24
Tinjauan Pustaka Pelayanan Kesehatan Masyarakat dalam Pemberantasan Demam Berdarah Dengue Budiman Atmaja 102011205 / B4 30 Juni 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 Email : [email protected] Pendahuluan Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat, dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DHF di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk; dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DHF cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. 1 Data dari Departemen Kesehatan RI melaporkan bahwa pada tahun 2004 selama bulan Januari dan Februari, pada 25 provinsi tercatat 17.707 orang terkena DHF dengan kematian 322 penderita. 2 Diperlukan pencegahan lebih lanjut agar kejadian DHF ini tidak menimbulkan jumlah kesakitan dan kematian yang besar. Makalah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai pemberantasan DHF dalam hal pendekatan 1

PBL-blok26-DHF

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dhf

Citation preview

Page 1: PBL-blok26-DHF

Tinjauan Pustaka

Pelayanan Kesehatan Masyarakat dalam Pemberantasan

Demam Berdarah Dengue

Budiman Atmaja

102011205 / B4

30 Juni 2014

Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Email : [email protected]

Pendahuluan

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat, dan

Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air.

Insiden DHF di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk; dan pernah meningkat

tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan

mortalitas DHF cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.1 Data dari

Departemen Kesehatan RI melaporkan bahwa pada tahun 2004 selama bulan Januari dan

Februari, pada 25 provinsi tercatat 17.707 orang terkena DHF dengan kematian 322

penderita.2 Diperlukan pencegahan lebih lanjut agar kejadian DHF ini tidak menimbulkan

jumlah kesakitan dan kematian yang besar.

Makalah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai

pemberantasan DHF dalam hal pendekatan epidemiologi, surveilance, kejadian luar biasa,

tingkat pencegahan penyakit, pelayanan puskesmas, program pemberantasan DHF, dan

pemberdayaan masyarakat.

1

Page 2: PBL-blok26-DHF

Pendekatan Epidemiologi

Epidemiologi adalah cabang ilmu yang mempelajari distribusi kejadian sakit,

gangguan fungsi tubuh (disability) dan kematian, serta faktor-faktor yang memengaruhi

frekuensi kejadian pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Dalam aspek

epidemiologi, terdapat model segitiga epidemiologi menggambarkan kejadian suatu penyakit

yang ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu host, agent, dan environtment.3

Gambar 1. Model segitiga epidemiologi.3

Host atau pejamu adalah manusia yang mudah terkena atau rentan terhadap suatu bibit

penyakit, yang menyebabkan ia sakit. Faktor utama pada host yang memudahkannya terkena

penyakit adalah sistem kekebalan atau imunitas dan perilakunya sendiri. Sistem kekebalan

tubuh manusia sangat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan ras.3

Agent adalah faktor yang menjadi bibit penyakit yang menjadi penyebab suatu

penyakit. Penyebab penyakit ada yang bersifat biologis, fisik, kimia, dan sosiopsikologis.

Yang bersifat biologis seperti DHF disebabkan virus dengue.3

Environtment atau lingkungan adaalah situasi atau kondisi di luar host dan agent yang

memudahkan interaksi antar keduanya. Faktor ini juga dapat menjadi risiko timbulnya

gangguan penyakit pada host karena lingkungan memberikan peluang agent untuk

berkembang (breeding). Lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan biologis, fisik,

kimia, dan sosial.3

Paradigma sehat menurut H.L. Blum juga dapat digunakan untuk menjelaskan

hubungan antara empat faktor utama yang menentukan derajat kesehatan masyarakat di suatu

wilayah. Keempat faktor tersebut adalah genetik, pelayanan kesehatan, perilaku manusia, dan

lingkungan.3

2

Page 3: PBL-blok26-DHF

Gambar 2. Paradigma kesehatan.3

Faktor genetik paling kecil pengaruhnya terhadap kesehatan perorangan atau

masyarakat dibandingkan ketiga faktor lain. Pengaruh pada status kesehatan perorangan

terjadi secara evolutif dan paling sukar dideteksi. Untuk itu, perlu dilakukan konseling

genetik. Untuk kepentingan kesehatan masyarakat atau keluarga, faktor genetik perlu

mendapat perhatian di bidang pencegahan penyakit.3

Ketersediaan sarana pelayanan, tenaga kesehatan, dan pelayanan kesehatan yang

berkualitas akan berpengaruh pada derajat kesehatan masyarakat. Pengetahuan dan

keterampilan petugas kesehatan yang diimbangi dengan kelengkapan sarana / prasarana, dan

dana akan menjamin kualitas pelayanan kesehatan. Pelayanan seperti ini akan mampu

mengurangi atau mengatasi masalah kesehatan yang berkembang di suatu wilayah atau

kelompok masyarakat. 3

Faktor perilaku masyarakat terutama di negara berkembang paling besar pengaruhnya

terhadap munculnya gangguan kesehatan atau masalah kesehatan di masyarakat. Tersedianya

jasa pelayanan kesehatan tanpa disertai perubahan perilaku masyarakat akan mengakibatkan

masalah kesehatan tetap potensial berkembang di masyarakat,3

Lingkungan yang terkendali, akibat sikap hidup dan perilaku masyarakat yang baik

akan dapat menekan perkembangan masalah kesehatan. Sektor-sektor terkait di luar sektor

kesehatan seperti Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dan Cipta Karya (PU),

Kependudukan akan besar sekali perannya dalam upaya pengendalian sampah. Sampah yang

menumpuk, kampung kumuh, dan genangan air akan memudahkan vektor DHF

berkembang.3

3

Page 4: PBL-blok26-DHF

Untuk menganalisis program kesehatan di lapangan, paradigma H.L. Blum dapat

dimanfaatkan untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan masalah sesuai dengan faktor-

faktor yang berpengaruh pada status kesehatan masyarakat. Analisis keempat faktor tersebut

perlu dilakukan secara cermat sehingga masalah kesehatan masyarakat dan masalah program

dapat dirumuskan dengan jelas.3

Demam berdarah dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit

virus yang berbahaya. Virus penyebab DHF ini adalah virus dengue dari kelompok

Arbovirus B, yaitu arthropod-borne virus atau virus yang disebarkan oleh artropoda. Virus

ini termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae.2 Terdapat empat serotipe virus ini

yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.1

Gejala klinis DHF berupa demam tinggi yang berlangsung terus menerus selama 2-7 hari dan

manifestasi perdarahan yang biasanya didahului tanda khas berupa bintik-bintik merah

(petechia) pada badan penderita. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat. Vektor utama DHF adalah nyamuk kebun yang disebut Aedes aegypti,

sedangkan vektor potensialnya adalah Aedes albopictus.4

Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah: sayap dan badannya belang-belang atau

bergaris-garis putih. Selain itu nyamuk ini berkembang biak di air jernih yang tidak

beralaskan tanah seperti bak mandi, WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang

menampung air seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, tempat minum burung, dan lain-

lain. Jarak terbangnya 100 m dan nyamuk betinanya bersifat multiple biters (menggigit

beberapa orang karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat). Nyamuk

ini tahan suhu panas dan kelembaban tinggi.2

Gambar 3. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti.2

4

Page 5: PBL-blok26-DHF

Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DHF adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi

saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya).

Menurut laporan terakhir, virus dapat pula ditularkan secara transovarial dari nyamuk ke

telur-telurnya.2

Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar air

liurnya, dan jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus dengue akan dipindahkan

bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh manusia, virus ini akan berkembang selama 4-6 hari

dan orang tersebut akan mengalami sakit DHF. Virus dengue memperbanyak diri dalam

tubuh manusia dan berada dalam darah selama satu minggu.2

Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya akan sakit DHF.

Ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya, atau bahkan ada yang

sama sekali tanpa gejala sakit. Tetapi semuanya merupakan pembawa virus dengue selama

satu minggu, sehingga dapar menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah yang ada

nyamuk penularnya. Sekali terinfeksi, nyamuk menjadi infektif seumur hidupnya.2

Gambar 4. Cara penularan demam berdarah dengue.5

Penyebaran penyakit DHF di Jawa biasanya terjadi mulai bulan Januari sampai April

dan Mei. Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas penyakit DHF antara lain:

imunitas pejamu, kepadatan populasi nyamuk, transmisi virus dengue, virulensi, keadaan

geografis setempat. Faktor penyebaran kasus DHF antara lain: pertumbuhan penduduk,

urbanisasi yang tidak terkontrol, transportasi.2

Kriteria diagnosis daru DHF adalah lewat kriteria klinis dan kriteria laboratoris.

Kriteria klinisnya adalah demam tinggi mendadak tanpa sebab yang kelas dan berlangsung

terus-menerus selama 2-7 hari, terdapat manifestasi perdarahan, pembesaran hati, dan syok.

5

Page 6: PBL-blok26-DHF

Kriteria laboratorusnya adalah trombositopenia (<100.000/mm3), hemokonsentrasi (Ht

meningkat >20%). Seorang pasien dinyatakan menderita penyakit DHF bila terdapat minimal

2 gejala klinis yang positif dan 1 hasil laboratorium yang positif. Bila gejala dan tanda

tersebut kurang dari ketentuan di atas maka pasien dinyatakan menderita demam dengue.2

Surveilance

Surveilans adalah observasi kejadian yang sedang berlangsung, aktif, dan sistematik

terhadap kejadian dan distribusi penyakit dalam suatu populasi, dan kejadian atau kondisi

yang dapat meningkatkan atau menurunkan risiko kejadian suatu penyakit. Sistem surveilans

dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang berbagai macam peristiwa.6

Surveilans juga dapar digunakan untuk mengukur outcome lainnya yang disebabkan

oleh pelayanan atau kinerja, atau proses tindakan yang diambil untuk mencapai suatu

outcome (seperti kepatuhan pada suatu kebijakan atau peraturan yang telah disepakati). Dua

tujuan utama program surveilans dalam fasilitas pelayanan kesehatan adalah: memperbaiki

kualitas pelayanan pasien; dan mengidentifikasi, mengimplementasikan, dan mengevaluasi

strategi untuk mencegah dan mengendalikan infeksi nosokomial dan kejadian tidak

diinginkan lainnya. Empat tujuan suatu program surveilans adalah: 1. Mempersiapkan standar

nilai, atau rate penyakit endemik; 2. mengidentifikasi peningkatan rate penyakit di atas

standar nilai yang telah ditetapkan, atau yang diperkirakan; 3. mengidentifikasi faktor risiko

penyakit; dan 4. mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian.6

Terdapat beberapa metode surveilans yang telah digunakan dalam fasilitas pelayanan

kesehatan. Metode ini dapat dipisahkan ke dalam empat kategori utama: 1. Surveilans

prospektif total, ketika semua pasien dipantau untuk infeksi nosokomial pada semua divisi

rumah sakit; 2. Surveilans yang bertarget, yaitu dengan menyurvei infeksi terseleksi, tempat

infeksi, atau organisme tertentu yang akan disurvei; 3. Survei prevalensi, untuk jumlah

infeksi yang aktif selama periode waktu tertentu, dan rate prevalensi yang dihitung; 4.

Surveilans periodik, yang dapat dilakukan selama suatu periode waktu tertentu pada unit-unit

yang terpilih dan surveilans periode berikutnya dilakukan pada unit lain sehingga

keseluruhan rumah sakit dapat disurvei pada selama tahun tersebut.6

6

Page 7: PBL-blok26-DHF

Suatu program surveilans yang telah dirancang dengan baik seharusnya mempunyai

kegiatan pengumpulan data, manajemen data, analisis data, dan diseminasi data yang

berkelanjutan untuk mengendalikan dan mencegah penyakit.6

Tanpa mengabaikan fasilitas pelayanan kesehatan, orang-orang yang merancang suatu

program surveilans untuk fasilitas pelayanan kesehatan seharusnya dapat menetapkan suatu

sistem yang dapat mencegah timbulnya infeksi dan kejadian merugikan lainnya lebih banyak

lagi dengan sumber daya yang ada. Daftar ini dapat digunakan untuk merancang suatu

program surveilans: 1. Menargetkan outcome yang akan dicegah dan proses yang akan

dikembangkan serta mengembangkan indikator yang spesifik dengan tujuan tertentu; 2.

