkan tampilan citra yang hampir sama dengan yang ditampilkan MODIS dimana debu vulkanik juga terdeteksi pada citra RGB True Colour dari Himawari 8 ini. Selanjutnya berdasarkan Gambar 2b terlihat bahwa kombinasi RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 dari Himawari 8pada tanggal 12 Januari 2016 juga menunjukkan hasil citra yang hampir sama dengan citra dari MODIS yang terdapat pada Gambar 1b.Hal ini menandakan bahwa pada sampel kasus pada tanggal 12 Januari 2016 ini, walaupun citra Himawari 8 dengan resolusi spasial yang lebih kecil dibandingkan dengan MODIS, namun masih mampu menunjukkan citra debu vulkanik seperti yang ditampilkan MODIS.

Pemanfaatan Data Multi Kanal Satelit Cuaca Himawari 8 dengan Menggunakan Beberapa Teknik RGB untuk Mendeteksi Debu Vulkanik. Studi Kasus: Letusan Gunung Bromo pada Bulan Januari 2016 (Pandjaitan, B.S., dkk.)

-770-

(A) (B) (C) (D) (E) (F)

Gambar 2. Citra RGB Himawari 8 Tanggal 12 Januari 2016 untuk (a)RGB True Colour, (b)RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8, (c)RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, VS0.64

(d)RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 modifikasi, (e)Volcanic Ash RGB, (d)Dust RGB modifikasi Setelah membandingkan secara singkat kemampuan citra Himawari 8pada tanggal 12 Januari 2016 ini,

lalu akan dianalisis kemampuan kombinasi citra RGB lainnya untuk mendeteksi debu vulkanik dan gas SO2pada tanggal 12 Januari 2016. Berdasarkan Gambar 2a, citra RGB True Color mampu mendeteksi debu vulkanik namun kelemahan dari kombinasi RGB ini adalah tidak bisa digunakan pada malam hari karena kombinasi RGB True Colour menggunakan kanal visible yang membutuhkan sinar matahari yang hanya ada pada pagi hingg sore hari.Berdasarkan Gambar 2b, citra RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 kurang jelas dalam membedakan debu vulkanik dengan awan meteorologis pada kondisi tertentu seperti yang telihat antara debu vulkanik dengan awan meteorologis memiliki warna merah yang hampir susah dibedakan. Berdasarkan Gambar 2c, citra RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, VS0.64 mampu mendeteksi wilayah yang terdapat debu vulkanik, selain itu pada kombinasi citra RGB ini telah dapat dibedakan secara jelas antara debu vulkanik dengan awan meteorologis yang tidak bisa dilakukan oleh RGB pada Gambar 2b. Hal ini dikarenakan pada citra RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, VS0.64 menggunakan kanal visble pada komponen biru yang mampu memperjelas keberadaan awan meteorologis. Namun kelemahan RGB ini adalah tidak bisa digunakan pada malam hari karena juga menggunakan kanal VS0.64. Untuk mengatasi itu maka digunakanlah RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 seperti pada Gambar 2ddengan modifikasi pada nilai IR3.8 di komponen blue yang dapat memperjelas warna awan meteorologis pada citra tersebut. Namun kelemahan dari kanal ini adalah kanal IR3.8 yang digunakan masih terpengaruh oleh cahaya sinar tampak hingga citra yang akan tampil tidak akan stabil pada pagi hingga sore hari karena pengaruh perubahan penyinaran sinar matahari. Berdasarkan Citra RGB dari Gambar 2a hingga Gambar 2d semuanya belum bisa mendeteksi lebih rinci apakah terdapat gas SO2 dari erupsi Gunung Bromo tersebut. Oleh karena itu digunakan Volcanic Ash RGB seperti pada Gambar 2e yang telah memasukkan kanal 8.6 μm dalam kombinasi RGB nya. Berdasarkan Gambar 2e maka dapat terdeteksi gas SO2namun warna yang muncul masih hampir sama dengan beberapa wilayah sekitarnya. Berdasarkan Gambar 2f terlihat bahwa SO2dapat terdetkasi dengan warna yang cukup berbeda dibandingkan warna awan meteorologis dan lingkungan sekitarnya. Selain itu RGB ini dapat digunakan pada semua mulai dari pagi hingga malam karena tidak terdapat kanal yang terpengaruh sinar tampak dalam kombinasi RGB nya.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-771-

(A) (B)

Gambar 3. Citra RGB MODISTanggal 14 Januari 2016 untuk (a)RGB True Colourdan (b)RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8

Berdasarkan Gambar 3a terlihat bahwa, citra RGB True Colourpada tanggal 14 Januari 2016 dari MODIS

mampu mendeteksi sebaran debu vulkanik dengan warna kecoklatan. Selanjutnya berdasarkan Gambar 4a terlihat bahwa dari citra RGB True Colourpada tanggal 14 Januari 2016 dari Himawari 8 menunjukkan tampilan citra yang hampir sama dengan yang ditampilkan MODIS dimana debu vulkanik juga terdeteksi pada citra RGB True Colour dari Himawari 8 ini. Selanjutnya berdasarkan Gambar 4b terlihat bahwa kombinasi RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 dari Himawari 8 pada tanggal 14 Januari 2016 juga menunjukkan hasil citra yang hampir sama dengan citra dari MODIS yang terdapat pada Gambar 3b. Hal ini menandakan bahwa pada sampel kasus pada tanggal 14 Januari 2016 ini.

Setelah membandingkan secara singkat kemampuan citra Himawari 8 pada tanggal 14 Januari 2016 ini, lalu akan dianalisis kemampuan kombinasi citra RGB lainnya untuk mendeteksi debu vulkanik dan gas SO2 pada tanggal 14 Januari 2016. Berdasarkan Gambar 4a, citra RGB True Color mampu mendeteksi debu vulkanik, namun kelemahan dari kombinasi RGB ini adalah tidak bisa digunakan pada malam hari karena kombinasi RGB True Colour menggunakan kanal visible yang membutuhkan sinar matahari yang hanya ada pada pagi hingg sore hari. Berdasarkan Gambar 4b, citra RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 kurang jelas dalam membedakan debu vulkanik dengan awan meteorologis pada kondisi tertentu seperti yang telihat antara debu vulkanik dengan awan meteorologis memiliki warna merah yang hampir susah dibedakan. Berdasarkan Gambar 4c, citra RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, VS0.64 mampu mendeteksi wilayah yang terdapat debu vulkanik, selain itu pada kombinasi citra RGB ini telah dapat dibedakan secara jelas antara debu vulkanik dengan awan meteorologis yang tidak bisa dilakukan oleh RGB pada Gambar 4b. Kelemahan RGB ini adalah tidak bisa digunakan pada malam hari karena juga menggunakan kanal VS0.64. Untuk mengatasi itu maka digunakanlah RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 seperti pada Gambar 4d dengan modifikasi pada nilai IR3.8 di komponen blue yang dapat memperjelas warna awan meteorologis pada citra tersebut. Namun kelemahan dari kanal ini adalah kanal IR3.8 yang digunakan masih terpengaruh oleh cahaya sinar tampak hingga citra yang akan tampil tidak akan stabil pada pagi hingga sore hari karena pengaruh perubahan penyinaran sinar matahari. Berdasarkan Gambar 4e terlihat bahwa yang terdeteksi adalah debu vulkanik tanpa adanya gas SO2 namun debu vulkanik dengan warna kemerah pada citra masih tipis dan kurang tajam. Berdasarkan Gambar 4f terlihat bahwa debu vulkanik dapat terdeteksi dengan warna yang cukup berbeda dibandingkan warna awan meteorologis dan lingkungan sekitarnya. Selain itu RGB ini dapat digunakan pada semua mulai dari pagi hingga malam karena tidak terdapat kanal yang terpengaruh sinar tampak dalam kombinasi RGB nya.

Pemanfaatan Data Multi Kanal Satelit Cuaca Himawari 8 dengan Menggunakan Beberapa Teknik RGB untuk Mendeteksi Debu Vulkanik. Studi Kasus: Letusan Gunung Bromo pada Bulan Januari 2016 (Pandjaitan, B.S., dkk.)

-772-

(A) (B) (C

(D) (E) (F) Gambar 4. Citra RGB Himawari 8 Tanggal 14 Januari 2016 untuk(a)RGB True Colour

(b)RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8, (c)RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, VS0.64 (d)RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 modifikasi, (e)Volcanic Ash RGB, (f)Dust RGB modifikasi

Berdasarkan Gambar 5a terlihat bahwa, citra RGB True Colourpada tanggal 15 Januari 2016 dari MODIS

mampu mendeteksi sebaran debu vulkanik dengan warna kecoklatan. Selanjutnya berdasarkan Gambar 6a terlihat bahwa dari citra RGB True Colour pada tanggal 15 Januari 2016 dari Himawari 8 menunjukkan tampilan citra yang hampir sama dengan yang ditampilkan MODIS dimana debu vulkanik juga terdeteksi pada citra RGB True Colour dari Himawari 8 ini. Selanjutnya berdasarkan Gambar 6b terlihat bahwa kombinasi RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 dari Himawari 8 pada tanggal 15 Januari 2016 juga menunjukkan hasil citra yang hampir sama dengan citra dari MODIS yang terdapat pada Gambar 5b. Hal ini menandakan bahwa pada sampel kasus pada tanggal 15 Januari 2016 ini.

Setelah membandingkan secara singkat kemampuan citra Himawari 8 pada tanggal 15 Januari 2016 ini, lalu akan dianalisis kemampuan kombinasi citra RGB lainnya untuk mendeteksi debu vulkanik dan gas SO2 pada tanggal 15 Januari 2016. Berdasarkan Gambar 6a, citra RGB True Color mampu mendeteksi debu vulkanik, namun kelemahan dari kombinasi RGB ini adalah tidak bisa digunakan pada malam hari karena kombinasi RGB True Colour menggunakan kanal visible yang membutuhkan sinar matahari yang hanya ada pada pagi hingg sore hari. Berdasarkan Gambar 6b, citra RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 kurang jelas dalam membedakan debu vulkanik dengan awan meteorologis pada kondisi tertentu seperti yang telihat antara debu vulkanik dengan awan meteorologis memiliki warna merah yang hampir susah dibedakan. Berdasarkan Gambar 6c, citra RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, VS0.64 mampu mendeteksi wilayah yang terdapat debu vulkanik, selain itu pada kombinasi citra RGB ini telah dapat dibedakan secara jelas antara debu vulkanik dengan awan meteorologis yang tidak bisa dilakukan oleh RGB pada Gambar 6b. Kelemahan RGB ini adalah tidak bisa digunakan pada malam hari karena juga menggunakan kanal VS0.64. Untuk mengatasi itu maka digunakanlah RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 seperti pada Gambar 6d dengan modifikasi pada nilai IR3.8 di komponen blue yang dapat memperjelas warna awan meteorologis pada citra tersebut. Namun kelemahan dari kanal ini adalah kanal IR3.8 yang digunakan masih terpengaruh oleh cahaya sinar tampak hingga citra yang akan tampil tidak akan stabil pada pagi hingga sore hari karena pengaruh perubahan penyinaran sinar matahari. Berdasarkan Gambar 6e terlihat bahwa yang terdeteksi adalah debu vulkanik tanpa adanya gas SO2 namun debu vulkanik dengan warna kemerah pada citra masih tipis dan kurang tajam. Berdasarkan Gambar 6f terlihat bahwa debu vulkanikdapat terdeteksi dengan warna yang cukup berbeda dibandingkan warna awan meteorologis dan lingkungan sekitarnya. Selain itu RGB ini dapat

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-773-

digunakan pada semua mulai dari pagi hingga malam karena tidak terdapat kanal yang terpengaruh sinar tampak dalam kombinasi RGB nya.

(A) (B) Gambar 5. Citra RGB MODISTanggal 15 Januari 2016 untuk(a)RGB True Colourdan

(b)RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 (A) (B) (C) (D) (E) (F)

Gambar 6. Citra RGB Himawari 8 Tanggal 15 Januari 2016 untuk(a) RGB True Colour (b) RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8, (c) RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, VS0.64

(d) RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 modifikasi, (e) Volcanic Ash RGB, (f) Dust RGB modifikasi

4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dari berbagai jenis citra RGB pada kejadian erupsi gunung Bromo selama

bulan Januari 2016 terlihat bahwa hampir semua jenis citra RGB mampu mendeteksi kejadian debu vulkanik. Namun, karena dengan kondisi berawan maka tidak semua dari jenis RGB mampu menampilkan debu vulkanik secara jelas. Beberapa jenis RGB mampu menampilkan citra debu vulkanik secara jelas namun memiliki kelemahan yang tidak bisa digunakan saat malam hari seperti pada jenis RGB true colour, dan kombinasi RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, VS0.64.Sedangkan untuk kombiasi RGB yang secara operasional digunakan BMKG yaitu RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 memiliki kelemahan di saat-

Pemanfaatan Data Multi Kanal Satelit Cuaca Himawari 8 dengan Menggunakan Beberapa Teknik RGB untuk Mendeteksi Debu Vulkanik. Studi Kasus: Letusan Gunung Bromo pada Bulan Januari 2016 (Pandjaitan, B.S., dkk.)

-774-

saat tertentu maka waran debu vulkanik dan awan meteorologis lapisan rendah akan susah dibedakan, selain itu karena menggunakan kanal IR3.8 maka akan sangat tergantung dengan kondisi penyinaran matahari dimana saat posisi matahari diatas daerah yang terdapat debu vulkanik maka akan terlihat lebih gelap. Resep RGB yang kedepannya bisa dijadikan alternatif untuk mendeteksi debu vulkanik secara operasional adalah jenis dust RGB dengan modifikasi pada gamma komponen biru dengan nilai 2,5; sedangkan gamma komponen merah dan hijau adalah 1. Namun masih harus dilakukan kajian untuk gunung berapi lainnya selain Gunung Bromo untuk melihat kemampuannya lebih lanjut.

5. UCAPAN TERIMAKASIH Pada akhir penelitian ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang banyak kepada kepala bidang

penginderaan jauh BMKG dan kepala sub-bidang pengelolaan citra satelit BMKG beserta staff yang telah membantu penulis dalam penyediaan dan diskusi tentang data satelit Himawari 8 yang diterima BMKG dari JMA. DAFTAR PUSTAKA Che, N., Xiong, X., Guenther, B., Barnes, W.L, dan Salomonson V.V., (2005).Five years of Terra MODIS on-orbit

spatial characterization.Proceedings of SPIE, vol. 5882,58821A. Comet(2013). Multispectral Satellite Aplications :RGB Product Explained. Diakses melalui

https://www.meted.ucar.edu/satmet/multispectral_topics/rgb/index.htm. Corradini, S., Merucci, L., Prata, A.J., Piscini, A., (2010). Volcanic ash and SO2 in the 2008 Kasatochi eruption:

Retrievals comparison from different IR satellite sensors. Journal of Geophysical Research. EUMETSAT (2006). Volcanic Ash and SO2 Detection.

Http://oiswww.eumetsat.org/WEBOPS/msg_interpretation/PowerPoints/Atmospheric/00_volcanic_ash_20060105.ppt. Diakses tanggal 6 November 2015

Hillger, D.W, dan Clark, J.D., (2002). Principal component image analysis of MODIS for volcanic ash. Part-1: Most important bands and implications for future GOES Imagers. J. Appl. Meteor, Inpress.

ICAO (2007). Manual on Volcanic Ash, Radioactive Material and Toxic Chemical Clouds. Guideline Document 9691. JMA (2015). Himawari User’s Guide. Diakses melalui http://www.jma-net.go.jp/msc/en/support/index.html. JMA (2015). Himawari User’s Guide. Http://www.jma-net.go.jp/msc/en/ support/index.html. Diakses tanggal 7

Nopember 2015 Khomarudin, M.R, Parwati, dan Suwarsono (2015). Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Bencana Geologi.

http://pusfatja.lapan.go.id/files_uploads_ebook/publikasi/02_APLIKASI%20PENGINDERAAN%20JAUH%20UNTUK%20BENCANA%20 GEOLOGI_draft_Final.pdf. Diakses tanggal 7 Nopember 2015

Kushardono, D., (2012). Kajian Satelit Penginderaan Jauh CuacaGenerasi Baru Himawari 8 dan 9. Jurnal Inderaja, 3(5).

Pratomo, I., (2006).Klasifikasi gunung api aktif Indonesia, studi kasus dari beberapa letusan gunung api dalam sejarah.Jurnal Geologi Indonesia. 1(4):209-227.

PVMBG (2015).Booklet Gunung Api. http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/kegiatan-pvmbg/download-center/ cat_view/88-publikasi/114-leafletbooklet.Diakses tanggal 7 Nopember 2015

Rink, T., Menzel, P.W., Gumley, L., dan Strabala, K., (2007). Introducing HYDRA2 – a Multispectral Data Analysis Toolkit for Suomi NPP and EOS.https://cimss.ssec.wisc.edu/itwg/itsc/itsc19/program/papers/1p_19_rink.pdf. Diakses tanggal 7 Nopember 2015.

Rink, T., Menzel, P.W., Gumley, L., dan Strabala, K., (2007). Introducing HYDRA2 – a Multispectral Data Analysis Toolkit for Suomi NPP and EOS. Diakses melalui https://cimss.ssec.wisc.edu/itwg/itsc/itsc19/program/papers/1p_19_rink.pdf

Salomonson, V.V, Barnes, W.L, Xiong, X, Kempler, S, dan Masuoka, E., (2002).An Overview of the Earth Observing System MODIS Instrument and Associated Data Systems Performance. Geoscience and Remote Sensing Symposium.Proceedings of IGARSS. 2:1174-1176.

Suryani, A.S., (2014). Dampak Negatif Abu Vulkanik Terhadap Lingkungan dan Kesehatan. Info Singkat Kesejahteraan Sosial Vol. VI No.04/II/P3DI/Februari/2014.

Tanaka, Y., (2009). SATAID-Powerful Tool for Satellite Analysis. RSMC Tokyo-Typhoon Center. Japan Meteorology Agency (JMA).

Tanaka, Y., (2009). SATAID-Powerful Toolfor Satellite Analysis. RSMC Tokyo-Typhoon Center, Japan Meteorology Agency(JMA).

Xie, Y., (2009). Detection of Smoke and Dust Aerosols Using Multi-sensor Satellite Remote Sensing Measurements.A dissertation submitted in partial fulfillment of the requirements for the degree ofDoctor of Philosophy at George Mason University.

Xiong, X., Che, N., Barnes, W., Xie, Y., Wang, L., dan Qu, J.J., (2006).Status of Aqua MODIS Spatial Characterization and Performance.Proceeding of SPIE. Vol.6361,63610T.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-775-

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah : Pemanfaatan Data Multi Kanal Satelit Cuaca Himawari 8 Dengan Menggunakan

Beberapa Teknik RGB Untuk Mendeteksi Debu Vulkanik (Studi Kasus: Letusan Gunung Bromo Bulan Januari 2016)

Pemakalah : Bony Septian Pandjaitan (BMKG) Pertanyaan: Maryani Hartuti (LAPAN) Pada malam hari, kombinasi RGB bagaimana yang terbaik untuk mendeteksi debu vulkanik? Jawaban: Komposisi yang digunakan secara operasional di BMKG yaitu RGB IR10.8-IR12.0, IR3.8- IR10.8, IR3.8 memiliki kemampuan untuk mendeteksi debu vulkanik pada siang dan malam karena tidak terdapat kanal visible didalamnya, namun memiliki kelemahan sedikit sudah dibedakan jika disekitarnya terdapat awan meteorology dengan ketinggian yang rendah. Oleh karena itu, Resep RGB yang kedepannya bisa dijadikan alternatif untuk mendeteksi debu vulkanik secara operasional untuk siang dan malam adalah jenis dust RGB dengan modifikasi pada gamma komponen biru dengan nilai 2,5; sedangkan gamma komponen merah dan hijau adalah Komposisi RGB:

Red = IR12.0-IR11.0 (-4°C - +2°C) Green = IR11.0-IR8.6 (0°C - +15°C) Blue = IR11.0 (-12°C - +16°C)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-776-

Aplikasi Penilaian Risiko Terhadap Manusia dikarenakan Bencana

Gunung Berapi Berbasis Data PenginderaanJauh

HuMoves: Application for Human Risk Assessment Caused by Volcanic Eruption Based on Remote Sensing Data

Arliandy Pratama Arbad1*), Muhammad Syarief Basalamah2, dan Achmad Ardy3

1Dept. of Civil Engineering, The University of Tokyo 2TeknikElektro, UniversitasDiponegoro

3Agribisnis, Universitas Lampung

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK - Letusan gunung berapi menghasilkan bencana seperti lava, jatuhan awan panas, aliran piroklastik, piroklastik surge, ledakan lateral, puing-puing longsoran, tsunami vulkanik, lumpur, banjir dan gas yang dapat merugikan. Di sisi lain, banyak orang yang tinggal didekat dengan gunung berapi dikarenakan daerah vulkanik biasanya mengandung beberapa mineral paling kaya di dalam tanah, tentu ini sangat bagus untuk sektor pertanian. Lava dan material dari aliran piroklastik yang lapuk untuk membentuk tanah yang kaya nutrisi yang dapat dibudidayakan untuk menghasilkan tanaman yang sehat. Saat ini, data penginderaan jauh dan data informasi spasial berkembang pesat, kami mengembangkan prototipe dari perilaku manusia ketika telah terjadi sebuah bencana misalnya bencana sekunder yang disebabkan oleh letusan gunung berapi untuk memahami tingkat risiko bencana dan dampak ekonomi yang berfokus pada daerah rawan bencana, yang diperoleh dari data jaringan GPS ponsel. Penilaian yang dilakukan terhadap deformasi, arah aliran piroklastik dan vegetasi disekitar gunug berapi. Dalam pengembangan sistem ini, web-GIS adalah platform untuk memudahkan berbagi data dan visualisasi. Pada umumnya, ide komprehensif yang juga bertujuan untuk merancang keamanan dan kenyamanan kota, serta turut andil dalam membentuk transportasi perkotaan yang laik. Selain itu, sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk membantu meminimalkan korban di daerah bencana sebagai dokumen dasar rencana aksi bencana. Sistem prototipe yang dikembangkan dalam penelitian ini akan lebih ditingkatkan untuk aplikasi teknis untuk mitigasi bencana alam di Indonesia.

Kata kunci:Penginderaan Jauh, Mobile GPS, Perilaku Manusia.

ABSTRACT –The volcanic eruption has produced disaster materials such as the lava, pyroclastic fall, pyroclastic flows, pyroclastic surges, lateral blast, debris avalanche, volcanic tsunamis, mud, flooding and harmful gases. On the other hand, people living close to volcanoes due the volcanic areas usually contain some of the most mineral rich soils, this is great for farming. Lava and material from pyroclastic flows are weathered to form nutrient rich soil, which can be cultivated to produce healthy crops and prosperous harvests. The remote sensing data and spatial information data are growing faster nowadays. We developed a prototype of human behavior when there is has occurred a secondary disaster, e.g. caused by the volcano eruption to understand the level of disaster risk and economic impact which focusing on disaster-prone areas and people locations, obtained from network of GPS mobile-phone. Assessment parameters are deformed, pyroclastic path, and vegetation around the volcano. In this system, web-GIS is the platform to facilitate data sharing and visualization. At the standpoint of public facilities, a comprehensive aims of this idea are to design security and comfortable city, and suitable urban transport. Furthermore, as part of the government's policy to help minimize casualties in the disaster area as a fundamental document of the disaster action plan. The prototype system developed in this study will be further enhanced for technical applications for the mitigation of natural disasters in the Indonesia.

Keywords: Remote Sensing, Mobile GPS, Human Behavior.

1. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara yang rawan bencana jika dilihat dari aspek geografis, klimatologis dan

demografis. Letak geografis Indonesia di antara dua benua dan dua samudera menyebabkan Indonesia mempunyai potensi yang cukup bagus dalam perekonomian sekaligus juga rawan dengan bencana. Secara geologis, Indonesia terletak pada 3 (tiga) lempeng yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik yang membuat Indonesia kaya dengan cadangan mineral sekaligus mempunyai dinamika geologis yang sangat dinamis yang mengakibatkan potensi bencana gempa, tsunami dan gerakan tanah/longsor. Selain itu, Indonesia mempunyai banyak gunung api aktif yang sewaktu-waktu dapat meletus. Sedangkan secara demografis, jumlah penduduk yang sangat banyak. Erupsi gunung api menghasilkan

Aplikasi Penilaian Risiko Terhadap Manusia dikarenakan Bencana Gunung Berapi Berbasis Data Penginderaan Jauh (Arbad, A. P., dkk)

-777-

sejumlah bencana yaitu lava, jatuhnya piroklastik, aliran piroklastik, lonjakan piroklastik, ledakan lateral, longsoran puing-puing, tsunami vulkanik, lumpur, banjir dan gas (Tilling, 1989)

Dilain sisi orang-orang lebih memilih bermukim dekat dengan gunung api, dikarenakan area disekitar gunung api mengandung beberapa senyawa yang kaya akan mineral, ini lah kondisi yang menguntungkan dalam hal pertanian(Loughlin,dkk., 2015). Lava dan bahan dari aliran piroklastik yang lapuk bermanfaat untuk membentuk tanah yang kaya nutrisi yang dapat dibudidayakan untuk menghasilkan tanaman yang sehat dan panen yang berlimpah.

Penting bagi pemerintah setempat untuk menaruh perhatian terhadap warga yang tinggal disekitar gunung api. Tujuan dilakukan studi ini adalah menganalisa perilaku manusia terhadap risiko dan ancaman gunung api dalam mengantisipasi letusan gunung api. Lebih jauh studi ini melibatkan data perekam lokasi koordinat ponsel.

2. METODE Secara garis besar metode penentuan posisi GPS ditentukan dengan 2 cara yaitu, absolute positioning dan

relative positioning(Abidin, 2007). Ketelitian GPS bervariasi dimulai dari hitungan ketelitian meter-milimeter, tergantung metode dan keperluan yang akan digunakan. Pada studi ini, digunakan data GPS untuk mengetahui posisi koresponden, dimana data GPS yang diperoleh merupakan hasil perekaman yang ponsel yang melibatkan provider.

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

(Dimodifikasi dari bahan ajar Sekimoto, 2016)

Pada diagram alir penelitian diatas, pola penelitian dibagi menjadi dua dimana setelah menganalisis data perjalanan objek berdasarkan aplikasi pembacaan lokasi maka dapat dibaut turunan yang berupa penerapannya terhadap kebencanaan gunung api. Studi kasus kali ini berlokasi di gunung api Mearpi, Jawa Tengah. Dimana total 7 responden yang diamati pergerakannya.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini dilakukan tracking GPS terhadap seorang responden untuk mengetahui bagaimana

kinerja tracking GPS bisa membantu memonitoring pergerakan manusia. Sampel percobaan tracking GPS menggunakan aplikasi android Real-Time GPS Tracker yang dipasang pada perangkat bergerak responden dengan mode High Accuracy dengan spesifikasi GPS antara 12 – 48 meter, dan pengiriman data lokasi 5 detik sekali pada keadaan normal.

Gambar 2.Perekam Data GPS Mobile Phone

Koresponden

Raw data

Rumah/kantordll Estimasi data transportasi

Ekstraksititikdiam Data Perjalanan

Jarak

Kecepatan Pejalan kaki

Kendaraan

GPS Wifi CDR Twitter

Analisis

Disaster Facilities

Tata kota

Disaster Preparedness

Mobmaps Apps

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-778-

Responden diambil datanya melalui perangkat bergeraknya dengan menggunakan aplikasi Real – Time GPS Tracker. Data yang diambil adalah data posisi berupa latitude dan longitude secara real time, dan data spesifikasi GPS pada saat pengambilan data. Data tersebut dimonitoring melalui website http://www.greenalp.com untuk melihat pergerakan responden.

Gambar di atas merupakan hasil pengambilan data pergerakan responden. Dari hasil percobaan dapat dilihat bahwa arah pergerakan responden yang ditandai dengan marker terdapat perbedaan data latitude dan longitude sebenarnya. Data yang dibaca pada website menyimpang dari data latitude dan longitude aslinya pada saat melakukan tracking responden. Hasil percobaan menunjukkan bahwa keakuratan GPS adalah 12 meter pada saat pengambilan data, dengan durasi pengiriman data fluktuatif, yaitu antara 5-30 detik sekali.Ketidakakuratan dan lambannya pengiriman data dikarenakan koneksi internet dan sinyal GPS yang tidak stabil dari sisi perangkat bergerak responden pada saat pengambilan data di lapangan.

Gambar 3. Pergerakan 7 Responden Berdasarkan Waktu Kejadian

Gambar diatas menunjukkan rentang waktu pada pukul 08:59:58 WIB hingga 09:07:37 WIB dimana terdapat 7 responden yang menjadi objek pengamatan. Dalam hal ini kami melakukan simulasi gempa Merapi pada pukul 09:00:00 WIB. Terlihat titik-titik yang ada pada gambar bergerak menjauhi gunung Merapi. Jika kita memiliki data perekam yang lebih banyak maka pergerakan yang dihasilkan akan lebih baik.

