Upload
trantuyen
View
228
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBERIAN TEKNIK DISTRAKSI BERNAFAS RITMIK
TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA
ASUHAN KEPERAWATAN Nn. A DENGAN
APENDISITIS POST APENDIKTOMI
DI RUANG MAWAR 2 RUMAH
SAKIT Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
DISUSUN OLEH :
RATNA PUTRI HARDIYANTI
P.12 047
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
i
PEMBERIAN TEKNIK DISTRAKSI BERNAFAS RITMIK
TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA
ASUHAN KEPERAWATAN Nn. A DENGAN
APENDISITIS POST APENDIKTOMI
DI RUANG MAWAR 2 RUMAH
SAKIT Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH :
RATNA PUTRI HARDIYANTI
P.12 047
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Teknik Distraksi Bernafas Ritmik
Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Nn. A Dengan
Apendisitis Post Apendiktomi Di Ruang Mawar 2 Rumah Sakit Dr. Moewardi
Surakarta”.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep., selaku Ketua Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba
ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta dan selaku pembimbing yang
telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan, serta
memfasilitasi demi sempurnanya karya tulis ilmiah ini.
2. Meri Oktariani, S.Kep., Ns., M.Kep., selaku Sekretaris Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberi kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di STIKes Kusuma Husada Surakarta dan penguji II yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan, serta memfasilitasi
demi sempurnanya karya tulis ilmiah ini.
3. S. Dwi Sulisetyawati, S.Kep., Ns., M.Kep., selaku penguji I yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan, serta memfasilitasi
demi sempurnanya karya tulis ilmiah ini.
4. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan
wawasannya serta ilmu yang bermanfaat.
5. Kedua orang tua dan kedua kakak saya yang telah memberikan semangat,
doa dan dukungannya untuk menyelesaikan pendidikan.
vi
6. Keluarga saya yang telah memberikan semangat, doa dan dukungannya
dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.
7. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang telah memberikan
dukungan.
Semoga karya tulis ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ................................................................... 4
C. Manfaat Penulisan ................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori ....................................................................... 7
1. Konsep Apendisitis ......................................................... 7
2. Asuhan Keperawatan ....................................................... 12
3. Konsep Nyeri ................................................................... 17
4. Konsep Teknik Distraksi ................................................. 21
5. Konsep Luka .................................................................... 22
B. Kerangka Teori ...................................................................... 28
C. Kerangkan Konsep ................................................................ 29
viii
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subyek Aplikasi Riset ........................................................... 30
B. Tempat dan Waktu ................................................................ 30
C. Media dan Alat yang Digunakan ........................................... 30
D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset .................... 30
E. Alat Ukur Evaluasi Tindakan Aplikasi Riset ........................ 31
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Identitas Klien ....................................................................... 32
B. Pengkajian ............................................................................. 32
C. Perumusan Masalah Keperawatan ........................................ 37
D. Perencanaan ........................................................................... 38
E. Implementasi ......................................................................... 39
F. Evaluasi ................................................................................. 42
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ............................................................................. 45
B. Perumusan Masalah Keperawatan ........................................ 48
C. Perencanaan ........................................................................... 52
D. Implementasi ......................................................................... 56
E. Evaluasi ................................................................................. 60
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ........................................................................... 64
B. Saran ...................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Teori .......................................................................... 27
Gambar 2.2 Kerangka Konsep ...................................................................... 28
Gambar 3.1 Skala Nyeri Numerik ................................................................. 30
Gambar 4.1 Genogram .................................................................................. 32
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Usulan Judul
Lampiran 2 Lembar Konsultasi Karya Tulis Ilmiah
Lampiran 3 Surat Pernyataan
Lampiran 4 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 5 Jurnal
Lampiran 6 Asuhan Keperawatan (fotocopy)
Lampiran 7 Lembar Log Book Karya Tulis Ilmiah
Lampiran 8 Lembar Format Pendelegasian Pasien
Lampiran 9 Lembar Observasi
Lampiran 10 Skala Nyeri Numerik
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Apendisitis adalah peradangan mendadak atau pembengkakan usus
buntu (vermiformis apendiks). Sekitar setengah dari semua apendisitis
gejalanya adalah sakit rongga perut yang tiba-tiba (disebut abdomen akut)
disertai mual, muntah, diare atau konstipasi (Kamus Kesehatan,
Apendisitis, 2015). Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya
pada anak-anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi
pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insiden pada laki-
laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun
insiden laki-laki lebih tinggi (Sjamsuhidajat, 2005).
Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi daripada negara
berkembang, Amerika menangani 11 kasus/10.000 kasus apendisitis setiap
tahun. Menurut data RSPAD Gatot Subroto tahun 2008 jumlah pasien
yang menderita penyakit apendisitis di Indonesia adalah sekitar 32% dari
jumlah populasi penduduk Indonesia (DEPKES RI, 2009 dalam jurnal
Nainggolan, 2013). DinKes Jawa Tengah pada tahun 2009 jumlah kasus
apendisitis di Jawa Tengah sebanyak 5.980 penderita, dan 177 penderita
diantaranya memnyebabkan kematian.
Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri didaerah
umbilikus atrau periumbilikus yang disertai dengan muntah. Dalam 2-12
jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan
diperberat bila berjalan. Menurut International association for study of
pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
(Tamsuri, 2007 dalam Yusrizal 2012). Perawat tidak bisa melihat dan
merasakan nyeri yang dialami oleh klien, karena nyeri bersifat subyektif
(antara induvidu satu dengan individu lainya berbeda dalam menyikapi
nyeri). Perawat memberi asuhan keperawatan kepada klien di berbagai
situasi dan keadaan, yang memberikan intervensi untuk meningkatkan
kenyamanan klien. Menurut beberapa teori keperawatan, kenyamanan
adalah kebutuhan dasar pasien yang merupakan tujuan pemberi asuhan
keperawtan. Peryataan tersebut didukung oleh Kolcaba yang mengatakan
bahwa kenyamanan adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia (Ghandi, 2010 dalam Yusrizal 2012).
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan
merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah apendiktomi. Nyeri
pasca operasi mungkin sekali disebabkan oleh luka operasi, tetapi
kemungkinan sebab lain harus dipertimbangkan. Sebaiknya pencegahan
nyeri sebelum operasi direncanakan agar tidak terganggu oleh nyeri
setelah pembedahan. Cara pencegahan tergantung pada penyebab dan letak
nyeri dan keadaan penderitanya (Sjamsuhidayat, 2005).
3
Nyeri post operasi akan meningkatkan stress post operasi dan
memiliki pengaruh negatif pada penyembuhan nyeri. Kontrol nyeri sangat
penting sesudah pembedahan, nyeri yang dibebaskan dapat mengurangi
kecemasan, bernafas lebih mudah dan dalam, dapat mentoleransi
mobilisasi yang cepat. Pengkajian nyeri dan kesesuaian analgesik harus
digunakan untuk memastikan bahwa pasien post operasi dapat dibebaskan
(Potter dan Perry, 2006).
Penatalaksanaan nyeri dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
secara farmakologis dan non farmakologis. Menangani nyeri secara
farmakolgis dilakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
analgetik. Sedangkan tindakan non farmakologis adalah dengan
memberikan relaksasi nafas dalam, teknik distraksi dan gate kontrol
(Sumiati, Kadrianti & Basri, 2012). Distraksi merupakan metode
pengalihan perhatian klien ke hal lain dan dengan demikian menurunkan
kewaspadaan klien terhadap nyeri, bahkan meningkatkan toleransi
terhadap nyeri sehingga nyeri berkurang. Teknik distraksi bekerja
memberi pengaruh paling baik untuk jangka waktu yang singkat, serta
untuk mengatasi nyeri intensif yang hanya berlangsung beberapa menit
(Potter & Perry, 2006).
Hasil studi pendahuluan ditemukan data di Rumah Sakit Dr.
Moewardi penyakit apendisitis dalam tiga tahun ini mengalami penurunan
yaitu pada tahun 2013 ada 189 kasus apendisitis. Sedangkan pada tahun
2014 menurun menjadi 167 kasus apendisitis. Dan pada tahun 2015 di
4
bulan Januari hingga Maret ini ada 26 kasus apendisitis. Hasil studi
pendahuluan juga ditemukan untuk penanganan nyeri di ruang Mawar 2
dari hasil wawancara teknik distraksi bernafas ritmik belum diterapkan,
klien hanya melakukan posisi nyaman untuk mengurangi nyeri.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan
pengelolaan kasus asuhan keperawatan dalam bentuk Karya Tulis Ilmiah
dengan judul “Pemberian teknik distraksi bernafas ritmik terhadap
penurunan intensitas nyeri pada asuhan keperawatan Nn. A dengan
apendisitis post apendiktomi di ruang Mawar 2 rumah sakit Dr. Moewardi
Surakarta”.
B. Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai
berikut :
1. Tujuan umum
Mengaplikasikan teknik distraksi bernafas ritmik terhadap
intensitas nyeri pada pasien post apendiktomi.
2. Tujuan khusus
a. Melakukan pengkajian pada pasien dengan post apendiktomi
b. Merumuskan masalah keperawatan pada pasien dengan post
apendiktomi
c. Merumuskan rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan
post apendiktomi
5
d. Melakukan tindakan keperawatan serta evaluasi proses tindakan
keperawatan pada pasien dengan post apendiktomi
e. Melakukan evaluasi hasil yang dibahas melalui catatan
perkembangan
f. Menganalisa hasil pemberian teknik bernafas ritmik terhadap
penurunan intensitas nyeri pada Nn. A dengan apendisitis post
apendiktomi
C. Manfaat penulisan
1. Bagi profesi keperawatan
Sebagai sumber informasi dan referensi untuk penanganan nyeri post
apendiktomi.
2. Bagi penulis
a. Menambah wawasan dan informasi penulis mengenai
penatalaksanaan post apendiktomi
b. Meningkatkan ketrampilan penulis mengenai asuhan keperawatan
pada pasien dengan post apendiktomi
3. Bagi institusi pendidikan
Sebagai referensi untuk pihak-pihak yang membutuhkan langsung
karya tulis ilmiah ini.
4. Bagi rumah sakit
Dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan terutama untuk
pasien nyeri post apendiktomi.
6
5. Bagi masyarakat
Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai cara penanganan
nyeri pada post apendiktomi.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan teori
1. Konsep apendisitis
a. Pengertian
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu
atau umbai cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah
sekum (cecum). Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut
sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat, 2005).
Apendisitis merupakan suatu proses obstruksi (hiperplasia limpo
nodi submukosa, fecolith, benda asing, tumor), kemudian diikuti
proses infeksi dan disusul oleh peradangan dari appendiks
vermiformis (Nugroho, 2011).
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks
vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling
sering. Pada masyarakat umum, sering juga disebut dengan istilah
radang usus buntu. Akan tetapi, istilah usus buntu yang selama ini
dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang
merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum)
(Kurniawan, 2014).
8
b. Klasifikasi apendisitis menurut Sjamsuhidayat (2005) :
1) Apendisitis akut
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal
berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen
apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
E.Histolytica.
2) Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika
dipenuhi semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih
dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik
dan mikroskopik, dan keluhan menghilang setelah
apendiktomi. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau
total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di
mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis
kronik antara 1-5 persen.
