Upload
firstmasterpiece
View
60
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Otonomi Daerah, Perubahan Trend Peluang Kerja, serta Predikat "Asli Putra Daerah", ternyata menjadi beberapa faktor yang bertalian satu sama lain di dalam mempengaruhi perubahan arah mobilitas penduduk kekinian. (Penulis: Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)
Citation preview
OTONOMI DAERAH, LAPANGAN KERJA, SERTA DAMPAKNYA TERHADAP MOBILITAS PENDUDUK
Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos
A. Latar Belakang Masalah
Memasuki era otonomi daerah, dimana status kependudukan yang
terkait dengan status kedaerahan seseorang dipertanyakan “keasliannya”
(putra daerah-non putra daerah), maka muncullah suatu kompleksitas
ketenagakerjaan tersendiri. Setiap ada penawaran lapangan kerja khususnya
dalam penjaringan pegawai sipil daerah, maka beredar anggapan bahwa status
kedaerahan seseorang (putra daerah - nonputra daerah) menjadi salah satu
faktor penentu tersendiri dalam pertimbangan kelulusan seseorang dalam
proses penjaringan. Permasalah lanjutan yang muncul dari kompleksitas
tersebut adalah pengaruhnya terhadap arus mobilitas penduduk (dalam hal ini
pencari kerja). Setiap orang bila hendak mencari kerja dalam lapangan tenaga
kerja negeri sipil, maka ia akan mempertimbangkan untuk kembali ke daerah
asalnya, sebab hal tersebut terkait dengan peluang yang dilahirkan dari
perkembangan birokrasi di era otonomi daerah ini.
Persoalan ketenagakerjaan yang muncul dari berbagai kebijakan di
era otonomi daerah ini secara tidak langsung memberi andil yang cukup
signifikan terhadap gerak penduduk ke daerah asalnya ataupun Gerakan
Kembali Ke Desa (GKD). Pencari lapangan kerja berbondong-bondong
kembali ke daerah atau desa asalnya karena terkait dengan peluang kerja yang
pada tahap selanjutnya memunculkan persoalan mobilitas penduduk. Bahkan,
pencari kerja pada lulusan tingkat kesarjanaan yang dulunya seringkali
menjatuhkan pilihan tujuan mobilitas adalah daerah perkotaan, atau paling
tidak dia enggan kembali ke daerah asalnya kini mulai tersetting oleh “aturan
main” ketenagakerjaan di era otonomi daerah ini, bahwa peluang lebih besar
di daerah asal.
Mobilitas penduduk memang terkait erat dengan persoalan
lapangan kerja, ketersediaan lembaga pendidikan formal, serta tingkat
kesejahteraan yang berhubungan dengan ketersediaan sumber daya alam.
Ketiga variabel tersebut di atas memiliki keterkaitan satu sama lain. Ketika
seseorang hendak meningkatkan derajat ekonominya, maka ia akan melakukan
tindakan-tindakan yang dianggap produktif untuk tujuannya tersebut. Orang
tersebut akan melakukan pergerakan domisili (mobilitas penduduk) guna
mencari lapangan kerja di daerah lain yang diduga berpotensi optimal, atau
mencari daerah penyanggah atau penyedia lembaga pendidikan yang dapat
mengantarnya ke jenjang lapangan kerja, atau mencari daerah yang kaya akan
sumber daya alam untuk peningkatan standar upah dan kualitas hidup. Jadi
kedua variabel (Lembaga Pendidikan Formal dan Sumber Daya Alam)
tersebut sama-sama dapat diarahkan oleh seseorang ke sektor lapangan kerja.
Kompleksitas lain yang ditimbulkan oleh mobilitas penduduk di
berbagai wilayah yang didorong oleh prospek kesempatan kerja dalam era
otonomi daerah yaitu rehomogenitas komunitas penduduk daerah tersebut.
Heterogenitas penduduk suatu daerah karena adanya mobilitas penduduk
terkait dengan terbukanya kesempatan kerja tanpa melihat keaslian status
domisili di era praotonomi daerah dapat akan segera berbalik kembali.
Demikian bahwa persoalan lapangan kerja di era otonomi daerah ini
melahirkan kompleksitas pergerakan penduduk yaitu kembalinya pencari kerja
ke daerah asal.
Dalam kerangka struktural, persoalan lapangan kerja yang berarti
terkait dengan sektor ekonomi, dalam banyak kasus seringkali
melatarbelakangi proses mobilitas penduduk yang umumnya terjadi dalam
konteks urbanisasi. Namun dengan kehadiran era otonomi daerah, persoalan
lapangan kerja tidak lagi mempola mobilitas penduduk dalam konteks
urbanisasi semata namun lebih pada pengertian kembali ke daerah asal.
Berangkat dari alasan-alasan tersebut di atas, maka cukup relefan
untuk dikatakan bahwa persoalan tenaga kerja dalam era otonomi daerah ini
dapat memompa lebih cepat pertumbuhan penduduk di desa-desa.
Pencari kerja di sektor swasta bisa saja tidak terpengaruh oleh
kebijakan tentang penerimaan tenaga kerja negeri sipil yang berkembang di
era otonomi daerah ini, sebab secara umum, sektor swasta tidak tersetting
untuk merubah kebijakan penerimaan perkerja dengan pertimbangan status
daerah asal pelamar namun lebih pada pertimbangan skill/keahlian, namun
sedikit tidak juga terkondisikan oleh perkembangan tersebut.
Persoalan lanjutan yang ditimbulkan oleh kompleksitas
kesempatan kerja di era otonomi daerah adalah keterpurukan pencari kerja /
tenaga kerja daerah marginal dari investasi, kegiatan ekonomi dan sumber
daya alam. Dampak lanjutan dari situasi ini adalah kian meningkatnya
mobilitas tenaga kerja ke luar negeri (migrasi)1 seperti TKI. Menjadi TKI ke
1Migrasi merupakan perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dardi suatu
tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administrasi /batas bagian dari suatu negara. Munir Rozy, 1984, Dasar-Dasar Demografi, LD FE UI, Jakarta.
luar negera pada akhirnya menjadi pilihan utama terakhir guna mengatasi
sempitnya lapangan kerja lokal-nasional dan rendahnya tingkat pendidikan
dan keterampilan.
Dalam pandangan Raveinstein, keputusan melakukan migrasi tidak
lepas dari pengaruh sekeliling sang migran terutama keluarga, namun tidak
dapat dinafikan pula bahwa daya tarik daerah tujuan (sentripetal) dan daya
dorong daerah asal (sentrifugal) berada pada urutan terpenting dalam realitas
pergerakan penduduk/tenaga kerja sementara ini. Keterpurukan kondisi
ekonomi daerah asal, rendahnya gerak investasi yang berakibat pada
sempitnya lapangan kerja dan lambatnya perputaran roda ekonomi, atau
persaingan yang tinggi dalam bursa lapangan kerja karena tuntutan tingkat
pendidikan dan keterampilan menjadi daya dorong (sentrifugal) tersendiri bagi
pencari kerja di daerah-daerah marginal. Gerak mereka untuk mencari kerja ke
daerah lain terkendala oleh prospek lapangan kerja yang ditimbulkan oleh
penonjolan status kependudukan atau keterkaitan (keaslian) dengan daerah
tujuan. Kesulitan besar akan dihadapi oleh daerah-daerah marginal yang tidak
memiliki kemampun untuk memproduksi lapangan kerja yang cukup untuk
penduduknya, sementara daerah tersebut mengahadapi gelombang kedatangan
kembali penduduknya yang bertubi-tubi di era otonomi daerah ini.
Berbagai daerah, sejak diberlakukannya otonomi daerah ini
berlomba-lomba untuk mengimpelentasikan semacam keberpihakan pada
putra daerah sebagai “pembalasan” atas kebijakan praotonomi daerah yang
mengimpor pegawai-pegawai negeri / pekerja ke daerah-daerah. Kini bahkan
untuk suatu kedudukan kepegawaian di sektor birokrat seperti menjadi
seorang bupati atau walikota harus memiliki keterkaitan dengan istilah “putra
daerah”. Realitas tersebut memang implementasi dari keberpihakan pada nasib
putra daerah, bahwa masih banyak penduduk lokal yang mampu menduduki
suatu kedudukan dalam bursa lapangan kerja dan mereka juga membutuhkan
pengakuan dan penempatan tersebut.
Mobilitas penduduk yang timbul sebagai dampak dari berbagai
kebijakan ketenagakerjaan di era otonomi daerah ini memiliki corak tertentu.
