Upload
dentiko-mutou
View
97
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
paraparese
Citation preview
SEORANG LAKI-LAKI 52 TAHUN DENGAN PARAPARESE TIPE UMN,
HIPESTESIA SETINGGI VERTEBRA THORACAL VIII, DAN
ULKUS DEKUBITUS ET CAUSA SUSPECT METASTASE
CARCINOMA VESICA URINARIA
Oleh :
Tiara Maharani
G0005193
Pembimbing :
DR. Dr. Hj. Noer Rachma, Sp RM
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2010
STATUS PENDERITA
I. ANAMNESA
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai bengkel
Alamat : Karangpandan, Karanganyar
Status : Menikah
Masuk rumah Sakit : 12 Februari 2010
Tanggal Periksa : 17 Februari 2010
No CM : 98 96 93
B. Keluhan Utama
Kedua tungkai tidak dapat digerakkan
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 3 hari SMRS pasien mengeluhkan kedua tungkai lemah. Lemah
terasa semakin berat sehingga pasien tidak dapat menggerakkan kedua
tungkainya. Pasien kemudian memeriksakan diri ke RSDM. Pasien tidak
mual, tidak ada muntah, tidak ada nyeri kepala, tidak ada kejang, tidak ada
demam, tidak disertai penurunan kesadaran, tidak ada pandangan dobel, dan
tidak pernah jalan diseret sebelumnya. Pasien juga mengeluhkan
gringgingen pada tungkainya. BAB tidak ada keluhan. BAK nyeri (+),
darah (+), 5-6 kali masing-masing setengah gelas belimbing. Pasien
mengaku tidak pernah jatuh.
+ 3 minggu SMRS pasien mengeluh 1 minggu tidak BAB, BAK tidak
ada keluhan. Pasien juga mengeluhkan keju dan nyeri pada tungkai kirinya,
namun pasien masih dapat berjalan. Pasien kemudian berobat ke RSDM
2
dan dirawat inap selama 10 hari. Saat + 5 hari rawat inap di RSDM,
terdapat luka pada punggung bawah pasien.
+ 5 minggu SMRS pasien mengeluh keju pada leher belakang yang
menjalar sampai kaki sebelah kanan. Pasien kemudian memeriksakan diri
ke puskesmas dan diberi obat minum tetapi pasien tidak tahu nama obatnya.
Namun keluhan dirasakan tidak berkurang dan semakin berat sehingga
pasien dirujuk ke RSDM. Di RSDM pasien dirawat inap selama 1 minggu.
Pasien juga mengeluh pada kaki kanan terasa gringgingen dan tebal.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Trauma : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Mondok : (+)
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi
Riwayat Merokok : (+)
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat Olahraga : disangkal
3
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang laki-laki yang memiliki satu orang istri dan tiga orang
anak. Pasien merupakan pegawai yang bekerja di bengkel. Saat ini dirawat di
RSDM dengan fasilitas JAMKESMAS.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum sakit sedang, Compos Mentis E4V5M6, gizi kesan cukup
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/ menit, isi cukup, irama teratur, simetris
Respirasi : 24 x/menit, irama teratur, tipe thoracoabdominal
Suhu : 36,50C per aksiler
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venectasi (-),
spider naevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-),ulkus
decubitus (+) regio sacrum, tepi tidak rata.
D. Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam,
tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).
E. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan
tak langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3mm), oedem palpebra (-/-),
sekret (-/-)
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
G. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-),lidah simetris, lidah tremor (-),
stomatitis (-), mukosa pucat (+), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-).
4
I. Leher
Simetris, trakea di tengah, step off (-), JVP (R+2) ,limfonodi tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-)
J. Thoraks
a. Retraksi (-)
b. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, gerakan
paradoksal (-)
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar ( vesikuler / vesikuler ),RBH (-), RBK (-)
K. Trunk
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis(-)
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)
Perkusi : nyeri ketok kostovertebra (-)
Tanda Patrick/Fabere : (-/-)
Tanda Anti Patrick : (-/-)
Tanda Laseque/SLR : (-/-)
Thomas test : (-)
Ober test : (-)
L. Abdomen
Inspeksi : distensi (+)
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : hipertympani
Palpasi : tegang (+), nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, bruit (-) dan
lien tidak teraba
5
M. Ekstremitas
Oedem Akral dingin
N. Status Psikiatri
Deskripsi Umum
1. Penampilan : Laki-laki, tampak sesuai umur, berpakaian rapi
2. Kesadaran : Kuantitatif : compos mentis
Kualitatif : tidak berubah
3. Perilaku dan Aktivitas Motorik : normoaktif
4. Pembicaraan : koheren, menjawab pertanyaan
5. Sikap Terhadap Pemeriksa : Kooperatif, kontak mata cukup
Afek dan Mood
- Afek : Appropiate
- Mood : normal
Gangguan Persepsi
- Halusinasi (-)
- Ilusi (-)
Proses Pikir
- Bentuk : realistik
- Isi : waham (-)
- Arus : koheren
Sensorium dan Kognitif
- Daya Konsentrasi : baik
- Orientasi : Orang : baik
Waktu : baik
Tempat : baik
- Daya Ingat : Jangka pendek : baik
Jangka panjang : baik
Daya Nilai : Daya nilai realitas dan sosial baik
Insight : Baik
Taraf Dapat Dipercaya : Dapat dipercaya
- -- -
- -- -
6
O. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : IV line, DC
Fungsi Sensorik
