Click here to load reader
Upload
operator-warnet-vast-raha
View
494
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana yang telah banyak orang ketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW telah
memberi pengarahan-pengarahan yang khusus terhadap kaum Hawa, hal ini seiring Al-Quran
dan Al-Hadits yang mengkhususkan pembahasan bagi wanita yang berkaitan dengan fitrah
wanita itu sendiri yang tidak dimiliki oleh kaum Adam, masalah haid misalnya, yang secara
fitrah akan dimiliki oleh wanita normal serta subur dan boleh hamil.
Sebagaimana diungkapkan Rasullullah SAW. Juga, “syurga itu berada dibawah telapak
kaki ibu.” Pada hadits lain beliau mengatakan, “wanita adalah tiang negara. Jika wanitanya
baik, baik pula negaranya. Dan apabila buruk wanitanya, maka buruk pulalah negaranya”.
Untuk itu keutamaan sikap hidup menuju citra muslimah sejati harus selalu diusahakan
melalui berbagai cara. Dan salah satu jalan yang tidak diragukan adalah dengan pendekatan
diri yang lebih tulus kepada Allah. Yaitu lewat pengabdian dan ibadah sebaik-baiknya.
Menstruasi atau haid terjadi secara periodik pada semua perempuan sehat yang memiliki
organ reproduksi sehat juga. Haid bahkan bisa menjadi indikator kesuburan.
Namun siklus bulanan tersebut kerap menjadi masalah bagi wanita( sebagaimana pada
kasus menunaikan ibadah haji dan puasa ramadhan tadi) karean hukum islam melarang
wanita yang sedang haid melakukan ibadah.
Nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat alat kandungan pulih
kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama 6-8 minggu. Periode
nifas merupakan masa kritis bagi ibu, diperkirakan 60 % kematian ibu akibat kehamilan
terjadi setelah persalinan yang mana 50% dari kematian ibu tersebut terjadi 24jam pertama
setelah persalinan. Dan ada suatu hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama masa
Nifas, termasuk kedalamnya, beribadah, bersetubuh dengan suami dan lain-lain. Untuk itu
perawatan saat masa nifas merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Perawatan
masa nifas mencakup berbagai aspek mulai dari pengaturan dalam Kesehatan, anjuran untuk
kebersihan, menghindari hal-hang tidak diperbolehkan.Selain perawatan nifas dengan
memanfaatkan sistem pelayanan biomedical ada juga ditemukan sejumlah pengetahuan dan
perilaku budaya dalam perwatan masa nifas.
ii
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Ibadan yang boleh dilakukan bagi wanita haid
Bagaimana Pengertian nifas.
Bagaimana Mengenali Darah Nifas
Bagaimana Lama Keluarnya Darah Nifas
Bagaimana Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita yang Nifas.
Bagaimana Hukum-hukum Seputar Nifas
Bagaimana wajib sehabis nifas
C. Tujuan
Untuk mengetahui Ibadan yang boleh dilakukan bagi wanita haid
Untuk mengetahui Bagaimana Pengertian nifas.
Untuk mengetahui Bagaimana Mengenali Darah Nifas.
Untuk mengetahui Bagaimana Lama Keluarnya Darah Nifas
Untuk mengetahui Bagaimana Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita yang Nifas.
Untuk mengetahui Bagaimana Hukum-hukum Seputar Nifas
Untuk mengetahui Bagaimana wajib sehabis nifas
ii
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ibadan yang boleh dilakukan bagi wanita haid
Dalam riwayat Bukhari (294) dan Muslim (1211) dari jalur ‘Abdurrahman bin Al Qosim, dari
Al Qosim bin Muhammad, dari ‘Aisyah, ia berkata, “Aku pernah keluar, aku tidak ingin
melakukan kecuali haji. Namun ketika itu aku mendapati haidh. Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam akhirnya mendatangiku sedangkan aku dalam keadaan menangis. Belia
berkata, “Apa engkau mendapati haidh?” Aku menjawab, “Iya.” Beliau bersabda, “Ini sudah
jadi ketetapan Allah bagi kaum hawa. Lakukanlah segala sesuatu sebagaimana yang
dilakukan orang yang berhaji kecuali thowaf keliling Ka’bah.” Dari sini maka hendaklah
laki-laki dan perempuan bersemangat untuk melakukan berbagai kebaikan. Tidak
sepantasnya melarang wanita di masa haidh dan nifasnya dari berbagai kebaikan lainnya
karena ini merupakan tipu daya syaithan. Mereka hanya terlarang melakukan shalat, puasa,
dan thowaf, sedangkan yang lainnya mereka boleh menyibukkan diri dengannya. Adapun
khusus untuk membaca Al Qur’an bagi wanita haid, maka di sini terdapat perselisihan di
kalangan para ulama rahimahullah. Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Bolehnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dan nifas, asalkan tidak
menyentuh mushaf Al Qur’an. Inilah pendapat dari Imam Malik, juga salah satu pendapat
dari Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Al Bukhari,
Daud Azh Zhohiri, dan Ibnu Hazm.
Pendapat kedua: Bolehnya membaca sebagian Al Qur’an, satu atau dua ayat, bagi wanita
haidh dan nifas. Ada yang menyebutkan bahwa tidak terlarang membaca Al Qur’an kurang
dari satu ayat.
Pendapat ketiga: Diharamkan membaca Al Qur’ab bagi wanita haidh dan nifas walaupun
hanya sebagian saja. Inilah pendapat mayoritas ulama, yakni ulama Hanafiyah, ulama
Syafi’iyah, ulama Hambali dan selainnya. Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa inilah
pendapat kebanyakan ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kalangan tabi’in dan ulama setelahnya.
Setiap pendapat di atas memiliki dalil pendukung masing-masing. Namun yang terkuat
menurut kami adalah bolehnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dan nifas. Inilah
pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Seandainya wanita haidh terlarang membaca Al
Qur’an, tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya dengan
penjelasan yang benar-benar gamblang, lalu tersampaikanlah pada kita dari orang-orang yang
tsiqoh (terpercaya). Jika memang benar ada pelarangan membaca Al Qur’an bagi wanita
haidh dan nifas, tentu akan ada penjelasannya sebagaimana diterangkan adanya larangan
shalat dan puasa bagi mereka. Kita tidak bisa berargumen dengan dalil pelarangan hal ini
ii
karena para ulama sepakat akan kedho’ifannya. Hadits yang dikatakan bahwa para ulama
sepakat mendho’ifkannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),
القرآن من شيئا الجنب وال الحائض تقرأ ال
“Tidak boleh membaca Al Qur’an sedikit pun juga bagi wanita haidh dan orang yang junub.
Imam Ahmad telah membicarakan hadits ini sebagaimana anaknya menanyakannya pada
beliau lalu dinukil oleh Al ‘Aqili dalam Adh Dhu’afa’ (90), “Hadits ini batil. Isma’il bin
‘Iyas mengingkarinya.” Abu Hatim juga telah menyatakan hal yang sama sebagaimana
dinukil oleh anaknya dalam Al ‘Ilal (1/49). Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Fatawanya (21/460), “Hadits ini adalah hadits dho’if sebagaimana kesepakatan para ulama
pakar hadits.”Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Fatawanya (26/191), “Hadits ini tidak
diketahui sanadnya sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini sama sekali tidak
disampaikan oleh Ibnu ‘Umar, tidak pula Nafi’, tidak pula dari Musa bin ‘Uqbah, yang di
mana sudah sangat ma’ruf banyak hadits dinukil dari mereka. Para wanita di masa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudang seringkali mengalami haidh, seandainya
terlarangnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh/nifas sebagaimana larangan shalat dan
puasa bagi mereka, maka tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menerangkan hal
ini pada umatnya. Begitu pula para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya
dari beliau. Tentu saja hal ini akan dinukil di tengah-tengah manusia (para sahabat). Ketika
tidak ada satu pun yang menukil larangan ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
tentu saja membaca Al Qur’an bagi mereka tidak bisa dikatakan haram. Karena senyatanya,
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang hal ini. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri tidak melarangnya padahal begitu sering ada kasus haidh di masa itu, maka
tentu saja hal ini tidaklah diharamkan.”
Syaikhul Islam telah menjelaskan secara global tentang pembolehan membaca Al Qur’an
bagi wanita haidh dengan menyebutkan kelemahan hadits yang membicarakan hal itu.
Syaikhul Islam mengatakan dalam Majmu’ Al Fatawa (21/460), “Sudah begitu maklum
bahwa wanita sudah seringkali mengalami haidh di masa beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, namun tidak ditemukan bukti beliau melarang membaca Al Qur’an kala itu.
Sebagaimana pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang berdzikir dan berdo’a
bagi mereka. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan kepada para
wanita untuk keluar saat ied, lalu bertakbir bersama kaum muslimin. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam pun memerintahkan kepada wanita haidh untuk menunaikan seluruh
manasik kecuali thawaf keliling ka’bah. Begitu pula wanita boleh bertalbiyah meskipun ia
dalam keadaan haidh. Mereka bisa melakukan manasik di Muzdalifah dan Mina, juga boleh
melakukan syi’ar lainnya.”
