96
Volume 4 Nomor 2 Februari 2018 Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014 Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015 Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode Januari - Maret 2016 Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik Di Palembang Periode 2015-2016 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016 Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan Metode Analisis ABC Indeks Kritis Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Volume 4 Nomor 2 Februari 2018

Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014

Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015 Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode Januari - Maret 2016 Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik Di Palembang Periode 2015-2016 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016 Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan Metode Analisis ABC Indeks Kritis

Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Page 2: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Gambar yang dijadikan sebagai sampul pada edisi

kali ini adalah visualisasi rumah sakit swasta tertua

di Indonesia, yakni Rumah Sakit PGI Cikini. Berdiri

pada 12 Januari 1898, kini RS PGI Cikini telah genap

berusia 116 tahun. Berlokasi di Jalan Raden Saleh

Nomor 40, Cikini, Jakarta Pusat, di atas tanah seluas

5,6 Ha, RS PGI Cikini menempati sebuah bangunan

bergaya gothic-moors yang dahulu adalah milik

seorang pelukis naturalis kenamaan Indonesia,

yakni Raden Saleh (Huis van Raden Saleh).

“Doeloe, Sachsen Coburg-Gotha, Ratu Victoria,

Johannes van den Bosch, dan Herman Willem

Daendels memesan lukisan emas dari pemilik

istana gothic - moors ini”

Cikal bakal RS PGI Cikini telah dimulai sejak 15

Maret 1895 saat Dominee Cornelis de Graaf yang

merupakan seorang misionaris Belanda beserta

sang isteri Adriana J. de Graaf Kooman mendirikan

Vereeniging Voor Ziekenverpleging In Indie atau

perkumpulan orang sakit di Indonesia. Lalu, balai

pengobatan sebagai wadah pelayanan kesehatan

berbagai golongan masyarakat tanpa memandang

kedudukan dan untuk semua suku, bangsa, serta

agama pun dibuka di Gang Pool (di dekat Istana

Negara) pada 1 September 1895.

Dominee dan Adriana lalu mencari dana untuk

mengawali pekerjaan pelayanan kesehatan tersebut

hingga pada akhirnya mereka pun memperoleh

sumbangan senilai 100.000 gulden dari Ratu Emma yang merupakan Ratu negeri kincir angin saat itu. Dari sumbangan

tersebut, maka dibelilah istana megah milik Raden Saleh (Huis van Raden Saleh) pada Juni 1897 dan kegiatan pelayanan

kesehatan pun dialihkan ke gedung ini. Diketahui, Nirin Ninkeulen yang berasal dari Depok adalah pribumi pertama yang

bekerja sebagai tenaga medis di RS Ratu Emma tersebut. Kemudian, pada 1 Agustus 1913, nama Rumah Sakit Ratu Emma

diubah menjadi Rumah Sakit Tjikini.

Pada masa pendudukan Jepang, RS Cikini dijadikan sebagai Rumah Sakit Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Lalu, pasca

pendudukan Jepang (Agustus 1945-Desember 1948), RS Tjikini dioperasikan oleh RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of

War and Internees) dan selanjutnya oleh Dienst van Volksgezondheld (DVG) sebagai Dinas Kesehatan Rakyat Hindia Belanda

hingga pada akhir 1948, RS Cikini dikembalikan pengelolaannya kepada pihak swasta dan dipimpin oleh R.F. Bozkelman.

Kemudian, pada tahun 1957, pengelolaan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini pun diserahkan

kepada DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) dengan Prof. Dr. Joedono sebagai pimpinan sementara hingga diangkatlah dr.

H. Sinaga sebagai direktur pribumi pertama RS Tjikini. Seiring dengan berjalannya waktu, Yayasan Stichting Medische

Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini diubah namanya menjadi Yayasan Rumah Sakit DGI Tjikini. Sehubungan

dengan penyempurnaan ejaan dalam Bahasa Indonesia, maka Yayasan RS DGI Tjikini diubah menjadi Yayasan Kesehatan PGI

Cikini pada 31 Maret 1989. Kini, Yayasan Kesehatan PGI Cikini membawahi Rumah Sakit PGI Cikini, Akademi Perawat RS PGI

Cikini (Akper Cikini), Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia RS PGI Cikini (PPSDM), dan Balai Kesehatan

Masyarakat di Tanjung Barat.

Lambat laun, RS PGI Cikini dikenal khususnya pada bidang pelayanan medis ginjal. Adapun Unit Penyakit Dalam Ginjal dan

Hipertensi (PDGH) dirintis oleh alm. Prof. R.P. Sidabutar dan tim medis tersebut merupakan penyelenggara transplantasi ginjal

pertama di Indonesia. Kini, sebagian besar transplantasi ginjal di Indonesia dilakukan di RS Cikini oleh tim PDGH dan Urologi.

Terkait dengan keunggulan tersebut, RS PGI Cikini telah menciptakan gelar MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai rumah

sakit penyelenggara transplantasi ginjal dengan pasien hidup yang paling lama. Selain pelayanan medis ginjal, RS PGI Cikini

juga menyediakan pelayanan neurologi, medical check up, catheterisasi laboratorium, IGD/emergency, rawat jalan, rawat

inap, rawat intensif, bedah/ operasi, farmasi, radiologi, laboratoratorium kesehatan, diagnostik lain, fasilitas umum, dan juga

rumah duka. Berdasarkan visi “Pelayanan Kesehatan Holistik dengan Sentuhan Kasih”, RS PGI Cikini terus berupaya dalam

rangka memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien/masyarakat dengan berasaskan kemanusiaan yang berdasarkan

Ketuhanan YME sebagai wujud jawaban dan kesaksian iman dalam rangka pembangunan dan peningkatan derajat kesehatan

yang optimal.

Sumber: Tropical Museum Amsterdam (http://www.amsterdammuseum.nl), “100 Tahun RS PGI Cikini, dengan Sentuhan Kasih” buah karya

Dr. Poltak Hutagalung, Amir L. Sirait, & Moxa Nadeak. Gambar merupakan buah karya: Charls, Van Es, & Co.NV.

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 4 Nomor 2 Februari 2018

Page 3: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Penanggung Jawab Umum Dr. Ede Surya Darmawan, SKM, MDM

CHAMPS

(Center for Health Administration and Policy Studies) FKM UI

Dewan Redaksi

Ketua Dewan Redaksi

Prof. Amal Chalik Sjaaf, SKM, Dr.PH

Universitas Indonesia

Wakil Dewan Redaksi

Dr. Adib A. Yahya, MARS PERMAPKIN

(Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia)

Anggota Dewan Redaksi

Prof. Dr. dr. Adik Wibowo, MPH

Universitas Indonesia

Dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS

Prof. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), DTM&H, MARS. DCTE

Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan

Dr. dr. Anwar Santoso, Sp.JP(K) ARSPI

Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia

Dr. Widodo J. Pudjiraharjo, MS, MPH, Dr.PH

Universitas Airlangga

Dr. Syahrir A. Pasinringi, MS

Universitas Hasanuddin

Dr. Suprijanto Rijadi, MPA, Ph.D PERMAPKIN

Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia

Redaktur Pelaksana Vetty Yulianty Permanasari, S.Si, MPH

drg. Masyitoh, MARS

Puput Oktamianti, SKM, MM

Sekretaris Redaksi Anita P. Lubis, SKM

Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit Indonesia) merupa-

kan jurnal ilmiah yang menyajikan artikel orisinal tentang pengetahuan dan informasi riset tentang pengembangan terkini di bidang kesehatan, khususnya terkait dengan isu mengenai administrasi rumah sakit. Jurnal ini diterbitkan 3 kali (3 nomor) dalam 1 tahun (1 volume). Adapun artikel atau naskah ilmiah yang dimuat dalam Jurnal ARSI mencakup ranah penelitian, studi kasus, atau konseptual yang masing-masing mengusung pilar corporate governance, clinical governance, atau keduanya (bridging). Penerbit: Pusat Kajian Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK) FKM UI& Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia (PERMAPKIN) Alamat Redaksi: Gedung G Lt. 3 R. 312 FKM UI Depok 16424 Tlp. 021-80736060 Fax. 021-7867370 Hp. 085211003451 E-mail: [email protected]

ISSN 2406 9108

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 4 Nomor 2 Februari 2018

e-ISSN 1446008136

Page 4: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

1. Jurnal ini memuat naskah dalam bidang ilmu Administrasi Rumah Sakit.

2. Naskah yang diajukan dapat berupa artikel penelitian, artikel telaahan, dan

makalah kebijakan yang belum pernah dipublikasikan.

3. Komponen artikel penelitian, yaitu:

Judul ditulis maksimal 15 patah kata

Identitas penulis ditulis di bawah judul terdiri dari nama, alamat korespodensi,

nomor telepon, dan email

Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimal 200 kata,

dalam satu alinea mencakup masalah, tujuan, metode, hasil, disertai dengan 3-5

kata kunci.

Pendahuluan berisi latar belakang, tinjauan pustaka secara singkat dan relevan

serta tujuan penelitian

Metode meliputi desain, populasi, sampel, sumber data, teknik atau instrumen

pengumpul data, dan prsedur analisis data.

Hasil adalah temuan penelitian yang disajikan tanpa pendapat.

Pembahasan menguraikan secara tepat dan juga argumentatif hasil penelitian

dengan teori dan temuan terdahulu yang relevan.

Tabel diketik 1 spasi dan diberi nomor urut sesuao dengan penampilan dalam

teks. Jumlah maksimal 6 tabel dan atau gambar dengan judul singkat.

Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian dengan tidak melampaui

kapasitas temuan. Saran mengacu pada tujuan dan kesimpulan dibuat dengan

berbentuk narasi, logis, dan tepat guna.

4. Rujukan sesuai aturan Harvard dengan urut sesuai dengan pemunculan dalam

keseluruhan teks, dibatasi 25 rujukan dan diutamkan rujukan jurnal terkini..

5. Naskah masksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan menggunakan

program computer Microsoft Word dan PDF. Dikirm via email ke alamat

[email protected], CD/unggah melalui web www.champs.fkm.ui.ac.id/

content/manuscript.

6. Hardcopy naskah dikirim melalui pos disertai dengan surat pengantar yang

ditandatangani penulis dan akan dikembalikan jika ada permintaan secara

tertulis.

7. Naskah dikirim kepada : Redaksi Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit

Indonesia) Gedung G Lt.3 R.312 FKM UI Depok 16424, Tlp.021-80736060

Fax.021-7867370, Hp.085211003451.

8. Substansi naskah terdiri dari 5% abstrak, 10%pendahuluan, 15% tinjauan

teoritis, 10% metodologi penelitian, 35% hasil dan pembahasan, 25%

kesimpulan dan saran terhitung dari jumlah halaman naskah.

Contoh bentuk referensi:

Artikel Jurnal Penulis Individu:

Zainuddin AA. Kebijakan Pengelolaan Kualitas Udara Terkait Transportasi di Provinsi DKI

Jakarta. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2010; 4 (6): 281-8.

Artikel Jurnal Penulis Organisasi:

Diabetes Prevention Program Reaserch Group. Hypertension, Insulin, & Proinsulin in Partici-

pants with Impaired Glucose Tolerance. Hypertension. 2002: 40 (5): 679-86

Buku yang Ditulis Individu:

Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfaller MA. Medical Microbiology. 4th ed. St. Louis:

Mosby; 2002.

Buku yang Ditulis Organisasi dan Penerbit:

Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Department of Clinical Nursing. Compendium

of Nursing Research & Practice Development, 1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide

University; 2001.

Bab dalam Buku:

Derrida, J. (1979) “Living on Border Lines,” trans. J.Hulbert, in Deconstruction & Criticism, New

York: Continuum, pp. 75–176.

Materi Hukum atau Peraturan:

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah (Perda) (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2008 No. 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4844).

CD-ROM:

LeBlanc, Susan, and Cameron MacKeen. "Racism and the Landfill." The Chronicle-Herald 7

Mar. 1992: B1. CD-ROM. SIRS 1993 Ethnic Groups. Vol. 4. Art. 42.

Artikel Jurnal di Internet:

Nielsen, Laura Beth. "Subtle, Pervasive, Harmful: Racist and Sexist Remarks in Public as Hate

Speech." Journal of Social Issues 58.2 (2002): 265.

Buku di Internet:

Foley KM, Gelband H, Editors. Improving Palliative Care For Cancer [Monograph on The

internet]. Washington: National Academy Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from:

<http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/encyclopedia.html>.

Ensiklopedia di Internet:

Duiker, William J. "Ho Chi Minh." Encarta Online Encyclopedia. 2005. Microsoft.

10 Oct. 2005. <http://encarta.msn.com/encyclopedia_761558397/

Ho_Chi_Minh.html>.

Situs Internet:

Gearan, Anne. "Justice Dept: Gun Rights Protected." Washington Post. 8 May 2002.

SIRS. Iona Catholic Secondary School, Mississauga, ON. 23 Apr. 2004 <http://

www.sirs.com>.

ISSN 2406 9108 e-ISSN 1446008136

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 4 Nomor 2 Februari 2018

Page 5: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Artikel Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balik-

papan Tahun 2014 ………………………………………………...………….………….. Ahmad Jais

Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya ……...……..……………………... Danyel Suryana

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015 …………………………………………………... Yulia Yasmi, dkk

Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwi-bowo Periode Januari - Maret 2016 ……………………………………………………….. Antonius Artanto EP Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik di Palembang Periode 2015-2016 …….………….……..…. Martina Ovinda Suandi

Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016 ……….…………………………...……………….. Timbul Mei Silitonga Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan Metode Analisis ABC Indeks Kritis …………..……………………

Myrna Octaviany

Jurnal arsi Jurnal arsi (Administrasi rumah sakit Indonesia)

Daftar Isi

1

14

26

38

51

63

75

ISSN 2406 9108 e-ISSN 1446008136

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 4 Nomor 2 Februari 2018

Page 6: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 1

Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso

Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014

Analysis of Heart Disease Care System in Hospital Balikpapan Dr. Kanujoso

Djatiwibowo Hospital Balikpapan 2014

Ahmad Jais

Program Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email :[email protected]

ABSTRAK

Analisis Sistem merupakan penguraian operasional suatu sistem yang meliputi upaya pengidentifikasian tujuan,

kegiatan, pelaksanaan kegiatan, situasi yang dihadapi serta informasi yang dibutuhkan sistem disetiap tahap

pelaksanaannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan perpaduan Teori Sistem Donabedian-Azwar, dengan

pokok tahapan Struktur/Input-Proses-Output/Outcome untuk melihat sistem pelayanan penyakit jantung di RSUD

Dr.Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014. Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Nopember 2015,

menggunakan rancangan kualitatif dengan metode deskriptif analitik. Analisis dilakukan dengan data bersumber

dari telaah dokumen medik pasien penyakit jantung di RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan tahun 2014,

observasi dan wawancara mendalam terhadap informan terpilih. Hasil penelitian menunjukan faktor dari

Struktur/Input yang berpengaruh terhadap mortalita dalam sistem pelayanan penyakit jantung di RSUD Dr Kanujoso

Djatiwibowo Balikpapan adalah faktor Pasien, SDM, Fasilitas, dan Metode. Faktor Proses berupa proses pemberian

pelayanan, koordinasi dokter-perawat dan keterpaduan layanan. Disarankan agar pihak RSUD Dr Kanujosos

Djatiwibowo Balikpapan melakukan penambahan tenaga dokter Spesialis Jantung, membuat pelayanan satu atap

pasien penyakit jantung/Cardiac Center dan meningkatkan kerjasama/koordinasi yang baik antara pihak RSUD Dr

Kanujosos Djatiwibowo dengan Faskes Pelayanan Primer, Dinas Kesehatan Kota Balikpapan dan pihak rumah sakit

lainnya yang ada di Kota Balikpapan.

Kata kunci: sistem, donabedian-azwar, input, proses, output, mortalita penyakit jantung.

ABSTRACT

Decomposition Analysis System is operating a system that includes identification efforts objectives, activities,

implementation of activities, the situation faced and information needed at each stage of system implementation.

This study uses a blend of Systems Theory approach Donabedian-Azwar, the principal stages of Structural or Input-

Process-Output or Outcome to look at heart disease care system in hospitals Dr.Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan

2014. The study was conducted from April to November 2015, using a design qualitative descriptive analytic method.

Analysis was performed with the data derived from the study of medical documents cardiac patients in hospitals Dr

Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan in 2014, observation and depth interview with selected informants. The results

showed a factor of structure or Inputs that influence mortality in cardiovascular disease care system in the Hospital

Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan is Patient factors, human resources, facilities, and methods. Factors such as

the process of service delivery, the doctor- nurse coordination and integration of services. It is recommended that

the hospitals Dr Kanujosos Djatiwibowo Balikpapan perform additional doctors Heart Specialist, create one- stop

service for cardiovasculardisease or Cardiac Center and increase cooperation orcoordination between the

hospitals Dr Kanujosos Djatiwibowo with Primary Health Care Facility, City Health Department Balikpapan and

house parties other hospitals in the city of Balikpapan.

Keywords: system, donabedian-azwar, input, process, output, heart disease mortality.

Page 7: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 2

PENDAHULUAN

Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan

kesehatan memiliki peran yang sangat strategis dalam

upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan

masyarakat Indonesia. Sebagai suatu organisasi rumah

sakit dituntut untuk meningkatkan kinerjanya sesuai

pertumbuhan dan pengaruh lingkungan agar mampu

memberikan pelayanan yang bermutu. Pasien

mengartikan pelayanan yang bermutu dan efektif jika

pelayanannya nyaman, menyenangkan dan petugas

ramah yang mana secara keseluruhan memberikan

kesan kepuasan terhadap pasien, masuk rumah sakit

dalam keadaan yang sakit dan keluarnya menjadi

sembuh. Sedangkan dari pihak pemberi pelayanan,

mengartikan pelayanan yang bermutu dan efisien jika

pelayanan sesuai sesuai standar pemerintah. Adapun

kondisi yang sering dikeluhkan oleh pemakai jasa

rumah sakit adalah sikap dan tindakan dokter atau

perawat, sikap petugas administrasi, sarana yang kurang

memadai, lambannya pelayanan, persediaan obat, tarif

pelayanan, peralatan medis dan lain-lain (Azwar, 2010).

Berdasarkan data sepuluh penyakit penyebab kematian

dalam dekade tahun 2013 dan tahun 2014 dari Dinkes

Kota Balikpapan dapat dikatakan bahwa secara umum

di Kota Balikpapan penyakit- penyakit degenerative

yang terbanyak menyebabkan kematian, dimana jenis

penyakit stroke (cerebrovascular disease), penyakit

jantung (ischemic heart disease), masing-masing

menjadi peringkat pertama dan kedua. Sementara itu

data dari RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan

yang merupakan rumah sakit pusat rujukan di Kota

Balikpapan (RS Kelas B), penyakit jantung

(atherosclerosisic hearth disease dan Congestive hearth

failure) merupakan penyakit penyebab kematian yang

selalu menduduki peringkat lima terbesar dalam dua

tahun terakhir. Berdasarkan data tersebut penulis tertarik

untuk meneliti tentang Sistem Pelayanan Penyakit

Jantung di RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo

Balikpapan Tahun 2014. Dengan demikian yang

menjadi pertanyaan penelitian atau permasalahan

adalah:”Bagaimanakah sistem pelayanan penyakit

Jantung di RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo

Balikpapan Tahun 2014?

Penelitian ini secara umum bertujuann menganalisis

sistem pelayanan penyakit jantung di RSUD Dr.

Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014.

Tujuan khusus:

1. Diketahuinya gambaran input yang berkaitan

dengan pemberian layanan medis penyakit Jantung

(Kondisi Pasien saat masuk RS, SDM, Sarana-

Prasarana, dan Metode) yang ada di RSUD Dr.

Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014.

2. Mendapat gambaran proses yang meliputi proses

pemberian pelayanan dari dokter dan perawat,

koordinasi antara dokter–perawat serta keterpaduan

pelayanan pasien penyakit Jantung di RSUD

Dr.Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun

2014.

3. Diketahuinya gambaran output Mortalitas berupa

NDR dan GDR dari pasien penyakit Jantung di

RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan

Tahun 2014.

TINJAUAN TEORITIS

Pengertian Sistem

Jogiyanto (2005) menyatakan sistem adalah kumpulan

dari elemen-elemen yang berinteraksi untuk mencapai

tujuan. Sistem terbentuk dari bagian atau elemen-

elemen yang saling mempengaruhi. Secara umum

sistem dapat dibedakan atas dua macam yaitu sistem

sebagai wujud dan sistem sebagai metoda. Sistem

sebagai wujud apabila bagian-bagian atau elemen-

elemen yang terhimpun dalam sistem tersebut

membentuk suatu wujud yang ciri- cirinya dapat

dideskripsikan secara jelas. Sistem sebagai metode

apabila bagian-bagian yang terhimpun dalam sistem

tersebut membentuk suatu metode yang dapat dipakai

sebagai alat dalam melakukan pekerjaan administrasi.

Unsur Sistem

Sistem terbentuk dari bagian atau elemen. Ditinjau dari

sudut peranan dan kedudukannya terhadap lingkungan,

maka pembagian sistem dapat dibedakan atas

Suprasistem, Sistem dan Subsistem. Lingkungan

dimana sistem itu berada disebut suprasistem, sesuatu

yang sedang diamati dan menjadi objek dan subjek

pengamatan disebut sistem, sedangkan subsistem

merupakan bagian dari sistem yang secara mandiri

membentuk sistem pula tetapi kedudukan dan

peranannya lebih kecil dari sistem (Azwar, 2010).

Elemen pada pendekatan sistem ada enam unsur,

yaitu:

Page 8: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 3

1. Input (Masukan ) 2. Process (Proses)

3. Feed back (Umpan Balik)

4. Impact (Dampak)

5. Environment (Lingkungan)

(ditampilkan dalam gambar 1).

Analisis Sistem

Pendekatan sistem adalah upaya untuk melakukan

pemecahan masalah yang dilakukan dengan melihat

masalah yang ada secara menyeluruh.Pendekatan

sistem harus memenuhi persyaratan Banathi 1991

dalam Miarso (2011) yaitu: sistemik (menyeluruh),

sistematik (berurutan, terarah), senergistik (adanya nilai

tambah diseluruh aspek kegiatan), dan isomeristik

(menggabungkan hal-hal yang sesuai dengan kajian

bidang).

Sementara itu ada juga pendekatan sistem yang

diterapkan dalam layanan kesehatan dengan membagi

sistem kesehatan menjadi tiga komponen, yaitu

struktur, processes, dan outcome. Teori ini

diperkenalkan oleh Dr. Avendis Donabedian 1980

dalam U.S Departemen of Health and Human Service

(2011), ditampilkan dalam gambar 2.

Menurut Donabedian 1980 dalam Bustami (2011),

juga mengemukakan bahwa komponen dari sistem

pelayanan kesehatan terdiri dari masukan (Input,

disebut juga structure), proses, dan hasil (outcome).

Kondisi Pasien Masuk IRD

IRD ( Instalasi Rawat Darurat ) atau ada yang

menyebutnya UGD (Unit Gawat Darurat) maupun

Emergency Room merupakan sebuah unit yang

melayani pasien dalam kondisi gawat darurat

berdasarkan Triage (Triase) yang ditentukan oleh

dokter UGD. Sedangkan Triage adalah sebuah

tindakan pengelompokan pasien berdasarkan berat

ringannya kasus, harapan hidup dan tingkat

keberhasilan yang akan dicapai sesuai dengan standar

pelayanan UGD yang dimiliki. Dalam menentukan

prioritas penanganan pasien maka perlu melihat dan

menemukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang

dihadapi oleh pasien dengan pendekatan triage

(http://www.kompasiana.com/bidancare/Pelayanan-Pa

sien-dengan-Sistem-Triage-di-Unit-Gawat-Darurat),

yaitu:

a. Biru: Gawat darurat, resusitasi segera yaitu untuk

penderita sangat gawat/ ancaman nyawa.

b. Merah: Gawat darurat, harus MRS yaitu untuk

penderita gawat darurat (kondisi stabil atau tidak

membahayakan nyawa )

c. Kuning: Gawat darurat, bisa MRS /Rawat jalan

yaitu untuk penderita darurat, tetapi tidak gawat.

d. Hijau: Gawat tidak darurat, dengan penanganan

bisa rawat jalan yaitu untuk bukan penderita gawat.

e. Hitam : Meninggal dunia

Sumber Daya Manusia (SDM)

Sumber daya manusia merupakan pilar utama

sekaligus penggerak roda organisasi dalam upaya

mewujudkan visi dan misinya. Karenanya harus

dipastikan sumber daya ini dikelola dengan sebaik

mungkin agar mampu memberi kontribusi secara

optimal. SDM di rumah sakit menjadi hal penting yang

mendukung berkembangnya rumah sakit dan menjadi

tolak ukur penting dalam penilaian pengembangan

mutu pelayanan di rumah sakit. Maka diperlukanlah

sebuah pengelolaan secara sistematis dan terencana agar

tujuan yang diinginkandimasa sekarang dan masa

depan bisa tercapai yang sering disebut sebagai

manajemen sumber daya manusia (Rivai, 2004)

Jika ditinjau dari kegiatan badan usaha maka sumber

daya manusia selalu dikaitkan dengan produktivitas

kerja. Secara umum disebutkan bahwa suatu Negara

mempunyai SDM yang berkualitas apabila

produktivitas kerja para tenaga kerja di Negara tersebut

adalah tinggi. Adapun yang dimaksud dengan

produktivitas kerja disini adalah kemampuan tenaga

kerja menghasilkan barang atau jasa persatuan waktu.

Makin banyak dan bermutu barang atau jasa yang

dihasilkan tersebut, maka makin tinggi produktivitas

kerja tenaga kerja yang dimaksud (Azwar, 2004).

Sarana–Prasarana atau Fasilitas

Dalam kajian kebutuhan penyelenggaraan rumah sakit

harus didasarkan pada studi kelayakan dengan

menggunakan prinsip pemerataan pelayanan, efisiensi

dan efektivitas, serta demografi. Bangunan rumah sakit

harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan

pelayanan kesehatan yang paripurna, pendidikan dan

pelatihan, serta penelitian dan pengembangan ilmu

Ahmad Jais, Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014

Page 9: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 4

pengetahuan dan teknologi kesehatan. Bangunan

rumah sakit juga harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

1. Persyaratan administratif dan persyaratan teknis

bangunan gedung pada umumnya, sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Persyaratan teknis bangunan rumah sakit, harus

sesuai dengan fungsi, kenyamanan dan kemudahan

dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan

keselamatan bagi setiap orang, termasuk pula

penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut.

Prasarana rumah sakit meliputi: instalasi air; instalasi

mekanikal dan elektrikal; instalasi gas medik; instalasi

uap; instalasi pengelolaan limbah; pencegahan dan

penanggulangan kebakaran; petunjuk, standar dan

sarana evakuasi saat terjadi keadaan darurat; instalasi

tata udara; sistem informasi dan komunikasi; serta

ambulan. Semua prasarana tersebut harus menuhi

standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan

kesehatan kerja penyelenggaraan rumah sakit, untuk itu

maka prasarana tersebut harus dalam keadaan

terpelihara dan berfungsi dengan baik.

Kebijakan

Kebijakan ditekankan pada pandangan luas yang masih

dalam pemikiran dan bersifat universal dan objektif.

Kebijakan atau sering diistilahkan wisdom berpangkal

dari kata wise yang didefinisikan sebagai having gained

a great deal of knowledge from books or both and able

to use well. Bila dikaitkan dengan keputusan maka akan

bergeser maknanya menjadi bijaksana (Subijanto,

2004).

Beberpa Prinsip/Filosofi Kebijakan Perumahsakitan di

Indonesia antara lain:

1. Melindungi masyarakat (Protection the people) dari

pelayanan substandar;

2. Memberikan arah kepada rumah sakit (To guide the

hospital);

3. Memberdayakan masyarakat organisasi profesi,

asosiasi institusi, serta Pemerintah Daerah

(Empowering Profesional and Institutions);

4. Ada kepastian hukum untuk rumah sakit, tenaga

kesehatan dan pasien/masyarakat;

5. Biaya pelayanan pasien di ruang perawatan kelas 3

rumah sakit Pemerintah dan Swasta sedapat

mungkin ditanggung pembiayaannya oleh

Pemerintah;

6. Mendorong rumah sakit di daerah terpencil dan

perbatasan untuk memenuhi standar rumah sakit

melalui pemeberian bantuan fisik bangunan dan

peralatan medis;

7. Pengembangan akreditasi rumah sakit dan patient

safety. Dimana rumah sakit menjadi wajib ikut

akreditasi minimal untuk pelayanan medis, gawat

darurat, keperawatan, rekam medis dan administarsi

- manajemen.

Standar Prosedur Operational (SPO)

Tambunan (2013) menjelaskan bahwa pada dasarnya

SPO adalah pedoman yang berisi prosedur-prosedur

operasional standar yang ada dalam suatu organisasi

yang digunakan untuk memastikan bahwa semua

keputusan dan tindakan serta penggunaan fasilitas-

fasilitas proses yang dilakukan oleh orang-orang

didalam organisasi berjalan efektif, efisien, konsisten

dan sistematis. Prosedur sudah dianggap baik,

terkadang dipahami dan dilaksanakan secara berbeda,

hal ini disebabkan kurangnya pelatihan terkait dengan

penerapan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan,

kurangnya sosialisasi, prosedur tersebut dianggap tidak

cocok dengan kondisi yang ada pada saat itu.

Proses Pemberian Pelayanan

Menurut Bustami (2011), bahwa Proses adalah semua

kegiatan atau aktivitas dari seluruh karyawan atau

tenaga profesi dalam interaksinya dengan pelanggan,

baik pelanggan internal (sesama petugas atau

karyawan) maupun pelanggan eksternal (pasien,

pemasok barang dan masyarakat yang datang ke

puskesmas atau di rumah sakit untuk maksud

tertentu).Penjelasan lain Donabedian 1980 dalam

Bustami (2011) disebutkan a set of activities that go on

within and between practitioners and patients, atau

serangkaian kegiatan yang berlangsung di dalam dan di

antara praktisi dan pasien.

Pengertian dan Lingkup Rumah Sakit

Istilah hospital (rumah sakit) berasal dari kata Latin,

hospes (tuan rumah), yang juga menjadi akar kata

hotel dan hospitality (keramahan). Rumah sakit

(hospital) adalah sebuah institusi perawatan kesehatan

profesional yang pelayanannya disediakan oleh

dokter, perawat dan tenaga ahli kesehatan lainnya

Page 10: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 5

(Alexandra I, 2012)

Definisi/pengertian atau batasan rumah sakit cukup

beragam:

UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Pasal 34, rumah sakit adalah fasilitas pelayanan

kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan

dan gawat darurat.

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1045/Menkes/Per/XI/2006, rumah sakit

didefinisikan sebagai suatu fasilitas pelayanan

kesehatan perorangan yang menyediakan rawat

inap dan rawat jalan yang memberikan pelayanan

kesehatan jangka pendek dan jangka panjang

yang terdiri dari observasi, diagnostik, terapeutik

dan rehabilitatif untuk orang-orang yang

menderita sakit, cidera dan melahirkan.

METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka konsep dibangun berdasarakan kerangka

teori Sistem Donabedian- Azwar yang dimodifikasi

dengan kebutuhan penelitian. Berdasarkan tinjauan

kepustakaan dan kerangka teori diatas peneliti

menggunakan pendekatan teori sistem dengan

tahapan Input, Proses, dan Output untuk melihat

gambaran sistem pelayanan penyakit jantung di

RSUD Dr. Kanudjoso Djatiwibowo Balikpapan

(ditampilkan dalam gambar 3).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut ini merupakan gambaran umum kematian

pasien penyakit Jantung berdasarkan data dari Bidang

Rekam Medik RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo

Balikpapan dan analisis peneliti (ditampilkan dalam

tabel 1, 2, 3, 4 dan tabel 5).

Analisis Faktor Struktur yang Mempengaruhi

Mortalitas Pasien Jantung

(ditampilkan dalam tabel 6 dan tabel 7).

Sumber Daya Manusia

Hasil analisis SDM Perawat Instalasi Gawat Darurat

dapat dilihat pada tabel 8, 9, 10, 11, 12, 13 dan tabel 14.

Sarana-Prasarana

Analisis sarana dilaksanakan di ruang IRD, ICCU dan

CatLab sebagai tempat pelayanan terhadap pasien

Jantung. Telaah sarana Instalasi Rawat Inap dilakukan

hanya berdasarkan wawancara mendalam saja. Hasil

telaah dan observasi sarana yang telah dilakukan

ditampilkan dalam tabel 15.

Hasil swab terhadap ruang ICCU untuk lantai,

pegangan pintu dan AC terdapat mikrobiologi di atas

kadar maksimum yang diperbolehkan.Hasil

wawancara terkait dengan Sarana-Prasarana antara lain

sebagai berikut:

“Mengenai sarana dan prasarana berkaitan dengan

pelayanan pasien penyakit Jantung saya kira cukup

memadai.lengkaplah di RSKD ini selaku pusat rujukan

yang ada di Kota Balikpapan.”

“Saya kira alat yang dimiliki oleh RS ini sudah

standarlah.. artinya apa yang dipersyaratkan sebagai

rumah sakit di type B dan pusat rujukan di Kota

Balikpapan dan sekitarnya terus dibenahi dan di up

date pihak manajemen.”

Metode (Kebijakan dan SPO)

Berdasarkan observasi penulis di tempat yang terkait

dengan pelayanan pasien penyakit Jantung, penulis

menemukan di Ruangan IRD, di Ruangan CathLab

dan di Ruang ICCU, Poli Jantung, dan Ruang Rawat

Inap masing-masing telah memiliki Standar

Operasional Prosedur (SPO), sementara yang terkait

dengan Kebijakan yang sekiranya dapat menghambat

pelayanan, penulis menggali dari wawancara

mendalam. Berikut ini cuplikan sebagian dari hasil

wawancara terkait dengan pertanyaan “Apakah ada

kebijakan khusus yang diterapkan untuk pelayanan

pasien penyakit Jantung di RSUD Dr Kanujoso

Djatiwibowo Balikpapan, Apakah ada prosedur atau

kebijakan yang menghambat dalam penanganan

pasien dan apakah sudah ada Standar Operasional

Prosedur (SPO) untuk pelyanan pasien penyakit

Jantung?“ :

“Tidak ada kebijakan khusus yang diterapakan untuk

penderita penyakit Jantung, karena setiap penanganan

pasien yang sifatnya darurat ya sama.harus segera

Ahmad Jais, Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014

Page 11: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 6

mendapatkan pertolongan. life saving, soal

administrasi itu soal belakangaan dan menjadi urusan

bagian administrasi dengan keluarga si pasien yang

penting penyelamatan pasien yang utama.”

“Kebijakan BPJS karena adanya pembatasan

obat.terkadang ada obat yang dibutuhkan tetapi karena

belum masuk di Fornas maka tidak bisa diberikan ke

pasien kecuali jika keluarga pasien bayar.”

“Kalau SPO ya itu harus dan di kami sudah ada,

mungkin perlu lebih dilengkapi lagi untuk setiap

pelayanan semestinya perlu di setiap ruangan

pelayanan yang ada di RS ini ada SPO pelayanan

dasar gangguan Jantung.”

Analisis Faktor Proses yang mempengaruhi angka

Mortalitas Jantung

Hal ini dianalisa oleh penulis melalui wawancara

mendalam, karena berdasarkan observasi sepintas

tergambar bahwaa proses pemberian pelayanan itu

sudah berjalan sebagaimana mestinya, namun tetap

yang menjadi keluhan dari perawat persoalan jumlah

dokter Jantungnya yang sendiri sehingga kesempatan

untuk berdiskusi terkait proses penanganan ke pasien itu

menjadi terbatas.

“Ada kejadian obat life saving lagi habis.”

“Keberadaan dokter Jantungnya yang hanya

seoarang diri.tentunya kadang jadwal visitasi pasien ke

ruangan tidak sesuai jadwal.yang mestinya jam 10

saya sudah visitasi.tetapi karena lagi ada penangan

pasien di cathlab ya jadinya kadang jam 11 bahkan

sudah siang baru sempat keruangan.namun demikian

sedapat mungkin terlaksana.”

“Kendala tersebut selalu ada dan itulah tantangannya

sehingga kami dituntut untuk selalu berbenah.termasuk

kedepan untuk menambah tenaga SDM khususnya

dokter Spesialis Jantung.”

Input

Secara umum gambaranmortalitas pasien penyakit

Jantung tahun 2014 yang berjumlah 105 orang hampir

semua pasien yang meninggal tersebut memiliki riwayat

penyakit lain yang juga sebagai pemberat penyakitnya,

dan yang paling tinggi adalah diabetes mellitus, riwayat

penyakit Hipertensi, riwayat gangguan ginjal, dan ada

pasien yang sudah memiliki masalah gangguan jantung

sebelumnya. Hal ini sejalan juga dengan hasil

wawancara dari beberapa informan bahwa sebagian dari

pasien yang meninggal tersebut memiliki riwayat

penyakit komplikasi lainnya yang ikut memperparah

kondisinya saat masuk dirawat di RSUD Dr.Kanujoso

Djatiwibowo Balikpapan.

Analisis mengenai kompetensi SDM perawat di

RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan,

memang sudah terlihat upaya untuk meningkatkan

kualitas SDM guna mewujudkan Misi “Memuaskan

pelanggan dengan memberikan pelayanan berstandar

internasional”. Kegiatan pengelolaan dan pelayanan

pasien tentu tidak terlepas dari kualitas sumber daya

manusia petugas-petugas kesehatan yang terlibat

didalam tindakan pelayanan kepada pasien baik secara

langsung maupun tidak langsung, khususnya dokter,

perawat, dan juga pihak manajemen yang ada di rumah

sakit yang saling berhubungan. Jika kualitas sumber

daya manusia yang baik maka sebuah program dapat

berjalan dan mengahasilkan output yang baik pula

(Sembiring, 2008). Menurut Hasibuan (2005)

kemampuan seseorang ditentukan oleh ilmu

pengetahuan dan keterampilannya. Menurut

Notoatmojo 1997 dalam Pratiwi (2009), pengetahuan

atau kognitif adalah domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan, bila perilaku tidak didasari

dengan pengetahuan maka perilaku tersebut tidak akan

berlangsung lama. Menurut Green 1980 dalam Dewi

(2010) pengetahuan merupakan faktor predisposisi

seseorang untuk berperilaku positif. Berdasarkan

pendapat diatas pengetahuan sangat erat kaitannya

dengan tindakan dan menurut peneliti sebagian besar

pengetahuan petugas kesehatan terkait dengan

pelayanan kesehatan pasien jantung sudah bagus.

Berdasarkan observasi penulis menemukan bahwa

ruang IRD dan ICCU cukup berdekatan tetapi untuk ke

Ruang CathLab itu berjauhan. Letak ruangan IRD dan

ICCU ada digedung lama sementara letak CathLab ada

digedung baru yang letaknya cukup jauh walaupun

masih dalam satu kawasan. Semestinya ruang untuk

IRD, ICCU dan CathLab serta ruang perawatan dan

pemeriksaan penunjang lainnya menjadi berdekaatan

atau lebih baik lagi jika menjadi satu atap dibuat

semacam Cardiac Center sehingga pelayana menjadi

Page 12: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 7

lebih cepat, efektif, dan terpadu. Beberapa kebijakan

berdasarkan hasil analisis dokumen yang menghambat

proses perawatan sumber data adalah kebijakan dari

luar RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan

yaitu kendala adanya kebijakan dari BPJS sebagai

badan pengelola JKN perihal terapi yang diberikan

harus sesuai Formularium Nasional (Fornas).

Masalah yang lain terkait Standar Prosedur Operasional

(SPO) yang masih belum lengkap atau belum ada pada

beberapa pelayanan dalam rangka meningkatkan

kualitas pelayanan di RSKD, misalnya belum adanya

SPO penanganan kondisi kritis karena serangan

Jantung di IRD. Ada juga SPO yang sudah jelas dan

rinci namun belum optimal dalam pelaksanaannya.

Faktor Proses

Proses pemberian pelayanan itu sudah berjalan

sebagaimana mestinya, namun tetap yang menjadi

keluhan dari perawat persoalan jumlah dokter

Jantungnya yang sendiri sehingga kesempatan untuk

berdiskusi untuk proses penanganan ke pasien itu

menjadi terbatas. Menurut para informan faktor proses

pemberian perawatan dan juga pelayanan yang

diberikan itu apakah sudah sesuai dengan tatalaksana

penyakit jantunng atau belum tentunya akan sangat

mempengaruhi terjadinya kematiaan pasien penyakit

Jantung tersebut.

Output Mortalitas

Apapun kondisi yang ada di faktor input dan poses

terkait dengan pelayanan pasien penyakit Jantung akan

mempengaruhi tinggi rendahnya angka mortalitas

akibat penyakit Jantung.

Persoalan masih tingginya mortalitas penyakit Jantung

di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikapapan

sejalan yang disampaikan oleh Rasmanto (2012)

Angka kematian adalah indikator hasil kinerja dari

sebuah proses pelayanan kesehatan, di rumah sakit ada

kematian di bawah 48 jam dan ada kematian di atas 48

jam, kematian yang terjadi di bawah 48 jam

diindikasikan jika terjadi adalah semata karena faktor

tingkat kegawatan yang berpihak atau berada pada

pasien, artinya kondisi pasien lebih menentukan

kematiannya, sementara kematian yang terjadi setelah

48 jam di lakukan perawatan atau penananganan di

RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan dapat

menjadi cerminan kinerja pelayanan yang telah

dilakukan rumah sakit.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kondisi Pasien saat masuk yang sudah cukup parah

dan memiliki penyakit riwayat penyakit penyerta

lainnya berkonstribusi besar pada masih tingginya

angkaMortalitas Penyakit Jantung di RSKD, namun

demikian kondisi pasien saat masuk menjadi faktor

external dirumah sakit.

2. Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih kurang

khususnya dokter spesialis Jantung yang hanya 1

orang, dan keterbatasan pelatihan atau sertifikasi

Perawat Khusus Jantung yang juga masih kurang,

berkonstribusi mempengaruhi proses pelayanan

dan juga output dalam sistem pelayanan penyakit

Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo

Balikpapan.

3. Sarana dan Prasarana untuk layanan Jantung belum

terpadu, jarak dari IRD ke ICCU cukup berdekatan

tetapi dari IRD atau ICCU ke Cath Lab jaraknya

berjauhan.

4. Adanya Kebijakan BPJS terkait dengan rujukan

berjenjang, dan obat yang belum masuk di Fornas.

5. Ada kendala dalam melaksanakan instruksi dokter.

6. Ada kendala dalam koordinasi dokter dan perawat

dimana keterbatasan dokter Jantung yang hanya 1

orang dan juga bertugas tidak hanya di RSUD Dr

Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan tetapi juga di

RS yang lain.

