Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG
BERKEDUDUKAN SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR
J U R N A L
Oleh :
YUNITA OCTAVIA SIAGIAN
140200495
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG
BERKEDUDUKAN SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR
J U R N A L
Oleh :
YUNITA OCTAVIA SIAGIAN
140200495
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan,S.H.,M.H
NIP. 195703261986011001
Editor
Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S
NIP 196303311987031001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
CURRICULUM VITAE
A. IDENTITAS DIRI
1. Nama Lengkap Yunita Octavia Siagian
2. NIM 140200495
3. Tempat/Tanggal Lahir
P. Siantar, 20 Oktober 1995
4. Jenis Kelamin Perempuan
5. Anak Ke 3 (tiga) dari 4 (empat) Bersaudara
6. Agama Kristen Protestan
7. Fakultas Hukum
8. Program Studi Ilmu Hukum
9. Departemen Hukum Pidana
10. Alamat Jl. Harmonika No. 46 Pasar 1, Padang Bulan, Medan
11. Alamat e-mail [email protected]
A. RIWAYAT PENDIDIKAN
Jenjang Nama Institusi Pendidikan
Tahun Masuk
Tahun Lulus
Jurusan/Bidang Studi
SD SD Hidup Baru Batam 2001 2007 -
SMP SMP Negeri 9 Batam 2007 2010 -
SMA SMA Negeri 5 Batam 2010 2013 IPS
STRATA 1 (S1)
Universitas Sumatera Utara
2014 2018 Hukum/Ilmu Hukum
B. RIWAYAT ORGANISASI
Nama Organisasi Bidang Organisasi
Jabatan Periode
1. UKM KMK UP. FH USU
Rohani Kristen
Anggota 2014 – 2018
2. PERKUMPULAN GEMAR BELAJAR (GEMBEL) FH USU
Badan Hukum Dengan Bentuk
Perkumpulan
Anggota 2014 – sekarang
3. PERKUMPULAN GEMAR BELAJAR (GEMBEL) FH USU
Badan Hukum Dengan Bentuk
Perkumpulan
Menteri Kementerian Pendidikan
Pemerintahan X Gembel
2016
4. PERKUMPULAN GEMAR BELAJAR (GEMBEL) FH USU
Badan Hukum Dengan Bentuk
Perkumpulan
Wakil Koordinator
PTT&PubDekDok Musyawarah
Besar V Gembel
2016
5. PERKUMPULAN Badan Hukum Koordinator 2016
GEMAR BELAJAR (GEMBEL) FH USU
Dengan Bentuk
Perkumpulan
Acara GEMBEL Peduli 2016
6. KOMUNITAS PERADILAN SEMU
FAKULTAS HUKUM USU (KPS
FH USU)
Unit Kegiatan Mahasiswa
Dalam Bidang Peradilan Semu dan Kompetisi Peradilan
Semu Tingkat Nasional
Anggota Bidang Keanggotaan
2015-2016
7. KOMUNITAS PERADILAN SEMU
FAKULTAS HUKUM USU (KPS
FH USU)
Unit Kegiatan Mahasiswa
Dalam Bidang Peradilan Semu dan Kompetisi Peradilan
Semu Tingkat Nasional
Steering Committee
Acara Musyawarah
2015-2016
8. KOMUNITAS PERADILAN SEMU
FAKULTAS HUKUM USU (KPS
FH USU)
Unit Kegiatan Mahasiswa
Dalam Bidang Peradilan Semu dan Kompetisi Peradilan
Semu Tingkat Nasional
Manager Team Delegasi KPS FH USU Dalam
Kompetisi Peradilan Semu Pidana Tingkat Nasional Piala Prof. Soedarto VI, Universitas Diponegoro, Semarang
2017
9. IKATAN MAHASISWA
HUKUM PIDANA (IMADANA)
Ikatan Mahasiswa
Jurusan Hukum Pidana
Anggota 2017-2018
C. Kegiatan (Acara) Yang Diikuti
No. Tahun Nama kegiatan/Acara Penyelenggara
1. 2015 Seminar Hukum Ekonomi “Edukasi Hukum Bagi Mahasiswa Dalam Berinvestasi Di Reksadana”
IMAHMI FH USU
2. 2015 Seminar Hari Bumi “Good Earth For Good Future”
MAPALA NATURAL JUSTICE FH USU
3. 2015 Seminar Hukum Laut “Peran Pelabuhan dalam Mewujudkan Keamanan Maritim dan
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia
Keselamatan Navigasi Sesuai Hukum Internasional Serta Pengembangan Pelabuhan Indonesia”
4. 2015 Kompetisi Peradilan Semu Konstitusi Tingkat Nasional Piala Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia&Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
4. 2016 Diskusi Kebangsaan “Penegasan Dan Penguatan
Sistem Presidensiil”
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI)
5. 2017 Seminar “Urgensi Constitutional Complaint di
Indonesia”
PERMATA FH-USU
6. 2017 Kompetisi Peradilan Semu Pidana Tingkat Nasional Piala Prof. Soedarto VI
UPK- PSEUDORECHTSPRAA
K FH UNDIP
PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR YANG BERKEDUDUKAN SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR
Yunita Octavia Siagian* Alvi Syahrin**
Rafiqoh Lubis***
Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Abstrak Tindak pidana korupsi sudah sangat marak, bak jamur di musim hujan. Di Indonesia tindak pidana korupsi sudah mencapai titik kritis. Kehadiran justice collaborator menjadi populer tatkala upaya pemberantasan korupsi membutuhkan terobosan hukum dalam pengungkapan dan penuntasannya. Pokok permasalahan yang diangkat dalam jurnal ini adalah bagaimana perkembangan pengaturan pemberian hak remisi terhadap narapidana di Indonesia dan bagaimana pemberian hak remisi terhadap narapidana koruptor dalam kaitannya sebagai justice collaborator. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder guna memperoleh yang dibutuhkan yakni meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait dengan permasalahan. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan mengatur mengenai bagaimana warga binaan pemasyaratan dibentuk menjadi manusia seutuhnya tanpa mengurangi hak-haknya sebagai manusia. Pelaksanaan pemberian remisi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.Pemberian hak remisi terhadap narapidana yang berkedudukan sebagai justice collaborator dalam kasus tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengalami perubahan yang signifikan dan menjadi lebih ketat dari syarat-syarat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah sebelum mengalami perubahan, yang mana terbilang lebih mudah dalam mendapatkan hak remisi.