N N
Fungsi Motorik dan Reflek :
Kekuatan : 5 5
1 1
Tonus : N N
N N
Reflek fisiologis: +2 +2
+2 +2
Reflek patologis: - -
- -
Reflek Dinding Perut (-)
Nervus Cranialis
N. III : reflek cahaya (+/+) ; pupil isokor (3 mm/3mm)
N. VII : dalam batas normal
N XII : dalam batas normal
7
Range of Motion (ROM)
ROMROM
Aktif Pasif
Flexi 0 – 700 0 – 700
Extensi 0 – 400 0 – 400
Lateral bend 0 – 600 0 – 600
Rotasi 0 – 900 0 – 900
EKSTREMITAS SUPERIOR
ROM AKTIF ROM PASIF
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Shoulder Fleksi 0-1800 0-1800 0-1800 0-1800
Ekstensi 0-3000-300 0-300 0-300
Abduksi 0-1500 0-1500 0-1500 0-1500
Adduksi 0-750 0-750 0-750 0-750
External Rotasi 0-900 0-900 0-900 0-900
Internal Rotasi 0-900 0-900 0-900 0-900
Elbow Fleksi 0-1350 0-1350 0-1350 0-1350
Ekstensi 135-1800 135-1800 135-1800 135-1800
Pronasi 0-900 0-900 0-900 0-900
Supinasi 0-900 0-900 0-900 0-900
Wrist Fleksi 0-900 0-900 0-900 0-900
Ekstensi 0-700 0-700 0-700 0-700
Ulnar deviasi 0-300 0-300 0-300 0-300
Radius deviasi 0-300 0-300 0-300 0-300
Finger MCP I fleksi 0-900 0-900 0-900 0-900
MCP II-IV fleksi
0-900 0-900 0-900 0-900
DIP II-V fleksi 0-900 0-900 0-900 0-900
PIP II-V fleksi 0-1000 0-1000 0-1000 0-1000
MCP I ekstensi 0-300 0-300 0-300 0-300
EKSTREMITASINFERIOR
ROM AKTIF ROM PASIF
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Hip Fleksi 0 0 0-1400 0-1400
Ekstensi 0 0 0-300 0-300
Abduksi 0 0 0-450 0-450
Adduksi 0 0 0-450 0-450
Eksorotasi 0 0 0-800 0-800
Endorotasi 0 0 0-800 0-800
Knee Fleksi 0 0 0-1200 0-1200
Ekstensi 0 0 120-1800 120-1800
Ankle Dorsofleksi 0 0 0-400 0-400
Plantarfleksi 0 0 0-400 0-400
8
Manual Muscle Testing (MMT)
NECK Fleksor M. Strenocleidomastoideus : 5
Ekstensor : 5
Ekstremitas Superior Dextra SinistraShoulder Fleksor M Deltoideus anterior 5 5
M Biseps 5 5Ekstensor M Deltoideus anterior 5 5
M Teres mayor 5 5Abduktor M Deltoideus 5 5
M Biceps 5 5Adduktor M Lattissimus dorsi 5 5
M Pectoralis mayor 5 5Internal Rotasi
M Lattissimus dorsi 5 5M Pectoralis mayor 5 5
Eksternal Rotasi
M Teres mayor 5 5M Infra supinatus 5 5
Elbow Fleksor M Biceps 5 5M Brachialis 5 5
Ekstensor M Triceps 5 5Supinator M Supinator 5 5Pronator M Pronator teres 5 5
Wrist Fleksor M Fleksor carpi radialis
5 5
Ekstensor M Ekstensor digitorum
5 5
Abduktor M Ekstensor carpi radialis
5 5
Adduktor M ekstensor carpi ulnaris
5 5
Finger Fleksor M Fleksor digitorum 5 5Ekstensor M Ekstensor
digitorum5 5
9
Ekstremitas inferior Dextra SinistraHip Fleksor M Psoas mayor 1 1
Ekstensor M Gluteus maksimus 1 1Abduktor M Gluteus medius 1 1Adduktor M Adduktor longus 1 1
Knee Fleksor Harmstring muscle 1 1Ekstensor Quadriceps femoris 1 1
Ankle Fleksor M Tibialis 1 1Ekstensor M Soleus 1 1
Status Ambulasi
Dependent
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah
Rujukan
Hb : 9,2 gr/dl 13,5-18
Hct : 25 % 40-54
AE : 2,93 x 106 µL 4,6-6,2
AT : 118 x 103 µL 150-440
AL : 21,9 x 103 µL 4,5-11
Gol. Darah : A
GDP : 105 mg/dl 70-110
Ureum : 49 mg/dl 10-50
Creatinin : 0,4 mg/dl 0,7-1,3
Natrium : 126 mmol/l 135-145
Kalium : 4 mmol/l 3,3-5,1
Chlorida : 97 mmol/l 98-106
Protein total : 5,30 g/dl 6,4-8,3
Albumin : 2,7 g/dl 3,5-5,2
Globulin : 2,6 g/dl 2,7
Asam Urat : 5,1 mg/dl 2,4-6,1
10
SEROLOGI
Tumor Marker Rujukan
PSA (Prostat) : 13,24 ng/ml 0,00-2,5
B. Pemeriksaan Radiologis
USG Abdomen
- Vesica Felea, pankreas, ren dextra, lien dalam batas normal
- Ukuran ren sinstra membesar ringan dengan pelebaran
- VU terisi cairan, tampak lesi hiperechoic, bentuk amorf, ukuran 4,3x
2,9x 4,9 cm
Kesan : curiga massa VU dengan hidronefrosis sinistra grade I
USG Urologi
11
- ukuran dan ekostruktur kedua ren normal, SPC tak melebar, batu
negatif
- tampak lesi hiperechoic homogen di dinding inferior VU, ukuran 6,4x
6,4x 5,0 cm
- prostat ukuran dan ekostruktur normal
Kesan : massa VU kesan malignan
Foto Urethrografi
- kontras water soluble sebanyak 50cc dimasukkan per MUE, kontras
masuk lancar, reflux kontras di MUE (-)
- tampak kontras mengisi urethra s.d VU
- tak tampak ekstravasasi atau penyempitan
- tampak gambaran kontras tidak homogen di urethra pars bulbosa
- pelumuran kontras di VU tidak homogen, adanya lesi atau filling
defect belum padat disingkirkan
12
Kesan : - gambaran kontras tidak homogen di urethra pars bulbosa
yang antara lain dapat merupakan blood clot
- adanya lesi/ filling defect di VU belum dapat disingkirkan
IV. ASSESMENT
Klinis : Paraparese tipe UMN, hipestesia setinggi VTh VIII,
ulkus dekubitus
Topis : Medula Spinalis Vertebra Th VI
Etiologi : Suspect Metastase Carcinoma Vesica Urinaria
V. PENATALAKSANAAN
Terapi Medikamentosa :
1. Bed rest tidak total
2. Diet TKTP 1900 kkal
3. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
4. Injeksi Ketorolac 1 ampul/12jam
5. Injeksi Ranitidin 1 ampul/8 jam
6. Injeksi Dexamethasone 1 ampul/8jam
7. Injeksi Ceftriaxone 2g/24 jam
8. Mecobalamin 500mg 3x1
VI. DAFTAR MASALAH
Problem Medis : Paraparese tipe UMN
Ulkus dekubitus regio sacrum
Problem Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi : Pasien tidak dapat menggerakkan anggota gerak
bawah (kelemahan spastic)
2. Terapi wicara : tidak ada
3. Okupasi Terapi : Gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
4. Sosiomedik : Memerlukan bantuan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari
5. Ortesa-protesa : Keterbatasan mobilisasi
13
6. Psikologi : Beban pikiran keluarga dalam menghadapi penyakit
penderita
Rehabilitasi Medik:
1. Fisioterapi :
a. Stretching exercise sendi yang kaku untuk mencegah kontraktur
b. Strengthening exercise untuk melatih kekuatan otot dan
mencegah atropi otot-otot
c. ROM exercise aktif dan pasif
d. Positioning dan turning (rubah posisi tiap 2 jam)
2. Terapi wicara : tidak dilakukan
3. Okupasi terapi :
Melatih keterampilan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
4. Sosiomedik :
a. Motivasi dan edukasi keluarga
tentang penyakit penderita
b. Motivasi dan edukasi keluarga
untuk membantu dan merawat penderita dengan selalu berusaha
menjalankan program di RS dan Home program
5. Ortesa-Protesa :
Memfasilitasi ambulasi dengan penggunaan kursi roda
6. Psikologi :
Psikoterapi suportif untuk mengurangi kecemasan keluarga
VII. IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP
Impairment : Paraparese tipe UMN, ulkus dekubitus
Disability : Penurunan fungsi anggota gerak bawah
Handicap : Keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari dan kegiatan sosial
yang terhambat
14
VIII. TUJUAN
1. Perbaikan keadaan umum sehingga mempersingkat
waktu perawatan
2. Mencegah terjadinya komplikasi yang dapat
memperburuk keadaan
3. Meminimalkan impairment, disability dan handicap
4. Membantu penderita sehingga mampu mandiri
dalam menjalankan aktivitas sehari-hari
5. Edukasi perihal home exercise
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia
15
TINJAUAN PUSTAKA
I. CARCINOMA VESICA URINARIA
Definisi
Karsinoma vesica urinaria atau kanker kandung kemih merupakan keadaan
abnormal di mana sel- sel kanker tumbuh di dalam kandung kemih. Kanker
kandung kemih terjadi empat kali lebih banyak pada pria dibandingkan pada
wanita. Kanker kandung kemih sekitar 90% merupakan karsinoma sel
transisional. Kurang lebih 10% berupa karsinoma skuamosa, dan jarang sekali
adenokarsinoma yang berasal dari jaringan urakus. Karsinoma kandung kemih
dapat papiler, noduler, ulseratif, atau infiltratif. Derajat keganasan ditentukan
oleh tingkat diferensiasi dan penetrasi ke dalam dinding atau jaringan sekitar
kandung kemih.
Etiologi
Faktor yang mempengaruhi terjadinya karsinoma kandung kemih adalah zat
karsinogen, baik eksogen dari rokok atau bahan kimia, maupun endogen dari
hasil metabolisme. Penyebab lain diduga akibat pemakaian analgetik, sitostatik,
dan iritasi kronik oleh batu, sistosomiasis, atau radiasi.
Gambaran klinis
Gejala utama adalah hematuria makroskopik atau mikroskopik, biasanya
intermitten, dan sering tanpa nyeri. Terdapat gejala iritasi, yaitu disuria, tidak
dapat menahan kemih, dan polakisuria.
Diagnosis
Pemeriksaan bimanual sangat berguna untu menentukan infiltrasi. Pada
sistografi dan pielografi intravena tampak lesi defek isian dalam kandung kemih.
Endoskopi dilakukan untuk melihat bentuk dan besar tumor, perubahan dalam
kandung kemih, dan melakukan biopsi. Pemeriksaan sitologi membantu diagnosis.
Marker tumor kandung kemih untuk menentukan karakteristik selular dan marker
atau substansi yang dilepaskan oleh sel-sel kanker kandung kemih ke dalam urin.
16
Ultrasound atau sonography digunakan untuk melihat organ-organ internal
dan fungsinya, juga untuk menilai aliran darah melalui berbagai pembuluh darah.
CT scan menunjukkan gambaran rinci dari setiap bagian tubuh, termasuk tulang,
otot, lemak, dan organ. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dilakukan untuk
menghasilkan gambar lebih rinci dari organ dan struktur dalam tubuh. positron
emission tomography (PET) scan dapat menunjukkan area kanker yang mungkin
tidak dapat dilihat pada CT scan atau MRI.
Karsinoma kandung kemih perlu dibedakan dari tumor ureter yang menonjol
dalam kandung kemih karsinoma prostat, dan hipertrofi prostat. Untuk
membedakan kelainan ini dibutuhkan endoskopi dan biopsi.
Tingkat keganasan dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu diferensiasi baik
(G I), sedang (G II), dan kurang berdiferensiasi (G III). Tingkat penyebaran TNM
bergantung pada penyusupan tumor di dalam dinding kandung kemih dan
penyebaran metastasis.
TNM Karsinoma kandung kemih
T Tumor PrimerTis Karsinoma in situTa Karsinoma papilar terbatas pada epitelT1 Masuk jaringan subepitelT2 Masuk permukaan ototT3a Masuk otot lebih dari setengah ketebalanT3b Masuk jaringan lunak sekitar vesicaT4 Masuk struktur atau alat sekitar kandung
kemih (prostat, uterus, vagina, dinding panggul, dinding perut)
N Kelenjar LimfeN1 Kelenjar tunggal <2 cmN2 Kelenjar 2-5 cmN3 Kelenjar >5 cmM MetastaseM1 Terdapat metastase jauh
17
Tata laksana
Terapi endoskopik merupakan terapi baku karsinoma superfisialis melalui
reseksi transuretral tumor secara total. Rencana pascabedah selanjutnya sangat
menentukan hasil terapi. Sistoskopi untuk mengontrol kekambuhan biasanya
diadakan setiap tiga bulan selama satu tahun dan kemudian setiap enam bulan.
Radiasi diberikan setelah reseksi transuretral karsinoma kandung kemih
superfisialis atau setelah sistektomi. Radiasi juga dipakai untuk penyembuhan
pada stadium T3 yang tidak tahan pembedahan besar atau sebagai terapi paliatif
tumor T4. Kadang radiasi dipakai sebagai terapi paliatif untuk menghentikan
perdarahan atau gejal metastasis pada karsinoma lanjut.