7. Kendala dari faktor proses di Instalasi Rawat

Darurat (IRD) mengenai kelengkapan anamnesa,

kecepatan pelayanan dan pemeriksaan penunjang

sangat berpengaruh pada proses perawatan

selanjutnya dan prognosa kesembuhan pasien.

Saran

Untuk Pihak Manajemen RSUD Dr Kanujoso

Djatiwibowo Balikpapan:

1. Penambahan tenaga dokter spesialis Jantung

sebaiknya menjadi prioritas dari manajemen RSUD

Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan agar segera

terpenuhi.

2. Peningkatan kemampuan Bidang Diklat RSKD

Ahmad Jais, Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014

Page 13: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 8

untuk menjadi Lembaga Sertifikasi Profesi

Keperawatan guna pemenuhan kebutuhan

peningkatan SDM keperawatan dan dapat menjadi

center pelatihan keperawatan di Kalimantan Timur.

3. Sebaiknya layanan pasien untuk penyakit Jantung di

RSUD Dr. Kanudjoso Djatiwibowo selaku rumah

sakit rujukan tertinggi di Kota Balikpaapan dibuat

Cardiac Center sehingga pelayanan menjadi lebih

terpadu lebih cepat dan efisien.

Untuk Pihak Dokter-Perawat:

1. Meningkatkan kepatuhan SDM untuk

melaksanakan pelayanan sesuai SPO (Standar

Prosedur Operating).

2. Perlunya komitmen melengkapi anamnesa pasien

dan kecepatan pelayanan.

Untuk Pihak Dinas Kesehatan Kota Balikpapan:

1. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) melalui

program promotif prepentif kepada pasien dan

keluarga pasien penyakit Jantung serta masyarakat

luas bagaimana mengenal tanda-tanda dini

terjadinya penyakit Jantung ataupun serangan

Jantung, dan penanganan awal yang bisa dilakukan

serta alur penggunaan kartu jaminan kesehatan bagi

penggunanya masih perlu untuk terus ditingkatkan,

disinergikan dengan peran dari Tim PKRS

(Promosi Kesehatan Rumah Sakit) yang ada di

masing-masing rumah sakit.

2. Perlunya meningkatkan kerjasama dan koordinasi

yang baik antara Puskesmas atau Dinas Kesehatan

Kota Balikpapan dengan pihak rumah sakit yang

ada di Kota Balikpapan untuk menyelenggarakan

kegiatan bersama dalam rangka meningkatkan

kapasitas petugas kesehatan, yang dapat berupa

peningkatan pengetahuan, skill dan penajaman

deteksi dini penyakit Jantung di sarana pelayanan

kesehatan tingkat primer sehingga tindakan rujukan

dan penanganan dini kepasien jantung dapat

terlaksana dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, A. 2010. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara. Jakarta.

Aditama Yoga Tjandra. 2007.. Manajemen Administrasi Rumah Sakit, Edisi Kedua. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press),.

Wendra, Ali. 1996. Wendra, Penyakit Jantung, Hipertensi dan Nutrisi, Cetakan kedua. Sinar

grafika Offset. Alexandra I. 2012. Etika dan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta: Grasia Book

Publisher.

Bustami. 2011. Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan & Aksestabilitasnya. Jakarta: Erlangga.

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan & Teknis Medis Kementerian Kesehatan. 2011.

Standar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Di Rumah Sakit. Jakarta. Donabedian A. 2005. Evaluating the Quality of Medical Care, the Milbank Quarterly Volume

83 Number 4.

Dunn, W. N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: G. M. U. Press Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1998.

Fathoni, Abdurrahman. 2009. Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:

Rineka Cipta,. Hasibuan, MSP. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi. Jakarta: Bumi

Aksara.

Hafizurrachman. 2009. Sumber Daya Manusia Rumah Sakit di Q-Hospital. Majalah Kedokteran IndonesiaVolume 59 Nomor 8.

Heriyanto, Irwan. 2009. Analisa Implementasi SOP Asuhan Keperawatan Anak dengan

Diare oleh Perawat di Ruang Rawat RS Rawa Lumbu. Universitas Indonesia. Ilyas, Yaslis. 2002. Kinerja, Teori, Penilaian dan Penelitian Cetakan Kedua. Depok:

Universitas Indonesia Fakultas Kesehatan Masyarakat. Jogiyanto. 2005. Analisis dan Desain Sistem Informasi: Pendekatan

Terstruktur Teori dan Aplikasi Bisnis Edisi 2. Jogjakarta.

Kambuaya, M. 2013. Tesis: Analisis Sistem Rekam Medis Rawat Jalan di Unit Rekam Medis RSU Bhakti Yudha Depok Tahun 2013. Depok: Universitas Indonesia Fakultas

Kesehatan Masyarakat.

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Teknis Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Kelas B. Jakarta.

Muninjaya. 2004. Manajemen Kesehatan, EGC. Jakarta.

Maulana M. 2007. Penyakit Jantung, Pengertian, Penanganan, dan Pengobatan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group.

Murt, B. 2010. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di

Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Notoatmojo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Tahun 2014 tentang

Panduan Praktek Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 tentang Klasifikasi dan

Perijinan Rumah Sakit. Jakarta.

Rachmat, J. 2005. Analisis Mutu Pelayanan Penyakit Jantung Bawaan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPD HK) Jakarta. Depok:

Universitas Indonesia Fakultas Kesehatan Masyarakat.

Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan. 2014. Profil

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan. Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.

Sinambela, Lijan Poltak. 2012. Kinerja Pegawai Teori Pengukuran dan Implikasi.

Yogyakarta: Graha Ilmu. Subijanto, B. 2004. Stratifikasi Kebijaksanaan Nasional Perspektif, Power & Politic. Jakarta:

Lemhanas RI.

Tambunan R. M. 2013. Standard Operating Procedures (SOP) Edisi Kedua, Meistas Publishing. Jakarta.

Terry, G. R. & Rue, L. W. 1991. Dasar-Dasar Manajemen, Alih Bahasa oleh Ticoale. Jakarta:

Bumi Aksara.

Page 14: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 9

INPUT

- Pasien - SDM - Fasilitas

- Metode

PROSES

- Pemberian Pelayanan Kepada Pasien

- Koordinasi Dokter-Perawat dan

Keterpaduan Pelayanan

OUTPUT

Mortalita

(NDR dan GDR)

Gambar 1. Hubungan Unsur-Unsur Sistem Sumber: Azwar (2010)

Structure Processes Outcomes

Gambar 2. Pendekatan Sistem Pelayanan Kesehatan Menurut U.S Departemen of Helath and

Human Service (2011)

Gambar 3. Kerangka Konsep Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD

Tabel 1. Distribusi Pasien Jantung yang Meninggal Berdasarkan Umur Tahun 2014

No Umur Jumlah %

1 0 tahun - 9 tahun 8 7.61

2 10 tahun - 19 tahun 2 1.90

3 20 tahun - 29 tahun 3 2.85

4 30 tahun - 39 tahun 5 4.76

5 40 tahun - 49 tahun

10 9.52

Dampak

Umpan Balik

Masukan Proses Keluaran

Lingkungan

Inputs Steps Outputs

- Patients

- Equipment

- Supplies

- Training

- Environment

E.q. 24 hour

CCM coverage

- Coordination

- Physician

Orders

- Nursing/Resp Rx

E.g. VAP, Sepsis,

EGDT

- Clinical

Outcomes

- Functional

Status

- Satisfaction

- Cost

E.g. Mortality

Ahmad Jais, Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014

Page 15: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 10

No Umur Jumlah %

6 50 tahun - 59 tahun 33 31.42

7 60 tahun - 69 tahun 30 28.57

8 70 tahun - 79 tahun 11 10.47

9 80 tahun – Keatas 3 2.85

TOTAL 105 100.00

Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN

Tabel 2. Distribusi Pasien Jantung yang Meninggal Berdasarkan Lama Dirawat Tahun

2014

No Lama Dirawat Jumlah %

1 0 sampai 2 hari 55 52.38

2 3 sampai 6 hari 25 23.80

3 7 sampai 10 hari 12 11.42

4 11 sampai 14 hari 8 7,61

5 15 sampai 18 hari 2 1.90

6 19 sampai 22 hari 1 0.95

7 23 sampai 26 hari 1 0.95

8 27 sampai 30 hari 1 0.95

TOTAL 105 100.00

Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN

Tabel 3. Distribusi Pasien Jantung yang Meninggal Berdasarkan Cara Bayar Tahun

2014

No Cara Bayar Jumlah %

1 PBI 16 15.24

2 Non PBI 60 57.14

3 Tunai 15 14.29

4 Perusahaan 1 0.95

5 Jaminan Kabupaten/Kota 13 12.38

TOTAL 105 100.00

Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN

Tabel 4. Distribusi Pasien Jantung yang Meninggal Menurut Jenis Kelamin Tahun 2014

No Jenis kelamin Jumlah %

1 Laki-Laki 59 56.19

2 Perempuan 46 43.81

Total

105

100.00

Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN

Page 16: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 11

Tabel 5. Distribusi Pasien yang Meninggal Berdasarkan 10 Besar Penyakit Jantung

Tahun 2014

No Jenis Penyakit Jumlah %

1 Congestive heart failure 41 39.05

2 Artherosclerotic heart disease 24 22.86

3 Acute myocardial infarction 14 13.33

4 Atrial fibrillation and flutter 6 5.71

5 Congenital malformation of heart 5 4.76

6 Unstable Angina 4 3.81

7 Old myocardial infarction 3 2.86

8 Acute subendocrdial myocardial inf 2 1.90

9 Pulmonary heart disease 2 1.90

10 Ventricular septal defect 2 1.90

11 Penyakit Lainnya, Peny.penyerta 2 1.90

TOTAL 105 100

Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN

Tabel 6.

Distribusi Pasien Meninggal Berdasarkan Riwayat Penyakit Tahun 2014

No Riwayat Penyakit Jumlah %

1 Diabetes Mellitus 28 26.67

2 Hipertensi 22 20.95

3 Gangguan Ginjal 16 15.24

4 Gangguan Jantung 15 14.29

5 Riwayat Stroke 7 6.67

6 Asam Urat & Kolesterol Tinggi 5 4.76

7 Prostat, Gastritis 4 3.81

8 Anemia & DBD 4 3.81

9 Riwayat Sakit Tidak Diketahui 4 3.81

TOTAL 105 100

Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN

Tabel 7. Distribusi Pasien Meninggal Berdasarkan Status Pasien Masuk

No Status Pasien Masuk Jumlah %

1 Rujukan 55 52.38

2 Datang Sendiri 50 47.62

TOTAL 105 100.00

Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN

Ahmad Jais, Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014

Page 17: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 12

Tabel 8. Distribusi SDM Perawat IRD Berdasarkan Pendidikan dan Status Kepegawaian

Tahun 2014.

No Jenis Pendidikan IRD PNS/CPNS % TKWT % Jumlah %

1 D III Keperawatan 21 60.00 6 17.14 27 77.14

2 D III Kebidanan 5 14.29 0 - 5 14.29

3 D IV Keperawatan 1 2.86 - 1 2.86

4 S1 Keperawatan 1 2.86 1 2.86 2 5.71

TOTAL 28 80.00 7 20.00 35 100

Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN

Tabel 9. Distribusi Perawat IRD Yang Mengikuti Pelatihan PPGD/BTLS Tahun 2014.

No Jenis

Sertifikat Sudah Memp unyai %

Belum

Mempunyai % Jumlah %

1 PPGD/B

TLS 30 85.71 5 14.29 35 100.00

Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN

Tabel 10. Distribusi SDM Perawat ICCU/ICU Berdasarkan Pendidikan dan Status

Kepegawaian Tahun 2014

No Jenis Pendidikan PNS/CPNS % TKWT % JML %

1 D III Keperawatan 15 65.22 4 17.39 19 82.61

2 D IV Keperawatan 3 13.04 0 - 3 13.04

3 S1 Keperawatan 1 4.35 0 - 1 4.35

TOTAL 19 82.61 4 17.39 23 100

Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN

Tabel 11. Distribusi SDM Perawat Ruang Flamboyan A Berdasarkan Pendidikan dan

Status Kepegawaian Tahun 2014.

No Jenis Pendidikan PNS/CPNS % TKWT % Jumlah %

1 D III Keperawatan 5 19.23 18 69.23 23 88.46

2 D III Kebidanan 0 - 1 3.85 1 3.85

3 D IV Keperawatan 1 3.85 0 - 1 3.85

4 S1 Keperawatan 0 - 1 3.85 1 3.85

TOTAL 6 23.08 20 76.92 26 100

Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN

Page 18: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 13

Tabel 12. Distribusi Sertifikasi Perawat Ruang Flamboyan A RSKD Tahun 2014.

No Jenis sertifikasi

Flamboyan A Memiliki %

Belum

Memiliki % Jumlah %

1 BTCLS 19 73.08 7 26.92 26 100

2 Pelatihan Teknis

Lainnya 10 38.46 16 61.54 26 100

Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN

Tabel 13. Distribusi SDM Perawat Ruang Anggrek Hitam Lantai 5 Berdasarkan

Pendidikan dan Status Kepegawaian Tahun 2014.

No Jenis Pendidikan AH Lantai

5 PNS/CPNS % TKWT % Jumlah %

1 D III KEPERAWATAN 1 4.17 17 70.83 18 75.00

2 D III KEBIDANAN 0 - 2 8.33 2 8.33

3 D IV KEPERAWATAN 1 4.17 0 - 1 4.17

4 S1 KEPERAWATAN 1 4.17 2 8.33 3 12.50

TOTAL 3 12.50 21 87.50 24 100

Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN

Tabel 14. Distribusi Sertifikasi Perawat Ruang Anggrek Hitam Lantai 5 RSKD Hasil

Analisa Data Sekunder Tahun 2014.

No Jenis sertifikasi Perawat Ruang AH Lantai 5 Jumlah %

1 BTCLS 15 62.50

2 Pelatihan Teknis Lainnya 8 33.33

3 Tidak ada pelatihan 1 4.17

Jumlah 24 100.00

Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN

Tabel 15. Distribusi Hasil Uji Mikrobiologi Ruang ICCU Tahun 2014

No Hasil Uji Mikrobiologi Ruang ICCU Satuan Kadar Maksimum yang

Diperbolehkan Hasil Pemeriksaan

1 MIKROBIOLOGI Lantai Ruang ICCU CFU/cm2

5-10 43

2 Tiang Ruang ICCU CFU/cm2

5-10 7

3 Pegangan pintu masuk ruang ICU CFU/cm2

5-10 36

Ahmad Jais, Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014

Page 19: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 14

Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis

Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya

Efforts to Reduce Drug Waiting Time for Outpatient Patients with Lean Hospital Analysis in

Outpatient Pharmacy Installation at Atma Jaya Hospital

Danyel Suryana

Program Pasca Sarjana Administrasi Rumah Sakit Indonesia

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Salah satu cara untuk melakukan efisiensi, meningkatkan mutu pelayanan dan meningkatkan keselamatan pasien di

Amerika dengan menggunakan konsep Lean Thinking yang diterapkan di rumah sakit menjadi Lean Hospital. Di

Rumah Sakit Atma Jaya yang merupakan Rumah Sakit Swata Kelas B Pendidikan, penelitian ini menganalisis alur

pelayanan resep di Instalasi Farmasi Rawat Jalan sebagai data untuk perbaikan. Dengan menggunakan Root Cause

Analysis (RCA), metodologi penelitian operational research, dilakukan observasi dan wawancara mendalam

memperlihatkan bahwa kegiatan non value added bisa sampai 85% dan kegiatan value added hanya 15% pada

penyiapan obat non racikan. Sedangkan untuk obat racikan kegiatan non value added sekitar 68% dan value added

sebesar 32% nilainya. Data tersebut menunjukan bahwa telah terjadi pemborosan (waste). Usulan perbaikan untuk

mengurangi pemborosan antara lain penggantian SIM RS yang baru dan menggiatkan fungsi Tim Kendali Mutu di

Instalasi Farmasi. Bila perbaikan ini telah di implementasi, diharapakan terjadi peningkatan efisiensi di Instalasi

Farmasi Rawat Jalan dan meningkatkan kepuasan pasien.

Kata kunci: konsep lean, lean thinking, lean hospital, resep, waktu tunggu obat, rawat jalan, pemborosan, analisis

akar masalah.

ABSTRACT

One option to increase efficiency, service quality and patient safety in the United States of America is by using the

Lean Thinking concept, which are implemented in Hospitals to become a Lean Hospital. In Atma Jaya Hospital, a

class B study private hospital, the research analyses the workflow of prescription sevice in outpatient pharmacy

departement to act as data for improvement analysis. Also, by utilizing Root Cause Analysis (RCA), operational

research methology, in-depth observation and interviews are conducted at compounding and non-compounding

medicine storage of Outpatient Patient Departement, the result shows non-value added activities reaches 85%, while

value added activities are only 15% on non-compounding medicine storage. While, on compounding medicine storage,

non-value added and value added activities are at 68% and 32% respectively. These data clearly shows that great

inefficiencies has occurred. Solution is suggested to increase the efficiency in the department, changing Hospital

Information System and activate the Quality Control Team function. If these steps are implemented, we can expect the

overall efficiency in the Outpatient Pharmacy Departement to improve significantly and resulted in higher patient

satisfaction.

Keywords: concepts lean, lean thinking, lean hospital, prescription, drug waiting time, outpatient, waste, root cause

analysis.

Page 20: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 15

PENDAHULUAN

Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang sangat

kompleks, dimana organisasi ini terkenal dengan organisasi

padat modal, padat usaha dan padat karya. Keadaan ini

menuntut manajemen rumah sakit untuk bisa menjaga

keseimbangan antara kualitas pelayanan dan kepuasan

pelanggan. Selain itu, Rumah Sakit dituntut tidak hanya

mampu memberikan pelayanan yang memuaskan

(customer satisfaction) tetapi juga berorientasi pada nilai

(customer value). Organisasi tidak semata-mata mengejar

pencapaian produktifitas kerja yang tinggi tetapi juga

kinerja yang akan diberikan. (Gaspers and Fontana 2011).

RS Atma Jaya adalah rumah sakit swasta non profit tipe B

dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 125 tempat tidur.

RS Atma Jaya sejak Januari 2014 telah bekerjasama

dengan BPJS Kesehatan dan sejak itu jumlah kunjungan

pasien meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu,

khususnya jumlah kunjungan pasien rawat jalan.

Peningkatan jumlah pasien merupakan sebuah hal yang

patut di syukuri oleh pihak Rumah Sakit, karena RS Atma

Jaya masih menjadi pilihan masyarakat untuk memenuhi

kebutuhan pelayan kesehatannya.

Sebagai bagian dari proses mawas diri maka RS Atma Jaya

melakukan Survey Kepuasan Pasien secara rutin, dan

berdasarkan hasil Survey Kepuasan Pasien Poliklinik

Rawat Jalan RS Atma Jaya bulan September 2016

(didapatkan bahwa mayoritas pasien tidak puas dengan

kecepatan layanan di farmasi (ditampilkan dalam grafik 1

dan table 1).

Pelayanan farmasi merupakan salah satu kegiatan di rumah

sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu.

Berdasarkan Kepmenkes No. 1197 Tahun 2004 Pelayanan

farmasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem

pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi

kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu,

termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi

semua lapisan masyarakat. Farmasi merupakan unit yang

memberikan pendapatan terbesar untuk sebuah rumah sakit

Besarnya omzet obat mencapai 50-60% dari anggaran

rumah sakit (Trisnantoro 2009).

Waktu tunggu pelayanan obat dibagi menjadi dua yaitu

waktu tunggu pelayanan resep obat non racikan dan waktu

tunggu pelayanan resep obat racikan. Menurut Permenkes

No 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimal

Rumah Sakit dijelaskan bahwa waktu tunggu pelayanan

resep obat non racikan adalah tenggang waktu mulai pasien

menyerahkan resep sampai dengan menerima obat non

racikan/ obat jadi. Sedangkan waktu tunggu pelayanan

resep obat racikan adalah tenggang waktu mulai pasien

meyerahkan resep sampai dengan menerima obat racikan.

(Graban and Mark 2012) dalam buku Improving Quality,

patients Safety, and Employee Engagement mengatakan

bahwa Lean adalah sebuat metodologi yang dapat

dilakukan rumah sakit untuk meningkatkan kualitas pelayanan

terhadap pasien dengan cara mengurangi kesalahan dan

waktu tunggu. Lean meruapakan pendekatan yang

mendukung staf dan tenaga medis menjadi lebih fokus

dalam memberikan pelayanan, juga dapat membantu

membangun hubungan yang lebih sinergis antar departemen

di rumah sakit.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas

masalah utama yang dihadapi oleh Instalasi Farmasi

Rumah Sakit Atma Jaya khususnya di bagian Instalasi

Farmasi Unit Rawat Jalan adalah waktu tunggu pelayanan

obat yang lama. Menurut Permenkes Nomor 58 Tahun

2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit

ditetapkan waktu tunggu obat maksimal 15 menit untuk

obat non racikan dan 30 untuk obat racikan, tanpa melihat

jumlah item obat. Dengan menganalisis waktu tunggu

pelayanan resep obat di Instalasi Farmasi Unit Rawat Jalan

dengan pendekatan Lean diharapkan dapat memperbaiki

waktu tunggu obat yang lama.

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut (Widiasari 2009), waktu pelayanan resep terdiri

dari berbagai tahap yaitu:

1. Tahap pemberian harga, tahap pembayaran dan

penomoran memakan waktu lebih dari satu menit.

2. Tahap resep masuk dan tahap pengecekan dan

penyerahan obat.

3. Tahap pengambilan obat paten, tahap pembuatan obat

racikan dan tahap etiket dan kemas.

Page 21: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 16

Menurut (Pillay 2011) dalam penelitiannya di Malaysia

mengatakan bahwa sejumlah faktor yang memberikan

kontribusi terhadap waktu tunggu pasien di rumah sakit

umum dinilai dari persepsi karyawan, sebagai berikut :

1. Beban kerja mempengaruhi waktu tunggu pasien,

salah satunya seperti kurangnya staff atau dokter.

Kurangnya SDM di Rumah Sakit Umum Malaysia

disebabkan Karena adanya kesenjangan gaji antara

rumah sakit umum dan swasta, yang menyebabkan

migrasi tenaga.

2. Kesehatan terlatih dari rumah sakit umum ke rumah

sakit swasta. Kesulitan melacak kartu pasien saat

pekerjaan berlangsung dirasakan menambah beban

kerja, diikuti gangguan dari pasien yang memerlukan

bantuan informasi sehingga menyebabkan petugas

melakukan tugas non-terkait lainnya.

3. Fasilitas yang tidak memadai, kurangnya ruang

konsultasi dianggap berkontribusi pada masalah waktu

tunggu, sama seperti ramainya ruang tunggu.

4. Dokter sering terlambat praktek dan kurangnya

pengawasan dari pihak manajemen mengakibatkan

timbulnya penumpukan pasien. Hal yang sama juga

dikemukakan oleh (Purwanto, Indiati et al. 2015),

“Resep datang bersamaan menambah waktu tunggu

antrian. Intervensi sistem pelayanan dokter perlu

dipertimbangkan yaitu pemeriksaan pelayanan pasien

lebih awal.”.

5. Sikap karyawan yang kurang memiliki kompetensi,

komitmen dan proses bekerja yang tidak efisien.

Kerjasama antar bagian yang tidak baik.

Faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi selain

faktor antrian adalah jumlah pelayanan, computer yang

kurang dan software yang lambat, ketersediaan obat tidak

lancar, tidak semua petugas paham administrasi dan sistem

administrasi BPJS yang rumit (Purwanto, Indiati et al. 2015)

Lean Healthcare merupakan strategi yang berfokus

menghilangkan tidak efisien dan dengan demikian

memberikan waktu yang lebih untuk aktivitas pelayanan

pasien (Lestie, Hagood et al. 2006). Alur proses pelayanan

di rumah sakit yang sering dikeluhkan oleh pasien adalah

dokter yang datang tidak tepat waktu, ruang tunggu yang

kurang nyaman, dan rekam medis yang sering terlambat

(Wasetya and Dwiyani 2012) Big Picture Mapping

merupakan tool yang digunakan untuk menggambarkan

sistem secara keseluruhan dan value stream yang ada di

dalamnya. Dari tool ini, informasi tentang aliran informasi

dan fisik dalam sistem (ditampilkan dalam table 2).

Waste merupakan segala tindakan yang dilakukan tanpa

menghasilkan nilai, sebagai contoh perbaikan yang dilakukan

akibat adanya kesalahan, produk yang tidak diinginkan

pasien, penumpukan inventori, tahap proses yang tidak

terlalu dibutuhkan, pemindahan karyawan atau barang yang

tidak perlu dari suatu tempat ke tempat lain, menunggu

akibat pengantaran yang tidak tepat waktu, dan seluruh

barang dan jasa yang tidak sesuai di mata konsumen

(ditampilkan dalam table 3).

Dalam Toyota Triangle bahwa berbagai instrument atau

alat teknik yang ada hanyalah satu komponen dari sebuah

sistem Lean yang terintegrasi. Berikut ini lean tools yang

bisa diterapkan, antara lain 5S, Kanban, Kaizen, Error

Proofing dan Visual Management.

a) 5S

Tahapan 5S aslinya merupakan metode yang berasal

dari lima kata dalam bahasa Jepang, yaitu Seiri, Seiton,

Seiketsu dan Shitsuke. Sedangkan dalam Bahasa

Inggris, 5S adalah Short, Store, Shine, standardize dan

Sustain.

a. Seiri (Sort): Memisahkan barang yang dibutuhkan

dan membuang barang yang tidak diperlukan dari

tempat kerja.

b. Seiton (Stabilize, Straighten, Set in Order, Simplify):

Menyimpan barang yang diperlukan di tempat

yang tepat agar mudah diambil saat digunakan.

c. Seiso (Shine, Sweep): Mempertahankan tempat

kerja agar tetap bersih dan rapi.

d. Seiketsu (Standardize): diperlukan standarisasi

terhadap praktek 5S di atas (Seiri, Seiton, Seiso) agar

tempat kerja terjaga kebersihan dan kerapiannya.

e. Shitsuke (Sustain, Self-discipline): diperlukan

kedisiplinan dan budaya dalam melakukan pekerjaan

sesuai standard dan dibangun rencana masa depan

agar sistem kerja dapat dikembangkan terus-

menerus.

b) Kanban

Metode Kanban bersumber pada prinsip Just in Time

yang artinya barang disediakan sesuai kebutuhan, pada

Danyel Suryana., Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di

Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya

Page 22: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 17

saat yang tepat dan dalam jumlah yang tepat, sehingga

tidak terjadi pemborosan pada persediaan.

c) Visual Management

Metode manajemen visual membuat berbagai waste,

permasalahan, kondisi abnormal dengan mudah dan

nyata terlihat oleh seluruh karyawan dan manajemen.

Bentuk dari manajemen visual di rumah sakit diantaranya

petunjuk arah, daftar praktek dokter, daftar fasilitas dan lain

sebagainya.

d) Kaizen

Kaizen adalah suatu proses perbaikan yang dilakukan

secara terus-menerus atau continous improvement yang

dilakukan setiap hari. Perubahan yang terjadi secara

bertahap sedikit demi sedikit. Siklus Plan-Do-Check-

Act (PDCA) adalah kerangka operasi Lean dan

merupakan metodelogi yang diterapkan dalam

implementasi Kaizen.

e) Error Proofing

Error Proofing bukan suatu teknologi spesifik, melainkan

suatu pola pikir dan pendekatan yang membutuhkan

kreativitas diantara mereka yang merancang peralatan,

desain proses atau yang mengelola proses (Graban,

2012). Error-proofing berfokus pada kesalahan itu

sendiri, dan respon untuk penyelesaian masalahnya

adalah mengerti dan mencegah kesalahan.

Value Stream Mapping merupakan diagram terstruktur

atau suatu metode yang dipakai dalam melakukan

pemetaan berkaitan dengan aliran produk dan aliran

informasi mulai dari pemasok, produsen dan pelanggan

dalam suatu gambar utuh meliputi semua proses suatu

sistem (Graban and Mark 2012).

Value Stream Mapping mengidentifikasi seberapa lama

langkah setiap proses diperlukan untuk menyelesaikannya

dan yang lebih penting waktu yang dihabiskan dari setiap

proses tersebut. Dapat diketahui juga seluruh proses

produksi mulai dari awal hingga barang atau jasa sampai di

pelanggan. Dari Setiap proses yang dilalui akan terlihat

value dan waste, sehingga dapat digambarkan Future State

Map sebagai upaya perbaikan. Berikut adalah langkah-

langkah dalam proses membuat Value Stream Mapping

menurut Locher (Locher 2008).

1. Persiapan: Mengidentifikasi tim pemetaan, produk atau

proyek dengan mempelajari bagaimana produk akan

dipetakan.

2. Current State: Sepakat terhadap peta yang telah

dipahami dari kondisi saat ini (current state value

stream map).

3. Future State: Sepakat terhadap pemetaan design proses

masa depan (future state value stream map).

4. Perencanaan dan penerapan: Pengembangan perencanaan

untuk mencapai future state

METODOLOGI PENELITIAN

Desain penelitian ini menggunakan operational research.

Dengan konsep lean hospital dalam melakukan telaah

dokumen, observasi dan wawancara. Penelitian dilakukan

di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya dan

pengambilan data dilakukan pada bulan April dan Mei

2017.

Sumber data penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer didapatkan melalui observasi

langsung dan wawancara terstruktur. Observasi di lapangan

dengan mengukur waktu tunggu resep obat pasien di

Instalasi Farmasi Rawat Jalan sejak pasien menyerahkan

resep hingga pasien mengambil obat.

Wawancara terstruktur dilakukan dengan Direktur Pelayanan,

Manager penunjang Medik, Supervisor Farmasi, Staf

Farmasi, Dokter Spesialis, Pasien Rawat Jalan.Populasi

penelitian ini adalah semua resep pasien Instalasi Rawat

Jalan yang datang setiap hari Senin sampai dengan Sabtu

pada Pukul 08.00 – 14.00 WIB. Jumlah sampel yang akan

diambil pada penelitian ini adalah sebanyak 30 resep. Dari

jumlah diatas, akan di bagi sebesar 70% (20) sebagai

sampel non racikan, dan 30% (10) sebagai sampel racikan.

Data yang telah dikumpulkan harus dijaga validitasnya

dengan melakukan uji validitas yaitu triangulasi data. Ini

bertujuan untuk meningkatkan validitas dan realibilitas,

ketepatan dalam interpretasi dan meningkatkan keyakinan

bahwa data yang dikumpulkan menunjukan data yang

sesungguhnya dan tidak dibuat-buat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 23: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 18

Pada hasil observasi dilapangan dan hasil wawancara

ditemukan bahwa proses Penulisan Etiket dilakukan

sebelum proses Penyiapan Obat, sedangkan pada SPO

yang tertulis dijelaskan bahwa proses Penulisan Etiket

dilaksanakan sesudah proses Penyiapan Obat (ditampilkan

dalam gambar 1). Berdasarkan hasil observasi alur proses

pelayanan resep di Instalasi Farmasi Rawat Jalan dapat

dijelaskan sebagai berikut:

a. Setelah pasien mendapatkan resep dari dokter, maka

pasien di arahkan ke Instalasi Farmasi Rawat Jalan.

b. Apoteker kemudian akan melakukan skrinning resep,

meliputi: Adiministrasi, Farmasetis dan Klinis.

c. Bila tidak ada kendala maka petugas kemudian akan

input resep ke SIM RS (Sistem Informasi Manajemen

RS) dan mencetak struk pembayaran dan diserahkan

kepada pasien atau keluarga pasien.

Bila ditemukan kendala, terutama bilamana terkait

dengan farmasetik dan klinis maka apoteker akan

mengkonsultasikan lebih lanjut kepada dokter yang

bersangkutan. Setelah kendala atau masalah teratasi

baru resep akan di input ke dalam SIM RS.

d. Pasien ataukeluarga pasien menuju ke Kasir untuk

melakukan pembayaran sesuai dengan antrian

pembayaran di kasir.

e. Petugas farmasi menyiapkan obat sesuai dengan resep

dokter, penulisan etiket dan pengemasan.

f. Setelah melakukan pembayaran di Kasir, keluarga

pasien menyerahkan bukti pembayaran (kwitansi) ke

petugas Instalasi Farmasi Rawat Jalan.

g. Setelah obat siap, maka apoteker akan menjelaskan

kepada pasien/keluarga pasien mengenai jenis obat

yang diterima dan cara minum obat tersebut. Kemudian

apoteker menyerahkan obat kepada pasien atau

keluarga pasien.

Hasil observasi setiap resep yang masuk dikelompokkan

sesuai dengan variasi obat racikan atau non racikan dan

diberi keterangan apakah proses yang dilewati pasien

merupakan kegiatan yang bernilai tambah (value added)

atau kegiatan yang tidak menambah nilai (non value

added).

Data kegiatan yang bernilai tambah dan kegiatan yang tidak

bernilai tambah dipetakan dengan Value Stream Mapping,

yang bertujuan untuk memetakan sebuah proses, melihat

keseluruhan dari proses kegiatan yang berlangsung, secara

lebih visual sehingga lebih mudah dipahami dan akan

terlihat proses kegiatan antar departemen (ditampilakn

dalam gambar 2 dan gambar 3).

1. Data hasil observasi resep racikan

Pada VSM pelayan resep racikan pasien rawat jalan di

Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya, terlihat

bahwa waktu rata-rata yang dibutuhkan sejak rèsep

diserahkan sampai dengan obat diberikan kepada

pasien adalah 106 menit, yang terdiri dari kegiatan yang

menambah nilai (VA) sebanyak 34 menit (32%) dan

kegiatan yang tidak menambah nilai (NVA) sebanyal

72 menit (68%). Dari sini peneliti dapat melihat secara

sekilas bahwa sekitar 70% dari total waktu rata-rata

dihabiskan hanya untuk melakukan kegiatan yang tidak

menambah nilai.

2. Data hasil observasi resep non racikan

Pada VSM pelayan resep racikan pasien rawat jalan di

Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya, terlihat

bahwa waktu rata-rata yang dibutuhkan sejak resep

diserahkan sampai dengan obat diberikan kepada

pasien adalah 88 menit, yang terdiri dari kegiatan yang

menambah nilai (VA) sebanyak 13 menit (14,7%) dan

kegiatan yang tidak menambah nilai (NVA) sebanyak

75 menit (85,3%). Dari sini peneliti dapat melihat secara

sekilas bahwa sekitar 85% dari total waktu rata-rata

dihabiskan hanya untuk melakukan kegiatan yang tidak

menambah nilai.

Pada observasi alur proses pelayanan di Instalasi Farmasi

Rawat Jalan, sejak pasien menyerahkan resep sampai

dengan pasien mendapat obat dan pulang, dapat diidentifikasi

waste pada setiap proses yang dapat dikelompokkan

berdasarkan 8 jenis pemborosan (waste) yang terjadi di

pelayanan rawat jalan Poliklinik Spesialis. Pemborosan

(waste) yang terjadi pada alur proses pelayanan di Instalasi

Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya. (ditampilkan dalam

tabel 4).

RS Atma Jaya telah memiliki aplikasi sistem informasi

manajemen rumah sakit dengan nama Hospit sejak tahun

2008 yang dikelola oleh Bagian Informasi Teknologi (IT).

Sistem Hospit ini menggunakan server operating system

Novell Netware 4.11, Novell ini dikembangkan sejak tahun

1996 dan dipakai di Rumah Sakit Atma Jaya pada tahun

2008. Artinya sampai dengan 8 tahun ini software atau

aplikasi yang digunakan di rumah sakit ini tidak pernah

Danyel Suryana., Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya

Page 24: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 19

dilakukan upgrade versinya dapat dikatakan bahwa

aplikasi atau software ini out of date.

Berdasarkan hasil dari FGD dan RCA ditemukan bahwa

SIM RS yang kuno ini merupakan akar permasalahan dari

berbagai kendala yang timbul di lapangan, seperti: Harga

obat sering salah, Penulisan etiket secara berulang-ulang,

obat sering habis, dll. Oleh sebab itu keputusan untuk

mengganti SIM RS yang lama ke SIM RS yang baru

merupakan keputusan yang sudah tepat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pada Current State Value Mapping dikethui bahwa

kegiatan terbesar yang dilakukan pada penyiapan resep

obat racikan merupakan kegiatan non value added (waste),

yaitu 68%, sedangkan kegiatan value added hanya 32%.

Sedangkan pada penyiapan resep obat non racikan,

kegiatan non value added sebesar 85% dan kegiatan value

added sebesar 15%. Hal ini menunjukan bahwa proses

pelayanan di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya

termasuk dalam Un-Lean Enterprise dan diperlukan upaya

untuk mengefisiensikan pelayanan.

Hasil observasi ditemukan terjadi penumpukan resep pada

saat antara penerimaan resep ke entri harga obat. Setelah

dilakukan FGD ditarik kesimpulan bahwa prioritas masalah

terletak pada 2 faktor, yaitu: Sistem Informasi (SIM RS) RS

Atma Jaya yang sudah kuno dan perlu segera diganti.

Faktor kedua adalah kurang efektifnya komunikasi antara

staf farmasi dengan staf RS lainnya. Sehingga perlu

dibentuk jembatan komunikasi.

Saran

a. Menggiatkan fungsi Tim Kendali Mutu, Kendali Biaya

dan Pencegahan Kecurangan JKN RS Atma Jaya.

Usulan yang disampaikan kepada Tim ini terkait

dengan kewenangan Tim Kendali Mutu, Kendali Biaya

dan Pencegahan Kecurangan Jaminan Kesehatan Nasional

RS Atma Jaya yang berfokus pada permasalahan

kefarmasian pasien JKN antara lain, yaitu:

Membuat rekomendasi kebijakan penggunaan obat

JKN.

Membuat rekomendasi standar terapi yang disesuaikan

dengan plafon INA CBG’s dengan berkoordinasi

dengan Komite Medis.

Melakukan intervensi dalam meingkatkan penggunaan

obat yang rasional

Melakukan sosialisasi terkait dengan kebijakan

penggunaan obat JKN (contoh: penggunaan obat

kronis, Fornas, dll.)

b. Menerapkan metode 5S, visual management dan

penggunaan kartu Kanban di farmasi.

c. Disetiap pertemuan dan briefing di Instalasi Farmasi

Rawat Jalan selalu diingatkan agar petugas teliti dalam

melaksanakan tugasnya, selalu melakukan double check

agar petugas tidak perlu mengulang pekerjaannya dan

tidak perlu melakukan input ulang ke SIM RS.

d. Membuat petunjuk arah yang jelas di Loket

Penerimaan Resep dan Penyerahan Obat agar pasien

tidak keliru menyerahkan resep.

e. Petugas Humas membantu di Poliklinik saat jam sibuk

untuk membantu mengarahkan pasien rawat jalan

apabila pasien/keluarga pasien kebingungan.

Untuk usulan jangkah menengah dan jangka panjang perlu

dilakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhan dan

anggaran RS Atma Jaya.

a. Mengatur jadwal praktek dokter spesialis di Poliklinik

Spesialis.

b. Membeli Sistem Informasi Manajemen RS (SIM RS)

yang baru menggantikan Hospit sehingga dapat

mengatasi berbagai kendala yang dihadapi, seperti:

pemantauan stok secara real time, cetak label pasien

untuk tempel di etiket obat, penggunaan E-prescibing

untuk mengurangi kesalahan penulisan resep.

DAFTAR PUSTAKA

Gaspers, V. and A. Fontana (2011). Lean Six Sigma for Manufacturing and Service Industries.

Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.

Trisnantoro, L. (2009). Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen Rumah Sakit (Cetakan Keempat). Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

Graban and Mark (2012). Lean Hospitals : Improving Quality, Patient Safety, and Employee

Engagement. . New York, Taylor & Prancis Group CRC Press. Widiasari, E. (2009). Analisa Waktu Pelayanan Resep di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS

Tugu Ibu Depok Tahun 2009. Depok, Universitas Indonesia.

Pillay (2011). "Hospital Waiting Time : The Forgotten Premise of Healthcare Sevice Delivery." International Journal of Health Care Quality Assurance 24(7): 506-522.

Purwanto, et al. (2015). "Faktor Penyebab Waktu Tunggu Lama di Pelayanan Instalasi

Farmasi Rawat Jalan RSUD Blambangan." Jurnal Kedokteran Brawijaya 28(2): 159-163.

Page 25: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 20

Grafik 1. Jumlah Kunjungan Poliklinik Rawat Jalan RS Atma Jaya Januari –

Desember 2016

Tabel 1. Survey Kepuasan Pasien Poliklinik Rawat Jalan RS Atma Jaya September Tahun

2016

No. Keterangan Skor Total %

10 9 8 Kepuasan

a Keramahan Petugas 44 56 63 163 92

b Ketrampilan perawat 34 61 64 159 89

c Keramahan dokter 55 60 55 170 96

d Kejelasan informasi tentang penyakit 41 53 71 165 93

e Ketepatan jadwal pelayanan 33 39 76 148 83

f Kejelasan prosedur pelayanan 33 44 75 152 85

g Kecepatan proses pelayanan 28 40 80 148 83

h Keramahan petugas keamanan 26 39 81 146 82

i Kenyamanan ruang tunggu 28 44 66 138 78

j Kemudahan sistem pendaftaran / antrian 27 29 69 125 70

k Kecepatan layanan Farmasi 21 27 72 120 67

l Kejelasan informasi tentang obat 23 34 80 137 77

RATA-RATA KEPUASAN (%) 83

Sumber: Laporan Humas RS Atma Jaya, September 2016

4.108 4.013

4.574

5.229 4.974 4.984

4.329

5.942 6.020 6.259

6.796 6.483

-

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nov Des

Jumlah Kunjungan Rajal Jan-Des 2016

Danyel Suryana., Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya

Page 26: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 21

Tabel 2. Prinsip Lean Thinking di Rumah Sakit

Prinsip Lean di Rumah Sakit harus

Value Spesifikasi value mulai dari titik awal sampai titik akhir (pasien)

Value Stream Identifikasi seluruh value-added pada seluruh departemen, menghilangkan langkah yang tidak ada value

Flow Menciptakan alur proses yang lancar dengan mengeliminasi penyebab

masalah seperti masalah kualitas

Pull Menghindari mendorong untuk bekerja. Bekerja sesuai kebutuhan

Perfection Mencapai kesempurnaan melalui perbaikan berkelanjutan.

Sumber: Lean Enterprise Institute, 2007 dalam Graban M. Lean Hospitals: Improving Quality, Patient Safety

and Employee Satisfaction. New York: Taylor & Francis Group, 2012

Tabel 3. Delapan Pemborosan (Waste) dalam Lean

Tipe Waste Penjelasan Singkat Contoh Dalam Farmasi

Kecacatan (Defects)

Pengulangan pekerjaan karena ada proses yang salah.

Pengulangan terjadi karena pada kegiatan tidak

tersedianya informasi yang tepat.

obat yang salah atau dosis yang salah diberikan kepada pasien

Produksi berlebihan (Overproduction)

melakukan lebih dari apa yang dibutuhkan oleh

pelanggan, atau melakukannya lebih lebih cepat dari

yang dibutuhkan Membuat paket-paket racikan puyer

Menunggu

(Waiting)

Seseorang tidak dapat memulai sebuah proses pekerjaan karena menunggu seseorang, barang dan informasi yang

dibutuhkan

Pasien menunggu obat, Apoteker menunggu

konfirmasi obat dari dokter, pasien menunggu

tagihan obat, dll.

Pemborosan SDM (Non Utilized People)

Kemampuan yang dimiliki seseorang tidak diketahui dan dimanfaatkan dengan baik

Karyawan tidak melakukan aktivitas apapun di

dalam jam kerja

Karyawan tidak dapat memberikan

masukan/ide untuk upaya perbaikan

Transportasi (Transportation) Pergerakan “produk” yang tidak diperlukan (pasien-pasien, spesimen, material-material) dalam sebuah

sistem

Penyimpanan barang yang digunakan sehari-

hari tidak ditempat dimana barang tersebut

digunakan

Petugas berjalan dari satu tempat ke tempat

lain untuk mengambil catatan yang diperlukan

Persediaan (Inventory)

Besarnya persediaan mengakibatkan peningkatan beban

biaya penyimpanan dan perawatan, membutuhkan tempat yang lebih besar

Obat kadaluarsa

Obat hilang

Obat susah dicari

Pergerakan

(Motion)

Pergerakan oleh para pekerja di dalam sistem yang tidak diperlukan

Petugas mencari berkas yang tidak dikembalikan ke tempat semula

Tata letak ruangan yang kurang baik

Proses yang berlebihan (Extra-processing)

Melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan

kebutuhan pasien atau yang tidak bernilai tambah

Informasi yang diberikan berulang-ulang

Menanyakan ke pasien hal-hal detail secara

berulang

Sumber: Westwood, 2007, Going Lean in the NHS. Graban, M., Lean Hospital

Page 27: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 1

Jurnal ARSI/Februari 2018 22

Gambar 1. Alur Proses Pelayanan Resep di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya Berdasarkan Hasil

Observasi

Danyel Suryana., Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya

Page 28: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 23

Gambar 2. Value Stream Mapping Pelayanan Resep Racikan di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya

Page 29: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 24

Gambar 3. Value Stream Mapping Resep Non Racikan di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya

Danyel Suryana., Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya

Page 30: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 25

Tabel 4. Indentifikasi Waste di Setiap Proses di Instalasi Farmasi Rawat Jalan

Defect Over Production Non Utilized People Waiting Transportation Inventory Motion Extra

Processing

Letak loket penerimaan resep di gang sehingga

tidak mudah terlihat

oleh pasien.

Beban waktu pekerjaan

petugas farmasi yang tidak terbagi secara

merata akibat

penumpukan resep di satu waktu

Petugas menunggu

pasien datang

mengambil obat (obat yang ditinggal pulang

oleh pasien)

Peletakan obat-obatan

yang kurang teratur

menyulitkan untuk pencarian dan bolak-

balik

Ketidaksesuaian data

stok di SIM RS dengan data stok fisik yang ada

Mencari atau Menelepon dokter

untuk konfirmasi resep

atau mengganti obat

Petugas input resep ke SIM RS berulang-

ulang akibat SIM RS

sering error

Input obat ke dalam SIM RS kadang suka

error (harganya

menjadi 0)

Pasien menunggu obat

Alat tulis, lem, dan

kertas etiket sering

tercecer atau hilang

sehingga petugas sering harus mencari-

cari, terutama saat jam

sibuk.

Jumlah persediaan obat

kosong

Pengisian etiket yang

seharusnya dilakukan

setelah penyiapan obat, dilakukan sebelum

proses penyiapan obat.

Jika pasien

membatalkan menebus

seluruh obat di resep, maka Petugas farmasi

harus melakukan

penginputan dan mencetak ulang nota

pembayaran

Dokter tidak tahu pasien sudah mendapat

obat sebelumnya

sehingga double resep untuk pasien kronis.

Pasien antri menunggu

di kasir untuk

pembayaran

Menulis etiket obat

secara manual dan

berulang.

Tulisan dokter tidak

jelas atau kurang lengkap

Petugas farmasi

menelepon dokter

namun tidak diangkat-angkat. (Menunggu

konfirmasi)

Page 31: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 26

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di

Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015

Factors Associated With Patient Safety Culture in Karya Bhakti Pratiwi Bogor Hospital

2015

Yulia Yasmi1, Hasbullah Thabrany2

1,2Program Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Insiden Keselamatan Pasien (IKP) di RSKBP berkisar antara 0,31% sampai dengan 3,01% dengan angka

kematian 2,22%.IKP di RSKBP dinilai masih under reporting karena sebagian besar IKP tidak dilaporkan.

Membangun budaya keselamatan pasien merupakan elemen penting untuk meningkatkan keselamatan pasien

dan kualitas pelayanan.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui budaya keselamatan pasien dan faktor-faktor

yang berhubungan dengan budaya keselamatan pasien di RSKBP tahun 2015. Penelitian dilakukan bulan Maret

s/d April 2015, dengan sampel 115 responden. Desain penelitian explanatory sequential. Analisa data dilakukan

dengan regresi logistic.Penelitian menunjukan budaya keselamatan pasien di RSKBP masih kurang. Faktor-

faktor yang berhubungan dengan budaya keselamatan pasien di RSKBP adalah umpan balik laporan insiden

(p=0,021 α=0,05, OR= 15,516 ) budaya tidak menyalahkan ( p=0,019 α=0,05, OR= 14,396 ) dan budaya belajar

( p=0,006 α=0,05, OR= 0,096 ).Disarankan agar RSKBP dapat memperbaiki budaya keselamatan pasien dengan

upaya yang komprehensif dan terstruktur.

Kata kunci: Keamanan pasien; budaya keselamatan pasien; faktor yang terkait dengan budaya keselamatan

pasien.

ABSTRACT

Adverse even (AE) in RSKBP ranged from 0.31% to 3.01% with a mortality rate of 2.22%.AE in RSKBP still

considered under-reporting because most AE not reported. Building a culture of patient safety is an important

element to improve patient safety and quality. This research aims to know the culture of patient safety and the

factors related to the patient safety culture in RSKBP 2015. The study was conducted in March to April 2015,

with a sample of 115 respondents it is Sequential explanatory research design. The data analysis with regression

logistic.Patient safety culture in RSKBP still lacking. Factors related to the patient safety culture in RSKBP

feedback is incident report (p = 0.021 α = 0.05, OR = 15.516) culture is not to blame (p = 0.019 α = 0.05, OR

= 14.396) and a learning culture (p = 0.006 α = 0.05, OR = 0.096) .RSKBP sugest to improve patient safety

culture with a comprehensive and structured efforts.

Keywords: Patient safety; patient safety culture;factors related to the patient safety culture.

Page 32: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 27

PENDAHULUAN

Keberagaman dan kerutinan pelayanan di rumah

sakit apabila tidak dikelola dengan baik dapat

mengakibatkan terjadinya kejadian tidak diharapkan

(KTD) atau Adverse Event, yang mengancam

keselamatan pasien (Depkes, 2006).

Keselamatan pasien menjadi perhatian dunia sejak

Institute of Medicine (IOM) melaporkan hasil

penelitianya di Amerika Serikat tahun 2000 “ To Err

Is Human bahwa di Utah dan Colorado ditemukan

KTD sebesar 2,9% dimana 6,6% diantaranya

meninggal. Sedangkan di New York, sebesar 3,7%

dengan angka kematian 13,6%. Angka kematian

akibat KTD pada pasien rawat inap di seluruh

Amerika yang berjumlah 33,6 juta per tahun, berkisar

44.000 – 98.000 pasien”. (Depkes RI, 2008). Angka

ini sebanding dengan 1 pesawat jumbo jet

berpenumpang 268 orang jatuh setiap hari dalam satu

tahun (Lumenta, 2011). Publikasi WHO pada tahun

2004 dari penelitian Worl Alliance for Patient Safety

Forward Program, di berbagai Negara (Amerika,

Inggris, Denmark dan Australia) menyatakan

“Adverse event dalam pelayanan pasien rawat inap di

rumah sakit berkisar antara 3-16% (Depkes RI, 2006).

Di Indonesia data tentang KTD apalagi kejadian

nyaris cidera (KNC) masih langka (Depkes RI, 2008).

Dari beberapa penelitian diperoleh data bahwa insiden

keselamatan pasien berdasarkan provinsi pada tahun

2007 adalah sebagai berikut: provinsi DKI Jakarta

menempati urutan tertinggi yaitu 37,9%, Jawa

Tengah 15,9%, D.I.Yogyakarta 13,8%, Jawa Timur

11,7%, Sumatra Selatan 6,9%, Jawa Barat 2,8%, Bali

1,4%, Aceh 1,07% dan Sulawesi Selatan 0,7%

(Budiharjo, 2008 dalam Puspitasari, 2015). Angka di

atas belum mewakili KTD yang sebenarnya di

Indonesia karena pelaporan insiden masih rendah

(Depkes RI, 2008). Menurut Smits (2008) dalam

Rahmawati (2011) 50 % dari KTD merupakan

kejadian yang dapat dicegah. National Patient Safety

Agency (NPSA), menyatakan bila terjadi satu KTD

berat berarti telah terjadi 25 KTD ringan dan 300

Kejadian Nyaris Cedera (KNC) (Lestari, 2013).

Di rumah sakit Karya Bhakti Pratiwi keselamatan

pasien menjadi prioritas, akan tetapi KTD selalu

terjadi setiap bulan hampir di semua unit dengan

akibat yang bervariasi. Mengingat pentingnya

program keselamatan pasien agar RSKBP tetap bisa

mempertahankan eksistensinya dan untuk meningkatkan

mutu pelayanan serta memberikan jaminan terhadap

pengguna jasanya maka diperlukan upaya untuk

dapat menurunkan dan mencegah KTD ini dimasa

yang akan datang sehingga keselamatan pasien di

RSKBP semakin baik.

Weaver at al (2013) mengatakan bahwa“Developing

a culture of safety is a core element of many efforts to

improve patient safety and care quality” “Safety

culture refers to the way patient safety is thought

about, structured and implemented in an organization

(Kristensen, S).

Sehubungan dengan kondisi di atas, yang menjadi

permasalahan adalah belum diketahuinya budaya

keselamatan pasien di RSKBP dan faktor yang

berhubungan dengan budaya keselamatan pasien

tersebut, karena belum pernah dilakukan penelitian

mengenai hal ini. Oleh karena itu dirasa perlu

melakukan penelitian mengenai budaya keselamatan

pasien dan faktor-faktor yang berhubungan dengan

budaya keselamatan pasien di RSKBP tahun 2015

sehingga dapat dibuat perencanaan kegiatan untuk

peningkatan keselamatan pasien dimasa yang akan

dating

TINJAUAN PUSTAKA

Keselamatan pasien rumah sakit adalah: suatu sistem

dimana rumah sakit membuat asuhan yang lebih

aman melalui upaya-upaya, mengidentifikasi resiko,

pengelolaan resiko, belajar dari resiko yang terjadi

agar tidak terulang di masa yang akan datang. Dengan

lebih sederhana dapat dikatakan keselamatan pasien

rumah sakit adalah mencegah kejadian yang tidak

diinginkan, apabila tidak dapat dicegah diupayakan

agar tidak terulang, melalui upaya belajar dari

kesalahan.Keselamatan merupakan prinsip dasar

dalam pelayanan pasien dan komponen kritis dari

manajemen mutu. (WHO, 2004 dalam Lumenta,

2011).

WHO pada tanggal 2 Mei 2007 menerbitkan

panduan “ Nine life-saving patient safety solution”

Sembilan solusi keselamatan pasien rumah sakit

Page 33: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 28

(KKP-RS, 2008) yaitu:perhatikan nama obat, rupa

dan ucapan mirip (Look Alike, Sound- Alike

Medication Name), pastikan identifikasi pasien,

komunikasi secara benar saat serah terima atau

pengoperan pasien,pastikan tindakan yang benar pada

sisi tubuh yang benar, kendalikan cairan elektrolit

pekat, pastikan akurasi pemberian obat pada

pengalihan pelayanan, hindari salah kateter dan salah

sambung selang gunakan alat injeksi sekali pakai,

tingkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan

infeksi nosokomial.

KKP-RS dalam Panduan Nasional keselamatan

Pasien Rumah sakit membuat sitematika langkah

penerapan Keselamatan Pasien Rumah Sakit

(KPRS) yang terdiri dari 3 fase yaitu: fase persiapan,

fase pelaksanaan dan fase evaluasi.

1. Fase Persiapan :

Menetapkan kebijakan, rencana jangka pendek

dan program tahunan keselamatan pasien rumah

sakit.

2. Fase Pelaksanaan

Deklarasi gerakan Keselamatan pasien, program

7 langkah keselamatan pasien, penerapan standar

akreditasi keselamatan pasien, buat unit sebagai

model (pilot project), buat program-program

kusus terkait keselamatan pasien seperti, program

cuci tangan, dokter penanggung jawab pasien,

pelaporan dan sebagainya, bentuk forum diskusi

periodik untuk pengembangan KPRS.

3. Fase Evaluasi

Evaluasi menyeluruh setahun sekali untuk

memperbaiki program KPRS.

Mengacu pada hal tersebut, maka RS harus

merancang proses baru atau memperbaiki proses

yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja

melalui pengumpulan data, menganalisis secara

intensif KTD dan melakukan perubahan untuk

meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.

Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi,

misi dan tujuan RS, kebutuhan pasien, petugas

pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik

bisnis yang sehat dan faktor-faktor lain yang

berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan ”Tujuh

Langkah Keselamatan Pasien Rumah Sakit”, yaitu:

(Depkes RI, 2008).

1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.

Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang

terbuka dan adil.

2. Pimpin dan dukung staf anda. Bangunlah

komitmen dan fokus kuat dan jelas tentang

keselamatan pasien di rumah sakit anda.

3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Kembangkan

sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan

identifikasi dan assessmen hal yang potensial.

4. Kembangkan sistem pelaporan. Pastikan staf anda

agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian

atau insiden serta RS mengatur pelaporan kepada

Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit

(KKPRS)

5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien.

Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka

dengan pasien

6. Belajar dan berbagi sebuah pengalaman tentang

keselamatan pasien. Dorong staf anda untuk

melakukan analisis akar masalah untuk belajar

bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul

7. Mencegah cedera melalui implementasi sistem

keselamatan pasien. Gunakan informasi yang ada

tentang kejadian atau masalah untuk melakukan

perubahan pada sistem pelayanan.

Terkait dengan upaya-upaya keselamatan pasien

untuk menekan angka kejadian tidak diinginkan di

rumah sakit, diyakini bahwa upaya menciptakan atau

membangun budaya keselamatan (safety culture)

merupakan langkah pertama dalam langkah-langkah

mencapai keselamatan pasien, sebagaimana tercantum

pula dalam langkah pertama dari konsep ”Tujuh

Langkah Menuju keselamatan pasien RS” di

Indonesia, yaitu ”Bangun Kesadaran akan Nilai

keselamatan pasien, ciptakan kepemimpinan dan

budaya yang terbuka dan adil ”(Depkes, 2008).

Inti dari budaya keselamatan pasien adalah keyakinan

karyawan tentang pentingnya keselamatan, yang

ditunjukkan melalui sikap, norma-norma yang

berlaku dan perilaku termasuk nilai-nilai yang

menjadi asumsi dasar tentang bagaimana bertindak,

“The essence of safety culture resides in employee's

beliefs about the importance of safety, including their

values, norms, attitudes and basic assumptions, It is

demonstrated through attitudes, accepted norms and

behaviors. It is about how things work and "the way

things are done around here” (Kristensen, S).

Yulia Yasmi, Hasbullah Thabrany., Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya

Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015

Page 34: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 29

Keselamatan pasien adalah sebuah transformasi

budaya, dimana budaya yang diharapkan adalah

budaya keselamatan, budaya tidak menyalahkan,

budaya lapor dan budaya belajar. Dalam proses ini

diperlukan upaya transformasional yang menyangkut

intervensi multi tingkat dan multi dimensional yang

terfokus pada misi dan strategi organisasi, leadership

style, serta budaya organisasi. Keberhasilan transformasi

70%-90 % ditentukan oleh peran leadership dan

sisanya (0 % - 30 %) oleh peran managership (Adib,

2012).

Menurut Agency of Healthcare Research and Quality

(2004) dalam menilai budaya keselamatan pasien di

rumah sakit terdapat beberapa aspek dimensi yang

perlu diperhatikan yaitu harapan dan tindakan

supervisor atau manajer dalam mempromosikan

keselamatan pasien, pembelajaran, peningkatan

bekerlanjutan, kerjasama tim dalam unit, keterbukaan

komunikasi, umpan balik terhadap error, respon tidak

menyalahkan, staf yang adekuat, persepsi secara

keseluruhan, dukungan manajamenen rumah sakit,

kerjasama tim antar unit, penyerahan dan pemindahan

pasien dan frekuensi pelaporan kejadian (AHRQ,

2004).

Penilaian terhadap budaya keselamatan merupakan

permulaan dari proses pengembangan program

keselamatan pasien itu sendiri yang hasilnya dapat

digunakan untuk mengidentifikasi area/unit yang

akan dikembangkan, untuk evaluasi program, untuk

membuat perbandingan secara internal maupun

eksternal dan sebagai dasar pembuatan kebijakan

(Nieva, 2003).Survey budaya atau iklim keselamatan

sudah menjadi pendekatan yang umum untuk

memonitoring keselamatan pasien, dan berbagai jenis

instrumen pengukurannya terus mengalami pengembangan

(Matsubara et al, 2008) dalam Rahmawati (2011).

Pengukuran budaya keselamatan pasien dapat

dilakukan berdasarkan dimensi yang mendasari

ataupun berdasarkan tingkat maturitas dari organisasi

dalam menerapkan budaya keselamatan pasien.

Dikarenakan belum adanya konsensus mengenai

standard pengukuran budaya keselamatan pasien,

menyebabkan bervariasinya definisi, konsep maupun

dimensi budaya keselamatan pasien. Beberapa

organisasi mengembangkan standard pengukuran

dengan masing-masing instrumennya, antara lain

AHRQ, Stanford dan MaPSaF (Manchester Patient

Safety Assesment Framework). Namun, sejauh ini

kuesioner HSOPSC dari AHRQ yang paling banyak

direkomendasikan untuk mengukur budaya keselamatan

pasien karena telah terjamin validitas dan reliabilitasnya

secara internasional dan mempunyai sifat psikometris

yang terbaik dan dirancang untuk seluruh pekerja di

RS. Hospital Survey on Patient Safety Culture

(HSOPSC), terdiri dari 10 dimensi budaya

keselamatan pasien dan 4 dimensi outcome. 10

dimensi budaya keselamatan AHRQ yaitu: Kerjasama

tim dalam satu unit, Pembelajaran organisasi dan

pengembangan berkelanjutan, Umpan balik dan

komunikasi tentang kesalahan, Dukungan manajemen,

Sikap supervisor dalam mendukung keselamatan

pasien, Kerjasama antar tim, Ketenagaan, Serah

terima, Komunikasi, Budaya tidak menyalahkan

(Respon non punitive). 4 Dimensi Out Come dari

AHRQ yaitu :Perceptions of Safety (Persepsi

terhadap Keselamatan Pasien RS), Frequency of

Event Reporting (Frekuensi Pelaporan), Patient Safety

Grade of the Hospital Unit (Keselamatan Pasien

Tingkat Unit Di RS), Number of Events Reported

(Jumlah Insiden yang Dilaporkan).

METODOLOGI PENELITIAN

Desain penelitian ini adalah urutan pembuktian (The

Explanatory Sequential Design) yang dimulai

dengan penelitian kuantitatif diikuti dengan penelitian

kualitatif untuk kemudian dilakukan analisa secara

keseluruhan. Penelitian ini merupakan penelitian

eksplorasi untuk mengukur budaya keselamatan

pasien,melihat struktur organisasi serta pelaksanaan

dari program keselamatan pasien di RSKBP dan

mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan

budaya keselamatan pasien di RSKBP tahun

2015.Dari hasil penelitian ini kemudian akan

dirumuskan langkah-langkah untuk memperbaiki

keselamatan pasien di RSKBP.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan bersamaan

dengan penelitian. Sampel uji validitas dan reliabilitas

adalah karyawan yang tidak termasuk kriteria inklusi

sebagai responden penelitian. Pengujian validitas

kuesioner dilakukan dengan sampel 30 responden.

Dari semua item kuesioner terdapat 1 item pada

dimensi ketenagaan yang tidak valid dan tidak

Page 35: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 30

diikutkan dalam pengolahan data. Uji reliabilitas

dilakukan setelah uji validitas. Uji reliabilitas

dilakukan terhadap item yang valid dan hasilnya

semua reliabel.

Responden terdiri dari 64,35% perempuan dan

35,65% laki-laki dengan kelompok umur terbanyak

adalah 31-40 tahun (39,13%), sebagian besar

responden (58,3%) telah menjalani profesinya selama

1-5 tahun,79,1% responden bekerja antara 40 sampai

dengan 59 jam dalam satu minggu,71,3% kontak

langsung dengan pasien dan 28,7% tidak kontak

langsung dengan pasien.

Responden menganggap bahwa keselamatan pasien

itu penting, 81,57% responden tidak pernah

mengorbankan keselamatan pasien untuk mengerjakan

pekerjaan yang lebih banyak, akan tetapi karena

prosedur kerja yang belum baik, jumlah tenaga dan

sarana kurang, beberapa responden tidak yakin kalau

di unitnya tidak ada masalah berhubungan dengan

keselamatan pasien (ditampilkan dalam tabel 1).

Hasil penelitian diolah dan dianalisa secara multivariat

dengan menggunakan regresi logistik ganda.

Sebelum dilakukan uji multivariat masing-masing

variabel independen diuji secara bivariat dengan

variabel dependen (Budaya Keselamatan Pasien).

Bila hasil uji bivariat variabel independen tersebut p

value nya < 0,25 maka variabel tersebut langsung

masuk ketahap uji multivariate (Hastono, S P,2007)

(ditampilkan dalam tabel 2).

Variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap

Budaya keselamatan pasien adalah Umpan Balik

Laporan dengan Odds Ratio (OR = 15,516), disusul

oleh Budaya tidak Menyalahkan (OR = 14,396) dan

Budaya Belajar (OR = 0,096).

Frekuensi Pelaporan Insiden

Faktor – faktor yang bermakna berhubungan dengan

frekuensi laporan adalah budaya tidak menyalahkan

dengan OR = 2,959 (ditampilkan dalam tabel 3).

Pendapat Responden mengenai Keselamatan

Pasien Tingkat Unit

Faktor yang berhubungan secara bermakna dengan

keselamatan pasien tingkat unit adalah komunikasi

(OR= 2,832), Umpan Balik laporan insiden (OR =

2,551) dan Budaya belajar (OR = 0,200) (ditampilkan

dalam tabel 4).

Tingkat Keselamatan Pasien

Tingkat keselamatan pasien terbukti berhubungan

secara bermakna dengan budaya belajar dan budaya

tidak menyalahkan (ditampilkan dalam tabel 5).

Jumlah Insiden yang dilaporkan

Jumlah insiden yang telah dilaporkan tidak terbukti

behubungan dengan faktor-faktor yang ada.

Struktur Organisasi, Pengelolaan Keselamatan

Pasien dan Pelaksanaan Program Keselamatan

Pasien di RSKBP tahun 2015

Struktur Organisasi, pengelolaan dan pelaksanaan

program keselamatan pasien di RSKBP diteliti secara

kualitatif melalui wawancara mendalam kepada

direktur sebagai perwakitan pembuat kebijakan,

Manager on duty (MOD) sebagai pengawas kebijakan

dan ketua tim di tiap-tiap unit sebagai perwakilan

pelaksana kebijakan, disertai dengan telaah dokumen

dan pengamatan di lapangan, untuk validasi data yang

didapatkan dari wawancara (Triangulasi).

Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa di

RSKBP belum ada tim kusus yang dibentuk yang

bertanggung jawab terhadap pengelolaan keselamatan

pasien. Kebijakan terkait keselamatan pasien yang di

tetapkan oleh direktur juga belum ada, demikian juga

dengan program tahunan dan rencana jangka pendek

terkait keselamatan pasien belum ada.Saat ini di

RSKBP kalau ada insiden keselamatan pasien sesuai

dengan kebijakan direktur dilaporkan kepada atasan

langsung atau kepada MOD.Alur pelaporan insiden

belum ada akan tetapi petugas tahu kalau ada insiden

melapor ke atasan atau ke MOD.Direktur melakukan

pertemuan rutin dengan MOD membahas permasalahan

yang terjadi seminggu sekali setiap hari Selasa. Jadwal

pertemuan tertulis yang dibuat tidak ada, akan tetapi

notulen dan hasil pertemuan tercatat dalam buku

catatan MOD. Dalam pertemuan biasanya dibahas

mengenai permasalahan terkait keselamatan pasien

baik yang terkait dengan kebijakan, sarana dan

prasarana serta operasional dilapangan. Ronde

Yulia Yasmi, Hasbullah Thabrany., Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya

Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015

Page 36: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 31

keselamatan pasien belum pernah dilakukan, serta

belum ada metoda untuk evaluasi, analisa dan tindak

lanjut terhadap KTD. Pencatatan dan pelaporan

dilakukan oleh MOD. Pelaksana memendang

pelaporan yang ada saat ini belum mencari akar

permasalahan, tetapi cenderung mencari siapa yang

salah dan yang terbukti bersalah akan diberi surat

peringatan. Pelaksana belum semuanya berani

melapor, karena takut disalahkan.

Dari telaah dokumen peneliti juga melihat bahwa

dokumen standar operasional prosedur dimaksud

ada, dan petugas dilapangan sudah mengetahuinya

dan sudah dilaksanakan, tetapi belum pernah

dilakukan supervisi dan evaluasi pelaksanaanya.

Sarana prasarana pendukung terkait prosedur tersebut

juga ada, seperti gelang pasien untuk identifikasi,

wastafel dan hand rub di setiap tempat, dan setiap

ruang perawatan, poster terkait 7 langkah cuci tangan

juga ada di setiap wastafel, akan tetapi untuk kamar

mandi belum semua dilengkapi pegangan untuk

mencegah pasien jatuh, demikian juga dengan tempat

tidur khusunya tempat tidur ruangan perawatan

Jasmin Kelas III pengamanya tidak memadai (Anak

bisa lolos karena rongga pengamanya sangat

lebar).Evaluasi keselamatan pasien belum pernah

dilakukan, kalau ada insiden tidak ada sosialisasi

kepada unit terkait maupun unit lainya.

Membangun budaya keselamatan pasien merupakan

elemen penting untuk meningkatkan keselamatan

pasien dan kualitas pelayanan. Penilaian budaya

keselamatan pasien di rumah sakit dapat dilakukan

dengan menilai dimensi–dimensi yang terkait dengan

budaya keselamatan pasien. Salah satu survey untuk

menilai budaya keselamatan pasien adalah dari

AHRQ.Ada 12 dimensi yang dinilai dalam survey

AHRQ, 4 diantaranya merupakan dimensi outcome.

(AHRQ, 2004).

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa budaya

keselamatan pasien di RSKBP tahun 2015 masih

kurang.Hasil penilaian terhadap outcome budaya

keselamatan pasien yang menggambarkan budaya

keselamatan pasien di RSKBP tahun 2015 termasuk

katagori kurang (tabel 1).Variabel yang dinilai paling

jelek diantara ke empat variabel outcome ini adalah

jumlah insiden yang dilaporkan dalam 1 tahun terakir,

hanya 2,61% responden yang pelaporan insidennya

termasuk katagori baik.

Outcome kedua untuk menilai budaya keselamatan

pasien adalah frekuensi pelaporan insiden. IKP yang

paling jarang dilaporkan adalah kejadian potensial

cidera (KPC). Hanya 42,61% dari responden yang

selalu atau sering melaporkan KPC 48,70% yang

selalu atau sering melaporkan KNC dan 56,52%

responden yang selalu atau sering melaporkan KTD.

Hasil ini lebih baik dari yang didapatkan Elrifda di

Jambi dengan rata-rata responden yang selalu dan

sering melaporkan IKP hanya rata-rata 35%, dan

hampir sama dengan yang didapatkan Yogyaswari di

RS harapan kita dimana IKP dilaporkan selalu atau

sering oleh 43% responden.

Frekuensi pelaporan kejadian yang kurang merupakan

hambatan staf untuk melakukan pembelajaran dari

insiden yang terjadi. Laporan merupakan awal proses

pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama

terulang kembali. Agar segala kejadian atau insiden

dapat terdokumentasi dengan baik, sehingga dapat

dilakukan analisa serta tindakan korektif atau preventif

selanjutnya (KKPRS, 2008). Hal ini terkait dengan

budaya tidak menyalahkan merupakan dimensi yang

dinilai masih sangat rendah. Dari semua dimensi

budaya keselamatan pasien yang dinilai, budaya tidak

menyalahkan merupakan dimensi kedua terjelek

setelah ketenagaan. Rendahnya frekuensi pelaporan

kejadian merupakan hambatan bagi Manajemen

RSKBP untuk belajar dari kesalahan. Hal ini

diperburuk oleh persepsi sebagian staf bahwa

manajemen akan memberikan surat peringatan (SP)

pada karyawan yang telah melakukan kesalahan,

karyawan takut dihukum apabila salah, serta takut

kesalahan yang mereka lakukan akan mempengaruhi

penilaian kinerja. Kondisi ini diperburuk dengan

belum disusunnya alur yang jelas untuk pelaporan

insiden keselamatan pasien di RSKBP. Selama ini

kalau ada IKP dilaporkan langsung kepada atasan

atau MOD yang bertugas saat kejadian terjadi.

Dari keempat variabel di atas (jumlah insiden yang

dilaporkan, frekuensi pelaporan insiden, keselamatan

pasien tingkat RS, dan keselamatan pasien tingkat

unit) disimpulkan bahwa budaya keselamatan pasien

di RSKBP termasuk katagori kurang dan masih perlu

Page 37: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 32

ditingkatkan.Elrifda di Jambi memperoleh hasil yang

hampir sama.

Uji statistik yang dilakukan menunjukan bahwa

budaya keselamatan pasien di RSKBP tahun 2015

secara bermakna berhubungan dengan 3 dimensi.

Dari ketiga dimensi tersebut yang mempunyai

hubungan paling kuat dengan budaya keselamatan

pasien di RSKBP tahun 2015 adalah umpan balik

laporan insiden (OR =15,516),disusul oleh Budaya

tidak Menyalahkan (OR=14,396) dan Budaya

Belajar (OR=0,096).

Nafas dari keselamatan pasien adalah budaya belajar,

belajar dari KTD yang terjadi dimasa lalu untuk

selanjutnya disusun langkah-langkah agar kejadian

serupa tidak terulang kembali, baik di unit yang sama

maupun di unit yang lain dalam satu rumah sakit atau

di rumah sakit yang lain. Proses pembelajaran ini

bukan merupakan hal yang sederhana, dimulai dari

proses pelaporan kejadian, dilanjutkan dengan analisa

kejadian, sampai ditemukan akar masalahnya sebagai

dasar dasar untuk mendisain ulang suatu sistim

sehingga tercapai suatu asuhan pasien yang lebih

aman di rumah sakit. Kalau kita perhatikan maka

proses di atas merupakan suatu siklus, yang awal

penggerakanya diawali dengan sistim pelaporan,

sistim pelaporan merupakan detak jantung dari

keselamatan pasien (KKPRS, 2008).

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa umpan balik

laporan insiden di RSKBP dinilai positif oleh 51,15%

responden. Hasil ini berbeda dengan Yogyaswari di

RS harapan kita dimana respon positif dari responden

adalah 73%, tetapi hampir sama dengan Elrifda di

Jambi 49,2%.Sedangkan budaya belajar di RSKBP

dinilai baik oleh 74,78% responden, berbeda dengan

Elrifda di Jambi 50,8% dan Yogyaswari di RS

harapan Kita 81%. Disini kita lihat bahwa budaya

belajar di RSKBP sudah lebih baik dari RS di jambi

akan tetapi masih kurang bila dibandingkan dengan

RS harapan kita. Beberapa upaya telah dilakukan

manajemen untuk meningkatkan pembelajaran di

RSKBP, akan tetapi masih perlu ditingkatkan lagi di

masa yang akan datang.

Yang terjadi di RSKBP adalah sebagai berikut:

Laporan insiden sangat rendah, disebabkan oleh

budaya tidak menyalahkan masih kurang, budaya

tidak menyalahkan yang kurang akibat belum

dipahaminya budaya keselamatan pasien karena

budaya belajarnya juga masih kurang, sehingga

umpan balik dari laporan insiden juga rendah yang

secara akumulatif akan menyebabkan budaya

keselamatan pasien kurang dan keselamatan pasien di

RSKBP rendah. Disamping 3 dimensi budaya

keselamatan pasien di atas yang berhubungan secara

bermakna dengan budaya keselamatan pasien di

RSKBP dimensi-dimensi budaya keselamatan lainya

tidak bisa diabaikan, karena sewaktu dilakukan uji

statistik mengeluarkan dimensi yang p value nya lebih

dari 0,05 secara bertahap nilai OR dari variabel lain

berubah lebih dari 10% ini artinya antara variabel

tersebut terdapat interaksi (Hastono, 2007).

Dimensi ketenagaan merupakan dimensi yang paling

sedikit (2,61%) responden yang menilai baik, artinya

97,39% responden berpendapat bahwa tenaga di

RSKBP saat ini kurang, hal ini dibenarkan oleh

kepala seksi kepegawaian, memang saat ini jumlah

tenaga yang tersedia kurang jika dibandingkan

dengan beban kerja. Saat ini sedang diupayakan untuk

pemenuhan tenaga secara bertahap. Hasil yang sama

pada penelitian Elfrida yaitu 10,5% dan Yogyaswari

42% responden yang menilai ketenagaan di unitnya

cukup.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari empat dimensi outcome AHRQ yang dinilai

untuk menentukan budaya keselamatan pasien di

RSKBP tahun 2015 yaitu: frekuensi pelaporan,

jumlah insiden yang dilaporkan, keselamatan pasien

tingkat unit dan keselamatan pasien tingkat rumah

sakit disimpulkan bahwa budaya keselamatan pasien

di RSKBP masih kurang.Frekuensi pelaporan dan

jumlah insiden yang dilaporkan masih sangat kurang,

Kurangnya frekuensi pelaporan ini berhubungan

dengan budaya tidak menyalahkan (p=0,007 α=0,05,

OR=2,959). Di RSKBP budaya tidak menyalahkan

menempati urutan ke dua yang dinilai paling paling

jelek setelah ketenagaan. Saat ini dari 115 responden

hanya 41,74% yang menilai baik budaya tidak

menyalahkan. Karyawan takut melapor karena takut

diberi surat peringatan, takut laporanya akan

menyebabkan penilaian kinerjanya menjadi jelek dan

Yulia Yasmi, Hasbullah Thabrany., Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya

Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015

Page 38: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 33

takut dihukum. Keselamatan pasien tingkat unit dan

keselamatan pasien tingkat rumah sakit menurut

responden juga masih kurang. Saat ini hanya 9,57%

dari responden yang menilai keselamatan pasien

tingkat rumah sakit baik dan 40% yang menilai

bahwa keselamatan pasien di unit kerjanya sudah

baik. Faktor-faktor yang berhubungan secara

bermakna dengan keselamatan pasien tingkat unit

adalah: komunikasi (p= 0,014, α=0,05, OR=2,832),

budaya belajar ( p= 0,001, α=0,05, OR=0,200 ) dan

umpan balik laporan insiden (p= 0,035, α=0,05,

OR=2,511). Responden menilai keselamatan pasien

di rumah sakit maupun tingkat unit masih kurang

berhubungan dengan jumlah tenaga yang kurang dan

fasilitas pendukung pekerjaan dan keselamatan pasien

belum memadai.Secara keseluruhan faktor-faktor

yang berhubungan signifikan dengan budaya

keselamatan pasien di RSKBP tahun 2015 adalah

umpan balik laporan insiden (p=0,021 α=0,05, OR=

15,516) budaya tidak menyalahkan ( p=0,019

α=0,05, OR= 14,396) dan budaya belajar (p=0,006

α=0,05, OR= 0,096).

Dari 10 dimensi budaya keselamatan pasien yang

dinilai di RSKBP, tiga dimensi termasuk katagori

baik.Sedangkan 7 dimensi lainya dinilai masih

termasuk katagori kurang. Struktur organisasi dan

pelaksanaan program keselamatan pasien di RSKBP

juga belum ada. Belum ada tim kusus serta belum ada

program dan implementasi keselamatan pasien di

RSKBP untuk tahun 2015 ini.Belum ada alur, format

dan sistem pelaporan insiden yang disepakati,

disosialisasikan serta di terapkan di RSKBP. Standar

Operasional Prosedur terkait Keselamatan pasien:

Identifikasi, Komunikasi, Kewaspadaan Obat

LASA, Pencegahan pasien Jatuh, Pencegahan Infeksi

Nosokomial, dan Prosedur pencegahan salah sisi

operasi sudah ada, sudah dilaksanakan tetapi tidak ada

supervisi dan belum pernah dievaluasi. Beberapa

upaya telah dilakukan manajemen untuk meningkatkan

keselamatan pasien di RSKBP. Evaluasi program

keselamatan pasien juga belum berjalan. Demikian

juga dengan fasilitas yang mendukung keselamatan

pasien di RSKBP masih kurang, beberapa peralatan

tidak dalam kondisi siap untuk digunakan, serta

belum adanya (SOP) penyiapan alat sebelum dan

sesudah digunakan, hal ini akan menjadi suatu potensi

timbulnya kejadian tidak diharapkan apabila tidak

menjadi perhatian dari manajemen. Upaya yang

sudah dilakukan manajemen baru berupa pelatihan-

pelatihan tentang keselamatan pasien bagi seluruh

karyawan, baik yang baru bergabung maupun

karyawan lama.

Saran

Disarankan agar RSKBP dapat memperbaiki budaya

keselamatan pasien dengan upaya yang komprehensif

dan terstruktur berpedoman kepada permenkes 1691

tahun 2011 dan pedoman keselamatan pasien rumah

sakit dari KKPRS-DEPKES 2008. Usulan rencana

implementasi untuk pengembangan budaya keselamatan

pasien di RSKBP terkait dengan hasil penelitian ini

adalah sebagai berikut:

A. Membentuk tim keselamatan pasien rumah sakit

(TKPRS), Dengan Uraian tugas sebagai berikut:

a. Membuat usulan program kerja untuk

meningkatkan keselamatan pasien.

b. Mengusulkan kebijakan dan prosedur

terkait program keselamatan pasien kepada

direktur.

c. Menjalankan peran untuk melakukan

motivasi, edukasi, konsultasi, pemantauan

dan evaluasi tentang penerapan program

keselamatan pasien.

d. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden,

analisa insiden serta mengembangkan solusi

untuk pembelajaran.

e. Memberikan pertimbangan kepada direktur

rumah sakit dalam rangka pengambilan

kebijakan yang berhubungan dengan

keelamatan pasien.

f. Membuat laporan kegiatan dan evaluasi

program kepada direktur rumah sakit.

B. Meningkatkan Frekuensi pelaporan dan jumlah

insiden yang dilaporkan dengan target ≥ 75%

karyawan melaporkan setiap IKP yang

ditemukannya dengan cara:

Manajemen dibantu oleh TKPRS merumuskan:

a. Sistim pelaporan insiden yang terorganisir.

b. Alur pelaporan insiden.

c. Format laporan insiden.

Pihak manajemen yang dibantu oleh TKPRS

mensosialisasikan:

a. Tujuan dan manfaat pelaporan insiden.

b. Apa yang harus dilaporkan.

c. Siapa yang harus melapor.

Page 39: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 34

Berpedoman kepada pedoman pelaporan

insiden dari KKPRS-Depkes 2008.

C. Meningkatkan Umpan Balik laporan Insiden

dengan target minimal 75 % dari laporan

insiden diberikan umpan balik dalam bentuk

sistem/alur/ atau SOP baru kepada unit terkait

dan unit lain di rumah sakit supaya kejadian

yang sama tidak terulang kembali. Hal ini

dimungkinkan apabila:

a. TKPRS melakukan Root Caouse Analysis

(RCA) terhadap insiden yang dilaporkan

serta Failure Mode and Effect Analysis

(FMEA) untuk mencari potensi adanya

IKP.

b. TKPRS Memanfaatkan wadah komunikasi

yang sudah berjalan seperti pertemuan unit,

pertemuan komite medik, pertemuan

komite keperawatan untuk menyampaikan

umpan balik laporan insiden dan hasil

FMEA secara berkala (sebulan sekali).

D. Menghilangkan persepsi karyawan bahwa

apabila melakukan kesalahan akan dihukum.

Upaya yang bisa dilakukan adalah melalui

pembelajaran bagi seluruh unsur terkait mulai

dari manajemen sampai kepada pelaksana

sehingga pemahaman terhadap kesalahan bisa

bergeser dari mencari siapa yang salah menjadi

apa yang salah. Dan TKPRS dengan dukungan

manajemen membuat program penghargaan

bagi yang melaporkan IKP.

E. Meningkatkan pengetahuan semua pihak di

rumah sakit tentang keselamatan pasien melalui

upaya pembelajaran berkelanjutan.

a. Bagian kepegawaian memasukan keselamatan

pasien sebagai bagian program pendidikan

dan pengembangan karyawan baik melalui

pelatihan eksternal maupun internal.

b. Pelatiah RCA bagi Tim KPRS dan

pelatihan investigasi sederhana bagi katim

dan kepala instalasi.

c. Pelatihan Risk Grading bagi Tim KPRS dan

katim serta kepala instalasi.

d. Pelatihan komunikasi yang baik (metode

SBAR) untuk seluruh karyawan.

F. Supervisi berjenjang pelaksanaan SOP, komunikasi

efektif dan evaluasi pelaksanaanya.

G. Membuat program percontohan pada salah satu

unit sebagai pedoman bagi unit lain.