Kata Kunci: Pemberian Remisi, Justice Collaborator, Narapidana, Tindak Pidana Korupsi
* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
** Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
*** Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
GRANTING REMISSION TO CONVICTED CORRUPTORS WHO ACT AS JUSTICE COLLABORATORS
Yunita Octavia Siagian*
Alvi Syahrin** Rafiqoh Lubis***
Criminal Law Department, the Faculty of Law, University of Sumatera Utara
Abstract
The criminal act of corruption has been very rampant like mushrooms in the rainy season. The criminal act of corruption in Indonesia has reached a critical point. The presence of Justice collaborator became popular when efforts to eradicate corruption required a legal breakthrough in its disclosure and completion. The main issues raised in the writing of this journal is how the development of the provision of remission rights to convicted corruptors in Indonesia and how the granting of remission rights to convicted corruptors who act as justice collaborator. The research used judicial normative method through the approaches of legal principles which are referred to legal norms obtained from primary and secondary legal materials through library research such as books, and legal provisions, which are relevant to the research problems. The results are presented descriptively to obtain an explanation of the issues discussed. Law No. 12/1995 regulates how prisoners are formed to become complete human beings without prejudice to their rights as human beings. The implementation of remission has been regulated in Government Regulation No. 99/2012.The granting remission to convicted corruptors who act as justice collaborator in cases of corrupt acts that are extra ordinary crime have undergone significant changes and more difficult to obtain remissions than previous government regulations.
Keywords: Granting Remission, Justice Collaborator, Convicted, The Criminal Act of Corruption ______________________ *
Student of the Criminal Law Department, Faculty of Law, University of Sumatera Utara
** Supervisor
I, Lecturer of the Criminal Law Department, Faculty of Law, University of
Sumatera Utara ***
Supervisor II, Lecturer of the Criminal Law Department, Faculty of Law, University of
Sumatera Utara
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bertambah besar volume pembangunan bertambah besar pula
kemungkinan kebocoran. Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan
dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan
kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif terutama
menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat.1
Kejahatan merupakan dampak negatif dari pembangunan ekonomi.2 Korupsi
adalah salah satu kejahatan yang mana perkembangan modusnya akhir-akhir ini
meluas dan semakin canggih. Kategori sebagai kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime) bagi tindak pidana korupsi jelas membutuhkan penanganan luar
biasa (extra ordinary measures/extra ordinary enforcement).
Korupsi merupakan hal yang sangat serius, sehingga selalu mendapat
perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya karena korupsi
sudah terlihat sejak awal di Indonesia. Perkembangan masyarakat dalam usaha
mengisi kemerdekaan telah memperlihatkan gejala-gejala ke arah
penyelewengan yang merupakan perbuatan yang merugikan kekayaan dan
perekonomian negara. Gejala seperti ini pada awalnya jelas kelihatan pada masa
perjuangan fisik untuk mempertahankan republik yang baru diproklamasikan.3
Tindak pidana korupsi sudah sangat marak, bak jamur di musim hujan. Di
Indonesia tindak pidana korupsi sudah mencapai titik kritis, dikarenakan
Indonesia masuk rangking ke-114 dari 177 daftar negara terkorup di dunia. Data
tersebut dirilis situs Transparency Internasional (TI) pada tahun 2013. Dalam
daftar itu, Indonesia yang berada di rangking ke-114 negara terkorup dengan
skor 32. Malaysia sebagai negara tetangga masuk rangking 53 dengan skor 50
dan Denmark menjadi negara yang paling sedikit kasus korupsinya, dengan skor
tertinggi yakni 91.4
Untuk memberantas kasus korupsi yang semakin meluas dan
membahayakan ini maka perlu adanya penegakan hukum pidana yang serius
1 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.1
2Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta:
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994), h.42
3 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni 1977), h.127
4https://dzikiarasdw.wordpress.com/2013/12/03/indonesia-ranking-114-negara-terkorup-
di-dunia/ diakses terakhir pada hari Jumat, 26 Januari 2018 pada pukul 13.42 WIB
2
oleh aparat penegak hukum. Adapun arah kebijakan dalam penanggulangan
(pencegahan dan pemberantasan) tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui
beberapa hal diantaranya yaitu; penerapan konsep atau pendekatan keadilan
restoratif (restorative justice) bagi justice collaborator5dan whistle blower6 dalam
perkara tindak pidana korupsi dan perlindungan justice collaborator dalam sistem
peradilan pidana nasional.
Pada konsepnya justice collaborator sebagaimana yang terdapat dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
menyatakan bahwa justice collaborator tetap dipidana diberikan penanganan
khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang
diberikan.
