19
Husain Latuconsina (P3300209018) 1 PELUANG DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN PERIKANAN INDONESIA MELALUI “UN FISH STOCK AGREEMENT 1995” Oleh: Husain Latuconsina,S.Pi Staf Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Darussalam-Ambon & Mahasiswa Program Magister Ilmu dan Teknologi Perikaan Universitas Hassanuddin-Makassar PENDAHULUAN Meskipun pengelolaan terhadap jenis ikan yang bermigrasi jauh (higly migratory species) telah di atur dalam pasal 64 UNCLOS 1982, ternyata kelestarian sumberdaya ikan itu terganggu sehingga menimbulkan keprihatinan dunia Internsional. Hal ini dicerminkan dengan menurunnya persediaan ikan bermigrasi jauh (higly migratory species) serta jenis ikan bermigrasi terbatas (straddling fish stock) pada tahun 1994. Pola migrasi dan siklus hidup kedua jenis ikan tersebut di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara pantai sampai ke laut lepas, sehingga pemanfaatannya yang berlebihan mengakibatkan menurunnya ketersediaan sumberdaya ikan dan menimbulkan konflik kepentingan antara negara pantai (Coastal State) dan negara penangkapan ikan jarak jauh (Distant Water Fisheries Nation). Untuk itu, kerjasama pengelolaan perikanan pada tingkat sub regional, regional atau global diharapkan menjadi solusi dalam mengatasinya. Agar tujuan ini tercapai, tahun 1995, PBB menyusun suatu perjanjian baru untuk mengimplementasikan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu disahkannya Agreement of Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Staddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks atau dikenal dengan UN Fish Stock Agreement yang merupakan persetujuan multilateral dan mengikat pihak-pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis ikan bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas sebagai pelaksanaan pasal 63 dan 64 Hukum laut 1982.

Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

1  

PELUANG DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN PERIKANAN INDONESIA MELALUI “UN FISH STOCK AGREEMENT 1995”

Oleh:

Husain Latuconsina,S.Pi Staf Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Darussalam-Ambon &

Mahasiswa Program Magister Ilmu dan Teknologi Perikaan Universitas Hassanuddin-Makassar

PENDAHULUAN Meskipun pengelolaan terhadap jenis ikan yang bermigrasi jauh (higly migratory

species) telah di atur dalam pasal 64 UNCLOS 1982, ternyata kelestarian sumberdaya ikan

itu terganggu sehingga menimbulkan keprihatinan dunia Internsional. Hal ini dicerminkan

dengan menurunnya persediaan ikan bermigrasi jauh (higly migratory species) serta jenis

ikan bermigrasi terbatas (straddling fish stock) pada tahun 1994.

Pola migrasi dan siklus hidup kedua jenis ikan tersebut di kawasan Zona Ekonomi

Eksklusif (ZEE) negara-negara pantai sampai ke laut lepas, sehingga pemanfaatannya yang

berlebihan mengakibatkan menurunnya ketersediaan sumberdaya ikan dan menimbulkan

konflik kepentingan antara negara pantai (Coastal State) dan negara penangkapan ikan jarak

jauh (Distant Water Fisheries Nation). Untuk itu, kerjasama pengelolaan perikanan pada

tingkat sub regional, regional atau global diharapkan menjadi solusi dalam mengatasinya.

Agar tujuan ini tercapai, tahun 1995, PBB menyusun suatu perjanjian baru untuk

mengimplementasikan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu disahkannya Agreement

of Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the

Conservation and Management of Staddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks

atau dikenal dengan UN Fish Stock Agreement yang merupakan persetujuan multilateral dan

mengikat pihak-pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis ikan bermigrasi jauh

dan bermigrasi terbatas sebagai pelaksanaan pasal 63 dan 64 Hukum laut 1982.

Page 2: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

2  

Prinsip umum UN Fish Stock Agreement 1995 yaitu :

1. Mengambil tindakan menjamin kelestarian jangka panjang stok ikan yang bermigrasi

terbatas dan yang bermigrasi jauh dan mendorong tujuan penggunaan optimalnya.

2. Menjamin tindakan tersebut berdasarkan bukti ilmiah terbaik dan dirancang untuk

memulihkan stok ikan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum lestari.

3. Menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatannya

4. Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya dan faktor

lingkungan terhadap stok target dan spesies yang termasuk dalam ekosistem yang

sama atau berhubungan dengan atau bergantung pada stok target

5. Jika diperlukan, mengambil tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies

dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau bergantung pada stok

target itu dengan tujuan utnuk memelihara atau memulihkan populasi dari spesies itu

di atas tingkat ketika reproduksinya terancam.

6. Meminimalkan pencemaran, barang buangan, serta tangkapan yang tidak berguna

atau alat tangkap yang ditinggalkan, tangkapan spesies non target, dan dampak

terhadap spesies melalui tindakan yang lazim, pengembangan, dan penggunaan yang

efektif dari alat tangkap dan teknik yang aman secara lingkuangan dan murah.

7. Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut.

8. Mencegah atau mengurangi penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan

menjamin tingkat penangkapan tidak melebihi tingkat penggunaan yang lestari.

9. Memperhatikan kepentingan nelayan pantai dan nelayan subsisten

Page 3: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

3  

10. Mengumpulkan dan memberikan data yang lengkap dan akurat mengenai kegiatan

perikanan pada saat yang tepat, antara lain: posisi kapal, tangkapan spesies target dan

non target dan informasi dari program riset nasional dan internasional.

11. Mendorong dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi yang

tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan.

12. Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui

pemantauan, pengawasan dan pengamatan.

Manfaat jika UN Fish Stock Agreement 1995 diratifikasi oleh Indonesia, adalah :

1. Mendukung kebijakan pemerintah Indonesia dalam upaya memberantas aktivitas

illegal, Unreported dan unregulater (IUU) fishing di wilayah perairan Indonesia.

2. Mendapatkan data dan informasi perikanan secara murah, akurat, tepat waktu, dan

telah tersaji melalui pertukaran data dan informasi diantara Negara peserta.

3. Adanya distribusi tangkapan untuk jenis ikan bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas

melalui penetapan kuota internasional untuk tipa jenisnya.

4. Berpeluang dalam mendapatkan bantuan dana atau bentuk kerjasama lain dalam

membantu dan meningkatkan taraf hidup nelayan dan pelatihan penegakan hukum.

5. Memudahkan Indonesia menjadi anggota organisasi perikanan regional dan

internasional.

Basis Kerja Sama Regional dan Peluang Indonesia di Dalamnya

Pada tahun 1995, PBB melalui Fish Stock Agreement, menegaskan bahwa Organisasi

Pengelolaan Perikanan Regional (RFMO) adalah mekanisme dan alat utama dalam

mengelola dan melindungi Starding Fish Stock and Highly Migratory Fish Stock.

Page 4: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

4  

Dua aspek penting dari mandat yang diberikan bagi RMFO yaitu bahwa pemanfaatan

dan perlindungan sumberdaya yang bersifat highly migratory species harus berdasarkan

kesepakatan dan konsultasi dengan pihak-pihak terkait. Bila sudah ada RFMO untuk suatu

wilayah perairan atau suatu spesies ikan tertentu maka bagi negara yang berbatasan dengan

wilayah perairan itu sekalipun, tidak diizinkan melakukan penangkapan ikan kecuali negara

tersebut adalah bagian dari RFMO atau sepakat untuk melakukan langkah-langkah

manajemen konservasi yang telah ditetapkan oleh RFMO. Pasal 10 dalam Fish Stock

Agreement menetapkan dan mengimplementasikan tindakan manajemen konservasi,

mengumpulkan dan menyebarkan data, serta menetapkan dan menjalankan mekanisme

pemantauan, pengendalian, pengawasan serta penegakan hukum.

Keseriusan pemerintah Indonesia dalam upaya menyukseskan revitalisasi perikanan

mulai menunjukkan keberpihakannya, khususnya pada peningkatan produksi komoditas ikan

tuna. Ini dikarenakan Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian pengelolaan

perikanan tuna di laut lepas yang pengelolaannya dilakukan secara bersama oleh beberapa

negara yang tergabung dalam organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO).

Dengan masuk ke dalam suatu RFMO, Indonesia selain berhak mendapatkan kuota

penangkapan tuna, juga mempunyai akses penjualan tuna tersebut ke pasar internasional,

khususnya pasar-pasar di mana negara tujuan ekspor tersebut menjadi anggota dari suatu

RFMO. Hal ini dikarenakan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara di

wilayah yang dikelola RFMO, tetapi negara tersebut tidak menjadi anggotanya, maka

dinyatakan telah melakukan illegal fishing dan produk perikanannya terancam diembargo.

Page 5: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

5  

Tantangan Kerja Sama Regional Dalam Upaya Pemberantasan IUU Fishing

Banyak kegiatan perikanan IUU (Illegal, Unreported, Unregulated), terutama di laut

lepas dan perairan perbatasan, adalah kegiatan lintas batas negara, oleh sebab itu

membutuhkan kerjasama antar negara melalui pertukaran informasi dalam rangka

memampukan setiap negara mengambil tindakan untuk mengatasi perikanan IUU.

Forum kerjasama regional menurut Nikijuluw (2008), bukan saja sebagai arena

untuk membagi informasi di antara negara-negara yang ikut serta di dalamnya namun yang

lebih penting merupakan wadah untuk membangun regulasi bersama dan langkah-langkah

untuk menjalankan regulasi tersebut. Kerjasama regional akan efektif dilaksanakan jika ada

dukungan dan komitmen penuh dari setiap negara anggota yang turut serta di dalamnya.

