Upload
others
View
8
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN AKHIR PENELITIAN
MATA KULIAH METODE PENELITIAN KUALITATIF I
PARTISIPASI POLITIK PEMULA TERHADAP PEMILU 2019
Oleh: Kelompok 14
1. SHIDQI ALWAN HASIBULLAH (Alwan) 18/428317/SP/28526
2. IVAN HAFIZH BARRUDANA (Ivan) 18/430840/SP/28684
3. MUHAMMAD HAQIQURRAHMAN (Haqi) 18/428304/SP/28513
4. FATHIN DIFA ROBBANI (Difa) 18/428301/SP/28510
5. ARYA YUDHA ANDREA (Arya) 18/430833/SP/2867
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2019
KELOMPOK 14
Partisipasi Pemilih Pemula di Desa Girikerto
Daftar isi………………………………………………………………………i
BAB 1. Pendahuluan…………………..……………………………………..1
1.1 latar belakang………………………………..……………………………1
1.2 rumusan masalah………………….………………………………………2
1.3 metodologi penelitian……….…………………………………………….2
BAB 2. Latar Sosial……………………………………… ……..……………3
BAB 3. Analisis….……....……..……………………………………………..7
A. Lingkungan yang tidak mendukung diskusi politik……………….7
B. Tidak suka politik………………………………………………….8
C. Kampanye………………………………………………………….10
D. Kekecewaan terhadap politik………………………………………11
E. Apatisme……………………………………………………………14
BAB 4. Penutup……….………………………………………….……………….17
1. Kesmpulan……………………………………………………………17
2. Limitasi……………………………………………………………….17
3. Saran…………………………………………………………………..18
Daftar pustaka………………………………………………………………….19
Lampiran………………………………………………………………………..20
1. Pembagian Kerja Kelompok…………………………………….......20
2. Mind Map Kelompok……………………………………………….21
3. Mind Map Individu………………………………………………….22
4. Poster…………………………………………………………………27
i
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pemuda sepanjang sejarah nasional Indonesia memiliki peran penting di dalam demokrasi. Dimulai dari sumpah pemuda tahun 1928 hingga reformasi tahun 1998 yang diinisiasi oleh gerakan mahasiswa. Pemuda sebagai peran penting sendiri tidak bisa juga dilepaskan dalam konteks pemilu, terutama dalam hal ini adalah pemilu 2019, bagaimana pemuda dengan perang penting yang dia miliki ikut andil berpatisipasi dalam ranah pemilu?
Terutama untuk mereka para pemuda yang untuk tahun ini baru pertama kali merasakan mencoblos sebagai pemilih. Tetapi, di sini kami mencoba melihat pemuda—bukan hanya untuk yang pertama kali, tetapi secara keseluruhan. Lesley Pruitt (2017) dalam refleksinya terhadap pemuda dan partisipasti politik menjelaskan bahwa pemuda yang memiliki kepedulian terhadap isu publik, menginginkan para pemimpin politik mendengarkan suara mereka (Pruitt, 2017). Di dalam konteks pemilu di Indonesia sendiri kami juga melihat adanya ketidakikutsertaan pemuda di dalam ranah pemilu.
Sebagian besar pemuda justru memilih umtuk menjalani karir yang mereka miliki sendiri, darupada harus berurusan dengan perebutan jabatan. Hal ini kemudian jelas berbeda jika kita melihat bahwa selama ini pemuda selalu menjadi faktor penting di dalam proses terbentuknya demokrasi kita. Walaupun, di sisi lain partai politik seperti PSI (Partai Solidaritas Indonesia) yang memiliki banyak anggota yang masih bisa disebut sebagai pemuda itu ada. Tetapi di sisi lain, apakah setiap pemuda kemudian ikut berpatisipasi di dalam politik? Apakah pemuda yang berpatisipasi di dalam politik ikut mendengarkan pemuda yang lain? Seperti apa yang dijelaskan oleh Lesly.
Konteks pemilu pada tahun 2019 di sini menjadi penting juga karena muncul banyak pemilih pemula yang rata-rata adalah pelajar dan mahasiswa. Total terdapat 5.035.887 pemilih pemula pada tahun 2019 (BPS, 2013). Jumlah pemilih pemula yang cukup banyak ini kemudian dapat dijadikan sebagai salah satu acuan untuk menilai sejauh mana proses dinamika demokrasi di Indonesia. Walaupun, demokrasi tidak sepenuhnya berada di dalam kotak suara. Tetapi, proses bagaimana pemuda berpatisipasi di dalam pemilu ini cukup penting.
Rumusan masalah yang kita gunakan di dalam penelitian ini bagaimana pemuda dalam konteks pemilu 2019 berpatisipasi? Di sini kita mencoba mengkawinkan antara pemuda dengan partisipasi politik, hubungan diantara keduanya adalah pemuda biasnya memiliki antusias yang tinggi dalam berpolitik. Yang kemudian di sini kita mencoba melihat bagaimana pemuda di sini berpatisipasi.
