11
12 Pemanfaatan Teknologi Citra Satelit dan Drone untuk Pengelolaan Pertanahan di Wilayah Perbatasan Indonesia Budi Jaya Silalahi, Faus Tinus Handi Feryandi, Pandapotan Sidabutar PEMANFAATAN TEKNOLOGI CITRA SATELIT DAN DRONE UNTUK PENGELOLAAN PERTANAHAN DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA IMPLEMENTING REMOTE SENSING AND DRONE TECHNOLOGY FOR LAND MANAGEMENT IN INDONESIA’S BOUNDARY ZONE Budi Jaya Silalahi 1 , Faus Tinus Handi Feryandi 2 , Pandapotan Sidabutar 3 123 Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN RI), Jakarta, Indonesia Koresponden E-mail: [email protected] ABSTRAK Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbatasan dengan negara lain baik di darat, laut, maupun di udara. Di laut, Indonesia berbatasan langsung dengan sepuluh negara yaitu: India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sedangkan untuk daratan, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat Indonesia yang tinggal di zona perbatasan umumnya berada dalam kondisi yang memprihatinkan dengan minimnya pelayanan publik, seperti: pelayanan dan fasilitas sosial, transportasi dan pendidikan. Namun, perubahan paradigma pemerintahan dalam dua dekade terakhir telah mendorong perhatian yang lebih besar pada bidang ini. Belakangan ini berbagai program pemerintah didorong ke wilayah perbatasan, terutama di provinsi yang memiliki perbatasan darat, yaitu Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Makalah ini akan memaparkan tentang kegiatan pertanahan secara umum yang dilakukan di wilayah perbatasan Indonesia, yakni di Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, dan Motaain, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Fokus utama dalam makalah ini adalah penggunaan data penginderaan jauh dan drone atau pesawat tak berawak (UAV). Lebih jauh, dengan meningkatkan kerjasama dengan instansi lain dan mendorong partisipasi masyarakat di zona perbatasan, kegiatan pertanahan tersebut dapat berhasil. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemanfaatan data drone dan citra merupakan kunci utama inovasi dalam aspek pertanahan guna mendukung percepatan pembangunan berkelanjutan di kawasan perbatasan. Kata kunci : Perbatasan, Pengelolaan Lahan, Drone (pesawat udara tanpa awak), Penginderaan Jauh, Paradigma ABSTRACT Indonesia is an archipelagic state, which has border with other states on the land, sea, as well as on the air. In the sea, Indonesia has direct borders with ten countries, namely: India, Malaysia, Singapore, Thailand, Vietnam, Philippines, Republic of Palau, Australia, East Timor, and Papua New Guinea. As for the land, Indonesia has direct borders with three countries, namely Malaysia, Papua New Guinea and Timor Leste. As we know, Indonesian people who live in boundary zone are generally in poor conditions with lack of public services, such as: social, transportation and education service and facilities. However, the changing of government paradigm in the last two decades has prompted greater attention to this area. Recently, various government programs are driven to the border region, notably in provinces that have land borders, that is West Kalimantan, East Kalimantan, East Nusa Tenggara, and Papua Provinces. This paper will present about the land management programs in general which carried out in the Indonesia’s border area, for example in Entikong, Sanggau Regency, West Kalimantan Province, and Motaain, Belu Regency, East Nusa Tenggara Province. The main focus in this paper is the using of remote sensing and drones or unmanned aerial vehicle (UAV) data for supporting those programs. Furthermore, by promote Received: May 3, 2021 | Reviewed: July 7, 2021 | Accepted: July 29, 2021

PEMANFAATAN TEKNOLOGI CITRA SATELIT DAN DRONE UNTUK

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PEMANFAATAN TEKNOLOGI CITRA SATELIT DAN DRONE UNTUK

12

Pemanfaatan Teknologi Citra Satelit dan Drone untuk Pengelolaan Pertanahan di Wilayah Perbatasan Indonesia

Budi Jaya Silalahi, Faus Tinus Handi Feryandi, Pandapotan Sidabutar

PEMANFAATAN TEKNOLOGI CITRA SATELIT DAN DRONE UNTUK PENGELOLAAN PERTANAHAN

DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIAIMPLEMENTING REMOTE SENSING AND DRONE

TECHNOLOGY FOR LAND MANAGEMENT IN INDONESIA’S BOUNDARY ZONE

Budi Jaya Silalahi1, Faus Tinus Handi Feryandi2, Pandapotan Sidabutar3

123Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN RI), Jakarta, Indonesia

Koresponden E-mail: [email protected]

ABSTRAKIndonesia merupakan negara kepulauan yang berbatasan dengan negara lain baik di darat, laut, maupun di udara. Di laut,

Indonesia berbatasan langsung dengan sepuluh negara yaitu: India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina,

Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sedangkan untuk daratan, Indonesia berbatasan langsung dengan

tiga negara yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat Indonesia yang tinggal

di zona perbatasan umumnya berada dalam kondisi yang memprihatinkan dengan minimnya pelayanan publik, seperti:

pelayanan dan fasilitas sosial, transportasi dan pendidikan. Namun, perubahan paradigma pemerintahan dalam dua dekade

terakhir telah mendorong perhatian yang lebih besar pada bidang ini. Belakangan ini berbagai program pemerintah didorong

ke wilayah perbatasan, terutama di provinsi yang memiliki perbatasan darat, yaitu Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan

Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Makalah ini akan memaparkan tentang kegiatan pertanahan secara umum yang

dilakukan di wilayah perbatasan Indonesia, yakni di Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, dan Motaain,

Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Fokus utama dalam makalah ini adalah penggunaan data penginderaan jauh

dan drone atau pesawat tak berawak (UAV). Lebih jauh, dengan meningkatkan kerjasama dengan instansi lain dan mendorong

partisipasi masyarakat di zona perbatasan, kegiatan pertanahan tersebut dapat berhasil. Kesimpulan dari penelitian ini adalah

pemanfaatan data drone dan citra merupakan kunci utama inovasi dalam aspek pertanahan guna mendukung percepatan

pembangunan berkelanjutan di kawasan perbatasan.