Kerjasama regional diantara Negara-negara dalam satu kawasan, bisa menjadi cara

yang efektif dalam mengatasi perikanan IUU. Kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam

bentuk atau konteks organisasi perikanan regional (Regional Fisheries Management

Organization/RFMO) dan bisa juga tanpa melalui RFMO.

Gambar 1. : Sumberdaya Ikan yang Bermigrasi Jauh dan Terbatas yang Sering Melintasi

Batas Wilayah Laut Antar Negara (Sumber : Nikijuluw 2005)

Melalui kerjasama regional, kapasitas masing-masing negara dalam memerangi IUU

fishing dapat ditingkatkan. Selain upaya pengembangan lembaga pemerintah dan

Page 6: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

6  

masyarakat, kerja sama regional juga dapat ditujukan untuk membangun sistem, komitmen,

dan peraturan bersama yang berlaku di kawasan. Pembangunan dan pengelolaan bersama

sumberdaya pengawasan yang dimiliki masing-masing negara akan membuat kemampuan

patroli dan pengawasan lapangan lebih meningkat untuk dapat mengurangi IUU Fishing.

Saat ini terdapar 50 RFMO di seluruh dunia yang mandat utamanya membangun

perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Selain untuk beberapa spesies ikan

yang hidup dan bermigrasi lintas kawasan, bisa dikatakan saat ini hampir seluruh perairan

laut di dunia telah dikelola oleh dan melalui RFMO. Dari ke-50 RFMO ini, hanya terdapat

10 diantaranya yang memiliki kapasitas untuk melakukan langkah-langkah pengelolaan dan

konservasi yang berkaitan dengan perikanan laut lepas dan jenis ikan yang bermigrasi jauh.

Ikan tuna adalah jenis ikan yang bermigrasi jauh dan selalu melintasi samudera dan

terdistribusi di banyak periaran di dunia. Oleh karena itu ikan tuna dikelola oleh lebih dari 1

organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO).

Sepuluh RFMO yang banyak kegiatannya dalam upaya pencegahan IUU Fishing :

1. Commission for the Conservation of Southern Blue-Fin Tuna (CCSBT)

2. Indian Ocean Tuna Commission

3. Commission for Corservation and Management of Highly Migratory Fish Stock in

the Westrn and Central Pacifik Ocean sering disingkat Western and Central Pacifik

Fiheries Commission (WPCFC)

4. Commission for the Conservation of Antarctic Marine Living Resources (CCAMLR)

5. Internasional Commission for the Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT)

6. Northwest Atlantic Fisheries Organization (NAFO)

7. Nort-East Atlantic Fisheries Commission (NEAFC)

8. General Fisheries Commission for the Mediterranean (GFCM)

9. South-East Atlantic Fisheries Organization (SEAFO)

10. Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC)

Page 7: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

7  

Secara umum peran RFMO adalah memanfaatkan, mengelola dan konservasi

sumberdaya perikanan. Menurut McDorman (2005) dalam Nikijuluw (2008), demi

simplifikasi dan memperhatikan otoritas setiap RFMO, terdapat dua aspek penting yang

merupakan fokus keputusan RFMO terhadap aktivitas IUU Fishing, yaitu :

1. Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch) serta

alokasi kuota penangkapan bagi setiap anggota RFMO

2. Penentuan dan pemberlakuan langkah yang berkaitan dengan penggunaan alat

tangkap, metode penangkapan, musim penangkapan, jumlah upaya penangkapan,

musim tidak menangkap, moratorium dan pembatasan ukuran ikan yang ditangkap.

Dasar Hukum RFMO

Sumberdaya perikanan memiliki peran penting dalam penyediaan bahan pangan,

kesempatan kerja, rekreasi, perdagangan dan kesejahteraan ekonomi bagi sebagian

penduduk. Namun demikian, peningkatan populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan

laut, ditambah semakin meningkatnya kecanggihan teknologi membuat peluang terjadinya

perubahan sistem alamiah dari lautan semakin besar. Perubahan tersebut dapat

mengakibatkan berbagai hal negatif, baik pada sumberdaya yang terkandung di lautan

maupun terhadap aspek fisik dari laut itu sendiri sebagai wadahnya. Oleh karena itu, dalam

pemanfaatan sumberdaya perikanan diperlukan pengelolaan yang berorientasi pada

kepentingan jangka panjang, tidak hanya bagi generasi saat ini namun juga bagi generasi

masa depan. Sehingga pengelolaan yang bertanggung jawab menjadi kunci utama untuk

menjawab tantangan pembangunan perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries

development). Wacana keberlanjutan perikanan tidak dapat dilepaskan dari fenomena krisis

Page 8: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

8  

perikanan global, dimana RFMO dianggap sebagai terobosan untuk mengatasi masalah ini.