Kemoterapi diberikan setelah reseksi transuretral karsinoma kandung kemih
superfisialis. Kemoterapi yang digunakan adalah thiotepa, 5- Fluorouracil (5-FU),
doxorubicin (adriamycin), dan mitomycin C. 5- Fluorouracil (5-FU) dan
doxorubicin (adriamycin) merupakan bahan yang sering dipakai. Thiotepa dapat
dimasukkan ke dalam kandung kemih sebagai pengobatan topikal. Pasien
dibiarkan menderita dehidrasi 8 sampai 12 jam sebelum pengobatan dengan
theotipa dan obat diabiarkan dalam kandung kemih selama dua jam.
Pembedahan dilakukan jika penyebaran karsinoma sudah sampai otot
kandung kemih. Terdapat tiga macam pembedahan, yaitu sistektomi parsial, total,
dan radikal. Indikasi sistektomi parsial adalah tumor soliter yang berbatas tegas
pada mukosa. Sistektomi total merupakan terapi definitif untuk karsinoma
superfisialis yang kambuh. Sistektomi radikal merupakan pilihan jika terapi lain
tidak berhasil atau timbul kekambuhan. Cara diversi kemih yang paling baik
adalah uretero-enterokutaneostomi dengan menggunakan sebagian usus halus
menurut Bricker atau urostoma kontinen dengan sejenis katup menurut Kock.
18
Prognosis
Prognosis tergantung pada tingkat perluasan dan derajat keganasan. Biasanya
pada karsinoma kandung kemih superfisial tidak akan mengalami metastasis
sehingga prognosis ketahanan hidup agak baik walaupun morbiditasnya cukup
berat. Penderita dengan karsinoma kandung kemih invasif mengalami riwayat
penyakit yang berbeda sekali. Sekitar 90% tidak mempunyai gambaran klinis
karsinoma superfisial dan setengahnya sudah bermetastasis jauh samar yang
sebagian besar menjadi jelas dalam waktu satu tahun. Prognosisnya buruk dalam
satu atau dua tahun.
II. LESI MEDULA SPINALIS
Segala sesuatu yang mengganggu fungsi atau merusak kawasan susunan
saraf pusat disebut lesi. Suatu lesi dapat berupa kerusakan pada jaringan
fungsional akibat perdarahan, thrombosis, atu embolisasi. Dapat juga karena
peradangan, degenerasi, dan penekanan oleh proses desak ruang dan sebagainya.
Tergantung pada jumlah motor neuron yang rusak, otot lumpuh ringan (paresis)
atau lumpuh mutlak (paralisis). Gambar kelumpuhan akibat lesi medulla spinalis
dapat berupa kelumpuhan UMN akibat lesi paralitik di susunan pyramidal dari
komponen UMN susunan neuromuscular serta kelumpuhan LMN yang
merupakan akibat lesi paralitik di “final common path”, motot end plate dan otot.
Kelumpuhan UMN dicirikan oleh tanda-tanda kelumpuhan UMN, yaitu:
1. Tonus otot meninggi atau
hipertonia
Gejala tersebut terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks
motorik tambahan terhadap inti-inti intrinsic medulla spinalis. Hipertonia
tidak akan bangkit, bahkan tonus otot menurun, bilamana lesi paralitik
merusak hanya korteks motorik primernya saja. Hipertonia kan menjadi
jelas bila korteks motorik tambahan ikut terlibat dalam lesi paralitik.
2. Hiperrefleksia
19
Refleks adalah gerak otot skeletal yang bangkit sebagai jawaban atas
suatu rangsangan. Gerak otot reflektorik yang timbul atas jawaban
stimulasi terhadap tendon dinamakan refleks tendon. Pada kerusakan pada
susunan UMN, refleks tendon lebih pekayang disebut sebagai
hiperrefleksia. Hiperrefleksia merupakan keadaan setelah impuls inhibisi
dari susunan pyramidal dan ekstrapiramidal tidak dapat disampaikan
kepada motorneuron.
3. Klonus
Hiperreflekasia sering diringi klonus. Tanda ini adalah gerak otot
reflektorik, yang bangkit secaraberulang-ulang selama perangsangan
masih berlangsung.
4. Reflek patologik
Pada kerusakan UMN dapat ditemukan adanya refleks-refleks yang tidak
dapat dibangkitkan pada orang-orang yang sehat, maka refleks ini disebut
sebagai refleks patologik. Pada tangan dikenal sebagai refleks Hoffmann
Tromner, pada kaki refleks patologik antara lain Babinski, Chaddock,
Oppenheim, Gordon, dan Achilles.
5. Tidak ada atropi pada otot-
otot yang lumpuh
Atrofi terjadi bila terjadi kerusakan motor neuron disusul musnahnya
serabut-serabut otot dalam kesatuan motoriknya, sehingga otot menjadi
kecil. Pada kerusakan yang mengenai serabut-serabut penghantar impuls
motorik UMN, motor neuron tidak silibatkan, maka otot-otot yang
lumpuh karena lesi UMN tidak akan memperlihatkan atropi. Namun
demikian otot yang lumpuh masih dapat mengecil bukan karena serabut
otot yang musnah, melaunkan otot menjadi kecil karena otot tidak
bergerak atau tidak digunakan, pengecilan otot ini disebut sebagai “disuse
atrophy”.
6. Reflek automatisme spinal
Gerakan yang bangkit akibat perangsangan yang datang dari bagian
susunan saraf pusat di bawah tingkat lesi dinamakan refleks automatisme
20
spinal. Contohnya lengan yang lumpuh bergerak pada waktu penderita
menguap dan sebagainya.
Tanda-tanda kelumpuhan UMN yang tersebut di atas dapat seluruhnya atau
sebagian saja ditemukan pada tahap kedua masa setelah terjadinya lesi UMN.
Pada tahap pertamanya kurang lebih 1-2 minggu tanda-tanda kelumpuhan UMN
ini belum dapat disaksikan. Jangka waktu tahap pertama berbeda-beda
terggantung letak lesi. Tanda-tanda kelumpuhan LMN berbalikan dengan tanda
kelumpuhan UMN.
Tiap lesi di medulla spinalis yang merusak jaras kortikospinal lateral
menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian tubuh yang terletak di
bawah tingkat lesi. Lesi yang memotong melintang (tranversal) medulla spinalis
di tingkat servikal, misalnya pada C5 mengakibatkan kelumpuhan UMN pada
otot-otot tubuh yang berada di bawah C5, yaitu otot-otot kedua lengan, thoraks,
abdomen dan kedua tungkai. Kelumpuhan itu disebut tetrapleghi atau tetraparesis
(tergantung tingkat kelemahan yang terjadi).
Lesi transversal yang memotong medula spinalis pada tingkat torakal atau
tingkat lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada tigkat lesi terjadi
kelumpuhan LMN dan di bawah tingkat lesi terjadi kelumpuhan UMN.
Kelumpuhan LMN di tingkat lesi melanda kelompok otot yang merupakan
sebagian kecil dari muskulatur toraks atau abdomen. Maka kelumpuhan LMN di
tingkat lesi, jika melibatkan sebagian dari muskulatur toraks atau abdomen, tidak
begitu jelas seperti halnya jika kelumpuhan LMN di tingkat lesi itu melanda
sebagian muskulatur anggota gerak. Tingkat lesi transversal di medula spinalis
mudah terungkap oleh batas defisit sensorik. Di bawah batas tersebut, tanda-
tanda UMN dapat ditemukan pada kedua tungkai secara lengkap, namun pada
toraks tanda-anda UMN tidak dapat diungkapkan. Tanda UMN satu-satunya
yang dapat dibangkitkan pada otot abdomen adalah hipertonia. Oleh karena tonus
otot abdominal meningkat maka refleks otot dinding perut meninggi sedangkan
refleks kulit dinding perut menghilang. Kelumpuhan yang melanda bagian bawah
tubuh tersebut dinamakan paraplegia. Jika kelumpuhan yang terjadi bersifat
parsial dan defisit sensorik yang tidak masif, dinamakan paraparesis.
21
III.ULKUS DEKUBITUS
Definisi
Ulkus dekubitus adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan dari
bawah kulit bahkan menembus otot sampai mengenai tulang, akibat adanya
penekanan pada suatu area secara terus – menerus sehingga mengakibatkan
gangguan sirkulasi darah. Luka dekubitus adalah nekrosis pada jaringan lunak
antara tonjolan tulang dan permukaan padat, paling umum akibat imobilisasi.
Menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) tahun 1989, ulkus
dekubitus adalah suatu daerah tertekan yang tidak nyeri dengan batas yang tegas,
biasanya batas penonjolan tulang, yang mengakibatkan terjadi iskemik, kematian
sel dan nekrosis jaringan.
Umumnya ulkus dekubitus terjadi pada penderita dengan penyakit kronik
yang berbaring lama. Ulkus dekubitus sering disebut sebagai ischemic ulcer;
pressure ulcer, pressure sore, bed sore. Masalah ini menjadi problem yang cukup
serius baik di negara maju maupun di negara berkembang, karena mengakibatkan
meningkatnya biaya perawatan dan memperlambat program rehabilitasi bagi
penderita.
Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana
terdapat penonjolan tulang, yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu,
punggung dan kepala bagian belakang. Ulkus dekubitus terjadi jika tekanan yang
terjadi pada bagian tubuh melebihi kapasitas tekanan pengisian kapiler dan tidak
ada usaha untuk mengurangi atau memperbaikinya sehingga terjadi kerusakan
jaringan yang menetap. Bila tekanan yang terjadi kurang dari 32 mmHg atau ada
usaha untuk memperbaiki aliran darah ke daerah tersebut maka ulkus dekubitus
dapat dicegah.
22
Gambar 1. Ulkus dekubitus regio gluteus
Etiologi dan Patogenesis
1. Faktor primer :
a. Tekanan dari luar yang menimbulkan iskemi setempat. Dalam keadaan
normal, tekanan intrakapilar arterial adalah ± 32 mm Hg dan tekanan ini
dapat meningkat mencapai maksimal 60 mm Hg yaitu pada keadaan
hiperemia.
b. Tekanan midkapilar adalah ± 20 mm Hg, Sedangkan tekanan pada daerah
vena adalah 13 - 15 mm Hg.
c. Efek destruksi jaringan yang berkaitan dengan keadaan iskemia dapat
terjadi dengan tekanan kapilar antara 32 - 60 mm Hg yang disebut sebagai
tekanan supra kapilar. Bila keadaan suprakapilar ini tercapai, akan terjadi
penurunan aliran darah kapilar yang disusul dengan keadaan iskemia
setempat.
d. Substansia H yang mirip dengan histamin dilepaskan oleh sel-sel yang
iskemik dan akumulasi metabolit seperti kalium, adenosin difosfat (ADP),
hidrogen dan asam laktat, diduga sebagai faktor yang menyebabkan
dilatasi pembuluh darah.
23
e. Reaksi kompensasi sirkulasi akan tampak sebagai hiperemia dan reaksi
tersebut masih efektif bila tekanan dihilangkan sebelum periode kritis
terjadi yaitu 1 - 2 jam.
f. Kosiak (1959) membuktikan pada anjing bahwa tekanan dari luar sebesar
60 mm Hg selama 1 jam akan menimbulkan perubahan degeneratif secara
mikroskopik pada semua lapisan jaringan mulai dari kulit sampai tulang,
sedangkan dengan tekanan 35 mm Hg selama 4 jam perubahan
degeneratif tersebut tidak terlihat. Daniel dkk (1981) menyatakan bahwa
iskemia primer terjadi pada otot dan kerusakan jaringan kulit terjadi
kemudian sesuai dengan kenaikan besar dan lamanya tekanan.
g. Dulu faktor neurotropik disebutkan sebagai faktor penyebab utama ulkus
dekubitus, tetapi temyata hal tersebut tidak terbukti.
2. Faktor sekunder
Faktor-faktor yang menunjang terjadinya ulkus dekubitus antara lain:
gangguan saraf vasomotorik, sensorik, motorik, kontraktur sendi dan
spastisitas, gangguan sirkulasi perifer, malnutrisi dan hipoproteinemia,
anemia, keadaan patologis kulit pada gangguan hormonal, edema,
maserasi, infeksi, higiene kulit yang buruk, inkontinensia alvi dan urin,
kemunduran mental dan penurunan kesadaran.
