Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DALAM RANGKA
PENCATATAN PERKAWINAN
(ANALISIS PUTUSAN HAKIM NOMOR 002/PDT.P/2008/PA.BKS
PADA PENGADILAN AGAMA BEKASI)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi salah satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Saiful Bahri
204044103059
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL ALSYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIFHIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430H / 2009 M
PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DALAM RANGKA
PENCATATAN PERKAWINAN
(ANALISIS PUTUSAN HAKIM NOMOR 002/PDT.P/2008/PA.BKS
PADA PENGADILAN AGAMA BEKASI)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi salah satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
SAIFUL BAHRI
NIM : 204044103059
Di Bawah Bimbingan:
Drs.H.A.Basiq Djalil, SH,MA
NIP. 150 169 102
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL ALSYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIFHIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H / 2009 M
PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DALAM RANGKA
PENCATATAN PERKAWINAN
(ANALISIS PUTUSAN HAKIM NOMOR/002/PDT.P/2008/PA.BKS
PADA PENGADILAN AGAMA BEKASI)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Saiful Bahri
204044103059
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Drs.H.A.Basiq Djalil, SH,MA
NIP. 150 169 102
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL ALSYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIFHIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DALAM RANGKA
PENCATATAN PERKAWINAN (ANALISIS PUTUSAN HAKIM NOMOR
002/PDT.P/2008/PA.BKS PADA PENGADILAN AGAMA BEKASI) telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 03 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal
Syakhsiyyah. Jakarta, 03 Maret 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dah Hukum
Prof.DR.H.Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM
NIP.150210422
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. Djawahir Hejazziey,SH,MA (................................)
NIP : 130 789 745
2. Sekretaris : Drs. Ahmad Yani, MA (................................)
NIP : 150 269 678
3. Pembimbing : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH,MA (................................)
NIP : 150 169 102
4. Penguji I : Sri Hidayati, M.Ag (................................)
NIP : 150 282 403
5. Penguji II : Drs. H. Burhanuddin Yusuf, MM (................................)
NIP : 150 203 012
LEMBARAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta ,03 Maret 2009
Saiful Bahri
KATA PENGANTAR
��� ا ا���� ا�����
Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, tak ada kata yang pantas Penulis ucapkan selain
ungkapan puja dan puji serta rasa syukur atas karunia yang tak terhingga yang diberikan
Allah SWT, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DALAM RANGKA PENCATATAN
PERKAWINAN (Analisis Putusan Hakim Nomor:002/Pdt.P/2008/PA.Bks) ini
dengan baik.
Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Penghulu Para Nabi, Nabi
Muhammad saw, juga kepada keluarga, sahabat dan ummatnya yang senantiasa
mengikuti jejak dan langkah beliau sampai hari akhir nanti, amiin.
Setelah perjuangan yang begitu berat dan melelahkan, akhirnya skripsi ini
selesai juga di tulis. Penulis sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak. Maka dengan tulus dan ikhlas penulis ucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada Bapak :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, MA.,MM., selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum
2. Drs. H.A Basiq Djalil, S.H., M.A. dan Kamarusdiana, S.Ag, MH selaku Kepala
dan Sekretaris Program Studi Ahwal Alsyakhshiyyah.
3. Djawahir Hajjazie, SH, MA dan Drs. H.Ahmad Yani, MA, Selaku Koordinator
Teknis dan Sekretaris Program Non Reguler.
4. Drs. H.A Basiq Djalil, SH,MA selaku Dosen Pembimbing, yang telah dengan
sabar membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi.
5. Drs. H. Odjo Kusnara N.M.Ag, selaku Dosen Pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan-arahan akademik sehingga penulis menyelesaikan
perkuliahan dengan baik.
6. Bapak dan Ibu Dosen, terima kasih atas segala ilmu dan pengetahuannya yang
diberikan kepada penulis selama proses belajar mengajar di Fakultas Syari’ah
dan Hukum.
7. Seluruh staf dan karyawan tata usaha Fakultas Syari’ah dan Hukum.Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Drs. Entur Mastur, SH dan Drs. Mahbub selaku ketua pengadilan Agama
Bekasi dan Ketua Panitera Pengadilan Agama Bekasi yang telah memberikan
data dan informasi kepada penulis.
9. Segenap Pimpinan dan staf perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang
telah memberikan fasilitas berupa referensi buku pinjaman sehingga membantu
dalam penulisan ini.
10. Sahabat-sahabat seperjuangan Penulis, terutama Jurusan Peradilan Agama:
Hamzah, Arifin, Mirzan, Zainuddin, Muhasim, Ma’mun, Waluyo, Irvan,
Soriyadi, Wiraphan, Rama Wijaya, Achdi Gufron, Heli,Lilis, Santi, Tina,
Kuma, Maria M, Eti, Nurhayati, Nursiah.
11. Sahabat-sahabat dekat Penulis, A.Mubarok Sq. SE, Ikhwan MZ, A. Abd. Hamid
(Kadul) Nursahbani (Mancung), Edi Marzuki (Sotay), Edi Nurhadi (Kamra),
Warja, yang telah memberikan motivasi dan bantuan baik moril maupun
materiil.
12. Sang Motivator dan Advisor ulung, yaitu kedua orang tua Penulis, Ayahanda
HM.Saadi Hamdani dan Almarhumah Ibunda Hj.Ayimah, Ibunda Romanih
yang telah mengerahkan seluruh kasih sayang, bimbingan serta nasehatnya,
sehingga Penulis mampu berdiri kokoh seperti sekarang. Tak lupa kepada
kepada Kakakku, Ubaidillah HS, Amiruddin HS, Syamsuddin HS, Sa’duddin
HS, Khozanah, HS.A.Ma. Madroji, Bidawati S.Pdi Adikku Syamsul Falah
Keponakanku Ahmad Nursahri.c.S.Sos.I, Aminuddin S.Pdi yang telah
memberikan dorongan dan bantuan moril maupun materiil sehingga Penulis
merasa selalu bersemangat.
13. Seluruh sanak famili, teman-teman serta semua pihak yang telah tersita waktu
maupun tenaganya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Hanya
kepada Allah jualah Penulis serahkan semoga dapat dibalas dengan pahala yang
setimpal.
Tak ada gading yang tak retak, skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran
dan kritik sangat Penulis harapkan demi perbaikan ke depan.
Jakarta, 03 Maret 2009
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kelahiran, perkawinan serta kematian merupakan estafet kehidupan setiap
manusia. Perkawinan ini disamping merupakan sumber kelahiran yang berarti obat
penawar musnahnya manusia karena kematian dari dunia yang tidak kekal ini, juga
merupakan tali ikatan ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar dan Negara. 1
Hukum Islam memberikan kedudukan sosial yang tinggi kepada wanita (istri)
setelah dilakukan perkawinan, ialah dengan adanya persyaratan bagi seorang suami
untuk kawin lagi dengan isterinya yang lain, tidak boleh seorang suami mempunyai
isteri lebih dari empat, adanya ketentuan hak dan kewajiban suami dan isteri dalam
rumah tangga dan sebagainya.2
Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun
kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan
terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai mahluk yang
bermartabat. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram
dan rasa kasih sayang antara suami dan istri.3
Sesuai dengan surat Ar-rum Ayat 21 yang berbunyi :
1 Tama Rusli, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya Sebagai Pelengkap UU Perkawinan
No. 1 Th. 1974, (Bandung, Pionir, 2000), h.1 2 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1993),h.8 3 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam,( Yogyakarta,UII Press,2000), h.1
������ ������ ��� ���� ������ ����� ����� ����� !�"�� #☯���&'��
(�)*,�� �.�/� 0�1&2��34 56�7�8�� �!9�,�:�� ,;<2�*<�
=�☺��?�� @ <�34 A3B �C���D EF�� G� HI�*�4�/� ���JK�⌧���
MNOP )30 / ا��وم: RSRSRSRS (
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. ( Ar-ruum / 30 : 21 )
Didalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan seperti yang
termuat dalam pasal 1 dan 2 perkawinan di definisikan “Perkawinan ialah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang maha esa.”
Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara
Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa. Sampai di sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan
saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada pasal 2
dinyatakan bahwa perkawinan dalam Islam adalah ”Pernikahan adalah aqad yang
sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Kata miitsaqan ghalidhan ini ditarik dari firman Allah SWT, yang terdapat
dalam pada surat An-nisa’ ayat 21:
�&T⌧U�� V�"��T7�XY� �[�#�� @\]\&X�� ��!9!^�7�� @A�_34 _`�7��
abT�d���� �!9,�� 0e4��fT��� 0,!T3�⌧g MNOP )ء : @@@@ /ا ���
RSRSRSRS ( Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka
(isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. ( An-nisa / 4 :
21 )
Berdasarkan pengertian di atas, hakikat perkawinan adalah persekutuan hidup
seorang pria dan seorang wanita yang tak terputuskan. Kesatuan dan sifat tak
terputuskan ini merupakan sifat-sifat esensial perkawinan, jadi perkawinan bukanlah
untuk sesaat saja akan tetapi kalau mungkin untuk sekali dan seumur hidup.
Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan
yang sangat diutamakan dalam Islam. Aqad nikah diadakan adalah untuk selamanya
dan seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami istri bersama-sama dapat
mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung, menikmati naungan kasih
sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik.
Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa ikatan antara suami istri adalah ikatan
paling suci dan paling kokoh, sehingga tidak ada suatu dalil yang lebih jelas
menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu, lain dari pada
Allah sendiri, yang menanamkan ikatan perjanjian antara suami istri dengan
“miitsaqan ghalidhan” (perjanjian yang kokoh).4
Dalam pengkajian tentang Peradilan Agama di Indonesia dan peradilan pada
umumnya, terdapat beberapa kata atau istilah khusus, di antara peradilan dan
pengadilan. Peradilan dan pengadilan merupakan dua istilah dari kata dasar yang
4 Slamet Abidin, dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1998),h. 9
sama tetapi memiliki pengertian yang berbeda. Peradilan merupakan pranata dalam
memenuhi hajat hidup masyarakat dalam menegakkan hukum dan keadilan, yang
mengacu kepada hukum yang berlaku. Sedangkan pengadilan, merupakan satuan
organisasi yang menyelenggarakan penegakkan hukum dan keadilan tersebut.
Meskipun demikian, kedua istilah tersebut kadang-kadang digunakan dalam
pengertian yang sama.
Menurut Cik Hasan Bisri, Peradilan adalah kekuasaan Negara dalam
menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Adapun yang dimaksud dengan kekuasaan
Negara adalah kekuasaan kehakiman yang memiliki kebebasan dari campur tangan
pihak kekuasaan Negara lainnya.5
Sedangkan pengadilan adalah penyelenggara peradilan atau dengan kata lain,
pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Peradilan Agama dapat
dirumuskan sebagai kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang
beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.6
Keputusan pengadilan pada dasarnya merupakan penerapan hukum terhadap
suatu perkara, dalam hal ini perkara yang memerlukan penyelesaian melalui
kekuasaan negara. Atau dengan kata lain, ia merupakan usaha untuk menampakkan
hukum dalam bentuk yang sangat kongkrit melalui suatu mekanisme pengambilan
keputusan hukum oleh Pengadilan. Berkenaan dengan hal itu, terdapat tiga unsur
5 Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia,(Bandung, Pustka Bani Quraisy, 2004),h.2.
6 Ibid, h.3
dalam keputusan pengadilan. Pertama, dasar hukum yang dijadikan rujukkan dalam
pengambilan keputusan pengadilan. Kedua, proses pengambilan keputusan
pengadilan. Ketiga, produk keputusan pengadilan. Unsur ketiga sangat tergantung
kepada unsur pertama dan kedua.7
kebanyakan dari masyarakat salah sangka atau karena tidak tahu tentang
perkawinan yang sekarang ini sedang mewabah diantara pemuda dan pemudi,
dianggap sebagai perkawinan yang sah menurut syari’at, mereka menyebutnya
adalah perkawinan ‘urfi (bawah tangan). Supaya jelas permasalahan perkawinan ini
bagi kita, kita akan mengulasnya secara ringkas hingga tidak terjadi kerancuan.8
Perkawinan ‘urfi adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki
dengan seorang perempuan memakai akad lafzi (dengan ucapan) mencakup ijab dan
qabul antara keduanya dalam satu majelis dan dengan kesaksian para saksi, mahar
dan wali.9
Istilah kawin di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak tercatat atau tidak
terdaftar di pada petugas yang berwenang melakukan pencatatan perkawinan
sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Tidak tercatatnya perkawinan
tersebut, mungkin karena mereka tidak mencatatkan perkawinan itu kepada petugas
yang berwenang, sekalipun dilakukan sesuai dengan ketentuan agamanya, atau
karena perkawinan itu dianggap tidak belum memenuhi persyaratan sebagaimana
yang ditentukan dalam perundang-undangan yang ada. Sebagai contoh perkawinan
yang dilakukan oleh orang yang beragama Islam dengan memenuhi syarat dan
7 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, PT. Remaja
Rosda Karya, 2000), h. 236. 8 Muhammad Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang ,Penterjamah, Fauzan Jamal, dkk ( Jakarta, CV.