Kata kunci : Perbatasan, Pengelolaan Lahan, Drone (pesawat udara tanpa awak), Penginderaan Jauh, Paradigma

ABSTRACTIndonesia is an archipelagic state, which has border with other states on the land, sea, as well as on the air. In the sea,

Indonesia has direct borders with ten countries, namely: India, Malaysia, Singapore, Thailand, Vietnam, Philippines, Republic

of Palau, Australia, East Timor, and Papua New Guinea. As for the land, Indonesia has direct borders with three countries,

namely Malaysia, Papua New Guinea and Timor Leste. As we know, Indonesian people who live in boundary zone are

generally in poor conditions with lack of public services, such as: social, transportation and education service and facilities.

However, the changing of government paradigm in the last two decades has prompted greater attention to this area. Recently,

various government programs are driven to the border region, notably in provinces that have land borders, that is West

Kalimantan, East Kalimantan, East Nusa Tenggara, and Papua Provinces. This paper will present about the land management

programs in general which carried out in the Indonesia’s border area, for example in Entikong, Sanggau Regency, West

Kalimantan Province, and Motaain, Belu Regency, East Nusa Tenggara Province. The main focus in this paper is the using of

remote sensing and drones or unmanned aerial vehicle (UAV) data for supporting those programs. Furthermore, by promote

Received: May 3, 2021 | Reviewed: July 7, 2021 | Accepted: July 29, 2021

Page 2: PEMANFAATAN TEKNOLOGI CITRA SATELIT DAN DRONE UNTUK

13

JURNAL PERTANAHAN Juli 2021 12-22Vol. 11 No. 1

the cooperation with other agencies and encourage community participation in the border zone, those programs can be

succeeding in result. The conclusion of the study shows that the utilization of drones and imagery data is the key point of

innovation in land management program in order to support the acceleration of sustainable development in the border region.

Keywords : Border, Land Management, Drones (Unmanned Aerial Vehicle), Remote Sensing, Government Paradigms

I. PENDAHULUANA. Latar BelakangSelama satu dekade terakhir, pembangunan di kawasan perbatasan mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pergeseran paradigma yang menempatkan wilayah perbatasan sebagai wilayah etalase bangsa dan bukanlah hanya wilayah paling luar dan jauh, telah mendorong pengembangan setiap sektor pembangunan yang terkait dengan wilayah tersebut. Pola pikir baru ini diperkuat oleh visi dan misi pemerintah yang mengedepankan pembangunan dari daerah etalase negara tersebut. Memang, tujuan itu harus diwujudkan dengan upaya luar biasa dari setiap pemangku kepentingan yang terlibat, termasuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Upaya tersebut dapat ditunjukkan dengan menggalakkan program pertanahan di wilayah tersebut.

Dalam RPJMN 2015-2019, Kementerian ATR/BPN diberi mandat untuk melaksanakan Reforma Agraria di seluruh wilayah Indonesia. Reforma Agraria dalam konteks Indonesia pada dasarnya merupakan gabungan dari program reformasi aset dan reformasi akses secara bersamaan. Reformasi aset dapat dianggap sebagai upaya pemerintah untuk menata ulang struktur penguasaan dan pemilihan tanah dengan salah satunya meredistribusikan tanah kepada petani tak bertanah atau petani kecil yang membutuhkan tanah, serta memberikan kepastian hukum kepada pemilik tanah dengan mendaftarkan haknya. Reformasi akses dapat diartikan sebagai upaya pemerintah untuk mendukung masyarakat menghasilkan sesuatu dari tanahnya, dengan mengorganisir dan melatih masyarakat, menghubungkan mereka dengan penyedia modal dan pasar, serta membangun infrastruktur yang dibutuhkan. Secara umum, Reforma Agraria bermaksud untuk mengurangi

ketimpangan kepemilikan tanah sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dengan melaksanakan reforma agraria di wilayah perbatasan negara mempunyai arti strategis yaitu Negara hadir dan memberikan rasa percaya dan rasa cinta tanah air bagi masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan. Kesan selama ini bahwa pembangunan hanya dirasakan di wilayah perkotaan ataupun di wilayah yang dekat dengan pusat perekonomian perlahan dapat dirasakan juga oleh masyarakat di wilayah perbatasan negara sehingga dapat mendorong peningkatan kesejahteraannya.

B. TujuanMeskipun teknologi pemetaan UAV telah banyak digunakan di Indonesia dan masih berkembang beberapa tahun ke depan, hingga saat ini penerapannya bagi kegiatan penataan pertanahan belum begitu optimal. Hal ini seharusnya tidak terjadi, karena penggunaan teknik ini kemungkinan besar akan memberikan keuntungan bagi institusi yang mengelola tanah. Maka, menjadi penting bagi lembaga pengelola untuk mengeksplorasi keunggulan yang ditawarkan oleh teknologi ini untuk membantu mereka menjalankan programnya. Dalam makalah ini, kami mengeksplorasi keuntungan menggunakan UAV untuk teknik pemetaan guna mendukung program pertanahan dalam arti luas.

Keunggulannya akan dijelaskan dengan pertama, menganalisis kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan peta dasar pertanahan di Indonesia. Kedua, melihat keuntungan penggunaan drone untuk teknik pemetaan untuk menutup gap tersebut dengan melakukan analisis sederhana mengenai kelebihan dan kekurangan teknologi tersebut dari dua studi kasus di wilayah perbatasan, yakni Entikong, Kalimantan Barat, dan Tasifeto Timur, Nusa Tenggara Timur, dimana kedua area tersebut direncanakan untuk program reforma agraria wilayah perbatasan.

Page 3: PEMANFAATAN TEKNOLOGI CITRA SATELIT DAN DRONE UNTUK

14

Pemanfaatan Teknologi Citra Satelit dan Drone untuk Pengelolaan Pertanahan di Wilayah Perbatasan Indonesia

Budi Jaya Silalahi, Faus Tinus Handi Feryandi, Pandapotan Sidabutar

II. METODEA. Penggunaan Citra Satelit dan

Pesawat Nir Awak (Unmanned Aerial Vehicle/ UAV)

Penggunaan citra satelit untuk berbagai keperluan bukanlah hal baru di Indonesia. Ini sudah dimulai sejak tahun 1980-an, utamanya dalam rangka memenuhi kebutuhan pemerintah dalam pembuatan peta. Citra satelit saat ini telah digunakan untuk aplikasi yang lebih luas seperti transportasi, pemantauan cuaca, penelitian sumber daya alam, dll. Khususnya untuk sektor pertanahan, citra satelit digunakan sebagai bahan pembuatan peta dasar pertanahan bagi pendaftaran tanah, pembuatan peta tematik, peta penggunaan lahan, peta potensi lahan, dan banyak tema terkait lainnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, berkembang suatu teknik pembuatan peta lain, yang dikenal sebagai pembuatan peta dengan memanfaatkan drone atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Dengan menggunakan kamera tertentu yang dapat dipasang ke UAV, gambar permukaan bumi dari ketinggian yang terbatas dapat dihasilkan. Layaknya konsep foto udara, gambar yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan software untuk mendapatkan standar kartografi yang dibutuhkan dalam pembuatan peta.

Di Indonesia, teknik ini telah digunakan untuk berbagai keperluan seperti pemetaan wilayah dan potensi desa, pemetaan fasilitas urban, pemetaan potensi pajak, pemetaan infrastruktur, pemetaan DAS, pemetaan hutan dan mangrove, dll. Frasa “Drone for Villagers” atau “Drone untuk Penduduk Desa” telah disuarakan dan dipromosikan oleh pemerintah, untuk mendorong beberapa warga desa di Indonesia, khususnya membuat pemetaan sawah di desanya sendiri. Di Kementerian ATR/BPN pun teknologi UAV telah digunakan untuk pembuatan peta dasar yang sangat berperan dalam mendukung kegiatan pelayanan pertanahan. Peta dasar pertanahan yang biasanya dalam format raster dapat digunakan sebagai dasar pemetaan pada kegiatan pendaftaran tanah, Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Tanpa drone, peta dasar pertanahan skala besar yang representatif dan cepat dihasilkan untuk mendukung

pelaksanaan program pertanahan tidak dapat diharapkan.

B. Ketersediaan Peta Dasar Pertanahan dan Penataan Pertanahan di Indonesia

Dalam Renstra Kementerian ATR/BPN 2015 - 2019, salah satu fokus pada pengelolaan sumber daya lahan adalah peningkatan efisiensi penataan ruang dan sumber daya lahan, pengembangan dan penguatan peraturan perundang-undangan terkait, serta peningkatan ketersediaan peta dasar pertanahan hingga 60%. luas lahan di luar kawasan hutan. Perencanaan ini muncul sebagai amanat dari Agenda Pembangunan Sembilan Prioritas (Nawacita) yang digagas oleh Presiden. Agenda keempat Nawa Cita dengan tegas menyatakan bahwa negara harus eksis untuk mereformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.

Selain program pengelolaan pertanahan, agenda akan memastikan kepastian hukum kepemilikan tanah dengan mewujudkan:

a. Cakupan peta dasar pertanahan sampai den-gan 60% dari luas lahan di luar kawasan ke-hutanan;

b. Cakupan peta kadaster tanah sampai dengan 70% dari luas daratan nasional, dan;

c. Cakupan peta dasar pertanahan untuk men-dukung Rencana Detail Tata Ruang di 1.931 lokasi.

Berdasarkan data, pada tahun 2015 Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrariaan yang bertanggung jawab dalam penyusunan dan penyediaan peta dasar pertanahan di Kementerian ATR/BPN telah menghasilkan peta dasar pertanahan seluas 38.598.799 hektar dalam berbagai skala. Jumlah tersebut kurang lebih 20,2% dibandingkan total luas daratan Indonesia yang sekitar 191 juta hektar. Dengan menggunakan data tahun 2015 yang menjadi titik awal pembuatan peta dasar pertanahan dalam skala besar, total peta dasar pertanahan yang dihasilkan adalah sekitar 15.335.000 hektar atau 22,88 persen dari total luas di luar kawasan hutan.