Patofisiologi
Ulkus dekubitus dapat terbentuk karena ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Allman (1989), Anthony (1992) dan Brand (1976) membagi
mekanisme terbentuknya ulkus dekubitus tergantung beberapa faktor
a. Tekanan yang Lama
Faktor yang paling penting dalam pembentukan ulkus dekubitus
adalah tekanan yang tidak terasa nyeri. Kosiak (1991) mengemukakan
bahwa tekanan yang lama yang melampaui tekanan kapiler jaringan pada
jaringan yang iskemik akan mengakibatkan terbentuknya ulkus dekubitus.
Hal ini karena tekanan yang lama akan mengurangi asupan oksigen dan
nutrisi pada jaringan tersebut sehingga akan menyebabkan iskemik dan
hipoksia kemudian menjadi nekrosis dan ulserasi.
24
Pada keadaan iskemik, sel-sel akan melepaskan substansia H yang
mirip dengan histamine. Adanya substansi H dan akumulasi metabolit
seperti kalium, adenosine diphosphat (ADP), hidrogen dan asam laktat
akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Reaksi kompensasi sirkulasi
akan tampak sebagai hiperemia dan reaksi tersebut masih efektif bila
tekanan dihilangkan sebelum periode kritis terjadi yaitu 1-2 jam. Suatu
penelitian histologis memperlihatkan bahwa tanda-tanda kerusakan awal
terjadi di dermis antara lain berupa dilatasi kapiler dan vena serta edema
dan kerusakan sel-sel endotel. Selanjutnya akan terbentuk perivaskuler
infiltrat, agregat platelet yang kemudian berkembang menjadi hemoragik
perivaskuler. Hal yang menarik, pada tahap awal ini, di epidermis tidak
didapatkan tanda-tanda nekrosis oleh karena sel-sel epidermis memiliki
kemampuan untuk bertahan hidup pada keadaan tanpa oksigen dalam
jangka waktu yang cukup lama. Selain itu, perubahan patologis oleh
karena tekanan eksternal tersebut terjadi lebih berat pada lapisan otot
daripada pada lapisan kulit dan subkutaneus.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Daniel dkk (1981) yang
mengemukakan bahwa iskemia primer terjadi pada otot dan kerusakan
jaringan kulit terjadi kemudian sesuai dengan kenaikan besar dan lamanya
tekanan.Pada tahun 1930, Land melakukan mikroinjeksi pada cabang
arteriol dari kapiler pada jari manusia untuk mempelajari tekanan darah
kapiler. Dia melaporkan bahwa tekanan darah arteriol sekitar 32 mmHg,
tekanan darah pada midkapiler sebesar 22 mmHg dan tekanan darah pada
venoul sebesar 12 mmHg. Tekanan pada arteriol dapat meningkat
menjadi 60 mmHg pada keadaan hiperemia.
Kosiak (1959) membuktikan pada anjing, bahwa tekanan eksternal
sebesar 60 mmHg selama 1 jam akan menimbulkan perubahan
degeneratif secara mikroskopis pada semua lapisan jaringan mulai dari
kulit sampai tulang, sedangkan dengan tekanan 35 mmHg selama 4 jam,
perubahan degeneratif tersebut tidak terlihat. Sumbatan total pada kapiler
masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam. Seorang yang terpaksa
25
berbaring berminggu-minggu tidak akan mengalami ulkus dekubitus
selama dapat mengganti posisi beberapa kali perjammnya.
b. Tekanan antar Permukaan
Menurut NPUAP tekanan antar permukaan adalah tekanan tegak lurus
setiap unit daerah antara tubuh dan permukaan sandaran. Tekanan antar
permukaan dipengaruhi oleh kekakuan dan komposisi jaringan tubuh,
bentuk geometrik tubuh yang bersandar dan karakteristik pasien. Russ
(1991) menyatakan bahwa tekanan antar permukaan yang melebihi 32
mmHg akan menyebabkan mudahnya penutupan kapiler dan iskemik.
Faktor yang juga berpengaruh terhadap tekanan antar permukaan adalah
kolagen. Pada penderita sklerosis amiotropik lateral risiko untuk
terjadinya ulkus dekubitus berkurang karena adanya penebalan kulit dan
peningkatan kolagen dan densitasnya (Seiitsu, 1988; Watanebe, 1987).
c. Luncuran
Luncuran adalah tekanan mekanik yang langsung paralel terhadap
permukaan bidang. Luncuran mempunyai pengaruh terhadap
terbentuknya ulkus dekubitus terutama pada daerah sakrum. Brand (1976)
dan Reichel (1958) menjelaskan bahwa gerakan anguler dan vertikal atau
posisi setengah berbaring akan mempengaruhi jaringan dan pembuluh
darah daerah sacrum sehingga berisiko untuk mengalami kerusakan.
Penggunaan tempat tidur yang miring seperti pada bedah kepala dan leher
akan meningkatkan tekanan luncuran sehingga memudahkan terjadinya
ulkus dekubitus (Defloor, 2000).
d. Gesekan
Menurut Makebulst (1983), gesekan adalah gaya antar dua permukaan
yang saling berlawanan. Gesekan dapat menjadi faktor untuk terjadinya
ulkus dekubitus karena gesekan antar penderita dengan sandarannya akan
menyebabkan trauma makroskopis dan mikroskopis. Kelembaban,
maserasi dan kerusakan jaringan akan meningkatkan tekanan pada kulit.
26
Kelembaban yang terjadi akibat kehilangan cairan dan inkontinensia alvi
dan urin akan menyebabkan terjadinya maserasi jaringan sehingga kulit
cenderung lebih mudah menjadi rusak.
e. Immobilitas
Seorang penderita immobil pada tempat tidurnya secara pasif dan
berbaring diatas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai
60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg. Lindan dkk
menyebutkan bahwa pada pasien posisi telentang, tekanan eksternal 40-60
mmHg merupakan tekanan yang paling berpotensi untuk terbentuk ulkus
pada daerah sacrum, maleolus lateralis dan oksiput. Sedangkan pada
pasien posisi telungkup, thoraks dan genu mudah terjadi ulkus pada
tekanan 50 mmHg. Pada pasien posisi duduk, mudah terjadi ulkus bila
tekanan berkisar 100 mmHg terutama pada tuberositas ischii. Tekanan
akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nekrosis
jaringan kulit.
Pada penderita dengan paralisis, kelaian neurologi, atau dalam anestesi yang
lama, syaraf aferen tidak mampu untuk memberikan sistem balik sensoromotor.