Gambar 4. Posisi Responden

Tabel 1. Karakteristik Data Perekam GPS Mobile Phone

ID Time

1 00:00:01 1 00:05:01 2 00:14:01 2 00:02:00 3 00:06:00 3 00:11:00 3 00:01:01 4 00:06:00 4 00:12:00 4 00:01:01 5 00:07:00 5 00:12:00 6 00:15:01 6 00:02:00 7 00:06:00 7 00:12:00

Aplikasi Penilaian Risiko Terhadap Manusia dikarenakan Bencana Gunung Berapi Berbasis Data Penginderaan Jauh (Arbad, A. P., dkk)

-779-

Waktu total yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 menit dimana dimulai pada pukul 08:59:58 WIB (pagi), pada simulasi ini pergerakan ketika letusan atau gempa terjadi responden dalam kondisi bergerak. Ini menyulitkan penulis dalam menganalisa, dikarenakan ada kemungkinan responden dalam kondisi berjalan, baik dengan kendaraan atau berjalan kaki pada umumnya. Jika ditelaah lebih jauh lagi, sebagi contoh koresponden dengan ID 2 yakni berpindah dari satu poin ke poin berikutnya dengan dengan total jarak 1.73 Km dengan waktu tempuh 12 Menit itu artinya pengguna ID dengan nomor 2 melaju dengan kecepatan 0.144 Km per menit atau 8.65 Km per jam. Maka pada saat yang bersamaan pengguna ID 2 dapat di estimasi sebagai perorangan berjalan kaki atau menggunakan moda transportasi sepeda, yang paling mendekati estimasi. Dalam hal ini kita tidak bisa mengetahui apakah koresponden merasakan gempa atau erupsi yang terjadi.

Jika dilihat dari data simulasi yang tersedia, kita dapat membuat visualisasi dari data yang terekam oleh GPS. Pada studi kali ini keterbatasan akan data menjadi persoalan yang palin utama, dengan menggunakan data yang bersifat menyeluruh dan near-realtime akan menjadikan analisis menjadi lebh baik, oleh karena itu kami selaku penulis sangat berharap adanay kerjasama dengan pihak penyedia jasa selular untuk membagikan data lokasi. Dan perlu disadari juga data ini bersifat rahasia, dikarenakan menyagkut ranah privacy yang tidak semua orang ingin di amati pergerakannya.

4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu :

1. Data yang digunakan seharusnya disediakan oleh layanan penyedia jasa provider, sehingga memudahkan untuk proses analisis.

2. Dibutuhkan data yang lebih banyak untuk mengakomodir warga yang tinggal dilereng kaki gunung api untuk analisis yang lebih mendalam.

3. Untuk keperluan analisis yang lebih komplek seperti analisis transportasi dan tatakota dibutuhkan data yang bersifat time-series dan near-realtime

4. Untuk keperluan kebencanaan dan analisis risiko, bisa menggunakan data per kejadian, dalam studi ini kami menyarankan untuk mengumpulkan data baik sebelum maupun setelah terjadi suatu kejadian bencana guna mengetahui perilaku manusia baik perilaku sebelum maupun setelah bencana terjadi.

5. Penelitian ini belum selesai sepenuhnya, beberapa keterbatasan diantaranya adalah mengenai ketersediaan data yang pada bagian selanjutnya akan dianalisis berdasarkan data yang lebih kompleks.

5. UCAPAN TERIMAKASIH Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam hal teknis dan praktis terhadap studi ini,

termasuk laboratorium Remote Sensing for Environment and Disaster, Centre for Spatial Information Science, The University of Tokyo, Teknik Elektro Universitas Diponegoro dan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Kami menyadari penelitianini masih banyak kekurangan, untuk itu ide dan masukan sangat kami harapkan untuk membangun penelitian yang lebih baik kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA Loughlin, S., Sparks, S., Brown, S., Jenkins, S., dan Vye-Brown, C., (2015). Global Volcanic Hazards and Risk.

Cambridge University Press. Tilling, R.I., (1989). Volcanic hazards and their mitigation: progress and problems. Reviews of Geophysics, 27(2):237-

269 Abidin, H.Z.,(2007). Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya. PT PradnyaParamita. Jakarta Sekimoto, (2016). Geographic Information System. Dokumentasi PDF Perkuliahan, Pekan ke-6 tentang: People

Mobility Analysis. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah

BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 JudulMakalah : Humoves: Aplikasi Penilaian Risiko Terhadap Manusia Dikarenakan Bencana

Gunung Berapi Berbasis Data Penginderaan Jauh Pemakalah : Arliandy Pratama Arbad (The University of Tokyo) Diskusi :

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-780-

Pertanyaan: Ali Fitrah (ITB) 1. Berapa ketelitian GPS yang dipakai? 2. Kenapa memilih gunung merapi?

Jawaban: 1. Ketelitian GPS yang digunakan berdasarkan applikasi GPS smarthphone antara 8-10 meter. 2. Gunung Merapi dipilih karena hanya sebagai object simulasi, dimana goal utama dari prototype ini

adalah untuk kebencanaan nasional jadi bukan hanya gunung api kedepannya, bisa juga tsunami, gempa bumi dll. Gunung Merapi juga merupakan gunung dengan tingkat ancaman yang cukup tinggi karena banyak penduduk yang bermukim di sekitar gunung Merapi.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-781-

Analisis Banjir dengan Menggunakan SATAID

(Studi Kasus: Banjir Ende, 31 Januari 2016)

Flood Analysis Using SATAID (Case Study: Ende, January, 31th 2016)

Anggi Dewita1) dan Khafid Dwicahyo2)

1Stasiun Meteorologi Selaparang, BMKG

2Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

E-mail: [email protected]

ABSTRAK – Negara Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi bencana akibat fenomena hidrometeorologi yang cukup besar. Salah satunya adalah bencana banjir yang diakibatkan oleh hujan lebat. Telah terjadi banjir bandang yang menerjang Kabupaten Ende pada tanggal 31 Januari 2016. Banjir disebabkan oleh meluapnya sungai akibat hujan lebat yang mengguyur wilayah tersebut tanggal 30 Januari 2016. Dengan menggunakan aplikasi SATAID akan dilakukan analisis labilitas udara sehingga dapat diketahui kondisi atmosfer ketika hujan lebat tersebut terjadi. Hasil dari penelitian ini adalah terdeteksi awan Cumulonimbus penyebab hujan lebat di atas area Ende yang merupakan pecahan sistem Squall Line di Laut Banda. Berdasarkan aplikasi SATAID, labilitas udara dapat diketahui dari nilai SSI yang berkisar antara (0,1 – 0,9)°C dan mengindikasikan peluang tumbuhnya thunderstorm dengan cepat. Nilai LI antara {(-3,9) – (-3,4)}°C masuk kriteria sangat labil, TS hebat mungkin terjadi, Nilai KI berkisar antara (33,0 – 33,7)°C menunjukkan peluang terjadi TS 60 – 80%, sementara nilai TT hanya berkisar antara (42,7 – 43,3) °C dengan kategori peluang konvektif. Nilai CAPE pada periode pertumbuhan sebesar 1038 k/j yang mendukung pembentukan awan konvektif dan menurun hingga sebesar 650 k/j pada periode matang dan pemusnahan. Profil angin vertikal menunjukkan adanya shear angin dengan perubahan arah hingga 180 antara lapisan 850 mb dengan lapisan 200 mb. Grafik temperatur puncak awan menunjukkan sistem utama yang menyebabkan hujan lebat tampak antara pukul 16.00 – 21.00 WITA dengan temperatur ± (-80 0C), dan setelah sistem tersebut menghilang terbentuk sistem lain dengan temperatur < - 40 oC yang masih menghasilkan hujan. Sebagai perbandingan digunakan citra TRMM yang memperlihatkan pada pukul 15 .30 – 21.30 curah hujan terakumulasi sebesar 45 – 52 mm. Kata kunci: Banjir, SATAID, Cumulonimbus, Labilitas Atmosfer ABSTRACT -Indonesia as a tropical country has large potential of disaster due to hydrometeorological phenomena. One of the disaster is flood that caused by heavy rain. Flash floods hit the district of Ende on January 31th, 2016. The floods caused by the overflowing of the river due to heavy rain that flushed the area on January 30th, 2016. By using SATAID we will analyze air lability so the atmospheric conditions when heavy rain occurs can be identified. The results of this research showed that Cumulonimbus caused heavy rains in Ende, which is a fraction Squall Line system in the Banda Sea. SATAID calculated some index, such as SSI values between (0.1 - 0.9) °C indicates rapid growth opportunities of thunderstorm. LI value of {(-3.9) - (-3.4)} °C qualify as very unstable, severe TS may occur, KI value ranged between (33.0 - 33.7) °C showed opportunities occur TS 60-80%, while the value of TT only ranged between (42.7 - 43.3) °C with convective opportunities category. CAPE value in the growth period of 1038 k / j that supports the formation of convective clouds and drops of up to 650 k / h on the mature and decay period. Vertical wind profile indicates wind shear with a change in direction between the layers 850 to 180 mb to 200 mb layer. Time series of cloud top temperature shows that main system that caused heavy rain appears from 16.00 to 21.00 Local Time. The top of Cumulonimbus has a temperature about ± -80 °C, and after the main system disappeared, there was another system with temperature <- 40 °C formed and still produce rain. For comparison we use TRMM image, which shows accumulated rainfall between 15 .30 – 21.30 Local Time in the amount of 45-52 mm. Keywords: Flood, SATAID, Cumulonimbus, Atmospheric Instability 1. PENDAHULUAN

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Nasional, banjir telah menjadi peristiwa kebencanaan dengan frekuensi tertinggi di Indonesia dengan prosentase mencapai 30%. Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki potensi fenomena hidrometeorologi yang ekstrem seperti hujan lebat. Kejadian hujan lebat dengan curah hujan tinggi yang berasal dari proses konvektif dapat berdampak pada terjadinya banjir di beberapa wilayah Indonesia (Tjasyono, 2007). Hujan lebat dengan intensitas lebih dari 50 mm/hari didefinisikan sebagai cuaca ekstrem dan dapat ditimbulkan oleh aktivitas konveksi yang merupakan fenomena cuaca skala

Analisis Banjir dengan Menggunakan SATAID (Studi Kasus: Banjir Ende, 31 Januari 2016) (Dewita, A., dkk.)

-782-

meso maupun skala lokal. Bencana banjir biasanya disebabkan oleh adanya curah hujan yang turun dengan intensitas tinggi ditambah dengan keadaan topografi suatu wilayah, luasan daerah serapan air, sistem drainase dan kebiasaan masyarakat (Suyono dkk., 2009).

Salah satu kasus yang terjadi adalah banjir bandang yang melanda Ende terjadi pada tanggal 31 Januari 2016 akibat meluapnya Sungai Lowolande yang membelah kecamatan di bagian utara Ende tersebut. Sungai meluap karena hujan turun tidak henti sejak Sabtu 30 Januari 2016 hingga Minggu. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keadaan dinamika atmosfer pada saat kejadian hujan lebat dan menentukan penyebab terjadinya hujan baik dalam skala regional maupun skala lokal yang mengakibatkan banjir di wilayah Tanjungpandan dengan memanfaatkan aplikasi SATAID. Dengan menganalisis kondisi atmosfer saat terjadi hujan diharapkan dapat memperluas ilmu pengetahuan mengenai kondisi atmosfer terutama karakteristik atmosfer di atas wilayah Ende dan sekitarnya saat terjadi hujan lebat dan juga bermanfaat untuk pembuatan peringatan cuaca dini oleh prakirawan BMKG sebagai langkah meminimalisir dampak bencana yang dapat diitimbulkan.

2. METODE 2.1 Lokasi Penelitian

Gambar1. Lokasi Kabupaten Ende

Penelitian dilakukan pada area Ende di mana terjadi bencana banjir yang secara astronomis terletak pada

8°26’24,71” LS – 8°54’25,46” LS dan 121°23’40,44” BT – 122°1’33,3” BT. Waktu penelitian yang digunakan yaitu pada tanggal 30 Januari 2016 ketika banjir bandang menerjang delapan desa di Kabupaten Ende.

2.2 Data dan Perangkat

Pada penelitian ini digunakan perangkat keras berupa Laptop ASUS dan perangkat lunak berupa aplikasi SATAID yang dibuat oleh Meteorological Satellite Center JMA dengan program yang digunakan GMSLPW. Adapun data yang digunakan dalam penelitian adalah:

a. Data citra IR satelit MTSAT padatanggal 30 Januari 2016 pukul 00 – 24 UTC yang diunduh dari ftp://satelit.bmkg.go.id.

b. Data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) pada tanggal 30 Januari 2016 yang dapat diunduh dari giovanni.sci.gsfs.nasa.gov 2.3 LandasanTeori 2.3.1 Sattelite Animation and Interactive Diagnosis (SATAID)

Adalah satu set software yang dijalankan di dalam sistem operasi Windows, berfungsi untuk mengolah gambar satelit. Inti dari sistem SATAID adalah aplikasi untuk menampilkan data binary dari satelit menjadi gambar. Aplikasi ini dikembangkan sebagai kontribusi JMA kepada World Meteorology Organization (WMO). Saat ini SATAID telah digunakan sebagai alat operasional di JMA untuk analisis cuaca harian, termasuk pula dalam kegiatan monitoring tropical cyclone (Harsa dkk., 2011). Citra yang akan diolah oleh SATAID berasal dari Multi-Functional Transport Satellite (MT-SAT) yang merupakan satelit geostasioner multi fungsional untuk misi meteorologi dan aeronautika. Beberapa keunggulan SATAID (Panjaitan, 2012), yaitu:

a. Dapat memproses data secara cepat b. Dapat meng-overlay citra satelit dengan citra lainnya, seperti: NWP, synop, metar, radar, pencatat

profil angin, dan sebagainya, dengan syarat data-data tersebut telah memiliki format yang sama sebagaimana yang diminta oleh aplikasi SATAID

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-783-

c. Menampilkan animasi citra sehingga mengetahui perubahan fisis awan terhadap waktu. Data NWP yang dihasilkan oleh SATAID meliputi labilitas atmosfer yang ditinjau dari beberapa indeks

antara lain Showalter Stability Index (SSI), K index (KI), L index, Severe Weather Threat Index (SWEAT), Convective Available Potensial Energy (CAPE) dan Total Total Index (TT). 2.3.2 Index Labilitas Udara

Wilson dan Scoggins (1976) mengatakan seorang ahli cuaca harus memperhatikan kondisi stabilitas udara untuk memahami pola cuaca konvektif, jika udara dalam keadaan labil maka kecenderungan udara cukup lembab.

SSI adalah cara yang mudah untuk menghitung stabilitas lokal atmosfer. Positif menunjukkan parsel dingin dibanding lingkungan, sehingga atmosfer stabil, begitu juga sebaliknya. KI adalah salah satu indeks stabilitas udara yang dihitung menggunakan temperatur lingkungan pada lapisan 850 dan 500mb serta temperatur titik embun pada lapisan 850 dan 700mb. Perbedaan temperatur yang semakin tinggi antara lapisan 850 dan 500mb akan membuat nilai KI semakin besar. Nilai KI digunakan untuk mengetahui proses konveksi dalam satuan (0C). TTI diperkenalkan oleh Miller pada tahun 1972 untuk mengidentifikasi daerah yang berpotensi untuk perkembangan badai guruh (AWS, 1990). SWEAT digunakan untuk memperkirakan potensi cuaca buruk yang diperoleh dari massa udara. Apabila terdapat nilai indeks SWEAT yang tinggi pada pagi hari, dimungkinkan adanya nilai indeks SWEAT yang tinggi pada sore atau malam hari sebelumnya. CAPE adalah jumlah energi potensial yang dapat membawa parsel udara bergerak naik. Juga dikenal sebagai energi gaya apung, merupakan area pada diagram termodinamika tertutup oleh profil temperature lingkungan dan adiabat basah yang menghubungkan LFC ke level EL dengan satuan Joule/Kilogram (National Weather Service Training Centre, 2000). 2.3.2 Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission)

Diluncurkan pada 27 November 1997 membawa 5 sensor utama yaitu PR (Precipitation Radar), TMI (TRMM Microwave Imager), VIRS (Visible Infrared Scanner), LIS (Lightning Imaging Sensor), dan CERES (Clouds and Earth’s Radiant Energy System). Misi utama dari Satelit TRMM adalah untuk mengukur curah hujan baik itu distribusi horizontalnya maupun profil vertikalnya.

Radar presipitasi (Precipitation Radar/PR) adalah sensor pengindera presipitasi (curah hujan) pertama yang berada di antariksa, dan dibawa oleh satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission). Sensor PR satelit TRMM ini berupa radar pengamatan secara elektronik (electronical scanning radar) terhadap curah hujan dari antariksa, beroperasi pada frekuensi 13,8GHz, memiliki resolusi horisontal di permukaan sekitar 3,1 mil (5 km) dan lebar sapuan (swath width) 154 mil (247 km). Kegunaan utama dari sensor PR satelit TRMM ini adalah untuk pemantauan/pengukuran secara 3-D (tiga dimensi) distribusi curah hujan yang terjadi, baik di atas daratan maupun di atas lautan, serta untuk pengukuran kedalaman lapisan curah hujan di atmosfer itu sendiri.

2.3 Diagram Alir

Langkah-langkah dalam penelitian ini dimulai dari identifikasi masalah, pengumpulan data, hingga analisis dan kesimpulan yang digambarkan pada diagram pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

Analisis Banjir dengan Menggunakan SATAID (Studi Kasus: Banjir Ende, 31 Januari 2016) (Dewita, A., dkk.)

-784-

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis citra satelit diketahui Mesoscale Convective System dengan tipe squall line pada pukul 01.00 UTC di Laut Bali hingga Laut Sumbawa dengan panjang 650 km. Sistem ini mencapai fase puncak sekitar pukul 06.00 UTC dengan bentangan squall memanjang hingga laut Jawa dan memiliki panjang mencapai 1157 km.

Pada pukul 04.00 UTC atau 12.00 WITA, awan stratiform pecahan dari squall line mulai memasuki wilayah daratan dan berkembang menjadi awan konvektif yang tebal pada pukul 15.00 WITA dan bertahan hingga pukul 24.00 WITA. Pecahan sistem inilah yang merupakan penyebab hujan lebat di wilayah Ende. .

Gambar 3. Citra MT-SAT kanal IR pukul 07 UTC – 15 UTC(15.00- 23.00 WITA)

3.1 Analisis Labilitas Udara

Gambar 4. Pembacaan Indeks Labilitas Udara

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-785-

Data Labilitas Atmosfer didapatkan dengan menggunakan fitur brightness pada SATAID. Sample diambil berdasarkan periode siklus hidup awan Cumulonimbus di atas area Ende dengan asumsi awan tersebut merukan penyebab utama turunnya hujan lebat.

Berdasarkan hasil running software SATAID, maka didapatkan nilai indeks labilitas udara. Ada enam Indeks yang akan dibahas, yaitu SSI, LI, KI, TT, SWEAT dan CAPE yang merupakan indikator udara labil. Secara detail dapat dilihat pada tabel dibawah.

Tabel 1.Indeks Labilitas Udara Tiap Periode

No Periode Indeks Nilai Kategori

1 PERTUMBUHAN/GROWTH (15.57 WITA)

SSI 0.1 0C Berpeluang tumbuhnya thunderstorm dengan cepat.

LI -3.9 0C Sangatlabil, thunderstorm hebat mungkin terjadi

KI 33.2 0C Peluang terjadi thunderstorm sebesar 60 – 80 %.

TT 43.3 0C Konvektif

SWEAT 222 Pertumbuhan Awan Cumulus

CAPE 1038 k/j Stabilitas konvektif sedang

2 MATANG /MATURE (19.57 WITA)

SSI 0.9 0C Berpeluang tumbuhnya thunderstorm dengan cepat.

LI -3.7 0C Sangatlabil, thunderstorm hebat mungkin terjadi

KI 33.0 0C Peluang terjadi thunderstorm sebesar 60 – 80 %.

TT 42.7 0C Konvektif

SWEAT 210 PertumbuhanAwan Cumulus

CAPE 665 k/j Stabilitas konvektif lemah

3 PEMUSNAHAN/

DECAY (22.57 WITA)

SSI 0.7 0C Berpeluang tumbuhnya thunderstorm dengan cepat.

LI -3.4 0C Sangatlabil, thunderstorm hebat mungkin terjadi

KI 33.7 0C Peluang terjadi thunderstorm sebesar 60 – 80 %.

TT 42.8 0C Konvektif

SWEAT 189 PertumbuhanAwan Cumulus

CAPE 656 Stabilitas konvektif lemah SSI memiliki nilai yang berkisar antara (0.1 – 0.9)0C yang mengindikasikan peluang tumbuhnya

thunderstorm dengan cepat. Nilai LI antara {(-3.9) – (-3.4)}°C yang merupakan kriteria sangat labil, TS hebat mungkin terjadi, Nilai KI berkisar antara (33.0 – 33.7)°C yang menunjukkan peluang terjadi TS 60 – 80%, sementara nilai TT hanya berkisar antara (42.7 – 43.3) dengan kategori peluang konvektif. Nilai CAPE pada periode Growth sebesar 1038 k/j yang mendukung pembentukan awan konvektif dan menurun hingga sebesar 650 k/j pada periode mature dan decay. Hal ini menunjukkan saat periode mature, energi potensial untuk proses konvektif parsel udara mulai berkurang cukup drastis.

Dari enam indeks yang ditampilkan, hanya dua indeks yang tidak menunjukkan kondisi udara labil, yaitu TT dan SWEAT. Sementara empat indeks lain yaitu SSI, KI, LI, dan CAPE mengindikasikan peluang terbentuknya awan Cumulonimbus. Dan di antara semua indeks hanya nilai CAPE saja yang berhasil menunjukkan perbedaan antara periode pertumbuhan dengan periode matang dan pemusnahan. 3.2 Profil Angin Vertikal

Dengan aplikasi SATAID maka dapat dibaca NWP untuk profil angin vertikal. Pembacaan profil angin vertikal akan dilakukan berdasarkan time series untuk melihat dinamika atmosfer pada saat pembentukan awan Cumulonimbus tersebut.

Analisis Banjir dengan Menggunakan SATAID (Studi Kasus: Banjir Ende, 31 Januari 2016) (Dewita, A., dkk.)

-786-

Gambar 5. Profil Angin Vertikal

Lapisan penting dalam menentukan kondisi atmosfer digunakan sebagai acuan analisis. Lapisan tersebut ialah lapisan 850 mb, 500 mb, dan 200 mb. Dari gambar di atas terlihat tidak ada perubahan yang signifikan baik arah maupun kecepatan angin di masing-masing lapisan penting tersebut pada tanggal 30 Januari 2016. Namun, ada shear angin antara lapisan 850 dengan lapisan 200 mb di mana arah angin berubah 1800

.

3.3 Temperatur Puncak Awan

Pembacaan temperatur puncak awan pada software SATAID dilakukan berdasarkan kecerahan warna yang dihasilkan oleh MT-SAT kanal IR. Semakin cerah warnanya menunjukkan temperatur awan semakin dingin. Dan diasumsikan sebagai awan Cumulonimbus. Untuk mengetahui waktu mulai terbentukknya awan Cumulonimbus, maka temperatur puncak awan akan ditampilkan dalam time series dengan titik pembacaan di atas area Ende.

Gambar 6. Time Series Temperatur Pucak Awan

Grafik di atas memperlihatkan adanya fluktuasi temperatur yang sangat signifikan pada pukul 12.00 WITA dengan range beda temperatur hingga 60 0C. Sekitar pukul 16.00 WITA, temperatur puncak awan kembali mengalami penurunan secara drastis hingga mencapai – 80 0C dan bertahan hingga pukul 21.00 WITA.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-787-

Secara umum dapat dilihat dari citra satelit dan grafik temperatur puncak awan bahwa awan Cumulonimbus hampir sepanjang malam berada di awas wilayah Ende, antara pukul 16.00 – 21.00 WITA awan Cumulonimbus yang terbentuk memiliki temperatur ± (- 80) 0C, dan setelah awan itu menghilang kemudian ada sistem awan lain dengan temperatur < - 40 0C yang terbentuk dan masih menghasilkan hujan.

3.4 Analisis Hujan Satelit TRMM

Gambar 7 menunjukkan hasil pengolahan data satelit TRMM pada tanggal 30 Januari 2016 yang dibagi menjadi 3 periode.

(a) (b) (c)

Gambar 7. Citra TRMM tanggal 30 - 31 Januari 2016. (a) Akumulasi Hujan 06.30 – 15.30 WITA (b) Akumulasi Hujan 15.30 – 21.30 WITA (c) Akumulasi Hujan 21.30 – 06.30 WITA

Dengan menggunakan citra satelit TRMM sebagai acuan, maka dapat disimpulkan bahwa akumulasi

hujan tertinggi terjadi antara pukul 15.30 – 21.30 WITA dengan nilai yang mencapai 52,5 mm di daerah Kabupaten Ende bagian Utara. 4. KESIMPULAN

Banjir bandang yang melanda wilayah Ende dipicu oleh karena hujan turun tidak henti sejak tanggal 30 Januari hingga 31 Januari 2016. Berdasarkan analisis citra satelit menggunakan SATAID, terpantau wilayah Ende tertutupi awan sejak hari Sabtu siang hingga hari Minggu. Awan tersebut tumbuh sebagai akibat dari fenomena squall line di utara Ende. Berikut rangkuman kondisi atmosfer yang dianalisis menggunakan SATAID: a. Kondisi atmosfer masuk kategori labil, dengan indeks KI, LI, TT, dan CAPE yang mendukung

pembentukan awan konvektif penyebab hujan. b. Terdapat shear angin dengan arah berubah 1800antara lapisan 850 mb dengan lapisan 200 mb yang

dapat memicu pertumbuhan awan konvektif. c. Analisis temperatur puncak awan menunjukkan pukul 16.00 – 21.00 WITA awan Cumulonimbus yang

terbentuk memiliki temperatur ± (- 80) 0C, dan setelah awan itu menghilang kemudian ada sistem awan lain dengan temperatur < - 40 0C yang terbentuk dan masih menghasilkan hujan.

d. Berdasarkan citra satelit TRMM, hujan lebat terjadi antara pukul 15.30-21.30 WITA, sesuai dengan periode sistem awan dengan temperatur ± (- 80) 0C.

DAFTAR PUSTAKA Fu, Y., dan Liu, G. (2001). The Variability of Tropical Precipitation Profiles and Its Impact on Microwave Brightness

Temperatures as an Inferred from TRMM Data. J. Appl. Meteor., 40:2130-2143. Harsa, H., Linarka, U.A., Kurniawan, R., dan Noviati, S. (2011). Pemanfaatan Sataid Untuk Analisis Banjir Dan Angin

Puting Beliung: Studi Kasus Jakarta Dan Yogyakarta. Jurnal Meteorologi Dan Geofisika, 12(2) Manual, S. (2007). Jakarta: BMKG National Weather Service Training Centre. (2000). The Skew-T Log P Diagram and Sounding Analysis Remote

Training Module. National Weather Service Training Centre. Panjaitan, A. (2012). Pemanfaatan Citra Satelit untuk Informasi Meteorologi Penerbangan. Jakarta: Materi Diklat

Penerbangan. Suyono, H., Satyaning, A., Boer, R., Agus, P., Ribudiyanto, K., …, dan Kumalawati, R. (2009). Kajian Cuaca Ekstrim

di Wilayah Indonesia Jakarta: Puslitbang BMKG

Analisis Banjir dengan Menggunakan SATAID (Studi Kasus: Banjir Ende, 31 Januari 2016) (Dewita, A., dkk.)

-788-

Tjasyono, B., Juaeni, I., dan Harijono, S.W.B. (2007). Proses Meteorologis Bencana Banjir Di Indonesia. Jurnal Meteorologi Dan Geofisika, 8(2). Wilson, G.S., dan Scoggins, J.R. (1976). Atmospheric Structure And Variability In Areas Of Convective Storms

Determined From 3-H Rawinsonde Data. NASA CR-267 8, 128 pp. [NTIS, Springfield, VA 22161] Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah, M.K. (2010). Perspektif Operasional Cuaca Tropis. Badan Meteorologi

Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah : Analisis Banjir dengan Menggunakan SATAID (Studi Kasus: Banjir Ende, 31

Januari 2016) Nama Pemakalah : Anggi Dewita (BMKG) Diskusi : Pertanyaan: Dr. Ety Parwaty (LAPAN) 1. Beberapa kejadian banjir di wilayah Indonesia sudah sering terjadi, apakah banjir di Ende merupakan

kejadian khusus, sehingga diambil sebagai lokasi penelitian? 2. Apakah hasil analisis yang diperoleh di Ende berlaku umum, sehingga dapat diterapkan langsung di

lokasi lain atau masih perlu justifikasi kembali? Jawaban: 1. Wilayah Indonesia memang sangat rentan terhadap bencana hidrologis, sehingga banjir sering terjadi.