Hal ini merupakan amanat dari berbagai ketentuan internasional, khususnya UNCLOS 1982.

Pada UNCLOS 1982, baik pengelolaan maupun pemanfaatan sumberdaya ikan oleh

RFMO tertuang pada Pasal 61 sampai Pasal 67 yang merupakan termasuk Bab V mengenai

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Selain di pengaturan di wilayah ZEE, UNCLOS 1982 juga

mengamanatkan kerjasama negara-negara dalam konservasi dan pengelolaan sumber

kekayaan hayati sebagaimana yang tertuang pada Pasal 118 yang termasuk pada Bab VII

mengenai Laut Lepas. Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “Negara-negara harus

melakukan kerjasama satu dengan lainnya dalam konservasi dan pengelolaan sumber

kekayaan hayati di daerah laut lepas. Negara-negara yang warga negaranya melakukan

eksploitasi sumber kekayaan hayati yang sama atau sumber kekayaan hayati yang berlainan

di daerah yang sama, harus mengadakan perundingan dengan tujuan untuk mengambil

tindakan yang diperlukan untuk konservasi sumber kekayaan hayati yang bersangkutan.

Mereka harus, menurut keperluan, bekerjasama untu menetapkan organisasi perikanan sub-

regional atau regional untuk keperluan ini”.

Selain diatur pada ZEE dan Laut Lepas, UNCLOS 1982 juga mengaturnya pada Bab

IX mengenai Laut Tertutup atau Setengah Tertutup, tepatnya pada Pasal 123 yang

menyebutkan bahwa “Negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah

tertutup hendaknya bekerjasama satu sama lainnya dalam melaksanakan hak dan kewajiban

berdasarkan Konvensi ini. Untuk keperluan ini mereka harus berusaha secara langsung

atau melalui organisasi regional yang tepat: (a) untuk mengkoordinasikan pengelolaan,

konservasi, eksplorasi dan eksploitasi sumber kekakayaan hayati laut; (b) untuk

mengkoordinasikan pelaksanaan hak dan kewajiban mereka bertalian dengan perlindungan

Page 9: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

9  

dan pemeliharaan lingkungan laut; (c) untuk mengkoordinasikan kebijaksanaan riset ilmiah

mereka dan untuk bersama-sama mengadakan program bersama riset ilmiah di

kawasannya; dan (d) untuk mengundang, menurut keperluan, negara lain yang berminat

atau organisasi internasional untuk bekerjasama dengan mereka dalam pelaksanaan lebih

lanjut ketentuan pasal ini”.

Pengaturan illegal fishing yang terjadi di wilayah RFMO tertuang juga pada IPOA

on IUU Fishing, yaitu disebutkan bahwa illegal fishing mengacu pada kegiatan-kegiatan

yang: (a) diselenggarakan oleh kapal nasional atau asing di perairan di bawah yurisdiksi

suatu negara, tanpa izin dari negara tersebut, atau pelanggaran hukum dan peraturan negara

tersebut; (b) diselenggarakan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negaranya yang

merupakan bagian dari organisasi pengelola perikanan yang terkait tetapi melanggar

prosedur konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi tersebut dan dengan

mana sebuah negara terikat, atau perjanjian yang terkait dari hukum internasional, (c) dalam

pelanggaran hukum nasional atau kewajiban internasional, termasuk yang dilakukan oleh

negara-negara yang bekerjasama dalam organisasi pengelola perikanan yang terkait.

RFMO di sekitar Perairan Indonesia

Bermunculannya RFMO didasarkan sifat sumberdaya ikan yang selalu bermigrasi

melintasi batas wilayah antar negara (transboundary). Akibatnya, kegiatan penangkapan

ikan yang berlebihan di suatu negara dapat menyebabkan ancaman kepunahan ikan di

negara lain dan munculnya konflik pemanfaatan sumberdaya di dunia, misalnya konflik

antara Amerika Serikat, Uni Soviet, dan negara-negara yang melakukan penangkapan ikan

di luar wilayah Alaska di sekitar laut Bering, dan konflik antara Kanada dan Uni Eropa di

Northwest Atlantik, telah menjadi alasan utama pembentukan RFMO di suatu kawasan.

Page 10: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

10  

IATTC

WCPFCIOTC

CCSBT CCSBT

ICCAT

Status saat ini: Full Member (Perpres No. 9 Tahun 2007)

Status saat ini: Contracting Non‐PartyRencana ke depan: Member WCPFC (dalam proses)

Status Saat ini:  Full member (PerPres No. 109  Tahun 2007) Status Saat ini: tidak aktif

IOTC : Indian Ocean Tuna CommissionCCSBT : Commission for the Conservation of Southern Bluefin TunaWCPFC : Western and Central Pacific fisheries Commision

IATTC : Inter‐Amerfican Tropical Tuna CommissionICCAT : International Commission for the Conservation

of Atlantic Tunas

Gambar 2 : Kawasan Kompetensi Beberapa Organisasi Perikanan Regional dan Status Keanggotaan

Indonesia di Dalamnya (Sumber: Sutisna, 2009).

Hingga saat ini, di dunia internasional telah terdapat berbagai bentuk organisasi

regional maupun internasional yang menunjukkan perhatiannya pada perlunya pengelolaan

sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Hampir semua wilayah perairan laut di dunia

telah diatur oleh organisasi tersebut. Aturan-aturan itu jelas mengikat para anggota di

dalamnya yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah laut perairan tersebut.

Umumnya keanggotaan RFMO tidak terlalu terkait pertimbangan geografis negara

yang bersangkutan, namun lebih pada wilayah perairan mana suatu negara melakukan

penangkapan ikan. Negara yang tidak menjadi anggota dan melakukan penangkapan ikan di

wilayah perairan tertentu akan mendapatkan sanksi perdagangan internasional.

Sementara itu, Indonesia termasuk salah satu negara berpantai (coastal state) yang

telah bergabung dengan beberapa organisasi perikanan regional (RFMO) yang terbentuk di

daerah laut lepas dan berdampingan dengan perairan Indonesia. Terdapat tiga RFMO dimana

Indonesia terlibat di dalamnya, yaitu: (1) Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), (2) The

Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), (3) Commission for

the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stock in the Western and

Page 11: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

11  

Central Pacific Ocean (WCPFC). Baik sebagai anggota tetap (contracting parties) maupun

anggota tidak tetap (non-contracting parties).

1. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)

Organisasi ini didirikan pada 25 November 1993 di Roma, Italia dan mulai efektif

bekerja pada 27 Maret 1996. Markas besar IOTC berkedudukan di Victoria, Seychelles.

Wilayah kompetensi IOTC adalah Samudera Hindia yang terdiri dari daerah penangkapan

51 dan 57 menurut klasifikasi FAO. Di sebelah barat Samudera Hindia batas wilayah

kompetensi IOTC 20o Bujur Timur, berbatasan dengan Samudera Atlantik Selatan.

IOTC merupakan salah satu RFMO, yaitu organisasi pengelolaan perikanan regional

dibawah FAO, yang diberi mandat untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan tuna di

wilayah Samudra Hindia. Terdapat 16 jenis ikan tuna yang diatur pengelolaanya oleh IOTC,

yaitu: Yellow Fin Tuna, Skipjack, Bigeye Tuna,Albacore Tuna,Southern Bluefine Tuna,

Long tail Tuna, Kawakawa, Frigate Tuna, Bullet Tuna,Narrow Barred Spanish

Mackerel,Indo Pacific King Mackerel,Indo Pacific Blue Marlin,Black Marlin,Strip

Marlin,Indo Pacific Sailfish, dan Swordfish.

Tujuan IOTC adalah membangun kerjasama antar anggota dalam rangka menjamin

dilaksanakannya pengelolaan, konservasi, serta pemanfaatan secara berkelanjutan terhadap

stok ikan yang berada dibawah kompetensi IOTC.

Keanggotaan IOTC terdiri dari contracting parties dan non-contracting parties.

Hingga Mei 2007, negara-negara yang menjadi anggota contracting parties IOTC adalah

Australia, Cina, Komoros, Eritrea, Prancis, Guinea, India, Iran, Jepang, Kenya, Korea

Selatan, Oman, Madagaskar, Malaysia, Mauritius, Pakistan, Filipina, Seychelles, Sri Lanka,

Sudan, Thailand, Vanuatu, Amerika Serikat, Uni Eropa, Belize, Tanzania dan Indonesia.

Page 12: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

12  

Sementara Negara yang termasuk non-contracting parties, yaitu Senegal, Afrika Selatan dan

Uruguay. Pada IOTC tidak ada pengaturan kuota sebagaimana RFMOs lainnya.

Hingga saat ini, status Indonesia sudah menjadi anggota atau contracting parties

IOTC ke-27. Dengan demikian, Indonesia memiliki akses langsung terhadap perairan

Samudera Hindia dalam rangka memanfaatan sumberdaya ikan di kawasan tersebut.

Indonesia resmi menjadi negara full member IOTC ke-27 pada tanggal 20 Juni 2007.

Masuknya Indonesia menjadi full member IOTC berdasarkan Peraturan Presiden RI No.9

Tahun 2007, tanggal 5 Maret 2007 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Komisi

Tuna Samudera Hindia.

Sebagai full member, Indonesia berpeluang memanfaatkan sumberdaya ikan di laut

lepas dengan kewajiban efektif mengontrol kapal perikanan Indonesia yang melakukan

kegiatan penangkapan. Armada perikanan Indonesia yang terdaftar di IOTC hingga tahun

2008 adalah 874 kapal, terdiri dari 871 kapal longline dan 3 kapal purse seine di Samudera

Hindia. Sedangkan jumlah tangkapan dari kapal Indonesia yang terdaftar di IOTC pada

tahun 2007 mencapai 252,227 ton, atau 24,1 % dari 104.673,7 ton tangkapan tuna.

2. The Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)

 

CCSBT didirikan pada 10 Mei 1993 di Canberra, Australia, dan mulai efektif bekerja

pada 20 Mei 1994. Markas CCSBT di Deakin, Australia. Tujuan Komisi ini adalah

menjamin keberlangsungan pemanfaatan secara optimum sumberdaya Southhern Bluefin

Tuna dengan mengambil langkah dan tindakan manajemen dan konservasi. Wilayah

kompetensi CCSBT adalah keseluruhan perairan yang merupakan habitat bagi Southhern

Bluefin Tuna yang meliputi kawasan 30o – 50o Lintang Selatan serta daerah pemijahan

(Spawning ground) di daerah selatan Jawa.

Page 13: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

13  

Pembentukan CCSBT didasari menurunnya jumlah ikan tuna sirip biru (southern

bluefin tuna) dewasa, dan tangkapan tahunan mulai jatuh secara cepat pada awal tahun

1960-an. Penurunan hasil tangkapan semakin meningkat, dimana pada pertengahan tahun

1980-an diperlukan pembatasan tangkapan. Hal inilah yang menuntut Australia, Jepang dan

Selandia Baru melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi untuk meningkatkan stok

ikan SBT pada tahun 1985, dengan cara membatasi kuota tangkapan kapal ikan.

Contracting Parties CCSBT adalah Australia, Selandia baru, Korea Selatan, Jepang,

Filipina, Indonesia dan Taiwan. Khusus untuk Taiwan masuk dalam komisi yang diperluas

dimana keanggotaannya bukan negara, tetapi organisasi perusahaan perikanannya. Beberapa

negara yang diterima sebagai co-operating non-member, yaitu Filipina, Afrika Selatan dan

Uni Eropa yang disyaratkan untuk menyepakati batasan jumlah tangkapan.

Indonesia menjadi Anggota atau Contracting Parties di SCCSBT tahun 2007

berdasarkan Peraturan Presiden No.109/2007, tanggal 6 Desember 2007, Tentang

Pengesahan Consvention for the Consrvation of Souther Bluefin Tuna. Alasan Indonsia

diterima menjadi Contracting Parties karena spawning ground Souther Bluefin Tuna

terdapat di Wilayah Selatan Jawa, kemudian juvenilnya bermigrasi ke pantai barat Australia.

3. Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish

Stock in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC)   WCPFC didirikan di Honolulu, USA pada 4 September 2000, namun mulai aktif

pada 19 Juni 2004. Wilayah kompetensi WCPFC adalah Samudera Pasifik bagian Tengah

dan Barat. Batas bagian Barat wilayah ini adalah pesisir benua Asia, batas bagian Barat

lainnya di Selat Tores pada Selatan Papua, pantai barat benua Australia dan garis 150o bujur

Page 14: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

14  

timur. Sebelah Selatan batas kompetensi WCPFC adalah gari 60o lintang selatan, sementara

batas Timur wilayah kompetensi WCPFC adalah garis 150o bujur barat.

Tujuan utama WCPFC adalah mengembangkan langkah efektif untuk mengelola dan

memanfaatkan sumberdaya perikanan di kawasan kompetensinya, yaitu : Ikan Cakalang,

yellofin tuna, albacore, dan bigeye tuna.

Anggota atau Contracting Parties komisi ini adalah : Australia, China, Cook Islands,

Federated States of Micronesia, Fiji Islands, Korea Selatan, Kiribati, Marshall Islands,

Nauru, Selandia Baru, Niue, PNG, Samo, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu, Filipina, serta

Uni Eropa, yang menjadi Cooperating Non-Members adalah organisasi perikanan Taiwan

dan Indonesia, namun Indoesia sedang dalam proses untuk menjadi Contracting Parties

WCPFC, dimana sudah banyak pertemuan dan sidang WCPFC selalu dihadiri Indonesia.

Dasar Hukum Keterlibatan Indonesia dalam RFMO

Sebagai negara maritim yang tengah terus mengembangkan armada perikanannya,

sudah selayaknya Indonesia ikut mengambil haknya untuk memanfaatkan sumberdaya ikan

di laut lepas sebagai asas kebebasan menangkap ikan,sebagaimana tertuang dalam UNCLOS

1982. Namun, Indonesia juga harus mengikuti ketentuan hukum internasional yang berlaku

khususnya aturan yang dikeluarkan oleh RFMO dalam mengelola sumber daya ikan.

Dengan masuknya Indonesia sebagai Contracting Parties dalam RFMO, di samping

mempunyai hak suara, Indonesia juga memperoleh beberapa manfaat, seperti: (1)

penghematan waktu dan biaya dari kesempatan kerjasama penelitian dan pengumpulan data

perikanan, (2) pemanfaatan total allowable catch, (3) melakukan monitoring controlling and

surveilance, (4) penegakan hukum serta pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan yang

banyak membutuhkan tenaga ahli, (5) Indonesia tidak dianggap melakukan penangkapan

Page 15: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

15  

ilegal di perairan laut lokasi RFMO, dan (6) mendapatkan jaminan akses pemasaran tuna di

pasaran internasional.

Keterlibatan Indonesia dalam pengelolaan ikan regional maupun internasional telah

diamanatkan oleh UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Misalnya, dimuatnya

pengaturan kegiatan perikanan di laut lepas sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5,

yaitu; “Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia

yang diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan dan atau

standar internasional yang diterima secara umum”. UU No. 31 Tahun 2004 juga menuntut

Pemerintah Indonesia untuk ikut aktif dalam keanggotaan organisasi regional dan

internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan internasional

sebagaimana yang tertuang pada Pasal 10 ayat 1 yaitu : “Untuk kepentingan kerja sama

Internasional, pemerintah (a) dapat mempublikasikan secara berkala hal-hal yang

berkenaan dengan langkah konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan; (b) bekerja sama

dengan Negara tetangga atau dengan Negara lain dalam rangka konservasi dan

pengelolaan sumberdaya ikan di laut lepas, laut lepas yang bersifat tertutup dan wilayah

kantong; (c) memberitahukan serta menyampaikan bukti-bukti terkait kepada Negara

bendera asal kapal yang dicurigai melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan

dalam konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan, dan dalam pasal 10 ayat 2 yaitu :

“Pemerintah ikut serta aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan

internasional dalam rangka kerja sama pengelolaan perikanan regional dan internasional”.

Secara yuridis Indonesia telah mempunyai landasan hukum yang jelas dalam

melakukan kerja sama pengelolaan perikanan dengan negara-negara tetangga, baik di

wilayah perairan yang berbatasan maupun di perairan laut lepas. Keterlibatan Indonesia

Page 16: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

16  

dalam RFMO tidak hanya bertujuan dalam program pencitraan diri sebagai negara yang

bertanggung jawab dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan secara global. Tetapi lebih

dari pada itu, dalam rangka memfasilitasi warga negaranya untuk mengakses sumberdaya

ikan di laut lepas, seiring semakin menipisnya stok sumberdaya ikan di perairan Indonesia

pada umumnya.

Dengan demikian Dalam rangka menciptakan pengelolaan perikanan yang

bertanggung jawab dan berkelanjutan, Indonesia sudah seharusnya berperan aktif dalam

RFMO. Terkait dengan hal ini, pemerintah harus segera merumuskan kebijakan perikanan di

wilayah laut lepas yang tentu saja dalam penyusunannya melibatkan dan menguntungkan

nelayan Indonesia.

Page 17: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

17  

Untuk mengetahui pentingnya keterlibatan Indonesia dalam organisasi perikanan

regional (RFMO) maka perlu dilakukan Analsia SWOT.

Matriks SWOT Pentingnya Kerjasama Perikanan Regional (RFMO) bagi Bangsa Indonesia

Pentingnya Kerja Sama Perikanan Regional

(RFMO)

Strength Secara geografis Indonesia berada padaposisi  yang  sangat  strategis  danmenguntungkan,  diantra  samuderaHindia dan Samudera Pasifik yang kayapotensi sumberdaya perikanan 

Perairan  Indonesia  dijadikan  sebagaialur migrasi dari  jenis sumberdaya  ikanyang bermigrasi  jauh dan  juga  sebagaitempat pemijahan serta pembesaran 

Weakness Terbatasnya  kemampuan  Indonesia untuk  memanfaatkan  potensi sumberdaya  perikanan  pada  ZEEI, laut perbatasan dan laut bebas 

Rendahnya  Law  Enforcment  dan minimnya  fasilitas  pengawasan keamanan laut  

Opportunity Ikan  migratory  Spesies merupakan  produk  perikanan unggulan di pasar Internasional 

Semakin  banyak  RFMO  dalam upaya  pemanfaatan  migratory species di laut bebas 

(SO)  Menjadi  Contracting  Parties  dalamberbagai RFMO 

Peningkatan kerjasama penelitian terkaitsumberdaya  ikan  yang bermigrasi  jauhuntuk upaya pemanfaatan, pengelolaandan konservasi 

(WO) Kerja sama antar negara anggota RFMOdalam  monitoring,  controlling  dansurveilance  Mengusahakan  medapatkan  bantuanteknologi  dan  pelatihan  tenaga  ahlipenangkapan di laut bebas 

Threat Maraknya  aktivitas  IUU  Fishing oleh nelayan asing pada ZEEI. 

