28
PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG BERKEDUDUKAN SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR J U R N A L Oleh : YUNITA OCTAVIA SIAGIAN 140200495 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

BERKEDUDUKAN SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR

J U R N A L

Oleh :

YUNITA OCTAVIA SIAGIAN

140200495

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

Page 2: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

BERKEDUDUKAN SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR

J U R N A L

Oleh :

YUNITA OCTAVIA SIAGIAN

140200495

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan,S.H.,M.H

NIP. 195703261986011001

Editor

Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S

NIP 196303311987031001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

Page 3: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

CURRICULUM VITAE

A. IDENTITAS DIRI

1. Nama Lengkap Yunita Octavia Siagian

2. NIM 140200495

3. Tempat/Tanggal Lahir

P. Siantar, 20 Oktober 1995

4. Jenis Kelamin Perempuan

5. Anak Ke 3 (tiga) dari 4 (empat) Bersaudara

6. Agama Kristen Protestan

7. Fakultas Hukum

8. Program Studi Ilmu Hukum

9. Departemen Hukum Pidana

10. Alamat Jl. Harmonika No. 46 Pasar 1, Padang Bulan, Medan

11. Alamat e-mail [email protected]

A. RIWAYAT PENDIDIKAN

Jenjang Nama Institusi Pendidikan

Tahun Masuk

Tahun Lulus

Jurusan/Bidang Studi

SD SD Hidup Baru Batam 2001 2007 -

SMP SMP Negeri 9 Batam 2007 2010 -

SMA SMA Negeri 5 Batam 2010 2013 IPS

STRATA 1 (S1)

Universitas Sumatera Utara

2014 2018 Hukum/Ilmu Hukum

B. RIWAYAT ORGANISASI

Nama Organisasi Bidang Organisasi

Jabatan Periode

1. UKM KMK UP. FH USU

Rohani Kristen

Anggota 2014 – 2018

2. PERKUMPULAN GEMAR BELAJAR (GEMBEL) FH USU

Badan Hukum Dengan Bentuk

Perkumpulan

Anggota 2014 – sekarang

3. PERKUMPULAN GEMAR BELAJAR (GEMBEL) FH USU

Badan Hukum Dengan Bentuk

Perkumpulan

Menteri Kementerian Pendidikan

Pemerintahan X Gembel

2016

4. PERKUMPULAN GEMAR BELAJAR (GEMBEL) FH USU

Badan Hukum Dengan Bentuk

Perkumpulan

Wakil Koordinator

PTT&PubDekDok Musyawarah

Besar V Gembel

2016

5. PERKUMPULAN Badan Hukum Koordinator 2016

Page 4: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

GEMAR BELAJAR (GEMBEL) FH USU

Dengan Bentuk

Perkumpulan

Acara GEMBEL Peduli 2016

6. KOMUNITAS PERADILAN SEMU

FAKULTAS HUKUM USU (KPS

FH USU)

Unit Kegiatan Mahasiswa

Dalam Bidang Peradilan Semu dan Kompetisi Peradilan

Semu Tingkat Nasional

Anggota Bidang Keanggotaan

2015-2016

7. KOMUNITAS PERADILAN SEMU

FAKULTAS HUKUM USU (KPS

FH USU)

Unit Kegiatan Mahasiswa

Dalam Bidang Peradilan Semu dan Kompetisi Peradilan

Semu Tingkat Nasional

Steering Committee

Acara Musyawarah

2015-2016

8. KOMUNITAS PERADILAN SEMU

FAKULTAS HUKUM USU (KPS

FH USU)

Unit Kegiatan Mahasiswa

Dalam Bidang Peradilan Semu dan Kompetisi Peradilan

Semu Tingkat Nasional

Manager Team Delegasi KPS FH USU Dalam

Kompetisi Peradilan Semu Pidana Tingkat Nasional Piala Prof. Soedarto VI, Universitas Diponegoro, Semarang

2017

9. IKATAN MAHASISWA

HUKUM PIDANA (IMADANA)

Ikatan Mahasiswa

Jurusan Hukum Pidana

Anggota 2017-2018

C. Kegiatan (Acara) Yang Diikuti

No. Tahun Nama kegiatan/Acara Penyelenggara

1. 2015 Seminar Hukum Ekonomi “Edukasi Hukum Bagi Mahasiswa Dalam Berinvestasi Di Reksadana”

IMAHMI FH USU

2. 2015 Seminar Hari Bumi “Good Earth For Good Future”

MAPALA NATURAL JUSTICE FH USU

3. 2015 Seminar Hukum Laut “Peran Pelabuhan dalam Mewujudkan Keamanan Maritim dan

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

Page 5: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

Keselamatan Navigasi Sesuai Hukum Internasional Serta Pengembangan Pelabuhan Indonesia”

4. 2015 Kompetisi Peradilan Semu Konstitusi Tingkat Nasional Piala Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia&Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara

4. 2016 Diskusi Kebangsaan “Penegasan Dan Penguatan

Sistem Presidensiil”

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI)

5. 2017 Seminar “Urgensi Constitutional Complaint di

Indonesia”

PERMATA FH-USU

6. 2017 Kompetisi Peradilan Semu Pidana Tingkat Nasional Piala Prof. Soedarto VI

UPK- PSEUDORECHTSPRAA

K FH UNDIP

Page 6: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG BERKEDUDUKAN SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR

Yunita Octavia Siagian* Alvi Syahrin**

Rafiqoh Lubis***

Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Abstrak Tindak pidana korupsi sudah sangat marak, bak jamur di musim hujan. Di Indonesia tindak pidana korupsi sudah mencapai titik kritis. Kehadiran justice collaborator menjadi populer tatkala upaya pemberantasan korupsi membutuhkan terobosan hukum dalam pengungkapan dan penuntasannya. Pokok permasalahan yang diangkat dalam jurnal ini adalah bagaimana perkembangan pengaturan pemberian hak remisi terhadap narapidana di Indonesia dan bagaimana pemberian hak remisi terhadap narapidana koruptor dalam kaitannya sebagai justice collaborator. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder guna memperoleh yang dibutuhkan yakni meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait dengan permasalahan. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan mengatur mengenai bagaimana warga binaan pemasyaratan dibentuk menjadi manusia seutuhnya tanpa mengurangi hak-haknya sebagai manusia. Pelaksanaan pemberian remisi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.Pemberian hak remisi terhadap narapidana yang berkedudukan sebagai justice collaborator dalam kasus tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengalami perubahan yang signifikan dan menjadi lebih ketat dari syarat-syarat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah sebelum mengalami perubahan, yang mana terbilang lebih mudah dalam mendapatkan hak remisi.