Pidana penjara bukan sekedar pidana tentang pengekangan kebebasan
bersikap tindak melainkan lembaga yang mampu mengubah pola perilaku
narapidana dengan mengacu kepada jenis tindak pidana yang dilakukannya.7
Sanksi pidana bukan merupakan tujuan akhir melainkan merupakan sarana
untuk mencapai tujuan hukum pidana yang sesungguhnya.8
Lembaga pemasyarakatan adalah tempat melakukan kegiatan
pembinaan terhadap narapidana dengan sistem pemasyarakatan yang telah
dicanangkan oleh Sahardjo sejak tahun 1964. Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 Tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa hak narapidana adalah
mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).9
5Justice collaborator adalah orang yang terlibat dalam suatu tindak kejahatan terorganisir
yang melibatkan lebih dari dua orang maka dari itu kejahatan ini sangat sulit dibuktikan, dan oleh
sebab itu orang yang menjadi justice collaborator adalah individu yang sangat penting karena
dapat membongkar suatu kejahatan dan tentunya dapat menyediakan bukti guna menyeret pelaku
utama dan tersangka lainnya. Lihat River Yohanes Manalu, “Justice Collaborator dalam Tindak
Pidana Korupsi”, Lex Crimen Vol. IV/No.1/Jan-Mar/2015, h.161, Portal Garuda, situs web,
diakses pada 29 Januari 2018 pada pukul 20.21
6Whistle blower adalah pembocor rahasia atau pengadu. Lihat Mardjono Reksodiputro,
“Pembocor Rahasia/Whistle Blowers dan Penyadapan (Wiretapping, Electronic Interception)
dalam Menanggulangi Kejahatan di Indonesia”, (Jakarta: Wacana Goverminyboard, 2012), h. 13.
Lihat http://erepo.unud.ac.id/10197/1/5de8c0192a219873d742471e405e5b93.pdf, diakses pada
tanggal 2 Maret 2018 pukul 10.15 WIB
7 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1986), h.79
8 S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:
Alumni AH-MPTHM, 1989), h.57
9 Republik Indonesia, Undang-undang Tentang Sistem Pemasyarakatan,UU No. 12 Tahun
1995, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3614, Pasal
14 Ayat (1) Huruf i.
3
Dengan terbit dan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun
2012 disoroti adanya perubahan yang mencolok dalam persyaratan
mendapatkan remisi terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana
terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan
terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta
kejahatan transnasional terorganisasi lainnya. Salah satu persyaratan yang harus
dipenuhi adalah bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan. Bekerjasama yang dimaksud
adalah bersedia menjadi seorang justice collaborator. Masyarakat mulai
merasakan syarat pemberian remisi tidaklah efektif dan sejalan dengan sistem
pemasyarakatan serta menimbulkan diskriminasi bagi narapidana serta
menimbulkan dampak yang tidak baik bagi pengendalian manajemen sistem
pemasyarakatan yang ada.
Pandangan lainnya mengenai pengetatan pemberian remisi yaitu
bukanlah untuk menghilangkan hak terpidana mendapatkan remisi, akan tetapi
merupakan hal yang wajar. Pengetatan pemberian remisi perlu dilakukan bagi
terpidana korupsi, karena pelaku kejahatan korupsi tanpa persyaratan
merupakan langkah kemunduran dalam penegakan hukum.
Usulan revisi pun muncul dari Yasonna Laoly selaku Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia yang utamanya adalah tertuju pada para pelaku narkotika,
korupsi, serta terorisme yang sangat banyak memenuhi lembaga
pemasyarakatan. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap narapidana apapun,
karena terpidana korupsi, narkotika dan terorisme juga merupakan manusia yang
memiliki hak yang sama.
Perlu adanya keterbukaan dalam hal pemberian remisi terhadap
narapidana tindak pidana korupsi, yang bersedia menjadi justice collaborator.
Mengingat ketentuan remisi tersebut mempunyai suatu aspek yang sangat luas,
sehingga perlu diselaraskan dengan aspek yuridis, filosofis, sosiologis, dan
manajemen pemasyarakatan. Hal inilah melatarbelakangi penulisan skripsi ini,
sehingga mengangkat dan membahasnya dalam bentuk skripsi dengan judul:
Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Koruptor Yang Berkedudukan Sebagai
Justice Collaborator.
4
II.PEMBAHASAN
A. PERKEMBANGAN PENGATURAN PEMBERIAN HAK REMISI DI
INDONESIA
A.1. Hak-hak Narapidana Menurut Sistem Pemasyarakatan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 merumuskan bahwa lembaga
pemasyarakatan (LAPAS) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Selama di lembaga
pemasyarakatan, warga binaan pemasyarakatan tetap memperoleh hak-
haknya yang lain sama seperti layaknya manusia. Untuk mewujudkan sistem
pemasyarakatan, maka secara tegas Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 Pasal 14 mengatur ketentuan tentang hak-hak yang dimiliki oleh
narapidana, yaitu sebagai berikut:
1) Narapidana berhak:
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan
b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani ataupun jasmani
c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
e. Menyampaikan keluhan
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa
lainnya yang tidak terlarang
g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
h. Menerima kunjungan keluarga penasihat hukum atau orang tertentu
lainnya
i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga
k. Mendapatkan pembebasan bersyarat
l. Mendapatkan cuti menjelang bebas
m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak
Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Narapidana berhak mendapatkan hak-hak lain selama dalam
lembaga pemasyarakatan. Hak-hak lain yang dimaksud adalah hak
politik, hak memilih, dan hak keperdataan lainnya. Masyarakat kurang
menaruh minat terhadap proses kembalinya seseorang bekas narapidana
5
dilingkungannya.10 Sikap masyarakat yang memojokkan bekas
narapidana dengan menganggap mereka sebagi sampah masyarakat,
memberi kesan seolah-olah masyarakat tidak pernah melakukan
kejahatan. Bagaimanapun para narapidana tersebut adalah warga negara
Indonesia yang patut kita perhatikan dan berikan dukungan moral dan
materiil agar bisa menjalani hidupnya sebagaimana mestinya.