3) Apendisitis rekurens
Diagnosis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong
9
yang mendorong dilakukan apendiktomi, dan hasil patologi
menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun,
apendisitis tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena
terjadi fibrosis dan jaringan parut. Risiko untuk terjadinya
serangan lagi sekitar 50%. Pada apendisitis rekurens biasanya
dilakukan apendiktomi karena sering penderita datang dalam
serangan akut.
c. Etiologi
Berbagai hal berperan sebagai pencetus apendisitis. Sumbatan
pada lumen apendiks merupakan faktor hiperplasia (pembesaran)
jaringan limfoid, timbunan tinja/feses yang keras (fekalit), tumor
apendiks, cacing ascaris, benda asing dalam tubuh (biji cabai, biji
jambu, dll) juga dapat menyebabkan sumbatan. Diantara beberapa
faktor diatas, maka yang paling sering ditemukan dan kuat
dugaanya sebagai penyebab apendisitis adalah faktor penyumbatan
oleh tinja/feses dan hiperplasia jaringan limfoid. Penyumbatan atau
pembesaran inilah yang menjadi media bagi bakteri untuk
berkembang biak. Perlu diketahui bahwa dalam tinja/feses manusia
sangat mungkin sekali telah tercemari oleh bakteri/kuman
Escherichia Coli, inilah yang sering kali mengakibatkan infeksi
yang berakibat pada peradangan usus buntu (Anonim, 2008 dalam
Zulkarnain, 2011).
10
d. Patofisiologi
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat
terlipat atau tersumbat, kemungkinan oleh fekalit (massa keras dari
feses), tumor, atau benda asing. Proses inflamasi meningkatan
tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau
menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam, terlokalisasi
di kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang
terinflamasi berisi pus (Smeltzer & Bare, 2002).
e. Manifestasi klinik
Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya
disertai oleh demam ringan, mual, muntah, dan hilangnya nafsu
makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan
tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai. Derajat nyeri
tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak
tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila
apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat
terasa di daerah lumbal, bila ujungnya pada pelvis, tanda-tanda ini
hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada
defekasi menunjukan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung
kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot
rektum kanan dapat terjadi.
Tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi
kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri
11
yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila apendiks telah
ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar; distensi abdomen terjadi
akibat ileus paralitik dan kondisi klien memburuk (Smeltzer &
Bare, 2002).
f. Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks, yang
dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi
adalah 10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan
lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri.
Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi,
nyeri tekan abdomen yang kontinue (Smeltzer & Bare, 2002).
g. Penatalaksanaan
Pembedahan di indikasikan bila diagnosa apendisitis telah
ditegakan. Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan
dilakukan. Analgesik diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal
dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang
merupakan metode terbaru yang sangat efektif (Smeltzer & Bare,
2002).
Apendiktomi adalah operasi pengangkatan apendik
vermiformis yang meradang atau yang sering disebut apendisitis.
12
Terapi apendisitis dilakukan dengan membuang apendiks yang
telah mengalami inflamasi. Apendiktomi dapat dilakukan dengan
dua teknik, yaitu teknik konvensional dan laparoskopi (Musa,
2011).
2. Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
1) Identitas pasien
Identitas klien nama, umur, jenis kelamin, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, dan nomer
register.
2) Riwayat penyakit dahulu
3) Riwayat penyakit sekarang
4) Pemeriksaan fisik
a) Sistem kardiovaskuler : untuk mengetahui tanda-tanda
vital, ada tidaknya distensi vena jugularis, pucat, edema,
dan kelainan bunyi jantung.
b) Sistem hematologi : untuk mengetahui ada tidaknya
peningkatan leukosit yang merupakan tanda-tanda infeksi
dan pendarahan, mimisan splenomegali.
c) Sistem muskuloskeletal : untuk mengetahui ada tidaknya
kesulitan dalam pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan
terdapat fraktur atau tidak.
13
d) Sistem kekebalan tubuh : untuk mengetahui ada tidaknya
pembesaran kelenjar getah bening.
5) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya
peningkatan leukosit yang merupakan tenda adanya infeksi.
b) Pemeriksaan foto abdomen : untuk mengetahui adanya
komplikasi pasca pembedahan.
b. Diagnosa keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi post apendiktomi
2) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan pembatasan gerak
3) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
apendiktomi
4) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
pembatasan pemasukan cairan secara oral
c. Intervensi
1) Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi post apendiktomi
Tujuan : nyeri hilang/berkurang
Kriteria hasil :
a) Klien tampak rilek
b) Skala nyeri berkurang/hilang
Intervensi :
a) Kaji skala nyeri, lokasi, karakteristik dan laporkan
perubahan nyeri dengan tepat.
14
Rasional :
Berguna dalam pengawasan dan keefesien obat, kemajuan
penyembuhan, perubahan dan karakteristik nyeri.
b) Berikan posisi semi fowler
Rasional :
Menghilangkan tegangan nyeri abdomen yang bertambah
dengan posisi telentang
c) Ajarkan teknik distraksi bernafas ritmik
Rasional :
Mengurangi nyeri
d) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik
Rasional :
Menghilangkan nyeri
2) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan pembatasan gerak
Tujuan : Toleransi aktifitas
Kariteria hasil :
a) Klien dapat bergerak tanpa pembatasan
b) Tidak berhati-hati dalam bergerak
Intervensi :
a) Catat respon emosi terhadap mobilitas
Rasional :
Immobilisasi yang di paksakan akan memperbesar
kegelisahan
15
b) Memberikan aktifitas sesuai dengan keadaan klien
Rasional :
Meningkatkan kormolitas organ sesuai dengan yang
diharapkan
c) Berikan klien untuk latihan gerakan gerak pasif dan aktif
Rasional :
Memperbaiki mekanika tubuh
d) Bantu klien dalam melakukan aktivitas yang memberatkan
Rasional :
Menghindari hal yang dapat memperparah keadaan
3) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
apendiktomi
Tujuan : infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil : tidak terdapat tanda-tanda infeksi dan
peradangan, meningkatkan penyembuhan luka
Intervensi :
a) Ukur tanda-tanda vital
Rasional :
Untuk mendeteksi secara dini gejala awal terjadinya infeksi
b) Observasi tanda-tanda infeksi
Rasional :
Deteksi dini terhadap infeksi akan mudah
16
c) Lakukan perawatan luka dengan menggunakan tehnik
septik dan aseptik
Rasional :
Menurunkan terjadinya resiko infeksi dan penyebaran
bakteri
d) Observasi luka insisi
Rasional :
Memberikan deteksi dini terhadap infeksi dan
perkembangan luka
4) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
pembatasan pemasukan cairan secara oral
Tujuan : kekurangan volume cairan tidak terjadi
Kriteria hasil : Kekurangan volume tidak terjadi
Intervensi :
a) Ukur dan catat intake dan output cairan tubuh
Rasional :
Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam
mengidentifikasi pengeluaran cairan atau kebutuhan
pengganti
b) Awasi vital sign: evaluasi nadi, pengisian kapiler, turgor
kulit, dan membran mukosa
17
Rasional :
Indikator hidrasi volume cairan sirkulasi dari kebutuhan
intervensi
c) Kolaborasi dengan tim dokter untuk pemberian cairan intra
vena
Rasional :
Mempertahankan volume sirkulasi bila pemasukan oral
tidak cukup dan meningkatkan fungsi ginjal
d. Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari
rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan
(Setiadi, 2012).
e. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah
ditetapkan, dilakukan dan tenaga kesehatan lainnya (Setiadi, 2012).
3. Konsep nyeri
a. Pengertian
Nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman yang sangat
subjektif dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat
menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Asmadi, 2012).
Nyeri adalah sensasi yang penting bagi tubuh. Sensasi penglihatan,
bau, rasa, sentuhan, dan nyeri merupakan hasil stimulasi reseptor
18
sensorik. Provokasi saraf-saraf sensorik nyeri menghasilkan reaksi
ketidaknyamanan, distress, atau menderita (Lyrawati, 2009).
b. Klasifikasi nyeri
1) Nyeri perifer
Nyeri ini ada tiga macam :
a) Nyeri superfisial, yakni rasa nyeri yang muncul akibat
rangsangan pada kulit dan mukosa
b) Nyeri viseral, yakni rasa nyeri yang muncul akibat
stimulasi pada reseptor nyeri di rongga abdomen, kranium,
dan toraks.
c) Nyeri alih, yakni nyeri yang dirasakan pada daerah lain
yang jauh dari jaringan penyebab nyeri.
2) Nyeri sentral
Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medula spinalis,
batang otak, dan talamus.
3) Nyeri psikogenik
Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya. Dengan kata
lain, nyeri ini timbul akibat pikiran si penderita sendiri.
Seringkali, nyeri ini muncul karena psikologis, bukan
fisiologis.
19
c. Bentuk nyeri
1) Nyeri akut
Nyeri ini biasanya berlangsung tidak lebih dari enam bulan.
Awitan gejalanya mendadak, dan biasanya penyebab serta
lokasi nyari sudah diketahui. Nyeri akut ditandai dengan
peningkatan tegangan otot dan kecemasan yang keduanya
meningkatkan persepsi nyeri (Andarmoyo, 2013).
2) Nyeri kronik
Nyeri ini berlangsung lebih dari enam bulan. Sumber nyeri
bisa diketahui atau tidak. Nyeri cenderung hilang timbul dan
biasanya tidak dapat disembuhkan. Selain itu, penginderaan
nyeri menjadi lebih dalam sehingga penderita sukar untuk
menunjukkan lokasinya. Dampak dari nyeri ini antara lain
penderita menjadi mudah tersinggung dan sering mengalami
insomnia. Akibatnya, mereka menjadi kurang perhatian, sering
merasa putus asa, dan terisolir dari kerabat dan keluarga. Nyeri
kronis biasanya hilang timbul dalam periode waktu tertentu.
Ada kalanya penderita terbebas dari rasa nyeri (Andarmoyo,
2013).
d. Mekanisme nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya
bahaya kerusakan jaringan. Nyeri akan membantu individu untuk
tetap hidup dan melakukan kegiatan secara fungsional. Pada kasus-
20
kasus gangguan sensasi nyeri (misalnya: neuropati akibat diabetes)
maka dapat terjadi kerusakan jaringan yang hebat ( Brookoff, 2000
dalam Meliala 2007).
Nyeri terjadi apabila terdapat adanya rangsangan
mekanikal, termal dan kimiawi yang melewati ambang rangsang
tertentu. Rangsangan akan terdeteksi oleh nosiseptor yang
merupakan ujung saraf bebas. Rangsangan akan dibawa sebagai
implus saraf melalui saraf A bermielin berkecepatan hantar yang
cepat dan bertanggung jawab terhadap nyeri yang cepat, tajam,
terlokalisasi serta serabut C yang tidak bermielin berkecapatan
hantar saraf lambat dan bertanggung jawab atas nyeri ynag tumpul
dan tidak terlokalisasi dengan jelas (Moeliono, 2008).
e. Alat ukur nyeri
Skala penilaian numerik (Numerik Rating Scale, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi data. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling
efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan
setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk
menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (Asmadi,
2012).