Kata Kunci: Pemberian Remisi, Justice Collaborator, Narapidana, Tindak Pidana Korupsi

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Page 7: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

GRANTING REMISSION TO CONVICTED CORRUPTORS WHO ACT AS JUSTICE COLLABORATORS

Yunita Octavia Siagian*

Alvi Syahrin** Rafiqoh Lubis***

Criminal Law Department, the Faculty of Law, University of Sumatera Utara

Abstract

The criminal act of corruption has been very rampant like mushrooms in the rainy season. The criminal act of corruption in Indonesia has reached a critical point. The presence of Justice collaborator became popular when efforts to eradicate corruption required a legal breakthrough in its disclosure and completion. The main issues raised in the writing of this journal is how the development of the provision of remission rights to convicted corruptors in Indonesia and how the granting of remission rights to convicted corruptors who act as justice collaborator. The research used judicial normative method through the approaches of legal principles which are referred to legal norms obtained from primary and secondary legal materials through library research such as books, and legal provisions, which are relevant to the research problems. The results are presented descriptively to obtain an explanation of the issues discussed. Law No. 12/1995 regulates how prisoners are formed to become complete human beings without prejudice to their rights as human beings. The implementation of remission has been regulated in Government Regulation No. 99/2012.The granting remission to convicted corruptors who act as justice collaborator in cases of corrupt acts that are extra ordinary crime have undergone significant changes and more difficult to obtain remissions than previous government regulations.

Keywords: Granting Remission, Justice Collaborator, Convicted, The Criminal Act of Corruption ______________________ *

Student of the Criminal Law Department, Faculty of Law, University of Sumatera Utara

** Supervisor

I, Lecturer of the Criminal Law Department, Faculty of Law, University of

Sumatera Utara ***

Supervisor II, Lecturer of the Criminal Law Department, Faculty of Law, University of

Sumatera Utara

Page 8: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bertambah besar volume pembangunan bertambah besar pula

kemungkinan kebocoran. Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan

dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan

kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif terutama

menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat.1

Kejahatan merupakan dampak negatif dari pembangunan ekonomi.2 Korupsi

adalah salah satu kejahatan yang mana perkembangan modusnya akhir-akhir ini

meluas dan semakin canggih. Kategori sebagai kejahatan luar biasa (extra

ordinary crime) bagi tindak pidana korupsi jelas membutuhkan penanganan luar

biasa (extra ordinary measures/extra ordinary enforcement).

Korupsi merupakan hal yang sangat serius, sehingga selalu mendapat

perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya karena korupsi

sudah terlihat sejak awal di Indonesia. Perkembangan masyarakat dalam usaha

mengisi kemerdekaan telah memperlihatkan gejala-gejala ke arah

penyelewengan yang merupakan perbuatan yang merugikan kekayaan dan

perekonomian negara. Gejala seperti ini pada awalnya jelas kelihatan pada masa

perjuangan fisik untuk mempertahankan republik yang baru diproklamasikan.3

Tindak pidana korupsi sudah sangat marak, bak jamur di musim hujan. Di

Indonesia tindak pidana korupsi sudah mencapai titik kritis, dikarenakan

Indonesia masuk rangking ke-114 dari 177 daftar negara terkorup di dunia. Data

tersebut dirilis situs Transparency Internasional (TI) pada tahun 2013. Dalam

daftar itu, Indonesia yang berada di rangking ke-114 negara terkorup dengan

skor 32. Malaysia sebagai negara tetangga masuk rangking 53 dengan skor 50

dan Denmark menjadi negara yang paling sedikit kasus korupsinya, dengan skor

tertinggi yakni 91.4

Untuk memberantas kasus korupsi yang semakin meluas dan

membahayakan ini maka perlu adanya penegakan hukum pidana yang serius

1 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.1

2Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta:

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994), h.42

3 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni 1977), h.127

4https://dzikiarasdw.wordpress.com/2013/12/03/indonesia-ranking-114-negara-terkorup-

di-dunia/ diakses terakhir pada hari Jumat, 26 Januari 2018 pada pukul 13.42 WIB

Page 9: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

2

oleh aparat penegak hukum. Adapun arah kebijakan dalam penanggulangan

(pencegahan dan pemberantasan) tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui

beberapa hal diantaranya yaitu; penerapan konsep atau pendekatan keadilan

restoratif (restorative justice) bagi justice collaborator5dan whistle blower6 dalam

perkara tindak pidana korupsi dan perlindungan justice collaborator dalam sistem

peradilan pidana nasional.

Pada konsepnya justice collaborator sebagaimana yang terdapat dalam

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

menyatakan bahwa justice collaborator tetap dipidana diberikan penanganan

khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang

diberikan.

