5
PEMBAHASAN Salah satu jenis pengobatan non konvesional yang sangat besar penggunaannya dalam masyarakat adalah pengobatan tradisional komplementer alternatif. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan definisi pengobatan komplementer tradisional alternatif adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik tetapi belum diterima dalam kedokteran konvensional. Dalam penyelenggaraannya harus sinergi dan terintegrasi dengan pelayanan pengobatan konvensional dengan tenaga pelaksananya dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang memiliki pendidikan dalam bidang pengobatan komplementer tradisional alternatif. Salah satu pengobatan komplementer tradisional alternatif adalah pengobatan dengan jamu, herbal, dan gurah. Di Indonesia hasil pengobatan komplementer tradisional alternatif sudah banyak dilakukan selama lebih dari satu dekade dan dijadikan bahan analisis kajian dan penentuan kebijakan lebih lanjut tentang keamanan dan efektivitas pengobatan komplementer tradisional alternatif. Selama ini masalah dan hambatannya adalah : 1. Belum menjadi program prioritas dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan

PEMBAHASAN

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pembahasan

Citation preview

PEMBAHASAN

Salah satu jenis pengobatan non konvesional yang sangat besar penggunaannya dalam masyarakat adalah pengobatan tradisional komplementer alternatif. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan definisi pengobatan komplementer tradisional alternatif adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik tetapi belum diterima dalam kedokteran konvensional. Dalam penyelenggaraannya harus sinergi dan terintegrasi dengan pelayanan pengobatan konvensional dengan tenaga pelaksananya dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang memiliki pendidikan dalam bidang pengobatan komplementer tradisional alternatif. Salah satu pengobatan komplementer tradisional alternatif adalah pengobatan dengan jamu, herbal, dan gurah. Di Indonesia hasil pengobatan komplementer tradisional alternatif sudah banyak dilakukan selama lebih dari satu dekade dan dijadikan bahan analisis kajian dan penentuan kebijakan lebih lanjut tentang keamanan dan efektivitas pengobatan komplementer tradisional alternatif. Selama ini masalah dan hambatannya adalah :

1. Belum menjadi program prioritas dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan

2. Belum memadainya regulasi yang mendukung pelayanan kesehatan komplementer tradisional alternatif

3. Masih lemahnya pembinaan dan pengawasan

4. Terbatasnya kemampuan tenaga kesehatan dalam melakukan bimbingan

5. Masih terbatasnya pengembangan program Pelayanan Kesehatan Komplementer Tradisional Alternatif di Pusat dan Daerah

6. Terbatasnya anggaran yang tersedia untuk Pelayanan Kesehatan Komplementer Tradisional Alternatif

7. Fungsi SP3T dalam penapisan Pelayanan Kesehatan Komplementer Tradisional Alternatif belum berjalan sesuai harapan

Penggunaan obat herbal sebagai terapi komplementer merupakan bagian dari sistem pengobatan yang lengkap. Saat ini obat herbal sudah banyak digunakan di beberapa rumah sakit untuk terapi penunjang dan sebagai upaya preventif. Umumnya sebagain besar obat herbal yang digunakan di rumah sakit dalam bentuk fitofarmaka, bukan dalam bentuk herbal terstandar atau dalam bentuk jamu. Beberapa contoh obat tradisional yang telah masuk sebagai terapi komplementer di rumah sakit diantaranya adalah tanaman meniran, temulawak, seledri dan lain-lain. Penggunaan obat tradisional/herbal sudah dilindungi oleh hukum hal ini diatur dalam undang-undang no. 23 tahun 1992 tentang kesehatan. Jadi pemakaian obat tradisional dilegalkan.

