Upload
gamal-al-isra
View
99
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
frgd
Citation preview
DAFTAR ISIBAB I
PENDAHULUAN...............................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................3
BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM........................................9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................11
BAB V PENUTUP............................................................................18
1
BAB I
PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang
Urin atau air seni adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang
kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Eksreksi urin
diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal
dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Namun ada juga beberapa spesies yang
menggunakan urin sebagai sarana komunikasi olfaktori. Urin disaring di dalam ginjal,
dibawa melalui ureter menuju kandung kemih, akhirnya dibuang keluar tubuh melalui
uretra.
Fungsi utama urin adalah untuk membuang zat sisa seperti racun atau obat-obatan
dari dalam tubuh. Anggapan umum menganggap urin sebagai zat yang “kotor”. Hal ini
berkaitan dengan kemungkinan urin tersebut berasal dari ginjal atau saluran kencing
yang terinfeksi, sehingga urinnya pun akan mengandung bakteri. Namun jika urin berasal
dari ginjal dan saluran kencing yang sehat, secara medis urin sebenarnya cukup steril dan
hampir bau yang dihasilkan berasal dari urea. Sehingga bisa dikatakan bahwa urin itu
merupakan zat yang steril. Urin dapat menjadi penunjuk dehidrasi. Orang yang tidak
menderita dehidrasi akan mengeluarkan urin yang bening seperti air. Penderita dehidrasi
akan mengeluarkan urin berwarna kuning pekat atau coklat.
Sistem urinaria bertanggung jawab untuk berlangsungnya ekskresi bermacam-
macam produk buangan dari dalam tubuh. Sistem ini juga penting sebagai faktor untuk
mempertahankan homeostasis, yaitu suatu keadaan yang relative konstan dari lingkungan
internal di dalam tubuh, yang mencakup faktor-faktor seperti keseimbangan air, pH,
tekanan osmotik, tingkat elektrolit, konsentrasi zat terlarut dalam plasma. Pengendalian
ini dilanjutkan dengan penyaringan sejumlah besar plasma dan molekul-molekul kecil
melalui glomerulus. Jumlah yang bervariasi dari setiap zat kemudian diabsorpsi baik
secara pasif dan difusi atau secara aktif oleh transport sel tubuler.
1.1. Tujuan Praktikum
1. Menghitung secara kasar kadar glukosa dalam urin
2. Memeriksa adanya indikan dalam urin
3. Memeriksa adanya zat keton dalam urin
4. Mengetahui kadar kreatinin dalam urin
2
5. Mengetahui keberadaan protein dalam urin.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Saluran Kemih
Dalam ekskresi urin terdiri dari susunan sistem urinaria sebagai
berikut:
a. Ginjal, yang mengeluarkan sekret urin
b. Ureter, yang menyalurkan urin dari ginjal ke kandung kemih
c. Kandung kemih, yang bekerja sebagai penampung
d. Uretra, yang mengeluarkan urin dari kandung kemih
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah lumbal, di sebelah
kanan dan kiri tulang belakang, dan dibungkus lapisan lemak yang tebal di belakang
peritoneum (Pearce, 1989). Selain mengatur volume dan komposisi cairan ekstrasel dalam
batas normal, ginjal juga berfungsi untuk:
- Mengatur volume plasma dan cairan tubuh lain
- Menjaga keseimbangan asam basa darah
- Mengeluarkan rennin
- Mengeluarkan produk-produk sisa metabolisme
- Mempertahankan keseimbangan ion-ion dalam plasma
- Menghasilkan eritroprotein yang berguna dalam proses eritropoesis (Pearce, 1989).
Uretra adalah sebuah saluran dari leher kandung kemih ke lubang luar dan dilapisi
membran mukosa yang tersambung dengan membran yang melapisi kandung kemih. Wanita
memiliki panjang uretra 2 sampai 3 cm, sedangkan pada pria 17 sampai 22 cm (Pearce,
1989).
Kandung kemih adalah kantong yang terbentuk dari otot, merupakan tempat urin
mengalir dari ureter (Gibson, 1995). Kandung kemih mempunyai 2 fungsi, yaitu:
a. Tempat penyimpanan urin sebelum meninggalkan tubuh
b. Mendorong urin keluar dari tubuh dengan bantuan uretra (Pearce, 1989).