Bahwa mobilitas penduduk terjadi di masa-masa penjaringan pegawai negeri,
dan penduduk yang melakukan mobilitas tersebut sesungguhnya hanya
kembali ke daerah asalnya, sehingga gerak ini dapat pula diamati sebagai
Gerakan Kembali Ke Desa (GKD).
B. Rumusan Masalah:
Berangkat dari uraian pada latar belakang masalah di atas, maka
dapat ditarik beberapa rumusan masalah berikut ini:
1. Sejauhmana kompleksitas peluang kerja yang ditimbulkan di era otonomi
daerah mempengaruhi mobilitas penduduk ?
2. Pembenahan apa yang perlu dilakukan guna menetralisir pengaruh negatif
dari mobilitas penduduk yang bergerak sebagai akibat dari kompleksitas
peluang tenaga kerja di era otonomi daerah ?
C. Tujuan
Penulisan karya ilmiah ini ditujukan pada dua orietasi penting:
1. Bertujuan untuk mengkaji sejauhmana kompleksitas kesempatan kerja
yang ditimbulkan dari berbagai kebijakan perekrutan tenaga kerja di era
otonomi daerah ini.
2. Bertujuan untuk menemukan formula pembenahan teoritis yang dapat
menetralisir dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari mobilitas
penduduk yang timbul sebagai dampak dari komplekstas kesempatan kerja
di era otonomi daerah ini.
D. Kegunaan
Karya ilmiah ini diharapkan akan berguna bagi tujuan teoritis dan
praktis.
1. Tujuan teoritis: memperkaya khasanah keilmuan di bidang sosial
(sosiologi) khsusunya kajian terhadap gerak penduduk dan angkatan kerja
(migrasi).
2. Tujuan praktis: tinjauan terhadap berbagai kebijakan terkait dengan
kesempatan kerja yang berhubungan dengan pengaruhnya terhadap gerak
penduduk (mobilitas penduduk).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peluang Kerja di Era Otonomi Daerah dan Mobilitas Penduduk
Peluang kerja tidak terlepas dari orientasi kebijakan politik, sosial-
udaya, ekonomi (pembangunan). Begitu peluang kerja terinterpensi oleh
muatan politis atau ideologi tertentu, dimisalkan ideologi kapitalis atau
komunis, maka orang yang memiliki hubungan struktural ataupun kulural
dengan ideologi tersebut tentunya akan memiliki peluang yang lebih besar
untuk mendapatkan lapangan kerja yang tersedia dibandingkan “pihak luar”
yang berposisi antagonis terhadap ideologi tersebut atau paling tidak ia dalam
status out group. Di sinilah sistem kerja konsep in group dan out gorup
bekerja. In Group merupakan kelompok sosial dengan mana individu
mengidentifikasi dirinya, kelompok sosial dalam hal ini terkait dengan
kesukuan, etnisitas, putra daerah-non putra daerah. Sedangkan out group
diartikan oleh individu sebagai kelompok yang menjadi lawan atau berbeda
dengan in-group-nya (Soekanto, 2002: 123).
Maka, analisis teoritis terhadap bagaimana keterkaitan orientasi
kebijakan penjaringan tenaga kerja di era otonomi daerah ini dengan
kesempatan kerja serta dampaknya terhadap mobilitas penduduk tentunya
dapat dipahami dari proposisi tersebut di atas.
Status kedaerahan (putra daerah-nonputra daerah) melahirkan
dikotomi tak berimbang dalam bursa penjaringan tenaga kerja di era otonomi
daerah ini, sehingga melahirkan semacam stratifikasi terkait dengan status
pengakuan. Non putra daerah akan menjadi kelas kedua, dan putra daerah
akan menjadi kelas pertama (kompleksitas superioritas dan imperioritas).