Pidana penjara bukan sekedar pidana tentang pengekangan kebebasan

bersikap tindak melainkan lembaga yang mampu mengubah pola perilaku

narapidana dengan mengacu kepada jenis tindak pidana yang dilakukannya.7

Sanksi pidana bukan merupakan tujuan akhir melainkan merupakan sarana

untuk mencapai tujuan hukum pidana yang sesungguhnya.8

Lembaga pemasyarakatan adalah tempat melakukan kegiatan

pembinaan terhadap narapidana dengan sistem pemasyarakatan yang telah

dicanangkan oleh Sahardjo sejak tahun 1964. Undang-undang Nomor 12 Tahun

1995 Tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa hak narapidana adalah

mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).9

5Justice collaborator adalah orang yang terlibat dalam suatu tindak kejahatan terorganisir

yang melibatkan lebih dari dua orang maka dari itu kejahatan ini sangat sulit dibuktikan, dan oleh

sebab itu orang yang menjadi justice collaborator adalah individu yang sangat penting karena

dapat membongkar suatu kejahatan dan tentunya dapat menyediakan bukti guna menyeret pelaku

utama dan tersangka lainnya. Lihat River Yohanes Manalu, “Justice Collaborator dalam Tindak

Pidana Korupsi”, Lex Crimen Vol. IV/No.1/Jan-Mar/2015, h.161, Portal Garuda, situs web,

diakses pada 29 Januari 2018 pada pukul 20.21

6Whistle blower adalah pembocor rahasia atau pengadu. Lihat Mardjono Reksodiputro,

“Pembocor Rahasia/Whistle Blowers dan Penyadapan (Wiretapping, Electronic Interception)

dalam Menanggulangi Kejahatan di Indonesia”, (Jakarta: Wacana Goverminyboard, 2012), h. 13.

Lihat http://erepo.unud.ac.id/10197/1/5de8c0192a219873d742471e405e5b93.pdf, diakses pada

tanggal 2 Maret 2018 pukul 10.15 WIB

7 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1986), h.79

8 S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:

Alumni AH-MPTHM, 1989), h.57

9 Republik Indonesia, Undang-undang Tentang Sistem Pemasyarakatan,UU No. 12 Tahun

1995, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3614, Pasal

14 Ayat (1) Huruf i.

Page 10: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

3

Dengan terbit dan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun

2012 disoroti adanya perubahan yang mencolok dalam persyaratan

mendapatkan remisi terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana

terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan

terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta

kejahatan transnasional terorganisasi lainnya. Salah satu persyaratan yang harus

dipenuhi adalah bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu

membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan. Bekerjasama yang dimaksud

adalah bersedia menjadi seorang justice collaborator. Masyarakat mulai

merasakan syarat pemberian remisi tidaklah efektif dan sejalan dengan sistem

pemasyarakatan serta menimbulkan diskriminasi bagi narapidana serta

menimbulkan dampak yang tidak baik bagi pengendalian manajemen sistem

pemasyarakatan yang ada.

Pandangan lainnya mengenai pengetatan pemberian remisi yaitu

bukanlah untuk menghilangkan hak terpidana mendapatkan remisi, akan tetapi

merupakan hal yang wajar. Pengetatan pemberian remisi perlu dilakukan bagi

terpidana korupsi, karena pelaku kejahatan korupsi tanpa persyaratan

merupakan langkah kemunduran dalam penegakan hukum.

Usulan revisi pun muncul dari Yasonna Laoly selaku Menteri Hukum dan

Hak Asasi Manusia yang utamanya adalah tertuju pada para pelaku narkotika,

korupsi, serta terorisme yang sangat banyak memenuhi lembaga

pemasyarakatan. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap narapidana apapun,

karena terpidana korupsi, narkotika dan terorisme juga merupakan manusia yang

memiliki hak yang sama.

Perlu adanya keterbukaan dalam hal pemberian remisi terhadap

narapidana tindak pidana korupsi, yang bersedia menjadi justice collaborator.

Mengingat ketentuan remisi tersebut mempunyai suatu aspek yang sangat luas,

sehingga perlu diselaraskan dengan aspek yuridis, filosofis, sosiologis, dan

manajemen pemasyarakatan. Hal inilah melatarbelakangi penulisan skripsi ini,

sehingga mengangkat dan membahasnya dalam bentuk skripsi dengan judul:

Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Koruptor Yang Berkedudukan Sebagai

Justice Collaborator.

Page 11: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

4

II.PEMBAHASAN

A. PERKEMBANGAN PENGATURAN PEMBERIAN HAK REMISI DI

INDONESIA

A.1. Hak-hak Narapidana Menurut Sistem Pemasyarakatan

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 merumuskan bahwa lembaga

pemasyarakatan (LAPAS) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan

Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Selama di lembaga

pemasyarakatan, warga binaan pemasyarakatan tetap memperoleh hak-

haknya yang lain sama seperti layaknya manusia. Untuk mewujudkan sistem

pemasyarakatan, maka secara tegas Undang-undang Nomor 12 Tahun

1995 Pasal 14 mengatur ketentuan tentang hak-hak yang dimiliki oleh

narapidana, yaitu sebagai berikut:

1) Narapidana berhak:

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan

b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani ataupun jasmani

c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak

e. Menyampaikan keluhan

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa

lainnya yang tidak terlarang

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan

h. Menerima kunjungan keluarga penasihat hukum atau orang tertentu

lainnya

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi

keluarga

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat

l. Mendapatkan cuti menjelang bebas

m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku

2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak

Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah.

Narapidana berhak mendapatkan hak-hak lain selama dalam

lembaga pemasyarakatan. Hak-hak lain yang dimaksud adalah hak

politik, hak memilih, dan hak keperdataan lainnya. Masyarakat kurang

menaruh minat terhadap proses kembalinya seseorang bekas narapidana

Page 12: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

5

dilingkungannya.10 Sikap masyarakat yang memojokkan bekas

narapidana dengan menganggap mereka sebagi sampah masyarakat,

memberi kesan seolah-olah masyarakat tidak pernah melakukan

kejahatan. Bagaimanapun para narapidana tersebut adalah warga negara

Indonesia yang patut kita perhatikan dan berikan dukungan moral dan

materiil agar bisa menjalani hidupnya sebagaimana mestinya.

