28
Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis 535 Jurnal MUTAWA> TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011| BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan Praktis Abstract Sunnah, as the second source after Koran had been through several 'hard' priod which stems from slander, emerge in the midst of Muslims since the death of caliph Othman ibn Affan. During that, the sunnah of the Prophet become a 'tool' for political infighting and it arose multi fanaticism, starting from the fanaticism of madhhab, race, class and other fanaticism along with the break up of the Muslims into sects. This makes the Sunnah 'tainted'. It was difficult to distinguish between an authentic hadith, da’i> f even maudu> '. It is difficult to distinguish whether the transmitters are thiqah, free from fanaticism, or other tendency, which caused the narrators unable to maintain the integrity of sunnah. Since the codification campaign echoed the hadith, the scholars began the unification and selection of traditions in various ways, all were concentrated on the activities of criticism as an effort to authenticate hadith chains. So, the common question of tradition at the time was whether the isna> d valid, whether the matn certainly valid as well. This paradigm emerged different disciplines related to the study, such as science of isna> d, al-jarh{ wa al-ta'di> l, al-t{ abaqa> t, al-‘ilal and so forth. Paradigm of sanad criticism is always maintained by the scholars of hadith to mid-third century of Hijra, echoed by clerical class reformers in the late of third century, such as al- Baghdadi, al-Iraqi, al-Madini, Al-Bulqini etc. Keywords: kritik, kritik sanad, kritik matan, kodifikasi, otentifikasi. A. Pendahuluan Islam merupakan agama yang mendahulukan kebenaran. Dan kebenaran fakta tidak dapat didapatkan tanpa adanya kejujuran dari para pembawa beritanya. Oleh karena itu salah satu sifat nabi adalah „al-s} idqu‟ yakni jujur dan amanah‟ yakni dapat diandalkan dan dipercaya. Atho’illah Umar Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya Jurusan Tafsir Hadith

BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis

535 Jurnal MUTAWA>TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011|

BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Analisa Historis dan Praktis

Abstract Sunnah, as the second source after Koran had been through several 'hard' priod which stems from slander, emerge in the midst of Muslims since the death of caliph Othman ibn ‘Affan. During that, the sunnah of the Prophet become a 'tool' for political infighting and it arose multi fanaticism, starting from the fanaticism of madhhab, race, class and other fanaticism along with the break up of the Muslims into sects. This makes the Sunnah 'tainted'. It was difficult to distinguish between an

authentic hadith, da’i >f even maudu >'. It is difficult to distinguish whether the transmitters are thiqah, free from fanaticism, or other tendency, which caused the narrators unable to maintain the integrity of sunnah. Since the codification campaign echoed the hadith, the scholars began the unification and selection of traditions in various ways, all were concentrated on the activities of criticism as an effort to authenticate hadith chains. So, the

common question of tradition at the time was whether the isna>d valid, whether the matn certainly valid as well. This paradigm emerged different disciplines related to the study, such as science

of isna>d, al-jarh{ wa al-ta'di >l, al-t{abaqa>t, al-‘ilal and so forth. Paradigm of sanad criticism is always maintained by the scholars of hadith to mid-third century of Hijra, echoed by clerical class reformers in the late of third century, such as al-Baghdadi, al-Iraqi, al-Madini, Al-Bulqini etc.

Keywords: kritik, kritik sanad, kritik matan, kodifikasi, otentifikasi.

A. Pendahuluan

Islam merupakan agama yang mendahulukan kebenaran. Dan kebenaran fakta tidak dapat didapatkan tanpa adanya kejujuran dari para pembawa

beritanya. Oleh karena itu salah satu sifat nabi adalah „al-s}idqu‟ yakni jujur dan „amanah‟ yakni dapat diandalkan dan dipercaya.

Atho’illah Umar Dosen Fakultas

Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya

Jurusan Tafsir Hadith

Page 2: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Atho’illah Umar

|Jurnal MUTAWA>TIR|No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011 536

Oleh karena itu, jika ada seorang sahabat mendapat sebuah berita atau hadis dari sahabat lainnya, maka ia dianjurkan untuk melakukan klariifikasi kepada sumber yang dapat dipercaya.

Allah Ta‟a>la> berfirman :

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”1

Rasulullah dengan kapasitasnya sebagai seorang Nabi yang ma‟s }u>m

tentunya sudah dijamin oleh Allah SWT dengan menyematkan sifat sid }q,

amanah, tabligh, dan fat }onah yang tidak dapat diungguli oleh siapapun juga. Dengan demikian, dalam proses transformasi teks baik itu Alquran maupun hadis tidak mungkin terjadi pengkhianatan pada diri Rasulullah misalnya dengan korupsi penyampaian shariat, penambahan dan pengurangan shariat dan lain sebagainya, artinya dari sisi Rasulullah SAW, teks-teks agama telah ditransformasi oleh Rasulullah secara murni dan sesuai kehendak Allah SWT sebagai empunya shari‟at (al Sharie‟). Jaminan Allah atas kemurnian ajaran yang disampaikan Rasulullah SAW telah diabadikan dalam surat Al Maidah : 67

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk bagi orang-orang yang kafir.

Karena itu Rasulullah mengingatkan kita untuk selalu mengedepankan kejujuran dan amanah dalam menyampaikan hadis beliau. Beliau bersabda:

أ ن ع ة ان و ع و ب اأ ن ث د ح ي ب الغد ي ب ع دبن م ام ن ث د ح و ص ح ب أ ن ع ي أ ن ع ح ال ص ب :ال ق ة ر ي ر ىب ار الن ن م هد ع ق م أ و ب ت ي ل اف د م ع ت ملي ع ب ذ ك ن م :م ل س و و ي ل ع ىاللل ص الل لو سر ال ق

1 Alqura>n, 49: 6 2 Muslim Ibn Al-hajjaj, Al-Ja>mi’ al-S {ahi>h, , tahqiq: M. Fuad Abd al Baqi, jld. I (Beirut: Dar Ihya‟ Al

Turath Al Arabi, t.t), 10

Page 3: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis

537 Jurnal MUTAWA>TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011|

Penerima tongkat estafet berikutnya adalah para sahabat yang hanyalah manusia biasa tanpa kelebihan jaminan kema‟suman sebagaimana jaminan Allah pada diri Rasulullah SAW. Namun begitu mereka telah dijamin oleh Allah untuk menjadi satu generasi yang „udul‟3 dan jaminan itu telah digariskan dalam beberapa ayat Alqur‟an4 dan juga telah disinyalir oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya :

الن ن ع اس ب ع ن ب ا ن ع ح ص أ :ال ق م ل س و و ي ل ع ىاللل ص ب م تي د ت ى ا م تي د ت ق ا م ه ي أ ب م و جالن ك اب

“Para sahabatku bagai bintang – bintang (di langit). Yang mana pun kamu ikuti niscaya kamu pasti mendapat petunjuk”

Pernyataan Rasulullah ini menegaskan bahwa semua sahabat Rasulullah adalah ‘udul. Al Muzni berkata: Ke‟adalahan yang tersemat pada diri para sahabat tidak lain karena mereka merupakan sebaik-baik generasi dan tidak ada iri dengki diantara mereka, tidak ada fanatisme diantara mereka karena mereka adalah makhluq – makhluq yang ikhlas, netral dan saling menghargai satu sama lain.5

ك م ام ن ث د ح ون ع اللي ض ر الل د ب ع ن ةع د ي ب عن مع ي اى ر ب إ ن رع و صن م ن انع ي ف اسن ر ب خ أ ي ث دبن الن ن ع ر ق اس الن ري خ :ال ق م ل س و و ي ل ع ىاللل ص ب ن م هن و لي ن ي ذ ال م هن و لي ن ي ذ ل ا، ،وت اد ه وش ني ي و ون ي ي م ى د ح أ ةاد ه ش قب س ت ام و ق أ ءي ي

“Sebaik-baik manusia (generasi) adalah pada masaku (generasiku), kemudian disusul generasi berikutnya (sahabat), kemudian generasi berikutnya lagi (tabi‟in), kemudian datang beberapa kaum (generasi) yang mana mereka mendahulukan kesaksian atas sumpah, dan kadang pula mendahulukan sumpah atas kesaksian”6

Prediksi (tanabbu’) Rasulullah SAW mengenai kemunduran umat dari masa ke masa telah dirasakan para sahabat. Sehingga mereka melakukan antisipasi dan melakukan berbagai upaya pemeliharaan dan penjagaaan hadis seperti minimalisasi, klarifikasi, verifikasi, purifikasi dan upaya-upaya lain demi menjaga kelestarian hadis. Gerakan ini ditandai oleh amanat para khalifah mulai Abu Bakar hingga Umar bin Abdul Aziz.

Bahkan jauh sebelum Rasulullah wafat, para sahabat pada masa Rasulullah SAW pun telah menunjukkan upaya mereka dalam menjaga warisan Islam terutama teks–teks keagamaan. Gerakan tersebut mulai dari penulisan Alquran dan hadis secara personal dan kolektif, melakukan tabayyun jika mendengar

3 Bentuk plural dari ‘adl 4 3:110, 2: 143, 9:100, 48:18-19 5 Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fath } Al-Ba>ry, jld. IV (Beirut: Dar Al Ma‟rifah, 1379), 57 6 Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Al-Ja>mi’ al-Sahi>h al-Mukhtasar, tahqiq: Dr. Mustafa Dib Al

Bigha, jld. II, (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), 938.

Page 4: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Atho’illah Umar

|Jurnal MUTAWA>TIR|No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011 538

hadis dari sahabat lain, bahkan melakukan kritik sekalipun demi menjaga otentitas teks. Tidak sedikit dari mereka tanpa segan menemui Rasulullah SAW demi verifikasi (tahaqquq) dan klarifikasi (tabayyun) terhadap hadis yang mereka dapatkan secara tidak langsung dari Rasulullah SAW. Dari sinilah sebuah tradisi kritik lahir dalam dunia periwayatan.

B. Definisi Kritik Hadis

Secara etimologi, kata kritik atau „naqd‟ dalam bahasa arab digunakan

semakna dengan kata „al-tamyi <z‟ yang bermakna membedakan atau memisahkan7. Naqd dalam bahasa arab populer berarti penelitian, analisis, pengecekan dan pembedaan8. Kritik dalam bahasa Indonesia berarti menghakimi, membanding, menimbang dan dalam pemakaian orang Indonesia sering dikonotasikan kepada makna tidak lekas percaya, tajam dalam analisa atau uraian pertimbangan baik dan buruk terhadap suatu karya9.