Dampak lanjutan dari kondisi tersebut di atas, bahwa kelas yang
merasa teralokasi sebagai kelas imperior atau kelas kedua akan mencari
pengakuan untuk mengatasi rasa imperiornya ke daerah lain yang tentunya ke
daerah sendiri atau daerah asal. Maka mobilitas penduduk menjadi pilihan dan
alternatif yang tak terhindarkan dari kasus tersebut di atas. Banyak orang tentu
akan merasa memiliki kepercayaan diri untuk tampil sebagai pencari kerja di
daerahnya sendiri ketika status kedaerahan disorot dalam bursa lapangan kerja
di daerah lain. Maka dampaknya daerah marginal yang tidak memiliki
kemampuan memadai untuk memproduksi dan menyediakan lapangan kerja
bagi gelombang mobilitas penduduk yang kembali ke daerah asalnya akan
menghadapi situasi yang sangat sulit, seperti peningkatan jumlah
pengangguran pada tingkat usia produktif. Terkait dengan situasi
penyebabnya, maka pengangguran yang muncul sebagai akibat dari
kompleksitas alokasi peluang kerja di era otonomi daerah ini dapat
digolongkan ke dalam pengangguran struktural yang terkait juga dengan jenis
pengangguran lainnya. Adapun jenis pengangguran bila dilihat dari penyebab
terjadinya, maka tipe pengangguran dapat digolongkan ke dalam 8 jenis
berikut:
1. Pengangguran Konjungtural: pengangguran yang timbul karena “penurunan kegiatan ekonomi”. Pengangguran ini terjadi di dunia pada tahun 1929 dan 1982. Karena resesi ekonomi, sedangkan tampak nyatai di Indonesia pada tahun 1997 yang hingga awal tahun 1999 belum tampak mereda samapi saat ini sebagai dampak dari krisis moneter yang disulut oleh adanya musim kemarau berkepanjangan yang
merupakan dampak ‘el-nino’, yang menyebabkan kegiatan ekonomi menurun.
2. Pengangguran Struktural: pengangguran struktural terjadi karena adanya perubahan struktur kegiatan ekonomi, misalnya dari struktur ekonomi agraris ke struktur industri akan menimbulkan pengangguran yang cukup banyak. Perubahan struktur semacam itu memerlukan jenis ketrampilan yang berbeda. Mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri akan menjadi penganggur.
3. Pengangguran Friksional: pengangguran Friksional adalah pengangguran yang terjadi karena kesulitan yang sementara sifatnya, misalnya karena kesulitan ketemunya fihak pencari kerja dan pencari tenaga kerja, umumnya disebankan oleh faktor kesenjangan komunikasi dan lokasi.
4. Pengangguran Musiman: pengangguran yang terjadi karena pergantian musim.
5. Pengangguran Teknologi: pengangguran yang terjadi karena adanya perubahan pada teknologi produksi sehingga menggantikan tenaga manusia, atau membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru yang terampil dan mampu untuk mengoperasikan teknologi tersebut.
6. Pengangguran Muda: adalah suatu keadaan di mana para pemuda terkena proses pengangguran sebagai akibat dari usianya yang muda sehingga belum ada pengalaman kerja dan ditolak dalam penjaringan tenaga kerja.
7. Pengangguran Keterbelakangan Kulural: pengangguran jenis ini diakibatkan oleh faktor antropologi budaya yang menghambat laju pembangunan..
8. Pengangguran Isolasi Geografis: Jenis pengangguran ini dialami oleh masyarakat yang tinggal di wilayah yang terpencil ataupun seolah-olah terisolasi dari daerah lain yang lebih maju kegiatan ekonominya. Karena jauh dari kegiatan ekonomi maka lowongan kerja pun sangat terbatas, kadangkala bahkan tidak ada kegiatan ekonomi yang berarti.
Pada level pemegang kebijakan ketenagakerjaan, andil mereka
terhadap kompleksitas mobilitas penduduk di era tonomi daerah adalah pada
saat mereka tersetting untuk memberi kesan keberpihakan pada putra daerah
di bursa lapangan kerja. Maka, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkanpun akan
diwarnai oleh motivasi tersebut yaitu keberpihakan pada putra daerah. Analisis
praktisnya adalah ketika di tingkat elit bursa kerja seperti penjaringan kepala
daerah (bupati), begitu sang bupati merasa terselamatkan oleh status
kedaerahannya dalam proses penjaringan dan pemilihan, tentunya ia akan
memiliki kepentingan dan semacam hutang budi untuk bekerja dan membuat
kebijakan yang menghargai status kedaerahan tersebut. Maka sekali lagi, non
putra daerah akan merasa tersingkirkan dan pada akhirnya akan memilih
menyingkir dan melakukan mobilitas domisili (mobilitas penduduk).