Cendekia Sentra Muslim,2002),h.45. 9 Ibid.h.45.
rukun nikah seperti : kedua pengantin, wali, saksi, mahar, ijab qabul, namun
ternyata perkawinan tersebut tidak didaftarkan dan tidak dicatat oleh petugas
pencatat nikah (Kantor Urusan Agama), sebagaimana diatur dalam perundang-
undangan yang ada (Pasal 2 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo
Pasal 2 PP No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Ta hun
1974 tentang perkawinan , jo UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk).10
Di dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 3 ada dinyatakan:
1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat perkawianan akan
dilangsungkan.
2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) di lakukan sekurang-kurangnya
10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati
Kepala Daerah.
Untuk menciptakan ikatan yang mitsagan ghalidzan seperti yang
dimaksudkan diatas, undang-undang perkawinan pasal 2 (2) telah menentukan
keharusan adanya pencatatan pada tiap-tiap perkawinan. Pencatatan perkawinan ini
bertujuan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Pasal tersebut berbunyi
10 Suparman Usman ,Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di
Indonesia,(Serang, Saudara Serang, 1995), h. 142.
: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku” .
Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam Undang-
Undang Perkawinan hanya diatur oleh satu ayat namun sebenarnya masalah
pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tanpak dengan jelas menyangkut tata cara
itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan. Dengan berlebihan
jika ada sementara pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administratif
yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada
pasal 5 sebagai berikut.
1. Agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap
perkawinan harus di catat.
2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1 dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No.22
Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk jo. Undang-
undang No.32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk .
Selanjutnya pada pasal 6 dijelaskan:
3. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5 setiap perkawinan harus
dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah.
4. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Aturan-aturan di dalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak hanya
berbicara masalah administratif. Pertama, di dalam pasal 5 ada klausul yang
menyatakan” agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam.”
Ketertiban disini menyangkut ghayat al-tasyri” (tujuan hukum Islam) yaitu
menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, pada pasal 6 ayat 2 ada
klausul” Tidak mempunyai kekuatan hukum.” Apa makna tidak mempunyai
kekuatan hukum ini? Sayang KHI tidak mempunyai penjelasan. Penulis lebih setuju
jika tidak memiliki kekuatan hukum di terjemahkan dengan tidak sah (la yasihhu).
Jadi perkawinan yang tidak di catatkan dipandang tidak sah. lebih jauh hal ini akan
dibahas nanti.11
Dalam kaitan perkawinan semacam ini, di Pengadilan Agama sebenarnya ada
lembaga yang disebut Itsbat Nikah. Itsbat nikah atau pengesahan nikah telah
melembaga jauh sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan , dan secara berturut-turut diatur oleh Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama dan terakhir diakui kelembagaannya dalam Kompilasi Hukum Islam,
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 ayat (2) bahwa dalam hal perkawinan tidak
dapat dibuktikan dengan akta nikah, maka dapat diajukan itsbat nikahnya ke
Pengadilan Agama.
Di dalam penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama disebutkan pada pasal 49 huruf a point 22. Pernyataan tentang
11 Amiur Nuruddin,dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta,
Kencana Prenada Media Group, 2006), h.122-124.
sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.12
Sedangkan apabila pernikahan tersebut terlanjur dilaksanakan hanya sesuai
dengan hukum agama masing-masing tanpa disertai pencatatan oleh petugas yang
berwenang, Pengadilan Agama melalui lembaga itsbat nikah memberi alternatif
penyelesaian sebagaimana yang terdapat dalam KHI pasal 7 ayat 2 bahwa dalam hal
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, maka dapat diajukan itsbat
nikahnya ke Pengadilan Agama. Dalam pasal 7 ayat (3) ditentukan bahwa. Itsbat
nikah yang dapat diajuakan Ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan:
a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesain perceraian.
b) Hilangnya akta nikah.
c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang
No.1 Tahun 1974.
e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974.13
Ada dua pendapat yang berkembang dikalangan teorisi dan praktisi hukum
tentang pengertian yuridis sahnya suatu perkawinan. Pertama, bahwa suatu
perkawinan semata-mata harus memenuhi syarat yang dimuat oleh ayat (1) yang
menyatakan bahwa perkawinan sah apabila menurut aturan agama yang dipeluk,
sedangkan syarat yang dimuat dalam ayat (2) perkawinan harus dicatat oleh
12 H.A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam, Hk.
Barat, dan Hk. Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga
Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh,, (Jakarta, Kencana, 2006), h.247. 13 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta, CV. Akademika Pressindo,
2004), h.115.
Pegawai Pencatat Nikah merupakan syarat administratif saja, tidak mempengaruhi
sah atau tidaknya suatu perkawinan. Kedua, bahwa sahnya akad nikah harus
memenuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal Undang-undang
perkawinan yaitu pasal 2 ayat (1) dan (2) secara simultan. Dengan demikian,
ketentuan dari kedua ayat diatas merupakan syarat kumulatif, bukan syarat
alternatif. Jadi perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan syariat Islam,
misalnya, belumlah sah apabila belum dicatat oleh petugas Pencatat Nikah.14
Peneliti lebih setuju terhadap pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa
antara pasal 2 ayat (1) dan (2) merupakan syarat kumulatif yakni suatu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Hal ini karena di dukung dengan alasan-alasan sebagai
berikut :
1. Allah mensyariatkan adanya pencatatan
Seperti dalam firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 282 :
0�1h �Yi�� ajk�#Kl0� (�)*,����� ��D34 m�n,� ��[�
oB&k�[3� �A�_34 �6�8�� ?pq] h� �*C.rR00�X )@@@@4 : /ا����ة: RsRRsRRsRRsR(
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”(al-
Baqarah 1:282)
Ayat diatas menyuruh kepada kita untuk menulis semua setiap perikatan
(transaksi), pencatatan itu dilaksanakan oleh seorang juru tulis yang beragama
Islam, jujur dan merdeka. Harus di saksikan oleh dua orang laki-laki, apabila
14 Yayan Sofyan, “Istbat Nikah Bagi yang tidak dicatat Setelah Diberlakukan UU No.1 Tahun
1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Jurnal “, Ahkam” No. 08(April 2002): h.71.
tidak ada dua orang laki-laki dapat digantikan dengan satu orang laki-laki dan
dua orang perempuan.
Adanya pencatatan akan menghilangkan keragu-raguan, lupa, atau sengaja
mengingkari transaksi yang telah dilakukan baik menyangkut pengingkaran
terhadap adanya transaksi itu sendiri atau pengingkaran terhadap jenis barang
yang dipinjam, waktu jatuh tempo, atau jumlah pinjaman yang harus
dikembalikan. Adanya tulisan yang ditulis oleh ahlinya serta disaksikan oleh
saksi yang adil bahwa pihak debitur akan membayar utang-piutangnya pada
waktu yang telah ditentukan merupakan jaminan tidak akan terjadi wanprestasi
oleh debitur terhadap kreditur atau sebaliknya, yang menyebabkan terjadinya
pendhaliman terhadap harta orang lain.
2. Qiyas Aulawi
Dalam persoalan utang piutang yang hanya berkaitan dengan masalah
kebendaan saja Allah telah menyariatkan agar manusia mengadakan pencatatan,
apalagi dalam masalah perkawinan yang bukan hanya menyangkut harta benda
tetapi juga menyangkut masalah kelangsungan hidup, kesejahteraan,
kebahagiaan, dan hak azasi dari isteri dan anak keturunan yang dilahirkan dari
perkawinan itu harus dipertanggung jawabkan di akhirat. Seharusnya pencatatan
dalam perkawinan lebih diperintahkan lagi atau lebih kuat anjurannya dari pada
pencatatan utang piutang karena dalam pencatatan perkawinan lebih luas
cakupan kepentingannya.15
15 Ibid,h.72.
3. Adanya jaminan dan kepastian hukum
Dalam masalah perkawinan, pencatatan perkawinan mutlak diperlukan,
bahkan bukan hanya bersifat anjuran tetapi bersifat keharusan karena dalam
masalah perkawinan ini bukan saja bersangkut paut masalah maskawin, nafakah,
gono-gini dan harta waris, akan tetapi bersangkut paut juga dengan masalah
kelangsungan hidup dan harga diri seseorang.16
Oleh karena maraknya suatu perkawinan yang tidak tercatat di Pegawai
Pencatat Nikah (PPN), maka ini menjadi persoalan yang menarik menurut
penulis, karena itu persoalan tersebut akan penulis teliti dalam bentuk skripsi
dengan judul “PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DALAM RANGKA
PENCATATAN PERKAWINAN (Analisis Putusan Hakim Nomor
002/Pdt.P/2008/PA.BKS Pada Pengadilan Agama Bekasi).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan
masalah baru serta meluas maka penulis membatasi pembahasan ini pada
masalah pelaksanaan itsbat nikah dalam rangka pencatatan perkawinan.analisis
putusan Pengadilan Agama Bekasi. No.002/Pdt.P/2008/PA.Bks.
2. Perumusan Masalah
16
Ibid, h.73
Untuk memperjelas masalah dalam pembahasan ini maka dirumuskan
masalahnya sebagai berikut. Sesuai peraturan perundang-undangan semestinya
pernikahan yang dapat di itsbatkan adalah pernikahan yang dilakukan sebelum
tahun 1974, lalu apakah ada pernikahan yang diitsbatkan setelah tahun 1974.
Hal ini yang ingin penulis telusuri. Agar lebih terperinci, rumusan tersebut
dijabarkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan berikut :
1. Apakah Pengadilan Agama berhak mengabulkan perkara Istbat Nikah dalam
perkawinan yang dilakukan setelah tahun 1974.
2. Bagaimana proses pelaksanaan perkara Itsbat Nikah di Pengadilan Agama.
3. Apa yang menjadi dasar dan pertimbangan hukum Pengadilan Agama dalam
memutuskan perkara Istbat Nikah.
Rincian di atas adalah merupakan kerangka pertanyaan yang hendak di
teliti dan dicarikan jawabannya, sehingga peneliti ini diarahkan dalam kerangka
pencarian jawaban tersebut dilakukan dalam proses identifikasi terhadap fakta
dan realita hukum baik yang sedang berlaku maupun yang pernah berlaku.
C. Tujuan penulisan
Penulisan penelitian ini dilakukan bertujuan untuk memenuhi persyaratan
formalitas dalam mendapatkan gelar akademik sarjana hukum islam strata I Fakultas
Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun
tujuan ilmiah dari penelitian ini adalah bagaimana metode hakim Pengadilan Agama
dalam memutuskan suatu perkara dalam hal ini adalah perkara tentang itsbat nikah.
Secara lebih terperinci penulisan skripsi bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui apakah Pengadilan Agama berhak mengabulkan
perkara Itsbat nikah dalam perkawinan yang dilakukan setelah tahun 1974.
2. Untuk mengetahui Bagaimana proses pelaksanaan perkara itsbat nikah di
Pengadilan Agama.
3. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim
Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara Itsbat Nikah.
D. Metode Penelitian
Adapun pendekatan analisis penyajian data yang peneliti gunakan adalah
pendekatan deskriptif analisis, dengan pendekatan secara normatif dimana akan
dijabarkan sebagi berikut :
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
menggunakan analisis normatif yang didasarkan pada hasil analisis dengan
melakukan penelitian terhadap data kepustakaan, pendapat para ahli dan teori-
teori yang terkait dengan pembahasan masalah atau disebut dengan data
sekunder. Yang bersifat deskriftif analisis, yaitu memberikan data seteliti
mungkin yang menggambarkan objek penelitian, kemudian menganalisa isi
putusan (content analisis) putusan, untuk melihat sejauh mana para hakim
menerapkan peraturan perundangan tentang itsbat nikah.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah dengan
cara sebagai berikut :
a. Data Primer, melalui data primer penulis dapat melakukan sebuah
wawancara dengan Hakim, Panitera dan pejabat lainnya yang ada di
Pengadilan Agama dan observasi lapangan dengan cara mengumpulkan dan
memperoleh data di pengadilan Agama tentang perkara itsbat nikah dalam
pengadilan Agama.
b. Data Sekunder, melalui data sekunder penulis dapat melakukan studi
kepustakaan, dilakukan melalui penelusuran bahan-bahan penelitian ke
dalam dua sumber.
1. Bahan Hukum Primer
Berupa bahan-bahan yang isinya mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat dan menunjang dalam penulisan skripsi ini. Seperti Al-Qur'an,
Al-Hadist, Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
yang telah di amandemen dengan undang-undang No. 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas undang-undang No. 7 tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan lain sebagainya.
2. Bahan Hukum Sekunder
Berupa buku-buku literatur yang berkenaan dengan masalah-masalah
Itsbat Nikah.
E. Sistematika Penulisan
Dalam menjabarkan penelitian ini kedalam bentuk penulisan, maka penulis
menyusunnya secara sistematis guna memudahkan dalam menganalisis suatu
masalah.