4
2.2 Definisi Urin
Urin atau air seni adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinalisasi. Ekskresi urin diperlukan untuk
membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga
homeostasis cairan tubuh. Dalam mempertahankan homeostasis tubuh peranan urin sangat
penting, karena sebagian pembuangan cairan oleh tubuh adalah melalui sekresi urin (Iqbal
Ali, 2008).
2.3 Komposisi zat dalam Urin
Komposisi zat-zat dalam urin bervariasi tergantung jenis makanan serta air yang
diminum. Urin normal berwarna jernih transparan, sedang warna kuning muda pada urin
berasal dari zat warna empedu (bilirubin dan biliverdin). Urin normal pada manusia terdiri
dari air, urea, asam urat, amoniak, kreatinin, asam laktat, asam fosfat, asam sulfat, klorida,
garam-garam terutama garam dapur, dan zat-zat yang berlebihan di dalam darah, misalnya
vitamin C dan obat-obatan. Semua cairan dan materi pembentuk urin tersebut berasal dari
darah atau cairan interstisial. Komposisi urin berubah sepanjang proses reabsorpsi ketika
molekul yang penting bagi tubuh, misal glukosa, diserap kembali ke dalam tubuh melalui
molekul pembawa (Kus Irianto, Kusno Waluyo, 2004).
pH urin berkisar antara 4,8 – 7,5. Urin akan menjadi lebih asam jika mengonsumsi
banyak protein, begitu pula sebaliknya. Berat jenis urin 1,002 – 1,035. Volume urin normal
per hari adalah 1200 – 1500 ml. Volume tersebut dipengaruhi banyak faktor, antara lain suhu,
zat-zat diuretika (the, alkohol, dan kopi), jumlah air minum, hormon ADH, dan emosi.
Interpretasi warna urin dapat menggambarkan kondisi kesehatan organ dalam seseorang
(Girindra, 2010).
5
2.4 Mekanisme Pembentukan Urin
Urin merupakan larutan kompleks yang terdiri dari sebagian besar (±96%) air dan
sebagian kecil zat terlarut (±4%) yang dihasilkan oleh ginjal, disimpan sementara dalam
kandung kemih dan dibuang melalui proses mikronutrisi (Evelyn C. Pearce, 2002).
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk ke dalam ginjal melalui
glomerulus yang berfungsi sebagai ultrafiltrasi dan pada simpai Bowman berfungsi untuk
menampung hasil filtrasi dari glomerulus. Pada tubulus ginjal akan terjadi penyerapan
kembali zat-zat yang sudah disaring pada glomerulus. Kemudian, sisa cairan akan diteruskan
ke piala ginjal dan terus berlanjut ke ureter (Syaifuddin, 2003).
Tahap Pembentukan Urin:
1. Penyaringan (Filtrasi)
Capsula Bowman dari badan malpigi menyaring darah dalam glomerulus yang
mengandung air, garam, gula, urea, dan zat bermolekul besar (protein dan sel darah)
sehingga dihasilkan filtrat glomerulus (urin primer). Di dalam filtrat ini terlarut zat
seperti glukosa, asam amino, dan garam-garam.
2. Penyerapan kembali (Reabsorpsi)
6
Dalam tubulus kontortus proksimal, zat dalam urin primer yang masih berguna akan
direabsorpsi sehingga menghasilkan filtrat tubulus (urin sekunder) dengan kadar urea
yang tinggi.
3. Pengeluaran (Sekresi/Augmentasi)
Dalam tubulus kontortus distal, pembuluh darah menambahkan zat lain yang tidak
digunakan dan terjadi reabsorpsi aktif ion Na+ dan Cl- dan sekresi H+ dan K+.
Selanjutnya, urin akan disalurkan ke tubulus kolektifus, lalu ke pelvis urenalis (Roger
Watson, 2002).
2.5 Macam-macam Sampel Urin
a. Urin Sewaktu
Adalah urin yang dikeluarkan pada satu waktu yang tidak ditentukan dengan khusus.