A.2. Hak Remisi Kaitannya Dengan Sistem Pemasyarakatan
Meskipun posisi aspek pemasyarakatan terletak di akhir proses
Sistem Peradilan Pidana (SPP), namun dalam tataran teknis operasional
lembaga pemasyarakatan (LAPAS) sudah berperan sejak tahap awal
proses peradilan (pra-adjudikasi) yang dilakukan oleh lembaga Rumah
Tahanan (Rutan), Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan), dan
Balai Persinggahan (Bapas).
Pembinaan terhadap warga binaan (narapidana) oleh lembaga
pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian dalam sistem peradilan
pidana terpadu (the intergrated criminal justice system). Sistem peradilan
pidana dimulai dari penyidikan dari penyidik, penuntutan oleh penuntut
umum, pemeriksaan dan penjatuhan pidana oleh pengadilan, dan
pembinaan oleh lembaga pemasyarakatan. Tujuan akhir dari pembinaan
di lembaga pemasyarakatan adalah untuk mengubah perilaku narapidana
(yang semula jahat dan tersesat), menjadi orang yang baik.
Salah satu hak narapidana berdasarkan Undang-undang Nomor 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan adalah tentang hak Remisi. Di
dalam Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Syarat
dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas,
dan Cuti Bersyarat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan remisi
adalah pengurangan menjalani masa pidana yang diberikan kepada
narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat yang ditentukan
dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Remisi tidak dapat
dipisahkan dengan tujuan dan fungsi sistem pemasyarakatan yang ada di
Indonesia.
10 Romli Atmasasmita, Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, (Bandung: Armico,
1982), h.57
6
Sebagaimana yang dikemukakan oleh R.M. Jackson yang dikutip
oleh Barda Nawawi Arief, bahwa pidana penjara termasuk jenis pidana
yang relatif kurang efektif.11 Mengingat penerapan pidana penjara yang
kurang efektif tersebut, maka dibentuk ketentuan-ketentuan agar
narapidana yang sedang menjalani pidana penjara namun dianggap
sudah dapat menjadi lebih baik atau telah mampu terbina agar
mendapat pemotongan-pemotongan masa tahanan, sehingga mampu
terintegrasi kembali ke lingkungan sosialnya.
Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012,
syarat-syarat bagi seorang narapidana untuk mendapatkan keringanan
hukuman dan/atau pembebasan bersyarat menjadi lebih diperketat,
sehingga tidak mudah untuk keluar dari dalam lembaga
pemasyarakatan. Remisi di masa ini memainkan peran yang amat sentral
dan penting dalam manajemen lembaga pemasyarakatan, terutama
dalam mempengaruhi tingkat kondusivitas narapidana di dalam
lembaga pemasyarakatan.
Situs resmi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mencatat bahwa;12
Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya 6 (enam) provinsi yang lembaga
pemasyarakatannya tidak melebihi kapasitas. Sedangkan 28 provinsi lain
memiliki catatan merah untuk kelebihan jumlah narapidana dibanding
kapasitas lapas. Di antara 28 provinsi itu, ada 5 (lima) provinsi yang
kelebihan kapasitasnya paling tinggi. Dari paparan diatas terlihat jelas
bahwa hubungan antara sistem peradilan pidana dengan sistem
pemasyarakatan merupakan suatu mata rantai yang pada dasarnya
tidaklah putus, dimana remisi merupakan salah satu instrumen yang
dapat mengendalikan keadaaan lembaga pemasyarakatan.
A.3. Perkembangan Pengaturan Pemberian Hak Remisi Terhadap
Narapidana di Indonesia
Banyak peraturan remisi yang telah dicabut dan digantikan
keberadaannya dengan aturan baru yang dianggap lebih sesuai dengan
11 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan
Pidana Penjara, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), h. 44
12https://www.merdeka.com/peristiwa/penjara-mengkhawatirkan-477-lapas-rutan-diisi-
192767-napi.html, diakses pada Selasa, 13 Maret 2018, pukul 22.00 WIB
7
kondisi sosial dan struktur hukum yang terjadi. Berikut ini adalah beberapa
peraturan mengenai remisi sejak zaman Belanda, diantaranya yaitu:
a) Guovernementbesluit tanggal 10 Agustus 1935 Nomor 23 tentang
Remissieregeling (Bijblad pada Staatsblaad Nomor 13515) yang
diubah dengan Gouvernementbesluit tanggal 9 Juli 1941 Nomor
12 (Bijblad pada Staatsblad Nomor14583) dan 26 Januari 1942
Nomor 22 tentang perubahan Gouvernementbesluit tanggal 10
Agustus 1935 Nomor 23 tentang Remissieregeling.
b) Keputusan Presiden Nomor 156 tanggal 19 April 1950 yang
termuat dalam Berita Negara Nomor 26 tanggal 28 April 1950 jo.
Peraturan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1946 dan Peraturan
Menteri Kehakiman RI Nomor G.8/106 tanggal 10 Januari 1947 jo.
Keputusan Presiden RI No. 120 Tahun 1955, tanggal 23 Juli 1955
Tentang Ampunan Istimewa.
c) Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1987 jo. Keputusan Mneteri
Kehakiman RI Nomor 01 HN.02.01 Tahun 1987 tentang
Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1987,
Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor 04.HN.02.01 Tahun
1988 tanggal 14 Mei 1988 tentang Tambahan Remisi Bagi
Narapidana yang Menjadi Donor Organ Tubuh dan Donor Darah
dan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor 03. HN.02.01 Tahun
1988 tanggal 10 Maret 1988 tentang Tata Cara Permohonan
Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana
Penjara Sementara berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5
Tahun1987.
d) Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 jo. Keputusan
Menteri Hukum Keputusan Presiden Nomor M.09.HN.02.01 Tahun
1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor174 Tahun
1999, Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan
Nomor M.10.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelimpahan
Wewenang Pemberian Remisi Khusus.
8
Berikut ini adalah ketentuan dan perubahan yang terjadi dalam
perkembangan peraturan pemerintah:13
1. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
Pengaturan mengenai remisi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga
Binaan Pemasyarakatan Pasal 1 Ayat (6) dan Pasal 34 Ayat (1), (2), dan
(3) ini diatur dalam bagian kesembilan dan Pasal 34, yang menyatakan
bahwa:
a. Setiap narapidana dan anak pidana yang selama menjalani masa
pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi.
b. Remisi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat ditambah,
apabila selama menjalani pidana, yang bersangkutan:
1) Berbuat jasa kepada negara
2) Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau
kemanusiaan
3) Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan Lapas
c. Ketentuan untuk mendapatkan remisi sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1) dan Ayat (2) berlaku juga bagi narapidana dan anak pidana
yang menunggu grasi sambil menjalani pidana.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Terjadi perubahan mengenai ketentuan Pasal 34 Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 yang diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
a. Setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi.
b. Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada
narapidana dan anak pidana apabila memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1) Berkelakuan baik; dan
2) Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
13 Eva Achjani Zulfa, Anugerah Rizki Akbari, dan Zakky Ihksan Samad, Perkembangan
Sistem Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan, Ed.1, Cet.1, (Depok: Rajawali Pers, 2017),
h.113-122
9
c. Bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap
keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan
kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi apabila
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Berkelakuan baik; dan
2) Telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.
d. Remisi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan kepada
narapidana dan anak pidana apabila memenuhi persyaratan
melakukan perbuatan yang membantu kegiatan Lapas.
Selanjutnya diantara Pasal 34 dan Pasal 35, dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 ini disisipkan 1 (satu) pasal baru,
yakni Pasal 34A yang menyatakan sebagai berikut:
1) Remisi bagi narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat
(3) diberikan oleh menteri setelah mendapat pertimbangan dari
Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
2) Pemberian remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Berdasarkan hal diatas terlihat bahwa terjadi dinamika dan
pengembangan dari ketentuan mengenai cara mendapatkan remisi
khususnya bagi terpidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi,
kejahatan terhadap keamanan negara, dan kejahatan hak asasi manusia
yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
Perubahan yang terjadi sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan
Pasal 34 yang diubah kembali sehingga berbunyi sebagai berikut:
a. Setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi.
b. Remisi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat diberikan kepada
narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat:
1) Berkelakuan baik; dan
2) Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
c. Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada Ayat (2)
huruf a dibuktikan dengan:
10
1) Tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6
(enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian
remisi; dan
2) Telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh
Lapas dengan predikat baik.
Selanjutnya mengenai ketentuan Pasal 34A diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
a. Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan
tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika,
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan
hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional
terorganisasi lainnya. Selain harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi
persyaratan:
1) Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
2) Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan
putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena
melakukan tindak pidana korupsi.
3) Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan
oleh Lapas dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,
serta menyatakan ikrar:
a) Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara
tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia.
b) Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme
secara tertulis bagi narapidana Warga Negara Asing, yang
dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
b. Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika
dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) hanya berlaku terhadap narapidana yang dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
c. Kesediaan untuk bekerja sama sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi
penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
11
Terdapat dua aspek yang sangat penting yang dianggap sebagai
suatu perubahan mencolok terhadap narapidana yang dipidana karena
melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika,
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan
hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional
terorganisasi lainnya, yaitu:
a. Ketentuan mengenai bersedia bekerjasama dengan penegak hukum
untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang
dilakukan.Tidak lain yaitu harus bersedia menjadi justice collaborator.
b. Ketentuan harus terlebih dahulu membayar lunas uang denda dan
uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. Ini merupakan
syarat tambahan khusus bagi narapidana korupsi. Yang mana
terpidana korupsi harus terlebih dahulu membayar uang pengganti
yang telah dijatuhkan dan ditetapkan oleh pengadilan atas tindak
pidana korupsi yang dilakukannya.
Adanya dinamika perkembangan serta perubahan paradigma
pemidanaan, dan sistem pemasyarakatan merupakan suatu hal yang
tidak dapat dipisahkan dari sejarah ketentuan pemberian remisi. Dahulu
pemidanaan masih berorientasi pada backward looking (berorientasi pada
aspek pembalasan dendam belaka) menjadi forward looking (melihat
tujuan dan manfaat pemidanaan/hukuman ke depannya untuk apa dan
bagaimana implikasinya bagi pelaku, korban, dan masyarakat). Begitu
juga dengan pergeseran sistem kepenjaraan menjadi sistem
pemasyarakatan berimplikasi pada perubahan struktur, pola, dan tujuan
yang ingin diterapkan serta dicapai didalam sistem tersebut.
Perubahan-perubahan yang terjadi cukup signifikan tersebut, banyak
menimbulkan perdebatan diberbagai kalangan yang ada. Mengenai
pemberian remisi terhadap narapidana narkotika dan korupsi yang
menjadi dasar sorotan dan pro-kontra dari berbagai kalangan masyarakat
di Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 terus saja
mengalami perdebatan dan pergejolakan mengenai pemberlakuan serta
akibat dari pemberlakuannya.
12
B. PEMBERIAN HAK REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPTOR
DALAM KAITANNYA SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR
B.1. Peran Justice Collaborator Dalam Pengungkapan Tindak Pidana
Pada tahun 1970-an untuk pertama sekali di Amerika Serikat
memperkenalkan Undang-undang yang memfasilitasi kerja sama saksi
pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dengan penegak.
Fasilitasi tersebut tak lain untuk menghadapi para mafia, yang sejak lama
telah menerapkan omerta (sumpah tutup mulut sekaligus merupakan
hukum tertua dalam dunia Mafioso Sisilia).14Keterangan saksi merupakan
alat bukti persidangan yang berguna dalam mengungkap duduk
perkara suatu peristiwa tindak pidana korupsi, kemudian akan
dijadikan salah satu dasar pertimbangan hakim untuk menentukan
terbukti atau tidaknya perbuatan terdakwa serta kesalahannya. Saksi
dapat menyatakan kejadian apa yang sebenarnya terjadi, sehingga lebih
mudah diungkap kebenarannya.
Pemerintah harus menyadari sepenuhnya bahwa pengungkapan tabir
suatu tindak pidana apalagi suatu tindak pidana yang transaksional dan
terorganisir membutuhkan peran dari berbagai pihak terutama saksi itu
sendiri, bahkan dapat dikatakan saksi memiliki peran penting dan serius
dalam membongkar suatu tindak kejahatan yang serius. Terutama tindak
pidana korupsi yang merupakan suatu tindak pidana yang berkembang
dan bergerak semakin terpola dan sistematis, yang mana lingkupnya juga
telah menyentuh keseluruhan aspek kehidupan masyarakat dari lintas
batas negara
Konsep justice collaborator di Indonesia tidak diatur secara tegas.
Definisi pada penjelasan Pasal 10 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
Perlindungan Saksi dan Korban (UUPSK) memang ada kemiripan antara
istilah justice collaborator dan “pelapor” bahkan di dalam wacana yang
berkembang akhir-akhir ini konsep justice collaborator juga dikaitkan
dengan saksi yang berasal dari kelompok pelaku, misalnya kasus Agus
Condro dan kasus M. Nazarudin.
14
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower&Justice Collaborator Dalam Upaya
Penanggulangan Organized Crime, PT Alumni, Bandung, 2015, h.3-5
13
Oleh karena itu di Indonesia sebenarnya lebih cenderung
mengadopsi konsep protection of cooperating person dibandingkan
dengan konsep justice collaborator. Dalam persidangan perkara pidana,
hukum pembuktian sangat penting dalam membuktikan kesalahan
perkara di sidang pengadilan. Salah satu alat bukti yang sah dalam
proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang
mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Potret buram korupsi senantiasa ditandai banyaknya kasus korupsi
yang diungkap namun seringkali tidak tuntas dalam pengungkapannya.
Istilah tentang justice collaborator kerap muncul dalam penanganan
kasus tindak pidana korupsi, dengan adanya justice collaborator,
pengungkapan kasus tindak pidana korupsi akan semakin mudah.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 4
Tahun 2011, memberikan pedoman untuk menentukan seseorang
sebagai justice collaborator, yaitu:
a) Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana
tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini (terorisme, korupsi,
narkotika, dll) mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku
utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan
sebagai saksi didalam proses peradilan.
b) Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang
sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat
mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif,
mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar
dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang
bekerjasama sebagaimana yang dimaksud diatas. Hakim dalam
menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-
hal penjatuhan pidana berupa menjatuhkan pidana percobaan bersyarat
khusus dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling
14
ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara
dimaksud.15
B.2. Hak Remisi Terhadap Justice Collaborator
Justice collaborator memang berperan penting sebagai alat dalam
melawan kejahatan terorganisir yang mana metode kerja dalam sistem
hukum pidana yang ada menunjukkan kelemahan-kelemahan karena
seringkali belum mampu mengungkap, melawan, dan memberantas
berbagai kejahatan terorganisir.
Realita yang terjadi di dalam sistem peradilan Indonesia justru
sebaliknya, dimana kemudian seorang justice collaborator tetap
mendapatkan hukuman yang sama. Kasus Agus Condro yang tetap
mendapatkan hukuman yang sama walaupun telah menjadi saksi pelapor
dan mengungkap adanya kasus suap cek pelawat yang melibatkan
banyak aktor utama dalam tindak pidana tersebut.
Pada September 2017 Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi
menerima pengajuan justice collaborator dari terdakwa kasus dugaan
korupsi E-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong. Setelah melalui
pertimbangan dan kajian pada akhirnya tanggal 5 Desember 2017,
Komisi Pemberantasan Korupsi secara resmi menyematkan status justice
collaborator pada Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Pada tanggal 12 November 2012 setelah kurang lebih 6 tahun
berlaku ketentuan mengenai perubahan pertama Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1999. Pemerintah merevisinya kembali dengan
menerbitkan dan memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun
2012 sebagai perubahan kedua dari Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga
Binaan Pemasyarakatan.
Status justice collaborator diberikan penuntut umum maupun penyidik
kepada terdakwa maupun tersangka yang membantu proses penyidikan
hingga penuntutan supaya pelaku yang menjadi “korban” atau bukan
merupakan pelaku utama mau memberi keterangan yang bisa
15
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor
Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator) di
dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
15
meringankan hukumannya sekaligus mengungkap pelaku lain dalam
kasus korupsi yang menjeratnya.16 Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Yasonna Laoly mengatakan bahwa setia narapidana adalah
manusia dan mempunyai hak yang sama, termasuk terpidana kasus
korupsi. Sistem pemidanaan terhadap narapidana tidak boleh membuat
seseorang menjadi kehilangan harapan hidup. Sejalan juga dengan
sistem pemasyarakatan dilakanakan berdasarkan asas pengayoman,
persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan,
penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan
merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap
berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
C.2. Pemberian Hak Remisi Terhadap Narapidana Sebagai Justice
Collaborator Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi.
Melihat maraknya kasus korupsi tentunya sangat berdampak dengan
lembaga pemasyarakatan yaitu narapidana koruptor yang semakin memenuhi
lembaga pemasyarakatan, ditambah lagi dengan pengetatan syarat pemberian
remisi terhadap narapidana koruptor. Dimana oleh sebagian kalangan
mereka menganggap bahwa dengan adanya revisi ini maka akan menurunkan
semangat pemberantasan korupsi.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas pantauan
kasus korupsi pada Januari 2016 hingga Juni 2016 para peneliti
merekomendasikan, “Pengadilan harus pula mempertimbangkan untuk
mencabut hak mendapatkan remisi jika terdakwa bukanlah
seorang justice collaborator.” Dijelaskan dengan ketika seseorang
dihukum selama 10 tahun, harus menjalankan waktu selama 10 tahun itu
dengan sebaik-baiknya. Jadi ketika tahun ke-10, sudah bebas dan
menjadi orang yang sudah jera melakukan kejahatan dan tidak
melakukan itu lagi.Dengan mengurangi hukuman tentu juga akan
menghilangkan efek jera yang sudah diberikan. Kalau misalnya 2 (dua)
16
https://www.rappler.com/indonesia/144954-pro-kontra-wacana-remisi-koruptor,
diakses pada Rabu 14 Maret 2018, pukul 11.33 WIB
16
tahun dihukum pengadilan rendah, kemudian diberikan remisi lagi apakah
narapidana akan akan mendapat efek jera? Tentu tidak.17
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan focus group
discussion (FGD) dengan kalangan akademisi, Lembaga Swadaya
Masyarakat, dan media di seluruh Indonesia. Ternyata, kata Yasonna,
semua bersepakat agar dilakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah
Nomor 99 Tahun 2012.18 Dalam hal ini ada terdapat 2 opsi yang
disiapkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Opsi
pertama, berdasarkan Pasal 32 draf revisi Peraturan Pemerintah Nomor
99 Tahun 2012, narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi,
terorisme, dan narkotika diberikan remisi dengan dua syarat pokok, yakni
berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidananya. Opsi
kedua, apabila presiden menolak opsi pertama maka diambil jalan tengah
dari rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, yaitu
penghapusan syarat justice collaborator, tidak diberikan kepada semua
pelaku kejahatan luarbiasa. Hanya bagi narapidana narkoba dan
terorisme dulu, sedangkan untuk korupsi jangan dulu. Yasonna Laoly juga
menambahkan, penghilangan justice collaborator akan diberikan atau
diprioritaskan lebih dulu kepada penyalahgunaan narkotika.
Dalam FGD tersebut, sepertinya forum lebih sepakat kepada opsi yang
kedua sebagaimana dijelaskan diatas, dimana dicapai kesepakatan diawal
bahwa khusus untuk pengetatan remisi terhadap kasus korupsi, forum
semuanya sepakat remisi koruptor harus ketat.19
Jika ditelaah lebih lanjut
bahwa terkait narapidana korupsi yaitu sebagai berikut: Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia pada dasarnya setuju terhadap pemberian
hukuman berat kepada setiap koruptor, dan setuju terhadap persepsi
hukuman berat dapat memberikan efek jera kepada para koruptor.
17 Jennifer Sidharta, “Pro kontra wacana remisi untuk koruptor“,https:/www.
rappler.com/indonesia/144954-pro-kontra-wacana-remisi-koruptor, diakses pada tanggal 7
Februari 2018, Pukul 22.27 WIB
18
RFQ, “Kemenkumham Diminta Cabut PP Pengetatan Remisi: Menkumham berdalih
pencabutan Peraturan Pemerintah mesti melalui prosedur
panjang”,http://www.hukumonline.com/berita/baca/kemenkumham-diminta-cabut-pp-pengetatan-
remisi, diakses pada tanggal 07 Februari 2018, pukul 22.30 WIB
19 Andi Saputra, https://news.detik.com/berita/d-3306528/klimaks-polemik-revisi-pp-99-
dan-harga-mati-untuk-pengetatan-remisi-koruptor, diakses pada tanggal 6 Maret 2018, pukul
12.00 WIB
17
Namun, pengenaan efek jera dengan hukuman yang setimpal itu harus
dilaksanakan pada tatanan yuridis yang tepat, yaitu utamanya di tahap
pra ajudikasi dan ajudikasi. Jaksa atau Penuntut umum harus berani
menuntut hukuman seberat-beratnya kepada koruptor, dan Hakim Tipikor
harus punya keberanian menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada
koruptor.20
Para ahli hukum pun sepakat memperlonggar syarat remisi terpidana
narkoba, tapi tak berlaku untuk gembong narkoba. Salah satu tujuannya
yaitu mengurangi kelebihan penghuni lembaga pemasyarakatan. "Saya
setuju Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 direvisi, tapi tidak
setuju untuk pengedar dan produsen narkoba," kata guru besar Ilmu
Hukum Pidana, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof I
Nyoman Serikat Putra Jaya.
Donal yang hadir mewakili ICW menilai revisi Peraturan Pemerintah
Nomor 99 Tahun 2012 tanpa mengikutkan terpidana korupsi, merupakan
langkah tepat. "Tidak bisa dipungkiri, justice collaborator kini jadi barang
dagangan, seakan justice collaborator ada harganya. Revisi Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tanpa menyertakan terpidana korupsi,
merupakan langkah moderat. Bila ini yang dibahas dari dulu (tanpa
melibatkan terpidana korupsi), sudah jadi ini barang," ujar Donal pakar
hukum Universitas Gajah Mada.21
Pengaturan kebijakan remisi haruslah dikembalikan kepada
hakikatnya yang ada dengan tidak boleh dibiarkan mengingkari atau
menyimpangi filosofi, desain dan tujuan utama dari sistem
pemasyarakatan yang berlaku. Sehingga dapat dijadikan landasan yang
baik serta komprehensif dalam penyusunan kebijakan pemberian remisi
yang akan datang.
20 Eva Achjani Zulfa, Anugerah Rizki Akbari, dan Zakky Ikhsan Samad, Op.Cit., h.136-
137
21https://news.detik.com/berita/3480456/ahli-hukum-sepakat-perlonggar-remisi
terpidana-narkoba, diakses pada Rabu,14 Maret 2018, pukul 12.26 WIB
18
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian-uraian diatas, maka kesimpulan yang dapat
dikemukakan terkait dengan pembahasan jurnal ini adalah sebagai berikut:
1. Banyak peraturan remisi yang telah dicabut dan digantikan keberadaannya
dengan aturan baru yang dianggap lebih sesuai dengan kondisi sosial dan
struktur hukum yang terjadi. Sudah banyak peraturan-peraturan pelaksana
dan teknis yang dikeluarkan sejak diberlakukannya undang-undang
pemasyarakatan tersebut, yaitu; Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
1999, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, dan terakhir Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
2. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, justice collaborator tetap
memperoleh perlindungan keamanan dan pemenuhan hak-haknya. Dalam
draf revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 ketentuan justice
collaborator sebagai salah satu syarat utama mendapatkan remisi bagi
pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika juga akan
dihilangkan. Namun, penghapusan itu bukan berarti akan menghilangkan
fungsi atau keberadaan mengenai justice collaborator, melainkan
diharapkan justice collaborator bisa diatur dalam peraturan lain yang
tersendiri.
B. Saran
Beberapa saran yang dapat dikemukakan terkait dengan jurnal ini adalah
sebagai berikut:
1. Perlu adanya pertimbangan hukum yang kuat dalam hal terjadinya
perubahan terhadap suatu peraturan mengenai pemberian remisi
terhadap narapidana. Bagaimana pun juga narapidana harus dimudahkan
dalam mendapatkan remisi karena bukan lagi untuk menjadikan hukuman
sebagai pembalasan terhadap narapidana akan tetapi dapat berubah
menjadi manusia yang lebih baik lagi dari sebelumnya dan tidak
mengulangi kesalahan yang sama. Dalam membentuk sebuah regulasi
yang baru harus tetap sejalan dengan aturan pelaksananya sehingga
tidak menimbulkan pertentangan dalam pelaksanaannya.
19
2. Seseorang yang berkedudukan sebagai justice collaborator dalam kasus
Tindak Pidana Korupsi memang menuai banyak kontroversi ditambah lagi
dalam pemberian remisi memasukkan justice collaborator sebagai salah
satu syarat. Maka perlu adanya peninjauan dan pembahasan kembali
terhadap peraturan pemerintah tentang syarat dan tata cara pemberian
remisi ini. Adanya rencana revisi peraturan pemerintah hendaknya benar-
benar melihat urgensi kedudukan justice collaborator tersebut khususnya
dalam kasus tindak pidana korupsi apakah sudah pantas menerima
remisi ketika sudah bersedia bekerjasama dengan penegak hukum dalam
membongkar suatu tindak pidana.
3. Perlu adanya keterbukaan ketika sudah memberikan remisi terhadap
justice collaborator dalam kasus tindak pidana korupsi. Agar semua orang
dapat melihat narapidana yang mendapatkan remisi dan yang tidak
mendapatkannya, beserta keterangan jumlah tahunnya. Dengan adanya
remisi “online” dapat membuat proses pengurangan masa hukuman lebih
terbuka sehingga tidak ada prasangaka tentang remisi yang bisa dibeli.
Masyarakat pun tidak lagi menaruh rasa curiga karena keterbukaan
informasi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
20
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Arief, Barda Nawawi, 2010, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan
Kejahatan Dengan Pidana Penjara,Yogyakarta: Genta Publishing
Atmasasmita, Romli, 1982, Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai,
Bandung: Armico
Hartanti, Evi, 2012. Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar
Grafika
Mulyadi Lilik, 2015, Perlindungan Hukum Whistle blower & Justice
Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, Bandung: PT
Alumni.
Sianturi, S.R., 1989. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Jakarta: Alumni AH-MPTHM
Sudarto, 1977. Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni
Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni
Zulfa, Eva Achjani, 2017, Anugerah Rizki Akbari, dan Zakky Ihksan
Samad, Perkembangan Sistem Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan, Ed.1,
Cet.1, Depok: Rajawali Pers.
Jurnal/Tesis/Disertasi/Artikel
Manalu, River Yohanes, “Justice Collaborator dalam Tindak Pidana
Korupsi”, Lex Crimen Vol. IV/No.1/Jan-Mar/2015. Portal Garuda: Jakarta, 2015
Reksodiputro Mardjono, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan
Kejahatan, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas
Indonesia: Jakarta, 1994
Internet
Andi Saputra, https://news.detik.com/berita/d-3306528/klimaks-polemik-
revisi-pp-99-dan-harga-mati-untuk-pengetatan-remisi-koruptor
https://www.rappler.com/indonesia/144954-pro-kontra-wacana-remisi-
koruptor.
https://www.merdeka.com/peristiwa/penjara-mengkhawatirkan-477-lapas-
rutan-diisi-192767-napi.html.
21
http://erepo.unud.ac.id/10197/1/5de8c0192a219873d742471e405e5b93.p
df,
https://dzikiarasdw.wordpress.com/2013/12/03/indonesia-ranking-114-
negara-terkorup-di-dunia/
https://news.detik.com/berita/3480456/ahli-hukum-sepakat-perlonggar-
remisi terpidana-narkoba.
Jennifer Sidharta, “Pro kontra wacana remisi untuk koruptor“,https:/www.
rappler.com/indonesia/144954-pro-kontra-wacana-remisi-koruptor
RFQ, “Kemenkumham Diminta Cabut PP Pengetatan Remisi:
Menkumham berdalih pencabutan Peraturan Pemerintah mesti melalui prosedur
panjang”,http://www.hukumonline.com/berita/baca/kemenkumham-diminta-cabut-
pp-pengetatan-remisi.
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-undang Tentang Sistem
Pemasyarakatan,UU No. 12 Tahun 1995, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor
77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3614, Pasal 14 Ayat (1) Huruf i.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan
Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja
Sama (justice collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.