Adapun sistematika penulisan ini adalah
Bab Pertama Terdiri dari pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua Yaitu tentang Pelaksanaan itsbat Bab ini meliputi pengertian istbat
nikah,hal-hal yang dapat diitsbatkan ,pencatatan perkawinan dan Akta Nikah
kemudian hukum pencatatan perkawinan.
Bab ketiga Berisi tentang Gambaran Umum Pengadilan Agama Bekasi,
meliputi letak geografis Pengadilan Agama Bekasi, Kedudukan Pengadilan Agama,
Wewenang dan wilayah hukum Pengadilan Agama Bekasi, dan Data perkara Itsbat
nikah Pengadilan Agama Tangerang.
Bab keempat Mengenai analisis putusan Pengadilan Agama tentang itsbat
nikah yang meliputi Duduk Perkaranya Itsbat Nikah No.002/Pdt.P/2008/PA.Bekasi
di Pengadilan Agama dan analis terhadap penetapan hukum
No.002/Pdt.P/2008/PA.Bekasi.
Bab kelima, bab ini merupakan bagian akhir yaitu penutup dari isi
keseluruhan skripsi dan meliputi kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok
masalah dan Saran-saran bagi pihak-pihak yang ada kaitanya dengan pembahasan
ini.
BAB II
PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH
DALAM PENCATATAN PERKAWINAN
A. Pengertian Itsbat Nikah
Itsbat berasal dari bahasa Arab yang merupakan masdar dari kata ( �ـ��ـ�ـا� –
� ـ�ـ�ـی �ـ�ـ�أ - ) yang mempunyai makna penetapan, pengukuhan, dan pengiyaan
(itsbat).17
Yang dimaksud dengan itsbat nikah adalah suatu penetapan, penentuan,
pengabsahan Pengadilan terhadap pernikahan yang telah dilakukan karena alas an-
alasan tertentu.18
Yang menjadi dasar hukum dari itsbat nikah adalah Bab XIII Pasal 64
Ketentuan peralihan Undang-undang Perkawinan : Untuk perkawinan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
undang yang berlaku yang dijalankan menurut peraturan lama adalah sah.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Buku I Pasal 7, jiwa yang terkandung
dalam pasal 64 Undang-undang Perkawinan tersebut dikualifikasikan sebagai upaya
hukum yang disebut dengan “itsbat nikah”.19
1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah
17 Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia,Cet.ke-25(Surabaya,Pustaka
Progressif,1997),h.145. 18 Yayan Sofyan, “Istbat Nikah Bagi yang tidak dicatat Setelah Diberlakukan UU No.1 Tahun
1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Jurnal “, Ahkam” No. 08(April 2002): h.76 19 Ibid,76.
2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama20
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mulai berlaku pada
saat diundangkan tanggal 2 januari 1974 dan palaksanaannya secara efektif dimulai
sejak tanggal 1 Oktober 1975, semua bentuk perkawinan yang dilakukan sebelum
tanggal 2 Januari 1974 dinyatakan berlaku sepanjang diadakan menurut hukum
perkawinan yang ada dan dijalankan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.21
Untuk menyatakan sahnya perkawinan yang dilakukan sebelum Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 diundangkan, merupakan salah satu kewenangan
Pengadilan Agama untuk mengeluarkan penetapannya bagi orang-orang yang
beragama Islam dan melakukan perkawinannya menurut agama Islam. Penetapan
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama berdasarkan permohonan para pihak. Adanya
ketentuan ini bertujuan untuk memberikan pengesahan atas perkawinan yang
berlangsung sebelum Undang-undang Perkawinan diundangkan, di mana
sebelumnya perkawinan hanya dilakukan menurut Agama Islam tanpa surat-surat
tertentu dari pejabat yang berwenang dan perkawinan tersebut tidak tercatat.22
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan bahwa tiap-tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Meskipun ulama Indonesia umumnya setuju atas ayat ini
dan tidak ada reaksi terbuka atasnya, tetapi karena persyaratan pencatatan itu tidak
20 Ibid, h. 76 21 Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam Kompetensi Peradilan
Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Wakaf, dan Shadaqoh (Bandung: Muhdar Maju,1997),h.49. 22 Ibid,h.49.
disebut dalam kitab-kitab fikih maka dalam pelaksanaannya masyarakat Islam
Indonesia masih mendua. Misalnya, masih ada orang yang mempertanyakan apakah
perkawinan yang tidak dicatatkan itu dari segi agama lalu menjadi tidak sah.
Kecendrungan jawabannya ialah bahwa kalau semua rukun dan syarat perkawinan
sebagaimana dikehendaki dalam kitab fikih sudah terpenuhi, maka suatu
perkawinan itu tetap sah. Sebagai akibatnya ialah banyak orang yang melakukan di
bawah tangan yang pada waktunya proses-proses hukum yang akan terjadi
berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum anak yang dihasilkan.23
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
telah diletakan fundamentum yuridis perkawinan nasional : dilakukan menurut
agama, dan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Fundamentum
yuridis tersebut diperjelas perkenaannya dalam Pasal 4,5,6 dan 7. Berbarengan
dengan perkenaan itu, sekaligus diaktualkan ketertiban perkawinan masyarakat
Islam. Juga sekaligus dianulir kebolehan yang dirumuskan dalam QS. Al Maidah :5
menjadi larangan seperti diatur dalam pasal 40 KHI atas alasan kondisi, situasi dan
maslahat. Dengan demikian KHI memuat aturan berikut:
1) Sahnya perawinan mesti dilakukan menurut hukum Islam
2) Pria Islam dilarang kawin dengan wanita nonIslam
3) Setiap perkawinan harus dicatat
4) Perkawinan baru sah apabila dilangsungkan di hadapan PPN
5) Perkawinan di luar PPN adalah perkawinan liar
23 Atho Muzdhar, HM, ed., Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,(Jakarta:Ciputat
Press,2003),h.211.
6) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh PPN.24
Dari uraian singkat penegasan landasan yuridis tersebut, KHI telah mengakui
sepenuhnya campur tangan penguasa dalam setiap perkawinan. Tidak lagi ragu-ragu
kemestian campur tangan tersebut. Penegasan ini sekaligus melepaskan jauh-jauh
dogmatis yang dikembangkan dan dipahami selama ini yang mengajarkan
perkawinan sebagai individual affair atau urusan pribadi. Bagi mereka yang tidak
memenuhi, KHI tidak segan-segan menjatuhkan sanksi berupa hukuman;
perkawinan tidak sah dan tidak mengikat.
Memang pada setiap pembaharuan hukum biasa menelan korban bagi yang
tidak mematuhi. KHI tidak segan-segan akan adanya korban demi untuk
menegaskan kepastian hukum dan ketertiban perkawinan dan keluarga masyarakat.
Bagi yang tidak mau mematuhi, akan menanggung resiko yuridis. Bagi mereka yang
tidak mendaftarkan perkawinan atau yang enggan melangsungkan perkawinan
dihadapan PPN, perkawinannya dikualifikasi “perkawinan liar” dalam bentuk
compassionate marriage atau kawin “kumpul; kebo”.25
Kasus aturan pencatatan itu juga pernah mendapat reaksi serupa ketika
diperkenalkan di Pakistan tahun 1961. Pasal 5 Ordonansi Pakistan itu menyatakan
bahwa apabila suatu perkawinan tidak dilakukan oleh Pejabat Pencatat Nikah maka
orang yang memimpin pelaksanaan ijab kabul itu harus melaporkannya kepada
Pejabat Pencatat Akta Nikah dan kelalaian mengenai hal ini merupakan
pelanggaran. Para perancang ordonansi itu mendasarkan pada ayat Qur’an yang
24 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika,2007),h.39. 25 Ibid, h.39.
menyatakan bahwa dalam melakukan transaksi penting seperti hutang-piutang saja
hendaknya selalu dicatatkan. Tidak syah lagi bahwa perkawinan adalah suatu
transaksi penting, lebih penting dari hutang piutang. Para ulama Pakistan menerima
kewajiban pencatatan itu dengan syarat tidak mempengaruhi keabsahan perkawinan
dari segi agama. Di Iran dalam UU Perkawinan tahun 1931 yang diubah sampai
tahun 1938, setiap perkawinan harus dicatatkan dan kelalaian atas hal itu merupakan
pelanggaran. Di Yordania pencatatan perkawinan juga wajib. Aturan pencatatan
perkawinan diberlakukan antara lain untuk melindungi kaum wanita.26
B. Hal-Hal yang Dapat Diitsbatkan
Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan, hal-hal yang dapat diitsbatkan
tercantum dalam pasal 7 ayat (3) yakni : Itsbat nikah yang dapat diajukan ke
Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesain perkawinan
b. Hilangnya Akta Nikah
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
26 Atho Muzdhar, HM, ed., Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,h. 212.
Dan didalam pasal 7 ayat (4) disebutkan orang yang berhak mengajukan
permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan
pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.27
Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan,
dapat segera mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama.
Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Tetapi
untuk perkawinan bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan
dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan
alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya
sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang.28
C. Pencatatan Perkawinan dan Akta Nikah
1. Pencatatan Perkawinan
Al-Quran dan Al-Hadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan
perkawinan. Namun dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya hal itu,
sehingga diatur melalui perundang-undangan, baik Undang-Undang No.1 Tahun
1974 maupun melalui Kompilasi Hukum Islam. Pencatatan perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik
perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan
yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam.29
27 Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Kompilasi
Hukum Islam (Bandung: Fokusmedia, 2005),h.8. 28 Media Partisipasi, “Pentingnya Itsbat Nikah”, artikel diakses pada 17 Desember 2008 dari http Islamic Center
for Democracy and Human Rghts Empowerment Pentingnya Itsbat nikah.htm 29 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),h.26.
Pencatatan adalah suatu administrasi Negara dalam rangka menciptakan
ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Mencatat artinya memasukan
perkawinan itu dalam buku akta nikah kepada masing-masing suami isteri.
Kutipan Akta Nikah itu sebagai bukti otentik yang dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah, talak, dan rujuk. Juga oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada
kantor catatan sipil sebagaimana di maksud dalam berbagai perundang-
undangan yang berlaku mengenai pencatatan perkawinan.30
Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian
(mitsaqan galidhan) aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. Realisasi
pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing dimiliki oleh istri
dan suami salinannya. Akta tersebut, dapat digunakan oleh masing-masing pihak
bila ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk
mendapatkan haknya.31
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan
semacamnya serta tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan.
Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak
dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang
yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU
Perkawinan pasal 2 ayat 2.32
Perbuatan pencatatan menurut K.Wantjik Saleh, (1980:17), tidak
menentukan sahnya suatu perkawinan, tapi menyatakan bahwa peristiwa
30 Arso Sostroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Bulan
Bintang,1978),hal.55-56. 31 Ibid, h.26 32 Media Partisipasi, “Pentingnya Itsbat Nikah”, artikel diakses pada 17 Desember 2008 dari http Islamic Center
for Democracy and Human Rghts Empowerment Pentingnya Itsbat nikah.htm
perkawinan itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif.
Sedangkan soal sahnya perkawinan, UU Perkawinan dengan tegas menyatakan
pada Pasal 2 ayat (1) bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.33
Untuk melaksanakan pencatatan perkawinan, Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menetapkan bagi mereka yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai
Pencatatan NTR sedangkan bagi mereka yang tidak beragama Islam dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.34
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau
tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.35
Prinsip mengenai hakikat perkawinan dan keabsahan perkawinan yang
terdapat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sangat
jauh berbeda dengan prinsip yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (BW). Menurut BW hubungan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita hanyalah hubungan sekuler hubungan sipil atau perdata saja. Hal
ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 26 BW yang berbunyi “Undang-undang
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata” atau
33 O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek,(Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,1996),h.98-99. 34 Ibid,h.99 35 Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problamatika Hukum Perkawinan di
Indonesia,(Serang,Saudara Serang,1995),h.27.
pasal pasal 1 Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijkts Ordonantie
Christen Indonesiers/HOCI). Yang berbunyi “Perkawinan itu oleh undang-
undang hanya diperhatikan hubungan perdatanya saja. Bahkan dalam pasal 8
melarang adanya upacara keagamaan sebelum perkawinan itu dicatat di Kantor
Catatan Sipil.36
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan era
baru bagi kepentingan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia
umunya. Undang-undang dimaksud merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum
perkawinan yang bersifat nasional yang menempatkan hukum Islam mempunyai
eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat. Amat wajar bila ada
pendapat yang mengungkapkan bahwa Undang-Undang Perkawinan merupakan
ajal dari teori receptie (istilah Hazairin) yang dipelopori oleh Crisian Snouck
Hourgronje. Pencatatan seperti diatur dalam pasal 2 ayat (2) meskipun telah
disosialisasikan selama 26 tahun lebih, sampai saat ini masih dirasakan adanya
kendala-kendala. Upaya ini perlu dilakukan oleh umat Islam secara
berkesinambungan di Negara Republik Indonesia.37
Perkawinan sebelum berlakunya UU 1/1974 tentang Perkawinan sifatnya
sekuler, penguasa memandangnya lepas dari agama, karena itu sahnya apabila
sah menurut undang-undang negara dan karena sifatnya sekuler, dulu peranan
36 Ibid,h.27-28. 37 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia.h.27
Pegawai Catatan Sipil bagi yang Kristen adalah peneguh perkawinan, artinya
dialah yang menentukan sahnya suatu perkawinan 38
Anjuran perbaikan Hukum Perkawinan ini mula-mula berasal dari
kalangan terkemuka, para intelektual dan gerakan wanita kalangan atas, yang
sejarahnya tumbuh bersamaan dengan gerakan nasionalisme itu sendiri.
Persoalan poligami, perceraian yang sewenang-wenang, yang dilakukan pihak
suami serta perbaikan hak wanita, merupakan sasaran utama dari para reformis.
Tuntutan-tuntutan mereka itu, tumbuh bersamaan perlunya diadakan perubahan
sosial, sejalan dengan gerakan-gerakan reformasi di tempat-tempat lain di
dunia.39
Berdasarkan kendala di atas, sebagai akibat adanya pemahaman fikih
Imam Syafi’i yang sudah membudaya di kalangan umat Islam Indonesia.
Menurut paham mereka, perkawinan telah dianggap cukup bila syarat dan
rukunnya sudah terpenuhi, tanpa diikuti oleh pencatatan, apalagi akta nikah.
Kondisi seperti ini terjadi dalam masyarakat sehingga masih ditemukan
perkawinan di bawah tangan (perkawinan yang dilakukan oleh calon mempelai
laki-laki kepada calon mempelai wanita tanpa dicatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah dan tidak mempunyai Akta Nikah). Kenyataan dalam masyarakat seperti
ini merupakan hambatan Undang-Undang Perkawinan. Pasal 5 dan 6 Kompilasi
38 Andi Tahir Hamid,Beberapa Hal Baru tentang Peradilan Agama dan Bidangnya,
(Jakarta,Sinar Grafika,1996),h.17. 39 Daniel S.Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia. Penerjemah Zaini Ahmad Noeh, (Jakarta:
Intermesa,1986),h.175.
Hukum Islam mengenai pencatatan perkawinan mengungkapkan beberapa garis
hukum sebagai berikut.40
Pasal 5
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus di catat.
2) Pencatatan tersebut, pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah,Talak dan Rujuk jo. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,Talak dan Rujuk.
Pasal 6
1) Untuk memenuhi ketentuan Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan
di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum.41
Pemerintah telah melakukan upaya ini sejak lama sekali, karena
perkawinan selain merupakan akad suci, ia juga mengandung hubungan
keperdataan. Ini dapat dilihat dalam Penjelasan Umum Undang-undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan , nomor 2:
Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan
warga negaranya dan berbagai daerah seperti berikut:
a. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum
agama yang telah diresipir dalam hukum adat;
b. Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku hukum adat;
40 Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 26.
41 Ibid, h. 27.
c. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku
Huwelijsordonantie Christen Indonesia(Stbl.1933 Nomor 74);
d. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga Negara Indonesia keturunan cina
berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
dengan sedikit perubahan;
e. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga Negara Indonesia
keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka;
f. Bagi orang-orang Eropa dan warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan
yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum
Perdata;.42
Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang
pencatatan perkawinan, dapat dipahami bahwa pencatatan tersebut adalah syarat
administrative. Artinya perkawinan tetap sah, karena standar sah dan tidaknya
perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak yang
melangsungkan perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa
pencatatan, suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang
timbul adalah, apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak
lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti
yang sah dan otentik dari perkawinan yang dilangsungkannya. Tentu saja
keadaan demikian bertentangan dengan misi dan tujuan perkawinan itu sendiri.43
42 Undang-undang perkawinan,( Semarang:Beringin Jaya,tt) h.25. 43 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2003),h.110.
Secara lebih rinci, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab II pasal
2 menjelaskan tentang pencatatan perawinan:
1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan
menurut agam Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat, sebagaimana
dimaksudkan dalam UU No.32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk.
2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.
3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata
cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku,
tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam
pasal 99 PP ini.
Lembaga pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif, selaian
substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, ia mempunyai
cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu
perkawinan. Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua manfaat pencatatan
perkawinan, yakni: manfaat prevensif dan manfaat repsesif.44
44 Ibid, h.110-111
2. Akta Nikah
Setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita untuk
melangsungkan perkawinan, yang kemudian kesepakatan itu, diumumkan oleh
pihak Pegawai Pencatat Nikah dan tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang
terkait dengan rencana yang dimaksud, perkawinan dapat dilangsungkan.
Ketentuan dan tata caranya diatur dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagai berikut.
1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud pasal
8 PP ini.
2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing
hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilangsungkan di
hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.45
Kalau perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai
Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-
hal yang diperlukannya, seperti diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Akta Nikah memuat sepuluh langkah yang harus terpenuhi,
yaitu sebagai berikut.
45 Ibid,h.115.
1) Nama, tanggal, tempat lahir, agama/kepercayaan,pekerjaan dan tempat
kediaman suami isteri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.
2) Nama, agama/kepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka.
3) Izin kawin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5)
Undang-Undang Perkawinan.
4) Dispensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan.
5) Izin Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang
Perkawinan.
6) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Perkawinan.
7) Izin pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam/Pangab bagi Angkatan
Bersenjata.
8) Perjanjian perkawinan apabila ada.
9) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para
saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
10) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa
apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.46
Selain hal itu, dalam Akta Nikah dilampirkan naskah perjanjian
perkawinan yang biasa disebut taklik talak atau penggantungan talak, yaitu teks
yang dibaca oleh suami sesudah akad nikah sebagai janji setia terhadap istrinya.
46 Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.27-28
Sesudah pembacaan tersebut kedua mempelai menandatangani Akta Nikah dan
salinannya yang telah disiapkan Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang
berlaku. Setelah itu, diikuti penandatanganan oleh kedua saksi dan Pegawai
Pencatat Nikah yang mengahadiri akad nikah. Kemudian wali nikah atau yang
mewakilinya, juga turut serta bertanda tangan. Dengan penandatanganan Akta
Nikah dan salinannya maka perkawinan telah tercatat secara yuridis normatif
berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.47
Akta Nikah selain merupakan bukti otentik suatu perkawinan, ia memiliki
manfaat sebagai ”jaminan hukum” apabila seorang suami atau isteri melakukan
suatu tindakan yang menyimpang. Misalnya seorang suami tidak memberikan
nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara sebenarnya ia mampu, atau
suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka pihak isteri
yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan perkaranya ke pengadilan.
Akta Nikah juga berguna untuk membuktikan keabsahan anak dari
perkawinan itu. Upaya hukum ke Pengadilan tentu tidak dapat dilakukan,
apabila perkawinan tidak dibuktikan dengan akta tersebut. Oleh karena itu, pasal
7 Kompilasi Hukum Islam menegaskan pada ayat (1) “perkawinan hanya dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”.48
Adapun manfaat Akta Nikah yang bersifat represif dapat dijelaskan
sebagai berikut. Bagi suami isteri yang karena sesuatu hal perkawinannya tidak
dibuktikan dengan Akta Nikah, kompilasi membuka kesempatan kepada mereka
untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan) kepada Pengadilan
47 Ibid.,h.28-29. 48 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia,h.116-117
Agama. Inilah yang hemat penulis, pencatatan sebagai tindakan represif. Hal ini
dimaksudkan untuk membantu masyarakat, agar di dalam melangsungkan
perkawinan tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum fiqh saja, tetapi
aspek-aspek keperdataannya juga perlu diperhatikan secara seimbang. Jadi
sekali lagi, pencatatan adalah merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi
masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan.49
Pencatatan perkawinan dan aktanya, bagi sebagian masyarakat tampaknya
masih perlu disosialisasikan. Boleh jadi hal ini, akibat pemahaman yang fiqh
sentries, yang dalam kitab-kitab fiqh hampir tidak pernah dibicarakan, sejalan
dengan situasi dan kondisi waktu fiqh itu ditulis. Namun apabila kita perhatikan
ayat Mudayanah (al-Baqarah, 2:282) mengisyaratkan bahwa adanya bukti
otentik sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum. Bahkan redaksinya
dengan tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan dari pada
kesaksian, yang dalam perkawinan, menjadi salah satu rukun. Untuk lebih
jelasnya akan dikutip ayat tersebut.
1h �Yi�� ajk�#Kl0� (�)*,����� ��D34 m�n,� ��[� oB&k�[3�
�A�_34 �6�8�� ?pq] h� �*C.rR00�X @ ���T&���
�����,�:t� C��05R uo�[�7&�003� @ 5p�� dvXY�
w��#⌧U ��� ]�.�� 0�☺5R �☺i�� xl0� @ �r9�TX��X
P63��☺2&��� y�#Kl0� �&T��� ?���&�0� P�t�T&��� Kl0� Vt��? 5p�� z�{�C� �,�� 0|}&T⌧K @ �3~�X ��#⌧U y�#Kl0�
49 Ibid ,h.118.
�&T��� ?���&�0� 0�12���� ���� 0e�T�7]O ���� 5p �T��� ;� ���
<6�☺ �*7� �63��☺2X��X VhT���� uo�[�7&�003� )@@@@4 : /ا����ة: RsRRsRRsRRsR(
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. ”(al-Baqarah 1:282)
Tidak ada sumber-sumber fiqh yang menyebutkan mengapa dalam hal
pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, tidak
dianalogikan kepada ayat muamalah tersebut. Dalam kaidah hukum Islam,
pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, sangat jelas
mendatangkan maslahat bagi tegaknya rumah tangga.50
Sejalan dengan prinsip:
�ـ� ا�ـ�� �ـ�� � درأ ا�ـ*� س% مـ&ــ%$ م !
“Menolak kemadaratan lebih di dahulukan daripada memperoleh
kemaslahatan”.51
Praktek pemerintah yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dan
dibuktikannya dengan akta nikah, meminjam istilah teknis dalam epistemologi
hukum Islam, adalah metode istislah atau maslahat mursalah. Hal ini karena
meski secara formal tidak ada ketentuan ayat atau sunah yang memerintahkan
pencatatan, kandungan maslahatnya sejalan dengan tindakan syara’ yang ingin
50 Ibid,h.120-121. 51 Muhammad Sidqi Bin Ahmad Al-Burnu, Al-wajid Fi Qawaidul Fiqh Kulliyah,h.85.
mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Atau dengan memperhatikan ayat
yang dikutip di atas, dapat dilakukan analogi (qiyas), karena ada kesamaan illat,
yaitu dampak negatif yang ditimbulkan.52
Dengan analisis tersebut di atas, dapat ditegaskan bahwa pencatatan
perkawinan merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh
semua pihak. Karena ia memiliki landasan metodologis yang cukup kokoh, yaitu
qiyas atau maslahat mursalah yang menurut al-Syatiby merupakan dalil qat’i
yang dibangaun atas dasar kajian induktif(istiqra’i).53
D. Hukum Pencatatan Perkawinan
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan menetapkan bahwa tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam penjelasan umum sub b hanya disebutkan bahwa pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seorang misalnya, kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.54
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu bertujuan
agar peristiwa perkawinan itu bertujuan agar peristiwa perkawinan itu menjadi jelas
baik bagi yang bersangkutan maupun orang lain dan masyarakat karena dapat dibaca
dalam suatu yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar yang khusus untuk
itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan sebagai alat bukti tertulis yang
52 Ahmad Rofik,h.121 53 Ibid,.h. 121 54 O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, ,h.98.
otentik. Dengan adanya surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu
perbuatan yang lain.55
Dalam masalah ini, pencatatan mengandung tujuan (maqasid) yang baik yaitu
adanya jaminan hukum yang baik yaitu adanya jaminan hukum yang diberikan oleh
pemerintah terhadap para isteri agar terlindung dari sikap suami yang berlaku
sewenang-wenang seperti melantarkannya adalah haram. Apabila suami berlaku
sewenang-wenang terhadap isterinya, seperti melalaikan kewajibannya, isteri dapat
mengadukannya ke pengadilan. Sehingga pengadilan dapat menjatuhkan talak untuk
perkawinan itu.56
Jadi, kesimpulan menyelenggarakan nikah adalah untuk menghindarkan
terzaliminya pihak wanita (isteri) oleh suami adalah wajib. Hal ini sesuai dengan
kaidah fiqh :
� مـ� 2 یـ3ـ� ا�ـ.ا�� ا2$ �ـ1 0ـ/ـ. وا�“Perintah wajib tidak akan sempurna kecuali dengannya (perbuatan yang
mubah) maka hal itu akan menjadi wajib pula”.57
Pencatatan nikah menurut hukum asalnya adalah sesuatu hal yang mubah,
akan tetapi apabila tidak ada, dalam pandangan hukum positif kita membuat
keberadaan sebuah pernikahan di Negara kita ini tidak sempurna karena pernikahan
yang tidak dicatat tidak diakui keabsahannya oleh pemerintah, karena itu bagi yang
melakukan pernikahan yang dilakukan dibawah tangan akan mengalami
kemadharatan, yaitu tidak ada jaminan dan kepastian hukum dari pemerintah. Maka,
55
Ibid,h. 98. 56 Yayan Sofyan, “Istbat Nikah Bagi yang tidak dicatat Setelah Diberlakukan UU No.1 Tahun
1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Jurnal,h.74 57 Ibid,h.74.
pencatatan nikah sebagai elemen penyempurna dari suatu pernikahan adalah
wajib.58
Peninjauan terhadap akibat suatu perbuatan, bukanlah memperhitungkan
kepada niat si pelaku, akan tetapi yang diperhitungkan adalah akibat dan buah dari
perbuatannya. Jadi suatu perbuatan itu mendapat pujian atau celaan tergantung pada
akibatnya. Demikian pula dalam pencatatan nikah, tidak tergantung pada niat si
suami untuk mentelantarkan isterinya. Ketika seorang calon suami akan
mempersunting seorang perempuan, mungkin hampir seluruh laki-laki tidak berniat
untuk menistakan, mencampakkan, dan merugikan pasangan dan anak
keturunannya. Akan tetapi, mungkin saja ditengah jalan sang suami menerima
godaan dan goncangan yang dapat mengganggu keharmonisan keluarga, sehingga ia
tergiur dan tergoda kepada perempuan lain dan akhirnya membiarkan isterinya
menderita. Apabila ada pencatatan, dan si isteri merasa dirugikan oleh kelakuan
suaminya, ia dapat menuntut dan kelakuan buruk suaminya itu ke pengadilan. Akan
tetapi kalau tidak ada pencatatan, sang isteri tidak dapat mengajukan suaminya ke
pengadilan karena hukum sendiri tidak memberikan jaminan terhadap si isteri dan
anak keturunannya karena perkawinan yang dilakukan dengan suaminya itu tidak
mendapat perlindungan hukum dan dianggap tidak pernah terjadi perkawinan.59
Apabila hal tersebut terjadi, maka pihak yang paling dirugikan adalah pihak
perempuan dan anak dari hasil perkawinannya itu :
1. Karena bisa saja seorang laki-laki untuk menghindari dan lari dari tanggung
jawabnya ia mengingkari perkawinan yang telah dilakukannya.
58 Ibid,h.74. 59 Ibid,h.74.
2. Si isteri, apabila sudah bercerai suami, tidak dapat menikah lagi dengan laki-
laki lain di lain waktu karena tidak mempunyai surat cerai yang dikeluarkan
Pengadilan Agama. Pengadilan Agama tidak akan memberikan surat cerai
tanpa adanya persidangan. Dan persidangan hanya bisa terjadi bagi pasangan
yang dapat membuktikan perkawinan dengan bukti otentik (akta nikah).
3. Ketika terjadi perceraian, si isteri tidak bisa mendapat bagian dari harta gono-
gini yang didapatkan selama perkawinan dari suaminya, jika si suami
mengingkari perkawinannya itu dengan meminta si isteri bukti otentik
perkawinan (akta nikah).
4. Terhadap harta waris apabila si suami telah meninggal dunia, si isteri tidak
bisa mengklaim bahwa dirinya berhak atas harta itu di pengadilan karena
pengadilan menganggap bahwa ia tidak berhak atas harta itu karena tidak
dapat membuktikan sahnya perkawinan dengan akta nikah.
5. Anak yang lahir dari perkawinan itu juga tidak luput dari derita seperti yang
dialami oleh ibunya, karena dalam pengurusan akta kelahiran, harus
menyertakan surat nikah yang dimiliki oleh orang tuanya sementara ibunya
tidak memiliki akta nikah.
6. Dalam masalah biaya hidup dan biaya pendidikan anak, misalnya pun akan
terjadi masalah apabila si bapak tidak memperdulikan biaya hidup anaknya. Si
isteri tidak dapat mengadukan perlakuan suaminya yang melantarkan
anaknyaitu ke pengadilan karena tidak mempunyai bukti otentik.60
60 Ibid,h.75.
Demikian pula dalam masalah waris, si anak akan dianggap bukan sebagai ahli
waris bapaknya, terlebih anak itu lahir dari isteri kedua yang pernikahan orang
tuanya diadakan dibawah tangan.61
Ada beberapa analisis yang dapat dikemukakan mengapa pencatatan
perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fikih walaupun ada ayat al-
Qur’an yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah.
Pertama, larangan untuk menulis sesuatu selain al-Qur’an. Akibatnya kultur tulis
tidak begitu berkembang dibanding dengan kultur hafalan (oral). Kedua, kelanjutan
dari pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya
mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk
dilakukan. Ketiga, tradisi walimat al-‘urusy walaupun dengan seekor kambing
merupakan saksi di samping saksi syar’I tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada
kesan perkawinan yang berlangsung pada masa awal-awal Islam belum terjadi antar
wilayah Negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlangsung di
mana calon suami dan calon isteri berada dalam satu wilayah yang sama. Sehingga
alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan.62
Dengan alasan-alasan yang telah disebut diatas, dapatlah dikatakan bahwa
pencatatan perkawinan belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting
sekaligus belum dijadikan sebagai alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan.
Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah
maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan
61 Ibid, h. 74-75 62 Amiur Nuruddin,dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta,
Kencana Prenada Media Group, 2006), h.120-121.
(oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya
akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja
karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan
dan kehilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi yang disebut
dengan akta nikah.63
Dalam pasal 5 Kompilasi Hukum Islam agar terjaminnya ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam “harus” dicatat. Pencatatan dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk Jo. UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk. Pasal 6 ayat 1 mengulangi pengertian pencatatan dimaksud
dalam artian setiap perkawinan “harus” dilangsungkan dihadapan dan dibawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah .64
Bilamana kita membaca lebih lanjut isi kompilasi kata “harus” di sini adalah
dalam makna “wajib” menurut pengertian hukum Islam. Oleh karena perkawinan
yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah “tidak mempunyai
kekuatan hukum”.sedangkan pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan “hanya”
dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Dengan demikian, mencatatkan perkawinan adalah merupakan kewajiban bagi
mereka yang akan melangsungkan perkawinan.65
Namun demikian, dalam pasal 7 ayat 2 dan seterusnya dimungkinkan bagi
mereka membuktikan perkawinannya dengan Akta Nikah dapat mengajukan “itsbat
63 Ibid,h. 121. 64 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta, CV. Akademika Pressindo,
2004),h.68. 65 Ibid,h.68.
nikah”nya ke Pengadilan Agama. Kiranya perlu dibuat istilah bahasa Indonesia
untuk itsbat nikah ini dan bagaimana pengertiannya. Akan tetapi, dengan penegasan
ini tanpak kepada kita bahwa pencatat di sini tidak ada hubungan dengan keabsahan
perkawinan, hanya saja perkawinan tersebut “tidak mempunyai kekuatan
hukum”yang tentunya harus dibaca dalam hubungan dengan persoalan keperdataan
bukan dalam kaitannya dengan Hukum Islam.66
66 Ibid,h.68-69.
BAB III
GAMBARAN UMUM
PENGADILAN AGAMA BEKASI
A. Letak Geografis Pengadilan Agama Bekasi
Pengadilan Agama sebagai salah satu lingkungan peradilan yang diakui di
Indonesia berfungsi melaksanakan ”kekuasaan kehakiman” atau ”judical power”
khususnya di lingkungan Pengadilan Agama yang secara yuridis telah diatur dalam
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Kemudian dalam pasal 63 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, ditegaskan kembali tentang kedudukan dan fungsi serta lingkungan
Peradilan Agama dalam memeriksa mengadili sengketa perkara yang timbul dalam
hukum kekeluargaan.67
Untuk menghapus segala anggapan dan suasana dilematis tersebut perlu UU
No.7 Tahun 1989 menegaskan lagi kedudukan lingkungan Peradilan Agama agar
benar-benar berfungsi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman.
Penegasan yang terdapat dalam Pasal 10 UU No. 14 Tahun1970 tentang ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman maupun penegasan yang terdapat dalam
Pasal 63 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta penegasan ulang yang
terdapat dalam Pasal 44 UU No.14 Tahun 1985 tentang keberadaan lingkungan
Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, rupanya
dianggap pembuat undang-undang belum memadai. Maka, untuk lebih meratakan
67 Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy,2004),h.45.
penyebaran kesadaran dan kepercayaan masyarakat tentang kedudukan lingkungan
Peradilan Agama yang sebenarnya, UU No.7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama
menganggap perlu mempertegasnya. Sekaligus dalam penegasan tersebut diatur
susunan, kekuasaan, dan hukum acara yang diberlakukan dalam lingkungan
Peradilan Agama.68
Dari satu segi, mungkin penegasan yang berulang kali ini, agak berlebihan.
Sebab kalau dibaca dalam Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, secara tegas disebut, lingkungan peradilan
yang berfungsi melaksanakan ”kekuasaan kehakiman”atau judicial power terdiri
dari lingkungan:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara69
Kemudian dalam Pasal 63 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kembali
ditegaskan tentang kedudukan dan fungsi serta lingkungan Peradilan Agama dalam
memeriksa dan mengadili sengketa perkara yang timbul dalam hukum
kekeluargaan. 70
Hukum Acara Pengadilan Agama ialah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau
68 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No.7 Tahun 1989,
(Jakarta: Sinar Grafika,2007),h.10. 69 Ibid,h.10. 70 Ibid,h. 10.
cara bagaimana bertindak di muka Pengadilan Agama dan bagaimana cara hakim
bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan, ”
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini
”.
Perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus dan
selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya. Hukum acara khusus ini
meliputi kewenangan Relatif Pengadilan Agama, pemanggilan, pemeriksaan,
pembuktian, dan biaya perkara serta pelaksanaa putusan. Hakim harus menguasai
hukum acara (hukum formal) di samping hukum materiil. Menerapkan hukum
materiil secara benar belum tentu menghasilkan putusan yang adil dan benar.71
Letak Pengadilan Agama Bekasi bertempat di jalan Jenderal Ahmad Yani No.
10, Komplek Perkantoran Kota Bekasi. Wilayah administratif daerah tingkat II kota
Bekasi berada di lokasi yang sangat startegis letak geografisnya, terutama
pengembangan ekonomi, wilayah dan penduduknya secara umum.72
Secara geografis, Kota Bekasi terletak pada peta dengan posisi antara 106 55 –
Bujur Timur dan antara 67-615 Lintang Selatan dengan memilki markaz kiblat 64
51 29,87 dari Utara ke Barat atau 25 08 30,13 dari Barat ke Utara. Kota Bekasi
memiliki area seluas kurang lebih 16.175,21 Ha dengan batas-batas wilayah :
71 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar
1996),h. 9. 72 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi.
1. Sebelah Barat, berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta.
2. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kecamatan Taruma Jaya dan Kecamatan
Babelan.Kabupaten Bekasi.
3. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kecamatan Tambun dan Kecamatan Setu
Kabupaten Bekasi.
4. Sebelah Selatan, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor.73
B. Kedudukan Pengadilan Agama
Pengadilan Agama Bekasi bertempat di jalan Jenderal Ahmad Yani No. 10,
Komplek Perkantoran Kota Bekasi wilayah administratif Daerah tingkat II Kota
adalah merupakan Pengadilan Agama Kelas 1 B yang berada di wilayah hukum
Pengadilan Tinggi Agama Bandung Jawa Barat.74
Pengadilan Agama Bekasi di bangun diatas tanah seluas 1080 M2 dengan
status Kantor milik Pengadilan Agama Bekasi Hak Guna Bangunan sertikikat
Nomor.13 tanggal 06 juli 1991.75
Bekasi setelah proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus dirubah
menurut struktur pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi
Kewedanan yang masih tetap dalam wilayah Kabupaten yang dahulu disebut Ken
Jatinegara. Selanjutnya pada tanggal 17 Februari 1950 masyarakat Bekasi
melakukan unjuk rasa yang antara lain menuntut kepada pemeritah agar kabupaten
73 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi. 74 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi. 75 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi
Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi yang mewilayahi 4 (empat)
Kewedanan, 13 (tiga belas) Kecamatan dan 95 (Sembilan puluh lima) Desa yang
terungkap secara simbolis dalam lambang Kabupaten Bekasi dengan Motto
”Swatantra Wibawa Mukti”. Selanjutnya pada tahun 1960 Kantor Kabupaten Bekasi
pindah dari Jatinegara ke Bekasi tepatnya di jalan Ir.H.Juanda Bekasi yang
selanjutnya agar pelayanan dapat dilakukan secara maksimal, efesien, dan efektif.
