30
2 1. Parasimpatomimetik atau kolinergik. Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf parasimpatis. 2. Simpatomimetik atau adrenergik yang efeknya menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatis. 3. Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis. 4. Simpatolitik atau penghambat adrenergik menghambat timbulnya efek akibat aktivitas saraf simpatis. 5. Obat ganglion merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007). Kolinergik Obat kolinergik disebut juga parasimpatomimetik, berarti obat yang bekerja serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf, yang secara anatomis termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah obat kolinergik lebih tepat digunakan. Ada berbagai reseptor kolinergik, yakni reseptor nikotinik dan reseptor muskarinik dan berbagai subtipenya. Reseptor nikotinik yang terdapat di ganglia

Parasimpatomimetik atau kolinergik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

a

Citation preview

2

1. Parasimpatomimetik atau kolinergik. Efek obat golongan ini menyerupai efek

yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf parasimpatis.

2. Simpatomimetik atau adrenergik yang efeknya menyerupai efek yang

ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatis.

3. Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik menghambat timbulnya efek

akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis.

4. Simpatolitik atau penghambat adrenergik menghambat timbulnya efek akibat

aktivitas saraf simpatis.

5. Obat ganglion merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 2007).

Kolinergik

Obat kolinergik disebut juga parasimpatomimetik, berarti obat yang

bekerja serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf, yang

secara anatomis termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka

istilah obat kolinergik lebih tepat digunakan.

Ada berbagai reseptor kolinergik, yakni reseptor nikotinik dan reseptor

muskarinik dan berbagai subtipenya. Reseptor nikotinik yang terdapat di ganglia

otonom, adrenal medulla dan SSP disebut reseptor nikotinik neuronal (NN),

sedangkan reseptor nikotinik yang terdapat di sambungan saraf-otot disebut

reseptor nikotinik otot (NM). Reseptor muskarinik ada 5 subtipe, yakni M1 di

ganglia dan berbagai kelenjar, M2 di jantung dan M3 di otot polos dan kelenjar.

Reseptor M1 dan M3 menstimulasi fosfolipase C melalui protein G yang belum

dikenal, dan menyebabkan peningkatan kadar Ca++ intrasel sehingga terjadi

kontraksi otot polos dan sekresi kelenjar serta late EPSP pada ganglia. Reseptor

M4 mirip M2, sedangkan M5 mirip M1 (Departemen Farmakologi dan Terapeutik

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).

Obat yang bekerja pada transmisi kolinergik, yang banyak digunakan di

klinik umumnya bekerja: (1) mempengaruhi sintesis dan penglepasan asetilkolin,

(2) menduduki reseptor muskarinik atau nikotinik, atau (3) mempengaruhi enzim

3

penghancur asetilkolin. Obat yang menduduki reseptor muskarinik dan dapat

menimbulkan efek yang mirip dengan efek transmitter disebut agonis muskarinik.

Agonis muskarinik dibedakan atas 3 golongan, yaitu:

1. Asetilkolin (ACh)

Ester kolin dengan asam asetat ini merupakan neurotransmitter di berbagai

sinaps dan akhiran saraf sistem saraf simpatis, parasimpatis, dan somatik.

Asetilkolin hanya bermanfaat dalam penelitian dan tidak berguna secara

klinis karena efeknya sangat luas di berbagai organ. Selain itu, kerjanya

terlalu singkat karena segera dihancurkan oleh asetilkolinesterase atau

butirilkolinesterase. ACh pun tidak dapat diberikan per oral, karena

dihidrolisis oleh asam lambung.

2. Ester kolin lainnya

Penambahan gugus metal pada ACh menghasilkan metakolin yang

afinitasnya terhadap asetilkolinesterase jauh lebih rendah sehingga masa

kerjanya lebih panjang. Metakolin juga memperlihatkan selektivitas pada

sistem kardiovaskular. Sementara itu, karbakol dan betanekol yang

merupakan ester kolin dengan karbamat sama sekali bukan substrat

asetilkolinesterase sehingga waktu paruhnya cukup panjang untuk mencapai

jaringan yang perfusinya buruk seperti saluran cerna dan saluran kemih.

3. Alkaloid kolinergik

Dalam golongan ini dikenal 3 alkaloid yaitu muskarin yang berasal dari jamur

Amanita muscaria, pilokarpin yang berasal dari tanaman Pilocarpus

jaborandi dan Pilocarpus microphyllus, dan arekolin yang berasal dari Areca

catechu (pinang) (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).