Mobilitas penduduk bila tersetting untuk hanya bergerak ke arah
tertentu tanpa mepertimbangkan alokasi lapangan kerja yang tersedia, yang
tentunya terkait dengan ketersediaan kekayaan alam, investasi, jumlah
penduduk, lembaga pendidikan, pusat dan kegiatan perdagangan, maka akan
berakibat pada munculkan kesenjangan kualitas daerah dan perkembangan
daerah. Daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah dengan
jumlah penduduk yang relatif sedikit serta ditunjang dengan kualitas
pendidikan dan penduduk yang cukup tinggi tentunya akan jauh meninggalkan
daerah lain yang berkondisi sebaliknya. Maka dari realitas tersebut
dikhawatirkan akan lahirkan semacam kecemburuan antar daerah yang
berujung terhadap ancaman disintegrasi bangsa. Ekslufisme kesukuan bila
mempengaruhi sistem penjaringan tenaga kerja akan melahirkan iklim tidak
sehat dalam lingkungan kerja dan kemunikasi antar wilayah, sebab setiap
orang akan mengidentifikasi orang lain dan dirinya sendiri dengan simbol
kesukuan (putra daerah-non putra daerah), pada akhirnya iklim kerja
(struktural dan kultural) akan terpengaruh dalam pola dikotomi tersebut.
Mobilitas penduduk terutama pada pola migrasi dan urbanisasi
memang oleh beberapa penulis seperti Astrid P. Susanto, dikaji dalam dataran
sebagai dampak-dampak lain non peluang kerja di daerah yang memudian
melahirkan pola tersebut di atas. Astrid memaparkan mobilitas penduduk dari
dampak berikut:
a. Kemiskinan yang makin mencekam yang dihubungkan
dengan sistem nilai masyarakat
b. Nilai sosial budaya suatu masyarakat yang dapat berubah
karena desakan ekonomi yang terlalu parah, sehingga
lahirlah urbanisasi; urbanisasi akan lebih maju dengan
tersedianya kesempatan kerja di kota dan makin
meningkatnya pendapatan masyarakat pedesaan sebagai
akibat (positif) pembangunan.
c. Urbanisasi bagi kota sendiri mengakibatkan beberapa
masalah sosial-ekonomi-budaya yang baru seperti:
pertumbuhan nilai sosial, menurunya kualitas kebersihan
kota dan kesehatan, meningkatnya bahaya kebakaran dan
lain-lain, hal ini diakibatkan oleh peningkatan penduduk
per km per segi di kota-kota (Astrid, 1984: 19).
Kini, kompleksitas yang melahirkan pola mobilitas penduduk
adalah situasi terbalik dari yang diuraikan oleh Astri tersebut di atas. Saat ini
mobilitas penduduk lebih berpola pada bentuk Gerakan Kembali ke Desa
(daerah asal), dan penyebabkan tidak bertumpu pada persoalan perubahan
nilai budaya karena desakan ekonomi semata, atau karena desakan ekonomi
kemiskinan langsung, tetapi lebih karena masalah kesempatan kerja yang
tersetting oleh kebijakan pro putra daerah di era otonomi daerah ini.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi, penduduk Indonesia
secara absolut jumlahnya terus bertambah. Pada tahun 1970 jumlahnya 119
juta lebih berdasarkan sensus 1971, kemudian naik lagi menjadi 147, 5 juta
berdasarkan sensus 1990. Selanjutnya diperkirakan pada tahun 2005 ini
penduduk Indonesia akan meningkat lagi menjadi 230 juta lebih (Sarmito,
1987: 28). Bila diamati dengan realitas real di lapangan secara seksama maka
pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia tersebut di atas lebih terkonsentrasi
di pulau Jawa. Itu artinya bahwa pada kondisi tertentu seperti penerapan
otonomi daerah ini, pulau Jawa akan penuh sesak oleh pencari kerja yang
kembali ke daerah asalnya karena merasa memiliki pengakuan dan peluang di
daerah asalnya. Maka pulau Jawa yang secara kuntitas/jumlah penduduk dan
kualitas penduduk telah mendominasi akan semakin jauh mendominasi dan
meninggalkan daerah lain. Jumlah penduduk jawa akan terus bertambah,
kemudian berdampak pada pesatnya pertumbuhan dan pembangunan
infrastruktur perdagangan, pendidikan, hiburan dan transportasi. Sebaliknya
daerah pelosok wilayah timur semisal Maluku Utara dengan kekayaan daerah
yang terbatas, kuantitas dan kualitas penduduk (ketrampilan pragmatis) yang
relatif sedikit akan kian tertinggal dengan daerah lain. Maka kondisi tersebut
akan berdampak pada kian senjangnya kualitas dan kuantitas perkembangan
antara daerah di Indonesia. Daerah yang kaya Sumber Daya Alam dan Sumber
Daya Manusia baik dalam kualitas maupun kuantitas akan semakin
berkembang jauh meninggalkan daerah yang relatif miskin Sumber Daya
Manusia dan Sumber Daya Alam.
B. Analisis Dampak Alokasi Peluang Kerja Di Era Otonomi Daerah dan
Solusinya.
Mobilitas penduduk yang mengarah pada satu pola tertentu
tentunya akan menegasikan pola-pola lain yang dapat saja memberi kontribusi
positif. Pola pergerakan penduduk yang lahir dari akibat alokasi kesempatan
kerja yang tidak berimbang di era otonomi daerah ini karena terkait dengan
kondisi daerah yang berbeda-beda dan kemampuan memproduksi dan
menyediakan lapangan kerja tentunya akan melahirkan kesenjangan kondisi
daerah yang pada akhrinya berakibat pada kecemburuan antar daerah, yang
kemudian berlanjut pada kecemburuan etnis, suku, yang kemudian
mengancam kesatuan bangsa (integrasi nasional). Ketika setiap orang terlepas
dari pengidentifikasian orang lain dan dirinya dalam identitas yang sama
dalam cakupan nasional-kebangsaan, maka orangpun akan terlepas dari
identitas kebangasannya dan tergantikan oleh identitas kesukuannnya.
Peluang kerja memang terkait dengan kemampuan memperluas
pasar kerja atau membuka pasar-pasar kerja baru dari waktu ke waktu. Namun
ketika pasar kerja tersebut dialokasikan secara primordial kesukuan, maka
tentunya akan menghambat perkembangan dunia kerja itu sendiri, sebab input
dan output berputar dalam kuantitas dan kualitas yang relatif sama dari waktu-
ke waktu dan bahkan seringkali berkurang, sebab individu atau kelompok
yang merasa tidak memiliki ikatan kesukuan dengan tempat tersebut akan
mengidentifikasi dirinya sebagai orang luar (out group) yang tidak akan
memiliki peluang yang baik untuk beraktifitas di tempat tersebut.
Menurut Magnun Suroto (1992) pasar kerja (employment job
market) adalah seluruh kebutuhan dan persediaan tenaga kerja, atau seluruh
permintaan dan penawarannya dalam masyarakat dengan seluruh mekanisme
yang memungkinkan adanya transaksi produktif di antara orang yang menjual
tenaganya (perkerja) dengan pihak penguasa (pemberi kerja) yang
membutuhkan tenaga kerja tersebut. Maka dari definisi tersebut dapat
dianalisis bagaimana sebuah kebijakan pihak penguasa (pemberi kerja) ketika
terinterpensi oleh arus keberpihakan pada putra daerah pada era otonomi
daerah ini akan menghasilkan transaksi yang kurang produktif.
Skill/keterampilan dan pendidikan berada pada urutan kedua setelah status
kedaerahan (putra daerah-nonputra daerah). Dampak dari situasi tersebut
adalah kepakuman perkembangan dunia kerja di daerah yang tertinggal dan
perkembangan pesat dunia kerja di daerah yang telah lama maju dan memiliki
sumber daya (SDM dan SDA) memadai.
Produk tenaga kerja yang lahir dari berbagai lembaga-lembaga
pendidikan di kota-kota seperti Universitas, Sekolah Tinggi, Institut, Lembaga
Keterampilan dan sebagainya, tentunya membutuhkan penempatan yang
sesuai dengan keahliannya, namun pergerakan mereka tentunya terpengaruh
oleh peluang yang mampu mereka predikasi. Pada saat daerah lain yang
membutuhkan banyak tenaga ahli mesin misalnya, namun di satu sisi pencari
kerja putra daerah bukan tenaga ahli di bidang mesin maka akan melahirkan
situasi dilematis, antara mengutamakan dan memperhatikan nasib putra daerah
dengan prioritas profesionalitas kerja.