B. Pengertian Haid dan nifas.
ii
A. Haid
Haid atau menstruasi adalah darah yang keluar dari rahim ketika seorang perempuan telah
mencapai baligh, biasanya terjadi pada waktu-waktu tertentu. Hikmah keluarnya darah haid
ini adalah untuk mengendalikan kelahiran anak secara alami.
Batas minimal keluarnya darah haid (menstruasi) adalah sehari semalam, dan batas
maksimalnya adalah lima belas hari. Adapun umumnya masa haid (masa menstruasi) adalah
enam atau tujuh hari.
Adapun batas minimal sucinya itu tiga belas atau lima belas hari, dan batas maksimal sucinya
itu tidak terbatas, umumnya seseorang bersih dari haid (menstruasi) adalah 23 atau 24 hari.
Dalam hal ini, perempuan dibagi ke dalam tiga golongan, yakni Mubtada’ah (yang baru
mulai haid), mu’tadah (yang sudah biasa(, dan mustahadhah, dan masing-masing memiliki
hukum tersendiri.
1. Mubtada’ah
Mereka adalah perempuan yang baru pertama kali melihat darahnya keluar. Apabila dia
melihat darahnya keluar, maka dia wajib meninggalkan shalat, puasa, hubungan
intim/bersetubuh, dan menungu suci. Apabila dia melihat darah itu setelah satu hari satu
malam atau lebih sampai lima belas hari, maka dia wajib melakukan mandi wajib (mandi
junub/mandi besar) dan wajib mengerjakan shalat.
Jika darah haid (menstruasi) tersebut terus mengalir setelah lima belas hari, maka darah
tersebut dianggap sebagai darah mustahadhah (wanita yang keluar darah istihadhah – bukan
darah haid/menstruasi). Setelah itu, hukumnya menjadi Mustahadhah.
Jika darah haid/menstruasi berhenti, tidak mengalir selang lima belas hari dan dia melihatnya
satu hari atau da hari dan berhenti selama itu juga, maka dia wajib melakukan mandi wajib
(mandi junub/mandi besar) dan shalat setiap masa suci, dan berdiam setiap melihat darah.
2. Al-Mu’tadah
Kelompok ini adalah wanita yang telah terbiasa mengalami haid/menstruasi pada hari-hari
tertentu pada satu bulan. Hukumnya, wanita haid kelompok Al-Mu’tadah wajib
meninggalkan shalat, puasa, dan berhubungan intim pada hari ketika ia terbiasa haid.
Jika perempuan haid kategori A;-Mu’tadah melihat cairan kuning atau ketuh setelah
biasanya, maka dia tidak usah mempedulikannya. Berdasarkan perkataan Ummu Athiyah,
“Kami tidak menggolongkan cairan kuning atau keruh setelah suci itu sebagai darah
haid/menstruasi,” (HR Abu Daud: 307, 308).
Adapun jika perempuan haid (menstruasi) kategori Al-Mu’tadah melihat cairan kuning atau
keruh tersebut pada masa-masa haid (menstruasi), lalu cairan kuning atau keruh tersebut tidak
keluar pada hari-hari biasanya (suci haid), maka itu termasuk haid (menstruasi), sehingga dia
tidak wajib mandi, shalat atau puasa karenanya.
3. Mustahadhah
ii
Mustahadhah adalah wanita haid yang darahnya terus mengalir tanpa henti setelah
berakhirnya masa haid (masa menstruasi). Hukum perempuan menstruasi (haid) kategori
Mustahadhah ada dua:
a. Apabila hari-hari sebelumnya ia yakini sebagai hari-hari yang biasanya ia mengalami haid
(menstruasi), maka dia wajib meninggalkan shalat pada hari-hari tersebut. Dan setelah darah
haid (menstruasi) tersebut berhenti mengalir, maka dia wajib melakukan mandi wajib
(mandi junub/mandi besar), shalat, puasa, dan boleh melakukan hubungan intim.
b. Jika perempuan haid: (1) tdak mempunyai hari-hari biasa (masa haid tidak teratur dan dia
ingat lama waktunya) atau (2) dia mempunyai hari-hari biasa tapi dia lupa masanya atau
banyaknya, atau (3) darahnya itu bisa dibedakan dengan lainnya dan darahnya itu mengalir
satu kali berwarna hitam dan satu kali berwarna merah, maka dia boleh berdiam pada hari-
hari keluar darah hitam. Kemudian dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/mandi
besar) dan shalat setelah darah tersebut berhenti mengalir, selama darah yang keluar tidak
lebih dari lima belas hari.
c. Apabila seorang wanita haid tidak bisa membedakan darah haid (hitam atau yang lainnya),
maka dia seharusnya berdiam pada masa haidnya setiap bulannya, yang kira-kira selama
enam atau tujuh hari, kemudian setelah itu dia wajib melakukan mandi wajib (mandi
junub/mandi besar).
d. Wanita haid (menstruasi) yang keluar darah istihadhahnya pada hari-hari keluar darah
istihadahnya, dia wajib berwudhu setiap kali akan mengerjakan shalat, dan memakai
pembalut dan tetap mengerjakan shalar meskipun darahnya mengalir deras, dan tidak boleh
berhubungan intim kecuali karena terpaksa (darurat).
Adapun dalil-dalil tentang hukum-hukum mustahadhah di atas yaitu,
1. Hadist Ummu Salamah Radhiyallahuanha
Pada suatu hari, Ummu Salamah meminta fatwa kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi
Wasallam tentang seorang perempuan yang darahnya terus mengalir. Maka Rasulullah
shalallahu’alaihi wasallam menjawab,
“Hendaknya dia memperhatikan jumlah malam-malam dan hari-hari haid yang dia alami
setiap bulannya sebelum menimpa apa yang telah menimpanya, maka hendaklah dia
meninggalkan shalat sebanyak hari itu dari satu bulan, apabila lebih dari itu, maka
hendaklah dia mandi kemudian memakai kain pembalut kemudian shalat,” (HR Abu Daud:
274, dan An-Nasai: 33, Kitab Ath-Thaharah, dengan sanad yang hasan – baik).
Hadist di atas menjelaskan tentang wanita yang keluar darah istihadhah pada hari-hari
tertentu.
2. Hadist Fatimah binti Abi Khubaisy
Bahwasanya ia pernah mengalami haid, lalu Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam
bersabda kepadanya,
ii
“Apabila darah haid (menstruasi), maka itu warnanya hitam, bisa diketahui, maka apabila
darahnya seperti itu tahanlah dari mengerjakan shalat, apabila darahnya itu berwarna lain,
maka berwudhulah – setelah mandi wajib/ mandi junub/ mandi besar – dan shalatlah,
karena itu hanya darah kotor,” (HR Abu Daud: 286, 304, dan An-Nasai: 1/123, 185).
Hadist di atas menjelaskan tentang wanita yang mengalami haid (menstruasi) tidak normal,
juga tentang wanita haid yang lupa akan waktu haid atau siklus haidnya.
3. Hadist Hamnah binti Jahsyin, berkata, “Aku pernah mengeluarkan darah yang sangat
banyak (haid/menstruasi), lalu aku mendatangi Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam untuk
meminta fatwa kepada beliau, lalu beliau bersabda,
“Sesungguhnya itu hanyalah goncangan (dorongan) dari setan, kamu mengalami haid
selama enam atau tujuh hari dalam ilmu Allah, kemudian mandilah jika kamu telah melihat
bahwa kamu telah bersih dan kamu telah suci kemudian kerjakanlah shalat (di masa-masa
suci haid) selama 24 atau 23 hari, dan berpuasalah (jika ada kewajiban puasa) dan
shalatlah, karena itu boleh kamu kerjakan, demikianlah kamu lakukan setiap bulan
sebagaimana perempuan lainnya mengalami haid (menstruasi),” (HR At-Tirmidzi: 128).
Hadist di atas menjadi petunjuk atau bukti tentang wanita yang tidak mempunyai hari-hari
biasa dan tidak bisa membedakan darahnya yang keluar.
B. Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan setelah melahirkan dan tidak ada
batas minimalnya. Kapan saja wanita-wanita yang telah melahirkan itu melihat dirinya suci
(darahnya tidak lagi mengalir), maka dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/
mandi besar) dan shalat, kecuali berhubungan intim.
Makruh baginya berhubungan intim sebelum 40 hari setelah melahirkan, karena
dikhawatirkan akan merasa sakit ketika melakukannya. Adapun batas maksimalnya adalah
empat puluh hari.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Ummu Salamah Radhiyallahuanha berkata, “wanita-
wanita yang telah melahirkan itu berdiam selama 40 hari.” Dia berkata, “Aku pernah
bertanya kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam, “Berapa lama seorang peremuan
berdiam apabila dia telah melahirkan?” Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam menjawab,
“Empat puluh hari, kecuali jika dia melihat dirinya suci sebelum itu,” (HR At-Tirmidzi, dan
beliau memberikan cacat pada hadist tersebut dengan gharib (asing) tetapi dishahihkan
oleh Imam Al-Hakim).