21
4. Konsep teknik distraksi
a. Pengertian
Distraksi merupakan metode pengalihan perhatian klien ke hal
lain dan dengan demikian menurunkan kewaspadaan klien
terhadap nyeri, bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri
sehingga nyeri berkurang. Teknik distraksi bekerja memberi
pengaruh paling baik untuk jangka waktu yang singkat, serta untuk
mengatasi nyeri intensif yang hanya berlangsung beberapa menit
(Potter & Perry, 2006).
b. Jenis teknik distraksi menurut Young & Koopsen (2007) :
1) Distraksi visual
Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran,
melihat pemandangan dan gambar termasuk distraksi visual.
2) Distraksi pendengaran
Diantaranya mendengarkan musik yang disukai, individu
dianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan musik
tenang seperrti musik klasik dan diminta untuk berkonsentrasi
pada lirik dan irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk
menggerakan tubuh mengikuti irama lagu seperti bergoyang,
mengetukkan jari atau kaki.
3) Distraksi bernafas ritmik
Bernafas ritmik, menganjurkan klien untuk memandang
fokus pada satu objek atau memejamkan mata dan melakukan
22
inhalasi perlahan melalui hidung dengan hitungan satu sampai
empat dan kemudian menghembuskan nafas melalui mulut
secara perlahan dengan penghitungan satu sampai empat
(dalam hati). Menganjurkan klien untuk berkonsentrasi pada
sensasi pernafasan atau terhadap gambar yang memberi
ketenangan, lanjutkan teknik ini hingga berbentuk pola
pernafasan ritmik.
4) Distraksi intelektual
Antara lain dengan mengisi teka-teki silang, bermain kartu,
melakukan kegemaran (ditempat tidur) seperti mengumpulkan
perangko, menulis cerita.
5) Distraksi imajinasi terbimbing
Adalah kegiatan klien membuat sesuatu bayangan yang
menyenangkan dan mengkonsentrasikan diri pada bayangan
tersebut serta berangsur-angsur membebaskan diri dari
perhatian terhadap nyeri.
5. Konsep luka
a. Pengertian
Luka merupakan suatu kerusakan integritas kulit yang
dapat terjadi ketika kulit terpapar suhu atau pH, zat kimia,
geswekan, trauma, dan radiasi. (Joyce M. Black, 2001 dalam
Rosina & Pemila, 2007).
23
b. Jenis-jenis luka menurut Baririent (2011) :
1) Berdasarkan tingkat kontaminasi
a) Clean wounds (luka bersih), yaitu luka bedah tak
terinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan
(inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan,
pencernaan, genital, dan urinari tidak terjadi. Luka
bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup.
Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1%-5%.
b) Clean cotamined wounds (luka bersih terkontaminasi),
merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi,
pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi
terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi,
kemungkinan terjadinya infeksi luka adalah 3%-11%.
c) Contamined wounds (luka terkontaminasi), termasuk
luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi
dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau
kontaminasi dari saluran cerna, pada kategori ini juga
termasuk insisi akut. Kemungkinan infeksi luka 10%-
17%.
d) Dirty or infected wounds (luka kotor), yaitu terdapatnya
mikroorganisme pada luka.
24
2) Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
a) Stadium I : luka superfisial (non-blancing erithema) yaitu
luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b) Stadium II : luka “partial thickness” yaitu hilangnya
lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari
dermis. Merupakan luka superfisial dan adanya tanda klinis
seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
c) Stadium III : luka “full thickness” yaitu hilangnya kulit
keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan
subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak
melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai
pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak
mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu
lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan
sekitarnya.
d) Stadium IV : luka “full thickness” yang telah mencapai
lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya
destruksi/kerusakan yang luas.
3) Berdasarkan waktu penyembuhan luka
a) Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai
dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.
25
b) Luka kronis : yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam
proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan
endogen.
c. Mekanisme terjadinya luka menurut Baririent (2011) :
1) Luka insisi (incised wounds), terjadi karena teriris oleh
instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan.
Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura setelah
seluruh pembuluh darah yang luka diikat (ligasi)
2) Luka memar (contusion wound), terjadi akibat benturan oleh
suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan
lunak, perdarahan dan bengkak.
3) Luka lecet (abraded wound), terjadi akibat kulit bergesekan
dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak
tajam.
4) Luka tusuk (punctured wound), terjadi akibat adanya benda,
seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan
diameter yang kecil.
5) Luka gores (lacerated wound), terjadi akibat benda yang tajam
seperti oleh kaca atau oleh kawat.
6) Luka tembus (penetracing wound), yaitu luka yang menembus
organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk
diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya
akan melebar.
26
7) Luka bakar (combustio)
8) Luka tekan (decubitus), karena proses tertekan yang lama di
area tertentu bagian tubuh. Tekanan tersebut menyebabkan
gangguan sirkulasi, memperberat nekrosis, timbulnya lecet
kemerahan.
d. Fase penyembuhan luka menurut Baririent (2011) :
1) Vascular response : beberapa detik setelah terjadinya luka pada
tipe apapun, respon tubuh dengan penyempitan pembuluh
darah (konstriksi) untuk menghambat perdarahan dan
mengurangi pajanan terhadap bakteri. Pada saat yang sama,
protein membentuk jaringan fibrosa untuk menutup luka.
Ketika trombosit bersama protein menutup luka, luka menjadi
lengket membentuk fibrin. Setelah 10-30 menit setelah
terjadinya luka, pembuluh darah melebar karena serotonin yang
dihasilkan trombosit. Plasma darah mengaliri luka dan
melawan toksin yang dihasilkan mikroorganisme, membawa
oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka
dan membawa agen fagosit untuk melawan bakteri maupun
jaringan yang rusak.
2) Inflamasi : bagian luka akan menjadi hangat dan merah karena
proses fagositosis. Fase inflamasi terjadi 4-6 hari setelah injury.
Tujuan inflamasi untuk membatasi efek bakteri dengan
menetralkan toksin dan penyebaran bakteri.
27
3) Proliferasi/resolusi : penumpukan deposit kolagen pada luka,
angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru), proliferasi
dan pengecilan lebar luka. Fase ini berhenti 2 minggu setelah
terjadinya luka, tetapi proses tetap berlangsung lambat 1-2
tahun. Fibroblast mensintesis kolagen dan menumbuhkan sel
baru. Miofibroblas menyebabkan luka menyempit, bila tidak
terjadi penyempitan akan terjadi kematian sel. Contohnya jika
terjadi scar atau kontraktur. Epitelisasi adalah perpindahan sel
epitel dari area sekitar folikel rambut ke area luka. Perpindahan
tersebut terbatas 3 cm. Epitelisasi akan lebih cepat jika luka
dalam keadaan lembab.
4) Maturasi/rekontruksi : fase terakhir penyembuhan dengan
remodelling scar yang terjadi. Biasanya terjadi selama setahun
atau lebih setelah luka tertutup. Selama fase ini fibrin di bentuk
ulang, pembuluh darah menghilang dari jaringan memperkuat
susunannya. Remodelling ini mencakup sintesis dan pemecahan
kolagen.
28
B. Kerangka teori
Apendisitis
Operasi : apendiktomi Luka Insisi Kerusakan Jaringan
Pelepasan prostalglandin Ujung saraf terputus
Stimulasi dihantarkan Spinal cord Cortex serebri
Nyeri Nyeri dipresepsikan
Rileks
Epinefrin Saraf Sensoris
Otak
Hipotalamus & Struktur Limbik Korteks Frontalis
Medulla spinalis Substansi gelatinosa
Mempengaruhi impuls nyeri
(modulasi nyeri)
Substansia grisea periakuaduktus (PAG)
dan Substansia grisea periventrikel (PVG)
Kornu dorsalis
medulla spinalis
Menekan sinyal nyeri
Nyeri berkurang
Bernafas Ritmik
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Nukleus rafe magnus
(NRM) dan nukleus
retikularis
paragigantoselularis (PGL)
(Price, 2006)
29
C. Kerangka konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
(Price, 2006)
Nyeri akut Teknik Distraksi
Bernafas Ritmik Nyeri berkurang
30
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subyek aplikasi riset
Subyek merupakan hal atau orang yang akan dikenai kegiatan
pengambilan kasus (Budiarto, 2003). Subyek dari karya tulis ilmiah ini
adalah Nn. A dengan post apendiktomi yang mempunyai skala nyeri 4.
B. Tempat dan waktu
Tempat adalah lokasi yang digunakan untuk pengambilan data
(Budiarto, 2003). Penulis melakukan pengelolaan karya tulis ilmiah ini di
Ruang Mawar 2 Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.
Waktu adalah jangka waktu yang dibutuhkan penulis untuk
memperoleh data karya tulis ilmiah yang dilaksanakan (Budiarto, 2003).
Karya tulis ilmiah ini dilakukan dalam waktu 3 hari yaitu dari tanggal 09
Maret 2015 sampai 11 Maret 2015.
C. Media dan alat yang digunakan
Media dan alat
1. Kertas
2. Bolpoin
3. Lembar Observasi
4. Alat ukur nyeri
D. Prosedur tindakan berdasarkan riset
Memberikan salam, memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan dan
langkah prosedur, menanyakan kesiapan klien. Mengajarkan teknik
31
distraksi bernafas ritmik, yaitu menganjurkan klien untuk memandang
fokus pada satu objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi
perlahan melalui hidung dengan hitungan satu sampai empat dan
kemudian menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan
menghitung satu sampai empat (dalam hati). Menganjurkan klien untuk
berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap gambar yang memberi
ketenangan, lanjutkan tehnik ini hingga terbentuk pola pernafasan ritmik.
Mengevaluasi tindakan, menyampaikan rencana tindak lanjut. Berpamitan.
(Young & Koopsen, 2007)
E. Alat ukur evaluasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset
Gambar 3.1 Skala nyeri numerik
Skala penilaian numerik (Numerik Rating Scale, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi data. Dalam hal ini, klien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm (Asmadi, 2012).
32
BAB IV
LAPORAN KASUS
A. Identitas klien
Pengkajian dilakukan dengan cara autoanamnesa dan
alloanamnesa dan catatan perawatan pasien. Tanggal masuk Rumah Sakit
06 Maret 2015. Pengakajian dilakukan pada tanggal 09 Maret 2015 jam
10.00 WIB. Dari pengkajian didapatkan data identitas pasien sebagai
berikut nama Nn. A, umur 18 tahun, agama Kristen, alamat Jebres,
pendidikan terakhir SMK, pekerjaan sebagai pegawai pabrik, diagnosa
medis Apendisitis, dan nomor RM 012928xx.
Sedangkan untuk identitas penanggung jawab adalah sebagai
berikut nama Ny. S, umur 48 tahun, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan
sebagai pegawai pabrik, alamat Jebres, dan hubungan dengan klien adalah
ibu.
B. Pengkajian
Keluhan utama yang dirasakan pasien yaitu pasien mengatakan
nyeri pada luka bekas operasi. Riwayat penyakit sekarang yaitu pasien
mengatakan merasakan nyeri kurang lebih 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Awalnya pasien merasa nyeri di ulu hati, kemudian pasien
merasakan nyeri belanjut dan menetap diperut kanan bawah. Pasien
dibawa keluarga ke Rumah Sakit dr. Oen dan dirujuk ke Rumah Sakit dr.