Akibatnya, tanda-tanda tidak menyenangkan dari daerah yang tertekan tidak
diterima, sehingga tidak melakukan perubahan posisi.Berbeda dengan orang
tidur, untuk mengatasi tekanan yang lama pada daerah tertentu secara otomatis
akan terjadi perubahan posisi tubuh setiap 15 menit. Gerakan perubahan posisi
pada orang tidur biasanya lebih dari 20 kali setiap malam. Bila kurang dari 20
kali, maka akan berisiko untuk terjadinya ulkus dekubitus.
Lokasi Ulkus Dekubitus
Setiap bagian tubuh dapat terkena, tetapi umumnya terjadi pada daerah
tekanan dan penonjolan tulang.
1) Tuberositas ischii
Frekuensinya mencapai 30% dari lokasi tersering. Terjadi akibat tekanan
langsung pada keadaan duduk. Juga karena foot rest pada kursi roda yang
terlalu tinggi, sehingga berat badan tertumpu pada daerah ischium.
27
2) Trochanter mayor
Frekuensinya mencapai 20% dari lokasi yang tersering. Terjadi karena
lama berbaring pada satu sisi, kursi roda terlalu sempit, osifikasi
heterotropik, skoliosis, yang mengakibatkan pindahnya berat badan ke sisi
panggul yang lain.
3) Sacrum
Frekuensinya mencapai 15% dari lokasi tersering. Terjadi pada penderita
yang lama berbaring terlentang, tidak mengubah posisi berbaring secara
teratur, salah posisi path waktu duduk di kursi roda juga dapat terjadi
karena penderita merosot di tempat tidur dengan sandaran miring, terlalu
lama kontak dengan urin, keringat ataupun feces.
4) Tumit
Frekuensinya mencapai 10% dari lokasi tersering. Keadaan spastik pada
anggota gerak bawah dapat menimbulkan tekanan dan gesekan tumit pada
tempat tidur atau pada foot rest kursi roda.
5) Lutut
Terjadi bila penderita lama berbaring telungkup, sedangkan sisi lateral
lutut terkena karena lama berbaring pada satu sisi.
6) Maleolus
Maleolus lateralis dapat terkena karena berbaring terlalu lama pada satu
sisi, trauma pada waktu pemindahan penderita, posisi foot rest kurang
baik. Maleolus medialis juga dapat terkena karena gesekan kedua
maleolus kanan dan kiri akibat keadaan spastik otot aduktor.
7) Siku
Dapat terkena bila siku sering dipakai sebagai penekan tubuh atau
pembantu mengubah posisi.
8) Jari kaki
Dapat terkena pada posisi telungkup, sepatu yang terlalu sempit dan
sebagainya.
9) Scapulae dan Processus spinosus vertebrae
Dapat terkena akibat terlalu lama berbaring terlentang dan gesekan yang
sering.
28
Gambar 2. Daerah-daerah Lokasi Ulkus Dekubitus
Manifestasi Klinis
Gejala klinik yang tampak oleh penderita, biasanya berupa kulit yang
kemerahan sampai terbentuknya suatu ulkus. Kerusakan yang terjadi dapat
meliputi dermis, epidermis, jaringan otot sampai tulang. Tanda cidera awal
adalah kemerahan yang tidak menghilang apabila ditekan ibu jari, pada cidera
yang lebih berat dijumpai ulkus dikulit, dapat timbul rasa nyeri dan tanda-tanda
sistemik peradangan, termasuk demam dan peningkatan hitung sel darah putih,
dapat terjadi infeksi sebagai akibat dari kelemahan dan perawatan di Rumah
Sakit yang berkepanjangan bahkan pada ulkus kecil.
Klasifikasi berdasarkan gambaran klinis yang penting berkenaan dengan
penatalaksanaannya
Stadium 1 :
Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema pada kulit. Penderita
dengan sensibilitas baik akan mengeluh nyeri. Stadium ini umumnya reversibel
dan dapat sembuh dalam 5 - 10 hari.
29
Gambar 3. Stadium 1 Ulkus Dekubitus
Stadium 2 :
Ulserasi mengenai epidermis, dermis dan meluas sampai ke
jaringanadiposa.Terlihat eritema dan indurasi. Stadium ini dapat sembuh dalam
10 - 15 hari.
Gambar 4. Stadium 2 Ulkus Dekubitus
Stadium 3 :
Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkutis, dan otot sudah mulai
terganggu dengan adanya edema, inflamasi, infeksi dan hilangnya struktur fibril.
Tepi ulkus tidak teratur dan terlihat hiper atau hipopigmentasi dengan fibrosis.
Kadang-kadang terdapat anemia dan infeksi sistemik. Biasanya sembuh dalam 3 -
8 minggu.
Gambar 5. Stadium 3 Ulkus Dekubitus
30
Stadium 4 :
Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia, otot, tulang serta sendi. Dapat
terjadi artritis septik atau osteomielitis dan sering diserti anemia. Dapat sembuh
dalam 3 - 6 bulan
Gambar 6. Stadium 4 Ulkus Dekubitus
Diagnostik Pemeriksaan
Diagnosis ulkus dekubitus biasanya tidak sulit. Diagnosisnya dapat
ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Tetapi untuk
menegakkan diagnosis ulkus dekubitus diperlukan beberapa pemeriksaan
laboratorium dan penunjang lainnya.
Beberapa pemeriksaan yang penting untuk membantu menegakkan diagnosis
dan penatalaksanaan ulkus dekubitus adalah :
1. Kultur dan analisis urin
Kultur ini dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah
ada masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama pada
trauma medula spinalis.
2. Kultur Tinja
Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat
leukosit dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi pseudomembranous
colitis.
3. Biopsi
Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan
dengan pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk
31
melihat apakah terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Selain itu,
biopsi bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang menginfeksi ulkus
dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi osteomyelitis.
4. Pemeriksaan Darah
Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel darah putih
dan laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi bakteremia dan
sepsis.
5. Keadaan Nutrisi
Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses
penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah albumin
level, prealbumin level, transferrin level, dan serum protein level,
6. Radiologis
Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang akibat
osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X, scan tulang
atau MRI.
Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada stadium 3 dan 4 walaupun dapat juga pada
ulkus yang superfisial. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
Infeksi, sering brsifat multibakterial, baik yang aerobik ataupun anerobik.
Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteitis,
osteomielitis, artritis septik.
Septikemia.
Anemia.
Hipoalbuminemia.