Urin sewaktu ini cukup baik untuk pemeriksaan rutin yang menyertai pemeriksaan
badan tanpa pendapat khusus (R. Gandasoebrata, 2006).
b. Urin Pagi
Adalah urin yang pertama-tama dikeluarkan pada pagi hari setelah bangun tidur. Urin
ini lebih pekat dari urin yang dikeluarkan siang hari, sehingga baik untuk pemeriksaan
sedimen, berat jenis, protein, tes kehamilan, dan lain-lain (Pusdiknakes, 1989).
c. Urin Postprandial
Adalah urin pertama kali dilepaskan 1,5 - 3 jam sehabis makan. Urin ini berguna
untuk pemeriksaan terhadap glukosuria (Pusdiknakes, 1989).
d. Urin 24 Jam
Adalah urin yang dikumpulkan selama 24 jam. Urin yang pertama keluar dari jam 7
pagi dibuang, selanjutnya ditampung termasuk juga urin jam 7 pagi esok harinya (R.
Gandasoebrata, 2006).
e. Urin 3 gelas dan urin 2 gelas pada laki-laki
Urin ini dipakai pada pemeriksaan urologic yang dimaksudkan untuk
mendapatkan gambaran tentang letaknya radang atau lesi yang mengakibatkan adanya
nanah atau darah dalam urin laki-laki.
Urin 3 gelas adalah urin yang waktu keluar langsung ditampung ke dalam 3 gelas
sedimen (gelas yang dasarnya menyempit) tanpa menghentikan aliran urinnya. Ke
dalam gelas pertama ditampung 20-30 ml urin yang mula-mula keluar, ke dalam gelas
kedua dimasukkan urin berikutnya, beberapa ml terakhir ditampung dalam gelas
ketiga.
7
Untuk mendapat urine 2 gelas, caranya sama seperti urine 3 gelas, dengan
perbedaan: gelas ketiga ditiadakan dan ke dalam gelas pertama ditampung 50-70 ml
urine (R. Gandasoebroto, 2006).
2.6 Pemeriksaan Urin
1) Uji Glukosa dalam Urin
Pengukuran sejumlah glukosa dalam sekresi urin dalam waktu 24 jam adalah
salah satu uji diagnosa untuk diabetes (Albert, 1982). Deteksi penyakit ini dapat
dilakukan dengan urinalisis menggunakan beberapa metode pengujian glukosa,
seperti uji Fehling, uji Benedict, dan metode Dipstick. Pengujian ini bersifat semi-
kuantitatif, artinya pengujian kadar suatu senyawa atau analit secara kasar sehingga
jumlah senyawa tersebut hanya dapat diperkirakan dan tidak dapat diketahui secara
tepat. Pada urin normal, tidak terdapat glukosa sama sekali atau terdapat dalam
jumlah yang sangat kecil (kurang dari 0,1%). Apabila kadar glukosa dalam darah
melebihi batas normal (70-90 mg/100 mL) dan telah melebihi batas ambang ginjal,
yaitu 140-170 mg/100 mL, maka glukosa akan diekskresi dalam urin sehingga
sejumlah glukosa dapat dideteksi keberadaannya (Lehninger, 1982).
Endapan merah bata yang terbentuk mengindikasikan adanya glukosa dan jumlah
endapan tersebut berbanding lurus dengan kadar glukosa dalam urin. Adanya glukosa
dalam urin dapat dinyatakan berdasarkan sifat glukosa yang dapat mereduksi ion-ion
logam tertentu dalam larutan alkalis. Uji ini tidak hanya spesifik terhadap glukosa,
gula lain yang mempunyai sifat mereduksi dapat juga memberikan hasil yang positif.
2) Uji Protein dalam Urin (Uji Heller)
Uji Heller digunakan untuk melihat ada tidaknya protein dalam urin. Kehadiran
protein ditunjukkan dengan adanya cincin putih pada batas dua cairan. Uji protein ini
dapat digunakan untuk mengevaluasi dan memantau fungsi ginjal, mendeteksi, dan
mendiagnosis kerusakan ginjal. Protein yang berlebih pada urin (proteinuria)
menunjukkan kerusakan pada ginjal atau karna konsumsi obat-obatan.
3) Uji Indikan (Obermeyer)
Indikan berasal dari pertumbuhan bakteri, sering di usus kecil. Indikan merupakan
indole yang diproduksi oleh bakteri pada suatu asam amino triptofan dalam usus.