Sebenarnya tidak ada alasan khusus mengapa saya mengambil wilayah Ende sebagai lokasi penelitian. Saya menggunakannya karena ini merupakan tugas saya ketika mengikuti diklat teknis analisis cuaca BMKG, sehingga data satelit mengenai banjir ini bisa saya dapatkan dengan cepat dan lengkap. Selain itu, analisis mengenai dinamika atmosfer di wilayah timur juga masih sedikit. Selama ini analisis umumnya dilakukan di daerah-daerah padat penduduk seperti Jakarta, sehingga informasi mengenai karakteristik atmosfer di wilayah Timur pada umumnya dan Ende pada khususnya masih minim sekali. Saya harap penelitian ini bisa menjadi salah satu acuan untuk melihat karakteristik atmosfer di wilyah Ende dan membantu dalam membuat warning bagi rekan-rekan forecaster di Maumere.

2. Kondisi atmosfer merupakan sesuatu yang sangat kompleks, dan tidak bisa diselesaikan dengan perhitungan pasti melainkan dengan pendekatan-pendekatan numerik. Labilitas udara termasuk dalam skala lokal yang mencakup area >1 kilometer. Karena itu analisis ini hanya akan berlaku di wilayah Ende saja dan masih perlu penelitian dengan jumlah sampling data yang banyak untuk menentukan treshold pada masing-masing indeks labilitas udara. Untuk lokasi lain diperlukan penelitian tersendiri.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016

-789-

Pemanfaatan Data Penginderaan Jarak Jauh Untuk Analisis Potensi Banjir di Pulau Bangka

The Utilization of Remotely Sensed Data to Flood Potential Analisis in Bangka Islands

Nur Setiawan1*)

1Stasiun Meteorologi Klas 1 Pangkalpinang Jl. Bandara Depati Amir – Pangkalpinang

*)Email : [email protected]

ABSTRAK- Keterbatasan pengamatan curah hujan yang ada di daratan sangat mempengaruhi dalam pembuatan analisis kejadian banjir yang terjadi. Dengan memanfaatkan data satelit dapat digunakan sebagai alternatif pengamatan curah hujan, karena data satelit memiliki resolusi spasial dan temporal yang sangat baik. Pada penelitian ini data yang digunkan adalah data satelit HIMAWARI-8 pada bulan Februari 2016 dan data ARG (Automatic Rain Gauge) di dua lokasi di Pulau Bangka yaitu ARG Muntok dan ARG Belinyu pada bulan Februari 2016. Metode yang digunakan adalah dengan mengklasifikasikan data satelit dan data ARG, untuk data satelit pengklasifikasianya menggunakan data suhu puncak awan dari kanal IR-1. Kemudian dilakukan verifikasi menggunakan metode multi kategori untuk melihat keakuratan data estimasi satelit tersebut sebelum digunakan sebagai analisis potensi banjir. Hasil yang diperoleh adalah nilai korelasi antara suhu puncak awan (Tct) dengan data curah hujan masih memiliki nilai yang rendah yaitu -0.4 untuk lokasi Belinyu dan -0.2 untuk Muntok. Akan tetapi untuk estimasi curah hujan dengan data suhu puncak awan masih bisa digunakan sebagai alternatif untuk menganalisis potensi banjir karena memiliki data spasial dan temporal yang baik.

Kata Kunci : HIMAWARI-8, ARG, spasial, temporal

ABSTRACT -Limitations of rainfall observation on the land influence in making the analysis of flood events that happened. By utilizing the satellite data can be used as an alternative to the observations of rainfall, because the satellite data has an excellent temporal and spatial resolution. In this study, the data used is satellite data HIMAWARI-8 at February 2016 and ARG (Automatic Rain Gauge) data at two locations on the Bangka Island that is Muntok ARG and Belinyu ARG in February 2016. The method that used is to classify satellite data and ARG data, to satellite data the classification is using the cloud top temperature data from IR-1 channel. Then be verified using multi-category method to see the accuracy of that satellite estimates data before being used as an analysis of the potential for flooding. The result is the correlation value between cloud top temperature (Tct) with rainfall data still have a low value that is -0.4 for Belinyu location and -0.2 for Muntok. However, for rainfall estimates using cloud top temperature still can be used as an alternative to analyze the potential for flooding because it has a good spatial and temporal data.

Keywords: HIMAWARI-8, ARG, spatial, temporal

1. PENDAHULUAN Banjir merupakan suatu fenomena alam yaitu terbenamnya daratan yang biasanya kering oleh air.

Beberapa faktor yang menyebabkan banjir adalah curah hujan yang cukup tinggi, daya tampung dan daya dukung tanah yang kurang, pendangkalan daerah aliran sungai (DAS), dan tingginya pasang laut, terutama diwilayah yang dipengaruhi pasang surut (di daerah pesisir). Menurut Nugroho, S.P (2002) faktor curah hujan yang tinggi merupakan salah satu faktor utama penyebab banjir. Berdasarkan hal tersebut pengamatan curah hujan menjadi sangat penting sebagai data inputan dalam membuat analisis potensi banjir.

Keterbatasan pengamatan curah hujan yang ada di daratan sangat mempengaruhi dalam pembuatan analisis kejadian banjir yang terjadi. Dengan memanfaatkan data satelit dapat digunakan sebagai alternatif pengamatan curah hujan, karena data satelit memiliki reolusi spasial dan temporal yang sangat baik. Pada penelitian ini digunakan satlit geostasioner HIMAWARI-8 yang merupakan penggati dari satelit MTSAT yang mulai beroperasi Juli 2015. Satelit HIMAWARI-8 memiliki 16 kanal, resolusi spasial 2 km, dan resolusi temporal per 10 menit. Dari 16 kanal yang dimiliki satelit HIMAWARI-8 dalam penelitian ini hanya digunakan kanal IR-1 (10.3 – 10.6 µm) yaitu data suhu puncak awan (top cloud temperature). Akan tetai data tersebut tidak dapat langsung digunakan, harus dilakukan validasi dengan data permukaan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan curah hujan yang terjadi di permukaan..

Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan kelebihan data satelit baik secara spasial maupun temporal untuk digunakan sebagai analisis potensi banjir di wilayah Pulau Bangka.

Pemanfaatan Data Penginderaan Jarak Jauh Untuk Analisis Potensi Banjir di Pulau Bangka (Setiawan, N)

-790-

2. DATA DAN METODE 2.1 Data

Data yang dgunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: - Data suhu puncak awan (tct) dari satelit HIMAWARI-8 bulan Februari 2016. - Data ARG di dua lokasi Muntok dan Belinyu jam-jaman pada bulan Februari 2016.

Gambar 1. Lokasi ARG di Pulau Bangka

2.2 Metode

Klasifikasi hujan berdasarkan suhu puncak awan satelit HIMAWARI-8 dikelompokan menjadi empat kelas (Price,et.al., 1994), yaitu:

Tabel 1. Klasifikasi suhu puncak awan (Tct). (Price,et.al., 1994, dalam Haryani 2014)

KATEGORI KETERANGAN

Cerah Tct ≥ - 20°C ( Tct ≥ 253 K)

Ringan - 47°C ≤ Tct < - 20°C ( 226 K ≤ Tct ≤ 253 K)

Sedang - 75°C ≤ Tct < - 47°C ( 198 K ≤ Tct ≤ 226 K)

Lebat Tct < - 75°C ( Tct < 198 K) Sedangkan klasifikasi curah hujan dari data ARG menggunakan klasifikasi jam-jaman dari BMKG :

Tabel 2. Kriteria Intensitas curah hujan di Indonesia(BMKG, 2010)

KATEGORI KETERANGANRingan 1 – 5 mm/jamSedang 5 –10 mm/jam

Lebat 10 –20 mm/jam

Sangat Lebat > 20 mm/jam

2.2.1 Metode Kontingensi Multi Kategori Metode ini digunakan untuk memverifikasi hasil dari kriteria hujan dari Tct dan kriteria CH dari data ARG. Metode kontingensi multikategori ini dapat menghasilkan nilai seperti Bias, Akurasi dan Skill hasil dari suatu percobaan.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016

-791-

Tabel 3. Tabel Kontingensi Multi Kategori

Hujan Lebat Hujan Sedang Hujan Ringan Tidak Hujan Total Forecast

Hujan Lebat A1 A2 A3 A4 SUM

(A1;A2;A3;A4)

Hujan Sedang B1 B2 B3 B4SUM

(B1;B2;B3;B4)

Hujan Ringan C1 C2 C3 C4SUM

(C1;C2;C3;C4)

Tidak Hujan D1 D2 D3 D4SUM

(D1;D2;D3;D4)

Nila

i Esti

mas

i Sat

elit

Observasi (ARG)

SUM (A3;B3;C3;D3)Total Obsevasi

SUM (A1;B1;C1;D1)

SUM (A2;B2;C2;D2)

SUM (A3;B3;C3;D3) TOTAL

- Bias

Bias =

Merupakan nilai perbandingan antara frekuensi kejadian ‘YA’ untuk prakiraan dan observasi. Selang nilai ialah dari 0 sampai tidak terhingga. Skor terbaik bernilai sama dengan 1. Jadi nilai ini menunjukkan apakah sistem prakiraan memiliki kecenderungan untuk underforecast (BIAS<1) atau overforecast (BIAS>1). Jadi tidak mengukur sebagus apa sistem prakiraan kita tetapi hanya mengukur frekuensi relative saja. - FAR (False Alarms Rate) FAR =

Perhitungan ini mendefinisikan seberapa besar kejadian prakiraan ‘ya’ ternyata tidak terjadi dengan memperhitungkan peringatan salah tetapi mengabaikan kejadian-kejadian misses. Jangkauan nilai 0 – 1, dengan nilai sempurna 1. - POD (Probability of Detection)

POD = Perhitugan POD atau hits rate (HR) dimaksudkan untuk menunjukkan berapa bagian dari kejadiaan ‘Ya’ yang diprakirakan dapat benar terjadi dengan tepat ‘Ya’. Nilai POD/HR memiliki selang 0 sampai dengan 1. Skor sempurna adalah 1. Artinya jika nilai POD/HR semakin mendekati nilai 1 berarti informasi prakiraan semakin baik.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Perbandingan nilai Top Cloud Temperature dengan curah hujan permukaan Berdasarkan Gambar 3a dan 3b dapat dilihat bahwa nilai suhu puncak awan (warna biru) dan nilai curah hujan permukaan (wana merah) memiliki hubungan yaitu pada saat nilai suhu puncak awan rendah atau turun curah hujan dipermukaan akan tinggi atau meningkat.

Gambar2. Grafik perbandingan suhu puncak awan (Tct) dengan data curah hujan permuaan (ARG) bulan Februari 2016. (a) Belinyu, dan (b) Muntok.

Hasil korelasi yang diperoleh masih menunjukkan nilai yang kecil, nilai korelasi untuk Lokasi Belinyu diperoleh -0.4 sedangkan untuk lokasi Muntok diperoleh nilai korelasi sebesar -0.2 (bernilai negatif karena memiliki nilai yang saling berlawanan atau berkebalikan). Nilai korelasi yang masih kecil kemungkinan

Pemanfaatan Data Penginderaan Jarak Jauh Untuk Analisis Potensi Banjir di Pulau Bangka (Setiawan, N)

-792-

disebabkan oleh saat dipermukaan tidak terjadi hujan nilai suhu puncak awan masih mengalami fluktuasi atau naik turun nilainya.

3.2 Verifikasi Menggunakan Kontingensi Multi Kategori Hasil yang ditunjukkan dari perhitungan kontingensi multi kategori adalah sebagai berikut (Tabel 4).

Tabel 4. Tabel hasil perhitungan metodeverifikasi Multi Kategori

Belinyu Muntok Belinyu Muntok Belinyu MuntokBerawan 0.8 0.8 0.1 0.1 0.8 0.7

Hujan Ringan 1.5 1.6 0.7 0.8 0.4 0.3Hujan Sedang 3.3 9.1 0.9 1 0.4 0.4Hujan Lebat 0.8 0.8 0.8 1 0.2 0

Kriteria Bias FAR POD

Berdasarkan Tabel 4 diatas dapat dilihat nilai bias pada kondisi berawan dan hujan lebat memiliki nilai 0.8 mendekati nilai 1. Akan tetapi nilai akurasi yang ditunjukkan POD dan FAR hanya kondisi berawan yang menunjukkan nilai baik, untuk kondisi yang lain memiliki nilai akurasi yang masih kurang.

3.3 Pembahasan Nilai kriteria yang dihasilkan dari estimasi menggunakan data suhu puncak awan masih memiliki nilai korelasi yang kecil. Hal tersebut dikarenakan saat kondisi dipermukaan tidak terjadi hujan atau bernilai nol fluktuasi nilai suhu puncak awan masih terjadi. Akan tetapi jika dilihat dari grafik perbandingan nilai curah hujan permukaan dengan nilai suhu puncak awan menunjukkan adanya hubungan yang erat dari kedua parameter tersebut (Gambar 2). berdasarkan hal tersebut data estimasi curah hujan menggunakan suhu puncak awan dapat di jadikan alternatif untuk membuat analisis potensi banjir mengingat masih sangat sulitnya mendapatkan data curah hujan permukaan dengan resolusi temporal yang baik untuk wilayah Pulau Bangka.

Gambar3. Peta intensitas curah hujan (kiri), peta wilayah potensi banjir (kanan)di Pulau bangka.

4. KESIMPULAN Berdasarkan analisis diatas dapat diambil kesimpulan bahwa nilai korelasi antara suhu puncak awan (Tct) dengan data curah hujan masih memiliki nilai yang rendah yaitu -0.4 untuk lokasi Belinyu dan -0.2 untuk

Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016

-793-

Muntok. Akan tetapi untuk estimasi curah hujan dengan data suhu puncak awan masih bisa digunakan sebagai alternatif untuk menganalisis potensi banjir.

DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, S.P., (2002). Analisis curah hujan dan sistem pengendalian banjir di Pantai Utara Jawa Barat (Studi kasus bencana banjir periode Januari – Februari 2002). Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. BPPT. 4(5):114-122.

BMKG. (2010). Press Release kondisi cuaca ekstrem dan iklim tahun 2010-2011. Jakarta: BMKG Haryani, N.S., (2014). Analisis Potensi Banjir Harian di Indonesia Menggunakan Data Penginderaan Jauh.Bandung:

LAPAN

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator : Parwati Judul Makalah : Pemanfaatan Data Penginderaan Jarak Jauh Untuk Analisis Potensi Banjir Di Pulau

Bangka Pemakalah : Nur Setiawan (BMKG) Diskusi : Pertanyaan: Dr. Indah Prasati (LAPAN) Data curah hujan observasi dan data satelit Himawari yang digunakan per jam memang korelasinya pasti rendah kecuali menggunakan data bulanan atau mingguan akan terlihat tinggi, karena variasi curah hujan sangat tinggi. Ada kemungkinan ini hanya potensi, kalau hujan berdasarkan klasifikasi suhu dan potensi lebat pasti tinggi tetapi kalau ringan, nilai curah hujan pasti rendah karena ada factor angin. Dinamika atmosfer sangat dinamis. Ketika yang dihitung disitu potensi hujan lebat tetapi pada titik itu belum tentu akan terjadi hujan lebat karena ada factor dinamika atmosfer yang menyebabkan bergeser. Bagaimana menentukan potensi banjir dari 2 titik di data yang sudah diolah? Jawaban: Nilai suhu puncak awan saya masukan dalam kriteria dengan area yang ada, misalkan suhu hujan 220 saya masukan lalu diinterpolasi. Sedangkan potensi banjirnya, diwilayah itu sudah ditentukan BMKG pusat. Saya hanya mengkriteriakan suhu puncak awan lalu digabung dengan data potensi banjir yang akan terjadi di arcgis lalu banjir diklasifikasikan menjadi rendah, sedang, tinggi. Saran: Prof. Dr. Eddy Hermawan (LAPAN) Saya asumsikan ada TPB, hujan tidak turun secara vertical tetapi ia dibawa oleh angin. Bayangkan 1 besar TPB harus di kappa hanya satu titik Bangka, pasti kecil, tapi kalau Bangka itu dibuat oleh 1000 curah hujan atau separuhnya atau sepertiganya banyak perkiraan curah hujan plus dibutuhkan real time karena butuh waktu sampai ke bawah hingga 0,8 pasti kecil At least karakteristik TPB dan karakteristik curah hujan yang dibawah sama plus diambil pada saat curah hujan tinggi. Memang riskan jika hanya satu titik berapa banyak curah hujan yang mewakilinya. Dirata-ratakan satu jam-jaman riskan juga, pada TPB berapa yang menjadi boundarinya untuk kawasan Bangka karena kawasan lain belum tentu sama Saran: Dr. Indah Prasati (LAPAN) LAPAN sudah melakukan lewat data envisat, peta rawan banjir PU dioverlaykan dengan potensi hujan lebat akan ketemu potensi banjir. Jadi potensi hujan lebat diatas daerah rawan banjir dipotensikan sebagai daerah banjir. Saya juga sudah mengkorelasikan, ini kan menggunakan table kontingiensi untuk menghitung POD (peluang data himawari tersebut bisa digunakan untuk deteksi hujan lebat), untuk korelasinya harus dikorelasikan misalnya dengan data BNPB untuk mengetahui titik banjir di daerah itu berapakah tingkat akurasi informasi ini.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-794-

Pemanfaatan Data Citra MODIS NRT Untuk Analisis Kejadian Banjir di Pulau Jawa Bagian Barat (Studi Kasus: Maret 2016)

Utilization of MODIS NRT Imagery Data to Analyze Flooding Event in

Western Part of Java Island (Case study : March 2016)

Shailla Rustiana1*), Sinta Berliana Sipayung2, Adi Witono2, dan Eddy Hermawan2

1Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor 2Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK-Bencana banjir yang melanda wilayah Pulau Jawa bagian Barat termasuk Kota Jakarta, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut merupakan kejadian ekstrem seperti kejadian tahun 2007. Tahun 2016 ini, banjir terjadi pada bulan Maret yang menyebabkan sungai Citarum meluap. Meluapnya sungai Citarum mengakibatkan 15 daerah di Kabupaten Bandung terendam banjir (BNPB) dan sebanyak 5.900 kepala keluarga yang terdiri dari 24.000 jiwa terdampak banjir serta lebih dari 3.000 jiwa mengungsi (BPBD Kabupaten Bandung). Dengan dilatarbelakangi masalah tersebut, diperlukan analisis lebih lanjut terkait bencana banjir, terutama dari kaca mata penginderaan jauh. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kejadian banjir di Pulau Jawa bagian barat pada , tepatnya pada tanggal 12-13 Maret 2016dengan parameter atmosfer. Data yang digunakan merupakan data citra MODIS Near Real Time (NRT) Global Flood Mapping dengan resolusi 250m dan data satelit curah hujan harian dari GSMaP dan data reanalisis dari CHIRPS untuk analisis intensitas curah hujan ketika terjadi Banjir. Sementara perangkat lunak yang digunakan adalah QGIS, Google Earth, dan GrADS. Hasil pengamatan citra MODIS flood map rataan 2 hari (12-13 Maret 2016) menunjukkan kanal banjir yang ditandai dengan warna merah terdapat pada wilayah Jakarta, Bandung, serta sebagian di wilayah Garut, Subang, Sumedang, dan Cirebon. Analisis citra MODIS sesuai dengan sebaran spasial intensitas curah hujan rataan 2 hari dari GSMaP, yang menunjukkan curah hujan untuk wilayah-wilayah tersebut berkisar 20-80 mm/hari yang tergolong dalam kategori sedang hingga lebat menurut BMKG. Maka, dengan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa citra MODIS NRT cukup baik untuk menganalisis kejadian banjir di wilayah Pulau Jawa bagian barat pada bulan Maret 2016.

Kata kunci: Banjir, CHIRPS, GSMaP, MODIS

ABSTRACT -Floods in the western part of Java Island area, including the Jakarta City, Bandung, Sumedang and Garut Regency is the most extreme incident like the incident in 2007. In 2016, flood occurred in March that caused the Citarum river overflowed. The overflowed of the Citarum river resulted in 15 regions in Bandung Regency were flooded (BNPB) and as many as 5,900 heads of households consisting of 24,000 inhabitants affected by the floods and more than 3,000 people displaced (BPBD Bandung). With this background, further analysis related to floods, especially from remote sensing is needed. This study was conducted to analyze the incidence of flooding in the western part of Java Island on March 12-13, 2016 with atmospheric parameters. The data used is the MODIS Near Real Time (NRT) Global Flood Mapping data with a resolution of 250m and daily rainfallsatellite data with GSMaP and reanalysis data from CHIRPS for the analysis of rainfall intensity during a flood. While the software used areQGIS, Google Earth, and GrADS. Observations flood MODIS image folder averaging 2 days (March, 12-13 2016) shows the floods are marked with red color found in Jakarta, Bandung, and partly in the area of Garut, Subang, Sumedang and Cirebon. MODIS image analysis in accordance with the spatial distribution of rainfall intensity averaging 2 days of GSMaP, which shows rainfall in these areas ranged from 20-80 mm/day were classified in the category of moderate to heavy rainfall by BMKG. Thus, the results of this study show that MODIS NRT imagery is good enough to analyze the flooding event in the western part of Java Island on March 2016.

Keywords: Floods, CHIRPS, GSMaP, MODIS

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Curah hujan yang cukup tinggi hingga ekstrem sering dikategorikan sebagai penyebab utama timbulnya kejadian banjir. Bencana banjir yang terjadi di wilayah Pulau Jawa bagian Barat, terutama Kabupaten Bandung merupakan kejadian yang berdampak ektsrem seperti kejadian tahun 2007. Pada tahun 2016 ini,

Pemanfaatan Data Citra MODIS NRT Untuk Analisis Kejadian Banjir di Pulau Jawa Bagian Barat (Studi Kasus: Maret 2016) (Rustiana, S., dkk.)

-795-

banjir terjadi pada tanggal 12 – 13 Maret yang menyebabkan sungai Citarum meluap. Meluapnya sungai Citarum tersebut mengakibatkan 15 daerah di Kabupaten Bandung terendam banjir (BNPB) dan sebanyak 5.900 kepala keluarga yang terdiri dari 24.000 jiwa terdampak banjir serta lebih dari 3.000 jiwa mengungsi (BPBD Kabupaten Bandung).

Banjir sering dikenal sebagai peristiwa yang paling dahsyat di seluruh dunia. Pemetaan menjadi elemen umum untuk mengidentifikasi daerah rawan banjir, persiapan tanggap darurat, dan desain tindakan perlindungan banjir serta pemeriksaan banjir (Fazeli dkk., 2015). Untuk memantau adanya kejadian banjir di suatu daerah dapat dilakukan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Penentuan zonasi banjir pada lahan sawah di Jawa Tengah yang sebelumnya dilakukan oleh Rahmadany dkk (2014), dapat dilakukan dengan satelit Terra MODIS. Data MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan satelit penginderaan jauh yang memiliki kemampuan untuk memantau kawasan secara luas, permukaan bumi dan fenomena lingkungan dengan resolusi spasial 250m, 500m, dan 1000m. Satelit ini dapat mencakup wilayah cakupan yang luas, yaitu sekitar 2.330 km setiap hari dengan resolusi spektral sebanyak 36 kanal. Satelit ini mulai beroperasi sejak tanggal 18 Desember 1999 (Terra) dan 4 Mei 2002 (Aqua) (Zubaidah dkk., 2013).

Satelit turunan pemetaan banjir yang menedekati waktu sebenarnya (Near Real Time) sangat penting untuk pemegang saham dan pembuat kebijakan dalam pemantauan bencana dan upaya bantuan (Sun dkk., 2011). Citra MODIS yang dapat memonitoring banjir (Flood Mapping) merupakan menggunakan pengamatan yang near real time (NRT). Dengan cakupan global resolusi 250m, citra MODIS NRT Flood Mapping ini dapat memantau kejaidan banjir dengan baik (Nigro dkk., 2014). Selain citra MODIS NRT Flood Mapping, digunakan pula data curah hujan satelit GSMaP dan reanalisis CHIRPS untuk menganalisis distribusi curah hujan di wilayah kajian pengamatan.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan citra MODIS NRTFlood Mapping dalam menganalisis kejadian banjir di Pulau Jawa bagian Barat pada tanggal 12-13 Maret 2016 serta mengkorelasikannya dengan distribusi curah hujan dari satelit GSMaP dan reanalisis CHIRPS.

2. METODE 2.1 Data dan Alat

Penelitian ini dilakukan untuk mengamati kejadian bencana banjir di wilayah Pulau Jawa bagian Barat pada tanggal 12 dan 13 Maret 2016. Data yang digunakan meliputi data citra MODIS NRTFlood Mappingrataan 2 harian yang diunduh dalam format shapefile (shp) dan KMZ (Keyhole Markup Language, KML yang telah dikompres) pada alamat: http://oas.gsfc.nasa.gov. Tampilan awal data MODIS NRTFlood Mapping yang diunduh merupakan wilayah spasial 0°-10° LS dan 100°-110° BT (Gambar 1) yang mencakup Pulau Sumatera dan Pulau Jawa bagian Barat hingga Tengah,namun wilayah kajian yang akan diamati pada penelitian ini hanya pada Pulau Jawa bagian Barat (wilayah dalam kotak hijau); data curah hujan harian satelit Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) NRT yang diunduh dari alamat: http://sharaku.eorc.jaxa.jp; data curah hujan reanalisis harian dari Climate Hazard InfraRed Precipitation with Station (CHIRPS) yang diunduh pada alamat:http://iridl.ldeo.columbia.edu; dan data Indonesia.shp sebagai lapisan(layer) peta.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-796-

Gambar 1. Tampilan MODISNRT Flood Mapping untuk komposit 12-13 Maret 2016

(wilayah kajian : dalam kotak hijau) Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya Quantum Geographycal Information

System (QGIS)Desktop versi 2.14.1 yang dapat diunduh di alamat: http://www.qgis.org; Google Earth, Opening Grid Analysis and Display System (OpenGrADS) versi 2.02 yang diunduh di alamat: http://opengrads.org; dan seperangkat Microsoft Office 2013.

2.2 Diagram Alir Penelitian

Langkah kerja yang dilakukan dalam penelitian ini terdapat 4 tahap, terdiri atas:

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Data MODIS merupakan satelit penginderaan jauh yang memiliki kemampuan untuk memantau kawasan

secara luas, permukaan bumi dan fenomena lingkungan dengan resolusi spasial 250m, 500m, dan 1000m. Satelit ini dapat mencakup wilayah cakupan yang luas, yaitu sekitar 2.330 km setiap hari dengan resolusi spektral sebanyak 36 kanal yang mencakup wilayah daratan (Terra) dan perairan (Aqua) (Zubaidah dkk., 2013). Tidak hanya untuk mendeteksi banjir seperti yang digunakan pada penelitian ini, citra MODIS juga merupakan citra satelit hiperspektral generasi baru yang digunakan untuk pengamatan daratan dan perairan. Informasi yang dihasilkan citra MODIS juga dapat menganalisis wilayah yang terkena dampak kekeringan (Sudaryatno, 2015).

1Plot data MODIS NRT Flood Mapping yang mencakup wilayah kajian pengamatan pada perangkat lunak QGIS (shp file) dan Google

Earth (KMZ file).

2Potong (crop) data MODIS Flood Map NRT yang sudah di-overlay (dilapiskan) pada peta

wilayah kajian pengamatan.

3Analisis distribusi spasial curah hujan data

satelit GSMaP dan data reanalisis CHIRPS tiap 1 hari kejadian banjir (12 dan 13 Maret 2016).

4Analisis kejadian banjir (12-13 Maret 2016) dengan spasial rataan 2 harian curah hujan

satelit GSMaP dan data MODIS NRT Flood Mapping.

Pemanfaatan Data Citra MODIS NRT Untuk Analisis Kejadian Banjir di Pulau Jawa Bagian Barat (Studi Kasus: Maret 2016) (Rustiana, S., dkk.)