Moewardi. Sampai IGD pasien mendapatkan terapi infus RL 20 tpm,
33
Ciprofloksasin 200 mg/12 jam, Ketorolac 30 mg/8 jam, Ranitidin 50
mg/12 jam, dan tanda-tanda vital sebagai berikut TD : 120/80 mmHg, RR :
20 x/menit, HR : 86 x/menit, S : 36,7 oC. Pasien di operasi pada tanggal 7
Maret 2015 dan dipindah ke ruang Mawar 2 pada tanggal 7 Maret 2015
jam 16.00 WIB.
Pengkajian riwayat penyakit dahulu didapatkan data, pasien
mengatakan sebalumnya belum pernah menderita penyakit seperti itu,
pasien juga belum pernah di rawat di rumah sakit. Pasien juga mengatakan
tidak mempunyai alergi obat ataupun makanan. Pasien mengatakan suka
makan makanan yang pedas. Riwayat kesehatan keluarga yaitu pasien
mengatakan tidak mempunyai penyakit menurun seperti diabetes melitus,
hipertensi, atau asma. Genogram pasien menggambarkan bahwa pasein
adalah anak ke dua dari tiga bersaudara, dan tinggal bersama ayah dan
ibunya.
Keterangan :
: laki-laki
: perempuan
: klien/ Nn. A
: satu rumah
Gambar 4.1 Genogram
34
Riwayat kesehatan lingkungan, pasien mengatakan lingkungan
sekitar rumah bersih dan sampah dibuang ke tempat yang tersedia.
Pengkajian pola kesehatan fungsional didapatka data, untuk pola persepsi
dan pemeliharaan kesehatan yaitu pasien mengatakan bahwa sehat itu
penting, pasien menjaga kesehatannya untuk selalu makan makanan yang
bergizi dan apabila ada anggota keluarga yang sakit selalu membawa ke
unit pelayanan kesehatan terdekat. Pola nutrisi metabolik, sebelum sakit
frekuensi makan 3x sehari, jenis nasi, lauk, sayur, teh, habis satu porsi,
keluhan tidak ada. Selama sakit frekuensi makan 3x sehari, jenis bubur,
lauk, sayur, air, teh, habis setengah porsi, keluhan perut nyeri. Pola
eliminasi BAK sebelum sakit, frekuensi 5-6x sehari, jumlah urin kurang
lebih 1000 mL, warna kuning, keluhan tidak ada. Selama sakit 3-4x sehari,
jumlah urin kurang lebih 1200 mL, keluhan tidak ada. Pola eliminasi
BAB, sebelum sakit frekuensi 1x sehari, konsistensi lembek, warna coklat,
keluhan tidak ada. Selama sakit frekuensi 1x /2 hari, konsistensi lembek,
warna coklat, keluhan tidak ada.
Pola aktivitas dan latihan didapatkan sebelum sakit kemampuan
makan/minum, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah,
ambulasi/ROM bisa dilakukan secara mandiri. Selama sakit kemampuan
makan/minum mandiri, toileting dengan alat bantu, berpakaian dibantu
orang lain, mobilitas ditempat tidur mandiri, berpindah dibantu orang lain,
ambulasi/ROM mandiri. Kesimpulannya pasien tergantung sebagian.
35
Pola istirahat tidur, sebelum sakit pasien mengatakan tidur kurang
lebih 8 jam/hari. Pasien mengatakan tidak ada keluhan saat tidur. Selama
sakit, pasien mengatakan tidur kurang lebih 7 jam/hari. Pasien mengatakan
tidak ada keluhan saat tidur. Pola kognitif perseptual, sebelum sakit pasien
mengatakan tidak merasakan nyeri dan dapat melakukan aktivitasnya.
Selama sakit, P : pasien mengatakan nyeri pada bekas operasi, Q : nyeri
seperti dicubit, R : perut kanan bawah, S : skala nyeri 4, T : nyeri
dirasakan sewaktu-waktu. Pasien meringis saat terasa nyeri. Pola persepsi
konseptual, gambaran diri pasien mengatakan bahwa dirinya mensyukuri
seluru anggota tubuhnya. Ideal diri, pasien mengatakan bisa kembali sehat
dan bisa melakukan aktivitasnya. Harga diri, pasien mengatakan bisa
melakukan aktivitasnya seperti biasa. Peran diri, pasien mengatakan
bahwa saat ini dirinya tidak bisa bekerja karena dirawat di rumah sakit.
Identitas diri, pasien adalah seorang perempuan yang merupakan anak dari
tiga bersaudara. Pola hubungan peran, pasien mengatakan memiliki
hubungan baik dengan keluarga dan lingkungan sekitar. Pola seksual
reproduksi, pasien mengatakan belum menikah. Pola mekanisme koping,
pasien mengatakan jika ada masalah selalu menceritakan kepada
keluarganya. Pola nilai dan keyakinan, pasien mengatakan setiap dua
minggu sekali pergi ke gereja.
Pengkajian pemeriksaan fisik, keadaan umum, kesadaran sadar
penuh/composmentis, tanda-tanda vital, TD : 110/60 mmHg, frekuensi
nadi 80x/menit, irama nadi teratur, kekuatan nadi kuat, respirasi 20
36
x/menit, suhu 36oC. Bentuk kepala mesocephal, kulit kepala kotor, rambut
hitam. Muka, mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokor, tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Hidung tidak ada
sekret. Mukosa bibir lembab, gigi bersih agak kuning, telinga tidak ada
serumen, dan tidak menggunakan alat bantu dengar. Leher, tidak ada
pembesaran tiroid. Dada, paru-paru : inspeksi, pengembangan dada kanan
kiri sama. Palpasi, vokal fremitus kanan kiri sama. Perkusi, sonor.
Auskultasi, vesikuler. Jantung : inspeksi, ictus cordis tidak tampak.
Palpasa, ictus cordis teraba di SIC V. Perkusi, pekak. Auskultasi, suara
jantung normal, tidak ada suara tambahan. Abdomen, inspeksi perut datar,
ada bekas operasi, luka tidak ada pus, tidak kemerahan dan ada bengkak.
Auskultasi, bising usus 15x/menit. Perkusi, kuadaran I pekak, kuadran II,
III tympani kuadran IV tidak dilakukan karena ada luka. Palpasi, nyeri
tekan dikanan bawah. Genetalia terpasang dower cateter. Rektum bersih,
tidak ada hemoroid. Ekstremitas, tangan dan kaki bisa digerakkan, tangan
kiri terpasang infus. Kekuatan otot 5/5.
Hasil pemeriksaan penunjang laboratorium tanggal 6 Maret 2015
antara lain : hemoglobin 12,3 g/dL (normal 11,7-15,5), hematokrit 37,5
vol% (normal 35-47), leukosit 19.110 /mm3 (normal 3.600-11.000),
trombosit 374.000/mm3 (normal 154.000-386.000), eritrosit 4,54 juta/mm
3
(normal 3,8-5,2), MCV 82,5 mikronkubik (normal 77-99), MCH 27,1
pikogram (normal 27-31), MCHC 32,8 % (normal 33-37). Hasil foto
thorax tanggal 6 Maret 2015 yaitu pulmo tak tampak kelainan. Hasil USG
37
abdomen pada tanggal 6 Maret 2015 yaitu tak tampak efusi pleura bilateral
maupun asites, hepar/GB/lien/pankreas/kedua ginjal/uterus tak tampak
kelainan. Program terapi yang diberikan pada tanggal 9,10,11 Maret 2015
antara lain : infus RL 20 tpm, Ciprofloksasin 500 mg/ 12 jam, Ranitidin 50
mg/12 jam, dan Metronidazole tablet 500 mg/8 jam.
C. Perumusan masalah keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 9 Maret 2015 jam 09.00
WIB dapat dirumuskan dua diagnosa keperawatan pada Nn. A pukul 10.00
WIB, yaitu :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
Diagnosa ini didukung dengan data subyektif pasien mengatakan
nyeri pada bekas operasi, karakteristik nyeri P : nyeri bekas operasi, Q
: nyeri seperti dicubit, R : diperut kanan bawah, S : skala nyeri 4, T :
nyeri dirasakan sewaktu-waktu. Data obyektif, pasien tampak meringis
saat merasa nyeri, TD : 110/60 mmHg, N : 80x/menit, RR : 20x/menit,
S : 36oC.
b. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (apendiktomi)
Diagnosa ini didukung data subyektif pasien mengatakan ada bekas
operasi di perut kanan bawah. Data obyektif, TD : 110/60 mmHg, N :
80x/menit, RR : 20x/menit, S : 36oC. Leukosit 19.110/mm
3 (normal
3.600-11.000). Luka tidak ada pus, tidak kemerahan, dan ada bengkak.
38
D. Perencanaan
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang dirumuskan pada tanggal
9 Maret 2015 jam 10.20 WIB dapat disusun rencana keperawatan sebagai
berikut :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
Tujuan yang ingin dicapai setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x24 jam diharapkan nyeri berkurang/hilang dengan kriteria
hasil : skala nyeri 1-2, pasien tampak rileks, menyatakan nyeri hilang
atau berkurang, mendemonstrasikan teknik distraksi bernafas ritmik.
Intervensi yang akan dilakukan adalah : observasi TTV untuk
mengetahui kondisi pasien,kaji karakteristik nyeri untuk mengetahui
karakteristik nyeri PQRST, ajarkan teknik distraksi bernafas ritmik
untuk mengurangi nyeri, beri posisi nyaman untuk menghilangkan
tegangan nyeri abdomen, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
analgetik untuk menghilangkan nyeri.
b. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (apendiktomi)
Tujuan yang ingin dicapai setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x24 jam diharapkan infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil
tidan ada tanda-tanda infeksi. Intervensi yang akan dilakukan adalah :
observasi tanda-tanda vital untuk mengetahi kondisi klien, lihat tanda-
tanda infeksi untuk mengetahui ada tidaknya infeksi, lakukan
39
perawatan luka untuk mencegah infeksi, kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian antibiotik untuk menurunkan risiko infeksi.
E. Implementasi
Pada hari pertama tanggal 9 Maret 2015 implementasi keperawatan
yang dilakukan sesuai intervensi yang sudah disusun pada jam 08.00-
14.00 WIB adalah sebagai berikut :
Diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
tindakan keperawatan yang telah dilakukan adalah mengkaji karakteristik
nyeri PQRST pada jam 10.15 WIB dengan respon subyektif P : pasien
mengatakan nyeri pada luka bekas operasi, Q : nyeri seperti di cubit, R :
nyeri diperut kanan bawah, S : skala nyeri 4, T : nyeri dirasakan sewaktu-
waktu dan respon obyektif pasien tampak meringis saat terasa nyeri. Pada
jam 10.20 WIB mengajarkan teknik distraksi bernafas ritmik dengan
respon subyektif pasien mengatakan nyaman, dan respon obyektif pasien
tampak nyaman. Mengkaji karakteristik nyeri pada jam 10.30 WIB dengan
respon subyektif, P : pasien mengatakan nyeri pada bekas operasi, Q :
nyeri seperti dicubit, R : perut kanan bawah, S : skala nyeri 3, T :
dirasakan sewaktu-waktu. Respon obyektifnya pasien tampak nyaman.