Kebanyakan indol dibuang dalam kotoran, sedangkan sisanya akan diserap dan
dimetabolisme serta diekskresi sebagai indikan dalam urin.
8
Dalam usus besar, asam amino akan mengalami dekarboksilasi oleh enzim dan
bakteeri usus menghasilkan amintoksik. Asam amino triptofan akan emmbentuk indol
dan skatol. Indol dan skatol akan diserap dari usus. Selanjutnya dalam hati akan
dioksidasi menjadi indoksil. Indoksil akan berkombinasi dengan sulfat (proses
konjugasi) membentuk indikan (=indoksilsulfat). Indikan akan diekskresi ke dalam
urin dan merupakan salah satu sulfat etereal dalam urin. Reaksi pembentukan indikan
adalah sebagai berikut:
Warna biru indigo yang larut dalam kloroform menandakan bahwa di dalam urin
terkandung indikan (indoksil sulfat).
4) Uji Benda Keton dalam Urin (Uji Rothera)
Benda keton tidak ditemukan dalam urin normal. Pada penderita diabetes mellitus,
alkoholisme dan penderita kelaparan berkepanjangan terjadi gangguan metabolisme
karbohidrat yang disertai peningkatan metabolisme lipid. Pada keadaan ini, terjadi
peningkatan produksi benda keton dalam hati yang selanjutnya akan diekskresikan ke
dalam urin. Adanya badan keton di dalam urin disebut ketonuria.
Benda keton dalam urin dapat diidentifikasi melalui uji Rothera, dimana hasil
positif pada uji ini ditandai dengan terbentuknya warna ungu.
5) Pemeriksaan Kadar Kreatinin Urin
Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir metabolism otot
yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir konstan dan diekskresi
dalam urin dengan kecepatan yang sama. Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui
kombinasi filtrasi dan sekresi, konsentrasinya relative konstan dalam plasma dari hari
ke hari, kadar yang lebih besar dari nilai normal mengisyaratkan adanya gangguan
fungsi ginjal (Corwin J.E, 2001).
Peningkatan dua kali lipat kadar kreatinin serum mengindikasikan adanya
penurunan fungsi ginjal sebesar 50%. Demikian juga, peningkatan kadar kreatinin tiga
kali lipat mengisyaratkan penurunan fungsi ginjal sebesar 75% (Soeparman dkk,
9
2001). Hasil positif ditunjukkan dengan warna merah atau kuning jingga dari senyawa
kompleks tautomer kreatinin pikrat.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Judul Praktikum : Pemeriksaan Urin
3.2 Waktu dan Tempat
Hari dan Tanggal : Jum’at, 6 November 2015
Waktu : 13.00 s/d selesai
Tempat : Laboratorium Biokimia
3.3 Alat dan Bahan
Alat:
- Tabung reaksi
- Pipet tetes
- Pipet gondok
- Spektrofotometer
Bahan:
- Larutan Benedict
- Urin Sehat
- Urin Patologis
- Pereaksi Obermeyer
- Kloroform
- Kristal amonium sulfat
- Natrium nitroprusid 5 % segar
- Amonium hidroksida pekat
- Standar kreatinin (1 mg/ml)
- Asam pikrat jenuh
- NaOH 10%
- Asam nitrat pekat
3.4 Cara Kerja
3.4.1 Uji Benedict
1) Larutan benedict diambil sebanyak 2,5 ml dan dimasukkan kedalam tabung
reaksi.
2) Sebanyak 4 tetes urin ditambahkan kedalam tabung reaksi tersebut.
3) Kemudian panaskan selama 8 menit dalam air mendidih 100°C lalu dibiarkan
hingga dingin.
10
4) Hasil percobaan dibandingkan dengan acuan seri pemeriksaan kadar gula darah
yang telah disiapkan.
Acuan kadar gula:
WARNA PENILAIAN KADAR
Biru jernih - 0
Hijau + < 0,5 %
Kuning kehijauan ++ 0,5 - 1 %
Jingga +++ 1 – 2 %
Merah bata ++++ > 2 %
3.4.2 Uji Obermeyer
1) Dua buah tabung reaksi disiapkan (tabung A dan tabung B)
2) Urin sehat sebanyak 2 ml dimasukkan kedalam tabung A dan urin patologis
sebanyak 2 ml dimasukkan kedalam tabung B
3) Kemudian kedalam kedua tabung ditambahkan pereaksi obermeyer sebanyak 2
ml, dan diamkan selama beberapa menit.