-797-

Tabel 1. Karakteristik Citra MODIS (www.gispedia.com) Band λ (µm) Resolusi Spasial (m) Kegunaan Utama

Saluran Reflektan (Pantulan) 1 0,620 - 0,670 250 Aerosol, Awan, Lahan 2 0,841 - 0,876 250 3 0,459 - 0,479 500

Aerosol, Awan, Ketebalan Optis, Bentuk Awan, Masking Awan, Salju,

Lahan/Tanah

4 0,545 - 0,565 500 5 1,230 - 1,250 500 6 1,628 - 1,652 500 7 2,105 - 2,155 500 8 0,405 - 0,420 1000

Warna Laut, Klorofil, Fitoplankton, Biogeo-kimiawi

9 0,438 - 0,448 1000 10 0,483 - 0,493 1000 11 0,526 - 0,536 1000 12 0,546 - 0,556 1000 Sedimen, Atmosfer 13 0,662 - 0,672 1000 14 0,673 - 0,683 1000 Flouresense 15 0,743 - 0,753 1000 Aerosol Atmosfer 16 0,862 - 0,877 1000 17 0,890 - 0,920 1000

Uap Air, Awan 18 0,931 - 0,941 1000 19 0,915 - 0,965 1000 26 1,360 - 1,390 1000 Awan Sirus

Saluran Radian (Pancaran)

20 3,660 - 3,840 1000 Permukaan dan Awan, Suhu, Api dan Vulkanik,

21 3,929 - 3,989 1000 Suhu Muka Laut 22 3,929 - 3,989 1000 23 4,020 - 4,080 1000 24 4,433 - 4,498 1000 Suhu Atmosfer 25 4,482 - 4,549 1000 27 6,535 - 6,895 1000 Uap Air Troposfer 28 7,175 - 7,475 1000 29 8,400 - 8,700 1000 Partikel Awan 30 9,580 - 9,880 1000 Total Kandungan Ozon 31 10,780 - 11,280 1000 Awan, Api, Suhu Permukaan 32 11,770 - 12,270 1000 33 13,185 - 13,485 1000

Ketinggian Awan, Suhu, Tekanan, Profil Suhu/Temperatur

34 13,485 - 13,785 1000 35 13,785 - 14,085 1000 36 14,085 - 14,385 1000

Citra MODIS seperti yang dijelaskan oleh Tabel 1 di atas, memiliki 36 kanal(band) berdasarkan

kegunaannya. Citra MODIS NRT Flood Mapping memberikan pengamatan dua kali sehari dengan cakupan global mendekati resolusi 250mdan menggunakan komposit reflektansi permukaan band (band 1, 2, 7) untuk tampilan visual menilai keberadaan air dalam lahan. Penggunaan produk citra MODIS Terra/Aqua reflektansi permukaan dimaksudkan untuk mengevaluasi peta banjir berbasis MODIS yang mungkin tampak berpola, namun hal ini merupakan langkah penting untuk memberikan evaluasi visual dari prosedur otomatis, dan untuk memastikan tidak ada kesalahan yang melekat dalam citra MODIS itu sendiri (Nigro dkk., 2014).

Citra MODIS NRT Flood Mapping yang digunakan pada penelitian ini dipilih pada wilayah spasial 0°-10° LS dan 100°-110° BT (Gambar 1) dengan difokuskan pada wilayah kajian pengamatan Pulau Jawa bagian Barat seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2 di bawah. Data format shp yang diunduh diolah menggunakan perangkat lunak QGIS yang di-overlay (dilapiskan) pada basemap (peta dasar) Pulau Jawa bagian Barat dengan label tiap kabupaten/kota di wilayah tersebut.Terlihat pada Gambar 2, wilayah yang terdeteksi banjir ditandai dengan titik-titik warna merah, terdapat sebagian besar pada wilayah di pesisir Laut Jawa (Pantai Utara), yaitu Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon. Namun terdapat juga beberapa titik banjir di Jakarta Utara, Sumedang, dan sedikit di Bandung dan Garut (wilayah dalam kotak merah).

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-798-

Gambar 2. Tampilan MODISNRT Flood Mapping wilayah kajian pengamatanpada QGIS

(kotak merah: wilayah yang terdeteksi banjir)

Mengingat waktu pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah tanggal 12 - 13 Maret 2016 yang merupakan waktu kejadian banjir ekstrem di Kabupaten Bandung, hasil pada Gambar 2 kurang mewakili kejadian banjir, karena sebagian besar mendeteksi titik banjir di wilayah pesisir Laut Jawa. Maka dilakukan pengamatan data yang sama namun dalam format KMZ yang mudah diolah menggunakan Google Earth (Gambar 3). Seperti yang terlihat oleh Gambar 3, wilayah yang terdeteksi banjir lebih jelas dan luas dibandingkan dengan tampilan pada Gambar 2.

Gambar 3. Tampilan MODISNRT Flood Mapping Wilayah KajianPengamatan pada Google Earth

Pemanfaatan Data Citra MODIS NRT Untuk Analisis Kejadian Banjir di Pulau Jawa Bagian Barat (Studi Kasus: Maret 2016) (Rustiana, S., dkk.)

-799-

Gambar 4. MODISNRT Flood Mappingpada Kejadian Banjir Kabupaten Bandung 12-13 Maret 2016

Wilayah yang terdeteksi banjir pada Gambar 3 terlihat lebih jelas dan luas terutama pada wilayah yang

terdeteksi sedikit banjir pada Gambar 2, seperti Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Wilayah di Kabupaten Bandung setelah diperbesar pada tiap kecamatan, terlihat Kecamatan Baleendah (wilayah dalam kotak kuning)terdeteksi banjir cukup besar dibandingkan wilayah Bandung lainnya (Gambar 4). Pengamatan tersebut sesuai dengan kejadian banjir sebenarnya yang terjadi pada tanggal 12-13 Maret 2016, di mana Kabupaten Bandung yang terkena dampak banjir ekstrem adalah Kecamatan Baleendah. Untuk menganalisis apakah bencana banjir yang terjadi akibat hujan ekstrem, hasil pengamatan dengan citra MODIS NRT Flood Mappingdikorelasikan dengan pengamatan distribusi curah hujan dari satelit GSMaP dan reanalisis CHIRPS.

Gambar 5. Distribusi SpasialCurah Hujan CHIRPS Wilayah kajian pada a)12 dan b)13 Maret 2016

Gambar 5 di atas merupakan distribusi spasial curah hujan harian wilayah kajian pengamatan dengan data

reanalisis Climate Hazard Infra Red Precepitation with Station (CHIRPS). Data CHIRPS merupakan data satelit yang dianalisis ulang (reanalisis) dengan resolusi terbaik, yaitu 0,05° x 0.05° atau setara dengan 5km (Funk dkk, 2014). Dengan resolusi yang baik tersebut, curah hujan CHIRPS diharapkan dapat mewakili distribusi curah hujan di permukaan Pulau Jawa bagian Barat. Terlihat pada Gambar 5.a, curah hujan wilayah kajian pengamatan pada tanggal 12 Maret 2016 berkisar 10 – 60 mm/hari sedangkan pada tanggal 13 Maret 2016 (Gambar 5.b), curah hujan wilayah kajian mengalami penurunan, berkisar 0 – 50 mm/hari.

a) b)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-800-

Gambar 6. Distribusi SpasialCurah HujanGSMaPpada a)12 dan b)13 Maret 2016

Pengamatan curah hujan juga dilakukan menggunakan data curah hujan satelit yang mendekati waktu

sebenarnya (NRT) dari data Global SatelliteMapping of Precipitation (GSMaP). Data satelit GSMaP ini juga memiliki resolusi yang cukup baik mencakup wilayah daratan dan perairan, yaitu 0,1° x 0.1° atau setara dengan 10km (Tian dkk., 2010). Baiknya resolusi yang dimiliki oleh satelit GSMaP ini juga diharapkan dapat mewakili kondisi distribusi curah hujan wilayah kajian pengamatan dengan baik seperti curah hujan CHIRPS.

Distribusi curah hujan wilayah kajian pengamatan dengan GSMaP pada tanggal 12 Maret 2016 (Gambar 6.a) terlihat lebih tinggi dibandingkan pada tanggal 13 Maret 2016 (Gambar 6.b), sama seperti curah hujan CHIRPS. Namun, intensitas curah hujan GSMaP terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan CHIRPS, yaitu berkisar 10 – 100 mm/hari pada tanggal 12 Maret dan hanya berkisar 0 – 40 mm/hari pda tanggal 13 Maret. Dengan pengamatan tersebut maka dapat diketahui bahwa bencana banjir yang terjadi tanggal 12-13 Maret 2016 disebabkan tingginya curah hujan pada tanggal 12 Maret 2016. Curah hujan pada tanggal 12 Maret termasuk dalam kategori curah hujan lebat hingga sangat lebat (Tabel 2) menurut pengamatan CHIRPS dan GSMaP. Namun untuk mengkorelasikan data citra MODIS NRT Flood Mapping yang dirata-ratakan (komposit) 2 harian, maka dilakukan pula pengamatan distribusi curah hujan GSMaP NRT secara komposit 2 hari (Gambar 7).

Tabel 2. Pengelompokkan Intensitas Curah Hujan (http://bmkg.go.id) Kelompok Intensitas Curah Hujan

Hujan Ringan 5-20 mm/hari Hujan Sedang 20-50 mm/hari Hujan Lebat 50-100 mm/hari

Hujan Sangat Lebat >100 mm/hari

Gambar 7. Distribusi Spasial Curah Hujan GSMaP Komposit 12-13 Maret 2016

a) b)

Pemanfaatan Data Citra MODIS NRT Untuk Analisis Kejadian Banjir di Pulau Jawa Bagian Barat (Studi Kasus: Maret 2016) (Rustiana, S., dkk.)

-801-

Distribusi curah hujan spasial data GSMaP hasil komposit 2 hari (12-13 Maret 2016) seperti yang terlihat oleh Gambar 7 di atas menunjukkan intensitas curah hujan berkisar 20 – 80 mm/hari untuk wilayah kajian pengamatan di daratan. Besarnya intensitas curah hujan komposit 2 harian tersebut termasuk dalam kategori hujan sedang hingga hujan lebat menurut definisi BMKG yang ditampilkan pada Tabel 2. Hal tersebut menjelaskan bahwa citra MODIS NRT Flood Mapping cukup baik dalam menganalisis banjir yang terjadi di Pulau Jawa bagian Barat, terutama Kabupaten Bandung. Namun melihat hasil pengamatan spasial curah hujan yang masih tergolong sedang-lebat dan tidak ekstrem di Kabupaten Bandung, kejadian banjir tanggal 12-13 Maret 2016 di sana tidak hanya disebabkan oleh curah hujan yang turun terus menerus.

4. KESIMPULAN Dalam menjawab tujuan dilakukannya penelitian ini dan berdasarkan hasil pengamatan, produk citra

MODIS NRT Flood Mapping cukup baik dalam menganalisis banjir yang terjadi di Pulau Jawa bagian Barat, seperti yang ditampilkan oleh Gambar 2 dan Gambar 3, terutama pada wilayah Kabupaten Bandung (Gambar 4). Namun melihat hasil pengamatan spasial distribusi curah hujan satu harian dari data CHIRPS (Gambar 5) dan GSMaP (Gambar 6), serta komposit 2 harian data GSMaP (Gambar 7), menunjukkan intensitas curah hujan masih tergolong dalam kategori sedang-lebat menurut BMKG dan tidak ekstrem di Kabupaten Bandung. Maka, kejadian banjir pada tanggal 12-13 Maret 2016 di Kabupaten Bandung tidak hanya disebabkan oleh curah hujan yang turun terus menerus saja. Banjir bisa terjadi karena faktor eksternal lainnya seperi faktor lingkungan, perubahan lahan, dan perilaku masyarakat itu sendiri.

5. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih kepada NASA melalui Applied Remote Sensing Training (ARSET) yang telah memberikan

pelatihan online (webinar) secara gratis dan memperkenalkan produk citra MODIS NRT Flood Mapping serta mengajarkan pengolahan data menggunakan perangkat lunak QGIS dan Google Earth. Terima kasih pula kepada peneliti dan perekayasa PSTA LAPAN Bandung yang telah memperkenalkan data GSMaP dan CHIRPS beserta pengolahannya menggunakan perangkat lunak OpenGrADS.

DAFTAR PUSTAKA

Fazeli, H.R.M., Nor., S., Shahabuddin, A., dan Zulkarnain, A.R., (2015). A Study of Volunteered Geographic Information (VGI) Assesment Methods for Flood Hazard Mapping : A Review. Jurnal Teknologi (Science and Engineering), 75(10):127-134. (eISSN 2180-3722).

Funk, C.C., Pete, J.P., Martin, F. L., Diego, H.P., James, P.V., James, D.R., Bo, E.R., Gregory, J.H., Joel, C. M., dan Andrew, P.V., (2014). A Quasi-global Precipitation Time Series for Drought Monitoring. USGS, EROS Data Center, Sioux Falls, SD.

Nigro, J., Daniel, S., Frederic, P.G.,dan Robert, B., (2014). NASA/ DFO MODIS Near Real-Time (NRT) Global Flood Mapping Product Evaluation of Flood and Permanent Water Detection.

Rahmadany, L., Arief, L.N., Bandi, S., dan Nur, F., (2014). Deteksi Zonasi Banjir Pada Sawah Menggunakan Citra Satelit TERRA MODIS dan TRMM. Jurnal Geodesi Undip, 3(4):69-75 (ISSN : 2337-845X).

Sudaryatno. (2015). Model Sistem Informasi Kekeringan. Paper Dipresentasikan dalam Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional di Yogyakarta, Indonesia.

Sun, D., Yunyue Y., dan Mitchell D.G., (2011). Deriving Water Fraction and Flood Maps From MODIS Images Using a Decision Tree Approach. IEEE Journal, 4(4):814-825.

Tian, Y., Christa, D.P.L., Robert, F.A., Takuji, K., dan Tomoo, U., (2010). Evaluation of GSMaP Precipitation Estimates over the Contiguous United States. Journal of Hydrometeorology, 11:556-574.

Zubaidah, A., Dede, D., dan Junita, M.P., (2013). Pemantauan Kejadian Banjir Lahan Sawah Menggunakan Data Penginderaan Jauh Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) di Provinsi Jawa Timur dan Bali. Jurnal Ilmiah WIDYA, 1(1):78-84.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator : Parwati Judul Makalah : Pemanfaatan Data Citra MODIS NRT Untuk Analisis Kejadian Banjir di Pulau Jawa

Bagian Barat (Studi Kasus: Maret 2016)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-802-

Pemakalah : Eddy Hermawan (LAPAN) Diskusi : Pertanyaan: Parwati (LAPAN) 1. Penggunaan data GSMaP dan CHIRPS ini sudah ada kategori yang diasosiasikan dengan kategori BMKG

seperti hujan ringan, sedang, tinggi. Sebelumnya apakah memang sudah ada penelitian terkait bagaimana sih akurasi GSMaP dan CHIRPS ini terhadap data lapangan yang dirilis oleh BMKG.

Pertanyaan: Kadarsyah (BMKG) 2. Apakah perbedaan topografi mempengaruhi hasil. Misalkan tinggi rendah/area langsung laut lepas atau

tidak? Jawaban : 1. Memang ada 2 data utama, data CHIRPS data real dalam bulanan, cukup panjang 1981 – 2006 sekitar 35

tahun pengamatan. Dari data itu dapat diekstrak dalam bentuk excel dimana data tersebut siap di analisis. Hasil korelasinya data itu tidak langsung kami pakai tetapi kami koreksi dengan data insitu BMKG jadi membandingkan data hasil ekstrak dengan data observasi dan kami dapatkan nilai koreksinya sebesar diatas 0,8. Data CHIRPS yang sudah terkoreksi dengan baik dengan data insitu.Hal yang sama kami lakukan pada GSMap. GSMap resolusinya lebih tinggi sekitar 1 kilometer dari data CHIRPS, keunggulannya data tersebut cocok untuk kawasan yang sangat lokallize. kelebihannya untuk identifikasi kawasan-kawasan dengan curah hujan tinggi. Selain itu resolusi pengamatannya dalam jam, resolusi tinggi dan online. Tetapi untuk kasus banjir yang ada di Jawa Barat 12-13 Maret 2016 di Kota Bandung Selatan menunjukan data GSMap memiliki potensi besar dibandingkan data Himawari atau data lainnya karena memiliki resolusi itu. Akurasinya bervariasi tergantung waktunya, karena resolusi dalam jam agak riskan tetapi quicklook untuk outlook GSMap terupdate terus sehingga berpotensi besar mendeteksi kawasan berpotensi besar menghasilkan banjir. Kami pernah mengkombinasikan keduanya, secara global dan local seperti apa. kami menduga bahwa lingkungan di Bandung Selatan saat ini kurang baik drainasenya, karena tergenang berhari-hari. Kalau hanya basisnya intensitas hujan sudah menunjukan tinggi dibandingkan tempat lainnya. Kami menyadari faktor local sangat berperan. Tinggi lokasi, apakah berhadapan dengan laut bebas atau tidak termasuk waktunya kami pertimbangkan semua aspek. Pada saat banjir mana alat yang paling cocok/relevan dalam mengatasi itu. Dan kami melihat potensi besar GSMap yang bisa digunakan untuk itu. Tentang harapan-harapan yang bapak maksudkan itu akan menjadi pekerjaan besar kami di riset yang akan datang.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-803-

Analisis Kondisi Hujan untuk Kejadian Banjir di Bandung dan Sekitarnya pada Tanggal 12 Maret 2016 Berdasarkan Data GFMS dan Radar SPHS

Analysis of Rain Condition for Genesis Flood in Bandung Area

on March 12, 2016 Based on GFMS and SPHS Radar Data

Sartika1*) dan Ginaldi Ari Nugroho1

1Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK - Telah terjadi banjir di daerah Bandung dan sekitarnya pada tanggal 12 Maret 2016. Analisa kejadian banjir ini dilakukan berdasarkan data Global Flood Monitoring System (GFMS) serta parameter hujan yang terjadi berdasarkan data radar Sistem Pemantau Hujan Spasial (SPHS). Data GFMS menggunakan data real time Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) Mulltisatellite Precipitation Analysis (TPMA) sebagai input bagi model hidrologi runoff banjir untuk melihat intensitas deteksi banjir.Sementara data reflektivitas radar SPHS digunakan untuk mendapatkan estimasi intensitas curah hujan serta pergerakan hujan.Data GFMS memperlihatkan perkiraan deteksi banjir dengan estimasi level antara 0.001 hingga 10 mm mulai dari pukul 18.00 WIB. Banjir tersebut disebabkan oleh kejadian hujan yang berlangsung selama 10 jam dengan reflektivitas rata-rata berkisar antara 2 – 18 dBZ, dengan objek hujan berasal dari daerah timur Bandung berdasarkan data Radar SPHS. Banjir terparah terjadi di kecamatan Dayeuhkolot, Bojongsoang, Baleendah, Banjaran dan Pamengpeuk. Jika dilihat berdasarkan data GFMS dan SPHS pada beberapa lokasi tersebut, hujan sudah redah pada sekitar pukul 22.00 WIB, 12 Maret 2016 namun banjir masih terdeteksi bernilai maksimum di pukul 21:00 hingga 06:00 WIBsementara pada kenyataan di lapangan Banjir masih menggenangi hingga pukul 12.00 WIB pada hari berikutnya (13 Maret 2016). Kata kunci : Hujan, Banjir, Bandung, GFMS, SPHS ABSTRACT - Flood has occurred in Bandung and surrounding areas on March 12, 2016. Analysis of the flood event was conducted based on the Global Flood Monitoring System (GFMS) data as well as the parameters of rain that occur based on Rain Spatial Monitoring System (SPHS) radar data. The GFMS data using real-time data of Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) Mulltisatellite Precipitation Analysis (TPMA) as input for the flood runoff hydrological model that to see the intensity of temporary flood detection. Reflectivity data on SPHS radar used to obtain estimates of rainfall intensity and movement of rain. The GFMS data shows the estimated flood detection with estimated levels of between 0.5 to 10 mm starting at 18:00 pm. The flood due to rainfall event, which lasted for 10 hours with average intensity ranging between 2-18 dBZ, with the object of rain come from the eastern region of Bandung based on SPHS radar data. The worst flood occurred in Dayeuhkolot, Bojongsoang, Baleendah, Banjaran and Pamengpeuk subdistricts. Based on GFMS and SPHS data in these locations, the rain in general was actually beginning to subside at around 22:00 pm, March 12, 2016 but floods still detected maximum value at 21.00 pm until 06.00 am while the reality they still stood high until 12.00 am the next day (March 13, 2016). Keywords: Rain, Flood, Bandung, GFMS, SPHS 1. PENDAHULUAN

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi puncak musim hujan 2016 di daerah Bandung terjadi pada awal Maret 2016. Pada tahun-tahun sebelumnya di daerah Jawa Barat, hujan dengan intensitas tinggi terjadi pada Desember hingga Februari. Tetapi puncak musim hujan tahun 2016 sedikit bergeser disebabkan musim kemarau 2015 berlangsung lebih lama.

Tanggal 12 Maret 2016, daerah Bandung dan sekitarnya diguyur hujan deras sejak siang hingga malam hari.Beberapa daerah dilaporkan mengalami kebanjiran. Dilansir dari berita online diposkan.com,1 Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat Haryadi Wargadibrata mengatakan bahwa pada saat ini banjir yang terparah terletak di kecamatan Dayeuhkolot, Bojongsoang, Baleendah, Banjaran dan Pamengpeuk. Banjir dibeberapa daerah tersebut diakibatkan meluapnya aliran singai Citarum dan Cirasea.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisarea merupakan daerah rawan banjir (Widodo, 2010). Dasar perhitungan estimasi rawan banjir yaitu faktor kemiringan lereng dan arah aliran. Faktor kemiringan mempengaruhi turunnya air dari daerah tinggi ke darah yang lebih rendah, sedangkan arah aliran mempengaruhi terkonsentrasi arah aliran menuju tempat genangan. Akulasi air yang mangalir pada saluran yang sama dan

Analisis Kondisi Hujan untuk Kejadian Banjir di Bandung dan Sekitarnya Pada Tanggal 12 Maret 2016 Berdasarkan Data GFMS dan Radar SPHS (Sartika, dkk)

-804-

menuju suatu tempat yang landai, sampai berhenti di suatu tempat karena sudah tidak ada daerah yang lebih rendah lagi, sehingga membentuk genangan yang menyebabkan banjir(Widodo, 2010).

Informasi arah dan pergerakan hujan menuju suatu lokasi akan bermanfaat sebagai informasi meteorologi untuk masyarakat maupun sebagai bahan pertimbangan keputusan sistem mitigasi bencana(Nugroho dan Edy, 2015). Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran kondisi hujan yang menyebabkan banjir di daerah Bandung dan sekitarnya.

1.1 Global Flood Monitoring System (GFMS) Global Flood Monitoring System (GFMS) merupakan sistem eksperimen milik NASA yang

menggunakan data curah hujan dari Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) Mulltisatellite Precipitation Analysis (TMPA) sebagai input global model hidrologi (Wu dkk., 2012(J.Hydrometeor)). Sistem ini menampilkan analisis curah hujan kuasi global 50° lintang selatan sampai 50° lintang utara setiap 3 jam yang dapat dijalankan pada grid ke 1/8 derajat lintang/bujur (Huffmanand Coauthors, 2007).

Perkiraan deteksi atau intensitas banjir berdasarkan pada retrospektif model selama 13 tahun yang dijalankan dengan input dari TMPA (Wu dkk., 2012(Water Resour)). Sistem tersebut mendeteksi batas banjir dengan menurunkan untuk setiap lokasi grid menggunakan statistik genangan air permukaan ditambah dengan parameter yang terkait karakteristik hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS). Debit sungai, genangan air permukaan, variabel genangan juga dihitung pada resolusi 1 km. selain itu, sistem akan menampilkan peta terbaru dari curah hujan sesaat dan total hujan dalam sehari, tiga hari dan tujuh hari.

Lebih jauh tentang GFMS model hidrologi dan outputnya, model ini awalnya dikembangkan oleh University of Washington yaitu pemodelan permukaan tanah Variable Infiltration Capacity (VIC) (Liangdkk., 1994). Model tersebut kemudian digandeng dengan Dominant River Tracing Routing (DRTR) model yang dikembangkan oleh the University of Maryland (Wudkk., 2014). VIC yang digandengkan dengan DRTR kemudian diberi nama Dominant river tracing-Routing Integrated with VIC Environment (DRIVE) model (Wudkk., 2011).Data curah hujan real time TMPA (Huffmandkk., 2010)diperoleh dari NASA Goddard TRMM / GPM Precipitation Processing Sistem (PPS). GFMS dengan model DRIVE menjadi suatu sistem yang baru yang telah dievaluasi selama 15 tahun (1998-2012) dengan melakukan simulasi retrospektif terhadap lebih dari 1.000 pengamatan pengukuran debit sungai dan 2.000 laporan kejadian banjir di seluruh dunia(Wudkk., 2014).

1.2 Sistem Pemantau Hujan Spasial (SPHS) Sistem Pemantau Hujan Spasialadalah sistem pengembangan radar cuaca untuk pantauan hujan berbasis

radar kapal. Radar cuaca merupakan salah satu instrument pengukuran curah hujan, yang mampu mendeteksi gerakan hujan, pencarian posisi curah hujan, dan memperkirakan jenis mereka (hujan, salju, dll) (Einfaltdkk., 2004).Radar cuaca juga dapat mengukur curah hujan dalam cakupan spasial maupun area yang luas.

Di negara maju, sistem radar cuaca telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, sedangkan di negara berkembang berusaha mengikuti perkembangan dengan merancang sistem yang sama tetapi dengan biaya yang relative murah menggunakan radar kecil seperti radar kapal (Nugrohodkk., 2014). Teknologi radar cuaca tipe low cost X-Band radar kapal telah dikembangkan sejak tahun 2000 dengan konfigurasi yang cukup mudah diaplikasikan untuk daerah perkotaan (Einfalt dkk., 2004; Jensen dan Overgaard, 2002).

Sistem Pemantau Hujan Spasial berbasis radar kapal sedang dikembangkan oleh LAPAN yang bertujuan mendapatkan data near real time lokasi hujan untuk data observasi atmosfer. SPHS menggunakan metode peta clutter untuk mengestraksi sinyal hujan yang diterima oleh radar kapal terhadap sinyal-sinyal lainnya yang tidak diperlukan(Nugroho dan Edy, 2015). Hasil ekstraksi hujan ini kemudian diolah menjadi data spasial hujan lengkap dengan koordinat lokasi objek hujan serta intensitasnya (baik dalam satuan dBZ maupun mm/jam) (Nugroho and Awaludin, 2013).Hasil ekstraksi hujan ini dapat ditampilkan dalam bentuk rangkaian gambar untuk melihat pola pergerakan hujan secara visual(Nugroho dan Edy, 2015).

2. METODE Data yang digunakan adalah data reflektivitas pengamatan SPHS pada tanggal 12 Maret 2016 dari pukul

13.00 – 22.00 WIBdan data intensitas banjir dari GFMS setiap tiga jam dari pukul 06:00 WIB (12 Maret 2016) – 06:00 WIB (13 Maret 2016). Data observasi SPHS menggunakan format waktu lokal (local time) sementara data intensitas banjir dari GFMS menggunakan format waktu UTC (Universal Time Coordinated).

Data GFMS dapat diakses pada halaman website http://flood.umd.edu/. Tampilan awal merupakan peta dunia dimana pengguna dapat memperbesar area yang akan dipantau, memilih variabel yang akan dipantau, waktu observasi yang diinginkann, lokasi lintang/ bujur, serta dan plot data. Time sequences pada resolusi 1

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-805-

km serta time series pada suatu lokasi dapat dipilih sesuai dengan yang diinginkan oleh pengguna dimana tampilan GFMS seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Tampilan GFMS (sumber: http://flood.umd.edu/)

Data radar SPHS memiliki cakupan area area lokal dimana jangkauan terjauh adalah sekitar + 44 km dari

lokasi radar. Skala reflektivitas (dalam satuan dBZ) berada pada rentang 2 – 55 dBZ, namun berdasarkan pengamatan didapat bahwa sensitifitas deteksi hujan hanya hingga 30 dBZ.Pendekatan hubungan antara data reflektivitas dengan nilai intensitas hujan berdasarkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kisaran nilai Reflektivitas dan kategori intensitas hujan

Nilai Reflektivitas (dBZ)

Intensitas curah hujan (mm/jam)

Kategori intensitas hujan

30 - 38 1 – 5 Hujan ringan 38 – 48 5 – 10 Hujan sedang 48 – 58 10 – 20 Hujan lebat

> 58 > 20 Hujan sangat lebat (Sumber : http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/Meteorologi/Citra_Radar.bmkg)

3. HASILDAN PEMBAHASAN Gambar 2 adalah urutan data hasil deteksi banjir berdasarkan data GFMS pada tanggal 12 Maret 2016.

Data banjir diwakilkan oleh kontur hijau pada GFMS dimana banjir mulai terdeteksi pada pukul 8:00 (UTC+7) atau pukul 15:00 WIB di sekitar wilayah Bandung Timur (Gambar 2.d). Setelah 3 jam kemudian yakni pukul 11:00 (UTC+7) atau pukul 18:00 WIB wilayah banjir yang terdeteksi semakin meluas di bagian utara, barat dan timur Bandung (Gambar 2.e). Deteksi puncak banjir terjadi pada pukul 14:00 hingga 17:00 (UTC+7) atau pukul 21:00 WIB hingga 00:00 WIB (Gambar 2.f dan 2.g). Deteksi banjir berangsur menghilang terlihat pada Gambar 3.h di daerah utara Bandung pada pukul 3:00 WIB (13 Maret 2016 ) jika dibandingkan dengan data 3 jam sebelumnya, sementara di daerah selatan Bandung masih terlihat terdeteksi banjir. Tanggal 13 Maret 2016 pukul 6:00 WIB ditunjukkan pada Gambar 2.i deteksi banjir masih terlihat di daerah selatan Bandung, tapi terlihat lebih sedikit jika dibanding dengan data 3 jam sebelumnya.