Maka pada tahun 1982 Komplek Perkantoran Pemerintah Kabupaten Daerah
Tingkat II Bekasi di pindahkan ke lokasi baru yaitu tepatnya Jl. Jenderal Ahmad
Yani Nomor 1 Bekasi.76
Adanya tuntutan masyarakat perkotaan dengan perkembangan kehidupan
masyarakat Bekasi yang semakin padat, maka dengan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 48 tahun 1981 Kabupaten Bekasi ditingkatkan statusnya menjadi
Kota Administratif Bekasi yang meliputi 4 (empat) Kecamatan yaitu: Kecamatan
Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, Bekasi Selatan yang secara keseluruhan
mencakup 18 (delapan belas) Kelurahan serta 8 (delapan) Desa. Selanjutnya dengan
adanya kebijakan konsep Botabek yang merupakan pelaksana Inpres Nomor 13
Tahun 1976 membawa pengaruh terhadap perkembangan Kota Administratif Bekasi
sebagai penyangga Ibukota Negara, maka Kota Administratif Bekasi dan
kecamatan-kecamatan disekitarnya yang berada dalam wilayah kerja Kabupaten
76 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi.
Bekasi mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sehingga memerlukan
peningkatan dan pengembangan serta sarana dan prasarana sebagai pengelolaan.77
C. Wewenang dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama
Tugas pokok Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan
Kehakiman ialah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya (Ps. 2 ayat (1) UU. No. 14/1970), termasuk
didalamnya menyelesaikan perkara Voluntair (penjelasan ps.2 (1) tersebut).78
Berdasarkan ketentuan UU. No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, khususnya
pasal 1,2,49 dan penjelasan umum angka 2, serta peraturan perundang-undangan
lain yang berlaku, antara lain: UU No. 1/1974, PP No. 28/1977, Inpres No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Permenag. No. 2 tahun 1987 tentang Wali
Hakim, maka Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk memberikan
pelayanan hukum dan keadilan dalam bidang hukum keluarga dan harta perkawinan
bagi mereka yang beragama Islam, berdasarkan Hukum Islam.79
Bidang hukum perkawinan yang diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menjadi kekuasaan Peradilan Agama, disebutkan dalam
Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama Pasal 49 ayat 2 adalah :
1. Izin beristeri lebih dari seorang.
77 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi. 78 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,h.1. 79 Ibid,,h.1-2.
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh
satu) tahun, dalam hal orang tua wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat.
3. Dispensasi Kawin
4. Pencegahan Perkawinan
5. Penolakan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
6. Pembatalan Perkawinan
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri
8. Perceraian karena talak
9. Gugatan Perceraian
10. Penyelesaian Harta Bersama
11. Mengenai Pengusaan Anak-anak
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan
16. pencabutan kekuasaan wali
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut.
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukan wali oleh orang tuanya.
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya.
20. Penetapan asal-usul seorang anak
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran.
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan
yang lain.80
Adapun wilayah hukum Pengadilan Agama Bekasi meliputi seluruh wilayah
daerah Tingkat II Kota Bekasi yang terdiri dari 12 (Dua Belas) Kecamatan dan 55
(Lima Puluh lima) Kelurahan.
Yang menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama adalah terdapat pada Pasal
49, ayat (1) yang berbunyi Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, Wakaf dan Shadaqah. Pada ayat (2) Bidang
perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf a ialah hal-hal yang
diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
Kemudian pada ayat (3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
80
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Amandemen undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,(Jakarta,Sinar Grafika,2006),h.86-87.
1 huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai
harta peniggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan.81
Struktur Pejabat di Lingkungan Pengadilan Agama Bekasi
Ketua Pengadilan : Drs. Entur Mastur, SH
Wakil Ketua : -
Panitera Sekretaris : Drs. Mahbub
Wakil Sekretaris : Midjan, SH
Wakil Panitera : Mansyur Syah, SH
Panitera Muda Permohonan : Adam Iskandar, S.Ag
Panitera Muda Hukum : Endoy Rohana, SH
Panitera Muda Gugatan : Drs. E. Arifudin
Kasub.Bag. Kepegawaian : A. Syamsori. S, S.Ag
Kasub.Bag. Keuangan : Eny Kurniasih, SH
Kasub.Bag. Umum : A. Supandi S.Ag
Panitera Pengganti : Drs. Shodiqin
Fadhlah Latuconsina,SH
Drs. Asep Juhenda
Drs. E. Arifudin
Endoy Rohana, SH
81 Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, cet.ke 1,(Jakarta:Rajawali Press,1991),h.29.
M.Ali Avriddy, SH
Mohammad Rusli,SH
Enjang Zaenal Hasan, SH
Aniati Saad, BA
Adam Iskandar, S.Ag
Sulaiman Sefuddin, SH
Aeni, SH
Jajang Kostalani, S.Ag
Juru Sita Pengganti : Yuliasmi Saad
Sularsih
A. Syamsori, S, S.Ag
A. Supandi S.Ag
Eny Kurniasih, SH
Nove Ratnawati, SH
Mashuri, S.Ag
Suprianto, SE
Komarudin
Umar Saleh, SHI
Dewi Indah Kurniaty, SH
Rusli Halim Fadli, SHI
Daftar Nama-nama Ketua Pengadilan Agama Bekasi82
No. Nama Gol/ Pendidikan Masa Bakti Keterangan
82 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi
Pangkat Terakhir
1. KH. Abu Bakar E.II Pondok Pesantren 1950-1957 Meningal
2. RH. Syamsuddin E.II Pondok Pesantren 1957-1958 Meningal
3. KIAI Hasan E.II Pondok Pesantren 1958-1960 Meningal
4. KH. Polana E.II Pondok Pesantren 1960-1962 Meningal
5. KH. Mahmud E.II Pondok Pesantren 1962-1964 Meningal
6. Saijan E.II Pondok Pesantren 1964-1966 Meningal
7. KH. Ahmad Dzinnun,
BA
III/c Sarmud 1966-1985(1985-
1987 dijabat Pymt
Ketua)
Terakir sebagai hakim PA.Jaksel
8. Drs.H.A.Nawawi Ali,
SH
IV/b Sarjana 1987-1992 Saat ini menduduki sebagai Ketua PTA Jakarta
9. Drs. HM. Samidjan,SH IV/c Sarjana 1992-1996 Meninggal
tahun 2003 10. Drs. H. Zurrihan A.SH IV/b Sarjana 1996-1999 Saat ini
menduduki sebagai Hakim PTA Jakarta
11. Drs. HA.Rahman Abror IV/c Sarjana 1999-2004 Meninggal
tahun 2008 12. HA.Surury Siroj, SH IV/a Sarjana 2004-2007 Saat ini
menduduki sebagai Hakim PTA Bandung
13. Drs.H.Bunyamin
Alamsyah, SH.M.hum
IV/c Sarjana 2007-2008 Saat ini menduduki sebagai Hakim PTA Jambi
14. Drs.Entur Mastur, SH IV/c Sarjana 2008-
Sekarang
Jumlah Data Hakim, Panitera Pengganti, Jurusita/Jurusita Pengganti Pejabat
Struktural, Pejabat Fungsional dan Pegawai Staf Pengadilan Agama Bekasi83
No. Jabatan Laki-laki Perempuan Jumlah Keterangan
1. Hakim 9 5 14
2. Panitera 1 - 1
3. Panitera Pengganti 7 3 10
4. Jurusita/Jurusita
Pengganti 6 6 12
83 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi
5. Pejabat
Struktural/Kesekrt 3 1 4 Wasek dan Kaur
6. Pejabat
Fungsional/Kepaniteraan 4 - 4 Wapan dan Panmud
7. Pegawai/Staf 1 1 2
D. Data Perkara Itsbat Nikah Pengadilan Agama Bekasi
Perkara yang dikabulkan dan ditolak tentang Itsbat nikah yang terjadi di
lingkungan Pengadilan Agama Kota Bekasi, pada tahun 2008 sedangkan data yang
diperoleh hanya bulan Januari sampai Oktober :84
Perkara
No. Bulan Di terima Dikabulkan
Sisa Akhir
Bulan
1. Januari 6 3 3
2. Februari 5 1 4
3. Maret 6 1 5
4. April - - -
5. Mei 9 5 4
6. Juni 9 4 5
7. Juli 4 1 3
8. Agustus 6 4 2
9. September 2 1 1
10. Oktober 4 1 3
11. Nopember - - -
12. Desember - - -
JUMLAH 51 21 30
Dari 51 kasus yang diterima Pengadilan Agama Bekasi terhitung mulai dari
bulan Januari sampai Oktober ternyata semua adalah perkawinan yang dilakukan
sebelum tahun 1974.85
84 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
TENTANG ITSBAT NIKAH
A. Duduk Perkara Itsbat Nikah No.002/Pdt.P/2008/PA.Bekasi di Pengadilan
Agama Bekasi
Dengan mencermati jalan perkara berbagai kasus yang pernah diangkat
dalam beberapa tulisan, terutama kasus yang berkaitan dengan masalah pernikahan
dibawah tangan, penulis semakin berkesimpulan betapa pentingnya sosialisasi
hukum Islam ke dalam masyarakat yang bukan saja bentuk rumusan hukum
normatifnya, tetapi juga terutama tentang aspek tujuan hukum yang dalam kajian
hukum islam dikenal dengan maqasid asy-syari’ah. Secara teoritis, hukum Islam
dirumuskan oleh perumusnya (Allah SWT). Secara umum tidak lain bertujuan
untuk meraih kemaslahatan dan menghindarkan kemadaratan.86
Dalam pembahasan ini penulis akan melakukan analisa yurisprudensi
terhadap masalah ketetapan Pengadilan Agama Bekasi yang mengabulkan
permohonan itsbat nikah bagi perkawinan yang dilaksanakan sebelum Undang-
undang No.1 Tahun 1974 (yakni tahun 1958) dengan alasan untuk pengurusan
Pensiunan Janda diperlukan surat Nikah asli, namun surat nikah asli terdapat
85 Wawancara Pribadi,Dengan majlis Hakim Pengadilan Agama Bekasi. Bapak Drs.
Abdurrahman Masykur. SH. Pada hari jum’at tanggal 26 Desember 2008. 86 Satria Efendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer, (Jakarta:Prenada
Media,2004),h.29.
coretan, sehingga untuk keabsahan atau pengesahan nikah diperlukan Putusan
Pengadilan Agama.87
Masalah yang dianalisa adalah perkara dengan Nomor
002/Pdt.P/2008/PA.BKS. Pernikahan antara pernikahan Suparmi binti
Kartoatmodjo umur 67 tahun sebagai pemohon dengan Sudibyo bin Reksodarsono
(Almarhum) pada tanggal 5 Desember 1958, Pemohon menurut agama Islam di
wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasar Senen, Kotapraja Jakarta dengan
wali Bapak kandung dan maskawin berupa cincin mas 4 (empat) gram tunai adalah
sah menurut syari’at Islam dan sejalan dengan ketentuan perundang-undangan.88
1. Duduk Perkaranya
Bahwa pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 4 Januari 2008
yang telah terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Bekasi Nomor:
002/Pdt.P/2008/PA.BKS, mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa, pada 5 Desember 1958, Pemohon melangsungkan pernikahan
menurut agama Islam di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasar
Senen, Kotapraja Jakarta, dengan wali bapak kandung bernama :
Kartoatmodjo dengan mas kawin berupa cincin emas 4 gram tunai dengan
disaksikan 2 orang saksi diantaranya almarhum Bapak Suwandar dan
Alm.Suwarto.
87 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS 88 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS
2. Bahwa, pernikahan antara Pemohon dengan Sudibyo bin Reksodarsono
tersebut terdaftar di KUA Kecamatan Senen, Kotapraja Jakarta, namun surat
nikah tersebut terdapat coretan.
3. Selama berumah tangga antara Pemohon dengan Sudibyo bin Reksodarsono
telah dikaruniai 5 (lima) orang anak masing-masing bernama :
a. Sri Sudiastuti Meninggal dunia
b. Bambang Sudiantoro Umur 47 tahun
c. Heri Sudiantono Umur 41 tahun
d. Heru Sudianto Umur 40 tahun
e. Hari Sudiarto Umur 27 tahun
4. Bahwa, selama pernikahan tersebut tidak ada pihak ketiga yang mengganggu
gugat pernikahan Pemohon dengan suaminya tersebut dan selama itu pula
Pemohon tetap beragama Islam.
5. Bahwa, suami Pemohon yang bernama Sudibyo bin Reksodarsono
sebagaimana tersebut selanjutnya telah meninggal dunia pada tanggal 16
Nopember 2007 karena sakit.
6. Bahwa, suami Pemohon semasa hidupnya sebagai personil Departemen
Pertahanan Keamanan RI Direktorat Jenderal Personil Tenaga Kerja
Manusia dan Veteran sesuai Petikan Surat Keputusan Nomor Skep-
001/03/31/A-VIII/II/1988 Tentang Pemberian Tunjangan Veteran Republik
Indonesia Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1985.
7. Bahwa, untuk pengurusan Pensiunan Janda diperlukan surat Nikah yang asli
sedangkan surat nikah yang asli terdapat coretan, sehingga untuk keabsahan
atau pengesahan nikah diperlukan Putusan dari Pengadilan Agama.89
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Pemohon mohon kepada Ketua
Pengadilan Agama Bekasi kiranya dapat mengabulkan permohonan Pemohon
dengan menjatuhkan penetapan sebagai berikut.