Di tengah perkembangan obat herbal yang semakin pesat dan slogan back to nature masih banyak masyarakat dan praktisi kesehatan yang meragukan khasiat obat herbal. Keraguan itu disebabkan ketidakjelasan tentang herbal tersebut. Misalnya, herbal berbeda tetapi nama sama. Atau, herbal tersebut tumbuh pada kondisi iklim tanah dan cuaca yang tidak memiliki senyawa kimia identik atau efek terapi. Selain itu, yang juga diragukan adalah proses pengumpulan ekstrak, yakni tanaman segar dijemur di bawah matahari, pengolahan, dan penyimpanan yang menyebabkan potensi dan keamanan berbeda dan karena tidak ada standar khusus untuk peresepan obat herbal, serta sulit untuk memastikan dosis yang sesuai. Sebenarnya pemerintah telah mengatur pemanfaatan herbal medik dalam fasilitas kesehatan melalui beberapa peraturan pemerintah, keputusan menteri, maupun peraturan perundang-undangan sejak 1998 hingga kini. Walaupun telah ada regulasi yang jelas, tetap saja penggunaan obat herbal oleh para dokter masih kurang optimal. Hal ini karena terdapat beberapa kendala, misalnya sistem perundangan kesehatan, belum banyak informasi khasiat dan keamanan yang melalui uji klinis, belum ada kompetensi pada dokter, kurangnya perlindungan masyarakat terhadap efek plasebo iklan obat berbahan alam, belum terhimpunnya data mengenai obat bahan alam Indonesia berdasarkan pada evidence based, kurangnya koordinasi antarinstitusi dalam penelitian obat bahan alam Indonesia. Sebagian besar dari kita akrab dengan obat tradisional. Bahkan, banyak yang mengandalkan obat tradisional untuk menjaga kesehatan atau mengobati penyakit. Namun, tidak semua obat tradisional itu benar-benar dari bahan-bahan alami. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pernah menemukan sedikitnya 93 jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat keras di sejumlah pasar tradisional. Berbagai bahan kimia obat keras yang pernah ditemukan BPOM, di antaranya fenilbutazon, metampiron, CTM, piroksikam, deksametason, allupurinol, sildenafil sitrat, sibutramin hidroklorida, dan parasetamol. Kabar tersebut tentu saja menambah kekhawatiran pecinta obat-obat tradisional, karena bahan kimia tersebut dapat membahayakan kesehatan, bahkan mematikan.Gangguan yang timbul pada tubuh akibat bahan kimia tersebut bisa bermacam-macam. Bahan kimia metampiron dapat menyebabkan gangguan saluran cerna, perdarahan lambung, dan gangguan saraf. Fenilbutason dapat menyebabkan rasa mual, ruam kulit, retensi cairan, dan gagal ginjal. Deksametason dapat menyebabkan trombositopenia, anemia plastis, dan gangguan fungsi ginjal. Sibutramin hidroklorida dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung. Karena itu, pemakaian obat keras harus melalui pengawasan dan resep dokter.

Di Indonesia juga terdapat beberapa balai pengembangan tanaman obat, salah satunya adalah B2P2TO2T. B2P2TO2T adalah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional bermula dari suatu kebun koleksi tanaman berkhasiat obat yang bernamaUsaha Tanaman Obat-obatan Lawu Hortus Medicus Tawangmanguyang dirintis oleh R.M. Santosa (almarhum) dibantu oleh Prof. DR. Sutarman.Guna meningkatkan penggunaan bahan-bahan obat asal tanaman Indonesia, Hortus Medicus dialihkan pengelolaannya ke BPU Farmasi Negara dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor32521/Kab/BPU/63 tanggal 8 Juni 1963, dengan kegiatan utamapada usaha produksi simplisia-simplisia secara komersial.

Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 208/Kab/B.VII tanggal 25 Juli 1968, Hortus Medicus diserahkan kembali pengelolaannya kepada Departemen Kesehatan RI cq. Direktorat Jenderal Farmasi. Selanjutnya berdasarkan SK Direktur Jenderal Farmasi Depkes RI Nomor 4246/Dir.Jend/SK/68 tanggal 8 November 1968, Hortus Medicus pengelolaannya diserahkan kepada Lembaga Farmasi Nasional Jakarta.

Kegiatan Hortus Medicus kembali sebagai lembaga yang menangani penanaman dan penyelidikan tanaman obat. Perubahan induk organisasi terjadi lagi dengan dikeluarkannya surat keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI Nomor 4500/A/75 tanggal 9 Juli 1975, Hortus Medicus pengelolaannya dikembalikan dari Lembaga Farmasi Nasional kepada Direktorat Pengawasan Obat Tradisionil Dit. Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Jakarta.

Selanjutnya berdasarkan SK Menkes Nomor 556/SK/Menkes/VI/2002 tentang perubahan perumusan kedudukan Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Departemen Kesehatan, maka Balai Penelitian Tanaman Obat menjadi Unit Pelaksana Teknis Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, di bawah pembinaan teknis fungsional oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional.