Pariwisata Dalam Perspektif Ontologi

Embed Size (px)

Citation preview

Pariwisata Dalam Perspektif Ontologi, Epistemologi & AksiologiDi dalam pariwisata terdapat tiga syarat dasar yang dikatakan sebagai suatu disiplin ilmu yang sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya bisa diuji dengan menggunakan ketiga aspek tersebut.

1. Aspek Ontologi (objek atau fokus yang dikaji)

Ilmu pariwisata harus mampu menyediakan informasi ilmiah yang lengkap tentang hakikat pelancongan, gejala pariwisata, wisatawannya sendiri, prasarana dan sarana pariwisata, objek objek yang dikunjungi, sistem dan organisasi, dan kegiatan bisnisnya serta semua komponen pendukung di daerah asal wisatawan maupun di daerah destinasi wisata. Ilmu pariwisata juga harus dibangun berdasarkan suatu penjelasan yang mendalam, tidak terburu buru dan perlu dibuatkan taksonominya. Setiap ilmu memiliki objek material dan objek formal. Objek material adalah seluruh lingkup (makro) yang dikaji suatu ilmu. Objek formal adalah bagian tertentu dari objek material yang menjadi perhatian khusus dalam kajian ilmu tersebut. Secara asumtif dapat dikatakan bahwa objek formal kajian (aspek ontologi) ilmu pariwisata adalah masyarakat. Oleh sebab itu, pariwisata dapat diposisikan sebagai salah satu cabang ilmu sosial karena focus of interest-nya adalah kehidupan masyarakat manusia. Dengan demikian fenomena pariwisata dapat difokuskan pada tiga unsur yakni: pergerakan wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitasi pergerakan wisatawan dan implikasi atau akibat-akibat pergerakan wisatawan dan aktivitas masyarakat yang memfasilitasinya terhadap kehidupan masyarakat secara luas.

2. Aspek Epistemologi (metodologi untuk memperoleh pengetahuan)

Aspek epistemologi pariwisata menunjukkan pada cara-cara memperoleh kebenaran atas objek ilmu. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran ilmiah, yakni didasarkan pada suatu logika berpikir yang rasional, objektif, dan dapat diuji secara empirik. Sebagai contoh, pergerakan wisatawan sebagai salah satu objek formal ilmu pariwisata dipelajari dengan menggunakan suatu metode berpikir rasional. Misalnya, pergerakan wisatawan terjadi akibat adanya interaksi antara ketersediaan sumberdaya (waktu luang, uang, infrastuktur) dengan kebutuhan mereka untuk menikmati perbedaan dengan lingkungan sehari-hari. Pergerakan wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitasinya maupun implikasi kedua-duanya terhadap kehidupan masyarakat secara luas merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan atau saling mempengaruhi. Setiap pergerakan wisatawan selalu diikuti dengan penyediaan fasilitas wisata dan interaksi keduanya akan menimbulkan konsekuensi-konsenkuensi logis dibidang ekonomi, sosial, budaya, ekologi bahkan politik.

3. Aspek Aksiologi (nilai manfaat pengetahuan)

Aksiologi merupakan aspek ilmu yang sangat penting. Perjalanan dan pergerakan wisatawan adalah salah satu bentuk kegiatan dasar manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang beragam baik dalam bentuk pengalaman, pencerahan, penyegaran fisik dan psikis maupun dalam bentuk aktualisasi diri. Masalah yang mungkin muncul dari pergerakan itu adalah bahwa penyediaan media yang lebih tepat dan sesuai dengan kebutuhan wisatawan akan terbatas. Akibatnya muncul persoalan baru pada penurunan derajat kepuasan wisata dan penurunan mutu jasa yang ditawarkan. Untuk mengatasi persoalan pariwisata sebagai ilmu akan terus mencoba menemukan cara-cara yang lebih tepat dan memberikan dampak positif bagi pemenuhan kesejahteraan manusia.

Perbandingan Agama Dalam KonteksHubungan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

A. ONTOLOGI

Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani, yaitu : Ontos : being, dan Logos. Logic Jadi ontology adalah the theory of being qua being ( teori tentang keberadaan sebagai keberadaan ). Atau bisa juga ilmu tentang yang ada.Secara istilah ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada yang merupakan realiti baik berbentuk jasmani atau kongkrit maupun rohani atau abstrak.Istilah ontologi pertama kali diperkenalkan oleh rudolf Goclenius pada tahun 1936 M, untuk menamai hakekak yang ada bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolf (1679-1754) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan khusus.

Metafisika umum adalah istilah lain dari ontologi. Dengan demikian, metafiska atau otologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan metafisika khusus masih terbagi menjadi Kosmologi, Psikologi dan Teologi.Didalam pemahaman Ontologi terdapat beberapa pandangan-pandangan pokok pemikiran, diantaranya :

1. Monoisme, : Paham ini menganggap bahwa hakikat yang berasal dari kenyataan adalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik berupa materi maupun rohani. Paham ini terbagi menjadi dua aliran :

a. Materialisme, Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering disebut naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta yang hanyalah materi, sedangkan jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendirib. Idealisme, Sebagai lawan dari materialisme yang dinamakan spriritualismee. Dealisme berasal dari kata Ideal yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atu sejenis denganntya, yaitu sesuatu yang tidak terbentuk dan menempati ruag. Materi atau zat ini hanyalah suatu jenis dari penjelamaan ruhani2. Dualisme, Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari benda, sama-sama hakikat, kedua macam hakikat tersebut masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi, hubungan keduanya menciptakan kehidupan di alam ini. Tokoh paham ini adalah Descater (1596-1650 SM) yang dianggap sebagai bapak Filosofi modern)3. Pluralisme, paham ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme tertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata, tokoh aliran ini pada masa Yunani kuno adalah Anaxagoras dan Empedcoles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api dan udara4. Nihilisme, berasal dari bahasa Yunani yang berati nothing atau tidak ada. Istilah Nihilisme dikenal oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Fadhers an Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Doktrin tentang Nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno, yaitu pada pandangan Grogias (483-360 SM) yang memberikan tiga proporsi tentang realitasPertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak adaKedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui, ini disebabkan oleh penginderaan itu tidak dapat dipercaya, penginderaan itu sumber ilusiKetiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain

5. Agnotitisme, Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat ruhani, kata agnosticisme barasal dari bahasa Grick. Ignotos yang berarti Unknow artinya not, Gno artinya Know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara kongkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat dikenal.

Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:

1. kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.

Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.

Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirismeIstilah istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah:

yang-ada (being) kenyataan/realitas (reality)

eksistensi (existence)

esensi (essence)

substansi (substance)

perubahan (change) tunggal (one)

jamak (many)

Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).B. EPISTEMOLOGI

Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan misteri pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya.Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal iini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan jalan pembuka bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang terkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.

epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi, pertanyaan pokoknya adalah apa yang dapat saya ketahui? Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).

Menurut Musa Asyarie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan, P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.

Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang cukup membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat pengetahuan, sedangkan pengertian kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli dari pengetahuan, sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga menghasilkan pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya melahirkan dua aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan idealisme.

Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada kedua pengertian tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan. Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami.

Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.

Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.

Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan

a. Empirisme

Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.

Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.

b. Rasionalisme

Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.

c. Fenomenalisme

Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).

Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.d. Intusionisme

Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.

Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisis. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.

e. Dialektis

Yaitu tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melekukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.

C. AKSIOLOGI

Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.

Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian :

1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan3. Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social politik.

Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation :

1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.

3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.

Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utamaadalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.Terdapat dua kategori dasar aksiologi :

1. Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai.

2. Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan).

Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :

1. Teori nilai intuitif

2. Teori nilai rasional

3. Teori nilai alamiah

4. Teori nilai emotif

Teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subyektivis.

1. Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value)

Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolute itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antar obyek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.

2. Teori nilai rasional (The rational theory of value)

Bagi mereka janganlah percaya padanilai yang bersifat obyektif dan murni independent dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan suatu yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanyaorang jahat atu yang lalai ynag melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar atau peran tuhan nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.

3. Teori nilai alamiah (The naturalistic theory of value)

Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan , dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolute tetapi bersifat relative. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi manusia.4. Teori nilai emotif (The emotive theory of value)

Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan factual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia.D. HUBUNGAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI DALAM KONTEKS PERBANDINGAN AGAMA

Dalam era globalisasi, kesadaran akan identitas pribadi maupun persekutuan semakin menonjol. Pernyataan ini agaknya memiliki evidensi yang kuat, terutama kalau kita mencermati hubungan dan peran agama-agama dewasa ini yang semakin bergairah membangun kembali institusinya dalam memberikan pemenuhan terhadap kebutuhan tersebut. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan untuk mengaktualisasikan identitas individu atau kelompok di tengah kemajemukan masyarakat, setiap agama memiliki ekspresi simbolik yang berbeda-beda, sehingga juga akan melahirkan komunitas keagamaan yang berbeda pula.Keragaman dalam memahami dan mengaktualisasikan identitas itulah yang akan melahirkan dan membentuk pluralisme. Kesadaran akan pluralisme ini merupakan salah satu paradoks yang menonjol dalam proses globalisasi ; sebab ketika dunia semakin menyatu, semakin majemuk pula benuk-bentuk ekspresinya. Dengan kata lain, kemajemukan menuntut untuk diakui dan diberi tempat dalam kehidupan bermasyarakat. Dikatakan demikian, karena bagaimanapun pluralisme atau kemajemukan merupakan kenyataan sosiologis yang tidak dapat dihindari. Islam merupakan bagian dari sunnatullah, sebagai kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan.

Semetara itu, sikap Islam terhadap pluralisme sangat jelas. Islam tidak menolak adanya pluralisme, bahkan Islam memberikan kerangka yang bersifat etis dan positif. Islam dimaksud tercermin dalam beberapa ayat al-Quran yang secara eksplisit mengakui kenyataan tersebut.

Sejalan dengan pluralisme atau kemejemukan di atas, salah satu pemikiran keagamaan yang akhir-akhir ini memunculkan antusiasme adalah relativisme, termasuk di dalamnya yang sedang menjadi mode, yaitu post modernisme. Fenomena ini sering dianggap sebagai moment sejarah untuk memberikan pemaknaan kembali secara epistemologis terhadap kebenaran-kebenaran yang dihasilkan pada masa lampau untuk kemudian dikembangkan sikap dialogis dan kritis terhadap kebenaran-kebenaran itu. Karena bagiamanapun, kebenaran-kebenaran pemikiran keagamaan yang dihasilkan oleh kaum terdahulu itu selalu terkait dengan tiga hal, yaitu kepentingan ideologis, interpretasi filosofis ilmiah dan moralitas dari suatu tradisi yang turun temurun.

Nampaknya fenomena pluralisme dan relativisme ini mencoba untuk menempatkan setiap pemikiran yang ada pada posisi relative (nisbi). Karena realitas manusia yang ada padanya secara epistemologis berlaku hukum-hukum eksistensial sebagai makhluq lainnya, adalah terbatas. Sebagai makhluq bersifat nisbi itulah, pengertian dan pengetahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau dan menangkap agama sebagai dokrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sebenar-benarnya pemikiran seseorang pada akhirnya ia akan berhenti di ruang zhanny (relatif, nisbi dan terbatas). Begitu juga dalam pemikiran seseorang tentang pendidikan, khususnya pendidikan Islam yang pada saat ini memerlukan suatu pemikiran cerdas agar mampu bertahan di tengah era globalisasi.

Setiap pemikiran akan berhubungan dengan dua hal, yaitu : 1) didasarkan pada pandangan dunia (welstanchaung atau world view) tertentu, 2) berkembang pada latar belakang kesejarahan yang konkrit. Pandangan dunia adalah suatu cara yang umum dan universal tentang keseluruhan alam. Sedangkan latar kesejarahan merupakan suatu fase kehidupan dalam ruang dan waktu yang terbatas. Pendangan dunia memberikan landasan kepada suatu pemikrian, berupa prinsip-prinsip tentang alam yang kukuh nan abadi, serta yang umum dan menyeluruh. Sedangkan latar kesejarahan memberikan kesempatan kepada suatu pemikiran untuk membuktikan diri. Maka antara pemikiran dan pandangan dunia terjadi hubungan pembenaran, sedangkan antara pemikrian dan latar kesejaran terjadi hubungan pengujian, di mana selanjutnya memunculkan suatu umpan balik (feed back)yang memberikan kemungkinan bagi pemikiran untuk berubah.Padangan dunia (welstanchaung atau world view) Islam bersifat humanis teosentris. Konsep ini mengandung arti bahwa alam semeta berpusat pada Tuhan, di mana alam tunduk kepada-Nya dan manusia tidak memiliki tujuan hidup lain kecuali menyembah kepada-Nya. Hal ini menjadi indikasi konsep kehidupan yang teosentris. Tapi, kemudian ternyata bahwa sistem tauhid ini mempunyai arus balik kepada manusia. Maka di dalam Islam konsep teosentrisme ternyata bersifat humanistik berbeda dengan agama yang lain. Artinya, di dalam Islam manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Jadi humanisme teosentris inilah yang merupakan nilai-nilai (core value) dari seluruh ajaran Islam .

E. PENUTUP

Di dalam pengertian filsafat pluralisme berarti : a theory or sytem that recognize more than one ultimate principle (Concise Oxford Dictionary) yang artinya suatu teori atau sistem yang mengakui bahwa terdapat lebih dari satu prinsip dasar. Ini menandakan dalam perbedaan prinsip dasar itu ada satu kesamaan yang paling mendasar. Sehingga ada keharusan untuk bersama walaupun ada perbedaan.Di samping konstruksi di atas, masih ada hal lain yang perlu diperhatikan yaitu, dimensi spritual yang dimiliki oleh agama yang terefleksikan dalam bentuk nilai-nilai moral kategorikal yang mengikat semua orang baik yang seagama maupun di luarnya, misalnya persamaan hak, kebebasan, kasih sayang, saling membantu dalam kebaikan, menghormati martabat orang lain.

Dengan demikian konstruksi teologi dalam wilayah ini harus ditekankan, sehingga hasilnya nanti tidak terjadi truth claim dalam wilayah eksoteris praktis-empiris dalam dataran sosial politik. Truth claim hanya boleh terjadi dalam wilayah-wilayah esoteris-dogmatis yang jangan sampai mengganggu pada hubungan antara individu atau kelompok lain yang tidak segaris pemikiran. Jadi ketika manusia berhubungan dengan orang lain yang harus dikedepankan adalah nilai-nilai moral yang kategorikal tadi agar tak terjadi kekacauan dalam hidup ini.

F. DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai PustakaIsmail SM dkk, 2000, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi, Mizan, BandungMurtadha Muthahhari, 1989, Pandangan Dunia Tauhid, (terj. Agus Effendi), Yayasan Mutahhari, Yogyakarta

Poedjawijatna. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta : Rineka Cipta.

S. Suriasumantri, Jujun. 1996. Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer. Jakarta :

Pustaka Sinar Harapan

Syamsul Arifin dan Ahmad Barizi, 2001, Paradigama Pendidikan Berbasis

Pluralisme dan Demokrasi : Rekonstruksi dan Aktualisasi Tradisi Ikhtilaf dalam

Islam, UMM Press, Malanghttp://id.wikipedia.org/wiki/Ontologi