1
Di dalam laporan penilitian ini kami mencoba menjawab pertanyaan ini dengan melakukan wawancara dengan beberapa pemuda di Yogyakarta. Kami mengambil beberapa pemuda secara acak, yang kemudian kami lakukan wawancara terhadap mereka. Yang mana, wawancara ini berdasarkan dengan rumusan masalah yang ada.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diambil untuk penelitian ini adalah mengenai pola perilaku pemuda menghadapi pemilu 2019. Dimana hal tersebut adalah salah satu permasalahan mengenai penerapan demokrasi di Indonesia. Jadi, rumusan masalah mengenai hal tersebut adalah :
1. Bagaimana pemuda berperilaku dalam pemilu 2019
3. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian model kualitatif yang dapat didefinisikan
sebagai suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami
suatu gejala sentral (Cresswell, 2008). Penelitian kualitatif bertujuan untuk menggali
dan mendapatkan informasi dari informan yang nyata terjadi di lapangan. Hal ini di
lakukan memlaui wawancara dan interaksi langsung antara informan dengan peneliti.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Tanggal 27-28 Maret di Desa Girikerto, Yogyarkarta
3. Informan
Pemilih Pemula di Desa Girikerto, Yogyakarta.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk pengumpulan data yaitu wawancara, observasi,
dokumentasi, dan catatan lapangan.
a. Wawancara: peneliti memberikan dan melakukan obrolan dengan informan
melalui pertanyaan- pertanyaan yang diajukan.
b. Observasi: peneliti mengamati kejadian yang terjadi di lingkungan sekitar
c. Dokumentasi: pengambilan foto/ gambar, recorder, dan video.
d. Catatan lapangan: pembuatan diary reflection selama melakukan penelitian
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah transcript dari hasil wawancara yang
telah dilakukan, indexing, coding, diary reflection dan mind mapping. Melalui
2
penelitian ini, nantinya data akan di analisis secara deskriptif dengan memberikan
gambaran secara umum tentang bagaimana pemilih pemula itu berpartisipasi dalam
pemilu 2019.
3
BAB II
LATAR SOSIAL
BAB II
DESKRIPSI WILAYAH
Gambar 1.1 Balai Desa Girikerto
Sumber : Dokumen Pribadi
Desa girikerto terletak di daerah Turi, Sleman, Yogyakarta. Desa ini masih sangat asri
dengan dipenuhi oleh perkebunan buah salak. Desa ini sering disebut sebagai desa wisata karena
4
desa ini banyak menyuguhkan pemandangan-pemandangan yang bagus dan wisata alam yang
menarik. Perkembangan desa wisata Girikerto ini didukung baik oleh pemerintahan desa ini dan
karang taruna di desa ini juga ikut serta memajukan desa ini agar lebih dikenal oleh khalayak
luar. Ada beberapa tempat wisata yang ada di Desa Girikerto ini, misalnya Tourism Village
Pancoh, Tourism Village Nganggring dan juga Desa Wisata Daleman. Letak desa ini cukup jauh
jika ditempuh dari Kota Yogyakarta, jarak yang ditempuh sekitar 45 menit. Girikerto sendiri
masih bercorak pedesaan karena masih banyak perkebunan buah salak di daerah ini dan
mayoritas pekerjaan disini yaitu sebagai tukang kebun buah salak. Akses menuju desa Girikerto
ini tidak sulit dan jalanan yang ditempuh cukup nyaman. Desa Girikerto masih memiliki
pemandangan yang bagus, masih banyak pohon-pohon yang menjulang tinggi sehingga terasa
nyaman dan sejuk saat disana.
Gambar 1.2 Salah Satu Rumah Di Desa Girikerto
Sumber : Dokumen Pribadi
Foto-foto diatas merupakan gambaran keadaan rumah-rumah di desa Girikerto.
Masih ada beberapa rumah yang hanya beralaskan semen saja, sangat terpencil hingga saat ingin
5
dilakukan penelitian, letak rumah tersebut sedikit sulit dicari. Kondisi ekonomi masyarakat di
desa Girikerto masih banyak yang menengah ke bawah karena mayoritas warga disana bekerja
sebagai tukang kebun. Tidak banyak warga disana yang bekerja di daerah kota karena banyak
faktor yang mempengaruhi. Di desa ini akses untuk membeli kebutuhan sehari-hari seperti
bahan-bahan pokok cukup jauh karena tidak ada pasar di sekitar daerah desa tersebut dan harus
turun menuju kota untuk membelinya. Di desa ini juga ada minimarket namun hanya sedikit,
bahkan bisa dihitung.
6
BAB III
ANALISIS
A. Lingkungan yang Tidak Mendukung Diskusi Politik
Keluarga adalah lingkungan pertama manusia. Perilaku manusia biasanya dibentuk
berawal dari lingkungan keluarga. Menurut Septiana, Syahrul, Hermansyah dalam penelitian
mereka terhadap pengaruh keluarga pada siswa sekolah menengah pertama (SMP) yang merokok
di tahun 2016, faktor paling dominan yang mempengaruhi siswa merokok adalah keluarga. Hal
itu membuktikan bahwa keluarga memang memiliki peran besar dalam mempengaruhi
seseorang. Begitupula dengan diskusi politik, jika keluarga tidak mendorong untuk diskusi
politik maka hal tersebut akan mempengaruhi perhatian seseorang dalam diskusi politik.
Cohen (Fisher, 1984; dalam Veitch & Arkkelin, 1995) juga menambahkan bahwa
lingkungan mempengaruhi perilaku seseorang. Menurutnya salah satu asumsi dasar teori beban
lingkungan adalah karena keterbatasan kapasitas manusia dalam pemprosesan informasi.