Antikolinergik

Obat antikolinergik disebut juga parasimpatolitik, berarti obat yang

bekerja menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis.

Antimuskarinik merupakan antikolinergik yang bekerja di alat yang dipersarafi

serabut pascaganglion kolinergik. Antimuskarinik memperlihatkan efek sentral

4

terhadap susunan saraf pusat, yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi

pada dosis toksik. Penghambat reseptor muskarinik atau antimuskarinik

dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu: (1) alkaloid antimuskarinik, atropin dan

skopolamin; (2) derivat semisintesisnya; dan (3) derivat sintesis (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).

Efek samping antikolinergik bisa dipisahkan ke dalam 2 tipe, yaitu efek

samping pada sistem saraf pusat dan periferal. Dokter perlu menyesuaikan

kemungkinan efek samping ini agar secara efektif dapat mengobati pasien. Potensi

komplikasi medis dari efek samping antikolinergik adalah cukup besar dan rentan

pada pasien yang usianya lebih tua atau pasien yang punya gejala seperti asma.

Pada efek samping periferal lebih terlihat secara fisik, oleh karena itu lebih mudah

untuk didiagnosa. Gejala khas termasuk kering mulut, sembelit, retensi urin,

penghalang usus besar, membesarnya pupil, pandangan menjadi kabur,

meningkatnya detak jantung, dan berkurangnya jumlah keringat. Ketika efek

samping tidak terlihat serius, dokter perlu waspada karena efek samping ini bisa

menyebabkan komplikasi medis. Pada efek samping sistem saraf pusat, cacat

dalam fungsi kognitif dapat menyebabkan kelainan schizophrenia. Efek samping

lainnya pada otak dan termasuk kelainan konsentrasi cairan pada otak, konfusi,

kelainan dalam proses mengingat (Lieberman, 2004).

Obat dengan aktifitas antikolinergik dapat memproduksi respon antagonis

yang signifikan ketika dibuat kombinasi. Obat seperti atropin dan skopolamin

menghambat reseptor asetilkolin muskarin dan dapat memproduksi pada efek

periferal dan pusat. Pemberian secara bersamaan dari obat dengan aktivitas

antikolinergik dapat memperluas gejala, terutama rentan pada pasien usia tua

dimana usia mempengaruhi penurunan asetilkolin endogen (Horn & Hansten,

2005).

Atropin

Atropin (campuran d- dan l-hiosiamin) terutama ditemukan pada Atropa

belladona dan Datura stramonium.

5

Atropin dapat menimbulkan beberapa efek, misalnya pada susunan syaraf

pusat, merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak, menghilangkan

tremor, perangsang respirasi akibat dilatasi bronkus, pada dosis yang besar

menyebabkan depresi nafas, eksitasi, halusinasi dan lebih lanjut dapat

menimbulkan depresi dan paralisa medulla oblongata. Efek atropin pada mata

menyebabkan midriasis dan siklopegia. Pada saluran nafas, atropin dapat

mengurangi sekresi hidung, mulut dan bronkus. Efek atropin pada sistem

kardiovaskuler (jantung) bersifat bifasik yaitu atropin tidak mempengaruhi

pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung dan menghambat

vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan, atropin sebagai

antispasmodik yaitu menghambat peristaltik usus dan lambung, sedangkan pada

otot polos atropin mendilatasi pada saluran perkencingan sehingga menyebabkan

retensi urin (Ganiswara, 2001).

Farmakodinamik

Hambatan oleh atropin bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan

pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase.

Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh

lebih kuat terhadap yang eksogen. Kepekaan reseptor muskarinik terhadap

antimuskarinik berbeda antarorgan. Pada dosis kecil (sekitar 0,25 mg) misalnya,

atropin hanya menekan sekresi air liur, mukus bronkus dan keringat, belum jelas

mempengaruhi jantung. Pada dosis yang lebih besar (0,5-1,0 mg) baru terlihat

dilatasi pupil, gangguan akomodasi , dan penghambatan N-vagus sehingga terlihat

takikardia. Diperlukan dosis yang lebih besar lagi untuk menghambat peristaltik

usus dan sekresi kelenjar di lambung. Penghambatan pada reseptor muskarinik ini

mirip denervasi serabut pascaganglion kolinergik dan pada keadaan ini biasanya

efek adrenergik menjadi lebih nyata.

- Susunan saraf Pusat

Atropin pada dosis kecil memperlihatkan efek merangsang di susunan saraf

pusat dan pada dosis toksik memperlihatkan efek depresi setelah melampaui

fase eksitasi yang berlebihan. Atropine merangsang medulla oblongata dan

pusat lain di otak.

6

- Sistem Kardiovaskular

Pengaruh atropine terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan dosis 0,25-0,5

mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung berkurang, mungkin disebabkan

oleh perangsangan pusat vagus.

- Mata

Alkaloid belladonna menghambat M. contrictor papillae dan M. ciliaris lensa

mata, sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme

akomodasi). Midriasis menyebabkan fotofobia, sedangkan siklopegia

menyebabkan hilangnya kemampuan melihat jarak dekat.

- Saluran napas

Tonus bronkus sangat dipengaruhi oleh system parasimpatis melalui reseptor

M3 demikian juga sekresi kelenjar submukosanya. Alkaloid belladonna

mengurangi secret hidung, mulut, faring, dan bronkus.

- Saluran cerna

Karena bersifat menghambat peristaltis lambung dan usus, atropine juga

disebut sebagai antispasmodik. Penghambatan terhadap asetilkolin eksogen

( atau esterkolin) terjadi lengkap, tetapi terhadap asetilkolin endogen hanya

terjadi parsial. Atropine menyebabkan berkurangnya sekresi liur dan sebagian

juga sekresi lambung.

- Otot Polos Lain

Saluran kemih dipengaruhi oleh atropine dalam dosis agak besar (kira-kira 5

mg). Pada pielogram akan terlihat dilatasi kaliks, pelvis, ureter, dan kandung

kemih. Hal ini dapat mengakibatkan retensi urin.

- Kelenjar Eksokrin

Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropine ialah kelenjar

liur dalam mulut serta bronkus.

Farmakokinetik

Alkaloid belladona mudah diserap di semua tempat, kecuali di kulit. Dari

sirkulasi darah, atropin cepat memasuki jaringan dan separuhnya mengalami

hidrolisis enzimatik di hepar. Sebagian di ekskresi melalui ginjal dalam bentuk

asal. Waktu paruh atropin sekitar 4 jam.

7

Indikasi dan Kontraindikasi

- Saluran cerna

Antikolinergik digunakan untuk menghambat motilitas lambung dan usus.

Terutama dipakai pada ulkus peptikum dan sebagai pengobatan simptomatik

pada berbagai keadaan misalnya disentri, colitis, diverticulitis, dan kolik

karena obat atau sebab lain. Dalam pengobatan ulkus peptikum, atropin atau

antikolinergik lain dalam dosis yang biasa digunakan tidak cukup untuk

menghambat sekresi asam lambung.

- Saluran Napas

Antikolinergik berguna untuk mengurangi sekresi lendir hidung dan saluran

napas misalnya pada rhinitis akut, koriza dan hay fever, tetapi terapi ini tidak

memeperpendek masa sakit.

- Oftalmologi

Semua pasien yang diberi antimuskarinik sebagai obat tetes mata harus

diperiksa dahulu untuk menyingkirkan adanya glaucoma, karena penyakit ini

merupakan kontraindikasi utama antikolinergik. Peninggian intraokuler terus-

menerus dapat menyebabkan kebutaan.

- Indikasi Lain

Medika praanestesia. Atropine berguna untuk mengurangi sekresi lendir jalan

napas pada anesthesia, terutama anesthesia inhalasi dengan gas yang

merangsang. Kelenjar yang sekresinya dihambat secara baik oleh

antikolinergik ialah kelenjar dan kelenjar ludah.

Efek Samping

Efek samping antimuskarinik hampir semua efek farmakodinamiknya.

Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan miksi, meteorisme sering

terjadi, tetapi tidak membahayakan. Pada orang tua dapat terjadi efek sentral

terutama berupa sindrom demensia. Memburuknya retensi urin pada pasien

hipertrofi prostat dan memburuknya penglihatan pada pasien glaucoma,

menyebabkan obat ini kurang diterima. Efek samping sentral kurang pada

pemberian antimuskarinik yang tergolong ammonium kuarterner. Walaupun

8

demikian, selektivitas hanya berlaku pada dosis rendah dan pada dosis toksik

semuanya dapat terjadi.

Muka merah setelah pemberian atropine bukan reaksi alergi melainkan

akibat kompensasi pembuluh darah di wajah. Alergi terhadap atropine jarang

ditemukan (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 2007).

Fenobarbital

Fenobarbital asam 5,5-fenil-etil barbiturat merupakan senyawa organik

pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi

penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital

masih merupakan obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif, murah. Dosis

efektifnya relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal ini dianggap sebagai efek

samping, dapat diatasi dengan pemberian stimulan sentral tanpa mengurangi efek

antikonvulsinya (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 2007).

Morfologi Fenobarbital

Fenobarbital mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0%

C12H12N2O3 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur; putih tidak berbau; ras agak pahit.

Kelarutan : sangat sukar larut dalam air; larut dalam etanol (95%) P, dalam

eter P, dalam larutan alkali hidroksida dan dalam larutan alkali karbonat.

Khasiat penggunaan : Hipnotikum, sedativum.

Dosis maksimum : sekali 300 mg, sehari 600 mg (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 1979).

Fenobarbital merupakan obat anti konvulsi yang paling luas digunakan

karena mempunyai keamanan yang tinggi. Efek sampingnya berupa sedasi sering

menghambat aktivitas kerja setelah konvulsi hilang. Berdasar hal tersebut,

digunakan Adrenalin yang mempunyai sifat analeptik untuk mengurangi efek

hipnotik Fenobarbital tanpa mengurangi efek anti konvulsinya (Ellyas dkk, 2009).

9

Cara Pemberian Obat

Absorpsi dari zat obat merupakan factor yang sangat penting dalam

memilih cara pemberian obat yang tepat.

Cara oral

Obat paling sering digunakan dengan pemberian oral. Walaupun beberapa

obat yang digunakan secara oral dimaksudkan larut dalam mulut, sebagian besar

dari obat yang digunakan secara oral adalah ditelan. Dari semua ini sebagian besar

dimaksudkan untuk efek sistemik dari obat, yang dihasilkan setelah terjadi

absorpsi pada berbagai permukaan sepanjang saluran cerna. Beberapa obat ditelan

untuk kerja lokal pada daerah yang terbatas dalam saluran cerna, yang

dimungkinkan karena tidak larut dan atau daya absorpsi yang tidak baik melalui

cara ini.

Dibandingkan dengan cara lainnya, cara oral dianggap paling alami, tidak

sulit, menyenangkan dan aman dalam hal pemberian obat. Hal-hal yang tidak

menguntungkan pada pemberian secara oral termasuk respons obat yang lambat

(bila dibandingkan dengan obat-obat yang diberikan secara perenteral);

kemungkinan absorbsi obat yang tidak teratur, yang tergantung pada faktor-faktor

seperti perbaikan yang mendasar, jumlah atau jenis makanan dalam saluran cerna;

dan perusakan beberapa obat oleh reaksi dari lambung atau oleh enzim-enzim dari

saluran cerna.

Obat-obat diberikan secara oral dalam bentuk sediaan farmasi yang

beragam, masing-masing dengan keuntungan terapeutik yang mengakibatkan

penggunaannya yang selektif oleh dokter. Bentuk yang paling populer adalah

tablet, kapsul, suspensi dan berbagai larutan sediaan farmasi (Ansel, 1989).

Cara Parenteral

Obat yang diberikan dengan cara parenteral adalah sesuatu yang

disuntikkan melalui lubang jarum yang runcing ke dalam tubuh pada berbagai

tempat dan dengan bermacam-macam kedalaman. Tiga cara utama dari pemberian

parenteral adalah subkutan, intramuskular (IM) dan intravena (IV) walaupun ada

yang lain seperti intrakardiak dan intraspinal.

10

Obat-obat yang rusak atau diinaktifkan dalam sistem saluran cerna atau

tidak diabsorbsi dengan baik untuk memberikan respons memuaskan, dapat

diberikan secara parenteral. Cara perenteral juga disukai bila dibutuhkan absorbs

yang segera, seperti pada keadaan darurat. Satu hal yang merugikan dari

pemberian parenteral adalah bahwa sekali obat yang sudah disuntikkan, tidak bisa

ditarik lagi. Secara farmasi, preparat-preparat yang dapat disuntikkan biasanya

berupa suspensi atau larutan steril dari suatu zat obat dalam air atau dalam minyak

nabati yang sesuai.

Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau

serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan,

yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit

atau selaput lendir. Injeksi diracik dengan melarutkan, mengemulsikan atau

mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan

sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau dosis ganda (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 1979).

- Injeksi subkutan

Pemberian subkutan (hipodermik) dari obat-obat meliputi injeksi melalui

lapisan kulit ke dalam jaringan longgar di bawah kulit. Biasanya, injeksi

subkutan dibuat dalam bentuk larutan dalam air atau sebagai suspensi dan

relatif diberikan dalam volume yang kecil yaitu 2 mL atau kurang.

- Injeksi intramuskular

Injeksi intramuskular diberikan jauh ke dalam otot rangka, umumnya pada

otot pinggul atau pinggang. Tempat penyuntikan dipilih yang bahaya

pengrusakan terhadap saraf atau pembuluh darahnya kecil. Obat-obat yang

memedihkan jaringan di bawah kulit seringkali diberikan secara

intramuskular. Juga jumlah volume yang lebih besar (2 sampai 5 mL)

seringkali diberikan intramuskular daripada subkutan.

- Injeksi intravena

Dalam pemberian obat secara intravena, larutan air disuntikkan ke dalam

vena dengan kecepatan yang sepadan dengan efisiensi, keselamatan,

menyenangkan bagi pasien dan lamanya reaksi obat yang diinginkan.

11

- Injeksi intradermal

Obat suntik ini diberikan ke dalam korium dari kulit, yang biasanya dalam

jumlah sekitar sepersepuluh milliliter. Tempat yang lazim untuk

penyuntikkan adalah lengan dan punggung. Penyuntikan seringkali dilakukan

sebagai pengukuran diagnostik seperti pada tuberkulin dan tes alergi (Ansel,

1989).

IV. ALAT DAN BAHAN1. Hewan percobaan :

Mencit jantan

2. Bahan obat :

- Fenobarbital

- Atropin

- Pilokarpin

3. Alat :

Papan berukuran 40 x 30 cm yang diletakan di atas papan lain dengan

ukuran yang sama. Papan pertama membuat sudut 10o dengan papan

kedua, sehingga membentuk segitiga. Papan bagian atas diberi alas 4 cm.

Setelah itu kertas saring ditaburi bubur biru metilen sebagai lapisan tipis.

V. PROSEDURAlat – alat untuk percobaan dipersiapkan. Kemudian, hewan percobaan

dipilih secara acak, ditimbang dan diberi tanda pengenal. Pada waktu T=0 mencit

pertama diberi atropin p.o. segera setelah pemberian fenobarbital i.p. Sedangkan

mencit kedua dan ketiga hanya diberi fenobarbital. Pada T=15 menit, mencit

kedua diberi atropin s.c. Dan pada T=45 menit, semua mencit diberi pilokarpin

s.c. Lalu, masing – masing mencit diletakkan di atas kertas saring (1 mencit 1

kotak). Penempatan mencit dilakukan sedemikian sehingga mulutnya berada tepet

di atas kertas sarimg. Setiap 5 menit mencit ditarik ke kotak berikutnya dan

diulangi hal yang sama selama 25 menit. Besarnya noda yang terbentuk di kertas

saring diamati dan ditandai. Diameter noda diukur dan dihitung persentase

12

inhibisi yang diberikan oleh atropin. Data hasil perhitungan dimasukkan ke dalam

tabel dan dibuat grafik inhibisi per satuan waktu.

VI. HASIL PENGAMATAN

DATA PENGAMATAN

MENCIT BOBOTVOLUME PEMBERIAN

Fenobarbital i.p. Atropin p.o. Atropin s.c. Pilokarpin s.c.

1 24,8 0,62 0,62 - 0,62

2 24,5 0,6125 - 0,6125 0,6125

3 26,7 0,6675 - - 0,6675

BB (konversi) = 20 mg

Volume maksimal = 0,5 mL

Volume obat yang diberi :

Mencit IV= berat

BB (kon )xvol=24 ,8

20x 0,5 mL=0 , 62mL

I IIIII

13

Mencit IIV= berat

BB(kon )xvol=24 ,5

20x 0,5 mL=0 ,6125 mL

Mencit IIIV= berat

BB(kon )xvol=26 , 7

20x 0,5 mL=0 ,6675 mL

Perlakuan Mencit Diameter Saliva (cm)

5’ 10’ 15’ 20’ 25’ Jumlah

Atropinp.o.

1 - - - - -2 - - - - -3 - - - - -4 - - - - -

Jumlah - - - - - -Rata2 - - - - - -

Atropins.c.

1 - - - - -2 - - - - -3 - - - - -4 - - - - -

Jumlah - - - - - -Rata2 - - - - - -

Kontrol

1 - 3,1 3,1 2,25 1,62 3 3,8 3,7 3 2,33 - - 1 1,3 1,84 4,5 4 4,1 4 4,2

Jumlah 7,5 10,9 11,9 10,55 9,9 50,75Rata2 1,875 2,725 2,975 2,6375 2,475 9,7125

TOTAL 7,5 10,9 11,9 10,55 9,9 50,75

AnalisisHipotesisHo : t1 = 0, artinya seluruh perlakuan memberikan efek yang sama terhadap mencit.H1 : tidak demikian

Tabel Anava

14

Sumber Variasi Dk Jk KT Fhit

Rata-rata 1 42,93 42,93

188,68Waktu (blok) 4 0,9 0,225

Pemberian obat (perlakuan) 2 85,85 42,925

Kekeliruan eksperimen (E) 8 1,82 0,2275

Kekeliruan subsampling 45 39,46 0,88

TOTAL 60 170,96

Perhitungan :DkRata-rata = 1Waktu = (b-1) = 5-1 = 4Pemberian obat = (p-1) = 3-1 = 2Kekeliruan eksperimen = (b-1)(p-1) = 4.2 = 8Total = 60Kekeliruan subsampling = 60-(1+4+2+8)=45

Jk

Ry= J2

n=50 ,752

60=42 ,93

By=7,52+10 ,92+11 ,92+10 ,552+9,92

3 x 4−42 ,93=0 ,90

Py=0+0+50 , 752

4 x 5−42 , 93=85 ,85

Sb=0+0+0+0+0+0+0+0+0+0+7,52+10 , 92+11 ,92+10 ,552+9,92

4−42 , 93

= 88,57

Ey = Sb – (By+Py)= 88,57 - (0,90+85,85)= 1,82

Sy = Σy2 – Ry – Sb = 170,89 – 42,93 – 88,5 = 39,46

Dengan α = 5% = 0.05Ftabel = F(2.8) = 4.46

Fhitung =

15

Karena Fhit > Ftabel, maka Ho ditolak. Artinya semua pemberian obat tidak

memberikan efek yang sama terhadap mencit.

16

VII. PEMBAHASAN

Sistem saraf otonom merupakan sistem yang bekerja mengendalikan dan

mengatur keseimbangan fungsi-fungsi intern tubuh yang berada diluar pengaruh

kesadaran. Salah satu jaringan saraf yang bekerja dibawah sistem saraf otonom

adalah jaringan saraf yang mensyarafi kelenjar-kelenjar, termasuk diantaranya

kelenjar saliva.

Percobaan ini dilakukan untuk menguji aktivitas obat antikolinergik pada

jaringan saraf kelenjar saliva dengan cara pemberian obat yang berbeda. Prinsip

pada percobaan ini adalah pemberian zat kolinergik (pilokarpin) pada hewan

percobaan (mencit) menyebabkan salivasi dan hipersalivasi yang dapat diinhibisi

oleh zat antikolinergik (atropin).

Hewan percobaan dibagi ke dalam tiga kelompok yang masing-masing

diberi empat perlakuan yang bervariasi. Perlakuan pada menit pertama (T=0’)

untuk ketiga kelompok mencit adalah pemberian fenobarbital secara intra

peritoneal . Pada kelompok mencit pertama langsung dilanjutkan dengan

pemberian atropin secara per oral dan pada kelompok mencit ketiga diberikan

PGA secara per oral. Pada kelompok mencit kedua, perlakuan selanjutnya adalah

pemberian atropin secara sub-cutan setelah menit ke-15 (T=15’). Setelah menit

ke-45 (T=45’), pada ketiga kelompok diberikan pilokarpin secara sub kutan.

17

Fenobarbital termasuk golongan obat hipnotik sedatif, yaitu obat yang

menghilangkan kegelisahan, sebagai penenang dan menyebabkan depresi ringan

pada Sistem Saraf Pusat. Pemberian fenobarbital pada hewan percobaan berfungsi

untuk membatasi aktivitas dan bangkitan agar hewan percobaan mudah ditangani

dan respon yang timbul dari perlakuan dapat diamati dengan baik.

Pilokarpin merupakan obat golongan kolinergik yang memiliki efek

muskarinik diantaranya merangsang kelenjar saliva, dan pada percobaan ini

pemberian pilokarpin berfungsi untuk merangsang kelenjar saliva mencit sehingga

terjadi salivasi dan hipersalivasi sebagai target dari efek obat antikolinergik yang

diuji yaitu atropin.