Mengukur tanda-tanda vital pada jam 10.40 WIB dengan respon subyektif
pasien mengatakan mau diukur tanda vitalnya, respon obyektif TD :
110/60 mmHg, N : 80x/menit, S : 36oC, RR : 20x/menit. Pada jam 10.50
WIB memberikan injeksi Ranitidin 50mg/12 jam dengan respon subyektif
pasien mengatakan bersedia dan respon obyektif obat masuk sesuai terapi.
40
Memberikan posisi nyaman semi fowler pada jam 11.00 WIB dengan
respon subyektif pasien mengatakan bersedia respon obyektifnya pasien
rileks.
Diagnosa kedua risiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif (apendiktomi), pada jam 10.40 WIB mengukur tanda-tanda vital
dengan respon subyektif pasien mengatakan mau, respon obyektif TD :
110/60 mmHg, N : 80x/menit, S : 36 oC, RR : 20x/menit. Melihat tanda-
tanda infeksi pada jam 10.45 WIB dengan respon subyektif pasien
mengatakan masih sedikit nyeri, respon obyektif luka tampak bersih. Jam
10.50 WIB memberikan injeksi Ciprofloksasin 500 mg/12 jam,
Metronidazole tablet 500 mg/8 jam.
Pada hari kedua 10 Maret 2015 implementasi keperawatan yang
dilakukan sesuai dengan intervensi yang sudah disusun pada jam 08.00-
14.00 WIB adalah sebagai berikut :
Diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera
fisik, tindakan keperawatan yang dilakukan adalah mengkaji karakteristik
nyeri pada jam 08.00 WIB dengan respon subyektif, P : pasien
mengatakan nyeri pada bekas operasi, Q : nyeri seperti dicubit, R : perut
kanan bawah, S : skala nyeri 3, T : sewaktu-waktu. Respon obyektif pasien
tampak nyaman. Pada jam 08.10 WIB menganjurkan teknik distraksi
bernafas ritmik dengan respon subyektif pasien mengatakan enakan,
respon obyektif pasien tampak nyaman. Mengkaji karakteristik nyeri pada
jam 08.15 WIB dengan respon subyektif, P : nyeri pada bekas operasi, Q :
41
nyeri seperti digigit semut, R : perut kanan bawah, S : skala nyeri 1, T :
sewaktu-waktu, dan respon obyektif pasien tampak rileks. Memberikan
injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam dengan respon subyektif pasien
mengatakan bersedia, obyektifnya obat masuk sesuai terapi.
Mengobservasi TTV pada jam 11.00 WIB dengan respon subyektif pasien
mengatakan bersedia, respon obyektifnya TD : 110/80 mmHg, N :
82x/menit, RR : 20x/menit, S : 36,5 oC.
Diagnosa kedua risiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif (apendiktomi), tindakan keperawatan yang dilakukan adalah
memberikan injeksi Ciprofloksasin 500 mg/12 jam, dan Metronidazole
tablet 500 mg/8 jam dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia,
respon obyektif obat masuk sesuai terapi. Jam 09.00 WIB melakukan
perawatan luka dengan respon subyektif pasien mengatakan mau
dibersihkan lukanya, respon obyektif luka tidak ada pus dan tidak
kemerahan. Melihat tanda-tanda infeksi pada jam 09.30 WIB dengan
respon subyektif pasien mengatakan nyaman, respon obyektif luka bersih,
tidak ada pus. Mengobservasi TTV pada jam 11.00 WIB dengan respon
subyektif pasien mengatakan bersedia, respon obyektifnya TD : 110/80
mmHg, N : 82x/menit, RR : 20x/menit, S : 36,5 oC.
Pada hari ketiga 11 Maret 2015 implementasi keperawatan yang
dilakukan sesuai dengan intervensi yang sudah disusun pada jam 08.00-
14.00 WIB adalah sebagai berikut :
42
Diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera
fisik, tindakan keperawatan yang dilakukan adalah pada jam 08.30 WIB
mengkaji karakteristik nyeri dengan respon subyektif, P : pasien
mengatakan nyeri dibekas operasi, Q : myeri seperti dicubit, R : perut
kanan bawah, S : skala nyeri 2, T : saat bergerak. Respon obyektif pasien
tampak rileks. Menganjurkan teknik distraksi bernafas ritmik pada jam
08.35 WIB dengan respon subyektif pasien mengatakan nyaman, respon
obyektif pasien tampak nyaman. Jam 08.45 mengkaji karakteristik nyeri
dengan pasien mengatakan sudah tidak nyeri, skala nyeri 0. Respon
obyektifnya pasien tampak nyaman. Memberikan posisi nyaman semi
fowler pada jam 09.00 WIB dengan respon subyektif pasien mengatakan
nyaman, respon obyektif pasien tampak rileks.
Diagnosa kedua risiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif (apendiktomi), tindakan yang dilakukan adalah pada jam 09.30
WIB melihat tanda-tanda infeksi dengan respon subyektif pasien
mengatakan nyeri hilang, respon obyektif luka bersih, tidak ada pus, dan
tidak kemerahan.
F. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan metode evaluasi hasil dan evaluasi
proses. Evaluasi proses dilaksanakan berdasarkan respon pasien dan
keberhasilan tindakan pada saat dan setelah tindakan keperawatan yang
dilakukan. Evaluasi hasil dilakukan sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil
43
dari masing-masing intervensi pada diagnosa keperawatan yang muncul.
Evaluasi hari pertama dilakukan pada tanggal 9 Maret 2015 dengan hasil :
Diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera
fisik, didapatkan data subyektif pasien mengatakan masih nyeri P : nyerri
karena bekas operasi, Q : nyeri seperti dicubit, R : perut kanan bawah, S :
skala nyeri 3, T : sewaktu-waktu. Obyektifnya pasien tampak meringis
saat terasa nyeri. Analisa dalam asuhan keperawatan masalah belum
teratasi sehingga tindakan keperawatan dilanjutkan.
Diagnosa kedua risiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif (apendiktomi), didapatkan data subyektif pasien mengatakan masih
nyeri, obyektif TD : 110/60 mmHg, N : 80x/menit, RR : 20x/menit, S :
36oC. Analisa dalam asuhan keperawatan masalah tidak terjadi sehingga
tindakan keperawatan masih dilanjutkan.
Evaluasi hari kedua 10 Maret 2015 didapatkan hasil, diagnosa
pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, data subyektif
pasien mengatakan masih nyeri, P : nyeri di bekas operasi, Q : nyeri
seperit digigit semut, R : perut kanan bawah, S : skala nyeri 1, T :
sewaktu-waktu. Obyektifnya skala nyeri turun dari 3 menjadi 1. Analisa
dalam asuhan keperawatan masalah belum teratasi dan tindakan
keperawatan dilanjutkan.
Diagnosa kedua risiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif (apendiktomi) didapatkan, data subyektif pasien mengatakan
nyaman, obyektifnya luka bersih dan tidak ada pus. Analisa dalam asuhan
44
keperawatan masalah tidak terjadi sehingga tindakan keperawatan masih
dilanjutkan.
Evaluasi hari ketiga pada tanggal 11 Maret 2015 didapatkan hasil,
diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, data
subyektif pasien mengatakan nyeri hilang, obyektif skala nyeri turun dari 2
menjadi 0. Analisa dalam asuhan keperawatan masalah teratasi dan
tindakan keperawatan dihentikan.
Diagnosa kedua risiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif (apendiktomi), data subyektif pasien mengatakan luka sudah tidak
nyeri. Obyektif luka tampak bersih. Analisa dalam asuhan keperawatan
masalah tidak terjadi dan tindakan keperawatan dihentikan karena pasien
pulang.
45
BAB V
PEMBAHASAN
Bab ini akan membahas tentang hasil dari pelaksanaan pemberian
teknik distraksi bernafas ritmik terhadap penurunan intensitas nyeri pada
asuhan keperawatan pada Nn. A dengan post apendiktomi di ruang mawar 2
rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta. Pembahasan ini akan membandingkan
teori dengan kenyataan kasus, dengan melihat kesenjangan yang ada, meliputi
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, tindakan keperawatan dan
evaluasi keperawatan.
A. Pengkajian
Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang
bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional pada saat ini
dan waktu sebelumnya, serta untuk menentukan pola respon klien saat ini
dan waktu sebelumnya (Perry & Potter, 2006).
Pada pengkajian Nn. A yang dilakukan tanggal 9 Maret 2015 jam
09.00 WIB, keluhan utama yang dirasakan pasien mengatakan nyeri pada
bekas operasi. Semua pasien post operasi akan mengalami nyeri setelah
efek anestesi hilang (Adha,2014). Rasa nyeri timbul hampir setelah tiap
jenis operasi, karena terjadi torehan, tarikan, manipulasi jaringan dan
organ (Marison, 2004 dalam Adha, 2014). Dari data keluhan utama
ternyata sudah sesuai dengan teori.
46
Pengkajian kognitif perseptual, pasien mengatakan nyeri pada
bekas operasi. Pasien mengatakan nyeri seperti dicubit, nyeri dibagian
perut kanan bawah, skala nyeri 4, dan nyeri dirasakan sewaktu-waktu.
Pasien juga tampak terlihat meringis saat nyeri terasa. Dalam teori untuk
pengkajian nyeri ini menggunakan metode PQRST, meliputi provoking
incident atau faktor penyebab, quality atau kualitas nyeri, region atau
lokasi nyeri, scale atau skala nyeri, time atau waktu (Muttaqin, 2009).
Hasil pengkajian nyeri, penulis sudah melakukan sesuai dengan teori.
Pengkajian pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan tanda-tanda vital
Nn. A yaitu TD : 110/60mmHg, N : 80x/menit, RR : 20x/menit, S : 36oC.
Dalam teori nyeri, apabila nyeri tidak segera ditangani dengan benar
mengakibatkan peningkatan tekanan darah, pernafasan, suhu tubuh,
bahkan dapat meningkatkan kolaps kardiovaskuler dan syok (Adha, 2014).
Disini terdapat kesenjangan antara teori dan kasus untuk tanda-tanda vital,
karena tanda-tanda vital Nn. A tidak ada peningkatan bahkan tanda-tanda
vital klien masih stabil.
Hasil pemeriksaan abdomen, inspeksi perut datar, ada luka bekas
operasi, luka tidak ada pus, dan tidak kemerahan. Auskultasi bising usus
15x/menit. Perkusi pada kuadran I pekak kuadran II, III tympani, perkusi
hanya dilakukan di kuadran I,II,III karena di kuadran IV ada luka bekas
operasi. Palpasi dilakukan disemua kuadran, dan di kuadran IV dilakukan
disekitar luka, dan hasilnya ada nyeri tekan di kanan bawah atau kuadran
IV. Nyeri biasanya disebabkan trauma bedah atau inflamasi seperti pada
47
saat sakit kepala, sakit gigi, terbakar, pasca persalinan dan pasca
pembedahan (Andarmoyo, 2013).