1. Mengabulakan permohonan Pemohon
2. Menetapkan sah pernikahan antara pemohon Suparmi binti Kartoatmodjo
dengan Sudibyo bin Reksodarsono yang dilangsungkan pada tanggal 5
Desember 1958 dengan wali Bapak kandung dan maskawin berupa cincin
mas 4 (empat) gram tunai.
3. Menetapkan biaya perkara menurut hukum yang berlaku90
Atau bila Pengadilan Agama Bekasi berpendapat lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya.
Bahwa pada hari persidangan yang telah ditatapkan, Pemohon telah
hadir sendiri, kemudian Ketua Majelis memberikan penjelasan dan nasehat
sehubungan dengan permohonan tersebut, lalu dibacakanlah Permohonan
Pemohon tersebut, yang isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon.
Bahwa untuk memperkuat dalil Permohonannya, Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti surat berupa :
a. Photo copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon (Bukti P.1)
89 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS. 90 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS.
b. Photo copy Surat Keputusan Nomor Skep-003/03/31/A-VIII/II/1988,
tanggal 8-2 1988 Tentang Pemberian Tunjangan Veteran Republik Indonesia
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1985 (Bukti P.3)
c. Photo copy Akte Kelahiran yang dikeluarkan oleh Lurah Bekasi Jaya,
tanggal 16-11-2007 (Bukti P.4)91
Bahwa disamping surat-surat tersebut sebagaimana tersebut di atas,
Pemohon juga mengajukan saksi-saksi yang memberikan keterangan di bawah
sumpahnya sebagai berikut :
Saksi I
Nama : Nuriyah binti Abdul Latif, umur 59 tahun, agama Islam, Pekerjaan Ibu
rumah tangga, tempat kediaman di Jl.Mawar -9, Blok D 15, Rt.11/Rw.13, No.
23 Kelurahan Bekasi Jaya, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi.
Bahwa, saksi tersebut memberikan keterangan dibawah sumpahnya yang
pada pokoknya sebagai berikut :92
Bahwa, saksi menerangka bertetangga dan kenal dengan Pemohon sejak
kecil sudah puluhan tahun dan memang Pemohon adalah isteri dari Sudibyo
belum pernah cerai hingga meninggal dan tidak pernah ada komplen tentang
status pernikahan tersebut dan semua orang yang saksi tahu mengakui Pemohon
isteri sah almarhum dan mempunyai lima orang anak.
Saksi II
91 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS 92 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS
Nama : Saleh bin Sata, umur 57 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, tempat
kediaman di Jl.Mawar -9, Blok D 15, Rt.11/Rw.13, No. Kelurahan Bekasi Jaya,
Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi
Bahwa, saksi tersebut memberikan keterangan dibawah sumpahnya yang
pada pokoknya sebagai berikut :
Bahwa, saksi menerangkan bertetangga dan kenal dengan Pemohon
sejak puluhan tahun dan memang Pemohon adalah isteri dari Sudibyo belum
pernah cerai hingga meninggal dan tidak pernah ada komplen tentang status
pernikahan tersebut dan semua orang yang saksi tahu mengakui Pemohon isteri
sah almarhum dan mempunyai lima orang anak. Tapi saksi yang kenal hanya
dua orang saja lainnya tidak kenal.93
Bahwa, selanjutnya Pemohon menyatakan tidak lagi mengajukan sesuatu
apapun dan mohon kepada Pengadilan Agama Bekasi agar membuat dan
menetapkan sah pernikahan tersebut.
Bahwa, untuk mempersingkat uraian penetapan ini, maka ditunjuk segala
hal ikhwal sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan perkara
ini.94
2. Tentang Hukumnya
Bahwa, maksud dan tujuan Permohonan Pemohon pada pokoknya
adalah sebagaimana tersebut diatas.
93 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS 94 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS
Bahwa permohonan Pemohon Itsbat Nikah Pemohon adalah tentang
pengesahan nikah yang terjadi sebelum tahun 1974, dan Pemohon berdomisili
hukum diwilayah Pengadilan Agama Bekasi, dan karenanya dengan didasarkan
kepada ketentuan pasal 49 ayat (2) butir 22 Penjelasan Umum Undang-undang
nomor 7 tahun 1989 dan Perubahan UU. No. 3 tahun 2006, sejalan dengan pasal
7 ayat (2) dan (3) butir (d) dan (e) Kompilasi Hukum Islam maka secara formal
permohonan Pemohon dapat diterima dan dipertimbangkan.95
Bahwa, berdasarkan posita permohonan Pemohon majelis menilai bahwa
Pemohon telah menikah dengan wali nikah ayah Pemohon sendiri bernama :
Kartoatmodjo dan disaksikan oleh lebih dari dua orang dengan dirayakan dan
berdasarkan keterangan pihak yang berperkara, bukti-bukti serta saksi-saksi
yang diajukan oleh Pemohon tersebut diatas, Majelis telah menemukan fakta
dalam persidangan ini yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Bahwa, Pemohon telah menikah secara agama Islam dengan yang
dilangsungkan pada 5 Desember 1958, Pemohon melangsungkan pernikahan
menurut agama Islam di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasar
Senen, KotaPraja Jakarta dengan wali bapak kandung bernama :
Kartoatmodjo dengan mas kawin berupa cincin emas 4 gram tunai dengan
disaksikan 2 orang saksi diantaranya alm.Bapak Suwandar dan
Alm.Suwarto, serta belum pernah bercerai dan hingga sekarang ini Pemohon
dan Suaminya masih tetap beragama Islam.
95 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS
b. Bahwa, antara Pemohon dengan tersebut tidak ada hubungan muhrim, bukan
saudara sesusuan, tidak terdapat adanya larangan perkawinan baik menurut
agama maupun menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta tidak terikat oleh suatu perkawinan dan atau tidak dalam masa
‘iddah orang lain.
c. Bahwa, selama dalam perkawinan tersebut antara pemohon dengan alm
suaminya telah melakukan hubungan kelamin (bakdaddukhul) dan 5 orang
anak bernama :
1. Sri Sudiastuti Meninggal dunia
2. Bambang Sudiantoro Umur 47 tahun
3. Heri Sudiantono Umur 41 tahun
4. Heru Sudianto Umur 40 tahun
5. Hari Sudiarto Umur 27 tahun96
Bahwa, dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, terbukti
bahwa perkawinan Pemohon dengan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan
syari’at Islam sebagaimana tersebut dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam.97
Bahwa, dengan telah ditemukannya fakta bahwa perkawinan Pemohon
dengan telah memenuhi ketentuan hukum Islam, maka dengan didasarkan
kapada ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, permohonan Pemohon agar perkawinannya dengan yang
dilaksanakan pada 5 Desember 1958, Pemohon melangsungkan pernikahan
menurut agama Islam di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasar
96 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS 97 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS
Senen, Kotapraja Jakarta, dan atau Pemohon tidak tahu identitasnya ditetapkan
keabsahannya dan dinyatakan sah dan patut diterima.98
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diata, maka
permohonan Pemohon dipandang telah mempunyai cukup alasan dan karenanya
permohonan tersebut patut diterima dan dikabulkan.
Bahwa, perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka
berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan Perubahannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama, biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Pemohon.
Mengingat pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 dan Perubahannya UU No. 3
tahun 2006 tentang Peradilan Agama serta segala ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan hukum Islam yang bersangkutan.99
3. Tentang Putusan
1. Mengabulakan permohonan Pemohon
2. Menetapkan pernikahan pemohon dengan Sudibyo bin Reksodarsono pada
tanggal 5 Desember 1958, Pemohon menurut agama Islam di wilayah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasar Senen, Kotapraja Jakarta dengan
wali Bapak kandung dan maskawin berupa cincin mas 4 (empat) gram tunai
adalah sah menurut syari’at Islam dan sejalan dengan ketentuan perundang-
undangan.
98 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS 99 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS
3. Membebankan kepada Pemohon untuk menbayar biaya perkara ini sebesar
Rp. 81.000,- (delapan puluh satu ribu).
Penetapan ini dijatuhkan pada hari rabu tanggal 13 Februari 2008
Masehi bertepatan dengan tanggal 06 Shoffa 1429 Hijriyah oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Bekasi yang terdiri dari Drs. Abdurrahman Masykur, SH.
Sebagai Hakim Ketua Majelis serta Drs. Jajat Sudrajat, SH, dan Dra. Sarbiati,
SH. Sebagai hakim-hakim Anggota serta diucapkan oleh Ketua majelis pada
hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh para hakim
Anggota tersebut serta Enjang Zaenal Hasan, SH. Sebagai panitera pengganti
dan dihadiri oleh pihak Pemohon.100
4. Analisisa Kasus
Setelah membaca duduk perkara tersebut di atas dan mempelajari berkas
perkaranya, dengan mencermati argumentasi- argumentasi yang diajukan oleh
Pemohon, serta pertimbangan hukum baik oleh Pengadilan Agama Bekasi, ada
beberapa hal yang menarik perhatian penulis untuk disoroti lebih jauh seperti
akan dibahas sebagai berikut.
Dalam perkara ini, secara gamblang telah dapat dibuktikan bahwa pada
pada 5 Desember 1958, Pemohon melangsungkan pernikahan menurut agama
Islam di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasar Senen, Kotapraja
Jakarta, dengan wali bapak kandung bernama : Kartoatmodjo dengan mas kawin
100 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS.
berupa cincin emas 4 gram tunai dengan disaksikan 2 orang saksi diantaranya
alm.Bapak Suwandar dan Alm.Suwarto.
Pernikahan antara Pemohon dengan Sudibyo bin Reksodarsono tersebut
terdaftar di KUA Kecamatan Senen, Kotapraja Jakarta, namun surat nikah
tersebut terdapat coretan. Bahwa, suami Pemohon yang bernama Sudibyo bin
Reksodarsono sebagaimana tersebut selanjutnya telah meninggal dunia pada
tanggal 16 Nopember 2007 karena sakit.
Suami Pemohon semasa hidupnya sebagai personil Departemen
Pertahanan Keamanan RI Direktorat Jenderal Personil Tenaga Kerja Manusia
dan Veteran sesuai Petikan Surat Keputusan Nomor Skep-001/03/31/A-
VIII/II/1988 Tentang Pemberian Tunjangan Veteran Republik Indonesia
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1985 tentang Pemberian
Tunjangan Veteran Kepada Veteran Republik Indonesia.
Untuk pengurusan Pensiunan Janda diperlukan surat Nikah yang asli
sedangkan surat nikah yang asli terdapat coretan, sehingga untuk keabsahan atau
pengesahan nikah diperlukan Putusan dari Pengadilan Agama. selama dalam
perkawinan tersebut antara pemohon dengan almarhum suaminya telah
melakukan hubungan kelamin (bakdaddukhul) dan 5 orang anak bernama : Sri
Sudiastuti Meninggal dunia, Bambang Sudiantoro Umur 47 tahun, Heri
Sudiantono Umur 41 tahun, Heru Sudianto Umur 40 tahun, dan Hari Sudiarto
Umur 27 tahun.101
101 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.002/Pdt.P/2008/PA.BKS
Bilamana terbukti telah terjadi akad nikah antara Pemohon dan
Termohon maka, permasalahannya bagaimana sikap penegak hukum dalam
menilai sebuah perkawinan yang dilakukan dibawah tangan, dengan pengertian
tanpa mencatatkannya pada badan yang berwenang. Berkaitan dengan hal ini,
pada salah satu terbitan majalah mimbar hukum membahas tentang hukum Az-
zawaj al-‘urfy. Secara panjang lebar menguraikan masalah tersebut dengan
banyak menukil pendapat yang pernah dikemukakan oleh syekh al-Azhar yang
waktu itu dijabat oleh Syekh Dr.Jaad al-Haq masalah sama yang pernah dibahas,
maka tulisan ini hanya ingin membeberkan bagian-bagian tertentu dari fatwa
ulama tersebut sepanjang dapat memperjelas duduk masalah hukum kasus yang
dibahas pada tulisan ini.102
Dalam fatwa ulama tersebut, apa yang dimaksud dengan azzawaj al-
‘urfy, adalah sebuah pernikahan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, Syekh
Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq membagi ketentuan yang mengatur pernikahan
kapada dua kategori :103
1. Peraturan syara, yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidaknya sebuah
pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh syari’ah
Islam seperti yang telah dirumuskan oleh para pakarnya dalam buku-buku
fiqh dari berbagai mazhab yang pada intinya adalah, kemestian adanya ijab
102 Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,Cet.2 (Jakarta:
Prenada Media,2005),h.33. 103 Ibid,h.33.
dan qabul dari masing-masing dua orang yang berakad (wali dan calon
suami) yang diucapkan pada majelis yang sama.