Atropin termasuk golongan obat antikolinergik yang bekerja memblok

asetilkolin endogen maupun eksogen. Kelenjar eksokrin yang paling jelas

dipengaruhi oleh atropin ialah kelenjar liur dalam mulut. Dalam percobaan ini,

diamati kerja atropin yang menginhibisi terjadinya pengeluaran air liur (saliva)

berlebih yang ditimbulkan dari pemberian pilokarpin.

Sebelum dilakukan pemberian zat-zat, hewan percobaan terlebih dahulu

ditimbang berat badannya untuk menentukan jumlah obat (volume obat) yang

disuntikkan pada masing-masing hewan percobaan. . Setelah menghitung volume

obat yang akan diberikan, selanjutnya pemberian obat dilakukan pada masing-

masing mencit pada tiap kelompok uji.

Tepat setelah pemberian pilokarpin, masing-masing mencit diletakkan

pada papan yang telah dilapisi kertas saring dan dibagi menjadi tiga lajur dimana

setiap lajur dibagi menjadi lima kotak. Masing-masing lajur digunakan untuk

pengujian saliva mencit untuk tiap kelompok. Mencit ditempatkan di atas kertas

saring pada alat (1 mencit per kotak) yang telah dipersiapkan sedemikian rupa

dimana di bawahnya diberi metilen blue yang akan memberikan warna biru

apabila kertas tersebut terbasahi (oleh air liur). Penempatan mencit haruslah

sedemikian sehingga mulutnya berada tepat di atas kertas. Setiap 5 menit mencit

ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas, kemudian dilakukan hal yang

sama selama 25 menit sampai kotak yang paling atas. Penempatan mencit pada

18

kotak harus ditahan agar tidak banyak pergerakan yang dapat mempengaruhi

pengukuran diameter saliva yang terbentuk.

Pengamatan mencit kelompok uji petama

Mencit pertama diberikan fenobarbital secara peroral pada menit ke-0,

atropin secara peroral pada menit ke-0, dan pilokarpin secara subkutan pada menit

ke-45. Dari hasil pengukuran diameter saliva, mencit ini tidak mengeluarkan

saliva selama waktu percobaan. Artinya, atropin yang diberikan secara peroral

efektif menghambat pengeluaran saliva mencit. Atropin memblok asetilkolin

endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang

eksogen. Atropin juga menghambat aktivitas kelenjar eksokrin, yaitu kelenjar liur

dalam mulut serta bronkus. Atropin yang diberikan secara peroral mengalami

absorpsi melalui saluran cerna yang umumnya terjadi secara difusi pasif, dan

mengalami metabolisme di saluran cerna, sehingga akan mengurangi jumlah obat

yang diserap untuk mencapai sirkulasi sistemik. Akibatnya konsentrasi obat akan

berkurang dan membutuhkan waktu cukup lama untuk memberikan efek yang

diharapkan.

Sebaliknya pilokarpin tidak menunjukkan kerja yang efektif dalam

merangsang pengeluaran saliva mencit. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya

saliva yang dikeluarkan mencit. Pilokarpin mengakibatkan efek nikotinik,

terutama menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar keringat, kelenjar air mata,

dan kelenjar ludah. Seharusnya, pada menit-menit awal, mencit mengeluarkan

saliva akibat dari efek pemberian pilokarpin secara subkutan, karena setelah

penyuntikan, obat masuk ke tempat yang terdekat sekitar pembuluh darah dan

memasukinya dengan cara difusi atau fitrasi sehingga langsung masuk ke sistem

peredaran. Konsentrasi obat juga tidak banyak berkurang karena tidak harus

melalui metabolisme tubuh dan efek yang diharapkan dapat langsung terjadi.

Oleh karena itu seharusnya mencit mengeluarkan saliva pada menit-menit awal

karena pengaruh pilokarpin dan kemudian mengeluarkan saliva karena pengaruh

atropin.