Berdasarkan hadist tersebut, maka apabila wanita-wanita yang telah melahirkan itu telah
mencapai 40 hari pasca melahirkan, dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/
mandi besar), shalat, dan berpuasa (jika ada kewajiban puasa) meskipun darahnya belum
berhenti mengalir.
ii
Hanya saja, apabila dia belum suci, dia hukumnya seperti mustahadhah (wanita yang keluar
darah istihadhahnya), sama persis tidak ada bedanya.
Sebagian ulama menyebutkan, “Sesungguhnya para wanita yang telah melahirkan itu
berdiam selama 50 atau 60 hari, dan berdiam selama 40 hari itu lebih hati-hati (bagus) bagi
agamanya.”
C. Cara Mengetahui Apakah Seseorang Suci Dari Haid
Suci dari haid (menstruasi) dapat diketahui dengan salah satu cara dari dua hal berikut:
1. Cairan putih yang keluar setelah suci
2. Kering, yaitu upaya wanita memasukkan kapas ke dalam kemaluannya, kemudian dia
mengeluarkannya dan terbukti kapas tersebut dalam keadaan kering. Upaya tersebut
dilakukan sebelum tidur dan sesudahnya, untuk mengetahui apakah telah suci atau belum.
Wallahu’alam bish shawwab.
D. Mengenali Darah Nifas.
Secara ringkas dapat disimpulkan beberapa hal untuk mengenali darah nifas:
1. Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan melahirkan, baik sebelum,
bersamaan atau sesudah melahirkan.
2. Disertai dengan tanda-tanda akan melahirkan (seperti rasa sakit, dll) yang diikuti
dengan proses kelahiran.
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyah lin Nisa
mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat tentang apakah nifas itu ada batas minimal dan
maksimalnya. Adapun Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al Khalafi di dalam Al Wajiz fii
Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz mengatakan bahwa nifas ada batas maksimalnya, yaitu
empat puluh hari. Pendapat beliau berdasarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata, “Kaum wanita yang nifas tidak shalat
pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama empat puluh hari.” (HR. Ibnu
Majah dan Tirmidzi. Hadits hasan shahih). Waktu empat puluh hari dihitung sejak keluarnya
darah, baik darahnya itu keluar bersamaan, sebelum atau sesudah melahirkan.
Pendapat yang kuat, Insya Allah, pada dasarnya tidak ada batasan minimal atau maksimal
lama waktu nifas. Waktu empat puluh hari adalah kebiasaan sebagian besar kaum wanita.
Akan tetapi apabila sebelum empat puluh hari wanita tersebut telah suci, maka ia wajib
mandi dan melakukan ibadah wajibnya lagi. Mengenai banyaknya darah, juga tidak ada
batasan sedikit atau banyaknya. Selama darah nifas masih keluar maka sang wanita belum
wajib mandi (bersuci).
Secara ringkas, ada beberapa kondisi wanita yang sedang nifas:
ii
1. Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari dan tidak keluar lagi setelah itu. Maka sang
wanita wajib mandi (bersuci) dan kemudian melakukan ibadah wajibnya lagi, seperti
shalat dan puasa, dll.
2. Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari, akan tetapi kemudian darah keluar lagi
sebelum hari ke-40. Maka, jika darah berhenti ia mandi (bersuci) untuk shalat dan puasa.
Jika darah keluar, ia harus meninggalkan shalat dan puasa. Akan tetapi, bila berhentinya
darah kurang dari sehari, maka tidak dihukumi suci
3. Darah nifas terus keluar dan baru berhenti setelah hari ke-40. Maka sang wanita harus
mandi (bersuci).