4) Kloroform sebanyak 1 ml ditambahkan kedalam masing – masing tabung. Campur
dengan membalik-balikkan tabung 10 x
5) Lihat dan catat hasil yang terjadi
3.4.3 Uji Rothera
1) Dua buah tabung reaksi disiapkan (tabung A dan tabung B)
2) Urin sehat sebanyak 5 ml dimasukkan kedalam tabung A dan urin patologis
sebanyak 5 ml dimasukkan kedalam tabung B
3) Kedalam masing – masing tabung ditambahkan kristal amonium sulfat sampai
jenuh.
4) Kemudian ditambahkan Natrium nitroprusid 5% sebanyak 2-3 tetes kedalam
kedua tabung.
5) Amonium hidrosida pekat dimasukkan sebanyak 1-2 ml kedalam masing-masing
tabung. Campur dan diamkan selama 30 menit.
6) Lihat dan catat hasil yang didapatkan.
3.4.4 Pemeriksaan Kadar Kreatinin Urin (Folin)
1) Empat buah tabung reaksi disiapkan (tabung A, B, C dan D).
11
2) Kedalam tabung dimasukkan urin sehat (tabung A), urin patologis (tabung b),
standar kreatinin (tabung C) dan aquades (tabung D) sebanyak 1 ml.
3) Kedalam masing-masing tabung ditambahkan asam pikrat jenuh sebanyak 20 ml
dan NaOH 10% sebanyak 1,5 ml.
4) Kemudian dilakukan pengenceran hingga 100 ml.
5) Hasil pengenceran dicampurkan dan dibaca pada panjang gelombang 540 nm.
6) Lihat dan catat hasil yang didapatkan.
3.4.5 Uji Heller (Protein)
1) Dua buah tabung reaksi disiapkan (tabung A dan tabung B).
2) Kedalam tabung dimasukkan asam nitrat pekat sebanyak 2 ml kedalam masing-
masing tabung.
3) Kemudian ditambahkan urin sehat pada tabung A dan urin patologis pada tabung
B masing – masing sebanyak 2 ml sampai larutan menjadi jenuh.
4) Lihat dan catat hasil yang didapatkan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL PENGAMATAN1. UJI BENEDICT (SEMI KUANTITATIF)
12
HASIL PENGAMATAN
LARUTAN BIRU Kadar glukosa dalam urin < 0,5 %ENDAPAN HIJAU
2. UJI OBERMAYER
13
HASIL PENGAMATAN
TABUNG A (URIN SEHAT)
TABUNG B (URIN
PATOLOGIS)
Keruh coklat (ada endapan)
Seperti warna normal kuning (ada
endapan)
Kesimpulan :Kedua urine negatif (tidak mengandung indikan)
4. PEMERIKSAAN KADAR KREATININ DALAM URINE (FOLIN)
HASIL PENGAMATANTABUNG A (URIN SEHAT) TABUNG B (URIN PATOLOGIS)
= 4
Kesimpulan :Kadar kreatinin urine sehat lebih tinggi dibandingkan urine patologis, karena kreatinin seharusnya dikeluarkan melalui urin. Jadi urin sehat kadar kreatininnya lebih besar dibandingkan dengan urine patologis. (SESUAI TEORI)
14
HASIL PENGAMATAN
BLANKO 0,590
STANDAR 0,603
UJI (-) 0,953
UJI (+) 0,597
4.2 PEMBAHASAN
4.2.1 Uji Benedict (semi kuantitatif)
Uji Benedict pada urin dilakukan dengan tujuan untuk menghitung secara kasar kadar
glukosa dalam urin. Prosedur kerjanya adalah memasukkan larutan benedict (2,5 ml) ke
dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 4 tetes urin yang akan diujikan Setelah itu
dipanaskan dalam air mendidih 100◦C dan dibiarkan dingin. Reaksi yang terjadi pada uji
benedict adalah cuprisulfat dalam larutan tembaga alkali akan direduksi oleh glukosa menjadi
cuprooksida membentuk endapan merah bata. Jumlah endapan merah bata yang terbentuk
berbanding lurus dengan kadar glukosa dalam urin. Hasil yang didapatkan dari pengujian
adalah warna urin berubah menjadi kehijauan, sehingga berdasarkan penilaian, kadar glukosa
yang terdapat dalam urin uji tersebut adalah < 0,5 %.