H. Menyusun prioritas program untuk mencapai 6

sasaran keselamatan pasien yang berupa contoh:

Program cuci tangan, Program pelaporan insiden

dll, serta diadakan lomba sebagai motivasi bagi

unit-unit terkait.

I. Meningkatkan dukungan dari manajemen

terkait keselamatan pasien dengan cara :

a. Manajemen menghitung ulang jumlah

tenaga dan beban kerja , sesuai dengan

ketentuan dan peraturan yang berlaku

b. Manajemen melengkapi secara bertahap

fasilitas untuk keselamatan pasien.

c. Manajemen melengkapi SOP terkait

keselamatan pasien.

J. Setelah usulan strategi-strategi peningkatan

budaya keselamatan pasien tersebut dilakukan

manajemen melakukan evaluasi pelaksanaanya

dan evaluasi ulang budaya keselamatan pasien

di RSKBP minimal setiap tiga tahun sekali.

Yulia Yasmi, Hasbullah Thabrany., Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya

Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015

Page 40: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 35

DAFTAR PUSTAKA

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ). (2011).Organizational

Culture Distinguishes Top-Performing Hospitals in Patient Outcomes from Heart

Attack:ResearchActivities,June2011,No.370.Rockville,MD.http://www.ahrq.g

ov/news/newsletters/researchctivities/jun11. Agency for Healthcare Research and Quality, Rockville MD. (2012).Surveys on

Patient

SafetyCulture.www.ahrq.gov/professionals/qualitypatientsafety/patientsafetyculture/ index.html.

Agrawal, A. (2014).Patient Safety, A case-based comprehensive guide p-ix. New

York: Springer. Akbar, R.Uji Validitas dan realibilitas instrument penelitian diunduh dari

https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=uji+reliabilitas+cronbach+alphah

Cahyono. (2008).Membangun Budaya Keselamatan Pasien Dalam Praktek Kedokteran,

diunduhdarihttp://www.kanisiusmedia.com/product/detail/027686/MEMBA

NGUN-BUDAYA-KESELAMATAN-PASIEN-DALAM-PRAKTEK-KEDOKTERAN Maret 2015

Cooper, D. (2000) Towardsa Modelof Safety Culture diunduh

http://158.132.155.107/posh97/private/culture/model_of_safety_culture.html. Cooper, D. (2001).Improving safety Culture, a Practical Guide.London.John Wiley&

Sons.

Creswell, J.(2012).Educational research:Planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative research (4thed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson

Education dalam Fischler, Abraham S, Mixed Method, Nova: Southeastern University, diunduh tanggal 17 April 2015 dari http://www.fischlerschool

.nova.edu/Resources/uploads/app/35/files/ARC_Doc/mixed_methods.pdf.

Current News. (2013), 77% Bisa Adaptasi Kurang dari Enam Bulan, Edisi Rabu, 20 Nov 2013 diunduh dari web http://careernews.web.id/issues/view/2166-77-

Bisa-Adaptasi-Kurang-dari-Enam-Bulan.

Daud, A. (2010) Budaya Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Slide workshop Patien Safety, Jakarta: Persi.

Dean, Bryony, Mike Schachter, Charles Vincent, Nick Barber THE LANCET • Vol

359 • April 20, 2002 • www.thelancet.com h 1375. Departemen Kesehatan, KKP-RS. (2006).Panduan Nasional Keselamatan Pasien

Rumah Sakit (patient Safety) Edisi-1. Jakarta: Depkes.

Departemen Kesehatan, KKP-RS. (2008). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (patient Safety) Edisi-2. Jakarta: Depkes.

Depkes. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan no 129 tahun 2018 tentang Standar

Pelayanan Minimal Rumah sakit, Jakarta: Dirjen Bina Pelayanan Medik Depkes. (2012). Peraturan Menteri Kesehatan no 12 tahun 2012 tentang Akreditasi

Rumah Sakit, Jakarta: Menkumham, Berita Negara RI no 413.

Depkes. (2014).Peraturan Menteri Kesehatan no 59 tahun 2014 tentang, Klasifikasi dan Perizinan Rumah sakit. Jakarta: Menkumham, Berita Negara RI no 1221.

Dodsworth, M. (2007) Organizational Climate Metrics as a Leading She

Performance Indicator and an Aid to Relative Risk Ranking within Industry diunduh dari http://homepages.nildram.co.uk/~dodsy/index.htm.

Elrifda, S. (2001).Budaya Keselamatan Pasien danKarakteristik Kesalahan Pelayanan

Di Salah Satu Rumah Sakit Di Kota Jambi, Jurnal Kesmas: FKM UI Depok Emanuel, Linda, .What exactly is patient safety? http://www.ahrq.gov/prof

esionals/quality patient-safety/pasient safety resources/advance-in-patient-safety

2/vol/advances-Emanuel Berwick. Diunduh Feb 2015. Gibson, at al. (2012).Organizations, Behavior, Struktur and Process. New York: Mc

Graw-Hill.

Hastono, SP, (2007). Analisa Data Kesehatan FKM UI: Depok. Haryanti, A. (2006).Analisis Faktor-Faktor Yang Menjadi Prediktor Organisasi

Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan, Tesis, Undip:

Semarang. Health and Safety Executive (HSE), United Kingdom. (2005). A Review of Safety

Culture and Safety Climate Literature for the Development of the Safety Culture

Inspection Toolkit. Ilyas, Y. (2003) Kiat Sukses Manajemen Tim Kerja, Gramedia Pustaka Utama:

Jakarta.

Ilyas, Y. (2011) Perencanaan SDM Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat UI,

Depok: Jakarta

Ivancevich, Jhon A, Kanopaske, R, Mattesson, M,. (2007) Perilaku dan Manajemen

Organisasi Edisi ke-7 diterjemahkan oleh Gania, Gina. Jakarta: Airlangga. Kemenkes. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan no 1691 tahun 2011 tentang,

Keselamatan Pasien Rumah sakit. Jakarta: Menkumham, Berita Negara RI.

Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), 2011 Standar Akreditasi Rumah sakit.Jakarta: Kementrian Kesehatan RI..

Komisi Akreditasi Rumah Sakit. (2012). Instrumen Akreditasi Versi Standar akreditasi

2012, Jakarta: KARS. Kristensen, S .at al, Patient Safety Culture as a measure of patient Safety diunduh dari

http://www.zdravstvokvaliteta.org/attachments/article/5/Solvejg_PSC_as_perf

ormance_measure_Croatia_24052013%20[Compatibility%20Mode].pdf, Tanggal 14 April 2015.

KKP-RS. (2008). Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien. Jakarta: KKPRS

Llestari, P. (2013). Gambaran Budaya Keselamatan Pasien oleh perawat dalam melaksanakan Pelayanan di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr Wahidin Sudiro

diunduh dari

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/5447/JURNAL.pdf?sequence 23 April 2014 jam 13.30 WIB.

Lumenta, N. (2011). State of the art comprehensive patient Safety, slide presentasi,

lokakarya Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta: KKP-RS. Nieva V, Sorra J. (2003). Safety Culture Assessment: A Tool for Improving Patient

Safety In Healthcare Organizations, Qual Saf Health Care.

Puspitasari, M. (2015). Merumuskan Learning Organization Melalui Analisis Budaya Keselamatan Pasien Dan Budaya Organisasi Di Rs.Masmitra. Jakarta: UI.

Raharjo, S. (2014). Tutorial Uji Validitas dan Reliabilitas SPSS Lengkap, You tube

diunduh dari https://www.youtube.com/watch?v=ouSIm3mnFKs. Rahmawati, E. (2011). Model Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien di RS

Muhammadiyah-Aisyiyah tahun 2011, Disertasi Doktor: Jakarta. Univ Prof Hamka.

Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang no 44 Tahun 2009, Tentang Rumah

Sakit. Jakarta: Sekretariat, Negara Lembaran Negara RI tahun 2009, no 153. Republik Indonesia. (2003).Undang-Undang no 13 Tahun 2003, Tentang

Ketenagakerjaan. Jakarta: Sekretariat, Negara Lembaran Negara RI tahun 2003,

no 39. Roughton, J. Crutchfield,N., 2014, Safety Culture, An Innovative Leadership

Approach, Waltham: Elsevier.

Rumus-rumus pengambilan Sampel diunduh dari http://tesisdisertasi.blogspot.com /2009/12/rumus-rumus-pengambilan-sampel.html.

Safety Matters! A Guide to Health & Safety at Work diunduh dari

http://www.manajementbriefs.com/_media/pdfs/safety_matters_chapter3.pdf tanggal 14 April 2015.

Sammer CE, Lykens K, Singh KP, Mains DA, Lackan NA. What is patient safety

culture? A review of the literature. J Nurs Scholarsh 2010 Jun; 42(2):156-65. Dalam Kristensen.

Sammer, Christine E. at al., (2011). Patient Safety Culture: The Nursing Unit Leader's

RoleOnline J Issues Nurs. 2011; 16(3). Timpe, A. (1992). Kinerja, Seri Ilmu dan Manajemen Bisnis, Jakarta: Elex Media

Komputindo, Gramedia.

Virawan, K M. (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan staf perawat dan staf farmasi menggunakan enam benar dalam menurunkan kasus kejadian

yang tidak diharapkan dan kejadian nyaris cidera dirumah sakit umum surya

husada, Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. Weaver SJ, Lubomksi LH, Wilson RF, Pfoh ER, Martinez KA, Dy SM. Promoting

aculture of safety as a patient safety strategy: a systematic review. Ann InternMed.

2013 Mar 5; 158 (5 Pt 2):369-74. Doi: 10.7326/0003-4819-158-5-201303051-00002.Review. PubMed PMID: 23460092. Diunduh dari http://www.

ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23460092 tanggal 17 April 2015.

WHO, (2015). Patient Safety Februari 2015. http://www.euro.who.int/en/health-topics/Health-systems/patient-safety.

Wong, J.Beglaryan, H (2004) Strategies for Hospitals to Improve Patient Safety: A

Review of the Research Diunduh dari http://www.providence.on.ca/wp-content/uploads/2012/05/Change-Foundation-Improve-Patient-Safety.pdf

tanggal 15 April 2015.

Yahya, A. (2012). Memimpin dan Mendukung staf untuk komitmen dan Fokus pada Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. Workshop keselamatan pasien dan

manajemen risiko klinis di rumah sakit. Jakarta: PERSI.

Youngberg, Barbara J, (2013). Patient Safety Hand book, second edition Burlington:

Edwards Brothers Mailoy.

Page 41: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 36

Tabel 1. Penilaian Terhadap Budaya Keselamatan Pasien Dan Faktor-Faktor

Yang Berhubungan Dengan Budaya Keselamatan Pasien Berdasarkan Kuesioner

AHRQ Di RSKBP Tahun 2015

No Dimensi Yang Dinilai Responden yang

menilai Baik (%) Kesimpulan

Budaya Keselamatan Pasien Kurang 1 Frekuensi pelaporan kejadian 42,61-56,52 Kurang 2 Pendapat responden mengenai keselamatan pasien di unitnya 40,00 Kurang 3 Tingkat keselamatan pasien di RSKBP 9,57 Kurang 4 Jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir 2,61 Kurang Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Budaya

Keselamatan Pasien

1 Kerjasama Dalam unit 85,22 Baik

2 Kerjasama Antar Unit 81,74 Baik 3 Tindakan Kepala Instalasi untuk Keselamatan Pasien 81,74 Baik 4 Budaya Belajar 74,78 Kurang 5 Dukungan Manajemen 72,17 Kurang 6 Serah Terima 63,48 Kurang 7 Umpan balik Insiden Keselamatan Pasien 52,15 Kurang 8 Komunikasi 46,09 Kurang 9 Budaya Tidak Menyalahkan 41,74 Kurang 10 Ketenagaan 2,61 Kurang

*Diurutkan berdasarkan persentase penilaian baik terbanyak

Tabel 2. Faktor-Faktor Yang Terbukti Secara Bermakna Berhubungan Dengan

Budaya Keselamatan Pasien Di RSKBP Tahun 2015.

Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Budaya Belajar

Budaya Tidak Menyalahkan Umpan Balik Laporan

Constant

-2,346 0,858 7,472 1 0,006 0,096

2,667 1,134 5,527 1 0,019 14,396

2,742 1,187 5,332 1 0,021 15,516

-4,696 1,425 10,854 1 0,001 0,009

Tabel 3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Frekuensi Pelaporan Insiden di

RSKBP tahun 2015

Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Budaya Tidak Menyalahkan 1,085 0,399 7,381 1 0,007 2,959

Constant -1,001 0,276 13,202 1 0,000 0,367

Tabel 4.Faktor-faktor berhubungan dengan Pendapat Responden Mengenai

Keselamatan Pasien di Unitnya tahun 2015

Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Komunikasi 1,041 0,424 6,036 1 0,014 2,832

Budaya Belajar -1,611 ,504 10,207 1 0,001 0,200

Umpan Balik Insiden 0,921 0,437 4,437 1 0,035 2,511

Constant -0,213 0,453 0,221 1 0,638 0,808

Tabel 5.Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Keselamatan Pasien di

RSKBP tahun 2015

Yulia Yasmi, Hasbullah Thabrany., Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya

Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015

Page 42: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 37

Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Budaya Belajar -2,521 0,766 10,827 1 0,001 0,080

Budaya Tidak Menyalahkan 2,206 0,860 6,574 1 0,010 9,082

Constant -2,225 0,758 8,608 1 0,003 0,108

Tabel 6. Faktor-faktor yang Berhubungan secara bermakna dengan Jumlah

Insiden Yang dilaporkan di RSKBP tahun 2015

Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Budaya Belajar -0,855 0,630 1,840 1 0,175 0,425

Constant -1,569 0,492 10,182 1 0,001 0,208

Page 43: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 38

Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr.

Kanujoso Djatiwibowo Periode Januari - Maret 2016

Factors Causes of Claim Delayed Health BPJS Dr. Kanujoso Djatiwibowo Period January -

March 2016

Antonius Artanto EP

Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Terdapat sekitar 10-15% klaim yang tertunda pembayarannya di Rumah Sakit Umum Daerah dr Kanujoso

Djatiwibowo. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh pada tertundanya klaim Badan

Penyelenggara Kesehatan Sosial Kesehatan sesuai panduan klaim dan perjanjian kerjasama. Sumber data yang diambil

berasal dari jumlah klaim yang tertunda di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Kanujoso Djatiwibowo periode Januari -

Maret 2016 dan menggali penyebab terjadinya permasalahan tersebut melalui informan. Penelitian bersifat kuantitatif

dan kualitatif dengan metode deskriptif analitik menggunakan studi retrospektif dari data sekunder resume medis yang

tidak lengkap dan wawancara serta diskusi. Hasil penelitian menunjukkan faktor yang mempengaruhi klaim tertunda

adalah ketidaklengkapan resume medis yang didominasi ketiadaan tanda tangan Dokter Penganggungjawab Pasien

(DPJP) disebabkan didapatkan adanya tugas ganda pada case manager sehingga terjadinya keterlambatan dalam

penyelesaian resume medis elektronik. Saran yang diajukan adalah penggunaan rekam medis elektronik, pemisahan

tugas antara case manager dengan dokter ruangan, peningkatan kepatuhan case manager untuk menulis sejak awal

data resume medis pasien antara lain dengan penilaian kinerja dan remunerasi terintegrasi.

Kata kunci: BPJS, case manager, klaim, resume medis, tanda tangan.

ABSTRACT

There was 10-15% pending of claim because uncomplete medic in Dr. Kanujoso Djatiwiwo Hospital. The purpose of

this study is to find factors affecting pending of claims of Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan as claims

guidance and contract paper. Data sources has taken from pending of claims of dr Kanujoso Djatiwibowo hospital

periode January – March 2016 and see the deeper problem behind this problems through informans. This study is

quantitative qualitative research with analitic describtion method with retrospective study from pending of claims,

interview and discussion. The result from this study shows factor affecting pending of claims is the absence of specialist

doctor who responsible for the patien because there is double function from case manager that effect delaying

completing electronic medical resume. Suggest to use immediately electronic medical record, splitting job for case

manager and doctor on ward, increasing obedience to write patien data from beginning such as performance

evaluation and integrated remuneration.

Keywords: BPJS, claim, case manager, medical resume, signature.

Page 44: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 39

PENDAHULUAN

Sistem kesehatan mulai berubah perlahan sejalan waktu

dan menyesuaikan perkembangan jaman. Sistem

asuransi semakin berkembang di kalangan pelayanan

medis. Sistem ini membentuk biaya pelayanan yang

pembiayaan tanpa batas menjadi pembiayaan pelayanan

kesehatan terkontrol, terprogram dan terukur. Dengan

sistem asuransi ini masyarakat tidak perlu takut akan biaya

kesehatan yang tidak terduga. Masyarakat cukup

membayar uang asuransi yang biasa disebut iuran atau

premi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku

tergantung dari kebutuhan masing-masing. Sistem

Jaminan Sosial Nasional merupakan asuransi sosial yang

disahkan oleh undang-undang no 40 tahun 2004. Sistem

ini dikelola oleh suatu badan yang ditetapkan oleh

undang-undang yaitu Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial (BPJS) dan dibagi menjadi 2 yaitu BPJS Kesehatan

dan BPJS Ketenagakerjaan.

BPJS Kesehatan ini sama halnya dengan asuransi

kesehatan bekerjasama dengan fasilitas kesehatan baik

dokter, klinik dan rumah sakit. Dalam mengelola

kesehatan pasien di setiap fasilitas kesehatan di wajibkan

adanya dokumen rekam medis. Menurut Permenkes No:

269/MENKES/PER/III/2008 yang dimaksud rekam

medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen

antara lain identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan

yang telah diberikan, serta tindakan dan pelayanan lain

yang telah diberikan kepada pasien. Diakhir perawatan

seseorang diterbitkannya resume medis. Resume medis

harus diisi dengan lengkap untuk menjaga mutu rekam

medis dan juga sering digunakan untuk administrasi

persyaratan dalam klaim asuransi.

RSUD dr Kanujoso Djatiwibowo sebagai rumah saki

pemerintah yang lebih tepatnya rumah sakit propinsi

Kalimantan Timur wajib melayani peserta BPJS

Kesehatan. Setelah rumah sakit memberikan layanan

kesehatan, rumah sakit berhak meminta imbalan atas jasa

yang diberikan berupa tagihan atau klaim kepada BPJS

Kesehatan. Tagihan yang diminta sesuai dengan tarif

Gubernur yang berlaku. BPJS Kesehatan dalam

pembayaran klaim menerapkan tarif paket diagnosis

berdasar Indonesia Case Base Grup atau INA CBGs’s.

Setiap layanan yang diberikan diberi kode atau koding

sesuai diagnose dan komplikasi yang ada.

Dalam pengajuan klaim ke BPJS Kesehatan, rumah sakit

menyertakan resume medis sebagai salah satu syarat

berkas pengajuan. Resume medis diberikan diakhir

perawatan pasien baik hidup sembuh atau meninggal. Jika

resume medis tidak lengkap maka BPJS Kesehatan akan

mengembalikan resume medis tersebut. Pengembalian

resume medis berakibat pada tidak terbayarnya pelayanan

kesehatan yang dilakukan rumah sakit dan akan

mengakibatkan menurunnya pemasukan rumah sakit.

Klaim adalah tagihan atau tuntutan atas sebuah imbalan

dari hasil layanan yang diberikan. Dalam hal ini klaim

rumah sakit terhadap BPJS Kesehatan adalah tuntutan

imbalan atas jasa layanan yang diberikan rumah sakit

melalui tenaga kerjanya baik dokter, perawat, apoteker

dan lain-lain atas kepada peserta BPJS Kesehatan yang

berobat atau dirawat di rumah sakit. Pengajuan klaim ke

BPJS Kesehatan harus menggunakan resume medis

dengan diagnose merujuk pada ICD 10 atau ICD 9 CM

(ditampilkan dalam tabel 1).

Salah satu penyebabnya terbanyak adalah ketidakadaan

tanda tangan dokter penanggung jawab pasien pada

lembar resume medis padahal secara hukum tanda tangan

resume medis adalah salah satu keabsahan dari resume

medis (Permenkes no. 269/MENKES/PER/III/2008

pasal (4) ayat 2). Ketidakadaan tanda tangan resume

medis membuat klaim BPJS Kesehatan tidak bisa di

grouping oleh unit penjaminan sehingga terjadi

penundaan (pending) klaim BPJS Kesehatan. Penundaan

ini menyebabkan pembayaran klaim menjadi menurun

dan cash flow rumah sakit menjadi menurun dikarenakan

hampir 90% pasien rumah sakit adalah pasien BPJS

Kesehatan.

Tujuan Penelitian

Mengetahui faktor-faktor yang peyebab klaim tertunda

BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo

periode Januari – Maret 2016.

Page 45: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 40

TINJAUAN PUSTAKA

Negara telah mengatur sistem jaminan sosial melalui

undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem

Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem ini merupakan

asuransi kesehatan sosial yang diselenggrakan Negara

dengan pengumpulan Dana yang bersifat wajib yang

berasal dari iuran dari rakyat untuk dimanfaatkan Negara

dalam memberikan perlindungan atas resiko sosial

ekonomi yang menimpa rakyat. Menurut Thabrany

(2014) asuransi kesehatan sosial (social health insurance)

adalah suatu mekanisme pendanaan pelayanan kesehatan

yang semakin banyak digunakan di seluruh dunia karena

kehandalan sistem ini menjamin kebutuhan kesehatan

rakyat suatu Negara. Asuransi kesehatan sosial merupakan

suatu perwujudan Universal Health Coverage (UHC) yaitu

perlindungan kesehatan bagi rakyat atau masyarakat luas.

WHO mendefinikan Universal Health Coverage

(Tunggal, 2015) adalah sebuah konsep untuk memastikan

seluruh masyarakat memiliki akses yang dibutuhkan

terhadap usaha promosi, pencegahan, pengobatan, dan

rehabilitasi oleh pelayanan kesehatan dengan kualitas

yang mencukupi agar menjadi efektif dan memastikan

seluruh masyarakat tidak mengalami kesulitan keuangan

ketika membayar untuk layanan kesehatan. Definisi

tersebut meliputi tiga tujuan utama yang terkait dalam

UHC yaitu kesetaraan alam akses pelayanan kesehatan,

kualitas pelayanan kesehatan cukup baik untuk

meningkatkan kesehatan siapa saja yang menggunakannya,

perlindungan atas risiko kejatuhan finansial.

Menurut penjelasan undang-undang no 40 tahun 2004

ayat 19, prinsip asuransi sosial adalah kegotong royongan

antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang

tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah,

kepesertaan yang berisfat wajib dan tidak selektif, iuran

berdasarkan persentase upah atau penghasilan, bersifat

nirlaba, prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh

pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak

terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.

BPJS Kesehatan adalah badan yang mengelola sistem

jaminan nasional yang merupakan program Negara yang

bertujuan memberikan kepastian perlindungan kesejahteraan

sosial bagi seluruh rakyat sesuai undang-undang republik

Indonesia nomor 24 tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS Kesehatan adalah

harapan bagi warga yang tidak mampu dalam

menjaminkan kesehatannya sendiri bila terjadi kesakitan

dan hingga rawat inap. Biaya pengobatan yang semakin

tinggi, penggunaan teknologi yang baru yang artinya

tingginya harga alat yang dibeli dan berimbas pada tarif

yang harus dibayar, tidak bisa diprediksinya biaya

pengobatan yang akan dijalani dan keterbatasan faktor

finansial atas biaya perawatan penyakit. Hal hal tersebut

terjawab dengan sistem INA CBGS’s yaitu suatu sistem

tarif yang terpaket untuk kondisi penyakit tertentu

sehingga biaya perawatan dan pengobatan bisa

diperkirakan sejak awal. Adapun tujuan dibentuknya

BPJS (Pamukti, Panjaitan, 2016) adalah mewujudkan

terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya

kebutuhan dasar hidup yang layak bagi peserta dan atau

anggota keluarganya. Kebutuhan dasar hidup yang

dimaksud adalah kebutuhan esensial setiap orang agar

dapat hidup layak demi terwujudnya kesejahteraan sosial

bagi seluruh rakyat. BPJS dibuat untuk menciptakan

untuk mengurangi rasa kuatir peserta atas resiko kerugian

yang ditimbulkan oleh penyakit yang dideritanya

sehingga aset yang dimiliki peserta dapat dipakai hal lain

yang lebih produktif.

Selaku pengelola SJSN dibidang kesehatan, BPJS

Kesehatan memberikan imbalan kepada rumah sakit

yang melakukan pelayanan kepada pasiennya melalui

sistem Indonesia Case Base Groups (INA-CBG’s) yaitu

pembayaran sistem paket berdasar pada penyakitnya

yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan no 27

tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesia

Case Base Group. Tarif INA CBGS mempunyai 1.077

kelompok tarif terdiri dari 789 kode grup/kelompok rawat

inap dan 288 kode grup/kelompok rawat jalan,

menggunakan sistem koding dengan ICD 10 untuk

diagnosis serta ICD 9 CM untuk prosedur/tindakan.

Dengan demikian rumah sakit dan para dokter wajib

untuk hati-hati dalam memberikan terapi tanpa

mengurangi mutu pelayanan sehingga paket yang

diberikan masih dapat menguntungkan bagi rumah sakit.

Rekam medis adalah perjalanan penyakit pasien yang

dibuat oleh dokter yang berisi jenis penyakit, perawatan

penyakit, perkembangan penyakit dan terapinya. Pasal 46

ayat (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran, rekam

Antonius Artanto EP., Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode

Januari-Maret 2016

Page 46: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 41

medis merupakan berkas yang berisi catatan dan

dokumen yang terdiri dari identitas pasien, pemeriksaan

yang telah dilakukan, pengobatan yang diberikan oleh

dokter, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan

kepada pasien. Gemala Hatta (2008) mengatakan rekam

medis merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan

seseorang dan riwayat penyakitnya, termasuk keadaan

sakit, pengobatan saat ini dan saat lampau yang ditulis oleh

para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan

pelayanan kesehatan kepada pasien.

Rekam medis menurut IDI No.315/PB/A. 4/88:

1. Rekam medis (kesehatan) adalah rekaman dalam

bentuk tulisan atau gambaran aktifitas pelayanan

yang diberikan oleh pemberi pelayanan medis

(kesehatan) kepada seorang pasien.

2. Rekam medis (kesehatan) meliputi identitas lengkap

pasien, catatan tentang penyakit (diagnosis, terapi

dan pengamatan perjalanan penyakit), catatan dari

pihak ketiga, hasil pemeriksaan laboratorium, foto

rontgen, pemeriksaan USG dan lain-lainnya serta

resume.

3. Rekam medis (kesehatan) harus dibuat segera dan

dilengkapi seluruhnya paling lambat 48 jam setelah

pasien pulang atau meninggal.

4. Perintah dokter melalui telepon untuk suatu tindakan

medis, harus diterima oleh perawat senior.

5. Perubahan terhadap rekam medis (kesehatan) harus

dilakukan dalam lembaran khusus yang harus

dijadikan satu dengan dokumen rekam medis

kesehatan lainnya.

6. Rekam medis (kesehatan) harus ada untuk

mempertahankan kualitas layanan professional

yang tinggi untuk melengkapi kebutuhan informasi

locum tennens, untuk kepentingan dokter pengganti

yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi

masa datang, serta diperlukan karena adanya hak

untuk melihat dari pasien.

7. Berdasarkan butir 6 diatas, rekam medis (kesehatan)

wajib ada di rumah sakit, puskesmas atau balai

kesehatan dan praktik dokter pribadi atau praktek

berkelompok.

8. Berkas rekam medis (kesehatan) adalah milik

RUMAH SAKIT, fasilitas kesehatan lainnya atau

dokter praktik pribadi atau praktek berkelompok.

9. Pasien adalah pemilik kandungan rekam medis

(kesehatan) yang bersangkutan maka dalam hal

pasien tersebut menginginkannya, dokter yang

merawatnya harus mengutarakannya baik secara

lisan maupun secara tertulis.

10. Pemaparan isi kandungan rekam medis (kesehatan)

hanya boleh dilakukan oleh dokter yang bertanggung

jawab dalam perawatan pasien yang bersangkutan.

Dan hal ini hanya boleh dilakukan untuk pasien

yang bersangkutan, kepada konsulen, atau untuk

kepentingan pengadilan.

11. Lama penyimpanan berkas rekam medis/kesehatan

adalah 5 tahun dari tanggal terakhir pasien berobat

atau dirawat, dan selama 5 tahun itu pasien yang

bersangkutan tidak berkunjung lagi untuk berobat.

Setelah batas waktu tersebut pada butir 11 berkas

rekam medis (kesehatan) dapat dimusnahkan.

12. Rekam medis (kesehatan) adalah berkas yang perlu

dirahasiakan.

Menurut Permenkes No 269 Tahun 2008, rekam medis

harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas. Rekam

medis yang bermutu salah satunya dapat dilihat dari

kelengkapan isi rekam medis. Kelengkapan tersebut

ditambahkan dengan autentikasi dari rekam medis seperti

Nama dokter yang merawat, tanda tangan dan tanggal

pembuatan. Rekam medis yang lengkap adalah rekam

medis yang telah diisi oleh dokter dalam waktu ≤ 24 jam

setelah penyelesaian pelayanan rawat jalan atau rawat inap

diputuskan untuk pulang, yang meliputi identitas pasien,

anamnesis, rencana asuhan, pelaksanaan asuhan, dan

resume (Depkes, 2006). Menurut Kementerian Kesehatan

berdasar KEPMENKES RI no 129/MENKES/SK/II/2008

tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit

yang mengatakan tentang standar pengisian rekam medis

yaitu kelengkapan pengisisan rekam medis 24 jam

setelah selesai pelayanan dan kelengkapan informed

consent setelah mendapat informasi yang jelas memiliki

standar yaitu 100%.

Menurut Konsil Kedokteran Indonesia dalam Manual

Rekam Medis (2006), jenis rekam medis dibagi 2 yaitu:

rekam medis konvensional dan rekam medis elektronik.

Rekam medis ditulis secara manual sesuai Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

794a/MENKES/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis

dan secara elektronik yang tersirat pada Peraturan Menteri

Kesehatan No 269/MENKES/PER/III/2008 tentang

Page 47: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 42

Rekam Medis Bab II ayat 1 yaitu rekam medis harus

dibuat secara tertulis lengkap dan jelas atau secara

elektronik.

Resume medis adalah ringkasan hasil perawatan pasien

yang berisi keluhan, hasil pemeriksaan, diagnose dan

terapi serta saran kepada pasien yang bersangkutan yang

ditulis dokter. Menurut Depkes RI dalam pedoman

penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis Rumah

Sakit di Indonesia (2006) bahwa resume medis adalah

ringkasan kegiatan pelayanan medis yang diberikan oleh

tenaga kesehatan khususnya dokter selama masa

perawatan hingga pasien keluar baik dalam keadaan hidup

maupun meninggal. Lembar ini harus ditandatangani oleh

dokter yang merawat pasien (Hatta, 2008). Penandatanganan

lembar resume medis sebagai tanda keabsahan dan

persetujuan dokter yang merawat atas isi resume medis

tersebut. Susunan resume medis menurut Peraturan

Menteri Kesehatan RI nomor 269/MENKES/PER/III/2008

pasal (4) ayat 2 meliputi : identitas pasien, diagnosis

masuk, indikasi pasien dirawat, ringkasan hasil fisik dan

penunjang, diagnose akhir, pengobatan, tindak lanjut,

nama dan tanda tangan dokter atau dokter gigi yang

memberikan pelayanan

Menurut Dirjen Yanmed Depkes RI (1997) tujuan

dibuatnya resume medis ini adalah

a. Untuk menjamin kontinuitas pelayan medik dengan

kualitas yang tinggi serta sebagai bahan referensi

yang berguna bagi dokter yang menerima, apabila

pasien tersebut dirawat kembali di rumah sakit.

b. Sebagai bahan penilaian staf medis rumah sakit

c. Untuk memenuhi permintaan dari badan-badan

resmi atau perorangan tentang perawatan seorang

pasien, misalnya dari Perusahaan Asuransi (dengan

persetujuan Pimpinan)

d. Untuk diberikan tembusan kepada sistem ahli yang

memerlukan catatan tentang pasien yang pernah

mereka rawat.

Klaim adalah tagihan atau tuntutan atas sebuah imbalan

dari hasil layanan yang diberikan. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, klaim adalah tuntutan pengakuan atas

suatu fakta bahwa seseorang berhak (memiliki atau

mempunyai) atas sesuatu. Klaim asuransi adalah tagihan

atau tuntutan dari sebuah imbalan dari hasil pelayanan

kesehatan dengan jumlah yang telah disepakati dalam

perjanjian. Perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian

yang telah tertulis dalam kontrak kerjasama yang telah

disepakati sejak awal.

Klaim pada peserta BPJS Kesehatan di Rumah Sakit dr

Kanujoso Djariwibowo Balikapan dibuat oleh dokter

penanggung jawab pasien yang berupa resume medis

lengkap dengan diagnose menggunakan ICD 10 atau

ICD 9 CM serta sudah ditandatangani oleh Dokter

Penanggung Jawab Pasien (DPJP). Klaim yang

dibayarkan sesuai dengan paket tarif INA CBGS yang

telah ditentukan oleh Kemenkes.

Klaim disetorkan sesuai bulan kejadian. Misal kejadian

bulan juni maka seluruh klaim pasien bulan juni harus

disetorkan ke BPJS Kesehatan lengkap atau tidak

lengkap. Jika tidak lengkap maka berkas klaim akan

dikembalikan ke rumah sakit untuk dilengkapi dan

dimasukan dalam klaim pending atau tagihan tertunda.

Klaim diserahkan ke BPJS Kesehatan sebelum tanggal 10

pada bulan berjalan yang kemudian akan di verikasi oleh

tim verifikator BPJS Kesehatan dalam bentuk softcopy

dan hardcopy. Jika klaim dianggap lengkap, layak dan

sesuai antara diagnose dengan koding INA CBG’s dan

terdapatnya prosedur dan terapi serta tanda tangan DPJP

maka klaim akan dibayarkan setelah 15 hari kerja

(panduan praktis administrasi klaim faskes BPJS

Kesehatan).

Klaim yang tidak lengkap dan dianggap tidak layak

diserahkan kembali ke rumah sakit melalui unit

penjaminan untuk dikoreksi dan direvisi oleh unit

penjamin. Dari hasil koreksi dan revisi dilakukan oleh unit

penjamin missal meminta tanda tangan dpjp, penyesuaian

koding INA CBG’s, telusur prosedur dan terapi kepada

dpjp atau melihat rekam medis pasien yang bersangkutan.

Klaim yang sudah direvisi akan disertakan pada klaim

baru yang diserahkan ke BPJS Kesehatan sebelum

tanggal 10 bulan berjalan (ditampilkan dalam gambar 1).

METODOLOGI PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah penelitian deskriptif

analitik dengan pendekatann kuantitatif kualitatif dengan

Antonius Artanto EP., Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode

Januari-Maret 2016

Page 48: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 43

menggunnakan pengumpulan data sekunder dan

observasi.

Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah dr

Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan.

Waktu Penelitian

Pengumpulan data dilakukan selama 3 bulan yaitu Januari

– Maret 2016. Data yang dikumpulkan berupa rekam

medis bulan Januari – Maret 2016, data klaim yang

tertunda bulan Januari – Maret 2016 di rumah sakit dr.

Kanujoso Djatiwibowo.

Sumber data

Sumber data diperoleh dengan menggunakan data

sekunder dan observasional melalui telaah dokuen,

wawancara dan Focused Group Discussion.

Populasi

Populasi yang kami teliti adalah populasi target yaitu

resume medis yang belum lengkap sebagai klaim yang

tertunda selama bulan januari 2016 hingga maret 2016.

Karakteristik Populasi

Populasi yang kami teliti untuk kuantitatif adalah seluruh

klaim yang tertunda periode bulan Januari – Maret 2016.

Untuk informan penelitian ini, kami mewawancarai dan

berdiskusi dengan dokter penaggung jawab pasien

(DPJP) (3 orang), Kepala idang pelayanan medis (1

orang), case manager (6 orang), perawat (3 orang), Unit

penjaminan (3 orang), unit rekam medis (2 orang).

Sumber dan Jenis Data

Sumber data ini diperoleh dari dokumen atau arsip dari

RSUD dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan. Focused

Group Discusion adalah diskusi dengan beberapa

informan yang mengerti betul tentang permasalahan

resume medis dan klaim tertunda BPJS Kesehatan.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah mengumpulkan

semua klaim tertunda BPJS Kesehatan dengan melihat

resume medis yang belum lengkap di unit penjaminan

rumah sakit dan observasi di ruangan rawat inap dan

focused group discussion dengan beberapa informan.

Validasi data

Dalam pengumpulan data sekunder kami meminta data

dari unit pengolahan data elektronik dan unit penjaminan

untuk membandingkan data sekunder untuk memvalidsasi

data tentang klaim yang tertagih berdasar jumlah pasien

keluar rumah sakit.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Klaim rumah sakit adalah tagihan yang berupa biaya atas

pelayanan yang telah diberikan kepada pasien peserta

asuransi dalam hal ini BPJS Kesehatan. Klaim yang

ditagihan oleh RSUD dr. KanujosoDjatiwibowo berupa

harga sesuai peraturan gubernur yang berlaku sehingga

terdapat terlihat selisih jumlah tagihan antara nilai riil

dengan nilai berdasar INA CBG;s. Klaim yang ditagihkan

bulan yang sebelumnya diserahkan ke BPJS sebelum

tanggal 5 bulan berikutnya. Penyerahan data klaim

mengikuti akidah persyaratan yang telah disepakati dalam

perjanjian kontrak kerjasama. Klaim BPJS per pasien

yang dianggap sah adalah berkas pasien pulang yang

berupa:

1. Surat Eligibilitas Peserta (SEP)

2. Surat perintah rawat inap

3. Resume medis yang ditandatangani oleh DPJP

4. Bukti pelayanan lain yang ditandatangani oleh DPJP

(bila diperlukan), misal:

a) Laporan operasi

b) Protokol terapi dan regimen (jadwal pemberian

obat) pemberian obat khusus

c) Perincian tagihan Rumah Sakit (manual atau

automatic billing)

d) Berkas pendukung lain yang diperlukan.

Surat Eligibilitas Peserta (SEP) adalah surat yang

membuktikan bahwa peserta ini adalah peserta yang

masih aktif dan ditanggung oleh BPJS. Surat ini muncul

disaat pasien datang dan mendaftar berobat ke rumah sakit

sehingga tanpa ada terbitnya Surat Eligibilitas Peserta

(SEP) maka pasien tidak akan dilayani di rumah sakit.

Begitupun saat pasien akan dirawat inap, mereka harus

mendapat surat ini sebagai tanda bahwa selama dirawat

inap dan dalam pengobatan ataupun tindakan BPJS

kesehatan akan menanggung seluruh biaya yang timbul

yang diakibatkan layanan medis selama itu. Surat

Page 49: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 44

Eligibilitas Peserta (SEP) dipakai juga sebagai salah satu

persyaratan pengajuan klaim oleh rumah sakit ke BPJS.

Surat perintah rawat inap adalah surat pengantar dari

spesialis kepada pasien untuk mendapatkan layanan

medis rawat inap untuk mengobati penyakitnya. Surat ini

bisa berasal dari poliklinik atau dari ruang rawat inap saat

pasien berobat. Surat ini harus ditandatangani oleh dokter

spesialis atau yang diberi limpahan wewenang misalnya

dokter ruangan. Surat ini berisi tentang diagnose dan

rencana terapi serta tindakan selama rawat inap. Surat ini

dipakai saat pasien akan meminta Surat Eligibilitas Peserta

(SEP) kepada BPJS sebagai bukti bahwa pasien benar-

benar di rawat inap. Surat perintah ini juga sebagai

persyaratan mutlak pengajuan klaim layanan medis

rumah sakit ke BPJS.

Perincian tagihan rumah sakit adalah bukti pelayanan lain

yang diminta BPJS kesehatan sebagai syarat pengajuan

klaim. Perincian tagihan rumah sakit dibuat oleh bagian

keuangan rumah sakit pada saat akhir dari layanan medis

yang diberikan kepada pasien. Perincian tagihan rumah

sakit yang diberikan kepada BPJS menggunakan tarif

berdasarkan peraturan gubernur yang berlaku saat ini.

Rincian akhir rumah sakit pada layanan medis pasien

BPJS akan diserahkan ke unit penjaminan pada hari itu

juga.

Resume medis adalah kesimpulan perjalanan penyakit

seorang pasien yang dipulangkan oleh DPJP dan

diberikan di saat dia pulang baik berupa resume medis

tertulis ataupun resume medis elektronik. Resume medis

dibuat oleh DPJP sesuai dengan bentuk format yang

berlaku di rumah sakit tersebut. Pada kenyataanya DPJP

hanya menuliskan diagnose utama dan diagnose

sekunder bila ada serta jenis obat yang akan diberikan.

Diakhir resume, DPJP wajib membubuhkan tanda tangan

sebagai tanda keaslian dan sah nya resume medis tersebut.

Untuk melengkapi isian yang lain DPJP menyerahkan

kepada dokter ruangan atau case manager.

Di RSUD dr Kanujoso Djatiwibowo diberlakukan

resume medis elektronik sejak Oktober 2015 sebagai

pengganti resume medis konvensional atau tulisan.

Resume medis elektronik juga ditetapkan sebagai salah

satu berkas klaim ke BPJS. Resume medis ini diketik di

computer dengan format yang telah ditentukan sesuai

Permenkes no. 269/MENKES/PER/III/2008 pasal (4)

ayat 2. Dalam resume medis elektronik isi resume medis

diketik oleh case manager sesuai dengan uraian tulisan

yang ditulis DPJP pada resume medis manual. Dalam

proses pengisisan melibatkan koder dalam menterjemahkan

diagnose DPJP ke dalam ICD 10 atau ICD 9 CM. Isian

dalam resume medis elektronik harus terisi lengkap mulai

anamnesa hingga tanda tangan DPJP. Resume medis

elektronik dibuat dengan tujuan untuk memperjelas

keterangan yang ada di resume medis manual atau tulisan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tulisan dokter

sebagian besar susah untuk dibaca sehingga terjadi

kesalahan persepsi dalam membaca resume medis.

Dalam hasil Gambar 2 pengamatan resume medis

elektronik yang berlaku belum sepenuhnya resume medis

elektronik. Resume medis elektronik di lapangan dalah

resume medis yang diketik di computer dan disimpan di

database server rumah sakit. Sistem belum online

pembuatan resume medis bisa dicicil dengan memasukan

satu persatu data.

Dari tabel 2 diketahui persentase klaim yang tidak lengkap

selama 3 bulan. Dalam tabel ini juga terlihat bahwa jumlah

klaim tidak menunjuk signifikan nilai klaim. Bobot tiap

penyakit berdasar tarif sangat berbeda misal 10 pasien

diare sangat berbeda tarif dengan 1 pasien dengan tumor

otak yang harus dioperasi dan masuk ICU. Maka dari itu

nilai klaim lebih bermakna dibandingkan dengan jumlah

klaim. Dalam tabel terlihat pula penurunan jumlah resume

medis yang tidak lengkap sekitar 50%. Berdasar

wawancara dengan unit penjaminan bahwa penurunan

resume medis ini diakibatkan dari negosiasi dari pihak

rumah sakit dengan BPJS Kesehatan tentang kelengkapan

resume medis terutama dibagian tanda tangan DPJP

untuk sekiranya bisa diterima dengan tanda tangan dokter

case manager pada resume medis elektronik (ditampilkan

dalam tabel 3).

Tanda tangan DPJP mempunyai peranan penting dalam

pembayaran klaim. Karena tanda tangan DPJP adalah

tanda keaslian dokumen dan syarat mutlak pengajuan

klaim yang diatur dalam perjanjian kontrak kerjasama

antara rumah sakit dengan BPJS (ditampilkan dalam tabel

4).

Antonius Artanto EP., Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode

Januari-Maret 2016

Page 50: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 45

Berkurangnya klaim yang ditunda menunjukkan kinerja

unit penjaminan dalam menyelesaikan klaim BPJS yang

tertunda. Setiap klaim yang ditunda, petugas dari unit

penjaminan dengan cepat mengevaluasi faktor apa yang

menyebabkan terjadinya penundaan pembayaran. Dalam

hal ini petugas unit penjaminan langsung turun ke

lapangan sendiri untuk mempercepat penyelsaian resume

medis.

Beberapa DPJP terkadang mempunyai koding yang

biasa mereka gunakan untuk pasien-pasien tertentu.

Koding ini biasanya mereka sudah tahu berapa nilai

besarannya, sehingga mereka memerintahkan case

manager untuk mengisi bagian kode INA CBG’S

dengan kode yang mereka sukai meskipun terkadang

tidak sesuai dengan diagnose penyakit. Untuk penolakan

klaim karena ketidaksesuaian INA CBG’s biasanya

muncul setelah pengajuan klaim. Ini dikarenakan

verifikator BPJS berhak untuk menilai kode yang sesuai

dengan diagnose dan tindakan yang dilakukan oleh DPJP.

Jika terjadi seperti itu maka unit penjaminan akan

berkoordinasi dengan DPJP dalam pengkodean ulang

sehingga klaim bisa terbayarkan.

Pada beberapa penyakit, terapi dan prosedur tidak

dilakukan secara agresif melainkan dengan cara

konservatif atau obat-obatan dengan harapan penyakit

tersebut akan sembuh tanpa tindakan yang agresif atau

intervensif seperti operasi, cuci darah, dan transfusi. Hal ini

menyebabkan beberapa diagnose penyakit dengan kode

tertentu dan menimbulkan biaya yang cukup besar tidak

sesuai dengan terapi dan prosedurnya. Ditingkat DPJP

melihat pasien sebagai obyek yang harus disembuhkan

tanpa memikirkan biaya yang ditimbulkan seperti

pengkodingan INA CBG’s tetapi bagi BPJS, diagnose

adalah biaya yang timbul, biaya yang timbul bagi BPJS

adalah paket kode INA CBG’s tanpa melihat berapa besar

biaya yang muncul. Pada saat masalah ini muncul maka

unit penjaminan akan menghubungi DPJP dalam

melengkapi terapi dan prosedurnya atau mengikuti

kemauan BPJS sehingga klaim bisa terbayarkan.

Masalah yang terbesar dari dari resume medis yang tidak

lengkap adalah tidak ada tanda tangan DPJP di resume

medis. Sesuai peraturan BPJS, menteri kesehatan bahwa

resume medis harus ada tanda tangan spesialis (Hatta,

2008). Menurut pengamatan di ruang rawat inap bahwa

pasien banyak membawa surat keluar rumah sakit

daripada resume medis terlebih resume medis elektronik.

Penerapan resume medis elektronik dimulai Oktober

2015 membuat penyelesaian resume medis lama.

Penyelesaian resume medis dikerjakan setelah pelayanan

medis selesai sehingga tanda tangan DPJP dimintakan

besok hari atau kalau DPJP kembali ke ruangan bila ada

pasiennya.

Dalam mempercepat penyelesaian resume medis

terutama tanda tangan, perawat ikut membantu dalam

pengumpulan berkas sehingga case manager dapat

konsentrasi dalam memasukan data satu persatu kedalam

resume medis elektronik. Case manager dan perawat

bersama-sama menyelesaikan resume medis dan

melengkapi rekam medis sehingga dapat terkumpul di

unit rekam medis masximal 2x 24 jam sesuai SOP yang

ada di rumah sakit. Dibeberapa ruangan rawat inap, rekam

medis dikumpulkan setelah DPJP tanda tanda di resume

medis dan kadang-kadang lebih dari pada 2x24 jam. Ini

dikarenakan spesialis tersebut tidak mempunyai pasien

lagi di ruangan tersebut.

Ada beberapa dokter spesialis suka menumpuk pasien

dan tidak dibuat resume medisnya. DPJP ini biasanya

mempunyai pasien banyak di ruangan dan di klinik

sehingga kelelahan dalam menulis dan konsentrasi tidak

bisa focus. Ada pula yang karena banyak operasi, DPJP

buru-buru dan tidak sempat mengisim resume medis

pasien.

Berdasar pengamatan ada beberapa ruangan yang

mengumpulkan rekam medis ke unit rekam medis begitu

ada resume medis konvensionalnya. Ini karena SOP yang

harus rekam medis kembali 2x24 jam ke unit rekam

medis. Terutama di ruangan rawat inap kelas 3. Dengan

jumlah pasien yang banyak maka case manager tidak bisa

cepat mengerjakan semua resume medis elektroniknya

sehingga resume medis elektronik tercecer dengan rekam

medisnya. Untuk resume medis elektronik yang terlambat

biasanya diserahkan kepada para perawat untuk dicarikan

tandatangan DPJP. Case manager hanya menulis isi dan

kode INA CBG’s saja tanpa ada tanda tangan DPJP.

Page 51: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 46

Hal tersebut diatas bisa diselesaikan dengan adanya rekam

medis elektronik dan bila tidak ada maka perlunya

menyicil resume medis pasien sejak awal masuk sehingga

tidak terjadi tercecernya resume medis elektronik dengan

rekam medisnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penelitian ini untuk mencari faktor-faktor penyebab klaim

tertunda BPJS Kesehatan RSUD dr Kanujoso

Djatiwibowo berdasarkan dari data dan observasi yang

kami lakukan maka didapatkan ketidaksesuaian INA

CBG’s sebesar 4,8 %. Hal ini disebabkan ketidaksamaan

koding dan diagnose dari rumah sakit dengan koding dari

verifikator BPJS Kesehatan. Penyamaan persepsi tentang

diagnose antara DPJP, koder rumah sakit dan verifikator

harus ditingkatkan untuk semakin meminimalisir

ketidaksesuaian koding. Dalam penelitian ini kami juga

menemukan ketidaksesuaian diagnose dan terapi sebesar

4,3%. Hal ini diakibatkan standard penilaian diagnose dan

komplikasi penyakit menurut BPJS Kesehatan harus

diterapi sesuai keadaan sedangkan bagi DPJP tidak semua

penyakit dan komplikasinya harus diberikan terapi yang

agresif dan intervesif tetapi diagnose tetaplah ditulis

sebagai bahan acuan pertimbangan penanganan medis

dimasa datang. Temuan terbesar pada penelitian ini adalah

ketiadaan tanda tangan DPJP sebesar 90,9%. Ini timbul

karena proses resume medis elektronik yang diberlakukan

belum sepenuhnya berfungsi online yang menyebabkan

proses pemasukan data ke sistem resume medis eletronik

harus diketik satu persatu terkecuali permintaan koding

dan data pasien. Dengan tugas ganda dokter ruangan

sebagai case manager dan dokter fungsional

menyebabkan pengisian data dilakukan diakhir pelayanan

medis pasien. Penggunaan rekam medis elektronik

sangatlah bermanfaat untuk membuat waktu pengerjaan

resume medis eletronik dapat dipersingkat.

Saran

Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP)

Dalam visite pasien DPJP harus memerintahkan case

manager untuk membuat pengisian awal resume medis

bagi pasien yang akan dipulangkan sehingga saat pasien

dipulangkan di pagi hari, resume medis elektronik sudah

siap ditandatangani. DPJP harus sanggup bila diminta

tanda tangan di tempat lain bila berhalangan hadir atau ada

kesibukan pelayanan lain guna penyelesaian resume

medis elektronik. Penilaian kinerja dalam penyelesaian

resume medis elektronik bagi DPJP bisa menjadi

indikator bagi penambahan remunerasi.

Case Manager

Saat bertemu dengan DPJP harus mengingatkan pasien

mana sajakan yang bisa dipulangkan besok sehingga case

manager bisa mengisi resume medis eletronik sejak awal

untuk mengurangi penumpukan tugas dengan tugas

pelayanan medis. Berkoordinasi dengan perawat dalam

mencari tanda tangan DPJP sehingga resume medis

elektronik bisa lengkap dan dimasukan dalam rekam

medis untuk dikembalikan ke unit rekam medis.

Unit Penjaminan

Berkoordinasi secara aktif dengan case manager dan

DPJP dalam penyelesaian klaim yang tertunda akibat

resume medis yang belum lengkap.

Kepala Bidang Pelayanan Medis

Penggunaan rekam medis elektronik sesegera mungkin

sehingga pembuatan resume medis elektronik dapat

dipersingkat dan dipermudah. Pemisahkan fungsi case

manager dengan dokter ruangan sehingga bisa fokus

pada bidang masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

---------, Keputusan Menteri Kesehatan No 129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan

Minimal.

----------, Panduan Praktis Administrasi Klaim Faskes BPJS Kesehatan (2014)) ----------, Peraturan Menteri Kesehatan no 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis.

----------, Peraturan Menteri Kesehatan no 27 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesia

Case Base Groups. ----------, Peraturan Menteri Kesehatan No 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan

Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan

Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. ----------, IDI No.315/PB/A.4/88.

----------,Undang-Undang no 29 Tahun 2013 tentang Praktik Kedokteran.

----------, Undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. ----------, Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

----------, 2014. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional & Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial edisi terbaru. Bandung: Fokusindo Mandiri. Adikoesoemo, S., 2012. Manajemen Rumah Sakit. keenam ed. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Angger Sigit Pamukti dan Andre Budiman Panjaitan, 2016. Pokok-Pokok Hukum Asuransi.

Pertama ed. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Boedihartono, H., 1991. Petunjuk Teknis Peyelenggaraan Rekam Medik/Medical Record Rumah

Sakit. Jakarta: Depkes Direktorat Jendral Pelayanan Medik.

Darmawi, H. ,2004, Manajemen Asuransi (Pertama ed.). Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Antonius Artanto EP., Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode

Januari-Maret 2016

Page 52: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 47

Depkes. ,2006, Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis Rumah Sakit di

Indonesia.

Dewi Kurniawati, Ida Sugiarti. (Maret 2014). Tinjauan Pengisian Resume Keluar Rawat Inap Ruang Teratai Triwulan IV di RSUD Kabupaten Ciamis tahun 2012. Jurnal Manajemen

Informasi Kesehatan Indonesia, 2 (2337-585X), 1.

Dian Mawarni, Ratna Dwi Wulandari, 2013. Identifikasi Ketidakanlengkapan Rekam Medis Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan. Aministrasi Kesehatan Indonesia,

April-Juni, 1(2).

Dirjen YanMed Depkes RI.,1997, Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Rekam Medis.

Dokumen Perjanjian Kerjasama antara BPJS Kesehatan cabang Balikpapan dengan RSUD dr.

Kanujoso Djatiwibowo (1 Januari 2016-31 Desember2016). Pelayanan Kesehatan Rujukan

Tingkat Lanjutan Bagi Peserta Jaminan Kesehatan Nasional Farodis, Z., 2014. Buku Pintar Asuransi. pertama ed. Jakarta: Laksana.

Hasmi, 2016, Metode Penelitian Kesehatan. Bogor: In Media.

Hatta, R. G.,2008., Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan Di Sarana Pelayanan Kesehatan.

Jakarta: UI Press.

Page 53: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 48

Tabel 1.1 Laporan Klaim BPJS Kesehatan yang Tertunda Januari 2016-Februari 2016

Bulan Pasien Pulang Jumlah Klaim yang tertunda

Januari 2016 1707 187

February 2016 1718 103

Maret 2016 1774 58

Tabel 2. Persentase Jumlah Resume Medis yang Tidak Lengkap Periode Januari-Maret

2016

Bulan Total Resume

medis

Resume medis yang tidak

lengkap Persentase resume medis Nilai klaim

Januari 1741 187 10.74 % Rp 405,248,907

Februari 1730 103 5.9 % Rp 718,662,219

Maret 1774 58 3.2 % Rp 446,060,613

Tabel 3. Persentase Jenis Ketidaklengkapan Resume Medis

Jenis ketidaklengkapan Jumlah %

Ketidaksesuaian kode INA CBG ’S 17 4,8

Ketidaksesuaian diagnose dan terapi 15 4.3

Ketidak adaan tanda tangan DPJP 316 90,9

Total 348 100

Tabel 4. Data Sisa Resume Medik yang Belum Terbayar Periode Januari 2016 – Maret

2016 dan Besaran yang Belum Terbayar

Bulan Jumlah resume medic yang belum

dibayar Angka rupiah

Persentase dibanding

nilai awal

Januari 12 121.876.755 30,07 %

Februari 17 149.435.222 20,79 %

Maret 16 151.375.495 21,06 %

Antonius Artanto EP., Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode

Januari-Maret 2016

Page 54: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 49

a.

b.

c.

d.

Gambar 1. Alur Verifikasi Persyaratan Pengajuan Klaim BPJS

1. Verifikasi administrasi

kepesertaan.

2. Verifikasi administrasi

pelayanan.

3. Verifikasi pelayanan.

4. Verifikasi menggunakan

software verifikasi.

Fasilitas Kesehatan

Verifikator BPJS

Kesehatan BPJS Kesehatan

1. Berkas klaim.

2. File .txt

1. Formulir

pengajuan klaim.

2. Data .xml.

3. Persetujuan klaim.

4. Melakukan

pembayaran.

(Permenkes no.

269/MENKES/PER/III/2008 pasal (4) ayat 2)

1. Identitas pasien

2. Diagnosis masuk 3. Indikasi pasien dirawat

4. Ringkasan hasil fisik dan

penunjang 5. Diagnose akhir

6. Pengobatan

7. Tindak lanjut 8. Nama dan tanda tangan dokter

atau dokter gigi yang

memberikan pelayanan.

(Panduan Praktis Administrasi Klaim

Faskes BPJS Kesehatan (2014))

1. Surat Eligibilitas Peserta (SEP)

2. Surat perintah rawat inap

3. Resume medis yang

ditandatangani oleh DPJP

4. Bukti pelayanan lain yang

ditandatangani oleh DPJP (bila

diperlukan), misal:

a. Laporan operasi

b. Protokol terapi dan regimen

(jadwal pemberian obat) pemberian obat khusus

c. Perincian tagihan Rumah

Sakit (manual atau

automatic billing) d. Berkas pendukung lain

yang diperlukan

Software INA CBG’s : 1. Identitas pasien (no rekam

medis dll) 2. No jamina peserta.

3. No surat SEP

4. Jenis perawatan. 5. Tanggal masuk rumah

sakit.

6. Tanggal keluar rumah sakit.

7. Lama perawatan (LOS)

8. Nama dokter. 9. Jumlah biaya riil rumah

sakit.

10. Tanggal lahir. 11. Umur (dalam tahun)

ketika masuk rumah sakit.

12. Umur (dalam hari) ketika masuk rumah sakit.

13. Jenis kelamin.

14. Surat rujukan atau surat

perintah control.

15. Status ketika pulang.

16. Berat badan baru lahir (dalam gram).

17. Diagnosis utama.

18. Diagnosis sekunder (komplikasi dan

komorbidity)

19. Prosedur atau tindakan.

Klaim pending

BPJS Kesehatan.

Lampiran II Perjanjian No /VIII.02/PKS/1215

tentang Tata Cara Pengajuan dan Pembayaran

Klaim Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan no 3.

1. Formulir pengajuan klaim (FPK).

2. Kuitansi asli, bermeterai secukupnya. 3. Surat elijibilitas peserta (SEP).

4. Bukti pelayanan yang mencantumkan

diagnose dan prosedur serta ditandatangani oleh dokter

penanggung jawab pasien (DPJP). 5. Surat perintah rawat inap (untuk

RITL).

6. Resume medis yang mencantumkan

diagnose dan prosedur serta

ditandatangani oleh DPJP (untuk

RITL) 7. Pada kasus tertentu bila ada

pembayaran klaim diluar INA CBG’s

(jenis pelayanan diluar INA CBG’s sesuai ketentuan yang berlaku)

diperlukan tambahan bukti pendukung

: a. Protocol terapi dan rejimen

termasuk produk batch label

(jadwal pemberian) obat khusus.

b. Resep obat.

c. Resep alat bantu kesehatan. d. Tanda terima alat bantu

kesehatan diluar paket INA

CBG’s. 8. Berkas pendukung lain yang termasuk

didalam kelengkapan pendukung

verifikasi misalnya : Laporan operasi, laporan anestesi,

product batch special prosthesis, batch

obat untuk kasus top up special drug termasuk di dalam lampiran pengajuan

klaim.

9. Tagihan klaim rumah sakit menjadi sah setelah mendapat persetujuan dan

ditandatangani direktur/kepala dan

petugas verifikator BPJS Kesehatan. 10. Pihak rumah sakit mengirimkan secara

resmi tagihan klaim dalam bentuk

softcopy dan hard copy.

Page 55: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 50

Gambar 2. Alur Berkas Pasien di Ruangan

1. Fotocopy kartu BPJS.

2. Surat elijibilitas peserta 3. Surat rujukan.

4. Surat perintah masuk rumah sakit.

Pasien awal dirawat Pasien dalam perawatan Pasien pulang

1. Laporan operasi.

2. Protokol terapi dan regimen (jadwal pemberian obat) pemberian obat

khusus .

Lembar tagihan dari back office

1. Resume Medis Elektronik oleh

case manager 2. Surat keluar rumah sakit

(manual)

Antonius Artanto EP., Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode

Januari-Maret 2016

Page 56: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 51

Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian

Target Rencana Strategis RS Katolik Di Palembang Periode 2015-2016

Analysis of Leadership Style and Organizational Profile to the Achievement of Strategic

Planning in Catholic Hospital in Palembang Period of 2015-2016

Martina Ovinda Suandi

Program Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Rencana strategis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari organisasi bisnis. Gaya kepemimpinan dan variabel

dalam profil organisasi memiliki peranan penting dalam pencapaian target rencana strategis. Penelitian ini

menganalisis hubungan gaya kepemimpinan dan profil organisasi dalam pencapaian target rencana strategis RS katolik

di Palembang periode 2015-2016, dengan menggunakan desain cross sectional melalui pendekatan kuantitatif

dilanjutkan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di dua RS dengan tipe B dan tipe C. Hasil penelitian

menunjukkan gaya kepemimpinan yang dominan adalah supporting dengan fleksibilitas fleksibel.Tiga variabel dari

profil organisasi (lingkungan organisasi, hubungan organisasi dan situasi organisasi) separuhnya tidak baik. Sedangkan

pencapaian target rencana strategis dengan berdasarkan balance scorecard sebagian besar menunjukkan tidak baik.

Hasil analisis bivariat menunjukkan hubungan yang bermakna antara tipe RS dan situasi organisasi terhadap

pencapaian target rencana strategis. Hal ini didukung oleh pernyataan para informan yang merupakan anggota direksi

dari RS katolik di Palembang. Saran untuk RS dan pemilik: perbaikan sistem manajemen SDM, monitoring, evaluasi

dan tindak lanjut rencana strategis dan pembentukan jaringan pelayanan kesehatan dari mulai dari fasilitas kesehatan

tingkat pertama untuk bertahan di era JKN.

Kata kunci: balance scorecard gaya kepemimpinan; profil organisasi; target rencana strategis.

ABSTRACT

Strategic plan is an integral part of the business organization. Leadership styles and variable in organization’s profile

have an important role to attainment the target of strategic plan. This study was analyzing the relationship of leadership

style and organization's profile to attain the target of 2015-2016 Catholic Hospitals’ Strategic Plan in Palembang,

using cross sectional design with quantitative approach followed by qualitative approach. The study was conducted in

two hospitals with B type and C type. The results showed that the dominant leadership style is supporting with the

flexibility. Three variable of organizational profile (organization environ, organizational relation and organizational

situation) half was not good. While target attainment of the strategic plan based on a balanced scorecard mostly show

in not good results. The results of the bivariate analysis shown a significant association among hospital type and

organizational situation towards target attainment of the strategic plan. This is supported by the statements of the

informant who is a member of the board of directors of the Catholic Hospital in Palembang. Suggestion for hospital

and owner: improvement of human resource management system, monitoring, evaluation and follow-up of the strategic

plan and the establishment of a health care network from the first-level health facilities to survive in the era of

Universal Health Coverage.

Keywords: balance scorecard; leadership style; organizational profile; target of strategic planning.

Page 57: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 52

PENDAHULUAN

Rumah sakit merupakan organisasi dengan tingkat

kompleksitas yang tinggi dan fungsi yang kompleks pula.

Pada awalnya, rumah sakit sepenuhnya menjalankan

fungsi sosial dan mengalami perkembangan yang pesat

pada saat abad ke 18. Rumah sakit awalnya berkembang

dari keperawatan orang sakit dan korban perang yang

dipelopori oleh ordo-ordo keagamaan. Seiring berkembangnya

ilmu kedokteran, rumah sakit menjadi organisasi yang lebih

kompleks dan terstruktur. Perkembangan ini disertai dengan

perubahan sifat rumah sakit dari organisasi sosial menjadi

organisasi ekonomi, menuntut rumah sakit membentuk

suatu struktur organisasi untuk menjalankan fungsi

manajemen secara keseluruhan.

Secara umum, kesuksesan atau kegagalan suatu perusahaan

atau organisasi seringkali dikaitkan dengan kepemimpinan.

Peran pemimpin meliputi serangkaian penyebaran fungsi

manajemen dalam struktur manajerial suatu perusahaan.

Oleh karena itu, sosok pemimpin akan sangat mempengaruhi

fungsi manajamen dalam suatu organisasi. Robbin (1996)

mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mengarahkan

dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas

para anggota kelompok ke arah tercapainya tujuan.

Studer (2008) dalam Thompson (2012) mengatakan

bahwa untuk mengelola organisasi yang berorientasi hasil

memerlukan suatu kerangka kerja yang terdiri dari

beberapa pilar utama. Pada rumah sakit, pilar tersebut terdiri

dari orang (karyawan, pasien dan dokter), pelayanan, mutu,

keuangan, dan perkembangannya. Untuk mengarahkan

setiap pilar tersebut perlu disusun suatu rencana strategis

(strategic planning) yang dapat memberikan arah dan

tujuan dari organisasi. Hal ini diperlukan untuk

memberikan arah dalam pelaksanaan kegiatan di rumah

sakit. Salah satu aspek penting yang berperan dalam

manajemen perumahsakitan adalah adanya perencanaan

strategis.

Proses pelaksanaan rencana strategis dimulai dengan

menyelaraskan tujuan seluruh aspek rumah sakit.

Pemimpin sebagai panutan dalam organisasi, harus dapat

menyatukan persepsi seluruh anggota rumah sakit. Oleh

karena itu seorang pemimpin diharapkan dapat menjadi

motor penggerak. Tujuan suatu organisasi bukanlah hanya

untuk bertahan dalam, selain untuk mempertahankan

eksistensinya, organisasi juga memerlukan suatu perkembangan.

Kepemimpinan memiliki peran yang sangat penting untuk

pencapaian kinerja organisasi (Peterson, Smith, Martorana

& Owens, 2003).

Dalam kerangka kinerja Malcolm Baldrige Criteria for

Performance Excellence, kepemimpinan dengan dasar

profil organisasi menjadi aspek pertama dalam menggerakkan

organisasi. Menurut kriteria Baldrige, seorang pemimpin

memiliki tanggung jawab menciptakan strategi-strategi

organisasi, mengatur sistem manajemen yang sesuai,

menemukan metode yang tepat untuk mencapai keunggulan

kinerja, menstimulasi inovasi, meningkatkan pengetahuan

dan kemampuan, serta menjamin ketahanan organisasi.

Rumah Sakit RK. Charitas dan RS Myria yang merupakan

RS Katolik di Palembang diampu oleh Yayasan RS

Charitas, sudah memiliki perencanaan strategis yang

disusun berdasarkan prinsip Balance Scorecard (BSC).

BSC menjadikan tahap perencanaan strategis yang

komprehensif, sehingga rencana strategis yang dihasilkan

dapat digunakan untuk menghadapi lingkungan bisnis

yang kompleks. Rencana strategis (renstra) ini disusun

dengan periode waktu 5 (lima) tahun. Perencanaan strategis

menurut Balance Scorecard disusun berdasarkan 4 (empat)

perspektif yang terdiri dari : perpektif keuangan, perpektif

pelanggan, perpektif proses bisnis internal dan perspektif

pembelajaran dan pertumbuhan. Empat perspektif ini

menjadi dasar pengukuran kinerja manajemen dalam

mencapai visi dan misi organisasi sesuai jangka waktu yang

sudah ditentukan.

Sejak ditetapkan pada tahun 2014, Renstra RS Katolik di

Palembang telah dievaluasi dua kali pada tahun 2015 dan

2016. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa target dari

indikator kunci kinerja yang ditetapkan dari masing-masing

perspektif sebagian besar belum tercapai. Pencapaian indikator

kinerja masing-masing perspektif BSC (ditampilkan dalam

tabel 1).

Berdasarkan data pada tabel 1, banyak faktor yang

menyebabkan tidak tercapainya target, sehingga berdampak

dengan menurunnya kinerja rumah sakit di semua

perspektif renstra. Menurut Yaslis (2012), untuk negara

berkembang seperti di Indonesia, variabel supervisi dan

Page 58: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 53

kontrol masih sangat penting pengaruhnya dengan kinerja

individu, dimana tugas supervisi dan kontrol ini merupakan

tanggung jawab dari seorang pemimpin dan kinerja

individu akan turut menentukan kinerja organisasi secara

keseluruhan.

Menurut O’Dell dan dan Combes (2009) keberhasilan

suatu perencanaan strategis membutuhkan komitmen yang

menjadi filosofi budaya dan keseriusan untuk melaksanakannya,

yang bermula dari para pimpinan level atas. Di kedua RS

Katolik, penyusunan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi

Renstra melibatkan para manajer yang berada di level atas

dan menengah. Lodge dan Derek (1993) dalam Rahmah

(2010) menyebutkan, perilaku pemimpin memiliki dampak

signifikan terhadap sikap, perilaku dan kinerja pegawai.

Efektifitas pemimpin juga dipengaruhi karakteristik staf dan

terkait dengan proses komunikasi yang terjadi antara

pemimpin dan stafnya. Komunikasi memegang peranan

penting dalam penyebaran informasi suatu organisasi.

Pencapaian target Renstra, selain ditentukan oleh pemimpin,

juga harus ditopang oleh pemahaman yang jelas mengenai

profil organisasi yang bersangkutan. Dalam kerangka

Malcolm Baldrige 2015-2016, profil organisasi menjadi

lempengan dasar yang akan mempengaruhi kinerja organisasi,

salah satunya adalah perencanaa strategis. Profil organisasi ini

memberikan gambaran komprehensif bagaimana suatu

organisasi dapat berjalan.

Melihat banyaknya target renstra yang tidak tercapai

menyangkut dengan masalah kepemimpinan, dirasakan

perlu untuk melakukan penelitian mengenai gaya

kepemimpinan direksi dan profil organisasi yang berperan

penting dalam pencapaian target renstra Rumah Sakit.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi awal yang

peneliti lakukan, peneliti merasa tertarik untuk meneliti

bagaimanakah gaya kepemimpinan dan profil organisasi

sangat berperan penting dalam penentukan pencapaian

target rencana strategis RS katolik di Palembang di bawah

satu Yayasan pemilik.

TINJAUAN PUSTAKA

Masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan

dimulainya sejarah manusia, yaitu sejak manusia menyadari

pentingnya hidup berkelompok untuk mencapai tujuan

bersama. Mereka membutuhkan seseorang atau beberapa

orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan daripada yang

lain, terlepas dalam bentuk apa kelompok manusia tersebut

dibentuk. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena manusia

selalu mempunyai keterbatasan dan kelebihan-kelebihan

tertentu.

Konsep kepemimpinan situasional awalnya dikembangkan

oleh Paul Hersey, yang menulis Buku Pemimpin Situasional

dan Ken Blanchard. Teori pertama kali diperkenalkan

sebagai “teori siklus hidup kepemimpinan” (Blanchard &

Hersey,1996, dalam Thompson et.al, 2014) dan kemudian

berganti nama menjadi teori kepemimpinan situasional

pada tahun 1972. Setelah diterapkan, mereka menemukan

bahwa beberapa aspek dari model tidak sedang divalidasi

dalam praktek. Oleh karena itu, Ken Blanchard

menciptakan model diperbarui kedua yang disebut

Kepemimpinan Situasional II (SLII) (Mwai, 2011).

Kepemimpinan situasional didasarkan pada hubungan

yang saling mempengaruhi antara 3 hal :

1. Tingkat pengarahan (perilaku memberi tugas) yang

pemimpin berikan.

2. Tingkat dukungan sosioemosional (perilaku hubungan)

yang pemimpin sediakan.

3. Tingkat perkembangan atau kesiapan pengikut untuk

dihadapkan pada tugas, fungsi dan aktifitas tertentu atau

tujuan yang ingin dicapai oleh pemimpin melalui

individu atau kelompok.

Tingkat perkembangan pengikut untuk pekerjaan atau

tujuan tertentu dan bukan penilaian keterampilan atau sikap

secara keseluruhan. Tingkat perkembangan ini terdiri dari 4

(empat) tahap sebagai berikut :

D1: kompetensi rendah - komitmen tinggi D2: kompetensi rendah - sedang - komitmen rendah D3: kompetensi sedang-tinggi - komitmen tidak

menentu D4: kompetensi tinggi - komitmen tinggi

Dalam kepemimpinan situasional, terdapat 4 (empat) gaya

kepemimpinan yang terdiri dari 4 kombinasi perilaku

pengarahan dan dukungan (Blanchard, 200):

Directing (S1) – Tinggi pengarahan dan rendah

dukungan

Martina Ovinda S., Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik di Palembang

Periode 2015-2016

Page 59: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 54

Pemimpin memberikan pengarahan yang spesifik

mengenai tujuan, menunjukkan dan memberitahukan

bagaimana melakukan pekerjaan, dan secara tertutup

menelusuri kinerja individu untuk memberikan umpan

balik secara berkala terhadap pekerjaan yang dilakukan. Coaching (S2) - Tinggi pengarahan dan tinggi dukungan

Pemimpin memberikan penjelasan, meengumpulkan saran

dan masukan, memuji perilaku yang baik dan terus-menerus

mengarahkan untuk mencapai tujuan atau penyelesaian

tugas.

Supporting (S3) - Rendah pengarahan dan tinggi dukungan

Pemimpin dan bawahan membuat keputusan bersama.

Peran untuk memfasilitasi, mendengarkan, mengajak

bicara, memberikan semangat dan dukungan.

Delegating (S4) - Rendah pengarahan dan rendah

dukungan

Pemimpin memperkuat individu untuk bekerja secara

bebas dengan menggunakan sumber daya untuk

menyelesaikan pekerjaan.

Menurut kerangka kerja Malcolm Baldrige (2015), profil

organisasi merupakan gambaran umum dari organisasi,

yang memiliki pengaruh utama dalam operasional organisasi

dalam lingkungan bisnis yang kompetitif. Profil organisasi

bersama dengan kepemimpinan akan menentukan hasil

akhir dari suatu kinerja organisasi. Dalam tesis ini, akan

lebih difokuskan pada penilaian terhadap Profil Organisasi

sebagai dasar dalam pelaksanaan organisasi. Profil

organisasi ini terdiri dari deskripsi organisasi dan situasi

organisasi. Deskripsi organisasi terbagi menjadi lingkungan

organisasi dan hubungan organisasi.

1) Deskripsi Organisasi yang menjelaskan karakteristik

organisasi. Deskripsi organisasi menjabarkan

keadaan RS di dalam lingkungan bisnis dari berbagai

aspek. Deskripsi organisasi ini terdiri dari

a) Lingkungan Organisasi

Lingkungan organisasi adalah semua elemen di

dalam maupun di luar organisasi yang dapat

mempengaruhi sebagian atau keseluruhan suatu

organisasi. Dalam kerangka penilaian Malcolm

Baldrige, lingkungan organisasi terdiri dari :

1) Misi, Visi dan Nilai

Pernyataan misi, visi dan nilai organisasi

harus diketahui dan dipahami oleh seluruh

tingkatan dalam organisasi. Kompetensi

organisasi secara strategi merupakan

kapabilitas penting yang merupakan pokok

dalam pemenuhan misi serta memberikan

keuntungan untuk mendapatkan pangsa

pasar dan lingkungan pelayanan. Kompetensi

utama seringkali menjadi tantangan bagi

kompetitor atau penyalur dan rekanan untuk

meniru dan seringkali mempertahankan

manfaat berkompetitif.

2) Profil Tenaga Kerja

Kelompok tenaga kerja dan penentuan segmen

tenaga kerja dapat ditentukan berdasarkan jenis

tenaga kerja dan hubungan kontrak antara

perusahaan dan tenaga kerja, penempatan,

pemindahan tugas, lingkungan pekerjaan,

kebijakan terhadap keluarga dan rekan, serta

faktor lainnya

3) Aset

Yang termasuk aset adalah fasilitas, teknologi

dan peraltan yang digunakan untuk mendukung

kinerja organisasi.

4) Regulasi yang berlaku di organisasi

Peraturan perundangan yang berlaku dalam

suatu oganisasi ditentukan oleh area geografis

dimana perusahaan itu berada dan jenis usaha

yang dilakukan.

b) Hubungan Organisasi

Dalam suatu organisasi terdapat hubungan informal

dan juga hubungan formal. Hubungan informal

menyangkut hubungan manusiawi, di luar dinas

atau bersifat tidak resmi. Sedangkan hubungan

formal merupakan bentuk hubungan yang

sengaja, secara resmi (kedinasan), yang biasanya

ditunjukkan dalam suatu struktur organisasi

(Anoraga, 2011). Baldrige membagi hubungan

dalam oganisasi menjadi :

1) Struktur Organisasi

Struktur dan sistem yang berlaku dalam suatu

organisasi mempengauhi pelaksanaan

pekerjaan dalam organisasi. Struktur organisasi

yang dimaksud di sini dapat meliputi hubungan

dengan sumber pembiayaan utama seperti

yayasan

2) Pelanggan dan Pemangku Kepeningan

Perusahaan dapat membagi sasaran pasar

menjadi beberapa segmen pasar berdasarkan

lini produk, jalur pendistribusian, volume

Page 60: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 55

bisnis, kondisi geografis dan faktor lain yang

dapat meneukan segemen pasar. Pelanggan

memilih produk atau jasa suatu perusahaan

berdasarkan harapan, perilaku prefernsi atau

profil dari suatu produk. Kepentingan pemangku

terhadap perusahaan termasuk tanggung

jawab sosial perusahaan dan pelayanan terhadap

masyarakat.

3) Penyalur (Suppliers) dan Rekanan

Dengan memahami harapan dan kebutuhan

pelanggan serta pemangku kepantingan,

organisasi dapat meningkatkan sensitivitas

organisasi terhadap risiko produk atau jasa,

dukungan dan interupsi rantai persediaan dari

penyalur serta rekanan.

2) Situasi Organisasi

Situasi yang dihadapai organisasi akan menentukan

langkah yang akan ditempuh organisasi. Situasi ini

termasuk:

1) Lingkungan Kompetitif

Terdiri dari posisi perusahaan dalam lingkungan

kompetitif, perubahan pola kompetitif, dan juga

ketersediaan data pendukung alam kompetisi

dalam bidang dimana perusahaan bergerak.

2) Konteks Strategis

Tantangan strategis dan keunggulan mungkin

berhubungan dengan teknologi, produk, keuangan,

operasi, struktur organisasi dan budaya, kemampuan

organisasi utama, pelanggan dan pasar, pengakuan

merek dan reputasi, industri dimana perusahaan

bergerak, globalisasi, perubahan iklim, dan sumber

daya manusia..

3) Sistem Peningkatan Kinerja

Pendekatan dalam sistem peningkatan kinerja

disesuaikan dengan kebutuhan dalam organisasi.

Pendekatan yang dapat dimplementasikan termasuk

standarisasi dari lembaga yang diakui atau dengan

metodogi seperti Lean atau PDCA.

Penerapan Balance Scorecard sebagai pendekatan untuk

menerjemahkan dan mengimplementasikan strategi di

perusahaan dimulai pada pertengahan tahun 1993 oleh

Renaissance Solution, Inc, sebuah perusahaan konsultasi

yang dipimpin oeh David P. Norton. Kekomprehensifan

dan kekoherenan rencana straegis yang dihasilkan melalui

pendekatan Balance Scorecard berdampak besar terhadap

proses perencaan berikutnya: penyusunan program

(programming) dan penyusunan anggaran (budgeting). Pada

tahap perkembangan, Balance Scorecard dimanfaatkan

sebagai alat yang efektif untuk perencanaan strategis. Pada

tahap perencanaan strategis, kerangka kerja Balance

Scorecard, misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar,

dan strategi diterjemahkan ke dalam sasaran strategis di

empat perspektif (Mulyadi, 2009) : a. Perspektif Finansial

b. Perspektif Pelanggan

c. Perspektif Proses Bisnis Internal

d. Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran

METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah metode penelitian

kuantitatif dan kualitatif, dengan tipe penelitian kombinasi

Sequential Explanatory Design (Sugiyono, 2012), yaitu

pengumpulan dan analisis data terdiri dari 2 tahap yaitu:

pengumpulan dan analisis data kuantitatif, diikuti dengan

pengumpulan dan analisis data kualitatif. Adapun tahapan

yang dimaksud adalah :

1. Tahap pertama, pengumpulan data dengan menggunakan

kuisioner dan analisis data kuantitatif. Pengumpulan

data melalui kuisioner dilakukan untuk mengetahui

gaya kepemimpinan, profil organisasi dan pencapaian

target Renstra di RS RK Charitas dan RS Myria.

2. Tahap kedua, peneliti akan melakukan wawancara

mendalam tidak berstruktur dengan direksi dari kedua

rumah sakit untuk mendapatkan gambaran yang lebih

mendalam terhadap hasil pengumpulan data yang

didapat melalui kuisioner.

Populasi penelitian ini adalah staf pejabat struktural di 2

(dua) RS Katolik di Palembang. Metode pengambilan

sampel yang digunakan adalah total sampling dengan

sampel yang termasuk dalam kriteria inklusi berjumlah 110

orang. Adapun pengambilan data primer dilakukan dengan

menggunakan 3 buah kuesioner dengan responden staf di

tiap direktorat dan komite di RS RK Charitas:

a. Untuk mengukur variabel bebas tentang gaya

kepemimpinan menggunakan kuesioner Leadership

Behaviour Analysis yang dikembangkan Blanchard

Training and Development Inc. dan digunakan oleh

Rahmah (2010) dengan modifikasi peneliti.

Martina Ovinda S., Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik di Palembang

Periode 2015-2016

Page 61: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 56

b. Untuk mengukur variabel-variabel bebas tentang

profil organisasi menggunakan kriteria Organizational

Profile dari Baldrige Excellence Framework 2015-

2016 dengan modifikasi peneliti.

c. Untuk mengukur variabel terikat tentang Pencapaian

Target Renstra periode 2015-2016 melalui pendekatan

Balanced Scorecard.

Selanjutnya dilakukan penelitian Kualitatif berupa

pedoman wawancara mendalam tidak berstruktur kepada

anggota direksi dari 2 RS Katolik di Palembang untuk

mengkonfirmasi hasil dari kuesioner yang diisi oleh

responden.

Pada penelitian ini kuesioner profil organisasi dan kuesioner

pencapaian target Renstra dilakukan uji validitas memakai

metode Corrected Item-Total Correlatio. Dengan

membandingkan r tabel dengan r hasil pada tingkat

kemaknaan 0,05. Bila r hasil > r tabel maka pernyataan

variabel dinilai valid. Data kualitatif yang diperoleh melalui

wawancara mendalam dengan anggota direksi dilakukan

triangulasi untuk meningkatkan validitas dan kredibilitas

data dalam penelitian kualitatif (Sugiyono, 2013). Uji

reliabilitas apabila telah dilakukan dengan uji cronbach’s

alpha. Hasilnya jika ≥ 0,6 maka variabel dinilai sebagai

reliable. Seluruh pertanyaan dalam kueioner profil

organisasi dan pencapaian target Renstra memiliki nilai ≥

0,6.

Untuk menilai gaya kepemimpinan jawaban dari

responden dimasukkan ke dalam tabel skor.Jumlah

jawaban terbanyak dari kolom yang ada (S1, S2, S3, S4)

merupakan gaya kepemimpinan yang paling dominan.

Dari hasil input data ke dalam kolom, bisa didapatkan satu

ataupun dua gaya kepemimpinan yang dominan. Untuk

menilai variabel dependen lingkungan organisasi, situasi

organisasi, dan hubungan organisasi, skoring menggunakan

skala likert 1-4 lalu dilakukan penjumlahan skor jawaban

responden dan dikategorikan dengan cara cut off point

mean, didapatkan nilai : 1 = baik (≥ mean), dan 2 = tidak

baik (< mean) Untuk menilai variabel independen

pencapaian target renstra, persepsi responden diskoring

dengan menggunakan skala likert 1-5 lalu dilakukan

penjumlahan skor jawaban responden dan dikategorikan

dengan cara cut off point mean, didapatkan nilai : 1 = baik

(≥ mean), dan 2 = tidak baik (< mean). Analisis bivariate

dengan menggunakan uji Pearson Chi-Square antara

variabel independen gaya kepemimpinan, dan Profil

Organisasi (Tipe RS, Lingkungan Organisasi, Hubungan

Organisasi, Situasi Oganisasi) terhadap variabel dependen

(Pencapaian Target Renstra) (ditampilkan dalam gambar

1).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis ini dilakukan untuk menggambarkan distribusi

dari karakteristik responden penelitian yaitu pejabat

struktural yang bekerja di Rumah Sakit Charitas dan RS

Myria yang dihimpun menggunakan kuesioner, meliputi:

jenis kelamin, posisi atau profesi di unit kerja, umur,

pendidikan, lama kerja di rumah sakit, dan lama kerja

sebagai pejabat structural (ditampilkan dalam tabel 2).