Demarkasi kedaerahan yang ditimbulkan oleh kebijakan
penjaringan lapangan kerja daerah pada akhirnya harus kita akui akan
menimbulkan dampak negatif terhadap kesetaraan pembangunan/
perkembangan daerah-daerah di Indonesia, ,mengurangi intensitas komunikasi
dan interaksi antar berbagai suku-budaya di tanah air. Dari kesenjangan
keadaan/perkembangan daerah tersebut serta kritisnya komunikasi dan
interaksi antar suku-budaya di tanah air pada akhirnya akan mengikis rasa
toleransi dan perasaan kebersamaan antar lintas budaya / daerah. Sekali lagi
dampak negatif yang timbul dari kompleksitas peluang kerja di era otonomi
terhadap mobilitas penduduk akan berdampak pada lahirnya ekslusifisme
kedaerahan (disintegrasi bangsa). Konflik dapat terjadi dalam suatu
masyarakat tatkala terjadi kesenjangan yang terlampau mencolok dalam
masyarakat tersebut. Dapat terjadi dalam masyarakat lintas daerah atau
wilayah.
Guna mencegah kemungkinan dampak negatif tersebut di atas,
maka perlu kiranya kebijakan pengalokasian pengisi lapangan kerja di daerah-
daerah pada level non-elit daerah tidak menonjolkan penghargaan yang
berlebihan terhadap status kedaerahan (dikotomi putra dareah-nonputra
daerah) yang bertentangan dengan prinsip profesionalitas. Namun prinsip
profesionalitas tersebut bukan berarti meninggalkan dan mengabaikan
perhatian daerah terhadap nasib putra daerah, sebab menegaskan
profesionalisme bukan berarti kemudian menyingkirkan prioritas terhadap dua
sisi yang memiliki tingkat kualitas yang sama. Artinya bila ada dua pencari
kerja yang memiliki kualitas yang sama, maka status kedaerahan baru
diperhitungkan. Kebijakan yang cukup berimbang tersebut dapat menetralisir
dampak negatif dari mobilitas berpola tunggal tersebut di atas.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari pembahasan yang dipaparkan pada bab dua tersebut di atas, maka
didapatkan dua kesimpulan yang mencoba untuk menjawab dua rumusan masalah
pada bab pertama, yaitu:
1. Status kedaerahan (putra daerah-nonputra daerah) melahirkan dikotomi tak
berimbang dalam bursa penjaringan tenaga kerja di era otonomi daerah ini
sehingga melahirkan semacam stratifikasi terkait dengan status pengakuan.
Non putra daerah akan menjadi kelas kedua, dan putra daerah akan menjadi
kelas pertama (kompleksitas superioritas dan imperioritas). Dampak
lanjutan dari kondisi tersebut di atas, bahwa kelas yang merasa teralokasi
sebagai kelas imperior atau kelas kedua akan mencari pengakuan untuk
mengatasi rasa imperiornya ke daerah lain yang tentunya ke daerah sendiri
atau daerah asal. Maka mobilitas penduduk menjadi pilihan dan alternatif
yang tak terhindarkan dari kasus tersebut di atas.
2. Guna menetralisir dampak negatif dari moblitias penduduk yang lahir dari
kompleksitas peluang kerja di era otonomi daerah ini, maka perlu kiranya
kebijakan pengalokasian kesempatan kerja di daerah-daerah pada level non-
elit daerah tidak menonjolkan penghargaan yang berlebihan terhadap status
kedaerahan (dikotomi putra dareah-nonputra daerah) yang bertentangan
dengan prinsip profesionalitas. Namun prinsip profesionalitas tersebut
bukan berarti meninggalkan dan mengabaikan perhatian daerah terhadap
nasib putra daerah, sebab menegaskan profesionalisme bukan berarti
kemudian menyingkirkan prioritas terhadap dua sisi yang memiliki tingkat
kualitas yang sama. Artinya bila ada dua pencari kerja yang memiliki
kualitas yang sama, maka status kedaerhan baru diperhitungkan. Kebijakan
yang cukup berimbang tersebut dapat menetralisir dampak negatif dari
mobilitas berpola tunggal tersebut di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Susanto, Astrid, S., 1984, Sosiologi Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta.Sosiologi Suatu Pengantar
Munir, Rozy, Dasar-Dasar Demografi, LD FE-UI, Jakarta.
Soekanto, Suryono, 2002, , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suroto, 1992, Strategi Pembangunan dan Perencanaan Kesempatan Kerja, Gajah Mada University Press, Yogyarakat.