Sedangkan dalam terminologi ulama' hadis, kritik dikenal dengan istilah

„naqd al-hadi <th‟ yakni sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang bagaimana

membedakan antara hadis sahih dan hadis d}a‘if dan bagaimana mengetahui adanya illat (cacat) pada hadis dan cara menghukumi perawi-perawinya dari sisi

jarh} dan ta‘d}il nya dengan menggunakan lafaz-lafaz khusus yang mengandung makna tertentu yang hanya diketahui oleh pakar ilmu hads."10. Dan dalam tradisi pemakaian ulama hadis, kata naqd menurut Ibnu Hatim al-Razi (w. 372)

sebagaimana dikutip oleh al-A‟z}ami adalah upaya menyeleksi/membedakan

antara hadis sahih dan d}a‟if dan menetapkan status perawi-perawinya apakah ia

thiqah atau cacat (majru >h)‟11. C. Sejarah Lahirnya Studi Kritik Hadis

Kegiatan kritik hadis telah dimulai pada masa Rasulullah SAW, baik itu dilakukan oleh beliau sendiri maupun dilakukan sebagian sahabat. Pada masa ini ilmu kritik hadis belum terbentuk secara konseptual. Keberadaan beliau di tengah-tengah para sahabat mempermudah klarifikasi dan sekaligus antisipasi kesalahan penukilan hadis. Secara alami, tidak diperlukan teori-teori khusus yang mengatur periwayatan hadis sebagaimana pada masa-masa berikutnya,

7 Jamal al Din Muhammad bin Mukarram bin Manzur, Lisan al Arab, vol. IV (Beirut : Dar al

Sadir, 1990), 425 8 Hans Wehr, A Dictionaryof Modern Written Arabic (London : George Allen & Unwa Ltd, 1970),

990 9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai

Pustaka, 1988), 466 10 Dr. Muhammad Ali Qosim Al-Umari, Dirasât fi manhaj al-naqd ‘inda al-muhadditsîn, (Yordania: Dar

Al Nafais), 11 11 M. Mustafa al-A‟zami, manhaj al naqd inda al muhaddithin (Riyad: maktabah al-Umariyah, 1982), 5

Page 5: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis

539 Jurnal MUTAWA>TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011|

karena sumber informasi masih hidup dan receck ataupun crossceck dengan mudah dapat dilakukan.

Sepeninggal Rasulullah SAW tahun 11 H./623 M., terjadi perubahan signifikan karena hadis-hadis tidak lagi diriwayatkan dari sumber pertama tapi dari sumber kedua dan seterusnya yang mempunyai posisi jauh berbeda dengan sumber pertama. Secara intens para sahabat melakukan kritik terhadap perawi hadis. Tercatat Abu Bakar, Umar, Uthman, Ali, A‟ishah, Ibn „Abbas, Anas ibn Malik, dan „Ubadah ibn Samit dikenal sebagai tokoh yang selalu meneliti dan mengkritik periwayat lain12

Era sahabat yang ditetapkan sebagai 'khairul quru>n' menjadi titik tolak kebangkitan kritik hadis. Terutama di saat meluasnya wilayah Islam, menjadikan hadis begitu cepat menyebar ke seluruh penjuru semenanjung arab dan sekitarnya. Ditambah lagi ribuan guru ngaji dikirim ke propensi-propensi terpencil seperti Basrah dan Irak. Keadaan ini menginspirasikan para khalifah untuk memperingatkan semua sahabat supaya berhati-hati dan tidak sembarangan dalam menyebarkan hadis, begitu juga dalam menerima hadis sebab dalam proses transmisi hadis, tidak menutup kemungkinan terjadi distorsi dan kesalahan. Dari sinilah kebutuhan akan kritik hadis semakin besar13.

Kondisi hadis semakin menghawatirkan pasca terbunuhnya Uthman ibn Affan dan di saat memanasnya perang saudara antara kubu Ali dan Mu‟awiyah. Pada masa fitnah ini, hadis menjadi sebuah alat dan komoditi kelompok pemalsu hadis yang terdiri dari kaum munafiq, ahli bid‟ah, zindiq, shi‟ah, khawarij, mu‟tazilah, dan lain sebagainya. Masing-masing kubu dan partai menciptakan dalil yang memperkuat ideologi dan visi misi mereka, sehingga tercampurlah antara hadis asli dan maudu‟. Bahkan upaya pemalsuan hadis terus berlanjut hingga masa dinasti Abbasiyah dimana fanatisme madhhab sedang mewabah kala itu. Tidak heran jika seorang tabi‟in dan tokoh ilmu

sanad terkemuka, Muh }ammad bin Siri>n (w.110) berkata : „mereka (pada zaman sahabat) tidak pernah menanyakan/meminta sanad hadis, dan ketika terjadi fitnah mereka berkata : sebutkanlah (nama) setiap perawi kalian. Maka jika perawinya adalah ahlussunnah, mereka menerima hadisnya, dan apabila perawinya ahli bid‟ah maka mereka menolaknya‟. 14

Pada masa tabi‟i >n muncul sejumlah kritikus hadis angkatan abad pertama

dan awal abad kedua seperti Sa‟i >d bin al-Musayyab (w.93), al-Qa>sim bin

12 Dr. Mustafa al Siba‟i, Al-sunnah wa maka >natuha> fi al-tashri<' al-isla>mi, (Beirut: Dar al-Warraq, 1998),

129 13 Prof. Dr. Zainul Arifin, Kritik Hadith, Studi Historis Kritik Hadith Pada Zaman Sahabat , dalam

Jurnal Al-Afkar, edisi VIII TH.7/Juli-Desember2003, hal 74 14 Dr. Mustafa al-Siba‟i, 108

Page 6: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Atho’illah Umar

|Jurnal MUTAWA>TIR|No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011 541

Muh }ammad ibn Abu > Bakar (w.106), Abu> Salamah bin Abdurrah }ma>n bin „Auf

(w.94), Salim bin Abdilla>h bin „Umar (w.106), Ali > bin Husain bin Ali > (w.93),

Abdulla >h bin Abdulla>h bin „Utbah, Khawa>rij bin Zaid bin Tha >bit (w.100),

Urwah bin Zubair (w.94), Abu > Bakar bin Abdurrah }ma>n bin al Hari >th (w.94), Sulaiman bin Yasar (w.100), al-Zuhri (w.100), Yahya bin Sa‟id al-Ansari,

Hisha>m bin Urwah, Sa‟i>d bin Ibra >hi>m, Sa‟i >d bin Zubair, al-Sha‟bi, T}awus,

H }asan al-Bas }ri, Ibra>hi >m al-Nakha‟i > , Muh }ammad bin Siri >n (w.110), dan

Shu‟bah bin al-Hajja>j15, dan lainnya. Shu‟bah dikenal sebagai orang pertama yang melakukan kajian mendalam

dalam bidang al-jarhu wa al-ta’di >l sehingga banyak ulama Iraq yang berguru

kepadanya. Diantaranya Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma‟i >n, Ali bin al-Madi>ni > dan lainnya16

Pada abad ketiga dan seterusnya muncul kritikus hadis penerus seperti

Yazid bin Haru >n (w. 206), Abu > Da>wud al-Tayalisi (w. 204), „Abd al-Raza>q bin

Hamma>m (w.211), Abu „A >shim al-Nabi >l (w. 212). Pada masa ini disusun literatur-literatur yang memuat teori-teori tentang kritik hadis, lebih khusus

dalam bidang ilmu al-jarh wa al-ta‟di >l yang dipelopori oleh Ahmad ibn Hanbal

(w. 241), Muhammad ibn Sa‟ad al-Waqidi (w. 230), Yahya ibn Ma‟i >n (w. 232),

„Ali ibn al-Madi>ni> (w. 234), disusul oleh al-Bukha>ri (256), Muslim (261), dan

Abu> Da>wud al-Sijista >ni > (275), Abu Zar‟ah al-Razi, Abu Ha>tim al-Ra>zi 17, dan lainnya. Kemudian tongkat estafet kritik perawi hadis ini dilanjutkan oleh generasi setelahnya hingga akhir abad 9 hijriyah. 18. D. Contoh Kritik Hadis Pada Masa Rasulullah dan Sahabat

Sebagaimana telah kami paparkan, bahwa fenomena kritik hadis bukanlah hal yang baru melainkan benih kritik telah pun tumbuh pada masa awal Islam, yakni dimulai dari masa Rasulullah SAW. Kenyataan ini meruntuhkan tuduhan kelompok anti sunnah yang mengatakan bahwa studi kritik hadis terutama kritik matan baru lahir pada zaman setelah tabi‟ien. Di bawah ini beberapa contoh kegiatan kritik hadis yang dilalui oleh Rasulullah dan sebagian sahabat.

1. Kritik Rasulullah

Budaya kritik telah dipraktekkan Rasulullah SAW semasa beliau dan juga ditiru oleh para sahabat pra wafat beliau dan paska wafat beliau. Sebagai contoh pada peristiwa penyerbukan kurma yang dilakukan para sahabat.

15 Prof. Dr. Zainul Arifin, Kritik Hadith, Studi Historis Kritik Hadith Pada Zaman Sahabat, 75-76 16 Ibid, 76 17 Dr. Mustafa al Siba‟i, 129 18 Ibid, 130

Page 7: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis

545 Jurnal MUTAWA>TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011|

Rasulullah mengeritik mereka dan mengatakan : " Saya tidak yakin cara yang kalian pakai itu sudah cukup dan ada hasilnya" atau dalam riwayat lain beliau bersabda : "andai kalian tidak melakukannya ( dengan cara kalian) itu akan lebih baik"

ن م د ق :ال ق ج ي د خن ب ع اف ر ن ع :ن و لو قي ,ل خ الن ن و رب أ ي م ىو ة ن ي د م ال م ل س و يو ل ع ىاللل ص الل ب ي خ ان ك :او لع ف ت ل و ل م كل ع ل :ال ق ،وعن ص ان ن ك:واال؟ق ن و عن ص ات م :ال ق ف ،ل خ الن ن و حق ل ي ا ن م ء ي ش ب م كتر م اأ ذ ،إ ر ش اب ن اأ ن إ :ال ق ف .ول ك ل اذ و رك ذ ف :ال ق .ت ص ق ن ف و أ ت ض ف ن ف .هو كر ت ف ر ش اب ن اأ ن إ ف يي أ ر ن م ء ي ش ب م كتر م اأ ذ إ و ،و اب و ذخف م كن ي د

Dalam hadis diatas, Rasulullah SAW mengkritik kaum Ansar dalam melakukan tradisi penyerbukan (pengawinan) pohon kurma yang biasa dilakukan mereka secara turun menurun dari nenek moyang mereka. Setelah mereka mencoba mengikuti dan mempraktekkan usulan yang di tawarkan Rasulullah, ternyata hasilnya tidak maksimal. Maka Rasulullah pun mengizinkan mereka untuk meninggalkan cara yang ditawarkan itu karena memang kurang cocok untuk dipraktekkan di Madinah.

Kritikan Rasulullah yang ditujukan pada sahabat tidak mengurangi

ke‟ada>lahan mereka sedikitpun karena kritikan beliau terhadap sahabat merupakan sebuah nasehat dan tidak ada indikasi vonis apapun terhadap mereka.20

2. Kritik Era Sahabat

Al-Khulafa> 'Ar-Ra>shidu >n telah mempraktekkan kritik demi menjaga kesucian as-sunnah dari pemalsuan yang intinya adalah upaya pemilahan hadis

sahih dari yang d{a'if, maud}u >’ dan ma’lu >l. Diantara mereka ada yang menggunakan

metode tathabbut dan istishha>d seperti Abu Bakar r.a, Umar bin Khattab r.a, dan Uthman bin Affan r.a. Dan diantara mereka ada juga yang menggunakan

19 Muslim bin al-Hajjaj, al-Jami’ al-Sahih, jld. 8, kitab al-fad}a>il, bab 38, no. 2262 (Kairo : Dar al-fajr li

al-turath, 1420), 116 20 Ucapan (kritikan) Rosulullah seperti بئسأخوالعشية/بئسابنالعشية/بئسرجلالعشية terhadap „Uyainah

bin His}n bin Hudhaifah atau Makhramah bin Naufal sepintas termasuk 'khoshôish' beliau dalam mencela seseorang atau melakukan ghibah. Namun sebenarnya ini sama sekali bukan ghibah karena sebenarnya beliau menghawatirkan akan bahaya seseoarang yang nampak penampilan luarnya salih namun dibalik itu ia suka mendustakan hadith Rosulullah SAW. Tradisi kritik ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW supaya menjadi nasehat dan peringatan akan adanya upaya-upaya manipulasi hadith pasca wafat Rosulullah. Membuka aib seorang muslim dengan tujuan purifikasi as-sunnah dan peringatan bagi umat Islam supaya mereka tidak mudah tertipu oleh orang yang kelihatannya tsiqoh atau hadith yang kelihatannya sahih tidak dilarang, justru dianjurkan, Ibnu Hajar Al Asqalani, Fath Al Bary, Jld 10, kitab al-Adab. (Kairo : Dar Al-Hadith, 1998) , 548

Page 8: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Atho’illah Umar

|Jurnal MUTAWA>TIR|No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011 541

metode istihla>f, seperti yang dilakukan Ali bin Abi Talib k.w. Berikut beberapa contoh kritik yang dilakukan oleh para khalifah dan A‟ishah :

a. Abu > Bakar r.a Khalifah Abu Bakar, sebagaimana diungkapkan oleh al Dhahabi adalah

pionir dalam dunia kritik hadis dan menjaga keutuhan hadis21. Beliau dikenal sebagai orang pertama yang mengukuhkan metode kritik hadis melalui konsep „tathabbut‟ nya demi menghindarkan hadis dari pemalsuan dan pembohongan22. Diriwayatkan dari Qubaisah bin Dhu‟aib, bahwa seorang nenek mendatangi Abu Bakar dan menanyainya tentang bagian (furud) nya sebagai ahli waris. Abu Bakar menjawab bahwa beliau tidak menemukan furud seorang nenek, baik di Alquran maupun sunnah dan berkata kepadanya, tapi aku akan mencari tahu kepada sahabat yang lain. Lalu Abu Bakar mendatangi para sahabat dan menanyai mereka. Maka berdirilah Al-Mughirah bin Shu‟bah yang mengaku mendengar bahwa Rasulullah memberinya 1/6 furud bagi seorang nenek. Abu Bakar tidak langsung menerima hadis itu sebelum Al-Mughirah dapat membuktikan kesahihan hadis yang ia dapat. Lantas datanglah kesaksian Muhammad bin Maslamah atas kesahihan hadis itu23.

b. ‘Umar bin Khatta >b r.a Umar bin Khattab r.a dikenal lebih hati-hati dalam menyeleksi hadis dan

perawinya. Tidak sedikit ancaman beliau tertuju pada beberapa sahabat yang tidak segera memberikan saksi/penguat (shâhid) atas hadis yang mereka

riwayatkan. Konsep kritik hadis yang Umar tawarkan adalah al-iqla>l yakni meminimalisir penerimaan hadis sebelum adanya kepastian validitas sebuah hadis.24

Dari Abdulla >h bin Abi Salamah bahwa Abu > Mu>sa Al Ash‟ari > mengucapkan salam/mengetuk pintu Umar sebanyak 3 kali namun tidak ada jawaban dari Umar, maka ia pun pulang. Beberapa saat kemudian Umar mendengar berita itu lalu mendatanginya dan menanyainya „apa yang membuatmu pulang (sebelum aku bukakan pintu)?‟. „Abu Musa menjawab : sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : „jika seorang dari kalian minta izin/mengetuk pintu sebanyak 3 kali dan tidak dijawab, maka hendaklah ia pulang‟. Umar berkata: sungguh kamu harus mendatangkan bukti/saksi atas hadis ini, jika tidak aku akan menghukummu!. Lalu Abu Musa pergi dan mendatangi majlis kaum ansar di sebuah masjid lantas menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dengan Umar. Para sahabat yang ada di masjid

21 Dr. Ajjaj al Khatib, al-Sunnah qabla al-tadwin (Beirut :Dar al fikr, 1981), 112 22 Al-A‟z{ami, 10 23 Malik bin Anas, Al Muwatta’, jld. 2, bab mira >th al-jiddah, no. 1076 (Kairo : Dar Ihya’ Al-Tura>th Al-

Arabi, t.t), 513 24 Dr. Ajjaj al Khatib, Al-sunnah qabla al-tadwi>n, 105

Page 9: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis

543 Jurnal MUTAWA>TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011|

serentak mengatakan : (jangan kuatir) teman kita yang paling muda ini akan menjadi saksi bagimu, maka berdirilah Abu Said Al-Khudri lalu pergilah mereka berdua menemui Umar, maka Abu Said pun bersaksi bahwa beliau juga mendengar hadis tersebut dari Rasulullah SAW. Umar berkata: sesungguhnya kami tidak bermaksud menuduhmu, akan tetapi hadis Rasulullah SAW adalah sesuatu (amanat) yang berat‟25.

Kritik Umar juga pernah dilakukan terhadap seorang wanita yang bernama Fatimah binti Qays. Dan kritik yang beliau lakukan kali ini berdasar pemahaman beliau terhadap teks Alquran. Suatu ketika beliau mendengar cerita mengenai Fatimah binti Qays yang telah ditalaq oleh suaminya, lalu Rasulullah tidak menetapkan baginya tempat tinggal maupun nafkah. Umar pun berkata : „jangan kalian tinggalkan Alqur‟an dan sunnah hanya karena berita seorang perempuan yang belum jelas apakah dia ingat atau lupa. Yang betul adalah dia berhak mendapat tempat tinggal dan nafkah sejalan dengan ayat Allah26 :

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar, dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” c. Uthman bin ‘Affan r.a

Peran Uthman bin Affan dalam menjaga sunnah Rasulullah SAW dapat kita lihat ketika beliau meriwayatkan sunnah fi‘liyyah yang beliau dapatkan langsung dari Rasulullah SAW, yakni praktek wudlu' Rasulullah SAW, namun beliau khawatir ada kesalahan dengan apa yang beliau lihat. Karena kekhawatiran itulah beliau mengklarifikasikannya langsung pada beberapa sahabat yang lain. Maka ini boleh dikatakan jenis kritik Uthman bin Affan terhadap diri sendiri.

25 Abu Hatim Muhammad Ibn Hibban al-Basti, , Al-ja>mi‟ al-sahi>h, juz 13, ba>b al-isti’dhan (Beirut :

Mu‟assasah al-Risalah, 1993), 122 26 Dr. Nuruddin Atar, Manhaj al-naqd fi< Ulu>m al-hadi<th (Beirut: Dar Al Fikr, 1418), 53

Page 10: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Atho’illah Umar

|Jurnal MUTAWA>TIR|No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011 544

الل ل و سر اب ح ص أ ن م ال ج ر هد ن ع او ث ل ث ثا ل ث د اع ق م ال ب أ ض و ت ون ع اللي ض ر ان م ث عن أ س ن أ ن ع م ل س و و ي ل ع ىاللل ص ر ذ ك ى س ي ل أ ال ق الل ول س ر م تي أ ا م ل س و و ي ل ع ىاللل ص او ال؟ق أض و ت ي م ع ن

d. Ali bin Abi Tholib k.w Ali bin Abi Tholib tidak jauh beda dengan Abu Bakar, Umar atau Uthman

R. Anhum. Jika mereka bertiga menggunakan metode tathabbut (verifikasi ) dan ishhad (sertifikasi), maka Ali menggunakan metode istihlaf / tahlif (sumpah). Tentunya metode ini hanya beliau pakai ketika beliau mendapatkan hadis dari beberapa sahabat atau tabi‟in yang diduga ada kemungkinan salah pada hafalannya, lebih-lebih setelah terjadinya fitnah kubra.

Metode khas yang dimiliki Ali ini nampaknya tidak bersifat universal. Terbukti beliau tidak pernah menerapkannya kepada Abu Bakar28 sebab Ali k.w

telah meyakini kejujuran Abu Bakar dengan mengatakan وحدثينأبوبكروصدقأبوبكر yang berarti أستحلفو فلم صدقو aku meyakini kejujurannya, maka aku tidak ) أعتقد

mungkin menyumpahnya). Keyakinan Imam Ali RA pada Abu Bakar RA mungkin karena kejujuran

Abu Bakar sudah mendapat legitimasi langsung dari Rasulullah SAW atau mungkin karena Abu Bakar tidak pernah meriwayatkan hadis bilma'na tapi selalu meriwayatkan hadis billafdz, oleh karena itulah hadis yang di riwayat Abu Bakar tidak banyak. 29 e. Kritik A'ishah terhadap periwayatan Abu Hurairah r.a

Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah SAW bersabda : „ Wanita, keledai dan anjing dapat membatalkan solat (jika mereka melintas/berada di depan orang solat), sebuah tanda semisal mu’khiratu al-rahli bisa menjaga dari mereka melintas‟.30 tentang sesuatu yang dapat membatalkan solat jika berada dihadapan orang solat.

Mendengar hadis ini, A'ishah mengingkarinya dan menolaknya seraya berkata: „betapa kalian menyerupakan kami (kaum wanita) dengan keledai dan anjing?‟ Lalu beliau meriwayatkan hadis fi'liyyah Rasulullah SAW yang berbunyi : „ Demi Allah, sungguh Rasulullah pernah solat di depanku, kala itu aku berada di atas ranjang, jarak antara beliau dan ranjang hanya selebar tubuh, maka aku merasa tidak nyaman dan aku merasa jika aku tetap duduk diranjang

27 Ahmad bin Hanbal, Al Musnad, jld. 1, (Mesir : Mu’assasah Qurtubah), 57 28 Abu Bakar telah digelari „al-Siddiq‟ oleh Rasulullah SAW. Lihat: Abu Abdillah Shamsuddin al-

Dhahabi, Tadhkirah al-huffa>z }, jld. 1, (Beirut : Dar al-kutub al-ilmiah, 1978), 11 29 lihat: Shekh Mahmûd Muhammad Khat }t}ab Al-Subky. Al-Manhal al-Adhb al –Mauru>d, Jld. 8

(Kairo : Al-Istiqa>mah , t.t.)184. 30 Muslim, al-Jami al-sahih, jld. 4 , 228

Page 11: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis

545 Jurnal MUTAWA>TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011|

maka akan mengganggu beliau, sehingga aku memutuskan untuk keluar dan aku melintas di depan beliau.31 f. Kritik A'ishah terhadap periwayatan Jabir bin Abdillah r.a.

Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah bahwa orang yang melakukan jima', tidak wajib bagi keduanya mandi besar kecuali jika inzal (ejakulasi/orgasme). Ketika hadis itu sampai pada A'ishah melalui Abu Salamah bin Abd. Rohman. A'ishah mengatakan : „ Dia salah, apakah anda berfikir bahwa Jabir lebih tahu mengenai privasi Rosulullah ketimbang aku?. Rasulullah SAW pernah bersabda : „jika dua kulit terkhitan bertemu (jima‟), maka telah wajiblah mandi bagi keduanya‟. Lalu, jika hukum rajam dijatuhkan bagi pezina (walaupun tidak sempat ejakulasi/orgasme), mengapa mandi besar tidak wajib bagi mereka yang berjima‟ dan tidak inzal?. Metode kritik yang dipakai A'ishah dalam kasus ini adalah menggabungkan antara naqli dan aqli (qiyas).32

E. Fase-fase Kodifikasi Ilmu Kritik 1. Fase Tradisional

Aktifitas kritik mengkritik terhadap perawi atau sebuah hadis dilakukan secara tradisional yakni melalui forum majlis ilmu, ceramah atau diskusi. Fase ini bermula dari masa sahabat hingga masa tabi‟in.

2. Fase Kodifikasi sebatas catatan samping atau catatan kaki (hawamish) Ketika beberapa kitab hadis sudah terkodifikasi dalam bentuk jawâmi‘ masânid, ma‘âjim, maghâzy wa siyar, sunan 33 dsb, Ulama' hadis saat itu

31 Ibid, jld. 4, 229 32 Hadith Jabir ia dapatkan pada awal masa Islam, sedangkan A‟ishah mendengar hadithnya pada

akhir masa Islam. Dengan demikian hadith A‟ishah menjadi penasakh bagi hadith Jabir. Masih banyak lagi contoh-contoh kritik sahabat terhadap sahabat yang lain yang tidak bisa kami sebutkan semua di

lembaran yang terbatas ini, misalnya kritik Ali bin Abi T {alib terhdap riwayat Ibnu Mas„ud tentang mahar bagi istri yang ditinggal meninggal suaminya dan belum dijima' olehnya dan kritik Ibnu Abbas terhadap riwayat Abu Hurairah tentang kewajiban wudu setelah makan sesuatu yang terkena api secara langsung (dipanggang: ex: sate), lihat : Dr. Salahuddin bin Ahmad Al-Idlibi, Manhaj naqd al-matn ‘inda Ulamâ al-hadith

an-Nabawi, (Da>r Al A<fa>q Al Jadi>dah, 1983),110-140 33 Al Jami‟ (bentuk plural : al Jawami‟). Merupakan kumpulan hadith terlengkap yang disusun

berdasarkan bab – bab fiqih atau diurut berdasar alfabet yang mencakup semua jenis hadith atau biasa

disebut dengan istilah 8 jenis hadith. 8 jenis hadith tersebut terkumpul dalam kalimat “ عارف شامت“ yang

perinciannya sebagai berikut : Aqa >id, yaitu hadith – hadith tentang akidah. Biasanya disebut ilmu tauhid.

Ahka>m, yaitu hadith – hadith tentang hukum. Biasa juga disebut as Sunan. Riqa >q, yakni hadith – hadith tentang perbudakan. Fitan, yakni hadith – hadith tentang fitnah (musibah) yang telah terjadi dan akan

terjadi. Shama >‟il, yaitu hadith – hadith yang menggambarkan sifat – sifat Rasulullah terutama sifat fisik.

A<da>b atau akhlaq, ialah memuat hadith – hadith tentang etika makan, minum bepergian dan lainnya. Biasa

juga disebut ilmu adab atau akhlaq. Mana >qib, yaitu hadith – hadith yang menceritakan keutamaan, kelebihan dan kebaikan setiap sahabat. Tafsir, yaitu hadith – hadith yang memuat penafsiran Rasulullah

atau sahabat terhadap sebuah ayat Alquran. Al Ja >mi‟ tidak terbatas pada periwayatan marfu‟ saja, namun

banyak terdapat juga riwayat yang mauquf. Al Masa >nid (bentuk tunggalnya: al Musnad), Ialah kumpulan hadith yang disusun berdasarkan periwayatan para sahabat tanpa memisahkan antara periwayatan yang sahih dengan yang daif. Adapun urutannya ada yang mendahulukan periwayatan sahabat yang lebih dulu

Page 12: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Atho’illah Umar

|Jurnal MUTAWA>TIR|No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011 546

menambahkan beberapa komentar tentang identitas, kualitas dan kredibilitas perawi dalam bentuk hawamish (catatan pinggir), atau komentar mengenai perawi mereka tambahkan di saat atau setelah menyebutkan sanadnya . Metode ini telah dilakukan oleh ulama pengarang kitab hadis primer seperti al-Bukhari, Muslim, al-Tirmizi, al-Hakim dan lainnya.

3. Fase Kodifikasi Ilmu Kritik Hadis secara Independen Seiring berkembangnya studi kritik dikalangan ulama' hadis, mereka

merasa tidak cukup hanya dengan meletakkan catatan-catatan kecil pada beberapa sumber hadis. Atas pertimbangan itulah para ulama' hadis serius mengembangkan studi kritik mereka dan menuangkannya dalam kitab-kitab khusus yang nantinya bisa digunakan sebagai rujukan bagi generasi selanjutnya. Maka lahirlah kitab-kitab yang bergenre thobaqôt, marôsîl, ‘Ilal, Su’alat / as’ilah, al jarhu wa at ta’dil, dan sebagainya.

Tercatat pada pertengahan abad III telah banyak kitab kritik hadis yang terkodifikasi secara independen. Beberapa dokumen kritik hadis yang telah terkodifikasi pada fase ini adalah seperti berikut :

- As'ilah Abu sa'id Uthman bin Sa'îd al-Darimi (w.280 H) berisi hadis atau segala apa yang beliau dapatkan dari gurunya, Al-Hafîz Abu Zakaria Yahya

bin Ma‟i<n (w.233 H.)

- As'ilah Abu al-Hasan Abd. Malik bin Abd. Hamid al-Maimuni (w. 274) berisi hadis atau segala apa yang beliau dapatkan dari gurunya, Imam Ahmad

- Al Musnad Al-Mu'allal karya Ya'qub bin Shaibah al-Sadu>si al-Bas}ri (w.262)

masuk Islam, ada pula yang mengurutkan periwayatan sahabat tersebut secara alfabet, ada pula yang mengurutkannya berdasarkan qabilah, seperti dimulai dari periwayatan bani Hashim, lalu disusul dengan periwayatan sahabat yang semakin dekat dengan Rasulullah, yakni bani Abdul Muttalib, lalu bani Abdullah, lalu periwayatan ahlul bait (keluarga Rasulullah SAW). Al Musnad ada juga yang hanya memuat periwayatan satu sahabat tertentu, contoh: musnad Abu Bakar. Ada juga yang hanya memuat periwayatan beberapa sahabat saja seperti musnad 4 khalifah dan sebagainya. Dan ada pula al musnad hanya memuat periwayatan golongan sahabat dengan sifat khusus seperti musnad ahli badar, musnad al muhajirin, musnad al ansar, musnad 10 sahabat yang dijamin surga, musnad kaum hawa, musnad para sahabat yang

minim riwayat (al muqillin) dan sebagainya. Ma'â >jim adalah merupakan sumber hadith murni. Sanad-sanad semua hadith dalam ma'âjim ini disandarkan pada pengarangnya langsung. Biasanya penulisan hadith

dalam ma'âjim berdasarkan huruf mu'jam (alphabet). Magha >zy wa siyar adalah merupakan sumber hadith murni yang memuat segala hadith beserta sanadnya yang berhubungan dengan peperangan dan sirah Rasulullah SAW Sanad semua hadith dan âtsâr dalam maghâzy wa siyar disandarkan pada pengarangnya langsung seperti sirah Ibn Hishâm. Al Sunan. Adalah kumpulan hadith yang disusun berdasarkan bab – bab fiqih. Biasanya dimulai dari bab iman dan taharah, kemudian solat, zakat, puasa dan seterusnya. Tingkatan Sunan sedikit lebih tinggi dibanding al Masanid, sebab jarang ditemukan hadith mauquf di dalam Sunan. Sunan mencakup beberapa jenis hadith yang delapan. Jika ada sebuah kitab yang mencakup kedelapan jenis hadith (seperti al Jami‟), maka ia boleh dinamakan al-Sunan dengan sharat sepi dari hadith mauquf, sebab hadith mauquf tidak pernah disebut al-sunnah. Namun jika banyak memuat hadith mauquf, maka ia lebih sesuai disebut al Jami‟., Dr. Abd. Maujûd M. Abd. Lathif, Kashf al-litham ‘an asrar takhrij ahadith sayyid al-anam, (Kairo: Dar Al Kutub Al Misriyah), 160-168.

Page 13: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis

547 Jurnal MUTAWA>TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011|

- Al-‘Ilal karya Imam al-Tirmidzi

- Al-‘Ilal dan al-jarh wa at-ta'dîl karya Ibnu Abi Hatim al-Razi

- Ma‘rifah ar-rijâl oleh Imam Ahmad dan lainnya34 .

F. Metodologi Studi Kritik Hadis Studi kritik hadis, pada umumnya terbagi menjadi dua sisi hadis, yaitu sisi

sanad dan sisi matan. Terkait istilah kritik sanad dan kritik matan, terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara dua kaidah ulama klasik dan ulama

modern. Ulama klasik mengatakan bahwa " kulluma> s}ahha sanaduhu s }ahha matnuhu wa bi al-aksi " yakni setiap yang sanadnya sahih, pasti matannya sahih, begitu juga sebaliknya. Sementara ulama ahli hadis modern memiliki kaidah

berbunyi " la> tala>zuma baina s }ihhati al-sanadi wa s}ihhati al-matni, wa bi al-aksi aid}an

fainnahu la> tala>zuma baina d }u'fi al-sanadi wa d }u'fi al-matni ", yakni kesahihan atau keda‟ifan sanad tidak mempengaruhi kesahihan / keda‟ifan matan, begitu pula tidak sebaliknya. Kaidah kritik versi ulama‟ modern ini bukanlah plagiat atau membenarkan apa yang sering dikatakan oleh para orientalis belakangan ini. Sebab kaidah ini telah dicetuskan oleh ulama khalaf (setelah masa fitnah) lantaran banyaknya aksi pemalsuan hadis pada masa fitnah yang dipelopori oleh kaum shi‟ah, mu'tazilah, zindiq, ahli bid'ah dan kaum sufi yang sengaja membuat matan palsu lalu mencuri sebuah sanad dari beberapa hadis sahih bahkan mutawatir untuk membenarkan ideologi dan aliran mereka. Bahkan diantara mereka ada yang secara terang–terangan mengakui aksi pemalsuannya " kami mambuat hadis palsu ini untuk membantu Nabi (nakdhibu lahu), adapun yang dilarang dalam Islam adalah berbuat kebohongan yang mencelakakan Nabi sebagaimana dalam hadis (man kadhaba alayya) "35.

Melihat fenomena sejarah kelam hadis yang pernah dilalui oleh umat Islam, maka dirasa penting memisahkan antara kesahihan sanad hadis dan matannya. Sebab itulah ulama hadis melakukan kajian kritik yang komprehensif baik dari sisi matan hadis maupun sanadnya dengan tidak meniadakan hubungan erat antara keduanya.

1. Kritik Sanad

Sanad boleh dikatakan menjadi pusat perhatian ulama' hadis dalam mengkritik hadis, karena mayoritas ulama' hadis menjadikan sanad sebagai patokan sahih tidaknya suatu hadis. Dengan demikian ulama' hadis memusatkan perhatian pada keadaan setiap perawi hadis, baik itu dari pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri (pengamatan pribadi), maupun

34 Dr. Muhammad Ali Qosim al-Umari, Dirasat fi manhaj al-naqd ‘inda al-muhaddithi <n (Yordania: Dar

al-nafais, 1984),15-17. 35 Nuruddin Atar, 469 – 470

Page 14: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Atho’illah Umar

|Jurnal MUTAWA>TIR|No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011 548

dari penialaian bebrapa ulama' lain yang akan menguatkan penilaian mereka atau mungkin tidak sependapat mengenai perawi yang dikaji. Disamping memperhatikan keadaan perawi secara individual, mereka juga memperhatikan perjalanan riwayat antara perawi yang satu dengan yang lain, apakah ada kesinambungan atau tidak. Dari sini sangatlah penting bagi ulama' hadis untuk mengembangkan studi sanad sebagai proses seleksi yang sangat urgen. 1.1. Syarat Kesahihan Sanad

Setelah melakukan kajian dan penelitian yang cukup lama, maka ulama hadis sepakat untuk memperhatikan beberapa aspek kesahihan hadis di bawah ini :

a) „Ittis}a>l/sambungnya sanad Sanad dianggap sambung jika dalam setiap tingkatan sanad itu terdapat perawi yang saling menghubungkan satu sama lain yang keduanya benar-benar pernah bertemu atau minimal mereka berdua sama-sama hidup satu

masa (mu‘a>s}arah). Dari sini, informasi tentang biografi perawi (ta>ri >kh al-

ruwa>h) atau sensus generasi perawi (t}a>baqa>t al-ruwa>h) sangatlah urgen dan membantu bagi pengkritik sanad hadis.

b) ‘Ada>lah dan D {abt }.

Kedua variabel ini harus di penuhi oleh perawi. Dengan ‘Ada>lah, kejujuran

perawi dapat diketahui dan dengan D{abt}, kecerdasan perawi dapat pula diketahui. 36

c) Jika dua-duanya terpenuhi, maka perawi sudah bisa dikatakan thiqah. Jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka riwayatnya tidak dapat diterima.

Untuk mengetahui apakah perawi itu ‘a>dil atau tidak, D {a>bit } atau tidak, diperlukan penelusuran (tatabbu‘) lebih lanjut. Selamat dari Shadh atau Illat. Perawi yang Shadh adalah jika hadis yang diriwayatkannya bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak meskipun ia thiqoh atau bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lebih thiqah darinya37. Perawi yang Mu‘allal

36 „Ada>lah : bakat atau sifat yang mendorong perawi untuk selalu bertaqwa dan menjahui hal-hal

yang dapat mengurangi reputasi, citra, wibawa dan harga dirinya dan menjahui kemaksiatan yang dapat membuat dirinya menjadi orang yang fasiq.

D {abt } : kecerdasan, ketangkasan, kecermatan, atau suatu kemampuan untuk memahami hadith, mampu untuk meriwayatkan seperti apa yang diriwayatkan oleh gurunya , kemampuan menghafal hadith (jika ia meriwayatkannya dari hafalan) dan ketelitian serta kecermatan dalam menulis hadith dan menjaganya dari segala bentuk kesalahan atau perubahan (tahrîf) yang mungkin terjadi ( jika ia

meriwayatkan hadith dari kitabnya), Al-Suyûti, Tadri>b Al-Ra>wi fi< sharh taqri>b al-Nawawi, jld. 1 (Beirut: Maktabah Dar Al Turath, 1392), 300-301.

37 Terdapat perbedaan antara al-Shafi‟i, al-Hakim dan Abu Yala al-Khalili seputar terminologi Shadh dimana al-Khalili membatasi makna shadh hanya dengan adanya tafarrud seorang perawi, baik ia thiqah atau tidak. Sementara al-Hakim mengkhususkan tafarrud pada hadith shadh harus dari perawi thiqah dan tidak ada sanad pendukung baginya. Al-Shafi‟i memberikan definisi lebih tajam dari al-Khalili

Page 15: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis

549 Jurnal MUTAWA>TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011|

adalah perawi yang (setelah diperiksa) ternyata ditemukan kejanggalan atau kecacatan pada dirinya yang mana jika dilihat sekilas, tidak nampak kejanggalan dan kecacatan itu. Contohnya adalah kejanggalan yang terjadi pada perawi dari hadis yang

berbunyi البيعانباخليار. Nampak yang meriwayatkan hadis ini adalah „Amr bin

Dina>r, namun setelah diteliti, ternyata nama perawi yang meriwayatkan

adalah Abdullah bin Dina >r. Kesalahan semacam ini terjadi wajar saja karena ada keserupaan dalam nama, apalagi keduanya berada dalam satu tabaqoh.38

1.2. Instrumen Penting Dalam Studi Kritik Sanad

Dalam sebuah studi kritik sanad hadis, seorang pengkritik tidak boleh melupakan beberapa hal berikut : a) Illat.

Yang dimaksud illat adalah faktor pencacat dalam sebuah hadis, yang tersembunyi, yang mana secara zahir, hadis yang bersangkutan selamat dari faktor pencacat tersebut39. Illat pada hadis dapat terjadi pada sanad, juga dapat terjadi pada matan. Adapun yang terjadi pada sanad ada yang dapat mencacat sanad ada pula yang tidak sampai mencacat sanad. 1) Illat yang tidak sampai mencacat sanad

Contohnya adalah riwayat seorang mudallis dalam bentuk ‘an‘anah. Jika ditemukan hal seperti ini maka wajib bagi kita untuk tawaqquf atau pending sampai kita temukan periwayatan lain yang mengindikasikan adanya sima'. Jika ada riwayat lain dari perawi mudallis tersebut dalam

bentuk (s}igha>t) sima' atau tahdith, maka illat tadi dianggap tidak mencacat hadisnya.

2) Illat yang dapat mencacat sanad Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ya„la bin „Ubaid al-

T {anafisi dari Sufyan al-Thauri dari „Amr bin Dinar dari Ibn Umar dari

maupun al-Hakim. Menurutnya, hadith shadh adalah hadith yang diriwayatkan oleh perawi thiqah yang riwayatnya itu berbeda dengan periwayatan banyak orang. Lihat : Mustafa Muhammad Mahmud Husain,

Dira>sa>t fi< al-hadi<th al-da’i<f, (Kairo: Al-Azhar Press, t.t.), 211 38 Dr. Muhammad Ali Qosim Al-Umari, 49-50 39Illat hadith tidak dapat ditemukan tanpa adanya penelitian lanjutan. Illat secara khusus hanya

difahami sebagai faktor pencacat yang tersembunyi saja (hadithnya terduga mengidap penyakit atau suspek) . Adapun jika ada faktor pencacat yang zahir tampak (seperti perawi majhul, daif, lemah hafalan, sanad terputus, dll) maka faktor pencacat tersebut bukan termasuk illat melainkan sebagai faktor penda‟if hadith. Namun begitu, sebagian ulama hadith ada yang menyebut faktor pencacat zahir dengan sebutan illat, sebab yang mereka maksudkan adalah cacat secara bahasa bukan secara istilah, lihat : Mustafa bin

Ismail al Sulaimani al Ma‟aribi, Al-Ja>wa>hir al-Sulaima>niyah, sharh}u al –manz }umah al-baiqu>niyah, (Riyad : Dar al-Kayan, 2006), 46

Page 16: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Atho’illah Umar

|Jurnal MUTAWA>TIR|No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011 551

Rasulullah SAW : باخليار Abu Ya„la salah dalam menyebut . البي عان

Abdullah bin Dinâr dengan „Amr bin Dinar. Setelah kita cermati, ternyata hadis yang diriwayatkan para Imam hadis selain Sufyan al-Thauri diterima dari Abdullah bin Dinâr. Para Imam ini adalah teman-

teman seperguruan Sufyan alt-Thauri seperti al-fad <l bin Dukain dan Makhlad bin Yazid40 .

b) Perawi Yang Mengalami Ikhtila >t} (kacau, pikun) Kekacauan yang terjadi pada perawi hadis kadangkala dikarenakan

umurnya yang sudah tua, kehilangan penglihatan atau kehilangan kitab jika ia biasa meriwayatkan melalui tulisan bukan melalui hafalan. Diantara Ulama' hadis yang sempat mengalami masa pikun adalah :

1) At}a' bin al-Sa>'ib al-Thaqafi al-Ku>fy. Kebanyakan perawi mendengar hadis dari beliau ketika masa pikun kecuali Sufyan At-Thauri dan Shu'bah41. Menurut Uqaily, semua penduduk Basrah tidak sempat

bertemu dengan At }a' kecuali pada akhir masa beliau. Namun pendapat

ini di tentang oleh Ibn Mawâq sebab menurut beliau At }a' hijrah ke

Bashroh tidak hanya sekali. Jadi, mereka yang menerima hadis dari At}a' pada kedatangannya yang pertama, hadisnya sahih. Adapun yang menerima dari beliau pada kedatangan beliau yang kedua kalinya, hadisnya tidak dapat diterima karena pada kedatangan yang kedua itu beliau sudah lanjut usia dan hafalannya kacau. Al-Humaidi berkata:

"Saya dahulu pernah menerima hadis dari At}a', Dan ketika pada kedatangan beliau berikutnya saya mendengarkan seperti sebagian yang pernah saya dengar dari beliau pertama kali, namun kali ini saya mendapatkan kesalahan pada bacaan beliau, maka saya berhati-hati dan meninggalkan beliau" 42

2) Abd. Rozzaq bin Hamma >m Al-San'a>ni. Menurut Imam Ahmad bahwa beliau kehilangan pengliatan pada masa akhir hayatnya. Oleh karena itu ketika meriwayatkan hadis, beliau dituntun / didikte oleh orang lain. Maka perawi yang menerima hadis dari Abd. Rozzaq setelah hilang penglihatannya dianggap lemah. Sebaliknya, murid-murid beliau yang mendapatkan hadis dari beliau sebelum hilang penglihatannya, maka hadisnya sahih. Diantara mereka adalah : Imam Ahmad, Ibnu

Rahawaih, Ibnu Ma'i<n, Ibn al-Madi <ni, Waki <' dan lain-lain.

40 Prof. Dr. Yasir Shahhatah Muhammad Diyab, Mausu>ah Ulu >m Al-hadîth Al-shari>f, (Kairo: Al-Majlis

Al-A‟la li Al-Shu‟un Al-Islamiyah), 527 41 Sebagaimana pernyataan Yahya bin Ma„in 42 KH. Muhammad Mahfudz bin Abdillah al-Tarmasi, Manhaj dhawi al-naz }ar (Kairo: Matba‟ah

Mustafa Al-Baby Al-Halabi, t.t), 350-351. Lihat Tadrib Al -Rawi 2:372.

Page 17: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis

555 Jurnal MUTAWA>TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011|

3) Masih banyak sederetan ulama hadis yang pernah mengalami masa

ikhtila >t} seperti Sufyan bin Uyainah, Abd. Al-Wahhab al-Thaqafi,

Hus }ain bin Abdurraahma >n al-Ku>fi, „A <rim, Ibn Hibba>n, Abu Bakar al-

Qat}i‟iy, perawi musnad Ahmad, Abu Tahir, cucu Ibn Khuzaimah, dan lainnya. Hadis mereka pra ikhtilat boleh diterima dan banyak ulama hadis yang meriwayatkannya.

c) Mengenali perawi lebih jauh Untuk mengenal perawi lebih jauh, pengkritik sanad harus mengetahui:

1) Tahun kelahiran dan tahun wafat perawi. Ini akan memudahkan pengkritik sanad untuk mengetahui hubungan perawi dengan guru-gurunya dan murid-muridnya

2) Kebangsaan perawi. Ini penting sekali untuk membedakan antara perawi yang ada keserupaan (misalnya nama) dengan perawi lain yang di negara lain.

3) Guru-guru dan murid-muridnya, sehingga status sanad bisa dipastikan

apakah ittsa >l, inqit}a‟ atau ada tadlis didalamnya.

4) Sa>biq dan la>hiq, untuk mengetahui siapakah yang wafat lebih dulu antara

dua rowi. Salah satu rujukan dalam disiplin ini adalah Al-sa>biq wa al-la>hiq karya Al-Khatib Al-Baghdadi

5) Identitas, integritas, kredibilitas dan kualitas seorang perawi berdasarkan pendapat-pendapat ulama hadis. Dan manakala terjadi kontradiksi antara periwayatan beberapa perawi thiqah, maka riwayat perawi yang mempunyai tingkat kethiqahan paling tinggi harus diunggulkan atas riwayat perawi lain yang tingkat kethiqahannya lebih rendah.

6) Perawi yang dikenal sering melakukan tadlis.dan irsal . Tadlis adalah jika perawi mempunyai guru ( atau siapa saja yang pernah ia jumpai) dan biasanya ia menerima hadis dari gurunya itu, namun ketika ia mendapatkan hadis dari orang lain, ia kemudian meriwayatkan hadis yang didapat dari orang lain itu, tapi menggunakan perangkat yang mengkaburkan dan seakan - akan ia menerima hadis tersebut dari

gurunya sendiri (dengan menggunakan sighat ittis }a>l, seperti عن ) padahal ia tidak menerimanya darinya. Perawi yang terkenal sering

melakukan tadlis adalah Baqiyyah bin Al-Wali <d 43 dan Al-Wali<d bin Muslim Al-Dimashqi.

7) Madhhab perawi, apakah ia ahlussunnah atau ahli bid'ah, apakah bid'ahnya membuatnya menjadi munafiq, kafir atau tidak, apakah ia mengajak orang lain (mendakwahkan) kebid‟ahannya atau tidak. Studi

43 Jenis tadlis yang dilakukan adalah tadlis taswiyah.

Page 18: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Atho’illah Umar

|Jurnal MUTAWA>TIR|No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011 551

ini memudahkan pengkritik sanad untuk labeling perawi sesuai madhhab yang ia anut, apakah mu'tazilah atau shî'ah rafidah, qadiyaniyah, khattabiyah dan sebagainya.

8) Nama dan laqob perawi. Banyaknya jumlah perawi hadis menyebabkan terjadinya keserupaan pada nama, kunyah, dan laqob. Oleh karena itu lahirlah beberapa disiplin ilmu sebagai berikut: 1. Ilmu tentang nama perawi. Banyak kita temukan kesamaan nama

pada perawi yang cukup membuat bingung pengkritik sanad, lebih-lebih jika antara dua perawi yang mempunyai nama yang sama tersebut saling berlawanan, yakni yang satu thiqah dan yang satu lagi da‟if seperti Sholeh bin Hayyan. : a. Salih bin Hayyan al-Qurashi = da'if b. Salih bin Hayyan (mashhur dengan panggilan 'hay') = thiqqah,

biasanya meriwayatkan hadis dari al-Sha'bi.

Ulama' banyak mengarang kitab tentang ini, misalnya al-asma>’ wa al-

kuna> karya Imam Ahmad, al-kuna> wa al-asma>’ karya Imam Muslim,

asma’ al-muhaddithin wa kunahum karya Al Miqdami44, al-mustafa>d min

mubhama>t al-matn wa al-isna>d, karya Al-Hafiz Waliyuddin Al-Iraqi45 dan lainnya.

2. Ilmu tentang Laqob perawi. Masharakat Arab lebih suka memanggil orang dengan panggilan dia dari pada dengan namanya. Sebab itulah kebanyakan dari ulama' hadis atau perawi lebih dikenal dengan panggilan (laqob) mereka daripada nama mereka sendiri, sayang sekali para pengkritik hadis atau ulama' kontemporer sering tertipu dengan laqob-laqob yang ada, sehingga mereka mengira panggilan perawi adalah namanya. Contoh pada sebagian riwayat tertulis Abdullah bin Abi Salih dan pada riwayat

lain tertulis Abba>d bin Abi Salih. Banyak Ulama' (termasuk juga Al-Madini) tertipu dengan kedua nama ini. Mereka mengira itu adalah

nama dua orang, padahal sebenarnya Abba>d adalah laqob Abdullah, bukan saudaranya atau orang lain. Seorang ulama hadis bertanya kepada Ibnu Hajar karena tidak menemukan nama "Tamtam" dalam kitab-kitab biografi perawi. Ibnu Hajar pun menjelaskan bahwa itu adalah sebuah laqob, namanya adalah Muhammad bin Gholib bin Harb.

44 Dr. Ali Naif Biqa‟i, Dira >sat Asa>nid Al Hadi<th Al Shari <f, (Beirut: Dar Al bashair Al islamiyah,

2001), 37 45Dr. Yahya Ismail & Dr. Mushtofa Muhammad Husain, Dirasat fi al-hadîth al-da'îf, (Kairo: Dar Al

Kkutub Al misriyah, t.t.), 277-279

Page 19: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis

553 Jurnal MUTAWA>TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011|

Kitab-kitab tentang Laqob talah banyak dikarang oleh ulama hadis,

diantaranya Muntaha al-kama>l fi ma'rifah alqa >b ar-rija>l, karya Abu Al-

Fadl Al-Falaki, Kashf al-niqa>b ‘an alqa>b, karya Abu Al-farj Ibn al-

Jauzi, Asba>b al-asma>' , karya Abd. Al-Ghoniy bin Sa'îd, Nuzhah al-

Alba>b, karya Ibnu Hajar. Merupakan ringkasan dari semua kitab diatas.46

2. Kritik Matan

Yang dimaksud dengan kritik matan adalah seleksi matan hadis sehingga dapat dibedakan antara matan yang bisa diterima atau ditolak dengan menggunakan kaedah-kaedah kritik yang disepakati ulama' hadis yang di formulasikan dari berbagai metode mulai metode kritik sahabat, metode kritik ulama' klasik hingga kontemporer.

Mayoritas Ulama' hadis klasik memusatkan perhatian pada kritik sanad, sebab menurut mereka bahwa otentitas suatu hadis terletak pada sanad. Jika sanad sahih, maka dapat dipastikan matannya juga sahih. Namun setelah diteliti bahwa tidak sedikit hadis yang matannya kelihatannya sahih (hanya karena melihat sanadnya sahih) ternyata matannya da’if bahkan maudu’ .

Atas dasar itulah ulama' hadis khususnya yang spesifikasinya dalam bidang kritik, seperti Ibnu Abi Hatim dan ayahnya, Shu'bah Ibn al-hajjaj, al-'Iraqi, al-Dhahabi, al-Tirmizi dan lainnya merumuskan beberapa kaedah untuk mengkritik matan hadis sesuai proporsi hadis itu sendiri. Kaedah-kaedah kritik matan yang telah disepakati oleh ulama hadis adalah sebagai berikut : a) Mengkomparasi riwayat hadis yang akan dikritik dengan riwayat-riwayat

lain. Dengan begitu akan diketahui apakah dalam matan hadis itu terdapat

idra>j (tambahan kata / kalimat dari salah satu perawinya), Qalb (pembalikan

kata) id}tira>b (taqdim dan ta'khir / penduluan dan pengakhiran), al-ziya>dah wa

al-nuqsa >n (penambahan dan pengurangan), tas}hi <f (perubahan titik), tah}ri <f (perubahan harokat) dan bentuk hadis janggal yang lain yang mengisyaratkan adanya kesalah-fahaman (al-wahm) dari seorang perawi terhadap hadis yang ia riwayatkan.

b) Komparasi beberapa hadis yang kelihatannya saling bertentangan.

Terhadap hadis yang saling ta'a >rudl, ada beberapa kemungkinan yang bisa

dilakukan, yaitu invalidasi (naskh), kompromi (al-jam'u) atau tarji <h. Pembahasan tentang kontradiksi hadis sudah banyak di singgung dalam

46Dr.Mahmûd Abd. Kholiq Hulwah dan Dr. Izzat Ali Athiyyah, Usu>l Al riwa >yah wa Al jarh wa Al-

ta'di<l (Kairo: Matba‟ah Rashwan, 2003), 79-80. Bandingkan dengan Dr. Mustafa al-Siba'i, Al-sunnah wa

maka>natuha> fi al-tashi<î' al-sla>mi, (Beirut : Dar al Warraq, 1419), 112

Page 20: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Atho’illah Umar

|Jurnal MUTAWA>TIR|No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011 554

kitab-kitab mustolah dan telah menjadi satu disiplin ilmu tersendiri yang dinamakan ilmu mukhtalif al hadis.47

c) Komparasi matan hadis dengan peristiwa-peristiwa bersejarah yang validitasnya diakui oleh mayoritas ulama' dan diikuti oleh mayoritas sahabat, seperti peristiwa perang badar, perang uhud, perang khandaq, hijrah, pengalihan kiblat, dan sebagainya.

d) Kemungkinan adanya kontradiksi matan hadis dengan dalil – dalil hukum

yang qat’iy. Jika terbukti, maka ia tergolong d }a‟if. e) Penilaian atas kuat atau lemahnya uslub yang dipakai dalam matan hadis.

Mayoritas ulama' hadis menolak matan hadis yang amburadul dan tidak memiliki karena bertentangan dengan tabi'at hadis Nabawi dengan keindahan uslubnya dan kejelasan maknanya 48. Selanjutnya, untuk mengetahui sahih tidaknya matan hadis, Ulama' hadis

meletakkan dua syarat yang harus terpenuhi, yaitu: a) Matan hadis tidak Shadh. Syadh adalah jika ada hadis A yang sanadnya

sahih, namun ada hadis lain (B) yang bertentangan dengan hadis A dan mempunyai sanad yang lebih sahih dari hadis A (perawi hadis B lebih thiqah dari perawi hadis A), Maka hadis A matannya menjadi shadh (da‟if) sedangkan sanadnya tetap sahih. Adapun hadis B, sanad dan matannya sahih (dinamakan hadis Mahfûdz).

b) Matan tidak mengandung Illat.49 Banyak kita dapatkan hadis yang matannya kelihatan sahih, namun setelah di kritik oleh para pengkritik hadis ternyata ada illat pada matan yang dapat mencacat hadis itu. Illat yang ada pada matan bisa berupa kesalah-fahaman (wahm) dari perawi dan yang lainnya yang menyebabkan pencampuradukkan antara ucapan Rasulullah dengan ucapan orang lain, atau bisa juga menyebabkan penggantian matan selurunya secara tidak sengaja seperti dalam kasus yang terjadi antara Thabit bin Musa, salah seorang ulama ahli zuhud, dan

gurunya al-Qad}i Shari <k bin Abdillah. Suatu hari, dalam sebuah majlis

belajar, al-Qad}i Sharîk bin Abdillah memulai pelajarannya dengan menyebutkan sebuah hadis. Lalu di tengah Sharik menyebut rentetan sanad dari hadis yang akan beliau riwayatkan, datanglah muridnya, Tsabit yang terlambat. Melihat wajah Thabit, Sharik spontan berkata : "Barangsiapa yang sering sholat di malam hari , maka wajahnya bercahaya pada siang hari.” Perkataan itu keluar dari lisan Sharîk akibat luapan

47 Menurut al Ma‟aribi, hadith mukhtalif tergolong faktor pencacat yang tidak sampai mencacat

hadith, Al Jawahir al Sulaimaniyah, 46 48 Prof. Dr. Izzat Ali Athiyyah, Mausûah ulûm al hadîth al-shârîf, 799 49 Illat pada matan ada dua macam, pertama tidak sampai mencacat matan, kedua illat yang dapat

mencacat matan .

Page 21: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis

555 Jurnal MUTAWA>TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011|

keterkaguman atas kezuhudan dan ke wara' an Tsabit. Tapi Tsabit mengira perkataaan itu adalah hadis Nabi SAW. Tsabit pun meriwayatkannya secara marfû' ke Rosulillah SAW dengan sanad yang tersebut diatas.50 Dr. Mustafa As-Siba'i menambahkan, bahwa dalam kritik matan ada beberapa kaedah yang harus kita perhatikan terkait sharat dapat diterimanya matan seperti uslub yang dipakai tidak lemah dan tidak terkesan keluar dari lisan yang tidak fasih, substansi matan harus memungkinkan untuk dita‟wil, tidak bertentangan dengan mantiq / logika dasar manusia, tidak bertentangan dengan norma-norma hukum, akhlaq, panca indra, ilmu dasar medis, dasar-dasar aqidah yang qoth'i, sunnatullah, dan tidak bertentangan pula dengan peristiwa bersejarah yang telah mashhur di kalangan sahabat, misalnya ada sebuah matan hadis yang diriwayatkan oleh satu orang sahabat saja dan tidak ada sahabat lain yang meriwayatkannya padahal redaksi matan tersebut memuat sebuah peristiwa besar yang disaksikan oleh banyak sahabat, substansi matan juga tidak boleh mengajak kepada madhhab perawi, dan tidak boleh keterlaluan dalam menjanjikan pahala dengan amalan yang sangat remeh, begitu juga sebaliknya, mengandung ancaman yang sangat keras terhadap kesalahan yang sangat kecil. 51

G. Langkah-langkah Dalam Kritik Hadis

Bagi pengkritik hadis, yang harus dilakukan pertama kali terhadap sebuah hadis adalah melakukan validasi hadis baik secara sanad maupun matan dengan berpegang pada lima standar (syarat) kesahihan hadis ahad yang telah masyhur52. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang peneliti hadis dalam studi kritik hadisnya adalah sebagai berikut : 1. Verifikasi Identitas Perawi

Seorang perawi yang belum jelas identitasnya (majhul al-ain) tentu akan menyulitkan peneliti hadis dalam melangkah ke tahapan kritik lebih lanjut, yaitu mengetahui kredibilitas perawi. Perawi yang identitasnya belum jelas dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe: a. Perawi yang namanya, nama ayahnya atau nisbatnya menyamai nama /

nisbat perawi lain. Untuk kasus ini seorang peneliti wajib melakukan kritik dengan memilah antara dua perawi yang memiliki nama serupa. Seorang peneliti dituntut untuk menguasai beberapa disiplin ilmu hadis pendukung, antara lain ilmu al-asma’ wa al-kuna wa al-alqab, man zukira bi

50 Al-Idlibi, 32-33 51 Dr. Mustafa al Siba‟i, Al-sunnah wa maka >natuha> fi al-tashri<' al-isla>mi 301-302 52 Kelima standar kesahihan itu adalah ketersambungan sanad, keadalahan perawi, kedabitan

perawi, tiada shuzuz, dan terbebas dari illat.

Page 22: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Atho’illah Umar

|Jurnal MUTAWA>TIR|No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011 556

asma’ muta’addidah, al-mubhama>t, al-mansu >bu >n ila> ghairi a>ba>’ihim, al-nisbah

alla>ti < ala khila>f z }a>hiriha>, awt }a>n al-ruwa>t, al-muttafiq wa al-muftariq, al-mu’talif wa al-mukhtalif, al-mutashabih wa al-mutashabih al-maqlub dan lainnya.

b. Perawi yang namanya atau nasabnya serupa. Jalan keluarnya adalah dengan melakukan studi histori dengan menggunakan perangkat ilmu tambahan seperti ilmu tabaqat al-ruwat, ilmu wafayat, ilmu riwayat al-akabir an al- asaghir, al-sabiq wa al-lahiq, dan lainnya.

2. Verifikasi Kredibilitas Perawi

Kredibilitas perawi dinilai dari dua aspek utama yakni al-ada>lah

(ke‟adalahan) dan al-d }abt (kedabitan). Perawi yang tidak diketahui kredibilitasnya disebut majhul al hal. Sedangkan jika diketahui ia memiliki keadalahan dan kedabitan maka disebut thiqah. Adapun jika ia tidak memiliki keadalahan atau kedabitan atau bahkan tidak memiliki kedua-duanya maka ia disebut perawi da‟if. Dalam penelitian perawi terkait kredibilitasnya ini dibutuhkan beberapa perangkat ilmu penunjang,

diantaranya sifa>tu man tuqbalu riwaya >tuhu, ilmu al-jarh wa al-ta’di <l, ma’rifat al-

saha>bah, ma’rifat al-thiqa>t, al-du’afa>’, ma’rifatu man ikhtalat }a min al-thiqa>t, al-

wujda>n, al-mudallisu >n dan lainnya.53

53

Berikut daftar perawi bermasalah yang telah disepakati mayoritas ulama hadith : 1. Tertuduh pemalsuan hadith

a. Wahab bin Wahab bin Katsi <r, Abu Al-Bukhtury Al-Qurashi Al-Madani. Ulama' pengkritik hadith yang menyatakan ia pembohong adalah Yahya bin Ma'în, Ahmad bin Hambal dan Utsman bin Abi Shaibah

b. Muhammad bin Al-Sa>'ib Al-Kalbi Al-Kufi.. Dia menganut madzhab saba'iyah yang mengatakan bahwa Imam Ali tidak meninggal, dan beliau kembali ke dunia untuk mengembalikan keadilan. Menurut Ibnu Hibban dan Al-Juzjani, al-Kalbi adalah perawi matruk.

c. Muhammad bin Sa'id Al-Sha>mi . Tinggal di Damascus. Jika ia menganggap suatu perkataan itu baik, maka ia jadikan hadith dan memberinya sanad palsu. Ia disalib setelah ia mendapat tuduhan zandaqoh. Sederetan ulama' pengkritik hadith yang menyatakan bahwa ia pembohong adalah Abu Ahmad Al-Hakim, Ahmad bin Hanbal dan Sufyan Ats-Tsauri.

d. Ahmad bin Abdullah bin Kha >lid Al-Jubari. Menurut sebagian pengkritik, ia termasuk dalam daftar perawi pembohong (kazzab). Ulama' pengkritik hadith yang menyatakan bahwa ia pembohong adalah An-Nasa'i, Ibnu „Adi, al-Daruquthni, al-Hakim, dan al-Baihaqi. Ibnu Hibban berkata : Dia adalah kelompok Dajjal.

2. Perawi da‟if yang sering salah dalam meriwayatkan hadith (yahimu, lahu awham), pelupa, kacau, pikun (mukhtalit), sering membolak balik isi matan, dan bahkan merubah lafaz matan secara tidak sengaja. Mereka adalah:

a. Sa'id bin Bashir al-Dimashqi. Ia termasuk perawi yang Saduq tapi mendapat predikat

sering salah (yahimu / lahu > auha>m) sebagaimana diungkapkan Shu'bah dan Abu Hatim. Menurut Imam Bukhari, faktor yang menjadikan Sa'id dinilai sebagai perawi da'if adalah karena lemah hafalannya.

b. Rashdin bin Kuraib. Semua hadith yang diriwayatkannya dihukumi munkar karena banyak sekali kesalahan pada periwayatannya dan banyak auham . Oleh karena itu, menurut Ibnu Hibban, dia tidak bisa dijadikan hujjah.

Page 23: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis

557 Jurnal MUTAWA>TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011|

3. Pemeriksaan Sanad. Ketersambungan atau keterputusan sanad menjadi tolak ukur kesahihan sebuah hadis, dimana jika sanad tidak tersambung, maka hadis keluar dari lingkaran sahih. Oleh karena urgensinya sanad, maka banyak sekali lahir disiplin ilmu pendukung dan terminologi atau mustalahat untuk mengkaji sebuah sanad hadis, seperti al-muttasil, al-musnad, al-mu’an’an dan al-mu’annan,

al-munqati’ wa anwa>-uhu, al-mudallas, turuq al-tahammul wa al-ada>’, dan lainnya. 4. Pemeriksaan Kemungkinan Adanya Shadh dan Illat

Untuk mendeteksi adanya shaz dan illat, peneliti diharuskan menguasai

ilmu al sha >dh wa ziyada>t al-thiqah, al-mu’allal, al-irsa>l al khafiy, al-idra>j, al-tashif,

al-qalbu, al-isti’ra>b dan sebagainya. 5. Melakukan I’tibar (Mencari sanad pendukung).

Langkah ini diprioritaskan jika ada sebuah hadis yang tidak memenuhi lima syarat atau standar kesahihan hadis. Dalam melakukan I‟tibar, peneliti

dituntut menguasai ilm tentang al-shawa>hid wa al-muta>ba’a>t, al-ghari <b wa al-

fard, al-azi <z, al-masyhu >r, al-mutawa >tir dan penting juga menguasai ilmu takhri <j al-hadi >th 54.

H. Kritik Matan; Sebuah Tantangan

Kajian ulama hadis klasik lebih banyak fokus kepada pembahasan sisi sanad hadis dan tidak banyak ulama hadis yang membahas kritik matan. Mereka kurang begitu respek terhadap kritik matan. Dr. Salahuddin al-Idlibi, M. M. Abu Shahbah dan Dr. Nuruddin Atar memiliki argumen sendiri terkait fobia kritik matan ini. argumen-argumen mereka dapat kami simpulkan sebagai berikut : 1. Dunia hadis pada masa klasik lebih membutuhkan kritik sanad dari pada

kritik matan. Disamping itu, proses otentifikasi sanad pada masa dahulu bergantung pada ulama yang memiliki kompetensi dan kepakaran khusus, ketelitian dan kesabaran dari para pakar sanad hadis yang hafidz dan tekun yang jumlah mereka semakin hari semakin sedikit, sehingga kebutuhan akan kritik sanad saat itu mendesak sekali. Dengan demikian aktifitas kritik yang berhubungan dengan sanad, seperti jarah ta'dil tidak akan pernah berhenti sampai dapat dibedakan antara yang asli dan palsu. Oleh karena

c. Sa'id bin al-Marzaban Abu Sa'ad Al-Baqqa>l. Beliau menerima hadith dari Abu Hurairah,

Anas, dan „Ikrimah. Namun Yahya bin Ma'în dan Imam Bukhori menda'ifkannya.

Menurut Abu Zar'ah, Said s }adu >q, tapi ia juga mudallis. Lihat: Dr. Mustafa al Siba‟i, Al-

sunnah wa maka >natuha> fi al-tashri<' al-isla>mi, 153-160 54 Dr. Ali Naif Biqa‟I, Dirasat Asanid al Hadith al Sharif, (Beirut : Dar al Bashair al Islamiyah, 2001),

35-36

Page 24: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Atho’illah Umar

|Jurnal MUTAWA>TIR|No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011 558

itu mereka menganggap bahwa kritik sanad lebih utama daripada kritik matan.

2. Jika terlalu banyak melakukan kritik matan dikhawatirkan peneliti akan memandang sebelah mata terhadap kritik sanad, padahal sanad mempunyai kedudukan yang sangat penting mengingat ia sebagai jalan penghubung menuju matan. Seseorang jika sudah asik melakukan kritik matan maka ia akan terlena dan lupa akan pentingnya kritik sanad. Sebaliknya jika seseorang melakukan kritik sanad, maka ia dapat memberikan hukum kedua elemen hadis itu sekaligus, yakni ia akan mendapatkan hukum sebuah sanad hadis beserta hukum matannya sekaligus. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.

3. Keseringan dan terlalu asik bergelut dengan kritik matan membuat peneliti akan menjadi seorang pengkritik yang pragmatis an sembrono dengan menolak sekian banyak hadis yang sebenarnya memiliki sanad yang sahih padahal kaedah umum telah menyatakan bahwa kesahihan matan bergantung pada kesahihan sanad. Maka dari itu kegiatan kritik sanad hendaknya dilakukan lebih menyeluruh dan komprehensif. Terpenting, lakukanlah fit and proper terhadap sanad terlebih dahulu, mulai dari ittisal, adalah, kedabitan perawi, ada dan tiadanya shudhudh atau illat. Barulah setelah itu kita lanjutkan fit and proper kita terhadap matan. Jika hasilnya sanad dan matan sahih atau hasan, maka kita berikan status sahih atau hasan pada hadis tersebut, namun jika salah satu dari keduanya tidak sahih, maka kita berikan status da‟if bahkan maudu‟55.

4. Matan hadis kadang-kadang mengandung kata atau kalimat yang mutashabih yang susah untuk difahami, bahkan sebagiannya hanya diketahui oleh Allah SWT. Pemaksaan makna dengan menggunakan daya akal semata akan membuahkan pemahaman yang berdasar dugaan tanpa adanya keyakinan. Contoh hadis ini adalah hadis sifat.

5. Matan hadis kadang juga mengandung substansi ilmu mengenai alam ghaib seperti keadaan hari kiamat, siksa kubur, malaikat, shurga dan neraka dan sebagainya yang tidak bisa dijangkau oleh akal, pandangan mata, atau media tiga dimensi. Jika seseorang yang tidak mengetahui metode kritik matan dengan baik pasti ia akan mudah tidak percaya atau menolak hadis-hadis ghaib semacam ini56

6. Kritik matan yang dilakukan dengan serampangan tanpa kaedah yang disepakati para ahli hadis akan membawa peneliti mudah mengeluarkan vonis maudu‟ terhadap setiap matan yang dikritik sebagaimana yang terjadi pada sebagian orientalis. Walaupun ulama hadis kontemporer telah

55 Al-Idlibi : 190 56 M. M. Abu Shahbah, difa>’ ‘an al-sunnah, (Kairo: Maktabah al-Sunnah,1989), 44

Page 25: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis

559 Jurnal MUTAWA>TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011|

menyepakati kaedah baru yang berbunyi la tala>zuma baina sih }h}at al-sanad wa

sih }h }at al-matni wa bil aks (tidak ada kelaziman antara kesahihan sanad dan kesahihan matan, begitu pula sebaliknya) namun mereka juga menganjurkan kita untuk memperhatikan kaedah – kaedah lain dalam melakukan kritik hadis dan supaya para peniliti selalu berhati – hati agar tidak mudah tertipu dengan sebuah metode yang membolehkan

mend }a‟ifkan matan hadis hanya berdasar substansi maknanya. Sebagai contoh, mengenai kisah Umar yang menolak hadis Fatimah binti Qays57. Kisah ini oleh sebagian pemikir kontemporer seperti Dr. Ahmad Amin58 dan Dr. Ahmad Abd Al Mun‟im Al Bahiyy59 sempat mereka jadikan sebagai dasar hukum atas penolakan matan hadis berdasar metode kritik matan mereka. Begitu juga kisah kritik Ali bin Abi Talib terhadap hadis Ma‟qil bin Sinan mengenai tidak wajibnya membayar mahar seorang suami yang keburu meninggal sebelum ia mengumpuli istrinya. Ali pun mengkritiknya dengan berkata „kami tidak akan meninggalkan Alquran demi ucapan seorang badui yang tidak mengerti istinja‟ dengan baik60. Penolakan hadis oleh sahabat senior ini tidak sepatutnya ditelan mentah-mentah oleh generasi sekarang karena mereka adalah generasi terbaik umat ini, dimana mereka tidak pernah meninggalkan majlis Rasulullah SAW sedikitpun kecuali jika berhalangan. Namun demikian tidak berarti bahwa kritik matan menjadi „buah terlarang‟ yang tidak boleh disentuh. Kritik matan boleh saja dilakukan bahkan dianjurkan selama dilakukan oleh seorang peneliti yang kompeten dan menguasai segala perangkat ilmu, mentaati kaedah yang telah ditetapkan oleh ulama hadis dan diiringi niat

baik serta h }usnuzzon terhadap Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Semoga kita akan mendapat syafa‟atnya dengan menjadi pelayan terhadap sunnahnya. Amin.

I. Penutup Sebagai sumber ajaran kedua setelah Alquran, keaslian dan keotentikan

Sunnah selalu menjadi sorotan sepanjang masa. Hal ini tidak lain karena mayoritas keotentikan dan ke-qath‟iyah-an Sunnah tidak absolut dan berdasar zann.

Maka sebuah keniscayaan apabila penelitian dan studi kritik terhadap hadis baik itu sanad maupun sanad tidak akan pernah berhenti, baik itu dari kalangan muslim atau non muslim. Bahkan kegiatan kritik dan upaya purifikasi hadis

57 Rujuk hal. 7 dari artikel ini. 58 Dalam kitabnya ‘ Duha > al-Isla>m’ 59 Dalam makalahnya yang dimuat majalah al-Arabi Kuwait edisi 89 hal.13 60 Nuruddin Atar, 470

Page 26: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Atho’illah Umar

|Jurnal MUTAWA>TIR|No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011 561

telah ada sejak zaman sahabat baik ketika masih adanya Rasulullah SAW di tengah – tengah mereka maupun setelah beliau wafat. Studi kritik hadis telah membudaya di awal masa Islam dan diteruskan oleh generasi tabi‟ien, tabi‟ tabi‟ien dan setelahnya.

Melalui artikel yang singkat ini, dapat kita simpulkan bahwa objek kajian studi kritik hadis ternyata sangat luas, orisinil dan bukan merupakan hal yang baru dalam dunia Islam atau ciptaan para sarjana hadis. Terbukti banyak kita temukan tokoh – tokoh dalam dunia krtik hadis semisal Abu Hatim Al-Razi dan anaknya, Shu‟bah, Yahya bin Main, Muhammad Ibn al-Mubarak, al Dhahabi, Ali Ibn al-Madini, Muhammad Ibn Sirin, Yahya bin Sa‟id al-Qattan, al Iraqi, al Bukhari, Muslim, Al-Tirmidhi, al Daruqutni, al-Hakim, Ibn Salah, Malik, al Shafi‟i dan ratusan tokoh kritik lainnya.

Dualisme konsep kritik hadis antara ulama klasik dan modern sejatinya tidak saling menafikan satu sama lain melainkan diupayakan dapat menjadi dua instrumen yang saling melengkapi ibarat bulan dan matahari. Sepanjang kita mentaati aturan kaedah kritik hadis, niscaya kita mendapat solusi yang menenangkan hati dan diridai, sebaliknya jika kita mengedepankan hawa nafsu maka murka Allah dan Rasul Nya akan kita dapatkan.

Warisan Islam dalam bidang kritik hadis ini sudah begitu lengkap dan dapat kita jadikan pegangan dalam menyikapi setiap hadis yang akan kita kaji. Semoga bermanfaat.

──

Page 27: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Budaya Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis

565 Jurnal MUTAWA>TIR |No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011|

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Lat}if, Abd. Maujud M, Dr.,t.t., Kashf al-Litha>m ‘an Asra>r Takhri >j Aha>dith

Sayyid al-Ana>m, Kairo: Dar Al-Kutub Al-Misriyah

Abu Shahbah, Muhammad bin Muhammad, 1989, Difa>’ ‘an al-Sunnah, , Kairo: Maktabah al-Sunnah

Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, Mesir : Mu‟assasah Qurtubah

Al-A‟z}ami, M. Must}afa, 1982, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhaddithi <n, Riyad: Maktabah al-Umariyah

Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, 1379, Fath al-Ba>ry, Beirut: Dar al-

ma‟rifah & 1998, Fath al-Ba>ry, Kairo: Dar al-Hadith.

Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail, 1987, Al-Ja>mi’ al-S}ahi <h al-Mukhtasar, tahqiq: Dr. Mustafa Dib al- Bigha, Beirut: Dar Ibn Kathir

Al-Dhahabi, Abu Abdillah Shamsuddin, 1978, Tadhkirah al-Huffa>z, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah

Al-Idlibi, Salahuddin bin Ahmad, Dr., 1983, Manhaj naqd al-matn ‘inda ulama > al-

hadi <th al-nabawi, Da>r Al A <fa>q Al Jadi >dah

Al-Khat}ib, Ajjaj, Dr., 1981, Al-Sunnah Qabla al-Tadwi <N, Beirut : Dar al-fikr

Al-Siba>‟i, Mustafa, Dr., 1998, Al-Sunnah wa Maka >Natuha> fi al-Tashri <' al-Isla>mi, Beirut: Dar al-Warraq

Al-Subky, Mahmud Muhammad Khat }t}ab, Sheikh, t.t. Al-Manhal al-Adhb al–

Mauru >d, Kairo : Al-Istiqa>mah

Al-Sulaimani, Al-Ma‟aribi, Mustafa bin Ismail, 2006, Al-Jawa>hir al-Sulaima>niyah,

Sharh}u al-manz }u >mah al-Baiqu>niyah, Riyad : Dar al-Kayan

Al-Suyut}i, Abdurrahman bin Abu Bakar, 1972, Tadri <b al–Ra>wi fi Sharh Taqri <b al-Nawawi, Kairo: Maktabah dar al-Turath

Al-Tarmasi, Muhammad Mahfudz bin Abdillah, t.t, Manhaj Dhawi al-Naz }ar,

Kairo: Must}afa> al-Ba>by al-Halabi

Al-Umari, Muhammad Ali Qosim, Dr., 1420, Dira>sat fi Manhaj al-Naqd ‘inda al-

muh}addithi <n, Yordania: Dar al-Nafais Arifin, Zainul, Prof. Dr., edisi VIII TH.7/Juli-Desember 2003, Kritik Hadith,

Studi Historis Kritik Hadith Pada Zaman Sahabat , Surabaya : Jurnal al-Afkar Fak. Usuluddin IAIN Sunan Ampel.

Atar, Nuruddin, Dr, 1418, Manhaj al-Naqd fi < Ulu >m al-Hadi <th, Beirut: Dar al-Fikr

Page 28: BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS; Analisa Historis dan … Kritik Ulama Hadith; Analisa Historis Praktis Jurnal MUTAWA>TIR | No.1 | Vol.1 | Januari-Juni 2011 | 5 BUDAYA KRITIK ULAMA HADIS;

Atho’illah Umar

|Jurnal MUTAWA>TIR|No.1|Vol.1|Januari-Juni 2011 561

Biqa>‟i, Ali Na >if, Dr, 2001, Dira>sat Asa>nid Al Hadi <th Al Shari <f, Beirut: Da>r al-

Basha>ir al-Isla>miyah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, Kamus Umum Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka

Diya>b, Ya>sir Shahha>tah Muhammad, Prof. Dr.,2003, Mausu >ah Ulu >m al-H}adi <th

al-Shari <f, Kairo: Al-majlis al-A‟la li al-Shu‟u>n al-Islamiyah.

Hulwah, Mahmud Abd. Khaliq, Dr. & Izzat Ali At }iyyah, Dr, 2003, Usu >l al-

Riwa>yah wa al-Jarh wa al-Ta'di <l, Kairo: Matba‟ah Rashwan

Husain, Must}afa Muhammad Mahmud, t.t., Dira>sa>t fi < al-H}adi <th al-D }a’i <f, Kairo: Al-Azhar Press.

Ibn Hibban, Abu Hatim Muhammad al-Basti, 1993, al-Sunan, Beirut: Mu‟assasah al-Risalah

Ibnu Manz}u>r, Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram, 1990, Lisa>n al-arab, Beirut : Dar al Sadir

Ismail,Yahya, Dr. & Husain, Mushtofa Muhammad, Dr, t.t, Dira>sat fi < al-H}adi <th

al-D }a'i <f, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyah

Malik bin Anas, , t.t, Al-Muwatta’, Kairo : Dar Ihya >‟ al-Tura>th al-Araby

Muslim, Ibn Al-Hajjaj, t.t, Al-Ja>mi’ al-Sahi <h, tahqiq: M. Fu‟a >d Abd al-Ba>qi,

Beirut: Da>r ihya>‟ al-Tura>th al-Arabi Wehr, Hans, 1970, A Dictionary nof Modern Written Arabic, London : George

Allen & Unwa Ltd