Analisis Kondisi Hujan untuk Kejadian Banjir di Bandung dan Sekitarnya Pada Tanggal 12 Maret 2016 Berdasarkan Data GFMS dan Radar SPHS (Sartika, dkk)

-806-

Gambar 2.Data Deteksi Banjir GFMS. (a) 12 Maret 2016; Pukul 15:00 WIB, (b) 12 Maret 2016; Pukul 9:00 WIB, (c)

12 Maret 2016; Pukul 12:00 WIB, (d) 12 Maret 2016; Pukul 15:00 WIB, (e)12 Maret 2016; Pukul 18:00 WIB, (f) 12 Maret 2016; Pukul 21:00 WIB, (g) 12 Maret 2016; Pukul 00:00 WIB, (h) 13 Maret 2016; Pukul 03:00 WIB, (i) 13

Maret 2016; Pukul 06:00 WIB

Jika dilihat dari data observasi SPHS, kejadian banjir tanggal 12 Maret 2016 berawal dari hujan yang terjadi di kota Bandung sejak pukul 13:00 WIB yang terdeteksi dari arah timur dari lokasi radar. Objek hujan terus bergerak menuju kota Bandung dimana pukul 14:00 WIB objek hujan terdeteksi telah berada di daerah Lembang dan Bandung Timur.Hujan pada pukul 15:00 WIB yang terdeteksi radar observasi SPHS terus bergerak dari timur kearah barat laut dari posisi radar. Begitu pula hujan dari arah tenggara radar pada pukul 15:00-16:00 bergerak kearah barat laut mendekati kota Bandung seperti yang terlihat di Gambar 3.c dan 3.d. Pada Gambar 3.d juga terdeteksi objek hujan yang juga bergerak dari arah barat radar SPHS kearah timur mendekati kota Bandung. Pada pukul 17:00 WIB yang ditunjukkan pada Gambar 3.e terlihat objek hujan mendekati dan terpusat di utara, barat dan timur Bandung.Puncak kejadian hujan di Bandung dan sekitarnya yang ditunjukkan oleh radar observasi SPHS terjadi dari pukul 18:00 WIB hingga pukul 21:00 WIB (Gambar 3.f, 3.g, 3.h, 3.i).

Nilai rata-rata reflektivitas ditunjukkan pada Gambar 4, dimana nilai reflektifitas tertinggi terdeteksi di wilayah bagian utara dan bagian selatan dari lokasi radar. Selanjutnya kombinasi data SPHS dan GFMS digunakan untuk menganalisa 2 area tersebut. Pada area utara banjir dimulai dari pukul 15:00 WIB, sementara hujan telah terpantau sejak pukul 14:00 WIB. Hal ini menunjukkan bahwa hujan dengan reflektivitas antara 10 – 26 dBZ di bagian utara Bandung memerlukan akumulasi hujan setidaknya selama 1 jam untuk menyebabkan terjadinya banjir. Berdasarkan data GFMS banjir di wilayah utara terdeteksi selama 7 jam yang juga didukung oleh data deteksi hujan SPHS (dari pukul 14:00 hingga 21:00 WIB). Data banjir mulai tidak terdeteksi di bagian utara pada pukul 03:00 keesokan harinya sementara hujan sudah tidak terdeteksi sejak pukul 22:08 WIB sehingga didapatkan waktu setidaknya 5 jam untuk banjir surut.

Dilihat dari wilayah selatan Bandung, hujan mulai terdeteksi dari pukul 15:00 WIB sementara data banjir juga mulai terdeteksi pukul 15:00 WIB. Banjir di wilayah ini berlangsung selama 10 jam hingga keesokan

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-807-

hari namun hujan hanya berlangsung selama 7 jam. Hingga pukul 06:00 WIB tanggal 13 Maret banjir masih terdeteksi sehingga waktu untuk banjir surut sejak hujan reda adalah lebih dari 8 jam.

(a) (b) (c)

(d) (e)

(f)

(g) (h) (i)

Analisis Kondisi Hujan untuk Kejadian Banjir di Bandung dan Sekitarnya Pada Tanggal 12 Maret 2016 Berdasarkan Data GFMS dan Radar SPHS (Sartika, dkk)

-808-

Gambar 3. Data Observasi Hujan SPHS, (a) Pukul 13:00 WIB, (b) Pukul 14:10 WIB, (c) Pukul 15:02 WIB, (d) Pukul 16:08 WIB, (e) Pukul 17:08 WIB, (f) Pukul 18:08 WIB, (g) Pukul 19:02 WIB, (h) Pukul 20:02 WIB, (i) Pukul 21:00

WIB, (J)Pukul 22:08 WIB

Data SPHS menunjukkan bahwa hujan yang terjadi pada tanggal 12 Maret 2016 di daerah Bandung dan sekitarnya berlangsung selama 10 jam. Dari data tersebut diperoleh reflektivitas hujan rata-rata dari pukul 12:42 – 22:08 WIB berkisar antara 2 – 18 dBZ.

Gambar 4. Reflektivitas Rata-Rata SPHS

Dari hasil analisa waktu surut banjir, lokasi pengamatan hujan kemudian dikhususkan di daerah selatan

Bandung. Hampir setiap tahun di daerah ini khususnya di kecamatan Dayeuhkolot, Bojongsoang, Baleendah, Banjaran dan Pamengpeuk mengalami banjir. Hal tersebut disebabkan topografi wilayah tersebut berada di cekungan dan merupakan daerah genangan(Widodo, 2010).

Untuk mewakili daerah tersebut digunakan data pengamatan rata-rata dari data GFMS dan SPHS dengan cakupan area 13 km x 13 km menggunakan titik tengah pada koordinat -7,0213 LS; 107.5992 BT. Untuk data SPHS diperoleh reflektivitas hujan rata-rata tertinggi dengan nilai reflektivitas rata-rata sebesar 18,609 dBZ. Sedangkan data curah hujan GFMS pada Gambar 6 menunjukkan curah hujan tertinggi sebesar 15 mm/jam terjadi sekitar pukul 16:00 WIB yang dapat dikategorikan intensitas hujan berada di level hujan sedang.

(j)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-809-

Gambar 5. Grafik Reflektivitas Rata-Rata pada Lokasi Pengamatan

Gambar 6. Grafik Curah Hujan pada Lokasi Pengamatan

4. KESIMPULAN

Pada tanggal 12 Maret 2016 terjadi banjir di daerah Bandung dan sekitarnya yang berdasarkan data GFMS yang berlangsung selama 15 jam. Pada tanggal tersebut juga terdeteksi hujan selama 10 jam berdasarkan data radar SPHS. Objek hujan terdeteksi berawal dari arah timur dari lokasi radar SPHS dimana reflektivitas rata-rata tertinggi berada di daerah utara dan selatan. Berdasarkan nilai reflektivitas hujan rata-rata yaitu berkisar 2-18 dBZ kondisi hujan masih berada di level hujan ringan. Tetapi dari kejadian hujan tersebut, dari data GFMS terdeteksi banjir di daerah utara Bandung selama 7 jam dengan waktu surut selama 5 jam. Sedangkan di daerah selatan Bandung terdeteksi banjir selama 10 jam dengan waktu surut lebih dari 8 jam. Adanya perbedaan lama durasi kejadian banjir dan waktu surut untuk daerah utara dan selatan Bandung, disebabkan karena daerah selatan Bandung yaitu di DAS Cisarea merupakan wilayah cekungan dan merupakan daerah genangan.

5. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Program Pengembangan Sistem Observasi Atmosfer,

Bapak Teguh Harjana atas dukungan dan bimbingannya, Ibu Tiin Sinatra dan Ibu Soni Aulia Rahayu atas diskusi dan masukannya.

0

5

10

15

20

13.00 14.38 16.18 18.08 19.50 21.28

Refle

ktiv

itas (

dBZ)

Jam

Reflektivitas Hujan Rata-Rata Pada Lokasi Pengamatan Tanggal 12 Maret 2016

Analisis Kondisi Hujan untuk Kejadian Banjir di Bandung dan Sekitarnya Pada Tanggal 12 Maret 2016 Berdasarkan Data GFMS dan Radar SPHS (Sartika, dkk)

-810-

DAFTAR PUSTAKA Einfalt, T., Arnbjerg, N.K., Golz, C., Jensen, N.E., Quimbach, M., Vaes, G., dan Vieux, B., (2004). Towards a

roadmapfor use of radar rainfall data in urban drainage.Journal of Hydrology, 299:186-202 http://www.diposkan.com/155103/dampak-banjir-akibat-luapan-sungai-citarum-semakin-parah/(diakses tanggal 8 Mei

2016) Huffman, G.J., dan Coauthors (2007). The TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA): Quasi-global,

multiyear, combined-sensor precipitation estimates at fine scales. J Hydrometeor, 8: 38–55. Huffman, G.J., Adler, R.F., Bolvin, D.T., dan Nelkin E.J., (2010). The TRMM Multi-satellite Precipitation Analysis

(TMPA). Chapter 1 in Satellite Applications for Surface Hydrology, F. Hossain and M. Gebremichael, Eds. Springer Verlag, ISBN: 978-90-481-2914-0, 3-22.

Jensen, N.E., dan Overgaard, S., (2002). Performance of small x-band Weather Radar. Western Pacific Geophysics Meeting, Wellington, New Zealand

Liang, X., Lettenmaier, D.P., Wood, E.F., dan Burges, S.J., (1994). A Simple hydrologically Based Model of Land Surface Water and Energy Fluxes for GSMs. J. Geophys. Res., 99(D7):14415-14428.

Nugroho, G.A, dan Awaludin, A., (2013). Mappin method development using digital image processing to calibrate rainfall radar image. Proceeding International Seminar of Aerospace Science and Technology 17th, 26:195-199.

Nugroho, G.A., dan Edy, M., (2015). Identifikasi Pergerakan Area Revlektivitas Hujan Menggunakan Metode Optical Flow Berdasarkan Data Pengamatan RDH. Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer – LAPAN, Bandung, Indonesia.

Nugroho, G.A., Rahayu, S.A., dan Awaluddin, A., (2014). Hasil Pengamatan Scanner Hujan pada Kejadian Hujan Tanggal 2-3 Maret 2014 Di Daerah Bandung dan Sekitarnya. Buku Variabilitas Cuaca dan Iklim Di Indonesia, ISBN 978-979-1458-81-8.

Widodo, dan Prasetyo., (2010). Pendugaan Rawan Banjir dengan Menggunakan Metode Topographic Wetness Indeks (TWI). WANA MUKTI Forestry Research Journal, 10(2):91-96.

Wu H., Kimball, J.S., Li, H., Huang, M., Leung, L.R., dan Adler, R.F., (2012). A new global river network database for macroscale hydrologic modeling. Water Resour. Res., doi:10.1029/2012WR012313.

Wu, H., Kimball, J.S., Mantua, N., dan Stanford J., (2011). Automated upscaling of river networks for macroscale hydrological modeling. Water Resour. Res., doi:10.1029/2009WR008871.

Wu, H., Adler, R.F., Hong, Y., Tian, Y., dan Policelli, F., (2012). Evaluation of Global Flood Detection Using Satellite-Based Rainfall and a Hydrologic Model. J. Hydrometeor, 13:1268-1284.

Wu, H., Adler, R.F., Tian, Y., Huffman, G.J., Li H., dan Wang, J., (2014). Real-time global flood estimation using satellite-based precipitation and a coupled land surface and routing model. Water Resour. Res., 50:2693.2717, doi:10.1002/2013WR014710.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah : Analisis Kondisi Hujan untuk Kejadian Banjir di Bandung dan sekitarnya pada tanggal 12

Maret 2016 berdasarkan Data GFMS dan Radar SPHS Pemakalah : Sartika (LAPAN) Diskusi : Pertanyaan: Maryani Hartuti (LAPAN): Pada kesimpulan disebutkan bahwa berdasarkan data GFMS terjadi hujan selama 15 jam, sedangkan SPHS terdeteksi hujan 10 jam. Apa kemungkinan penyebab perbedaan tersebut? Berapa resolusi spasial dan temporal dari masing-masing data yang digunakan pada GFMS dan SPHS. Jawaban: Untuk pertanyaannya kami koreksi sedikit: Pada kesimpulan makalah kami tertulis bahwa berdasarkan data GFMS yang terdeteksi adalah data banjir yang terjadi selama 15 jam sedangkan SPHS hanya mendeteksi kejadian hujan yang berlangsung 10 jam. Jadi data banjir kami ambil dari GFMS dan data hujan dari SPHS. Resolusi spasial GFMS adalah 1 km x 1 km, dan resolusi temporalnya adalah 3 jam. Resolusi spasial SPHS adalah 240 m x 240 m, dan resolusi temporalnya adalah 2 menit. Data SPHS kemudian kami rata-ratakan per 3 jam untuk menyamai resolusi temporal data GFMS.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-811-

Pemanfaatan Data CHIRPS dalam Menginvestigasi Kemungkinan

Terjadinya Dampak La-Niña di Pulau Jawa Setelah Pertengahan 2016 (Studi Kasus: Malang)

The Utilization of CHIRPS Data in Investigating the Possibility of La-Nina

Impact’s over Java After Mid-2016 (Case Study: Malang)

Eddy Hermawan1*), Adi Witono1, Sinta Berlianan Sipayung1, dan Shailla Rustiana2

1Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA), LAPAN, Jln. Dr. Djundjunan No. 133, Bandung 40173 2Departement Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, IPB, Bogor, Jln. Raya Kampus Dramaga, Bogor 16680

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK-Perilaku curah hujan musiman setelah pertengahan tahun 2016 penting untuk didiskusikan. Hal ini terkait erat dengan adanya satu kebutuhan nasional (National Needs) pentingnya dibuat satu model prediksi anomali curah hujan di beberapa kawan Indonesia, khususnya P. Jawa akibat saling berinteraksinya dua kekuatan indeks iklim global, yakni El-Niño dan Indian Ocean Dipole (IOD) secara bersamaan (simultan). Berbasis hasil analisis kedua data indeks iklim global di atas seperti yang dikeluarkan POAMA (Predictive Ocean Atmosphere Model for Australia) edisi Mei 2016 terlihat jelas bahwa SST Niño 3.4 diduga akan memasuki fase negatif sejak Juni 2016, walaupun masih dalam batasan normal. Hal serupa juga untuk IOD yang menunjukkan pola yang sama, yakni sama-sama menuju ke fase negatif yang berarti sama-sama menuju terbentuknya La-Niña. Hasil prediksi POAMA di atas, ternyata bersesuaian dengan hasil prediksi yang dikeluarkan ESRL (Earth System Research Laboratory) NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) yang memprediksi di akhir Juni 2016 akan terjadi perubahan signifikan dari kejadian El-Niño ke La-Niña. Terkait dengan itulah, maka perlu dilakukan kajian (investigasi) dampak perubahan tersebut terhadap perilaku curah hujan di beberapa kawasan di P. Jawa. Berbasis hasil analisis data curah hujan yang dikeluarkan oleh CHIRPS (Climate Hazards group Infrared Precipitation with Stations) periode 1981–2015 menggunakan teknik CPT (Climate Predictability Tools) diperoleh bahwa sebagian besar kawasan P. Jawa, khususnya Jawa Barat sejak pertengahan tahun 2016 akan menerima curah hujan melebihi batasan normalnya. Hal ini terjadi selain diakibatkan menurunnya indeks SST Niño 3.4 dan IOD secara simultan, namun juga pada periode tersebut aktivitas Monsun Australia diduga sudah mulai meningkat. Analisis difokuskan kepada prediksi anomali curah hujan yang bakal terjadi di P. Jawa, khususnya Malang hingga Musim Hujan 2016/2017. Hasil lengkap dibahas dalam full makalah ini.

Kata kunci:CHIRPS, CPT, La-Niña, dan P. Jawa

ABSTRACT -The Behavior of seasonal rainfall after mid-2016 is important to be discussed. This is closely related to the National Needs to make a rainfall prediction anomalies in some region over Indonesia, especially over Java Island due to the mutual strengths of two global climate indices, namely the El-Nino and Indian Ocean Dipole (IOD) that coming in concurrently (simultaneously). Based on the analysis of both global climate index data as issued by POAMA (Predictive Ocean Atmosphere Model for Australia) in May 2016 edition, the SST Niño 3.4 is expected to enter the phase of negative since June 2016, although still within normal limits. It is also for the IOD that showed the same pattern, which are equally negative towards meaningful together towards the establishment of La Niña. POAMA predicted results above, it was in good agreement with the predictions issued by ESRL (Earth System Research Laboratory) NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), which predicts the end of June 2016 there will be a significant change from the strong El Niño to La Niña. Related to that, it is necessary to study (investigate) the effects on the behavior of rainfall in some areas in Java. Based on the analysis of rainfall data issued by CHIRPS (Climate Hazards Precipitation Infrared group with Stations) for period of 1981 to 2015 using the CPT (Climate Predictability Tools) technique showing that large areas of Java Island, especially in West Java since the mid-2016 will receive the bulk rainfall exceeds normal limits. The analysis will be focussed on the rainfall anomaly prediction that will be occurred at Java Island, especially over Malang until the upcoming of rainy season 2016/2017. The results of this study will be discussed thoroughly in this paper.

Keywords: CHIRPS, CPT, La-Nina, and Java Island

Pemanfaatan Data CHIRPS Dalam Menginvestigasi Kemungkinan Terjadinya Dampak La-Niña di P. Jawa Setelah Pertengahan 2016 (Studi Kasus: Malang) (Hermawan, E., dkk.)

-812-

1. PENDAHULUAN Ada satu kebutuhan nasional (National Needs) yang dihadapi Kementerian Pertanian (Kemtan) saat ini,

yakni dibutuhkannya informasi yang cepat, tepat, dan akurat, terkait dengan isu akan hadirnya La-Nina sejak pertengahan tahun 2016. Informasi ini penting agar pengaturan pola Kalender Tanam (KATAM) yang ada di P. Jawa, khususnya Malang, Jawa Timur dapat optimal. Hal pokok yang dipermasalahkan adalah sejauh mana peran data indeks iklim global, khususnya indeks El-Nino, IOD, dan Monsun dapat digunakan dalam memprediksi perilaku anomali curah hujan di Malang dan kawasan sekitarnya di masa mendatang.

Terkait dengan itu, masalah datangnya musim kemarau atau musim basah berkepanjangan yang kian hari semakin sulit untuk diprediksi dengan baik dan benar, apalagi tepat waktu dan tepat sasaran. Permasalahan ini muncul, karena model prediksi iklim, khususnya model prediksi anomali curah hujan yang ada saat ini, umumnya belum sepenuhnya mempertimbangkan adanya interkoneksi atau telekoneksi atau interaksi yang terjadi diantara berbagai fenomena iklim global. Hanya ada beberapa saja yang sudah mulai mengaplikasikannya, seperti yang dilakukan oleh Harijono (2008).

Kajian tentang El-Niño di LAPAN telah dirintis bersama ITB sejak tahun 2002 melalui riset RUK (Riset Unggulan Kemitraan) yang menghasilkan satu model prediksi El-Niño berbasis Space-Time (Sutawanir dkk, 2002). Karena fenomena El-Niño tidak berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan fenomena lain, khususnya Dipole Mode (DM), maka pada tahun 2003 dilakukanlah satu kajian tentang karakteristik DM (Hermawan, 2003). Kajian secara intensif tentang dua fenomena di atas, walaupun belum sepenuhnya dilakukan secara optimal, telah dilanjutkan bersama tim peneliti dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang memfokuskan pada kajian model time-series data indeks suhu permukaan laut global dan indeks Osilasi Selatan (SOI) (Budi dkk, 2003).

Model prediksi yang berkembang saat ini, umumnya masih bersifat single column, individual, lokal, dan beresolusi “kasar”, padahal terjadi interkoneksi yang kadangkala saling menguatkan, namun kadangpula saling melemahkan. Pengalaman yang kita alami, ketika terjadi kemarau panjang (lebih dari enam bulan) di tahun 1997, kemudian diikuti dengan musim basah panjang (juga lebih dari enam bulan) satu tahun sesudahnya, adalah akibat bersatunya dua fenomena alam, yakni El-Niño dan Dipole Mode dalam kurun waktu yang hampir bersamaan (dikenal dengan istilah/sebutan simultan). Kejadian tersebut memberi pelajaran kepada kita untuk memahami lebih mendalam mekanisme bersatunya dua fenomena di atas dengan baik dan benar. Kalau hanya El-Niño atau La-Niña saja yang datang, maka dampak yang dihasilkannya tidaklah akan separah jika tidak diikuti dengan hadirnya Dipole Mode Positif atau Dipole Mode Negatif.

Disisi lain, dikenal satu istilah ENSO yang tidak lain juga adalah gabungan dari dua fenomena alam, yakni El-Niño (EN) and Southern Oscillation (SO) (Rasmusson and Carpenter, 1982). El-Niño didefinisikan sebagai indikasi atau tanda-tanda naiknya suhu permukaan laut (SPL) atau SST (Sea Surface Temperature) di sepanjang ekuator Samudera Pasifik Tengah dan Timur melebihi tinggi rata-rata normalnya, dan berosilasi antara 2 hingga 7 tahun. El-Niño kadangkala diindikasikan dengan perbedaan tekanan permukaan antara Tahiti yang berada di Kepulauan Hawaii dan Darwin di Utara Australia, dan dikenal sebagai Osilasi Selatan (Southern Oscillation, SO). Kedua fenomena di atas dominasinya terletak di Belahan Bumi Selatan (BBS).

Jika El-Niño ditandai dengan naiknya SST, maka Osilasi Selatan sebaliknya, ditandai dengan menurunnya nilai SOI (Soutern Oscillation Index). Disini terlihat adanya perbedaan fase antara fenomena El-Niño dan SO; fase positif untuk El-Niño dan negatif untuk SO. Sementara La-Niña yang tidak lain kebalikan dari El-Niño diindikasikan dengan menurunnya nilai SST di sepanjang pantai Samudera Tengah dan Timur hingga melebihi batasan normalnya, yakni dibawah 1.5o. Jika El-Niño terkait erat dengan datangnya musim kemarau panjang di Indonesia, maka La-Niña justru terkait erat dengan datangnya musim basah panjang (Hermawan, 2010 dan Hermawan dkk, 2011). Karena pembahasan ENSO umumnya terkait erat dengan bergesernya pusat-pusat konveksi di Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan adanya satu kawasan kelebihan dan kekurangan curah hujan, maka pembahasan berikutnya digunakanlah istilah El-Niño dan La-Niña saja. Selain itu dikenal pula El-Niño ”mini” untuk kawasan Samudera Hindia, dikenal dengan istilah Dipole Mode yang ditemukan oleh Saji dkk (1999). Jika Dipole Mode Positif terkait erat dengan musim kering/kemarau panjang, maka Dipole Mode Negatif, justru sebaliknya (Hermawan dan Komalaningsih, 2007).

Pengalaman lain terkait dengan masalah interkoneksi terjadi di akhir Januari hingga awal Februari 2007, saat Jakarta dan kawasan sekitarnya dilanda banjir besar yang menyebabkan kelumpuhan total. Hanya dalam hitungan beberapa jam saja (4-5 jam dalam satu hari), tercatat lebih dari 150 mm curah hujan tercatat hampir di dua belas stasiun penakar curah hujan yang tersebar di Jakarta. Suatu nilai yang cukup fantastis, mengingat nilai tersebut hampir sama untuk tiga dasarian. Hasil riset yang dilakukan oleh Gernowo (2009) menunjukkan bahwa pada saat itu, dua fenomena atmosfer bergabung menjadi satu, yakni fenomena MJO

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-813-

(Madden-Julian Oscillation) bergabung menjadi satu dengan fenomena Seruak Dingin (Cold Sourge), membentuk semacam pusaran (vortex) melanda Jakarta dan kawasan sekitarnya.

Dua pengalaman di atas memberi pelajaran kepada kita betapa pentingnya pemahaman yang lebih mendalam tentang masing-masing karakteristik atmosfer yang ada di Indonesia, mengingat masing-masing tidaklah berdiri sendiri, adakalanya saling menguatkan, namun kadang pula saling melemahkan. Hal yang mengkhawatirkan, manakala fenomena tersebut melanda kawasan sentra produksi tanaman pangan kita, seperti kawasan Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa dimana Kabupaten Sukamandi merupakan salah satu pusat lumbung padi nasional di Provinsi Jawa Barat, selain Kabupaten Solok yang ada di Sumatera Barat.

Pokok permasalahan yang dihadapi kawasan sentra pangan, umumnya sama, yakni kelebihan air di saat musim penghujan panjang, dan kekurangan air di saat musim kemarau panjang, terutama sistem sawah tadah hujan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk meredam dampak bersatunya dua fenomena atmosfer di atas. Selain menggunakan sistem irigasi yang baik dengan teknologi tinggi, juga perlu memahami interkoneksi yang terjadi bila keduanya bersatu. Dengan adanya dua kekuatan barat dan timur yang masing-masing diwakili oleh IOD dan El-Niño, interkoneksi yang terjadi antara Dipole Mode dan El-Nino akan menjadi hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut/dalam. Bila keduanya saling menguatkan dan saling melemahkan dalam satu kurun waktu yang hampir bersamaan (simultan), tentunya menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.

Ini menandakan adanya kekawatiran mendalam tentang dampak yang ditimbulkan bila El-Niño hadir kembali di Indonesia, walaupun tidak separah tahun 1997/1998. Sebenarnya tidak hanya pada tahun 1997/1998 saja, tahun 1982/1983 pun kita mengalami hal serupa, walaupun dengan dampak yang relatif lebih kecil. Pengalaman ini memberi pelajaran kepada kita untuk lebih memahami dengan baik dan benar mekanisme terjadinya El-Niño dan terus menerus memantau perkembangan El-Niño melalui besaran indeks yang dihasilkannya. Banyak memang parameter pemantau indeks El-Niño, mulai dari anomali suhu permukaan air laut atau SST (Sea Surface Temperature), terutama pada kawasan SST Niño 3.4, perbedaan tekanan antara Darwin dan Tahiti yang dikenal sebagai SOI (Southern Oscillation Index) atau Index Osilasi Selatan, Equatorial SOI dengan contoh kawasan Indonesia, profil suhu vertikal terutama pada lapisan 500 mb (hPa), radiasi gelombang panjang yang dikenal sebagai OLR (Outgoing Longwave Radiation) dan masalah angin mulai dari lapisan permukaan dikenal sebagai sirkulasi Walker hingga pada lapisan 850 mb yang erat kaitannya dengan fenomena QBO (Quasy Biennial Oscillation) yang berosilasi antara 24 hingga 27 bulan. Namun masih diperlukan faktor lain, seperti propagasi (penjalaran) gelombang MJO (Madden Julian Oscillation) seperti yang saat ini diduga aktif ikut berperan. Atas dasar itulah maka dilakukanlah analisis perilaku data IOD dan SST Nino 3.4 terkait dengan dugaan datangnya La-Nina di pertengahan tahun 2016 dan dampaknya terhadap anomali curah hujan di P. Jawa, khususnya Malang, Jawa Timur.

2. METODE Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan bulanan untuk Malang dan

kawasan sekitarnya periode 1981-2015 yang diekstrak dari CHIRPS (Climate Hazards group Infrared Precipitation with Stations) sebagai data utama yang beralamat http://chg.geog.ucsb.edu/data/chirps/. Data tersebut kemudian dibuat dalam satu time-series, sehingga nampak klimatologis data curah hujan untuk kawasan Malang dan sekitarnya. Selain itu, digunakan juga data indeks El-Niño, tepatnya SST (Sea Surface Temperature) Niño 3.4 dan juga data IOD yang keduanya diperoleh dari POAMA (Predictive Ocean Atmosphere Model for Australia). Kedua data tersebut di-set dengan resolusi dan lama pengamatan yang sama dengan data CHIRPS. Dengan menggunakan teknik CPT (Climate Predictability Tools) yang dikembangkan oleh pihak IRI (International Research Institue) for Climate and Society dengan alamat http://iri.columbia.edu/our-expertise/climate/tools/cpt/, maka dilakukanlah prediksi untuk beberapa musim mendatang. Penelitian difokuskan ke P. Jawa, khususnya Malang, Jawa Timur.

3. HASILDAN PEMBAHASAN

Berikut ditunjukkan beberapa hasil analisis yang diperoleh, dimulai dari data time-series data SST Niño 3.4 yang dikeluarkan oleh pihak POAMA untuk prediksi beberapa bulan mendatang. Initial Condition yang digunakan bulan Juni 2016, tepatnya tanggal 5 Juni 2016. Hasilnya sebagai berikut:

Pemanfaatan Data CHIRPS Dalam Menginvestigasi Kemungkinan Terjadinya Dampak La-Niña di P. Jawa Setelah Pertengahan 2016 (Studi Kasus: Malang) (Hermawan, E., dkk.)