A.2. Hak Remisi Kaitannya Dengan Sistem Pemasyarakatan

Meskipun posisi aspek pemasyarakatan terletak di akhir proses

Sistem Peradilan Pidana (SPP), namun dalam tataran teknis operasional

lembaga pemasyarakatan (LAPAS) sudah berperan sejak tahap awal

proses peradilan (pra-adjudikasi) yang dilakukan oleh lembaga Rumah

Tahanan (Rutan), Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan), dan

Balai Persinggahan (Bapas).

Pembinaan terhadap warga binaan (narapidana) oleh lembaga

pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian dalam sistem peradilan

pidana terpadu (the intergrated criminal justice system). Sistem peradilan

pidana dimulai dari penyidikan dari penyidik, penuntutan oleh penuntut

umum, pemeriksaan dan penjatuhan pidana oleh pengadilan, dan

pembinaan oleh lembaga pemasyarakatan. Tujuan akhir dari pembinaan

di lembaga pemasyarakatan adalah untuk mengubah perilaku narapidana

(yang semula jahat dan tersesat), menjadi orang yang baik.

Salah satu hak narapidana berdasarkan Undang-undang Nomor 12

Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan adalah tentang hak Remisi. Di

dalam Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Syarat

dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas,

dan Cuti Bersyarat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan remisi

adalah pengurangan menjalani masa pidana yang diberikan kepada

narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat yang ditentukan

dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Remisi tidak dapat

dipisahkan dengan tujuan dan fungsi sistem pemasyarakatan yang ada di

Indonesia.

10 Romli Atmasasmita, Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, (Bandung: Armico,

1982), h.57

Page 13: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

6

Sebagaimana yang dikemukakan oleh R.M. Jackson yang dikutip

oleh Barda Nawawi Arief, bahwa pidana penjara termasuk jenis pidana

yang relatif kurang efektif.11 Mengingat penerapan pidana penjara yang

kurang efektif tersebut, maka dibentuk ketentuan-ketentuan agar

narapidana yang sedang menjalani pidana penjara namun dianggap

sudah dapat menjadi lebih baik atau telah mampu terbina agar

mendapat pemotongan-pemotongan masa tahanan, sehingga mampu

terintegrasi kembali ke lingkungan sosialnya.

Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012,

syarat-syarat bagi seorang narapidana untuk mendapatkan keringanan

hukuman dan/atau pembebasan bersyarat menjadi lebih diperketat,

sehingga tidak mudah untuk keluar dari dalam lembaga

pemasyarakatan. Remisi di masa ini memainkan peran yang amat sentral

dan penting dalam manajemen lembaga pemasyarakatan, terutama

dalam mempengaruhi tingkat kondusivitas narapidana di dalam

lembaga pemasyarakatan.

Situs resmi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mencatat bahwa;12

Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya 6 (enam) provinsi yang lembaga

pemasyarakatannya tidak melebihi kapasitas. Sedangkan 28 provinsi lain

memiliki catatan merah untuk kelebihan jumlah narapidana dibanding

kapasitas lapas. Di antara 28 provinsi itu, ada 5 (lima) provinsi yang

kelebihan kapasitasnya paling tinggi. Dari paparan diatas terlihat jelas

bahwa hubungan antara sistem peradilan pidana dengan sistem

pemasyarakatan merupakan suatu mata rantai yang pada dasarnya

tidaklah putus, dimana remisi merupakan salah satu instrumen yang

dapat mengendalikan keadaaan lembaga pemasyarakatan.

A.3. Perkembangan Pengaturan Pemberian Hak Remisi Terhadap

Narapidana di Indonesia

Banyak peraturan remisi yang telah dicabut dan digantikan

keberadaannya dengan aturan baru yang dianggap lebih sesuai dengan

11 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan

Pidana Penjara, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), h. 44

12https://www.merdeka.com/peristiwa/penjara-mengkhawatirkan-477-lapas-rutan-diisi-

192767-napi.html, diakses pada Selasa, 13 Maret 2018, pukul 22.00 WIB

Page 14: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

7

kondisi sosial dan struktur hukum yang terjadi. Berikut ini adalah beberapa

peraturan mengenai remisi sejak zaman Belanda, diantaranya yaitu:

a) Guovernementbesluit tanggal 10 Agustus 1935 Nomor 23 tentang

Remissieregeling (Bijblad pada Staatsblaad Nomor 13515) yang

diubah dengan Gouvernementbesluit tanggal 9 Juli 1941 Nomor

12 (Bijblad pada Staatsblad Nomor14583) dan 26 Januari 1942

Nomor 22 tentang perubahan Gouvernementbesluit tanggal 10

Agustus 1935 Nomor 23 tentang Remissieregeling.

b) Keputusan Presiden Nomor 156 tanggal 19 April 1950 yang

termuat dalam Berita Negara Nomor 26 tanggal 28 April 1950 jo.

Peraturan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1946 dan Peraturan

Menteri Kehakiman RI Nomor G.8/106 tanggal 10 Januari 1947 jo.

Keputusan Presiden RI No. 120 Tahun 1955, tanggal 23 Juli 1955

Tentang Ampunan Istimewa.

c) Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1987 jo. Keputusan Mneteri

Kehakiman RI Nomor 01 HN.02.01 Tahun 1987 tentang

Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1987,

Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor 04.HN.02.01 Tahun

1988 tanggal 14 Mei 1988 tentang Tambahan Remisi Bagi

Narapidana yang Menjadi Donor Organ Tubuh dan Donor Darah

dan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor 03. HN.02.01 Tahun

1988 tanggal 10 Maret 1988 tentang Tata Cara Permohonan

Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana

Penjara Sementara berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5

Tahun1987.

d) Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 jo. Keputusan

Menteri Hukum Keputusan Presiden Nomor M.09.HN.02.01 Tahun

1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor174 Tahun

1999, Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan

Nomor M.10.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelimpahan

Wewenang Pemberian Remisi Khusus.