Dari penilaian 110 responden mengenai gaya kepemimpinan

direktur, didapat paling banyak yaitu gaya kepemimpinan

supporting. Gaya kepemimpinan ini sebagian besar dinilai

oleh staf di level middle management. Kedua terbanyak

yaitu gaya kepemimpinan coaching yang dipilih sebagian

besar sta di level low management, diikuti dengan gaya

kepemimpinan campuran coaching – supporting. Gaya

kepemimpinan delegating sebagian besar dinilai staf

middle management dan gaya kepemimpinan directing

paling sedikit frekuensinya (ditampilkan dalam tabel 3).

Persepsi responden terhadap 30 pertanyaan dari variabel

Lingkungan Organisasi. Hubungan Organisasi, menunjukkan

12 pertanyaan berada dibawah nilai rata-rata yaitu 8 dari 14

pertanyaan dalam variabel lingkungan organisasi, 3 dari 10

pertanyaan dari variabel situasi organisasi dan 3 dari 6

pertanyaan variabel situasi organisasi. Untuk variabel

pencapaian target renstra, persepsi responden terhadap

pencapai target renstra dari 4 perspektif Balanced Scorecard

menunjukkan 4 pertanyaan berada di bawah nilai rata-rata.

persepsi responden secara lengkap ditampilkan dalam tabel 4.

Hasil analisis Pearson Chi-Square dengan hipotesis bila P

< 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima maka berdasarkan

tabel di atas variabel independen yang memiliki pengaruh

signifikan terhadap variabel dependen pencapaian target

Renstra, yaitu variabel Tipe RS (P-value = 0,02) dan

Page 62: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 57

variabel Situasi Organisasi (P value = 0,012). Sedangkan

variabel yang tidak memiliki hubungan yang signifikan

terhadap pencapaian target Renstra yaitu antara gaya

kepemimpinan (P-Value = 0,407), Fleksibilitas gaya

kepemimpinan (P-value = 0,194), Lingkungan Organisasi

(P value =0,069) dan Hubungan Organisasi (P value

=0,045).

Hasil analisis dengan menggunakan uji Pearson Chi

Square diperloleh bahwa variabel independen yang

mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel

dependen pencapaian target Renstra dengan P-Value <

0,05 adalah variabel tipe RS dan variabel situasi organisasi.

Pemberlakuan JKN di seluruh Indonesia JKN mewajibkan

seluruh RS wajib untuk menjadi provider. Dengan sistem

rujukan regional berjenjang, RS tipe C diuntungkan karena

lebih banyak mendapat rujukan pasien, sehingga pasien

menjadi meningkat tajam, mendukung pencapaian target

Renstra terutama dari perspektif pelanggan. Namun

penatalaksanaan pasien JKN yang tidak sesuia dengan alur

klinis (clinical pathway) akan berdampak kurang baik

terhadap kinerja keungan RS karean tidak adnya kendali

biaya. Sedangkan untuk RS tipe B, terjadi penurunan

pasien karena RS tipe merupakan rujukan tersier, meskipun

tidak menutup kemungkinan penurunan pasien ini

disebebkan oleh penurunan kualitas pelayanan, namun

pertumbuhan pendapatan RS tipe B lebih stabil karena

masih ada pasien pribadi /pasien non-JKN. RS harus dapat

memanfaatkan peraturan perundangan yang diberlakukan

untuk dapat tetap mempertahankan diri dengan semakin

meningkatnya persaingan antar RS.

Adanya hubungan yang signifikan antara variabel situasi

organisasi terhadap pencapaian target Renstra sesuai

dengan kerangka manajemen strategis yang dikemukakan

David (2001) dalam Ayuningtyas (2013). Analisis situasi

eksternal dan internal merupakan salah satu dari tahapan

penyusunan rencana strategis. Perencanaan yang baik akan

menghasilkan hasil yang baik pula. Analisis terhadap

lingkungan eksternal dan internal secara tepat dengan

didukung informasi yang dan dilakukan oleh personel

kompeten, yang meyakini hubungan sebab akibat akan

menghasilkan perencanaan yang baik untuk menghasilkan

kinerja organisai yang baik (Mulyadi, 2009). RS Katolik di

Palembang sudah melakukan proses ini dengan baik tetapi

belum optimal. Kurang tepatnya penetapan rencana sesuai

dengan analisa eksternal dapat menyebabkan RS

kehilangan pangsa pasar. Pelaksanaan rencana kegiatan

yang kurang sesuai dengan renstra yang sudah ditetapkan

menyebabkan tidak tercapainya persentase kesesuaian

rencana dan realiasi anggaran. Selain itu, belum berjalannya

sistem monitoring, evaluasi dan tindak lanjut dari

pencapaian kinerja dari program berjalan menyebabkan

ketidakjelasan dalam penilaian ketercapaian sasaran dan

efektivitas inisiatif strategis. Program-program kegiatan

yang tidak kurang menguntungkan RS belum mendapatkan

tindak lanjut yang jelas untuk dilanjutkan atau dihentikan.

Gaya kepemimpinan berdasarkan persepsi responden yang

dominan adalah gaya kepemimpinan supporting namun

berdasarkan hasil wawancara dengan para informan

diketahui bahwa lama kerja dan pengalaman tidak

menjamin bahwa peningkatan kompetensi dan kesiapan

staf dalam menjalankan suatu pekerjaan. Budaya organisasi

RS katolik yang masih ketat yang berpegang pada Hukum

Gereja dengan kepemimpinan konvensional yang umumnya

menempatkan keputusan terbaik ada di tangan pimpinan.

Pimpinan cenderung dianggap paling mengetahui dan

memahami segala sesuatu, menyebabkan gaya kepemimpinan

yang memberikan karyawan untuk dapat melaksanakan

tugas dengan campur tangan pimpinan yang minimal tidak

dapat berjalan dengan baik. Jobes dan Steinbender (1996)

dalam Luna dan Jolly (2008) mengatakan bahwa

perubahan daramatis dalam pelayanan kesehatan

menyebabkan pola keperawatan dan gaya kepemimpinan

berhasil di masa lampau tidak lagi sesuai untuk pelayanan

di masa sekarang. Kesesuaian antara pimpinan dan staf

dalam menentukan tingkat perkembangan staf, baik

penilaian oleh pimpinan maupun staf itu sendiri, akan

menunjukkan gaya kepemimpinan yang tepat untuk

diaplikasikan oleh pimpinan (Thompson, 2014).

Pelayanan kesehatan sebagai produk yang ditawarkan oleh

RS berkaitan erat dengan indikator kinerja yang menjadi

target dalam perencanaan strategis. Pemberian pelayanan

ini harus didukung oleh visi misi dan nilai yang berlaku di

rumah sakit sehingga penentuan target bisnis, harus pula

disesuaikan dengan visi dan misi organisasi. Pemberlakuan

JKN dengan sistem rujukan berjenjang akan menguntungkan

bagi RS tipe C, sedangkan RS tipe B merupakan rujukan

tersier, hanya mendapatkan rujukan lanjutan. Hal ini

Martina Ovinda S., Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik di Palembang

Periode 2015-2016

Page 63: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 58

menyebabkan produk pelayanan yang berorientasi pada

perencaan strategis belum tepat karena produk pelayanan

kedokteran umum yang justru lebih banyak dicari

pelanggan.

Manjemen SDM yang tidak kompeten menyebabkan

perencanaan dan pengelolaan SDM yang tidak baik.

Pengembangan SDM yang menyesuaikan dengan besarnya

jumlah SDM menyebabkan pendidikan dan pelatihan

menjadi kurang merata dan kurang tepat sasaran. Menurut

American Hospital Association (AHA) (2013) organisasi

pelayanan kesehatan seharusnya melakukan evaluasi

model perencaaan ketenagakerjaan secara berkala dan

melakukan revisi untuk menyesuaikan perubahan di dalam

RS. Yang perlu diperhatikan saat melakukan evaluasi

adalah bagaimana strategi rumah sakit ke depannya dan

menentukan bagaimana arah ini mempengaruhi kebutuhan

ketenagaan di RS.

Untuk penyediaan sarana dan prasarana, diperlukan analisis

yang tepat mengenai kebutuhan peralatan yang

mendukung pelayanan. Teknologi kesehatan yang terus

berkembang merupakan hal yang tidak dapat dihindari,

sehingga RS yang tidak mengkiutinya lambat laun akan

tertinggal. Di RS Katolik di palemabng masih ada proses

pengadaan sarana prasarana yang tidak sesuai prosedur

menyebabkan ketidaksesuaian antara penggunan alat dan

peralatan yang dibeli, sehingga pada beberapa kasus

ditemukan alat tidak terpakai karena user tidak mau

menggunakan peralatan. Untuk pemenuhan peraturan

perundangan, RS Katolik di Palembang sudah berusaha

untuk memnuhi sebagian besar peraturan tersebut

meskipun masih ada beberapa yang belum terpenuhi dan

mempengaruhi fungsi manajamen RS.

Struktur organisasi di RS Katolik memang sudah

mendukung perencanaan strategis namun tidak semua

struktur di dalam organisasi terlibat dalam proses

penyusunan, sosialisasi dan pelaksanaannya. Tata kelola

yang baik melibatkan struktur organisasi mulai dari Dewan

Pengawas, Pemilik, Direksi sampai dengan struktur di

bawahnya. UU No 44 Tahun 2009 mewajibkan Dewan

Pengawas RS terdiri dari pemilik, organisasi profesi,

asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat. Saat ini

dewan pengawas di 2 RS katolik di Palembang hanya diisi

oleh personil pemilik rumah sakit. Hal ini mungkin

berpengaruh terhadap fungsi Dewan Pengawas dalam hal

pengawasan pelaksanaan rencana strategis. Saran dan

masukan juga dari pelanggan belum sepenuhnya menjadi

acuan untuk meningkatkan pelayanan. Koordinasi dengan

pemerintah yang dilakukan hanya sebatas untuk memenuhi

regulasi saja, sehingga pelayanan yang dikembangkan di RS

tidak sesuai dengan rencana pengembangan pelayanan

kesehatan regional yang dicanangkan pemerintah. Selain

itu manajemen logisitik belum efektif dan efisien

menyebabkan banyak waste bagi RS.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Terdapat hubungan yang signifikan antara tipe RS dan

situasi organisasi terhadap pencapaian target rencana

strategis RS Katolik di Palembang periode 2015-2016,

tetapi tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gaya

kepemimpinan, lingkungan organisasi dan hubungan

organisasi terhadapa pencapaian target renstra. Tidak

terdapatnya hubungan yang signifikan ini disebabkan oleh

ketidak sesuaian antara persepsi responden dan informasi

dari informan pada wawancara.

Saran

Diperlukan perbaikan gaya kepemimpinan yang

menyesuaikan dengan tingkat perkembangan bawahan

serta menjalankan tata kelola yang baik dan benar sehingga

perencanaan rencana strategis dapat terimplementasi.

Sistem monitoring, evaluasi serta tindak lanjut yang

dijalankan dengan efektif akan mendorong pencapaian

target rencanan srategsi secara maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, P. 2011. Pengantar Bisnis : Pengelolaan Bisnis Dalam Era Globalisasi. Jakarta :

Rineka Cipta. Armstrong, M. 2012. Armstrong’s Handbook of Management and Leadership Developing

Effectice People Skills For Better Leadership and Mangement. 3rd ed. Philadelphia

: Koganpage Ayuningtyas, D. 2013. Perencanaan Strategis Untuk Organisasi Pelayanan Kesehatan.

Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Barnes, Neil. Carsten, FJ. 2006. The Quality Of Leader / Employee Relationship In Business Performance. South African Journal of Human Resource Management. 4(2). 10-

19

Bhatti, N. Mailto, G.M. Shaikh, N. 2012. The Impact of Autocratic and Democratic Leadership Style on Job Satisfaction. International Business Research. 5 (2). 192-

201.

Page 64: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 59

Casciani, S.J. 2012. Strategic Planning. In : Buchbinder, S.B & Shanks, N.H. (eds). Introduction to Health Care Management. Burlington : Jones & Bartlett Learning.

Cohen, W. 2010. Drucker On Leadership.San Fransisco : Jossey-Bass

Fahmi, I.(2014). Perilaku Organisasi (Teori, Aplikasi dan Kasus). Bandung : Penerbit Alfabeta

Fields, T.(2014). Doorway into the Hospital. In : Griffin, D (4th ed). Hospitals What are They

and How They Work. Massachusets : Jones & Bartlett Learning. Gaspersz, Vincent. 2007. Ge way and Malcolm Baldridge Criteria for Performance

Excellence. Jakarta: Gramedia

Gibson, J.L. Ivancevich, J.M. Donelly Jr, J.H. Konopaske, R. 2012. Organizations Behaviour, Structure Proecesses.14th.ed. New York : McGraww-Hill.

Hersey, P. Blanchard K.H. (n.d). Situational Leadership : A Summary. Diunduh dari

https://www.researchgate.net/file.PostFileLoader.html?id=5389104cd4c11879228b4685&assetKey=AS%3A273575699779600%401442236937677 tanggal

26 Oktober 2016

Ilyas, Y. 2013. Perencanaan SDM Rumah Sakit Teori, Metoda dan Formula. Depok :

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Ilyas, Y. 2012. Kinerja Teori, Penilaian & Penelitian. Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Irawanto, D.W. 2011. Exploring Paternalistic Leadership and Its Apllication to the Indonesian

Context. New Zealand : Massey University. Desertasi. Kaufman, K. Goldstein, L. 2008. Leadership and Succesful Financial Perhormance in

Healthcare. Bulletin of The Natioanl Centre for Healthcare Leadership, 9-21.

Kreitner, R. Kinicki, A. 2005. Perilaku Organisasi. Alih Bahasa Suandy. Jakarta. Salemba Empat.

Lo, et.al. (2016). Measurement of Clinical Pharmacy Key Performance Indicators to Focus

and ImproveYour Hospital Pharmacy Practice. The Canadian Journal of Hospital Pharmacy. 69(2). 149-155. Diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/

pmc/articles/PMC4853183/ tanggal 08 Maret 2017

McCleskey, J.A. 2014. Situational, Transformational, and Transactional Leadership and Leadership Development. Journal of Business Studies Quarterly. 5(4). 117-130

Mosley III, G.B. 2009. Managing Healthcare Business Strategy. Massachusets : Jones &

Bartlett Publishers. Mulyadi. 2009. Sistem Terpadu Pengelolaan Kinerja Personel Berbasis Balanced

Scorecard. Yogyakarta : UPP STIM YKPN

Murphy, S. Ensher, E. (2008). A Qualitative Analysis Of Charismatic Leadership In Creative Teams: The Case Of television directors. The Leadership Quarterl.19, 335–352

Mwai, E. 2011. Creating Effective Leaders Through Situational Leadership Approach. JAMK University of Applied Sciences. Tesis.

National Institute of Standards and Technology. 2015. 2015–2016 Baldrige Excellence

Framework, A Systems Approach to Improving Your Organizations’s

Performance. Diunduh dari http://www.baldrigepe.org/alliance. tanggal 4 Juni 2016

Notoatmodjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Ed.Rev-Jakarta : Rineka Cipta

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 56 Tahun 2014 tentang Kualifikasi dan Perizinan Rumah Sakit

Peraturan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit

Rahmah, Balqis. 2010. Kajian Gaya kepemimpinan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) terhadap Fungsi kepemimpinan Direktur dalam Pelaksanaan

Manajemen RSUD di DKI Jakarta Tahun 2010. Tesis FKM-UI : Depok. Tidak

dipublikasikan Reeve, et.al, (2014) A Comprehensive Health Service Evaluation and Monitoring

Framework. Evaluation and Program Planning Journal, 53 (2015),91-98.

Diunduh dari http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S014971891500093 tanggal 05

Maret 2017

Rencana Strategis Bisnis RS RK Charitas Palembang Tahun 2015-2019. Tidak

dipublikasikan.

Sekhar, S.2008 .Hospital Organisation Structure. In : Srinivasan, A.V. Managing A Modern

Hospital 2nd ed. New Delhi : Response Books The Ken Blanchard Companies. 2000. Situational Leadership IITeaching Others. Diunduh

dari http://www.lifelongfaith.com/uploads/5/1/6/4/5164069/situational_leadership

_teach_others.pdf tanggal 27 Oktober 2016 The American Hospital Association’s Center for Healthcare Governance. 2009. Succesful

Strategic Planning The Board’s Role. Illinois : Center for Healthcare Governance

Thompson, G. Glaso, L. (2015) . Situational Leadership Theory: A Test From Three Perspectives. Leadership & Organization Development Journal. 36 (5), 527-544.

Diunduh dari www.emeraldinsight.com/0143-7739.htm tanggal 26 Oktober

2016. Thompson, J.M. Buchbinder,S.B, Shanks, N.H. 20120. An Overview of Healthcare

Management. In : Buchbinder, S.B & Shanks, N.H. (eds). Introduction to Health

Care Management. Burlington : Jones & Bartlett Learning. Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

West, M. et. Al. 2015. Leadership and Leadership Development in Health Care : The

Evidence Base. The Faculty of Medical Leadership and Management with The King’s Fund and the Center for Creative Leadershi, London. Diunduh dari From

www.fmlm.ac.uk. tanggal 03 Juni 2016

Yulk G, 2010. Kepemimpinan dalam organisasi. Leadership in organization. Alih Bahasa oleh Budi Supriyanto, Edisi Bahasa Indonesia. Penerbit PT Indeks ; Jakarta

Zuckerman, A.M. 20120. Healthcare Strategic Planning 3rd Ed. Chicago : HAP ACHE Management Series

Martina Ovinda S., Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik di Palembang Periode 2015-2016

Page 65: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 60

Tabel 1. Pencapaian Resmtra RS Katolik di Palembang Periode 2015- 2016

No PERSPEKTIF BSC

Pencapaian Renstra RS RK Charitas Pencapaian Renstra RS Myria

2015 2016 2015 2016

Tercapai Tidak

Tercapai Tercapai

Tidak

Tercapai Tercapai

Tidak

Tercapai Tercapai

Tidak

Tercapai

1 Perspektif Keuangan 66% 34% 43% 57% 60% 40% 40% 60%

2 Perspektif Pelanggan 43% 57% 23% 77% 55% 45% 60% 40%

3 Perspektif Proses

Bisnis Internal 40% 60% 45% 55% 35% 65% 40% 60%

4

Perspektif

Pembelajaran dan

Pertumbuhan

40% 60% 35% 65% 50% 50% 40% 60%

Gambar 1. Kerangka Konsep

Gaya Kepemimpinan

Profil Organisasi

Tipe RS

Lingkungan organisasi

Hubungan organisasi

Situasi organisasi

Pencapaian Target

Rencana Strategis

Variabel Independen Variabel Dependen

Page 66: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 61

Tabel 2. Distribusi Karakteristik Responden

Karakteristik Kategori Kelompok Frek ( N= 110) %

Jenis Kelamin 1. Laki-laki 21 30,91

2. Perempuan 49 69,09

Umur

1. < 30 13 11,82%

2. 30 - 40 46 41,82%

3. 41 - 50 34 30,91%

4. > 50 17 15,45%

Pendidikan

1. SMA/SPK 13 11,82%

2. D3 43 39,09%

3. Strata 1 (S1) 29 26,36%

4. Strata 2 (S2) 25 22,73%

Lama Kerja di

RS

1. < 5 Tahun 43 39,09%

2. 5 – 10 tahun 28 25,45%

3. 11 – 20 Tahun 21 19,09%

4. > 20 Tahun 18 16,36%

Lama Menjadi

Pejabat

Struktural

1. < 5 Tahun 81 73,64%

2. 5 – 10 tahun 23 20,91%

3. 11 – 20 Tahun 5 4,55%

4. > 20 Tahun 1 0,91%

Level Staf 1. Middle 59 53,64%

2. Low 51 46,36%

Tabel 3. Distribusi Gaya Kepemimpinan Direksi

Gaya Kepemimpinan Jumlah Level Staf

Middle Low

Directing 7 (6,36%) 2 (28,6%) 5 (71,4%)

Coaching 28 (25,45%) 11 (39,3%) 17 (60,7%)

Supporting 37 (33,64%) 22 (59,5%) 15 (40,5%)

Delegating 14 (12,73%) 12 (85,7%) 2 (14,3%)

Mix(Coaching-Supporting ) 24 (21,82%) 12 (50%) 12 (50%)

Total 110 (100%)

Tabel 4. Nilai Rata-Rata dan Simpangan Baku Pertanyaan Profil Organisasi dan

Pencapaian Target Renstra

Pertanyaan Variabel Nilai Rata-rata

I. Lingkungan Organisasi Χ= 2,762

< Mean >Mean SD

1 RS sudah memberikan pelayanan yang sesuai dengan renstra 2,8 0,465

2 Alur pelayanan di rumah sakit memberikan kemudahan bagi pasien 2,71 0,544

3 Perencanan strategis dibuat sesuai dengan visi, misi dan nilai di dalam RS 3,1 0,405

4 Pelayanan kesehatan di RS sudah berjalan sesuai visi, misi dan nilai 2,8 0,538

5 RS mengelola SDM sesuai dengan perencanaan strategis 2,6 0,608

6 RS menerapkan perencanaan jumlah dan jenis SDM secara tepat untuk

mencapai target perencanaan strategis 2,454 0,552

7 Pendidikan dan pelatihan merata dan tepat sasaran sesuai kebutuhan SDM di RS

2,436 0,533

8 RS melakukan monitoring, evaluasi dan umpan balik atas kinerja SDM 2,663 0,594

Martina Ovinda S., Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik di Palembang

Periode 2015-2016

Page 67: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 62

Pertanyaan Variabel Nilai Rata-rata

I. Lingkungan Organisasi Χ= 2,762

< Mean >Mean SD

9 Sarana dan prasarana yang ada RS mendukung pelayanan RS secara optimal

dalam mencapai target/sasaran pelayanan 2,709 0,456

10 RS mengikuti perkembangan teknologi kesehatan untuk melengkapi

pelayanan di RS 2,727 0,447

11 Pemeliharaan sarana dan prasarana RS berjalan baik sehingga mendukung

pelayanan kepada masyarakat 2,690 0,520

12 RS menjamin sarana prasarana terpelihara dengan baik sesuai dengan

peraturan perundangan yang berlaku 2,863 0,497

13 RS telah memenuhi persyaratan yang diwajibkan oleh peraturan perundangan

yang berlaku 3,127 0,560

14 Peraturan perundangan yang berlaku mendukung RS dalam usaha mencapai

perencanaan strategis 2,981 0,405

II. Hubungan di Organisasi Χ= 2,780

1 Struktur organisasi RS mendukung upaya pencapaian rencana strategis 2,845 0,387

2 Rencana strategis disusun dengan melibatkan struktur di dalam organisasi

dalam setiap tahap dan proses penyusunan maupun pelaksanaannya 2,718 0,509

3 RS memiliki tata kelola yang baik 2,472 0,501

4 Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan RS sesuai dengan kebutuhan

pelanggan dan masyarakat saat ini. 2,89 0,435

5 RS menggunakan informasi, saran dan masukan dari pelanggan untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan.

2,881 0,519

6 RS mencari dan menggunakan informasi dari pelanggan RS pesaing untuk

meningkatkan pelayanan 2,681 0,523

7 RS berkoordinasi dengan pemerintah dalam menentukan dan melaksanakan pengembangan pelayanan RS

2,927 0,463

8 RS memiliki prosedur/ mekanisme dalam mengatur hubungan kerjasama

antara RS dan penyalur 3,045 0,564

9 Pelaksanaan manajemen logistik di RS sudah efektif dan efisien 2,381 0,574

10 Penyalur dan perusahaan rekanan memberikan dukungan kepada RS untuk

menjamin mutu pelayanan 2,963 0,505

Situasi Organisasi Χ= 2,771

1 RS telah melakukan analisis eksternal untuk mengetahui posisi RS dalam persaingan bisnis kesehatan untuk mengetahui peluang dan ancaman yang akan

dihadapi RS.

2,845 0,51

2 RS telah melakukan analisis/penilaian internal untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan RS

2,827 0,539

3

Data analisis eksternal digunakan RS sebagai dasar untuk merubah ancaman

menjadi peluang berinovasi untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu

pelayanan.

2,736 0,482

4 RS melakukan pengukuran dan analisis trend terkait kinerja pelayanan yang

digunakan untuk mengoptimalkan pelayanan. 2,845 0,51

5 Penetapan prioritas kegiatan di RS sesuai dengan rencana strategi. 2,727 0,557

6 RS melakukan monitoring, evaluasi dan tindak lanjut terhadap laporan kegiatan dan kinerja di RS.

2,659 0,610

Pencapaian Target Renstra Χ= 2,926 SD

1

Perspektif Pelanggan

Jumlah pasien rawat inap 2,745 1,176

Jumlah pasien rawat jalan 2,827 1,065

2

Perspektif Bisnis Internal

Kecepatan resep non racikan di farmasi rawat jalan < 20’ 3,118 0,774

Respons time IGD < 5’ 3,563 0,883

3

Perspektif Keuangan.

% Kesesuaian rencana dan realisasi anggaran 2,663 0,859

% Pertumbuhan pendapatan 3 0,741

4

Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan

Indeks kepuasan karyawan 2,454 0,841

Lama waktu pelatihan karyawan per tahun (jam/orang) 3,036 0,811

Page 68: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 63

Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat

Jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016

The Influential Factors Againts the Long of Outpatient Waiting Time AtSanta Elisabeth

Batam Hospital 2016

Timbul Mei Silitonga

Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Lama waktu tunggu pelayanan di Unit Rawat Jalan menggambarkan kinerja dan mutu pelayanan Rumah Sakit

terhadap para pelanggannya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui rata-rata lama waktu tunggu rawat jalan serta

faktor-faktor yang terkait dengan hal itu, ditinjau melalui pendekatan kriteria Malcolm Baldrige di bidang

kesehatan yang meliputi: profil organisasi, kepemimpinan, rencana strategis, fokus pada pelanggan, pengukuran,

analisa dan manajemen pengetahuan, fokus pada sumber daya manusia, fokus pada proses dan hasil-hasil. Metode

penelitian yang dipergunakan adalah eksplanatori sekuensial, yaitu suatu metode campuran antara penelitian

kuantitatif yang diperkuat oleh penelitian kualitatif. Pengumpulan data kuantitatif dengan cara pengamatan,

penghitungan dan pencatatan waktu tunggu pasien. Data-data kualitatif diperoleh melalui proses wawancara

mendalam secara terstruktur dan melakukan telaah dokumen yang terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

nilai rata-rata lama waktu tunggu rawat jalan sebesar 66,58 menit per pasien yang berarti melebihi standard waktu

pelayanan minimal yaitu ≤ 60 menit sebagaimana yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia. Hasil analisa terhdap faktor-faktor yang terkait dengan lama waktu tunggu rawat jalan menunjukkan

bahwa ketujuh kriteria Malcolm Baldrige tersebut sangat berhubungan dengan nilai rata-rata lama waktu tunggu

rawat jalan tersebut di atas.

Kata kunci: kriteria Malcolm Baldrige, unit rawat jalan, waktu tunggu rawat jalan.

ABSTRACT

Long waiting time of service in the Outpatient Unit describes the performance and quality of hospital’s service

against its customers. The purpose of this research is to know the average length of outpatient waiting time as well

as the factors associated with it, are reviewed through the approach of Malcolm Baldrige in health which includes:

organization profile; leadership; strategic plan; focus on customers; measurement, analysis and management of

knowledge; focusing on human resources; focus on process and outcomes. The research method used was the

sequential explanatory, a mix methods between quantitative research that reinforced by qualitative research.

Quantitative data collection by way of observation, calculation and recording patient waiting time. Qualitative

data obtained through in-depth interviews are structured and do study related documents. The results showed that

the average value of long outpatient waiting time is 66.58 minutes per patient means exceeding the standard

minimum of service time, ≤ 60 minutes as defined by the Health Ministry of the Republic of Indonesia. The analysis

results of the factors related to long waiting time outpatient showed that seven criteria of Malcolm Baldrige is so

related to the average value of the long outpatient waiting time.

Keywords: Malcolm Baldrige Criteria, outpatient waiting time, outpatient units.

Page 69: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 64

PENDAHULUAN

Salah satu kriteria yang paling dianggap tepat dan

diinginkan oleh pasien dalam suatu organisasi pelayanan

kesehatan adalah pengobatan yang cepat dan tepat.

Pelayanan pengobatan yang dianjurkan di suatu rumah

sakit yaitu meminimalkan waktu pasien untuk mendapatkan

pelayanan pengobatan yang menyenangkan (Dansky &

Miles, 1997). Selain itu, pengelolaan alur pasien secara

efektif di unit rawat jalan adalah kunci untuk mencapai

keunggulan operasional dan kepastian kualitas klinis.

Hal ini suatu keutamaan di unit rawat jalan rumah sakit

yang besar dalam menangani banyaknya pasien dengan

pelbagai macam kasus (Mardiah & Basri, 2013 dalam

Mohebbifar et all, 2013).

Mohebbifar et all, 2013 juga menginformasikan suatu

penelitian yang dilakukan oleh dua rumah sakit

pendidikan yang berafiliasi ke Universitas Ghazvin di

Iran, yang bertujuan untuk mensurvei waktu tunggu

pasien rawat jalan sebanyak 160 orang di empat klinik

yaitu: klinik dermatologis (spesialis kulit), opthamologis

(spesialis mata), orthopedis (spesialis bedah tulang) dan

urologis (spesialis bedah saluran kemih).

Dari tabel 1 didapatkan data bahwa nilai rata-rata waktu

tunggu total terlama yaitu di klinik opthamologis sebesar

245 ± 29,8 menit untuk setiap pasien. Diikuti oleh klinik

dermatologis denga nilai rata-rata waktu tunggu total

sebesar 216 ± 32 menit untuk setiap pasien. Kemudian

di klinik urologis dengan nilai rata-rata waktu tunggu

total sebesar 81 ± 41.6 menit. Dan nilai rata-rata waktu

tunggu total tercepat terjadi di klinik orthopedis yaitu 77

± 43.4 menit untuk setiap pasien.

Pelayanan yang berkualitas terbaik dalam organisasi

pelayanan kesehatan adalah hak setiap orang. Waktu

menunggu dapat mengakibatkan perburukan kondisi

pasien yang membutuhkan konsultasi dokter. Salah satu

cara paling penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan

adalah dengan mengurangi lamanya waktu tunggu

(Matthews et al, 1991, dalam Mohebbifar, et al, 2013).

Seperti dinyatakan juga oleh Sinaga, 2006 dalam

Yamani, 2013 bahwa waktu tunggu yang lama harus

menjadi perhatian yang prioritas, oleh karena dapat

mengakibatkan perburukan penyakit pada pasien, keluarga

yang menunggu di rumah menjadi cemas, inefisiensi

waktu pelayanan dan hilangnya jam kerja yang

seharusnya masih dapat dipergunakan oleh pasien atau

keluarganya.

Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam adalah salah satu

rumah sakit swasta tipe C, milik Yayasan Fransiskanes

Santa Elisabeth, yang berada di Provinsi Kepulauan

Riau. Rumah Sakit ini telah terakreditasi versi 2012 dan

memberikan pelayanan terhadap para pelanggannya

yang terdiri dari pasien umum, pasien dari beberapa

perusahaan rekanan dan klien asuransi. Rumah Sakit

Santa Elisabeth Batam juga merupakan rumah sakit

fasilitas kesehatan tingkat lanjut yang melayani para

klien BPJS Kesehatan sejak tahun 2015 dan BPJS

Ketenagakerjaan sejak tahun 2016.

Di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Santa Elisabeth

Batam diterapkan alur pelayanan pasien rawat jalan.

Sebagai contoh: pasien umum (bukan pasien dari

perusahaan, asuansi ataupun BPJS) yang berkunjung,

mengambil nomor antrian di bagian pendaftaran.

Kemudian pasien dipanggil sesuai dengan nomor

antrian untuk didaftarkan oleh Staf Unit Pendaftaran.

Selanjutnya pasien diarahkan oleh staf pendaftaran ke

Unit Kasir untuk melakukan pembayaran biaya

pelayanan. Dari Unit Kasir pasien kembali ke bagian

pendaftaran untuk mengembalikan lembar tanda bukti

pembayaran. Setelah itu pasien menunggu di Poliklinik.

Bila ada resep dari dokter, lalu mengambil obat di Unit

Farmasi. Dari Unit Farmasi pasien kembali ke Unit

Kasir untuk melakukan pembayaran obat yang akan

dibeli. Dan pasien kembali lagi ke Unit Farmasi untuk

menerima obat yang telah diresepkan dokter baginya.

Setelah itu pasien pulang (SK Direktur RS Santa

Elisabeth Batam No. 298/DIR/BTM/SK/V/2016).

Berdasarkan hasil penelitian awal terhadap para pasien

dalam proses mendapatkan pelayanan di Unit Rawat

Jalan Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam, diperoleh

data-data lama waktu tunggu pasien atau waktu tunggu

rawat jalan dapat dilihat pada tabel 2.

Tampak bahwa waktu tunggu rawat jalan di klinik

dokter spesialis anak: 23 menit. Di klinik dokter

spesialis obsgyn 42 menit dan 158 menit. Sedangkan di

klinik internist (dokter spesialis penyakit dalam) 41

menit. Dan di klinik dokter spesialis mata tercatat

selama 113 menit. Waktu Tunggu Rawat Jalan terlama

Page 70: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 65

dialami oleh pasien dokter obsgyn, yaitu 158 menit.

Waktu Tunggu Rawat Jalan tercepat dialami oleh

pasien dokter spesialis anak, yaitu 23 menit.

Peraturan Dirjen Bina Upaya Kesehatan Tahun 2014

tentang Pedoman Teknis Penilaian Kinerja Individu

Direktur Utama Rumah Sakit dan Kepala Balai

menetapkan bahwa Waktu Tunggu Rawat Jalan

(WTRJ) adalah rata-rata waktu yang diperlukan mulai

dari pasien yang sudah terdaftar tiba di poliklinik

sampai dilayani dokter, yaitu ≤ 60 menit.

Salah satu tujuan penelitin ini untuk mengetahui rata-

rata Waktu Tunggu Rawat Jalan (WTRJ) yang dialami

oleh pasien yang berkunjung ke Unit Rawat Jalan

Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam, terhitung sejak

pasien telah terdaftar hingga pasien tersebut mulai

dilayani oleh dokter di ruangan klinik.

Hasil penelitian awal yang dilakukan pada 18 – 19

Oktober 2016 menunjukkan bahwa WTRJ ada yang

melebihi standard yang ditetapkan oleh Peraturan

Dirjen Bina Upaya Kesehatan Tahun 2014 tersebut di

atas (≤ 60 menit), yaitu pasien di klinik dokter spesiais

mata yang tercatat 113 menit dan pasien di klinik dokter

spesialis obsgyn yang tercatat 158 menit. Hal ini

mengindikasikan munculnya permasalahan yang

berhubungan dengan lama waktu tunggu pasien di

Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.

Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence

(MBCfPE) yang disebut juga dengan Baldrige

Excellence Framework merupakan perangkat untuk

mengukur keunggulan kinerja suatu organisasi. Baldrige

Excellence Framework (Health Care) atau Health Care

Criteria for Performance Excellence, kerangka kerja

pengukuran keunggulan kinerja dalam bidang kesehatan

yang meliputi Profil Organisasi dan 7 Kriteria:

Kepemimpinan; Strategi; Pelanggan; Pengukuran,

Analisa dan Manajemen Pengetahuan, SDM/ Tenaga

Kerja, Operasional dan Hasil-hasil {(2015-2016 Baldrige

Excellence Framework (Health Care)} dipergunakan

sebagai pendekatan sistem dalam upaya mengatasi

masalah lama waktu tunggu pasien di Unit Rawat Jalan

Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.

Profil Organisasi dan ketujuh Kriteria Baldrige tersebut

juga dapat dijabarkan menjadi Kepemimpinan; Perencanaan

Strategis; Fokus pada Pelanggan; Pengukuran, Analisa

dan Manajemen Pengetahuan atau Sistem Informasi

Manajemen Rumah Sakit (SIMRS); Fokus pada

SDM atau Tenaga Kerja; Fokus pada Operasional dan

Hasi-hasil.

Kenapa Peneliti memilih dan menetapkaan Health

Care Criteria for Performance Excellence atau Kriteria

Baldrige sebagai pendekatan sistem dalam mengatasi

maslah yang tersebut di atas? Peneliti merujuk pada

Sadikin, 2009, yang mengemukakan bahwa setidaknya

ada lima alasan untuk memilih dan menetapkan

Kriteria Baldrige sebagai framework (kerangka kerja)

yang terkait sistem manajemen kinerja, yaitu:

1. Kriteria Baldrige untuk memperbaiki keunggulan

kinerja suatu organisasi, dengan mendorong organisasi

tersebut dalam mengembangkan pendekatan yang

kreatif dan fleksibel sesuai kebutuhannya, selain itu

untuk menunjukkan hubungan sebab-akibat antara

pendekatan dengan hasilnya.

2. Kriteria Baldrige bersifat inklusif yang berarti

menguraikan kerangka kerja yang terintegratif dengan

menjawab seluruh faktor organisasi, operasional dan

hasilnya.

3. Kriteria Baldrige berfokus pada persyaratan yang

bersifat umum, bukan sekedar pada prosedur, tools

atau teknik.

4. Kriteria Baldrige bersifat adaptable, dapat digunakan

antara lain oleh organisasi edukasi, pelayanan

kesehatan, organisasi pemerintahan dan nirlaba

serta organisasi yang hanya memiliki satu lokasi

atau yang tersebar di seluruh dunia.

5. Kriteria Baldrige merupakan praktik manajemen

yang unggul karena selalu divalidasi. Kriteria

Baldrige secara regular diperbaiki untuk meningkatkan

lingkup kinerja yang didorong strategi, menjawab

kebutuhan seluruh pemangku kepentingan serta

mengakomodir kebutuhan dan praktik organisasi

yang penting.

Dari latar belakang di atas disebutkan bahwa lama

waktu tunggu pasien atau lama waktu tunggu rawat

jalan pada keempat klinik dokter spesialis yang

meliputi: klinik dokter spesialis obsgyn, klinik internist

(dokter spesialis penyakit dalam), klinik dokter spesialis

anak dan klinik dokter spesialis mata di Unit Rawat

Jalan Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam menunjukkan

bahwa waktu tunggu rawat jalan yang dialami pasien

telah melebihi standard yaitu > 60 menit. Hal ini

mengindikasikan adanya masalah yang berhubungan

Timbul Mei Silitonga., Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di

Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016

Page 71: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 66

dengan lama waktu tunggu pasien di Unit Rawat Jalan

Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.

Berdasarkan kenyataa di atas, Peneliti tertantang untuk

menyelidiki dan menganalisa lebih lanjut kenapa

masalah tersebut dapat terjadi? Dan bagaimana upaya

yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah

tersebut.

1. Tujuan Penelitian

2. Tujuan Umum

Mengetahui nilai rata-rata lama waktu tunggu rawat

jalan yang dialami pasien di Rumah Sakit Santa

Elisabeh Batam.

Tujuan Khusus:

1. Mengetahui faktor Profil Orgnisasi Rumah Sakit

yang berpengaruh terhadap lama waktu tunggu

rawat jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.

2. Mengetahui faktor Kepemimpinan yang berpengaruh

terhadap lama waktu tunggu rawat jalan di Rumah

Sakit Santa Elisabeth Batam.

3. Mengetahui faktor Perencanaan Strategis yang

berpengaruh terhadap lama waktu tunggu rawat

jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.

4. Mengetahui faktor Fokus pada Pelanggan yang

berpengaruh terhadap lama waktu tunggu rawat

jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.

5. Mengetahui faktor Pengukuran, Analisa dan Manajemen

Pengetahuan yang berpengaruh terhadap lama waktu

tunggu rawat jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth

Batam.

6. Mengetahui faktor Fokus pada SDM atau Tenaga

Kerja yang berpenagaruh terhadap lama waktu

tunggu rawat jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth

Batam.

7. Mengetahui faktor Fokus pada Opersional terhadap

lama waktu tunggu rawat jalan di Rumah Sakit

Santa Elisabeth Batam.

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penelitian yang berjudul “Faktor-faktor Yang

Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat

Jalan Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun

2016” ini, Malcolm Baldrige Criteria Health Care for

Excellence Performance yang disebut juga dengan

Kriteria Baldrige menjadi kerangka teori pendekatan

dalam meninjau faktor-faktor yang terkait dengan

kinerja staf di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Santa

Elisabeth Batam, yang output (hasil)nya adalah Lama

Waktu Tunggu Pasien Rawat Jalan (ditampilkan dalam

gambar 1).

Terdapat 7 Kriteria Baldrige yang meliputi:

1. Leadership (Kepemimpinan)

2. Strategiy (Perencanaan Strategis)

3. Customers (Fokus pada Pelanggan)

4. Measurement, Analysis and Knowledge Maagement

(Pengukuran, Analisa dan Manajemen Pengetahuan)

5. Workfoce (Fokus pada SDM atau Tenaga Kerja)

6. Operations (Fokus pada Operasional atau Proses)

7. Results (Hasil-hasil).

Ketujuh Kriteria Baldrige ini dibangun di atas dasar 11

Konsep Inti yang terdiri dari:

1. Kepemimpinan Visioner (Visionary Leadership)

2. Keunggulan yang digerakkan oleh pelanggan

(Customer –Driven Excellent)

3. Pembelajaran Organisasi dan Pribadi (Organizational

and Personal Learning)

4. Pemberian nilai pada karyawan dan mitra kerja

(Valuating Workforce Members and Partners

5. Ketangkasan (Agility)

6. Berfokus pada masa depan (Focuse on the Future)

7. Manajemen untuk Inovasi (Managing for Innovation)

8. Manajemen berdasarkan Fakta (Management by

Fact)

9. Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)

10. Berfokus pada Hasil-hasil dan penciptaan Nilai

(Focus on Results and Creating Values)

11. Sistem Perspektif (Perspective System)

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode Eksplanatori

sekuensial yang merupakan campuran antara data

penelitian kualitatif yang dipakai untuk membantu

dalam menjelaskan secara detail tentang data penelitian

kuantitatif yang dilakukan di tahap awal (Creswell,

2014).