Penjelasannya, jika proses informasi yang masuk melebihi kapasitas maka seseorang akan
memilah informasi yang bermakna dan tidak bermakna. Semakin bermakna stimulus informasi
maka semakin mendapat perhatian lebih dalam. Contoh seseorang mengendarai mobil dalam
situasi jalan yang padat sehingga orang tersebut memiliki perhatian lebih dalam terhadap situasi
jalan agar bisa mengendarai mobil dengan selamat dibandingkan memperhatikan percakapan
penumpangnya. Setelah melewati situasi jalan yang padat maka sopir akan kembali melanjutkan
perhatiannya pada percakapan penumpangnya. Jika stimulus informasi tidak melebihi kapasitas
maka akan berkurangnya perhatian sehingga timbul kebosanan. Contoh seseorang mengendari
mobil di jalan tol yang sepi, dengan pemandangan yang konstan maka seseorang tersebut akan
merasa bosan. Hubungan dengan topik ini, seseorang yang tidak memiliki dorongan terhadap
diskusi politik artinya bergantung pada stimulus informasi yang melebihi kapasitas atau tidak.
Pemuda di desa yang penulis teliti memiliki dua kemungkinan. Stimulus informasi yang
melebihi kapasitas tetapi diskusi politik di lingkungannya tidak bermakna bagi para pemuda atau
7
stimulus informasi mengenai politik berada tidak mencapai kapasitas sehingga menganggap
topik politik membosankan.
Lingkungan desa tersebut yang tidak mendukung diskusi politik juga disampaikan oleh
informan dalam wawancara kualitatif penulis sebagai berikut:
Nenek Zildan: ga ada, ga ada serangan disini (tertawa bercanda). sepi mas disini” [00:17:07.00]
Nenek Zildan: kalo di kota mungkin rame ya mas, maksudnya ya bukan di kampung kayak gini.
ya kayak daerah kota yang rame-rame gitu ya mungkin rame kalik, ada serangan-serangan juga
kalik (ketawa) [00:17:20.00]
Nenek Zildan: dia (zildan) ga pernah merhatiin mas. dia main gituu aja, kek ginian nih (nunjuk
gitar). dan disini juga kayaknya ga pada gimana gitu. kalo di kota kan, kayak waktu dulu saya di
jakarta kan rame, uuwwwwh, pada punya pilihan sendiri-sendiri. pada 'udah lo pilih ini aja' pada
saling begitu.kalo disini, ga ada. yaudah anak-anak, mancing mancing aje
(semua ketawa) [00:18:35.16]
Nenek Zildan: ga ada temen-temen yang ngomong politik (tertawa) [00:20:11.21]
Nenek Zildan: disini sih anak muda nya ga ada yang ngomongin politik. beda ga kayak di jakarta
kan 'lu pilih ini aja itu aja' nah kek gitu kan. kalo disini ga ada [00:22:40.12]
Dari yang disampaikan nenek Zildan, yaitu salah satu nenek dari pemuda desa tersebut, dapat
dilihat bahwa di lingkungan tersebut tidak mendorong untuk diskusi mengenai politik. Jika mengutip dari
yang dikatakan Cohen (Fisher, 1984; dalam Veitch & Arkkelin, 1995) diatas, pemuda di desa
tersebut memiliki stimulan informasi politik dibawah kapasitas, sehingga diskusi politik menjadi
hal yang membosankan. Ditambah pula dengan salah satu informan penulis bernama Zildan
memiliki latar belakang pemusik dan videografer sehingga ketertarikan dia ada pada musik dan
video. Topik politik menjadi hal yang tidak menarik.
Keluarga dari Zildan juga tidak begitu antusias dalam topik politik. Nenek Zildan yang tinggal
bersama Zildan pun juga tidak begitu paham politik. Lingkungan keluarga yang tidak mendorong
membahas politik juga menjadi salah satu faktor kuat ketidaktertarikan pemuda desa tersebut untuk
membahas politik. Kelima informan penulis memiliki kesamaan hasil wawancara yaitu mereka cenderung
apatis terhadap isu politik. Lingkungan mereka yang tidak mendorong diskusi politik memang menjadi
salah satu faktornya.
8
B. Tidak Suka Politik
Pada sub bab kali ini akan dijelaskan mengapa sebagian masyarakat Girikerto tidak suka
terhadap sistem politik yang ada sekarang ini. Pada penelitian yang kami lakukan kali ini kami
mewawancarai kelima orang anak dan kami mendapatkan jawaban yang sama yaitu mereka tidak
suka politik. Banyaknya krisis politik yang terjadi juga memungkinkan masyarakat Girikerto
tidak suka terhadap politik yang ada. Buruknya perilaku elit-elit politik menyebabkan
masyarakat tidak percaya terhadap mereka, masyarakat berkaca terhadap keadaan politik yang
sebelum-sebelumnya pernah terjadi.
Persepsi anak terhadap politik sebenarnya juga tercipta oleh beberapa faktor, antara lain
lingkungan yang tidak mendukung sejak dini sehingga ketika menginjak dewasa maka anak
remaja tersebut tetap apatis terhadap politik yang ada. Tidak hanya satu atau dua orang yang
bersikap apatis, namun juga circle yang ada dalam kelompok tersebut, circle tersebut bisa
tericpta karena adanya kesamaan hobi satu sama lain.
Faktor lain yang membuat elit politik terlihat buruk yaitu karena semakin canggihnya
tekonologi pada zaman sekarang membuat media elektronik dan media sosial semakin mudah
diakses. Masyarakat bisa mendapatkan informasi politik yang sekarang dengan hanya melihat
dari ponsel. Berbeda dengan zaman dulu yang mana informasi terhadap elit politik masih kurang
bisa diakses, masyarakat hanya tahu sedikit tentang politik dan mereka mudah percaya terhadap
kampanye yang dilakukan elit politk, namun sekarang ini masyarakat sudah semakin cerdas
tentang situasi politik yang sekarang, mereka tidak mudah percaya dan menganggap bahwa apa
yang dikatakan elit politik itu hanya sekadar omong kosong yang hanya menguntungkan
kelompok mereka sendiri, apalagi perkataan yang memntingkan aspirasi publik. (Said Riduan ,
2014:4)
Menurut informan kami yang bernama Faiz, ia berpendapat bahwa dirinya tidak
menyukai politik karena hanya sebatas tidak suka saja. Ia tidak memiliki ketertarikan sama sekali
terhadap ilmu politik, sehingga membuat dirinya tidak mengetahui apa-apa tentang politik.