1. Citra Satelit dan Peta Dasar Pertanahan

Dalam rangka memenuhi kebutuhan data terkait pertanahan, Kementerian ATR/BPN

Page 4: PEMANFAATAN TEKNOLOGI CITRA SATELIT DAN DRONE UNTUK

15

JURNAL PERTANAHAN Juli 2021 12-22Vol. 11 No. 1

bertanggung jawab dalam merumuskan, men-etapkan dan melaksanakan kebijakan kelemba-gaan dalam penyediaan infrastruktur keagrari-aan. Jelaslah bahwa salah satu tujuan utama Kementerian ATR/BPN adalah menyediakan data spasial pertanahan. Berbagai teknik dan teknologi telah diterapkan untuk tugas ini; Foto udara dan pemetaan citra satelit banyak digu-nakan oleh Kementerian ATR/BPN untuk meng-hasilkan peta dasar pertanahan.

Selama dua dekade terakhir, penginderaan jauh memainkan peran strategis dalam pengem-bangan peta dasar pertanahan di Indonesia. Sebagaimana diketahui, di masa lalu, seba-gian besar pemetaannya didasarkan pada data resolusi spasial rendah hingga sedang seperti Landsat TM dan ETM, SPOT dan IKONOS. Na-mun, karena resolusi dan akurasi spasial yang rendah, data penginderaan jauh ini hampir tidak memenuhi standar ketelitian dan keakuratan peta pendaftaran tanah untuk program legal-isasi tanah. Untungnya, belakangan ini keterse-diaan citra satelit resolusi tinggi semakin men-ingkat seperti dari Citra Digital Globe Aerial dan data Multispektral, yang memungkinkan untuk menghasilkan peta dasar daratan dalam skala besar.

2. Pengumpulan Data sebelum Peraturan Presiden No. 6 Tahun 2012.

Sumber: Hasil pendataan penulis.

Gambar 1 Koleksi Citra Satelit dari Tahun 2006 sampai 2012

Sebelum tahun 2012, setiap instansi pemer-intah di Indonesia dapat memperoleh data citra dengan resolusi tinggi. Sejak tahun 2006 hingga 2012 Direktorat Pemetaan Dasar telah mengumpulkan data citra yang dipisahkan dari resolusi rendah, sedang dan tinggi seperti Spot, Ikonos, Quick Bird dan Peta Basis Global. Luas total dari data citra tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 1 dan Tabel 1.

Tabel 1 Koleksi citra satelit dari tahun 2006 s.d. 2012

No Jenis citra satelit/foto udara

Tahun dan luasan (dalam ribuan Ha) Total

s.d. 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 20131 Resolusi Tinggi

a. Foto udara 2,8312 150 0 0 0 0 0 0 2.981,2b. Citra satelit (Quick Bird)

1.490,825 10.000 120 0 900 0 0 0 12.510,825

c. Citra satelit /Global Base Map (World View 1 & 2)

0 0 0 0 0 53.000 0 0 53.000

2 Resolusi menengahd.SPOT 5 45.000.000 0 200 2.000 2.375 0 0 0 49.575

118.067,025

Sumber: Kompilasi penulis

Page 5: PEMANFAATAN TEKNOLOGI CITRA SATELIT DAN DRONE UNTUK

16

Pemanfaatan Teknologi Citra Satelit dan Drone untuk Pengelolaan Pertanahan di Wilayah Perbatasan Indonesia

Budi Jaya Silalahi, Faus Tinus Handi Feryandi, Pandapotan Sidabutar

Tabel di atas menunjukkan bahwa pengadaan citra satelit berlangsung dari tahun 2006 hingga 2011, kemudian dihentikan pada tahun 2012. Hal ini terjadi karena adanya Peraturan Pres-iden Nomor 6 Tahun 2012 yang membatasi dan membatasi pengadaan citra satelit hanya pada dua lembaga saja, yaitu adalah Lembaga Pen-erbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi Geospasial (BIG).

3. Pengumpulan data setelah Peraturan Presiden No 6 Tahun 2012

Ketentuan bagi instansi pemerintah lain untuk memperoleh data dari LAPAN atau BIG telah dikeluarkan oleh Peraturan Menteri Keuan-gan Republik Indonesia Nomor 187 / PMK.05 / 2014 tentang Biaya pada Biro Layanan Umum Pusat Pemanfaatan Teknologi Dirgantara di LAPAN. Berdasarkan peraturan ini, setiap in-stansi pemerintah termasuk Kementerian ATR/BPN dapat memperoleh data tanpa dipungut biaya. Namun seringkali data yang dibutuhkan tidak tersedia atau tidak sesuai dengan tujuan Kementerian ATR/BPN. Akibatnya, beberapa program strategis Kementerian ATR/BPN tidak dapat didukung oleh data spasial yang mema-dai dari data citra satelit resolusi tinggi. Kondisi ini berdampak dalam menjalankan programnya.

C. PERBANDINGAN ANTARA CITRA SATELIT DAN FOTO UDARA UAV

Salah satu tujuan utama Direktorat Pemetaan Dasar adalah menghasilkan peta dasar pertanahan berskala tinggi yang mencakup 60% kawasan non hutan atau sekitar 67 juta hektar. Untuk memenuhi kebutuhan dasar peta dasar pertanahan, ketersediaan data citra

satelit tinggi harus menjadi persyaratan pertama. Meskipun banyak jenis citra satelit tersedia dengan penuh semangat, seperti resolusi rendah untuk akses gratis di internet (Landsat, MODIS) dan resolusi tinggi untuk pembelian (World View, Pleiades, dan Quick Birds), semuanya terkadang tidak dapat menawarkan resolusi yang cukup tinggi, mencakup area tertentu, atau menangkap deret waktu, yang diperlukan untuk memenuhi permintaan dari area yang lebih luas.