Proses penelitian ini diawali oleh suatu penelitian

kuantitatif yaitu dengan melakukan pengamatan, pengukuran

dan pencatatan berapa lama waktu tunggu yang dialami

setiap pasien mulai dari saat pendaftaran sampai pasien

mendapatkan pelayanan dokter di Unit Rawat Jalan

Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam. Setelah itu

dilanjutkan dengan penelitian kualitatif berupa kegiatan

Page 72: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 67

wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap

beberapa informan atau narasumber terpilih serta menelaah

dokumen terkait untuk memperkuat hasil-hasil penelitian

kuantitatif.

Penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional

(potongan lintang), yang bertujuan mengamati hubungan

antara variabel-variabel penelitian pada waktu yang

bersamaan (Wibowo, 2014). Dalam penelitian ini variabel-

variabel independennya adalah: suatu profil organisasi;

kepemimpinan, perencanaan strategis; fokus pada pelanggan;

pengukuran, analisa dan manajemen pengetahuan; fokus

pada SDM/ Staf dan operasional. Variabel dependennya

adalah Waktu Tunggu Rawat Jalan (WTRJ).

Populasi penelitian ialah para pasien yang berkunjung ke

poliklinik Dokter Umum, Spesialis Anak, Spesialis

Obsgyn, Spesialis Penyakit Dalam, Spesialis Bedah,

Spesialis Kulit & Kelamin dan Spesialis Mata di Unit

Rawat Jalan Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.

Dalam pemilihan dan penetapan sampel, Peneliti

menerapkan teknik Non Probability Purposive Sampling

yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan

tertentu (Sugiyono, 2015).

Perhitungan sampel menggunakan formula estimasi

proporsi populasi Lemeshow (1983) sebagai berikut:

n = Z21- α/2 P(1-P)

d2

Jika Z dengan tingkat kepercayaan 95% = 1,96. P

maksimal estimasi = 0,5. d = alpha (0,10) atau sampling

error = 10%,

maka n = (1,96)2 x 0,5 x (1-0,5)

(0,10)2

= 3,8416 x 0,25 = 96,04

0,01

Maka jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah

96,04 dengan pembulatan menjadi 96 pasien.

Informan dalam penelitian kualitatif yang ditetapkan

oleh Peneliti melalui pendekatan purposive sampling

yakni: teknik penentuan sampel sumber data atas

pertimbangan tertentu. Sampel ini lebih sesuai untuk

penelitian kualitatif (Sugiyono, 2015).

Informan yang berperan dalam penelitian ini diharapkan

dapat memberikan segala hal informatif terkait dengan

waktu tunggu pasien di Unit Rawat Jalan Rumah sakit

Santa Elisabeth Batam, berdasarkan wawasan pengetahuan

dan pengalamannya.

Instrumen atau perangkat alat ukur yang digunakan di

tahap penelitian kuantitatif ini adalah: pedoman observasi

(pengamatan) berupa lembar pengukuran dan pencatatan

waktu tunggu pasien. Di samping itu alat penunjuk

waktu yaitu: jam digital.

Instrumen yang dipergunakan pada tahap selanjutnya,

penelitian kulitatifnya yakni: pedoman wawancara

terstruktur dan mendalam (in-depth interview), dilengkapi

dengan alat perekam (hand phone) untuk merekam hasil

wawancara dan buku catatan bagi peneliti selama proses

wawancara berlangsung.

Teknik pengumpulan data yang dirancang dalam

penelitian ini melalui kegiatan yang terfokus pada

observasi, wawancara mendalam dan telaah dokumen.

Pengolahan dan Analisis Data

Seluruh data penelitian dari kegiatan observasi,

wawancara mendalam dan telaah dokumen diolah dan

dianalisis secara statistic.

Tahapan pengolahan data sebagai berikut:

a. Editing: untuk melihat hasil pengumpulan data yang

telah lengkap, mengandung keabsahan atau valid.

Konsisten dari setiap jawaban yang diberikan responden

pada kuesioner.

b. Coding untuk mengklasifikasikan data dn pemberian

kode pada setiap jawaban kuesioner.

c. Entry: tahapan yang dilakukan setelah proses editing

dan coding. Sebelum entry data terlebih dahulu akan

diperiksa ulang.

d. Data cleaning: tahapan untuk membersihkan semua

data dari potensi kesalahan yang mungkin terjadi

pada saat entry data. Data cleaning berfungsi untuk

melihat distribusi frekuensi guna menemukan hal-

hal yang tidak wajar pada data tersedia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil observasi (pengamatan), penghitungan dan

pencatatan diperoleh nilai rata-rata Waktu Tunggu

Rawat Jalan yang dialami seluruh sampel pasien pada

penelitian ini adalah 66,58 menit, yang melebihi

standard yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan

Menteri Kesehatan No.129/Menkes/SK/II/2008 tentang

Standar Pelayanan Minimal Rawat Jalan di Rumah

Timbul Mei Silitonga., Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di

Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016

Page 73: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 68

Sakit yaitu ≤ 60 menit. Data distribusi rata-rata waktu

tunggu pasien di Poliklinik Dokter ditampilkan dalam

tabel 3.

Hasil pengolahan data secara statistik tentang Waktu

Tunggu Rawat Jalan pasien di Poliklinik Dokter Rumah

Sakit Santa Elisabeth Batam. Tabel 4 menunjukkan

bahwa mean (rata-rata) waktu tunggu pasien di Unit

Rawat Jalan Rumah Santa Elisabeth Batam adalah 66,

58 menit. Nilai median lama waktu tunggu rawat Jalan

adalah 53,00 menit. Lama waktu tunggu rawat jalan

minimal pasien adalah 10 menit, di Poliklinik Dokter

Spesialis Obsgyn. Dan lama waktu tunggu rawat jalan

maksimal pasien adalah 220 menit, di Poliklinik Dokter

Spesialis Kulit dan Kelamin.

Data-data mean, median, minimal, maksimal dan

standard deviasi Waktu Tunggu Rawat Jalan pasien di

Polikinik Dokter (ditampilkan dalam grafik 1).

Variabel-variabel independen yang meliputi profil

organisasi rumah sakit; kepemimpinan; rencana strategis;

fokus pada pelanggan; pengukuran, analisa dan

manajemen pengetahuan; fokus pada SDM dan fokus

pada proses atau operasional telah ditelususri melalui

proses wawancara mendalam terhadap semua informan,

serta dengan melakukan kegiatan telaah dokumen-

dokumen yang terkait.

Hal itu merupakan bagian proses penelitian kualitatif

yang dipergunakan untuk memperkuat data-data hasil

penelitian kuantitatif untuk mengetahui nilai rata-rata

lama Waktu Tunggu Rawat Jalan (WTRJ) di Rumah

Sakit Santa Elisabeth Batam. Sebagaimana diketahui

bahwa Waktu Tunggu Rawat Jalan (WTRJ) ini

menjadi variabel dependen dalam penelitian ini.

Peneliti mengkaji permasalahan lamanya waktu tunggu

pasien yang melebihi standard ( ≤ 60 menit ) di Unit

Rawat Jalan Rumah Sakit Elisabeth Batam periode

November – Desember tahun 2016 melalui pendekatan

Malcolm Baldrige Criteria for Health Care Performance

Excellence ( Kriteria Malcolm Baldrige untuk menilai

keunggulan kinerja dalam bidang pelayanan kesehatan

), 2015-2016 Health Care Criteria for Performance

Excellence, yang biasa disebut dengan Kriteria Baldrige.

1. Profil Organisasi

Kriteria ini merupakan gambaran singkat rumah

sakit, pengaruh-pengaruh kunci adalah bagaimana

penyelenggaraannya dan lingkungan persaingannya.

Dan antara lain juga tentang produk utama

pelayanan kesehatan yang ditawarkan, hubungan

kepentingannya dengan kesuksesan dan mekanisme

pelayanan kesehatan yang diberikan (2015-2016

Health Care Criteria for Performance Excellence).

Dari hasil wawancara mendalam terhadap informan

luar, beberapa pelanggan baik itu pasien atau orang

tua pasien, mereka mengungkapkan kesan awal

tentang profil Rumah Sakirt Santa Elisabeth Batam

adalah Rumah Sakit dengan reputasi yang baik.

Berkomitmen dan berupaya memberikan pelayanan

yang aman, nyaman, ramah dan memuaskan para

pelanggannya.

2. Kepemimpinan

Yang dimaksud kriteria kepemimpinan adalah bagaimana

perilaku para pemimpin senior mengarahkan dan

mempertahankan organisasi rumah sakit. Dan juga

sistem tata kelola rumah sakit dan bagaimana rumah

sakit memenuhi tanggung jawab sosial, etika dan

hukum. Dan bagaimana para pemimpin senior

dengan dan melibatkan seluruh tenaga kerja dan

pelanggan kunci (2015-2016 Health Care Criteria

for Performance Excellence). Dari kegiatan telaah

dokumen dapat diperlihatkan Standard Prosedur

Operasional dari Unit-unit Pendaftaran, Kasir, Rekam

Medis dan Poliklinik yang menjadi bagian Unit

Rawat Jalan. Disamping itu juga Kebijakan

Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien/PMKP

serta Pedoman dan Program PMKP yang di

dalamnya terdapat indikator mutu WTRJ.

3. Rencana Strategis

Kriteria rencana strategis turut membahas tentang

pengembangan rencana tindakan dan tujuan staregis,

demikian pula implementasi dan perubahannya jika

diperlukan, dan pengukuran kemajuan (2015-2016

Health Care Criteria for Performance excellence).

Page 74: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 69

Dari hasil wawancara mendalam dengan Direktur

bagaimana rencana strategis yang dicanangkan

untuk menngatasi permasalahan lama waktu tunggu

pasien rawat jalan yang melebihi standard waktu

pelayanan minimal antara lain sebagai berikut:

1. Menambah pelayanan dokter yang terlalu ramai

untuk memindahkan jam pelayanannya.

2. Menambah tenaga di Unit Rekam Medis agar

proses penngambilan dokumen rekam medis

pasien bisa dipercepat.

3. Memperbanyak jam pelayanan dokter, tidak

hanya pada pagi dan sore, tetapi juga siang hari.

4. Fokus Pada Pelanggan

Kriteria fokus pada pelanggan membahas tentang

bagaimana menguji rumah sakit dalam melibatkan

para pasien dan pelanggan lain untuk kesuksesan

pasar jangka panjang, termasuk bagaimana rumah

sakit mendengarkan suara para pelanggan, membangun

hubungan dengan para pasien dan pelanggan lain,

dan menggunakan informasi dari mereka untuk

meningkatkan dan mengidentifikasikan peluang

inovatif ( 2015-2016 Health Care Criteria for

Prformance Excellece ).

Dari hasil wawancara menddalam terhadap mereka

sebagai informan luar ada beberapa catatan yang

terkait topik lama waktu tunggu pasien, sebagaimana

yang mereka harapkan. Pendapat mereka bervariasi.

Ada informan yang mengharapkan bahwa waktu

tunggu pasien yaitu antara 10 – 15 menit. Ada juga

yang mengharapkan waktu tunggu pasien 15 – 20

menit.

5. Pengukuran, Analisa & Manajemen Pengetahuan

Kriteria pengukuran, analisa dan juga manajemen

pengetahuan mengkaji bagaimana rumah sakit

memilih, mengumpulkan, menganalisis, mengelola,

dan memperbaiki data, informasi, dan modal

pengetahuan; bagaimana memepelajari; dan bagaimana

mengelola teknologi informasi. Kriteria ini juga

membahas bagaimana organisasi menggunakan

peninjauan temuan-temuan untuk meningkatkan

kinerjanya (2015-2016 Health Care Criteria for

Performance Excellence).

Dari hasil wawancara dengan informan, bahwa

dengan adanya Sistem Informasi Rumah Sakit

berbasis web ini sangat bermanfaat dan membantu

dalam melancarkan setiap proses yang bertujuan

memberikan pelayanan yang prima terhadap para

pasien maupun pelanggan lainnya.

6. Fokus pada SDM atau Staf

Kriteria Malcolm Baldrige fokus pada SDM atau

tenaga kerja mengkaji bagaimana organisasi rumah

sakit dalam menilai kemampuan dan kapasitas

(daya tampung) dan membangun lingkungan kerja

mereka yang kondusif untuk suatu kinerja yang

tinggi. Bagaimana orgnisasi rumah sakit merekrut,

mempekerjakan, dan mempertahankan keanggotaan

para tenaga kerja yang baru (2015-2016 Health Care

Criteria for Performance Excellence).

Permasalahan kekurangan jumlah tenaga kerja atau

staf di Unit Rekam Medis skala prioritas yang diikuti

oleh Unit Kasir. Dari hasi pengamatan di Unit

Rekam Medis tercatat hanya ada empat orang saja.

Dengan formasi ketenagaan satu orang berlatar

belakang pendidikan D III Rekam Medis/ Perekam

Kesehatan dan tiga orang lainnya berpendidikan

sederajat dengan SMA/SMK.

7. Fokus pada Proses atau Operasional

Kriteria fokus pada proses membahas bagaimana

rumah sakit harus merancang, meningkatkan, dan

menginovasikan pelayanan kesehatan dan proses

kerjanya. Disamping itu juga meningkatkan efektifitas

operasional untuk memberikan nilai bagi para pasien

dan pelanggan lainnya, serta untuk mencapai

keberhasilan rumah sakit yang sedang berjalan

(2015-2016 Health Care Criteria for Performance

Excellence).

Proses alur pelayanan di Unit Rawat Jalan yang

dialami oleh pasien atau pelanggan terlalu lama.

Setelah pasien itu terdaftar, ia harus ke unit kasir. Di

unit kasir pun ia mengantri. Dari unit kasir kembali

lagi ke unit pendaftaran. Lalu pasien menunggu

antrian di poliklinik untuk dilayani oleh dokter.

Timbul Mei Silitonga., Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di

Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016

Page 75: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 70

Peneliti menemukan adanya masalah yang dihadapi

oleh pasien khususnya ketika harus melalui proses

pendaftaran sampai ia bertemu dan mulai dilayani

oleh dokter di klinik Unit Rawat Jalan Rumah Sakit

Santa Elisabeth Batam.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan data-data hasil peneltian dan pembahasannya,

maka peneliti menyimpulkan beberapa hal di bawah ini:

1. Nilai rata-rata waktu tunggu pasien keseluruhan di

Unit Rawat Jalan yang diperoleh adalah sebesar

66,58 menit per pasien. Ini menunjukkan masih

melebihi standard waktu pelayanan minimal rawat

jalan yaitu ≤ 60 menit.

2. Faktor-faktor yang sangat berkaitan dengan nilai

rata-rata waktu tunggu rawat jalan dari hasil

penelitian, ditinjau dari pendekatan Kriteria Malcolm

Baldrige yakni :

Faktor Profil Organisasi, Rumah Sakit Santa

Elisabeth Batam menghadirkan Unit Rawat

Jalan sebagai salah satu produk unggulan

pelayanan kesehatan yang berpedoman pada

visi, misi, niali-nilai, tujuan dan mottonya bagi

lapisan masyarakat kota Batam khususnya dan

Provonsi Kepulauan Riau pada umumnya,

namun masih diperhadapkan masalah dalam hal

WTRJ melebihi standard yang berdampak

ketidak puasan dan ketidak nyaman pelanggannya.

Kepemimpinan, dalam hal ini Direksi belum

memprioritaskan tentang WTRJ yang sangat

berkaitan erat dengan kegiatan pelayanan

terhadap pasien di Unit Rawat Jalan meskipun

sudah ada Peraturan Direktur Rumah Sakit

Santa Elisabeth Batam tentang Kebijakan

Peningkatan Mutu Dan Keselamatan Pasien

(PMKP) serta Pedoman dan Program PMKP

yang di dalamnya terdapat indikator mutu

WTRJ.

Faktor Rencana Strategis, pada bagian pernyataan

strategi melengkapi dan menyempurnakan

perencanaan Standard Operating Procedure

dari seluruh unit pelayanan untuk menunjang

kelancaran manajemen rumah sakit yang akan

berdampak terhadap peningkatan kecepatan dan

ketepatan pelayanan secara administratif, masih

belum diperlengkapi dengan lampiran kebijakan

Direktur tentang WTRJ beserta Standard

Prosedur Operasional atau SPO nya.

Faktor Fokus pada Pelanggan, tidak semua

pelanggan Unit Rawat Jalan mengalami suatu

kepuasan dan rasa nyaman.

Faktor Pengukuran, Analisa dan Manajemen

Pengethuan yang diimplementasikan dalam

bentuk penyelenggaraan Sistem Informasi

Manajemen Rumah Sakit berbasis web tak

terluput dari gangguan pada sistem jaringan

internet khususnya. Situasi ini memicu keterlambatan

dalam mengakses pelayanan yang terkait

dengan verifikasi atau pengklaiman ke pihak

klien asuransi rekanan Rumah Sakit santa

Elisabeth Batam.

Faktor Sumber Daya Manusia atau Staf Pelayan

di Unit-unit yang terkait dengan Unit Rawat

Jalan yang meliputi pendaftaran, kasir, rekam

medis dan poliklinik. Jumlah staf di unit rekam

medis dan kasir yang masih kurang mengakibatkan

beban kerja mereka bertambah dan kinerja yang

tidak maksimal. Dampaknya adalah terjadi lama

waktu tunggu pasien rawat jalan yang melebihi

standard.

Faktor Operasional, yang mengkaji tentang

kebijakan Direksi tentang Alur Pelayanan Pasien

Rawat Jalan serta penerapannya di Unit Rawat

Jalan Rumah Sakit Santa Elisabeth. Alur

pelayanan pasien rawat jalan ini kenyataannya

tidak efisien dan efektif bagi para pasien yang

berobat. Proses yang harus dijalani para pasien

terlalu panjang.

Dengan munculnya permasalahan lamanya rata-

rata Waktu Tunggu Rawat Jalan yang melebihi

nilai standar (≤ 60 menit) sangat berpengaruh

terhadap faktor Fokus pada Pelanggan dalam hal

kenyamanan dan kepuasan para pelanggan

Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.

Saran

1. Untuk mengantisipatif munculnya permasalahan

lama WTRJ yang semakin rumit di Unit Rawat

Jalan, sebaiknya Direktur segera mensosialisasikan

kebijakan Pedoman Peningkatan Mutu dan

Keselamatan Pasien (PMKP) yang di dalamnya

terkandung indikator Waktu Tunggu Rawat Jalan

(WTRJ) yang telah ada bagi seluruh staf pelaksana

Page 76: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 71

di Unit Rawat Jalan dan semua dokter yang

melayani di Poliklinik.

2. Kebijakan tentang “Alur Pelayanan Rawat Jalan”

sebaiknya ditinjau kembali dan selanjutnya dilakukan

perubahan ke arah yang lebih efisien dan efektif

terhadap para pelanggan pasien khususnya, sehingga

tidak membingungkan bahkan membuat ketidak

nyaman bagi para pelanggan pasien dalam

menjalani proses mulai dari pendaftaran sampai

mereka bertemu dengan dokter di ruangan untuk

mendapatkan pelayanan medis.

Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan yaitu

memberikan kemudahan sekaligus keistimewaan

bagi para pelanggan pasien dengan tidak perlu

membayar biaya administrasi pendaftaran dan

konsultasi dokter di awal pelayanan. Yang terpenting

bagaimana memberikan pelayanan medis terlebih

dahulu, dan hal ini mempunyai nilai tambah dalam

hal citra pelayanan rumah sakit. Prosedur yang dapat

diterapkan untuk opsi ini adalah setelah pasien

dilayani oleh dokter, kemudian perawat sigap dan

cepat mendampingi pasien ke unit kasir untuk

melakukan transaksi pembayaran biaya pengobatannya.

Selain itu, dalam hal merancang Bagan Alur

Pelayanan Rawat Jalan mengacu pada ketentuan

internasional (Point Flowchart). Pada Bagan Alur

Pelayanan Rawat Jalan yang ada saat ini, sebaiknya

istilah kata farmasi diubah dengan pernyataan

pengambilan obat. Istilah kata kasir diganti dengan

kata pembayaran dan kata out dengan kata pulang.

Tujuannya agar pasien lebih mudah mengerti

dengan penggunaan Bahasa Indonesia ini.

3. Manajemen Direksi mendelegasikan Kepala Seksi

SDM agar secara konsisten mengoptimalkan

keberadaan tenaga kerja atau staf pelaksana di Unit

Rawat Jalan dengan memperhatikan aspek standarisasi,

jumlah dan kompetensi sesuai kebutuhan dan

Uraian Tugas dan Wewenang (UTW) mereka.

4. Penambahan tenaga kerja atau staf pelaksana di Unit

Rekam Medis dan Unit Kasir dapat dipertimbangkan

oleh Manajemen Direksi bersama Kepala Seksi

SDM, sesuai kebutuhan dengan mengacu pada

standar ketersediaan sumber daya manusia di

Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Kementerian

Kesahatan Republik Indonesia. Selain itu juga

berdasarkan Index Staffing Need (ISN).

5. Manajemen Direksi melalui Bagian Pendidikan dan

Pelatihan membuat program pelatihan tentang

Manajemen Pendaftaran Pasien serta melaksanakannya

secara intensif secara khusus bagi Staf Pekerja di

Unit Informasi atau Pendaftaran.

6. Manajemen Direksi mengingatkan dan memotivasi

seluruh dokter di Rumah Sakit agar memulai

pelayanan di Unit Rawat Jalan dengan tepat waktu.

Jika diperlukan menerapkan “punishment and

reward concept”.

7. Membuka shift pelayanan bagi para dokter spesialis

khususnya yang berpraktek di Poliklinik pada siang

sampai sore hari, pukul 14.00 – 17.00 wib untuk

menghindari padatnya kunjungan pasien di shift

pagi atau malam hari. Dalam hal ini perlu

dipertimbangkan remunerasi bagi para dokter yang

bersedia melaksanakannya.

8. Untuk meningkatkan daya saing terhadap rumah

sakit yang sudah lebih modern di kawasan kota

Batam ini khususnya, dengan telah diterapkan

Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit, maka

Manajemen Direksi sudah seharusnya malakukan

dan mempertimbangkan dan mewujudkan sistem

pelayanan pendaftaran pasien Unit Rawat Jalan

bersifat on line 24 jam. Beberapa opsi yang dapat

diwacanakan adalah:

Sistem pendaftaran on line 24 jam melalui jalur

komunikasi telepon, SMS dan Whatsapp.

Sistem pendaftaran on line 24 jam melalui jalur

media sosial, misalnya dengan membuka akun

facebook Rumah Sakit Santa Elisabeth Kota

Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

Pada situs Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam

yang telah ada, sebaiknya ditambahkan aplikasi

sistem pendaftaran pasien Unit Rawat Jalan on

line 24 jam.

DAFTAR PUSTAKA

2015-2016 Malcolm Baldrige Health Care of Excellence Framework

http://www.nist.gov/baldrige.

Creswell, John W, 2016. Research Design, Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan

Campuran, Edisi 4, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik N0. 129 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal.

Timbul Mei Silitonga., Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di

Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016

Page 77: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 72

Lemeshow, Stanley et All, Lwanga, Stephen K. Adequacy of Sample Size in Health Studies.

University Massachusetts and World Health Organization. Moehebbifar et All, 2013. Outpatient Waiting Time in Health Services and Teaching Hospitals:

A Case Study in Iran dalam 30279-107330-2-PB%20.pdf diunduh 7 Februari 2017.

Peraturan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Penilaian Kinerja Individu Direktur Utama Rumah Sakit & Kepala Balai.

Rumah Santa Elisabeth Batam, SK Direktur No. 298/Dir/BTM/SK/V/2016 tentang Alur

Pasien Rawat Jalan Umum.

Sadikin, Iskandar, 2009-2010, Edisi VI. Bunga Rampai Kriteria Malcolm Baldrige National

Quality Award (MBNQA). Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Cetakan ke 22. Bandung.

Penerbit Alfabeta.

Wibowo, Adik, 2014. Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan, Edisi 1, Cetakan 2. Jakarta: Rajawali Pers.

Yamani, Cholid, 2013. Analisis Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan Di Klinik Dr. Katili

Bogor Tahun 2012. Tesis. Program Paska Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit FKM Universitas Indonesia. Depok.

Page 78: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 73

Tabel 1. Rata-Rata Waktu Tunggu dan Kunjungan Setiap Pasien

Durasi waktu klinik

(menit)

Total Waktu Tunggu Waktu Kunjungan

Mean ± SD Mean ± SD

Klinik Dermatologis 216 ± 32 4 ± 0.8

Klinik Ophamologis 245 ± 29.8 6 ± 1

Klinik Urologis 81 ± 41.6 4 ± 0.7

Klinik Orthopedis 77 ± 43.4 6 ± 0.8

Sumber: Mohebbifar et all, 2013

Tabel 2. Lama Waktu Tunggu Pelayanan Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Santa

Elisabeth Batam, 18-19 Oktober 2016.

No. No. RM

Pasien

Waktu Pasien

terdaftar

(Wib)

Waktu Pasien

membayar di

Kasir

(Wib)

Waktu

Penyiapan RM

Pasien (Wib)

Waktu Pasien

Mulai Dilayani

Dokter (Wib)

WTRJ =

TC-RT

(Menit)

Poliklinik

Dokter

1. 07-76-85 09.32 09.33 09.49 10.15 42 Sp. Obsgyn

2. 19-88-49 09.59 09.59 10.09 10.40 41 Internist

3. 21-07-39 10.07 10.09 10. 11 12.00 113 Sp. Mata

4. 20-57-71 08.17 08.18 08.44 10.55 158 Sp. Obsgyn

5. 20-82-06 09.57 10.03 10.05 10.20 23 Sp. Anak

Sumber: Unit Informasi & Pendaftaran RS Santa Elisabeth Batam

Keterangan: AWT = Actual Waiting Time; TC = Time Called (Waktu Pasien Mulai Dilayani Dokter). RT =

Registration Time (Waktu Pasien Terdaftar)

Gambar 1. 2015-2016 Baldrige Excellence Framework (Health Care)

Timbul Mei Silitonga., Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di

Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016

Page 79: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 74

Tabel 3. Data Distribusi Rata-Rata Waktu Tunggu Pasien di Poliklinik Dokter

Tabel 4. Data Mean, Median, Min-Max, Std Deviasi WTRJ di Poliklinik Dokter

No. Waktu Tunggu Rawat Jalan

(WTRJ) Pasien

Lama Waktu

( Menit ) Poliklinik Dokter

1. Mean ± Std. Error 66.58 ± 3.885

2. Median 53.00

3. Minimal 10 Spesialis Obsgyn

4. Maksimal 220 Spesialis Kulit & Kelamin

5. Standard Deviasi 45.472

Grafik 1. Data Waktu Tunggu Rawat Jalan Pasien di Poliklinik Dokter

Spesialis

Obsgyn

Spesialis

Kulit &

Kelamin

Mean Median Minimal MaksimalStandard

Deviasi

Lama Waktu (Menit) 66,58 53 10 220 45,472

0

50

100

150

200

250

Grafik Waktu Tunggu Rawat Jalan

No. Poliklinik Jumlah Pasien Waktu Tunggu Pasien

( Menit )

Rata-rata Waktu

Tunggu

( Menit )

1 Dokter Spesialis Anak 52 982 18,90

2 Dokter Spesialis Peny. Dalam 30 1.358 45,30

3 Dokter Spesialis Obsgyn 31 878 28,30

4 Dokter Spesialis Bedah 5 150 30,00

5 Dokter Spesialis Kulit & Kelamin 8 175 21,90

6 Dokter Spesialis Mata 1 169 169,00

7 Dokter Umum 11 236 21,50

Page 80: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 75

Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada

Tahun 2014 dengan Menggunakan Metode Analisis ABC Indeks Kritis

Analysis of Antibiotics Inventory Control at Meilia Hospital in 2014 Using ABC Critical

Index Method

Myrna Octaviany

Program Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran proses pengendalian persediaan obat antibiotik di RS Meilia pada

tahun 2014 dengan menggunakan metode analisis ABC indeks kritis. Desain penelitian ini adalah penelitian

deskriptif kuantitatif. Data yang digunakan adalah data pemakaian obat antibiotik di bulan Januari s/d Desember

2014 dan hasil pengisian kuesioner nilai kritis obat. Hasil penelitian menunjukkan kelompok A hasil analisis ABC

indeks kritis terdiri dari 10 item obat antibiotik dengan nilai investasi sebesar Rp 2.114.748.870,- (39.91%).

Kelompok B terdiri dari 45 item dengan nilai investasi sebesar Rp 2.380.506.460,- (44.92%). Kelompok C terdiri

dari 110 item dengan nilai investasi sebesar Rp. 803.183.274,- (15.17%). Analisis persediaan pada kelompok A

dilakukan dengan menghitung EOQ dan ROP. Tiga metode peramalan digunakan pada penelitian ini yaitu Single

Smoothing Exponential, Moving Average 3 periode, dan Weighted Moving Average 3 periode. Pemilihan metode

peramalan yang akan digunakan dengan mempertimbangkan tingkat akurasi data yang dihasilkan dan pengaruh

hasil peramalan pada besaran nilai investasi.

Kata kunci: metode indeks kritis ABC; EOQ; Peramalan; Kontrol inventaris; ROP.

ABSTRACT

The purpose of this research is to analyze antibiotics inventory control using ABC critical index method at Meilia

Hospital in 2014. The design of this research is a descriptive quantitative research. In this research the data is

based on the consumed antibiotics in January to December 2014 and the critical index value of antibiotics. The

result showed that the group A consisted of 10 items with a value of Rp 2.114.748.870,- (39.91%). The group B

consisted of 45 items with a value of Rp 2.380.506.460,- (44.92%). The group C consisted of 110 items with a

value of Rp 803.183.274,- (15.17%). An inventory control analysis was done by calculating EOQ and ROP of the

group A. The three methods of forecasting were used in this research, i.e Single Smoothing Exponential, 3 period

Moving Average, and 3 period Weighted Moving Average. Forecasting method that will be used is determined by

the level of accuracy and the influence of forecast result on hospital cost.

Keywords: ABC critical index method; EOQ; Forecasting; Inventory control; ROP.

PENDAHULUAN

Rumah sakit sebagai sebuah institusi pelayanan

kesehatan, menjalankan beberapa fungsi pelayanan,

diantaranya fungsi pelayanan penunjang medis

(Aditama, 2006). Pelayanan farmasi merupakan salah

satu pelayanan penunjang yang mutlak dimiliki oleh

setiap rumah sakit.

Salah satu yang menjadi poin perhatian dalam

pelayanan kefarmasian adalah jaminan ketersediaan

obat di rumah sakit. Perencanaan persediaan obat yang

baik memberikan jaminan ketersediaan obat sesuai

dengan kebutuhan.

Page 81: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 76

Salah satu fungsi manajerial yang penting di rumah

sakit adalah fungsi pengendalian persediaan (inventory

control). Persediaan berfungsi untuk mengantisipasi

kebutuhan yang muncul dalam rangkaian proses

pelayanan (Dewanty, 2012). Bowersox (2004)

menyebutkan bahwa persediaan merupakan salah satu

poin yang riskan dan membutuhkan perhatian khusus

dalam manajemen logistik. Menilik pada hal-hal yang

telah disebut sebelumnya, maka perencanaan

persediaan obat yang tidak dilakukan dengan baik,

akan menimbulkan beban bagi rumah sakit. Beban

tersebut dapat berupa terganggunya pelayanan

kesehatan karena tidak tersedianya obat sesuai dengan

kebutuhan dan nilai persediaan obat yang besar

sehingga menjadi beban keuangan rumah sakit. Dapat

disimpulkan pengelolaan obat secara benar, efisien dan

efektif adalah mutlak dibutuhkan oleh rumah sakit dan

pengelolaan yang baik berawal dari perencanaan yang

baik pula.

Rumah Sakit Meilia sebagai sebuah rumah sakit

swasta yang berkembang, saat ini belum menerapkan

sistem perencanaan kebutuhan dan pengendalian

persediaan obat. Hal – hal yang perlu mendapat

perhatian terkait persediaan obat di RS Meilia

tergambar dari hasil wawancara informal dengan

Penanggungjawab Unit Farmasi, Wadir Keuangan

dan hasil pengamatan yang dilakukan selama masa

residensi, yaitu meliputi :

1. Biaya pembelian obat di RS Meilia mencapai lebih

dari 60% total biaya pengadaan bahan baku. Total

biaya pengadaan bahan baku meliputi : obat,

reagen dan labu darah, film dan fixer developer, alat

kesehatan, gas medis, dan konsumsi (makanan)

pasien (ditampilkan dalam tabel 1).

2. Nilai persediaan antibiotik rata-rata mencapai 25%

dari nilai persediaan obat secara keseluruhan,

meskipun jumlah jenis obat antibiotik kurang dari

10% total jenis obat di RS Meilia.

3. Belum dilakukan evaluasi dan revisi terhadap

formularium yang ditetapkan pertama kali pada

tahun 2009.

4. Kebijakan terkait pemberlakuan pola peresepan

berdasarkan formularium rumah sakit belum

diimplementasikan dengan baik.

Rata-rata jumlah resep keluar per bulan berdasarkan

data bulan Juli – Desember 2014 bernilai sekitar Rp

106.486.740,-. Data yang ditampilkan hanya

mencakup resep yang diproses melalui Unit Farmasi

RS Meilia, sehingga jumlah resep keluar yang

sebenarnya dapat berjumlah lebih besar dari data di

atas. Hal ini terjadi karena belum diterapkannya

peresepan elektronik dalam sistem informasi rumah

sakit. Pasien dapat memilih untuk membeli obat

melalui Unit Farmasi RS atau membeli di apotek luar

dan rumah sakit sulit mencegah hal tersebut.

Penerapan DOS yang tidak optimal dapat sangat

mempengaruhi persediaan obat. Di RS Unit Farmasi

menambah persediaan dengan obat-obatan yang

sebelumnya tidak masuk dalam formularium hanya

berdasarkan permintaan yang diterima dari para dokter.

Metode ABC indeks kritis, Economic Order Quantity

(EOQ) dan Reorder Point (ROP) merupakan salah

satu metode yang dapat digunakan dalam

pengendalian persediaan obat. Metode ABC indeks

kritis berperan dalam menentukan kelompok prioritas

pengendalian dengan mempertimbangkan jumlah

pemakaian, besaran investasi, dan nilai kritis dari setiap

obat.

Berawal dari gambaran permasalahan yang muncul

terkait dengan persediaan obat di RS Meilia dan belum

diterapkannya metode pengendalian persediaan obat,

peneliti merasa perlu melakukan analisis pengendalian

persediaan obat di RS Meilia pada tahun 2014 dengan

menggunakan metode ABC indeks kritis yang

dilanjutkan dengan EOQ dan ROP. Diharapkan, dari

penelitian ini dapat diperoleh metode pengendalian

persediaan yang tepat untuk diterapkan di RS Meilia

yang dapat mendukung langkah efisiensi biaya di

rumah sakit dan meningkatkan kualitas pelayanan

pasien di RS Meilia.

TINJAUAN PUSTAKA

Manajemen logistik adalah sebuah proses pengelolaan

yang strategis terhadap seluruh komponen pengelolaan

logistik. Wolper (1995) dalam Sabarguna (2011)

berpendapat bahwa manajemen logistik mempunyai

peranan dalam pengendalian barang dan pelayanan

mulai dari akuisisi sampai disposisi.

Fungsi manajemen logistik dapat dijabarkan sebagai

berikut : (Aditama, 2002)

1. Fungsi perencanaan dan penetapan kebutuhan

Page 82: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 77

Dalam membuat perencanaan dan penetapan

kebutuhan farmasi, terdapat tiga metode yang dapat

digunakan, yaitu : (Febriawati, 2013)

a. Metode konsumsi

b. Metode epidemiologi

c. Metode kombinasi

2. Fungsi penganggaran

Fungsi penganggaran berperan menetapkan

batasan biaya, sehingga keseluruhan proses

pengelolaan logistik memberikan keuntungan bagi

perusahaan.

3. Fungsi pengadaan

Tujuannya adalah memenuhi kebutuhan

operasional berdasarkan perencanaan yang telah

dibuat dan disesuaikan dengan anggaran yang telah

dialokasikan.

4. Fungsi penyimpanan dan penyaluran

Fungsi ini sangat berkaitan dengan monitoring

kualitas barang, sehingga dapat meminimalkan

risiko kerusakan dan diterima oleh user dalam

kondisi baik dan siap pakai.

5. Fungsi pemeliharaan

Fungsi pemeliharaan erat hubungannya dengan

fungsi penyimpanan. Keduanya mempunyai

peranan penting dalam menjaga kualitas

barang/persediaan, sehingga meminimalkan risiko

kerusakan persediaan yang merugikan perusahaan.

6. Fungsi penghapusan

Menurut Subagya (1994) dalam Febriawati

(2013), penghapusan adalah kegiatan atau usaha

pembebasan barang dari pertanggungjawaban

sesuai peraturan yang berlaku.

7. Fungsi pengendalian

Merupakan fungsi inti dari seluruh rangkaian

pengelolaan logistik yang meliputi usaha untuk

mengawasi dan mengamankan keseluruhan

proses pengelolaan logistik.

Pengelolaan logistik di fasilitas kesehatan mempunyai

peranan yang besar dalam keseluruhan rangkaian

operasional. Berbagai survei menunjukkan bahwa

30%–50% dari anggaran rumah sakit berhubungan

dengan materials, consumables, equipment dan

outsourcing (Kafetzidakis dan Mihiotis, 2012). Sistem

pelayanan kesehatan menjadi sektor industri yang

terakhir menerapkan pengendalian persediaan dan

biaya. (Simchi-Levi et al, 2003).

Penerapan manajemen persediaan dapat memberikan

kontribusi positif terhadap profit perusahaan.

Manajemen persediaan yang bertujuan untuk

meminimalkan nilai investasi dalam persediaan

(pengadaan dan penyimpanan) dengan tetap

memperhatikan demand dan supply (West, 2009).

Persediaan berguna untuk mengantisipasi fluktuasi

permintaan, kurangnya pasokan, dan waktu tunggu

barang yang dipesan (Dewanty, 2012). Persediaan

yang terlalu banyak/sedikit dapat menimbulkan

kerugian bagi perusahaan/rumah sakit. Bila persediaan

berlebih, maka rumah sakit akan terbebani oleh

besarnya biaya penyimpanan. Persediaan yang terlalu

sedikit, menyebabkan rumah sakit tidak mendapat

keuntungan yang seharusnya diperoleh dari penjualan

barang tersebut dan rumah sakit mengalami penurunan

kinerja karena pelayanan yang diberikan tidak

maksimal pada pasiennya (Peterson, 2004).

Tujuan pengendalian persediaan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan bahan habis pakai adalah untuk :

1. Penggunaan obat sesuai dengan formularium

rumah sakit

2. Penggunaan obat yang rasional, sesuai dengan

diagnosis dan terapi.

3. Memastikan bahwa ketersediaan sesuai dengan

kebutuhan dalam pelayanan

Analisis ABC adalah salah satu metode yang

digunakan dalam perencanaan dan pengendalian

persediaan. Fokus utama dari analisis ABC adalah

pengelompokan persediaan berdasarkan jumlah

kumulatif pemakaian dan nilai investasi dari setiap

persediaan yang ada. Pengelompokan ini dilakukan

untuk menentukan prioritas pengendalian.

Diperlukannya penetapan kelompok prioritas

mengingat jumlah obat-obatan di rumah sakit sangat

banyak dan beragam (Peterson, 2004) (Mishra &

Lsoni, 2012).

Analisis ABC berkembang dari Pareto Principles,

yang menyatakan bahwa “80% of the effects come

from 20% of causes.“ Hal ini bila diterapkan dalam

manajemen persediaan rumah sakit yaitu 20% dari

total persediaan mempunyai nilai 80% dari total

investasi persediaan (Williams, 2003).

Myrna Octaviany., Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan Metode Analisis ABC Indeks Kritis

Page 83: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 78

Dalam metode analisis ABC, terdapat dua jenis analisis

yang dilakukan, yaitu analisis ABC pemakaian dan

analisis ABC investasi. Langkah-langkah melakukan

analisis ABC adalah sebagai berikut :

1. Membuat daftar seluruh item persediaan yang

akan diklasifikasikan beserta harga beli per satuan

dari masing-masing item tersebut.

2. Menghitung jumlah pemakaian per tahun dari

setiap item.

3. Urutkan mulai dari item dengan jumlah

pemakaian terbasar s/d terkecil.

4. Jumlahkan nilai pemakaian dari seluruh item

untuk mendapat total nilai pemakaian

5. Hitung persentase pemakaian masing-masing

item obat terhadap jumlah pemakaian obat.

6. Selanjutnya menghitung persentase kumulatif

pemakaian dari masing-masing item obat

7. Menghitung nilai investasi masing-masing obat

per tahun dengan mengalikan jumlah pemakaian

per tahun dengan harga satuan terkecil dari

masing-masing item.

8. Urutkan mulai dari item obat dengan nilai

investasi terbesar s/d terkecil.

9. Jumlahkan nilai pemakaian dari seluruh item

untuk mendapat total nilai pemakaian

10. Hitung persentase nilai investasi masing-masing

item obat terhadap total nilai investasi persediaan

obat.

11. Selanjutnya menghitung persentase kumulatif

nilai investasi dari masing-masing item obat

12. Selanjutnya menghitung persentase kumulatif

pemakaian dari masing-masing item obat

13. Kelompokkan hasil penghitungan persentase

kumulatif pemakaian dan persentase kumulatif

investasi ke dalam kelompok A,B, dan C dengan

ketentuan :

a. Kelompok A : persentase kumulatif s/d 70%

b. Kelompok B : persentase kumulatif 71 s/d

90%

c. Kelompok C : persentase kumulatif 91 s/d

100%

Pengelolaan persediaan rumah sakit, khususnya obat-

obatan, tidaklah cukup dilakukan analisis dan

pengelompokan berdasarkan jumlah pemakaian dan

pengaruhnya terhadap keuangan rumah sakit.

Dikembangkanlah sebuah metode analisis yang

berawal dari analisis ABC yatiu analisis ABC indeks

kritis. Metode ini menggabungkan tiga aspek analisis

yaitu analisis ABC pemakaian, analisis ABC investasi,

dan nilai kritis barang terhadap pelayanan. Pada

metode ini dilibatkan pemakai, dalam hal ini adalah

para dokter yang berkontribusi dalam melakukan

peresepan untuk menentukan nilai kritis terhadap

persediaan yang ada.

Langkah-langkah melakukan analisis ABC indeks

kritis :

1. Penentuan nilai kritis obat antibiotik yang

digunakan pada bulan Januari s/d Desember 2014

dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Penentuan responden nilai kritis obat antibiotik.

b. Responden mengelompokan obat antibiotik

dengan kriteria sebagai berikut :

Kelompok X : barang yang tidak boleh

diganti, harus selalu tersedia.