Page 15: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

8

Berikut ini adalah ketentuan dan perubahan yang terjadi dalam

perkembangan peraturan pemerintah:13

1. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata

Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

Pengaturan mengenai remisi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32

Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga

Binaan Pemasyarakatan Pasal 1 Ayat (6) dan Pasal 34 Ayat (1), (2), dan

(3) ini diatur dalam bagian kesembilan dan Pasal 34, yang menyatakan

bahwa:

a. Setiap narapidana dan anak pidana yang selama menjalani masa

pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi.

b. Remisi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat ditambah,

apabila selama menjalani pidana, yang bersangkutan:

1) Berbuat jasa kepada negara

2) Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau

kemanusiaan

3) Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan Lapas

c. Ketentuan untuk mendapatkan remisi sebagaimana dimaksud dalam

Ayat (1) dan Ayat (2) berlaku juga bagi narapidana dan anak pidana

yang menunggu grasi sambil menjalani pidana.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Syarat dan Tata

Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Terjadi perubahan mengenai ketentuan Pasal 34 Peraturan

Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 yang diubah sehingga berbunyi

sebagai berikut:

a. Setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi.

b. Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada

narapidana dan anak pidana apabila memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

1) Berkelakuan baik; dan

2) Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.

13 Eva Achjani Zulfa, Anugerah Rizki Akbari, dan Zakky Ihksan Samad, Perkembangan

Sistem Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan, Ed.1, Cet.1, (Depok: Rajawali Pers, 2017),

h.113-122

Page 16: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

9

c. Bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana

terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap

keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan

kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi apabila

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Berkelakuan baik; dan

2) Telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.

d. Remisi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan kepada

narapidana dan anak pidana apabila memenuhi persyaratan

melakukan perbuatan yang membantu kegiatan Lapas.

Selanjutnya diantara Pasal 34 dan Pasal 35, dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 ini disisipkan 1 (satu) pasal baru,

yakni Pasal 34A yang menyatakan sebagai berikut:

1) Remisi bagi narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat

(3) diberikan oleh menteri setelah mendapat pertimbangan dari

Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

2) Pemberian remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (1)

ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Berdasarkan hal diatas terlihat bahwa terjadi dinamika dan

pengembangan dari ketentuan mengenai cara mendapatkan remisi

khususnya bagi terpidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi,

kejahatan terhadap keamanan negara, dan kejahatan hak asasi manusia

yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata

Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

Perubahan yang terjadi sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan

Pasal 34 yang diubah kembali sehingga berbunyi sebagai berikut:

a. Setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi.

b. Remisi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat diberikan kepada

narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat:

1) Berkelakuan baik; dan

2) Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.

c. Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada Ayat (2)

huruf a dibuktikan dengan:

Page 17: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

10

1) Tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6

(enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian

remisi; dan

2) Telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh

Lapas dengan predikat baik.

Selanjutnya mengenai ketentuan Pasal 34A diubah sehingga

berbunyi sebagai berikut:

a. Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan

tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika,

psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan

hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional

terorganisasi lainnya. Selain harus memenuhi persyaratan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi

persyaratan:

1) Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu

membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.

2) Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan

putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena

melakukan tindak pidana korupsi.

3) Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan

oleh Lapas dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,

serta menyatakan ikrar:

a) Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara

tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia.

b) Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme

secara tertulis bagi narapidana Warga Negara Asing, yang

dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.

b. Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika

dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada

Ayat (1) hanya berlaku terhadap narapidana yang dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

c. Kesediaan untuk bekerja sama sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)

huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi

penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 18: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

11

Terdapat dua aspek yang sangat penting yang dianggap sebagai

suatu perubahan mencolok terhadap narapidana yang dipidana karena

melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika,

psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan

hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional

terorganisasi lainnya, yaitu:

a. Ketentuan mengenai bersedia bekerjasama dengan penegak hukum

untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang

dilakukan.Tidak lain yaitu harus bersedia menjadi justice collaborator.

b. Ketentuan harus terlebih dahulu membayar lunas uang denda dan

uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. Ini merupakan

syarat tambahan khusus bagi narapidana korupsi. Yang mana

terpidana korupsi harus terlebih dahulu membayar uang pengganti

yang telah dijatuhkan dan ditetapkan oleh pengadilan atas tindak

pidana korupsi yang dilakukannya.

Adanya dinamika perkembangan serta perubahan paradigma

pemidanaan, dan sistem pemasyarakatan merupakan suatu hal yang

tidak dapat dipisahkan dari sejarah ketentuan pemberian remisi. Dahulu

pemidanaan masih berorientasi pada backward looking (berorientasi pada

aspek pembalasan dendam belaka) menjadi forward looking (melihat

tujuan dan manfaat pemidanaan/hukuman ke depannya untuk apa dan

bagaimana implikasinya bagi pelaku, korban, dan masyarakat). Begitu

juga dengan pergeseran sistem kepenjaraan menjadi sistem

pemasyarakatan berimplikasi pada perubahan struktur, pola, dan tujuan

yang ingin diterapkan serta dicapai didalam sistem tersebut.

Perubahan-perubahan yang terjadi cukup signifikan tersebut, banyak

menimbulkan perdebatan diberbagai kalangan yang ada. Mengenai

pemberian remisi terhadap narapidana narkotika dan korupsi yang

menjadi dasar sorotan dan pro-kontra dari berbagai kalangan masyarakat

di Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 terus saja

mengalami perdebatan dan pergejolakan mengenai pemberlakuan serta

akibat dari pemberlakuannya.

Page 19: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

12

B. PEMBERIAN HAK REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR

DALAM KAITANNYA SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR

B.1. Peran Justice Collaborator Dalam Pengungkapan Tindak Pidana

Pada tahun 1970-an untuk pertama sekali di Amerika Serikat

memperkenalkan Undang-undang yang memfasilitasi kerja sama saksi

pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dengan penegak.