Glukosa adalah jenis gula yang ditemukan dalam darah. Biasanya glukosa sangat
sedikit atau tidak ada dalam urin. Ketika tingkat gula darah sangat tinggi– seperti pada
diabetes yang tidak terkontrol– ginjal mengekskresikan glukosa ke dalam urin untuk
mengurangi konsentrasinya di darah. Keberadaan glukosa dalam urin, yang disebut
glukosuria, juga dapat disebabkan oleh gangguan hormonal, penyakit hati, obat-obatan, dan
kehamilan. Ketika terjadi glukosuria, tes lain seperti tes glukosa darah biasanya dilakukan
untuk mengidentifikasi penyebab yang lebih spesifik.
Darah disaring oleh jutaan nefron, sebuah unit fungsional dalam ginjal. Hasil
penyaringan (filtrat) berisi produk-produk limbah (mis. urea), elektrolit (mis. natrium,
kalium, klorida), asam amino, dan glukosa. Filtrat kemudian dialirkan ke tubulus ginjal untuk
direabsorbsi dan diekskresikan; zat-zat yang diperlukan (termasuk glukosa) diserap kembali
dan zat-zat yang tidak diperlukan kembali diekskresikan ke dalam urin.
Kurang dari 0,1% glukosa yang disaring oleh glomerulus terdapat dalam urin (kurang
dari 130 mg/24 jam). Glukosuria (kelebihan gula dalam urin) terjadi karena nilai ambang
ginjal terlampaui (kadar glukosa darah melebihi 160-180 mg/dl atau 8,9-10 mmol/l), atau
daya reabsorbsi tubulus yang menurun.
15
Seseorang yang menderita diabetes mengalami kondisi di mana jumlah glukosa dalam
darah terlalu tinggi (hiperglikemia). Hal ini terjadi karena tubuh tidak memproduksi insulin
yang cukup, atau bahkan tidak sanggup menghasilkan insulin lagi, atau sel-selnya tidak lagi
merespon dengan baik terhadap pankreas untuk memproduksi insulin. Dengan demikian
jumlah glukosa dalam darah menjadi tinggi. Glukosa darah yang berlebihan tersebut akhirnya
dikeluarkan dari tubuh bersama urin. Jadi, meskipun darah mengandung banyak glukosa,
namun sel-sel tidak mendapatkan asupan energi yang cukup untuk melakukan pertumbuhan.
Dalam praktikum kali ini didapatkan hasil pemeriksaanya itu hasil berwarna biru
kehijauan yang berarti kadar glukosa pada urin sebesar < 0,5%. Hasil tersebut menunjukkan
hasil negative glukosa dalam urin atau dapat dikatakan negative diabetes mellitus.
4.2.2 Uji Obermeyer
Uji Obemeyer adalah pengujian yang bertujuan untuk memerikasa adanya indikasi
dalam urin. Prosedur kerjanya dalah memasukkan urin uji kedalamtabung dan ditambahkan
pereaksi obermeyer. Setelah itu didiamkan beberapa menit dan ditambahkan kloroform
sebanyak 1 ml dan dicampur dengan membalik-baikkan tabung 10 x. Reaksi yang terjdi
adalah gugus indoksil dari indikan oleh pereaksi obermeyer yang mengandung FeCl3 dalam
HCl pekat akan membentuk warna biru yang larut dalam kloroform.
Hasil yang diperoleh dari urin sehat adalah warna keruh sebelum ditambahkan
kloroform dan setelah ditambahkan kloroorm berwarna keruh coklat, sedangkan pada urin
patologis sebelum diberikan kloroform muncul endapan dan setelah ditambah kloroform
muncul warna kekuningan- bening (tidak berubah, seperti awal).