Kematian
Penatalaksanaan
1. Pencegahan
Pencegahan ulkus dekubitus adalah hal yang utama karena pengobatan
ulkus dekubitus membutuhkan waktu dan biaya yang besar.
Tindakan pencegahan dapat dibagi atas
a) Umum :
32
Pendidikan kesehatan tentang ulkus dekubitus bagi staf medis,
penderita dan keluarganya.
Pemeliharaan keadaan umum dan higiene penderita.
b) Khusus :
Mengurangi/menghindari tekanan luar yang berlebihan pada daerah
tubuh tertentu dengan cara : perubahan posisi tiap 2 jam di tempat tidur
sepanjang 24 jam. melakukan push up secara teratur pada waktu duduk di
kursi roda. pemakaian berbagai jenis tempat tidur, matras, bantal anti
dekubitus seperti circolectric bed, tilt bed, air-matras; gel flotation pads,
sheepskin dan lain-lain.
Pemeriksaan dan perawatan kulit dilakukan dua kali sehari (pagi dan
sore), tetapi dapat lebih sering pada daerah yang potensial terjadi ulkus
dekubitus. Pemeriksaan kulit dapat dilakukan sendiri, dengan bantuan
penderita lain ataupun keluarganya. Perawatan kulit termasuk
pembersihan dengan sabun lunak dan menjaga kulit tetap bersih dari
keringat, urin dan feces. Bila perlu dapat diberikan bedak, losio yang
mengandung alkohol dan emolien.
2. Pengobatan
Pengobatan ulkus dekubitus dengan pemberian bahan topikal,
sistemik ataupun dengan tindakan bedah dilakukan sedini mungkin agar
reaksi penyembuhan terjadi lebih cepat. Pada pengobatan ulkus dekubitus
ada beberapa hal yang perlu diperhatkan antara lain:
a) Mengurangi tekanan lebih lanjut pada daerah ulkus.
Secara umum sama dengan tindakan pencegahan yang sudah dibicarakan
di tas. Pengurangan tekanan sangat penting karena ulkus tidak akan
sembuh selama masih ada tekanan yang berlebihan dan terus menerus.
b) Mempertahankan keadaan bersih pada ulkus dan sekitarnya.
Keadaan tersebut akan menyebabkan proses penyembuhan luka lebih
cepat dan baik. Untuk hal tersebut dapat dilakukan kompres, pencucian,
pembilasan, pengeringan dan pemberian bahan-bahan topikal seperti
33
larutan NaC10,9%,larutan H202 3% dan NaC10,9%,larutan plasma dan
larutan Burowi serta larutan antiseptik lainnya.
c) Mengangkat jaringan nekrotik.
Adanya jaringan nekrotik pada ulkus akan menghambat aliran bebas dari
bahan yang terinfeksi dan karenanya juga menghambat pembentukan
jaringan granulasi dan epitelisasi. Oleh karena itu pengangkatan jaringan
nekrotik akan mempercepat proses penyembuhan ulkus.
Terdapat 3 metode yang dapat dilakukan antara lain :
Sharp debridement (dengan pisau, gunting dan lain-lain).
Enzymatic debridement (dengan enzim proteolitik, kolagenolitik, dan
fibrinolitik).
Mechanical debridement (dengan tehnik pencucian, pembilas-an,
kompres dan hidroterapi)
d) Menurunkan dan mengatasi infeksi.
Perlu pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Antibiotika sistemik dapat
diberikan bila penderita mengalami sepsis, selulitis. Ulkus yang terinfeksi
hams dibersihkan beberapa kali sehari dengan larutan antiseptik seperti
larutan H202 3%, povidon iodin 1%, seng sulfat 0,5%. Radiasi ultraviolet
(terutama UVB) mempunyai efek bakterisidal.
e) Merangsang dan membantu pembentukan jaringan granulasi dan
epitelisasi.
Hal ini dapat dicapai dengan pemberian antara lain :
Bahan-bahan topikal misalnya : salep asam salisilat 2%, preparat seng
(Zn 0, Zn SO4).
Oksigen hiperbarik; selain mempunyai efek bakteriostatik terhadap
sejumlah bakteri, juga mempunyai efek proliferatif epitel, menambah
jaringan granulasi dan memperbaiki keadaan vaskular.
Radiasi infra merah,short wave diathermy, dan pengurutan dapat
membantu penyembuhan ulkus karena adanya efek peningkatan
vaskularisasi.
Terapi ultrasonik; sampai saat ini masih terus diselidiki manfaatnya
terhadap terapi ulkus dekubitus.
34
f) Tindakan bedah
tindakan ini selain untuk pembersihan ulkus juga diperlukan untuk
mempercepat penyembuhan dan penutupan ulkus, terutama ulkus
dekubitus stadium III & IV dan karenanya sering dilakukan tandur kulit
ataupun myocutaneous flap
3. Manajemen
Disesuaikan dengan stadiumnya
Managemen komprehensif untuk meminimalkan ketidakmampuan dan
meningkatkan kualitas hidup pasien
a. Fisioterapi
Tujuan: 1. Mengurangi Spasme otot
2. Pencegahan kontraktur
Cara : Positioning and Turning
Exercise Pasif dan Aktif
b. Psikologi
Tujuan: Memelihara status mental pasien dan keluarga, berupa emosi,
fungsi intelektual, dan fungsi persepsi
c. Okupasi Terapi
Tujuan: Melatih keterampilan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-
hari
d. Orthetik Prostetik
Tujuan: Memfasilitasi ambulasi dengan pembuatan crutch
e. Pekerja Sosial Medik
Tujuan: 1. Menilai situasi kehidupan pasien
2. Perantara dalam hubungan pasien/keluarga dan tim dokter
4. Pencegahan
Monitoring resiko ulkus dekubitus
Monitoring keadaan kulit secara teratur
35
Monitoring status mobilitas
Minimalkan terjadinya tekanan (Friction, Shear)
Monitoring inkontinensia
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 volume 2
Penerbit Jakarta: EGC.
Corwn elizabeth. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Doengoes Marlyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta :EGC
Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua.Yogyakarta: Gajahmada
University Press.
Huddak dan Gallo. 1996. Perawatan Kritis. Edisi VI, volume II, Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Acisculapus
Mahar Mardjono, Priguna Sidharta. 2004. Neurologi Klinis Dasar..Jakarta: Dian
Rakyat
Sjamsuhidrajat R, 1 W. 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran – EGC.
36