-814-

Gambar 1.Prediksi nilai tengah bulanan SST Nino 3.4 dan IOD sejak 5 Juni 2016

(Sumber:http://www.bom.gov.au/climate/poama2.4/poama.shtml)

Jika kedua model prediksi di atas benar (model prediksi SST Nino 3.4 dan IOD) dan jika tidak ada faktor pengganggu lain (yang artinya kedua model berjalan sempurna), maka sesuai dengan konsep terjadinya El-Nino dan IOD, maka memasuki Juni 2016 (awal MK di kawasan barat Indonesia, termasuk Malang dan kawasan sekitarnya) diduga akan dilanda adanya hujan di saat musim kemarau (dikenal sebagai kemarau basah), mencapai puncaknya hingga Juli 2016 berdasarkan model prediksi SST Nino 3.4, dan bulan September 2016 untuk IOD mencapai puncak fase negatif. Jika berbasis data SST Nino 3.4 semata, maka periode La-Nina hanya berlaku selama tiga bulan (Juli, Agustus, dan September). Sementara jika berbasis data IOD, panjangnya musim basah diduga relatif lebih lama (sekitar 6 bulan), terhitung sejak Juni hingga November 2016. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk mengembalikan prediksi ini ke konsep semula:

∆CH = f [SST Nino 3.4, IOD, Monsun] + Lokal Setempat

Jika basis analisisnya hanya berdasarkan data indeks El-Nino (SST Nino 3.4) dan IOD saja, maka adalah

tidak salah jika ada indikasi akan adanya hujan di saat kemarau (kemarau basah). Namun, harus diingat bahwa ada faktor lain yang kiranya masih cukup dibilang paling dominan, yakni faktor angin (Monsun). Juni, tepatnya tanggal 22 Juni merupakan puncak matahari berada di Belahan Bumi Utara (BBU). Konsekwensi logis yang terjadi adalah akan adanya pengaruh angin Timuran (Easterly) yang relatif “miskin” dengan uap air.

Pertanyaannya adalah bagaimana Monsun memandang fenomena ini?. Monsun, terbagi atas dua bagian

utama, yakni Monsun Asia yang diwakili oleh ISMI (Indian Summer Monsoon Index) dan WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index), dan Monsun Australia yang diwakili oleh AUSMI (Australian Monsoon Index). Bagaimana kondisi indeks Monsun “terkini” dapat dilihat pada gambar berikut.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-815-

Gambar 2.Kondisi ISMI dan AUSMI yang diupdate pada tanggal 18.06.2016 (Sumber:http://apdrc.soest.hawaii.edu/projects/monsoon/realtime-monidx.html)

Jika kedua model indeks Monsun (ISMI dan AUSMI) berjalan sempurna tanpa adanya faktor pengganggu

lain, maka terlihat jelas adanya perbedaan yang cukup signifikan antara ISMI dan AUSMI, dimana ISMI cenderung terus naik memasuki awal pertengahan Juni 2016, sementara AUSMI juga cenderung mulai naik pada periode yang sama. Bedanya adalah jika ISMI cenderung meninggalkan garis batas klimatologis (warna biru), sementara AUSMI cenderung menuju garis batas klimatologis warna biru. Ini mengindikasikan, jika indeks Monsun Australia tersebut mulai aktif bergerak akibat bergesernya posisi matahari menuju Belahan Bumi Utara (BBU), walaupun AUSMI berfluktuatif di sekitar garis klimatologis normal. Ini mengindikasikan jika Monsun Australia belum cukup kuat untuk meredam nilai IOD yang cenderung menuju fase negatif.

Karena P. Jawa termasuk kawasan yang didominasi oleh pengaruh Monsun, maka diduga kawasan ini akan mengalami satu kondisi kemarau basah, dimana pengaruh Monsun Australia tidak cukup kuat untuk meredam kekuatan Monsun Asia. Diduga kondisi basah masih akan menyelimuti P. Jawa, termasuk Malang dan kawasan sekitarnya dengan hasil rinci sebagai berikut:

Gambar 3.Perbandingan antara observasi dan prediksi untuk musim JJA (Juni-Juli-Agustus) 2016 dengan based-line

1981-2015 dan initial conditionJuni 2016 Gambar 3 menjelaskan tentang perbandingan antara observasi curah hujan yang diturunkan dari data

CHIRPS periode 1981-2015 dengan initial condition bulan Juni 2016 dan prediksinya untuk tiga bulan mendatang periode JJA (Juni-Juli-Agustus) 2016 dengan hasil di dalam batas normal (dilambangkan dengan huruf besar N). Catatan, jika AN menyatakan Atas Normal, BN menyatakan Bawah Normal, dan N menyatakan normal. Normal disini bermakna bahwa curah hujan yang dianalisis merupakan data

Pemanfaatan Data CHIRPS Dalam Menginvestigasi Kemungkinan Terjadinya Dampak La-Niña di P. Jawa Setelah Pertengahan 2016 (Studi Kasus: Malang) (Hermawan, E., dkk.)

-816-

klimatologis selama kurang lebih 34 tahun pengamatan (1981-2015) rata-rata bulanan yang diturunkan dari data CHIRPS. Hasil analisis gambar di atas lebih lanjut menunjukkan walaupun curah hujan di Malang selama lebih dari 34 tahun berkisar di dalam batasan normal, namun telah mengalami fluktuasi yang cukup tajam, yakni periode di bawah normal (1982, 1997, 2002, dan 2008). Namun, ada juga yang di atas normal, terutama di 2010 dan 2013. Diantara itu semua yang lebih utama adalah prediksi curah hujan yang bakal terjadi di Malang selama periode JJA 2016 sekitar 160 mm. Gambar 3 di atas, hanyalah satu contoh prediksi musiman untuk periode JJA 2016. Hasil lebih lanjut periode berikutnya disajikan sebagai berikut.

Gambar 4. Sama dengan Gambar 3, tetapi untuk periode JAS, ASO, ASPerbandingan antara observasi dan prediksi

untuk musim JJA (Juni-Juli-Agustus) 2016 dengan based-line 1981-2015 dan initial condition Juni 2016 Hal menarik disini adalah periode JAS (Juli-Agustus-September) 2016 merupakan puncak bakal

terjadinya musim kemarau di Malang dengan intensitas cura hujan di bawah 100 mm. Memang terjadi perubahan (tepatnya penurunan) intensitas curah hujan secara gradual, namun tetap mengalami puncak kemarau di sekitar periode JAS 2016. Kemudian, secara gradual pula naik kembali di periode ASO sekitar 135 mm, kembali naik di periode SON di sekitar 275 mm hingga mencapai puncaknya pada periode DJF 2016/2017 sekitar 1260 mm. Angka ini sepertinya besar, namun hal ini diduga wajar, mengingat ini merupakan akumulasi (penjumlahan) selama tiga bulan (DJF). Disini terlihat akan terjadi trend kenaikan intensitas curah hujan yang cukup signifikan. Hal inilah yang kiranya perlu diwaspadai, terutama sektor pertanian terkait dengan penerapan pola KATAM (Kalender Tanam) yang ada Malang. Pertanyaan ilmiahnya adalah apakah ini terkait dengan menurunnya indeks IOD atau melemahnya angin Monsun Australia dapat dibandingkan dengan rangkain gambar berikut ini.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-817-

Gambar 5. Prediksi bakal terjadinya La-Nina tahun 2016, dimana SON (September-Oktober-November) 2016 diduga

merupakan awal kedatangan La-Nina dengan initial condition MAM 2016

Jika Gambar 5 dibandingkan dengan Gambar 4, maka terjadinya lonjakan kenaikan intensitas curah hujan yang terjadi di Malang, bukan terjadi pada periode SON, tetapi justru pada periode OND 2016 dari yang semula 275 mm (saat SON) menjadi 735 mm (saatOND). Berarti ada selisih sekitar 460 mm. Dengan kata lain, ada jeda-waktu (lag-time) sekitar satu bulan. Jika prediksi ini benar, maka P. Jawa, khususnya Malang mengalami satu kondisi curah hujan yang “sedikit” di atas normal, yakni adanya hujan disaat musim kemarau, dikenal dengan istilah kemarau basah. Pertanyaan berikutnya adalah seberapa jauh kekuatan La-Nina yang bakal muncul? Berikut disajikan gambar yang dikeluarkan pihak IRI (Columbia University) edisi Juni 2016.

Pemanfaatan Data CHIRPS Dalam Menginvestigasi Kemungkinan Terjadinya Dampak La-Niña di P. Jawa Setelah Pertengahan 2016 (Studi Kasus: Malang) (Hermawan, E., dkk.)

-818-

Gambar 6. Peluang terjadinya La-Nina hingga akhir Desember 2016

Walaupun diduga akan muncul La-Nina, namun peluang terjadinya hingga akhir Desember 2016 masih

tergolong rendah (di bawah 60%), dikenal sebagai La-Nina Moderate (Weak La-Nina). Dengan demikian, diduga ada faktor lain (selain La-Nina) yang cukup dominan mempengaruhi perilaku curah hujan di P. Jawa, khususnya Malang. Faktor tersebut diduga adalah IOD, Monsun atau kombinasi keduanya. Semakin negatif nilai IOD dan semakin kuat nilai indeks Monsun Asia, maka diduga akan semakin basah kondisi yang terjadi. Tadinya, diharapkan nilai indeks Monsun Australia lah yang akan meredam, namun di saat musim kemarau saja tidak tidak cukup kuat, apalagi di saat transisi terlebih di saat memasuki musim hujan, dapat dipastikan tahun ini kita akan mengalami adanya hujan di saat musim kemarau. Sebenarnya kondisi ini pernah kita alami, disaat tahun 2010 hampir enam bulan lamanya kita dilanda musim hujanseperti nampak pada Gambar 7 dan 8. Dari gambar tersebut (walaupun menggunakan kota lain, yakni Cilacap), justru hasil kekuatan dua indeks Monsun Asia dan Australia lah yang dominan.

Gambar 7. Time-series anomali curah hujan Cilacap, SST Nino 3.4 dan DMI 2004 – 2014

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-819-

Gambar 8. Sama dengan Gambar 7, tetapi untuk ISMI-AUSMI dan Nino 3.4 + IOD 2004 – 2014

Hal yang menarik untuk disampaikan disini adalah bahwa puncak curah hujan minimum atau puncak kemarau terjadi pada bulan September, seperti yang terjadi di D.I. Yogyakarta, seperti Gambar 9. Mengapa hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Berikut penjelasannya.

Gambar 9. Perubahan pola curah hujan D.I. Yogyakarta setiap 10 tahun sejak 1970 hingga 2012

D.I. Yogyakarta, dianggap dapat mewakili perilaku Monsun yang ada di P. Jawa. Puncak kemarau umumnya terjadi pada bulan September (lihat Gambar 9 di atas). Artinya, pada saat itu, angin Timuran (Easterly) paling dominan. Tapi, apa yang terjadi di tahun 2016 ini?. Nilai IOD paling minimum justru bakal terjadi pada bulan September (hasil prediksi POAMA, Australia). Arti fisisnya adalah pada bulan September nanti, bakal terjadi dua kekuatan angin Baratan (Westerly) dan Timuran yang akan bertemu dalam satu kurun waktu yang sama. Pertemuan dua kekuatan inilah yang diduga menimbulkan adanya istilah hujan di saat musim kemarau, satu kondisi dimana ada hujan di saat puncak kemarau. Hal itu pernah terjadi di tahun 2010, dimana sejak Mei hingga November 2010 (selama kurang lebih 6 bulan, P. Jawa dilanda musim hujan). Hal ini pulalah yang diduga bakal terjadi di September 2016. Walaupun tidak sama persis, namun indikasi ke arah sana sudah nampak jelas, yakni nilai paling minimum IOD yang konsisten di September 2016 nanti.

Pemanfaatan Data CHIRPS Dalam Menginvestigasi Kemungkinan Terjadinya Dampak La-Niña di P. Jawa Setelah Pertengahan 2016 (Studi Kasus: Malang) (Hermawan, E., dkk.)

-820-

4. KESIMPULAN Atas dasar itulah, maka dapat disimpulkan bahwa berbasis hasil analisis data curah hujan rata-rata

bulanan yang diekstrak dari CHIRPS periode 1981-2015, perilaku anomali curah hujan di P. Jawa, khususnya Malang akan mengalami peningkatan intensitas curah hujan dari kondisi normalnya. Kenaikan yang cukup signifikan terjadi di saat periode OND (Oktober-November-Desember) 2016 dengan selisih sekitar 400 mm bila dibandingkan periode sebelumnya (SON, September-Oktober-November). Semula hal ini diduga akibat adanya isu La-Nina yang hadir di awal SON 2016. Namun, setelah dibandingkan dengan kejadian sebelumnya menggunakan data Cilacap, ternyata pola kenaikan intensitas curah hujan yang terjadi pada saat itu lebih mirip dengan pola ISMI-AUSMI. Dengan kata lain, ternyata faktor Monsunlah yang dominan. Hal ini dapat dipahami mengingat peluang terjadinya La-Nina tahun ini hingga Desember 2016, relatif masih tergolong lemah/moderat dengan tingkat probalitas di bawah 60%. Sementara, pada bulan September 2016, diduga bakal terjadi satu kondisi adanya hujan di saat puncak Musim Kemarau (MK) berlangsung di P. Jawa. Pertemuan antara IOD dan indeks Monsun Australia (AUSMI) diduga kuat sebagai faktor penyebabnya.

5. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pimpinan Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA),

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) atas dukungan yang diberikan. Ini merupakan bagian dari hasil kegiatan riset In-House LAPAN T.A. 2016. Juga kepada pihak CHIRPS atas data yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA Budi, N.R., Hermawan E., Ratag, M.A., dan Renggono, F., (2003). Kajian Model Time Series Data Suhu Permukaan

Laut Global dan Indeks Osilasi Selatan dalam Prediksi Datangnya ENSO di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya, Jurusan Fisika, FMIPA, ITS, Surabaya, ISBN: 979-97932-0-3.

Dupe, Z. L., Hadi, T. W., danLubis,A., (2002). El-Niño/La-Niña Forcasting Using Adaptive Neuro-Fuzzy Interference System (ANFIS). Seminar Nasional Pengembangan dan Aplikasi Teknik Prediksi Cuaca dan Iklim, LAPAN, Bandung.

Gernowo, R.,(2009). Dinamika Atmosfer Pada Curah Hujan Ekstrem dan Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca Sistem Statis di Daerah DKI Jakarta.Disertasi Doktor, ITB Bandung.

Harijono, S.W.B.,(2008). Analisis Dinamika Atmosfer di Bagian Utara Ekuator Sumatera Pada Saat Peristiwa El-Niño dan Dipole Mode Positif Terjadi Bersamaan.Jurnal Sains Dirgantara, 5(2):130–148.

Hermawan, E.,(2010).Pengembangan Model Interaksi antara Fenomena Monsun, Dipole Mode dan ENSO dalam Mengkaji Perilaku Curah Hujan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, FMIPA UNY, Yogyakarta. ISBN: 978-979-99314-4-3.

Hermawan, E., VisaJ., Noersomadi, Setyawati,W., dan Gusnita, D.,(2011). Pengembangan Model Interkoneksi Berbagai Fenomena Global Sebagai Indikasi Awal (Precursor) Datangnya Kejadian Iklim Ekstrem (Khususnya Curah Hujan) di Kawasan Sentra Produksi Tanaman Pangan. Seminar Nasional Fisika 2011, P2F LIPI.

Hermawan, E. dan Komalaningsih,K.,(2007). Karakteristik Indian Ocean Dipole di Samudera Hindia Hubungannya dengan Perilaku Curah Hujan di Kawasan Sumatera Barat Berbasis Analisis Mother Wavelet.Jurnal Sains Dirgantara (JSD), 5(2):109-129.

Hermawan, E.,(2003). Characteristics of Indian Ocean Dipole as the Preliminary Study of Monsoon Variability in the Western Part of Indonesia Region. Jurnal Sains Dirgantara (JSD), 1(1):23-31. ISSN: 1412-808X.

Hermawan, E., Ratag,M.A., Suryantoro,A., dan Renggono,F., (2003). Kajian Awal Dampak Fenomena Indian Ocean Dipole Mode Terhadap Perilaku Curah Hujan di Kawasan Indonesia Barat Hasil Analisis Data Radar Atmosfer Khatulistiwa. Prosiding Workshop Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Pertanian di Sumatera Barat, Fakultas Perikanan Universitas Bung Hattta, Padang, Sumatera Barat.

Hermawan, E.,(2006). Penggunaan FFT dalam Analisis Kenormalan Curah Hujan di Sumatera Barat dan Selatan, Khususnya Saat Kejadian Dipole Mode. Prosiding 31th Annual Scientific Meeting (PIT) HAGI-Geophysics for Sustainable Development, Semarang. ISBN: 979-98933-2-1.

Hermawan, E., dan Budi, N.R.,(2006). Prediksi ENSO di Masa Mendatang Berbasis Hasil Analisis data ESPI dengan Teknik Wavelet. Prosiding Seminar Perubahan Iklim Nasional dan Lingkungan di Indonesia, diselenggarakan oleh LAPAN Bandung. ISBN: 978-979-8554-99-5.

Hermawan, E.,(2008). Pengaruh Siklus Lima Belas Tahunan Terhadap Estimasi Kekeringan di Indonesia Berbasis Hasil Analisis Data ESPI, GPCP, dan Siklus ke 24 Matahari. Procceding Agriculture Meteorology Symposium VII Increasing National Capacity of Adaptation for Climate Change Through Cross Sectoral and Regional Cooperation. ISBN:978-979-546-012-1.

Hermawan, E.,(2009). Role of TRMM Satellite Data on Investigation of El-Niño and La-Niña Signal in Indonesia.Jurnal Lingkungan Tropis (JLT). ISSN: 1978-2713

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-821-

Ramage, C.S.,(1968). Role of Tropical “Maritime Continent” in the Atmospheric Circulation. Monthly Weather Review. 96:365-370.

Rasmusson, E.G., dan Carpenter,T.H.,(1982). Variations in tropical sea surface temperature and surface wind fields associated with the Southern Oscillation/El Niño. Mon. Wea. Rev., 110:354-384.

Saji, N.H., Goswami,B.N., Vinaychandran,P.N., dan Yamagata,T., (1999). A Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean. Nature, 401:360-363.

Sutawanir, D., Udjianna,S.P., Budi,N.R., dan Hermawan,E.,(2002). Forecasting El-Niño Based on Space-Time Models. Prosiding Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim Nasional, ISBN: 979-8554-65-5.

Ldrian, E., dan Susanto, D.,(2003). Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal of Climatology.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah : Pemanfaatan Data CHIRPS Dalam Menginvestigasi Kemungkinan Terjadinya

Dampak La-Nina Di P. Jawa Setelah Pertengahan 2016 NamaPemakalah : Eddy Hermawan (LAPAN) Diskusi : Pertanyaan: BM Riyanto Subowo (LAPAN) Apakah metode yang digunakan udah bisa untuk memprediksi datangnya La Nina untuk tahun yang akan datang? Jawaban: Ya, metode ini bisa digunakan untuk memprediksi dampak La Nina di masa yang akan datang, bahkan hingga DJF 2017

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-822-

Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Penentuan Titik Lokasi Vektor dan Reservoir Penyakit Menular (Studi Kasus: Nyamuk, Tikus dan Kelelawar)

Remote Sensing Application for Determination of Vector and Reservoir of

Infectious Diseases Point Location (Case Study: Mosquitoes, Rats and Bats)

Samsul Arifin*), Ita Carolita1, Tatik Kartika1, Nanik Suryo1 , Sri Harini1 dan Ristiyanto2

1Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN 2B2P2VRP Kementerian Kesehatan

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK: Ancaman terhadap penyakit tular vector , zoonosis dan emerginh infectious diseases (EID) cukup tinggi di Indonesia. Menurut Kementerian Kesehatan seluruh data mengenai taksonomik, bionomic dari berbagai nyamuk, tikus dan kelelawar masih sangat terbatas, masih menggunakan data tahun 1897 sampai 2000. Oleh karena itu Kemenkes RI, LAPAN dan berbagai instansi lain akan melakukan riset khusus terkait Vektor dan Reservoir di Indonesia. Pada tahap awal, riset mencakup studi Vektor dan Reservoir (nyamuk, tikus dan kelelawar) berbasis ekosistem. Tujuannya untuk pemuktahiran data vector dan reservoir penyakit secara nasional sebagai dasar pengendalian penyakit tular di Indonesia dengan menggunakan penginderaan jauh dan geospasial sebagai langkah awal analisis geospasial. Penelitian menghasilkan tingkat kontribuasi pemanfaatan data pengideraan jauh untuk mendukung penentuan titik-titik lokasi vektor dan Reservoir di berbagai kabupaten di Indonesia.

Kata Kunci : Vektor, Reservoir, Penyakit Tular, Penginderaan Jauh ABSTRACT: Threats from vector-borne diseases, zoonotic and emerging infectious diseases (EID) is quite high in Indonesia. According to the Health Ministry (Kementerian Kesehatan) all data concerning the taxonomic, bionomic of various mosquitoes, rats and bats are still very limited, they use the data from 1897 to 2000. Therefore, the Health Ministry, LAPAN and other agencies will conduct specific research related to Vector and Reservoirs in Indonesia. In the early stages, the research includes the study of Vector and Reservoir (mosquitoes, rats and bats) based ecosystems. The goal is for updating the vector and reservoir data of the disease nationally as a basis borne disease control in Indonesia by using remote sensing and geospatial geospatial analysis as a first step. Research generates contribution level of remote sensing data utilization to support the determination of location points vector and reservoir in different districts in Indonesia. Keyword: vector, reservoir, infectious diseases, remote sensing. 1. PENDAHULUAN

Ancaman terhadap penyakit tular vector , zoonosis dan emerginh infectious diseases (EID) cukup tinggi di Indonesia. Menurut Kementerian Kesehatan seluruh data mengenai taksonomik, bionomic dari berbagai nyamuk, tikus dan kelelawar masih sangat terbatas, masih menggunakan data tahun 1897 sampai 2000.Menteri Kesehatan mengatatkan bahwa Indonesia adalah negara tropis yang kaya akan keanekaragamansatwa. Karena itu, Indonesia berisiko menjadi sumber penularan penyakit hewan baru dan penyakit zoonosis baru yang bersumber satwa liar.Selain itu, pengelolaan sumberdaya hutan dan hewanyang tidak terkendali dapat menyebabkan Indonesia menjadi hotspot zoonosis. Peraturan Mentri No.374 tahun 2010 mendefinisikan bahwa pengendalian vektor merupakan kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi beresiko untuk terjadinya penularan penyakit di suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan penyakit yang dibawa oleh vektor dapat di cegah (MENKES,2010).

Vektor adalah hewan avertebrata yang bertindak sebagai penular penyebab penyakit (agen) dari host pejamu yang sakit ke pejamu lain yang rentan. Vektor digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu vektor mekanik dan vektor biologik.Vektor mekanik yaitu hewan avertebrata yang menularkan penyakit tanpa agen tersebut mengalami perubahan, sedangkan dalam vektor biologik agen mengalami perkembangbiakan atau pertumbuhan dari satu tahap ke tahap yang lebih lanjut. Contoh Aedes aegypti bertindak sebagai vektor demam berdarah.Timmreck (2004) menyebutkan bahwa vektor adalah setiap makhluk hidup selain manusia yang membawa penyakit (carrier) yang menyebarkan dan menjalani proses penularan penyakit, misalnya lalat, kutu, nyamuk, hewan kecil seperti mencit, tikus, atau hewan pengerat lain. Vektor menyebarkan agen

Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Penentuan Titik Lokasi Vektor dan Reservoir (Studi Kasus: Nyamuk, Tikus dan Kelelawar), (Arifin, S., dkk)

-823-

dari manusia atau hewan yang terinfeksi ke manusia atau hewan lain yang rentan melalui kotoran, gigitan, dan cairan tubuhnya, atau secara tidak langsung melalui kontaminasi pada makanan.

Reservoir adalah manusia, hewan, tumbuhan, tanah, atau zat organik (seperti tinja dan makanan) yang menjadi tempat tumbuh dan berkembang biak agen. Sewaktu agen berkembang biak dalam reservoir , mereka melakukannya sedemikian rupa sehingga penyakit dapat ditularkan pada pejamu yang rentan.Sedangkan konsep reservoir menurut Soebarsono (2005), bahwa reservoir host adalah hewan vertebrata yang merupakan sumber pembawa agen, sehingga penyakit tersebut dapat terjadi secara lestari atau berkesinambungan tanpa hewan tersebut menunjukkan gejala klinik a tau gejala penyakit bersifat ringan.Contoh : babi, sapi, domba merupakan reservoir dari virus Japanese encephalitis.

Walaupun ada berbagai definisi vektor dan reservoir menurut para ahli, tetapi ada definisi yang dapat digunakan sebagai rujukan yakni International Health Regulation (IHR) 2005 sebagai peraturan kesehatan intemasional yang telah diberlakukan sejak Juni 2007 (sebagai pengganti dari IHR 1969). Dalam bagian I tentang defmisi, maksud dan ruang lingkup prinsip-prinsip dan otorita yang berkompeten, pasal 1 tentang definisi menyebutkan definisi vektor dan reservoir sebagai berikut : "Vektor adalah serangga atau hewan lain yang biasanya membawa kuman penyakit yang merupakan suatu resiko bagi kesehatan masyarakat. Reservoir adalah hewan, tumbuhan atau benda dimana bibit penyakit biasanya hidup". Sumber penularan a tau reservoir ini dapat merupakan resiko bagi kesehatan masyarakat (Tri Wijayanti, 2008).

Penginderaan jauh ialah ilmu dan seni dalam memperoleh informasi mengenai objek, area, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung (Lillesand et al., 2008 dalam Danoedoro, 2012). Penginderaan jauh sekarang tidak hanya menjadi alat bantu dalam menyelesaikan masalah. Begitu luasnya lingkup aplikasi penginderaan jauh sehingga dewasa ini bidang tersebut telah menjadi semacam, kerangka kerja (framework) dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait dengan aspek ruang (lokasi, area), lingkungan (ekologis) dan kewilayahan (regional).Masukan data atau hasil observasi yang diperoleh dalam penginderaan jauh disebut citra.

Perkembangan Sistem Informasi Geografis (SIG) sekarang ini semakin pesat, diantaranya yaitu dimanfaatkan dalam bidang kesehatan. SIG dapat digunakan untuk menganalisis keragaman geografis pada penyakit dengan memperhatikan dimensi geografis, lingkungan, perilaku, sosial ekonomi, genetika dan faktor risiko penularannya. Beberapa kemampuan pengolahan data SIG dapat digunakan untuk melakukan pemetaan kaitannya dalam bidang kesehatan seperti pemetaan persebaran penyakit dan pemetaan tingkat kerentanan penyakit di suatu wilayah tertentu.

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan di atas dan dengan memanfaatkan pengetahuan dan data ekosistem dari vektor, reservoir penyakit serta teknologi penginderaan jauh dan SIG maka penelitian ini bertujuan untuk pemuktahiran data vector dan reservoir penyakit secara nasional sebagai dasar pengendalian penyakit tular di Indonesia dengan menggunakan penginderaan jauh dan geospasial sebagai langkah awal analisis geospasial. 2. METODE 2.1 Data

Data yang digunakan berupa data spasial antara lain adalah data citra Landsat dan SPOT 6/7. Peta Penutup Lahan/RBI, dan Peta Land System. 2.2 Lokasi

Lokasi sample penentuan titik lokasi survey vector dan reservoir (nyamuk, tikus dan kelelawar) pada 15 provinsi di Indonesia

2.3 Metode 1. Penentuan Ekosistim untuk vektor dan reservoir telah ditentukan oleh pakar kesehatan dan

lingkungan diantaranya adalah : hutan, non hutan, pesisir, pemukiman dan non pemukiman. 2. Pengolahan data penutup lahan dan land system berbasis ekosistem vektor dan reservoir untuk

penentuan titik lokasi survey menggunakan sistem informasi geografis dengan mempertimbangkan memiliki daerah transek pemukiman dan non pemukiman.