Ketika kami tanya alasannya, ia menjawab dengan jawaban yang apatis. Ia beranggapan bahwa
lebih penting memikirkan pekerjaan dirinya sendiri terlebih dahulu daripada memikirkan negara
karena hal itu membuatnya pusing. Namun, Faiz ini tidak 100% apatis, ia masih mengikuti
9
pemilu yang berlangsung pada 2019 ini. Ia memilih Jokowo waktu itu dengan alasan sesuai
dengan isi hatinya, ia tidak memilih Prabowo karena merasa Prabowo itu orang yang terlalu
keras menrutnya. Latar belakang Prabowo mungkin juga menjadi gambaran bagi Faiz untuk
tidak memilihnya. Faktor lain yang membuatnya mengikuti pemilu mungkin karena ayahnya
juga yang berpartisispasi menjadi panitia pemilu di daerahnya. Ayahnya ini juga cukup tahu
tentang politik, meskipun ia tidak aktif di daerahnya. Ayahnya juga tidak ingin ikut campur
tangan terhadap politik uang yang kotor, meskipun sudah pernah ditawari amplop, ia hanya
menganggap semua sebagai candaan saja. Apalagi Faiz, ia bahkan tidak tahu jika ada orang yang
bermain politik uang pada saat pemilu. Wawasannya terhadap pemilu hanya sedikit, hanya
presiden saja yang ia ketahui, selain itu ia hanya memilih asal atau orang yang ia ketahui saja.
Kurangnya sosialisasi di daerah tersebut dirasakan oleh Faiz dan juga ayahnya, mereka
menganggap bahwa para elit politik ini hanya melakukan kampanya di daerah kota saja, tidak
sampai ke pelosok. Hal ini juga mungkin bisa menyebabkan orang-orang yang di daerah pelosok
lainnya juga mengalami minimnya wawasan terhadap politik. Faiz hanya melihat berita-berita
tentang politik secara tidak sengaja dari tv ataupun internet. Mungkin sesekali membuatnya ingin
melihat berita politik, namun ia tak pernah secara sengaja mencari informasi tentang pemilu
ataupun yang berkenan dengan politik.
Story Box
Faiz Ma’ruf merupakan pemuda Girikerto yang dari kecil hingga dewasa berkembang di
desanya. Ia yang sekarang lebih fokus terhadap masa depannya dengan mengambil pendidikan
sekolah Jepang yang nantinya jika sudah siap akan dipekerjakan ke Jepang. Ia mengakui dari
kecil dirinya dan teman-temannya memang tak pernah berurusan sama sekali terhadap politik,
yang membuatnya buta terhadap politik. Faiz yang aktif mengikuti organisasi di desa pun tak
pernah membahas sama sekali tentang pemilu ataupun politk yang lainnya. Ia lebih fokus pada
tujuan yang ada di organisasi tersebut. (Faiz Ma’ruf)
C. Kampanye
10
Indonesia merupakan negara yang berbentuk republik. Pemimpin di Indonesia merupakan
seorang presiden yang dimana dalam proses pemilihannya melalui cara pemilu. Jumlah pemilu
yang dilakukan di Indonesia sudah sebanyak 12 kali dihitung sejak tahun 1955 hingga tahun
2019. Adanya pemilu karena Indonesia merupakan negara yang berlandaskan demokrasi, dimana
semua keputusan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemilu dilakukan untuk memilih
calon presiden dan wakil presiden dan para anggota legislatif secara luberjurdil. Pemilu tahun ini
berbeda pada tahun 2014, dimana pemilu tahun ini dilakukan serentak dengan pemilihan calon
legislatif, sedangkan pemilu tahun 2014 dilakukan secara tidak serentak.
Kita tahu bahwa dalam penyebaran kampanye pemilu tahun ini banyak dilakukan cara-
cara untuk menarik minat massa dalam memilih capres dan cawapres dan anggota legislatif yang
menyalonkan diri. Banyak para calon-calon anggota parlemen maupun capres dan cawapres yang
menggunakan media sosial dalam menarik massa. Media sosial yang biasa digunakan yaitu
twitter dan instagram. Media sosial sendiri dianggap mampu memberikan dampak positif dalam
pemilu karena menurut data statistik, pengguna media sosial di Indonesia di tahun 2013
mencapai 74 juta orang (Fatanti, 2014). Jumlah pengguna media sosial di Indonesia yang sangat
banyak dan cenderung selalu mengalami peningkatan yang signifikan di nilai sebagai hal yang
ampuh untuk mengambil hati masyarakat Indonesia (Fatanti, 2014). Tentunya media sosial yang
hingga saat ini sangat berperan dalam kehidupan kita, hal ini juga memberikan dampak pada
beberapa bidang pemerintahan, salah satunya bidang politik (Anshari, 2013). Adanya media
sosial juga bisa menjadi sarana untuk berinteraksi secara langsung dengan masyarakat Indonesia
mengingat jika bertemu secara langsung itu sulit dilakukan karena tidak semua orang bisa
bertemu dengan pejabat-pejabat pemerintah (Anshari, 2013).
