Upload
prizqy-rimadhyani
View
162
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PBL emergency
Citation preview
LO 1. Laringitis Akut
1.1 Definisi
Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan
bakteri yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh
infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe
1,2,3), rhinovirus danadenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae,
Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus
aureus dan Streptococcus pneumoniae. 2,3
Biasanya laringitis akut merupakan suatu fase infeksi virus pada saluran nafas
atas yang dapat sembuh sendiri, factor prediposisi dapat berupa rhinitis kronik,
penyalahgunaan alcohol, tembakau serta pemakaian suara yang berlebihan.5
1.2 Etiologi
Penyakit ini sering disebabkan oleh virus. Biasanya merupakan perluasan
radang saluran nafas bagian atas oleh karena bakteri Haemophilus Influenzae,
Staphylococcus, streptococcus, atau pneumococcus. Timbulnya penyakit ini sering
dihubungkan dengan perubahan cuaca atau suhu, giza yang kurang/malnutrisi,
imunisasi yang tidak lengkap dan pemakaian suara yang berlebihan.1,3,4
Menurut Rahul K shah etiologi dari laringitis akut adalah :
1. Infeksi (biasanya infeksi virus dari saluran pernafasa atas)
o Rhinovirus
o Parainfluenza virus
o Respiratory syncytial virus
o Adenovirus
o Influenza virus
o Measles virus
o Mumps virus
o Bordetella pertusis
o Varicella-zozter virus
2. Gastroesophageal reflukx disease
3. Environmental insults (polusi)
4. Vocal trauma
5. Komsumsi alkohol berlebihan
6. Alergi
7. Penggunaan suara yang berlebihan
8. Iritasi bahan kimia atau bahan lainnya
1.3 Patofisiologi
Laringitis akut merupakan inflamasi dari mukosa laring dan pita suara yang
berlangsung kurang dari 3 minggu. Parainfluenza virus, yang merupakan penyebab
terbanyak dari laringitis, masuk melalui inhalasi dan menginfeksi sel dari epitelium
INFLAMASIINFLAMASI
IRITASI LARYNG
IMUN ¯¯
IRITASI SALURAN NAFAS
MUKUS/SEKRET
OBSTRUKSI þ
BATUK þ
VIRUS, BAKTERI þ
MALNUTRISIPANCAROBA
PITA SUARA TERTEKAN
SUARA ý
HIPEREMISNYERI EDEMA
KALOR DOLOR TUMOR
INFLAMASIINFLAMASI
RUBOR
saluran nafas lokal yang bersilia, ditandai dengan edema dari lamina
propria,submukosa, dan adventitia, diikuti dengan infitrasi selular dengan histosit,
limfosit, sel plasma dan lekosit polimorfonuklear (PMN). Terjadi pembengkakan dan
kemerahan dari saluran nafas yang terlibat, kebanyakan ditemukan pada dinding
lateral dari trakea dibawah pita suara. Karena trakea subglotis dikelilingi oleh
kartilago krikoid, maka pembengkakan terjadi pada lumen saluran nafas dalam,
menjadikannya sempit, bahkan sampai hanya sebuah celah. Membran pelindung plika
vokalis biasanya merah dan membengkak. Puncak terendah pada pasien dengan
laringitis berasal dari penebalan yang tidak beraturan sepanjang seluruh plika vokalis.
Beberapa penulis percaya bahwa plika vokalis mengeras daripada menebal.
Pengobatan konservatif seperti yang disebutkan sebelumnya biasanya cukup
mengatasi inflamsi laring dan mengembalikan aktivitas vibrasi plika vokalis.1
Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri mungkin sekunder. Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis. Awitan infeksi mungkin berkaitan dengan pemajanan terhadap perubahan suhu mendadak, defisiensi diet, malnutrisi, dan tidak ada immunitas. Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan mudah ditularkan. Ini terjadi seiring dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host serta prevalensi virus yang meningkat. Laringitis ini biasanya didahului oleh faringitis dan infeksi saluran nafas bagian atas lainnya. Hal ini akan mengakibatkan iritasi mukosa saluran nafas atas dan merangsang kelenjar mucus untuk memproduksi mucus secara berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas. Kondisi tersebut akan merangsang terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi pada laring. Dan memacu terjadinya inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi ini akan menyebabkan nyeri akibat pengeluaran mediator kimia darah yang jika berlebihan akan merangsang peningkatan suhu tubuh.
1.4 Gejala Klinis
Pada laringitis akut ini terdapat gejala radang umum, seperti demam,
malaise, gejala rinofaringitis. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan
pasien sebagai suara yang kasar atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada
lebih rendah dari suara yang biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta
ketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan
suara menjada parau bahkan sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).8
1. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang kasar atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara yang biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjada parau bahkan sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).
2. Sesak nafas dan stridor3. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menelan atau berbicara.4. Gejala radang umum seperti demam, malaise5. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental6. Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit
menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius.
7. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu yang sangat berarti yakni lebih dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang disertai dengan nyeri diseluruh tubuh.
8. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring yang hiperemis, membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan tanda radang akut dihidung atau sinus paranasal atau paru
9. Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak.
1.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan suara yang serak, coryza, faring yang
meradang dan frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai
pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal, infrasternal dan intercostal serta
stridor yang terus menerus, dan anak bisa sampai megap-megap (air hunger). Bila
terjadi sumbatan total jalan nafas maka akan didapatkan hipoksia dan saturasi oksigen
yang rendah. Bila hipoksia terjadi, anak akan menjadi gelisah dan tidak dapat
beristirahat, atau dapat menjadi penurunan kesadaran atau sianosis. Dan kegelisahan
dan tangisan dari anak dapat memperburuk stridor akibat dari penekanan dinamik dari
saluran nafas yang tersumbat. Dari penelitian didapatkan bahwa frekuensi pernafasan
merupakan petunjuk yang paling baik untuk keadaan hipoksemia. Pada auskultasi
suara pernafasan dapat normal tanpa suara tambahan kecuali perambatan dari stridor.
Kadang-kadang dapat ditemukan mengi yang menandakan penyempitan yang parah,
bronkitis, atau kemungkinan asma yang sudah ada sebelumnya.2
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu
menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan
tampak edema terutama dibagian atas dan bawah glotis
Gambar 2.3. Laringitis akut, gambaran ini mengambarkan laring wanita 53 tahun, dengan gejala utama serak dan suara terengah-engah. Catatan daerah-daerah eritem dan mukosa normal yang bergantian pada plika vokalis. Juga ditandai irregularitas pada kontur lipatam-lipatan vocal (dikutip dari kepustakaan 1)
Sebetulnya pemeriksaan rontagen leher tidak berperan dalam penentuan
diagnosis, tetapi dapat ditemukan gambaran staplle sign (penyempitan dari
supraglotis)Foto rontgen leher AP bisa tampak pembengkakan jaringan subglotis
(Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus pada foto AP dan penyempitan
subglotis pada foto lateral, walaupun kadang gambaran tersebut tidak didapatkan.
Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, kecuali didapatkan eksudat di orofaring
atau plika suara, pemeriksaan kultur dapat dilakukan.Dari darah didapatkan
lekositosis ringan dan limfositosis.1
Gambar 2.4. Gambaran rontagen laringitis akut, gambaran steeple sign(panah)
(dikutip dari kepustakaan 9)
Diagnosis Banding1. Benda asing pada laring2. Faringitis3. Bronkiolitis4. Bronkitis5. Pnemonia
1.6 Penatalaksanaan
Umumnya penderita penyakit ini tidak perlu masuk rumah sakit, namun ada
indikasi masuk rumah sakit apabila :
· Usia penderita dibawah 3 tahun
· Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau axhausted
· Diagnosis penderita masih belum jelas
· Perawatan dirumah kurang memadai
Perawatan Umum
1. Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari
2. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 l/ menit
3. Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri / minyak mint bila ada
muncul sumbatan dihidung atau penggunaan larutan garam fisiologis (saline 0,9
%) yang dikemas dalam bentuk semprotan hidung atau nasal spray
Perawatan Khusus
Terapi Medikamentosa
1. Antibiotika golongan penisilin
Anak 50 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis
Dewasa 3 x 500 mg perhari.3
Menurut Reveiz L, Cardona AF, Ospina EG dari hasil penelitiannya menjelaskan
dari penggunaan penisilin V dan eritromisin pada 100 psien didapatkan antibiotic
yang lebih baik yaitu eritromisin karena dapat mengurangi suara serak dalamsatu
minggu dan batuk yang sudah dua minggu.10
2. Kortikosteroid diberikan untuk mengatasi edema laring.1
1.7 Pencegahan :
Jangan merokok, hindari asap rokok karena rokok akan membuat tenggorokan
kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara, minum banyak air karena cairan
akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat pada tenggorokan tidak terlalu
banyak dan mudah untuk dibersihkan, batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk
mencegah tenggorokan kering. jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan
karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal pada pita suara,
meningkatkan pembengkakan dan berdehem juga akan menyebabkan tenggorokan
memproduksi lebih banyak lender.8
1.8 Prognosis
Prognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik dan pemulihannya
selama satu minggu. Namun pada anak khususnya pada usia 1-3 tahun penyakit ini
dapat menyebabkan udem laring dan udem subglotis sehingga dapat menimbulkan
obstruksi jalan nafas dan bila hal ini terjadi dapat dilakukan pemasangan endotrakeal
atau trakeostomiaik.8
LO 2. Sindrom Steven Johnson2.1.Definisi Sindrom Stevens-Jhonson
Syndrom Steven Johnson adalah Syndrom yang mengenai kulit, selaput lendir
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat.
Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel / bula dapat disertai purpura. ( Djuanda,
1993 : 107 ).
Syndrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari
eropsi kulit, kelainan mukosa dan konjungtivitis ( Junadi, 1982 : 480 ).
Syndrom Steven Johnson adalah syndrom kelainan kulit berupa eritema,
vesikel / bula, dapat disertai purpura yang dapat mengenai kulit, selaput lendir yang
oritisium dan dengan keadaan omom bervariasi dan baik sampai buruk. ( Mansjoer,
A, 2000 : 136 ).
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai Sindrom Stevens-
Jhonson, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini
mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang
lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal
necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema
multiforme (EM) (Adithan,2006).
Epidemiologi
Sindrom Stevens Johnson merupakan kasus yang kadang-kadang terjadi. Insidens Sindrom Steven Johnson di laporkan sekitar 2,6-6,1 kasus per juta populasi setiap tahun. Di Amerika Serikat, ada sekitar 300 diagnosa baru pertahun. Sindrom Stevens-Johnson paling sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa muda, jarang terjadi di bawah usia 3 tahun rata-rata umur penderita adalah 20-40 tahun. Frekuensi yang sama terjadi pada pria dan wanita . Di bagian kulit universitas Indonesia setiap tahun terdapat kira-kira 12 pasien, umumnya juga pada dewasa. Hal tersebut berhubungan dengan kausa SSJ yang biasanya disebabkan oleh alergi obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang dan belum menurun seperti pada usia lanjut.
2.2.Etiologi Sindrom Stevens-Jhonson
Penyebab utama ialah alergi obat (penisilin dan semi-sintetiknya, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik/analgesic, pirazolon, metamizol, matampiron, parasetamol, klorpromazin,allopurinol, karbamazepin, kortikosteroid dan streptomisin), lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasama, dan radiasi.
Secara garis besar, penyebab penyakit SSJ adalah sebagai berikut :1. Idiopatik : Banyak kasus Sindrom Stevens-Johnson yang tidak diketahui secara pasti etiologinya, diduga sebesar 50% etiologi Sindrom Stevens-Johnson adalah idiopatik ( Cawson, 1994; Laskaris,2000; Parillo,et al.,2005.)
2. Erupsi alergi obat secara sistemik : Kebanyakan pasien memiliki riwayat menggunakan obat-obatan sebelum timbulnya gejala-gejala Sindrom Stevens-Johnson. Erupsi alergi obat secara sistemik adalah reaksi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat. ( Mansjoer, dkk, 2000)
Antibiotik : Golongan penisilin dan semi-sintetiknya, tetrasiklin, sulfonamid, sefalosporin, eritromisin, vankomisin (Roujeau,1995; Noel,et al,2000;Rose,2005)
Antikonvulsan : Barbiturat, fenitoin, hidantoin, karbamazepin, fenobarbital (Roujeau,1995; Lagayan,2005)
Anti inflamasi : Oksikam, parasetamol, derivat salisilat dan pirazolon (Villar,et al, 2001; Rose,2005)
Antirematik : Alopurinol (Ghislain and Roujeau, 2005)
Antituberkulosis : Rifampisin (Fritsch and Sidoroff, 2000)
Antiretroviral : Nevirapin (Fagot,et al, 2001)
Antihiperglikemi : Sulfonilurea (Roujeau,et al,1995)
Kortikosteroid : Glukokortikoid (Roujeau,et al,1995)
Antihelmintik : Mebendazol (Tong Chen,et al,2003)
Amebisid : Metronidazol (Tong Chen,et al,2003)
Antiepilepsi : karbamazepin, Lamotrigi. (Shuen Lam,et al,2004)
Antimalaria : Kinin, meflokuin, klorokuin (Mansjoer,dkk,2000)
3. Bahan-bahan kimia : Perak nitrit, trikloretilen, nikel, air raksa, arsenik,9-bromofluoren, trinitrotuen dan formaldehid.
4. Infeksi
Infeksi virus : Herpes Simpleks, HIV, Coxsakie,orthomyxovirus, paramyxovirus, hepatitis B, Lymphogranuloma venereum (LGV), Rickettsia sp, variola, Epstein-bar dan enterovirus ( Villar, et al, 2001; Dunant,2002; Shuen Lam, et al,2004; Lagayan,2005; Parillo et al,2005)
Infeksi bakteri : Mycoplasma pneumonia, Streptokokus betaGrup A, tularemia yang disebabkan oleh Francisella tularensis dan demam typhoid yang disebabkan oleh Salmonella sp (Lagayan, 2005; Parillo,et al ,2005)
Infeksi jamur : Coccidioidomycosis oleh Coccidioides immitis, histoplasmosis oleh Histoplasma capsulatum, dermathophytosis oleh Trichophyton sp, Epidermophyton sp dan Microsporin sp(Lagayan, 2005; Parillo,et al ,2005).
Infeksi protozoa : Trichomonas (Parillo,et al ,2005).
5. Neoplasma :
Keganasan yang sering dihubungkan dengan Sindrom Stevens-Johnson adalah beberapa varian karsinoma dan limfangioma. (Smelik, 2002; Lagayan, 2005;Parillo, et al.,2005)
6 . Reaksi pasca vaksinasi : pemberian vaksin dipteri, tiphoid, BacillusCalmette Guerin (BCG), Oral Polio Vaccine (OPV), smallpox, antraks, tetanus dan campak. (Chopra, et al., 2004; Smelik,2005; Rose, 2005; Parillo,2005)
7. Penyakit auto imun : Lupus eritrematosus
8. Faktor lain : Sinar X, sinar matahari, cuaca, keadaan kehamilan, kontaktan, terapi radiasi dan alergi makanan. (Mansjoer, dkk., 2000)
9. Makanan : Coklat
2.3.Patofisiologi Sindrom Stevens-Jhonson
Sindrom Stevens-Jhonson merupakan kelainan hipersensitivitas yang
dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan
keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif.
a. Penyakit ini sama dengan NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II
(sitolitik) menurut klasifikasi Coomb dan Gel. Gambaran klinis atau gejala reaksi
tersebut bergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ dan NET ialah
pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T,
termasuk CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokinin-sitokinin yang lain. CD4
terutama terdapat pada deRmis, sedangkan CD8 pada epidermis. Keratinosit
epidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2, dan MCH II. Sel langerhans tidak ada
atau sedikit. TNFα di epidermis meningkat. Oleh karena proses hipersensitivitas,
maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi :
- Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan.
- Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuriat
- Kegagalan termoregulasi
- Kegagalan fungsi imun dan infeksi
b. Reaksi hipersensitif tipe III
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang
mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi
akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan menyebab kerusakan
jaringan pada organ sasaran ( target- organ ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen
antibody yang bersikulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau
jaringan.
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam
jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe
ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan
jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah
tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan
berlanjut.
b.
c. Reaksi hipersensitif tipe IV
Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai
reaksi radang.
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil
limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel
yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat ( delayed )
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuk.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun . Hapten atau
karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau
metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut
(struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau
prosesmetabolik).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi
yangterjadi.
Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa
dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi
lainnya.
Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang
akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis. Bila pemberian obat diteruskan dan
geja]a klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang
diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai
mempunyai hubungan kausal. Sindrom Stevens-Johnson dapat muncul dengan
episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk
setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab. Baru-baru ini kokain termasuk
dalam daftar obat-obatan yang dapat mengakibatkan sindroma ini. lebih dari setengah
kasus sindrom SJS, tidak ditemukan sebab pasti dari SJS
Gambar bagan patofisiologi Sindrom Stevens-Jhonson
(Hipersensifif tipe III)
(Hipersensifif tipe IV)
Alergi Obat
Limfosit T tersintesisasi
Pengaktifan sel T Antigen antibodi aktivitas s.komplemen
Akumulasi Netrofil
Penghancuran sel-sel
Melepaskan Enzim
Kerusakan Enzim & menyebabkan kerusakan jaringan
2.4. Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum begitu berkembang, bisa ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orivisium, dan kelainan mata. Gejala klinik dimulai dengan :
Sindroma prodromal yang non spesifik dan reaksi konstitusional berupa meningkatnya suhu tubuh, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, nyeri dada, mialgi, diare, muntah dan artalgia. sehingga penderita berobat. Dalam keadaan ini, sering penderita mendapat pengobatan antibiotik, dan anti inflamasi, sehingga menyebabkan kesukaran dalam mengidentifikasi obat penyebab SJS . Gejala prodormal ini dapat berlangsung selama dua minggu dan bervariasi dari ringan sampai berat. Pada keadaan ringan kesadaran pasien baik, sedangkan dalam keadaan
yang berat gejala-gejala menjadi lebih hebat, sehingga kesadaran pasien menurun bahkan sampai koma.
Kelainan Kulit
Gejala kulit tampak berupa makula eritematus yang menyerupai morbiliform rash
Lesi kulit pada Sindrom Stevens-Johnson dapat timbul sebagai gejala awal atau dapat juga terjadi sesudah gejala klinis di bagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit umumnya bersifat asimetri dan ukuran lesi bervariasi dari kecil sampai besar. Mula - mula pasien mengalami ruam datar berwarna merah (eritrema) atau erupsi yang bersifat multiformis (menyerupai morbili) pada muka dan batang tubuh, kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata secara cepat dan biasanya mencapai maksimal dalam waktu empat hari, bahkan seringkali hanya dalam hitungan jam. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya (vesikel dan bula). Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok. vesikel dan bula yang kemudian pecah menjadierosi, ekskoriasi, menjadi ulkus yang ditutupi pseudomembran atau eksudat bening. Pseudomembran akan terlepas meninggalkan ulkus nekrosis, dan apabila terdapat perdarahan akan menjadi krustayang umumnya berwarna coklat gelap sampai kehitaman, Variasi lain dari lesi kulit berupa purpura, urtikaria dan edema. Selain itu, adanya erupsi kulit dapat juga menimbulkan rasa gatal dan rasa terbakar, Pada kasus yang sedang, lesi timbul pada permukaan ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki sedangkan pada kasus yang berat lesi menyebar luas pada wajah, dada dan seluruh tubuh. Secara khas, proses penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran napas atas.
Gambar . Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesicle, dan bula, serta erosi
Gambar Eritema yang tersebar luas pada wajah
Kelainan Selaput Lendir di Orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8 % dan 4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
Bibir, mukosa mulut dirasakan sakit, disertai kelainan mukosa yang eritematus, sembab dan disertai bula yang kemudian akan pecah sehingga timbul erosi yang tertutup pseudomembrane (necrotic epithelium dan fibrin).Bibir diliputi massive hemorrhagic crusts. Kelainan di mukosa juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar atau tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
Kelainan pada kelamin juga sering didapatkan dimana Lesi pada genital dapat menyebabkan uretritis, balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis adalah inflamasi pada glans penis. Uretritis merupakan peradangan pada uretra dengan gejala klasik berupa sekret uretra, peradangan meatus, rasa terbakar, gatal, dan sering buang air kecil. Vulvovaginitis adalah peradangan pada vagina yang biasanya melibatkan vulva dengan gejala-gejala berupa bertambahnya cairan vagina, iritasi vulva, gatal, bau yang tidak sedap, rasa tidak nyaman, dangangguan buang air kecil. Sindrom Stevens-Johnson dapat pula menyerang anal berupa peradangan anal atau inflamed anal.
gambar SJJ pada mukosa bibir
gambar balanitis akibat SJJ
Kelainan Mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain konjungtivitis, kelopak mata seringkali menunjukkan erupsi yang merata dengan krusta hemoragik pada garis tepi mata. Penderita Sindrom Stevens-Johnson yang parah, kelainan mata dapat berkembang menjadi konjungtivitis purulen, photophobia, panophtalmintis, deformitas kelopak mata, uveitis anterior, iritis, simblefaron, iridosiklitis serta sindrom mata kering
komplikasi lainnya dapat juga mengenai kornea berupa sikatriks kornea, ulserasi kornea,dan kekeruhan kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera diatasi maka dapat menyebabkan kebutaan.
gambar kelainan SSJ pada mata berupa konjungtivitis
KESIMPULAN MANIFESTASI KLINIS
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan
umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya
menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut
dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala,
batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
a. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk,
korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat
bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
b. Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir
seluruh tubuh.
c. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna
merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada
membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal,
dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan
gambaran utama.
d. Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,
kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan
perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial
pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang
menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya
ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31
tahun.
2.5. Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 %
diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau
darah, gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan syok pada mata dapat terjadi
kebutaan karena gangguan laksimasi.
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membeku dalam
menegakkan diagnosis.
a. CBC ( complek blood count ) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau
leukositosis non spesifik, peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebabkan
karena infusi bakteri.
b. Kultur darah, urin dan luka merupakan indikasi bila dicurigai, penyebab infeksi.
c. Tes lainya :
Biopsi kulit memperlihatkan luka superiderma
Adanya mikrosis sel epidermis
Infiltrasi limposit pada daerah ferifaskulator
2.7. Penatalaksanaan
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :
Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian
selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Lesi mulut diberi kenalog in orabase. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
a. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
preanisone 30 – 40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya burukdan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kartikosteroid merupakan tindakan
file-saving dan digunakan deksamate dan intravena dengan dosis permulaan 4 – 6 x 5
mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien stevens-johnson
berat harus segera dirawat dan berikan deksametason 6x5 mg intravena setelah masa
kritisteratasi, kedaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami
involusi, dosis diturunkan secara cepat, tiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis
mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan table kortikosteroid,
misalnya prenidesone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari,
sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan.
Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakuakn pemeriksaan elektrolit
( K, Na dan CI ) bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia
diberikan KCL 3 x 500 mg / hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.
Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein /
anabolik seperti nandroklok dekanoat dan nanadrolon fenilpropionat dosis 25-50 mg
untuk dewasa ( dosis untuk anak tergantung berat badan ).
b. Antibiotik.
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotik yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrom luas dan bersifat sakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80
mg.
c. Infus dan Transfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan / elektron dan nutrisi penting karena pasien
sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran
dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan
darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 – 3 hari, maka dapat diberikan
transfusi darah banyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang
disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula
ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
d. Tropikal
Terapi tropikal untuk lesi dimulut dapat berupa kanalog in orabase. Untuk lesi
di kulit yang erosif dapat diberikan sutratulle atau krim sulfa diarine perak.
2.7 Prognosis
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila
terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
SJS yang tepat (dengan kurang dari 10% dari luas permukaan tubuh yang terlibat) memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Risiko kematian dapat diperkirakan menggunakan skala SCORTEN, yang membutuhkan sejumlah indikator prognostik memperhitungkan. Hasil-hasil lainnya termasuk kerusakan organ / kegagalan, menggaruk kornea dan kebutaan. Skala SCORTEN sendiri adalah skalayang mengukur tingkat keparahan penyakit.
Ada 7 skala SCORTEN, dalam 7 Skala SCORTEN tersebut faktor risiko independen untuk kematian tinggi secara nilai sistematis untuk menentukan tingkat kematian untuk pasien tertentu.
Faktor risiko 0 1
Usia <40 tahun > 40 tahun
Tingkat keganasan tidak ya
Detak jantung (denyut/menit) <120 > 120
Serum BUN (mg/dL) <27 > 27
Detached or compromised body surface <10% > 10%
Serum bikarbonat (mEq / L) > 20 <20
Serum glukosa (mg / dL) <250 > 250
Semakin banyak faktor risiko yang ada, semakin tinggi nilai SCORTEN, dan semakin tinggi angka kematian, seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tidak ada faktor-faktor risiko Mortality rate Mortalitas
0-1 0-1 3.2% 3,2%
2 2 12.1% 12,1%
3 3 35.3% 35,3%
4 4 58.3% 58,3%
5 or more 5 atau lebih >90% > 90%