Di sisi lain, ada teknik pemetaan alternatif untuk memenuhi kebutuhan wilayah yang lebih luas. Penggunaan kendaraan udara tak berawak (UAV) atau drone untuk pemetaan, akhir-akhir ini menjadi alternatif yang lebih menjanjikan. Pemetaan menggunakan UAV memberikan peluang untuk meningkatkan kecepatan dan akurasi, serta biaya murah untuk survei dan pemetaan kadaster.

1. Pembuatan Peta Dasar Pertanahan Skala Besar dari Citra Satelit

Ada dua jenis data citra satelit berdasarkan sumber pengumpulan data, yakni data arsip dan data multitasking. Untuk mengesahkan Agenda Keempat dari Nawacita, dalam 5 tahun ke depan, Kementerian ATR/BPN harus menye-diakan peta dasar pertanahan baik dalam skala besar maupun cakupan wilayah yang masif. Sebagai penanggung jawab penyusunan kebi-jakan tata ruang dan pertanahan di Kemente-rian ATR/BPN, Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrariaan berencana mengembangkan tidak hanya peta dasar pertanahan dalam skala be-sar, tetapi juga peta tematik dalam skala me-nengah. Rencana waktu pembuatan peta dasar pertanahan dari tahun 2015 hingga 2019 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2 Rencana Pembuatan Peta Dasar Pertanahan Skala Besar

Program Tindakan Tahun2015 2016 2017 2018 2019

Kepastian pemilikan lahan

Membangun peta dasar pertanahan dan peta rencana detil tata ruang dalam skala besar.

15,3 juta Ha;75 lokasi

8,5 juta Ha;75 lokasi

10,8 juta Ha;75 lokasi

13,8 juta Ha;75 lokasi

18,4 juta Ha;75 lokasi

Sumber: Renstra Kementerian ATR/BPN 2015 – 2019

Page 6: PEMANFAATAN TEKNOLOGI CITRA SATELIT DAN DRONE UNTUK

17

JURNAL PERTANAHAN Juli 2021 12-22Vol. 11 No. 1

Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah bahwa semua proses pembuatan peta dasar pertanahan dalam skala besar dengan menggunakan citra satelit sangat bergantung pada karakteristik datanya sendiri. Karakteris-tik satelit meliputi keragaman data citra satelit, prosedur, resolusi citra, cakupan minimum, dan estimasi anggaran, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3 Karakteristik citra satelit yang digunakan untuk pemetaan skala besar.

Jenis Prosedur perolehan

Resolusi Minimum Coverage

(km2)

Estimasi biaya

High Resolution (World View 1,2 &3), Quick Bird, etc

Pengadaan 0.5-06 meter

Least coverage:25 for archive;100 for multi-tasking

Archive:± 13 USD/Hectare;Multi-Tasking:± 22 USD/Hectare)

Sumber: Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 187/PMK.05/2014

2. Pembuatan Peta Dasar Pertanahan Skala Besar menggunakan UAV (Drones)

Alternatif lain untuk membuat peta dasar per-

tanahan skala besar adalah menggunakan pesawat udara tak berawak (UAV) atau drone. UAV dapat didefinisikan sebagai “sistem pe-sawat bertenaga yang dioperasikan dari jarak jauh, baik secara manual atau semi-otonom dengan remote control atau secara otonom melalui penggunaan sistem navigasi komputer di pesawat atau stasiun kontrol darat yang men-girimkan perintah secara nirkabel ke pesawat” (Bailey , 2012). Saat ini orang menggunakan drone karena dapat membuat peta dengan leb-ih akurat, mesti, otomatis, dan lebih kompetitif dalam penganggaran. Karena model drone yang berbeda-beda, begitu pula jenis kamera atau sensor untuk mengambil gambar atau in-formasi permukaan bumi. Perlengkapan penci-traan standar di papan terdiri dari kamera digital dan sensor multispektral. Karena drone memi-liki bobot yang bervariasi, waktu penerbangan mereka juga berbeda tergantung pada kapasi-tas bahan bakar (Papilaya, 2015). UAV berpo-tensi digunakan untuk memetakan area yang tidak tercakup oleh citra satelit. Tabel di bawah ini menunjukkan karakteristik pemetaan UAV.

Tabel 4 Karakteristik Pemetaan menggunakan UAV

Tipe drone Coverage Needed (KM2)

Procedure Toward Resolusi spasial

Coverage minimum

(KM2)

Estimasi biaya

Jarak dekat Sesuai kebutuhan Procurement or Self-Managing

10-40 cm 0-10 1-10 USD /Ha

Sumber: Wawancara dengan praktisi

Page 7: PEMANFAATAN TEKNOLOGI CITRA SATELIT DAN DRONE UNTUK

18

Pemanfaatan Teknologi Citra Satelit dan Drone untuk Pengelolaan Pertanahan di Wilayah Perbatasan Indonesia

Budi Jaya Silalahi, Faus Tinus Handi Feryandi, Pandapotan Sidabutar

III. HASIL DAN PEMBAHASANA. ANALISIS1. Observasi lokasi

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat dua kecamatan batas yang dijadikan lokasi observasi yaitu Entikong dan Tasifeto Timur. Kedua lokasi tersebut memiliki karak-teristik yang serupa. Pertama, mereka berada di daerah perbatasan. Kedua, keduanya dibagi menjadi kawasan hutan dan non-hutan. Ketiga, masing-masing dibagi menjadi beberapa desa.