Indikan berasal dari pertumbuhan bakteri, sering diusus kecil. Indikan merupakan
indol yang diproduksi oleh bakteri pada suatu asam amino trytophan dalam usus. Kebanyakn
indol dibunag dalam kotoran. Sisanya akan diserap dan dimetabolisme serta diekskresi
sebagai indikan dalam urin. Dalam usus besar, asam amino akan mengalami dekarboksilasi
oleh enzim dan bakteri usus menghasilkan aminotoksi. Asam amino triptofan akan
membentuk indol dan skatol. Indol dan skatol akan diserap dari usus, selanjutnya dalam hati
akan dioksidasimenjadi indoksil. Indoksil akan berkombinasidengan sulfat (proses konjugasi)
membentuk indikan (=indoksilsulfat). Indikan akandieksresi kedalam urin dan merupakan
salah satu sulfat eteral dalam urin. Indikan dalam urin berasal dari proses pembusukan asam
amino triptofan dalam usus.
16
4.2.3 Uji Rothera (Zat Keton)
Tujuan dari Uji Rothera pada urin adalah untuk mengetahui adanya senyawa keton
dalam urin. Pereaksi yang digunakan dalam percobaan ini dapat bereaksi dengan senyawa
keton dan akan membentuk kompleks berwarna hijau. Prosedur kerja yang dilakukan adalah
memasukkan 5 ml urin yang akan diujikan kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan
kristal amonium sulfat sampai jenuh, setelah itu ditambahkan natrium nitroprussid 5 %
sebanyak 2-3 tetes dan amonium hidroksida pekat 1-2 ml. Hasil untuk urin sehat membentuk
warna jingga keruh dan ada endapan keruh sedangkan, urin patologis membentuk warna ungu
dengan endapan ungu setelah didiamkan 30 menit. Maka urin patologis positif mengandung
keton.
Benda keton (asam β hidroksibutirat, asam asetoasetat dan aseton) tidak ditemukan dalam
urin normal. Pada penderita diabetes mellitus, pada alkoholisme dan yangmenderita
kelaparan yang berkepanjangan terjadi gangguan metabolism karbohidrat yang disertai
peningkatan metabolism lipid. Pada keadaan ini terjadi peningkatan produksi benda keton
dalam hati yang selanjutnya akan diekskresikan ke dalam urin. adanya badan keton didalam
urin ini disebut Ketonuria.
4.2.4 Pemeriksaan Kadar Kreatinin (Folin)
Uji follin pada urin bertujuan untuk mengetahui kadar kreatinin dalam urin. Prosedur
kerjanya dengan membuat empat macam tabung yang berisikan urin uji, urin patologis,
standar dan blanko. Urin yang akan diujikan ( 1 ml ) dimasukkan kedalam tabung reaksi
kemudian ditambahkan asam pikart jeniuh sebanyak 20 ml dan NaOH 10% sebanyak 1,5 ml.
Selain itu urin patologis perlu juga untuk diuji, untuk membandingkan antara urin uji dengan
urin patologis. Sedangkan standar yang digunakan pada adalah standar kreatinin, selain itu
blankonya adalah aquades. Kadar yang didapatkan pada urin uji adalah sebesar
sedangkan pada urin patologis sebesar .
17
Kreatinin adalah produk katabolisme dari keratin fosfat yang ada di dalam otot. Hasil
katabolisme tersebut memiliki nilai yang konstan dalam tiap individu setiap harinya.
Kreatinin sangat bergantung dari massa otot. Secara kimiawi, kreatinin merupakan derivat
dari kreatin. Kreatinin dalam urin berasal dari filtrasi glomerulus dan sekresi oleh tubulus
proksimal ginjal. Berat molekulnya kecil sehingga dapat secara bebas masuk dalam filtrat
glomerulus. Kreatinin yang diekskresi dalam urin terutama berasal dari metabolisme
kreatinin dalam otot sehingga jumlah kreatinin dalam urin mencerminkan massa otot tubuh
dan relatif stabil pada individu sehat (Levey,2003; Remer et al . 2002; Henry, 2001)
Kadar kreatinin memiliki nilai normal yaitu : 0,6 – 1,2 mg% untuk sampel urin sewaktu
dan 1 – 1.5 mg% untuk sampel urin 24 jam. Apabila hasil kadar kreatinin lebih tinggi dari
pada normalnya menunjukkan bahwa orang tersebut terkena akut tubularnekrosis, dehidrasi,
diabetes neforpati, eklamia (suatu kehamilan yang meliputi kejang), glomerulonefritis, gagal
ginjal, penyakit otot menyusun, preeclampsia (kehamilan – induced hipertensi), pielonefritis,
ginjal berkurangnya aliran darah (syok, gagal ginjal, jantung kongestif), rhabdomyolysis,
obstruksi saluran kemih. Sedangkan kadar kreatinin lebih rendah dari normal dapat
menunjukkan: muscular clystrophy (tahapakhir) dan myasthenia gravis. (National Institutes
of Health, 2007). Hasil praktikum kali ini menunjukan bahwa kadar kreatinin sebesar 0,028
gram/24jam untuk urin sehat, sedangkan 0,000538 gram/24jam pada urin patologis . Ini
menandakan kedua sampel masih memiliki kadar kreatinin yang normal.
4.2.5 Uji Heller (Protein)
Uji heller pada urin dilakukan bertujuan untuk mengetahui keberadaan protein dalam
urin. Protein dalam urin akan mengalami denaturasi dengan penambahan asam nitrat pekat
dalam bentuk cincin putih pada perbatasan kedua cairan. Uji heller dilakukan dengan
memasukkan asam nitrat pekat kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan urin uji / urin
patologis sebanyak 2 ml. Hasil yang diperoleh untuk urin sehat yakni terbentuknya cincin
putih yang sangat tebal dan untuk urin patologis juga terbentuk cincin putih tetapi tipis maka
dapat dikatakan kedua urin tersebut positif mengandung protein atau proteinuria.
Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai
normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2.Dalam
keadaan normal, protein didalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional.
Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa gejala, ataupun dapat
18
menjadi gejala awal dan mungkin suatu bukti adanya penyakit ginjal yang serius.Walaupun
penyakit ginjal yang penting jarang tanpa adanya proteinuria, kebanyakan kasus proteinuria
biasanya bersifat sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang tidak
progresif.Lagipula protein dikeluarkan urin dalam jumlah yang bervariasi sedikit dan secara
langsung bertanggung jawab untuk metabolisme yang serius.adanya protein di dalam urin
sangatlah penting, dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan adanya
penyebab/penyakit dasarnya.Adapun proteinuria yang ditemukan saat pemeriksaan penyaring
rutin pada orang sehat sekitar 3,5%.Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi
kelainan ginjal.
Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya diatas 200mg/hari.pada beberapa
kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda.Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika
protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya hanya sedikit
diatas nilai normal.Dikatakan proteinuria massif bila terdapat protein di urin melebihi 3500
mg/hari dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin. Dalam keadaan normal, walaupun
terdapat sejumlah protein yang cukup besar atau beberapa gram protein plasma yang melalui
nefron setiap hari, hanya sedikit yang muncul didalam urin.Ini disebabkan 2 faktor utama
yang berperan yaitu: Filtrasi glomerulus dan reabsorbsi protein tubulus.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan Uji benedict pada urin mengandung glukosa < 0.5% (glikosuria).
Uji obermayer pada urin sehat dan patologis tidak mengandung indikan.
Uji rothera urin sehat tidak mengandung keton, dan pada urin patologis mengandung keton.
Kadar kreatinin orang sehat lebih tinggi daripada kadar kreatnin patologis.
Uji heller pada urin sehat mengandung protein lebih banyak daripada urin patologis .
Seharusnya protein tidak dikeluarkan melalui urin.
19
5.2 Daftar Pustaka
- Corwin, E. J. 2001. Patofisiologi. Jakarta: EGC.
- C. Pearce, Evelyn. 1989. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
- C. Pearce, Evelyn. 2002. Anatomi Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
- Gandasoebrata. 2006. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat.
- Gibson John, 1995. Anatomi dan Fisiologi Modern Untuk Perawat Edisi 2. Jakarta:
EGC.
- Girindra A. 2010. Biokimia. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama
- Irianto, Kus. & Waluyo, Kusno. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Jakarta: CV.
- Lehninger. 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
- Poedjiadi A. 2005. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Penerbit UI-Press
- Roger Watson. 2002. Anatomi Fisiologi untuk Perawat. Jakarta: ECG.
- Soeparman, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
- Syaifuddin. 2003. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : EGC.
20