Menetapkan prioritas menurut tujuan tersebut; 3. Mengalokasi waktu dan sumber daya yang

sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan; 4. Setelah menyelesaikan 3 langkah pertama,

strategi surveilans, pencegahan, dan pengendalian kemudian dirancang agar langkah-langkah

tersebut dapat mendukung tujuan yang telah ditetapkan; 5. Setelah waktu surveilans

ditentukan, langkah berikutnya adalah mengevaluasi program survelians, pencegahan, dan

pengendalian, serta merevisi program tersebut jika dibutuhkan.6

Pemilihan denominator yang tepat adalah salah satu aspek yang paling penting dalam

pengukuran frekuensi penyakit. Denominator yang digunakan harus mendekati populasi

berisiko yang sebenarnya. Insidens mengukur frekuensi kasus atau kejadian selama suatu

periode tertentu. Rumusnya adalah:6

Insidens =

Jumlahkasus atau kejadian yang terjadidalam suatu periode waktu tertentu

Jumlahorang di dalam populasiberisikodalam periode yang sama

x 10n

Selain itu terdapat juga prevalensi yang mengukur kejadian kasus baru maupun kasus

yang telah ada dari suatu penyakit.Rumusnya adalah:6

Prevalensi =

semua kasus barudan kasus yang telahada selama suatu periode tertentu

populasi yangberisiko selamaperiode yangsama

x 100

Surveilans vektor DHF ditujukan untuk memperoleh informasi tentang kepadatan dan

distribusi vektor DHF, tempat bersarannya yang berpotensial, jarak terbang, arah infiltrasi

vektor ke dalam masyarakat, dan pengaruh perubahan cuaca atau mutasi terhadap populasi

vektor.7

7

Page 8: PBL-blok26-DHF

Kejadian Luar Biasa

KLB adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya

suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok

penduduk dalam kurun waktu tertentu. Kriteria KLB (kriteria kerja) antara lain: 1. Timbulnya

suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/tidak dikenal di suatu daerah.; 2. Adanya

peningkatan kejadian kesakitan/kematian yang dua kali atau lebih dibandingkan dengan

jumlah kesakitan/kematian yang biasa terjadi pada kurun waktu sebelumnya (jam, hari,

minggu) tergantung dari jenis penyakitnya.; 3. Adanya peningkatan kejadian kesakitan terus

menerus selama 3 kurun waktu (jam, hari, minggu) berturut-turut menurut jenis penyakitnya.8

Tingkat Pencegahan Penyakit

Ada tiga tingkat pelaksanaan tindakan pencegahan dalam pengendalian penyakit –

primer, sekunder, dan tersier. Tujuan pencegahan primer adalah mencega awitan suatu

penyakit atau cedera selama masa prapatogenesis (sebelum proses suatu penyakit dimulai).

Contoh pencegahan primer antara lain, program pendidika kesehatan dan promosi kesehatan,

proyek rumah aman, dan pengembangan personalitas dan pembentukan karakter. Contoh lain

adalaah penggunaan imunisasi terhadap penyakit tertentu, praktik higiene personal, misalnya

mencuci tangan, penggunaan sarung tangan, dan klorisasi persediaan air masyarakat.9

Sayangnya penyakit atau cedera tidak dapat selalu dicegah. Penyakit kronis,

khususnya terkadang menyebabkan disabilitas (ketidakmampuan) yang cukup parah sebelum

akhirnya terdeteksi dan diobati. Dalam hal ini intervensi segera mencegah kematian atau

membatasi disabilitas. Pencegahan sekunder adalah diagnosis dini dan pengobatan segera

penyakit sebelum penyakit itu berkembang dan disabilitas. Pencegahan sekunder adalah

diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit sebelum penyakit itu berkembang dan

disabilitas menjadi parah.9

Salah satu tindakan pencegahan sekunder yang paling penting adalah skrining

kesehatan. Tujuan skrining ini bukan untuk mencegah terjadinya penyakit tetapi lebih untuk

mendeteksi keberadaannya selama masa patogenitas awal, sehingga intervensi (pengobatan)

dini dan pembatasan disabilitas dapat dilakukan. Perlu diperhatikan pula bahwa tujuan

skrining kesehatan bukan untuk mendiagnosis penyakit. Alih-alih, tujuannya adalah memilah

8

Page 9: PBL-blok26-DHF

secara ekonomi dan efisien mereka yang kemungkinan sehat dari mereka yang kemungkinan

positif terjangkit penyakit. Mereka yang ternyata positif kemudian dapat dirujuk untuk

menjalani prosedur diagnostik yang lebih spesifik.9

Tujuan pencegahan tersier adalah melatih kembali, mendidik kembali, dan

merehabilitasi pasien yang mengalami disabilitas permanen. Tindakan pencegahan tersier

mencakup tindakan yang diterapkan setelah berlangsungnya masa patogenesis.9

Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular mencakup pendekatan primer,

sekunder, dan tersier. Pelaksanaan yang sukses dari pendekatan ini, terutama pencegahan

primer yang mengakibatkan penurunan angka mortalitas dan morbiditas penyakit menular

yang tidak pernah terjadi sebelumnya, merupakan salah satu prestasi luar biasa dalam bidang

kesehatan masyarakat di abad ini.9

Langkah-langkah pencegahan primer penyakit menular dapat digambarkan dengan

menggunakan mata rantai infeksi. Dalam model ini, strategi pencegahan tampak dalam

masing-masing sambungan pada rantai. Pelaksanaan yang sukses dari setiap strategi dapat

dipandang sebagai kelemahan suatu sambungan, dengan tujuan akhir memutus mata rantai

infeksi, atau mengganggu siklus penyebaran penyakit. Contoh tindakan masyarakat antara

lain pemeliharaan sistem saluran pembuangan yang berfungsi dengan baik, pembuangan

limbah padat secara tepat, dan lainnya. Ke dalamnya juga ditambahkan upaya personal dalam

pencegahan primer, misalnya mencuci tangan.9

Langkah pencegahan sekunder terhadap penyakit menular bagiu individu melibatkan

diagnosis sendiri dan pengobatan sendiri dengan obat yang ada di rumah, tampa obat dari

resep dokter, atau diagnosis dan pengobatan dengan antibiotik yang diresepkan dokter. Upaya

pencegahan sekunder yang dilaksanakan oleh masyarakat terhadap penyakit menular

biasanya ditujukan untuk mengendalikan atau membatasi penyebaran suatu epidemi.

Contohnya antara lain pemeliharaan secara cermat catatan kasus dan mematuhi kebijakan

yang mengharuskan pelaporan penyakit yang harus dilaporkan dan melakukan investigasi

kasus serta kontak – mereka yang ungkin terinfeksi melalui kontak dekat dengan kasus yang

positif.9

Upaya pencegahan tersier untuk pengendalian penyakit menular bagi individu

mencakup upaya pemulihan dari infeksi, penyembuhan sampai sehat total, dan kembali

menjalankan aktivitas normal. Pada sebagian kasus, kembali menjalankan aktivitas normal

9

Page 10: PBL-blok26-DHF

mungkin tidak mungkin walau setelah terapi fisik ekstensif sekalipun. Di tingkat komunitas,

upaya pencegahan tersier ditujukan untuk pencegahan kekambuhan suatu penyakit epidemik.

Pencegahan tersier dapat melibatkan pelaksanaan kembali upaya pencegahan primer dan

sekunder sebagai cara untuk mencegah munculnya kasus lain.9

Pelayanan Puskesmas

Sesuai strategi Indonesia sehat tahun 2010 dan kebutuhan pembangunan sektor

kesehatan di era desentralisasi ini, Depkes Pusat sudah menetapkan visi dan misi Puskesmas.

Visi pembangunan kesehatan melalui Puskesmas adalah terwujudnya Kecamatan Sehat

2010.3

Kecamatan sehat 2010 merupakan gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang

hidup di lingkungan yang sehat dan perilaku hidup masyarakatnya juga sehat, mampu

menjangkau pelayanan kesehatan yang ada di wilayahnya serta memiliki derajat kesehatan

yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan visi dan misi Puskesmas diperlukan analisis

internal dan eksternal lingkungan Puskesmas.3

Untuk mewujudkan visi Kecamatan sehat 2010, setiap Puskesmas harus

memanfaatkan kapasitas dan potensi Puskesmas secara potimal untuk kemudian

dikembangkan secara bertahap untuk mewujudkan visi Puskesmas. Tiga misi yang harus

diemban adalah: 1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan yakni pembangunan

yang mampu menciptakan lingkunan sehat dan membentuk perilaku hidup sehat masyarakat;

2. Memberdayakan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan.; 3.

Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu yaitu komprehensif, holistik,

terpadu antar program, dan berkesinambungan. Setiap Puskesmas menambah misi sesuai

dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dan lembaga di wilayah kerjanya. Sesuai misi

tersebut diatas, Puskesmas mempunyai funsi sebagai penggerak pembangunan berwawasan

Kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan,

dan sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama.3

Program kesehatan dasar Puskesmas yang dikembangkan di era desentralisasi ini

lebih disederhanakan yang meliputi program: Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan,

Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana, Perbaikan Gizi, Pemberantasan

10

Page 11: PBL-blok26-DHF

Penyakit Menular, dan Pengobatan Dasar.3 Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) menjadi

titik berat dalam konteks DHF.

Tujuan dari P2M adalah menemukan kasus penyakit menular sedini mungkin, dan

mengurangi faktor risiko lingkungan masyarakat yang memudahkan terjadinya penyebaran

penyakit menular di suatu wilayah, memberikan proteksi khusus kepada kelompok

masyarakat tertentu agar terhindar dari penularan penyakit. Sasaran program ini adalah ibu

hamil, balita, dan anak-anak sekolah untuk kegiatan imunisasi. Sasaran sekunder adalah

lingkungan pemukiman masyarakat. Untuk pemberantasan penyakit menular tertentu,

kelompok-kelompok tertentu masyarakat yang berperilaku risiko tinggi juga perlu dijadikan

sasaran kegiatan P2M. Lingkup kegiatannyaadalah surveilans epidemiologi, imunisasi, dan

pemberantasan vektor.3

Gambar 5. Hubungan fungsi pengawasan dengan fungsi manajemen lainnya.3

Proses manajemen terdiri dari fungsi perencanaan, pengorganisasian, aktuasi, dan

pengawasan. Fungsi perencanaan adalah fungsi terpenting dalam manajemen karena akan

menentukan fungsi-fungsi manajemen lainnya. Tanpa fungsi perencanaan, tidak mungkin

fungsi manajemen lainnya akan dapat dilaksanakan dengan baik. Perencanaan manajerial

akan memberikan pola pandang secara menyeluruh terhadap semua pekerjaan yang

dijalankan, siapa yang akan melakukan dan kapan akan dilakukan. Pengorganisasian adalah

salah satu fungsi manajemen yang juga mempunyai peranan penting seperti halnya

perencanaan. Melalui fungsi pengorganisasian, seluruh sumber daya yang dimikili oleh

organisasi akan diatur penggunaannya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan

11

Page 12: PBL-blok26-DHF

organisasi yang telah ditetapkan. Fungsi aktuasi merupakan penggerak semua kegiatan

program untuk mencapai tujuan program. Prinsip ini lebih menekankan pada bagaimana

manajer mengarahkan dan menggerakkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan yang

telah disepakati. Fungsi pengawasan dan pengendalian merupakan fungsi yang terakhir dari

proses manajemen. Fungsi ini mempunyai kaitan erat dengan ketika ketiga fungsi manajemen

lainnya, terutama dengan fungsi perencanaan. Melalui fungsi pengawasan dan pengendalian,

standar keberhasilan suatu program yang dituangkan dalam bentuk target, prosedur kerja, dan

sebagainya harus selalu dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai atau yang mampu

dikerjakan oleh staf.3

Untuk melaksanakan usaha pokok Puskesmas secara efisien, efektif, produktif, dan

berkualitas, pimpinan Puskesmas harus memahami dan menerapkan prinsip-prinsip

manajemen. Manajemen bermanfaat untuk membantu pimpinan dan pelaksana program agar

kegiatan program Puskesmas dilaksanakan secara efektif dan efisien. Penerapan manajemen

kesehatan di Puskesmas terdiri dari Micro Planning (MP) yaitu perencanaan tingkat

Puskesmas. Pengembangan program Puskesmas selama lima tahun disusun dalam MP.

Lokakarya Mini Puskesmas (LKMP) yaitu bentuk penjabaran MP ke dalam paket-paket

kegiatan program yang dilaksanakan oleh staf, baik secara individu maupun berkelompok.

LKMP dilaksanakan setiap tahun. Sistem pencatatan dan pelaporan terpadu Puskesmas

(SP2TP) adalah kompilasi pencatatan program yang dilakukan secara terpadu setiap bulan.

Stratifikasi Puskesmas merupakan kegiatan evaluasi program yang dilakukan setiap tahun

untuk mengetahui pelaksanaan manajemen program Puskesmas secara menyeluruh. Penilaian

dilakukan oleh tim dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Data-data SP2TP

dimanfaatkan oleh Puskesmas untuk penilaian stratifikasi. Supervisi rutin oleh pimpinan

Puskesmas dan rapat-rapat rutin untuk koordinasi dan memantau kegiatan program. Supervisi

oleh pimpinan, monitoring dan evaluasi merupakan penjabaran fungsi manajemen

(pengawasan dan pengendalian) di Puskesmas.3

Program Pemberantasan DHF

Pemberantasan Aedes aegypti merupakan cara utama yang dilakukan untuk

memberantas DHF, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya

belum ditersedia. Pemberantasan dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa atau jentiknya.4

12

Page 13: PBL-blok26-DHF

Pemberantasan nyamuk dewasa, dilakukan dengan cara penyemprotan (pengasapan-

fogging) dengan insektisida yaitu: organofosfat misalnya malation, fenitrotion; piretroid

sintetik, misalnya lamda sihalotrin, permetrin; karbamat.4

Gambar 6. Skema pengelolaan DHF.2

Pemberantasan jentik dikenal dengan istilah PSN (pemberantasan sarang nyamuk),

dilakukan dengan cara kimia, biologi, dan fisik. Secara kimia, pemberantasan larva dilakukan

dengan larvasida yang dikenal dengan istilah abatisasi. Larvasida yang biasa digunakan

adalah temefos. Formulasi temefos yang digunakan ialah granules. Dosis yang digunakan 1

ppm atau 10 gram (+1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Abatisasi dengan temefos

tersebut mempunyai efek residu 3 bulan. Secara biologis misalnya memelihara ikan pemakan

jentik. Secara fisik, dikenal cara 3M (menguras, menutup, mengubur) yaitu menguras bak

mandi, bak WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum, dan lain-

lain), serta mengubur atau memusnahkan barang bekas (seperti kaleng, ban, dan lain-lain).

Pengurasan TPA perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar

nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat itu.4

Apabila PSN dilaksanakan seluruh masyarakat maka diharapkan nyamuk dapat

terbasmi. Untuk itu diperlukan usaha penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat secara

terus menerus dalam jangka waktu lama, karena keberadaan jentik nyamuk tersebut berkaitan

erat dengan perilaku masyarakat.4

13

Page 14: PBL-blok26-DHF

Pengendalian nyamuk dilakukan dengan cara: 1. Perlindungan perseorangan untuk

mencegah gigitan nyamuk yaitu memasang kawat kasa di lubang-lubang angin di atas jendela

atau pintu, tidur dengan kelambu, penyemprotan dinding rumah dengan insektisida dan

penggunaan repellent pada saat berkebun; 2. Pembuangan atau mengubur benda-benda di

pekarangan atau di kebun yang dapat menampung air hujan seperti kaleng, botol, ban mobil,

dan tempat-tempat lain yang menjadi tempat perindukan Aedes aegypti (man made breeding

places); 3. Mengganti air atau membersihkan tempat-tempat air secara teratur tiap minggu

sekali, pot bunga, tempayan dan bak mandi; 4. Pemberian temefos ke dalam tempat

penampungan air / penyimpanan air bersih; 5. Melakukan fogging dengan malation setidak-

tidaknya 2 kali dengan jarak waktu setidak-tidaknya 10 hari di daerah yang terkena wabah di

daerah endemi DHF; 6. Pendidikan kesehatan masyarakat melalui ceramah agar masyarakat

dapat memelihara kebersihan lingkungan dan turut secara perseorangan memusnahkan

tempat-tempat perindukan Aedes aegypti di sekitar rumah.4

Pemantauan kepadatan populasi Aedes aegypti merupakan hal yang penting sekali

untuk meningkatkan kewaspadaan wabah DHF.4

Pengukuran kepadatan populasi dilakukan dengan cara survei larva. Pada survei larva

semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiak Aedes aegypti

diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya larva. Untuk memeriksa tempat penampungan air

(TPA) yang berukuran besar seperti bak mandi, tempayan, drum, dan bak penampungan

lainnya, jika pada pandangan (penglihatan) pertama tidak ditemukan larva, tunggu kira-kira

½ - 1 menit untuk memastikan bahwa larva benar tidak ada. Untuk memeriksa tempat

berkembangbiak yang kecil seperti vas bunga dan botol air didalamnya perlu dipindahkan ke

tempat lain, sedangkan untuk memeriksa larva di tempat yang agak gelap atau airnya keruh

digunakan lampu senter. Survei larva dapat dilakukan dengan single larval method atau cara

visual. Pada single larval method survei dilakukan dengan mengambil satu larva di setiap

TPA lalu diidentifikasi. Bila hasil identifikasi menunjukkan Aedes aegypti maka seluruh larva

yang ada dinyatakan sebagai larva Aedes aegypti. Pada cara visual, survei cukup dilakukan

dengan melihat ada atau tidaknya larva di setiap TPA tanpa mengambil larvanya. Dalam

program pemberantasan DBD survei larva yang biasa digunakan adalah cara visual. Ukuran

yang dupakai untuk mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti ialah: angka bebas jentik dan

house index lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu wilayah sedangkan

Breteau Index menunjukkan kepadatan dan penyebaran larva Aedes aegypti. Container index

menggambarkan kepadatan nyamuk.4

14

Page 15: PBL-blok26-DHF

Rumus-rumusnya sebagai berikut:4

Angka Bebas Jentik (ABJ) =

Jumlahrumah ataubangunan yangtidak ditemukan jentik

Jumlahrumah ataubangunanyangdiperiksa

x100 %

House Index (HI) =

Jumlahrumah ataubangunanyang ditemukan jentik

Jumlahrumah ataubangunanyangdiperiksa

x100 %

Container Index (CI) = Jumlah container berisi jentik

Jumlahcontainer yang diperiksax100 %Breteau Index = Jumlah

container berisi jentik dalam 100 rumah / bangunan.

Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan satu dari tiga misi yang harus diemban

puskesmas selain menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan dan

menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu. Masyarakat dan keluarga perlu

dididik oleh staf Puskesmas tentang perilaku hidup sehat sehingga mereka lebih peka dengan

masalah kesehatan yang potensial muncul di wilayahnya; mendidik keluarga dan masyarakat

untuk hidup sehat, diarahkan agar mereka memanfaatkan semaksimal mungkin potensi yang

ada di masyarakat. Untuk itu, program PKM dan konseling perlu lebih digalakkan ol.eh staf

puskesmas. Keterampilan melakukan konseling dan pemasaran perlu lebih dilatih. Untuk

memberdayakan masyarakat, Puskesmas dapat bekerja sama dengan LSM setempat yang

peduli kesehatan.3

Penutup

DHF merupakan penyakit yang sering terjadi di Indonesia. Karena itu perlu dilakukan

pencegahan penyakit ini yaitu dengan melakukan pemberantasan terhadap vektor

penyakitnya. Vektor DHF adalah nyamuk aedes aegypti. Sebelum melakukan pemberantasan,

perlu dilakukan pendekatan epidemiologi dan surveilans terlebih dahulu untuk mempelajari

situasi yang terjadi di masyarakat. Setelah itu, Puskesmas sebagai pihak yang bertanggung

15

Page 16: PBL-blok26-DHF

jawab harus menjalankan suatu program berdasarkan prinsip manajemen. Program tersebut

harus tepat pada sasaran sehingga pemberantasan DHF dapat dilakukan dengan efektif dan

efisien.

Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar

ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 2773.

2. Widoyono. Penyakit tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan & pemberantasan.

Jakarta: Erlangga; 2008. h. 60-7.

3. Muninjaya AAG. Manajemen kesehatan. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004.

4. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi kedokteran.

Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.

h. 265.

5. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan & komunitas. Jakarta: EGC; 2009. h. 33

6. Arias KM. Investigasi dan pengendalian wabah di fasilitas pelayanan kesehatan.

Jakarta: EGC; 2010. h. 26.

7. Mubarak WI, Chayatin N. Ilmu kesehatan masyarakat: teori dan aplikasi. Jakarta:

Penerbit Salemba Medika; 2009.

8. Departemen kesehatan RI. Pedoman kerja puskesmas; pencegahan dan pemberantasan

penyakit menular. Jilid III. Jakarta: Bakti husada; 1991.

9. McKenzie JF, Pinger RR, Kotecki JE. Kesehatan masyarakat suatu pengantar. Edisi

ke-4. Jakarta: EGC; 2007. 103.

16