Gambar 2 Letak Lokasi Kecamatan Entikong dan Tasifeto Timur

a. Kecamatan Entikong

Entikong terletak di Sanggau, sebuah kabu-paten di Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten ini dapat dicapai dari Pontianak, ibu kota Kalim-antan Barat dengan perjalanan darat sekitar 5 jam. Entikong berbatasan dengan Negara Ba-gian Serawak, Malaysia. Ada pos perlintasan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di kabupaten ini. Entikong terbagi menjadi 5 kelu-rahan, yakni Entikong, Nekan, Palapasang, Se-manget, dan Suruh Tembawang. Luas wilayah Entikong adalah 64.884 hektar yang terdiri dari 54.438 hektar hutan dan 10.446 hektar kawasan non hutan. Penggunaan lahan seba-gian besar terdiri dari hutan, lahan pertanian, pemukiman, dan semak belukar. Distribusi kat-egori tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 dan proporsinya pada Tabel 4 berikut ini.

Sumber: Data Kawasan Hutan 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Data Tata Guna Lahan 2011, Direktorat PWP3WT, Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional.

Gambar 3 Status Wilayah di Kecamatan Entikong (kiri) dan Tata Guna Lahan di Kabupaten Entikong (kanan).

Tabel 5 Deskripsi Umum Entikong berdasarkan area hutan

No Desa Area Kawasan

Hutan (Ha)

Area Non Kawasan

Hutan (Ha)

Total Area (Ha)

1 Entikong 8257 6635 14892

2 Nekan 5230 616 5846

3 Palapasang 9480 68 9548

4 Semanget 9376 2666 12042

5 Suruh Tembawang

22095 461 22556

Total 54438 10446 64884

Sumber: Data Batas Wilayah 2010 dan Hasil Analisis

b. Kecamatan Tasifeto Timur

Kabupaten Tasifeto Timur terletak di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur Timur. Ka-bupaten ini dapat dicapai dari Kupang, ibu kota provinsi melalui perjalanan darat dalam waktu sekitar 12 jam. Tasifeto Timur berbatasan den-gan Republik Demokratik Timor Leste. Ada pos lintas batas antara Indonesia dan Timor Leste di Motaain di kabupaten ini. Tasifeto Timur terb-agi menjadi 12 desa administratif yaitu, Bauho, Davala, Fatuba’a, Halimondok, Manleten, Sadi, Sarabau, Silawan, Takirin, Tialai, Tulakadi, dan

Page 8: PEMANFAATAN TEKNOLOGI CITRA SATELIT DAN DRONE UNTUK

19

JURNAL PERTANAHAN Juli 2021 12-22Vol. 11 No. 1

Umaklaran. Luas wilayah Kecamatan Tasifeto Timur adalah 20.892 hektar yang terdiri dari 2.888 hektar kawasan hutan dan 18.004 hek-tar kawasan non hutan. Pemanfaatan lahan di Tasifeto Timur sebagian besar terdiri dari hutan, semak belukar, praire, pemukiman, dan sawah. Distribusi luas dari kategori-kategori tersebut dapat dilihat pada Gambar 4, karena propors-inya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Sumber: Data Kawasan Hutan 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Data Tata Guna Lahan 2011, Direktorat PWP3WT, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Gambar 4 Status Wilayah di Distrik Tasifeto Timur (kiri) dan Tata Guna Lahan Distrik Tasifeto Timur (kanan).

Tabel 6 Deskripsi Umum Tasifeto Rimur berdasarkan area hutan.

NoVillage Forest

Area (Ha)

Non-Forest Area (Ha)

Total Area (Ha)

1 Bauho 232 897 1129

2 Dafala 642 1849 2491

3 Fatuba'a 2 1654 1656

4 Halimondok 436 1284 1720

5 Manleten 0 4336 4336

6 Sadi 0 1096 1096

7 Sarabau 82 1511 1594

8 Silawan 267 1711 1978

9 Takirin 1096 655 1751

10 Tialai 0 339 339

11 Tulakadi 130 1041 1171

12 Umaklaran 0 1632 1632

Total 2888 18004 20892

Sumber: Data Batas Wilayah 2010 dan Hasil Analisis

2. Penguasaan tanah di area kawasan hutan

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, meskipun beberapa wilayah di kedua kabupat-

en ini tergolong kawasan hutan, namun pada kenyataannya terdapat juga penguasaan tanah masyarakat atau perorangan di dalam lokasi tersebut. Kepemilikan ini biasanya ditandai dengan kawasan yang dimanfaatkan manusia, seperti pemukiman, lahan pertanian, sawah, dan banyak lainnya. Dengan membandingkan status dan data penggunaan lahan, informasi tentang penguasaan masyarakat atau individu di lokasi-lokasi ini dapat dihasilkan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 di bawah ini.

Sumber: Hasil Analisis

Gambar 5 Areal Kemungkinan Yang Dimiliki Masyarakat atau Individu di Dalam Kawasan Hutan di Kecamatan Entikong (kiri) dan Kecamatan Tasifeto Timur (kanan).