Embargo  produk  hasil  perikanan tuna  Indonesia  di  pasaran Internasional  karena  dianggap melakukan penangkapan  illegal di kawasan kompetensi RFMO 

(ST) Peningkatan kerja sama negara anggotaRFMO untuk mengatasi lUU Fishing  

Peningkatan  kualitas  data  dan  sistempelaporan  hasil  tangkapan,  jumlaharmada  dan  pertukaran  informasipemanfaatan  sumberdaya  ikan  di  lautlaut perbatasan dan laut bebas 

(WT) Peningkatan  pengamanan  laut  danpenegakan  supremasi  hukum  melaluikoordinasi antar negara anggota RFMO   Terlibat  penuh  Contracting  Partiesdalam  berbagai  RFMO  untukmendapatkan  legalalitas  penangkapandi laut bebas secara berkelanjutan 

Berdasarkan matriks SWOT tersebut, dengan strategi SO, ST, WO dan WT terlihat

bahwa pentingnya menjadi anggota organisasi perikanan regional (RFMO) dalam upaya

memanfaatkan, mengelola dan mengambil tindakan-tindakan konservasi terahadap

sumberdaya perikanan di laut bebas. Kerja sama antar negara sangat dibutuhkan karena

sumberdaya perikanan migratory species selalu melintasi batas wilayah administrasi antar

negara dalam siklus hidupnya, sehingga merupakan suatu peluang bagi Indonesia untuk

mengembangkan sector perikanannya. Selain itu pentingnya Indonesia masuk dalam RFMO

adalah dalam upaya memberantas IUU fishing yang menjadi salah satu tantangan terbesar

dalam pembangunan perikanan.

Page 18: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

18  

PENUTUP

Meskipun terdapat banyak laut bebas yang memang bukan milik suatu Negara

berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982, namun pada dasarnya sudah tidak ada lagi

kebebasan melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan, karena hampir semua laut bebas yang

ada di dunia telah dikelola oleh berbagai organisasi perikanan regional (RFMO). Dengan

demikian setiap negara yang mau memanfaatkan sumberdaya ikan di laut bebas harus ikut

bergabung dan atau tunduk pada aturan organisasi perikanan regional dan UNCLOS 1982.

Keterlibatan Indonesia dalam RFMO selain bertujuan dalam upaya pencitraan diri

sebagai negara yang ikut bertanggung jawab mewujudkan perikanan berkelanjutan secara

global, juga memanfaatkan peluang dalam rangka memfasilitasi warga negaranya untuk

mengakses sumberdaya ikan di laut bebas, seiring menipisnya potensi sumberdaya ikan di

perairan Indonesia. Sementara manfaat bergabungnya Indonesia dalam RFMO adalah :

(1). Mendapatkan berbagai fasilitas seperti bantuan tenaga ahli dalam melakukan

kajian assessment sumberdaya ikan,

(2). Mendapatkan bantuan teknologi penangkapan ikan di laut bebas,

(3).Melakukan penelitian dan pertukaran informasi terkait sumberdaya ikan

migratory species di laut bebas,

(4). Mendapatkan akses dalam pemanfaatan jenis sumberdaya ikan di laut bebas

(5) Mendapatkan jaminan pemasaran hasil perikanan laut bebas ke pasaran

Internasional sekaligus terhindar dari embargo

(6) .Turut serta mengelola dan melakukan tindakan konservasi terhadap sumberdaya

perikanan di laut bebas.

(7).Bersama memerangi aktifitas IUU Fishing dan penegakan supremasi hukum

Page 19: Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

19  

DAFTAR RUJUKAN

Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis dan Gagasan. Penerbit: Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan. Penerbit: Fery Agung Coorporation. Jakarta.

Nikijuluw.V.P.H. 2008. Blue Water Crime. Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal. Pustaka Cidesindo. Jakarta.

Rangkuti, F. 2005. Analisis Swot Teknik Membedah Kasus Bisnis. Penerbit : PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Satria, A. 2002. Dampak IPOA-IUU Fsihing terhadap Perikanan Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi WWF Indonesia Wallacea Programe, Bali, 22 Mei 2002.

Solihin, A. 2008. Perikanan Indonesia Dalam Kepungan Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional dan Internasional. 21 April 2008. Ikan Bijag Weblog, Tanggal Akses 30 September 2009.

Sutisna, D.H. 2009. Arah dan Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap Dalam Peningkatan Perekonomian Nasional. Disampaikan pada Seminar Nasional dan Muswil ke 2 Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI) Wilayah VII. Ambon 3 Agustus 2009.

Suseno. 2007. Menuju Perikanan Berkelanjutan. Penerbit: Pustaka Cidesindo. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. 2005. Bandung: Diperbanyak oleh PT Citra Umbara.