3. Verikasi dan validasi titik lokasi dengan menggunakan data penginderaan jauh.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-824-

Gambar 1 : Ilustrasi Pengolahan Sistem Informasi Geografis

Gambar 2 : Diagram Alir Pelaksanaan Penentuan Titik Vektora

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelumnya penentuan titik lokasi survey vektor dan reservoir dilakukan di Pasuruhan Jawa Timur sebagai percontohan dengan menggunakan data Google . Berdasarkan penutup yang berada di wilayah sekitar titik tersebut :Perairan:m : Tambak, Sungai, Danau, Rawa ; Vegetasi : Hutan, Mangrove, Kebun (Kebiun Campur), Belukar, Vegetasi Areal Sawah (Padi, Palawijo, Tembakau, Tebu) dan Tanah : Lahan Terbuka, Sawah Bera, Lahan Terbangun (Permukiman)

Dasar pengambilan percontohan karena daerah tersebut merupakan daerah endemis di provinsi survei untuk penyakit tular vektor dan reservoir (berdasarkan informasi Dinas Kesehatan Prov/Kab/Kota). Tim Teknis Pusat, Pakar, BIG dan LAPAN memilih 6 titik survei), berdasarkan Citra Satelit dengan ketentuan:

Memiliki ekosistem hutan, non hutan dan pantai sesuai definisi operasional survei;

Peta RBI

Landuse Infrastruktur

Peta Landsystem

Pantai/Pesisir

Ekosistem

Adminstrasi

SIG

Zona Potensi Vektora

Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi / Verifikator

Penetuan Ttitik Rikhus Vektora

Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Penentuan Titik Lokasi Vektor dan Reservoir (Studi Kasus: Nyamuk, Tikus dan Kelelawar), (Arifin, S., dkk)

-825-

Memiliki daerah transek pemukiman dan non pemukiman; Feasible Satu titik pada 6 titik survei di setiap site harus merupakan daerah endemis DBD

Gambar 3.Uji Coba Penentuan Titik Lokasi Survey di Pasuruan (Sumber :Hasil Analisis Visual dengan Data Google)

Hasil yang telah ditetapkan sebagai uji coba kemungkinan terdapat beberapa kekeliruan dalam menentukan titik vektora hal ini disebabkan titik yang ditetapkan hanya berdasarkan pada jarak sekitar 3 dari paramerter esistem yang telah ditentukan secara manual, sehingga diperlukan metode yang lebih baik dalam menentukan titik survey vektora.

Selanjutnya penentuan titik lokasi vector dan reservoir dilakukan sebanyak 6 titik di 3 kabupaten pada 15 provinsi. Mengingat banyaknya titik yang akan ditentukan, maka tidak dimungkinkan dilakukan secara visual seperti yang telah dilakukan sebelumnya pada lokasi di Kabupaten Pasuruan. Maka dengan itu diperlukan suatu metode yang praktis dan efektif yaitu dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan System Informasi Geografis. Metode di atas menggunakan data resolusi menengah Landsat-8, peta rupa bumi / penutuplahan dan landsystem untuk pententuan titik survey di 15 provinsi yang harus dikunjungi yaitu:

- Aceh: Simeuleu, Aceh Barat, Naganraya - Sumatera Barat: Pesisir Selatan, Padang Pariaman, Pasaman Barat - Jabar: Sukabumi, Garut, Subang, Pangandaran - Banten: Lebak, Pandeglang, Serang - Jatim: Banyuwangi, Pasuruan, kabupaten Malang - Kalsel: Banjar, Barito, Kota Baru

Penentuan titik rikhus vektora sebanyak 6 titik di 3 kabupaten pada 15 provinsi untuk masing-masing

kabupaten dengan menggunakan metode di atas dengan menggunakan data resolusi menengah Landsat-8 dan diverifikasi dengan menggunakan data resolusi tinggi SPOT 6/7. Pententuan titik vektora pada tahun 2016 yaitu: Aceh, Banten, Jabar, Sumatera Barat, Jatim, Kalsel, Kalba, Maluku, Maluku Utara, Seltra, Sulsel, Sulut, Riau, Babel dan Maluku Tenggara. Maluku Tenggara

Penentuan titik vektor dan reservoir penyakit jarak dekat dan jauh dengan parameter ekosistem yang telah ditetapkan oleh pakar yaitu hutan, pantai, dan permukiman. Jarak dekat adalah kurang dari 3 km, sementara jauh adalah lebih dari 3 km. Jarak jauh dibatasi lagi me njadi kurang dari 5 km. Hal ni akan berkaitan dengan area untuk survey lapangannya. Dalam menentukan area rikhus digunakan metode buffer. Dalam penentuan titiknya harus dioverlay peta penutup lahan dan peta landsytem dengan SIG dan citra resolusi menengah / tinggi yang dimiliki LAPAN sebagai verifikator, sehingga akan diketahui gambaran penutup lahan dan lokasinya. Dengan bantuan citra resolusi menengah ini titik lokasi vektor dan reservoir lebih jelas dan dapat ditentukan titik koordinat lokasi, apakah ada di dataran rendah, dataran tinggi, dan sebagainya, sehingga para surveyer dapat menuju langsung lokasi titik survey Di bawah ini beberapa contoh penentuan titik vektor dan reservoir tahun 2016.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-826-

Garut Jawa Barat Pulau Aru Maluku

Sambas Kalbar Kendari Sulawesi Tenggara

Gambar 5. Contoh Verifikasi Titik Lokasi Survey Vektor dan Reservorir 4. KESIMPULAN

Data penginderaan jauh mampu memberikan kontribusi dalam penentuan titik lokasi survey vector dan reservoir penyakit yang disebabkan oleh nyamuk, tikus dan kelelawar sebagai verifikator penentuan titik yang berbasis SIG. Dengan ditentukan titik lokasi vektora menggunakan SIG dan Data Penginderaan Jauh diharapkan saat survey lapangan pada titik lokasi vektor dan reservoir penyakit dapat dilaksanakan secara efekttif dan efisien,, sesuai rencana yang telah ditentukan, tepat waktu, valid, dan realible dan tepat waktu. Serta bermanfaat bagi pembangunan kesehatan di Indoensia. 5. UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kami ucapkan pada beberapa pihak baik Instansi terkait Kemenker RI, LAPAN, BIG Bapak Jaka dan UGM Bapak Barandi yang telah banyak berkontribusi dalam penelitian dan karya tulis ilmiah ini sehingga dapat disajikan pada Seminar Nasional Inderaja 2016. DAFTAR PUSTAKA Asmadi, Amin, A.A, Budiarti, S., dan Raimadoya, M.A. (2011). Kajian Parameter Keberadaan Vektor Penyakit Demam

Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Dukungan Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Di Kota Pontianak. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB.

Depkes RI. Ditjen Ppm & Pl. (1992). Petunjuk Teknis 2. Penggerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (Psn) Demam Berdarah Dengue. Jakarta.

Demers, and Michael, N. (1997). Fundamentals of GIS, New York, John Wiley And Sons, Inc. Lillesand, T.M., dan Kiefer, R.W. (2007). Remote Sensing And Image Interpretation, 6th Edition, Jhon Wiley & Sons

Inc, New York. Eddy P. (2002). Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografi, Informatika Bandung Eddy P. (2009). Sistem Informasi Geografis : Konsep-Konsep Dasar (Perspektif Geodesi & Geomatika). Penerbit

Informatika, Bandung. Sutanto (1986). Penginderaan Jauh Jilid I. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sutanto (1987). Penginderaan Jauh Jilid II. Gadjah Mada University ,Press. Yogyakarta. Wijayanti, T. (2008). Vektor Dan Reservoir, Balaba, Ed.007, 02: 18, Salatiga

Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Penentuan Titik Lokasi Vektor dan Reservoir (Studi Kasus: Nyamuk, Tikus dan Kelelawar), (Arifin, S., dkk)

-827-

Wahyuni, S., dan Yuliadi (2010). Spot Survey Reservoir Leptospirosis dibeberapa Kabupaten Kota di Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. Jurnal Vektora, II:2, Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Vektor Dan Reservoir Penyakit, Salatiga.

Who (2005). Guidelines For Laboratory And Field 9. Testing of Long Lasting Insecticidal Mosquito Nets. Who /Cds/Whopes/Gcdpp/2005.11

Chandra, B. (2005). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Egc. Didapat dari Http://Books.Google.Com/24/6/2016 Siswanto, H. (2003). Kamus Popular Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Egc. Didapat dari :Http://Books.Google.com

/ 24/6/2016 Sutomo, A.H. (1995). Kader Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Egc. Didapat Dari Http://Books.Google.Com/ 24/6/2016 Http://Www.Tropenbos.Org/File.Php/332/Guideline-Of-Gis-Basic-Training.Pdf Http://Www.Westminster.Edu/Staff/Athrock/Gis/Gis.Pdf _____________________________________________________________________________________________ *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah DAFTAR ACARA PRESENTASI POSTER SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah : Model Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Penentuan Titik Lokasi Vektor

Dan Reservoir Penyakit Menular (Studi Kasus: Nyamuk, Tikus dan Kelelawar) Pemakalah : Samsul Arifin (LAPAN) Diskusi : Pertanyaan: Nana Suwargana (LAPAN) Bagaimana menentukan ekosistem untuk Vektor dan Reservoir (Nyamuk, Tikus dan Kelelawar) Jawaban : Cara menentukan ekosistem untuk ketiga vektor tersebut adalah mengetahui habitat dan dekat jauhnya ekosistem terhadap pemukiman, maksimal jaraknya 5 km. Pertanyaan: BM Riyanto Subowo (LAPAN) 1. Bagaimana dengan kata habitat tikus , nyamuk dan kelelawar, apakah ada dalam peper ini 2. Observasi apakah hanya dilakukan dengan menghitung jumlah orang yang terpapar penyakit yang

disebabkan ooleh binatang diatas. Jawaban: 1. Habitat ketiga binatang dalam paper ini tidak disebutkan, dalam peper ini hanya disebutkan ekosistem

yang telah disepakati oleh para pakar ekologi. Ekosistem ini telah ditetapkan berdasarkan habitat dan dekat jauhnya terhadap permukiman.

2. Penelitian ini dilakukan untuk mengdetailkan data Vektor dan Reservoir, ketiga binatang tersebut termasuk vektor (agen penyebar) yang telah diketahui sebelumnya dari penelitian kesehatan, sehingga dapat mencegah tersebarnya penyakit2 yang disebabkan oleh ketiga binatang tersebut. Reservoir dapat diantisipasi (dalam hal ini manusia) dengan cara pencegahan yang dilakukan oleh Depkes jika terjadi wabah penjangkit penyakit (misal evakuasi, imunisasi dan pembersihan hewan tersebut).

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-828-

Pemetaan Endapan Piroklastik Merapi Tahun 2010 Menggunakan Citra Satelit Resolusi Spasial Tinggi dan Data Synthetic Aperture Radar (SAR)

Mapping The 2010 Merapi Pyroclastic Deposits Using High-Spatial

Resolution (HSR) Satellite Image and Synthetic Aperture Radar (SAR) Data

Akhmad Solikhin1*), Virginie Pinel2, Jean-Claude Thouret3 dan Zeineb Kassouk3

1Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2ISTerre, Université Savoie Mont Blanc, Le Bourget du Lac, Perancis

3Laboratoire Magmas et Volcans,Université Blaise Pascal Clermont-Ferrand II, Perancis

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK - Keberadaan citra satelit pada gunungapi aktif yang diakuisisi sebelum, pada saat dan sesaat setelah erupsi paroksismal, memungkinkan untuk memetakan dan mengevaluasi daerah yang tertutupi endapan vulkanik yang baru dierupsikan. Endapan piroklastik dan lahar dari erupsi Merapi tahun 2010 telah diidentifikasi dengan menerapkan beberapa metode terhadap citra optik dengan resolusi spasial tinggi (HSR) dan data synthetic aperture radar (SAR). Hasilnya memperlihatkan kemampuan data penginderaan jauh dalam mendokumentasikan endapan gunungapi yang baru, murni dan luas sesaat setelah pengendapannya dan sebelum adanya perubahan, menyoroti tujuan dari penggunaan citra optik resolusi spasial tinggi dan data SAR pada gunungapi yang sangat aktif, dimana akses untuk survei lapangan seringkali tidak memungkinkan. Endapan piroklastik diidentifikasi dengan memanfaatkan citra satelit optik (GeoEye-1) yang mempunyai resolusi spasial mencapai 50 cm dan dipetakan dengan menggunakan dua metode yaitu klasifikasi tersupervisi dan berorientasi objek (OOC). Kami telah mendeliniasi 16 unit dari endapan aliran piroklastik (Pyroclastic Density Current / PDC) yang dibedakan secara spektral dan/atau tekstural dan dibandingkan dengan hasil studi lapangan yang telah dipublikasikan. Endapan piroklastik juga telah dikarakterisasi dengan menggunakan data SAR (ALOS-PALSAR) polarisasi-langsung dan polarisasi-silang serta dengan menggabungkan informasi dari evolusi amplitudo dan dekorelasi temporal. Perubahan dalam amplitudo sinyal radar memungkinkan pemetaan endapan aliran piroklastik dan tephra dengan akurat. Kami menggunakan metode klasifikasi tersupervisi berdasarkan maximum likelihood untuk memetakan deposit. Klasifikasi yang berasal dari data SAR memberikan hasil dengan akurasi klasifikasi sebesar 70% untuk keseluruhan deposit.

Kata kunci:Merapi, erupsi 2010, endapan piroklastik, citra optik, data SAR, klasifikasi, pemetaan

ABSTRACT - The existence of satellite images of an active volcano acquired before, during and immediately after a paroxysmal event, allowed for mapping and evaluating the area covered by fresh volcanic deposits. The 2010 Merapi pyroclastic and lahar deposits have been identified by applying several methods to high-spatial resolution (HSR) satellite optical images and synthetic aperture radar (SAR) data. The results show that the ability of remotely sensed data to capture fresh, pristine features and extent of deposits shortly after emplacement and before any reworking, highlights the purpose of using high-spatial resolution imagery and SAR data on persistently active volcanoes, where access for field surveys is often impossible.Identification of pyroclastic deposits benefited from the 50-cm resolution of the HSR satellite images (GeoEye), and mapping was conducted by using supervised and object-oriented methods for classification. We have delineated sixteen spectrally and/or texturally distinct units of Pyroclastic Density Current (PDC) deposits and they compared favorably with previously published results of field studies.Pyroclastic deposits have also been characterized by using direct-polarized and cross-polarized SAR (ALOS-PALSAR) data and combining the information of amplitude evolution with temporal decorrelation. Changes in amplitude of the radar signal enabled accurate mapping of the PDCs and tephra fall deposits. We have utilized a supervised classification method based on maximum likelihood to map the deposits. Classification derived from SAR data provides a result with 70% classification accuracy for deposits overall.

Keywords: Merapi, 2010 eruption, pyroclastic deposits, optical image, SAR data, classification, mapping.

1. PENDAHULUAN Selama dua dekade terakhir, teknik penginderaan jauh dan Global Information System (GIS) telah

semakin berkembang dan banyak digunakan dalam studi gunungapi (Gupta, 2003; Pieri dan Abrams, 2004; Thouret dkk., 2010; Solikhin dkk., 2012). Penginderaan jauh memainkan peran penting dalam studi gunungapi ketika pemantauan gunungapi dari darat dan penelitian lapangan tidak memungkinkan karena kondisi alam (aktivitas erupsi, vegetasi yang lebat, relief yang kasar, dll) atau kondisi politik (Head dkk., 2012).Mouginis-Mark dan Domergue-Schmidt (2000) menjelaskan enam cara penggunaan satelit dalam

Pemetaan Endapan Piroklastik Merapi Tahun 2010 Menggunakan Citra Satelit Resolusi Spasial Tinggi dan Data Synthetic Aperture Radar (SAR) (Solikhin, A., dkk.)

-829-

pemantauan dan studi gunungapi: (1) Pendeteksian cepat gumpalan material erupsi guna mengurangi risiko penerbangan sipil (e.g. Schneider dkk, 2000); (2) Pemantauan energi termal yang dipancarkan dari gunungapi (e.g. Harris dkk. 2000); (3) Pemetaan deformasi permukaan gunungapi (e.g. Massonet dan Sigmundsson, 2000); (4) Pengukuran topografi gunungapi dan perubahannya guna memperkirakan volume material erupsi yang baru atau besarnya kerusakan akibat erupsi (e.g. Zebker dkk., 2000; Bignami dkk., 2013; Pallister dkk., 2013; Solikhin dkk., 2015); (5) Penentuan distribusi spasial dari abu, gas dan aerosol yang dihasilkan dari erupsi gunungapi (e.g. Krueger dkk, 2000;. Yu dan Rose, 2000); dan (6) Pengembangan referensi dataset penginderaan jauh untuk setiap gunungapi guna mengukur perubahan di masa depan (Mouginis-Mark dkk., 2000).

Keberadaan citra satelit dari suatu gunungapi aktif yang diakuisisi sebelum, pada saat dan setelah erupsi besar, memungkinkan kita untuk melakukan pemetaan dan evaluasi daerah yang terlanda endapan erupsi. Citra satelit optik dengan salah satu keuntungannya yaitu tersedia dalam resolusi sangat tinggi hingga mencapai di bawah satu meter, mampu untuk mengidentifikasi endapan gunungapi dengan detil. Tidak hanya itu, citra satelit optik resolusi spasial tinggi (High Spatial Resolution / HSR) dapat melengkapi data lapangan guna menambah pengetahuan dan informasi ke dalam analisis kronologi, dinamika serta dampak erupsi gunungapi (Cronin dkk., 2013; Komorowski dkk., 2013; Charbonnier dkk., 2013, dan Solikhin dkk., 2015). Studi kami menggambarkan kemampuan citra optik HSR untuk mengidentifikasi berbagai endapan piroklastik di gunungapi aktif sesaat setelah erupsi paroksismal dan karena itu mengurangi kebutuhan para ilmuwan untuk melakukan survei di lapangan dalam kondisi yang tidak aman.

Data SAR meskipun dengan resolusi yang lebih rendah, namun mempunyai keuntungan dalam memberikan informasi pada siang hari atau malam hari, independen dari kondisi meteorologi, dan dapat menembus kanopi vegetasi (Saepuloh dkk., 2012). Oleh karena itu, data SAR mampu memberikan informasi yang berguna di lingkungan tropis yang lembab di mana gunungapi seringkali dikelilingi vegetasi yang lebat dan ditutupi oleh awan (Carn, 1999; Lu dan Dzurisin, 2014). Aplikasi data radar untuk pengukuran deformasi gunungapi telah dijelaskan secara rinci oleh Massonnet dan Sigmundsson (2000). Zebker dkk. (2000) memperlihatkan bahwa, selain pengukuran deformasi, SAR interferometrik (InSAR) merupakan alat yang cocok untuk memetakan endapan vulkanik dan mendeteksi perubahan topografi. Gema (echo) dari radar sensitif terhadap perubahan di permukaan (objek pemantul gelombang radar) dalam sel resolusi di tanah permukaan. Akibatnya, jika objek dipindahkan atau diganti dengan set baru, perubahan tersebut dapat dengan mudah dideteksi melalui citra SAR yang berbeda waktu akuisisi (multi-temporal). Pendeteksian dapat berdasarkan evolusi reflektifitas, yaitu amplitudo citra radar, atau pada dekorelasi temporal sinyal. Karakteristik permukaan paling penting yang mengontrol kekuatan pantulan balik (backscatter) SAR adalah kadar air, kekasaran dan kemiringan. Studi kami dengan data SAR menggambarkan pemanfaatan data SAR terpolarisasi-langsung dan –silang untuk mengidentifikasi dan memetakan endapan vulkanik (piroklastik).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan memetakan endapan piroklastik menggunakan citra optik HSR dan data SAR L-band. Erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010, seperti yang dijelaskan dalam bagian 2 dari tulisan ini, digunakan sebagai studi kasus. Bagian 3 menjelaskan ALOS-PALSAR dataset pengolahan dan metodologi diikuti dalam penelitian ini. Bagian 4 menyajikan hasil dan pembahasan sedangkan bagian 5 memberikan kesimpulan penelitian.

2. STUDI KASUS: ENDAPAN PIROKLASTIK MERAPI TAHUN 2010 Merapi (7°32,5' LS dan 110°26,5' BT) merupakan salah satu gunungapi paling aktif di Indonesia dan

terletak di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi di Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah (Gambar 1). Gunungapi ini terkenal karena aliran blok-dan-abu (Block-and-ash Flow / BAF) nya yang dihasilkan oleh runtuhnya kubah lava di puncak secara berulang, dan merupakan jenis tertentu dari kepadatan aliran piroklastik (Pyroclastic Density Current / PDC) yang pada umumnya berasosiasi dengan pertumbuhan dan runtuhan kubah lava. BAF merupakan longsoran material panas yang mengikuti permukaan tanah dan mengalirkan campuran partikel dan gas vulkanik (Branney dan Kokelaar, 2002). Lebih dari 74 kali, Merapi melakukan erupsi sejak tahun 1548 dan setidaknya 17 diantaranya, termasuk erupsi tahun 2010, telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-830-

Gambar 1. (a) Lokasi Gunungapi Merapi di Pulau Jawa Termasuk Cakupan dari Lintasan 431

Citra ALOS-PALSAR, (b) Citra GeoEye-1 15 November 2010, dan (c) Citra Amplitudo ALOS-PALSAR 1 February 2011 dan Daerah Penelitian (Kotak Putih)

Erupsi pada 26 Oktober - 23 November 2010 merupakan erupsi terbesar di Merapi dalam 140 tahun

terakhir dengan indeks eksplosivitas vulkanik 4 (Volcanic Explosivity Index/VEI=4). Akibat erupsi ini, ratusan ribu orang mengungsi, 2.300 rumah hancur atau rusak parah, dan 376 orang kehilangan nyawanya. Gambar 2 memperlihatkan kronologi erupsi Merapi yang digambarkan dengan data harian pengukuran amplitude spektral seismik (SSAM) sebagai representasi dari parameter aktivitas eruptif dan dikaitkan dengan koleksi citra yang digunakan dalam penelitian ini. Krisis Merapi tahun 2010 mencakup beberapa episode PDC, sebagian besar tersalurkan menuju daerah tangkapan air Gendol-Opak di sisi selatan yang mencapai jarak 16,5 km dari puncak (Gambar 1b dan 1c). PDC yang paling besar diendapkan pada fase puncak erupsi tanggal 4-5 November 2010 (Gambar 2). Luas area endapan PDC sekitar 22,3 km2, yang terdiri dari endapan lembah-terbatas (valley-confined) dan di luar saluran (overbank) (29,3% dari total area) serta endapan surge piroklastik dan jatuhan tephra (70,7% dari total area) (Charbonnier dkk., 2013). Selama erupsi, jatuhan tephra tersebar oleh angin sebagian besar melanda sisi barat gunungapi, dengan total volume 21 ± 4 × 106 m3 (Solikhin dkk., 2015). Sejak awal erupsi, banyak dari endapan PDC telah berubah sebagian menjadi lahar (aliran lumpur vulkanik) dan sebagian besar lainnya telah ditambang untuk bahan bangunan.

Penginderaan jauh sebagian besar telah digunakan untuk mengkarakterisasi endapan erupsi Merapi 2010, baik berdasarkan citra optik (Charbonnier dkk., 2013; Komorowski dkk., 2013; Solikhin dkk., 2015) atau data SAR menggunakan X-band (Bignami dkk., 2013) atau L-band (Saepuloh dkk., 2013; Yulianto dkk., 2013). Citra SAR telah terbukti dapat digunakan untuk melacak ekstrusi lava dan pertumbuhan kubah di gunungapi andesit yang sangat eksplosif, oleh karenanya citra SAR menjadi sangat penting dalam penanggulangan krisis erupsi Merapi (Pallister dkk., 2013). Namun, penelitian sebelumnya tentang penggunaan data SAR pada endapan erupsi terbatas pada penggunaan polarisasi tunggal dan hanya berdasarkan pada variasi amplitudo dalam citra SAR.

Pemetaan Endapan Piroklastik Merapi Tahun 2010 Menggunakan Citra Satelit Resolusi Spasial Tinggi dan Data Synthetic Aperture Radar (SAR) (Solikhin, A., dkk.)

-831-

Gambar 2. Data Harian Pengukuran Amplitude Spektral Seismik (SSAM) Merapi Juni 2010 –

Maret 2011 dan tanggal akuisisi citra GeoEye1 dan ALOS-PALSAR.

3. PENGOLAHAN DATA DAN METODE 3.1 Citra Optik HSR

Citra satelit optik yang digunakan dalam studi ini adalah citra GeoEye-1 tanggal 15 November 2010 (Gambar 1b) diakuisisi 10 hari setelah puncak erupsi Merapi. Spesifikasi teknis dari citra satelit dirangkum dalam Table 1. Terhadap citra optik ini diterapkan prosedur contrast stretching, filtering, band ratio, dan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) guna memperjelas citra atau meningkatkan kontras antara fitur, serta untuk mengurangi variasi dalam pencahayaan topografi.

Tabel 1. Karakteristik Teknik Sensor Satelit dan Citra GeoEye-1

Sensor Satelit; Provider

Jangkauan Spektral (nm) Resolusi Spasial Waktu Revisit

Rata-rata Tanggal Akuisisi

GeoEye-1; DigitalGlobe

Panchromatic 450-800 B1 (blue) 450-510 B2 (green) 510-580 B3 (red) 655-690 B4 (NIR) 780-920

0,41 m 1-3 Hari 15 November 2010

Identifikasi endapan erupsi memanfaatkan citra resolusi tinggi (50 cm), pemetaannya dilakukan dengan

menggunakan metode interpretasi foto (secara manual dan dibantu data lapangan) serta klasifikasi tersupervisi dan berorientasi obyek. Metode Klasifikasi berorientasi objek (Object-Oriented Classification/OOC) terdiri dari lima langkah: 1. Daerah tangkapan air dibedakan dengan menggunakan variasi nilai intensitas, warna, dan saturasiserta

parameter geomorfik. Kemudian dilakukanperhitungan tiga indeks spektral: NDVI terkait dengan vegetasi, Normalized Difference Water Index (NDWI) terkait dengan kadar air, dan Normalized Difference Soil Redness Index (NDSRI) terkait tanah permukaan, untuk membedakan setiap unit areal (e.g., Kassouk dkk., 2014).

2. Segmentasi endapan dimulai dengan mendeteksi bagian tepi dengan mengidentifikasi batas-batas potensial antara segmen, berdasarkan pada asumsi bahwa dua piksel bertetangga dengan perbedaan besar dalam nilai spektral merupakan anggota dari segmen yang berbeda. Segmen yang berdekatandigabungkan berdasarkan kesamaan dalam karakteristik spektral spasial.

3. Beberapa atribut yang mewakili kedua karakteristik geometrik dan informasi piksel rata-rata untuk setiap segmen dihitung untuk membuat objek.

4. Klasifikasi tersupervisi terhadap objek-objek tersebut berdasarkan atribut (bentuk, tekstur, dan spectrum rata-rata) dilakukan guna menduga unit endapan.

5. Kualitas segmentasi dievaluasi dengan mengukur kesamaan topologi dan geometris antara poligon tersegmentasi (objek) dan poligon referensi.

Teknik dan informasi yang lebih lengkap mengenai penerapan OOC pada citra optik HSR untuk pengkasifikasian endapan dan morfologi gunungapi disajikan dalam Kassouk dkk. (2014) dan Thouret dkk. (2015).

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-832-

3.2 Data Radar Kami menggunakan data SAR L-band yang diakuisisi oleh Phased Array L-band Synthetic Aperture

Radar (PALSAR) dari Satelit Jepang, The Advanced Land Observing Satellite (ALOS). Tabel 2 merangkum rincian citra ALOS-PALSAR yang digunakan untuk penelitian ini. Data berasal dari lintasan 431 menaik (ascending) dengan sudut datang 34,3° (Gambar 1a). Kami menggunakan lima dataset dengan polarisasi ganda (dual-pol, Fine Beam Dual Polarization, disebut FBD) yang memancarkan gelombang dengan polarisasi horisontal (H) dan diterima dengan polarisasi horizontal (HH) dan vertikal (HV). Dataset ini diperoleh sebelum (13 Juni 2009, 16 Juni 2010, dan 16 September 2010), pada saat (1 November 2010), dan setelah (pada tanggal 1 Februari 2011) erupsi Merapi. Kami juga menggunakan satu dataset polarisasi tunggal (Fine Beam Single Polarization, disebut FBS) dengan polarisasi HH yang diakuisisi setelah erupsi (17 Desember 2010).

Tabel 2. Karakteristik Citra ALOS-PALSAR yang Digunakan Dalam Penelitian Ini.

Tanggal Akuisisi Waktu Polarisasi 13-06-2009 16-16-2010 16-09-2010 01-11-2010 17-12-2010 01-02-2010

15:31 15:30 15:29 15:28 15:28 15:27

HH + HV HH + HV HH + HV HH + HV

HH HH + HV

Pertama-tama, semua data mentah (Level 1.0) diubah menjadi array bilangan kompleks atau data Single

Look Complex (SLC), yang masih mempertahankan informasi fase dan amplitudo dari data original SAR. Citra SLC kemudian diregisterisasi dan citra amplitudo di-“multi-tampak” sehingga menghasilkan citra dengan resolusi 28,4 m per piksel pada azimuth dan 33,2 m pada kisaran permukaan bumi. Citra amplitudo berisi variasi kecerahan (amplitudo sinyal), yang mencerminkan variasi spasial dari karakteristik fisik dari permukaan tanah (reflektor). Informasi fase dari citra SAR diekstraksi dengan membedakan dua citra yang terpisah terhadap waktu. Peta citra koherensi atau stabilitas informasi fase dihasilkan dari proses standar yang merupakan bagian dari pengolahan interferometrik. Citra koherensi yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh ketika membentuk interferogram antara dua citra polarisasi HH yang diperoleh pada tanggal 1 November 2010 dan 17 Desember 2010, pasangan citra ini memiliki dasar (baseline) data terbaik (dasar temporal = 45 hari, dasar tegak lurus = 15 m ) dari semua pasangan dalam dataset yang digunakan dalam pnelitia ini. Daerah dengan koherensi yang baik (nilai mendekati 1) muncul sebagai piksel terang, sedangkan daerah gelap menunjukkan koherensi yang rendah (nilai mendekati 0). Pengolahan data ALOS-PALSAR dilakukan dengan menggunakan software ROI_PAC (Rosen dkk., 2004). Citra amplitudo dan koherensi di-“geocode” menggunakan model elevasi digital (DEM) dari Shuttle Radar Topografi Mission (SRTM) yang di-oversample empat kali, dan memiliki resolusi piksel sekitar 23 m.