Gambar di atas menunjukkan areal yang men-unjukkan indikasi penguasaan kolektif dan indi-vidu atas tanah di dalam kawasan hutan di Dis-trik Entikong dan Distrik Tasifeto Timur. Seperti yang terlihat, kemungkinan area tersebut, yang ditandai dengan titik merah, tersebar di seluruh distrik ini secara acak. Bahkan di setiap desa, kemungkinan lokasi tersebut berada di lokasi yang berbeda, di mana masing-masing bera-da di wilayah yang berukuran relatif kecil. Be-sar kecilnya kemungkinan penguasaan lahan masyarakat atau individu di dalam kawasan hu-tan di Kecamatan Entikong dan Kabupaten Ta-sifeto Timur dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Page 9: PEMANFAATAN TEKNOLOGI CITRA SATELIT DAN DRONE UNTUK

20

Pemanfaatan Teknologi Citra Satelit dan Drone untuk Pengelolaan Pertanahan di Wilayah Perbatasan Indonesia

Budi Jaya Silalahi, Faus Tinus Handi Feryandi, Pandapotan Sidabutar

Tabel 7 Penguasaan lahan masyarakat atau individu di dalam kawasan hutan di Kecamatan Entikong dan Kabupaten Tasifeto Timur.

No Desa

Luas tanah yang

terindikasi dikuasai

(Ha)

No Desa

Luas tanah yang

terindikasi dikuasai

(Ha)

Entikong District East Tasifeto District

1 Entikong 510 1 Bauho 4

2 Nekan 43 2 Dafala 254

3 Palapasang 222 3 Fatuba'a 0

4 Semanget 317 4 Halimondok 31

5 Suruh Tembawang

326 5 Manleten 0

Total 1418 6 Sadi 0

7 Sarabau 0

8 Silawan 6

9 Takirin 113

10 Tialai 0

11 Tulakadi 0

12 Umaklaran 0

Total 408

Sumber: Hasil Analisis.

Seperti terlihat pada tabel di atas, luas indikasi penguasaan tanah oleh masyarakat atau perorangan di kawasan hutan pada setiap desa bervariasi antara empat hektar sampai 510 hektar. Angka ini akan mempengaruhi bagaimana peta dasar di lokasi ini akan dibuat.

B. Membandingkan Penggunaan Citra Satelit dan Pemetaan UAV untuk Peta Dasar

Pembuatan peta dasar pertanahan dalam rangka penyelenggaraan Program Reforma Agraria perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, luas wilayah yang akan dicakup dalam peta, karena desa memiliki ukuran yang beragam. Kedua, dari segi biaya, meskipun akan lebih baik jika memiliki biaya yang sesuai dalam penyediaan peta dasar pertanahan, penghematan belanja pemerintah di Indonesia saat ini juga merupakan isu penting yang harus diperhatikan. Ketiga, ketepatan waktu proses pengadaan dalam penyediaan peta juga penting, karena program di Kawasan Hutan kemungkinan diadakan pada waktu yang berbeda dengan pelaksanaannya di Kawasan Non Hutan. Selain itu, semakin mutakhir data citra yang digunakan untuk pembuatan peta dasar

pertanahan akan semakin akurat menampilkan penggunaan lahan yang ada di lokasi tersebut.

1. Biaya dan cakupan luas

Gambar 6 Analisis Biaya dan Cakupan Luas

Dengan menghitung harga standar pembua-tan peta dasar pertanahan menggunakan tiga jenis sumber data, estimasi keseluruhan biaya untuk area tutupan dapat diplot seperti yang di-tunjukkan pada Gambar 6 di atas. Citra Satelit Multi Tasking dapat mencakup lebih dari 10.000 hektar. Pemanfaatan arsip Citra Satelit dapat mencakup luas minimal 2.500 hektar. Dengan cakupan ini, kami dapat mengatakan bahwa dua opsi pertama ini tidak sesuai untuk melaku-kan pemetaan dasar lahan di wilayah kecil. Se-baliknya, penggunaan UAV dapat dilakukan di area cakupan manapun. Sehingga bisa diguna-kan untuk area berukuran kecil atau area yang relatif lebih luas. Fleksibilitas ini adalah salah satu keuntungan menggunakan UAV.

2. Pengadaan dan Waktu

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Ke-menterian ATR/BPN tidak lagi berwenang un-tuk melakukan pengadaan citra satelit sendiri. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan sendiri dibutuhkan waktu dan prosedur yang lebih lama karena akan melibatkan instansi lain. Aki-batnya, kementerian tidak bisa lagi menyedia-kan secara langsung kebutuhan dinas provinsi maupun kantor pertanahannya.

Di sisi lain, belum ada regulasi yang membatasi penggunaan UAV untuk pemetaan. Selain itu, ada banyak lembaga pemerintah dan swasta yang sedang menerapkan teknik ini untuk kepentingan mereka sendiri. Misalnya, banyak

Page 10: PEMANFAATAN TEKNOLOGI CITRA SATELIT DAN DRONE UNTUK

21

JURNAL PERTANAHAN Juli 2021 12-22Vol. 11 No. 1

pemerintah daerah yang mulai menggunakan teknik ini untuk pemetaan. Banyak juga lem-baga non-pemerintah dan lembaga komersial swasta kini dalam tahap pengembangan peng-gunaan teknik ini untuk lingkungan, transporta-si, infrastruktur, dan banyak keperluan lainnya.

Untuk menunjukkan perbedaan proses pen-gadaan menurut waktu dan prosedur, grafik di bawah ini (Gambar 7) menunjukkan perbandin-gan antara tiga alternatif proses yang dapat di-lakukan untuk membuat peta dasar pertanahan. Alternatifnya, hanya ada tiga opsi yang mungkin dimiliki Kementerian ATR/BPN untuk memenuhi kebutuhan peta dasar pertanahan di Indonesia.

