54
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING 1 BLOK SISTEM ENDOKRIN DAN METABOLISME “Deg-degan” Tutor : dr. Lantip Rujito, MSi.Med Kelompok 7 1. Karina Adistiarini G1A009010 2. Octi Guchiani G1A009026 3. Andika Khalifah Ardi G1A009029 4. Noeray Pratiwi M. G1A009039 5. Siska Lia Kisdiyanti G1A009065 6. Akhmad Ikhsan P.P G1A009069 7. Semba Anggen R. G1A009085 8. Faidh Husnan G1A009101 9. Radita Ikapratiwi G1A009103 10. Shabrina Resi Putri G1A009126 11. Heriyanto Edy I. G1A009131

PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING 1

BLOK SISTEM ENDOKRIN DAN METABOLISME

“Deg-degan”

Tutor : dr. Lantip Rujito, MSi.Med

Kelompok 7

1. Karina Adistiarini G1A009010

2. Octi Guchiani G1A009026

3. Andika Khalifah Ardi G1A009029

4. Noeray Pratiwi M. G1A009039

5. Siska Lia Kisdiyanti G1A009065

6. Akhmad Ikhsan P.P G1A009069

7. Semba Anggen R. G1A009085

8. Faidh Husnan G1A009101

9. Radita Ikapratiwi G1A009103

10. Shabrina Resi Putri G1A009126

11. Heriyanto Edy I. G1A009131

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO2010

Page 2: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus dengan keluhan dada berdebar-debar, tremor, gelisah, sensitif,

lemah, berat badan menurun meskipun terus merasa lapar, dan frekuensi uang air

besar meningkat kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang notabene adalah

negara berkembang. Keluhan ini dapat disebabkan oleh berbagai macam

penyebab yang salah satunya adalah karena respons jaringan tubuh terhadap

pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan.

Pada penyakit dengan keluhan tersebut dapat ditemukan adanya

pembengkakan pada bagian leher yang salah satunya dapat disebabkan oleh

hipertiroidisme. Hipertiroidisme spontan yang sering ditemui adalah penyakit

Graves dan goiter nodular toksik.

Gambaran penyakit hipertiroidisme tidak sulit diidentifikasi oleh seorang

dokter umum karena memiliki kekhasan yaitu adanya masa diffus pada bagian

leher. Pada pasien ditemukan gambaran penyakit Grave yang jelas mencolok dan

tidak ditemukan pada jenis hipertiroidisme lainnya yaitu eksoftalmus (mata

menonjol). Masyarakat kebanyakan mengatakan bahwa penyakit ini adalah

penyakit gondok. Namun, bukan hanya penyakit ini saja yang menyebabkan

hiperplasia kelenjar tiroid.

Pada PBL pertama ini akan dijelaskan seputar organ tiroid dan penyakit

Grave mulai dari pengertian hingga penatalaksanaan.

B. Kasus

1. Informasi 1 (Tutorial 1 )

Seorang wanita berusia 45 tahun datang sendiri ke Puskesmas tempat anda

bertugas dengan keluhan utama dada berdebar-debar. Keluhan dirasakan sejak 1

bulan yang lalu, semakin lama semakin berat sehingga mengganggu aktivitas

sehari-hari.

Pasien juga mengeluh tangannya sering gemetar, badan mudah lelah, sering

merasa kepanasan, gelisah, sulit berkonsentrasi dan sensitif (mudah marah).

Pasien menjadi mudah lapar hingga dapat makan 4-5x/hari, namun berat badan

Page 3: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

tidak meningkat bahkan cenderung menurun. Frekuensi buang air besar pasien

meningkat (2-3x/hari) tanpa disertai perubahan jumlah maupun konsistensi

fesesnya. Pasien tidak merasakan adanya perubahan pada fungsi berkemih.

Keluhan ini baru pertama kali dirasakan. Sebelumnya pasien tidak

mempunyai riwayat penyakit yang signifikan (penyakit berat yang perlu

perawatan rumah sakit seperti penyakit jantung), tidak sedang dalam pengobatan

dan tidak ada riwayat alergi. Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan

yang sama. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal di daerah

perkotaan dengan seorang suami dan 2 orang anak. Pasien tidak merokok maupun

minum alkohol.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan hasil :

KU : cemas, tidak tenang

Tinggi badan : 162 cm

Berat badan : 51 kg

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Denyut nadi : 100-120x/menit bervariasi

Frekuensi napas : 20/menit

Temp. axiller : 37,4’C

Kulit hangat dan lembab

Kepala : tidak anemis

diplopia pada saat melirik ke kanan atas

eksoftalmus

Leher : teraba massa difus di leher depan tanpa benjolan diskret dan

dapat digerakkan

Thorax : disritmia cordis

Pulmo dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas : tremor halus (+)

2. Informasi 2 ( Tutorial 1)

Dari pemeriksaan penunjang diperoleh hasil :

Hb : 12 g/dl (12-16)

Page 4: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

Leukosit : 7500/μl (4000-10.000)

Trombosit : 330.000/μl (150.000-450.000)

TSH : 0,04 mU/L

T3 : 10,5 μg/dl

T4 : 40,6 μg/dl

Antibody reseptor TSH : (+)

Urinalis

Protein (-)

Glukosa (-)

βHCG (-)

3. Informasi Penutup

Pasien didiagnosis menderita Grave’s disease kemudian diterapi

dengan PTU (propylthiouracil). Terjadi perbaikan klinis yang ditandai dengan

berat badan naik, rasa lemah hilang, dan ukuran goiter berkurang. Fungsi

tiroid dimonitor secara rutin dan dosis PTU disesuaikan dengan keadaan

euthyroid. Setelah 2 tahun terapi, pasien stop mengkonsumsi PTU.

Page 5: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

BAB II

PEMBAHASAN

A. KEJELASAN ISTILAH DAN KONSEP

NO. ISTILAH ARTI SITASI

1. Diplopia Diplopia atau penglihatan ganda

adalah persepsi adanya dua

bayangan dari satu objek.

(Dorland,2002)

2. Eksoftalmus Eksoftalmus adalah Protrusio

mata yang abnormal atau mata

terlihat menonjol (retensi cairan

abnormal di belakang bola mata

menyebabkan bola mata menonjol

ke depan).

(Sherwood, 2001)

(Price, 2005)

3. Massa difus Massa difus adalah massa yang

tidak berbatas tegas atau setempat

dan menyebar luas melalui

jaringan atau struktur.

(Dorland,2002)

4. Benjolan diskret Benjolan diskret adalah benjolan

yang dibuat dari bagian yang

terpisah atau ditandai dengan lesi

yang berkelompok dan berbatas

tegas serta terbatas di struktur.

(Dorland,2002)

5. Disritmia cordis Disritmia cordis dalah suatu

kelainan ireguler dari denyut

jantung yang disebabkan oleh

pembentukan impuls yang

abnormal dan kelainan konduksi

impuls atau keduanya atau dapat

diartikan sebagai gangguan irama

jantung karena konduksi elektrolit

normal dan otomatis.

(Dorland,2002)

6. Tremor halus Tremor halus adalah gerakan (Sherwood, 2001)

Page 6: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

involunter bolak-balik pada

anggota tubuh dan tidak terlihat

secara kasat mata dan dapat

diperiksa dengan pemeriksaan

tremor halus menggunakan

kertas.

(Guyton, 1997)

B. Menetapkan definisi dan batasan permasalahan yang tepat

1. Informasi penting

a. Anamnesis awal

1) Jenis Kelamin : wanita

2) Umur : 45 tahun

3) Status perkawinan : menikah

4) Pekerjaan : ibu rumah tangga

5) Tempat tinggal : daerah perkotaan

6) Pasien tidak merokok dan minum alkohol

b. Keluhan utama

1) Berupa : dada berdebar-debar

2) Onset : 1 bulan

3) Progresivitas : memberat

c. Riwayat Penyakit Sekarang

1) Gejala penyerta

a) Tangan gemetar

b) Badan mudah lelah

c) Sering merasa kepanasan

d) Gelisah

e) Sulit berkonsentrasi

f) Sensitif

g) Mudah lapar

h) Berat badan cenderung turun

i) Frekuensi buang air besar tinggi

d. Riwayat Penyakit Dahulu

1) Tidak ada riwayat penyakit signifikan

Page 7: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

2) Tidak sedang dalam pengobatan

3) Tidak ada riwayat alergi

e. Riwayat Penyakit Keluarga

1) Tidak ada keluarga yang punya keluhan sama

C. Menganalisa permasalahan

1. Hipotesis penyebab dari masalah yang terdapat pada kasus hipertiroidisme

2. Mekanisme gejala-gejala penyakit hipertiroidisme

3. Macam-macam penyakit hipertiroidisme

4. Jenis-jenis tremor

5. Penyebab eksoftalmus

6. Kemungkinan diagnosis pasien setelah mendapat tambahan informasi 2

berupa pemeriksaan penunjang

D. Menyusun berbagai penjelasan mengenai permasalahan

1. Hipotesis penyebab dari masalah yang terdapat pada kasus hipertiroidisme

Hipertiroidisme dapat terjadi akibat disfungsi kelenjar tiroid, hipofisis,

atau hipotalamus. Peningkatan TSH akibat malfungsi kelenjar tiroid akan

disertai penurunan TSH dan TRF karena umpan balik negatif HT terhadap

pelepasan keduanya. Hipertiroidisme akibat rnalfungsi hipofisis memberikan

gambamn kadar HT dan TSH yang finggi. TRF akan Tendah karena uinpan

balik negatif dari HT dan TSH. Hipertiroidisme akibat malfungsi

hipotalamus akan memperlihatkan HT yang finggi disertai TSH dan TRH

yang berlebihan (Mansjoer, 1999).

a. Penyebab Utama

1) Penyakit Grave

2) Toxic multinodular goitre

3) Solitary toxic adenoma

b. Penyebab Lain

1) Tiroiditis

2) Penyakit troboblastis

3) Ambilan hormone tiroid secara berlebihan

Page 8: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

4) Pemakaian yodium yang berlebihan

5) Kanker pituitari

6) Obat-obatan seperti Amiodarone

2. Mekanisme gejala-gejala penyakit hipertiroidisme

a. Berat badan turun

Hipertiroidisme

Metabolisme lemak meningkat

Pembentukan panas meningkat

Tubuh membakar bahan bakar(lemak) dengan kecepatan abnormal

Degradasi karbohidrat, lemak dan protein

Lemak yang disimpan dalam tubuh akan lebih banyak dipecah daripada

elemen jaringan lain

Lemak sedikit terbentuk

Penurunan simpanan lemak

Berat badan turun

Efek pada plasma dan lemak hati

Hipertiroidisme

Jumlah colesterol, fosfolipid, trigliserida dalam darah menurun

Sekresi colesterol yang bermakna di dalam empedu meningkat dan jumlah

colesterol dala feces hilang

Page 9: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

Berat badan turun

b. Aliran darah dan curah jantung

Hipertiroidisme

Metabolisme dalam jaringan meningkat

Mempercepat pemakaian oksigen dan memperbanyak jumlah produk akhir

dari metabolisme yang dilepas jaringan

Vasodilatasi pada sebagian besar jaringan tubuh

Kecepatan aliran darah pada kulit meningkat karena meningkatnya

kebutuhan tubuh untuk pembuangan panas

Curah jantung juga meningkat 60 % atau lebih diatas normal

b. Frekuensi denyut jantung

Hormon tiroid berperan langsung pada eksitabilitas jantung

Frekuensi denyut jantung meningkat

c. Kekuatan denyut jantung

Hipertiroidisme

Katabolisme berlebih

Kekuatan otot jantung ditekan

Kekuatan denyut jantung meningkat

Page 10: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

Kecepatan dan kekuatan denyut jantung yang meningkat menyebabkan

pasien mengalami palpitasi (menyadari ketidaknyamanan aktivitas

jantung sendiri, berdebar). Peningkatan aktivitas enzimatik yang

disebabkan oleh peningkatan produksi hormon tiroid tampaknya juga

meningkatkan kekuatan denyut jantung bila sekresi hormon tiroid sedikit

berlebih.

d. Tremor otot

Hipertiroidisme

Kepekaan sinaps saraf di daerah medula yang mengatur tonus otot

meningkat

Tremor halus pada otot

Frekuensi teromor cepat, 10-15 kali/detik

atau

Hipertiroidisme

Miopati disamping hilangnya otot

Kreatinuria spontan

Kontraksi dan relaksasi otot meningkat

Hiperrefleksia (termor)

(Sherwood, 2001)

3. Macam-macam penyakit hipertiroidisme

4. Jenis-jenis tremor

Tremor bisa juga digolongkan berdasarkan posisi atau perilaku yang

dipengaruhi oleh tremor itu.

Page 11: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

a. Tremor istirahat

Dikenal juga sebagai tremor statis, timbul ketika otot tidak digunakan,

atau ketika tangan sedang istirahat di atas sebuah benda. Tremor ini paling

banyak terjadi pada penderita penyakit Parkinson.

b. Tremor postur

Terjadi ketika penderita sedang mencoba mempertahankan posisi tubuh

tertentu, misalnya merentangkan tangan. Tremor postur ini mencakup

banyak sub-jenis.

c. Tremor kinetik

Dikenal juga sebagai tremor tindakan. Ini terjadi kertika penderita

berusaha melakukan gerakan yang disengaja. Misalnya ketika tangan

hendak menyentuh suatu benda tertentu.

d. Tremor histeris

Biasanya terjadi baik pada orang dewasa maupun muda. Tremor ini

cenderung menghilang ketika penderita tidak lagi berfokus pada bagian

tubuh yang mengalami tremor itu.

e. Tremor aktivitas khusus

Terjadi ketika penderita berusaha melakukan aktivitas tertentu. Misalnya

menulis, berbicara, atau mengangkat benda. Termasuk di dalamnya tremor

orthostatic, yang cuma terjadi pada kaki. Yakni, kaki tidak bisa tahan

berdiri meski hanya beberapa detik saja. Tapi tremor ini hilang jika kaki

itu digunakan untuk berjalan atau duduk.

5. Penyebab eksoftalmus

Pada penyakit grave, terbentuk TSI sebagai antigen yang dapat

menempel pada reseptor TSH. Selain menempel pada reseptor TSH, TSI

dapat menempel pula pada jaringan ikat dan otot sekitar rongga dan belakang

mata. Hal ini memicu sebukan sel radang pada daerah tersebut. Sebukan sel

Page 12: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

radang tersebut dapat memicu keluarnya darah dari vaskular akibat

permeabel meningkat serta memicu terbentuknya jaringan baru dengan

mekanisme yang belum jelas (Sheerwood, 2001)

6. Kemungkinan diagnosis pasien setelah mendapat tambahan informasi 2

berupa pemeriksaan penunjang

E. Merumuskan tujuan belajar

1. Batas normal benjolan mata pada eksoftalmus

2. Batas BMI (pasien normal atau tidak)

3. Penyakit Grave’s diseases

a. Definisi

b. Etiologi

c. Tanda dan gejala

d. Patogenesis dan patofisiologi

e. Diagnosis dan pemeriksaan

f. Tata laksana

g. Komplikasi

h. Struktur anatomi dan histologi

4. Mekanisme pembentukan dan fungsi hormon tiroid

5. Hipotiroid goiter

F. Belajar mandiri secara individual atau kelompok

Sudah dilaksanakan

G. Menarik atau mengambil sistem informasi yang dibutuhkan dari informasi

yang ada

1. Batas normal benjolan mata pada eksoftalmus

2. Batas BMI (pasien normal atau tidak)

3. Penyakit Grave’s diseases

a. Definisi

Penyakit Grave adalah penyakit autoimun yang merupakan

penyebab tersering dari hipertiroidisme dimana tubuh secara

serampangan membentuk thyroid-stimulating immunoglobulin (TSI)

yang merupakan antibodi dimana sasarannya adalah TSH di sel tiroid.

Page 13: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

Imunoglobulin perangsang tiroid (TSI) merangsang sekresi dan

pertumbuhan tiroid denga cara yang serupa dengan yang dilakukan oleh

TSH. Namun, tidak seperti TSH, TSI tidak dipengaruhi oleh umpan balik

negatif. Sehingga terlalu banyak hormon tiroid dan tercipta ketidak

seimbangan hormon (Sherwood, 2001).

b. Etiologi

Penyakit graves (goiter difusa toksika) dipercaya disebabkan oleh

suatu antibodi yang merangsang tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid

yang berlebihan.

Defek respons imun pada oftalmopati berbeda dengan penyakit

Graves. Sasaran respon imun pada oftalmopati ialah otot ekstra-orbital

dan mungkin kelenjar lakrimal, sedang TSI pada penyakit Graves ialah

sel-sel folikel tiroid. Sampai saat ini masih merupakan pertanyaan apakah

oftalmopati merupakan bagian dari penyaki Graves, ataukah keduanya

merupakan dua keadaan yang terpisah tetapi sering ditemukan bersamaan

dengan tingkat berat yang berbeda. Manifestasi klinis dari oftalmopati

Graves disebabkan oleh karena bertambahnya jaringan otot ekstra-okuler

dan  jaringan lemak retrobulber (Sherwood, 2001).

c. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala yang timbul umumnya merupakan manifestasi dari

hipermetabolisme, antara lain (Ganong, 2003; Price dan Wilson, 2005):

1) Tidak tahan panas

2) Berkeringat

3) Mudah lelah

4) Tremor

5) Ansietas

6) Eksoftalmus

7) Berat badan turun

8) Nasfu makan meningkat

9) Takikardi

10) Disritmia cordis

11) Masa difus di leher

12) Kenaikan ringan suhu tubuh

Page 14: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

d. Patogenesis dan patofisiologi

Penyakit graves merupakan suatu penyakit autoimun, ada 3 jenis

autoantigen terhadap kelenjar tiroid yaitu reseptor TSH (TSH-R),

tiroglobulin (Tg), tiroidal peroksidase (TPO). Sel-sel tiroid mempunyai

kemampuan untuk bereaksi dengan antigen tersebut. Apabila sel-sel

tiroid dirangsang oleh sitokin seperti IFN γ maka antigen tersebut akan

dipresentasikan oleh MHC kelas II kepada limfosit T. Limfosit T yang

mengalami perangsangan akan merangsang limfosit B untuk

menghasilkan antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang

disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH yang ada di sel-sel tiroid

sehingga dapat merangsang pertumbuhan dan fungsi tiroid tanpa

tergantung TSH. Akibat reaksi antigen dengan reseptor TSH, terjadi

produksi T3 dan T4 secara berlebihan sehingga kadar T3 dan T4 dalam

darah tinggi. Tingginya kadar T3 dan T4 dalam darah merupakan umpan

balik negative terhadap hipotalamus dan hipofisis sehingga kadar TSH

dalam darah rendah (Price dan Wilson, 2005).

Pada penyakit graves, timbul manifestasi klinis tidak tahan

terhadap panas. Hal ini terjadi karena efek kalorigenesis yang terjadi

akibat kenaikan kadar hormone tiroid. Akibat kenaikan panas tubuh

antara lain berkeringat dan vasodilatasi pada kulit sebagai mekanisme

homeostasis untuk membuang panas. Selain itu, hormone tiroid juga

berfungsi menstimulasi katekolamin sehingga kombinasi katekolamin

dan hormone tiroid dapat meningkatkan curah jantung. Kenaikan curah

jantung dan peningkatan kontraksi jantung akibat ikatan hormone tiroid

dan myosin jantung dapat mengakibatkan disritmia cordis, peningkatan

tekanan darah sistolik dan takikardi (Ganong, 2003; Price dan Wilson,

2005).

Peningkatan hormone tiroid menyebabkan hipermetabolisme di

berbagai jaringan tubuh. Efek hipermetabolisme yang lain adalah

hiperfagia (makan berlebih). Rasa mudah lapar timbul karena

penghancuran lemak dan protein tubuh secara berlebihan sehingga

timbul mekanisme pemenuhan kebutuhan akan lemak dan protein,

namun dalam kondisi ini berat badan tidak meningkat bahkan cenderung

Page 15: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

menurun karena masukan makanan akan dihancurkan pula dengan cepat.

Kalorigenesis juga menyebabkan kenaikan panas. Pengaruh hormone

tiroid pada otot, terutama pada myosin otot yang menyebabkan

kontraksi, pemecahan lemak dan protein tubuh berlebihan sehingga

timbul kelelahan (Ganong, 2003; Price dan Wilson, 2005).

Kelebihan hormone tiroid juga dapat mempengaruhi sistem saraf,

sehingga dapat mengakibatkan tremor yang disebabka reflek regang

yang sangat cepat. Akibat lain hormone tiroid yang berlebih pada saraf

adalah ansietas sebagai akibat peningkatan proses mental (Ganong,

2003; Price dan Wilson, 2005).

Ciri khas lain pada penyakit graves adalah eksoftalmus karena

antibodi sitotoksik pada otot mata dan jaringan ikat orbita sehingga

terjadi pembengkakan otot-otot ekstraokuler dan jaringat ikat dalam

rongga orbita sehingga mata menonjol ke depan. Pada stadium

eksoftalmus yang berat, dapat menimbulkan diplopia karena gangguan

otot-otot ekstraokuler. Masa difus di leher juga merupakan ciri khas dari

penyakit graves akibat hipertrofi tiroid akibat kerja berlebih (Ganong,

2003; Price dan Wilson, 2005).

e. Diagnosis dan pemeriksaan

1) Diagnosis

Penyakit Graves didiagnosis dengan pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan TSI , untuk pasien penyakit Graves dengan gejala mata,

tes imaging digunakan untuk memeriksa mata dan rongga mata

dengan alat eksoftalmometer herthl.

Pada kelompok lanjut usia gejala dan tanda- tanda tidak sejelas

pada usia muda, perbedaan ini antara lain :

a) Berat badan menurun mencolok (pada usia muda justru naik 20%)

b) Nafsu makan menurun, mual, muntah dan sakit perut

c) Lebih jarang dijumpai takikardi

d) Bukanya gelisah jusrtu apatis

2) Pemeriksaan

a) fisik

Page 16: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

(1) Keadaan umum sedikit cemas

(2) Tekanan darah sistolik meningkat sedikit

(3) Denyut nadi meningkat (Takikardi)

(4) Suhu meningkat sedikit

(5) Terjadi diplopia, eksoftalmus

(6) Teraba massa difus pada leher

(7) Disritmia cordis

(8) Tremor halus (Cooper, 2010)

b) Penunjang

(1) Kadar T4 dan T3 yang serum yang rendah,

(2) BMR yang rendah,

(3) Peningkatan kolesterol serum,

(4) Kadar TSH serum mungkin tinggi mungkin juga rendah yang

bergantung pada jenis hipotiroidism. Misalnya: pada

hipotiroidism primer, kadar TSH serum akan tinggi sedangkan

kadar T4 rendah, namun. Sebaliknya, kedua pengukuran

tersebut akan rendah pada hipotiroidism sekunder (Price &

Wilson, 2006).

f. Tata laksana

Walaupun mekanisme otoimun merupakan faktor utama yang

berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves, namun

penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan

hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan

terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu : Obat anti tiroid,

Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan

tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis,

usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau

reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya. (Subekti,

2001)

1) Obat – obatan

a) Obat Antitiroid : Golongan Tionamid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan

imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil

Page 17: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

(PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan

karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah

tiamazol yang isinya sama dengan metimazol. Obat golongan

tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi

intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis

hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi

dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin,

mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis

tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama

ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer

(hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan

menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam

pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera

hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah

efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding

PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal. Belum ada

kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan

jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa

kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan

methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang

biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun

setelah pengobatan. Untuk mencegah terjadinya kekambuhan

maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan

dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis,

diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara

tunggal pagi hari). Regimen umum terdiri dari pemberian PTU

dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu,

dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1 atau 2 kali sehari.

Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan

methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3,

sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat

pada fase akut dari penyakit Graves. Methimazole mempunyai

masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal

sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg

Page 18: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis

pemeliharaan 5 – 20 mg perhari. (Shahab A, 2002)

Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya

dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya

dosis PTU dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan

metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi

untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat

diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia.

Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai

dosis terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10

mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis

eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila dengan

dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan

biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis

maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab

lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan

psikis. (Subekti, 2001)

Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan

timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol

mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil),

gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi

dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis

merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian

terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi

alternatif yaitu yodium radioaktif.

Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan

sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan

antibiotika. Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu

penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus

Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan

Arthralgia Akut.

Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut,

sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar

termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali

Page 19: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek

samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan

memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya

dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi.

(Shahab A, 2002)

Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus,

dapat dicoba ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari

PTU ke metimazol atau sebaliknya. Evaluasi pengobatan perlu

dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah

penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi

remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan

untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna

menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan

diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat

mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan

hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan

keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan

hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat diprediksi

pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid

bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut :

(1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.

(2)Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan

pemberian Obat Anti Tiroid dosis rendah.

(3)Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.

Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3

bila terdapat T-3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang

memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah,

kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah

keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang

dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid,

dan mata. (Subekti, 2001)

b) Obat Golongan Penyekat Beta

Page 20: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol

hidroklorida, sangat bermanfaat untuk mengendalikan

manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti

palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui

blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek

antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun

sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya

terhadap konversi T-4 ke T-3. (Price A.S. & Wilson M.L, 1995)

Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari. Di

samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta

dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan

nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan

nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol.

Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik.

Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea,

sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih

jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan

trombositopenia.

Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada

pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas

disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga

dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena

Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat

monoamin oksidase. (Corwin, 2001)

c) Obat-obatan Lain

Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated

radiographic contrast, potassium perklorat dan litium karbonat,

meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid,

tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan

penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada

keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau

setelah terapi iodium radioaktif. Umumnya obat anti tiroid lebih

bermanfaat pada penderita usia muda dengan ukuran kelenjar

Page 21: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan

Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif

murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan

sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama

pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi

setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai

90%. Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain

dosis, lama pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium

dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam makanan

menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.

Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk

memantau respons terapi, dimana yang paling bermakna adalah

pemeriksaan kadar FT4 dan TSH. (Subekti, 2001)

2) Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin

Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit

Graves dengan cara kombinasi OAT dan tiroksin eksogen.

Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan bahwa angka

kekambuhan renddah yaitu hanya 1,7 % pada kelompok

penderita yang mendapat terapi kombinasi methimazole dan

tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol

yang hanya mendapatkan terapi methimazole. Protokol

pengobatannya adalah sebagai berikut:

Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari

selama 6 bulan, selanjutnya 10 mg perhari ditambah tiroksin 100

μg perhari selama 1 tahun, dan kemudian hanya diberi tiroksin

saja selama 3 tahun. Kelompok kontrol juga diberi methimazole

dengan dosis dan cara yang sama namun tanpa tiroksin. Kadar

TSH dan kadar TSH-R Ab ternyata lebih rendah pada kelompok

yang mendapat terapi kombinasi dan sebaliknya pada kelompok

kontrol. Hal ini mengisyaratkan bahwa TSH selama pengobatan

dengan OAT akan merangsang pelepasan molekul antigen tiroid

yang bersifat antigenic, yang pada gilirannya akan merangsang

pembentukan antibody terhadap reseptor TSH. Dengan kata lain,

Page 22: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

dengan mengistirahatkan kelenjar tiroid melalui pemberian

tiroksin eksogen eksogen (yang menekan produksi TSH), maka

reaksi imun intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu dengan

mengurangi presentasi antigen. Pertimbangan lain untuk

memberikan kombinasi OAT dan tiroksin adalah agar

penyesuaian dosis OAT untuk menghindari hipotiroidisme tidak

perlu dilakukan terlalu sering, terutama bila digunakan OAT

dosis tinggi. (Subekti, 2001)

3) Pembedahan

Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada

penderita dengan struma yang besar. Sebelum operasi, penderita

dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT

(biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2 minggu

pre operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5

tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi

vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini

masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak

jaringan tiroid yangn harus diangkat. Tiroidektomi total biasanya

tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati Graves

yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan

tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps.

Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid.

Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan

suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit

Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus

recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi

pada sekitar 1% kasus. (Subekti, 2001)

4) Terapi Yodium Radioaktif

Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal

sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan

mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta

dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local

pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan

Page 23: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis

seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis

disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat

tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat

radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat

terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih

lama yaitu setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna

diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat

pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan

pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman , tidak

mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun

teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang

dilahirkan dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium

radioaktif. Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien

wanita hamil atau menyusui. Pada pasien wanita usia produktif,

sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa

yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas,

tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium

radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat,

bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan yodium

radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme

anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali

kambuh dengan OAT. Cara pengobatan ini aman, mudah dan

relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap

yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium

dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1

mikrogram. Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu,

dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama menunggu efek

yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan /

atau OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif

terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis I131 dan beberapa

faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan

yodium dalam makanan sehari-hari. Efek samping yang

menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah

Page 24: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh

besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat

dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme. (Subekti, 2001)

5) Pengobatan oftalmopati Graves

Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan

oftalmologis dalam menangani oftalmopati Graves. Keluhan

fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata dapat diatasi dengan

larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah

dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah

dengan menghentikan merokok, menghindari cahaya yang sangat

terang dan debu, penggunaan kacamata gelap dan tidur dengan

posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital.

Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat.

Obat-obat yang mempunyai khasiat imunosupresi dapat

digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT

sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi

dan pembedahan rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi

otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata. Yang menjadi

masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien

yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO

atau antibody antireseptor TSH dalam serum dapat membantu

memastikan diagnosis. Pemeriksaan CT scan atau MRI

digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab

kelainan orbita lainnya. (Subekti, 2001)

6) Pengobatan krisis tiroid

Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap

hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat

pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3,

pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis),

normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit

dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu. (Subekti, 2001)

7) Penyakit Graves Dengan Kehamilan

Page 25: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil

dahulu sampai keadaan hipertiroidisme-nya diobati dengan

adekuat, karena angka kematian janin pada hipertiroidisme yang

tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status

eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid

dengan dosis terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada

kisaran angka normal tinggi atau tepat di atas normal tinggi. PTU

lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil dengan

hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih

sedikit, dan tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan

tiroksin tidak dianjurkan, karena akan memerlukan dosis obat

antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian tiroksin akan

masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme.

Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama

pada trimester ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang -

dengan mekanisme yang belum diketahui- terdapat penurunan

kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin receptor

antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan

dengan demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita

melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid, tetap dapat

menyusui bayinya dengan aman. (Subekti, 2001)

g. Komplikasi

1) Penyakit jantung tiroid (PJT)

Diagnosis PJT ditegakkan bila terdapat tanda-tanda

dekompensasi jantung (sesak, edem dll), hipertiroid dan pada

pemeriksaan EKG maupun fisik didapatkan adanya atrium fibrilasi.

hormon tiroid sangat penting untuk fungsi jantung normal, sehingga

bila tidak cukup hormon tiroid hadir baik jantung maupun pembuluh

darah berfungsi secara normal. Dalam hipotiroidisme otot jantung

melemah di kedua fase kontraksi, dan juga fase relaksasi nya. Ini

berarti bahwa jantung tidak dapat memompa keras sebagaimana

mestinya, dan jumlah darah itu menyemburkan dengan setiap detak

jantung berkurang. Selain itu, karena otot jantung tidak bersantai

Page 26: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

biasanya di antara denyut jantung, kondisi yang serius yang disebut

disfungsi diastolik dapat hasil.

2) Krisis Tiroid (Thyroid Storm)

Merupakan suatu keadaan akut berat yang dialami oleh

penderita tiritoksikosis (life-threatening severity). Biasanya dipicu

oleh faktor stress (infeksi berat, operasi dll). Gejala klinik yang khas

adalah hiperpireksia, mengamuk dan tanda tanda-tanda hipertiroid

berat yang terjadi secara tiba-tiba.

3) Periodic paralysis thyrotocsicosis ( PPT)

Terjadinya kelumpuhan secara tiba-tiba pada penderita

hipertiroid dan biasanya hanya bersifat sementara. Dasar terjadinya

komplikasi ini adalah adanya hipokalemi akibat kalium terlalu banyak

masuk kedalam sel otot. Itulah sebabnya keluhan PPT umumnya

terjadi setelah penderita makan (karbohidrat), oleh karena glukosa

akan dimasukkan kedalam selh oleh insulin bersama-sama dengan

kalium (K channel ATP-ase).

4) Komplikasi akibat pengobatan.

Komplikasi ini biasanya akibat overtreatment (hipotiroidisme)

dan akibat efek samping obat (agranulositosi, hepatotoksik).

5) Badai tiroid yang menyebabkan :

a) Demam tinggi

b) Kelemahan dan pengeriputan otot yang luar biasa

c) Kegelisahan

d) Perubahan suasana hati

e) Perubahan kesadaran bahkan sampai terjadi koma

f) Pembesaran hati diserti penyakit kuning ringan

g) Stress yang berakibat pada penyakit-penyakit seperti diabetes,

trauma, infeksi akut, alergi obat yang berat atau infark miokard

h) Struktur anatomi dan histologi

4. Mekanisme pembentukan dan fungsi hormon tiroid

Page 27: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

a. Sintesis

Tahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah pompa iodida dari

darah ke dalam sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran basal sel tiroid

memompakan iodida masuk ke dalam sel yang disebut dengan penjeratan

iodida (iodide trapping). Sel-sel tiroid kemudian membentuk dan

mensekresikan tiroglobulin dari asam amino tirosin. Tahap berikutnya

adalah oksidasi ion iodida menjadi I2 oleh enzim peroksidase. Selanjutnya

terjadi iodinasi tirosin menjadi monoiodotirosin, diiodotirosin, dan

kemudian menjadi T4 dan T3 yang diatur oleh enzim iodinase. Kemudian,

hormon tiroid yang telah terbentuk ini disimpan di dalam folikel sel dalam

jumlah yang cukup untuk dua hingga tiga bulan. Setelah hormon tiroid

terbentuk di dalam tiroglobulin, keduanya harus dipecah dahulu dari

tiroglobulin, oleh enzim protease. Kemudian, T4 dan T3 yang bebas ini

dapat berdifusi ke pembuluh kapiler di sekitar sel-sel tiroid. Keduanya

diangkut dengan menggunakan protein plasma. Karena mempunyai

afinitas yang besar terhadap protein plasma, hormon tiroid, khususnya

tiroksin, sangat lambat dilepaskan ke jaringan. Kira-kira tiga perempat dari

tirosin yang teriodinasi dalam tiroglobulin tidak akan pernah menjadi

hormon tiroid, hanya sampai pada tahap monoiodotirosin atau

diiodotirosin. Yodium dalam monoiodotirosin dan diiodotirosin ini

kemudian akan dilepas kembali oleh enzim deiodinase untuk membuat

hormon tiroid tambahan (Guyton and Hall, 2007).

1) Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.

Page 28: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

2) Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar

tiroid merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I

hingga mencapai status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan

enzim peroksidase.

3) Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan

residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula

melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).

4) Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT

(diiodotirosin) menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian

MIT (monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini

diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.

5) Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone)

tetapi dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan

tetap berada dalam sel folikel.

6) Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam

darah. Proses ini dibantu oleh TSH.

7) MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami

deiodinasi, dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase

sangat berperan dalam proses ini.

8) Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma

dan kompleks golgi.

Regulasi hormon tiroid adalah sebagai berikut. Hipotalamus sebagai

master gland mensekresikan TRH (Tyrotropine Releasing Hormone) untuk

Page 29: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

mengatur sekresi TSH oleh hipofisis anterior. Kemudian tirotropin atau

TSH (Thyroid Stimulating Hormone) dari hipofisis anterior meningkatkan

sekresi tiroid dengan perantara cAMP. Mekanisme ini mempunyai efek

umpan balik negatif, bila hormon tiroid yang disekresikan berlebih,

sehingga menghambat sekresi TRH maupun TSH. Bila jumlah hormon

tiroid tidak mencukupi, maka terjadi efek yang sebaliknya (Guyton and

Hall, 2007).

Hormon paratiroid menyediakan mekanisme yang kuat untuk

mengatur konsentrasi kalsium dan fosfat ekstrasel melalui pengaturan

reabsorpsi usus, ekskresi ginjal, dan pertukaran ion-ion tersebut antara

cairan ekstrasel dan tulang. Paratiroid hormone (PTH) meningkatkan kadar

kalsium plasma dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat

dari tulang dan usus, dan menurunkan ekskresi kalsium dan meningkatkan

ekskresi fosfat oleh ginjal (Guyton and Hall, 2007).

b.   Fungsi dan Efek Hormon Tiroid

Efek yang umum dari hormon tiroid adalah mengaktifkan transkripsi

inti sejumlah besar gen. Oleh karena itu, di semua sel tubuh sejumlah besar

enzim protein, protein struktural, protein transpor, dan zat lainnya akan

disintesis. Hasil akhirnya adalah peningkatan menyeluruh aktivitas

fungsional di seluruh tubuh. Hormon tiroid meningkatkan aktivitas

metabolik selular dengan cara meningkatkan aktivitas dan jumlah sel

mitokondria, serta meningkatkan transpor aktif ion-ion melalui membran

sel. Hormon tiroid juga mempunyai efek yang umum juga spesifik

terhadap pertumbuhan. Efek yang penting dari fungsi ini adalah

meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak selama kehidupan

janin dan beberapa tahun pertama kehidupan pascalahir (Guyton and Hall,

2007).

Efek hormon tiroid pada mekanisme tubuh yang spesifik meliputi

peningkatan metabolisme karbohidrat dan lemak, peningkatan kebutuhan

vitamin, meningkatkan laju metabolisme basal, dan menurunkan  berat

badan. Sedangkan efek pada sistem kardiovaskular meliputi peningkatan

Page 30: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

aliran darah dan curah jantung, peningkatan frekuensi denyut jantung, dan

peningkatan kekuatan jantung. Efek lainnya antara lain peningkatan

pernafasan, peningkatan motilitas saluran cerna, efek merangsang pada

sistem saraf pusat (SSP), peningkatan fungsi otot, dan meningkatkan

kecepatan sekresi sebagian besar kelenjar endokrin lain (Guyton and Hall,

2007).

Secara ringkas dapat ditulis sebagai berikut.

1) Meningkatkan transkripsi gen ketika hormon tiroid (kebanyakan

T3) berikatan dengan reseptornya di inti sel.

2) Meningkatkan jumlah dan aktivitas mitokondria sehingga

pembentukkan ATP (adenosin trifosfat) meningkat.

3) Meningkatkan transfor aktif ion melalui membran sel.

4) Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak, terutama

pada masa janin.

5) Meningkatkan jumlah sel-sel tiroid, disertai dengan dengan

perubahan sel kuboid menjadi sel kolumner dan menimbulkan

banyak lipatan epitel tiroid ke dalam folikel.

c. Pengangkutan Tiroksin dan Triiodotirosin ke Jaringan

Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat

lipofilik secara cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang

dari 1% T3 dan kurang dari 0,1% T4 tetap berada dalam bentuk tidak

terikat (bebas). Keadaan ini memang luar biasa mengingat bahwa hanya

Page 31: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki akses ke sel

sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek.

Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:

1) TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55%

T4 dan 65% T3 yang ada di dalam darah.

2) Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik,

termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3.

3) TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.

Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun

T3 memiliki aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4.

Namun, sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian dirubah menjadi

T3, atau diaktifkan, melalui proses pengeluaran satu yodium di hati dan

ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang

mengalami proses pengeluaran yodium di jaringan perifer. Dengan

demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di

tingkat sel.

5. Hipotiroid goiter

a. Pengertian

Hipotiroidism merupakan keadaan hipometabolik akibat sekresi

hormon tiroid tidak adekuat. Gejala yang terjadi akibat jumlah hormon

tiroid yang tidak cukup ini, tergantung kepada umur saat terjadinya.

Apabila timbul sejak lahir, maka disebut kretinisme yang

menyebabkan retardasi mental dan fisik. Apabila hipotiroidisme terjadi

pada anak atau dewasa, maka timbul miksedema yang berarti

terdapatnya timbunan mukopolisacharida hidrofilik pada dermis

sehingga wajah tampak kasar serta edem pada kulit (Tjahjono, 2003)

1) Kretinisme

Manifestasi klinik kretinisme tergantung kepada usia. Pada

periode neonatus bayi tampak somnolent, hipotermi, masalah

makan dan minum, suara menangis serak, konstipasi, dan mungkin

Page 32: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

terdapat hernia umbilikalis dan ikterus. Pada bulan-bulan

berikutnya timbul retardasi mental dan fisik. Pertumbuhan epifisis

dan skeletal sangat lambat, kepala tampak lebih besar daripada

tubuhnya. Hidung pesek, mata melebar, lidah membesar dan

menonjol diantara bibir. Leher tampak lebih pendek, perut

menonjol, kulit tebal, kasar, kering, rambut sparse. Mental retardasi

yang timbul adalah deaf-mutism (Tjahjono, 2003).

Penyebab retardasi pada bayi adalah agenesis/ disgenesis tiroid,

defek genetik terhadap sintesis hormon tiroid (defek transpor, defek

organifikasi, defek dehalogenase, defek coupling MIT dan DIT,

struma endemik dan kongenital, struma kongenital akibat ibu

meminum obat tiourea, karbimazol atau metimazol), disfungsi

primer hypothalamus-hypofisis yang menimbulkan defisiensi TSH

atau TRH (Tjahjono, 2003).

2) Miksedema

Jenis penyakit hipotiroidism ini terjadi pada masa anak-anak

dan dewasa. Gejala klinik dewasa lebih ringan daripada anak-anak.

Yang perlu diingat adalah kelainan ini primer di tiroid atau

merupakan sekunder. Kadar T3 dan T4 rendah pada kedua kelainan

tersebut, pada kelainan primer kadar TSH meningkat sedangkat jika

terjadi kelainan pada hypothalamus-hypofisis maka kadar TSH

rendah (Tjahjono, 2003).

Etiologi miksedema pada anak dan dewasa adalah:

a) Kelainan-kelainan penyebab kretin yang tidak dapat dikoreksi

secara adekuat dengan terapi replacement.

b) Tahap akhir struma toksik, struma endemik/ sporadik,

tiroiditis kronik.

c) Ablasi tiroid akibat operasi/ radiasi.

d) Destruksi kelenjar tiroid akibat kanker primer atau metastasis.

e) Kegagalan hipofisis atau hipotalamus.

f) Thyroid-hormone binding antibodies.

g) Inhibisi sintesis hormon oleh obat ATD (iodid, tiourea,

perklorat) yang berlebihan (Tjahjono, 2003).

Page 33: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

Sedangkan Goiter nontoksik merupakan salah satu gangguan yang

sering dijumpai pada perempuan pada rentang usia antara 20 sampai dengan

60 tahun (Price & Wilson, 2006).

Etiologi goiter nontoksik antara lain adalah defisiensi Iodium atau

gangguan kimia intratiroid yang disebabkan oleh berbagai faktor. Akibat dari

gangguan ini kapasitas kelenjar tiroid untuk mensekresi tiroksin terganggu

sehingga TSH meningkat dan hyperplasia dan hipertrofi folikel-folikel tiroid.

Pembesaran kelenjar tiroid sering bersifat eksaserbasi dan remisi, serta

hipervolusi dan involusi pada bagian-bagian kelenjar tiroid. Hiperplasia

mungkin bergantian dengan fibrosis, dan dapat timbul nodula-nodula yang

mengandung folikel-folikel tiroid. Hal ini juga dapat menyebabkan

pergeseran trachea dan esofagus dan gejala-gejala obstruksi (Price & Wilson,

2006).

Bila terjadi gangguan tiroid berat, goiter dapat disertai dengan

hipotiroidism. Hal ini terjadi karena kurangnya produksi bahan pembetukan

MIT dan DIT sehingga penurunan kadar T3 dan T4 dalam serum. Efeknya,

Hipotalamus akan mempengaruhi hipofisis anterio untuk mensekresi hormon

TSH. Namun, seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa bahan

pembetukan hormon tiroid berkurang maka akan tetap konsentrasi T3 dan T4

akan terus berkurang (Price & Wilson, 2006).

Page 34: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian tentang hormon tiroid pada beberapa bab sebelumnya, dapat

ditarik simpulan sebagai berikut.

1. Kelainan pada hormon tiroid, baik dalam intake bahan, sintesis, distribusi,

dan reseptor, akan menyebabkan penyakit hipertiroid atau hipotiroid

2. Salah satu jenis penyakit hipertiroid adalah grave’s deaseas. Eksoftalmus

pada salah satu atau kedua mata merupakan ciri khas pada penyakit ini

3. Penyakit ini muncul akibat diproduksinya otoantibodi, TSI, yang

mengganggu fungsi TSH.

4. Penyakit ini muncul pada umur pertengahan baya.

5. Penanganan medicamentosa biasa diberikan dalam jangka waktu lama

6. Tindakan pengangkatan perlu dipertimbangkan jika kondisi tidak membaik

atau ada indikasi kepada keganasan.

Page 35: PBL 1 Kel 7 Blok Enmet

DAFTAR PUSTAKA

Bahn RS, Heufelder AE. 1993. Mechanisms of disease: pathogenesis of

Graves’ophthalmopathy. N Engl J Med 329:1468–1475

Corwin. E J, 2001. Patofisiologi Edisi 1. Jakarta : EGC.

Clinic, Mayo.2008. Graves' Disease. Available from, URL :

http://www.mayoclinic.org/graves-disease/

David S. Cooper, M.D. 2010. Graves' Disease; The Johns Hopkins University

School of Medicine.

Dorland,W.A.Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta :

EGC.

Franklyn JA, 2004. The diagnostic and management of hyperthyroidism. N Engl

J Med.330:1731-8.

Guyton, Arthur C dan John E Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi

11. Jakarta: EGC.

Ibu anak, tabloid.2003. Anak Kecil Bisa Kena Tremor?. Available from, URL :

http://cyberwoman.cbn.net.id/cbprtl/common/ptofriend.aspx?

x=Mother+And+Baby&y=Cyberwoman|0|0|5|398.

Mansjoer A, et all, 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3, Jakarta :

Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI.

Murray, Robert K et al. 2003. Biokimia Harper, Edisi 25. Jakarta: EGC.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC.

Shahab A. 2002. Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan

Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme,

Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta.

Sherwood, Lauralee. 2001. Organ Endokrin Perifer. Fisiologi Manusia dari Sel

ke Sistem. Jakarta : EGC.

Subekti, I. 2001. Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment

Pengelolaan Praktis Penyakit Graves, Jakarta: FK UI.

Tjahjono. 2003. Patologi Endokrin. Semarang: Badan Penerbit Universitas

Diponegoro.