4. Darah terus keluar hingga melebihi waktu 40 hari. Ada beberapa kondisi:
a. Darah nifas berhenti dilanjutkan keluarnya darah haid (berhentinya darah nifas bertepatan
waktu haid), maka sang wanita tetap meninggalkan shalat dan puasa. Darah yang keluar
setelah 40 hari dihukumi sebagai darah haid. Sang wanita baru wajib mandi (bersuci)
setelah darah haid tidak keluar lagi.
b. Darah tetap keluar setelah 40 hari dan tidak bertepatan dengan kebiasaan masa haid, ulama
berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut ulama yang berpendapat bahwa lama
maksimal nifas adalah 40 hari, menilai darah yang keluar setelah 40 hari sebagai darah
fasadh (penyakit) yang statusnya adalah sebagaimana istihadhah. Sedangkan menurut
ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal dan maksimal lama nifas,
mereka menilai darah yang keluar setelah 40 hari tetap sebagai darah nifas. Pendapat
inilah yang lebih kuat, insya Allah. Akan tetapi, jika ingin berhati-hati, setelah 40 hari
dinilai suci. Sehingga sang wanita bersuci untuk melaksanakan shalat dan puasa, meski
darah tetap keluar. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada 2 keadaan:
1. Ada tanda bahwa darah akan berhenti/ makin sedikit. Maka sang wanita menunggu
darah berhenti keluar, baru kemudian mandi (bersuci)
2. Ada kebiasaan dari kelahiran sebelumnya, maka itu yang dipakai. Misal, sang wanita
telah mengalami beberapa kali nifas yang lamanya 50 hari. Maka batasan ini yang
dipakai.
E. Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita yang Nifas
Para ulama telah bersepakat bahwa wanita yang sedang nifas diharamkan melakukan apa saja
yang diharamkan bagi wanita yang haid. Antara lain,
1. Sholat.
Wanita yang haid dan nifas haram melakukan shalat fardhu maupun sunnah, dan
mereka tidak perlu menggantinya apabila suci. (Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-
Muhalla)
2. Puasa.
Wanita yang sedang nifas tidak boleh melakukan puasa wajib maupun sunnah. Akan
ii
tetapi ia wajib mengqadha puasa wajib yang ia tinggalkan pada masa nifas.
Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Ketika kami mengalami haid, kami
diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha
shalat.” (Muttafaq ‘alaih)
3. Thawaf.
Wanita haid dan nifas diharamkan melakukan thawaf keliling ka’bah, baik yang
wajib maupun sunnah, dan tidah sah thawafnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah
haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di ka’bah sampai kamu suci.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
4. Jima’.
(lihat sub judul “Hukum Suami yang Bercampur dengan Istri yang sedang Nifas”)
5. Tidak bleh diceraikan.
Diharamkan bagi suami menceraikan istrinya yang sedang haid atau nifas. Allah
Ta’ala berfirman,
ال �م� �ك ب �ر ��ه الل �ق�وا و�ات ��ع%د�ة ال �ح�ص�وا و�أ �%ه%ن %ع%د�ت ل �+ق�وه�ن ف�ط�ل �اء �+س الن �م� �ق�ت ط�ل %ذ�ا إ %ي4 �ب الن 4ه�ا ي� أ �ا ي
�ح�د�ود ��ع�د �ت ي و�م�ن� �ه% الل ح�د�ود� �%ل�ك و�ت �ة: +ن �ي م�ب ة: �%ف�اح%ش ب �%ين ت� �أ ي �ن� أ %ال إ �ج�ن �خ�ر� ي و�ال �%ه%ن �وت �ي ب م%ن� ��خ�ر%ج�وه�ن ت
ا م�ر� أ �%ك ذ�ل ��ع�د ب �ح�د%ث� ي ��ه الل ��ع�ل ل �د�ر%ي ت ال ه� ��ف�س ن ��م ظ�ل ف�ق�د� �ه% الل
"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka,
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah
itu, serta bertaqwalah kepada Allah Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka, dan janganlah mereka (diijinkan) ke luar, kecuali kalau mereka mengerjakan
perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
Kamu tidak mengetahui, barangkali Allah mengadakan sesudah itu, sesuatu hal yang baru.".”
(Qs. ath-Thalaq: 1)
F. Hukum-hukum Seputar Haid dan Nifas
HAID
Haidh atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar dari rahim seorang
wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan oleh suatu penyakit atau
karena adanya proses persalinan, dimana keluarnya darah itu merupakan sunnatullah yang
telah ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita. Sifat darah ini berwarna merah kehitaman
yang kental, keluar dalam jangka waktu tertentu, bersifat panas, dan memiliki bau yang khas
atau tidak sedap.
Haid adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita, dan pada setiap wanita
kebiasaannya pun berbeda-beda. Ada yang ketika keluar haid ini disertai dengan rasa sakit
pada bagian pinggul, namun ada yang tidak merasakan sakit. Ada yang lama haidnya 3 hari,
ii
ada pula yang lebih dari 10 hari. Ada yang ketika keluar didahului dengan lendir kuning
kecoklatan, ada pula yang langsung berupa darah merah yang kental. Dan pada setiap kondisi
inilah yang harus dikenali oleh setiap wanita, karena dengan mengenali masa dan
karakteristik darah haid inilah akar dimana seorang wanita dapat membedakannya dengan
darah-darah lain yang keluar kemudian.
Wanita yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan
berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Namun ia diperbolehkan membaca Al-
Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan
menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh
melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.
Allah Ta’ala berfirman:
%ذ�ا ف�إ �ن �ط�ه�ر� ي ��ى ت �ح ��وه�ن ب ��ق�ر ت � و�ال �م�ح%يض% ال ف%ي اء �+س الن � �وا �ز%ل ف�اع�ت ذى� أ �ه�و ق�ل� �م�ح%يض% ال ع�ن% ��ك �ون �ل أ �س� و�ي
Mه� الل �م� ك �م�ر� أ �ث� ي �ح م%ن� ��وه�ن ت
� ف�أ �ن �ط�ه�ر� ت
“Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu adalah suatu
kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di tempat
haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari
haid). Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
ة% �الص�ال %ق�ض�اء% ب �ؤ�م�ر� ن �و�ال % الص�و�م %ق�ض�اء% ب �ؤ�م�ر� ف�ن �%ك ذ�ل �ا �ن �ص%يب ي ��ان ك
“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan
tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari No. 321 dan Muslim No.
335)
Batasan Haid :
Menurut Ulama Syafi’iyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam, dan
batas maksimalnya adalah 15 hari. Jika lebih dari 15 hari maka darah itu darah
Istihadhah dan wajib bagi wanita tersebut untuk mandi dan shalat.
Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa tidak
ada batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal masa haid itu. Dan pendapat
inilah yang paling kuat dan paling masuk akal, dan disepakati oleh sebagian besar
ulama, termasuk juga Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengambil pendapat
ini. Dalil tidak adanya batasan minimal dan maksimal masa haid :
Firman Allah Ta’ala.
�ن �ط�ه�ر� ي Tى� ت �ح ��وه�ن ب ��ق�ر ت �و�ال �م�ح%يض% ف%يال �اء �+س الن �وا �ز%ل ف�اع�ت ذى� أ �ه�و ق�ل� �م�ح%يض% ال ع�ن% ��ك �ون �ل أ �س� �و�ي �
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”.
Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah
kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci…” [QS. Al-Baqarah : 222]
ii
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid itu berakhir
setelah suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah tersebut. Bukan tergantung pada
jumlah hari tertentu. Sehingga yang dijadikan dasar hukum atau patokannya adalah
keberadaan darah haid itu sendiri. Jika ada darah dan sifatnya dalah darah haid, maka berlaku
hukum haid. Namun jika tidak dijumpai darah, atau sifatnya bukanlah darah haid, maka tidak
berlaku hukum haid padanya. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menambahkan bahwa
sekiranya memang ada batasan hari tertentu dalam masa haid, tentulah ada nash syar’i dari
Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan tentang hal ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Pada prinsipnya, setiap darah
yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah
itu istihadhah.”
Berhentinya haid :
Indikator selesainya masa haid adalah dengan adanya gumpalan atau lendir putih (seperti
keputihan) yang keluar dari jalan rahim. Namun, bila tidak menjumpai adanya lendir putih
ini, maka bisa dengan mengeceknya menggunakan kapas putih yang dimasukkan ke dalam
vagina. Jika kapas itu tidak terdapat bercak sedikit pun, dan benar-benar bersih, maka wajib
mandi dan shalat.
Sebagaimana disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha
dengan menunjukkan kapas yang terdapat cairan kuning, dan kemudian Aisyah mengatakan :
��ض�اء �ي الب �الق�ص�ة ��ن ي ��ر ت �ى ح�ت �ل�ن ��ع�ج ت � ال
“Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat gumpalan putih.” (Atsar ini terdapat
dalam Shahih Bukhari).
NIFAS
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita melahirkan. Darah
ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu karena
adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa darah nifas
itu adalah darah yang keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan
ataupun sebelum dan sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat
ini senada dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang
keluar dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan
bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.
Batasan nifas :
Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka
seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa
yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para ulama berbeda
pendapat tentangnya.
ii
Ulama Syafi’iyyah mayoritas berpendapat bahwa umumnya masa nifas adalah 40 hari
sesuai dengan kebiasaan wanita pada umumnya, namun batas maksimalnya adalah 60
hari.
Mayoritas Sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah,
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhum dan para Ulama seperti Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Ahmad, At-Tirmizi, Ibnu Taimiyah rahimahumullah bersepakat bahwa
batas maksimal keluarnya darah nifas adalah 40 hari, berdasarkan hadits Ummu
Salamah dia berkata, “Para wanita yang nifas di zaman Rasulullah -shallallahu
alaihi wasallam-, mereka duduk (tidak shalat) setelah nifas mereka selama 40 hari
atau 40 malam.” (HR. Abu Daud no. 307, At-Tirmizi no. 139 dan Ibnu Majah no.
648). Hadits ini diperselisihkan derajat kehasanannya. Namun, Syaikh Albani
rahimahullah menilai hadits ini Hasan Shahih. Wallahu a’lam.
Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal masa nifas,
bahkan jika lebih dari 50 atau 60 hari pun masih dihukumi nifas. Namun, pendapat ini
tidak masyhur dan tidak didasari oleh dalil yang shahih dan jelas.
Wanita yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh wanita haid, yaitu
tidak boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan intim dengan
suaminya pada kemaluannya. Namun ia juga diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan
tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media
elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan
dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.
Tidak banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan darah haid. Namun,
berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa responden, umumnya darah nifas ini lebih
banyak dan lebih deras keluarnya daripada darah haid, warnanya tidak terlalu hitam,
kekentalan hampir sama dengan darah haid, namun baunya lebih kuat daripada darah haid.
ii
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Bolehnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dan nifas, asalkan tidak
menyentuh mushaf Al Qur’an. Inilah pendapat dari Imam Malik, juga salah satu pendapat
dari Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Al Bukhari,
Daud Azh Zhohiri, dan Ibnu Hazm.
Pendapat kedua: Bolehnya membaca sebagian Al Qur’an, satu atau dua ayat, bagi wanita
haidh dan nifas. Ada yang menyebutkan bahwa tidak terlarang membaca Al Qur’an kurang
dari satu ayat.
Pendapat ketiga: Diharamkan membaca Al Qur’ab bagi wanita haidh dan nifas walaupun
hanya sebagian saja. Inilah pendapat mayoritas ulama, yakni ulama Hanafiyah, ulama
Syafi’iyah, ulama Hambali dan selainnya. Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa inilah
pendapat kebanyakan ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kalangan tabi’in dan ulama setelahnya.
B. Saran
Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan olehnya itu kritik yang sifatnya
memabangun sangat kami harapkan.
ii
DAFTAR PUSTAKA
http://a2har.wordpress.com/2009/11/01/makalah-nifas
Ambarwati, 2008. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Mitra Cendikia
Saleha, 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika
Suherni, 2007. Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta: Fitramaya
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan pada Allah SWT,Karena atas berkat dan rahmat-Nya
penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah Agama ini. Dengan kami harapkan
kiranya makalah yang telah kami susun dapat bermanfaat bagi para pembaca atau pihak lain
yang membutuhkan informasi dalam makalah Pandangan islam Tentang “PELAKSANAAN
IBADAH BAGI WANITA HAID DAN NIFAS MENURUT AJARAN ISLAM”
Dalam makalah ini terdapat banyak sekali informasi mengenai nilai-nilai yang berkaitan dan
menjadi dasar dalam Kebidanan.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini jauh dari kata sempurna,untuk itu
kami berbesar hati untuk menerima segala kritik dan saran dari berbagai pihak.Kami juga
tidak lupa menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah bersedia
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata kami mohon maaf atas kekurangan serta kejanggalan baik isi maupun dalam
teknik penyusunannya.
Raha, November 2013
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah................................................................................................ 2
1.3 Tujuan................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Ibadan yang boleh dilakukan bagi wanita haid..............................................3
B. Pengertian nifas............................................................................................. 5
C. Mengenali Darah Nifas.................................................................................. 6
D. Lama Keluarnya Darah Nifas........................................................................ 6
E. Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita yang Nifas....................................... 7
F. Hukum-hukum Seputar Nifas........................................................................ 8
G. wajib sehabis nifas......................................................................................... 9
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN................................................................................................. 11
3.2 SARAN............................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 12
ii
TUGAS : Agama Kelompok
DOSEN : Drs. H.M SYAHRUDDIN,Apt
MAKALAH
PELAKSANAAN IBADAH BAGI WANITA HAID DAN NIFAS
MENURUT AJARAN ISLAM
DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 9
1. WA LIATI ( 2013.IB.0042)
2. DESI ( 2013.IB.0006)
TINGKAT : 1 A.
AKADEMI KEBIDANAN PARAMATA RAHAii
KABUPATEN MUNA
2013 / 2014
ii