2. Peraturan yang bersifat tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud
agar pernikahan di kalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat dengan
memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang
berwenang. Secara administratif, ada peraturan yang mengharuskan agar
suatu pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sebagai antisipasi adanya pengingkaran adanya akad nikah oleh
seorang suami di belakang hari, yang meskipun pada dasarnya dapat
dilindungi dengan adanya para saksi tetapi sudah tentu akad lebih dapat
dilindungi lagi dengan adanya pencatatan resmi dilembaga yang
berwenang.104
Menurut Undang-undang Perkawinan Republik Arab Mesir Nomor 78
Tahun 1931, tidak akan didengar suatu pengaduan tentang perkawinan atau
tentang hal-hal yang didasarkan atas perkawinan , kecuali berdasarkan adanya
pencatatan akad nikah atau adanya dokumen resmi pernikahan. Namun
demikian, menurut fatwa Syekh Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq, tanpa memenuhi
peraturan perundang-undangan itu, secara syar’i nikahnya sudah dianggap sah,
apabila telah melengkapi segala syarat dan rukunnya seperti diatur dalam
syari’at Islam.105
Lebih jelas lagi, dalam buku al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu oleh
Wahbah az-Zuhaili secara tegas ia membagi syarat nikah menjadi syarat syar’i
104 Ibid,h. 33-34. 105 Ibid,h.34.
dan syarat tawsiqy. Syarat syar’i maksudnya suatu syarat di mana keabsahan
suatu ibadah atau akad tergantung kepadanya. Sedangkan syarat tawsiqy adalah
suatu yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu
tindakan sebagai upaya antisipasi adanya ketidakjelasan di kemudian hari.
Syarat tawsiqy bukan merupakan syarat sahnya suatu perbutan tetapi sebagai
bukti di kemudian hari atau untuk menertibkan suatu perbuatan.106
B. Analisis Terhadap Penetapan Hukum yang digunakan Pengadilan Agama
dalam perkara Itsbat Nikah
Putusan disebut vonnis (Belanda) atau al qada’u (Arab), yaitu produk
Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu
“penggugat” dan “tergugat”. Produk Pengadilan Agama semacam ini biasanya
diistilahkan dengan “produk peradilan agama yang sesungguhnya” atau jurisdictio
contentiosa.107
Putusan Peradilan Perdata (Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata)
selalu memuat perintah dari Pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan
sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk melepaskan sesuatu, atau
menghukum sesuatu. Jadi dictum vonis selalu bersifat comdemnatoir artinya
menghukum, atau bersifat constitutoir artinya menciptakan.108
106 Ibid,h.35. 107 Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,1998),h.193. 108 Ibid,h.193.
Bila diperhatikan secara keseluruhan suatu putusan, mulai dari halaman
pertama sampai halaman terakhir, bentuk dan isi putusan Pengadilan Agama secara
singkat adalah sebagai berikut:
a. Bagian kepala putusan
b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara
c. Identitas pihak-pihak
d. Duduk perkaranya (bagian posita)
e. Tentang pertimbangan hukum
f. Dasar hukum
g. Diktum atau amar putusan
h. Bagian kaki putusan
i. Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya109
Sebagaimana diketahui bahwa kehadiran Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melahirkan
lembaga “pengukuhan” terhadap “keputusan” atau “putusan” Pengadilan Agama
oleh Pengadilan Umum dalam jenis-jenis perkara yang terdapat dalam Undang-
undang dan Peraturan Pemerintah tersebut.
Selain itu sudah pula menunggu sejak dulu, bahwa untuk pelaksanaan paksa
keputusan Peradilan Agama diperlukan “fiat eksekusi” atau executoir verklaaring”
oleh Peradilan Umum. Karenanya, pada kesempatan pembahasan tentang produk
109 Ibid, 199-120.
Peradilan Agama yang dinamakan putusan atau penetapan ini, perlu kita bahas pula
kaitannya dengan pengukuhan dan fiat eksekusi tersebut sebagai berikut.110
1. Baik putusan atau penetapan Pengadilan Agama baru mempunyai kekuatan
hukum yang tetap (in kracht) adalah setelah lampau waktu 14 hari sejak salinan
lengkap putusan atau penetapan diterimakan kepada pihak (pihak disini
dimaksudnya adalah yang justiciable atau kuasa sahnya). Jadi bukan 14 hari
sejak diputus atau sejak diberitahukan ikhtisar keputusan.
2. Putusan Pengadilan Agama sebagaimana juga putusan Pengadilan Negeri yang
lengkap, memuat tiga macam kekuatan, yaitu kekuatan mengikat (bindende
kracht), kekuatan bukti (bewijzende kracht), dan kekuatan eksekusi
(executoriale kracht). 111
Perkara voluntair ialah perkara yang sifatnya permohonan dan didalamnya
tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan. Pada dasarnya perkara
permohonan tidak dapat diterima, kecuali kepentingan undang-undang
menghendaki demikian. Perkara voluntair yang diajukan ke Pengadilan Agama
seperti :
a) Penetapan wali pengampu bagi ahli waris yang tidak mampu untuk melakukan
tindakan hukum.
b) Penetapan pengangkatan wali.
c) Penetapan pengangkatan anak.
d) Penetapan pengesahan nikah (itsbat nikah).
110 Roihan A.Rosyid, Upaya Hukum terhadap Putusan Peradilan Agama,Cet.1 (Jakarta:
CV.Pedoman Ilmu Jaya,1989),h.16-17. 111 Ibid,h.18.
e) Penetapan wali adhol.112
Pada prinsipnya, tidak terhadap semua hal atau keadaan dapat diajukan
gugat volunter. Permintaan sesuatu gugat volunter harus berdasar ketentuan
peraturan perundang-undangan. Artinya undang-undang telah menentukan sendiri
bahwa tentang suatu hal dapat diajukan gugat volunter. Umpamanya, permohonan
pengangkatan wali terhadap seorang yang belum dewasa yang tidak ada lagi orang
tuanya berdasar pada Pasal 50 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. apalagi terhadap
sesuatu yang menimbulkan hak pemilikan atau hak mewarisi sesuatu barang, tidak
boleh dilakukan melalui gugat volunter.113
112 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar
1996),h. 41. 113 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika,2007),h.189.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, dalam hal pelaksanaan
Itsbat Nikah dalam rangka pencatatan perkawinan pada Pengadilan Agama Bekasi
No. 002/Pdt.P/2008/PA.Bks. Penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Itsbat nikah perlu diberikan untuk kasus-kasus tertentu saja, sedangkan untuk
perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-undang Perkawinan
tidak perlu diberikan itsbat nikah, karena bertentangan dengan undang-undang
Perkawinan itu sendiri. Tentunya kewibawaan Undang-undang Perkawinan ini
dirongrong dan akan semakin banyak orang yang melakukan pelanggaran
hukum. Sehingga perkawinan yang dilakukan sesudah tahun 1974 tidak dapat
diitsbatkan ke Pengadilan Agama kecuali hal-hal tertentu saja. Seperti
pengurusan pensiunan janda, pengurusan ibadah haji dan lain sebagainya.
2. Proses pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama adalah Pemohon datang
ke kantor Pengadilan Agama di wilayah kekuasaan relatif Pengadilan Agama
tersebut (wilayah tempat tinggalnya) dengan membawa surat-surat yang
diperlukan misalnya surat keterangan dari Rukun Tetangga (RT) dan Rukun
Warga (RW) Lurah atau Kepala Desa setempat atau surat keterangan kehilangan
akta nikah dari kepolisian. Mengajukan permohonan baik secara tertulis maupun
secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan menyampaikan sebab-
sebab pengajuan permohonan. Membayar uang muka biaya perkara. Bagi yang
tidak mampu membayar uang perkara, Pengadilan Agama bisa mengajukan
Predeo (pembebasan biaya). Membawa saksi-saksi yang diperlukan. Yaitu orang
yang bertindak sebagai wali dalam pernikahan yang telah terjadi, petugas atau
orang yang menikahkan, orang-orang yang mengetahui adanya perkawinan itu.
3. Dasar dan pertimbangan hukum yang di gunakan oleh Hakim Pengadilan
Agama Bekasi, perkara No. 002/Pdt.P/2008/PA.BKS. Tentang perkara
permohonan Nikah/ Itsbat Nikah adalah didasarkan kepada pasal 49 ayat 2 butir
22 Penjelasan Umum Undang-undang No. 7 tahun 1989 dan perubahannya
Undang-undang No. 3 tahun 2006, sejalan dengan pasal 7 ayat 2 dan 3 butir (d)
dan (e) Kompilasi Hukum Islam maka secara formal permohonan pemohon
dapat diterima.
B. Saran
1. Perlu disosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya pencatatan
nikah,yaitu dengan jalan sosialisasi melalui khatib pada pelaksanaan shalat
jum’at dan ceramah dalam forum Majelis Ta’lim. Karena dengan adanya
pencatatan nikah ada jaminan dan kepastian hukum yang menyangkut status
perkawinan itu, sehingga tidak ada lagi pihak yang dirugikan. Jika terjadi
perkawinan dibawah tangan yang paling dirugikan adalah isteri dan anak.
2. Diperlukan adanya penyuluhan hukum terhadap Undang-undang Perkawinan
ini, walaupun Undang-undang ini sudah berusia puluhan tahun, namun sebagian
masyarakat belum mengetahuinya. Kiranya memberlakukan fiksi hukum dalam
kasus Undang-undang Perkawinan merupakan tindakan yang kurang bijaksana.
3. Perlu adanya sosialisasi dalam suatu lembaga pendidikan seperti halnya sekolah
terutama di tingkat Aliyah atau sederajat akan pentingnya pencatatan nikah yaitu
dengan cara memasukkan kurikulum didalam kegiatan pembelajaran tersebut.
4. Di dalam kehidupan bermasyarakan pencatatan nikah perlu disosialisasikan
melalui khutbah pada saat pelaksanaan shalat jum’at dan Ceramah dalam forum
Majelis Ta’lim sehingga masyarakat dapat mengetahui dan memahami
bagaimana pentingnya penncatatan nikah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Abdurrahman, SH.MH. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, CV. Akademika
Pressindo, 2004.
Abidin,Slamet, dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1998.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Perkawian Islam, Yogyakarta, UII Press,2000.
Djalil,Basiq S.H.,MA, Peradilan Agama Di Indonesia, Gemuruhnya Politik Hukum
(Hk. Islam, Hk. Barat, dan Hk. Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang
Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh,
Jakarta, Kencana, 2006.
Efendi M.Zein, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer,
Jakarta:Prenada Media,2004.
Eoh,O.S, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,1996.
Fokusmedia,Tim Redaksi Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang
Kompilasi Hukum Islam ,Bandung: Fokusmedia, 2005.
Fuad Syakir, Muhammad, Perkawinan Terlarang ,Penterjamah, Fauzan Jamal, dan
Alimin, Jakarta, CV. Cendekia Sentra Muslim,2002.
Harahap,Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No.7 Tahun
1989, Jakarta: Sinar Grafika,2007.
Hasan Bisri, Cik, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung,
PT. Remaja Rosda Karya, 2000.
Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi Jakarta: Fakultas Syariah dan
Hukum,2007. Cet.1.
Johan Nasution, Bahder dan Warjiyati, Sri Hukum Perdata Islam Kompetensi Peradilan
Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Wakaf, dan Shadaqoh, Bandung:
Muhdar Maju,1997, cet. ke ,1.
Lev, Daniel S. Peradilan Agama Islam di Indonesia. Penerjemah Zaini Ahmad Noeh,
Jakarta: Intermesa,1986
Mubarok , Jaih, Peradilan Agama di Indonesia,Bandung, Pustka Bani Quraisy, 2004.
Muchtar,Kamal, Asas-asas hukum islam tentang perkawinan, Jakarta, PT. Bulan
Bintang, 1993.
Muzdhar, Atho HM, ed., Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,Jakarta:Ciputat
Press,2003.
Nuruddin,Amiur dan Akmal Tarigan Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Partisipasi, Media, “Pentingnya Itsbat Nikah”, artikel diakses pada 17 Desember 2008
dari http Islamic Center for Democracy and Human Rghts Empowerment
Pentingnya Itsbat nikah.htm.
Pengadilan Bekasi, Panitera, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah Hukum
Pengadilan Agama Bekasi.
Rasyid, Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,1995.
--------------------, Upaya Hukum terhadap Putusan Peradilan Agama, Jakarta:
CV.Pedoman Ilmu Jaya,1989, Cet.1.
Rofik,Ahmad Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2003.
Rusli Tama, Perkawinan Antar Agama dan masalahnya sebagai pelengkap UU
Perkawinan No. 1 Th. 1974, Bandung, Pionir, 2000.
Sidqi, Muhammad Bin Al-Burnu, Ahmad, Al-wajid Fi Qawaidul Fiqh Kulliyah.
Sofyan,Yayan “Istbat Nikah Bagi yang tidak dicatat Setelah Diberlakukan UU No.1
Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Jurnal “, Ahkam” No. 08 April
2002.
Sostroatmodjo, Arso dan Aulawi, Wasit Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Bulan
Bintang,1978.
Tahir, Hamid Andi, Beberapa Hal Baru tentang Peradilan Agama dan Bidangnya
Jakarta, Sinar Grafika,1996, Cet.ke 1.
Usman ,Suparman Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di
Indonesia,Serang, Saudara Serang, 1995.
Undang-undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Amandemen
undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,Jakarta,Sinar
Grafika,2006.
Warson Munawir, Ahmad, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia,Surabaya,Pustaka
Progressif,1997, Cet.ke-25.