Fasilitasi tersebut tak lain untuk menghadapi para mafia, yang sejak lama

telah menerapkan omerta (sumpah tutup mulut sekaligus merupakan

hukum tertua dalam dunia Mafioso Sisilia).14Keterangan saksi merupakan

alat bukti persidangan yang berguna dalam mengungkap duduk

perkara suatu peristiwa tindak pidana korupsi, kemudian akan

dijadikan salah satu dasar pertimbangan hakim untuk menentukan

terbukti atau tidaknya perbuatan terdakwa serta kesalahannya. Saksi

dapat menyatakan kejadian apa yang sebenarnya terjadi, sehingga lebih

mudah diungkap kebenarannya.

Pemerintah harus menyadari sepenuhnya bahwa pengungkapan tabir

suatu tindak pidana apalagi suatu tindak pidana yang transaksional dan

terorganisir membutuhkan peran dari berbagai pihak terutama saksi itu

sendiri, bahkan dapat dikatakan saksi memiliki peran penting dan serius

dalam membongkar suatu tindak kejahatan yang serius. Terutama tindak

pidana korupsi yang merupakan suatu tindak pidana yang berkembang

dan bergerak semakin terpola dan sistematis, yang mana lingkupnya juga

telah menyentuh keseluruhan aspek kehidupan masyarakat dari lintas

batas negara

Konsep justice collaborator di Indonesia tidak diatur secara tegas.

Definisi pada penjelasan Pasal 10 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006

Perlindungan Saksi dan Korban (UUPSK) memang ada kemiripan antara

istilah justice collaborator dan “pelapor” bahkan di dalam wacana yang

berkembang akhir-akhir ini konsep justice collaborator juga dikaitkan

dengan saksi yang berasal dari kelompok pelaku, misalnya kasus Agus

Condro dan kasus M. Nazarudin.

14

Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower&Justice Collaborator Dalam Upaya

Penanggulangan Organized Crime, PT Alumni, Bandung, 2015, h.3-5

Page 20: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

13

Oleh karena itu di Indonesia sebenarnya lebih cenderung

mengadopsi konsep protection of cooperating person dibandingkan

dengan konsep justice collaborator. Dalam persidangan perkara pidana,

hukum pembuktian sangat penting dalam membuktikan kesalahan

perkara di sidang pengadilan. Salah satu alat bukti yang sah dalam

proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang

mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak

pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.

Potret buram korupsi senantiasa ditandai banyaknya kasus korupsi

yang diungkap namun seringkali tidak tuntas dalam pengungkapannya.

Istilah tentang justice collaborator kerap muncul dalam penanganan

kasus tindak pidana korupsi, dengan adanya justice collaborator,

pengungkapan kasus tindak pidana korupsi akan semakin mudah.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 4

Tahun 2011, memberikan pedoman untuk menentukan seseorang

sebagai justice collaborator, yaitu:

a) Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana

tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini (terorisme, korupsi,

narkotika, dll) mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku

utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan

sebagai saksi didalam proses peradilan.

b) Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang

bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang

sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat

mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif,

mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar

dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.

Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang

bekerjasama sebagaimana yang dimaksud diatas. Hakim dalam

menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-

hal penjatuhan pidana berupa menjatuhkan pidana percobaan bersyarat

khusus dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling

Page 21: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

14

ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara

dimaksud.15

B.2. Hak Remisi Terhadap Justice Collaborator

Justice collaborator memang berperan penting sebagai alat dalam

melawan kejahatan terorganisir yang mana metode kerja dalam sistem

hukum pidana yang ada menunjukkan kelemahan-kelemahan karena

seringkali belum mampu mengungkap, melawan, dan memberantas

berbagai kejahatan terorganisir.

Realita yang terjadi di dalam sistem peradilan Indonesia justru

sebaliknya, dimana kemudian seorang justice collaborator tetap

mendapatkan hukuman yang sama. Kasus Agus Condro yang tetap

mendapatkan hukuman yang sama walaupun telah menjadi saksi pelapor

dan mengungkap adanya kasus suap cek pelawat yang melibatkan

banyak aktor utama dalam tindak pidana tersebut.

Pada September 2017 Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi

menerima pengajuan justice collaborator dari terdakwa kasus dugaan

korupsi E-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong. Setelah melalui

pertimbangan dan kajian pada akhirnya tanggal 5 Desember 2017,

Komisi Pemberantasan Korupsi secara resmi menyematkan status justice

collaborator pada Andi Agustinus alias Andi Narogong.

Pada tanggal 12 November 2012 setelah kurang lebih 6 tahun

berlaku ketentuan mengenai perubahan pertama Peraturan Pemerintah

Nomor 32 Tahun 1999. Pemerintah merevisinya kembali dengan

menerbitkan dan memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun

2012 sebagai perubahan kedua dari Peraturan Pemerintah Nomor 32

Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga

Binaan Pemasyarakatan.

Status justice collaborator diberikan penuntut umum maupun penyidik

kepada terdakwa maupun tersangka yang membantu proses penyidikan

hingga penuntutan supaya pelaku yang menjadi “korban” atau bukan

merupakan pelaku utama mau memberi keterangan yang bisa

15

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor

Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator) di

dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Page 22: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

15

meringankan hukumannya sekaligus mengungkap pelaku lain dalam

kasus korupsi yang menjeratnya.16 Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia, Yasonna Laoly mengatakan bahwa setia narapidana adalah

manusia dan mempunyai hak yang sama, termasuk terpidana kasus

korupsi. Sistem pemidanaan terhadap narapidana tidak boleh membuat

seseorang menjadi kehilangan harapan hidup. Sejalan juga dengan

sistem pemasyarakatan dilakanakan berdasarkan asas pengayoman,

persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan,

penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan

merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap

berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

C.2. Pemberian Hak Remisi Terhadap Narapidana Sebagai Justice

Collaborator Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi.