Berdasarkan survey yang dilakukan di desa Girikerto, survey membuktikan bahwa justru
masih ada masyarakat yang kurang mengenali calon-calon pejabat pemerintahan, padahal sudah
ada media sosial sebagai salah satu perantara dalam pengenalan calon-calon pejabat. Para
masyarakat masih ada yang hanya asal memilih dikarenakan kurangnya sosialisasi di desa
Girikerto. Hal ini sungguh disayangkan mengingat akses menuju desa tersebut cenderung tidak
sulit namun pada faktanya masih ada warga yang hanya asal memilih. Para warga yang kami
survey juga merasa tidak peduli dengan siapa yang mereka pilih karena mereka juga sudah
melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara yang baik dengan melakukan pemilu. Para
11
warga di desa Girikerto tidak ada yang melakukan golput karena itu akan mencederai pemilu
Indonesia.
D. Kekecewaan Terhadap Politik
Tahun 2019 seperti yang kita ketahui adalah tahun politik di Negara kita ini Republik Indonesia, tepat pada tanggal 17 April lalu diadakan pemilihan umum untuk memilih presiden dan para wakil rakyat, pemilu di Indonesia memanglah simpang siur tiap tahun nya terkadang pemilu menunjukan hasil positif, hasil positif yang dimaksud adalah pada proses pemilihan umum dan ketika para calon wakil rakyat telah terpilih pun tetap tercipta situasi yang kondusif dan para wakil rakyat yang terpilih juga menunjukan kinerja yang baik namun terkadang pula pemilu menunjukan hasil yang negatif dimana pada proses pemilu hingga terpilihnya para wakil rakyat menunjukan hasil yang mengecewakan rakyat Indonesia, mulai dari proses perebutan kekuasaan dan jabatan yang sarat akan politik kotor hingga para pejabat Negara yang telah terpilih melakukan korupsi hingga menghambat perkembangan Negara Indonesia (Husein,2014). Proses pemilu di Indonesia yang seperti itu tentu menciptakan persepsi masyarakat bahwa politik di Indonesia itu buruk atau setidaknya politik di Indonesia itu tidak sehat.
Tidak sedikit dari rakyat Indonesia yang memutuskan untuk menjadi golput atau golongan putih mereka memilih untuk tidak menggunakan hak suara mereka, proses golput ini dapat diartikan sebagai bentuk pemberontakan masyarakat terhadap sistem politik yang dijalankan di Indonesia. Bila dilihat dari sudut pandang masyarakat yang golput mungkin tindakan ini dapat dibenarkan karena itu juga adalah hak suara mereka dimana mereka memilih untuk tidak memilih, namun apabila dilihat dari sudut pandang aparatur Negara tindakan ini bisa saja dikatakan tidak benar adanya karena para pelaku golput secara tidak langsung juga menciderai demokrasi yang berlaku di Indonesia dimana seharusnya rakyat dengan bebas memilih wakil rakyatnya (Subanda, 2009). Jumlah para golongan putih pada pemilu pun terus bertambah tiap edisi pemilu sebagai contoh Menurut catatan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dari 26 Pemilu kepala daerah tingkat provinsi yang berlangsung sejak 2005 hingga 2008, 13 pemilu gubernur justru dimenangi golongan putih alias golput. Artinya, jumlah dukungan suara bagi gubernur pemenang Pilkada kalah ketimbang jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. (Subanda, 2009).
Sebenarnya ada banyak faktor yang mempengaruhi terus meningkatnya jumlah golongan putih pada tiap edisi pemilu di Indonesia salah satunya adalah terciptanya kekecewaan rakyat Indonesia selaku pemilik hak suara dalam pemilu terhadap situasi politik di Indonesia. Masyarakat Indonesia juga merasakan kekecewaan terhadap partai politik yang ada di Indonesia karena menurut masyarakat partai politik yang ada di Indonesia sarat akan makna dan tujuan yang terselubung dalam meraih kekuasaan dan menduduki kursi pemerintahan di Indonesia Kondisi tersebut terungkap dalam survei Indo Barometer (M. Qodari), bahwa Publik menganggap peran parpol paling menonjol adalah memperjuangkan kepentingan partai dan
12
pengurus partai itu sendiri (18,3%), disusul memperebutkan kekuasaan di pemerintahan (18,3%). Adapun peran positif seperti pendidikan politik dan kaderisasi kepemimpinan persentasenya hanya kecil, masing-masing 7,5% dan 2,6%. (Subanda, 2009). Kondisi seperti inilah sebenarnya yang tengah terjadi dalam politik Indonesia apabila situasi politik di Indonesia tidak kunjung berbenah mungkin selamanya pula persepsi masyarakat kepada politik Indonesia akan cenderung semakin buruk bukan tidak mungkin pula jumlah para masyarakat yang memutuskan untuk tidak menggunakan hak suaranya semakin meningkat.
Kondisi seperti ini pula lah yang kami temui ketika kami melakukan penelitian tentang partisipasi politik di desa Girikerto Turi, Sleman Yogyakarta beberapa responden kami menyatakan kecewa terhadap politik di Indonesia bahkan ada pula yang menyatakan sudah malas dengan politik di Indonesia seperti salah satu responden kami yang bernama Feriadi beliau mengungkapkan bahwa beliau sudah malas dengan politik di Indonesia sehingga membuatnya cenderung tidak aktif dalam berpolitik. Tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa politik yang sesungguhnya itu adalah politik yang hanya ada diantara para petinggi Negara sedangkan politik yang ada di sekitar mereka hanyalah politik yang sarat akan kekerasan dan menimbulkan perpecahan dan merusak kestabilan yang sudah tercipta diantara para warga Girikerto hanya karena berbeda pandangan bahkan pilihan politik dapat memicu permusuhan antar warga. Menurut pandangan responden kami yang bernama Feriadi salah satu contoh politik yang dapat menimbulkan perpecahan adalah kampanye pemilu, kampanye yang dilakukan dengan konvoy dijalanan dengan saling menggeber kendaran dengan keras tentu akan diakhiri dengan tawuran dengan kubu kampanye politik lawan.
Warga girikerto juga banyak yang sudah bosan dengan situasi politik di Indonesia yang cenderung tidak berbenah kearah yang lebih baik mereka merasa bahwa para petinggi Negara kerjanya tidak becus dan identik dengan tindakan korupsi, mereka merasa bahwa politik hanya buangbuang waktu tenaga dan pikiran. Ketika mereka dihadapkan pada banyaknya pilihan politik mereka akan cenderung memilih calon wakil rakyat yang mereka kenal atau setidaknya ada hubungan yang dekat dengan mereka dengan asumsi calon itulah yang terbaik, ada pula yang menentukan pilihan politknya mengacu pada siapa yang paling banyak memberikan bantuan kepada mereka seebagai contoh ada salah satu calon wakil rakyat yang memberikan bantuan berupa sembako dan keperluan rumah tangga lainya, bukan dari track record si calon atau dari visi misinya hal ini adalah buah dari rasa skeptis dari masyarakat Indonesia hal inilah yang kami temui ketika kami melakukan penelitian disana.
Sebagian besar warga Girikerto memang memiliki kekecewaan terhadap politik di Indonesia dan cenderung sudah merasa bosan dengan politik di Indonesia yang tidak berkembang namun hal itu bukan berarti masyarakat tidak memiliki harapan untuk politik di Indonesia kedepannya masyarakat Girikerto pun sebenarnya berharap politik di Indonesia segera membaik dan para jajaran petinggi Negara Indonesia diisi oleh orang-orang yang jujur dan benar-benar bisa mewakili rakyat, mewakili segala keresahan dan kebutuhan rakyat itu sendiri,
13
sesungguhnya masyarakat juga ingin tidak ada perpecahan diantara mereka, mereka ingin hidup tenang dan senantiasa bahagia jauh dari pertikaian dan kekerasan.
Masyarakat Girikerto juga ada yang menyatakan apabila situasi politik di Indonesia ini bersahabat dan jauh dari pertikaian mereka pasti sebagai masyarakat Indonesia akan ikut berpartisipasi lebih aktif dalam demokrasi dan politik di Indonesia, mereka pun akan senantiasa menggunakan hak suara mereka ketika pemilu tiba, mereka akan menganggap bahwa pemilu adalah pesta rakyat dimana masyarakat akan senantiasa bahu-membahu ikut membangun Indonesia bukannya malah menjadi ajang pertikaian dan pertengkaran antar sesaman masyarakat.
E. Apatis
Media sosial saat ini menjadi sebuah tempat di mana pertukaran informasi terjadi dengan bergitu cepat. Setiap orang saat ini bisa menjadi produser dan konsumen dari informasi yang ada di saat yang bersamaan. Dengan kata lain, apapun yang terjadi di dunia ini dapat sangat mudah dibagikan oleh siapapun, dan apapun konten yang dibagikan. Sehingga kebenaran dari informasi yang ada ini pun tidak mudah untuk dikontrol. Banyak warganet yang menerima setiap informasi, lalu menyebarkannya begitu saja, yang hingga taraf tertentu dapat menjadi viral.
Dalam kasus di Indonesia pemerintah sendiri pernah mebatasi persebaran informasi di media sosial ini pada tanggal 22 mei 2019. Yang kemudian, mengakibatkan proses komunikasi mengalami hambatan, karena tidak semua media sosial pada saat itu tidak dapat digunakan, seperti twitter yang masih dapat diakses. Di sisi lain, pembatasan ini juga sangat mudah untuk diatasi oleh sebagaian besar masyarakat melalui Virtual Private Network (VPN). Yang dapat membuat pengguna mengakses internet melalui jaringan luar, walaupun memiliki kecepatan yang relatif jauh lebih lambat dibandingkan menggunakan koneksi yang asli, juga lebih rentan terhadap pencurian data.
Pembatasan ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia terkait dengan aksi massa yang tidak setuju dengan hasil perhitungan suara KPU yang memenangkan pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin, massa yang datang tidak setuju terhadap bagaimana proses perhitungan suara yang memengankan paslon 01. Kejadian ini awalnya diinsiasi oleh beberapa elit politik seperti Amin Rais yang mengatakan akan adanya demonstrasi yang dia sebut sebagai “people power”, lalu diganti menjadi Gerakan Kedaulatan Rakyat (GKR). Di sini dapat dilihat jika beberapa elit politik mencoba untuk menciptakan ketidakpercayaan terhadap lembaga pemerintahan—yang dalam kasus ini KPU itu sendiri. Di satu sisi, sebelum KPU mengumumkan hasil dari perhitungan suara, beberapa elit politik juga mencoba untuk menciptakan ketidakpercayaan lagi terhadap hasil dari quick qount, hal ini dapat dilihat dari bagaimana para pendukung paslon 02 mencoba membuat sendiri hasil quick qount yang memenangkan pasangan mereka sendiri. Sehingga, aksi GKR dapat dilihat sebagai hasil akumulasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan.