Perubahan menonjol dalam topografi atau properti radar, distribusi atau orientasi, dapat dideteksi dengan membandingkan dua citra SAR, baik melalui informasi fase menggunakan citra koherensi atau menggunakan evolusi amplitudo temporal. Perubahan amplitudo dapat diukur dengan mengambil rasio antara dua citra amplitudo. Ketika variasi amplitudo dikarenakanperubahankekasaranpermukaan, makapermukaan yang lebihhalusakan menyebabkan penurunan sinyalpantul (backscattering) sedangkan yang lebih kasar akan menyebabkan peningkatan backscattering. Endapan piroklastik pada umumnya menyebabkan perubahan pada topografi dan kekasaran permukaan sehingga berpengaruh pada perubahan citra amplitudo.

Dari berbagai algoritma yang dikembangkan untuk klasifikasi tersupervisi, kami menerapkan teknik Maximum Likelihood Classification (MLC) (Tupin dkk., 2014) untuk membedakan jenis endapan piroklastik Merapi 2010. MLC merupakan teknik yang paling umum digunakan untuk klasifikasi, dimana teknik ini mengasumsikan distribusi spektral yang normal atau mendekati normal untuk setiap kelas pada masing-masing band. MLC menghitung probabilitas bahwa piksel tertentu merupakan bagian dari suatu kelas yang ditentukan oleh vektor rata-rata dan matriks kovarians (Richards dan Jia, 2006). Sampel latihan didefinisikan terlebih dahulu sebagai masukan untuk klasifikasi tersupervisi dan sampel kontrol untuk menilai kinerja klasifikasi. Data latihan dan kontrol diekstraksi secara manual berdasarkan interpretasi visual dari tampilan optik dan citra radar dalam representasi komposit warna semu dengan mengacu pada data yang berbasis lapangan dari Charbonnier dkk. (2013), Komorowski dkk. (2013) dan Solikhin dkk. (2015).

Pemetaan Endapan Piroklastik Merapi Tahun 2010 Menggunakan Citra Satelit Resolusi Spasial Tinggi dan Data Synthetic Aperture Radar (SAR) (Solikhin, A., dkk.)

-833-

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Peta Endapan Piroklastik Berdasarkan Citra Optik HSR

Citra GeoEye-1 tanggal 15 November 2010 dianggap paling cocok untuk menggambarkan area pengendapan PDC karena akuisisi data dilakukan sesaat (10 hari) setelah tahap puncak erupsi Merapi (5-6 November) dan ketika semua wilayah terdampak menjadi tanpa vegetasi. Gambar 3 membandingkan daerah terdampak sebagaimana digambarkan pada citra GeoEye-1 dan peta hasil klasifikasi berorientasi objek (OOC). Dari hasil OOC teridentifikasi enam unit endapan piroklastik lembah-terbatas, empat unit endapan PDC overbank, dan empat unit endapan piroklastik terbatasi tangkapan air Gendol-Opak. OOC juga berhasil mengenali dan menguraikan tiga jenis daerah yang mengalami kerusakan tutupan hutanan dan teras perkebunan. Keuntungan lain dari OOC yang diterapkan kepada citra Optik HSR terletak pada proses segmentasi, yang memungkinkan untuk mengidentifikasi fitur berukuran kecil terkait dengan aliran piroklastik.

Gambar 3. Perbandingan antara Citra GeoEye-1 15 November 2010, Hasil Klasifikasi dengan

Metode OOC dan Peta Geologi Berdasarkan Interpretasi Foto dan Data Lapangan

Untuk menilai akurasi dari hasil klasifikasi, peta OOC dibandingkan dengan peta geologi Merapi 2010 yang dihasilkan dari interpretasi citra satelit dan data lapangan dalam Solikhin dkk. (2015). Kami menggunakan 192 sampel (objek) dari peta geologi untuk memvalidasi hasil klasifikasi. Akurasi dihitung berdasarkan jumlah segmen per unit endapan tanpa mempertimbangkan ukuran objek. Beberapa unit pada deta OOC dapat mempunyai kesesuaian dengan unit-unit pada peta geologi (ground truth) atau sebaliknya. Sebanyak 36 objek dengan luas total 2.150 m2 yang sesuai dengan tiga kelas dari peta geologi tidak dapat dipisahkan karena reflektansi spektral yang sama. Hasil perhitungan akurasi memperlihatkan bahwa 75% dari unit endapan erupsi yang digambarkan dalam peta geologi juga diidentifikasi dalam peta OOC. Bagian selatan peta (segmen B, C dan D) mempunyai akurasi dan kesesuaian yang lebih baik dibanding bagian utara atau hulu (segmen A). Hal tersebut dikarenakan distribusi endapan erupsi di bagian hulu mempunyai kompleksitas yang lebih tinggi.

4.2 Peta Endapan Piroklastik Berdasarkan data SAR L-Band

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-834-

Gambar 4 memperlihatkan citra amplitudo Merapi yang telah digeoreferensi diakuisisi pada saat krisis erupsi tanggal 1 November 2010 (a dan b) dan dua bulan setelah akhir letusan atas 1 Februari 2011 (c dan d) dengan masing-masing polarisasi HH dan HV. Karena geometri akuisisi radar, lereng Merapi yang menghadap ke barat dipengaruhi oleh efek pemendekan (foreshortening), sedangkan beberapa bagian lereng yang menghadap ke timur berada dalam bayangan. Secara visual, kita bisa membedakan wilayah yang ditutupi oleh endapan erupsi jika citra tersebut dibandingkan dengan citra amplitudo sebelum erupsi. Gambar 4e memperlihatkan citra koherensi untuk interferogram dari citra ALOS-PALSAR yang diakuisisi pada tanggal 1 November dan 17 Desember 2010 di atas Merapi. Pasangan citra ini merupakan satu-satunya yang mempunyai koherensi yang baik, sehingga dekorelasi karena endapan piroklastik setelah tanggal 1 November 2010, dapat diidentifikasi secara jelas. Meskipun berbintik-bintik (noisy), citra koherensi ini dapat membantu dalam membedakan wilayah yang dicakup oleh endapan piroklastik, yang ditandai dengan dekorelasi yang kuat (piksel gelap).

Gambar 4. Citra Amplitudo ALOS-PALSAR dari (a) Polarisasi HH pada 1 November 2010;

(b) Polarisasi HV pada Saat Erupsi; (c) Polarisasi HH Setelah Erupsi (1 Februari 2011); (d) Polarisasi HV Setelah Erupsi; dan (e) Citra Koherensi.

Gambar 5e menunjukkan citra rasio dari citra amplitudo diperoleh pada 17 Desember 2010 (paska-

erupsi) dibagi dengan citra amplitudo 16 September 2010 (pra-erupsi), keduanya dengan polarisasi HH. Dalam citra ini, perubahan yang ditunjukkan oleh piksel gelap sepanjang DAS Gendol disebabkan oleh penempatan endapan piroklastik lembah-terbatas (valley-confined) dan overbank PDC dengan ketebalan bervariasi dari beberapa meter hingga beberapa puluh meter berdasarkan survei lapangan (Charbonnier dkk., 2013 ; Komorowski dkk., 2013). Perubahan tingkat keterangan piksel yang terjadi di Kali Gendol disebabkan oleh endapan PDC yang termobilisasi oleh limpasan dan torehan saluran air yang baru, diistilahkan reworked PDC. Perubahan di sisi selatan yang menyelubungi area gelap dikarenakan pengendapan PDC yang encer (endapan pyroclastic-surge) dan zona terdampak/terbakar (singe-zone). Perubahan lainnya tersebar di sisi barat Merapi berhubungan dengan endapan jatuhan tephra (tephra-fall). Citra komposit warna semu pada Gambar 5a-d dan f diperoleh menggunakan pasangan citra amplitudo ALOS-PALSAR untuk polarisasi HH (a, b dan c) dan polarisasi HV (d dan f). Dalam citra tersebut, warna merah menunjukkan permukaan dimana nilai amplitudo menurun pada citra paska-erupsi (lebih halus, jika perubahannya dikaitkan dengan penurunan kekasaran), warna biru menunjukkan permukaan dimana nilai amplitudo meningkat pada citra paska-erupsi (lebih kasar, jika perubahannya dikaitkan dengan peningkatan kekasaran) dan warna kuning untuk permukaan dimana nilai amplitudo tidak berubah. Perubahan juga terdeteksi di daerah yang tidak terpengaruh material erupsi (e.g. bagian selatan pada Gambar 5). Daerah ini termasuk tanah lapang dan lahan pertanian dinamis, yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu tergantung pada kondisi tanaman, kelembaban tanah dan kondisi cuaca. Amplitudo pantulan radar dari tanah lapang yang kering lebih rendah nilainya daripada tanah perkebunan atau vegetasi, namun nilai amplitudo dapat meningkat bila permukaan berubah dari kering ke basah.

Pemetaan Endapan Piroklastik Merapi Tahun 2010 Menggunakan Citra Satelit Resolusi Spasial Tinggi dan Data Synthetic Aperture Radar (SAR) (Solikhin, A., dkk.)

-835-

Gambar 5. Citra Perubahan Amplitudo ALOS-PALSAR dalam Komposit Warna Semu (R: Citra

Lebih Awal; G: Citra Lebih Akhir; B: Citra Rasio (e)) dari Pasangan Citra Amplitudo: (a) 16 September 2010 dan 1 November 2010 untuk Polarisasi HH; (b) 16 September 2010 dan 17

Desember 2010 untuk Polarisasi HH; (c) 16 September 2010 dan 1 Februari 2011 untuk Polarisasi HH; (d) 16 September 2010 dan 1 November 2010 untuk Polarisasi HV; (f) 16 September 2010

dan 1 Februari 2011 untuk Polarisasi HV. Klasifikasi tersupervisi berdasarkan MLC diterapkan pada data ALOS-PALSAR untuk membuat peta

endapan piroklsatik Merapi 2010 dengan cara semi-otomatis. Klasifikasi ini bertujuan untuk mengkategorikan semua piksel pada citra radar ke dalam salah satu dari beberapa kelas endapan erupsi atau tutupan lahan yang telah ditentukan. Data latihan untuk masing-masing kelas harus terpisahkan secara spektral dengan baik guna memperoleh akurasi klasifikasi yang lebih tinggi. Kami menggunakan Jeffries-Matusita (J-M) distance (Richards dan Jia, 2006) untuk menghitung nilai keterpisahan antara sepasang kelas latihan sebelum melakukan klasifikasi. Kami mendefinisikan satu set sampel latihan untuk mengkarakterisasi empat kelas endapan piroklastik (D1 - D4) dan lima kelas 'non-endapan' (O1 - O5). Empat kelas endapan piroklastik terdiri dari valley-confined and overbank BAF (D1), reworked PDC (D2), pyroclastic-surge (D3) dan tephra-fall (D4) didefinisikan dari citra paska-erupsi tanggal 1 Februari 2011. D2 dibatasi oleh endapan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-836-

jatuhan tephra yang menutupi vegetasi, sedangkan endapan jatuhan tephra yang menutupi tanah kosong atau endapan lebih tua akan menyerupai endapan pyroclastic-surge pada citra amplitudo. Kelas 'non-endapan' terdiri dari vegetasi (O1), agrikultur (O2), pemukiman dan desa (O3), piksel terang berhubungan dengan efek foreshortening (O4) dan daerah berbayang (O5).

Gambar 6 memperlihatkan evolusi nilai rata-rata dari amplitudo hamburan balik (backscatter) sampel latihan kelas D1-D4 dan O1 dalam enam waktu akuisisi yang berbeda yaitu tanggal 13 Juni 2009, 16 Juni 2010, 16 September 2010, 1 November 2010, 17 Desember 2013 (polarisasi HH saja) dan 1 Februari 2011. Amplitudo rata-rata dari semua kelas dinormalisasi dengan cara membaginya dengan amplitudo rata-rata kelas O1, sebagai daerah acuan yang tidak mengalami perubahan secara signifikan. Normalisasi ini bertujuan untuk menghindari atau mengurangi variasi koefisien kalibrasi yang kemungkinan terjadi dalam ruang dan waktu. Sebelum erupsi, tidak ada perubahan yang signifikan untuk semua kelas pada polarisasi HH, sedangkan pada polarisasi HV perubahan hanya terjadi pada kelas D2. Perubahan tersebut dapat dikarenakan lokasi endapan tersebut umumnya berada di dalam lembah sungai, di mana morfologi endapan terus-menerus berubah karena aliran lahar dan pertambangan. Setelah erupsi, nilai amplitudo radar untuk D1 menurun pada kedua polarisasi. Endapan D2 ditandai dengan peningkatan nilai amplitudo radar untuk polarisasi HH dan penurunan untuk polarisasi HV. Nilai amplitudo radar meningkat secara transien di kedua polarisasi HH dan HV untuk D3 dan D4. Peningkatan sementara nilai amplitudo untuk D3 pada polarisasi HV tidak terlihat jelas pada Gambar 6, karena diikuti oleh proses erosi yang mengakibatkan penurunan nilai amplitudo yang cepat.

Gambar 6. Plot Amplitudo Rata-rata yang Dinormalisasi dari Sampel Latihan D1-D4 dan O1 pada Enam

Waktu yang Berbeda

Gambar 7 memperlihatkan peta endapan piroklastik Merapi 2010 berdasarkan MLC menggunakan berbagai set citra tanggal 16 September 2010 dan 1 Februari 2011 serta sembilan data latihan untuk kelas (D1-D4 dan O1-O5). Hasil klasifikasi MLC dibandingkan dengan citra GeoEye-1 15 November 2010 dan juga peta endapan dari publikasi sebelumnya. Hasil yang diperoleh dari data radar mempunyai kesesuaian yang baik dengan hasil lainnya terutama untuk wilayah sisi selatan Merapi yang dicirikan sebagai daerah landai pada ketinggian kurang dari 1.300 m dpl, terutamanya untuk D1 dan D2. Endapan D3 dan D4 merupakan endapan dengan tipis dan mudah terkikis sehingga teksturnya kemungkinan telah berubah di antara waktu pengendapan dan akuisisi citra radar. Penilaian akurasi klasifikasi dilakukan secara kuantitatif dengan cara membandingkan hasil dari MLC dengan data kontrol dari empat kelas endapan (D1-D4). MLC mampu mengklasifikasikan D1 dan D2 dengan sangat baik, masing-masing dengan akurasi 86,43% dan 76,77% dan secara keseluruhan akurasi klasifikasinya sebesar 70,03%. Meskipun nilai keterpisahan antara D3, D4 dan O1, terhitung rendah (1,2-1,4), MLC masih mampu mengklasifikasikan ketiga kelas tersebut dengan akurasi yang cukup baik (55% -58%).

Pemetaan Endapan Piroklastik Merapi Tahun 2010 Menggunakan Citra Satelit Resolusi Spasial Tinggi dan Data Synthetic Aperture Radar (SAR) (Solikhin, A., dkk.)

-837-

Gambar 7. Peta Endapan Piroklastik Merapi 2010 Berdasarkan MLC Menggunakan Citra Amplitudo ALOS-PALSAR 16 September 2010 dan 1 Februari 2011 untuk (a) Polarisasi HH saja; (b) Polarisasi HV

saja; (c) Polarisasi HH dan HV; dan (d) Polarisasi HH dan HV Ditambah Citra Koherensi

5. KESIMPULAN Keberadaan citra satelit dari sebuah gunungapi aktif yang diperoleh sebelum, pada saat dan segera

setelah erupsi paroksismal, memungkinkan untuk melakukan pemetaan dan evaluasi daerah yang terlanda endapan vulkanik. Endapan piroklastik Merapi 2010 dapat diidentifikasi dengan menerapkan beberapa metode pada citra satelit optik HSR dan data SAR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan data penginderaan jauh dalam mendokumentasikan endapan gunungapi yang baru, murni dan luas, sesaat setelah pengendapannya dan sebelum adanya perubahan, menyoroti tujuan dari penggunaan citra optik resolusi spasial tinggi dan data SAR pada gunungapi yang sangat aktif, dimana akses untuk survei lapangan seringkali tidak memungkinkan.

Identifikasi dan pemetaan endapan piroklastik Merapi 2010 dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit optik dengan resolusi dam menggunakan metode klasifikasi tersupervisi dan berorientasi objek. Proses klasifikasi mampu mendeliniasi 16 unit dari PDC yang dibedakan secara spektral dan/atau tekstural dan dibandingkan dengan hasil studi lapangan yang telah dipublikasikan. Hasil klasifikasi berdasarkan OOC mempunyai akurasi sebesar 75% ketika dibandingkan dengan peta endapan erupsi yang dihasilkan dari interpretasi citra satelit HSR dan didukung oleh data lapangan.

Endapan piroklastik juga dapat dikarakterisasi dengan menggunakan data SAR (ALOS-PALSAR) polarisasi-langsung dan polarisasi-silang serta dengan menggabungkan informasi dari evolusi amplitudo dan dekorelasi temporal. Nilai amplitudo radar menurun pada polarisasi langsung (HH) dan silang (HV) untuk daerah endapan valley-confined dan overbank BAF (D1). Endapan reworked PDC dicirikan dengan peningkatan amplitudo backscattering untuk polarisasi HH dan penurunan untuk polarisasi HV. Nilai amplitudo radar meningkat secara transien di kedua polarisasi HH dan HV untuk endapan pyroclastic-surge dan tephra-fall. Metode klasifikasi tersupervisi berdasarkan MLC digunakan untuk memetakan endapan piroklastik. Dekorelasi temporal dari sinyal radar dan evolusi amplitudo mampu meningkatkan kualitas hasil klasifikasi. Klasifikasi dari citra ALOS-PALSAR memberikan hasil dengan 70% akurasi klasifikasi untuk endapan piroklastik secara keseluruhan.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-838-

6. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih ditujukan kepada yang telah memberikan dukungan pada penelitian ini: kerjasama antara

RESTEC, Jepang dengan LAPAN dan Badan Geologi serta proyek JAXA no. 1188 untuk penyediaan citra ALOS-PALSAR, CRISP-NUS dan ICT Asia untuk citra GeoEye-1, proyek CNES dalam “Merapi remote sensing”. Penelitian ini merupakan bagian dari proyek DOMERAPI yang dibiayai oleh Badan Penelitian Nasional Perancis (ANR-12-BS06-0012) dan didukung oleh Institut Penelitian untuk Pengembangan Perancis (IRD).

DAFTAR PUSTAKA Bignami, C., Ruch, J., Chini, M., Neri, M., Buongiorno, M.F., Hidayati, S., Sayudi, D.S., dan Surono (2013).

Pyroclastic Density Current Volume Estimation after the 2010 Merapi Volcano Eruption using X-Band SAR. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 261, 236-243.

Branney, M.J., dan Kokelaar, P. (2002). Pyroclastic Density Currents and the Sedimentation of Ignimbrites. Memoirs, Geological Society of London, 27, 152 pp.

Carn, S.A. (1999). Application of Synthetic Aperture Radar (SAR) Imagery to Volcano Mapping in the Humid Tropics: A Case Study in East Java, Indonesia. Bulletin of Volcanology, 61, 92-105.

Charbonnier, S.J., Germa, A., Connor, C.B., Gertisser, R., Preece, K., Komorowski, J.C., Lavigne, F., Dixon, T., dan Connor, L. (2013). Evaluation of the Impact of the 2010 Pyroclastic Density Currents at Merapi Volcano from High-Resolution Satellite Imagery, Field Investigations and Numerical Simulations. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 261, 295-315.

Cronin, S.J., Lube, G., Dayudi, D.S., Sumarti, S., Subrandiyo, S., dan Surono (2013). Insights into the October–November 2010 Gunung Merapi Eruption (Central Java, Indonesia) from the Stratigraphy, Volume and Characteristics of its Pyroclastic Deposits. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 261, 244-259.

Gupta, R.P., (2003). Remote Sensing Geology: Springer, Berlin, Heidelberg, New York. Harris, A.J.L., Pilger, E., dan Flynn, L.P., (2002). Web-Based Hot Spot Monitoring using GOES: What it is and How it

Works. Adv. Environ. Monit. Model. 1 (3), 5–36. Head, E.M., Maclean, A.L., dan Carn, S.A. (2012). Mapping Lava Flows from Nyamuragira Volcano (1967–2011) with

Satellite Data and Automated Classification Methods. Geomatics, Natural Hazards and Risk, 4, 119-144. Kassouk, Z., Thouret, J.-C., Gupta, A., Solikhin, A., dan Liew, S.C. (2014). Object-Oriented Classification of a High-

Spatial Resolution SPOT5 Image for Mapping Geology and Landforms of Active Volcanoes: Semeru Case Study, Indonesia. Geomorphology, 221, 18-33.

Komorowski, J.-C., Jenkins, S., Baxter, P.J., Picquout, A., Lavigne, F., Charbonnier, S., Gertisser, R., Preece, K., Cholik, N., Budi-Santoso, A., dan Surono (2013). Paroxysmal Dome Explosion during the Merapi 2010 Eruption: Processes and Facies Relationships of Associated High-energy Pyroclastic Density Currents. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 261, 260-294.

Krueger, A.J., Schaefer, S.J., Krotkov, N., Bluth, G., dan Barker, S. (2000). Ultraviolet Remote Sensing of Volcanic Emissions. In P. Mouginis-Mark, J.A. Crisp, dan J.H. Fink (Eds.), Remote Sensing of Active Volcanism, American Geophysical Union, 25-43.

Lu, Z., dan Dzurisin, D. (2014). InSAR Imaging of Aleutian Volcanoes: Monitoring a Volcanic Arc from Space. Springer Praxi (ISBN 978-3-642-00347-9, 390 pp.).

Massonnet, D., dan Sigmundsson, F. (2000). Remote Sensing of Volcano Deformation by Radar Interferometry from Various Satellite. In P. Mouginis-Mark, J.A. Crisp, dan J.H. Fink (Eds.), Remote Sensing of Active Volcanism, American Geophysical Union, Washington DC, 207-221.

Mouginis-Mark, P.J., Crisp, J.A., dan Fink, J.H. (2000). Remote Sensing of Active Volcanism. Geophysical Monograph Series, 116, American Geophysical Union, Washington DC.

Mouginis-Mark, P.J., dan Domergue-Schmidt, N. (2000). Acquisition of Satellite Data for Volcano Studies. In P. Mouginis-Mark, J.A. Crisp, dan J.H. Fink (Eds.), Remote Sensing of Active Volcanism, American Geophysical Union, 9-24.

Pallister, J.S., Schneider, D.J., Griswold, J.P., Keeler, R.H., Burton, W.C., Noyles, C., Newhall, C.G., dan Ratdomopurbo, A. (2013). Merapi 2010 eruption—Chronology and extrusion rates monitored with satellite radar and used in eruption forecasting. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 261, 144-152.

Pieri, D., dan Abrams, M., (2004). ASTER Watches the World's Volcanoes: A New Paradigm for Volcanological Observations from Orbit. J. Volcanol. Geotherm. Res. 135 (1-2), 13–28.

Richards, J.A., dan Jia, X. (2006). Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction (4th ed.). Berlin: Springer-Verlag 978-3-540-29711-6 (439 pp.).

Saepuloh, A., Koike, K., dan Omura, M. (2012). Applying Bayesian Decision Classification to Pi-SAR Polarimetric Data for Detailed Extraction of the Geomorphologic and Structural Features of an Active Volcano. IEEE Geoscience and Remote Sensing Letters, 9, 554-558.

Saepuloh, A., Urai, M., Aisyah, N., Sunarta, Widiwijayanti, C., Subandriyo, dan Jousset, P. (2013). Interpretation of Ground Surface Changes Prior to the 2010 Large Eruption of Merapi Volcano Using ALOS/PALSAR, ASTER TIR and Gas Emission Data. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 261, 130-143.

Pemetaan Endapan Piroklastik Merapi Tahun 2010 Menggunakan Citra Satelit Resolusi Spasial Tinggi dan Data Synthetic Aperture Radar (SAR) (Solikhin, A., dkk.)

-839-

Schneider, D., Dean, K., Dehn, J., Miller, T., dan Kirianov, V.Y. (2000). Monitoring and Analyses of Volcanic Activity using Remote Sensing Data at the Alaska Volcano Observatory: Case Study for Kamchatka, Russia, December 1997. In P. Mouginis-Mark, J.A. Crisp, dan J.H. Fink (Eds.), Remote Sensing of Active Volcanism, American Geophysical Union, 65-85.

Solikhin, A., Thouret, J.-C., Gupta, A., Harris, A.J.L., dan Liew, S.C., (2012). Geology, Tectonics, and the 2002-2003 Eruption of tThe Semeru Volcano, Indonesia: Interpreted From High Spatial Resolution Satellite Imagery. Geomorphology 138 (1), 364–379.

Solikhin, A., Thouret, J.-C., Liew, S.C., Gupta, A., Sayudi, D.S., Oehler, J.-F., dan Kassouk, Z. (2015). High-Spatial Resolution Imagery Helps Map Deposits of the Large (VEI 4) 2010 Merapi Volcano Eruption and Their Impact. Bull. Volcanol. 77:20

Thouret, J.-C., Gupta, A., Lube, G., Liew, S.C., Cronin, S.J., dan Surono, (2010). Analysis of the 2006 Pyroclastic Deposits of Merapi Volcano, Java, Indonesia, Using High-Spatial Resolution IKONOS Images and Complementary Ground Based Observations. Remote Sens. Environ. 114 (9), 1949–1967.

Thouret, J.-C., Kassouk, Z., Gupta, A., Liew, S.C., dan Solikhin, A., (2015). Tracing the Evolution of 2010 Merapi Volcanic Deposits (Indonesia) Based on Object-Oriented Classification and Analysis of Multi-Temporal, Very High Resolution Images. Remote Sens. Environ. 170, 350-371.

Tupin, F., Inglada, J., dan Mercier, G. (2014). Image Processing Techniques for Remote Sensing. In F. Tupin, J. Inglada, dan J.-M. Nicolas (Eds.), Remote Sensing Imagery (pp. 125-154): Wiley-ISTE

Yu, T., dan Rose, W.I. (2000). Retrieval of Sulfate and Silicate Ash Masses in Young (1 to 4 Days Old) Eruption Clouds using Multiband Infrared HIRS/2 Data. In P. Mouginis-Mark, J.A. Crisp, & J.H. Fink (Eds.), Remote Sensing of Active Volcanism, American Geophysical Union, 87-100.

Yulianto, F., Sofan, P., Khomarudin, M.R., dan Haidar, M. (2012). Extracting the Damaging Effects of the 2010 Eruption of Merapi Volcano in Central Java, Indonesia. Natural Hazards, 66, 229-247.

Zebker, H.A., Amelung, F., dan Jonsson, S. (2000). Remote Sensing of Volcano Surface and Internal Processes Using Radar Interferometry. In P. Mouginis-Mark, J.A. Crisp, dan J.H. Fink (Eds.), Remote sensing of active volcanism, American Geophysical Union, Washington DC, 179-205.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator : Hidayat Gunawan JudulMakalah : Pemetaan Endapan Piroklastik Merapi Tahun 2010 Menggunakan Citra Satelit

Resolusi Spasial Tinggi dan Data Synthetic Aperture Radar (SAR) Pemakalah : Akhmad Solikhin (Kem. ESDM) Diskusi : Pertanyaan: Ahmad Maryanto (LAPAN) Perbandingan antara hasil klasifikasi dengan optic dan radar seperti apa? Apakah optic atau radar yang lebih mendekati sebenarnya atau lebih akurat? Jawaban: Jika dilihat dari kesimpulan, untuk secara akurasi karena resolusi citra optic lebih tinggi maka menghasilkan akurasi yang lebih tinggi, tetapi masih terbatas pada tutupan awan, terlebih lagi untuk daerah merapi yang puncaknya banyak daerah yang tertutup awan sehingga tidak bisa memetakan seluruhnya. Saran: Hidayat Gunawan (LAPAN) 1. Banyak flowchart yang digunakan dalam kegiatan penelitian tapi tidak dimasukkan pada makalah

sebaiknya ditampilkan juga dalam makalah. 2. Dalam klasifikasi radar dicoba menggunakan neural network, mungkin hasilnya akan lebih baik.