Alternatif pertama adalah meminta citra satelit dari instansi lain. Modus ini memerlukan pros-es permintaan yang mungkin memakan waktu beberapa bulan agar lembaga penyedia dapat memasang permintaan tersebut pada rencana pengadaan mereka pada tahun berikutnya. Akibatnya, peta dasar pertanahan tidak bisa langsung dibuat di tahun yang sama. Namun jika proses request ditolak dengan alasan citra satelit wilayah yang diminta sudah tersedia dari proses pengadaan pada tahun-tahun sebel-umnya, maka citra satelit tersebut dapat lang-sung diambil dan digunakan untuk proses.

Alternatif kedua adalah pengadaan peta dasar pertanahan menggunakan UAV oleh pihak keti-ga. Pada moda ini, proses pemetaan bisa di-lakukan pada tahun yang sama sepanjang telah direncanakan dalam rencana kerja kementerian pada tahun-tahun sebelumnya. Namun mode ini tidak mudah untuk disiratkan untuk kebutu-han yang lebih taktis, seperti jika lokasi harus dialihkan karena perubahan prioritas yang da-pat terjadi karena beberapa alasan.

Alternatif terakhir adalah pengadaan peta dasar pertanahan menggunakan UAV secara swakelola. Pada mode ini, diperlukan upaya yang cukup besar di awal, seperti pengadaan UAV dan pelatihan sumber daya manusia. Na-mun setelah mengalami kesulitan awal, mode ini akan memberikan proses pembuatan peta dasar tanah yang lebih murah, sekaligus men-jawab setiap kebutuhan taktis yang kadang-ka-dang terjadi. Modus ini juga membuat Kemen-terian ATR/BPN menjadi lebih mandiri, terutama dalam pembuatan peta berbasis bidang tanah yang merupakan salah satu tugas pokoknya. Selain itu, penggunaan moda ini tentunya mem-berikan penggunaan lahan terkini yang biasan-ya jarang tersedia dan cukup mahal.

Sumber: Hasil analisis

Gambar 7 Tiga alternatif pengadaan peta dasar pertanahan

Page 11: PEMANFAATAN TEKNOLOGI CITRA SATELIT DAN DRONE UNTUK

22

Pemanfaatan Teknologi Citra Satelit dan Drone untuk Pengelolaan Pertanahan di Wilayah Perbatasan Indonesia

Budi Jaya Silalahi, Faus Tinus Handi Feryandi, Pandapotan Sidabutar

IV. KESIMPULANTeknik pemetaan UAV akan memberikan beberapa keuntungan bagi pengguna. Pertama, lebih cepat dalam menghasilkan peta dasar pertanahan. Kedua, dapat memberikan informasi aktual tentang penggunaan tanah yang ada. Ketiga, dapat dilakukan secara praktis, sehingga akan memberikan kemampuan untuk menyesuaikan perubahan lokasi dalam suatu proyek dengan segera tanpa menghadapi kendala administratif yang berarti. Ini dapat dilakukan dengan murah, lebih murah daripada menggunakan teknik pemetaan lainnya. Keempat, independen dalam memetakan skala cakupan wilayah, terutama di wilayah kecil. Namun, untuk menerapkan teknik ini, dibutuhkan investasi di bidang infrastruktur dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

UAV merupakan solusi yang memadai untuk mendukung Program Reforma Agraria yang biasanya berlangsung di berbagai ukuran atau lokasi wilayah yang dituju, terutama di lokasi perbatasan negara. Ini akan memberikan dampak yang signifikan bagi kegiatan pertanahan di perbatasan, karena citra satelit skala tinggi di lokasi ini jarang ditemukan atau diperoleh. Penggunaan teknologi ini akan mendorong kekosongan data spasial yang dibutuhkan dan meringankan beban yang dihadapi banyak kantor pertanahan untuk menghasilkan peta.

Memiliki keunggulan pemetaan UAV, penggunaan data citra satelit yang tersedia tidak boleh dikesampingkan. Kombinasi kedua teknik tersebut bahkan menawarkan keuntungan yang lebih besar. Citra satelit relevan dengan wilayah yang tidak mengalami perubahan penggunaan tanah yang signifikan dalam jangka waktu yang cukup lama seperti di pedesaan atau di desa yang kurang padat, sehingga masih dapat digunakan dengan andal untuk menghasilkan peta dasar pertanahan. Artinya penggunaan kombinasi pemetaan citra satelit dan UAV akan lebih efisien.

Akhirnya, dengan meningkatnya tantangan untuk menghasilkan peta dasar pertanahan skala besar dan cukup dilaksanakan dalam waktu yang singkat di tahun-tahun berikutnya, mengadvokasi penggunaan teknik UAV di Kementerian ATR/BPN menjadi semakin penting.

DAFTAR PUSTAKABailey, Mark W. 2012, Unmanned Aerial Vehicle

Path Planning and Image Processing For Orth Imagery and Digital Surface Model Generation, Thesis, Faculty of Graduate of Vanderbilt University, http://etd.library.vanderbilt.edu;

Lilesand. T.M., W. Kiefer., Chipman, J.W. (2004), Remote Sensing and Image Interpretation (Fifth Edition), John Wiley & Sons, Inc., New York;

Papilaya, A. 2015, Drone: Foto and Videography, PT. Grasindo, Jakarta;

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 187/PMK.05/2014 tentang Standar Biaya;

Peraturan Presiden No 6 Tahun 2012 mengenai Ketersediaan, Penggunaan, Kontrol Kualitas, Pemrosesan dan Penyebarluasan Data Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi;

Prahasta, Eddy. 2009, Sistem Informasi Geografis Konsep – Konsep Dasar, Informatika Bandung.