Leukosit atau sel darah putih adalah unit-unit yang dapat bergerak
(mobile) dalam sistem pertahanan tubuh. Memiliki fungsi menahan invasi
oleh patogen (mikroorganisme penyebab penyakit, misalnya bakteri dan
virus) melalui fagositosis, mengidentifikasi dan menghancurkan sel-sel
kanker yang muncul dalam tubuh, berfungsi sebagai petugas pembersih
yang membersihkan sampah tubuh dengan memfagosit debris yang berasal
dari sel yang mati atau cedera, penting dalam penyembuhan luka dan
perbaikan jaringan. Hitung leukosit adalah menghitung jumlah leukosit per
milimeterkubik atau mikrometer darah. Leukosit merupakan bagian
penting dari sistem pertahanan tubuh, terhadap benda asing,
mikroorganisme atau jaringan asing, sehingga hitung jumlah leukosit
merupakan indikator yang baik untuk mengetahui respon tubuh terhadap
infeksi (Putri, 2010). Pada kasus Nn. A didapatkan hasil leukosit dari
pemeriksaan laboratorium adalah 19.110/mm3 yang normalnya 3.600-
11.000 mm3. Hasil tersebut membuktikan bahwa pada kasus sudah sesuai
dengan teori.
Hasil pemeriksaan penunjang USG abdomen yaitu tak tampak
efusi pleura bilateral dan asites, hepar/GB/lien/pankreas/kedua
ginjal/uterus tak tampak kelainan. Secara umum kegunaan USG adalah
untuk menilai inflamasi dari apendiks. USG pada apendisitis akut adalah
bagian kiri yaitu sonogram secara sagital menggambarkan inflamasi
48
apendiks, bagian kanan yaitu kompresi transabdominal secara transversal
didapatkan akumulasi cairan dari apendiks (Muttaqin, 2011). Data
penunjang yang didapatkan belum sesuai dengan teori, disini penulis
belum mencantumkan hasil pemeriksaan USG apendikogram karena saat
pengkajian hasil pemeriksaan tidak ada, dan setelah ditanyakan kepada
keluarga klien, keluarga juga tidak mengetahui.
Terapi yang diberikan adalah infus ringer laktat 20 tpm untuk
menambah cairan, injeksi ciprofloksasin 500 mg/12 jam yang merupakan
golongan antimikroba untuk mencegah infeksi. Metronidazole tablet
3x500 mg golongan antimikroba untuk mencegah infeksi, dan injeksi
Ranitidin 2x50 mg golongan antasida untuk pengobatan tukak lambung
(ISO, 2012).
B. Perumusan masalah
Nanda menyatakan bahwa diagnosa keperawatan adalah keputusan
klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah
kesehatan, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai
tujuan asuhan keperawatan sesuai kewenangan perawat (Setiadi, 2012).
Diagnosa yang mungkin muncul adalah nyeri akut berhubungan
dengan agen cidera fisik, intoleransi aktivitas berhubungan dengan
pembatasan gerak, risiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif apendiktomi, resiko kekurangan volume cairan berhubungan
dengan pembatasan pemasukan cairan secara oral (Nanda, 2012). Dari
analisa data, penulis merumuskan dua diagnosa yaitu nyeri akut
49
berhubungan dengan agen cidera fisik dan risiko infeksi berhubungan
dengan prosedur invasif. Disini penulis akan membahas satu persatu
diagnosa-diagnosa tersebut, yaitu :
a. Diagnosa yang sesuai teori dan ditemukan dalam kasus
Diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera
fisik, diagnosa tersebut diambil dari hasil pengkajian Nn. A yaitu
pasien mengatakan nyeri karena bekas operasi, nyeri seperti dicubit,
nyeri diperut kanan bawah, skala nyeri 4, nyeri dirasakan sewaktu-
waktu. Pasien juga tampak meringis saat merasa nyeri. Dan tanda-
tanda vital TD : 110/60 mmHg, N : 80x/menit, RR : 20x/menit, S :
36oC.
Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang
singkat dan berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri
diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka,
seperti luka operasi. Nyeri terasa tajam seperti ditusuk, disayat,
dicubit, dan lain-lain (Asmadi, 2012). Dikatakan nyeri akut ditandai
dengan adanya perubahan respirasi, tekanan darah, denyut jantung.
Secara verbal melaporkan adanya ketidaknyamanan dan menunjukkan
respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan,
mengerutkan wajah (Andarmoyo, 2013). Dari batasan karakteristik
maka penulis mengambil etiologi agen cidera fisik (Nanda, 2012).
Hasil data yang ditemukan dalam kasus ternyata sudah sesuai dengan
teori dari Asmadi dan Andarmoyo.
50
Penulis memprioritaskan diagnosa nyeri akut berhubungan
dengan agen cidera fisik sebagai prioritas utama karena menurut teori
Hierarki Abraham Maslow nyeri merupakan kebutuhan fisiologi
sehingga harus diprioritaskan telebih dahulu (Setiadi, 2012).
Dijelaskan bahwa pengertian nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman
yang sangat subjektif dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat
menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Asmadi, 2012).
Diagnosa yang kedua adalah risiko infeksi berhubungan
dengan prosedur invasif, dari pengkajian pasien mengatakan ada luka
bekas operasi di perut kanan bawah, dan tanda-tanda vital TD : 110/60
mmHg, N : 80x/menit, RR : 20x/menit, S : 36oC. Leukosit diatas
normal, 19.110 /mm3. Luka tidak ada pus dan tidak kemerahan.
Setiap penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan
memiliki catatan medis yang berisi tentang tanda-tanda vital seperti
suhu, nadi, pernapasan, serta catatan lain tentang perubahan fisik, dan
keluhan penderita. Catatan medis ini sangat berharga sebagai bahan
manifestasi klinis yang sekaligus signifikan untuk dinilai sebagai tanda
telah terjadi infeksi nosokomial (Septiari, 2012). Leukosit merupakan
bagian penting dari sistem pertahanan tubuh, terhadap benda asing,
mikroorganisme atau jaringan asing, sehingga hitung jumlah leukosit
merupakan indikator yang baik untuk mengetahui respon tubuh
terhadap infeksi (Putri, 2010). Tanda-tanda peradangan/infeksi antara
lain rubor (merah), calor (panas), tumor (bengkak), dolor (nyeri),
51
fungsi laesa terganggu (misalnya peradangan di tenggorokan
menyebabkan nafsu makan menurun, peradangan dihidung
menyebabkan produksi lendir berlebihan atau pilek) (Septiari, 2012).
Penulis memprioritaskan diagnosa resiko infeksi berhubungan
dengan prosedur invasif (apendiktomi) menjadi diagnosa kedua karena
menurut teori Hierarki Abraham Maslow infeksi merupakan termasuk
kebutuhan rasa aman dan nyaman (Setiadi, 2012).
b. Diagnosa yang ada di teori tetapi tidak ditemukan didalam kasus
Diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan
gerak. Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis
atau fisiologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas
kehidupan sehari-hari yang harus atau yang ingin dilakukan (Nanda,
2012). Penulis tidak menegakkan diagnosa ini karena saat pengkajian
tidak ditemukan data seperti lemah, letih, tekanan darah abnormal
dispnea setelah beraktivitas yang mendukung diagnosa ini untuk
ditegakkan.
Diagnosa resiko kekurangan volume cairan berhubungan
dengan pembatasan pemasukan cairan secara oral. Resiko kekurangan
volume cairan adalah berisiko mengalami dehidrasi vaskular, selular,
atau intraselular (Nanda, 2012). Penulis tidak menegakkan diagnosa ini
kerena saat pengkajian tidak ditemukan data seperti diare, muntah
yang mendukung diagnosa ini untuk ditegakkan.
52
C. Perencanaan
Perencanaan adalah bagian data fase pengorganisasian dalam
proses keperawatan sebagai pedoman untuk mengarahkan tindakan
keperawatan dalam usaha membantu, meringankan, memecahkan masalah
atau untuk memenuhi kebutuhan klien (Setiadi, 2012).
Diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera
fisik, intervensi disusun dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri berkurang atau hilang
dengan kriteria hasil skala nyeri 1-2, nyeri berkurang atau hilang, pasien
mendemonstrasikan teknik bernafas ritmik, dan pasien tampak rileks.
Intervensi pertama ukur TTV, tanda-tanda vital bisa menggambarkan
perubahan kondisi pasien. Pemeriksaan tanda-tanda vital dilakukan untuk
menentukan status kesehatan pasien, seperti terapi medis dan keperawatan
atau menandakan perubahan fisiologis (Muttaqin, 2009).
Intervensi yang kedua adalah kaji karakteristik nyeri PQRST ini
untuk mengetahui penyebab, kualitas, tempat, skala, dan waktu nyeri
terjadi. metode PQRST meliputi provoking incident yaitu faktor penyebab
nyeri timbul, quality yaitu seperti apa nyeri dirasakan atau digambarkan
klien, apakah nyeri bersifat tumpul, seperti terbakar, berdenyut, tajam atau
menusuk, region yaitu lokasi nyeri yang dirasakan klien, scale yaitu
seberapa jauh nyeri yang dirasakan klien, misalnya skala nyeri 0 tidak ada
nyeri, skala nyeri 1-3 yaitu nyeri ringan, 4-6 yaitu nyeri sedang, 7-10 yaitu
53
nyeri berat, time yaitu berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah ada
waktu-waktu tertentu yang menambah rasa nyeri (Muttaqin, 2009).
Intervensi yang ketiga, berikan teknik distraksi bernafas ritmik
untuk mengalihkan rasa nyeri dengan menganjurkan pasien memejamkan
mata, kemudian tarik nafas melalui hidung dalam empat hitungan, dan
dihembuskan secara perlahan lewat mulut dengan empat hitungan, lalu
dilakukan secara berulang sampai terbentuk perrnafasan ritmik. Tindakan
tersebut bisa membuat pasien menjadi rileks sehingga nyeri akan
berkurang. Distraksi adalah metode pengalihan perhatian klien ke hal lain
dan dengan demikian menurunkan kewaspadaan klien terhadap nyeri,
bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri sehingga nyeri berkurang.
Teknik distraksi bekerja memberi pengaruh paling baik untuk jangka
waktu yang singkat, serta untuk mengatasi nyeri intensif yang hanya
berlangsung beberapa menit (Potter & Perry, 2006).
Intervensi keempat, berikan posisi nyaman untuk mengurangi nyeri
dan menghilangkan tegangan abdomen. Posisi semi fowler dengan derajat
kemiringan 45o, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi untuk
membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen
pada diafragma (Rozikhin, 2014). Intervensi kelima, kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian analgesik. Analgesik adalah metode paling umum
untuk mengatasi nyeri, tergolong dalam analgesik non-narkotik dengan
indikasi nyeri pasca operasi, nyeri trauma berat, artritis rematoid
(Andarmoyo, 2013)
54
Diagnosa yang kedua risiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif, intervensi disusun dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan infeksi tidak terjadi dengan
kriteria hasil tidak ada tanda-tanda infeksi. Tanda-tanda klinik infeksi
tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai
perawatan (Septiari, 2012). Disini penulis telah menemukan kesenjangan
teori dalam menentukan kriteria hasil. Seharusnya kriteria hasil yang di
harapkan yaitu proses penyembuhan luka sesuai dengan fasenya. Tanda-
tanda peradangan/infeksi antara lain rubor (merah), calor (panas), tumor
(bengkak), dolor (nyeri), fungsi laesa terganggu (misalnya peradangan di
tenggorokan menyebabkan nafsu makan menurun, peradangan dihidung
menyebabkan produksi lendir berlebihan atau pilek) (Septiari, 2012).