Kelompok Y : barang yang dapat

digantikan, toleransi kekosongan

persediaan tidak lebih dari 48 jam

Kelompok Z : barang yang dapat

digantikan dan toleransi kekosongan

persediaan dapat lebih dari 48 jam

Kelompok O : barang yang tidak dapat

diklasifikasikan dalam kelompok X,Y,Z

c. Pembobotan dari setiap kelompok dengan

ketentuan : X=3, Y=2, Z=1, O tidak diberi

bobot. Selanjutnya dihitung nilai kritis rata-rata

dari masing-masing item barang.

2. Penentuan hasil analisis ABC indeks kritis

Terlebih dahulu melakukan pembobotan

terhadap kelompok A,B, dan C hasil analisis

ABC pemakaian dan investasi dengan

ketentuan sebagai berikut :

A = 3, B = 2, C = 1

Kemudian menghitung analisis indeks kritis

dengan rumus (ditampilkan dalam gambar 1).

Keterangan :

W1 = Nilai kritis

W2 = Analisis ABC pemakaian

W3 = Analisis ABC investasi

Hasil penghitungan dikelompokkan dengan

kententuan : kelompok A dengan indeks kritis

antara 9.5 – 12, kelompok B dengan indeks

kritis 6.5 – 9.4, dan kelompok C dengan indeks

kritis 4.0 – 6.4.

Economic order quantity (EOQ) pertama kali

dipublikasikan oleh Ford W.Harris pada tahun 1915

dan masih digunakan sampai dengan saat ini (Render

Page 84: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 79

& Stair, 2012). Metode EOQ dapat digunakan apabila

terdapat pola pembelian berulang dari sebuah produk

barang sehingga dapat menekan biaya (Peterson,

2004) (Waters, 2003).

Dalam penggunaan metode EOQ membutuhkan

beberapa asumsi ditetapkan terlebih dahulu, yaitu :

1. Jumlah permintaan diketahui dan bersifat konstan

2. Lead time, yaitu waktu antara pemesanan sampai

dengan barang diterima, diketahui dan bersifat

konstan

3. Harga beli setiap barang diasumsikan tidak

berubah sepanjang tahun dan tidak adanya

potongan harga

4. Jumlah pemesanan pada titik di mana kekosongan

persediaan dapat dihindarkan (ditampilkan dalam

gamnar 2).

Setelah menentukan jumlah pemesanan, maka

langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah

menetapkan waktu pemesanan dilakukan kembali.

Rangkuti (1996) mendefinisikan reorder point sebagai

batas dari jumlah persediaan yang masih ada, di mana

kondisi tersebut menandakan perlu dilakukannya

pemesanan kembali. Yang perlu menjadi

pertimbangan adalah waktu yang dibutuhkan antara

pemesanan dilakukan sampai dengan barang diterima.

Pada jeda waktu tersebut, harus ada jaminan bahwa

persediaan tetap ada sehingga tidak mengganggu

pelayanan. Penghitungan ROP menggunakan rumus

(ditampilkan dalam gambar 3).

Apabila terdapat besaran safety stock maka

penghitungan ROP (ditampilkan dalam gambar 4).

Keterangan :

d = jumlah pemakaian per hari

L = waktu tunggu antara pemesanan hingga barang

diterima / Lead time ( hari )

Safety stock didefinisikan sebagai jumlah persediaan

tambahan yang disiapkan untuk menghindari

terjadinya kekosongan persedian (stock out). Safety

stock tidak akan berpengaruh pada jumlah barang

harus dipesan, tetapi mempengaruhi waktu pemesanan

(Waters, 2003).

Rumus Safety Stock (ditampilkan dalam gambar 5).

Peramalan dapat dilakukan dengan tiga metode

peramalan utama, yaitu : (Bowersox, 2002)

1. Metode Kausal

Metode ini mengasumsikan bahwa permintaan

akan suatu produk tergantung pada satu atau

beberapa faktor independen, diterapkan pada

peramalan jangka pendek – menengah dengan

biaya yang relatif sedang.

2. Metode Ekstrapolasi atau deret berkala (time series)

Metode ini menggunakan permintaan masa lalu

dalam membuat peramalan kebutuhan yang akan

datang. Yang termasuk metode deret berkala antara

lain : Moving Average, Weigthed Moving Average,

Exponential Smoothing, dan Seasonal Adjustment.

3. Metode Kualitatif

Metode ini mengandalkan opini pakar dalam

membuat prediksi masa depan dan digunakan

pada peramalan jangka panjang.

Penelitian ini menggunakan tiga metode peramalan

yaitu:

a. Single Smoothing Exponential

b. Simple Moving Average 3 periode

c. Weighted Moving Average 3 periode

Average Error dan Mean Absolute Error digunakan

untuk menentukan metode yang tepat dalam

forecasting atau peramalan (Brockwell dan Davis,

2002). Metode dengan nilai AE/MAE yang paling

kecil yang akan dipilih sebagai metode peramalan.

AE/MAE dengan nilai paling kecil menunjukkan

kesalahan peramalan terkecil dibandingkan dengan

data riil yang ada.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Unit Farmasi Farmasi RS

Meilia pada bulan Mei 2015. Penelitian ini adalah

merupakan penelitian deskriptif kuantitatif, yang

melakukan analisis terhadap pengendalian persediaan

obat, khususnya kelompok antibiotik di RS Meilia.

Metode analisis persediaan yang digunakan adalah

metode analisis ABC indeks kritis, yang selanjutnya

dikembangkan dengan penghitungan Economic

Order Quatity (EOQ) dan Reorder Point (ROP).

Populasi penelitian ini adalah obat kelompok antibiotik

yang digunakan di RS Meilia pada periode Januari–

Desember 2014 yaitu sejumlah 165 item obat

antibiotik. Sampel penelitian ini adalah antibiotik

kelompok A – analisis ABC indeks kritis.

Myrna Octaviany., Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan

Metode Analisis ABC Indeks Kritis

Page 85: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 80

Langkah-langkah pengolahan data yang dilakukan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Pengumpulan data obat antibiotik yang digunakan

di RS Meilia periode Januari s/d Desember 2014

disertai jumlah pemakaian obat dan nilai beli satuan

terkecil dari masing-masing obat.

2. Pengelompokan obat antibiotik dengan

menggunakan analisis ABC pemakaian dan

investasi.

3. Penentuan nilai kritis dari masing-masing obat

antibiotik.

4. Penghitungan analisis ABC indeks kritis.

5. Melakukan perhitungan Economic Order

Quantity (EOQ) dari kelompok A analisis ABC

indeks kritis. Adapun biaya penyimpanan

diasumsikan sebesar 10% dari harga beli masing-

masing obat antibiotik (dalam satuan terkecil) dan

biaya pemesanan sebesar 5% harga beli masing-

masing obat antibiotik (dalam satuan terkecil).

6. Penghitungan Safety Stock dan Reorder Point (

ROP )

7. Forecasting atau peramalan

Peramalan dengan menggunakan 3 metode, yaitu :

Simple Moving Average 3 Periode

Weighted Moving Average 3 Periode

Single Smoothing Exponential

8. Pengukuran akurasi dari masing-masing metode

peramalan yang digunakan dengan menggunakan

penghitungan Average Error (AE) dan Mean

Average Error (MAE).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah:

1. Data sekunder yang dapat digunakan terbatas

pada periode Januari s/d Desember 2014. Data

dari periode sebelumnya tidak tersedia oleh karena

sistem informasi rumah sakit hanya berfungsi

selama kurang lebih satu tahun yaitu pada bulan

Maret 2014 sampai dengan Februari 2015 .

2. Penghitungan biaya penyimpanan dan

pemesanan ditentukan berdasarkan asumsi yang

ditetapkan oleh Unit Farmasi dan Direktorat

Keuangan.

3. Peramalan yang dilakukan dalam penelitian ini

terbatas untuk memberikan gambaran cara

penghitungan. Diharapkan Unit Farmasi dapat

menerapkan metode yang dipilih pada proses

perencanaan kebutuhan obat antibiotik selanjutnya.

Persediaan Obat di RS Meilia

Berdasarkan laporan keuangan RS Meilia diperoleh

data bahwa pengeluaran rumah sakit pada item obat

pada periode Januari – Desember 2014 mencapai Rp

22.782.657.058,- (20.36%) dari seluruh biaya

operasional yang dikeluarkan rumah sakit. Nilai obat

tersebut mencapai 66.39% dari nilai bahan baku pada

tahun 2014 yaitu sebesar Rp 34.312.115.499,- Hal ini

melandasi diperlukannya pengendalian yang baik

terkait persediaan obat di RS Meilia.

Persediaan obat di RS mengacu pada formularium

rumah sakit. Formularium yang digunakan saat ini di

RS Meilia adalah hasil penyusunan pada tahun 2009

dengan disertai beberapa penambahan jenis obat pada

tahun 2012. Obat-obat yang tidak termasuk dalam

formularium rumah sakit masih dimungkinkan

diadakan oleh Unit Farmasi, terutama bila dokter yang

meresepkan tidak bersedia dilakukan penggantian obat

dengan sediaan sejenis yang ada di rumah sakit.

Setiap tahunnya Unit Farmasi membuat perencanaan

anggaran dengan menghitung jumlah total investasi

terkait persediaan obat yang diperlukan, tanpa

melakukan penghitungan jumlah kebutuhan per jenis

obat secara terperinci. Proses pembelian dilakukan 3

(tiga) kali dalam seminggu dengan waktu tunggu yang

dibutuhkan rata-rata berisar 1-2 hari.

Pemantauan persediaan dilakukan satu kali setiap

tahunnya dengan melaksanakan stock opname di Unit

Farmasi, Gudang, dan depo-depo yang terdapat di unit

pelayanan ( Ranap, Rajal, OK, UGD ). Pencatatan

persediaaan obat dilakukan secara manual dengan

menggunakan kartu stok dan buku register pemakaian

obat. Pencatatan belum dibuat dengan menggunakan

program Microsoft Excel Worksheet, sehingga cukup

menyulitkan dalam pengolahan data selanjutnya.

Analisis ABC Pemakaian

Kelompok A analisis ABC pemakaian terdiri dari 21

item obat antibiotik (12.72%) dengan jumlah

pemakaian mencapai 69.64% dari total pemakaian

obat antibiotik. Kelompok B analisis ABC pemakaian

mencakup 29 item obat antibiotik (17.58%) dengan

jumlah pemakaian 20.33% dari total pemakaian obat

antibiotik, sedangakan kelompok C analisis ABC

pemakaian terdiri dari 115 item obat (69.70%) dengan

Page 86: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 81

jumlah pemakaian 10.03% dari total pemakaian obat

antibiotik pada periode Januari s/d Desember 2014.

Mengacu pada formularium yang berlaku di RS

Meilia, terdapat 4 (empat) sediaan obat antibiotik yang

masuk dalam kelompok A analisis ABC pemakaian,

namun tidak tercantum dalam formularium.

Analisis ABC Investasi

Dari 165 obat antibiotik yang digunakan terdapat 21

item obat (12.72%) yang masuk ke dalam kelompok

A dengan nilai investasi mencapai 68.74% dari total

investasi obat antibiotik. Kelompok B analisis ABC

investasi meliputi 28 item obat antibotik (16.96%)

dengan nilai investasi Rp 1.114.064.031,- atau 21.02%

dari total investasi obat antibiotik. Sedangkan

kelompok C analisis ABC investasi terdiri dari 116

item obat dengan nilai investasi 10.24% dari nilai

investasi obat antibiotik pada periode Januari s/d

Desember 2014.

Bila dibandingkan dengan formularium yang berlaku

saat ini di RS Meilia, terdapat lima sediaan obat

antibiotik yang masuk dalam kelompok A-analisis

ABC investasi, namun tidak tercantum dalam

formularium.

Analisis ABC Indeks Kritis

Pengelompokan obat antibiotik berdasarkan analisis

indeks kritis menggabungkan hasil yang diperoleh dari

analisis ABC pemakaian, investasi dan nilai kritis.

Berdasarkan hasil penghitungan analisis ABC indeks

kritis diperoleh kelompok A yang terdiri dari 10 item

obat ( 6.06% ) dengan nilai investasi mencapai 39.91%

dari seluruh nilai investasi obat antibiotik. Kelompok B

yang terdiri dari 45 item obat antibiotik (27.27%)

dengan nilai investasi 44.92%. Kelompok C analisis

ABC indeks kritis terdiri dari 110 item (66.67%)

dengan besaran nilai investasi 15.17% dari seluruh

investasi kelompok antibiotik pada bulan Januari s/d

Desember 2014. Economic Order Quantity (EOQ)

Penghitungan EOQ dilakukan pada obat antibiotik

yang termasuk ke dalam kelompok A analisis ABC

indeks kritis. Besaran biaya penyimpanan dan

pemesanan ditetapkan sesuai dengan nilai yang

diberlakukan di RS Meilia, yaitu 10% dari harga satuan

tiap obat untuk biaya penyimpanan dan 5% dari harga

satuan obat untuk biaya pemesanan (ditampilkan

dalam tabel 2).

Besar jumlah pemesanan berdasarkan nilai EOQ

dalam penerapannya juga disesuaikan dengan

anggaran rumah sakit. Pada sediaan obat antibiotik

dengan harga satuan tinggi, dapat dipertimbangkan

besaran jumlah pemesanan sesuai nilai EOQ dibagi

dalam beberapa periode. Hal ini dilakukan sehingga

tidak membebani anggaran rumah sakit, namun tetap

memperhatikan besarnya kebutuhan di pelayanan.

Reorder Point (ROP) dan Safety Stock

Berdasarkan penghitungan EOQ, diperoleh frekuensi

pemesanan untuk Cefat 500 mg Tab adalah sebanyak

83.25 kali. Maka dengan service level 99% masih ada

kemungkinan kekosongan stok sebanyak 1% dari

frekuensi pemesanan atau 0.84 kali pemesanan. Cefat

500 mg Tab mempunyai nilai safety stock 34 unit yang

bertujuan untuk mengantisipasi kekosongan stok dan

menjamin kelancaran pelayanan di rumah sakit

(ditampilkan dalam tabel 3).

Peramalan atau Forecasting

Contoh peramalan pada data pemakaian obat Terfacef

Inj.

Peramalan Single Smoothing Exponential (Tabel 5)

pada pemakaian Terfacef Inj menghasilkan nilai AE

yaitu 55 yang berarti jumlah selisih peramalan yang

dihasilkan oleh metode ini sebesar 55 poin. Nilai MAE

yang didapat adalah 47.70. Hal ini berarti rata-rata

absolut kesalahan yang diperoleh adalah 47.70 poin

(ditampilkan dalam tabel 4).

Berdasarkan penghitungan dengan metode Simple

Moving Average 3 periode (Tabel 5) diperoleh rata-rata

jumlah kesalahan 224 poin dan nilai rata-rata absolut

kesalahan peramalan sebesar 55.78 poin bila

dibandingkan hasil peramalan dengan nilai riil

pemakaian obat Terfacef Inj (ditampilkan dalam tabel

6).

Metode Weighted Moving Average melakukan

peramalan dengan menghitung rata-rata bergerak dari

data tiga periode sebelumnya yang diberikan bobot

50%,30%, dan 20%. Bobot terbesar digunakan pada

data periode terdekat dengan periode yang akan

diramal; contoh pada peramalan pemakaian obat bulan

ke-9 pemberian bobot 50% pada data pemakaian

Myrna Octaviany., Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan Metode Analisis ABC Indeks Kritis

Page 87: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 82

bulan ke-8, 30% pada data bulan ke-7, dan 20% pada

data bulan ke-6.

Nilai AE dan MAE yang kecil memiliki arti bahwa

peramalan dengan menggunakan metode tersebut

memiliki kesalahan yang paling kecil bila kemudian

dibandingkan dengan data riil yang ada. Hasil

peramalan terhadap jumlah pemakaian obat antibiotik

yang masuk kelompok A-analisis ABC indeks kritis

dalam penelitian memperlihatkan hasil AE dan MAE

terkecil tidak selalu pada metode peramalan yang

sama. Hal ini terjadi karena pengaruh dari pola data

historis yang mendasari peramalan. Metode yang

memberikan hasil penghitungan AE dan MAE/MAD

terkecil pada penghitungan terhadap sepuluh obat

antibiotik yang termasuk kelompok A analisis ABC

indeks kritis

Dalam proses pengendalian persediaan, terdapat hal-

hal yang menjadi fokus perhatian yaitu jenis barang

yang harus disediakan, jumlah barang yang dipesan,

dan waktu barang tersebut harus dipesan (Waters,

2003). Hal ini yang akan mendasari pembahasan dari

hasil penelitian yang telah dilakukan.

Kotler (2008) menjabarkan formularium sebagai daftar

yang ditetapkan oleh Komite Farmasi dan Terapi di

rumah sakit, yang didalamnya mencakup obat-obatan

yang akan digunakan dan diadakan persediaannya

pada periode waktu tertentu. Peraturan Menteri

Kesehatan No. 58 tahun 2014 tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit menyatakan

bahwa penyusunan dan revisi formularium harus

dikembangkan dengan mempertimbangkan pola

terapi dan perubahan ekonomi yang terkini, sehingga

dapat selalu memenuhi kebutuhan obat yang rasional.

Saat ini RS Meilia masih menggunakan Formularium

Obat yang ditetapkan pada tahun 2009 dengan

beberapa sisipan/tambahan daftar obat pada tahun

2012. Revisi secara menyeluruh belum dilakukan.

Tindak lanjut yang penting terkait penentuan obat-

obatan yang masuk dalam formularium adalah

membentuk Tim Farmasi dan Terapi yang bertugas

melakukan evaluasi dan revisi formularium obat RS

Meilia. Pimpinan RS selanjutnya akan menetapkan

kebijakan perihal pemberlakuan formularium obat RS

Meilia yang baru sebagai sebagai acuan dalam

pelayanan dan seluruh rangkaian proses pengelolaan

persedian obat di rumah sakit.

Penetapan jumlah persediaan tidak hanya

memperhatikan tingkat kebutuhan obat di pelayanan,

namun juga harus mempertimbangkan kemampuan

anggaran rumah sakit terkait persediaan obat. Unit

Farmasi membuat perhitungan rencana anggaran

berupa total biaya persediaan obat pada tahun anggaran

berikutnya. Sedangkan total biaya persediaan tidak

dilanjutkan dalam perencanaan kebutuhan untuk setiap

item obat. Besaran kebutuhan obat tetap disesuaikan

dengan kebutuhan harian di pelayanan.

Dukungan sistem informasi rumah sakit (SIRS) yang

belum optimal mempunyai kontribusi yang cukup

besar sehingga RS belum dapat melakukan

pengendalian persediaan obat dengan baik. Salah satu

komponen SIRS yang dapat dikembangkan adalah e-

prescribing (peresepan elektronik). Peresepan

elektronik dapat memberikan jaminan pola peresepan

yang mengacu pada formularium yang telah

ditetapkan dan memastikan pasien membeli obat yang

telah diresepkan di Unit Farmasi RS. Kedua hal

tersebut akan sangat bermakna dalam proses

mengendalikan persediaan obat di rumah sakit.

Keterbatasan SDM di Unit Farmasi berperan dalam

terlaksananya pengendalian persediaan obat yang baik.

Kurangnya tenaga apoteker juga menyebabkan tidak

hanya proses pengelolaan persediaan obat di RS Meilia

tidak berjalan optimal, namun juga seluruh pelayanan

kefarmasian lainnya tidak mampu dilaksanakan

dengan baik.

Analisis ABC Indeks Kritis

Berdasarkan hasil analisis ABC indeks kritis, rumah

sakit mendapatkan masukan mengenai kelompok obat

antibiotik yang menjadi prioritas pertama dalam proses

pengendalian pengendalian persediaan obat. Kelompok

A menjadi prioritas dalam pengendalian persediaan

obat disebabkan obat-obat yang ada di dalam

kelompok ini mempunyai jumlah pemakaian, nilai

investasi, dan juga tingkat kekritisan yang tinggi.

Pengendalian persediaan bertujuan untuk memberikan

jaminan ketersediaan obat-obat tersebut di pelayanan

dan pengendalian biaya yang dikeluarkan rumah sakit

terkait dengan persediaan obat-obat tersebut.

Page 88: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 83

Terdapatnya empat jenis obat dalam kelompok A di

luar formularium rumah sakit memberikan informasi

ke rumah sakit, bahwa belum maksimalnya penerapan

formularium obat rumah sakit. Pengelolaan persediaan,

termasuk di dalamnya adalah tahapan perencanaan

yang baik dan pengendalian yang ketat dibutuhkan

pada kelompok tersebut. Hal itu dimaksudkan agar

ketersediaan obat-obat yang masuk dalam kelompok

A terjamin, sehingga pelayanan pasien berjalan lancar

dan rumah sakit tidak terbebani dengan nilai persedian

yang terlalu besar ataupun risiko kerugian akibat

kekosongan stok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok A-

analisis ABC indeks kritis mempunyai nilai investasi

mencapai Rp 2.114.748.870,- atau 39.91% dari total

nilai investasi obat antibiotik. RS memprioritaskan

investasi pada kelompok A yang berarti rumah sakit

menaruh investasi sebesar 39.91% dari keseluruhan

rencana anggaran persediaan obat. Sisa anggaran dapat

dialokasikan pada pengeluaran operasional lainnya.

Keuntungan yang diperoleh dari penjualan obat

antibiotik kelompok A dapat digunakan pada

pengadaan obat antibiotik kelompok B dan C. Dengan

demikian rumah sakit dapat mengambil manfaat dari

analisis ABC indeks kritis tidak hanya dalam

pengendaliaan persediaan, namun juga dalam

pengaturan keuangan rumah sakit.

EOQ, Safety Stock, dan ROP

EOQ menerapkan asumsi dalam penghitungannya

yaitu harga beli konstan tidak berpengaruh pada jumlah

ataupun waktu pembelian dan semua permintaan

dapat dipenuhi (Bowersox, 2002). Pada proses

pengelolaan persediaan yang sebenarnya akan ditemui

bahwa jumlah kebutuhan obat bervariasi dan adanya

jeda waktu yang dibutuhkan sejak waktu pemesanan

dilakukan hingga barang diterima. Sehingga idealnya

penghitungan EOQ kemudian didukung dengan

penetapan safety stock pada masing-masing jenis obat.

Pada penghitungan ROP dalam penelitian ini

menggunakan service level 99%. Service level 99%

artinya probabilitas permintaan dapat terpenuhi

sebanyak 99% dan 1% untuk kemungkinan

permintaan tidak dapat dipenuhi. Menggunakan nilai

service level 99% dalam penelitian ini dengan

pertimbangan bahwa kelompok obat antibiotik yang

digunakan sebagai data dasar adalah hasil dari analisis

ABC indeks kritis. Penggunaan service level yang

tinggi sesuai dengan tingkat prioritas yang dimiliki obat

antibiotik yang termasuk kelompok A-analisis ABC

indeks kritis.

ROP juga mempertimbangkan pentingnya safety stock

guna mengantisipasi permintaan/kebutuhan yang tidak

pasti. Semakin tinggi service level yang diinginkan,

maka semakin besar safety stock yang harus disediakan

(King, 2011).

Peramalan

Penghitungan peramalan dimaksudkan untuk

memberikan pengenalan perihal metode peramalan

yang dapat digunakan dalam proses perencanaan

persediaan obat di rumah sakit. Kualitas peramalan

sangat erat hubungannya dengan data historis yang

digunakan. Metode peramalan akan memberikan nilai

kesalahan yang berbeda-beda pada setiap data yang

digunakan. Kita dapat memilih metode peramalan

dengan kesalahan peramalan yang paling kecil.

Akurasi peramalan dapat diketahui dengan menghitung

Average Error (AE) dan Mean Absolute Error

(MAE).

Bila hasil peramalan pemakaian obat antibiotik

dikaitkan dengan nilai investasi yang dikeluarkan

rumah sakit, akan memperlihatkan nilai investasi pada

metode single smoothing exponential bernilai negatif.

Hal ini berarti bahwa nilai investasi dengan

berdasarkan pada hasil peramalan lebih besar

dibandingkan dengan data riil pemakaian dan investasi

yang ada.

Penentuan metode peramalan dalam penelitian ini juga

mempertimbangkan kemampuan para staf Unit

Farmasi untuk menggunakan metode tersebut. Ketiga

metode di atas dapat digunakan dengan dibantu

program Excel sederhana. Metode yang sederhana dan

mudah diaplikasikan akan lebih berguna dalam

peningkatan kualitas proses pengendalian persediaan

obat di rumah sakit ke depannya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini, maka dapat disimpulkan

sebagai berikut :

Myrna Octaviany., Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan

Metode Analisis ABC Indeks Kritis

Page 89: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 84

1. Gambaran masalah terkait dengan pengendalian

persediaan obat di RS Meilia, yaitu meliputi :

a. Sistem pencatatan Unit Farmasi belum berjalan

dengan baik dan belum didukung oleh sistem

informasi rumah sakit.

b. Penerapan formularium rumah sakit sebagai

acuan dalam pola peresepan dan perencanaan

persediaan obat belum berjalan dengan baik.

Hal ini disebabkan karena kebijakan penerapan

formularium rumah sakit belum dijalankan

dengan benar dan formularium yang berlaku

saat ini belum dievaluasi dan direvisi secara

lengkap.

c. Sistem informasi rumah sakit di RS Meilia

masih dalam proses pengembangan. Dibutuhkan

kerjasama yang baik antara tim IT, Unit

Farmasi dan unit pelayanan untuk menciptakan

sebuah sistem/modul yang dapat digunakan

sebagai cara pengendalian persediaan obat.

2. Berdasarkan analisis ABC pemakaian terhadap

165 item obat antibiotik yang digunakan pada tahun

2014 diperoleh obat antibiotik yang termasuk

kelompok A terdiri dari 21 item obat antibiotik atau

12.72% dari total obat antibiotik yang digunakan,

memiliki jumlah pemakaian mencapai 69.64%

dari total pemakaian obat antibiotik.

3. Analisis ABC investasi terhadap 165 item obat

antibiotik yang digunakan pada tahun 2014

mengelompokkan 21 item obat antibiotik atau

12.72% dari total obat antibiotik ke dalam

kelompok A. Kelompok ini mempunyai nilai

investasi mencapai 68.74% dari total nilai investasi

pada obat antibiotik.

4. Analisis ABC indeks kritis dilakukan dengan

penggabungan hasil analisis ABC pemakaian,

investasi, dan nilai kritis dari masing-masing obat

antibiotik. Terdapat 10 item obat dari 165 obat

antibiotik yang digunakan pada tahun 2014

termasuk kelompok A, dengan nilai investasi

mencapai 39.91% dari total investasi pada

persediaan obat antibiotik.

5. Economic Order Quantity (EOQ) direkomendasikan

sebagai metode pengendalian persediaan yang

dapat diterapkan di RS Meilia. Metode EOQ lebih

mudah diaplikasikan oleh staf farmasi karena

komponen data yang dibutuhkan dalam

penghitungannya dan cara penghitungannya lebih

mudah untuk dipahami.

6. Penentuan metode peramalan yang akan

digunakan dengan mempertimbangkan hasil

penghitungan akurasi hasil peramalan yang terbaik

yaitu dengan nilai AE dan MAE terkecil, serta

mempertimbangkan konsekuensi besaran nilai

investasi yang didapat dengan menggunakan data

pemakaian hasil peramalan. Metode terpilih juga

harus bersifat applicable di Unit Farmasi.

Saran

Beberapa masukan yang dapat diberikan setelah

dilakukan penelitian ini meliputi:

1. Melakukan evaluasi dan revisi formularium obat

rumah sakit dengan langkah-langkah :

a. Membentuk Tim Farmasi dan Terapi, yang

salah satu tugas pentingnya adalah melakukan

evaluasi terhadap formularium yang saat ini

masih digunakan oleh RS Meilia dan

menyusun revisi formularium yang baru

b. Penerapan formularium/daftar obat standar

yang baru dengan dukungan kebijakan dari

Pimpinan rumah sakit.

c. Sosialisasi formularium/daftar obat standar

yang baru kepada seluruh dokter dan unit

pelayanan terkait.

2. Perbaikan sistem pencatatan manual yang

dilakukan oleh Unit Farmasi dan unit pelayanan

pengguna obat terkait dengan pemakaian dan

persediaan obat. Konsistensi dalam pengunaan

kartu stok dan penggunaan program microsoft

excel worksheet sebagai bentuk pencatatan dapat

diterapkan di Unit Farmasi, sehingga kemudian

akan mempermudah proses pengolahan data

selanjutnya. Pencatatan yang digunakan mengacu

pada metode perpetual yang melibatkan sistem

komputerisasi. Dibutuhkan kerjasama dalam

penginputan setiap pemakaian, sehingga nilai

persediaan dapat selalu up to date.

3. Pengembangan sistem informasi rumah sakit

(SIRS) yang baik sehingga dapat berperan optimal

dalam proses pengendalian persediaan obat di

rumah sakit. Fokus pengembangan SIRS saat ini

adalah merancang sistem yang mampu

mengakomodir kebutuhan seluruh unit kerja di

rumah sakit dan saling terhubung dengan baik.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam

pengembangan sistem informasi rumah sakit

terkait pengendalian persediaan adalah :

Page 90: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 85

a. Pengembangan sistem peresepan elektronik di

unit pelayanan. Hal ini bertujuan untuk

memaksimalkan peresepan yang mengacu

pada formularium rumah sakit. Langkah ini

dapat menjadi awal dalam proses pengendalian

persediaan obat.

b. Pengembangan sistem informasi yang

menghubungkan unit pelayanan pasien yang

mempunyai depo penyimpanan obat sehingga

setiap data pemakaian dan persediaan dapat

diinput langsung oleh unit pemakai.

c. Pengembangan sistem informasi yang

menghubungkan Unit Farmasi sebagai

penanggungjawab pengelolaan obat di rumah

sakit dengan seluruh unit pelayanan, sehingga

Unit Farmasi dapat mengolah data pemakaian

dan persediaan di rumah sakit dengan data yang

terkini.

4. Melakukan penghitungan biaya pemesanan dan

biaya penyimpanan dengan lebih rinci, tidak hanya

berdasarkan asumsi. Diharapkan dengan

dukungan data yang lebih baik, hasil penghitungan

EOQ sebagai cara pengendalian persediaan obat

yang direkomendasikan menjadi lebih akurat dan

bermanfaat bagi rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA Aditama, T.Y. (2002). Manajemen Administrasi Rumah Sakit (Edisi ke-2). Jakarta : Penerbit

Universitas Indonesia.

Atmaja, Hermina K. (2012). Penggunaan ABC Indeks Kritis Untuk Pengendalian

Persediaan Obat Antibiotik Di Rumah Sakit M.H.Thamrin Salemba. Tesis. Depok: Program Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit FKM UI

Bowersox, D.J et al. (2002). Supply Chain Logistiks Management. New York : The

McGraw-Hill Company Brockwell, Peter J & Davis, Richard A. (2002). Introduction to Time Series and Forecasting.

2nd Edition. New York : Springer

Dewanty, Mega. (2012). Pengendalian Persediaan Obat Generik Melalui Analisis ABC

Indeks Kritis di Seksi Logistik Perbekalan Kesehatan Rumah Sakit Islam

Jakarta Cempaka Putih Tahun 2012. Tesis. Depok : Program Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit FKM UI

Febriawati, Henni.(2013). Manajemen Logistik Farmasi Rumah Sakit. Sleman : Gosyen Publishing.

Kafetzidakis, I. (2012). Logistics in the Health Care System : The Case of Greek Hospitals.

International Journal of Business Administration. Vol.3 No.5. Patras : Sciedu Press

Kotler, Philip. Shalowitz, Joel. & Stevens, Robert J. (2008). Strategic Marketing for Health

Care Organizations. San Francisco : Jossey-Bass

Mishra, Avinash & Lsoni, M. (2012). ABC Analysis Tehcnique of Material Towards Inventory Management. International Journal of Management Research and

Review. Vol.3. Article No-11. New Delhi : IJMRR

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 58 Tahun 2018 tentang Standar

Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Peterson, A.M. (2004). Managing Pharmacy Practice : Principles, Strategies, And Systems.

Denver : CRC Press.

Rangkuti, Reddy. (1996). Manajemen Persediaan : Aplikasi di Bidang Bisnis.Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Render, Barry.,Stair, Ralph M. & Hanna, Michael E. (2012). Quantitative Analysis For

Management (11th edition). New Jersey : Prentice Hall. Sabarguna, B.S. (2011). Buku Pegangan Mahasiswa Manajemen Rumah Sakit Jilid 2.

Jakarta : Sagung Seto.

Waters, D. (2003). Logistik : An Introduction to Supply Chain Management. New York :

Palgrave Macmillan

West, D. (2009). Purchasing and Inventory Management. Dalam S.P Desselle &

D.P Zgarrick (Ed). Pharmacy Management Essentials for All Practice Settings (2nd Ed)(p.385-389). New York : The McGraw-Hill Company

Wild, Tony. (1997). Best Practice in Inventory Management. New York : John Wiley &

Sons, IncWilliams, Mark K. (2003). Reducing Inventory Levels Through ABC Inv.Mgmt. Techniques. Inventory Management Report. Vol.11. page 7. ProQuest

Research Library.

Wolper, L.F. (2011). Health Care Administration Managing Organized Delivery Systems (5th ed.) . Massachusetts : Jones and Bartlett Publishers.

Myrna Octaviany., Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan Metode Analisis ABC Indeks Kritis

Page 91: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 86

Tabel 1. Perbandingan Total Biaya Pembelian Obat dan Bahan Baku Periode November

2014 – Januari 2015

No. Bulan Biaya Pembelian Obat

(Rp)

Pembelian Bahan Baku

(Rp)

( % )

1. November 1,998,759,059 2,950,400,331 67.74

2. Desember 1,802.749.497 2,884,939,655 62,48

3. Januari 1,585,940,640 2,499,376,051 63.45

Sumber: Bagian Keuangan RS Meilia (telah diolah kembali)

Gambar 1. Analisis Indeks Kritis

Gambar 2. Rumus EOQ

Gambar 3. Penghitungan ROP

Gambar 4. Penghitungan ROP

Gambar 5. Safety Stock

Tabel 2. EOQ Kelompok A-Analisis ABC Indeks Kritis

NO.

ANTIBIOTIK KELOMPOK

A - ANALISIS INDEKS

KRITIS

EOQ

1 CEFAT 500MG TAB @100 84

2 CEFIXIME 100MG OGB

TAB 105

3 TRICEFIN INJ 47

4 TERFACEF INJ 42

5 AZOMAX 500MG TAB

@ 10 73

Indeks kritis = 2W1 + W2 + W3

𝟐 × 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒑𝒆𝒎𝒂𝒌𝒂𝒊𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏 × 𝑩𝒊𝒂𝒚𝒂 𝒑𝒆𝒎𝒆𝒔𝒂𝒏𝒂𝒏

𝑩𝒊𝒂𝒚𝒂 𝒑𝒆𝒏𝒚𝒊𝒎𝒑𝒂𝒏𝒂𝒏

ROP = d x L

ROP = ( d x L ) + Safety Stock

𝒁 × 𝑳𝒆𝒂𝒅 𝑻𝒊𝒎𝒆 × 𝑺𝒕𝒂𝒏𝒅𝒂𝒓𝒅 𝑫𝒆𝒗𝒊𝒂𝒔𝒊 𝑻𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒕 𝑲𝒆𝒃𝒖𝒕𝒖𝒉𝒂𝒏

Page 92: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 87

NO.

ANTIBIOTIK KELOMPOK

A - ANALISIS INDEKS

KRITIS

EOQ

6 FIXIPHAR 100MG TAB @30 104

7 FIXIPHAR 200MG TAB @10 82

8 STARCEF 200MG TAB @10 77

9 STARCEF 100MG TAB@ 30 73

10 CEFTRIAXONE INJ OGB 82

Tabel 3. ROP dan Safety Stock Antibiotik Kelompok A-Analisis ABC Indeks Kritis

NO. NAMA OBAT SAFETY

STOCK ROP

1 CEFAT 500MG TAB

@100 34 72

2 CEFIXIME 100MG

OGB TAB 35 95

3 TRICEFIN INJ 27 40

4 TERFACEF INJ 26 35

5 AZOMAX 500MG TAB

@ 10 30 59

6 FIXIPHAR 100MG

TAB @30 31 90

7 FIXIPHAR 200MG

TAB @10 41 77

8 STARCEF 200MG TAB

@10 71 104

9 STARCEF 100MG

TAB@ 30 31 61

10 CEFTRIAXONE INJ

OGB 34 71

Tabel 4. Hasil Peramalan Terfacef Inj (Single Smoothing Exponential)

BULAN PEMAKAIAN

SINGLE SMOOTHING

EXPONENTIAL

FT AE ABS

AE MAE

1 160 160 - 0

47.70

2 101 160 (59) 59

3 119 148 (29) 29

4 85 142 (57) 57

5 121 131 (10) 10

6 195 129 66 66

7 110 142 (32) 32

8 155 136 19 19

9 90 140 (50) 50

10 108 130 (22) 22

11 196 125 71 71

Myrna Octaviany., Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan

Metode Analisis ABC Indeks Kritis

Page 93: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2018 88

BULAN PEMAKAIAN

SINGLE SMOOTHING

EXPONENTIAL

FT AE ABS

AE MAE

12 297 139 158 158

Total 1,737 1,682 55 572

Tabel 5. Hasil Peramalan Terfacef Inj (Simple Moving Average 3 Periode)

BULAN PEMAKAIAN

SIMPLE MOVING

AVERAGE 3 PERIODE

FT AE ABS

AE MAE

1 160

55.78

2 101

3 119

4 85 127 (42) 42

5 121 102 19 19

6 195 108 87 87

7 110 134 (24) 24

8 155 142 13 13

9 90 153 (63) 63

10 108 118 (10) 10

11 196 118 78 78

12 297 131 166 166

Total 1,737 1,133 224 502

Tabel 6. Hasil Peramalan Terfacef Inf (Weighted Moving Average 3 Periode)

BULAN PEMAKAIAN

WEIGHTED MOVING

AVERAGE 3 PERIODE

FT AE ABS

AE MAE

1 160

55.59

2 101

3 119

4 85 122 (37) 37

5 121 98 23 23

6 195 110 85 85

7 110 151 (41) 41

8 155 138 17 17

9 90 150 (60) 60

10 108 114 (6) 6

11 196 112 84 84

12 297 148 149 149

Total 1,737 1,142 215 500

Page 94: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

ormulir F

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Alamat :

Telepon :

Email :

Bersedia untuk menjadi pelanggan Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit Indonesia) sejumlah biaya cetak dan biaya kirim dengan rincian sebagai

sebagai berikut:

Volume : ………………………………………………………………………………………………………………………………………

…...…………………………, …………

(……………………………………….)

Untuk besaran biaya dan informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi Sekretariat Jurnal ARSI di nomor telepon 021-786 7370,

HP. 08568246932, e-mail: [email protected], atau kunjungi website: http://journal.fkm.ui.ac.id/arsi

Page 95: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia

Kami Menyediakan Forum

Pelatihan Untuk Anda

1. Developing Hospital Business Strategy to Improve

Hospital Service & Quality

2. Meningkatkan Kendali Mutu Layanan Rumah Sakit

Melalui Clinical Pathway & Panduan Praktis Klinis

3. Strategic Leadership and Systems Thinking

C HAMPS Informasi Lebih Lanjut:

Gedung G Lt. 3 R. 312 FKM UI

HP. 085284722766, Fax. 021-7867370,

E-mail: [email protected], [email protected]

Meningkatkan Kendali Mutu Layanan Rumah Sakit Melalui Clinical Pathway & Panduan Praktis Klinis

TUJUAN

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan rumah

sakit dalam membuat clinical pathway dan panduan praktik klinis.

PESERTA

Peserta terdiri dari tim praktisi perumahsakitan baik pemerintah maupun

swasta yang tergabung dalam tim, yang terdiri dari:

1. Klinisi dan penunjang (dokter); 2. Perawat; 3. Tenaga farmasi; 4. Tenaga gizi;

5. Tenaga rekam medik; dan

6. Peserta maksimal 10 tim.

TEMPAT DAN TANGGAL

Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.

BIAYA

Biaya dalam pelatihan ini sebesar untuk satu tim rumah sakit (terdiri dari 5 orang) adalah Rp. 15.000.000/Rumah Sakit (belum termasuk biaya

akomodasi dan tiket narasumber bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).

Strategic Leadership and Systems Thinking

TUJUAN

Tujuan Umum:

Meningkatkan pemahaman para peserta mengenai

kepemimpinan strategis dan berfikir sistem.

Tujuan Khusus

1. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai berfikir sistem dan kepemimpinan

strategis;

2. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai mental model sebagai landasan

dalam berfikir sistem;

3. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai personal mastery sebagai modal

dasar dalam kepemimpinan;

4. Meningkatkan pemahaman peserta dan mampu mengaplikasikan theory of

constraint dan root cause analysis; dan

5. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai learning organization dan team

learning.

PESERTA

Peserta pelatihan ini dibatasi 30 orang.

TEMPAT DAN TANGGAL

Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.

BIAYA

Biaya dalam pelatihan ini sebesar Rp. 3000.000,-/peserta (besaran

biaya belum termasuk biaya akomodasi, tiket narasumber dan outbond

bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).

“Bersama kami, mari beraktualisasi!”

- CHAMPS FKM UI

Developing Hospital Business Strategy to Improve Hospital Service & Quality

TUJUAN

Peserta akan memperoleh wawasan, pengetahuan, & keterampilan tentang:

1. Peningkatan pemahaman seluruh peserta tentang peta kebijakan strategis pelayanan kesehatan;

2. Peningkatan pemahaman seluruh peserta tentang konsep strategi bisnis untuk peningkatan mutu layanan RS;

3. Peningkatan motivasi seluruh peserta yang dilandasi core value dan core belief untuk mengadopsi konsep

manajemen strategi dalam meningkatkan mutu layanan di rumah sakit;

4. Tersusunnya rencana strategis bisnis RS; dan

5. Peningkatan kemampuan RS dalam melakukan praktik bisnis yang sehat yaitu mempunyai manajemen yang

baik, bermutu dan berkesinambungan yang semua itu berdampak pada meningkatnya kepuasan

pelanggan.

PESERTA

Peserta pelatihan ini adalah praktisi perumahsakitan dan pengambil keputusan strategis rumah sakit baik

pemerintah maupun swasta. Peserta dibatasi 30 orang.

TEMPAT DAN TANGGAL

Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.

BIAYA

Biaya dalam pelatihan ini sebesar Rp. 3000.000,-/peserta (belum termasuk biaya akomodasi dan tiket

narasumber bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).

Hospital Management

Program (HMP)

Hospital Administration

Conference (HAC)

Program Kerja

Unggulan

Page 96: Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia