Upload
octi-guchiani
View
563
Download
9
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING 1
BLOK SISTEM ENDOKRIN DAN METABOLISME
“Deg-degan”
Tutor : dr. Lantip Rujito, MSi.Med
Kelompok 7
1. Karina Adistiarini G1A009010
2. Octi Guchiani G1A009026
3. Andika Khalifah Ardi G1A009029
4. Noeray Pratiwi M. G1A009039
5. Siska Lia Kisdiyanti G1A009065
6. Akhmad Ikhsan P.P G1A009069
7. Semba Anggen R. G1A009085
8. Faidh Husnan G1A009101
9. Radita Ikapratiwi G1A009103
10. Shabrina Resi Putri G1A009126
11. Heriyanto Edy I. G1A009131
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasus dengan keluhan dada berdebar-debar, tremor, gelisah, sensitif,
lemah, berat badan menurun meskipun terus merasa lapar, dan frekuensi uang air
besar meningkat kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang notabene adalah
negara berkembang. Keluhan ini dapat disebabkan oleh berbagai macam
penyebab yang salah satunya adalah karena respons jaringan tubuh terhadap
pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan.
Pada penyakit dengan keluhan tersebut dapat ditemukan adanya
pembengkakan pada bagian leher yang salah satunya dapat disebabkan oleh
hipertiroidisme. Hipertiroidisme spontan yang sering ditemui adalah penyakit
Graves dan goiter nodular toksik.
Gambaran penyakit hipertiroidisme tidak sulit diidentifikasi oleh seorang
dokter umum karena memiliki kekhasan yaitu adanya masa diffus pada bagian
leher. Pada pasien ditemukan gambaran penyakit Grave yang jelas mencolok dan
tidak ditemukan pada jenis hipertiroidisme lainnya yaitu eksoftalmus (mata
menonjol). Masyarakat kebanyakan mengatakan bahwa penyakit ini adalah
penyakit gondok. Namun, bukan hanya penyakit ini saja yang menyebabkan
hiperplasia kelenjar tiroid.
Pada PBL pertama ini akan dijelaskan seputar organ tiroid dan penyakit
Grave mulai dari pengertian hingga penatalaksanaan.
B. Kasus
1. Informasi 1 (Tutorial 1 )
Seorang wanita berusia 45 tahun datang sendiri ke Puskesmas tempat anda
bertugas dengan keluhan utama dada berdebar-debar. Keluhan dirasakan sejak 1
bulan yang lalu, semakin lama semakin berat sehingga mengganggu aktivitas
sehari-hari.
Pasien juga mengeluh tangannya sering gemetar, badan mudah lelah, sering
merasa kepanasan, gelisah, sulit berkonsentrasi dan sensitif (mudah marah).
Pasien menjadi mudah lapar hingga dapat makan 4-5x/hari, namun berat badan
tidak meningkat bahkan cenderung menurun. Frekuensi buang air besar pasien
meningkat (2-3x/hari) tanpa disertai perubahan jumlah maupun konsistensi
fesesnya. Pasien tidak merasakan adanya perubahan pada fungsi berkemih.
Keluhan ini baru pertama kali dirasakan. Sebelumnya pasien tidak
mempunyai riwayat penyakit yang signifikan (penyakit berat yang perlu
perawatan rumah sakit seperti penyakit jantung), tidak sedang dalam pengobatan
dan tidak ada riwayat alergi. Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan
yang sama. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal di daerah
perkotaan dengan seorang suami dan 2 orang anak. Pasien tidak merokok maupun
minum alkohol.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan hasil :
KU : cemas, tidak tenang
Tinggi badan : 162 cm
Berat badan : 51 kg
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Denyut nadi : 100-120x/menit bervariasi
Frekuensi napas : 20/menit
Temp. axiller : 37,4’C
Kulit hangat dan lembab
Kepala : tidak anemis
diplopia pada saat melirik ke kanan atas
eksoftalmus
Leher : teraba massa difus di leher depan tanpa benjolan diskret dan
dapat digerakkan
Thorax : disritmia cordis
Pulmo dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : tremor halus (+)
2. Informasi 2 ( Tutorial 1)
Dari pemeriksaan penunjang diperoleh hasil :
Hb : 12 g/dl (12-16)
Leukosit : 7500/μl (4000-10.000)
Trombosit : 330.000/μl (150.000-450.000)
TSH : 0,04 mU/L
T3 : 10,5 μg/dl
T4 : 40,6 μg/dl
Antibody reseptor TSH : (+)
Urinalis
Protein (-)
Glukosa (-)
βHCG (-)
3. Informasi Penutup
Pasien didiagnosis menderita Grave’s disease kemudian diterapi
dengan PTU (propylthiouracil). Terjadi perbaikan klinis yang ditandai dengan
berat badan naik, rasa lemah hilang, dan ukuran goiter berkurang. Fungsi
tiroid dimonitor secara rutin dan dosis PTU disesuaikan dengan keadaan
euthyroid. Setelah 2 tahun terapi, pasien stop mengkonsumsi PTU.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEJELASAN ISTILAH DAN KONSEP
NO. ISTILAH ARTI SITASI
1. Diplopia Diplopia atau penglihatan ganda
adalah persepsi adanya dua
bayangan dari satu objek.
(Dorland,2002)
2. Eksoftalmus Eksoftalmus adalah Protrusio
mata yang abnormal atau mata
terlihat menonjol (retensi cairan
abnormal di belakang bola mata
menyebabkan bola mata menonjol
ke depan).
(Sherwood, 2001)
(Price, 2005)
3. Massa difus Massa difus adalah massa yang
tidak berbatas tegas atau setempat
dan menyebar luas melalui
jaringan atau struktur.
(Dorland,2002)
4. Benjolan diskret Benjolan diskret adalah benjolan
yang dibuat dari bagian yang
terpisah atau ditandai dengan lesi
yang berkelompok dan berbatas
tegas serta terbatas di struktur.
(Dorland,2002)
5. Disritmia cordis Disritmia cordis dalah suatu
kelainan ireguler dari denyut
jantung yang disebabkan oleh
pembentukan impuls yang
abnormal dan kelainan konduksi
impuls atau keduanya atau dapat
diartikan sebagai gangguan irama
jantung karena konduksi elektrolit
normal dan otomatis.
(Dorland,2002)
6. Tremor halus Tremor halus adalah gerakan (Sherwood, 2001)
involunter bolak-balik pada
anggota tubuh dan tidak terlihat
secara kasat mata dan dapat
diperiksa dengan pemeriksaan
tremor halus menggunakan
kertas.
(Guyton, 1997)
B. Menetapkan definisi dan batasan permasalahan yang tepat
1. Informasi penting
a. Anamnesis awal
1) Jenis Kelamin : wanita
2) Umur : 45 tahun
3) Status perkawinan : menikah
4) Pekerjaan : ibu rumah tangga
5) Tempat tinggal : daerah perkotaan
6) Pasien tidak merokok dan minum alkohol
b. Keluhan utama
1) Berupa : dada berdebar-debar
2) Onset : 1 bulan
3) Progresivitas : memberat
c. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Gejala penyerta
a) Tangan gemetar
b) Badan mudah lelah
c) Sering merasa kepanasan
d) Gelisah
e) Sulit berkonsentrasi
f) Sensitif
g) Mudah lapar
h) Berat badan cenderung turun
i) Frekuensi buang air besar tinggi
d. Riwayat Penyakit Dahulu
1) Tidak ada riwayat penyakit signifikan
2) Tidak sedang dalam pengobatan
3) Tidak ada riwayat alergi
e. Riwayat Penyakit Keluarga
1) Tidak ada keluarga yang punya keluhan sama
C. Menganalisa permasalahan
1. Hipotesis penyebab dari masalah yang terdapat pada kasus hipertiroidisme
2. Mekanisme gejala-gejala penyakit hipertiroidisme
3. Macam-macam penyakit hipertiroidisme
4. Jenis-jenis tremor
5. Penyebab eksoftalmus
6. Kemungkinan diagnosis pasien setelah mendapat tambahan informasi 2
berupa pemeriksaan penunjang
D. Menyusun berbagai penjelasan mengenai permasalahan
1. Hipotesis penyebab dari masalah yang terdapat pada kasus hipertiroidisme
Hipertiroidisme dapat terjadi akibat disfungsi kelenjar tiroid, hipofisis,
atau hipotalamus. Peningkatan TSH akibat malfungsi kelenjar tiroid akan
disertai penurunan TSH dan TRF karena umpan balik negatif HT terhadap
pelepasan keduanya. Hipertiroidisme akibat rnalfungsi hipofisis memberikan
gambamn kadar HT dan TSH yang finggi. TRF akan Tendah karena uinpan
balik negatif dari HT dan TSH. Hipertiroidisme akibat malfungsi
hipotalamus akan memperlihatkan HT yang finggi disertai TSH dan TRH
yang berlebihan (Mansjoer, 1999).
a. Penyebab Utama
1) Penyakit Grave
2) Toxic multinodular goitre
3) Solitary toxic adenoma
b. Penyebab Lain
1) Tiroiditis
2) Penyakit troboblastis
3) Ambilan hormone tiroid secara berlebihan
4) Pemakaian yodium yang berlebihan
5) Kanker pituitari
6) Obat-obatan seperti Amiodarone
2. Mekanisme gejala-gejala penyakit hipertiroidisme
a. Berat badan turun
Hipertiroidisme
↓
Metabolisme lemak meningkat
↓
Pembentukan panas meningkat
↓
Tubuh membakar bahan bakar(lemak) dengan kecepatan abnormal
↓
Degradasi karbohidrat, lemak dan protein
↓
Lemak yang disimpan dalam tubuh akan lebih banyak dipecah daripada
elemen jaringan lain
↓
Lemak sedikit terbentuk
↓
Penurunan simpanan lemak
↓
Berat badan turun
Efek pada plasma dan lemak hati
Hipertiroidisme
↓
Jumlah colesterol, fosfolipid, trigliserida dalam darah menurun
↓
Sekresi colesterol yang bermakna di dalam empedu meningkat dan jumlah
colesterol dala feces hilang
↓
Berat badan turun
b. Aliran darah dan curah jantung
Hipertiroidisme
↓
Metabolisme dalam jaringan meningkat
↓
Mempercepat pemakaian oksigen dan memperbanyak jumlah produk akhir
dari metabolisme yang dilepas jaringan
↓
Vasodilatasi pada sebagian besar jaringan tubuh
↓
Kecepatan aliran darah pada kulit meningkat karena meningkatnya
kebutuhan tubuh untuk pembuangan panas
↓
Curah jantung juga meningkat 60 % atau lebih diatas normal
b. Frekuensi denyut jantung
Hormon tiroid berperan langsung pada eksitabilitas jantung
↓
Frekuensi denyut jantung meningkat
c. Kekuatan denyut jantung
Hipertiroidisme
↓
Katabolisme berlebih
↓
Kekuatan otot jantung ditekan
↓
Kekuatan denyut jantung meningkat
Kecepatan dan kekuatan denyut jantung yang meningkat menyebabkan
pasien mengalami palpitasi (menyadari ketidaknyamanan aktivitas
jantung sendiri, berdebar). Peningkatan aktivitas enzimatik yang
disebabkan oleh peningkatan produksi hormon tiroid tampaknya juga
meningkatkan kekuatan denyut jantung bila sekresi hormon tiroid sedikit
berlebih.
d. Tremor otot
Hipertiroidisme
↓
Kepekaan sinaps saraf di daerah medula yang mengatur tonus otot
meningkat
↓
Tremor halus pada otot
↓
Frekuensi teromor cepat, 10-15 kali/detik
atau
Hipertiroidisme
↓
Miopati disamping hilangnya otot
↓
Kreatinuria spontan
↓
Kontraksi dan relaksasi otot meningkat
↓
Hiperrefleksia (termor)
(Sherwood, 2001)
3. Macam-macam penyakit hipertiroidisme
4. Jenis-jenis tremor
Tremor bisa juga digolongkan berdasarkan posisi atau perilaku yang
dipengaruhi oleh tremor itu.
a. Tremor istirahat
Dikenal juga sebagai tremor statis, timbul ketika otot tidak digunakan,
atau ketika tangan sedang istirahat di atas sebuah benda. Tremor ini paling
banyak terjadi pada penderita penyakit Parkinson.
b. Tremor postur
Terjadi ketika penderita sedang mencoba mempertahankan posisi tubuh
tertentu, misalnya merentangkan tangan. Tremor postur ini mencakup
banyak sub-jenis.
c. Tremor kinetik
Dikenal juga sebagai tremor tindakan. Ini terjadi kertika penderita
berusaha melakukan gerakan yang disengaja. Misalnya ketika tangan
hendak menyentuh suatu benda tertentu.
d. Tremor histeris
Biasanya terjadi baik pada orang dewasa maupun muda. Tremor ini
cenderung menghilang ketika penderita tidak lagi berfokus pada bagian
tubuh yang mengalami tremor itu.
e. Tremor aktivitas khusus
Terjadi ketika penderita berusaha melakukan aktivitas tertentu. Misalnya
menulis, berbicara, atau mengangkat benda. Termasuk di dalamnya tremor
orthostatic, yang cuma terjadi pada kaki. Yakni, kaki tidak bisa tahan
berdiri meski hanya beberapa detik saja. Tapi tremor ini hilang jika kaki
itu digunakan untuk berjalan atau duduk.
5. Penyebab eksoftalmus
Pada penyakit grave, terbentuk TSI sebagai antigen yang dapat
menempel pada reseptor TSH. Selain menempel pada reseptor TSH, TSI
dapat menempel pula pada jaringan ikat dan otot sekitar rongga dan belakang
mata. Hal ini memicu sebukan sel radang pada daerah tersebut. Sebukan sel
radang tersebut dapat memicu keluarnya darah dari vaskular akibat
permeabel meningkat serta memicu terbentuknya jaringan baru dengan
mekanisme yang belum jelas (Sheerwood, 2001)
6. Kemungkinan diagnosis pasien setelah mendapat tambahan informasi 2
berupa pemeriksaan penunjang
E. Merumuskan tujuan belajar
1. Batas normal benjolan mata pada eksoftalmus
2. Batas BMI (pasien normal atau tidak)
3. Penyakit Grave’s diseases
a. Definisi
b. Etiologi
c. Tanda dan gejala
d. Patogenesis dan patofisiologi
e. Diagnosis dan pemeriksaan
f. Tata laksana
g. Komplikasi
h. Struktur anatomi dan histologi
4. Mekanisme pembentukan dan fungsi hormon tiroid
5. Hipotiroid goiter
F. Belajar mandiri secara individual atau kelompok
Sudah dilaksanakan
G. Menarik atau mengambil sistem informasi yang dibutuhkan dari informasi
yang ada
1. Batas normal benjolan mata pada eksoftalmus
2. Batas BMI (pasien normal atau tidak)
3. Penyakit Grave’s diseases
a. Definisi
Penyakit Grave adalah penyakit autoimun yang merupakan
penyebab tersering dari hipertiroidisme dimana tubuh secara
serampangan membentuk thyroid-stimulating immunoglobulin (TSI)
yang merupakan antibodi dimana sasarannya adalah TSH di sel tiroid.
Imunoglobulin perangsang tiroid (TSI) merangsang sekresi dan
pertumbuhan tiroid denga cara yang serupa dengan yang dilakukan oleh
TSH. Namun, tidak seperti TSH, TSI tidak dipengaruhi oleh umpan balik
negatif. Sehingga terlalu banyak hormon tiroid dan tercipta ketidak
seimbangan hormon (Sherwood, 2001).
b. Etiologi
Penyakit graves (goiter difusa toksika) dipercaya disebabkan oleh
suatu antibodi yang merangsang tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid
yang berlebihan.
Defek respons imun pada oftalmopati berbeda dengan penyakit
Graves. Sasaran respon imun pada oftalmopati ialah otot ekstra-orbital
dan mungkin kelenjar lakrimal, sedang TSI pada penyakit Graves ialah
sel-sel folikel tiroid. Sampai saat ini masih merupakan pertanyaan apakah
oftalmopati merupakan bagian dari penyaki Graves, ataukah keduanya
merupakan dua keadaan yang terpisah tetapi sering ditemukan bersamaan
dengan tingkat berat yang berbeda. Manifestasi klinis dari oftalmopati
Graves disebabkan oleh karena bertambahnya jaringan otot ekstra-okuler
dan jaringan lemak retrobulber (Sherwood, 2001).
c. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala yang timbul umumnya merupakan manifestasi dari
hipermetabolisme, antara lain (Ganong, 2003; Price dan Wilson, 2005):
1) Tidak tahan panas
2) Berkeringat
3) Mudah lelah
4) Tremor
5) Ansietas
6) Eksoftalmus
7) Berat badan turun
8) Nasfu makan meningkat
9) Takikardi
10) Disritmia cordis
11) Masa difus di leher
12) Kenaikan ringan suhu tubuh
d. Patogenesis dan patofisiologi
Penyakit graves merupakan suatu penyakit autoimun, ada 3 jenis
autoantigen terhadap kelenjar tiroid yaitu reseptor TSH (TSH-R),
tiroglobulin (Tg), tiroidal peroksidase (TPO). Sel-sel tiroid mempunyai
kemampuan untuk bereaksi dengan antigen tersebut. Apabila sel-sel
tiroid dirangsang oleh sitokin seperti IFN γ maka antigen tersebut akan
dipresentasikan oleh MHC kelas II kepada limfosit T. Limfosit T yang
mengalami perangsangan akan merangsang limfosit B untuk
menghasilkan antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang
disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH yang ada di sel-sel tiroid
sehingga dapat merangsang pertumbuhan dan fungsi tiroid tanpa
tergantung TSH. Akibat reaksi antigen dengan reseptor TSH, terjadi
produksi T3 dan T4 secara berlebihan sehingga kadar T3 dan T4 dalam
darah tinggi. Tingginya kadar T3 dan T4 dalam darah merupakan umpan
balik negative terhadap hipotalamus dan hipofisis sehingga kadar TSH
dalam darah rendah (Price dan Wilson, 2005).
Pada penyakit graves, timbul manifestasi klinis tidak tahan
terhadap panas. Hal ini terjadi karena efek kalorigenesis yang terjadi
akibat kenaikan kadar hormone tiroid. Akibat kenaikan panas tubuh
antara lain berkeringat dan vasodilatasi pada kulit sebagai mekanisme
homeostasis untuk membuang panas. Selain itu, hormone tiroid juga
berfungsi menstimulasi katekolamin sehingga kombinasi katekolamin
dan hormone tiroid dapat meningkatkan curah jantung. Kenaikan curah
jantung dan peningkatan kontraksi jantung akibat ikatan hormone tiroid
dan myosin jantung dapat mengakibatkan disritmia cordis, peningkatan
tekanan darah sistolik dan takikardi (Ganong, 2003; Price dan Wilson,
2005).
Peningkatan hormone tiroid menyebabkan hipermetabolisme di
berbagai jaringan tubuh. Efek hipermetabolisme yang lain adalah
hiperfagia (makan berlebih). Rasa mudah lapar timbul karena
penghancuran lemak dan protein tubuh secara berlebihan sehingga
timbul mekanisme pemenuhan kebutuhan akan lemak dan protein,
namun dalam kondisi ini berat badan tidak meningkat bahkan cenderung
menurun karena masukan makanan akan dihancurkan pula dengan cepat.
Kalorigenesis juga menyebabkan kenaikan panas. Pengaruh hormone
tiroid pada otot, terutama pada myosin otot yang menyebabkan
kontraksi, pemecahan lemak dan protein tubuh berlebihan sehingga
timbul kelelahan (Ganong, 2003; Price dan Wilson, 2005).
Kelebihan hormone tiroid juga dapat mempengaruhi sistem saraf,
sehingga dapat mengakibatkan tremor yang disebabka reflek regang
yang sangat cepat. Akibat lain hormone tiroid yang berlebih pada saraf
adalah ansietas sebagai akibat peningkatan proses mental (Ganong,
2003; Price dan Wilson, 2005).
Ciri khas lain pada penyakit graves adalah eksoftalmus karena
antibodi sitotoksik pada otot mata dan jaringan ikat orbita sehingga
terjadi pembengkakan otot-otot ekstraokuler dan jaringat ikat dalam
rongga orbita sehingga mata menonjol ke depan. Pada stadium
eksoftalmus yang berat, dapat menimbulkan diplopia karena gangguan
otot-otot ekstraokuler. Masa difus di leher juga merupakan ciri khas dari
penyakit graves akibat hipertrofi tiroid akibat kerja berlebih (Ganong,
2003; Price dan Wilson, 2005).
e. Diagnosis dan pemeriksaan
1) Diagnosis
Penyakit Graves didiagnosis dengan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan TSI , untuk pasien penyakit Graves dengan gejala mata,
tes imaging digunakan untuk memeriksa mata dan rongga mata
dengan alat eksoftalmometer herthl.
Pada kelompok lanjut usia gejala dan tanda- tanda tidak sejelas
pada usia muda, perbedaan ini antara lain :
a) Berat badan menurun mencolok (pada usia muda justru naik 20%)
b) Nafsu makan menurun, mual, muntah dan sakit perut
c) Lebih jarang dijumpai takikardi
d) Bukanya gelisah jusrtu apatis
2) Pemeriksaan
a) fisik
(1) Keadaan umum sedikit cemas
(2) Tekanan darah sistolik meningkat sedikit
(3) Denyut nadi meningkat (Takikardi)
(4) Suhu meningkat sedikit
(5) Terjadi diplopia, eksoftalmus
(6) Teraba massa difus pada leher
(7) Disritmia cordis
(8) Tremor halus (Cooper, 2010)
b) Penunjang
(1) Kadar T4 dan T3 yang serum yang rendah,
(2) BMR yang rendah,
(3) Peningkatan kolesterol serum,
(4) Kadar TSH serum mungkin tinggi mungkin juga rendah yang
bergantung pada jenis hipotiroidism. Misalnya: pada
hipotiroidism primer, kadar TSH serum akan tinggi sedangkan
kadar T4 rendah, namun. Sebaliknya, kedua pengukuran
tersebut akan rendah pada hipotiroidism sekunder (Price &
Wilson, 2006).
f. Tata laksana
Walaupun mekanisme otoimun merupakan faktor utama yang
berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves, namun
penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan
hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan
terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu : Obat anti tiroid,
Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan
tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis,
usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau
reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya. (Subekti,
2001)
1) Obat – obatan
a) Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan
imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil
(PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan
karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah
tiamazol yang isinya sama dengan metimazol. Obat golongan
tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi
intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis
hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi
dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin,
mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis
tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama
ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer
(hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan
menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam
pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera
hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah
efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding
PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal. Belum ada
kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan
jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa
kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan
methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang
biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun
setelah pengobatan. Untuk mencegah terjadinya kekambuhan
maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan
dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis,
diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara
tunggal pagi hari). Regimen umum terdiri dari pemberian PTU
dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu,
dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1 atau 2 kali sehari.
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan
methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3,
sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat
pada fase akut dari penyakit Graves. Methimazole mempunyai
masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal
sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg
setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 5 – 20 mg perhari. (Shahab A, 2002)
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya
dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya
dosis PTU dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan
metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi
untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat
diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia.
Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai
dosis terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10
mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis
eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila dengan
dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan
biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis
maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab
lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan
psikis. (Subekti, 2001)
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan
timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol
mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil),
gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi
dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis
merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian
terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi
alternatif yaitu yodium radioaktif.
Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan
sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan
antibiotika. Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu
penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus
Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan
Arthralgia Akut.
Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut,
sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar
termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali
pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek
samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan
memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya
dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi.
(Shahab A, 2002)
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus,
dapat dicoba ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari
PTU ke metimazol atau sebaliknya. Evaluasi pengobatan perlu
dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah
penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi
remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan
untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna
menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan
diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat
mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan
hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan
keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan
hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat diprediksi
pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid
bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut :
(1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
(2)Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan
pemberian Obat Anti Tiroid dosis rendah.
(3)Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3
bila terdapat T-3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang
memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah,
kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah
keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang
dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid,
dan mata. (Subekti, 2001)
b) Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol
hidroklorida, sangat bermanfaat untuk mengendalikan
manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti
palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui
blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek
antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun
sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya
terhadap konversi T-4 ke T-3. (Price A.S. & Wilson M.L, 1995)
Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari. Di
samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta
dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan
nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan
nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol.
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik.
Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea,
sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih
jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan
trombositopenia.
Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada
pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas
disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga
dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena
Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat
monoamin oksidase. (Corwin, 2001)
c) Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated
radiographic contrast, potassium perklorat dan litium karbonat,
meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid,
tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan
penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada
keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau
setelah terapi iodium radioaktif. Umumnya obat anti tiroid lebih
bermanfaat pada penderita usia muda dengan ukuran kelenjar
yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan
Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif
murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan
sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama
pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi
setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai
90%. Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain
dosis, lama pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium
dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam makanan
menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk
memantau respons terapi, dimana yang paling bermakna adalah
pemeriksaan kadar FT4 dan TSH. (Subekti, 2001)
2) Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin
Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit
Graves dengan cara kombinasi OAT dan tiroksin eksogen.
Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan bahwa angka
kekambuhan renddah yaitu hanya 1,7 % pada kelompok
penderita yang mendapat terapi kombinasi methimazole dan
tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol
yang hanya mendapatkan terapi methimazole. Protokol
pengobatannya adalah sebagai berikut:
Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari
selama 6 bulan, selanjutnya 10 mg perhari ditambah tiroksin 100
μg perhari selama 1 tahun, dan kemudian hanya diberi tiroksin
saja selama 3 tahun. Kelompok kontrol juga diberi methimazole
dengan dosis dan cara yang sama namun tanpa tiroksin. Kadar
TSH dan kadar TSH-R Ab ternyata lebih rendah pada kelompok
yang mendapat terapi kombinasi dan sebaliknya pada kelompok
kontrol. Hal ini mengisyaratkan bahwa TSH selama pengobatan
dengan OAT akan merangsang pelepasan molekul antigen tiroid
yang bersifat antigenic, yang pada gilirannya akan merangsang
pembentukan antibody terhadap reseptor TSH. Dengan kata lain,
dengan mengistirahatkan kelenjar tiroid melalui pemberian
tiroksin eksogen eksogen (yang menekan produksi TSH), maka
reaksi imun intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu dengan
mengurangi presentasi antigen. Pertimbangan lain untuk
memberikan kombinasi OAT dan tiroksin adalah agar
penyesuaian dosis OAT untuk menghindari hipotiroidisme tidak
perlu dilakukan terlalu sering, terutama bila digunakan OAT
dosis tinggi. (Subekti, 2001)
3) Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada
penderita dengan struma yang besar. Sebelum operasi, penderita
dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT
(biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2 minggu
pre operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5
tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi
vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini
masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak
jaringan tiroid yangn harus diangkat. Tiroidektomi total biasanya
tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati Graves
yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan
tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps.
Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid.
Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan
suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit
Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus
recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi
pada sekitar 1% kasus. (Subekti, 2001)
4) Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal
sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan
mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta
dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local
pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan
lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis
seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis
disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat
tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat
radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat
terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih
lama yaitu setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna
diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat
pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan
pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman , tidak
mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun
teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang
dilahirkan dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium
radioaktif. Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien
wanita hamil atau menyusui. Pada pasien wanita usia produktif,
sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa
yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas,
tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium
radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat,
bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan yodium
radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme
anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali
kambuh dengan OAT. Cara pengobatan ini aman, mudah dan
relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap
yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium
dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1
mikrogram. Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu,
dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama menunggu efek
yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan /
atau OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif
terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis I131 dan beberapa
faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan
yodium dalam makanan sehari-hari. Efek samping yang
menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh
besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat
dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme. (Subekti, 2001)
5) Pengobatan oftalmopati Graves
Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan
oftalmologis dalam menangani oftalmopati Graves. Keluhan
fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata dapat diatasi dengan
larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah
dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah
dengan menghentikan merokok, menghindari cahaya yang sangat
terang dan debu, penggunaan kacamata gelap dan tidur dengan
posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital.
Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat.
Obat-obat yang mempunyai khasiat imunosupresi dapat
digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT
sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi
dan pembedahan rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi
otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata. Yang menjadi
masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien
yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO
atau antibody antireseptor TSH dalam serum dapat membantu
memastikan diagnosis. Pemeriksaan CT scan atau MRI
digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab
kelainan orbita lainnya. (Subekti, 2001)
6) Pengobatan krisis tiroid
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap
hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat
pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3,
pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis),
normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit
dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu. (Subekti, 2001)
7) Penyakit Graves Dengan Kehamilan
Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil
dahulu sampai keadaan hipertiroidisme-nya diobati dengan
adekuat, karena angka kematian janin pada hipertiroidisme yang
tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status
eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid
dengan dosis terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada
kisaran angka normal tinggi atau tepat di atas normal tinggi. PTU
lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil dengan
hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih
sedikit, dan tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan
tiroksin tidak dianjurkan, karena akan memerlukan dosis obat
antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian tiroksin akan
masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme.
Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama
pada trimester ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang -
dengan mekanisme yang belum diketahui- terdapat penurunan
kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin receptor
antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan
dengan demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita
melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid, tetap dapat
menyusui bayinya dengan aman. (Subekti, 2001)
g. Komplikasi
1) Penyakit jantung tiroid (PJT)
Diagnosis PJT ditegakkan bila terdapat tanda-tanda
dekompensasi jantung (sesak, edem dll), hipertiroid dan pada
pemeriksaan EKG maupun fisik didapatkan adanya atrium fibrilasi.
hormon tiroid sangat penting untuk fungsi jantung normal, sehingga
bila tidak cukup hormon tiroid hadir baik jantung maupun pembuluh
darah berfungsi secara normal. Dalam hipotiroidisme otot jantung
melemah di kedua fase kontraksi, dan juga fase relaksasi nya. Ini
berarti bahwa jantung tidak dapat memompa keras sebagaimana
mestinya, dan jumlah darah itu menyemburkan dengan setiap detak
jantung berkurang. Selain itu, karena otot jantung tidak bersantai
biasanya di antara denyut jantung, kondisi yang serius yang disebut
disfungsi diastolik dapat hasil.
2) Krisis Tiroid (Thyroid Storm)
Merupakan suatu keadaan akut berat yang dialami oleh
penderita tiritoksikosis (life-threatening severity). Biasanya dipicu
oleh faktor stress (infeksi berat, operasi dll). Gejala klinik yang khas
adalah hiperpireksia, mengamuk dan tanda tanda-tanda hipertiroid
berat yang terjadi secara tiba-tiba.
3) Periodic paralysis thyrotocsicosis ( PPT)
Terjadinya kelumpuhan secara tiba-tiba pada penderita
hipertiroid dan biasanya hanya bersifat sementara. Dasar terjadinya
komplikasi ini adalah adanya hipokalemi akibat kalium terlalu banyak
masuk kedalam sel otot. Itulah sebabnya keluhan PPT umumnya
terjadi setelah penderita makan (karbohidrat), oleh karena glukosa
akan dimasukkan kedalam selh oleh insulin bersama-sama dengan
kalium (K channel ATP-ase).
4) Komplikasi akibat pengobatan.
Komplikasi ini biasanya akibat overtreatment (hipotiroidisme)
dan akibat efek samping obat (agranulositosi, hepatotoksik).
5) Badai tiroid yang menyebabkan :
a) Demam tinggi
b) Kelemahan dan pengeriputan otot yang luar biasa
c) Kegelisahan
d) Perubahan suasana hati
e) Perubahan kesadaran bahkan sampai terjadi koma
f) Pembesaran hati diserti penyakit kuning ringan
g) Stress yang berakibat pada penyakit-penyakit seperti diabetes,
trauma, infeksi akut, alergi obat yang berat atau infark miokard
h) Struktur anatomi dan histologi
4. Mekanisme pembentukan dan fungsi hormon tiroid
a. Sintesis
Tahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah pompa iodida dari
darah ke dalam sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran basal sel tiroid
memompakan iodida masuk ke dalam sel yang disebut dengan penjeratan
iodida (iodide trapping). Sel-sel tiroid kemudian membentuk dan
mensekresikan tiroglobulin dari asam amino tirosin. Tahap berikutnya
adalah oksidasi ion iodida menjadi I2 oleh enzim peroksidase. Selanjutnya
terjadi iodinasi tirosin menjadi monoiodotirosin, diiodotirosin, dan
kemudian menjadi T4 dan T3 yang diatur oleh enzim iodinase. Kemudian,
hormon tiroid yang telah terbentuk ini disimpan di dalam folikel sel dalam
jumlah yang cukup untuk dua hingga tiga bulan. Setelah hormon tiroid
terbentuk di dalam tiroglobulin, keduanya harus dipecah dahulu dari
tiroglobulin, oleh enzim protease. Kemudian, T4 dan T3 yang bebas ini
dapat berdifusi ke pembuluh kapiler di sekitar sel-sel tiroid. Keduanya
diangkut dengan menggunakan protein plasma. Karena mempunyai
afinitas yang besar terhadap protein plasma, hormon tiroid, khususnya
tiroksin, sangat lambat dilepaskan ke jaringan. Kira-kira tiga perempat dari
tirosin yang teriodinasi dalam tiroglobulin tidak akan pernah menjadi
hormon tiroid, hanya sampai pada tahap monoiodotirosin atau
diiodotirosin. Yodium dalam monoiodotirosin dan diiodotirosin ini
kemudian akan dilepas kembali oleh enzim deiodinase untuk membuat
hormon tiroid tambahan (Guyton and Hall, 2007).
1) Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2) Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar
tiroid merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I
hingga mencapai status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan
enzim peroksidase.
3) Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan
residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula
melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4) Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT
(diiodotirosin) menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian
MIT (monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini
diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
5) Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone)
tetapi dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan
tetap berada dalam sel folikel.
6) Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam
darah. Proses ini dibantu oleh TSH.
7) MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami
deiodinasi, dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase
sangat berperan dalam proses ini.
8) Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma
dan kompleks golgi.
Regulasi hormon tiroid adalah sebagai berikut. Hipotalamus sebagai
master gland mensekresikan TRH (Tyrotropine Releasing Hormone) untuk
mengatur sekresi TSH oleh hipofisis anterior. Kemudian tirotropin atau
TSH (Thyroid Stimulating Hormone) dari hipofisis anterior meningkatkan
sekresi tiroid dengan perantara cAMP. Mekanisme ini mempunyai efek
umpan balik negatif, bila hormon tiroid yang disekresikan berlebih,
sehingga menghambat sekresi TRH maupun TSH. Bila jumlah hormon
tiroid tidak mencukupi, maka terjadi efek yang sebaliknya (Guyton and
Hall, 2007).
Hormon paratiroid menyediakan mekanisme yang kuat untuk
mengatur konsentrasi kalsium dan fosfat ekstrasel melalui pengaturan
reabsorpsi usus, ekskresi ginjal, dan pertukaran ion-ion tersebut antara
cairan ekstrasel dan tulang. Paratiroid hormone (PTH) meningkatkan kadar
kalsium plasma dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat
dari tulang dan usus, dan menurunkan ekskresi kalsium dan meningkatkan
ekskresi fosfat oleh ginjal (Guyton and Hall, 2007).
b. Fungsi dan Efek Hormon Tiroid
Efek yang umum dari hormon tiroid adalah mengaktifkan transkripsi
inti sejumlah besar gen. Oleh karena itu, di semua sel tubuh sejumlah besar
enzim protein, protein struktural, protein transpor, dan zat lainnya akan
disintesis. Hasil akhirnya adalah peningkatan menyeluruh aktivitas
fungsional di seluruh tubuh. Hormon tiroid meningkatkan aktivitas
metabolik selular dengan cara meningkatkan aktivitas dan jumlah sel
mitokondria, serta meningkatkan transpor aktif ion-ion melalui membran
sel. Hormon tiroid juga mempunyai efek yang umum juga spesifik
terhadap pertumbuhan. Efek yang penting dari fungsi ini adalah
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak selama kehidupan
janin dan beberapa tahun pertama kehidupan pascalahir (Guyton and Hall,
2007).
Efek hormon tiroid pada mekanisme tubuh yang spesifik meliputi
peningkatan metabolisme karbohidrat dan lemak, peningkatan kebutuhan
vitamin, meningkatkan laju metabolisme basal, dan menurunkan berat
badan. Sedangkan efek pada sistem kardiovaskular meliputi peningkatan
aliran darah dan curah jantung, peningkatan frekuensi denyut jantung, dan
peningkatan kekuatan jantung. Efek lainnya antara lain peningkatan
pernafasan, peningkatan motilitas saluran cerna, efek merangsang pada
sistem saraf pusat (SSP), peningkatan fungsi otot, dan meningkatkan
kecepatan sekresi sebagian besar kelenjar endokrin lain (Guyton and Hall,
2007).
Secara ringkas dapat ditulis sebagai berikut.
1) Meningkatkan transkripsi gen ketika hormon tiroid (kebanyakan
T3) berikatan dengan reseptornya di inti sel.
2) Meningkatkan jumlah dan aktivitas mitokondria sehingga
pembentukkan ATP (adenosin trifosfat) meningkat.
3) Meningkatkan transfor aktif ion melalui membran sel.
4) Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak, terutama
pada masa janin.
5) Meningkatkan jumlah sel-sel tiroid, disertai dengan dengan
perubahan sel kuboid menjadi sel kolumner dan menimbulkan
banyak lipatan epitel tiroid ke dalam folikel.
c. Pengangkutan Tiroksin dan Triiodotirosin ke Jaringan
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat
lipofilik secara cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang
dari 1% T3 dan kurang dari 0,1% T4 tetap berada dalam bentuk tidak
terikat (bebas). Keadaan ini memang luar biasa mengingat bahwa hanya
hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki akses ke sel
sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek.
Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:
1) TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55%
T4 dan 65% T3 yang ada di dalam darah.
2) Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik,
termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3.
3) TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.
Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun
T3 memiliki aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4.
Namun, sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian dirubah menjadi
T3, atau diaktifkan, melalui proses pengeluaran satu yodium di hati dan
ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang
mengalami proses pengeluaran yodium di jaringan perifer. Dengan
demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di
tingkat sel.
5. Hipotiroid goiter
a. Pengertian
Hipotiroidism merupakan keadaan hipometabolik akibat sekresi
hormon tiroid tidak adekuat. Gejala yang terjadi akibat jumlah hormon
tiroid yang tidak cukup ini, tergantung kepada umur saat terjadinya.
Apabila timbul sejak lahir, maka disebut kretinisme yang
menyebabkan retardasi mental dan fisik. Apabila hipotiroidisme terjadi
pada anak atau dewasa, maka timbul miksedema yang berarti
terdapatnya timbunan mukopolisacharida hidrofilik pada dermis
sehingga wajah tampak kasar serta edem pada kulit (Tjahjono, 2003)
1) Kretinisme
Manifestasi klinik kretinisme tergantung kepada usia. Pada
periode neonatus bayi tampak somnolent, hipotermi, masalah
makan dan minum, suara menangis serak, konstipasi, dan mungkin
terdapat hernia umbilikalis dan ikterus. Pada bulan-bulan
berikutnya timbul retardasi mental dan fisik. Pertumbuhan epifisis
dan skeletal sangat lambat, kepala tampak lebih besar daripada
tubuhnya. Hidung pesek, mata melebar, lidah membesar dan
menonjol diantara bibir. Leher tampak lebih pendek, perut
menonjol, kulit tebal, kasar, kering, rambut sparse. Mental retardasi
yang timbul adalah deaf-mutism (Tjahjono, 2003).
Penyebab retardasi pada bayi adalah agenesis/ disgenesis tiroid,
defek genetik terhadap sintesis hormon tiroid (defek transpor, defek
organifikasi, defek dehalogenase, defek coupling MIT dan DIT,
struma endemik dan kongenital, struma kongenital akibat ibu
meminum obat tiourea, karbimazol atau metimazol), disfungsi
primer hypothalamus-hypofisis yang menimbulkan defisiensi TSH
atau TRH (Tjahjono, 2003).
2) Miksedema
Jenis penyakit hipotiroidism ini terjadi pada masa anak-anak
dan dewasa. Gejala klinik dewasa lebih ringan daripada anak-anak.
Yang perlu diingat adalah kelainan ini primer di tiroid atau
merupakan sekunder. Kadar T3 dan T4 rendah pada kedua kelainan
tersebut, pada kelainan primer kadar TSH meningkat sedangkat jika
terjadi kelainan pada hypothalamus-hypofisis maka kadar TSH
rendah (Tjahjono, 2003).
Etiologi miksedema pada anak dan dewasa adalah:
a) Kelainan-kelainan penyebab kretin yang tidak dapat dikoreksi
secara adekuat dengan terapi replacement.
b) Tahap akhir struma toksik, struma endemik/ sporadik,
tiroiditis kronik.
c) Ablasi tiroid akibat operasi/ radiasi.
d) Destruksi kelenjar tiroid akibat kanker primer atau metastasis.
e) Kegagalan hipofisis atau hipotalamus.
f) Thyroid-hormone binding antibodies.
g) Inhibisi sintesis hormon oleh obat ATD (iodid, tiourea,
perklorat) yang berlebihan (Tjahjono, 2003).
Sedangkan Goiter nontoksik merupakan salah satu gangguan yang
sering dijumpai pada perempuan pada rentang usia antara 20 sampai dengan
60 tahun (Price & Wilson, 2006).
Etiologi goiter nontoksik antara lain adalah defisiensi Iodium atau
gangguan kimia intratiroid yang disebabkan oleh berbagai faktor. Akibat dari
gangguan ini kapasitas kelenjar tiroid untuk mensekresi tiroksin terganggu
sehingga TSH meningkat dan hyperplasia dan hipertrofi folikel-folikel tiroid.
Pembesaran kelenjar tiroid sering bersifat eksaserbasi dan remisi, serta
hipervolusi dan involusi pada bagian-bagian kelenjar tiroid. Hiperplasia
mungkin bergantian dengan fibrosis, dan dapat timbul nodula-nodula yang
mengandung folikel-folikel tiroid. Hal ini juga dapat menyebabkan
pergeseran trachea dan esofagus dan gejala-gejala obstruksi (Price & Wilson,
2006).
Bila terjadi gangguan tiroid berat, goiter dapat disertai dengan
hipotiroidism. Hal ini terjadi karena kurangnya produksi bahan pembetukan
MIT dan DIT sehingga penurunan kadar T3 dan T4 dalam serum. Efeknya,
Hipotalamus akan mempengaruhi hipofisis anterio untuk mensekresi hormon
TSH. Namun, seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa bahan
pembetukan hormon tiroid berkurang maka akan tetap konsentrasi T3 dan T4
akan terus berkurang (Price & Wilson, 2006).
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian tentang hormon tiroid pada beberapa bab sebelumnya, dapat
ditarik simpulan sebagai berikut.
1. Kelainan pada hormon tiroid, baik dalam intake bahan, sintesis, distribusi,
dan reseptor, akan menyebabkan penyakit hipertiroid atau hipotiroid
2. Salah satu jenis penyakit hipertiroid adalah grave’s deaseas. Eksoftalmus
pada salah satu atau kedua mata merupakan ciri khas pada penyakit ini
3. Penyakit ini muncul akibat diproduksinya otoantibodi, TSI, yang
mengganggu fungsi TSH.
4. Penyakit ini muncul pada umur pertengahan baya.
5. Penanganan medicamentosa biasa diberikan dalam jangka waktu lama
6. Tindakan pengangkatan perlu dipertimbangkan jika kondisi tidak membaik
atau ada indikasi kepada keganasan.
DAFTAR PUSTAKA
Bahn RS, Heufelder AE. 1993. Mechanisms of disease: pathogenesis of
Graves’ophthalmopathy. N Engl J Med 329:1468–1475
Corwin. E J, 2001. Patofisiologi Edisi 1. Jakarta : EGC.
Clinic, Mayo.2008. Graves' Disease. Available from, URL :
http://www.mayoclinic.org/graves-disease/
David S. Cooper, M.D. 2010. Graves' Disease; The Johns Hopkins University
School of Medicine.
Dorland,W.A.Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta :
EGC.
Franklyn JA, 2004. The diagnostic and management of hyperthyroidism. N Engl
J Med.330:1731-8.
Guyton, Arthur C dan John E Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi
11. Jakarta: EGC.
Ibu anak, tabloid.2003. Anak Kecil Bisa Kena Tremor?. Available from, URL :
http://cyberwoman.cbn.net.id/cbprtl/common/ptofriend.aspx?
x=Mother+And+Baby&y=Cyberwoman|0|0|5|398.
Mansjoer A, et all, 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3, Jakarta :
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI.
Murray, Robert K et al. 2003. Biokimia Harper, Edisi 25. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC.
Shahab A. 2002. Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme,
Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta.
Sherwood, Lauralee. 2001. Organ Endokrin Perifer. Fisiologi Manusia dari Sel
ke Sistem. Jakarta : EGC.
Subekti, I. 2001. Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment
Pengelolaan Praktis Penyakit Graves, Jakarta: FK UI.
Tjahjono. 2003. Patologi Endokrin. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.