Melihat maraknya kasus korupsi tentunya sangat berdampak dengan

lembaga pemasyarakatan yaitu narapidana koruptor yang semakin memenuhi

lembaga pemasyarakatan, ditambah lagi dengan pengetatan syarat pemberian

remisi terhadap narapidana koruptor. Dimana oleh sebagian kalangan

mereka menganggap bahwa dengan adanya revisi ini maka akan menurunkan

semangat pemberantasan korupsi.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas pantauan

kasus korupsi pada Januari 2016 hingga Juni 2016 para peneliti

merekomendasikan, “Pengadilan harus pula mempertimbangkan untuk

mencabut hak mendapatkan remisi jika terdakwa bukanlah

seorang justice collaborator.” Dijelaskan dengan ketika seseorang

dihukum selama 10 tahun, harus menjalankan waktu selama 10 tahun itu

dengan sebaik-baiknya. Jadi ketika tahun ke-10, sudah bebas dan

menjadi orang yang sudah jera melakukan kejahatan dan tidak

melakukan itu lagi.Dengan mengurangi hukuman tentu juga akan

menghilangkan efek jera yang sudah diberikan. Kalau misalnya 2 (dua)

16

https://www.rappler.com/indonesia/144954-pro-kontra-wacana-remisi-koruptor,

diakses pada Rabu 14 Maret 2018, pukul 11.33 WIB

Page 23: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

16

tahun dihukum pengadilan rendah, kemudian diberikan remisi lagi apakah

narapidana akan akan mendapat efek jera? Tentu tidak.17

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan focus group

discussion (FGD) dengan kalangan akademisi, Lembaga Swadaya

Masyarakat, dan media di seluruh Indonesia. Ternyata, kata Yasonna,

semua bersepakat agar dilakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah

Nomor 99 Tahun 2012.18 Dalam hal ini ada terdapat 2 opsi yang

disiapkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Opsi

pertama, berdasarkan Pasal 32 draf revisi Peraturan Pemerintah Nomor

99 Tahun 2012, narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi,

terorisme, dan narkotika diberikan remisi dengan dua syarat pokok, yakni

berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidananya. Opsi

kedua, apabila presiden menolak opsi pertama maka diambil jalan tengah

dari rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, yaitu

penghapusan syarat justice collaborator, tidak diberikan kepada semua

pelaku kejahatan luarbiasa. Hanya bagi narapidana narkoba dan

terorisme dulu, sedangkan untuk korupsi jangan dulu. Yasonna Laoly juga

menambahkan, penghilangan justice collaborator akan diberikan atau

diprioritaskan lebih dulu kepada penyalahgunaan narkotika.

Dalam FGD tersebut, sepertinya forum lebih sepakat kepada opsi yang

kedua sebagaimana dijelaskan diatas, dimana dicapai kesepakatan diawal

bahwa khusus untuk pengetatan remisi terhadap kasus korupsi, forum

semuanya sepakat remisi koruptor harus ketat.19

Jika ditelaah lebih lanjut

bahwa terkait narapidana korupsi yaitu sebagai berikut: Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia pada dasarnya setuju terhadap pemberian

hukuman berat kepada setiap koruptor, dan setuju terhadap persepsi

hukuman berat dapat memberikan efek jera kepada para koruptor.

17 Jennifer Sidharta, “Pro kontra wacana remisi untuk koruptor“,https:/www.

rappler.com/indonesia/144954-pro-kontra-wacana-remisi-koruptor, diakses pada tanggal 7

Februari 2018, Pukul 22.27 WIB

18

RFQ, “Kemenkumham Diminta Cabut PP Pengetatan Remisi: Menkumham berdalih

pencabutan Peraturan Pemerintah mesti melalui prosedur

panjang”,http://www.hukumonline.com/berita/baca/kemenkumham-diminta-cabut-pp-pengetatan-

remisi, diakses pada tanggal 07 Februari 2018, pukul 22.30 WIB

19 Andi Saputra, https://news.detik.com/berita/d-3306528/klimaks-polemik-revisi-pp-99-

dan-harga-mati-untuk-pengetatan-remisi-koruptor, diakses pada tanggal 6 Maret 2018, pukul

12.00 WIB

Page 24: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

17

Namun, pengenaan efek jera dengan hukuman yang setimpal itu harus

dilaksanakan pada tatanan yuridis yang tepat, yaitu utamanya di tahap

pra ajudikasi dan ajudikasi. Jaksa atau Penuntut umum harus berani

menuntut hukuman seberat-beratnya kepada koruptor, dan Hakim Tipikor

harus punya keberanian menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada

koruptor.20

Para ahli hukum pun sepakat memperlonggar syarat remisi terpidana

narkoba, tapi tak berlaku untuk gembong narkoba. Salah satu tujuannya

yaitu mengurangi kelebihan penghuni lembaga pemasyarakatan. "Saya

setuju Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 direvisi, tapi tidak

setuju untuk pengedar dan produsen narkoba," kata guru besar Ilmu

Hukum Pidana, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof I

Nyoman Serikat Putra Jaya.

Donal yang hadir mewakili ICW menilai revisi Peraturan Pemerintah

Nomor 99 Tahun 2012 tanpa mengikutkan terpidana korupsi, merupakan

langkah tepat. "Tidak bisa dipungkiri, justice collaborator kini jadi barang

dagangan, seakan justice collaborator ada harganya. Revisi Peraturan

Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tanpa menyertakan terpidana korupsi,

merupakan langkah moderat. Bila ini yang dibahas dari dulu (tanpa

melibatkan terpidana korupsi), sudah jadi ini barang," ujar Donal pakar

hukum Universitas Gajah Mada.21

Pengaturan kebijakan remisi haruslah dikembalikan kepada

hakikatnya yang ada dengan tidak boleh dibiarkan mengingkari atau

menyimpangi filosofi, desain dan tujuan utama dari sistem

pemasyarakatan yang berlaku. Sehingga dapat dijadikan landasan yang

baik serta komprehensif dalam penyusunan kebijakan pemberian remisi

yang akan datang.

20 Eva Achjani Zulfa, Anugerah Rizki Akbari, dan Zakky Ikhsan Samad, Op.Cit., h.136-

137

21https://news.detik.com/berita/3480456/ahli-hukum-sepakat-perlonggar-remisi

terpidana-narkoba, diakses pada Rabu,14 Maret 2018, pukul 12.26 WIB

Page 25: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

18

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian-uraian diatas, maka kesimpulan yang dapat

dikemukakan terkait dengan pembahasan jurnal ini adalah sebagai berikut:

1. Banyak peraturan remisi yang telah dicabut dan digantikan keberadaannya

dengan aturan baru yang dianggap lebih sesuai dengan kondisi sosial dan

struktur hukum yang terjadi. Sudah banyak peraturan-peraturan pelaksana

dan teknis yang dikeluarkan sejak diberlakukannya undang-undang

pemasyarakatan tersebut, yaitu; Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun

1999, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, dan terakhir Peraturan

Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.

2. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, justice collaborator tetap

memperoleh perlindungan keamanan dan pemenuhan hak-haknya. Dalam

draf revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 ketentuan justice

collaborator sebagai salah satu syarat utama mendapatkan remisi bagi

pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika juga akan

dihilangkan. Namun, penghapusan itu bukan berarti akan menghilangkan

fungsi atau keberadaan mengenai justice collaborator, melainkan

diharapkan justice collaborator bisa diatur dalam peraturan lain yang

tersendiri.

B. Saran

Beberapa saran yang dapat dikemukakan terkait dengan jurnal ini adalah

sebagai berikut:

1. Perlu adanya pertimbangan hukum yang kuat dalam hal terjadinya

perubahan terhadap suatu peraturan mengenai pemberian remisi

terhadap narapidana. Bagaimana pun juga narapidana harus dimudahkan

dalam mendapatkan remisi karena bukan lagi untuk menjadikan hukuman

sebagai pembalasan terhadap narapidana akan tetapi dapat berubah

menjadi manusia yang lebih baik lagi dari sebelumnya dan tidak

mengulangi kesalahan yang sama. Dalam membentuk sebuah regulasi

yang baru harus tetap sejalan dengan aturan pelaksananya sehingga

tidak menimbulkan pertentangan dalam pelaksanaannya.

Page 26: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

19

2. Seseorang yang berkedudukan sebagai justice collaborator dalam kasus

Tindak Pidana Korupsi memang menuai banyak kontroversi ditambah lagi

dalam pemberian remisi memasukkan justice collaborator sebagai salah

satu syarat. Maka perlu adanya peninjauan dan pembahasan kembali

terhadap peraturan pemerintah tentang syarat dan tata cara pemberian

remisi ini. Adanya rencana revisi peraturan pemerintah hendaknya benar-

benar melihat urgensi kedudukan justice collaborator tersebut khususnya

dalam kasus tindak pidana korupsi apakah sudah pantas menerima

remisi ketika sudah bersedia bekerjasama dengan penegak hukum dalam

membongkar suatu tindak pidana.

3. Perlu adanya keterbukaan ketika sudah memberikan remisi terhadap

justice collaborator dalam kasus tindak pidana korupsi. Agar semua orang

dapat melihat narapidana yang mendapatkan remisi dan yang tidak

mendapatkannya, beserta keterangan jumlah tahunnya. Dengan adanya

remisi “online” dapat membuat proses pengurangan masa hukuman lebih

terbuka sehingga tidak ada prasangaka tentang remisi yang bisa dibeli.

Masyarakat pun tidak lagi menaruh rasa curiga karena keterbukaan

informasi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Page 27: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

20

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Arief, Barda Nawawi, 2010, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan

Kejahatan Dengan Pidana Penjara,Yogyakarta: Genta Publishing

Atmasasmita, Romli, 1982, Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai,

Bandung: Armico

Hartanti, Evi, 2012. Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar

Grafika

Mulyadi Lilik, 2015, Perlindungan Hukum Whistle blower & Justice

Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, Bandung: PT

Alumni.

Sianturi, S.R., 1989. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Jakarta: Alumni AH-MPTHM

Sudarto, 1977. Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni

Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni

Zulfa, Eva Achjani, 2017, Anugerah Rizki Akbari, dan Zakky Ihksan

Samad, Perkembangan Sistem Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan, Ed.1,

Cet.1, Depok: Rajawali Pers.

Jurnal/Tesis/Disertasi/Artikel

Manalu, River Yohanes, “Justice Collaborator dalam Tindak Pidana

Korupsi”, Lex Crimen Vol. IV/No.1/Jan-Mar/2015. Portal Garuda: Jakarta, 2015

Reksodiputro Mardjono, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan

Kejahatan, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas

Indonesia: Jakarta, 1994

Internet

Andi Saputra, https://news.detik.com/berita/d-3306528/klimaks-polemik-

revisi-pp-99-dan-harga-mati-untuk-pengetatan-remisi-koruptor

https://www.rappler.com/indonesia/144954-pro-kontra-wacana-remisi-

koruptor.

https://www.merdeka.com/peristiwa/penjara-mengkhawatirkan-477-lapas-

rutan-diisi-192767-napi.html.

Page 28: PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG

21

http://erepo.unud.ac.id/10197/1/5de8c0192a219873d742471e405e5b93.p

df,

https://dzikiarasdw.wordpress.com/2013/12/03/indonesia-ranking-114-

negara-terkorup-di-dunia/

https://news.detik.com/berita/3480456/ahli-hukum-sepakat-perlonggar-

remisi terpidana-narkoba.

Jennifer Sidharta, “Pro kontra wacana remisi untuk koruptor“,https:/www.

rappler.com/indonesia/144954-pro-kontra-wacana-remisi-koruptor

RFQ, “Kemenkumham Diminta Cabut PP Pengetatan Remisi:

Menkumham berdalih pencabutan Peraturan Pemerintah mesti melalui prosedur

panjang”,http://www.hukumonline.com/berita/baca/kemenkumham-diminta-cabut-

pp-pengetatan-remisi.

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-undang Tentang Sistem

Pemasyarakatan,UU No. 12 Tahun 1995, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor

77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3614, Pasal 14 Ayat (1) Huruf i.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan

Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja

Sama (justice collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.