Intervensi yang pertama ukur TTV, tanda-tanda vital bisa menjadi
acuan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda vital juga bisa
menggambarkan perubahan kondisi pasien. Pemeriksaan tanda-tanda vital
dilakukan untuk menentukan status kesehatan pasien, seperti terapi medis
dan keperawatan atau menandakan perubahan fisiologis (Muttaqin, 2009).
Intervensi kedua, lihat tanda-tanda infeksi seperti ada tidaknya pus,
kemerahan, bengkak, atau nyeri. Tanda-tanda peradangan/infeksi antara
lain rubor (merah), calor (panas), tumor (bengkak), dolor (nyeri), fungsi
laesa terganggu (misalnya peradangan di tenggorokan menyebabkan nafsu
makan menurun, peradangan dihidung menyebabkan produksi lendir
berlebihan atau pilek) (Septiari, 2012). Rumah sakit selain untuk mencari
55
kesembuhan juga merupakan sumber dari berbagai penyakit, yang berasal
dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus karier. Kuman
penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit,
seperti udara, air, lantai, makanan dan benda-benda peralatan medis
maupun non medis. Jadi infeksi yang mengenai seseorang dan infeksi
tersebut diakibatkan pengaruh dari lingkungan rumah sakit disebut infeksi
nosokomial (Nugraheni, 2010). Infeksi nosokomial merupakan infeksi
yang diperoleh atau yang terjadi dirumah sakit berkaitan dengan
pemberian layanan kesehatan difasilitas pelayanan kesehatan dan tindakan
perawat diperlukan untuk mencegah infeksi nosokomial dengan
melakukan cuci tangan, menggunakan alat pellindung, mengelola alat
kesehatan, desinfeksi lokasi tindakan, melakukan perawatan dan
penutupan luka serta pengelolaan sampah (Ali, 2010).
Intervensi yang ketiga, lakukan perawatan luka untuk mencegah
infeksi dan menjaga kebersihan daerah luka. Luka bedah merupakan luka
dengan kemungkinan terinfeksi sangat kecil karena dilakukan dalam
keaddaan steril. Ruang operasi memiliki peran penting dalam pencegah
infeksi karena diperkirakan 90% infeksi luka terjadi pada saat pembedahan
(Gruendemann & Fernsebner, 2006 dalam jurnal Rahmat Ali, 2010).
Namun seringkali pada saat perawatan luka pada pasien bedah di rumah
sakit terjadi infeksi bedah dimana infeksi tersebut sering tidak dapat
sembuh spontan dan dapat mengakibatkan berbagai komplikasi seperti
56
pernanahan, nekrosis, bahkan kematian bila tidak dilakukan tindakan
keperawatan dan medis(Ali, 2010).
Intervensi yang keempat, kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat antibiotik, antibiotik sangat diperlukan untuk mencegah
infeksi. Pemberian antibiotik sebelum, saat, dan hingga 24 jam pasca
operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi
dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi (Kementrian
Kesehatan, 2011).
D. Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012).
Implementasi dilakukan dari perencanaan yang disusun
sebelumnya. Berikut ini pembahasan inplementasi dari masing-masing
diagnosa :
Diagnosa keperawatan yang pertama nyeri akut berhubungan
dengan agen cidera fisik, implementasi yang dilakukan pada tanggal 9, 10,
11 Maret 2015, adalah mengkaji karakteristik PQRST, metode PQRST
meliputi provoking incident yaitu faktor penyebab nyeri timbul, quality
yaitu seperti apa nyeri dirasakan atau digambarkan klien, apakah nyeri
bersifat tumpul, seperti terbakar, berdenyut, tajam atau menusuk, region
yaitu lokasi nyeri yang dirasakan klien, scale yaitu seberapa jauh nyeri
yang dirasakan klien, misalnya skala nyeri 0 tidak ada nyeri, skala nyeri 1-
3 yaitu nyeri ringan, 4-6 yaitu nyeri sedang, 7-10 yaitu nyeri berat, time
57
yaitu berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah ada waktu-waktu
tertentu yang menambah rasa nyeri (Muttaqin, 2009).
Mengajarkan teknik distraksi bernafas ritmik, distraksi dapat
menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi system kontrol desenden,
yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke
otak (Nurhayati, 2011). Otak itu sendiri mengendalikan atau memengaruhi
persepsi nyeri yaitu hipotalamus dan struktur limbik berfungsi sebagai
pusat emosinal persepsi nyeri, dan korteks frontalis menghasilkan
interpretasi dan respon rasional terhadap nyeri. Namun, terdapat variasi
yang luas dalam cara individu mempersepsikan nyeri.
Salah satu penyebab variasi adalah karena sistem saraf pusat (SSP)
memiliki beragam mekanisme untuk memodulasi dan menekan
rangsangan nosiseptif. Kemudian jalur-jalur desendens serat eferen yang
berjalan dari korteks serebrum kebawah ke medula spinalis dapat
menghambat atau memodifikasi rangsangan nyeri yang datang melalui
suatu mekanisme umpan-balik yang melibatkan substansia gelatinosa dan
lapisan lain kornu dorsalis. Karenanya, jalur-jalur desendens dapat
memengaruhi implus nyeri di tingkat spinal.
Salah satu jalur desendens yag telah diidentifikasi sebagai jalur
penting dalam sistem modulasi nyeri atau analgesik adalah jalur yang
mencakup tiga komponen berikut, bagian pertama adalah substansia
grisen periakuaduktus (PAG) dan substansia grisea periventrikel (PVG)
mesensefalon dan pons bagian atas yang mengelilingi akuadutus sylvius.
58
Bagian kedua adalah neuron-neuron dari daerah 1 mengirim implus ke
nukleus rafe magnus (NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan
medula bagian atas dan nukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di
medula lateralis. Bagian ketiga, implus ditransmisikan dari nukleus di 2 ke
bawah ke kolumna dorsalis medula spinalis ke suatu kompleks inhibitorik
nyeri yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis. Kemudian
rangsangan listrik daerah PAG atau rafe nukleus dapat hampir menekan
sinyal nyeri yang kuat yang masuk melalui akar spinal dorsal. Selain
jaringan batang otak ke medula spinalis, juga terdapat hubungan-hubungan
saraf dari hipotalamus dan neokorteks ke PAG, sehingga perasaan dan
pikiran seseorang dari pusat-pusat yang lebih luhur dapat memodulasi
nyeri (Price, 2006).
Mengukur TTV, tanda vital diukur untuk menentukan status
kesehatan klien biasanya (data dasar) atau untuk menguji respons klien
terhadap stress fisiologis atau psikologi atau terhadap terapi medik atau
keperawatan (Potter, 1996 dalam Setiadi 2012).
Memberikan injeksi Ranitidin 50 mg, tergolong antasida untuk
pengobatan tukak lambung (ISO, 2012). Memberikan posisi nyaman semi
fowler, untuk mengurangi nyeri. Posisi semi fowler dengan derajat
kemiringan 45o, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi untuk
membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen
pada diafragma (Rozikhin, 2014).
59
Diagnosa keperawatan yang kedua risiko infeksi berhubungan
dengan prosedur invasif, implementasi yang dilakukan pada tanggal
9,10,11 Maret 2015, adalah mengukur TTV, setiap penderita yang sedang
dalam proses asuhan keperawatan memiliki catatan medis yang berisi
tentang tanda-tanda vital seperti suhu, nadi, pernapasan, serta catatan lain
tentang perubahan fisik, dan keluhan penderita. Catatan medis ini sangat
berharga sebagai bahan manifestasi klinis yang sekaligus signifikan untuk
dinilai sebagai tanda telah terjadi infeksi nosokomial (Septiari, 2012).
Memberikan injeksi ciprofloksasin 500 mg dan metronidazole
tablet 500 mg, tergolong antimikroba untuk mencegah infeksi. Infeksi
bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrier mukosa atau kulit dan
menembus jaringan tubuh. Umumnya, tubuh berhasil mengeliminasi
bakteri tersebut dengan respon imun yang dimiliki, tetapi bila bakteri
berkembang biak lebih cepat daripada aktivitas respon imun tersebut maka
akan terjadi penyakit infeksi yang disertai dengan tanda-tanda inflamasi.
Terapi yang tepat harus mampu mencegah berkembangbiaknya bakteri
lebih lanjut tanpa membahayakan host. Antibiotik dalah obat yang
digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri. Antibiotik bisa bersifat
bakterisid (membunuh bakteri) atau bakteriostatik (mencegah
berkembangbiaknya bakteri) (Kementrian Kesehatan, 2011).
Melakukan perawatan luka, perawatan luka biasanya dimulai
dengan pengobatan yang konvensional seperti pembersihan luka,
pemberian anti radang dan antibiotik (Rahmawati, 2009). Dasar
60
pembersihan luka dilakukan dengan memperhatikan prinsip saat
membersihkannya yaitu, bersihkan dari area yang sedikit terkontaminasi
yaitu daerah dalam luka ke luar area luka karena luka diyakini hanya
sedikit terkontaminasi daripada kulit sekitarnya (Smeltzer & Bare, 2002
dalam jurnal Rahmat Ali, 2012).
Melihat tanda-tanda infeksi, tanda-tanda peradangan/infeksi antara
lain rubor (merah), calor (panas), tumor (bengkak), dolor (nyeri), fungsi
laesa terganggu (Septiari, 2012). Infeksi bedah adalah salah satu bentuk
infeksi nosokomial yang sering terjadi di rumah sakit yang menterang
klien yang sedang dalam proses asuhan keperawatan di rumah sakit dan
juga dapat terjadi selama pasien berada dalam fasilitas kesehatan atau baru
terjadi setelah klien pulang. Faktor penyebab infeksi nosokomial
dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor yang ada dalam diri pasien,
faktor lingkungan sekitar dan juga faktor keperawatan ynag berkaitan
dengan standar pelayanan yang diberikan (Darmadi, 2008 dalam jurnal
Rahmat Ali, 2012).
E. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana
tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan
tenaga kesehatan lainnya (Setiadi, 2012).
Evaluasi dilakukan setiap hari diakhir shift dengan metode SOAP.
Diagnosa yang pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
61
pada tanggal 9 Maret 2015, pasien mengatakan masih nyeri P : nyeri pada
bekas operasi, Q : nyeri seperti dicubit, R : perut kanan bawah, S : skala
nyeri 3, T : sewaktu-waktu. Pasien tampak meringis saat terasa nyeri.
Analisa masalah belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi seperti kaji
karakteristik nyeri, anjurkan tenik distraksi bernafas ritmik, beri posisi
nyaman.
Evaluasi pada tanggal 10 Maret 2015, diagnosa pertama nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera fisik pasien mengatakan masih nyeri, P :
nyeri karena bekas operasi, Q : nyeri seperit digigit semut, R : perut kanan
bawah, S : skala nyeri 1, T : sewaktu-waktu. Skala nyeri turun dari 3
menjadi 1. Analisa masalah belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi
seperti kaji karakteristik nyeri, anjurkan teknik distraksi bernafas ritmik.
Evaluasi pada tanggal 11 Maret 2015, untuk diagnosa nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera fisik pasien mengatakan luka sudah tidak
nyeri, skala nyeri turun dari 2 menjadi 0, analisa masalah teratasi, planning
intervensi dihentikan.