19

Pengamatan mencit kelompok uji kedua

Mencit kedua diberikan fenobarbital secara peroral pada menit ke-0,

atropin secara subkutan pada menit ke-15, dan pilokarpin secara subkutan pada

menit ke-45. Dari hasil pengukuran diameter saliva mencit, tidak ditemukan

adanya pengeluaran saliva. Hal ini berarti atropin yang diberikan secara subkutan

efektif menghambat pengeluaran saliva mencit. Namun, pilokarpin tidak

memberikan efek untuk merangsang pengeluaran saliva pada mencit, walaupun

juga diberikan secara subkutan. Hal ini mungkin terjadi akibat kesalahan

praktikan ketika menyuntikkan obat ke mencit, yang mengakibatkan tidak seluruh

obat masuk, contohnya pada pemberian subkutan, obat yang disuntikkan keluar

lagi melalui tengkuk, sehingga distribusi zat aktif tidak sempurna dan efek yang

diharapkan tidak terjadi. Selain itu pemberian atropin yang lebih dahulu daripada

pilokarpin juga mempengaruhi respon mecit. Atropin akan menghambat efek

asetikolin di kelenjar yaitu efek muskarinik dan efeknya di SSP dan merintangi

penerusan impuls dalam sel-sel gangllion. Sehingga pemberian pilokarpin tidak

mempengaruhi sekresi saliva mencit.

Pengamatan mencit kelompok uji ketiga

Mencit ketiga diberikan fenobarbital secara peroral pada menit ke-0 dan

pilokarpin secara subkutan pada menit ke-45. Mencit ini diamati sebagai kontrol

positif. Dari hasil pengukuran saliva, seluruh mencit memberikan respon

mengeluarkan saliva. Hal ini terjadi karena mencit tidak diberikan zat penginhibisi

air liur (atropin).

Kumpulan data yang diperoleh dari kelompok praktikum lain

memperlihatkan data yang tidak seragam. Kondisi ini terjadi akibat perbedaan

kemampuan praktikan dalam memberikan obat ke hewan percobaan, perbedaan

keakuratan dosis obat yang disuntikkan ke hewan percobaan, dan perbedaan berat

badan mencit pada tiap kelompok. Ketidakseragaman data ini menyebabkan data

percobaan yang diperoleh kurang akurat.

20

Berdasarkan analisis anava yang dilakukan, didapat kesimpulan bahwa

semua pemberian obat tidak memberikan efek yang sama terhadap mencit. Namun

berdasarkan hasil percobaan, pemberian atropin secara peroral dan subkutan

memiliki efek yang sama.

Data hasil percobaan dapat digambarkan dalam suatu kurva dan grafik

diameter saliva mencit terhadap waktu. Pada kurva terlihat bahwa kurva kontrol

menunjukkan grafik yang tidak stabil. Seharusnya, grafik ini makin meningkat

seiring meningkatnya waktu, karena kelenjar saliva mencit tidak diinhibisi oleh

atropin. Pada kurva pemberian obat secara peroral dan subkutan, diperoleh hasil

yang sama yaitu tidak ada diameter saliva yang terukur.

Dari data percobaan diketahui bahwa efektivitas atropin yang diberikan

secara peroral dan subkutan adalah sama yaitu menghambat sekresi saliva mencit.

Hal ini juga ditunjukkan oleh besarnya persen inhibisi atropin yang diberikan

secara peroral dan subkutan adalah sama yaitu 100%. Hasil yang didapat dari

percobaan ini tidak sesuai dengan teori, dimana pemberian atropin secara

subkutan seharusnya memberikan efek yang lebih cepat karena langsung

memasuki pembuluh darah sehingga dapat langsung bekerja. Sedangkan pada

pemberian secara peroral obat terlebih dahulu masuk dalam organ pencernaan dan

mengalami metabolisme, setelah melalui saluran pencernaan barulah obat

berdifusi ke pembuluh darah sehingga efek yang diinginkan lebih lambat.

VIII. KESIMPULAN Kesimpulan dari percobaan ini adalah :

1. Persen inhibisi untuk atropin yang diberikan secara per oral adalah 100 %.

2. Persen inhibisi untuk atropin yang diberikan secara subkutan adalah

100%.

21

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta

Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas

aIndonesia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi Kelima. Gaya Baru.

Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi

Ketiga. Departemen Kesehatan Repulbik Indonesia. Jakarta.

Ellyas, I.S., Samigun, dan Bambang S.T. 2009. Efek Analeptik Adrenalin.

http://www.farmako.uns.ac.id/index.php?hal=riset&no_riset=17 (27 Maret

2009)

Ganiswara. 2001. Preanestesi dan Anestesi Sebelum Operasi. Error! Hyperlink

reference not valid. (27 Maret 2009)

Lieberman, J.A. 2004. Managing Anticholinergic Side Effects. Error! Hyperlink

reference not valid. April 2009)

Horn, J.R., dan Philip Hansten, PharmD. 2005. Cholinergic–Anticholinergic Drug

Interactions. http://www.hanstenandhorn.com/hh-article08-05.pdf (4 April

2009)