14
Kemudian, aksi GKR pada 22 mei 2019 itu juga berujung dengan keributan yang terjadi antara aparatus negara dengan aksi demonstran yang berujung dengan meninggalnya 8 korban yang merupakan masyarakat sipil. Aksi ini dinilai oleh Menteri Polkumham sebagai bentuk kejahatan serius yang harus segera ditindak lanjuti. Melihat adanya kekacauan yang terjadi pada saat aksi, pemerintah sendiri mencoba untuk mencegah kekacauan yang ada tersebut menyebar melalui pembatasan sosial media. Dan hal ini, menunjukan bagaimana pemerintah cukup serius dalam menghadapi persebaran informasi yang terjadi di sosial media. Seperti yang dilakukan Effendi Gazzali (2014) pada eksperimenya bahwasannya hanya dengan menyentuh layar, melalui klik, retweet, dan share, gerakan masyarakat dapat terjadi (Gazali, 2014). Karena, sosial media sendiri sebenarnya memiliki kekuatannya sendiri, komunikasi di dalam sosial media jauh lebih interaktif jika dibandikan dengan media massa yang selama ini digunakan. Setiap orang pada saat ini dapat menjadi produsen sekaligus konsumen dari informasi yang menyebar tersebut.
Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengambil langkah pembatasan sosial media di saat konflik. Negara lain, seperti India pada saat konflik Khasmir juga pernah melakukan penutupan informasi melalui apapun termasuk sosial media. Iran juga pernah mengalami hal yang sama di saat terjadi protes terhadap pemerintah pada tahun 2017, Sri Lanka pada 21 April melakukan pembatasan terkait dengan pengeboman gereja dan hotel (Ludwianto, 2019). Kesamaan yang ada di dalam kasus ini adalah bahwa pembatasan sosial media dilakukan karena adanya konflik yang terjadi, dan oleh karena itu informasi yang tersebar dibatasi atau ditutup sekaligus untuk keamanan negara. Negara di sini memang memiliki kekuatan untuk mengontrol bagaimana proses informasi masuk atau keluar di dalam wilayah konstitusinya. Untuk melakukan hal tersebut maka negara membutuhkan apa yang disebut sebagai tools power di sini. Dalam kasus Sri Lanka untuk mencegah teror menyebar dikarenakan kematian yang diakibatkan melalui pengeboman, maka negara di sini berupaya untuk menutup akses informasi di media sosial untuk menghentikan teror. India melakukannya untuk kasus Khasmir dikarenakan ditakutinya agar konflik yang terjadi tidak menyebar dengan luas. Dalam kasus indonesia, hampir serupa dimana negara di sini mencoba mencegah konflik menyebar luas melalui media sosial. Yang walaupun di satu sisi informasi dapat menyebar, tetapi setidaknya informasi yang menyebar di sini dapat diredam dengan adanya pembatasan yang terjadi.
Pembatasan media sosial berarti dapat diartikan sebagai pembatasan proses pertukaran informasi di sini juga berhenti. Dalam kasus Indonesia, pertukaran informasi ini tidak sepenuhnya berhenti, dikarenakan penggunaan VPN dan tidak semua akses sosial media di sini diputus oleh pemerintah, seperti twitter yang masih dapat diakses. Bagaimanapun, pembatasan yang dilakukan pemerintah pada saat kekacauan terjadi tidak benar-benar melumpuhkan pertukaran informasi yang ada. Media massa maupun media sosial masih saja menyebarkan berita atau informasi terkait aksi tersebut. Bahkan, dengan adanya VPN seakan-akan membuat pembatasan sosial media itu sia-sia, dan justru menghambat perekonomian sebagai efek samping yang terjadi.
15
Lalu apa yang sebenarnya dilakukan negara pada saat kekacauan terjadi pada 22 Mei? Apakah hanya sebuah aksi yang sifatnya reaksioner? Atau memang sudah dipersiapkan? Berdasarkan dari website kominfo sendiri melalui Wiranto sebagai Meteri Polkumham bahwa pembatasan ini dilakukan demi kepentingan negara, dan karena opini yang terbangun di masyarkat sudah melewati batas (Anonymous, 2019). Melalui apa yang dikatakan Wiranto, maka permaslahan mengenai penutupan media sosial pada 22 mei ini adalah bagaimana hoaks menyebar di media sosial, dan bagiamna proses demokrasi itu sendri dibangun di tengah-tengah pemilu. Seperti yang telah dibahas di atas bahwa proses diskursus sendiri di sini sudah mengarahkan kepada publik untuk menciptakan ketidakpercayaan terhadap lembaga pemerintah. Sehingga proses terjadinya aksi masaa ini, tidak terjadi secara begitu saja, melainkan melalui sebuah proses bertahun-tahun sebelumnya. Seperti apa yang dikatakan presiden Joko Widodo bahwa dirinya sering diserang dengan pelbagai hoaks dan kebencian mengenai dirinya.
Maka dimana sebenarnya kebenaran yang terbangun di dalam masyarakat saat ini sehingga memunculkan kemarahan dan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintahaan itu sendiri. Bahwa negara juga seharusnya mempersiapkan dirinya untuk mengatasi permasalahan hoaks yang sudah lama menjamur ini.
16
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Politik merupakan suatu hal yang cukup penting demi berlangsungnya kehidupan
berbangsa dan bernegara. Bangsa yang kuat yaitu bangsa memiliki rakyat yang sadar akan
pentingnya politik yang jujur dan adil demi kemajuan rakyat sehingga semua bisa hidup
sejahtera. Namun semua itu harus didukung oleh semua aspek, dari elit politik maupun
masyarakat. Di sini kami menemukan adanya persamaan jawaban dari 5 informan yang kita
temui. Mereka menagkui bahwa mereka tidak menyukai politik yang ada sekarang ini. Ada
beberapa faktor yng kita temui antara lain seperti kecewa terhadap sistem politik yang terdahulu,
ada yang sekadar tidak suka karena memang dari kecil tidak memiliki minat terhadap politik,
kurangnya kampanye di daerah tersebut dan juga lingkungan yang tidak mendukung. Informan
pertama menjawab bahwa dirinya kecewa terhadap sistem politik yang sekarang ini sehingga
dirinya tidak ingin terlibat langsung dalam politik. Informan kedua mengakui dirinya tidak suka
politik karena memang dari kecil tidak ada minat terhadap politik, begitu juga dengan teman-
temannya yang tidak menyuaki politik sehingga tidak ada diskusi politik di dalam kelompok
informan tersebut. Lalu informan ketiga menyebutkan bahwa lingkungannya tidak mendukung
atau sama-sama tidak menyukai politik.
17
Hasil dari wawancara kami ini menjelaskan bahwa mereka apatis bukan karena kemauan
mereka sendiri, namun ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka bertindak apatis. Hal ini
juga didorong oleh orang tua mereka yang juga menganggap politik itu hal yang buruk.
2. Limitasi
Kendala yang kami alami selama ini adalah para informan ini susah ditemui karena
mereka baru saja lulus dari SMA/SMK sehingga mereka sibuk mencari pekerjaan di luar
deaerah. Ada juga yang bekerja di daerah setempat, namun harus menunggu hingga jam
pulang mereka selesai. Selain itu kami juga masih merasa kurang dalam melakukan
wawancara kali ini dikarenakan data yang kita peroleh masih kurang banyak dan belum
memuaskan bagi kami. Dalam melakukan wawancar masih kurang percaya diri, merasa
tertekan, dan takut akan yang kita omongkan salah. Topik yang kita angkat meliputi pemilu
dan hal kecil lainnya sebagai basa-basi saja.
3. Saran
Berdasarkan penelitian yang kita lakukan, peneliti ingin menyampaikan kepada siapa saja
bahwa politik itu penting untuk kita pahami. Jangan sampai kita buta akan politik karena hal
itu bisa dimanfaatkan oleh elit politik. Selain itu jika kita paham akan politik juga tidak ada
ruginya dan itu akan menambah wawasan kita terhadap politik. Jika bukan kita yang bersikap
adil dan jujur, maka elit politik yang buruk akan terus berkuasa, citra politik akan selamanya
dianggap buruk oleh masyarakat.
18
DAFTAR PUSTAKA
Septiana, Syahrul, Hermansyah. 2016. Faktor Keluarga Yang Mempengaruhi Perilaku
Merokok pada Siswa Sekolah Menengan Pertama. Jurnal Ilmu Keperawatan. Diakses dari
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JIK/article/download/6260/5162 diakses pada 16 Juni 2019.
Helmi, Avin Fadilla. 1999. Beberapa Teori Psikologi Lingkungan. Buletin Psikologi, Tahun
VII, No 2. Diakses dari https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/download/7404/5758
diakses pada 16 Juni 2019
Said, Riduan, 2014, Persepsi Masyarakat Mengenai Partai Politik di Kelurahan Penyengat Kota
Tanjung Pinang
Fatanti, Megasari N., 2014. Twitter dan Masa Depan Politik Indonesia: Analisis
Perkembangan Komunikasi Politik Lokal Melalui Internet. Malang. Departemen Ilmu
Komunikasi.
Anshari, Faridhian. 2013. Komunikasi Politik di Era Media Sosial. Jakarta. Staff Pengajar
STT PLN Jakarta.
Husein, Harun, 2014, Pemilu Indonesia Fakta, angka, analisis, dan studi banding
Subanda, Nyoman, 2009, ANALISIS KRITIS TERHADAP FENOMENA GOLPUT DALAM PEMILU
19
Anonymous. (2019, Juny 2019). kominfo. Retrieved from kominfo: https://kominfo.go.id/content/detail/19266/menko-polhukam-pembatasan-media-sosial-untuk-kepentingan-negara/0/berita
Gazali, E. (2014). Learning by clicking: An experiment with social media democracy in Indonesia. the International Communication Gazette, 425-439.
Habermas, J. (1988). Legitimation Crisis. Cambridge: Polity Press.
Ludwianto, B. (2019, May 23). Kumparan. Retrieved from Kumparan: https://kumparan.com/@kumparantech/6-negara-yang-pernah-batasi-akses-media-sosial-selain-indonesia-1r8Oaqq0H0h
LAMPIRAN
A. Pembagian Kerja
20
B. Mind Map
Kelompok
21
NO
.NAMA PEWAWANCARA TUGAS
1. Shidqi Alwan HBab III. B, BAB IV,
Menyatukan
2. Ivan Hafiz B Bab II & Bab III. C
3. Fathin Difa R Bab III. A
4. Muhammad Haqiqurrahman Bab III. D & Poster
5. Arya Yudha Andrea Bab I & Bab III. E
C. Mind Map Individu
1. Alwan
22
2. Ivan
23
3. Haqi
24
4. Arya
25
partisipasi politik
pemilih pemula
keaktifan dalam
mengikuti pemilu 2019
sumber yang didapatkan
dalam memilih di
pemilu 2019
meningkatnya pemilih
pemula di pemilu 2019
peran pemilih pemula dalam pemilu 2019
5. Difa
26
Partisipasi Pemilih Mula pada Pemilu 2019
Latar Belakang memilih Turi sebagai sample
penelitian
BerpartisipasiTidak Berpartisipasi
Alasan
Lingkungan yang tidak mendukung
Tidak Suka PolitikTidak mendapat
kampanyeKekecawaan terhadap
politik Apatis
POSTER
27
28