Hasilnya setiap hari skala nyeri turun, hal ini sudah sesuai dengan
jurnal Nunung Febriany Sitepu (2012), dengan penelitian pengaruh
menggunakan teknik distraksi bernafas ritmik terhadap intensitas nyeri
pada luka post apendiktomi di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam tahun
2012 yaitu responden pada saat observasi sebelum diberikan tindakan
teknik distraksi bernafas ritmik yaitu tidak nyeri 2 orang (20%), nyeri
ringan 2 orang (20%), nyeri sedang 2 orang (20%), nyeri berat 2 orang
62
(20%), dan nyeri sangat berat 2 orang (20%). Responden pada saat
observasi setelah dilakukan teknik distraksi bernafas ritmik yaitu
berjumlah tidak ada nyeri 4 orang (40%), dan nyeri ringan 6 orang (60%).
Hasil kesimpulan adalah sebelum dan sesudah menggunakan teknik
distraksi bernafas ritmik terhadap intensitas nyeri pada luka post
apendiktomi, mengalami pengaruh yang signifikan.
Diagnosa yang kedua risiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif, pasien mengatakan nyeri bekas operasi, tanda-tanda vital TD :
110/60 mmHg, N : 80x/menit, RR :20x/menit, S : 36oC. Analisa masalah
tidak terjadi. Planning intervensi dilanjutkan seperti observasi TTV,
lakukan perawatan luka, lihat tanda-tanda infeksi, kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian antibiotik.
Diagnosa yang kedua risiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif, pasien mengatakan nyaman, luka bersih tidak ada pus, analisa
masalah tidak terjadi. Plannning lanjutkan intervensi seperti observasi
TTV, lakukan perawatan luka, lihat tanda-tanda infeksi, kolaborasi dalam
pemberian antibiotik.
Diagnosa kedua risiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif, pasien mengatakan luka sudah tidak nyeri, luka tampak bersih,
analisa masalah tidak terjadi, planning lanjutkan intervensi.
Diagnosa risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif,
infeksi disini tidak terjadi karena tidak ada tanda-tanda infeksi. Tanda-
63
tanda peradangan/infeksi antara lain rubor (merah), calor (panas), tumor
(bengkak), dolor (nyeri), fungsi laesa terganggu (Septiari, 2012).
64
64
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah melakukan tindakan keperawatan pada Nn. A dengan post
apendiktomi, maka penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil pengkajian yang telah dilakukan pada tanggal 9 Maret 2015 keluhan
utama yang dirasakan pasien adalah nyeri pada bekas operasi.
Karakteristik nyeri yaitu P : nyeri karena bekas operasi, Q : nyeri seperti
dicubit, R : nyeri diperut kanan bawah, S : skala nyeri 4, T : nyeri
dirasakan sewaktu-waktu.
2. Diagnosa keperawatan yang muncul dari hasil pengkajian Nn. A adalah
nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, dan risiko infeksi
berhubungan dengan prosedur invasif.
3. Intervensi
Setelah penulis merumuskan diagnosa keperawatan, maka intervensi
disusun dengan tujuan dan kriteria hasil masing-masing diagnosa.
Intervensi dari kedua diagnosa yang penulis tetapkan berdasarkan kondisi
dan keadaan pasien. Penulis akan melakukan intervensi selama 3x24 jam.
4. Implementasi
Implementasi dilakukan penulis pada tanggal 9-11 Maret 2015.
Hampir semua tindakan keperawatan sudah dilakukan oleh penulis.
65
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan setiap hari di akhir shift. Dari kedua diagnosa,
diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik masalah sudah
teratasi. Untuk diagnosa yang kedua risiko infeksi berhubungan dengan
prosedur invasif masalah tidak terjadi.
6. Hasil evaluasi dari pemberian teknik distraksi bernafas ritmik dalam
penurunan intensitas nyeri pada Nn. A dengan post apendiktomi terbukti
efektif dengan hasil penurunan skala di hari pertama yaitu dari skala 4
menjadi 3, dihari kedua dari skala 3 menjadi 1, dan dihari ketiga dari skala
2 menjadi 0.
B. Saran
1. Bagi institusi pendidikan
Dari hasil aplikasi riset ini diharapkan mahasiswa keperawatan mampu
memberikan teknik distraksi bernafas ritmik terhadap penurunan intensitas
nyeri pada asuhan keperawatan terutama untuk pasien post apendiktomi.
2. Bagi profesi keperawatan
Sebagai referensi dan sumber informasi untuk pemberian asuhan
keperawatan pada pasien post apendiktomi, dengan tindakan distraksi
bernafas ritmik bisa menurunkan intensitas nyeri.
3. Bagi rumah sakit
Diharapkan rumah sakit mampu memberikan salah satu tindakan
keperawatan yaitu pemberian teknik distraksi bernafas ritmik untuk
66
mengurangi nyeri pada asuhan keperawatan dengan pasien post
apendiktomi ataupun pada pasien yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Adha, D. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Respon Terhadap Nyeri
Pasien Post Operasi Mayor Di IRNA Dr. Djamil Padang 2014. Jurnal
Keperawatan.
Ali, R. 2010. Tindakan Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Luka Pasca
Bedah. Jurnal Keperawatan.
Andarmoyo, S. 2013. Konsep Dan Proses Keperawatan Nyeri. Ar-Ruzz Media.
Jogjakarta.
Asmadi. 2012. Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. PT. RINEKA CIPTA.
Jakarta.
Baririent. 2011. Konsep Luka. Basic nursing Department. PSIK FIKES UMM.
Budiarto. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran. EGC. Jakarta.
Febriany, N. 2012. Pengaruh Menggunakan Teknik Distraksi Bernafas Ritmik
Terhadap Intensitass Nyeri Pada Luka Pos Apendiktomi Di RSUD Deli
Serdang Lubuk Pakam Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Program Studi Ilmu
Keperawatan STIKes Medistra Lubuk Pakam. 1(2):1-6.
Iqbal, W & Chayatin, N. 2007. Buku ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori &
Aplikasi Dalam Praktik. EGC. Jakarta.
kamuskesehatan.com/arti/apendisitis/. 16 Februari 2015 (09.30)
Kayra, N. 2012.Apendiksitis. https://nurkayat.wordpress.com/ratna/appendiksitis/.
24 Maret 2015 (11.00)
Kementrian Kesehatan. 2011. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik.
Kurniawan. 2014. Makalah Apendisitis. docslide.net/document/makalah-
apendisitisdoc.html. 17 Februari 2015 (08.00).
Lyrawati. 2009. Penilaian Nyeri. 17 Februari 2015 (09.00)
Meliala, L & Pinzon, R. 2007. Breakthrough in Management of Acute Pain. Jurnal
Kedokteran dan Farmasi. 20(4):151-155.
Moeliono, M. A. 2008. Modalitas Fisik Dalam Penatalaksanaan Nyeri. Simposium
Nyeri. Bandung.
Musa, A. 2011. Perbedaan Lama Rawat Inap Dan Biaya Perawatan Antara Terapi
Teknik Konvensional Dan Laparoskopi Pada Pasien Apendisitis Di RSUD
Dr. Moewardi. digilib.uns.ac.id/dokumen/abstrak/27794/ Perbedaan-Lama-
Rawat-Inap-Dan-Biaya-Perawatan-Antara-Terapi-Teknik-Konvensional-
Dan-Laparoskopi-Pada-Pasien-Apendisitis-Di-RSUD-Dr-Moewardi. 24
Maret 2015 (10.25)
Muttaqin, A. dan Kumalasari. 2009. Asuhan Keperawatan Perioperatif. Salemba
Medika. Jakarta.
Muttaqin, A. dan Kumalasari. 2011. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Salemba Medika. Jakarta.
Nainggolan, E & Simanjuntak, L. 2013. Hubungan Mobilisasi Dini Dengan Lamanya
Penyembuhan Luka Pasce Operasi Apendiktomi Di Zaal C Rumah Sakit
HKBP Balige Tahun 2013. Jurnal Keperawatan HKBP Balige. 1(2):98-105.
Nanda, 2012. Nanda International Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi.
EGC. Jakarta.
Nugraheni, R. 2012. Infeksi Nosokomial Di RSUD Setjonegoro Kabupaten
Wonosobo. Jurnal Kesehatan. 11(1):94-100.
Novita, D. 2012. Pengaruh Terapi Musik Terhadap Nyeri Post Operasi Open
Reduction And Internal Fixation (ORIF) Di RSUD DR. H. Abdul Moeloek
Propinsi Lampung. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Indonesia.
Depok.
Nugroho, T. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah, Penyakit Dalam.
Nuha Medika. Yogyakarta.
Nurhayati, E E, Hemiyatun & Safrudin. 2011. Pengaruh Teknik Distraksi Relaksasi
Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Laparatomi
Di PKU Muhammadiyah Gombong. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan.
1(1):35-42.
Putri. 2010. Perbedaan Jumlah Leukosit Pada Pasien Apendisitis Akut dan
Apendisitis Kronik Di RSPAD Gatot Subroto Jakarta Periode Tahun 2010.
Jurnal Kesehatan.
Potter, & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. EGC. Jakarta.
Price, S. A. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC.
Jakarta.
Rahmawati. 2009. Pengembangan Sistem Penyembuhan Luka dengan Stimulasi
Listrik. Seminar on Intelligent technology and Its Application.
Rosina & Pemila. 2007. Perawatan Luka “Moist Wound Healing”. Tesis. Program
Magister Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia.
Rozikhin, M. 2014. Keefektifan Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Penurunan.
http://prezi.com/frall-d4jnh6i/keefektifan-pemberian-posisi-semi-fowler-
penurunan/. 15 Mei 2015 (19.00)
Septiari. 2012. Infeksi Nosokomial. Nuha Medika. Yogyakarta.
Setiadi. 2012. Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Sirma, F & Haskas, Y. 2013. Faktor Risiko Kejadian Apendisitis Di Rumah Sakit
Umum Daerah Kab. Pangkep. Jurnal Keperawatan. 2(1):1-8.
Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
Smeltzer & Bare. 2002 Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddarth.
Edisi 8. Vol. 1. EGC. Jakarta.
Sumanto, H & Rozak, M. Perbedaan Teknik Distraksi Mendengarkan Musik Klasik
dengan Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap Penurunan Nyeri pada Klien
Post operasi Seksio Sesaria Di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. Jurnal
Keperawatan.
Sumiati, Kadrianti & Basri. 2013. Pengaruh Penggunaan Teknik Relaksasi Nafas
Dalam, Distraksi, Gate Kotrol, terhadap Penurunan Sensasi Nyeri Ca
Mammae Di RSUD Labuang Baji Makasar. Jurnal Keperawatan.
Young & Koopsen. 2007. Spiritual, Kesehatan, dan, Penyembuhan. Bina Perintis.
Medan. Universitas Sumatera Utara
Yusrizal. 2012. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam dan Masase Terhadap
Penurunan Skala Nyeri Pada Pasien Pasca Apendiktomi Di Ruangan Bedah
RSUD DR. M. Zein Painan Tahun 2012. Fakultas Keperawatan. Universitas
Andalas.
Zulkarnain, N. 2015. Asuhan Keparawatan Apendisitis. http:/nuzulul-
fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35840-Kep%20Pencernaan-
Askep%20Apendisitis.html. 16 Februari (09.15).
2012. ISO : Informasi Spesialite Obat Indonesia. PT. ISFI. Jakarta.